Professional Documents
Culture Documents
3B MBL
3B MBL
3B MBL
NIM : P05120218048
Kesiapan psikologis ini dapat dibentuk melalui sosialisasi pelatihan pada berbagai
kegiatan dan simulasi, termasuk sekolah melalui program bimbingan pribadi dan sosial, guru
pembimbing dapat meningkatkan kesiapsiagaan psikologis menghadapi bencana yang akan dapat
mengurangi risiko terhadap akibat bencana alam.
Pertama, menilai atau menentukan kondisi korban saat ini dan keparahan
permasalahannya, Kedua, memutuskan jenis konseling yang paling dibutuhkan saat ini
berdasarkan penilaian. Ketiga, bertindak secara langsung dalam pelaksanaan konseling.
Keempat, memantau tindakan nyata konseli menerapkan hasil konseling dengan bertindak nyata
dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman yang lebih baik tentang respons psikologis terhadap situasi peringatan
adanya bencana alam akan membantu orang merasa lebih percaya diri, lebih mampu
mengendalikan dan mempersiapkan lebih baik secara psikologis ataupun mempersiapkan
perencanaan-perencanaan darurat yang lebih efektif. Pengembangan dan peningkatan wawasan,
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi konselor menjadi fasilitator diperlukan dalam
pelayanan konseling pascabencana.
Kesadaran diri, pengetahuan, dan kompetensi dapat ditingkatkan dengan mengenal
bagaimana bencana dan pentingnya konseling pascabencana, mengetahui cara meningkatkan
kesadaran diri, mengetahui penyebab dan dampak psikologis pascabencana sehingga dapat
melakukan asessment, intervention, dan melakukan treatment dan follow up
A. Pengertian PTSD
PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pasca trauma adalah kondisi
kesehatan jiwa yang dipicu oleh peristiwa yang traumatis, baik dengan mengalaminya
maupun menyaksikannya. Kebanyakan orang yang mengalami kejadian traumatis akan
menghadapi kesulitan dalam menjalaninya, tetapi dengan waktu dan perawatan diri yang
baik, kesulitan akan berkurang. Jika pengalaman yang traumatis tersebut tetap menghantui
sampai membuat seseorang kesulitan dalam menjalani hidup, maka orang tersebut mengidap
PTSD.
Dokter tidak yakin mengapa beberapa orang mendapat PTSD. Seperti masalah kesehatan
mental pada umumnya, kombinasi beberapa faktor yang kompleks mungkin menjadi
penyebab PTSD, seperti:
Pengalaman yang menakutkan, termasuk jumlah dan tingkat keparahan trauma yang telah
dialami dalam hidup.
Mewarisi risiko kesehatan mental, seperti riwayat gangguan kecemasan
dan depresi dalam keluarga.
Ciri-ciri kepribadian, seperti kecenderungan temperamental.
Cara otak mengatur bahan kimia dan hormon yang dilepaskan tubuh sebagai respons
terhadap stres.
Semua orang dari segala usia dapat mengalami gangguan stres pasca trauma. Namun,
beberapa faktor dapat membuat seseorang lebih mungkin mengembangkan PTSD, seperti:
C. Gejala PTSD
Kemunculan gejala yang ditimbulkan PTSD beragam, ada yang muncul dalam 1 bulan
setelah kejadian. Namun dalam beberapa kasus, gejala baru akan muncul bertahun-tahun
setelah seseorang mengalami kejadian traumatis. Gejala PTSD pada umumnya dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu ingatan intrusif, avoidance atau menghindar, perubahan negatif pada
cara berpikir, mood, perubahan reaksi fisik dan emosional.
Ingatan yang tidak diinginkan, yang bersifat mengganggu yang datang berulang;
Menghidupkan peristiwa traumatis tersebut seakan-akan peristiwa tersebut terjadi lagi
(kilas balik);
Mimpi buruk tentang peristiwa tersebut; dan
Distress emosional berat terhadap sesuatu yang mengingatkan pengidap pada peristiwa
traumatis.
1. Avoidance:
Pikiran negatif tentang orang lain, diri sendiri, lingkungan, bahkan dunia;
Putus asa tentang masa depan;
Masalah memori, termasuk tidak mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis;
Kesulitan mempertahankan hubungan dekat;
Merasa terlepas dari keluarga dan teman;
Kurangnya minat dalam kegiatan yang pernah dinikmati;
Kesulitan mengalami emosi positif; dan
Merasa mati rasa secara emosional.
D. Diagnosis PTSD
Pemeriksaan pada fisik terdiagnosa untuk memeriksa masalah medis yang mungkin
menjadi penyebab gejala PTSD.
Melakukan evaluasi psikologis yang mencakup diskusi tentang tanda dan gejala dan
peristiwa atau peristiwa yang mengarah ke diagnosis PTSD.
Menggunakan kriteria dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-
5), yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association.
E. Pengobatan PTSD
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga dilakukan
psikoterapi.
1. Psikoterapi
Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola kognitif) yang
menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui peristiwa traumatis tersebut.
Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar bisa
menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga pengidap dapat
menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada kasus dimana pengidap
mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR menggabungkan
terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah untuk membantu pengidap
memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter akan mengamati reaksi pengidap.
1. Obat-Obatan
F. Pencegahan PTSD
Setelah selamat dari peristiwa traumatis, banyak orang mengalami gejala mirip PTSD
pada awalnya, seperti tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi. Ketakutan,
kecemasan, kemarahan, depresi, rasa bersalah adalah reaksi umum terhadap trauma. Namun,
mayoritas orang yang mengalami trauma tidak mengembangkan gangguan stres pasca-
trauma jangka panjang.
Pencegahan juga bisa dilakukan dengan mencari bantuan dan dukungan yang tepat
waktu. Hal ini bertujuan agar reaksi stres yang normal menjadi semakin buruk dan
berkembang menjadi PTSD, bisa dicegah. Ini bisa berarti beralih ke keluarga dan teman-
teman yang akan mendengarkan dan menawarkan kenyamanan. Hal ini bisa juga dilakukan
dengan mencari ahli kesehatan mental untuk terapi singkat. Beberapa orang mungkin juga
merasa berguna untuk beralih ke komunitas iman mereka.
Dukungan dari orang lain juga dapat membantu mencegah seseorang beralih ke cara
mengatasi trauma yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan.
NIM : P05120218081
A. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
B. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam
Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.
2. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
3. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
4. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
a. Play therapy
b. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
c. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
A. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
B. Gejala GSPT
a. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
2. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
3. Kelompok II
4. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
E. Dampak GSPT
Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak
kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
F. Pengobatan GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
1. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
TUGAS MBL
DI SUSUN OLEH
NAMA : INDA PURWANTI
NIM : P05120218071
JURUSAN KEPERAWATAN
Peristiwa bencana alam merupakan salah satu penyebab munculnya krisis bagi
jiwa manusia. Bencana alam akibat meletusnya gunung merapi di Yogyakarta
menyisakan trauma bagi penduduk sekitar lereng gunung merapi. Trauma gempa bumi
oleh gunung merapi mengakibatkan penduduk kehilangan keluarga, rumah dan
pekerjaan. Kondisi batin mereka sedih, hancur dan khawatir akan terjadinya gempa.
Gunung merapi seolah sedang jadi "lakon". Gunung yang mempunyai ketinggian 2968 m
dari permukaan laut dan terletak lebih kurang 25 km dari Yogyakarta itu, belakangan
memang tak pernah absen menghiasi hampir semua media, cetak maupun elektronik.
Sekian ribu nyawa melayang dalam sedetik. Sekian rumah roboh dan luluh lantak. Orang-
orang tahu pahit getirnya musibah bencana alam. Sementara itu ribuan pengungsi
kebingungan. Mereka baru saja pulang ke rumahnya kemarin pagi, kembali ke
pengungsian sore harinya.
Peristiwa bencana alam merupakan salah satu penyebab munculnya krisis bagi
jiwa manusia. Bencana alam akibat meletusnya gunung merapi di Yogyakarta
menyisakan trauma bagi penduduk sekitar lereng gunung merapi. Trauma gempa bumi
oleh gunung merapi mengakibatkan penduduk kehilangan keluarga, rumah dan
pekerjaan. Kondisi batin mereka sedih, hancur dan khawatir akan terjadinya gempa.
Gunung merapi seolah sedang jadi "lakon". Gunung yang mempunyai ketinggian 2968 m
dari permukaan laut dan terletak lebih kurang 25 km dari Yogyakarta itu, belakangan
memang tak pernah absen menghiasi hampir semua media, cetak maupun elektronik.
Sekian ribu nyawa melayang dalam sedetik. Sekian rumah roboh dan luluh lantak. Orang-
orang tahu pahit getirnya musibah bencana alam. Sementara itu ribuan pengungsi
kebingungan. Mereka baru saja pulang ke rumahnya kemarin pagi, kembali ke
pengungsian sore harinya. (15-Juni-2006)
KELAS :
3B/DIII Keperawatan
2020/2021
Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa dalam
proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan penekanan kepada
coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya
memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan
peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress. Dengan mengutip pendapat
Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985) dijelaskan lebih lanjut bahwa tiga
peranreligidalamcopingprocessyaitu(a)menawarkanmaknakehidupan,(b) memberikan
sense of control terbesar dalam mengatasi situasi, dan (c) membangun self esteem.
Adapun dua sumber coping yang biasa dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa
dan berserah diri pada Tuhan).
2. Kelompok II
Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan.
Proses berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu
membuat rencana dengan cara yang masuk akal. Tingkah
lakunya menyerupai robot, dan memperlihatkan simptom- simptom fisik dan
psikologikal yang nyata, khususnya berupa anxiety yang tinggi. Korban yang
termasuk ke dalam kategori ini sekitar75%.
3. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak
sesuai, beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness)
dan membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.
Disusun oleh:
Lesmy sasmita
P05120218072
Kelas: 3B DIII Keperawatan
A. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
B. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
1. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
1) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
2) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
3) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
4) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
5) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
6) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
7) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
8) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
9) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
10) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
11) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
12) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
13) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
14) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
1. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
2. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).
RANGKUMAN
“Post Traumatic Stress Disorder”
A. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
1. Faktor Resiko
Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan
terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
2. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
3. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
4. Faktor neurobiology
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan
dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut.
C. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
1. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
1) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
2) Perkosaan atau pelecehan seksual
3) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
4) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
2. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
1) Kecelakaan mobil atau kebakaran
2) Bencana alam, seperti gempa bumi
3) Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
4) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
3. Veteran perang atau korban perang sipil
4. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
5. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
6. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
D. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD
1. Perubahan fikiran
1) Tidak dapat menerima kenyataan
2) Teringat- ingat
3) Mimpi buruk
4) Susah konsentrasi
5) Menjadi pelupa
2. Perubahan perasaan
1) Takut yang berlebihan
2) Cemas
3) Sedih
4) Bimbang
5) Merasa tak pantas hidup lagi
3. Perubahan tingkah laku
1) Sesak nafas
2) Susah tidur
3) Jantung berdebar-debar
4) Nafsu makan berkurang
5) Menarik diri dari orang lain
6) Mudah terkejut
7) Kepala pusing dan pingsan
E. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)
Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA
LANJUT III
Disusun Oleh:
NIM : P05120218079
A. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
2. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
3. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
4. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
a. Play therapy
b. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
c. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
A. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
B. Gejala GSPT
a. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
2. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
3. Kelompok II
4. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
E. Dampak GSPT
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
F. Pengobatan GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
1. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
DOSEN PEMBIMBING :
vice elese
DISUSUN OLEH :
Murdani Furiyanti
KELAS :
3B DIII Keperawatan
A. Definisi
Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis yang terjadi
pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa.
Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari pemajanan atas suatu peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan
politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
B. Konseling
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang positif,
sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang permasalahan yang
dihadapi.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan memberikan
harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar kembali seimbang.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan
membantu pemecahannya secara bersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn klien
kepada konselor.
Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa dalam
proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan penekanan kepada
coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya
memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan
peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress. Dengan mengutip pendapat
Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985) dijelaskan lebih lanjut bahwa tiga peran religi
dalam coping process yaitu (a) menawarkan makna kehidupan, (b) memberikan sense
of control terbesar dalam mengatasi situasi, dan (c) membangun self esteem. Adapun dua
sumber coping yang biasa dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa dan
berserah diri pada Tuhan).
Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis yang terjadi
pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa.
Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari pemajanan atas suatu peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan
politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
B. Gejala GSPT
Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV) yang
dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator bahwa seseorang
yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b) Peristiwa yang dialami lagi; (c)
Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam kriteria b (gejala lebih dari satu bulan);
(f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000). Gejala untuk masing-masing indikator tersebut
sebagai berikut :
a. Kriteria A : Trauma
Dijelaskan lebih lanjut bahwa hal paling menyusahkan mengenai suatu kejadian
trauma adalah perasaan ketidakberdayaan yang sepenuhnya ditimbulkan, yang terjadi
kembali melalui hilangnya kontrol atas status pikiran, dengan reaksi lari dari kenyataan
secara spontan, reaksi-reaksi yang mengejutkan atau ingatan yang terganggu mengenai
kejadian trauma. Sedangkan tanda-tanda kunci akan adanya GSPT yang menetap setelah
trauma, yakni gagal remisi kembali normal setelah melewati fase akut (setelah 3 bulan).
Adanya tekanan darah (tensi) meninggi setelah 1 bulan pascatrauma, dan abnormalitas
fisiologi, mudah kaget serta terkejut berlebihan, setelah 3 bulan pascatrauma.
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
percaya dengan apa yang dialaminya, binggung tidak tahu apa yang harus
dilakukan, kehilangan jati diri, dan sebagainya. Kehidupannya menjadi sangat kritis,
tidak nyaman dan rentan terhadap munculnya berbagai bentuk gangguan fisik maupun
kejiwaan, seperti stress dan depresi.
Van der Kolk (Fahrudin, 2005) mengatakan bahwa salah satu karaktersitik utama
pengalaman traumatik selalu menantang kemampuan individu untuk menyusun suatu
narrative pengalaman mereka dan mengintegrasikannya dengan kejadian-kejadian yang
lain. Sebagai implikasinya, pengalaman traumatik individu tidak terkait dengan masalah
logika tetapi lebih kepada emosi yang memuncak atau somatosensory impression.
Bencana selalu terkait dengan tingkah laku manusia, sehingga dalam jangka
pendek, jangka sedang, dan jangka panjang dapat berdampak psikososial kepada korban
langsung (primary victims) maupun korban tak langsung (secondary victims). Gibson
(Fahrudin, 2005) mengatakan bahwa dampak bencana tidak hanya kepada penduduk
yang terlibat melainkan juga rekan-rekan terdekat, tetangga, atau bahkan para pekerja
atau sukarelawan yang terlibat di dalam pelayanan sosial bencana.
7. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
8. Kelompok II
9. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
E.Dampak GSPT
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
Pernyataan di atas senada dengan yang diungkapkan oleh Sara (2005) bahwa
GSPT ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif, emosi, behavior
(perilaku), dan social. Gejala gangguan fisik memiliki ciri pusing, gangguan pencernaan,
sesak napas, tidak bisa tidur, kehilangan selera makan, impotensi, dan sejenisnya.
Gangguan kognitif ditandai oleh gangguan pikiran seperti disorientasi, mengingkari
kenyataan, linglung, melamun berkepanjangan, lupa, terus menerus dibayangi ingatan
yang tak diinginkan, tidak focus dan tidak konsentrasi, tidak mampu menganalisa dan
merencanakan hal-hal yang sederhana, tidak mampu mengambil keputusan. Pada kasus
yang lebih berat mulai disertai halusinasi. Gangguana emosi ditandai dengan
gejala tertekan, depresi, mimpi buruk, marah, merasa bersalah, malu, kesedihan yang
berlarut-larut, kecemasan dan ketakutan, menarik diri, tidak menaruh minat pada
lingkungan, dan tidak mau diajak bicara. Singkatnya, hidup dihayati sebagai kehampaan
dan tidak bermakna. Gangguan perilaku, ditandai menurunnya aktivitas fisik, seperti
gerakan tubuh yang minimal. Misal, duduk berjam-jam dan perilaku repetif (berulang-
ulang). Sementara gangguan sosial, yakni memisahkan diri dari lingkungan, menyepi,
agresif, prasangka, konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat
dominan.
F. Pengobatan GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
2. Psikoterapi
MANAJEMEN BENCANA
LANJUT III
Disusun Oleh:
NIM : P05120218085
F. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
6. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
7. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
8. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
d. Play therapy
e. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
f. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
H. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
I. Gejala GSPT
a. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
10.Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
11.Kelompok II
12.Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
L.Dampak GSPT
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
M. Pengobatan GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
3. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental
yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak
menyenangkan. PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat
pada kejadian traumatis. Peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD antara lain perang,
kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual. Meski demikian, tidak semua orang yang
teringat pada kejadian traumatis berarti terserang PTSD. Ada kriteria khusus yang digunakan
untuk menentukan apakah seseorang mengalami PTSD.
Gejala PTSD
Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya trauma. Waktu
kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian traumatis tersebut.
Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap penderita.
Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah:
1. Ingatan pada peristiwa traumatis
Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya trauma. Bahkan, penderita
merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut. Ingatan terhadap peristiwa traumatis
tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi buruk, sehingga penderita tertekan secara emosional.
2. Kecenderungan untuk mengelak
Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang membuatnya trauma.
Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas, dan seseorang yang terkait dengan
kejadian traumatis tersebut.
3. Pemikiran dan perasaan negatif
Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain itu, penderita juga
kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan merasa putus asa. Penderita juga lebih
menyendiri dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.
4. Perubahan perilaku dan emosi
Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu oleh ingatan pada
peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering membahayakan dirinya atau orang lain.
Penderita juga sulit tidur dan berkonsentrasi.
PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada anak-anak, terdapat gejala
khusus, yaitu sering melakukan reka ulang peristiwa traumatis melalui permainan. Anak dengan
PTSD juga sering mengalami mimpi buruk yang bisa terkait secara langsung maupun tidak
dengan kejadian traumatis yang dialaminya.
Kapan harus ke dokter
Konsultasikan dengan psikiater bila muncul ingatan terhadap peristiwa traumatis yang
mengganggu aktivitas, terutama bila berlangsung selama 1 bulan atau lebih.
Segera konsultasi ke psikiater bila ingatan tentang kejadian traumatis sampai memicu Anda
untuk menyakiti diri sendiri dan orang lain, atau sampai mendorong Anda untuk bunuh diri.
Penyebab PTSD
PTSD bisa muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang menakutkan
atau mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti mengapa peristiwa tersebut menyebabkan
PTSD bagi sebagian orang. Namun, ada dugaan bahwa penyebabnya adalah kombinasi dari
sejumlah kondisi berikut:
Pengalaman yang tidak menyenangkan.
Riwayat gangguan mental pada keluarga.
Kepribadian bawaan yang temperamen.
Peristiwa yang diketahui paling sering memicu PTSD meliputi:
a) Perang
b) Kecelakaan
c) Bencana alam
d) Perundungan (bullying)
e) Kekerasan fisik
f) Pelecehan seksual
g) Prosedur medis tertentu, seperti operasi
h) Penyakit yang mengancam nyawa, misalnya serangan jantung
Faktor Risiko PTSD
Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian tragis. Akan
tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada seseorang yang memiliki sejumlah faktor risiko berikut:
Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman.
Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan.
Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi.
Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung (bullying) pada masa kecil.
Memiliki pekerjaan tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di daerah perang.
Diagnosis PTSD
Dokter akan menanyakan gejala yang dialami pasien dan melakukan pemeriksaan fisik untuk
mencari tahu apakah gejala yang dialami pasien disebabkan oleh penyakit fisik. Jika penyakit
fisik tidak ditemukan, pasien akan dirujuk ke dokter spesialis kejiwaan atau psikiater.
Seseorang baru dapat dikatakan menderita PTSD bila memiliki riwayat mengalami kondisi atau
pristiwa berikut sebelum gejala muncul:
1. Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
2. Menyaksikan peristiwa traumatis yang menimpa orang lain.
3. Mendengar bahwa orang terdekat mengalami peristiwa traumatis.
4. Berulang kali terbayang pada kejadian traumatis secara tidak sengaja.
Untuk dikategorikan sebagai PTSD, gejala yang dialami pasca peristiwa traumatis harus
berlangsung selama satu bulan atau lebih. Gejala juga harus mengganggu aktivitas sehari-hari,
terutama dalam hubungan sosial dan pekerjaan.
1.Pengobatan PTSD
Pengobatan PTSD bertujuan untuk meredakan respons emosi pasien dan mengajarkan pasien
cara mengendalikan diri dengan baik ketika teringat pada kejadian traumatis. Metode pengobatan
yang dilakukan meliputi:
2.Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Jika gejala yang dialami pasien
tergolong parah, dokter akan menggabungkan psikoterapi dan obat-obatan.
Psikoterapi dapat dilakukan secara individual atau berkelompok dengan pasien PTSD lain. Ada
beberapa jenis psikoterapi yang biasanya digunakan untuk mengatasi PTSD, yaitu:
3.Terapi perilaku kognitif, untuk mengenali dan mengubah pola pikir pasien yang negatif
menjadi positif.
Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan ingatan yang memicu trauma
secara efektif.
Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu kombinasi terapi eksposur dan
teknik gerakan mata untuk mengubah respons pasien saat teringat kejadian traumatis.
4.Obat-obatan
Dokter akan memberikan obat-obatan untuk mengatasi gejala PTSD. Obat yang diberikan
tergantung pada gejala yang dialami pasien, antara lain:
Antidepresan, untuk mengatasi depresi, seperti sertraline dan paroxetine.
Anticemas, untuk mengatasi kecemasan.
Prazosin, untuk mencegah mimpi buruk.
Dokter akan meningkatkan dosis obat bila tidak efektif dalam mengatasi gejala. Namun, jika
terbukti efektif, obat-obatan akan terus diberikan setidaknya sampai 1 tahun. Kemudian,
pengobatan akan dihentikan secara bertahap.
Komplikasi PTSD
PTSD bisa mengganggu kehidupan penderitanya, baik di lingkup keluarga atau pekerjaan. Selain
itu, penderita PTSD juga berisiko menderita gangguan mental lain, seperti:
1. Depresi
2. Gangguan makan
3. Gangguan kecemasan
4. Ketergantungan alkohol
5. Penyalahgunaan NAPZA
Penderita PTSD juga lebih berkemungkinan memiliki keinginan untuk melukai diri sendiri
bahkan bunuh diri.
Pencegahan PTSD
PTSD tidak bisa dicegah, tapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan bila Anda mengalami
kejadian traumatis, misalnya:
Bicara kepada keluarga, teman, atau terapis mengenai kejadian traumatis yang Anda alami.
Coba untuk fokus pada hal yang positif, termasuk ketika mengalami peristiwa traumatis. Sebagai
contoh, merasa bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang dialami.
TUGAS RESUME MBL
“Konseling Pada Korban Bencana Dan
DISUSUN OLEH :
Desmita Putri Ani
(P05120218059)
KELAS :
3B/DIII Keperawatan
2020/2021
Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa dalam
proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan penekanan kepada
coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya
memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan
peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress. Dengan mengutip pendapat
Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985) dijelaskan lebih lanjut bahwa tiga
peranreligidalamcopingprocessyaitu(a)menawarkanmaknakehidupan,(b) memberikan
sense of control terbesar dalam mengatasi situasi, dan (c) membangun self esteem.
Adapun dua sumber coping yang biasa dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa
dan berserah diri pada Tuhan).
5. Kelompok II
Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan.
Proses berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu
membuat rencana dengan cara yang masuk akal. Tingkah
lakunya menyerupai robot, dan memperlihatkan simptom- simptom fisik dan
psikologikal yang nyata, khususnya berupa anxiety yang tinggi. Korban yang
termasuk ke dalam kategori ini sekitar75%.
6. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak
sesuai, beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness)
dan membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.
