3B MBL

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 336

MANAJEMEN BENCANA LANJUT

“KONSELING PADA KORBAN BENCANA DAN POST TRAUMATIC


STRESS DISORDER”

DI SUSUN OLEH : Armanda Ogilvi Alvareza

NIM : P05120218048

KELAS : 3B/D3 Keperawatan

DOSEN PEMBIMBING : Vice Ellese

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

TAHUN AJARAN 2020/2021


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

Pihak-pihak yang memungkinkan menyelenggarakan konseling traumatis bagi korban


bencana adalah guru Bimbingan dan Konseling (BK), dosen Prodi BK, sarjana BK, dan
mahasiswa Jurusan BK. Tenaga-tenaga tersebut hampir dimiliki oleh semua wilayah di seluruh
Indonesia sehingga rehabilitasi psikologis dengan konseling traumatis untuk korban bencana
dapat dilaksanakan di mana saja.
Namun dalam penanganan bencana, masyarakat sering kali diperlakukan sebagai
penerima bantuan pasif yang tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
penanganan bencana. Padahal, jumlah korban dapat diminimalkan apabila penduduk memiliki
kesiapan psikologis secara dini menghadapi bencana alam.

Kesiapan psikologis ini dapat dibentuk melalui sosialisasi pelatihan pada berbagai
kegiatan dan simulasi, termasuk sekolah melalui program bimbingan pribadi dan sosial, guru
pembimbing dapat meningkatkan kesiapsiagaan psikologis menghadapi bencana yang akan dapat
mengurangi risiko terhadap akibat bencana alam.

Permasalahan yang dihadapi guru BK saat ini, mereka memiliki keterbatasan


pengetahuan dan keterampilan dalam hal kebencanaan sehingga diperlukan sumber informasi
bagi guru BK melalui kurikulum kebencanaan yang melibatkan lembaga seperti BMKG, BNPN,
serta LIPI. Menurut Brammer (1979), terdapat empat tahap dalam keterampilan konseling pada
saat krisis pascabencana alam.

Pertama, menilai atau menentukan kondisi korban saat ini dan keparahan
permasalahannya, Kedua, memutuskan jenis konseling yang paling dibutuhkan saat ini
berdasarkan penilaian. Ketiga, bertindak secara langsung dalam pelaksanaan konseling.
Keempat, memantau tindakan nyata konseli menerapkan hasil konseling dengan bertindak nyata
dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman yang lebih baik tentang respons psikologis terhadap situasi peringatan
adanya bencana alam akan membantu orang merasa lebih percaya diri, lebih mampu
mengendalikan dan mempersiapkan lebih baik secara psikologis ataupun mempersiapkan
perencanaan-perencanaan darurat yang lebih efektif. Pengembangan dan peningkatan wawasan,
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi konselor menjadi fasilitator diperlukan dalam
pelayanan konseling pascabencana.
Kesadaran diri, pengetahuan, dan kompetensi dapat ditingkatkan dengan mengenal
bagaimana bencana dan pentingnya konseling pascabencana, mengetahui cara meningkatkan
kesadaran diri, mengetahui penyebab dan dampak psikologis pascabencana sehingga dapat
melakukan asessment, intervention, dan melakukan treatment dan follow up

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

A. Pengertian PTSD

PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pasca trauma adalah kondisi
kesehatan jiwa yang dipicu oleh peristiwa yang traumatis, baik dengan mengalaminya
maupun menyaksikannya. Kebanyakan orang yang mengalami kejadian traumatis akan
menghadapi kesulitan dalam menjalaninya, tetapi dengan waktu dan perawatan diri yang
baik, kesulitan akan berkurang. Jika pengalaman yang traumatis tersebut tetap menghantui
sampai membuat seseorang kesulitan dalam menjalani hidup, maka orang tersebut mengidap
PTSD.

B. Penyebab dan Faktor Risiko PTSD

Seseorang dapat mengembangkan gangguan stres pasca trauma ketika ia mengalami,


melihat, atau belajar tentang suatu peristiwa yang melibatkan kematian atau ancaman
kematian yang aktual, cedera serius, ataupun pelanggaran seksual.

Dokter tidak yakin mengapa beberapa orang mendapat PTSD. Seperti masalah kesehatan
mental pada umumnya, kombinasi beberapa faktor yang kompleks mungkin menjadi
penyebab PTSD, seperti:

 Pengalaman yang menakutkan, termasuk jumlah dan tingkat keparahan trauma yang telah
dialami dalam hidup.
 Mewarisi risiko kesehatan mental, seperti riwayat gangguan kecemasan
dan depresi dalam keluarga.
 Ciri-ciri kepribadian, seperti kecenderungan temperamental.
 Cara otak mengatur bahan kimia dan hormon yang dilepaskan tubuh sebagai respons
terhadap stres.

Semua orang dari segala usia dapat mengalami gangguan stres pasca trauma. Namun,
beberapa faktor dapat membuat seseorang lebih mungkin mengembangkan PTSD, seperti:

 Mengalami trauma yang intens.


 Pernah mengalami trauma lain di awal kehidupan, seperti pelecehan masa kanak-kanak.
 Memiliki pekerjaan yang meningkatkan risiko terkena peristiwa traumatis, seperti
personil militer dan responden pertama.
 Memiliki masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau depresi
 Memiliki masalah dengan penyalahgunaan zat, seperti minum berlebihan atau
penggunaan narkoba.
 Kurangnya sistem pendukung yang baik dari keluarga dan teman.
 Memiliki kerabat darah dengan masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan atau
depresi.

C. Gejala PTSD

Kemunculan gejala yang ditimbulkan PTSD beragam, ada yang muncul dalam 1 bulan
setelah kejadian. Namun dalam beberapa kasus, gejala baru akan muncul bertahun-tahun
setelah seseorang mengalami kejadian traumatis. Gejala PTSD pada umumnya dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu ingatan intrusif, avoidance atau menghindar, perubahan negatif pada
cara berpikir, mood, perubahan reaksi fisik dan emosional.

1. Gejala Ingatan Intrusif:

 Ingatan yang tidak diinginkan, yang bersifat mengganggu yang datang berulang;
 Menghidupkan peristiwa traumatis tersebut seakan-akan peristiwa tersebut terjadi lagi
(kilas balik);
 Mimpi buruk tentang peristiwa tersebut; dan
 Distress emosional berat terhadap sesuatu yang mengingatkan pengidap pada peristiwa
traumatis.
1. Avoidance:

 Mencoba menghindari berpikir atau berbicara tentang peristiwa traumatis; dan


 Menghindari tempat, kegiatan atau orang yang mengingatkan seseorang pada kejadian
traumatis.

1. Perubahan Negatif pada Cara Berpikir dan Mood:

 Pikiran negatif tentang orang lain, diri sendiri, lingkungan, bahkan dunia;
 Putus asa tentang masa depan;
 Masalah memori, termasuk tidak mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis;
 Kesulitan mempertahankan hubungan dekat;
 Merasa terlepas dari keluarga dan teman;
 Kurangnya minat dalam kegiatan yang pernah dinikmati;
 Kesulitan mengalami emosi positif; dan
 Merasa mati rasa secara emosional.

1. Perubahan pada Reaksi Emosional maupun Fisik:

 Menjadi mudah kaget atau ketakutan;


 Selalu waspada terhadap bahaya;
 Perilaku merusak diri, seperti minum terlalu banyak atau mengemudi terlalu cepat;
 Kesulitan tidur;
 Kesulitan berkonsentrasi;
 Kerapuhan, ledakan kemarahan atau perilaku agresif; dan
 Rasa bersalah atau malu yang luar biasa.

D. Diagnosis PTSD

Cara mendiagnosis gangguan stres pasca-trauma, dokter kemungkinan akan melakukan


beberapa hal ini, yaitu:

 Pemeriksaan pada fisik terdiagnosa untuk memeriksa masalah medis yang mungkin
menjadi penyebab gejala PTSD.
 Melakukan evaluasi psikologis yang mencakup diskusi tentang tanda dan gejala dan
peristiwa atau peristiwa yang mengarah ke diagnosis PTSD.
 Menggunakan kriteria dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-
5), yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association.

E. Pengobatan PTSD

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga dilakukan
psikoterapi.

1. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola kognitif) yang
menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar bisa
menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga pengidap dapat
menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada kasus dimana pengidap
mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR menggabungkan
terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah untuk membantu pengidap
memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter akan mengamati reaksi pengidap.

1. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi, cemas, gangguan


tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan terjadinya mimpi
buruk masih dalam perdebatan.

F. Pencegahan PTSD

Setelah selamat dari peristiwa traumatis, banyak orang mengalami gejala mirip PTSD
pada awalnya, seperti tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi. Ketakutan,
kecemasan, kemarahan, depresi, rasa bersalah adalah reaksi umum terhadap trauma. Namun,
mayoritas orang yang mengalami trauma tidak mengembangkan gangguan stres pasca-
trauma jangka panjang.

Pencegahan juga bisa dilakukan dengan mencari bantuan dan dukungan yang tepat
waktu. Hal ini bertujuan agar reaksi stres yang normal menjadi semakin buruk dan
berkembang menjadi PTSD, bisa dicegah. Ini bisa berarti beralih ke keluarga dan teman-
teman yang akan mendengarkan dan menawarkan kenyamanan. Hal ini bisa juga dilakukan
dengan mencari ahli kesehatan mental untuk terapi singkat. Beberapa orang mungkin juga
merasa berguna untuk beralih ke komunitas iman mereka.

Dukungan dari orang lain juga dapat membantu mencegah seseorang beralih ke cara
mengatasi trauma yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan.

MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese


Disusun Oleh:

Nama : Try gunawan

NIM : P05120218081

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

A. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
B. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam
Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

C. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
a. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
b. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
c. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
d. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
e. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
f. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
g. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
h. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.

D. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana


Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
a) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
b) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
c) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
d) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
e) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
f) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
g) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
h) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian layanan
konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor
E. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
1. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

2. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
3. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
4. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
a. Play therapy
b. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
c. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

A. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

B. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :

a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

a. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
b. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.
c. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.
d. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

C. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

1. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


a. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
b. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
c. Penyiksaan
d. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
e. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
f. Pelecehan pemujaan
g. Terorisme
h. Peristiwa ledakan bom
i. Menyaksikan pembunuhan
j. Ancaman, penyiksaan
2. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
3. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

D. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

2. Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

3. Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

4. Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

E. Dampak GSPT
Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak
kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

F. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

1. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
1. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

G. Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
4. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.

TUGAS MBL

“KONSELING PADA KORBAN BENCANA DAN POST TRAUMATIC SYNDROM


DISORDER”

DI SUSUN OLEH
NAMA : INDA PURWANTI

NIM : P05120218071

KELAS : 3B/D3 KEPERAWATAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

PRODI DIII KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2020/2021

A. KONSELING PADA KORBAN BENCANA

Peristiwa bencana alam merupakan salah satu penyebab munculnya krisis bagi
jiwa manusia. Bencana alam akibat meletusnya gunung merapi di Yogyakarta
menyisakan trauma bagi penduduk sekitar lereng gunung merapi. Trauma gempa bumi
oleh gunung merapi mengakibatkan penduduk kehilangan keluarga, rumah dan
pekerjaan. Kondisi batin mereka sedih, hancur dan khawatir akan terjadinya gempa.
Gunung merapi seolah sedang jadi "lakon". Gunung yang mempunyai ketinggian 2968 m
dari permukaan laut dan terletak lebih kurang 25 km dari Yogyakarta itu, belakangan
memang tak pernah absen menghiasi hampir semua media, cetak maupun elektronik.
Sekian ribu nyawa melayang dalam sedetik. Sekian rumah roboh dan luluh lantak. Orang-
orang tahu pahit getirnya musibah bencana alam. Sementara itu ribuan pengungsi
kebingungan. Mereka baru saja pulang ke rumahnya kemarin pagi, kembali ke
pengungsian sore harinya.

Peristiwa bencana alam merupakan salah satu penyebab munculnya krisis bagi
jiwa manusia. Bencana alam akibat meletusnya gunung merapi di Yogyakarta
menyisakan trauma bagi penduduk sekitar lereng gunung merapi. Trauma gempa bumi
oleh gunung merapi mengakibatkan penduduk kehilangan keluarga, rumah dan
pekerjaan. Kondisi batin mereka sedih, hancur dan khawatir akan terjadinya gempa.
Gunung merapi seolah sedang jadi "lakon". Gunung yang mempunyai ketinggian 2968 m
dari permukaan laut dan terletak lebih kurang 25 km dari Yogyakarta itu, belakangan
memang tak pernah absen menghiasi hampir semua media, cetak maupun elektronik.
Sekian ribu nyawa melayang dalam sedetik. Sekian rumah roboh dan luluh lantak. Orang-
orang tahu pahit getirnya musibah bencana alam. Sementara itu ribuan pengungsi
kebingungan. Mereka baru saja pulang ke rumahnya kemarin pagi, kembali ke
pengungsian sore harinya. (15-Juni-2006)

Di Indonesia baru-baru ini banyak sekali mengalami bencana alam, khususnya


Gempa bumi. Menurut Badan Meteorology , Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)[1]
Gempa bumi yang terjadi dalam empat hari terakhir tercatat sejak awal desember 2019,
ada lima gempa dengan ukuran M 5 SK. Gempa bumi bukan lagi menjadi hal yang baru,
karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng sekaligus dan Indonesia berada
dalam cincin api pasifik.
Gempa bumi itu sendiri banyak menyebabkan trauma pada individu, salah satunya
trauma psikologis, yang biasanya disebut dengan Post Traumatic Syndromes Disorders
(PTSD).
Selain itu juga korban akan mengalami stress yang mendalam dan berlanjut yang tidak
dapat diatasi sendiri oleh individu yang mengalaminya.
1. Upaya menangani hal tersebut perlu dilakukan pendekatan Konseling traumatic
atau konseling krisis.
2. Selain itu juga terapi ini dapat dikaitkan dengan Teori Gestalt, dimana terapi
gestalt ini dikembangkan oleh Frederick Perls yang berbentuk terapi eksistensial
yang berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menmukan jalan
hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika ia berharap mencapai
kematangan
3. Tugas terapis ialah membantu klien agar mengalami sepeuhnya keberadaannya di
sini dan sekarang dngan menyadarkannya atas tindakannya mncegah diri sendiri
merasakan dan mengalaminya saat sekarang
4. Dalam melakukan konseling kepada orang korban bencana gempa bumi bisa
dilakukan dengan cara: Intervensi langsung, Mengambil tindakan, Mencegah
gagalnya suatu pemulihan, membangun harapan, memberi dukungan, problem
solving, membangun harga diri, dan menanamkan rasa percaya diri

B. POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya


teringat pada kejadian traumatis. Peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD
antara lain perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual.
Meski demikian, tidak semua orang yang teringat pada kejadian traumatis berarti
terserang PTSD. Ada kriteria khusus yang digunakan untuk menentukan apakah
seseorang mengalami PTSD.
 Gejala PTSD
Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang
membuatnya trauma. Waktu kemunculannya bisa beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah kejadian traumatis tersebut. Tingkat keparahan dan
lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap penderita.

Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah:


1. Ingatan pada peristiwa traumatis
Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang
membuatnya trauma. Bahkan, penderita merasa seakan mengulang
kembali kejadian tersebut. Ingatan terhadap peristiwa traumatis
tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi buruk, sehingga
penderita tertekan secara emosional
2. Kecenderungan untuk mengelak
Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan
peristiwa yang membuatnya trauma. Hal ini ditunjukkan dengan
menghindari tempat, aktivitas, dan seseorang yang terkait dengan
kejadian traumatis tersebut.
3. Pemikiran dan perasaan negative

Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang


lain. Selain itu, penderita juga kehilangan minat pada aktivitas
yang dulu disukainya dan merasa putus asa. Penderita juga
lebih menyendiri dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.
4. Perubahan perilaku dan emosi
Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski
tidak dipicu oleh ingatan pada peristiwa traumatis. Perubahan
perilaku ini juga sering membahayakan dirinya atau orang lain.
Penderita juga sulit tidur dan berkonsentrasi.

PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa.


Namun, pada anak-anak, terdapat gejala khusus, yaitu sering
melakukan reka ulang peristiwa traumatis melalui permainan.
Anak dengan PTSD juga sering mengalami mimpi buruk yang bisa
terkait secara langsung maupun tidak dengan kejadian traumatis
yang dialaminya.
5. Penyebab PTSD
PTSD bisa muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa
yang menakutkan atau mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti
mengapa peristiwa tersebut menyebabkan PTSD bagi sebagian orang.
Namun, ada dugaan bahwa penyebabnya adalah kombinasi dari sejumlah
kondisi berikut:
 Pengalaman yang tidak menyenangkan.
 Riwayat gangguan mental pada keluarga.
 Kepribadian bawaan yang temperamen.
Peristiwa yang diketahui paling sering memicu PTSD meliputi:
1. Perang.
2. Kecelakaan.
3. Bencana alam.
4. Perundungan (bullying).
5. Kekerasan fisik.
6. Pelecehan seksual.
7. Prosedur medis tertentu, seperti operasi.
8. Penyakit yang mengancam nyawa, misalnya serangan jantung.
a) Faktor Risiko PTSD
Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian tragis.
Akan tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada seseorang yang memiliki sejumlah faktor
risiko berikut:
1. Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman.
2. Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
3. Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan.
4. Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi.
5. Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung (bullying) pada
masa kecil.
6. Memiliki pekerjaan tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di daerah
perang.
Untuk dikategorikan sebagai PTSD, gejala yang dialami pasca peristiwa traumatis harus
berlangsung selama satu bulan atau lebih. Gejala juga harus mengganggu aktivitas sehari-
hari, terutama dalam hubungan sosial dan pekerjaan.
TUGAS RESUME MBL
“Konseling Pada Korban Bencana Dan

Post Traumatic Syndrom Disorder (PTSD)”


DISUSUN OLEH :
Dea Monica
(P05120218056)

KELAS :
3B/DIII Keperawatan

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI D-III KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN

2020/2021

A. Konseling Pada Korban Bencana


Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban
selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak.
Tujuan konseling yaitu :
1. Pada anak-anak : Perlu dilakukan konseling serta dibantu untuk bisa menatap
masa depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula.
2. Pada orang tua : Layanan konseling trauma akan membantu mereka memahami
dan menerima kenyataan hidup saat ini, untuk selanjutnya mampu melupakan
semua tragedi dan memulai kehidupan baru.
Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma
bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan modal awal
memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang dimiliki
dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin
menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan
kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah.
Untuk mencapai efektivitas layanan, konseling trauma dilakukan dengan dua
format, yaitu : Format individual (untuk korban yang tingkat stres dan depresinya berat),
dan Format kelompok (untuk individu yang beban psikologisnya masih pada derajat
sedang).

B. Langkah Melakukan Konseling


 Menciptakan rasa nyaman
Bagi individu yang mengalami trauma, dunia ini dirasa tidak aman dan nyaman.
Oleh sebab itu, mereka memerlukan orang lain yang bisa memberikan
perlindungan dan rasa nyaman pada mereka, sehingga mereka merasa tidak
sendirian dalam hidup ini. Penciptaan rasa aman teresebut bisa dilakukan dengan
mengadakan permainan yang bisa mendorong individu untuk melupakan sejenak
peristiwa traumatis yang dialaminya.

 Lakukan Pendekatan Classical


Salah satu teknik untuk kasus – kasus yang digunakan secara luas bagi
klien yang mengalami masalah kecemasan (rasa takut yang tidak adaptif) karena
peristiwa traumatis adalah disensitisasi sistematik. Teknik ini didasarkan atas
prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah
bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar,
dan untuk mengubah, memo- difikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga
melalui belajar. Oleh sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bisa dipelajari
atau dikondisikan. Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling
untuk mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami
latar belakang diri klien secara komprehensif.
Tahap – tahap dalam melakukan pendekatan classical adalah :
Menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa khusus
yang memicu rasa takut tersebut
Menyusun daftar urutan situasi yang me- nyulut kecemasan dalam
bentuk hirarki, mulai dari situasi yang menimbulkan kecemasan
rendah sampai tinggi
Lakukan Proses disensitisasi (Untuk relaksasi)
Menyuruh klien duduk dalam keadaan santai dan nyaman sambil
memejamkan matanya
Setelah klien merasa rileks, ia diminta untuk membayangkan
sesuatu yang paling sedikit menimbulkan kecemasan sesuai
dengan hirarki yang telah disusun. Apabila klien masih bisa santai
dalam membayangkan peristiwa tersebut, konselor bisa bergerak
maju dalam hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat
bahwa pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat
itu pula skenario dihentikan

C. Materi Dalam Konseling Bencana


Beberapa materi yang dapat diberikan kepada korban yang selamat dari bencana
alam yaitu : Pengembangan hubungan sosio-emosional, Play therapy, Self report and
sharing, informasi tentang gempa, penenangan (relaksasi dan disensitisasi), Spritual
Emotional Freedom technique (SEFT), dan pendalaman melalui berbagai jenis layanan
dan kegiatan pendukung konseling.

D. Peran Perawat GSPT


Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT, yaitu
sebagai berikut :
1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya
melalui dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi
kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan
dukungan emosi. Serta dalam mengatasi rasa tak berdaya dan
keputusasaannya.
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku
yang positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan
tentang permasalahan yangdihadapi.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya
agar kembaliseimbang.
4. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik
melalui komunikasi, doa, peran keluarga,dsb.
5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu
merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu
masalah.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada
klien dan membantu pemecahannya secarabersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa
ketergantunagn klien kepadakonselor.

Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa dalam
proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan penekanan kepada
coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya
memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan
peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress. Dengan mengutip pendapat
Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985) dijelaskan lebih lanjut bahwa tiga
peranreligidalamcopingprocessyaitu(a)menawarkanmaknakehidupan,(b) memberikan
sense of control terbesar dalam mengatasi situasi, dan (c) membangun self esteem.
Adapun dua sumber coping yang biasa dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa
dan berserah diri pada Tuhan).

E. Pengertian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD atau gangguan stress pascatrauma
adalah gangguan mental yang dapat terjadi setelah seseorang mengalami atau
menyaksikan kejadian yang traumatis atau tidak menyenangkan. Gangguan PTSD dapat
membuat orang yang mengalaminya merasa cemas yang berlebihan dan membuat
penderitanya menginat kembali kejadian traumatis yang dialami atau dilihatnya.
Misalnya: pelecehan seksual, perang, serangan terorisme, kecelakaan berat, bencana
alam, Perundungan (bullying), kekerasan fisik, prosedur medis tertentu (seperti operasi),
penyakit yang mengancam nyawa (misalnya serangan jantung).
PTSD memiliki prevalensi seumur hidup –antara 8–10%, dan diikuti dengan
ketidakmampuan berfungsi dalam sosial. Selain itu PTSD memiliki resiko lebih tinggi
dialami oleh perempuan dibandingkan laki – laki karena wanita lebih sering mengalami
pelecehan seksual.

F. Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya
trauma. Waktu kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian
traumatis tersebut. Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap
penderita. Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah :
1. Ingatan pada peristiwa traumatis
Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya
trauma. Bahkan, penderita merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut.
Ingatan terhadap peristiwa traumatis tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi
buruk, sehingga penderita tertekan secara emosional.

2. Kecenderungan untuk mengelak


Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang
membuatnya trauma. Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas,
dan seseorang yang terkait dengan kejadian traumatis tersebut.
3. Pemikiran dan perasaan negative
Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain
itu, penderita juga kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan
merasa putus asa. Penderita juga lebih menyendiri dan sulit menjalin hubungan
dengan orang lain.