LANJUT III
Disusun Oleh:
NIM : P05120218080
F. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
5. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
6. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
7. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
1. Play therapy
2. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
3. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
H. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
I. Gejala GSPT
a. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
5. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
6. Kelompok II
7. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
L.Dampak GSPT
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
M. Pengobatan GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
2. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
A. Peran Konselor
B. Fungsi Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang
paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan
perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu, konselor juga bertindak sebagai
penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan
mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila
dikatakan bahwa konselor adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien.
Dalam melakukan proses konseling , seorang konselor harus dapat menerima kondisi
klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses
konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai pihak yang membantu, menempatkannya
pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan baik permasalahan yang dihadapi
klien.
Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang digunakan
memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini tergantung dari konsep pendiri
teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada konselor yang menggunakan
pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien. Hal tersebut tidak
berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis di mana peran konselor
bersifat holistis.
Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting kepribadian konselor. Sikap
sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya secara langsung.
Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam perbuatan. Fungsi
keterampilan bagi konselor adalah upaya memancarkan sikap-sikap yang dimilikinya
terhadap para klien disamping penunjukan kredibilitas lain seperti penampilan kompetensi
intelektual dan aspek-aspek non intelektif lainnya.
Selanjutnya, berikut ini diuraikan secara luas karakteristik seorang konselor yang efektif,
peran dan fungsi konselor, masalah yang dihadapi konselor dan resistensi konselor.
1. Karakteristik konselor
Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum marilah kita lihat
beberapa karakteristik konselor efektif yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Karakteristik inilah yang wajib dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai
keberhasilannya dalam proses konseling. Kita awali dari pandangan Carl Rogers
sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (dikutip dari lesmana, 2005)
menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang konselor,
yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.
a. Congruence
Menurut pandangan Rogers, seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen.
Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami
dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi.
Konselor harus sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi
kekurangan yang ada pada dirinya.
b. Unconditional positive regard
Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan
yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani
kehidupannya dengan membawa segala nilai-nilai dan kebutuhan yang
dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi untuk
mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah, konselor harus
memberikan kepercayaan kepad klien untuk mengembangkan diri mereka.
c. Empathy
Empathy di sini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor
harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut
didalam nilai-nilai klien.
Selain tiga karakteristik yang dikemukakan Rogers tersebut, seorang konselor
yang berperan sebagai "pembantu" bagi klien harus memiliki karakteristik yang
positif untuk menjamin keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam
hal ini, Latipun (2001) membaginya dalam dua aspek utama, yaitu:
1) Keahlian dan ketrampilan
Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan
menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan
ketrampilan wajib dipenuhi oleh konselor yang efektif.
2) Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses
konseling. Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor.
Comb A (dikutip dari latipun 2001) mengungkapkan bahwa kepribadian
konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata bagi konselor, akan
tetapi dapat dijadikan dengan instrumen dalam meningkatkan kemampuan
dalam membantu kliennya.
C. Tindakan Konselor
Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi
tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Konselor berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan mengembangkan isu atau
masalah, dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan
semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi
masalah.
Menurut (Judith A. Lewis., at al., 2010: 91) ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi
tekanan lingkungan yang lebih berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya,
mereka memerlukan bantuan yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang
dipaksa untuk mengatasi berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana
alam yang menimpanya. Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami
tekanan/stress yang berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun,
seseorang mungkin akan merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk
meminta tolong kepada anggota yang bisa membantu. Ketika seseorang konselor bertekad
untuk terjun ke lapangan dan memberikan layanan konseling komunitas kepada korban
bencana alam, pasti banyak sekali hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana
alam yang terjadi pada masyarakat luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir,
tanah longsor dan gunung meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang
kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal
dunia karena terkena musibah tersebut. Menurut Judith A. Lewis., at al. (2010: 92) menggali
potensi individu atau kelompok masyarakat yang mungkin memerlukan layanan konseling
komunitas untuk mengintervensi kemampuan mereka yang dapat diimplementasikan melalui
aksi masyarakat menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat yang dibantu dengan
layanan konseling komunitas.
Kelebihan layanan konseling komunitas pada individu dan masyarakat ini mencakup
tekanan, pemberdayaan, konteks masyarakat, memberikan jalan ke masa depan. Sebuah
pendapat tentang strategi untuk mengahadi situasi yang darurat, (Solomon, 2003)
menunjukkan "meskipun profesional yang bekerja di arena kesehatan mental jarang dilatih
atau dipersiapkan untuk bekerja di tingkat masyarakat yang lebih luas, skala keadaan darurat
ini mungkin perlu menggunakan intervensi bagi mereka yang dapat diimplementasikan
melalui aksi masyarakat menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat yang dibantu
dengan pemberian layanan konseling komunitas oleh konselor.
Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor adalah
Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan pemberi
bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan layanan
berdasarkan prinsip umum berikut:
1) Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai daya
lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian dari pada
ketergantungan.
2) Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
3) Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah atau
mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan treatment.
4) Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang mendukung
pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
5) Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
6) Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada masyarakat
dan budaya yang ada disana.
7) Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
8) Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
9) Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat dalam
praktik yang efektif.
PENDAHULUAN
Kejadian luar biasa dalam kehidupaan dapat dialami oleh seseorang mulai sejak dalam
kandungan sampai akhir hayatnya. Peristiwa dalam hidup dapat disebabkan alam dan peristiwa
atau permasalahan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Semakin berat peristiwa yang dialami
oleh seseorang, semakin besar peluang orang tersebut mengalami gangguan stres pasca trauma
atau sering dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders (PTSD).
Gangguan stres pasca trauma atau sering dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders
(PTSD) merupakan hal yang sering terjadi apabila seseorang yang mengalami atau menyaksikan
kejadian mengerikan seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang, atau kematian
seseorang yang dicintai akan mengalami trauma. Beberapa orang ada yang sembuh dan kembali
beraktivitas normal, namun ada yang mengalami trauma berkelanjutan hingga mengembangkan
gangguan stres pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD).
Gangguan Stress Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) adalah reaksi
maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Pengalaman traumatis ini
merupakan pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa
seseorang, seperti peperangan, korban perkosaan, korban kecelakaan hebat dan orang-orang yang
telah menjadi saksi dari hancurnya rumah-rumah dan lingkungan hidup mereka oleh bencana
alam, atau oleh bencana teknologis seperti tabrakan kereta api atau kecelakaan pesawat, dsb.
Gangguan Stress Pasca Trauma ini kemungkinan berlangsung berbulan-bulan, bertahun-
tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun
setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis. Individu akan didiagnosa mengalami
PTSD bila setelah periode yang cukup panjang, ia tak mampu kembali ke fungsinya yang
semula, dan terus dicekam oleh pengalaman-pengalaman mengganggu. Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma sangat penting untuk kita ketahui, PTSD
dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik, tidak pandang usia dan
jenis kelamin.
PEMBAHASAN
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah
seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
Gangguan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD) dimasukkan sebagai
diagnostic dalam DSM-III, mencakup respons ekstrem terhadap suatu stressor yang berat,
termasuk meningkatnya kecemasan, penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan trauma,
dan tumpulnya respon emosional. Walaupun selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa
stress perang dapat menimbulkan efek negatif yang sangat kuat pada para tentara, namun
berakhirnya perang Vietnam lah yang mendorong diterimanya diagnostic baru tersebut.
Seperti halnya gangguan lain dalam DSM, PTSD ditentukan oleh sekelompok simtom.
Namun, tidak seperti definisi gangguan psikologi lain, definisi PTSD mencakup bagian dari
asumsi etiologinya yaitu, suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau
disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau
cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut
harus menciptakan ketakutan ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya.
Gangguan stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) adalah reaksi
maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Gangguan stress akut
(acute stress disorder/ASD) adalah factor resiko mayor untuk PTSD, karena banyak orang
dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD. Gangguan stress akut (acute stress
disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptive yang terjadi pada bulan pertama pada
pengalaman traumatis. Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-
bulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah
beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis.
Terdapat perbedaan antara gangguan stress pasca trauma dengan gangguan stress akut, suatu
diagnostic yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir semua orang yang mengalami
trauma akan mengalami stress, kadangkala hingga tingkat yang sangat berat. Hal itu normal.
Jika stressor menyebabkan kerusakan signifikan dalam keberfungsian social dan pekerjaan
selama kurang dari satu bulan, diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stress akut.
Jumlah orang yang mengalami jumlah stress akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang
mereka alami.
Dalam peristiwa pemerkosaan, angka penderitanya sangat tinggi –lebih dari 90%. Trauma
yang tidak seberat itu, seperti berada ditengah penembakan massal atau mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor, angka penderitanya jauh lebih rendah, contohnya 13% pada
korban kecelakaan kendaraan bermotor. Walaupun beberapa orang dapat mengatasi
gangguan stress akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderita PTSD.
Dengan demikian, PTDS dapat dipertimbangkan sebagai reaksi negatif terberat terhadap
stress.
Stressor atau faktor primer yang menyebabkan timbulnya Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) dapat berupa bencana alam seperti banjir, gunung meletus, tsunami dan lainnya, ada
pula yang berasal dari ulah manusia misalnya perang, kebakaran, kekerasan fisik ataupun
kekerasan seksual.1 Timbulnya PTSD tidak hanya disebabkan oleh adanya stressor, ada
beberapa faktor yang terjadi sebelum dan sesudah trauma berperan dalam munculnya
gangguan ini.
Disusun Oleh
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN
2020/2021
A. Konseling pada korban bencana
a) Peran Konselor
Sebagai konselor yang professional dalam melaksanakan tugasnya di
sekolah dan di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan
bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan
berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi
individu untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan mamahami,
menerima, mengarahkan, mengambil keputusan, dan merealisasikan
Masyarakat yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban
bencana alam yang bermasalah dengan keadaan psikologis serta tingkatan sosial
yang memacu untuk menjadikan ia semakin terpinggirkan. Pemberian layanan
konseling komunitas sangat tepat bagi korban bencana alam yang akan membantu
serta mengarahkan individu dan kelompok masyarakat yang terkena bencana alam
untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara fisik dan psikologis menuju
kesejahteraan yang ingin di capai.
b) Fungsi Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling.
Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas,
konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien.
Selain itu, konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang
mendampingi 5 klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah
yang dihadapinya (Lesmana, 2005).
Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor adalah tenaga
profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam melakukan proses konseling ,
seorang konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus
dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung.
Posisi konselor sebagai pihak yang membantu, menempatkannya pada posisi yang
benar-benar dapat memahami dengan baik permasalahan yang dihadapi klien.
Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang digunakan
memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda.
Fungsi keterampilan bagi konselor adalah upaya memancarkan sikap-
sikap yang dimilikinya terhadap para klien disamping penunjukan kredibilitas lain
seperti penampilan kompetensi intelektual dan aspek-aspek non intelektif lainnya.
karakteristik seorang konselor yang efektif
Disusun Oleh:
NIM : P05120218053
K. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
9. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
10. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
11. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
d. Play therapy
e. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
f. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
O. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
P. Gejala GSPT
b. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
8. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
9. Kelompok II
10.Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
S. Dampak GSPT
T.Pengobatan GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
3. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
Disusun Oleh :
NIM : P05120218065
Kelas : 3B D3 Keperawatan
Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang
menimpa manusia, kecelakaan, atau perang (Nevid, 2005). Dengan demikian PTSD dapat
meliputi kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa mencekam, mengerikan dan
mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual
abuse, atau perang. Secara umum gejala-gejala yang sering dialami korban PTSD adalah
sebagai berikut:
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, ada flashback (merasa seolah-
olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk
tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan pengalaman traumatic atau mati
rasa dalam responsivitas. Seseorang yang mengalami trauma menghindari untuk
berpikir tentang trauma atau tentang stimulus yang mengingatkan pada kejadian
tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa
keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif.
3. Ketegangan yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur atau
mempertahankan tidur, mudah marah atau tidak dapat mengendalikan marah, sulit
berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon kejut yang berlebihan atas
segala sesuatu (Nevid, 2005)
B. Kriteria PTDS
Efek dari stres dapat menimbulkan gangguan penyesuaian yang menyangkut
reaksi maladaptif terhadap stres. Pada gangguan penyesuaian, individu mempunyai
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan stresor dalam hidup, seperti masalah
pekerjaan, perceraian, penyakit kronis, atau rasa duka cita yang mendalam setelah
mengalami kehilangan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan stres akut (acute
stress disorder/ASD). ASD adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan
pertama sesudah pengalaman traumatis. Sedangkan gangguan stres pascatrauma (post
traumatic stress disorder/PTSD) adalah reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap
suatu pengalaman traumatis. Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung
berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan mungkin baru muncul setelah beberapa tahun
setelah adanya pemaparan terhadap peristiwaperistiwa traumatis. Kedua tipe gangguan
ini terdapat pada orang-orang yang telah menjadi saksi dari hancurnya rumahrumah dan
lingkungan hidup mereka oleh bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, tornado, dan
sebagainya.
Pada ASD dan PTSD peristiwa traumatis tersebut melibatkan kematian atau
ancaman kematian atau cedera fisik yang serius, atau ancaman terhadap keselamatan diri
sendiri atau orang lain. Respon terhadap ancaman tersebut mencakup perasaan takut yang
intens, perasaan tidak berdaya, atau perasaan resa ngeri (horor). Anak-anak dengan PTSD
kemungkinan mengalami ancaman ini dengan cara lain, misalnya dengan menunjukkan
kebingungan atau agitasi. Meskipun kebanyakan orang yang mempunyai pengalaman
traumatis sampai pada taraf tertentu mengalami distres psikologis, tidak semua korban
trauma mengembangkan ASD atau PTSD.
Ciri-ciri reaksi stres ASD dan PTSD mempunyai banyak ciri dan simtom yang
sama, beberapa ciri yang sama adalah mengalami kembali peristiwa traumatis,
menghindari petunjuk atau stimuli yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut, mati
rasa dalam responsivitas secara umum atau dalam segi emosional, gangguan fungsi atau
distres emosional yang penting. Sedangkan perbedaan utama antara kedua gangguan
tersebut adalah pada ASD penekanannya ada pada disosiasi, yaitu perasaan asing
terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungannya. Individu yang mengalami gangguan
stres akut mungkin merasakan dunia ini seolaholah sebagai suatu tempat dalam mimpi
atau suatu tempat yang tidak nyata.
Dalam gangguan stres akut (ASD), individu mungkin juga tidak dapat
melaksanakan tugas-tugas yang perlu, seperti misalnya mendapatkan bantuan medis atau
bantuan hukum yang diperlukan (Nevid, 2005). Kriteria diagnostik untuk gangguan stres
akut (ASD) berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-
Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai
berikut :
1. Orang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik, dimana kedua dari ciri
berikut ini dapat ditemukan, yaitu orang yang mengalami, menyaksikan atau
dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri
sendiri atau orang lain, atau respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak
berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan.
2. Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah
mengalami kejadian yang menakutkan, maka individu akan memiliki tiga atau
lebih gejala disosiatif yang berupa perasaan subyektif kaku, tidak ada
responsivitas emosi, penurunan kesadaran sekelilingnya, derealisasi,
depersonalisasi, amnesia disosiatif (tidak mampu mengingat aspek penting dari
trauma).
3. Kejadian traumatik yang secara bertahap dialami kembali dalam sekurangnya
salah satu dari trauma yang berupa bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas
balik yang berulang-ulang atau suatu perasaan pengalaman hidup yang muncul
kembali, pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian
traumatik.
4. Penghindaraan pada stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (pikiran,
perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
5. Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (kewaspadaan
berlebihan, sulit tidur, iritabilitas, konsentrasi buruk dan kegelisahan motorik).
6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain mengganggu kemampuan
individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang
diperlukan atau menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada
anggota keluarga tentang pengalaman traumatik.
7. Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan,
medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
psikotik singkat. Sedangkan kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatrauma
(PTSD), berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-
Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah
sebagai berikut :
a. Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan
semua orang. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui
cara teringat kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu,
mimpi yang berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan
atau tindakan mendadak seolaholah peristiwa traumatik itu terjadi lagi,
tekanan jiwa yang amant sangat karena terpaku pada peristiwa yang
melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
b. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma
atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tidak ada
sebelum trauma itu). Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan
sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak
terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya
untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan
terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek
yang penting dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan
yang penting, rasa terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa
tidak mempunyai masa depan.
c. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (tidak ada sebelum adanya
trauma) dengan ditunjukkan oleh 2 (dua) dari gejala : sulit masuk fase
tidur atau mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau mudah marah,
sulit berkonsetrasi, amat siaga, reaksi kejut (kaget) yang berlebihan, reaksi
rentan faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau
menyerupai aspek dari peristiwa traumatik.
d. Jangka waktu gangguan itu (gejala pada kriteria ke-2, ke-3 dan ke-4)
sedikitnya 1 bulan. Gangguan PTSD yang dialami individu akan
berdampak pula pada kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat sebagai
berikut :
PTSD memiliki gejala yang menyebabkan gangguan, umumnya
gangguan tersebut adalah panic attack (serangan panik), perilaku
menghindar, depresi, merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak
percaya dan dikhianati, mudah marah, mengalami gangguan yang
berarti dakan kehidupan sehari-hari.
Panic attack (serangan panik), khususnya pada anak atau remaja
yang mempunyai pengalaman trau-matik dapat mengalami
serangan panik ketika dihadapkan atau menghadapi pada sesuatu
yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi
perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang
menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit
perut, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
Perilaku menghindar. Salah satu gejala PTSD adalah menghindari
halhal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam
kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi
kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami.
Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi
takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika
harus ke luar rumah.
Depresi. Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami peng-
alaman traumatik dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang
disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita
mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah,
menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang
dialaminya merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak
benar.
Memiliki pemikiran negatif. Kadangkadang orang yang sedang
mengalami depresi merasakan bahwa kehidupannya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban
kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
Merasa diri disisihkan. Penderita PTSD memerlukan dukungan
dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri
dan terpisah. Perasaan yang demikian tersebut, umumnya penderita
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan
mendapatkan per-tolongan. Penderita sulit untuk percaya bahwa
orang lain dapat memahami apa yang ia telah alami.
Merasa dirinya tidak percaya dan perasaan dikhianati. Setelah
mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain dan merasa
dikhianati atau ditipu oleh lingkungan disekitarnya, atau oleh
nasib, atau oleh Tuhan.
Perasaan marah dan mudah tersinggung. Marah dan mudah
tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma.
Marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan.
Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi
proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi
dengan orang lain.
Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa
penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait
dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu
yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin
menjadi sangat takut untuk ditinggal sendirian. Penderita mungkin
kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan
tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat
penting agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
Persepsi dan kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang
telah mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk
sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh,
misalnya percaya bahwa dirinya bisa melihat atau berkomunikasi
dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun gejala ini
menakutkan, menyerupai halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat
sementara dan dapat hilang dengan sendirinya.
C. Play Therapy Sebagai Model Intervensi Bagi Anak Korban Bencana Yang Mengalami
PTSD.
Secara umum, terdapat 2 (dua) pendekatan terapi yang dapat dilakukan bagi
penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan
dengan cara farmakoterapi, berupa terapi yang menggunakan obatobatan dan obat yang
secara medis diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh penderita. Sedangkan pendekatan
terapi yang menggunakan model psikologi atau yang dikenal dengan psikoterapi,
bertujuan untuk memperbaiki fungsi sosial penderita. Model penanganan bagi korban
yang mengalami PTSD pada anak-anak tentu berbeda dengan orang dewasa. Pada
anakanak model pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan bermain, atau yang
dikenal dengan istilah play therapy.
Terapi bermain ini berguna dalam memberikan terapi pada anak yang mengalami
PTSD. Biasanya terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat
dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasakan nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya. Pada umumnya anak-anak yang mengalami
kondisi trauma menunjukkan simptom-simptom seperti ketakutan, cemas, sedih,
menghindar dan kurang responsif terhadap beragam emosi. The Association for Play
Therapy mendefinisikan play therapy sebagai berikut : “Process where in trainer play
therapists use the therapeutic powers of play To help clients prevent or resolve
psychosocial difficulties and achieve optimal growth and development”. Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan tersebut, maka dapatlah diambil beberapa pengertian
pokok sebagai landasan dalam melaksanakan play therapy, yaitu :
1. Play therapy dibangun berdasarkan pondasi teoritik yang sistimatis. Dalam kaitan
ini, play therapy disusun dengan menggunakan kerangka teori psikologi dan
konseling, misalnya Psikoanalisa, Client Centered, Gestalt, Cognitif Behavior,
Adlerian, dan sebagainya.
2. Play therapy menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu
klien yang memerlukan bantuan. . Tujuan dari penggunaan play therapy adalah
untuk membantu klien dalam rangka mencegah dan mengatasi persoalan
psikisnya serta membantu pencapaian pertumbuhan dan perkembangan sesuai
dengan tugas perkembangannya secara optimal. Konsep dasar yang dapat
digunakan pada play therapy ini adalah mengacu pada pendangan sebagai
berikut :
Bermain adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam memahami
dunia anak-anak
Aspek perkembangan dalam kegiatan bermain merupakan cara anak dalam
menemukan dan mengekplorasi identitas diri mereka
Anak dapat melakukan eksperimen dengan berbagai pilihan imajinatif dan
terhindar dari konsekuensi seperti ketika di dunia nyata
Permainan pada situasi dan kondisi yang tepat dapat bermakna sebagai
kegiatan fisik sekaligus sebagai terapi. Axline (1947), menjelaskan bahwa
penggunaan play therapy dilakukan dengan alasan bahwa bermain adalah
media yang alami yang dapat digunakan anak untuk meng-ungkapkan
dirinya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa bermain sebagai bahasa
simbolik anak yang bersifat alami untuk menyatakan emosi dan
pengalaman-pengalaman sehari-hari, bahkan bermain adalah proses
penyembuhan diri anak. Dengan demikian bermain dapat membantu
upaya menjalin hubungan dengan anak, membangun konsentrasi anak,
meningkatkan kesehatan dan perkembangan anak. Banyak keuntungan
yang diperoleh dalam penggunaan play therapy, diantaranya:
- Membantu proses perkembangan anak, dengan interaksi verbal yang
minimal.
- Anak mendapatkan banyak kebebasan untuk memilih, mampu
meningkatkan daya fantasi dan imajinasi anak, dapat menggunakan
alat-alat sederhana, memberikan tempat yang aman bagi anak untuk
mengekspresikan perasaan, mendapatkan pemahaman dan melakukan
berbagai perubahan.
- Memudahkan konselor untuk membangun hubungan terapeutik dengan
anak, juga dapat melatih keterampilan sosial anak Menurut The
Association for Play Therapy, terdapat 14 macam keuntungan yang
diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu
a. Mengatasi resistensi.
b. Komunikasi.
c. Kompetensi.
d. Berpikir kreatif.
e. Chatarsis.
f. Abreaction.
g. Role playing.
h. Fantacy.
i. Metaphoric teaching.
j. Attachment formation.
k. Peningkatan hubungan.
l. Emosi positif.
m. Menguasai ketakutan.
n. Bermain game.
Play therapy merupakan pendekatan konseling yang menggunakan beberapa
teknik yang diintegrasikan menjadi sebuah teknik terapi yang sesuai dengan kondisi anak
yang menjadi korban bencana. Untuk klien anak-anak digunakan permainan dan game
untuk menarik anak, menjalin hubungan dan untuk menemukan petunjuk tentang diri
anak yang sebenarnya. Konselor melibatkan anak-anak dalam berbagai kegiatan yang
memungkinkan anak dapat me-ngemukakan kondisi psikologis yang dialaminya, seperti
bermain bersama, bermain peran, atau memberikan kebebasan kepada anak untuk
memainkan apa saja yang ia kehendaki. Permainan adalah alat yang sangat efektif untuk
menginterpretasikan bahasa simbolik yang disampaikan oleh anak melalui bahasa
simbolik dalam sesi permainan. Permainan dapat memberikan pengaruh pada proses
terapi melalui :
Kegiatan mental, kesadaran atau ketidaksadaran, yang didalamnya terdapat
hayalan dan harapan. Permainan juga merupakan aktifitas fisik yang dapat
diobservasi.