4. Perubahan perilaku dan emosi


Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu
oleh ingatan pada peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering
membahayakan dirinya atau orang lain. Penderita juga sulit tidur dan
berkonsentrasi.
PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada anak-
anak, terdapat gejala khusus, yaitu sering melakukan reka ulang peristiwa
traumatis melalui permainan. Anak dengan PTSD juga sering mengalami mimpi
buruk yang bisa terkait secara langsung maupun tidak dengan kejadian traumatis
yang dialaminya.

G. Penyebab Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD bisa muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa
yang menakutkan atau mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti mengapa
peristiwa tersebut menyebabkan PTSD bagi sebagian orang. Namun, ada dugaan bahwa
penyebabnya adalah kombinasi dari sejumlah kondisi berikut :
 Pengalaman yang tidak menyenangkan.
 Riwayat gangguan mental pada keluarga.
 Kepribadian bawaan yang temperamen

H. Factor Risiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian
tragis. Akan tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada seseorang yang memiliki sejumlah
faktor risiko berikut:
1. Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman.
2. Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
3. Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan.
4. Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi.
5. Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung
(bullying) pada masa kecil.
6. Memiliki pekerjaan tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di
daerah perang.

I. Pengobatan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Jika gejala yang
dialami pasien tergolong parah, dokter akan menggabungkan psikoterapi dan obat-
obatan. Psikoterapi dapat dilakukan secara individual atau berkelompok dengan pasien
PTSD lain. Ada beberapa jenis pengobatan PTSD yang biasanya digunakan untuk
mengatasi PTSD, yaitu:
1. Dengan Fisioterapi
 Terapi perilaku kognitif, untuk mengenali dan mengubah pola pikir
pasien yang negatif menjadi positif.
 Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan
ingatan yang memicu trauma secara efektif.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu
kombinasi terapi eksposur dan teknik gerakan mata untuk mengubah
respons pasien saat teringat kejadian traumatis.

2. Dengan Obat – obatan


Dokter akan memberikan obat-obatan untuk mengatasi gejala PTSD.
Meningkatkan dosis obat bila tidak efektif dalam mengatasi gejala.
Namun, jika terbukti efektif, obat-obatan akan terus diberikan setidaknya
sampai 1 tahun. Kemudian, pengobatan akan dihentikan secara bertahap.
Obat yang diberikan tergantung pada gejala yang dialami pasien, antara
lain :
 Antidepresan : Untuk mengatasi depresi, seperti sertraline
dan paroxetine.
 Anticemas : Untuk mengatasi kecemasan.
 Prazosin : Untuk mencegah mimpi buruk.

J. Komplikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD bisa mengganggu kehidupan penderitanya, baik di lingkup keluarga atau
pekerjaan, Penderita PTSD juga lebih berkemungkinan memiliki keinginan untuk
melukai diri sendiri bahkan bunuh diri. Selain itu, penderita PTSD juga berisiko
menderita gangguan mental lain, seperti :
1. Depresi
2. Gangguan makan
3. Gangguan kecemasan
4. Ketergantungan alcohol
5. Penyalahgunaan NAPZA

K. Pencegahan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD tidak bisa dicegah, tapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan bila Anda
mengalami kejadian traumatis, misalnya:
 Bicara kepada keluarga, teman, atau terapis mengenai kejadian traumatis yang
Anda alami.
 Coba untuk fokus pada hal yang positif, termasuk ketika mengalami peristiwa
traumatis. Sebagai contoh, merasa bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang
dialami.

L. Respon Korban Terhadap Bencana


Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola
respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas,
dan penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan
sebagai "supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

2. Kelompok II
Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan.
Proses berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu
membuat rencana dengan cara yang masuk akal. Tingkah
lakunya menyerupai robot, dan memperlihatkan simptom- simptom fisik dan
psikologikal yang nyata, khususnya berupa anxiety yang tinggi. Korban yang
termasuk ke dalam kategori ini sekitar75%.
3. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak
sesuai, beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness)
dan membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.

M. Dampak Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak kepada
kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang. Jika
tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya
gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang muncul pada
aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu,
mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya iritasi, hilangnya
gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.Sedangkanaspek mental
di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat
berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak mampu
berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri,
menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung
diri, menyalahkan orang lain.Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa, hilang
harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan,
tidak tulus, dll.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”

Dosen pembimbing: Vice Elese

Disusun oleh:
Lesmy sasmita
P05120218072
Kelas: 3B DIII Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
RANGKUMAN

“Konseling pada korban bencana”

A. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
B. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
1. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
1) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
2) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
3) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
4) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
5) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
6) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
7) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
8) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
9) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
10) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
11) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
12) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
13) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
14) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
1. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
2. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).

RANGKUMAN
“Post Traumatic Stress Disorder”
A. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
1. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan
terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
2. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
3. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
4. Faktor neurobiology
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan
dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut.
C. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
1. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
1) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
2) Perkosaan atau pelecehan seksual
3) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
4) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
2. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
1) Kecelakaan mobil atau kebakaran
2) Bencana alam, seperti gempa bumi
3) Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
4) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
3. Veteran perang atau korban perang sipil
4. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
5. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
6. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
D. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD
1. Perubahan fikiran
1) Tidak dapat menerima kenyataan
2) Teringat- ingat
3) Mimpi buruk
4) Susah konsentrasi
5) Menjadi pelupa
2. Perubahan perasaan
1) Takut yang berlebihan
2) Cemas
3) Sedih
4) Bimbang
5) Merasa tak pantas hidup lagi
3. Perubahan tingkah laku
1) Sesak nafas
2) Susah tidur
3) Jantung berdebar-debar
4) Nafsu makan berkurang
5) Menarik diri dari orang lain
6) Mudah terkejut
7) Kepala pusing dan pingsan
E. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)

Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA

LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Tamara Anelva

NIM : P05120218079

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

A. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

B. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

C. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
a. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
b. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
c. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
d. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
e. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
f. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
g. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
h. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.

D. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana


Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
a) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
b) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
c) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
d) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
e) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
f) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
g) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
h) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian layanan
konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

E. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
1. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

2. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
3. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
4. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
a. Play therapy
b. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
c. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

A. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

B. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :
a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

a. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
b. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.
c. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

d. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

C. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

1. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


a. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
b. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
c. Penyiksaan
d. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
e. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
f. Pelecehan pemujaan
g. Terorisme
h. Peristiwa ledakan bom
i. Menyaksikan pembunuhan
j. Ancaman, penyiksaan
2. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
3. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

D. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

2. Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
3. Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

4. Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

E. Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

F. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

1. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
1. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

G. Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
4. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
TUGAS
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling Pada Korban Bencana dan Post Traumatic Sindrom Disorder”

DOSEN PEMBIMBING :

vice elese

DISUSUN OLEH :

Murdani Furiyanti

(P0 51202180 73)

KELAS :

3B DIII Keperawatan

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI D-III KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021

KONSELING PADA KORBAN BENCANA

A. Definisi
Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis yang terjadi
pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa.
Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari pemajanan atas suatu peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan
politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

B. Konseling

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, dan
ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam mengatasi rasa tak
berdaya dan keputusasaannya.

2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang positif,
sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang permasalahan yang
dihadapi.

3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan memberikan
harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar kembali seimbang.

4. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui


komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.

5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan


melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.

6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan
membantu pemecahannya secara bersama-sama.

7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn klien
kepada konselor.

Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa dalam
proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan penekanan kepada
coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya
memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan
peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress. Dengan mengutip pendapat
Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985) dijelaskan lebih lanjut bahwa tiga peran religi
dalam coping process yaitu (a) menawarkan makna kehidupan, (b) memberikan sense
of control terbesar dalam mengatasi situasi, dan (c) membangun self esteem. Adapun dua
sumber coping yang biasa dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa dan
berserah diri pada Tuhan).

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER/GANGGUAN STRES PASCA


TRAUMA(GSPT)

A.Definisi Gangguan stres pasca trauma (GSPT)

Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis yang terjadi
pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa.
Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari pemajanan atas suatu peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah
tangga, kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan
politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

B. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV) yang
dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator bahwa seseorang
yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b) Peristiwa yang dialami lagi; (c)
Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam kriteria b (gejala lebih dari satu bulan);
(f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000). Gejala untuk masing-masing indikator tersebut
sebagai berikut :

a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang melibatkan
kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri sendiri dan orang
lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat (pada
anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau memprovokasi).

b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :


1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi, halusinasi, dan
kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau eksternal
yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.

c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :


1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang dahulunya
merupakan aktivitas yang menyenangkan.

d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :


1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.

e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

a. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
b. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi. Seperti
mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi kembali, serta reaksi
fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika teringat trauma tsb.

c. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

d. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa hal paling menyusahkan mengenai suatu kejadian
trauma adalah perasaan ketidakberdayaan yang sepenuhnya ditimbulkan, yang terjadi
kembali melalui hilangnya kontrol atas status pikiran, dengan reaksi lari dari kenyataan
secara spontan, reaksi-reaksi yang mengejutkan atau ingatan yang terganggu mengenai
kejadian trauma. Sedangkan tanda-tanda kunci akan adanya GSPT yang menetap setelah
trauma, yakni gagal remisi kembali normal setelah melewati fase akut (setelah 3 bulan).
Adanya tekanan darah (tensi) meninggi setelah 1 bulan pascatrauma, dan abnormalitas
fisiologi, mudah kaget serta terkejut berlebihan, setelah 3 bulan pascatrauma.

Sedangkan Tadjudin (Kompas, 9 Januari 2005) menjelaskan bahwa gejala GSPT


dapat berupa gejala-gejala trauma psikotik, psikososial, biopsikososial, dan trauma
psikososialpolitis (misal, kasus di NAD). Diperkirakan gejala trauma akut taraf
psikososial akan terlihat nyata selama kurun waktu sebulan pertama pascakejadian
traumatik ekstrem.

C.Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

4. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


k. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
l. Pelecehan termasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan emosional.
m. Penyiksaan
n. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
o. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
p. Pelecehan pemujaan
q. Terorisme
r. Peristiwa ledakan bom
s. Menyaksikan pembunuhan
t. Ancaman, penyiksaan
u. Serangan penembak gelap
v. Menyaksikan reaksi ketakutan orang tua
w. Menyaksikan efek alkoholisme pada keluarga
x. Bunuh diri atau bentuk lain dari kematian mendadak; (n) ancaman kematian, dan
y. Kerusakan atau kehilangan bagian tubuh.
5. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
6. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.
Bagi sebagian orang pengalaman dramatis, tragis, mengenaskan, memilukan,
pedih, mengerikan, sebagai akibat faktor kesengajaan manusia, ketidak sengajaan
manusia, ataupun bencana alam merupakan pengalaman traumatik yang tak terlupakan.
Secara psikologis, pengalaman traumatis di atas dapat menjadikan setiap orang yang
mengalaminya menjadi sangat terpukul, meratapi nasibnya, kesedihan yang mendalam,
cemas, takut, tidak

percaya dengan apa yang dialaminya, binggung tidak tahu apa yang harus
dilakukan, kehilangan jati diri, dan sebagainya. Kehidupannya menjadi sangat kritis,
tidak nyaman dan rentan terhadap munculnya berbagai bentuk gangguan fisik maupun
kejiwaan, seperti stress dan depresi.

Van der Kolk (Fahrudin, 2005) mengatakan bahwa salah satu karaktersitik utama
pengalaman traumatik selalu menantang kemampuan individu untuk menyusun suatu
narrative pengalaman mereka dan mengintegrasikannya dengan kejadian-kejadian yang
lain. Sebagai implikasinya, pengalaman traumatik individu tidak terkait dengan masalah
logika tetapi lebih kepada emosi yang memuncak atau somatosensory impression.

Dalam kaitan dengan bencana, studi mengenai bencana menyimpulkan bahwa


korban-korban mempunyai persamaan dari aspek-aspek reaksi yang dialami. Secara
umum. Rice (Fahrudin, 2005) menjelaskan tiga periode yang berbeda yaitu, yaitu: (1)
periode impak (impact period), berlangsung sepanjang kejadian bencana, (2) periode
penyejukan suasana (recoil period), berlangsung dalam beberapa hari selepas kejadian,
(3) periode post-traumatik (post-trauma period), yang dapat berlangsung lama dan
bahkan sepanjang hayat. Hal ini berarti bencana selalu menyisakan masalah, bahkan
untuk jangka lama.

Dalam periode impak, korban-korban selalu diliputi perasaan tidak percaya


dengan apa yang sedang mereka alami. Periode ini berlangsung singkat pada saat dan
segera setelah kejadian. Periode ini terlihat ketika korban-korban mulai merasakan diri
mereka lapar, tidak memahami bagaimana harus memulihkan keadaan dan mengganti
harta-benda yang hilang, bingung dan kehilangan masa depan. Dalam periode
penyejukan suasana, korban mendapat bantuan kemanusiaan, terutama yang bersifat
fisik untuk sekedar dapat bertahan hidup.

Periode post-traumatik berlangsung tatkala korban-korban bencana mulai


berjuang untuk melupakan pengalaman-pengalaman traumatiknya yang ditandai dengan
munculnya simptom-simptom gangguan stres pasca trauma (symptoms of post-traumatic
stress disorder) yang dapat berlangsung dalam jangka panjang.
Dipercayai pula bahwa simptom-simptom fisik dan psikologikal akan muncul
selepas bencana yang besar. Simptom psikologikal termasuk panic, anxiety, ketakutan
fobik, merasa tidak tenteram, terasing, menarik diri (withdrawl), depression (termasuk
beberapa percobaan bunuh diri), marah dan kekecewaan yang mendalam.

Bencana selalu terkait dengan tingkah laku manusia, sehingga dalam jangka
pendek, jangka sedang, dan jangka panjang dapat berdampak psikososial kepada korban
langsung (primary victims) maupun korban tak langsung (secondary victims). Gibson
(Fahrudin, 2005) mengatakan bahwa dampak bencana tidak hanya kepada penduduk
yang terlibat melainkan juga rekan-rekan terdekat, tetangga, atau bahkan para pekerja
atau sukarelawan yang terlibat di dalam pelayanan sosial bencana.

D.Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

7. Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

8. Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

9. Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

E.Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

Pernyataan di atas senada dengan yang diungkapkan oleh Sara (2005) bahwa
GSPT ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif, emosi, behavior
(perilaku), dan social. Gejala gangguan fisik memiliki ciri pusing, gangguan pencernaan,
sesak napas, tidak bisa tidur, kehilangan selera makan, impotensi, dan sejenisnya.
Gangguan kognitif ditandai oleh gangguan pikiran seperti disorientasi, mengingkari
kenyataan, linglung, melamun berkepanjangan, lupa, terus menerus dibayangi ingatan
yang tak diinginkan, tidak focus dan tidak konsentrasi, tidak mampu menganalisa dan
merencanakan hal-hal yang sederhana, tidak mampu mengambil keputusan. Pada kasus
yang lebih berat mulai disertai halusinasi. Gangguana emosi ditandai dengan
gejala tertekan, depresi, mimpi buruk, marah, merasa bersalah, malu, kesedihan yang
berlarut-larut, kecemasan dan ketakutan, menarik diri, tidak menaruh minat pada
lingkungan, dan tidak mau diajak bicara. Singkatnya, hidup dihayati sebagai kehampaan
dan tidak bermakna. Gangguan perilaku, ditandai menurunnya aktivitas fisik, seperti
gerakan tubuh yang minimal. Misal, duduk berjam-jam dan perilaku repetif (berulang-
ulang). Sementara gangguan sosial, yakni memisahkan diri dari lingkungan, menyepi,
agresif, prasangka, konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat
dominan.

F. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

2. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
2. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

MANAJEMEN BENCANA

LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Veny Eka Marisca

NIM : P05120218085

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU


PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

F. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

G. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

H. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
i. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
j. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
k. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
l. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
m. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
n. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
o. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
p. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.
I. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana
Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
i) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
j) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
k) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
l) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
m)Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
n) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
o) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
p) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian layanan
konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

J. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
5. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

6. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
7. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
8. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
d. Play therapy
e. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
f. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

H. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

I. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :

a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.
Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau
bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

a. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
b. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.
c. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

d. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

J. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

5. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


z. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
aa. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
bb. Penyiksaan
cc. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
dd. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
ee. Pelecehan pemujaan
ff. Terorisme
gg. Peristiwa ledakan bom
hh. Menyaksikan pembunuhan
ii. Ancaman, penyiksaan
6. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
7. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

K. Respon Korban Terhadap Bencana


Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola
respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

10.Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

11.Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

12.Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

L.Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

M. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

3. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
3. Obat-Obatan
 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,
cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

N.Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
4. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
Nama:DindaRupita
Kelas:3b/D3kep
Dosen:Bang Vice
‘’KONSELING PADA KORBAN BENCANA’’
BENCANA alam, seperti gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, senantiasa
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
berdampak psikologis, menyebabkan krisis kejiwaan, serta menyisakan trauma bagi penduduk
sekitar.
Hasil penelitian di Amerika oleh National Center for PTSD Tahun 2010 memperlihatkan 15-43
persen wanita dan 14-43 persen pria mengalami peristiwa trauma selama kehidupan mereka.
Anak-anak dan remaja yang menaglami peristiwa trauma, 3-15 persen wanita dan 1-6 persen pria
mengalami post traumatic stress disorder (PTSD).
Membantu para korban bencana dapat dilakukan dengan menyalurkan bantuan berupa materi dan
konseling. Kebutuhan rasa aman juga setara dengan kebutuhan akan bantuan dana dan materi.
Kebutuhan untuk didengarkan dan didampingi saat korban mencari jalan keluar dari bencana
penting untuk diberi ruang.
Karena itu, memberikan konseling pascabencana menjadi salah satu bantuan yang sangat penting
dan berarti bagi para korban bencana. Upaya konseling berfokus pada solusi alternatif menolong
orangorang yang cemas dan dipenuhi ketakutan di tengah bencana.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 17
Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pascabencana, salah satu aspek penting rehabilitasi adalah masalah sosial psikologis yang
dihadapi para korban bencana.
Konseling merupakan bantuan yang bersifat terapeutis yang diarahkan untuk mengubah sikap
perilaku dan diarahkan hanya pada penyembuhan psikologis semata, dilaksanakan face to face
antara konseli dan konselor, melalui teknik wawancara sehingga dapat terentaskan permasalahan
yang dialaminya.
Konseling terapeutik dibagi dalam tiga kategori, yakni pendekatan psikodinamika, eksperiensial,
dan relasi. Pendekatan lain yang ditempuh adalah pemberian bantuan psikologis awal
ataupsychological first aid (PFA).
Intinya adalah mendengarkan tanpa banyak bertanya, memberikan ruang untuk menyampaikan
rasa takut. Edukasi soal informasi bencana atau informasi bantuan juga perlu dilakukan. Layanan
konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban selamat yang mengalami stres
dan depresi berat, baik orang tua maupun anak-anak.
Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan membangun harapan baru
dengan kondisi yang baru pula. Bagi orang tua, layanan konseling trauma akan membantu
mereka memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini, untuk selanjutnya mampu melupakan
semua tragedi dan memulai kehidupan baru.
Seiring dengan kondisi tersebut, konselor sebagai pendidik pada jalur formal bertugas melakukan
bimbingan dan konseling di sekolah juga bertanggung jawab untuk dapat membantu peserta
didik, masyarakat ataupun individu yang mengalami peristiwa trauma.
Pihak-pihak yang memungkinkan menyelenggarakan konseling traumatis bagi korban bencana
adalah guru Bimbingan dan Konseling (BK), dosen Prodi BK, sarjana BK, dan mahasiswa
Jurusan BK. Tenaga-tenaga tersebut hampir dimiliki oleh semua wilayah di seluruh Indonesia
sehingga rehabilitasi psikologis dengan konseling traumatis untuk korban bencana dapat
dilaksanakan di mana saja.
Namun dalam penanganan bencana, masyarakat sering kali diperlakukan sebagai penerima
bantuan pasif yang tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penanganan
bencana. Padahal, jumlah korban dapat diminimalkan apabila penduduk memiliki kesiapan
psikologis secara dini menghadapi bencana alam.
Kesiapan psikologis ini dapat dibentuk melalui sosialisasi pelatihan pada berbagai kegiatan dan
simulasi, termasuk sekolah melalui program bimbingan pribadi dan sosial, guru pembimbing
dapat meningkatkan kesiapsiagaan psikologis menghadapi bencana yang akan dapat mengurangi
risiko terhadap akibat bencana alam.
Permasalahan yang dihadapi guru BK saat ini, mereka memiliki keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan dalam hal kebencanaan sehingga diperlukan sumber informasi bagi guru BK
melalui kurikulum kebencanaan yang melibatkan lembaga seperti BMKG, BNPN, serta LIPI.
Menurut Brammer (1979), terdapat empat tahap dalam keterampilan konseling pada saat krisis
pascabencana alam.
Pertama, menilai atau menentukan kondisi korban saat ini dan keparahan permasalahannya,
Kedua, memutuskan jenis konseling yang paling dibutuhkan saat ini berdasarkan penilaian.
Ketiga, bertindak secara langsung dalam pelaksanaan konseling. Keempat, memantau tindakan
nyata konseli menerapkan hasil konseling dengan bertindak nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman yang lebih baik tentang respons psikologis terhadap situasi peringatan adanya
bencana alam akan membantu orang merasa lebih percaya diri, lebih mampu mengendalikan dan
mempersiapkan lebih baik secara psikologis ataupun mempersiapkan perencanaan-perencanaan
darurat yang lebih efektif. Pengembangan dan peningkatan wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan kompetensi konselor menjadi fasilitator diperlukan dalam pelayanan konseling
pascabencana.
Kesadaran diri, pengetahuan, dan kompetensi dapat ditingkatkan dengan mengenal bagaimana
bencana dan pentingnya konseling pascabencana, mengetahui cara meningkatkan kesadaran diri,
mengetahui penyebab dan dampak psikologis pascabencana sehingga dapat melakukan
asessment, intervention, dan melakukan treatment dan follow up.
‘’POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER(PTSD)’’

PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental
yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak
menyenangkan. PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat
pada kejadian traumatis. Peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD antara lain perang,
kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual. Meski demikian, tidak semua orang yang
teringat pada kejadian traumatis berarti terserang PTSD. Ada kriteria khusus yang digunakan
untuk menentukan apakah seseorang mengalami PTSD.
Gejala PTSD
Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya trauma. Waktu
kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian traumatis tersebut.
Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap penderita.
Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah:
1. Ingatan pada peristiwa traumatis
Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya trauma. Bahkan, penderita
merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut. Ingatan terhadap peristiwa traumatis
tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi buruk, sehingga penderita tertekan secara emosional.
2. Kecenderungan untuk mengelak
Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang membuatnya trauma.
Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas, dan seseorang yang terkait dengan
kejadian traumatis tersebut.
3. Pemikiran dan perasaan negatif
Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain itu, penderita juga
kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan merasa putus asa. Penderita juga lebih
menyendiri dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.
4. Perubahan perilaku dan emosi
Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu oleh ingatan pada
peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering membahayakan dirinya atau orang lain.
Penderita juga sulit tidur dan berkonsentrasi.

PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada anak-anak, terdapat gejala
khusus, yaitu sering melakukan reka ulang peristiwa traumatis melalui permainan. Anak dengan
PTSD juga sering mengalami mimpi buruk yang bisa terkait secara langsung maupun tidak
dengan kejadian traumatis yang dialaminya.
Kapan harus ke dokter
Konsultasikan dengan psikiater bila muncul ingatan terhadap peristiwa traumatis yang
mengganggu aktivitas, terutama bila berlangsung selama 1 bulan atau lebih.
Segera konsultasi ke psikiater bila ingatan tentang kejadian traumatis sampai memicu Anda
untuk menyakiti diri sendiri dan orang lain, atau sampai mendorong Anda untuk bunuh diri.
Penyebab PTSD
PTSD bisa muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang menakutkan
atau mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti mengapa peristiwa tersebut menyebabkan
PTSD bagi sebagian orang. Namun, ada dugaan bahwa penyebabnya adalah kombinasi dari
sejumlah kondisi berikut:
 Pengalaman yang tidak menyenangkan.
 Riwayat gangguan mental pada keluarga.
 Kepribadian bawaan yang temperamen.
 Peristiwa yang diketahui paling sering memicu PTSD meliputi:
a) Perang
b) Kecelakaan
c) Bencana alam
d) Perundungan (bullying)
e) Kekerasan fisik
f) Pelecehan seksual
g) Prosedur medis tertentu, seperti operasi
h) Penyakit yang mengancam nyawa, misalnya serangan jantung
Faktor Risiko PTSD
Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian tragis. Akan
tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada seseorang yang memiliki sejumlah faktor risiko berikut:
 Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman.
 Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
 Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan.
 Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi.
Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung (bullying) pada masa kecil.
Memiliki pekerjaan tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di daerah perang.
Diagnosis PTSD
Dokter akan menanyakan gejala yang dialami pasien dan melakukan pemeriksaan fisik untuk
mencari tahu apakah gejala yang dialami pasien disebabkan oleh penyakit fisik. Jika penyakit
fisik tidak ditemukan, pasien akan dirujuk ke dokter spesialis kejiwaan atau psikiater.
Seseorang baru dapat dikatakan menderita PTSD bila memiliki riwayat mengalami kondisi atau
pristiwa berikut sebelum gejala muncul:
1. Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
2. Menyaksikan peristiwa traumatis yang menimpa orang lain.
3. Mendengar bahwa orang terdekat mengalami peristiwa traumatis.
4. Berulang kali terbayang pada kejadian traumatis secara tidak sengaja.
Untuk dikategorikan sebagai PTSD, gejala yang dialami pasca peristiwa traumatis harus
berlangsung selama satu bulan atau lebih. Gejala juga harus mengganggu aktivitas sehari-hari,
terutama dalam hubungan sosial dan pekerjaan.
1.Pengobatan PTSD
Pengobatan PTSD bertujuan untuk meredakan respons emosi pasien dan mengajarkan pasien
cara mengendalikan diri dengan baik ketika teringat pada kejadian traumatis. Metode pengobatan
yang dilakukan meliputi:
2.Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Jika gejala yang dialami pasien
tergolong parah, dokter akan menggabungkan psikoterapi dan obat-obatan.
Psikoterapi dapat dilakukan secara individual atau berkelompok dengan pasien PTSD lain. Ada
beberapa jenis psikoterapi yang biasanya digunakan untuk mengatasi PTSD, yaitu:
3.Terapi perilaku kognitif, untuk mengenali dan mengubah pola pikir pasien yang negatif
menjadi positif.
Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan ingatan yang memicu trauma
secara efektif.
Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu kombinasi terapi eksposur dan
teknik gerakan mata untuk mengubah respons pasien saat teringat kejadian traumatis.
4.Obat-obatan
Dokter akan memberikan obat-obatan untuk mengatasi gejala PTSD. Obat yang diberikan
tergantung pada gejala yang dialami pasien, antara lain:
 Antidepresan, untuk mengatasi depresi, seperti sertraline dan paroxetine.
 Anticemas, untuk mengatasi kecemasan.
 Prazosin, untuk mencegah mimpi buruk.
Dokter akan meningkatkan dosis obat bila tidak efektif dalam mengatasi gejala. Namun, jika
terbukti efektif, obat-obatan akan terus diberikan setidaknya sampai 1 tahun. Kemudian,
pengobatan akan dihentikan secara bertahap.
Komplikasi PTSD
PTSD bisa mengganggu kehidupan penderitanya, baik di lingkup keluarga atau pekerjaan. Selain
itu, penderita PTSD juga berisiko menderita gangguan mental lain, seperti:
1. Depresi
2. Gangguan makan
3. Gangguan kecemasan
4. Ketergantungan alkohol
5. Penyalahgunaan NAPZA
Penderita PTSD juga lebih berkemungkinan memiliki keinginan untuk melukai diri sendiri
bahkan bunuh diri.
Pencegahan PTSD
PTSD tidak bisa dicegah, tapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan bila Anda mengalami
kejadian traumatis, misalnya:
Bicara kepada keluarga, teman, atau terapis mengenai kejadian traumatis yang Anda alami.
Coba untuk fokus pada hal yang positif, termasuk ketika mengalami peristiwa traumatis. Sebagai
contoh, merasa bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang dialami.
TUGAS RESUME MBL
“Konseling Pada Korban Bencana Dan

Post Traumatic Syndrom Disorder (PTSD)”

DISUSUN OLEH :
Desmita Putri Ani
(P05120218059)

KELAS :
3B/DIII Keperawatan

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI D-III KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN

2020/2021

“Konseling Pada Korban Bencana Dan

Post Traumatic Syndrom Disorder (PTSD)”

N. Konseling Pada Korban Bencana


Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban
selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak.
Tujuan konseling yaitu :
a) Pada anak-anak : Perlu dilakukan konseling serta dibantu untuk bisa
menatap masa depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi
yang baru pula.
b) Pada orang tua : Layanan konseling trauma akan membantu mereka
memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini, untuk selanjutnya
mampu melupakan semua tragedi dan memulai kehidupan baru.
Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan
konseling trauma bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan
yang dapat dijadikan modal awal memulai kehidupan baru dengan
pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang dimiliki dan daya dukung
lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin menjalani
hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan
kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah.
Untuk mencapai efektivitas layanan, konseling trauma dilakukan
dengan dua format, yaitu : Format individual (untuk korban yang tingkat
stres dan depresinya berat), dan Format kelompok (untuk individu yang
beban psikologisnya masih pada derajat sedang).

O. Langkah Melakukan Konseling


a) Menciptakan rasa nyaman
Bagi individu yang mengalami trauma, dunia ini dirasa tidak aman dan nyaman.
Oleh sebab itu, mereka memerlukan orang lain yang bisa memberikan
perlindungan dan rasa nyaman pada mereka, sehingga mereka merasa tidak
sendirian dalam hidup ini. Penciptaan rasa aman teresebut bisa dilakukan dengan
mengadakan permainan yang bisa mendorong individu untuk melupakan sejenak
peristiwa traumatis yang dialaminya.

b) Lakukan Pendekatan Classical


Salah satu teknik untuk kasus – kasus yang digunakan secara luas bagi
klien yang mengalami masalah kecemasan (rasa takut yang tidak adaptif) karena
peristiwa traumatis adalah disensitisasi sistematik. Teknik ini didasarkan atas
prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah
bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar,
dan untuk mengubah, memo- difikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga
melalui belajar. Oleh sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bisa dipelajari
atau dikondisikan. Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling
untuk mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami
latar belakang diri klien secara komprehensif.
Tahap – tahap dalam melakukan pendekatan classical adalah :
 Menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa
khusus yang memicu rasa takut tersebut
 Menyusun daftar urutan situasi yang me- nyulut kecemasan
dalam bentuk hirarki, mulai dari situasi yang menimbulkan
kecemasan rendah sampai tinggi
 Lakukan Proses disensitisasi (Untuk relaksasi)
 Menyuruh klien duduk dalam keadaan santai dan nyaman
sambil memejamkan matanya
 Setelah klien merasa rileks, ia diminta untuk
membayangkan sesuatu yang paling sedikit menimbulkan
kecemasan sesuai dengan hirarki yang telah disusun.
Apabila klien masih bisa santai dalam membayangkan
peristiwa tersebut, konselor bisa bergerak maju dalam
hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa
pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat
itu pula skenario dihentikan

P. Materi Dalam Konseling Bencana


Beberapa materi yang dapat diberikan kepada korban yang selamat dari bencana
alam yaitu : Pengembangan hubungan sosio-emosional, Play therapy, Self report and
sharing, informasi tentang gempa, penenangan (relaksasi dan disensitisasi), Spritual
Emotional Freedom technique (SEFT), dan pendalaman melalui berbagai jenis layanan
dan kegiatan pendukung konseling.

Q. Peran Perawat GSPT


Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT, yaitu
sebagai berikut :
8. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya
melalui dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi
kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan
dukungan emosi. Serta dalam mengatasi rasa tak berdaya dan
keputusasaannya.
9. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku
yang positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan
tentang permasalahan yangdihadapi.
10. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya
agar kembaliseimbang.
11. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik
melalui komunikasi, doa, peran keluarga,dsb.
12. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu
merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu
masalah.
13. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada
klien dan membantu pemecahannya secarabersama-sama.
14. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa
ketergantunagn klien kepadakonselor.

Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa dalam
proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan penekanan kepada
coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya
memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan
peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress. Dengan mengutip pendapat
Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985) dijelaskan lebih lanjut bahwa tiga
peranreligidalamcopingprocessyaitu(a)menawarkanmaknakehidupan,(b) memberikan
sense of control terbesar dalam mengatasi situasi, dan (c) membangun self esteem.
Adapun dua sumber coping yang biasa dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa
dan berserah diri pada Tuhan).

R. Pengertian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD atau gangguan stress pascatrauma
adalah gangguan mental yang dapat terjadi setelah seseorang mengalami atau
menyaksikan kejadian yang traumatis atau tidak menyenangkan. Gangguan PTSD dapat
membuat orang yang mengalaminya merasa cemas yang berlebihan dan membuat
penderitanya menginat kembali kejadian traumatis yang dialami atau dilihatnya.
Misalnya: pelecehan seksual, perang, serangan terorisme, kecelakaan berat, bencana
alam, Perundungan (bullying), kekerasan fisik, prosedur medis tertentu (seperti operasi),
penyakit yang mengancam nyawa (misalnya serangan jantung).
PTSD memiliki prevalensi seumur hidup –antara 8–10%, dan diikuti dengan
ketidakmampuan berfungsi dalam sosial. Selain itu PTSD memiliki resiko lebih tinggi
dialami oleh perempuan dibandingkan laki – laki karena wanita lebih sering mengalami
pelecehan seksual.
S. Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya
trauma. Waktu kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kejadian
traumatis tersebut. Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap
penderita. Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah :
Ingatan pada peristiwa traumatis
Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya
trauma. Bahkan, penderita merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut.
Ingatan terhadap peristiwa traumatis tersebut juga sering kali hadir dalam mimpi
buruk, sehingga penderita tertekan secara emosional.

5. Kecenderungan untuk mengelak


Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang
membuatnya trauma. Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas,
dan seseorang yang terkait dengan kejadian traumatis tersebut.
6. Pemikiran dan perasaan negative
Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain
itu, penderita juga kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan
merasa putus asa. Penderita juga lebih menyendiri dan sulit menjalin hubungan
dengan orang lain.

7. Perubahan perilaku dan emosi


Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu
oleh ingatan pada peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering
membahayakan dirinya atau orang lain. Penderita juga sulit tidur dan
berkonsentrasi.
PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada anak-
anak, terdapat gejala khusus, yaitu sering melakukan reka ulang peristiwa
traumatis melalui permainan. Anak dengan PTSD juga sering mengalami mimpi
buruk yang bisa terkait secara langsung maupun tidak dengan kejadian traumatis
yang dialaminya.
T. Penyebab Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD bisa muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa
yang menakutkan atau mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti mengapa
peristiwa tersebut menyebabkan PTSD bagi sebagian orang. Namun, ada dugaan bahwa
penyebabnya adalah kombinasi dari sejumlah kondisi berikut :
 Pengalaman yang tidak menyenangkan.
 Riwayat gangguan mental pada keluarga.
 Kepribadian bawaan yang temperamen

U. Factor Risiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian
tragis. Akan tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada seseorang yang memiliki sejumlah
faktor risiko berikut:
7. Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman.
8. Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
9. Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan.
10. Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi.
11. Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung
(bullying) pada masa kecil.
12. Memiliki pekerjaan tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di
daerah perang.

V. Pengobatan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Jika gejala yang
dialami pasien tergolong parah, dokter akan menggabungkan psikoterapi dan obat-
obatan. Psikoterapi dapat dilakukan secara individual atau berkelompok dengan pasien
PTSD lain. Ada beberapa jenis pengobatan PTSD yang biasanya digunakan untuk
mengatasi PTSD, yaitu:
3. Dengan Fisioterapi
 Terapi perilaku kognitif, untuk mengenali dan mengubah pola pikir
pasien yang negatif menjadi positif.
 Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan
ingatan yang memicu trauma secara efektif.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu
kombinasi terapi eksposur dan teknik gerakan mata untuk mengubah
respons pasien saat teringat kejadian traumatis.

4. Dengan Obat – obatan


Dokter akan memberikan obat-obatan untuk mengatasi gejala PTSD.
Meningkatkan dosis obat bila tidak efektif dalam mengatasi gejala.
Namun, jika terbukti efektif, obat-obatan akan terus diberikan setidaknya
sampai 1 tahun. Kemudian, pengobatan akan dihentikan secara bertahap.
Obat yang diberikan tergantung pada gejala yang dialami pasien, antara
lain :
 Antidepresan : Untuk mengatasi depresi, seperti sertraline
dan paroxetine.
 Anticemas : Untuk mengatasi kecemasan.
 Prazosin : Untuk mencegah mimpi buruk.

W. Komplikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD bisa mengganggu kehidupan penderitanya, baik di lingkup keluarga atau
pekerjaan, Penderita PTSD juga lebih berkemungkinan memiliki keinginan untuk
melukai diri sendiri bahkan bunuh diri. Selain itu, penderita PTSD juga berisiko
menderita gangguan mental lain, seperti :
6. Depresi
7. Gangguan makan
8. Gangguan kecemasan
9. Ketergantungan alcohol
10. Penyalahgunaan NAPZA
X. Pencegahan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD tidak bisa dicegah, tapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan bila Anda
mengalami kejadian traumatis, misalnya:
 Bicara kepada keluarga, teman, atau terapis mengenai kejadian traumatis yang
Anda alami.
 Coba untuk fokus pada hal yang positif, termasuk ketika mengalami peristiwa
traumatis. Sebagai contoh, merasa bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang
dialami.

Y. Respon Korban Terhadap Bencana


Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola
respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
4. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas,
dan penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan
sebagai "supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

5. Kelompok II
Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan.
Proses berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu
membuat rencana dengan cara yang masuk akal. Tingkah
lakunya menyerupai robot, dan memperlihatkan simptom- simptom fisik dan
psikologikal yang nyata, khususnya berupa anxiety yang tinggi. Korban yang
termasuk ke dalam kategori ini sekitar75%.

6. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak
sesuai, beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness)
dan membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.

Z. Dampak Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak kepada
kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang. Jika
tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya
gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang muncul pada
aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu,
mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya iritasi, hilangnya
gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.Sedangkanaspek mental
di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat
berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak mampu
berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri,
menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung
diri, menyalahkan orang lain.Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa, hilang
harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan,
tidak tulus, dll.
MANAJEMEN BENCANA

LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Tiya Hilmawan

NIM : P05120218080

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN


TAHUN AJARAN 2019/2020
KONSELING PADA KORBAN BENCANA

F. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

G. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

H. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
i. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
j. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
k. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
l. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
m. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
n. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
o. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
p. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.
I. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana
Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
i) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
j) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
k) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
l) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
m)Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
n) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
o) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
p) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian layanan
konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

J. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
4. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

5. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
6. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
7. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
1. Play therapy
2. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
3. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

H. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

I. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :

a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.
Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau
bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

a. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
b. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.
c. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

d. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

J. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

k. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


1. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
2. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
3. Penyiksaan
4. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
5. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
6. Pelecehan pemujaan
7. Terorisme
8. Peristiwa ledakan bom
9. Menyaksikan pembunuhan
10. Ancaman, penyiksaan
l. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
i. Industrial
ii. Kebakaran
iii. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
iv. Bencana nuklir
v. Runtuhnya bangunan, dan
vi. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
m. Faktor bencana alam
i. Angin ribut
ii. Angin topan
iii. Tornado
iv. Banjir
v. Gempa bumi
vi. Salju longsor, dan
vii. Tsunami.

K. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

5. Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

6. Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

7. Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

L.Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

M. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

2. Psikoterapi

5. Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
6. Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
7. Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
a. Obat-Obatan
 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,
cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

N.Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

 Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
 Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
 Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
 Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
 Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
 Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
 Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Layanan Konselor pada Korban Bencana & Post Traumatic Stress Disorders (PTSD)”

Dosen Pembimbing : Vice Elese


Disusun Oleh :
Nama : Noperdi
NIM : P05120218075
Tingkat/ Prodi : 3B/DIII Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020/2021
LAYANAN KONSELOR PADA KORBAN BENCANA

A. Peran Konselor

Sebagai konselor yang professional dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan di


masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan konseling
adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan
oleh konselor untuk memfasilitasi individu untuk mencapai kemandirian, dalam wujud
kemampuan mamahami, menerima, mengarahkan, mengambil keputusan, dan merealisasikan
diri secara bertanggung jawab sehingga mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam
hidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan Konseling
Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah).
Kegiatan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena
untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan sebagai
konselor atau ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik secara khusus
untuk memperoleh kompetensi sebagai konselor, yaitu meliputi pengetahuan, ketrampilan,
nilai, dan sikap atau kepribadian serta pengalaman dalam bidang bimbingan dan konseling.
Prayitno dan Amti (2004: 110) menjelaskan terapi dalam konsepsi perkembangan
bimbingan dan konseling tidak ada gunanya membedakan tugas dan ruang lingkup kerja
bimbingan dan konseling di sisi lain. Mengingat perkembangan bimbingan dan konseling
yang belum cukup mantap maka istilah bimbingan dan konseling masih dipertahankan,
namun dari segi pelayanan hendaknya menekankan porsi yang lebih besar pada konseling.
Layanan konseling komunitas sangat memperhatikan keadaan individu dan kelompok
dalam setiap pelaksanaan dan tujuan akhirnya. Konseling komunitas didirikan pada tahun
1995 di North Yorkshire dan menyediakan berbagai layanan terhadap pendidikan orang
dewasa dan masyarakat pada umumnya. Konseling komunitas memberikan bantuan untuk
individu atau kelompok masyarakat yang membutuhkan dan berkelanjutan demi terlaksana
kepastian layanan yang memberikan dukungan dan perubahan untuk memperbaiki keadaan
masyarakat (dalam,http://www.community-counselling.org.uk/).
Masyarakat yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban bencana alam
yang bermasalah dengan keadaan psikologis serta tingkatan sosial yang memacu untuk
menjadikan ia semakin terpinggirkan. Pemberian layanan konseling komunitas sangat tepat
bagi korban bencana alam yang akan membantu serta mengarahkan individu dan kelompok
masyarakat yang terkena bencana alam untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara
fisik dan psikologis menuju kesejahteraan yang ingin di capai.

B. Fungsi Konselor

Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang
paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan
perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu, konselor juga bertindak sebagai
penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan
mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila
dikatakan bahwa konselor adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien.
Dalam melakukan proses konseling , seorang konselor harus dapat menerima kondisi
klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses
konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai pihak yang membantu, menempatkannya
pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan baik permasalahan yang dihadapi
klien.
Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang digunakan
memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini tergantung dari konsep pendiri
teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada konselor yang menggunakan
pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien. Hal tersebut tidak
berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis di mana peran konselor
bersifat holistis.
Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting kepribadian konselor. Sikap
sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya secara langsung.
Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam perbuatan. Fungsi
keterampilan bagi konselor adalah upaya memancarkan sikap-sikap yang dimilikinya
terhadap para klien disamping penunjukan kredibilitas lain seperti penampilan kompetensi
intelektual dan aspek-aspek non intelektif lainnya.
Selanjutnya, berikut ini diuraikan secara luas karakteristik seorang konselor yang efektif,
peran dan fungsi konselor, masalah yang dihadapi konselor dan resistensi konselor.

1. Karakteristik konselor
Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum marilah kita lihat
beberapa karakteristik konselor efektif yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Karakteristik inilah yang wajib dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai
keberhasilannya dalam proses konseling. Kita awali dari pandangan Carl Rogers
sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (dikutip dari lesmana, 2005)
menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang konselor,
yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.
a. Congruence
Menurut pandangan Rogers, seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen.
Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami
dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi.
Konselor harus sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi
kekurangan yang ada pada dirinya.
b. Unconditional positive regard
Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan
yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani
kehidupannya dengan membawa segala nilai-nilai dan kebutuhan yang
dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi untuk
mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah, konselor harus
memberikan kepercayaan kepad klien untuk mengembangkan diri mereka.
c. Empathy
Empathy di sini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor
harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut
didalam nilai-nilai klien.
Selain tiga karakteristik yang dikemukakan Rogers tersebut, seorang konselor
yang berperan sebagai "pembantu" bagi klien harus memiliki karakteristik yang
positif untuk menjamin keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam
hal ini, Latipun (2001) membaginya dalam dua aspek utama, yaitu:
1) Keahlian dan ketrampilan
Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan
menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan
ketrampilan wajib dipenuhi oleh konselor yang efektif.
2) Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses
konseling. Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor.
Comb A (dikutip dari latipun 2001) mengungkapkan bahwa kepribadian
konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata bagi konselor, akan
tetapi dapat dijadikan dengan instrumen dalam meningkatkan kemampuan
dalam membantu kliennya.

C. Tindakan Konselor

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari keseluruhan pendidikan di


sekolah yang berupaya membantu siswa memahami diri, menyesuaikan diri, memecahkan
masalah, membuat pilihan dan merealisasikan dirinya dalam kehidupan nyata serta
mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai perkembangan optimal. Konselor
sekolah adalah penyelenggara kegiatan konseling di sekolah. Istilah konselor secara resmi
digunakan dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 6 dengan menyatakan
konselor adalah pendidik dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2005 menyatakan konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah yang
sebelumnya menggunakan istilah BP, guru BP/BK dan guru pembimbing, untuk itu konselor
sekolah mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, hak secara penuh dalam pelayanan
bimbingan dan konseling terhadap sejumlah siswa. Secara umum tugas konselor sekolah
adalah bertanggung jawab untuk membimbing, membina dan membantu siswa sehingga
memiliki kepribadian yang matang dan mengenal potensi dirinya yang menyeluruh. Image
tentang bimbingan dan konseling yang beredar di kalangan siswa, bahwa bimbingan
konseling adalah polisi sekolah, takut kalau dipanggil ke ruang BK. Faktor lain yang
membuat tidak nyamannya siswa berhubungan dengan guru bimbingan dan konseling adalah
lokasi dan infrastruktur ruangan. Masih banyak sekolah yang menempatkan ruangan
bimbingan konseling bukan merupakan ruangan yang penting, contohnya letaknya di pojok
belakang sekolah, kondisinya sempit, tidak nyaman dan sangat tidak memadai untuk proses
kegiatan konseling.
Dewa Ketut Sukardi dan Desak NK (2008:30) mengatakan bahwa citra bimbingan dan
konseling semakin diperburuk dengan masih adanya konselor sekolah yang kinerjanya tidak
profesional. Mereka masih lemah dalam memahami konsep-konsep bimbingan dan konseling
secara komprehensif, menyusun program bimbingan dan konseling, mengimplementasikan
teknikteknik bimbingan dan konseling, kemampuan berkolaborasi dengan pimpinan sekolah
atau guru mata pelajaran, mengelola bimbingan dan konseling, megevaluasi program (proses
dan hasil) bimbingan dan konseling, dan melakukan tindak lanjut (follow up) hasil evaluasi
untuk perbaikan atau pengembangan program. Senada dengan hal itu, Jumail (2013:251)
mengemukakan penelitiannya di SMA Negeri 2 Padang tentang konselor sekolah yang
berpendidikan S1 Bimbingan dan Konseling diperoleh keterangan bahwa kompetensi
profesional yang dimiliki salah seorang konselor sekolah di sekolah tersebut belum
sepenuhnya optimal ini dikarenakan konselor tersebut belum mengaplikasikan pelayanan
sesuai dengan teknik yang baku yang sesuai dengan kaidah-kaidah konseling. Berkenaan
dengan peran konselor di sekolah, maka dibutuhkan kompetensi yang memadahi dari seorang
konselor di sekolah dapat berjalan sesuai apa yang diinginkan,

D. Sosok Utuh Kompetensi Konselor


Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional
sebagai satu keutuhan.Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat
pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik
merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi:
a) Memahami secara mendalam konseling yang dilayani,
b) Menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
c) Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan, dan
d) Mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi
tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
Kompetensi akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan
kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Konselor berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan mengembangkan isu atau
masalah, dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan
semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi
masalah.

E. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam

Menurut (Judith A. Lewis., at al., 2010: 91) ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi
tekanan lingkungan yang lebih berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya,
mereka memerlukan bantuan yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang
dipaksa untuk mengatasi berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana
alam yang menimpanya. Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami
tekanan/stress yang berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun,
seseorang mungkin akan merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk
meminta tolong kepada anggota yang bisa membantu. Ketika seseorang konselor bertekad
untuk terjun ke lapangan dan memberikan layanan konseling komunitas kepada korban
bencana alam, pasti banyak sekali hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana
alam yang terjadi pada masyarakat luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir,
tanah longsor dan gunung meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang
kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal
dunia karena terkena musibah tersebut. Menurut Judith A. Lewis., at al. (2010: 92) menggali
potensi individu atau kelompok masyarakat yang mungkin memerlukan layanan konseling
komunitas untuk mengintervensi kemampuan mereka yang dapat diimplementasikan melalui
aksi masyarakat menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat yang dibantu dengan
layanan konseling komunitas.
Kelebihan layanan konseling komunitas pada individu dan masyarakat ini mencakup
tekanan, pemberdayaan, konteks masyarakat, memberikan jalan ke masa depan. Sebuah
pendapat tentang strategi untuk mengahadi situasi yang darurat, (Solomon, 2003)
menunjukkan "meskipun profesional yang bekerja di arena kesehatan mental jarang dilatih
atau dipersiapkan untuk bekerja di tingkat masyarakat yang lebih luas, skala keadaan darurat
ini mungkin perlu menggunakan intervensi bagi mereka yang dapat diimplementasikan
melalui aksi masyarakat menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat yang dibantu
dengan pemberian layanan konseling komunitas oleh konselor.

F. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam

Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor adalah
Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan pemberi
bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan layanan
berdasarkan prinsip umum berikut:
1) Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai daya
lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian dari pada
ketergantungan.
2) Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
3) Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah atau
mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan treatment.
4) Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang mendukung
pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
5) Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
6) Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada masyarakat
dan budaya yang ada disana.
7) Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
8) Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
9) Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat dalam
praktik yang efektif.

G. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana


Alam
Menurut Drummond (2000: 5) di beberapa negara, seseorang yang ingin menjadi konselor
harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon konselor harus mampu menunjukkan
kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
1) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
2) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
3) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
4) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
5) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentangpenyediaan informasi
yang berarti berdasarkan atas penilaian data.
6) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
7) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
8) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional.
Pemberian layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor tentunya harus sesuai
dan tepat pada sasaran yaitu individu atau kelompok korban bencana alam. Bantuan tersebut
harus sesuai dengan keadaan individu dan kelompok masyarakat yang memiliki pandangan serta
kultur atau budaya yang berbeda, konselor harus mampu secara lisan maupun tulisan dalam
memberikan layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam
Post Traumatic Stress Disorders (PTSD).

PENDAHULUAN

Kejadian luar biasa dalam kehidupaan dapat dialami oleh seseorang mulai sejak dalam
kandungan sampai akhir hayatnya. Peristiwa dalam hidup dapat disebabkan alam dan peristiwa
atau permasalahan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Semakin berat peristiwa yang dialami
oleh seseorang, semakin besar peluang orang tersebut mengalami gangguan stres pasca trauma
atau sering dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders (PTSD).
Gangguan stres pasca trauma atau sering dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders
(PTSD) merupakan hal yang sering terjadi apabila seseorang yang mengalami atau menyaksikan
kejadian mengerikan seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang, atau kematian
seseorang yang dicintai akan mengalami trauma. Beberapa orang ada yang sembuh dan kembali
beraktivitas normal, namun ada yang mengalami trauma berkelanjutan hingga mengembangkan
gangguan stres pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD).
Gangguan Stress Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) adalah reaksi
maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Pengalaman traumatis ini
merupakan pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam jiwa
seseorang, seperti peperangan, korban perkosaan, korban kecelakaan hebat dan orang-orang yang
telah menjadi saksi dari hancurnya rumah-rumah dan lingkungan hidup mereka oleh bencana
alam, atau oleh bencana teknologis seperti tabrakan kereta api atau kecelakaan pesawat, dsb.
Gangguan Stress Pasca Trauma ini kemungkinan berlangsung berbulan-bulan, bertahun-
tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun
setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis. Individu akan didiagnosa mengalami
PTSD bila setelah periode yang cukup panjang, ia tak mampu kembali ke fungsinya yang
semula, dan terus dicekam oleh pengalaman-pengalaman mengganggu. Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma sangat penting untuk kita ketahui, PTSD
dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik, tidak pandang usia dan
jenis kelamin.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Post traumatic stress disorder (PTSD)

Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi setelah
seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
Gangguan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD) dimasukkan sebagai
diagnostic dalam DSM-III, mencakup respons ekstrem terhadap suatu stressor yang berat,
termasuk meningkatnya kecemasan, penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan trauma,
dan tumpulnya respon emosional. Walaupun selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa
stress perang dapat menimbulkan efek negatif yang sangat kuat pada para tentara, namun
berakhirnya perang Vietnam lah yang mendorong diterimanya diagnostic baru tersebut.
Seperti halnya gangguan lain dalam DSM, PTSD ditentukan oleh sekelompok simtom.
Namun, tidak seperti definisi gangguan psikologi lain, definisi PTSD mencakup bagian dari
asumsi etiologinya yaitu, suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau
disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau
cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut
harus menciptakan ketakutan ekstrem, horror, atau rasa tidak berdaya.
Gangguan stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) adalah reaksi
maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Gangguan stress akut
(acute stress disorder/ASD) adalah factor resiko mayor untuk PTSD, karena banyak orang
dengan ASD yang kemudian mengembangkan PTSD. Gangguan stress akut (acute stress
disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptive yang terjadi pada bulan pertama pada
pengalaman traumatis. Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-
bulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa dekade dan mungkin baru muncul setelah
beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis.
Terdapat perbedaan antara gangguan stress pasca trauma dengan gangguan stress akut, suatu
diagnostic yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir semua orang yang mengalami
trauma akan mengalami stress, kadangkala hingga tingkat yang sangat berat. Hal itu normal.
Jika stressor menyebabkan kerusakan signifikan dalam keberfungsian social dan pekerjaan
selama kurang dari satu bulan, diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stress akut.
Jumlah orang yang mengalami jumlah stress akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang
mereka alami.
Dalam peristiwa pemerkosaan, angka penderitanya sangat tinggi –lebih dari 90%. Trauma
yang tidak seberat itu, seperti berada ditengah penembakan massal atau mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor, angka penderitanya jauh lebih rendah, contohnya 13% pada
korban kecelakaan kendaraan bermotor. Walaupun beberapa orang dapat mengatasi
gangguan stress akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderita PTSD.
Dengan demikian, PTDS dapat dipertimbangkan sebagai reaksi negatif terberat terhadap
stress.
Stressor atau faktor primer yang menyebabkan timbulnya Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) dapat berupa bencana alam seperti banjir, gunung meletus, tsunami dan lainnya, ada
pula yang berasal dari ulah manusia misalnya perang, kebakaran, kekerasan fisik ataupun
kekerasan seksual.1 Timbulnya PTSD tidak hanya disebabkan oleh adanya stressor, ada
beberapa faktor yang terjadi sebelum dan sesudah trauma berperan dalam munculnya
gangguan ini.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD


1. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko terjadinya PTSD dilihat dari aspek trauma, pengalaman saat
trauma, karakteristik masing-masing individu dan faktor post-trauma
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita gangguan
psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan terhadap
trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau penolakan
atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan sekitar.
2. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis. Kebangkitan
trauma waktu anak-anak menimbulkan regresi dan menggunakan mekanisme pertahanan
diri seperti penyangkalan dan reaksi formasi.
3. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu merasionalisasi
trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD. Mereka terus merasakan stres dan
mencoba untuk menghindari apa yang dialami dengan teknik penghindaran. Orang-orang
tersebut menekan ingatan tentang trauma yang dialami ke alam bawah sadar, yang mana
lama-kelamaan semakin menumpuk, jika terjadi trauma lagi hal itu dapat menimbulkan
bangkitan ingatan trauma sebelumnya.
Model prilaku dari PTSD menekankan dua fase berkembangnya PTSD yaitu trauma
(stimulus) yaitu yang menghasilkan respon ketakutan melalui kondisi klasik yang
dipasangkan dengan stimulus yang dikondisikan (fisik ataupun mental yang
mengingatkan akan trauma yang dialami), yang kedua adalah melalui instrument,
stimulus dikondisikan yang menimbulkan reaksi ketakutan tidak tergantung stimulus
aslinya yang tidak dikondisikan, orang tersebut akan menunjukan gambaran menghindari
stimulus yang dikondisikan ataupun yang tidak. Beberapa orang mendapat keuntungan
dari dunia luar setelah adanya trauma, misalnya uang kompensasi dan meningkatnya rasa
simpati, keuntungan ini akan menguatkan gangguan PTSD dan gangguan ini menjadi
persisten.
4. Faktor neurobiologi
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi ketakutan.
Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan dalam
mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut. Amygdala menerima informasi
tentang rangsangan luar dan selanjutnya digunakan sebagai penanda, hal tersebut
kemudian merangsang respon emosi termasuk ‘fight, flight atau freezing’ dan dalam
perubahan stress hormone. Hubungan antara hipokampus, amygdala, serta kortek
prefrontal medial membentuk respon akhir rasa takut. Lesi hipokampus dihubungkan
dengan respon ketakutan yang kuat, sedangkan dalam beberapa study menunjukan
volume hipokampus yang kecil dihubungkan dengan adanya PTSD. Kalangan klinisi
memiliki data bahwa terjadi hiperaktifasi noradrenergic, sistem opioid endogen dan juga
axis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA axis), serta adanya peningkatan aktivitas dan
respon dari sistem saraf autonom yang ditandai dengan peningkatan nadi dan tekanan
darah serta adanya pola tidur yang abnormal (fragmentasi tidur, dan peningkatan latency
tidur).
Seseorang mengembangkan PTSD adalah akibat respon terhadap suatu trauma yang
ekstrem – sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami, saksikan, atau
dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang menyebabkan penderitaan fisik.
Pengalaman tersebut menyebabkan seseorang merasakan takut yang sangat kuat, atau
perasaan tidak berdaya. Peristiwa penuh tekanan yang memungkinkan menjadi traumatis
jika :
a) Terjadinya secara tiba-tiba
b) Anda tidak siap dengan kejadiannya
c) Anda merasa tidak berdaya untuk mencegahnya
d) Terjadi berulang-ulang
e) Dilakukan seseorang dengan sengaja
f) Terjadi pada waktu kecil
Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
1) Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau berulang-
ulang menghadapi situasi yang mengerikan. Para survivor ini termasuk :
a. Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
b. Perkosaan atau pelecehan seksual
c. Serangan tiba-tiba atau pembajakan
d. Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
2) Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
a. Kecelakaan mobil atau kebakaran
b. Bencana alam, seperti gempa bumi
c. Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
d. Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaan
industri.
3) Veteran perang atau korban perang sipil
4) Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
5) Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman dekat
atau orang yang dicintai
6) Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD :
1) Perubahan fikiran
a) Tidak dapat menerima kenyataan
b) Teringat- ingat
c) Mimpi buruk
d) Susah konsentrasi
e) Menjadi pelupa
2) Perubahan perasaan
a) Takut yang berlebihan
b) Cemas
c) Sedih
d) Bimbang
e) Merasa tak pantas hidup lagi
3) Perubahan tingkah laku
a) Sesak nafas
b) Susah tidur
c) Jantung berdebar-debar
d) Nafsu makan berkurang
e) Menarik diri dari orang lain
f) Mudah terkejut
g) Kepala pusing dan pingsan

C. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)

Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD )


dikelompokkan dalam 3 kategori utama. Diagnostic dapat ditegakkan jika simtom-simtom
dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan.
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal
itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan
kejadian tersebut, atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu. Pentingnya “mengalami
kejadian kembali” tidak dapat diremehkan karena kemungkinan merupakan penyebab
simtom-simtom kategori lain. Beberapa teori PTSD membuat “mengalami kembali”
sebagai ciri utama dengan mengotribusikan gangguan tersebut pada ketidakmampuan
untuk berhasil mengintegrasikan kejadian traumatic ke dalam skema yang ada saat ini.
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berfikir tentang trauma atau
menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasa adalah
menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidak mampuan
untuk merasakan sebagai emosi positif. Simtom-simtom ini tampaknya hampir
kontradiktif dengan simtom-simtom pada item 1. Pada PTSD kenyataannya terdapat
suatu fluktuasi; penderita bergantian mengalami kembali dan mati rasa.
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)
Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankannya, sulit berkonsentrasi,
waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan. Berbagai studi laboratorium
menegaskan simtom-simtom klinis ini dengan mendokumentasikan meningkatnya
reaktifitas fisiologis pada pasien penderita PTSD terhadap pencitraan pertempuran dan
respon-respon terkejut yang sangat tinggi. Masalah lain yang sering dihubungkan dengan
PTSD adalah gangguan anxietas lain, depresi, kemarahan, rasa bersalah, penyalahgunaan
zat, masalah perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, dan disfungsi seksual. Pikiran dan
rencana untuk bunuh diri umum terjadi. Menurut DSM, anak-anak dapat menderita PTSD
sering kali merupakan respon karena menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau
mengalami penyiksaan fisik. Gambaran klinis PTSD pada anak-anak tampaknya berbeda
dengan orang dewasa. Gangguan tidur dengan mimpi buruk dengan monster umum
terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku. Sebagai contoh, seorang anak semula
periang menjadi pendiam atau menarik diri atau seorang anak yang bermula pendiam
menjadi kasar dan agresif. Beberapa anak yang mengalami trauma mulai berfikir bahwa
mereka tidak akan hidup hingga mencapai usia dewasa. Beberapa anak kehilangan
keterampilan perkembangan yang sudah dikuasai, seperti berbicara atau menggunakan
toilet. Terakhir, anak-anak jauh lebih sulit berbicara tentang perasaan mereka dibanding
orang dewasa, suatu hal yang sangat penting untuk diingat bila terdapat kemungkinan
penyiksaan fisik atau seksual.
4. Etiologi Gangguan Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada factor-faktor resiko
terhadap gangguan tersebut dan juga factor- faktor psikologis dan biologis.
a. Factor- faktor Resiko
Terdapat beberapa factor PTSD. Menilik kejadian traumatis yang dialami, prediktor
PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa, berjenis kelamin
perempuan, pemisahan dengan orang tua di masa kecil, riwayat gangguan dalam
keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya dan gangguan-gangguan yang
dialami sebelumnya. Memiliki intelegensi tinggi tampaknya menjadi faktor
protektif, mungkin karena hal itu diasosiasikan dengan keterampilan coping yang
lebih baik. Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian
traumatic. Simtom-simtom disosiatif pada saat trauma juga meningkatkan
kemungkinan terjadinya PTSD, seperti juga upaya menghapus ingatan tentang
trauma tersebut dari pikiran seseorang. Disosiasi dapat memiliki peran dalam
menetapnya gangguan karena mencegah pasien menghadapi ingatan tentang trauma
tersebut. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah kecenderungan untuk
menganggap kegagalan sebagai kesalah diri sendiri dan menyesuaikan diri terhadap
stress dengan mengfokuskan pada emosi, bukan pada masalahnya.
b. Teori-teori Psikologis
Para teoris belajar berasumsi bahwa PTDS terjadi karena pengkondisian klasik
terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa contohnya, dapat merasa
takut untuk berjalan di lingkungan tertentu (CS) karena diperkosa disana (UCS).
Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut, terjadi
pengindraan, yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut yang
dihasilkan oleh ketidakberadaan dalam CS. PTSD merupakan contoh utama dalam
teori dua faktor mengenai avoidance learning yang diajukan bertahun-tahun lalu
oleh Mowrer. Suatu teori yang diajukan oleh Horowitz menyatakan bahwa ingatan
tentang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan
sangat menyakitkan sehinga secara sadar mereka mensupresinya atau merepresinya.
Orang yang bersangkutan diyakini mengalami semacam perjuangan internal untuk
mengintegrasikan trauma ke dalam keyakinannya tentang dirinya dan dunia agar
dapat menerimanya secara masuk akal.
c. Teori-teori Biologis
Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan kemungkinan diathesis
genetic dalam PTSD. Terlebih lagi, trauma dapat mengaktifkan system
noradrenergic, meningkatkan level norepinefrin sehingga membuat orang yang
bersangkutan lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan emosi
disbanding kondisi normal. Konsisten dengan pandangan ini adalah penemuan
bahwa level norepinefrin lebih tinggi pada pasien penderita PTSD dibanding pada
kelompok kontrol. Selain itu, menstimulasi system noradrenergic me nyebabkan
serangan panik.
D. Kriteria Diagnostik PTSD berdasar DSM III-R (Diagnostik and Statistical Manual of Mental
Disorders III-Revisi) (Kaplan et al., 2007):
a. Orang telah mengalami suatu peristiwa luar biasa bagi manusia umumnya dan yang amat
menekan terhadap semua orang
 Peristiwa traumatik itu secara menetap dialami dalam cara yang disebut di bawah
ini:
a. Teringat kembali peristiwa itu secara berulang dan sangat mengganggu.
b. Mimpi yang berulang tentang peristiwa itu yang membebani pikiran
c. Perasaan atau tindakan mendadak seolah peristiwa traumatik itu telah terjadi lagi
d. Tekanan jiwa yang amat sangat karena terpaku pada satu peristiwa yang
melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatik itu, termasuk
hari ulang tahun trauma tersebut.
b. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau
kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tak ada sebelum trauma itu),
yang ditunjuk sedikitnya 3 dari yang berikut :
c. Upaya mengelak terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu
1. Upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap
trauma itu
2. Ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma itu
3. Minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting
4. Rasa terasing dari orang lain
5. Kurangnya afeksi
6. Merasa tidak punya masa depan
 Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (yang tak ada sebelum trauma) yang
ditunjukkan oleh 2 dari gajala berikut :
1. Sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur yang cukup
2. Irritable atau mudah marah
3. Sulit berkonsentrasi
4. Amat bersiaga
5. Reaksi kaget yang berlebihan
6. Reaksi rentan faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau
menyerupai aspek dari peristiwa traumatic
7. Jangka waktu gangguan itu (gejala pada B, C dan D) sedikitnya sebulan.
Pengobatan Untuk Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD)
a. Psikoterapi
Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada maslah PTSD percaya bahwa ada tiga tipe
psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu : anxiety
management, cognitive therapy, exposure therapy. Terapi bermain (play therapy)
mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD.
b. Debriefing
Ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di
dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Sesungguhnya, Cochranc, seorang penulis
sebuah buku merekomendasikan ” perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban-
korban trauma”. Mengenai debriefing oleh bidan, Small (2000) gagal menunjukkan
secara jelas manfaatnya. Meskipun begitu, Boyce dan Condon (2000) itu
merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang
berpotensi untuk mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan.
c. Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui :
a) Relaxation Training
Kita akan belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utamamu.
b) Breathing retraining
Kita akan belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak
nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
c) Positive thinking dan self-talk
Kita belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran
positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
d) Assertiveness Training
Kita belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain.
e) Thought Stopping
f) Kita belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal
yang membuat kita stress.
d. Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu
emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan
mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran
tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi
pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
e. Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain,
obyek, memory atau emosi yang mengingatkanmu pada trauma dan menimbulkan
ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan
dengan dua cara :
a) Exposure in the imagination yaitu Terapis bertanya kepada penderita untuk
mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka
tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
b) Exposure in reality yaitu Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang
aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat
(misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu
akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat situasi tersebut dibanding
berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang
berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya.
e. Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan PTSD. Terapis
menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung.
Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan
pengalaman traumatiknya.
f. Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan penderita PTSD, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi)
dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain.
g. Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita
mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi
pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya
selama ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib,
bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan kecemasan.
h. Pendidikan dan supportive konseling
Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk
mempelajari gejala PTSD dan bermacam-macam treatmen (terapi dan pengobatan) yang
cocok untuk PTSD. Walaupun kamu mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama,
langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan
permasalahannya sehingga kita mengerti apa yang dapat kita lakukan untuk
mengatasinya.
i. Tipe psikoterapi yang lain
Beberapa tipe dari psikoterapi yang lain (eye movement desensitization reprocessing
[EMDR], hypnotherapy, dan psikodinamik psikoterapi) seringkali digunakan untuk terapi
PTSD dan kadang-kadang sangat membantu bagi sebagian penderita.
Selain menggunakan kedua macam terapi, profesional dan keluarga atau teman penderita
dapat melakukan berbagai hal yang dapat membantu penderita PTSD, diantaranya
a) Mendengarkan cerita dan keluh kesah penderita dengan rasa empati. Seorang
pendengar yang mampu berempati dengan penderita sangat dibutuhkan oleh penderita
b) Luangkan waktu bersama dengan penderita. Kehadiran anda sangat berarti bagi para
penderita.
c) Berilah bantuan yang diperlukan oleh penderita dengan simpati
d) Jangan mengatakan pada penderita bahwa dirinya lebih beruntung karena ada yang
mempunyai kondisi lebih buruk dari penderita. Orang yang telah mengalami trauma
tidak akan menjadi lebih baik bila kita menceritakan atau menunjukkan kondisi yang
lebih buruk dari dirinya.
e) Sebaiknya beritahu mereka bahwa anda bersimpati dengan kondisi yang telah
menimpa mereka dan anda mau memahami dan membantu mereka
f) Pahami dan berikan waktu bagi keluarga penderita untuk saling berbagi perasaan
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Disusun Oleh

Nama : Balqis Purnama Dona


Nim : P05120218051
Kelas :3B

Dosen Pembimbing : Viece Else

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

PRODI DII KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN

2020/2021
A. Konseling pada korban bencana
a) Peran Konselor
Sebagai konselor yang professional dalam melaksanakan tugasnya di
sekolah dan di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan
bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan
berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi
individu untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan mamahami,
menerima, mengarahkan, mengambil keputusan, dan merealisasikan
Masyarakat yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban
bencana alam yang bermasalah dengan keadaan psikologis serta tingkatan sosial
yang memacu untuk menjadikan ia semakin terpinggirkan. Pemberian layanan
konseling komunitas sangat tepat bagi korban bencana alam yang akan membantu
serta mengarahkan individu dan kelompok masyarakat yang terkena bencana alam
untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara fisik dan psikologis menuju
kesejahteraan yang ingin di capai.
b) Fungsi Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling.
Sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas,
konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien.
Selain itu, konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang
mendampingi 5 klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah
yang dihadapinya (Lesmana, 2005).
Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor adalah tenaga
profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam melakukan proses konseling ,
seorang konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus
dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung.
Posisi konselor sebagai pihak yang membantu, menempatkannya pada posisi yang
benar-benar dapat memahami dengan baik permasalahan yang dihadapi klien.
Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang digunakan
memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda.
Fungsi keterampilan bagi konselor adalah upaya memancarkan sikap-
sikap yang dimilikinya terhadap para klien disamping penunjukan kredibilitas lain
seperti penampilan kompetensi intelektual dan aspek-aspek non intelektif lainnya.
karakteristik seorang konselor yang efektif

B. Post traumatic syndrom disorder


Post-traumatic stress disorder atau PTSD (gangguan stres pascatrauma) adalah
kondisi mental di mana Anda mengalami serangan panik yang dipicu oleh trauma
pengalaman masa lalu. Mengalami kejadian traumatis adalah hal yang berat bagi
siapapun.
Namun, sejumlah orang lanjut mengidap PTSD setelah mengalami peristiwa yang
menyakitkan atau mengejutkan, seperti kecelakaan, insiden yang mengancam nyawa,
atau perang. Ia mungkin memikirkan kejadian traumatis ini sepanjang waktu dan hal ini
dapat mempengaruhi kehidupannya. Memang sulit untuk menyesuaikan diri dan
menerima perubahan setelah kejadian traumatis, tapi selalu ada cara untuk membuat
Anda merasa lebih baik.
PTSD adalah kondisi yang tergolong umum. Gangguan stres pascatrauma
umumnya lebih banyak mempengaruhi wanita daripada pria karena kebanyakan wanita
lebih sensitif terhadap perubahan daripada pria, sehingga mereka mengalami emosi yang
lebih intens.
PTSD adalah kondisi yang dapat mempengaruhi pasien dalam semua golongan
usia, bahkan anak-anak. PTSD bisa diatasi dengan mengurangi faktor risiko. Diskusikan
dengan dokter untuk informasi lebih lanjut.
Tanda-tanda dan gejala
1. Tidak sanggup berhenti memikirkan kejadian spesifik yang menyebabkan trauma.
Ketika Anda mengalami PTSD, Anda bisa berulang kali mengingat kembali
pengalaman traumatis tersebut melalui kilas balik, halusinasi, dan mimpi buruk.
2. Menjauh dari kehidupan sosial
Dalam ketakutan yang Anda alami saat serangan panik datang, Anda tidak
ingin menemui orang lain, atau menghindari orang, tempat, pikiran, atau situasi yang
mungkin mengingatkan Anda akan trauma.
Penghindaran ini adalah perasaan menjauh dan isolasi dari keluarga dan
teman-teman, serta kehilangan minat dalam aktivitas yang dulunya Anda senangi.
3. mengalami emosi lebih intens lagi dari sebelumnya.
Artinya, Anda mungkin lebih mudah marah atau depresi, atau suasana hati
Anda lebih cepat berubah. Memiliki masalah yang terkait dengan hal lainnya,
termasuk perasaan atau menunjukkan kasih sayang, atau merasa sangat cemas atau
mudah terkejut.
4. Sulit tidur dan berkonsentrasi.
Secara fisik, Anda mungkin mengalami gejala macam peningkatan tekanan
darah dan detak jantung, napas cepat, otot tegang, mual, dan diare.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Cindy Eka Juniarni

NIM : P05120218053

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

K. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

L. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

M. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
q. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
r. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
s. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
t. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
u. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
v. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
w. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
x. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.

N. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana


Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
q) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
r) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
s) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
t) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
u) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
v) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
w) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
x) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian layanan
konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

O. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
8. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

9. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
10. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
11. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
d. Play therapy
e. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
f. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

O. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

P. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :
a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

b. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
c. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.
d. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

e. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

Q. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

8. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


n. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
o. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
p. Penyiksaan
q. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
r. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
s. Pelecehan pemujaan
t. Terorisme
u. Peristiwa ledakan bom
v. Menyaksikan pembunuhan
w. Ancaman, penyiksaan
9. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
10. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

R. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

8. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

9. Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

10.Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

S. Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

T.Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

3. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
4. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

U.Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

11. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
12. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
13. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
14. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
15. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
16. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
17. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
TUGAS MANAJEMEN BENCANA LANJUT
POST TRAUMATIC SYNDROME DISORDER DAN KONSELING PADA
KORBAN BENCANA

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh :

Nama : Elsa Milasari

NIM : P05120218065

Kelas : 3B D3 Keperawatan

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2020/2021


POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER
Perasaan duka yang mendalam yang dialami oleh korban setelah mengalami
bencana menimbulkan trauma yang mendalam, para korban mengalami suatu reaksi
maladaptif yang terjadi sesudah mengalami pengalaman traumatik. Reaksi yang maladatif
ini kemungkinan dapat berlangsung berbulan-bulan, bertahuntahun, dan mungkin baru
muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa
traumatis. Meskipun kebanyakan individu atau korban yang mempunyai pengalaman
traumatis sampai taraf tertentu mengalami distres psikologis, tidak semua korban trauma
mengembangkan ciri-ciri post traumatic syndromes disorders (PTSD).
Tetapi, banyak yang menderita hal itu. Kerentanan terhadap PTSD kemungkinan
tergantung pada faktor-faktor seperti resiliensi dan kerentanan terhadap efek trauma,
keparahan trauma, derajat pemaparan, ketersediaan dukungan sosial, penggunaan respons
coping aktif dalam menghadapi stres traumatis, dan perasaan malu. Para korban yang
mengalami PTSD cenderung mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita gangguan
psikologis tertentu, seperti depresi mayor, gangguan panik, dan fobia sosial. Pada kasus
traumatis yang disebabkan oleh tindak kekerasan dan mengalami pelecehan seksual,
penderita cenderung menunjukkan keinginan bunuh diri yang tinggi. Dengan demikian
dapat dipahami akan kerugian emosional yang luar biasa tinggi yang sangat tidak
diharapkan diderita oleh para korban bencana itu.
Diperlukan upaya penanganan terhadap korban bencana alam yang masih terus-
menerus dilakukan. Secara umum pengertian trauma berkaitan dengan cedera fisik,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sedangkan trauma secara psikologis diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa di lingkungan seseorang yang
melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar
(Nevid,2005).
A. Definisi
Dengan demikian, PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik,
kerentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah stres fisik
maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. National Institute of Mental
Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul
setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.

Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang
menimpa manusia, kecelakaan, atau perang (Nevid, 2005). Dengan demikian PTSD dapat
meliputi kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa mencekam, mengerikan dan
mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual
abuse, atau perang. Secara umum gejala-gejala yang sering dialami korban PTSD adalah
sebagai berikut:
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, ada flashback (merasa seolah-
olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk
tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik
yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan pengalaman traumatic atau mati
rasa dalam responsivitas. Seseorang yang mengalami trauma menghindari untuk
berpikir tentang trauma atau tentang stimulus yang mengingatkan pada kejadian
tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa
keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif.
3. Ketegangan yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur atau
mempertahankan tidur, mudah marah atau tidak dapat mengendalikan marah, sulit
berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon kejut yang berlebihan atas
segala sesuatu (Nevid, 2005)
B. Kriteria PTDS
Efek dari stres dapat menimbulkan gangguan penyesuaian yang menyangkut
reaksi maladaptif terhadap stres. Pada gangguan penyesuaian, individu mempunyai
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan stresor dalam hidup, seperti masalah
pekerjaan, perceraian, penyakit kronis, atau rasa duka cita yang mendalam setelah
mengalami kehilangan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan stres akut (acute
stress disorder/ASD). ASD adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan
pertama sesudah pengalaman traumatis. Sedangkan gangguan stres pascatrauma (post
traumatic stress disorder/PTSD) adalah reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap
suatu pengalaman traumatis. Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung
berbulan-bulan, bertahun-tahun, dan mungkin baru muncul setelah beberapa tahun
setelah adanya pemaparan terhadap peristiwaperistiwa traumatis. Kedua tipe gangguan
ini terdapat pada orang-orang yang telah menjadi saksi dari hancurnya rumahrumah dan
lingkungan hidup mereka oleh bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, tornado, dan
sebagainya.
Pada ASD dan PTSD peristiwa traumatis tersebut melibatkan kematian atau
ancaman kematian atau cedera fisik yang serius, atau ancaman terhadap keselamatan diri
sendiri atau orang lain. Respon terhadap ancaman tersebut mencakup perasaan takut yang
intens, perasaan tidak berdaya, atau perasaan resa ngeri (horor). Anak-anak dengan PTSD
kemungkinan mengalami ancaman ini dengan cara lain, misalnya dengan menunjukkan
kebingungan atau agitasi. Meskipun kebanyakan orang yang mempunyai pengalaman
traumatis sampai pada taraf tertentu mengalami distres psikologis, tidak semua korban
trauma mengembangkan ASD atau PTSD.
Ciri-ciri reaksi stres ASD dan PTSD mempunyai banyak ciri dan simtom yang
sama, beberapa ciri yang sama adalah mengalami kembali peristiwa traumatis,
menghindari petunjuk atau stimuli yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut, mati
rasa dalam responsivitas secara umum atau dalam segi emosional, gangguan fungsi atau
distres emosional yang penting. Sedangkan perbedaan utama antara kedua gangguan
tersebut adalah pada ASD penekanannya ada pada disosiasi, yaitu perasaan asing
terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungannya. Individu yang mengalami gangguan
stres akut mungkin merasakan dunia ini seolaholah sebagai suatu tempat dalam mimpi
atau suatu tempat yang tidak nyata.
Dalam gangguan stres akut (ASD), individu mungkin juga tidak dapat
melaksanakan tugas-tugas yang perlu, seperti misalnya mendapatkan bantuan medis atau
bantuan hukum yang diperlukan (Nevid, 2005). Kriteria diagnostik untuk gangguan stres
akut (ASD) berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-
Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai
berikut :
1. Orang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik, dimana kedua dari ciri
berikut ini dapat ditemukan, yaitu orang yang mengalami, menyaksikan atau
dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri
sendiri atau orang lain, atau respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak
berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan.
2. Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah
mengalami kejadian yang menakutkan, maka individu akan memiliki tiga atau
lebih gejala disosiatif yang berupa perasaan subyektif kaku, tidak ada
responsivitas emosi, penurunan kesadaran sekelilingnya, derealisasi,
depersonalisasi, amnesia disosiatif (tidak mampu mengingat aspek penting dari
trauma).
3. Kejadian traumatik yang secara bertahap dialami kembali dalam sekurangnya
salah satu dari trauma yang berupa bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas
balik yang berulang-ulang atau suatu perasaan pengalaman hidup yang muncul
kembali, pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian
traumatik.
4. Penghindaraan pada stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (pikiran,
perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
5. Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (kewaspadaan
berlebihan, sulit tidur, iritabilitas, konsentrasi buruk dan kegelisahan motorik).
6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain mengganggu kemampuan
individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang
diperlukan atau menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada
anggota keluarga tentang pengalaman traumatik.
7. Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan,
medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
psikotik singkat. Sedangkan kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatrauma
(PTSD), berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-
Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah
sebagai berikut :
a. Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan
semua orang. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui
cara teringat kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu,
mimpi yang berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan
atau tindakan mendadak seolaholah peristiwa traumatik itu terjadi lagi,
tekanan jiwa yang amant sangat karena terpaku pada peristiwa yang
melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
b. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma
atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tidak ada
sebelum trauma itu). Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan
sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak
terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya
untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan
terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek
yang penting dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan
yang penting, rasa terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa
tidak mempunyai masa depan.
c. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (tidak ada sebelum adanya
trauma) dengan ditunjukkan oleh 2 (dua) dari gejala : sulit masuk fase
tidur atau mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau mudah marah,
sulit berkonsetrasi, amat siaga, reaksi kejut (kaget) yang berlebihan, reaksi
rentan faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau
menyerupai aspek dari peristiwa traumatik.
d. Jangka waktu gangguan itu (gejala pada kriteria ke-2, ke-3 dan ke-4)
sedikitnya 1 bulan. Gangguan PTSD yang dialami individu akan
berdampak pula pada kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat sebagai
berikut :
 PTSD memiliki gejala yang menyebabkan gangguan, umumnya
gangguan tersebut adalah panic attack (serangan panik), perilaku
menghindar, depresi, merasa disisihkan dan sendiri, merasa tidak
percaya dan dikhianati, mudah marah, mengalami gangguan yang
berarti dakan kehidupan sehari-hari.
 Panic attack (serangan panik), khususnya pada anak atau remaja
yang mempunyai pengalaman trau-matik dapat mengalami
serangan panik ketika dihadapkan atau menghadapi pada sesuatu
yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi
perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang
menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit
perut, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
 Perilaku menghindar. Salah satu gejala PTSD adalah menghindari
halhal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam
kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi
kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami.
Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi
takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika
harus ke luar rumah.
 Depresi. Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami peng-
alaman traumatik dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang
disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita
mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah,
menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang
dialaminya merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak
benar.
 Memiliki pemikiran negatif. Kadangkadang orang yang sedang
mengalami depresi merasakan bahwa kehidupannya sudah tidak
berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban
kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
 Merasa diri disisihkan. Penderita PTSD memerlukan dukungan
dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri
dan terpisah. Perasaan yang demikian tersebut, umumnya penderita
mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan
mendapatkan per-tolongan. Penderita sulit untuk percaya bahwa
orang lain dapat memahami apa yang ia telah alami.
 Merasa dirinya tidak percaya dan perasaan dikhianati. Setelah
mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain dan merasa
dikhianati atau ditipu oleh lingkungan disekitarnya, atau oleh
nasib, atau oleh Tuhan.
 Perasaan marah dan mudah tersinggung. Marah dan mudah
tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma.
Marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan.
Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi
proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi
dengan orang lain.
 Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa
penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait
dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu
yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin
menjadi sangat takut untuk ditinggal sendirian. Penderita mungkin
kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan
tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat
penting agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
 Persepsi dan kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang
telah mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk
sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh,
misalnya percaya bahwa dirinya bisa melihat atau berkomunikasi
dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun gejala ini
menakutkan, menyerupai halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat
sementara dan dapat hilang dengan sendirinya.
C. Play Therapy Sebagai Model Intervensi Bagi Anak Korban Bencana Yang Mengalami
PTSD.
Secara umum, terdapat 2 (dua) pendekatan terapi yang dapat dilakukan bagi
penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan
dengan cara farmakoterapi, berupa terapi yang menggunakan obatobatan dan obat yang
secara medis diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh penderita. Sedangkan pendekatan
terapi yang menggunakan model psikologi atau yang dikenal dengan psikoterapi,
bertujuan untuk memperbaiki fungsi sosial penderita. Model penanganan bagi korban
yang mengalami PTSD pada anak-anak tentu berbeda dengan orang dewasa. Pada
anakanak model pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan bermain, atau yang
dikenal dengan istilah play therapy.
Terapi bermain ini berguna dalam memberikan terapi pada anak yang mengalami
PTSD. Biasanya terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat
dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasakan nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya. Pada umumnya anak-anak yang mengalami
kondisi trauma menunjukkan simptom-simptom seperti ketakutan, cemas, sedih,
menghindar dan kurang responsif terhadap beragam emosi. The Association for Play
Therapy mendefinisikan play therapy sebagai berikut : “Process where in trainer play
therapists use the therapeutic powers of play To help clients prevent or resolve
psychosocial difficulties and achieve optimal growth and development”. Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan tersebut, maka dapatlah diambil beberapa pengertian
pokok sebagai landasan dalam melaksanakan play therapy, yaitu :
1. Play therapy dibangun berdasarkan pondasi teoritik yang sistimatis. Dalam kaitan
ini, play therapy disusun dengan menggunakan kerangka teori psikologi dan
konseling, misalnya Psikoanalisa, Client Centered, Gestalt, Cognitif Behavior,
Adlerian, dan sebagainya.
2. Play therapy menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu
klien yang memerlukan bantuan. . Tujuan dari penggunaan play therapy adalah
untuk membantu klien dalam rangka mencegah dan mengatasi persoalan
psikisnya serta membantu pencapaian pertumbuhan dan perkembangan sesuai
dengan tugas perkembangannya secara optimal. Konsep dasar yang dapat
digunakan pada play therapy ini adalah mengacu pada pendangan sebagai
berikut :
 Bermain adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam memahami
dunia anak-anak
 Aspek perkembangan dalam kegiatan bermain merupakan cara anak dalam
menemukan dan mengekplorasi identitas diri mereka
 Anak dapat melakukan eksperimen dengan berbagai pilihan imajinatif dan
terhindar dari konsekuensi seperti ketika di dunia nyata
 Permainan pada situasi dan kondisi yang tepat dapat bermakna sebagai
kegiatan fisik sekaligus sebagai terapi. Axline (1947), menjelaskan bahwa
penggunaan play therapy dilakukan dengan alasan bahwa bermain adalah
media yang alami yang dapat digunakan anak untuk meng-ungkapkan
dirinya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa bermain sebagai bahasa
simbolik anak yang bersifat alami untuk menyatakan emosi dan
pengalaman-pengalaman sehari-hari, bahkan bermain adalah proses
penyembuhan diri anak. Dengan demikian bermain dapat membantu
upaya menjalin hubungan dengan anak, membangun konsentrasi anak,
meningkatkan kesehatan dan perkembangan anak. Banyak keuntungan
yang diperoleh dalam penggunaan play therapy, diantaranya:
- Membantu proses perkembangan anak, dengan interaksi verbal yang
minimal.
- Anak mendapatkan banyak kebebasan untuk memilih, mampu
meningkatkan daya fantasi dan imajinasi anak, dapat menggunakan
alat-alat sederhana, memberikan tempat yang aman bagi anak untuk
mengekspresikan perasaan, mendapatkan pemahaman dan melakukan
berbagai perubahan.
- Memudahkan konselor untuk membangun hubungan terapeutik dengan
anak, juga dapat melatih keterampilan sosial anak Menurut The
Association for Play Therapy, terdapat 14 macam keuntungan yang
diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu
a. Mengatasi resistensi.
b. Komunikasi.
c. Kompetensi.
d. Berpikir kreatif.
e. Chatarsis.
f. Abreaction.
g. Role playing.
h. Fantacy.
i. Metaphoric teaching.
j. Attachment formation.
k. Peningkatan hubungan.
l. Emosi positif.
m. Menguasai ketakutan.
n. Bermain game.
Play therapy merupakan pendekatan konseling yang menggunakan beberapa
teknik yang diintegrasikan menjadi sebuah teknik terapi yang sesuai dengan kondisi anak
yang menjadi korban bencana. Untuk klien anak-anak digunakan permainan dan game
untuk menarik anak, menjalin hubungan dan untuk menemukan petunjuk tentang diri
anak yang sebenarnya. Konselor melibatkan anak-anak dalam berbagai kegiatan yang
memungkinkan anak dapat me-ngemukakan kondisi psikologis yang dialaminya, seperti
bermain bersama, bermain peran, atau memberikan kebebasan kepada anak untuk
memainkan apa saja yang ia kehendaki. Permainan adalah alat yang sangat efektif untuk
menginterpretasikan bahasa simbolik yang disampaikan oleh anak melalui bahasa
simbolik dalam sesi permainan. Permainan dapat memberikan pengaruh pada proses
terapi melalui :
 Kegiatan mental, kesadaran atau ketidaksadaran, yang didalamnya terdapat
hayalan dan harapan. Permainan juga merupakan aktifitas fisik yang dapat
diobservasi.
 Permainan adalah sebuah kegiatan eksplorasi, sebuah sarana untuk
menghidupkan kemauan untuk mencoba. Konselor berperan dalam hal
menetapkan dan menjaga hubungan dengan anak, mengembangkan empati serta
pemahaman.
 Merupakan proses awal, dalam rangka membangun hubungan dengan anak agar
anak mampu mengungkapkan berbagai pengalaman masa lalunya yang tidak
menyenangkan melalui pengintegrasian kemunculannya melalui bahasa simbol.
 Merupakan suatu cara yang digunakan untuk dapat mengupayakan renegosiasi
hubungan anak dengan dirinya dan orang lain. Hal ini bertujuan untuk
memecahkan fiksasi, regresi, kekurangan dalam perkembangan dan
hambatanhambatan lain yang mengganggu perkembangan anak.
Microskills Play Therapy Microskills merupakan keterampilan yang mutlak
diperlukan dalam melakukan konseling. Untuk memperoleh keterampilan dasar itu,
seorang konselor perlu memiliki keterampilan tersebut. Microskills dalam konseling
anak-anak pada dasarnya sama dengan yang digunakan dalam konseling orang dewasa.
Yang membedakannya adalah bagaimana konselor mampu menerapkan keterampilan
dasar tersebut pada setting dunia anak-anak.
Konselor diharuskan mampu menyesuaikan proses konseling yang dilakukannya
dengan karakteristik anak-anak, seperti kemampuan kognisi dan emosi, keterbatasan
bahasa yang dimiliki dan sebagainya. Jika hal ini diperhatikan, maka konselor akan
mudah menjalin komunikasi dengan anak. Jika komunikasi lancar, konseling yang
dilakukan pun akan lancar, dalam pengertian tidak mengalami hambatan dan bisa
membantu anak dalam menemukan hidup seperti yang semestinya. Keterampilan
microskills yang diperlukan saat melakukan konseling pada anak-anak, terutama berpusat
pada :
1. Refleksi content dan feeling. Hal yang terpenting yang dilakukan oleh konselor
pada bagian ini adalah bagaimana ia bisa membangun komunikasi dengan anak
dalam rangka menyampaikan kesepahaman berkaitan dengan isi dan perasaan
yang ada dalam diri anak. Sedangkan untuk orang dewasa, metode ini bisa
dilakukan dengan komunikasi verbal. Tetapi, karena anak mempunyai
keterbatasan bahasa verbal untuk menyampaikan sesuatu, dan ia sering
mengungkapkan perasaannya melalui aktifitas dan bermain, maka konselor harus
bisa menggunakan sarana itu. Untuk dapat membangun komunikasi dengan anak,
konselor bisa melakukan dengan cara mengikuti apa yang dilakukan anak, yang
dikenal dengan istilah behavior tracking. Dengan behavior tracking ini, konselor
mengikuti bahkan bisa berpartisipasi dalam apa yang dilakukan anak. Dengan
cara ini konselor bisa menggali apa saja yang sedang dirasakan anak, yang dalam
kondisi normal mungkin ia akan sulit mengkomunikasikannya dengan orang
dewasa. Dasar dari content yang akan yang akan digali konselor dalam melakukan
konseling dengan anak-anak adalah emosi, yaitu bagaimana anak mampu
mengungkapkan perasaan yang ada dalam dirinya. Hanya saja anak-anak
seringkali kekurangan kosa kata untuk mampu mengungkapkan seluruh
perasaannya. Hindari bertanya atau meminta pada anak untuk mengungkapkan
perasaannya adalah sesuatu yang tidak produktif. Tapi gunakanlah cara menggali
informasi yang dibutuhkan dengan bahasa non verbal, misalnya dengan
mengkaitkan suatu aktifitas dengan sesuatu yang dilihatnya. Selain itu, konselor
harus mempunyai kesabaran dan ketelatenan yang tinggi, karena selain anak-anak
mengalami kesulitan dalam menyampaikan ungkapan secara verbal, boleh jadi
anakanak telah mendapatkan pesan atau pengajaran dari keluarganya untuk
menyembunyikan perasaannya.
2. Refleksi meaning, interpretasi dan penggunaan metafora. Ketika berkomunikasi
dengan orang dewasa, konselor bisa menggali secara tepat terhadap hal-hal apa
saja yang diungkapkan klien, konselor pun bisa meminta klien untuk mengulangi
dengan memberikan pertanyaan yang sama. Namun ketika berkomunikasi dengan
anak-anak dalam suatu proses konseling, pertanyaan yang sama bisa membuat
klien anak merasa enggan menjawab. Keterampilan menggunakan metafora
penting dilakukan bila menghadapi klien anak. Penggunaan metafora ini misalkan
dengan mengasosiasikan maksud yang hendak digali dari diri anak melalui
permainan yang menjadi kesukaannya. Manfaat metafora ini dapat membantu
konselor dalam menghadapi klien anak yang mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi. Teknik yang digunakan dalam metafora juga bermanfaat untuk
‘mem-bypass’ resistensi klien, memfasilitasi kesadaran yang berhubungan dengan
emosi, keyakinan dan memperkenalkan berbagai kemungkinan dan perspektif
baru. Ketika anak sudah mampu menyatakan tentang dirinya dengan bebas
melalui hayalan, maka konselor dapat terus mengarahkan agar ungkapan melalui
hayalan dan simbolik bisa mengarah pada kenyataan, yaitu kenyataan hidup yang
dialami anak. Langkah-langkah ini bisa digunakan untuk mengintegrasikan
dengan cerita ketika anak menggambarkan dirinya dan orang lain melalui karakter
dalam cerita tersebut, kemudian hal ini bisa dikembangkan untuk mendapatkan
pengertian yang mendalam tentang masalah yang dihadapi anak. Digunakan atau
tidaknya makna interpretasi meaning sangat ditentukan oleh orientasi teori yang
dianut oleh konselor. Dengan demikian konselor sangat dituntut untuk memiliki
pengetahuan yang mendalam yang berkaitan dengan psikologi perkembangan
anak. Dengan penguasaan yang mendalam tentang persoalan ini konselor akan
mudah memahami apa yang digambarkan anak melalui cerita hayalannya, juga
memudahkan bagi konselor dalam menanamkan pengetahuan diri anak.
Langkah-langkah Play Therapy. Disamping memperhatikan keterampilan dasar
dalam melakukan konseling dengan klien anak, perlu diperhatikan prosesnya. Proses ini
menandakan hubungan yang terjadi sepanjang kegiatan konseling berjalan yang
didalamnya mencakup upaya konselor dalam menyarankan berbagai perubahan, juga
berkaitan dengan cara konselor dalam membangun hubungan yang penuh dengan
kepercayaan dari anak. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperoleh
kepercayaan dari anak adalah melalui acticve listening dan unconditional acceptance.
Fokus yang hendak yang dicapai dalam hal ini adalah terjadinya perubahan atas tingkah
laku anak yang menyimpang, yang dapat membantu konselor dalam melihat pergerakan
dan kemajuan yang dicapai. Melalui media bermain seperti cat, tanah liat dan air, anak-
anak menyatakan dirinya secara kiasan dan simbolik. Oleh karenanya dengan mengetahui
langkahlangkah dan tema dalam konseling anak, dapat membantu konselor dalam proses
konseling yang dilakukannya. Langkah-langkah yang perlu diketahui dan dilaksanakan
dalam kegiatan ini meliputi :
1. Mengenal langkah-langkah konseling anak. Hal pokok yang harus disadari oleh
para konselor, yaitu setting, struktur sesi atau pertemuan yang disesuaikan dengan
dunia anak-anak. Terdapat 3 (tiga) fase yang perlu diperhatikan ketika konselor
akan berinteraksi dengan anak-anak, yaitu:
a. Langkah awal.
Dalam tahap awal ini, kegiatan utamanya adalah bagaimana membangun
hubungan anak-konselor. Konselor harus mampu membangun hubungan
yang hangat, yang didalamnya ada kepercayaan anak terhadap konselor.
Untuk mencapai tujuan tersebut, konselor harus berusaha masuk secara
total pada dunia anak, sehingga anak betul-betul merasa aman dan
menganggapnya sebagai sahabat. Langkah ini bisa dilakukan oleh
konselor dengan menyediakan berbagai permainan yang digemari anak.
Melalui fasilitas permainan ini konselor bisa mengajar anak-anak ber-main
dengan tujuan agar anak merasa aman. Ketika anak sudah merasa aman,
konselor bisa menyiapkan berbagai perangkat konseling dalam menggali
berbagai gejala dan informasi yang ia butuhkan, yang ditunjukkan anak
melalui berbagai aktifitas komunikasi dan interaksi termasuk didalamnya
aktifitas bermain mereka.
b. Langkah pertengahan.
Langkah pertengahan dimulai ketika anak sudah asyik dengan permainan
dan perhatian mereka. Konselor dapat memfasilitasi kegiatan ini dengan
menyediakan berbagai sarana bermain agar anak dapat mengekspresikan
berbagai perasaan baik sesuatu yang pernah dialaminya di masa lampau
atau keinginan yang ia harapkan pada masa yang akan datang. Pada
kondisi ini konselor bisa melibatkan diri pada aktifitas yang sedang
dilakukan anak, misalnya anak yang sedang menggambar, konselor bisa
melakukan eksplorasi berbagai informasi yang dibutuhkan melalui upaya
terlibat langsung dengan aktifitas yang sedang dilakukan anak. Melalui
menggambar anak akan mengekspresikan suasana emosinya. Konselor
bisa juga menggunakan cerita dengan karakter pelaku cerita orang-orang
yang ada dalam kehidupan anak, dengan permasalahan yang serupa
dengan apa yang dialami anak. Melalui teknik ini, konselor dapat
membantu anak untuk mengembangkan kreatifitasnya secara lebih luas,
seperti kemampuan bahasa, seni, gerak, drama dan dapat mengembangkan
kemampuan emosi anak dalam menjalin hubungan dengan alam
sekitarnya.
c. Langkah akhir.
Pada tahap ini konselor dapat mengakhiri proses konseling bila pada diri
anak telah menunjukkan kemajuan dalam berbagai bentuk perilaku positif.
Bila anak telah mampu menunjukkan kebutuhan minimalnya, secara
simbolik mampu mengekspresikan emosinya dan secara lisan mampu
mendiskusikan berbagai isu. Konseling dapat dihentikan bila anak telah
mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam seni, mampu bermain peran,
melakukan permainan yang melibatkan kerjasama dengan teman
sebayanya, atau menampilkan perubahan perilaku yang positif lainnya.
Gejala fisik meliputi jantung berdebar, berkeringat, gemetar, sesak napas, sakit
dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan terasa panas, mati rasa. Beberapa
perilaku yang sering diperlihatkan oleh anak atau remaja yang mengalami trauma,
diantaranya :
a. Perilaku menghindar. Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang
dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang
penderita mengkaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan
trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi saat trauma yang
dialaminya. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut
untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
b. Depresi. Banyak penderita mengalami depresi setelah mengalami pengalaman
trauma dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum
peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan
bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang dialaminya
merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidaklah benar.
c. Kecenderungan ingin bunuh diri. Kadang-kadang orang yang depresi berat
merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga. Hasil penelitian yang
dilakukan para ahli, ditemukan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai pikiran
untuk bunuh diri.
d. Merasa disisihkan dan sendiri. Penderita PTSD memerlukan dukungan dari
lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah.
Perasaan yang bersifat negatif ini membuat mereka mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita sulit
untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah ia alami.
e. Merasa tidak percaya dan dikhianati. Setelah mengalami pengalaman yang
menyedihkan, penderita mungkin akan kehilangan kepercayaan terhadap orang
lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau Tuhan.
f. Marah dan mudah tersinggung. Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi
yang umum diantara penderita trauma. Bagaimanapun kemarahan yang
berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat
penderita untuk berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
g. Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Penderita PTSD
mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan
penyesuaian di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang
korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal sendirian.
Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan
melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan dan perawatan pada penderita sangat
penting agar permasalahannya tidak berkembang lebih lanjut.
h. Persepsi dan kepercayaan yang aneh. Adakalanya seseorang yang telah
mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk sementara waktu
mengembangkan ide atau persepsi yang aneh, misalnya ia mempercayai bahwa
ia bisa melakukan komunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal.
Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi atau hayalan, gejala ini
bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”

Dosen pembimbing: Vice Elese

Disusun oleh:

Ramdhan
P05120218076
Kelas: 3B DIII Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
RANGKUMAN

“Konseling pada korban bencana”

C. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
D. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
2. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
15) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
16) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
17) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
18) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
19) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
20) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
21) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
22) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
23) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
24) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
25) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
26) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
27) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
28) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
3. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
4. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).

“Post Traumatic Stress Disorder”


F. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
G. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
5. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan
terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
6. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
7. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
8. Faktor neurobiology
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan
dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut.
H. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
7. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
5) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
6) Perkosaan atau pelecehan seksual
7) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
8) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
8. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
5) Kecelakaan mobil atau kebakaran
6) Bencana alam, seperti gempa bumi
7) Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
8) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
9. Veteran perang atau korban perang sipil
10. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
11. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
12. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
I. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD
4. Perubahan fikiran
6) Tidak dapat menerima kenyataan
7) Teringat- ingat
8) Mimpi buruk
9) Susah konsentrasi
10) Menjadi pelupa
5. Perubahan perasaan
6) Takut yang berlebihan
7) Cemas
8) Sedih
9) Bimbang
10) Merasa tak pantas hidup lagi
6. Perubahan tingkah laku
8) Sesak nafas
9) Susah tidur
10) Jantung berdebar-debar
11) Nafsu makan berkurang
12) Menarik diri dari orang lain
13) Mudah terkejut
14) Kepala pusing dan pingsan
J. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)

Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”

Dosen pembimbing: Vice Elese

Disusun oleh:

Valerian Haidar
P05120218082
Kelas: 3B DIII Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
RANGKUMAN

“Konseling pada korban bencana”

E. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
F. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
3. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
29) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
30) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
31) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
32) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
33) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
34) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
35) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
36) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
37) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
38) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
39) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
40) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
41) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
42) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
5. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
6. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).

“Post Traumatic Stress Disorder”


K. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
L. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
9. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan
terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
10. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
11. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
12. Faktor neurobiology
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan
dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut.
M. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
13. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
9) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
10) Perkosaan atau pelecehan seksual
11) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
12) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
14. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
9) Kecelakaan mobil atau kebakaran
10) Bencana alam, seperti gempa bumi
11) Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
12) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
15. Veteran perang atau korban perang sipil
16. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
17. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
18. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
N. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD
7. Perubahan fikiran
11) Tidak dapat menerima kenyataan
12) Teringat- ingat
13) Mimpi buruk
14) Susah konsentrasi
15) Menjadi pelupa
8. Perubahan perasaan
11) Takut yang berlebihan
12) Cemas
13) Sedih
14) Bimbang
15) Merasa tak pantas hidup lagi
9. Perubahan tingkah laku
15) Sesak nafas
16) Susah tidur
17) Jantung berdebar-debar
18) Nafsu makan berkurang
19) Menarik diri dari orang lain
20) Mudah terkejut
21) Kepala pusing dan pingsan
O. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)

Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”

Dosen pembimbing: Vice Elese

Disusun oleh:

Welda Anjelina
P05120218086
Kelas: 3B DIII Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
RANGKUMAN

“Konseling pada korban bencana”

G. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
H. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
4. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
43) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
44) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
45) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
46) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
47) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
48) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
49) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
50) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
51) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
52) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
53) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
54) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
55) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
56) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
7. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
8. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).

“Post Traumatic Stress Disorder”


P. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
Q. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
13. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan
terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
14. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
15. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
16. Faktor neurobiology
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan
dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut.
R. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
19. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
13) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
14) Perkosaan atau pelecehan seksual
15) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
16) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
20. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
13) Kecelakaan mobil atau kebakaran
14) Bencana alam, seperti gempa bumi
15) Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
16) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
21. Veteran perang atau korban perang sipil
22. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
23. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
24. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
S. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD
10. Perubahan fikiran
16) Tidak dapat menerima kenyataan
17) Teringat- ingat
18) Mimpi buruk
19) Susah konsentrasi
20) Menjadi pelupa
11. Perubahan perasaan
16) Takut yang berlebihan
17) Cemas
18) Sedih
19) Bimbang
20) Merasa tak pantas hidup lagi
12. Perubahan tingkah laku
22) Sesak nafas
23) Susah tidur
24) Jantung berdebar-debar
25) Nafsu makan berkurang
26) Menarik diri dari orang lain
27) Mudah terkejut
28) Kepala pusing dan pingsan
T. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)

Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”

Dosen pembimbing: Vice Elese

Disusun oleh:

Ade Setiawan
P05120218045
Kelas: 3B DIII Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
RANGKUMAN

“Konseling pada korban bencana”

I. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
J. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
5. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
57) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
58) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
59) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
60) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
61) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
62) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
63) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
64) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
65) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
66) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
67) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
68) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
69) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
70) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
9. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
10. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).

“Post Traumatic Stress Disorder”


U. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
V. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
17. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan
terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
18. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
19. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
20. Faktor neurobiology
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan
dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut.
W. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
25. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
17) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
18) Perkosaan atau pelecehan seksual
19) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
20) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
26. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
17) Kecelakaan mobil atau kebakaran
18) Bencana alam, seperti gempa bumi
19) Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
20) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
27. Veteran perang atau korban perang sipil
28. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
29. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
30. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
X. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD
13. Perubahan fikiran
21) Tidak dapat menerima kenyataan
22) Teringat- ingat
23) Mimpi buruk
24) Susah konsentrasi
25) Menjadi pelupa
14. Perubahan perasaan
21) Takut yang berlebihan
22) Cemas
23) Sedih
24) Bimbang
25) Merasa tak pantas hidup lagi
15. Perubahan tingkah laku
29) Sesak nafas
30) Susah tidur
31) Jantung berdebar-debar
32) Nafsu makan berkurang
33) Menarik diri dari orang lain
34) Mudah terkejut
35) Kepala pusing dan pingsan
Y. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)

Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Manajemen Bencana Lanjut III

Konseling Pada Korban Bencana

Disusun Oleh :

Dina Anggraini

(P05120218061)

Dosen Pembimbing : Vice Elese

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI DIII JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
TAHUN AJARAN 2020/2021
PEMBAHASAN

A. Peran Konselor Sebagai konselor yang professional

Dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari
kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis,
danberkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasiindividu
untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan mamahami,menerima, mengarahkan,
mengambil keputusan, dan merealisasikan diri secarabertanggung jawab sehingga mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan dalamhidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014
Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah). Kegiatan
bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, karena untuk melakukan
kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan sebagai konselor atau ahli dalam
bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik secara khusus untuk memperoleh kompetensi
sebagai konselor,yaitu meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta
pengalaman dalam bidang bimbingan dan konseling.

Prayitno dan Amti (2004: 110) menjelaskan terapi dalam konsepsi perkembangan
bimbingan dan konseling tidak ada gunanya membedakan tugas dan ruang lingkup kerja
bimbingan dan konseling di sisi lain. Mengingat perkembangan bimbingan dan konseling yang
belum cukup mantap maka istilah bimbingan dan konseling masih dipertahankan, namun dari
segi pelayanan hendaknya menekankan porsi yang lebih besar pada konseling. Layanan
konseling komunitas sangat memperhatikan keadaan individu dan kelompok dalam setiap
pelaksanaan dan tujuan akhirnya. Konseling komunitas didirikan pada tahun 1995 di North
Yorkshire dan menyediakan berbagai layanan terhadap pendidikan orang dewasa dan masyarakat
pada umumnya. Konseling komunitas memberikan bantuan untuk individu atau kelompok
masyarakat yang membutuhkan dan berkelanjutan demi terlaksana kepastian layanan yang
memberikan dukungan dan perubahan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Masyarakat
yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban bencana alam yang bermasalah
dengan keadaan psikologis serta tingkatan social yang memacu untuk menjadikan ia semakin
terpinggirkan.
Pemberian layanan konseling komunitas sangat tepat bagi korban bencana alam yang
akan membantu serta mengarahkan individu dan kelompok masyarakat yang terkena bencana
alam untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara fisik dan psikologis menuju
kesejahteraan yang ingin di capai.

B. Fungsi Konselor

Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang
paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan perannya
bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu,konselor juga bertindak sebagai penasihat,
guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah
yang dihadapinya(Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa konselor
adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam melakukan proses konseling ,
seorang konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus dapat
menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai
pihak yang membantu, menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan
baik permasalahan yang dihadapi klien. Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik
konseling yang digunakan memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini
tergantung dari konsep pendiri teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada konselor
yang menggunakan pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai fasilitator bagi klien.
Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang menggunakan pendekatan humanistis di mana
peran konselor bersifat holistis. Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting
kepribadian konselor. Sikap sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat
bentuknya secara langsung. Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya dalam
perbuatan.

1. Karakteristik konselor

Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum marilah kita lihat beberapa
karakteristik konselor efektif yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Karakteristik inilah yang
wajib dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai keberhasilannya dalam proses konseling.
Kita awali dari pandangan Carl Rogers sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (dikutip
dari lesmana, 2005) menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang
konselor, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.

a. Congruence

Menurut pandangan Rogers, seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen.


Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami dirinya sendiri.
Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi. Konselor harus sungguh-sungguh
menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi kekurangan yang ada pada dirinya.

b. Unconditional positive regard

Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan yang
tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani kehidupannya dengan membawa
segala nilai-nilai dan kebutuhan yang dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia
memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah,
konselor harus memberikan kepercayaan kepad klien untuk mengembangkan diri mereka.

c. Empathy

Empathy di sini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor harus dapat
menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut didalam nilai-nilai klien.
Selain tiga karakteristik yang dikemukakan Rogers tersebut, seorang konselor yang berperan
sebagai "pembantu" bagi klien harus memiliki karakteristik yang positif untuk menjamin
keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam hal ini, Latipun (2001) membaginya
dalam dua aspek utama, yaitu:

1) Keahlian dan ketrampilan

Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan
menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan ketrampilan wajib dipenuhi
oleh konselor yang efektif.

2) Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses konseling.
Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor. Comb A (dikutip dari latipun
2001) mengungkapkan bahwa kepribadian konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata
bagi konselor, akan tetapi dapat dijadikan dengan instrumen dalam meningkatkan kemampuan
dalam membantu kliennya.

C. Tindakan Konselor

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari keseluruhan pendidikan di


sekolah yang berupaya membantu siswa memahami diri, menyesuaikan diri, memecahkan
masalah, membuat pilihan dan merealisasikan dirinya dalam kehidupan nyata serta
mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai perkembangan optimal. Konselor
sekolah adalah penyelenggara kegiatan konseling di sekolah. Istilah konselor secara resmi
digunakan dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 6 dengan menyatakan
konselor adalah pendidik dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2005 menyatakan konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah yang sebelumnya
menggunakan istilah BP, guru BP/BK dan guru pembimbing, untuk itu konselor sekolah
mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, hak secara penuh dalam pelayanan bimbingan
dan konseling terhadap sejumlah siswa. Secara umum tugas konselor sekolah adalah
bertanggung jawab untuk membimbing, membina dan membantu siswa sehingga memiliki
kepribadian yang matang dan mengenal potensi dirinya yang menyeluruh.

D. Sosok Utuh Kompetensi Konselor

Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional


sebagai satu keutuhan.Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan
pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan
bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi:

a) Memahami secara mendalam konseling yang dilayani,

b) Menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,

c) Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan


d) Mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.

Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat komptensi tersebut
yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Kompetensi
akademik dan profesional konselor secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Konselor berusaha menjajaki atau menaksir
kemungkinan mengembangkan isu atau masalah, dan merancang bantuan yang mungkin
dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai
alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.

E. Standar Kompetensi Konselor

Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di samping kode etik
sebagai regulasi perilaku profesi dan kredensi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem
pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat perilaku efektif
yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan
perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai
tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya
melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat (lifelong learning
process). Kompetensi profesi konselor merupakan keterpaduan kemampuan personal, keilmuan
dan teknologi, serta sosial yang secara menyeluruh membentuk kemampuan standar profesi
konselor.

F. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam

Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor adalah
Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan pemberi bantuan
dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan layanan berdasarkan
prinsip umum berikut:

1. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam

sebagai daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong
kemandirian dari pada ketergantungan.
2. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
3. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah atau
mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/memberikan treatment.
4. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang mendukung
pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
5. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
6. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada masyarakat
dan budaya yang ada disana.
7. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
8. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten. Terutama
tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat dalam praktik yang
efektif.
G. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana
Alam

Menurut Drummond (2000: 5) di beberapa negara, seseorang yang ingin menjadi


konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon konselor harus mampu menunjukkan
kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:

1. Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar


kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
2. Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
3. Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
4. Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
5. Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
6. Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
7. Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
8. Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian layanan
konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor tentunya harus sesuai dan tepat pada
sasaran yaitu individu atau kelompok korban bencana alam. Bantuan tersebut harus
sesuai dengan keadaan individu dan kelompok masyarakat yang memiliki pandangan
serta kultur atau budaya yang berbeda, konselor harus mampu secara lisan maupun
tulisan dalam memberikan layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam.

DAFTAR PUSTAKA

Andika, A. S. (t.t.). PERAN KONSELOR DALAM MEMBERIKAN LAYANAN KONSELING


KOMUNITAS BAGI KORBAN BENCANA ALAM DI INDONESIA. Prosiding
Seminar Nasional Konseling Krisis.

Drummond, Robert J. 2000. Appraisal procedurs For Counselor and Helping Professionals
Fourth Edition. Merril an Imprint of Prentice Hall Upper Saddle River, New Jersey,
Columbus, Ohio.

Judith A. Lewis., Michael D. Lewis., Judy A. Daniels., at al. 2010. Community Counseling: A
Multicultural-Social Justice Perspective. Belmont, USA: BROOKS/COLE Cengage
Learning.

Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah. Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar- Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

A. Post Traumatic Syndrome Disorder

Posttraumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi


setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). Peristiwa yang
menimbulkan trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera,
kekerasan di jalanan, kecelakaan lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana
alam lainnya (Nutt, 2009). Peristiwa ini dianggap traumatik karena dialami oleh anak-anak dan
remaja yang dirasakan kemampuannya untuk mengatasinya. Selama peristiwa traumatik ada
rekrutmen dari adaptif, stressmediating sistem syaraf (misalnya hypothalamic adrenal pituitary
dan sistem syaraf simpatik) yang pada gilirannya menghasilkan adaptif fisiologis, emosional dan
kognitif. Anak yang mengalami Gangguan Stres Pasca Traumatik (PTSD) ini unik diantara
gangguan yang sejenisnya pada masa kanakkanak dan remaja. Peristiwa yang menimbulkan
trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera, kekerasan dijalan raya,
trauma perang, luka bakar yang parah, dan bencana alam.

Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti, yaitu
reexperiencing,penghindaran, danhyperarousal, yangbertahan selama lebih dari 1 bulan. Selama
perawatan psikologis, atau dalamkinerjaaktivitas sehari-hari, gejala inti dapat menyebabkan
kecemasan berlebihan, yang dapat menimbulkan hambatan dalam mengekspresikan emosi
perasaan, keyakinan, dan reaksiyang tidak bisa dilakukan secara signifikan. Selain ituPTSD
ditandai dengan sekelompok gejala yang mencakup pikiran yang terus menerus terganggu,
penghindaran, dan hyperarousal. Tanda-tanda ini dapat ditunjukan melalui perilaku seperti
impulsif, agresi, atau bahkan depresi (American Psychiatric Association [APA], 2000; Davis,
Inggris, Ambrose, & Petty, 2001 dalam Levers, 2012 ). Klasifikasi umum jenis trauma psikologis
atau fisik yang dapat menginduksi PTSD mencakup penyalahgunaan (mental, fisik, seksual, atau
lisan), bencana (kecelakaan, bencana alam, atau terorisme), serangan kekerasan (kekerasan,
perkosaan, atau baterai), dan eksposur (obyek yang rentan terhadap resiko).Traumatis dan distres
jangka pendek kebnayakan terjadi pada anak-anak dan remaja. Ketahanan dalam menghadapi
traumatic tersebut biasanya menghasilkan penurunan baik secara psikologis maupun gangguan
perkembangan yang normal ( APA, 2008 dalam Journal InternasionalAngie J. Smith September
26, 2014). Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa Pasien yang terus mengembangkan PTSD
(gangguan stres pasca trauma) setelah terpapar stresdan peristiwatraumatikmenunjukkan tanda-
tanda khas dari gangguan tersebut, yang meliputi reexperiencing (gejala mengalami kembali
peristiwa yangmenyebabkantrauma),menghindar dari lingkungan, danhyperarousal (teragitasi).
Selanjutnya, gejala inidiungkapkan dalam hubungannya dengan perasaan takut dan tidak
berdaya. Seperti halnya yang dikemukakan dalam Jurnal Internasional Khusus Pendidikan,
Vivian ( Vol 28, No; 1, 2013) mengukur bahwa Skala yang diukur dua dimensi dari PTSD:
intrusi terkait trauma dan menghindari seperti kesulitan tidur, merasa seolah-olah itu tidak terjadi
atau tidak nyata, mencoba untuk tidak berbicara tentang hal itu, merasa mudah tersinggung dan
marah. Timbulnya gangguan ini juga ditandai dengantigasubtipe yang berbeda dari PTSD, yaitu:
akut, kronis, dan onset/gejalayangtertunda. Subtipe PTSD akut memiliki onset/tanda-tanda atau
gejala suatu penyakit yang sangat cepat setelah gejala tersebut, dengan gejala yang berlangsung
kurang dari 3 bulan. Gejala PTSD kronis dapat berlangsung 3 bulan atau lebih. Akhirnya, gejala
pasien tertunda mungkin mulai mengalami gejala PTSD 6 bulan atau paparan berikut lebih lama
untuk peristiwa traumatis (APA, 2000dalam Levers, 2012). Diakui bahwa peristiwa traumatis
dapat menyebabkan reaksi psikologis yang signifikan (Nutt,2009).

Empat jenis yang berbeda dari respon telah dijelaskan (Nutt,2009) :

1. Respon tangguh di mana tidak ada gejala psikologis yang hadir tak lama setelah
kejadian atau kemudian,
2. Respon tertunda di mana gejala psikologis secara bertahap berkembang dari
waktu ke waktu, respon berkepanjangan di mana gejala psikologis nyata segera
dan tidak berkurang dari waktu ke waktu respon pemulihan di mana individu
pengalaman gejala psikologis awalnya yang kemudian secara bertahap
mengurangi dari waktu ke waktu.

Trauma psikologis dapat menyebabkan perubahan yang tidak signifikan dalam


neurochemicaldanfungsineurobiologis. Trauma kehidupan awal telah terbukti menjadi faktor
risiko tidak bisa signifikan untuk pengembangan penyakit jiwa di kemudian hari, termasuk
PTSD, gangguan kecemasan lainnya, dan depresi (Levers, 2012). Perubahan neurobiologis dan
neurokimia yang terjadi sebagai akibat dari stres kehidupan awal akan mengendap dan
terekspresikandikemudian hari (Heim & Nemeroff, 1999, 2001). Menurut SAMHSA (2011)
mengatakan bahwa Pada tahun 2009, Johnsen dan Asbjørnsen mempelajari peran strategi
encoding dalam mempelajari materi baru pada pasien dengan PTSD dan menemukan bukti
penggunaan gangguan strategi organisasi, menunjukkan bahwa gangguan tersebut mengganggu
proses eksekutif digunakan sambil belajar materi baru. Para peneliti nyarankan-gested yang
spesifik c intervensi diarahkan ini gangguan memori verbal dapat memberikan veteran dengan
prognosis pendidikan yang lebih baik. Pasien datang dengansikapgugup, agitasi, gangguan tidur,
hypervigilance, dan memori pengolahan pikiran yang meningkat yang terpusat pada otak dan
sumsum tulang belakang. Pasien dapat hadir dengan gejala fisiologis atau somatik kecemasan,
seperti tekanan darah tinggi; pernapasan yang cepat dan dangkal; serta tremor. Tipe lain dari
perubahan fisiologis yang unik untuk PTSD, berbeda dengan gangguan kecemasan lainnya,
melibatkan SSP dan adaptasi perifer respon tubuh terhadap hormon corticotropin-releasing
(CRH) dari kelenjar hipofisis, yang terletak di bagian anterior basal otak(Levers, 2012).

Levers (2012) mengatakan bahwa pasien yang mengalami hubungan yang kasar, korban
kekerasan fisik atau mental, hidup yang penuh serangan kekerasan atau overtures, menyaksikan
tindakan kekerasan atau peristiwa traumatis, atau berada pada situasi kekerasan atau
mengganggu tidak selalu menyebabkan seseorang untuk mengembangkan PTSD. Pengalaman
menyaksikan dan mengalami KDRT adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan
dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa
aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta
kemarahan. Pengalaman traumatis anak menyaksikan dan mengalami KDRT sering ditemukan
sebagai prediktor munculnya problem psikologis di masa depan, seperti: penelantaran dan
pelecehan secara fisik dan psikologis pada anak. problem perilaku eksternalinternal, serta
berbagai perilaku beresiko seperti merokok, penyalahgunaan zat dan perilaku seks beresiko.

B. Penyebab

Dari berbagai penyebab terjadinya gejala atau gangguan stress pasca traumatis yang
dialami oleh beberapa anak dan remaja maka perlu adanya intervensi yang diberikan oleh
konselor serta dukungan dari orang terdekat yaitu orang tua untuk membantu proses
penyembuhan anak atau remaja yang mengalami PTSD. Tergantung dari tingkat PTSD yang
diderita ( kronis, akut, parah dan ringan). Orang yang didiagnosis dengan PTSD ringan mungkin
tidak perlu obat dalam proses psikoterapi. Namun pasien dengan diagnosa PTSD ringan kronis,
PTSD akut, dan PTSD kronis yang parahakandiberikanmodalitas pengobatan ganda yang
kombinasikan oleh farmakoterapi dan psikoterapi. Oleh karena itu, pilihan apakah iya atau tidak
untuk menggunakan obat didasarkan pada keparahan dan durasi gejala. Remaja yang mengalami
PTSD, menghadapi kesulitan dalam sosial, akademik, kognitif dan emosional, dan penderita
PTSD yang tidak bisa dtitangani dengan cepat adalah berada pada meningkatnya resiko bunuh
diri, bahkan upaya untuk bunuh diri. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut
memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap
masalah dan tekanan yang menimpa mereka terutama pada anak-anak atau remaja. Konsep untuk
memecahkan permasalahan ini disebut dengancoping.

Kata coping sendiri berasal dari katacopeyang dapat diartikan sebagai menghadapi,
melawan ataupun mengatasi, walaupun demikian belum ada istilah dalam bahasa Indonesia yang
tepat untuk mewakili istilah ini. Pengertian coping hampir sama dengan penyesuaian
(adjustment). Perbedaannya, penyesuaian mengandung pengertian yang lebih luas jika
dibandingkan dengan coping, yaitu semua reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari
lingkungan maupun yang berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada
bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan (Rustiana, 2003 dalam Jurnal Ilmiah
Berskala Psikologi, Vol 11 No 1, 2012 ). Menurut Qun G. Jiao, (Volume 16 Nomor 2, 2013)
penelitian yang dilakukan adalah dengan penelitian yang telah berfokus pada bereksperimen dan
menilai praktik pembelajaran yang efektif yang dipercaya untuk membantu mengurangi
kecemasan dan perasaan negatif yang terkait dengan kursus metodologi penelitian.

Menurut Taylor (dalam Jurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol. 11; No 1, 2012) terdapat
empat tujuancoping, yaitu:

1. Mempertahankan keseimbangan emosi,

2. Mempertahankanselfimageyang positif,

3. Mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif,

4. Tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.

Menurut Lazarus dan Folkman (dalamJurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol 11 No 1,


2012) coping terdiri atas strategi yang bersifat kognitif dan behavioral. Strategi tersebut adalah:
a. Strategi yang digunakan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stres (Problem Focused
Coping). Problem Focused Coping adalah strategi dengan cara menyelesaikan masalah yang
dihadapi, sehingga individu segera terbebas dari masalahnya tersebut.

C. Strategi

Bentuk strategi coping ini adalah:


1) Exercised Caution (Cautiousness). Individu berpikir dan mempertimbangkan
beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta pendapat orang
lain, berhatihati dalam memutuskan masalah serta mengevaluasi strategi yang
pernah dilakukan sebelumnya.
2) Instrumental Action. Tindakan individu yang diarahkan pada penyelesaian
masalah secara langsung, serta menyusun langkah yang akan dilakukannya.
3) Negotiation (Negosiasi), merupakan beberapa usaha oleh seseorang yang
ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab masalahnya
untuk ikut menyelesaikan masalah.

Strategi coping untuk mengatasi emosi negatif yang menyertainya (Emotion Focused
Coping). Strategi ini untuk meredakan emosi individu yang ditimbulkan oleh stressor (sumber
stres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung.
Bentuk strategi coping ini adalah:

1) Escapism (Menghindar). Perilaku menghindari masalah dengan cara


membayangkan seandainya berada dalam suatu situasi lain yang lebih
menyenangkan, menghindari masalah dengan makan ataupun tidur, bisa juga
dengan merokok ataupun meneguk minuman keras.
2) Minimization (Pengabaian). Tindakan menghindari masalah dengan menganggap
seakan-akan masalah yang tengah dihadapi itu jauh lebih ringan daripada yang
sebenarnya.
3) Self Blame (Menyalahkan Diri). Merupakan strategi yang bersifat pasif yang
lebih diarahkan ke dalam, daripada usaha untuk keluar dari masalah.
4) Seeking Meaning(Berdoa). Suatu proses dimana individu mencari arti kegagalan
yang dialami bagi dirinya sendiri dan mencoba mencari segi-segi yang
menurutnya penting dalam hidupnya. Dalam hal ini individu coba mencari
hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari masalah yang telah dan sedang
dihadapinya.

Manfaat dari strategi coping adalah pada intinya agar seseorang tetap dapat melanjutkan
kehidupan selanjutnya walaupun memiliki masalah, yaitu untuk mempertahankan keseimbangan
emosi, mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau
menyesuaikan diri terhadapkajian negatif dan tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan
dengan orang lain (Firdaus, 2004 dalam Jurnal Ilmiah Berskala Psikologi, Vol 11 No 1,
2012 ).Coping merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi memecahkan, mengurangi dan
menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hapsari, dkk, 2002, dalam Jurnal Ilmiah Berskala
Psikologi, Vol 11 No 1, 2012). Perilaku coping juga diartikan sebagai tingkah laku dimana
individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan tugas
atau masalah. Jika individu dapat menggunakan perilaku copingnya dengan baik maka ia dapat
melakukan penyesuaian sosial dengan baik pula. Terutama strategi yang diterapkan pada anak
dan remaja yang mengalami pasca traumatic denga tujuan agar mereka dapat menyesuaikan
dengan lingkungannya serta dapat menjalani kehidupan layaknya anak dan remaja lain yang
sehat dan normal.

Menurut Levers (2012) apabila klien atau pasien yang datang dengan efek samping tak
tertahankan, seperti memburuknya kecemasan, mual, sakit kepala, pusing, atau tidak
terkendalinya aspek psikomotorik perlu dirujuk ke dokter untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Oleh karena itu, aksesibilitas konselor harus ditambah dengan membangun terapi aliansi,
memberikan fasilitas "rumah kliring" yang sempurna untuk perbaikan gejala psikologis, sambil
menghindari efek samping atau efek samping obat yang mungkin menyebabkan pasien menjadi
individu atau kelompok kecanduan pengobatan bagi penderita PTSD berat atau kronis. Hal ini
bukan berarti bahwa konselor bertanggung jawab untuk semua aspek klinis perawatan. Tetapi
konselor memberikan intervensi kepada klien penderita PTSD dengan menggunakan strategi
coping yang diberikan kepada penderita PTSD.

Maka dari itu, Profesional kesehatan perlu menyadari munculnya gejala psikologis dari kondisi
krisis dan gangguan pasca trauma, sehingga mereka dapat melakukan perujukan pasien
kepada tim perawatan yang lebih spesifik secara tepat. Perawatan terpadu antara ranah
kesehatan dan profesional kesehatan mental mencakup segala aspek, sehingga semua
aspek perawatan pasien dapat dikelola dengan baik. Dalam hal ini konselor menerapkan
strategi coping yang digunakan pada anak dan remaja dalam mengelola gangguan
emosi, gangguan stres serta kecemasan yang mereka alami agar supaya mereka dapat
menangani atau mengelola emosi mereka dengan baik dalam menghadapi permasalahan
yang dialaminya secara mandiri.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Dita Agnesti

NIM : P05120218063

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

g. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

h. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

i. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
x. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
y. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
z. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
aa. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
bb. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
cc. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
dd. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
ee. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.

j. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana


Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
4. Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
5. Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
6. Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
7. Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
8. Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
9. Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
10. Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua
pada terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
11. Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian
layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

k. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
A. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

B. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
C. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
D. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
a. Play therapy
b. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
c. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

y) Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.
z) Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :

 Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


 Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
 Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).
 Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
 Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
 Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
 Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
 Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
 Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
 Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
 Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
 Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
 Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
 Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
 Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
 Perasaan terasing.
 Rentang afeksi terbatas
 Merasa masa depan suram.
 Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :
f. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
g. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.
h. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

i. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

aa) Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

5. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


12. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
13. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
14. Penyiksaan
15. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
16. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
17. Pelecehan pemujaan
18. Terorisme
19. Peristiwa ledakan bom
20. Menyaksikan pembunuhan
21. Ancaman, penyiksaan
6. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
1. Industrial
2. Kebakaran
3. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
4. Bencana nuklir
5. Runtuhnya bangunan, dan
6. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
7. Faktor bencana alam
1. Angin ribut
2. Angin topan
3. Tornado
4. Banjir
5. Gempa bumi
6. Salju longsor, dan
7. Tsunami.

bb) Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

o Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

o Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

o Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

cc) Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

dd)Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

y. Psikoterapi

V. Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
W. Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
X. Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
1. Obat-Obatan

11. Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
12. Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
13. Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.
ee) Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
3. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
4. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
5. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
6. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
7. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
NAMA : Dapit Sopiana Silaban

KELAS : 3B D3 Keperawatan

NIM : P05120218055

KONSELING PADA KORBAN BENCANA

Para korban memerlukan bantuan mengatasi perasaan kehilangan orang yang dicintai.
Mereka butuh menata masa depan yang tak menentu akibat lingkungan baru. Banyak orang yang
kehilangan, dan hancur semangatnya ketika orang dekat mereka meninggal. Upaya konseling
singkat berfokus pada solusi menjadi alternative menolong orang-orang yang cemas dan penuh
rasa takut ditengah bencana.

Pertama, konselor menanyakan keadaan korban tentang perasaan mereka. Apa keluhan
dan kesakitan yang tengah mereka hadapi. Bagaimana sedihnya kehilangan keluarga dan harta
benda yang mereka cintai. Konselor mesti mengetahui persis kerisauan-kerisauan yang dihadapi
oleh korban pasca gempa. Ketakutan yang tengah menimpa jiwa mereka dan bersikap empatik
atas penderitaan yang tengah dihadapi.

Kedua, setelah menanyakan tentang kerisauan dan ketakutan yang dialami oleh Korban,
selanjutnya konselor melangkah pada pertanyaan yang berfokus solusi. Konselor segera
mengalihkan pada upaya solusi yang akan dilakukan oleh korban. Bagaimana korban menyikapi
situasi krisisnya. Korban diajak untuk berpikir rasional tentang langkah-langkah yang akan
mereka lakukan menghadapi situasi sulit. Misalnya, bagaimana korban akan terus eksis di saat
kehilangan orang tua mereka? Upaya apa yang akan di tempuh untuk meneruskan pendidikan
mereka? Dan langkah apa yang akan dilakukan saat ini mengatasi kesedihannya? Dengan
kolaborasi antara korban dan konselor, akan mempercepat upaya bangkit dari kegelisahan.

Ketiga, Konselor membantu korban menemukan kekuatan diri mereka untuk melangkah
maju. Misalnya, konselor menanamkan nilai berani mengambil resiko untuk tinggal di tempat
baru yang lebih aman dari sasaran weddus gembel atau hujan debu. Dengan menemukan insight
(pengetahuan) pada diri korban bencana, akan meringankan beban mereka dari keputus asaan.
Para korban akan tegak berdiri menerima realitas mereka yang kehlangan sanak saudara dan
rmah serta pekerjaan. Para korban menemukan cara untuk melanjutkan hdup yang telah hancur
disambar gunung merapi. Membantu mengajak mereka untuk menyikapi hidup secara tepat
sesuai kenyataan.

Bagaimana pun, bencana dapat terjadi dimana saja, baik di pesisir pantai atau di puncak
atau di lereng gunung. Bantuan konseling semakin diperlukan mengatasi problem bencana alam.
POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

A. Definisi

Post Traumatic Syndrom Disorder atau PTSD adalah gangguan mental yang dapat terjadi
setelah seseorang mengalami kejadian yang traumatis. Misalnya: pelecehan seksual, perang,
serangan terorisme ataupun kecelakaan berat.

Tak semua orang yang mengalami kejadian traumatis tersebut akan mengalami Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD). Namun ada beberapa kejadian yang memberikan
kecenderungan akan PTSD –yaitu pelecehan seksual dan kekerasan di masa kanak-kanak.

PTSD memiliki prevalensi seumur hidup –antara 8–10%, dan diikuti dengan
ketidakmampuan berfungsi dalam sosial. Dalam situasi perang, prevalensi individu yang
mengalami PTSD meningkat hingga 30 persen. Selain itu perempuan memiliki resiko lebih
tinggi mengalami PTSD dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena pelecehan seksual
lebih banyak dialami oleh wanita.

B. Diagnosis PTSD dapat ditentukan lewat beberapa hal, misalnya:


1. Perilaku menghindar terhadap kejadian, orang-orang, benda, atau aktifitas yang
berhubungan dengan kejadian traumatik.
2. Ketidakmampuan mengingat kembali kejadian tersebut
3. Sulit tidur, sulit berkonsentrasi, emosi yang meledak-ledak, sering merasa kaget
Durasi lebih dari 1 bulan

Gangguan PTSD bisa membuat Anda tidak dapat berfungsi secara normal di masyarakat.
Dari pemeriksaan fisik juga didapatkan beberapa kelainan yang dapat membantu dokter
mendiagnosis PTSD:

1. Kurangnya kebersihan pribadi


2. Gangguan perilaku
3. Gangguan ingatan
4. Gangguan konsentrasi
5. Gangguan kontrol impuls

C. Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Para penderita PTSD memiliki pengalaman atau pernah menyaksikan dengan kejadian-
kejadian traumatis. Kejadian tersebut biasanya mengancam jiwa atau fisik dan membuat mereka
tidak dapat berbuat apa-apa.Situasi tersebut tentunya sangat menakutkan –bahkan bisa saja
mendekati kematian.
Penderita PTSD biasanya akan mengalami kejadian-kejadian yang sama terus menerus
dengan berbagai persepsi. Bisa saja berupa penglihatan, mimpi, ilusi, halusinasi, atau kilas balik.

Jika tidak ditangani dengan tepat, PTSD dapat meniimbulkan komplikasi. Komplikasi yang
bisa terjadi akibat PTSD adalah gangguan jiwa berat –seperti skizopherenia ataupun percobaan
bunuh diri. Hal lain yang bisa ditimbulkan ialah gangguan tidur menetap, ataupun penghargaan
diri yang rendah. Pada akhirnya hal ini dapat memicu berbagai gejala psikosis atau gangguan
kejiwaan lainnya.

D. Pengobatan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Pengobatan PTSD dapat dilakukan dengan terapi kognitif dan perilaku . Pengobatan ini akan
membantu penderita PTSD untuk menghadapi situasi yang lebih menyeramkan dari yang pernah
dialami dengan perlahan.

Manipulasi Pikiran. Lewat terapi ini dokter akan membantu penderita PTSD untuk
menganalisis bagian mana dari kejadian tersebut yang membuat mereka cemas. Dokter juga akan
membantu penderita PTSD melihat kejadian yang menakutkan tersebut dari sisi yang berbeda.
Meskipun hal ini tidak menghilangkan ketakutan penderita PTSD, terapi ini tetap bisa
mengurangi rasa takut dan kecemasan.

Desensitisasi. Pengobatan ini lazim digunakan pada penderita fobia. Caranya adalah dengan
memaparkan secara perlahan dan bertahan pada objek, situasi ataupun orang yang ditakuti. Hal
ini bertujuan untuk proses pembiasaan yang akan membuat pasien PTSD merasa hal tersebut
bukan ancaman.

Obat untuk terapi PTSD yang diperlukan adalah obat anti cemas. Pengobatan ini bertujuan
untuk menurunkan kecemasan penderita PTSD dan membantu untuk merasa lebih santai.

Antidepresan. Pengobatan ini untuk menurunkan atau memberhentikan gejala dari depresi
pada penderita PTSD.

E. Pencegahan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Jika Anda atau ada orang-orang di sekitar Anda yang memiliki gangguan PTSD, ada baiknya
Anda mengetahui hal ini. Penting untuk tidak membiarkan penderita PTSD sendirian –khususnya
di masa ketidakstabilan mental mereka. Hal lain yang juga penting adalah untuk membuat
penderita PTSD merasa aman dan nyaman. Jadi hindari hal-hal yang dapat membuat
penderitaPTSD mengingat kejadian traumatic yang mereka alami.

Ada cara untuk mencegah terjadinya PTSD. Setelah mengalami kejadian traumatis, hindari
memberikan reaksi yang berlebihan. Montalah bantuan atau perlindungan dari orang yang
menurut Anda dapat membantu keluar dari rasa takut yang Anda rasakan.

F. Penyebab Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Penyebab dari PTSD adalah:
1. Kecelakaan Lalu Lintas Berat (Kecelakaan Kereta Api, Pesawat, atau Bis) yang
membuat seseorang berada dalam situasi dimana terdapat banyak korban.
2. Tindak pidana kriminal yang dialami, seperti perampokan, percobaan pembunuhan,
pemerkosaan
3. Penyakit serius –seperti kanker, atau kematian orang yang sangat kita sayang.
4. Bencana alam –seperti kejadian banjir, gempa bumi, atau mungkin tsunami
5. Pelecehan seksual atau kekerasan fisik yang diterima oleh orang yang kita sayang
(orang tua, atau pasangan hidup)
6. Perang dan terorisme
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

“Konseling Pada Korban Bencana dan Post Traumatic Sindrom Disorder”

Dosen Pembimbing : Vice Elese

DISUSUN OLEH :

ELSI
(P0 51202180 66)

Kelas: 3.B/D-III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BENGKULU


JURUSAN KEPERAWATAN PRODI D-III KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KONSELING PADA KORBAN BENCANA

C. Definisi

Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis yang


terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis
atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari pemajanan atas
suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT dikategorikan sebagai


traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa disebut
ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena
perbedaan kapasitas menghadapi catastrophic stress.

D. Konseling

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban


GSPT, yaitu :

8. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta
dalam mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.

9. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang


positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.

10. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.

11. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.

12. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan


dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
13. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.

14. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.

Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa


dalam proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan
penekanan kepada coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih
efektif, hendaknya memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat
keduanya dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi
stress. Dengan mengutip pendapat Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985)
dijelaskan lebih lanjut bahwa tiga peran religi dalam coping process yaitu (a)
menawarkan makna kehidupan, (b) memberikan sense of control terbesar dalam
mengatasi situasi, dan (c) membangun self esteem. Adapun dua sumber coping
yang biasa dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa dan berserah diri
pada Tuhan).

E. Konseling Pada Korban Bencana


Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban
selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak.
Tujuan konseling yaitu :
3. Pada anak-anak : Perlu dilakukan konseling serta dibantu untuk bisa menatap
masa depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula.
4. Pada orang tua : Layanan konseling trauma akan membantu mereka memahami
dan menerima kenyataan hidup saat ini, untuk selanjutnya mampu melupakan
semua tragedi dan memulai kehidupan baru.
Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma
bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan modal
awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang
dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin
menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan
kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah.
Untuk mencapai efektivitas layanan, konseling trauma dilakukan dengan dua
format, yaitu : Format individual (untuk korban yang tingkat stres dan depresinya
berat), dan Format kelompok (untuk individu yang beban psikologisnya masih pada
derajat sedang).

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER/GANGGUAN STRES PASCA


TRAUMA(GSPT)

A. Definisi Gangguan stres pasca trauma (GSPT)

Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis yang


terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang tragis
atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari pemajanan atas
suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma


berbeda dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya
bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000)
peristiwa pemicu GSPT dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan
pemicu stress atau kecemasan biasa disebut ordinary stressor atau adjustment
stressor. Pada individu yang mengalami ordinary stressor kebanyakan mampu
mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa traumatic stressor belum tentu semua
individu mampu mengatasinya karena perbedaan kapasitas menghadapi
catastrophic stress.

B. Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Gejala PTSD muncul setelah seseorang mengalami peristiwa yang membuatnya
trauma. Waktu kemunculannya bisa beberapa bulan atau beberapa tahun setelah
kejadian traumatis tersebut. Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda
pada tiap penderita. Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD
adalah :
8. Ingatan pada peristiwa traumatis
Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya
trauma. Bahkan, penderita merasa seakan mengulang kembali kejadian
tersebut. Ingatan terhadap peristiwa traumatis tersebut juga sering kali hadir
dalam mimpi buruk, sehingga penderita tertekan secara emosional.

9. Kecenderungan untuk mengelak


Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang
membuatnya trauma. Hal ini ditunjukkan dengan menghindari tempat, aktivitas,
dan seseorang yang terkait dengan kejadian traumatis tersebut.
10. Pemikiran dan perasaan negative
Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain
itu, penderita juga kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan
merasa putus asa. Penderita juga lebih menyendiri dan sulit menjalin hubungan
dengan orang lain.

11. Perubahan perilaku dan emosi


Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meski tidak dipicu
oleh ingatan pada peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini juga sering
membahayakan dirinya atau orang lain. Penderita juga sulit tidur dan
berkonsentrasi.
PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada
anak-anak, terdapat gejala khusus, yaitu sering melakukan reka ulang peristiwa
traumatis melalui permainan. Anak dengan PTSD juga sering mengalami mimpi
buruk yang bisa terkait secara langsung maupun tidak dengan kejadian
traumatis yang dialaminya.

A. Penyebab Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD bisa muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa
yang menakutkan atau mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti mengapa
peristiwa tersebut menyebabkan PTSD bagi sebagian orang. Namun, ada dugaan bahwa
penyebabnya adalah kombinasi dari sejumlah kondisi berikut :
 Pengalaman yang tidak menyenangkan.
 Riwayat gangguan mental pada keluarga.
 Kepribadian bawaan yang temperamen

B. Factor Risiko Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian
tragis. Akan tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada seseorang yang memiliki sejumlah
faktor risiko berikut:
1. Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman.
2. Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA.
3. Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan.
4. Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi.
5. Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung (bullying) pada
masa kecil.
6. Memiliki pekerjaan tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di daerah
perang.

C. Respon Korban Terhadap Bencana


Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola
respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
7. Kelompok I
Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan
penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai
"supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
8. Kelompok II
Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses
berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini
sekitar75%.
9. Kelompok III
Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan
beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan
dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

D. Dampak Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak kepada
kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang. Jika
tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya
gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang muncul pada
aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu,
mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya iritasi, hilangnya
gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.Sedangkanaspek
mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak
dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.
Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain.Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

E. Pengobatan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Jika gejala yang
dialami pasien tergolong parah, dokter akan menggabungkan psikoterapi dan obat-
obatan. Psikoterapi dapat dilakukan secara individual atau berkelompok dengan pasien
PTSD lain. Ada beberapa jenis pengobatan PTSD yang biasanya digunakan untuk
mengatasi PTSD, yaitu:
1. Dengan Fisioterapi
■ Terapi perilaku kognitif, untuk mengenali dan mengubah pola pikir pasien
yang negatif menjadi positif.
■ Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan ingatan
yang memicu trauma secara efektif.
■ Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu kombinasi
terapi eksposur dan teknik gerakan mata untuk mengubah respons pasien
saat teringat kejadian traumatis.
2. Dengan Obat – obatan
Dokter akan memberikan obat-obatan untuk mengatasi gejala PTSD.
Meningkatkan dosis obat bila tidak efektif dalam mengatasi gejala. Namun, jika
terbukti efektif, obat-obatan akan terus diberikan setidaknya sampai 1 tahun.
Kemudian, pengobatan akan dihentikan secara bertahap. Obat yang diberikan
tergantung pada gejala yang dialami pasien, antara lain :
 Antidepresan : Untuk mengatasi depresi, seperti sertraline dan paroxetine.
 Anticemas : Untuk mengatasi kecemasan.
 Prazosin : Untuk mencegah mimpi buruk.

F. Komplikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD bisa mengganggu kehidupan penderitanya, baik di lingkup keluarga atau
pekerjaan, Penderita PTSD juga lebih berkemungkinan memiliki keinginan untuk melukai
diri sendiri bahkan bunuh diri. Selain itu, penderita PTSD juga berisiko menderita
gangguan mental lain, seperti :
11. Depresi
12. Gangguan makan
13. Gangguan kecemasan
14. Ketergantungan alcohol
15. Penyalahgunaan NAPZA

G. Pencegahan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


PTSD tidak bisa dicegah, tapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan bila Anda
mengalami kejadian traumatis, misalnya:
 Bicara kepada keluarga, teman, atau terapis mengenai kejadian traumatis yang
Anda alami.
 Coba untuk fokus pada hal yang positif, termasuk ketika mengalami peristiwa
traumatis. Sebagai contoh, merasa bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang
dialami.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Enny Febina Sari

NIM : P05120218068

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

K. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada
para korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan
pelayanan konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga
profesional kepada seseorang atau sekelompok individu untuk mengembangkan
kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang
terganggu dengan fokus mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui
penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses
pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan
para korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan
lingkungan secara objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai
dengan kondisi yang ada, melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang
telah diambil serta itu merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

L. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang
lebih berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka
memerlukan bantuan yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang
dipaksa untuk mengatasi berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan
bencana alam yang menimpanya. Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban,
mengalami tekanan/stress yang berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan.
Tekanan apapun, seseorang mungkin akan merasa pesimis, tidak percaya diri,
bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan
memberikan layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti
banyak sekali hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang
terjadi pada masyarakat luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah
barjir, tanah longsor dan gunung meletus yang mengakibatkan keluarga serta
masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, serta kehilangan keluarga
yang berakibat meninggal dunia karena terkena musibah tersebut.

M. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh
konselor adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga
pengelolaan pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam
dengan memberikan layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
q. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam
sebagai daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan
mendorong kemandirian dari pada ketergantungan.
r. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas
kepada masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
s. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk
mencegah atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/
memberikan treatment.
t. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
u. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak
dengan orang yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan
masyarakat, bukan di klinik atau kantor.
v. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
w. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem
pendukung.
x. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai
pusat dalam praktik yang efektif.

N. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban


Bencana Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida,
calon konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang,
yaitu:
q) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas,
standar kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
r) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
s) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan
batasan yang terstandar dan tidak terstandar.
t) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
u) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang
berarti berdasarkan atas penilaian data.
v) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu
maupun kelompok.
w) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua
pada terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
x) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian
layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

O. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh
semua korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran
konselor yaitu dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis
layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
9. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-
anak korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan
orang dewasa karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan
kemampuan koping terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis
terjadi pada anak-anak biasanya akan terjadi penghentian perkembangan
emosional (Kaplan, dkk, 1997).

10. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang
selamat bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami
suasana yang mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan
trauma yang mendalam kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana,
sehingga memerlukan penanganan (teknik dan pendekatan) khusus untuk
membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami oleh korban.Ada dua teknik
penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi, yaitu merupakan
teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami ketegangan psikis
agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu pedekatan yang
digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa teknik yang
terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan sesuatu
(Munro, Manthei, dan Small, 1985).
11. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon,
masalah,dan kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-
beda pula. Layanan pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban
bencana alam yang memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan
konseling. Beberapa masalah yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin
dapat terselesaikan melalui layanan play therapy dan teknik penenangan atau
melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada beberapa masalah yang lain
mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam agar dapat
terentaskan.
12. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan
kondisi trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana
(disaster counseling) yaitu :
g. Play therapy
h. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
i. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh
korban bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas
permasalahan yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis
layanan dan pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang
diberikan dapat bermanfaat.
POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

O. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma


(GSPT)adalah gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah
mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000)
GSPT muncul dari pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga,
kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan
politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma


berbeda dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya
bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000)
peristiwa pemicu GSPT dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan
pemicu stress atau kecemasan biasa disebut ordinary stressor atau adjustment
stressor. Pada individu yang mengalami ordinary stressor kebanyakan mampu
mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa traumatic stressor belum tentu semua
individu mampu mengatasinya karena perbedaan kapasitas menghadapi
catastrophic stress.

P. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder


(DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada
enam indikator bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a)
pemunculan stressor; (b) Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d)
Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f)
gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000). Gejala untuk masing-masing indikator
tersebut sebagai berikut :

a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa
yang melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau
kekejaman pada diri sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan
hebat (pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau
atau memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal
atau eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma
tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala
diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang
dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau
orang yang terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial


atau bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala


GSPT dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

e. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang


mengancam kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut
yang sangat kuat dan rasa tidak berdaya.
f. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan
persepsi. Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian
itu terjadi kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada
saat terjadi, jika teringat trauma tsb.
g. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan


percakapan yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan
lokasi yang mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat
trauma, hilang minat dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada
lingkungan tempat trauma terjadi, kehilangan emosi dan perasaan
menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

h. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

Q. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab
terjadinya GSPT, yaitu :

8. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


jj. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
kk. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
ll. Penyiksaan
mm. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan
terhadap keluarga
nn. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
oo. Pelecehan pemujaan
pp. Terorisme
qq. Peristiwa ledakan bom
rr. Menyaksikan pembunuhan
ss. Ancaman, penyiksaan
9. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
10. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

R. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-


pola respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu :

13.Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan
penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai
"supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

14.Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan.


Proses berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu
membuat rencana dengan cara yang masuk akal. Tingkah
lakunya menyerupai robot, dan memperlihatkan simptom- simptom fisik dan
psikologikal yang nyata, khususnya berupa anxiety yang tinggi. Korban yang
termasuk ke dalam kategori ini sekitar 75%.

15.Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan
membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.

S. Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat


berdampak kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan
hubungan seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan
memberikan dampak munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku,
spiritual. Symptom yang muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan,
suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas,
dan panic. Aspek emosi di antaranya iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan,
dikendalikan emosi, merasa rendah diri. Sedangkan aspek mental di antaranya
kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat
berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan,


makan berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering
menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak,
mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-
ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek
spiritual di antaranya adalah putus asa, hilang harapan, menyalahkan Tuhan,
berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan, tidak tulus, dll.
T.Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

4. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses
melalui peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap
agar bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan
sehingga pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini
efisien terutama pada kasus dimana pengidap mengalami kilas balik
atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata
terarah untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa
traumatis dan dokter akan mengamati reaksi pengidap.
4. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang
berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

U.Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban


GSPT, yaitu :
15. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya
melalui dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi
kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan
dukungan emosi. Serta dalam mengatasi rasa tak berdaya dan
keputusasaannya.
16. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera
berperilaku yang positif, sambil menemukan berbagai informasi yang
dibutuhkan tentang permasalahan yang dihadapi.
17. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya
agar kembali seimbang.
18. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik
melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
19. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu
merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu
masalah.
20. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada
klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
21. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa
ketergantunagn klien kepada konselor.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Elwindri Rameko

NIM : P05120218067

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN


TAHUN AJARAN 2019/2020

KONSELING PADA KORBAN BENCANA

P. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada
para korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan
pelayanan konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga
profesional kepada seseorang atau sekelompok individu untuk mengembangkan
kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang
terganggu dengan fokus mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui
penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses
pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan
para korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan
lingkungan secara objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai
dengan kondisi yang ada, melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang
telah diambil serta itu merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Q. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang
lebih berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka
memerlukan bantuan yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang
dipaksa untuk mengatasi berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan
bencana alam yang menimpanya. Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban,
mengalami tekanan/stress yang berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan.
Tekanan apapun, seseorang mungkin akan merasa pesimis, tidak percaya diri,
bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan
memberikan layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti
banyak sekali hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang
terjadi pada masyarakat luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah
barjir, tanah longsor dan gunung meletus yang mengakibatkan keluarga serta
masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, serta kehilangan keluarga
yang berakibat meninggal dunia karena terkena musibah tersebut.

R. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh
konselor adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga
pengelolaan pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam
dengan memberikan layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
y. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam
sebagai daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan
mendorong kemandirian dari pada ketergantungan.
z. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas
kepada masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
aa. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk
mencegah atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/
memberikan treatment.
bb. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
cc. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak
dengan orang yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan
masyarakat, bukan di klinik atau kantor.
dd. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
ee. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem
pendukung.
ff. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai
pusat dalam praktik yang efektif.
S. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban
Bencana Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida,
calon konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang,
yaitu:
y) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas,
standar kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
z) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
aa) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian,
kekuatan, dan batasan yang terstandar dan tidak terstandar.
bb) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk
mengumpulkan, menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
cc) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi
yang berarti berdasarkan atas penilaian data.
dd) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu
maupun kelompok.
ee) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang
tua pada terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
ff) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian
layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

T. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh
semua korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran
konselor yaitu dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis
layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
13. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-
anak korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan
orang dewasa karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan
kemampuan koping terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis
terjadi pada anak-anak biasanya akan terjadi penghentian perkembangan
emosional (Kaplan, dkk, 1997).
14. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang
selamat bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami
suasana yang mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan
trauma yang mendalam kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana,
sehingga memerlukan penanganan (teknik dan pendekatan) khusus untuk
membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami oleh korban.Ada dua teknik
penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi, yaitu merupakan
teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami ketegangan psikis
agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu pedekatan yang
digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa teknik yang
terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan sesuatu
(Munro, Manthei, dan Small, 1985).
15. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon,
masalah,dan kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-
beda pula. Layanan pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban
bencana alam yang memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan
konseling. Beberapa masalah yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin
dapat terselesaikan melalui layanan play therapy dan teknik penenangan atau
melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada beberapa masalah yang lain
mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam agar dapat
terentaskan.
16. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan
kondisi trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana
(disaster counseling) yaitu :
j. Play therapy
k. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
l. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh
korban bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas
permasalahan yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis
layanan dan pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang
diberikan dapat bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

V. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma


(GSPT)adalah gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah
mengalami suatu peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000)
GSPT muncul dari pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga,
kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan
politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma


berbeda dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya
bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000)
peristiwa pemicu GSPT dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan
pemicu stress atau kecemasan biasa disebut ordinary stressor atau adjustment
stressor. Pada individu yang mengalami ordinary stressor kebanyakan mampu
mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa traumatic stressor belum tentu semua
individu mampu mengatasinya karena perbedaan kapasitas menghadapi
catastrophic stress.

W. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder


(DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada
enam indikator bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a)
pemunculan stressor; (b) Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d)
Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f)
gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000). Gejala untuk masing-masing indikator
tersebut sebagai berikut :
a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa
yang melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau
kekejaman pada diri sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan
hebat (pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau
atau memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal
atau eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma
tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala
diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang
dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau
orang yang terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial


atau bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala


GSPT dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

i. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang


mengancam kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut
yang sangat kuat dan rasa tidak berdaya.
j. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan
persepsi. Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian
itu terjadi kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada
saat terjadi, jika teringat trauma tsb.
k. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan


percakapan yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan
lokasi yang mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat
trauma, hilang minat dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada
lingkungan tempat trauma terjadi, kehilangan emosi dan perasaan
menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

l. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

X.Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab
terjadinya GSPT, yaitu :

11. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


tt. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
uu. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
vv. Penyiksaan
ww. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan
terhadap keluarga
xx. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
yy. Pelecehan pemujaan
zz. Terorisme
aaa. Peristiwa ledakan bom
bbb. Menyaksikan pembunuhan
ccc. Ancaman, penyiksaan
12. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
13. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

Y. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-


pola respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu :

16.Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan
penuh perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai
"supercool". Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.
17.Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan.


Proses berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu
membuat rencana dengan cara yang masuk akal. Tingkah
lakunya menyerupai robot, dan memperlihatkan simptom- simptom fisik dan
psikologikal yang nyata, khususnya berupa anxiety yang tinggi. Korban yang
termasuk ke dalam kategori ini sekitar 75%.

18.Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan
membeku (cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah
berganti, dan beberapa diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat
membahayakan dirinya dan orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga
15%.

Z.Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat


berdampak kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan
hubungan seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan
memberikan dampak munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku,
spiritual. Symptom yang muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan,
suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas,
dan panic. Aspek emosi di antaranya iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan,
dikendalikan emosi, merasa rendah diri. Sedangkan aspek mental di antaranya
kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah, tidak dapat
berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan,


makan berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering
menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak,
mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-
ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek
spiritual di antaranya adalah putus asa, hilang harapan, menyalahkan Tuhan,
berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan, tidak tulus, dll.

AA. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

5. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses
melalui peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap
agar bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan
sehingga pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini
efisien terutama pada kasus dimana pengidap mengalami kilas balik
atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata
terarah untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa
traumatis dan dokter akan mengamati reaksi pengidap.
5. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang
berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

BB. Peran Perawat dalam GSPT


Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban
GSPT, yaitu :

22. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya


melalui dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi
kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan
dukungan emosi. Serta dalam mengatasi rasa tak berdaya dan
keputusasaannya.
23. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera
berperilaku yang positif, sambil menemukan berbagai informasi yang
dibutuhkan tentang permasalahan yang dihadapi.
24. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya
agar kembali seimbang.
25. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik
melalui komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
26. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu
merencanakan dan melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu
masalah.
27. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada
klien dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
28. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa
ketergantunagn klien kepada konselor.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT
“Konseling pada korban bemcana & Post traumatic syndrom
disorder”

DOSEN PEMBIMBING : Vice Ellese

DISUSUN OLEH :
NAMA :Dika
NIM :P5120218060
PRODI :DIII Keperawtan
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

TAHUN AJARAN 2020/2021

1. Konseling pada korban bemcana


A. Peran konselor

Sebagai konselor yang professional dalam melaksanakan tugasnya di


sekolah dan di masyarakat, tentunya tidak terle+pas dari kegiatan sosial. Layanan
bimbingan dan konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan
berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi
individu untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan mamahami,
menerima, mengarahkan, mengambil keputusan, dan merealisasikan diri secara
bertanggung jawab sehingga mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dalam
hidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Bimbingan dan
Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah).

Kegiatan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang


orang, karena untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau
kemampuan sebagai konselor atau ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.
Konselor di didik secara khusus untuk memperoleh kompetensi sebagai konselor,
yaitu meliputi pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta
pengalaman dalam bidang bimbingan dan konseling.

Prayitno dan Amti (2004: 110) menjelaskan terapi dalam konsepsi perkembangan
bimbingan dan konseling tidak ada gunanya membedakan tugas dan ruang lingkup
kerja bimbingan dan konseling di sisi lain. Mengingat perkembangan bimbingan
dan konseling yang belum cukup mantap maka istilah bimbingan dan konseling
masih dipertahankan, namun dari segi pelayanan hendaknya menekankan porsi
yang lebih besar pada konseling.
Layanan konseling komunitas sangat memperhatikan keadaan individu
dan kelompok dalam setiap pelaksanaan dan tujuan akhirnya. Konseling
komunitas didirikan pada tahun 1995 di North Yorkshire dan menyediakan
berbagai layanan terhadap pendidikan orang dewasa dan masyarakat pada
umumnya. Konseling komunitas memberikan bantuan untuk individu atau
kelompok masyarakat yang membutuhkan dan berkelanjutan demi terlaksana
kepastian layanan yang memberikan dukungan dan perubahan untuk memperbaiki
keadaan masyarakat (dalam,http://www.community-counselling.org.uk/).
Masyarakat yang memerlukan layanan konseling komunitas seperti korban
bencana alam yang bermasalah dengan keadaan psikologis serta tingkatan sosial
yang memacu untuk menjadikan ia semakin terpinggirkan. Pemberian layanan
konseling komunitas sangat tepat bagi korban bencana alam yang akan membantu
serta mengarahkan individu dan kelompok masyarakat yang terkena bencana alam
untuk lebih bisa bangkit dan berjuang kembali secara fisik dan psikologis menuju
kesejahteraan yang ingin di capai.

A. Fungsi Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai
pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor
dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu,
konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi
klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang
dihadapinya (Lesmana, 2005). Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
konselor adalah tenaga profesional yang sangat berarti bagi klien. Dalam
melakukan proses konseling , seorang konselor harus dapat menerima kondisi
klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat
proses konseling berlangsung. Posisi konselor sebagai pihak yang membantu,
menempatkannya pada posisi yang benar-benar dapat memahami dengan baik
permasalahan yang dihadapi klien.
Setiap konselor pada masing-masing pendekatan teknik konseling yang
digunakan memiliki karasteristik dan peran yang berbeda-beda. Hal ini tergantung
dari konsep pendiri teori yang dijadikan landasan berpijak. Misalnya, pada
konselor yang menggunakan pendekatan behavioristik, konselor berperan sebagai
fasilitator bagi klien. Hal tersebut tidak berlaku bagi konseling yang
menggunakan pendekatan humanistis di mana peran konselor bersifat holistis.
Sikap dan keterampilan merupakan dua aspek penting kepribadian konselor.
Sikap sebagai suatu disposisi tidaklah tampak nyata, tidak dapat dilihat bentuknya
secara langsung. Berbeda dengan sikap, keterampilan dapat tampak wujudnya
dalam perbuatan. Fungsi keterampilan bagi konselor adalah upaya memancarkan
sikap-sikap yang dimilikinya terhadap para klien disamping penunjukan
kredibilitas lain seperti penampilan kompetensi intelektual dan aspek-aspek non
intelektif lainnya.
Selanjutnya, berikut ini diuraikan secara luas karakteristik seorang konselor
yang efektif, peran dan fungsi konselor, masalah yang dihadapi konselor dan
resistensi konselor.
1. Karakteristik konselor
Setelah memahami gambaran seorang konselor secara umum marilah kita lihat
beberapa karakteristik konselor efektif yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Karakteristik inilah yang wajib dipenuhi oleh seorang konselor untuk mencapai
keberhasilannya dalam proses konseling. Kita awali dari pandangan Carl Rogers
sebagai peletak dasar konsep konseling. Rogers (dikutip dari lesmana, 2005)
menyebutkan ada tiga karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seorang
konselor, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan empathy.
a. Congruence
Menurut pandangan Rogers, seorang konselor haruslah terintegrasi dan kongruen.
Pengertiannya di sini adalah seorang konselor terlebih dahulu harus memahami
dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi.
Konselor harus sungguh-sungguh