Permainan adalah sebuah kegiatan eksplorasi, sebuah sarana untuk
menghidupkan kemauan untuk mencoba. Konselor berperan dalam hal
menetapkan dan menjaga hubungan dengan anak, mengembangkan empati serta
pemahaman.
Merupakan proses awal, dalam rangka membangun hubungan dengan anak agar
anak mampu mengungkapkan berbagai pengalaman masa lalunya yang tidak
menyenangkan melalui pengintegrasian kemunculannya melalui bahasa simbol.
Merupakan suatu cara yang digunakan untuk dapat mengupayakan renegosiasi
hubungan anak dengan dirinya dan orang lain. Hal ini bertujuan untuk
memecahkan fiksasi, regresi, kekurangan dalam perkembangan dan
hambatanhambatan lain yang mengganggu perkembangan anak.
Microskills Play Therapy Microskills merupakan keterampilan yang mutlak
diperlukan dalam melakukan konseling. Untuk memperoleh keterampilan dasar itu,
seorang konselor perlu memiliki keterampilan tersebut. Microskills dalam konseling
anak-anak pada dasarnya sama dengan yang digunakan dalam konseling orang dewasa.
Yang membedakannya adalah bagaimana konselor mampu menerapkan keterampilan
dasar tersebut pada setting dunia anak-anak.
Konselor diharuskan mampu menyesuaikan proses konseling yang dilakukannya
dengan karakteristik anak-anak, seperti kemampuan kognisi dan emosi, keterbatasan
bahasa yang dimiliki dan sebagainya. Jika hal ini diperhatikan, maka konselor akan
mudah menjalin komunikasi dengan anak. Jika komunikasi lancar, konseling yang
dilakukan pun akan lancar, dalam pengertian tidak mengalami hambatan dan bisa
membantu anak dalam menemukan hidup seperti yang semestinya. Keterampilan
microskills yang diperlukan saat melakukan konseling pada anak-anak, terutama berpusat
pada :
1. Refleksi content dan feeling. Hal yang terpenting yang dilakukan oleh konselor
pada bagian ini adalah bagaimana ia bisa membangun komunikasi dengan anak
dalam rangka menyampaikan kesepahaman berkaitan dengan isi dan perasaan
yang ada dalam diri anak. Sedangkan untuk orang dewasa, metode ini bisa
dilakukan dengan komunikasi verbal. Tetapi, karena anak mempunyai
keterbatasan bahasa verbal untuk menyampaikan sesuatu, dan ia sering
mengungkapkan perasaannya melalui aktifitas dan bermain, maka konselor harus
bisa menggunakan sarana itu. Untuk dapat membangun komunikasi dengan anak,
konselor bisa melakukan dengan cara mengikuti apa yang dilakukan anak, yang
dikenal dengan istilah behavior tracking. Dengan behavior tracking ini, konselor
mengikuti bahkan bisa berpartisipasi dalam apa yang dilakukan anak. Dengan
cara ini konselor bisa menggali apa saja yang sedang dirasakan anak, yang dalam
kondisi normal mungkin ia akan sulit mengkomunikasikannya dengan orang
dewasa. Dasar dari content yang akan yang akan digali konselor dalam melakukan
konseling dengan anak-anak adalah emosi, yaitu bagaimana anak mampu
mengungkapkan perasaan yang ada dalam dirinya. Hanya saja anak-anak
seringkali kekurangan kosa kata untuk mampu mengungkapkan seluruh
perasaannya. Hindari bertanya atau meminta pada anak untuk mengungkapkan
perasaannya adalah sesuatu yang tidak produktif. Tapi gunakanlah cara menggali
informasi yang dibutuhkan dengan bahasa non verbal, misalnya dengan
mengkaitkan suatu aktifitas dengan sesuatu yang dilihatnya. Selain itu, konselor
harus mempunyai kesabaran dan ketelatenan yang tinggi, karena selain anak-anak
mengalami kesulitan dalam menyampaikan ungkapan secara verbal, boleh jadi
anakanak telah mendapatkan pesan atau pengajaran dari keluarganya untuk
menyembunyikan perasaannya.
2. Refleksi meaning, interpretasi dan penggunaan metafora. Ketika berkomunikasi
dengan orang dewasa, konselor bisa menggali secara tepat terhadap hal-hal apa
saja yang diungkapkan klien, konselor pun bisa meminta klien untuk mengulangi
dengan memberikan pertanyaan yang sama. Namun ketika berkomunikasi dengan
anak-anak dalam suatu proses konseling, pertanyaan yang sama bisa membuat
klien anak merasa enggan menjawab. Keterampilan menggunakan metafora
penting dilakukan bila menghadapi klien anak. Penggunaan metafora ini misalkan
dengan mengasosiasikan maksud yang hendak digali dari diri anak melalui
permainan yang menjadi kesukaannya. Manfaat metafora ini dapat membantu
konselor dalam menghadapi klien anak yang mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi. Teknik yang digunakan dalam metafora juga bermanfaat untuk
‘mem-bypass’ resistensi klien, memfasilitasi kesadaran yang berhubungan dengan
emosi, keyakinan dan memperkenalkan berbagai kemungkinan dan perspektif
baru. Ketika anak sudah mampu menyatakan tentang dirinya dengan bebas
melalui hayalan, maka konselor dapat terus mengarahkan agar ungkapan melalui
hayalan dan simbolik bisa mengarah pada kenyataan, yaitu kenyataan hidup yang
dialami anak. Langkah-langkah ini bisa digunakan untuk mengintegrasikan
dengan cerita ketika anak menggambarkan dirinya dan orang lain melalui karakter
dalam cerita tersebut, kemudian hal ini bisa dikembangkan untuk mendapatkan
pengertian yang mendalam tentang masalah yang dihadapi anak. Digunakan atau
tidaknya makna interpretasi meaning sangat ditentukan oleh orientasi teori yang
dianut oleh konselor. Dengan demikian konselor sangat dituntut untuk memiliki
pengetahuan yang mendalam yang berkaitan dengan psikologi perkembangan
anak. Dengan penguasaan yang mendalam tentang persoalan ini konselor akan
mudah memahami apa yang digambarkan anak melalui cerita hayalannya, juga
memudahkan bagi konselor dalam menanamkan pengetahuan diri anak.
Langkah-langkah Play Therapy. Disamping memperhatikan keterampilan dasar
dalam melakukan konseling dengan klien anak, perlu diperhatikan prosesnya. Proses ini
menandakan hubungan yang terjadi sepanjang kegiatan konseling berjalan yang
didalamnya mencakup upaya konselor dalam menyarankan berbagai perubahan, juga
berkaitan dengan cara konselor dalam membangun hubungan yang penuh dengan
kepercayaan dari anak. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperoleh
kepercayaan dari anak adalah melalui acticve listening dan unconditional acceptance.
Fokus yang hendak yang dicapai dalam hal ini adalah terjadinya perubahan atas tingkah
laku anak yang menyimpang, yang dapat membantu konselor dalam melihat pergerakan
dan kemajuan yang dicapai. Melalui media bermain seperti cat, tanah liat dan air, anak-
anak menyatakan dirinya secara kiasan dan simbolik. Oleh karenanya dengan mengetahui
langkahlangkah dan tema dalam konseling anak, dapat membantu konselor dalam proses
konseling yang dilakukannya. Langkah-langkah yang perlu diketahui dan dilaksanakan
dalam kegiatan ini meliputi :
1. Mengenal langkah-langkah konseling anak. Hal pokok yang harus disadari oleh
para konselor, yaitu setting, struktur sesi atau pertemuan yang disesuaikan dengan
dunia anak-anak. Terdapat 3 (tiga) fase yang perlu diperhatikan ketika konselor
akan berinteraksi dengan anak-anak, yaitu:
a. Langkah awal.
Dalam tahap awal ini, kegiatan utamanya adalah bagaimana membangun
hubungan anak-konselor. Konselor harus mampu membangun hubungan
yang hangat, yang didalamnya ada kepercayaan anak terhadap konselor.
Untuk mencapai tujuan tersebut, konselor harus berusaha masuk secara
total pada dunia anak, sehingga anak betul-betul merasa aman dan
menganggapnya sebagai sahabat. Langkah ini bisa dilakukan oleh
konselor dengan menyediakan berbagai permainan yang digemari anak.
Melalui fasilitas permainan ini konselor bisa mengajar anak-anak ber-main
dengan tujuan agar anak merasa aman. Ketika anak sudah merasa aman,
konselor bisa menyiapkan berbagai perangkat konseling dalam menggali
berbagai gejala dan informasi yang ia butuhkan, yang ditunjukkan anak
melalui berbagai aktifitas komunikasi dan interaksi termasuk didalamnya
aktifitas bermain mereka.
b. Langkah pertengahan.
Langkah pertengahan dimulai ketika anak sudah asyik dengan permainan
dan perhatian mereka. Konselor dapat memfasilitasi kegiatan ini dengan
menyediakan berbagai sarana bermain agar anak dapat mengekspresikan
berbagai perasaan baik sesuatu yang pernah dialaminya di masa lampau
atau keinginan yang ia harapkan pada masa yang akan datang. Pada
kondisi ini konselor bisa melibatkan diri pada aktifitas yang sedang
dilakukan anak, misalnya anak yang sedang menggambar, konselor bisa
melakukan eksplorasi berbagai informasi yang dibutuhkan melalui upaya
terlibat langsung dengan aktifitas yang sedang dilakukan anak. Melalui
menggambar anak akan mengekspresikan suasana emosinya. Konselor
bisa juga menggunakan cerita dengan karakter pelaku cerita orang-orang
yang ada dalam kehidupan anak, dengan permasalahan yang serupa
dengan apa yang dialami anak. Melalui teknik ini, konselor dapat
membantu anak untuk mengembangkan kreatifitasnya secara lebih luas,
seperti kemampuan bahasa, seni, gerak, drama dan dapat mengembangkan
kemampuan emosi anak dalam menjalin hubungan dengan alam
sekitarnya.
c. Langkah akhir.
Pada tahap ini konselor dapat mengakhiri proses konseling bila pada diri
anak telah menunjukkan kemajuan dalam berbagai bentuk perilaku positif.
Bila anak telah mampu menunjukkan kebutuhan minimalnya, secara
simbolik mampu mengekspresikan emosinya dan secara lisan mampu
mendiskusikan berbagai isu. Konseling dapat dihentikan bila anak telah
mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam seni, mampu bermain peran,
melakukan permainan yang melibatkan kerjasama dengan teman
sebayanya, atau menampilkan perubahan perilaku yang positif lainnya.
Gejala fisik meliputi jantung berdebar, berkeringat, gemetar, sesak napas, sakit
dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan terasa panas, mati rasa. Beberapa
perilaku yang sering diperlihatkan oleh anak atau remaja yang mengalami trauma,
diantaranya :
a. Perilaku menghindar. Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang
dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang
penderita mengkaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan
trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi saat trauma yang
dialaminya. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut
untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
b. Depresi. Banyak penderita mengalami depresi setelah mengalami pengalaman
trauma dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum
peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan
bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang dialaminya
merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidaklah benar.
c. Kecenderungan ingin bunuh diri. Kadang-kadang orang yang depresi berat
merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga. Hasil penelitian yang
dilakukan para ahli, ditemukan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai pikiran
untuk bunuh diri.
d. Merasa disisihkan dan sendiri. Penderita PTSD memerlukan dukungan dari
lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah.
Perasaan yang bersifat negatif ini membuat mereka mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita sulit
untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah ia alami.
e. Merasa tidak percaya dan dikhianati. Setelah mengalami pengalaman yang
menyedihkan, penderita mungkin akan kehilangan kepercayaan terhadap orang
lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau Tuhan.
f. Marah dan mudah tersinggung. Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi
yang umum diantara penderita trauma. Bagaimanapun kemarahan yang
berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat
penderita untuk berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
g. Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Penderita PTSD
mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan
penyesuaian di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang
korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian.
Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan
melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan dan perawatan pada penderita sangat
penting agar permasalahannya tidak berkembang lebih lanjut.
h. Persepsi dan kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang telah
mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk sementara waktu
mengembangkan ide atau persepsi yang aneh, misalnya ia mempercayai bahwa
ia bisa melakukan komunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal.
Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi atau hayalan, gejala ini
bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”
Disusun oleh:
Ramdhan
P05120218076
Kelas: 3B DIII Keperawatan
C. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
D. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
2. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
15) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
16) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
17) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
18) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
19) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
20) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
21) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
22) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
23) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
24) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
25) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
26) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
27) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
28) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
3. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
4. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).
Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”
Disusun oleh:
Valerian Haidar
P05120218082
Kelas: 3B DIII Keperawatan
E. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
F. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
3. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
29) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
30) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
31) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
32) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
33) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
34) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
35) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
36) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
37) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
38) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
39) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
40) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
41) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
42) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
5. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
6. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).
Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”
Disusun oleh:
Welda Anjelina
P05120218086
Kelas: 3B DIII Keperawatan
G. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
H. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
4. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
43) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
44) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
45) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
46) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
47) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
48) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
49) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
50) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
51) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
52) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
53) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
54) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
55) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
56) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
7. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
8. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).
Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”
Disusun oleh:
Ade Setiawan
P05120218045
Kelas: 3B DIII Keperawatan
I. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
J. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
5. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
57) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
58) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
59) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
60) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
61) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
62) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
63) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
64) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
65) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
66) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
67) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
68) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
69) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
70) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
9. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
10. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).
Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Manajemen Bencana Lanjut III
Disusun Oleh :
Dina Anggraini
(P05120218061)
Dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari
kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis,
danberkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasiindividu
untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan mamahami,menerima, mengarahkan,
mengambil keputusan, dan merealisasikan diri secarabertanggung jawab sehingga mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan dalamhidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014
Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah). Kegiatan
bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena untuk melakukan
kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan sebagai konselor atau ahli dalam
bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik secara khusus untuk memperoleh kompetensi
sebagai konselor,yaitu meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta
pengalaman dalam bidang bimbingan dan konseling.
Prayitno dan Amti (2004: 110) menjelaskan terapi dalam konsepsi perkembangan
bimbingan dan konseling tidak ada gunanya membedakan tugas dan ruang lingkup kerja
bimbingan dan konseling di sisi lain. Mengingat perkembangan bimbingan dan konseling yang
belum cukup mantap maka istilah bimbingan dan konseling masih dipertahankan, namun dari
segi pelayanan hendaknya menekankan porsi yang lebih besar pada konseling. Layanan
konseling komunitas sangat memperhatikan keadaan individu dan kelompok dalam setiap
pelaksanaan dan tujuan akhirnya. Konseling komunitas didirikan pada tahun 1995 di North
Yorkshire dan menyediakan berbagai layanan terhadap pendidikan orang dewasa dan masyarakat
pada umumnya. Konseling komunitas memberikan bantuan untuk individu atau kelompok
masyarakat yang membutuhkan dan berkelanjutan demi terlaksana kepastian layanan yang
memberikan dukungan dan perubahan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Masyarakat
yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban bencana alam yang bermasalah
dengan keadaan psikologis serta tingkatan social yang memacu untuk menjadikan ia semakin
terpinggirkan.
Pemberian layanan konseling komunitas sangat tepat bagi korban bencana alam yang
akan membantu serta mengarahkan individu dan kelompok masyarakat yang terkena bencana
alam untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara fisik dan psikologis menuju
kesejahteraan yang ingin di capai.
B. Fungsi Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang
paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan perannya
bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu,konselor juga bertindak sebagai penasihat,
guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah
yang dihadapinya(Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor
adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam melakukan proses konseling ,
seorang konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus dapat
menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai
pihak yang membantu, menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan
baik permasalahan yang dihadapi klien. Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik
konseling yang digunakan memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini
tergantung dari konsep pendiri teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada konselor
yang menggunakan pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien.
Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis di mana
peran konselor bersifat holistis. Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting
kepribadian konselor. Sikap sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat
bentuknya secara langsung. Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam
perbuatan.
1. Karakteristik konselor
Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum marilah kita lihat beberapa
karakteristik konselor efektif yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Karakteristik inilah yang
wajib dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai keberhasilannya dalam proses konseling.
Kita awali dari pandangan Carl Rogers sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (dikutip
dari lesmana, 2005) menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang
konselor, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.
a. Congruence
Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan yang
tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani kehidupannya dengan membawa
segala nilai-nilai dan kebutuhan yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia
memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah,
konselor harus memberikan kepercayaan kepad klien untuk mengembangkan diri mereka.
c. Empathy
Empathy di sini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor harus dapat
menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut didalam nilai-nilai klien.
Selain tiga karakteristik yang dikemukakan Rogers tersebut, seorang konselor yang berperan
sebagai "pembantu" bagi klien harus memiliki karakteristik yang positif untuk menjamin
keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam hal ini, Latipun (2001) membaginya
dalam dua aspek utama, yaitu:
Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan
menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan ketrampilan wajib dipenuhi
oleh konselor yang efektif.
2) Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses konseling.
Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor. Comb A (dikutip dari latipun
2001) mengungkapkan bahwa kepribadian konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata
bagi konselor, akan tetapi dapat dijadikan dengan instrumen dalam meningkatkan kemampuan
dalam membantu kliennya.
C. Tindakan Konselor
Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut
yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi
akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Konselor berusaha menjajaki atau menaksir
kemungkinan mengembangkan isu atau masalah, dan merancang bantuan yang mungkin
dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai
alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.
Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di samping kode etik
sebagai regulasi perilaku profesi dan kredensi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem
pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat perilaku efektif
yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan
perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai
tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya
melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat (lifelong learning
process). Kompetensi profesi konselor merupakan keterpaduan kemampuan personal, keilmuan
dan teknologi, serta sosial yang secara menyeluruh membentuk kemampuan standar profesi
konselor.
Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor adalah
Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan pemberi bantuan
dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan layanan berdasarkan
prinsip umum berikut:
sebagai daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong
kemandirian dari pada ketergantungan.
2. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
3. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah atau
mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/memberikan treatment.
4. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang mendukung
pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
5. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
6. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada masyarakat
dan budaya yang ada disana.
7. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
8. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten. Terutama
tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat dalam praktik yang
efektif.
G. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana
Alam
DAFTAR PUSTAKA
Drummond, Robert J. 2000. Appraisal procedurs For Counselor and Helping Professionals
Fourth Edition. Merril an Imprint of Prentice Hall Upper Saddle River, New Jersey,
Columbus, Ohio.
Judith A. Lewis., Michael D. Lewis., Judy A. Daniels., at al. 2010. Community Counseling: A
Multicultural-Social Justice Perspective. Belmont, USA: BROOKS/COLE Cengage
Learning.
Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah. Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar- Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti, yaitu
reexperiencing,penghindaran, danhyperarousal, yangbertahan selama lebih dari 1 bulan. Selama
perawatan psikologis, atau dalamkinerjaaktivitas sehari-hari, gejala inti dapat menyebabkan
kecemasan berlebihan, yang dapat menimbulkan hambatan dalam mengekspresikan emosi
perasaan, keyakinan, dan reaksiyang tidak bisa dilakukan secara signifikan. Selain ituPTSD
ditandai dengan sekelompok gejala yang mencakup pikiran yang terus menerus terganggu,
penghindaran, dan hyperarousal. Tanda-tanda ini dapat ditunjukan melalui perilaku seperti
impulsif, agresi, atau bahkan depresi (American Psychiatric Association [APA], 2000; Davis,
Inggris, Ambrose, & Petty, 2001 dalam Levers, 2012 ). Klasifikasi umum jenis trauma psikologis
atau fisik yang dapat menginduksi PTSD mencakup penyalahgunaan (mental, fisik, seksual, atau
lisan), bencana (kecelakaan, bencana alam, atau terorisme), serangan kekerasan (kekerasan,
perkosaan, atau baterai), dan eksposur (obyek yang rentan terhadap resiko).Traumatis dan distres
jangka pendek kebnayakan terjadi pada anak-anak dan remaja. Ketahanan dalam menghadapi
traumatic tersebut biasanya menghasilkan penurunan baik secara psikologis maupun gangguan
perkembangan yang normal ( APA, 2008 dalam Journal InternasionalAngie J. Smith September
26, 2014). Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa Pasien yang terus mengembangkan PTSD
(gangguan stres pasca trauma) setelah terpapar stresdan peristiwatraumatikmenunjukkan tanda-
tanda khas dari gangguan tersebut, yang meliputi reexperiencing (gejala mengalami kembali
peristiwa yangmenyebabkantrauma),menghindar dari lingkungan, danhyperarousal (teragitasi).
Selanjutnya, gejala inidiungkapkan dalam hubungannya dengan perasaan takut dan tidak
berdaya. Seperti halnya yang dikemukakan dalam Jurnal Internasional Khusus Pendidikan,
Vivian ( Vol 28, No; 1, 2013) mengukur bahwa Skala yang diukur dua dimensi dari PTSD:
intrusi terkait trauma dan menghindari seperti kesulitan tidur, merasa seolah-olah itu tidak terjadi
atau tidak nyata, mencoba untuk tidak berbicara tentang hal itu, merasa mudah tersinggung dan
marah. Timbulnya gangguan ini juga ditandai dengantigasubtipe yang berbeda dari PTSD, yaitu:
akut, kronis, dan onset/gejalayangtertunda. Subtipe PTSD akut memiliki onset/tanda-tanda atau
gejala suatu penyakit yang sangat cepat setelah gejala tersebut, dengan gejala yang berlangsung
kurang dari 3 bulan. Gejala PTSD kronis dapat berlangsung 3 bulan atau lebih. Akhirnya, gejala
pasien tertunda mungkin mulai mengalami gejala PTSD 6 bulan atau paparan berikut lebih lama
untuk peristiwa traumatis (APA, 2000dalam Levers, 2012). Diakui bahwa peristiwa traumatis
dapat menyebabkan reaksi psikologis yang signifikan (Nutt,2009).
1. Respon tangguh di mana tidak ada gejala psikologis yang hadir tak lama setelah
kejadian atau kemudian,
2. Respon tertunda di mana gejala psikologis secara bertahap berkembang dari
waktu ke waktu, respon berkepanjangan di mana gejala psikologis nyata segera
dan tidak berkurang dari waktu ke waktu respon pemulihan di mana individu
pengalaman gejala psikologis awalnya yang kemudian secara bertahap
mengurangi dari waktu ke waktu.
Levers (2012) mengatakan bahwa pasien yang mengalami hubungan yang kasar, korban
kekerasan fisik atau mental, hidup yang penuh serangan kekerasan atau overtures, menyaksikan
tindakan kekerasan atau peristiwa traumatis, atau berada pada situasi kekerasan atau
mengganggu tidak selalu menyebabkan seseorang untuk mengembangkan PTSD. Pengalaman
menyaksikan dan mengalami KDRT adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan
dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa
aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta
kemarahan. Pengalaman traumatis anak menyaksikan dan mengalami KDRT sering ditemukan
sebagai prediktor munculnya problem psikologis di masa depan, seperti: penelantaran dan
pelecehan secara fisik dan psikologis pada anak. problem perilaku eksternalinternal, serta
berbagai perilaku beresiko seperti merokok, penyalahgunaan zat dan perilaku seks beresiko.
B. Penyebab
Dari berbagai penyebab terjadinya gejala atau gangguan stress pasca traumatis yang
dialami oleh beberapa anak dan remaja maka perlu adanya intervensi yang diberikan oleh
konselor serta dukungan dari orang terdekat yaitu orang tua untuk membantu proses
penyembuhan anak atau remaja yang mengalami PTSD. Tergantung dari tingkat PTSD yang
diderita ( kronis, akut, parah dan ringan). Orang yang didiagnosis dengan PTSD ringan mungkin
tidak perlu obat dalam proses psikoterapi. Namun pasien dengan diagnosa PTSD ringan kronis,
PTSD akut, dan PTSD kronis yang parahakandiberikanmodalitas pengobatan ganda yang
kombinasikan oleh farmakoterapi dan psikoterapi. Oleh karena itu, pilihan apakah iya atau tidak
untuk menggunakan obat didasarkan pada keparahan dan durasi gejala. Remaja yang mengalami
PTSD, menghadapi kesulitan dalam sosial, akademik, kognitif dan emosional, dan penderita
PTSD yang tidak bisa dtitangani dengan cepat adalah berada pada meningkatnya resiko bunuh
diri, bahkan upaya untuk bunuh diri. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut
memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap
masalah dan tekanan yang menimpa mereka terutama pada anak-anak atau remaja. Konsep untuk
memecahkan permasalahan ini disebut dengancoping.
Kata coping sendiri berasal dari katacopeyang dapat diartikan sebagai menghadapi,
melawan ataupun mengatasi, walaupun demikian belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang
tepat untuk mewakili istilah ini. Pengertian coping hampir sama dengan penyesuaian
(adjustment). Perbedaannya, penyesuaian mengandung pengertian yang lebih luas jika
dibandingkan dengan coping, yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari
lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada
bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan (Rustiana, 2003 dalam Jurnal Ilmiah
Berskala Psikologi, Vol 11 No 1, 2012 ). Menurut Qun G. Jiao, (Volume 16 Nomor 2, 2013)
penelitian yang dilakukan adalah dengan penelitian yang telah berfokus pada bereksperimen dan
menilai praktik pembelajaran yang efektif yang dipercaya untuk membantu mengurangi
kecemasan dan perasaan negatif yang terkait dengan kursus metodologi penelitian.
Menurut Taylor (dalam Jurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol. 11; No 1, 2012) terdapat
empat tujuancoping, yaitu:
2. Mempertahankanselfimageyang positif,
C. Strategi
Strategi coping untuk mengatasi emosi negatif yang menyertainya (Emotion Focused
Coping). Strategi ini untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber
stres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung.
Bentuk strategi coping ini adalah:
Manfaat dari strategi coping adalah pada intinya agar seseorang tetap dapat melanjutkan
kehidupan selanjutnya walaupun memiliki masalah, yaitu untuk mempertahankan keseimbangan
emosi, mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau
menyesuaikan diri terhadapkajian negatif dan tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan
dengan orang lain (Firdaus, 2004 dalam Jurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol 11 No 1,
2012 ).Coping merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi memecahkan, mengurangi dan
menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hapsari, dkk, 2002, dalam Jurnal Ilmiah Berskala
Psikologi, Vol 11 No 1, 2012). Perilaku coping juga diartikan sebagai tingkah laku dimana
individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan tugas
atau masalah. Jika individu dapat menggunakan perilaku copingnya dengan baik maka ia dapat
melakukan penyesuaian sosial dengan baik pula. Terutama strategi yang diterapkan pada anak
dan remaja yang mengalami pasca traumatic denga tujuan agar mereka dapat menyesuaikan
dengan lingkungannya serta dapat menjalani kehidupan layaknya anak dan remaja lain yang
sehat dan normal.
Menurut Levers (2012) apabila klien atau pasien yang datang dengan efek samping tak
tertahankan, seperti memburuknya kecemasan, mual, sakit kepala, pusing, atau tidak
terkendalinya aspek psikomotorik perlu dirujuk ke dokter untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Oleh karena itu, aksesibilitas konselor harus ditambah dengan membangun terapi aliansi,
memberikan fasilitas "rumah kliring" yang sempurna untuk perbaikan gejala psikologis, sambil
menghindari efek samping atau efek samping obat yang mungkin menyebabkan pasien menjadi
individu atau kelompok kecanduan pengobatan bagi penderita PTSD berat atau kronis. Hal ini
bukan berarti bahwa konselor bertanggung jawab untuk semua aspek klinis perawatan. Tetapi
konselor memberikan intervensi kepada klien penderita PTSD dengan menggunakan strategi
coping yang diberikan kepada penderita PTSD.
Maka dari itu, Profesional kesehatan perlu menyadari munculnya gejala psikologis dari kondisi
krisis dan gangguan pasca trauma, sehingga mereka dapat melakukan perujukan pasien
kepada tim perawatan yang lebih spesifik secara tepat. Perawatan terpadu antara ranah
kesehatan dan profesional kesehatan mental mencakup segala aspek, sehingga semua
aspek perawatan pasien dapat dikelola dengan baik. Dalam hal ini konselor menerapkan
strategi coping yang digunakan pada anak dan remaja dalam mengelola gangguan
emosi, gangguan stres serta kecemasan yang mereka alami agar supaya mereka dapat
menangani atau mengelola emosi mereka dengan baik dalam menghadapi permasalahan
yang dialaminya secara mandiri.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
Disusun Oleh:
NIM : P05120218063
g. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
B. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
C. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
D. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
a. Play therapy
b. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
c. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
y) Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
z) Gejala GSPT
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
o Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
o Kelompok II
o Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
dd)Pengobatan GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
y. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
KELAS : 3B D3 Keperawatan
NIM : P05120218055
Para korban memerlukan bantuan mengatasi perasaan kehilangan orang yang dicintai.
Mereka butuh menata masa depan yang tak menentu akibat lingkungan baru. Banyak orang yang
kehilangan, dan hancur semangatnya ketika orang dekat mereka meninggal. Upaya konseling
singkat berfokus pada solusi menjadi alternative menolong orang-orang yang cemas dan penuh
rasa takut ditengah bencana.
Pertama, konselor menanyakan keadaan korban tentang perasaan mereka. Apa keluhan
dan kesakitan yang tengah mereka hadapi. Bagaimana sedihnya kehilangan keluarga dan harta
benda yang mereka cintai. Konselor mesti mengetahui persis kerisauan-kerisauan yang dihadapi
oleh korban pasca gempa. Ketakutan yang tengah menimpa jiwa mereka dan bersikap empatik
atas penderitaan yang tengah dihadapi.
Kedua, setelah menanyakan tentang kerisauan dan ketakutan yang dialami oleh Korban,
selanjutnya konselor melangkah pada pertanyaan yang berfokus solusi. Konselor segera
mengalihkan pada upaya solusi yang akan dilakukan oleh korban. Bagaimana korban menyikapi
situasi krisisnya. Korban diajak untuk berpikir rasional tentang langkah-langkah yang akan
mereka lakukan menghadapi situasi sulit. Misalnya, bagaimana korban akan terus eksis di saat
kehilangan orang tua mereka? Upaya apa yang akan di tempuh untuk meneruskan pendidikan
mereka? Dan langkah apa yang akan dilakukan saat ini mengatasi kesedihannya? Dengan
kolaborasi antara korban dan konselor, akan mempercepat upaya bangkit dari kegelisahan.
Ketiga, Konselor membantu korban menemukan kekuatan diri mereka untuk melangkah
maju. Misalnya, konselor menanamkan nilai berani mengambil resiko untuk tinggal di tempat
baru yang lebih aman dari sasaran weddus gembel atau hujan debu. Dengan menemukan insight
(pengetahuan) pada diri korban bencana, akan meringankan beban mereka dari keputus asaan.
Para korban akan tegak berdiri menerima realitas mereka yang kehlangan sanak saudara dan
rmah serta pekerjaan. Para korban menemukan cara untuk melanjutkan hdup yang telah hancur
disambar gunung merapi. Membantu mengajak mereka untuk menyikapi hidup secara tepat
sesuai kenyataan.
Bagaimana pun, bencana dapat terjadi dimana saja, baik di pesisir pantai atau di puncak
atau di lereng gunung. Bantuan konseling semakin diperlukan mengatasi problem bencana alam.
POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER
A. Definisi
Post Traumatic Syndrom Disorder atau PTSD adalah gangguan mental yang dapat terjadi
setelah seseorang mengalami kejadian yang traumatis. Misalnya: pelecehan seksual, perang,
serangan terorisme ataupun kecelakaan berat.
Tak semua orang yang mengalami kejadian traumatis tersebut akan mengalami Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Namun ada beberapa kejadian yang memberikan
kecenderungan akan PTSD –yaitu pelecehan seksual dan kekerasan di masa kanak-kanak.
PTSD memiliki prevalensi seumur hidup –antara 8–10%, dan diikuti dengan
ketidakmampuan berfungsi dalam sosial. Dalam situasi perang, prevalensi individu yang
mengalami PTSD meningkat hingga 30 persen. Selain itu perempuan memiliki resiko lebih
tinggi mengalami PTSD dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena pelecehan seksual
lebih banyak dialami oleh wanita.
Gangguan PTSD bisa membuat Anda tidak dapat berfungsi secara normal di masyarakat.
Dari pemeriksaan fisik juga didapatkan beberapa kelainan yang dapat membantu dokter
mendiagnosis PTSD:
Para penderita PTSD memiliki pengalaman atau pernah menyaksikan dengan kejadian-
kejadian traumatis. Kejadian tersebut biasanya mengancam jiwa atau fisik dan membuat mereka
tidak dapat berbuat apa-apa.Situasi tersebut tentunya sangat menakutkan –bahkan bisa saja
mendekati kematian.
Penderita PTSD biasanya akan mengalami kejadian-kejadian yang sama terus menerus
dengan berbagai persepsi. Bisa saja berupa penglihatan, mimpi, ilusi, halusinasi, atau kilas balik.
Jika tidak ditangani dengan tepat, PTSD dapat meniimbulkan komplikasi. Komplikasi yang
bisa terjadi akibat PTSD adalah gangguan jiwa berat –seperti skizopherenia ataupun percobaan
bunuh diri. Hal lain yang bisa ditimbulkan ialah gangguan tidur menetap, ataupun penghargaan
diri yang rendah. Pada akhirnya hal ini dapat memicu berbagai gejala psikosis atau gangguan
kejiwaan lainnya.
Pengobatan PTSD dapat dilakukan dengan terapi kognitif dan perilaku . Pengobatan ini akan
membantu penderita PTSD untuk menghadapi situasi yang lebih menyeramkan dari yang pernah
dialami dengan perlahan.
Manipulasi Pikiran. Lewat terapi ini dokter akan membantu penderita PTSD untuk
menganalisis bagian mana dari kejadian tersebut yang membuat mereka cemas. Dokter juga akan
membantu penderita PTSD melihat kejadian yang menakutkan tersebut dari sisi yang berbeda.
Meskipun hal ini tidak menghilangkan ketakutan penderita PTSD, terapi ini tetap bisa
mengurangi rasa takut dan kecemasan.
Desensitisasi. Pengobatan ini lazim digunakan pada penderita fobia. Caranya adalah dengan
memaparkan secara perlahan dan bertahan pada objek, situasi ataupun orang yang ditakuti. Hal
ini bertujuan untuk proses pembiasaan yang akan membuat pasien PTSD merasa hal tersebut
bukan ancaman.
Obat untuk terapi PTSD yang diperlukan adalah obat anti cemas. Pengobatan ini bertujuan
untuk menurunkan kecemasan penderita PTSD dan membantu untuk merasa lebih santai.
Antidepresan. Pengobatan ini untuk menurunkan atau memberhentikan gejala dari depresi
pada penderita PTSD.
Jika Anda atau ada orang-orang di sekitar Anda yang memiliki gangguan PTSD, ada baiknya
Anda mengetahui hal ini. Penting untuk tidak membiarkan penderita PTSD sendirian –khususnya
di masa ketidakstabilan mental mereka. Hal lain yang juga penting adalah untuk membuat
penderita PTSD merasa aman dan nyaman. Jadi hindari hal-hal yang dapat membuat
penderitaPTSD mengingat kejadian traumatic yang mereka alami.
Ada cara untuk mencegah terjadinya PTSD. Setelah mengalami kejadian traumatis, hindari
memberikan reaksi yang berlebihan. Montalah bantuan atau perlindungan dari orang yang
menurut Anda dapat membantu keluar dari rasa takut yang Anda rasakan.
DISUSUN OLEH :
ELSI
(P0 51202180 66)
C. Definisi
D. Konseling
10. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
11. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
14. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
Disusun Oleh:
NIM : P05120218068
K. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada
para korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan
pelayanan konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga
profesional kepada seseorang atau sekelompok individu untuk mengembangkan
kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang
terganggu dengan fokus mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui
penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses
pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan
para korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan
lingkungan secara objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai
dengan kondisi yang ada, melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang
telah diambil serta itu merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
10. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang
selamat bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami
suasana yang mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan
trauma yang mendalam kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana,
sehingga memerlukan penanganan (teknik dan pendekatan) khusus untuk
membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami oleh korban.Ada dua teknik
penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi, yaitu merupakan
teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami ketegangan psikis
agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu pedekatan yang
digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa teknik yang
terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan sesuatu
(Munro, Manthei, dan Small, 1985).
11. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon,
masalah,dan kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-
beda pula. Layanan pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban
bencana alam yang memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan
konseling. Beberapa masalah yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin
dapat terselesaikan melalui layanan play therapy dan teknik penenangan atau
melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada beberapa masalah yang lain
mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam agar dapat
terentaskan.
12. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan
kondisi trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana
(disaster counseling) yaitu :
g. Play therapy
h. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
i. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh
korban bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas
permasalahan yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis
layanan dan pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang
diberikan dapat bermanfaat.
POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER
O. Definisi
P. Gejala GSPT
e. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab
terjadinya GSPT, yaitu :
13.Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan
penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai
"supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
14.Kelompok II
15.Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan
membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.
S. Dampak GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
4. Psikoterapi
Disusun Oleh:
NIM : P05120218067
P. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada
para korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan
pelayanan konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga
profesional kepada seseorang atau sekelompok individu untuk mengembangkan
kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang
terganggu dengan fokus mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui
penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses
pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan
para korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan
lingkungan secara objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai
dengan kondisi yang ada, melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang
telah diambil serta itu merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
V. Definisi
W. Gejala GSPT
i. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab
terjadinya GSPT, yaitu :
16.Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan
penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai
"supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
17.Kelompok II
18.Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan
membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.
Z.Dampak GSPT
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
5. Psikoterapi
DISUSUN OLEH :
NAMA :Dika
NIM :P5120218060
PRODI :DIII Keperawtan
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Prayitno dan Amti (2004: 110) menjelaskan terapi dalam konsepsi perkembangan
bimbingan dan konseling tidak ada gunanya membedakan tugas dan ruang lingkup
kerja bimbingan dan konseling di sisi lain. Mengingat perkembangan bimbingan
dan konseling yang belum cukup mantap maka istilah bimbingan dan konseling
masih dipertahankan, namun dari segi pelayanan hendaknya menekankan porsi
yang lebih besar pada konseling.
Layanan konseling komunitas sangat memperhatikan keadaan individu
dan kelompok dalam setiap pelaksanaan dan tujuan akhirnya. Konseling
komunitas didirikan pada tahun 1995 di North Yorkshire dan menyediakan
berbagai layanan terhadap pendidikan orang dewasa dan masyarakat pada
umumnya. Konseling komunitas memberikan bantuan untuk individu atau
kelompok masyarakat yang membutuhkan dan berkelanjutan demi terlaksana
kepastian layanan yang memberikan dukungan dan perubahan untuk memperbaiki
keadaan masyarakat (dalam,http://www.community-counselling.org.uk/).
Masyarakat yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban
bencana alam yang bermasalah dengan keadaan psikologis serta tingkatan sosial
yang memacu untuk menjadikan ia semakin terpinggirkan. Pemberian layanan
konseling komunitas sangat tepat bagi korban bencana alam yang akan membantu
serta mengarahkan individu dan kelompok masyarakat yang terkena bencana alam
untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara fisik dan psikologis menuju
kesejahteraan yang ingin di capai.
A. Fungsi Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai
pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor
dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu,
konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi
klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang
dihadapinya (Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
konselor adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam
melakukan proses konseling , seorang konselor harus dapat menerima kondisi
klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat
proses konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai pihak yang membantu,
menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan baik
permasalahan yang dihadapi klien.
Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang
digunakan memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini tergantung
dari konsep pendiri teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada
konselor yang menggunakan pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai
fasilitator bagi klien. Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang
menggunakan pendekatan humanistis di mana peran konselor bersifat holistis.
Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting kepribadian konselor.
Sikap sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya
secara langsung. Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya
dalam perbuatan. Fungsi keterampilan bagi konselor adalah upaya memancarkan
sikap-sikap yang dimilikinya terhadap para klien disamping penunjukan
kredibilitas lain seperti penampilan kompetensi intelektual dan aspek-aspek non
intelektif lainnya.
Selanjutnya, berikut ini diuraikan secara luas karakteristik seorang konselor
yang efektif, peran dan fungsi konselor, masalah yang dihadapi konselor dan
resistensi konselor.
1. Karakteristik konselor
Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum marilah kita lihat
beberapa karakteristik konselor efektif yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Karakteristik inilah yang wajib dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai
keberhasilannya dalam proses konseling. Kita awali dari pandangan Carl Rogers
sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (dikutip dari lesmana, 2005)
menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang
konselor, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.
a. Congruence
Menurut pandangan Rogers, seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen.
Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami
dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi.
Konselor harus sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi
kekurangan yang ada pada dirinya.
b. Unconditional positive regard
Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan
yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani
kehidupannya dengan membawa segala nilai-nilai dan kebutuhan yang
dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi untuk
mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah, konselor harus
memberikan kepercayaan kepad klien untuk mengembangkan diri mereka.
c. Empathy
Empathy di sini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor
harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut
didalam nilai-nilai klien.
Selain tiga karakteristik yang dikemukakan Rogers tersebut, seorang konselor
yang berperan sebagai "pembantu" bagi klien harus memiliki karakteristik yang
positif untuk menjamin keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam
hal ini, Latipun (2001) membaginya dalam dua aspek utama, yaitu:
1) Keahlian dan ketrampilan
Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan
menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan ketrampilan
wajib dipenuhi oleh konselor yang efektif.
2) Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses
konseling. Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor.
Comb A (dikutip dari latipun 2001) mengungkapkan bahwa kepribadian konselor
tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata bagi konselor, akan tetapi dapat
dijadikan dengan instrumen dalam meningkatkan kemampuan dalam membantu
kliennya.
B. Tindakan Konselor
suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang
hayat (lifelong learning process).
KESIMPULAN
1. Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai
pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas.
2. Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan
profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan
ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling.
Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi
profesional, yang meliputi:
a. Memahami secara mendalam konseling yang dilayani,
b. Menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
c. Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan,
dan
d. Mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
3. kompetensi Konselor meliputi komponen berikut:
a. Kompetensi pengembangan kepribadian (KPK),
b. Kompetensi landasan keilmuan dan keterampilan (KKK),
c. Kompetensi keahlian berkarya (KKB)
d. Kompetensi perilaku berkarya (KPB),
e. Kompetensi berkehidupan bermasyarakat (KBB)
PTSD. Dalam membuat diagnosis PTSD perlu kecermatan bagi seorang dokter. Seperti
yang dijelaskan diatas, manifestasi klinis PTSD sangat bermacam macam. Biasanya
dapat berupa depresi, gangguan bipolar, mania, paranoid, dan dapat disertai dengan
gejala psikotik sehingga penegakkan diagnosis akan menjadi cukup sulit.
Gangguan trauma paska stres atau yang dikenal juga sebagai Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) adalah sebuah kondisi gangguan kesehatan mental akibat
peristiwa yang mengerikan, seperti kecelakaan, perang, ataupun kejadian bencana alam
(gempa bumi, tsunami, longsor dan lainnya).
Dampak dari gangguan trauma itu sendiri tentu bervariasi, dari yang ringan
sampai yang berat. Berikut beberapa diantaranya:
- Kondisi fisik penderita menjadi siaga ketika mereka mengingat ataupun memikirkan
trauma yang dialami.
Gejala psikis seperti demikian tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Para korban
harus dibantu agar pulih kondisi psikologisnya dari pengalaman traumatis melalui
pemulihan trauma (trauma healing).
3. Memberikan dukungan, kita perlu menunjukkan bahwa kita peduli dan berempati
terhadap kondisi korban.
5. Mengajak para korban untuk bermain dan bersenda gurau, hal ini dapat meringankan
tekanan traumatis yang dialami korban
7. Menjadi pendengar cerita para korban, bila mereka siap menceritakan musibah yang
dialaminya
Secara moral, dukungan psikososial ditujukan untuk melepaskan korban dari perasaan
ketakutan yang dialaminya, bukannya bertujuan untuk melupakan peristiwa pahit
tersebut. Dan kegiatan yang dilakukan bersama-sama memberikan efek psikologis yang
kuat kepada korban yang menandakan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi
peristiwa ini.
Selain itu edukasi seputar informasi bencana atau informasi bantuan pun menjadi hal
yang penting dan dapat disampaikan kepada korban sehingga apabila bencana susulan
terjadi para korban mengerti apa yang harus dilakukan.
Kondisi psikologis seseorang setelah mengalami trauma dapat kembali pulih atau normal.
Tentunya pemulihan kondisi psikologis seseorang tergantung dari bagaimana mereka
mampu menghadapi situasi sulit serta ketersediaan sumber-sumber daya lokal yang dapat
menunjang proses pemulihan trauma.
Namun, tidak dipungkiri bahwa gangguan trauma dapat menetap dan berkepanjangan
k.sehingga memerlukan penanganan yang lebih lanjut dan bersifat holistic.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”
Disusun oleh:
K. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
L. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
6. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
71) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
72) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
73) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
74) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
75) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
76) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
77) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
78) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
79) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
80) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
81) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
82) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
83) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
84) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
11. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
12. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).
Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
Disusun Oleh:
NIM : P05120218083
U. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
18. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
19. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
20. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
m. Play therapy
n. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
o. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
CC. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
m. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
19.Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
20.Kelompok II
21.Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
6. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
30. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
31. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
32. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
33. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
34. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
35. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
Disusun Oleh:
NIM : P05120218070
Z. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
22. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
23. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
24. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
p. Play therapy
q. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
r. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
JJ. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
q. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
22.Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
23.Kelompok II
24.Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
7. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
37. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
38. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
39. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
40. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
41. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
42. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
Disusun Oleh:
NIM : P05120218084
P. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
23. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
24. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
25. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
l. Play therapy
m. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
n. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
Y. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
Z. Gejala GSPT
Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)
yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :
j. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
2. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
3. Kelompok II
4. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
12. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
DOSEN PEMBIMBING :
VIECE ELESE
DISUSUN OLEH :
BELLA SAMYA DWI PUTRI (P05120218052)
KELAS:
3B DIII KEPERAWATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
DIII KEPERAWATAN
2020/2021
A. Pengertian
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
B. Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai
pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam
menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu, konselor juga
bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat
menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005).
Kegiatan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang,
karena untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan
sebagai konselor atau ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik
pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta pengalaman dalam
di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan
konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram
yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi individu untuk mencapai kemandirian,
dan merealisasikan diri secara bertanggung jawab sehingga mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraan dalam hidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang
A. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang
terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam
hidupnya. PTSD merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu
pengalaman traumatis seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap
sebagai salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya
muncul beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih
dari 6 bulan maka orang tersebut dapat di diagnosis mengalami PTSD.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
25. Faktor Resiko
Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang
dialami, peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak
korban meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama
kekerasan seksual.
Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa
kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta
adanya gejala disosiatif saat kejadian.
Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya
penyangkalan terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
26. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan
tentang pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
27. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
LANJUT III
Disusun Oleh:
NIM : P05120218058
EE.Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
26. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
27. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
28. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
s. Play therapy
t. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
u. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.
QQ. Definisi
Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
u. Kriteria A : Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
26.Kelompok II
27.Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.
Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.
8. Psikoterapi
Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :
DOSEN PEMBIMBING :
VIECE ELESE
DISUSUN OLEH :
AYU INDRA SEPTIAWATI (P05120218049)
KELAS:
3B DIII KEPERAWATAN
karena untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan
sebagai konselor atau ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik
pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta pengalaman dalam
di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan
konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram
yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi individu untuk mencapai kemandirian,
dan merealisasikan diri secara bertanggung jawab sehingga mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraan dalam hidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang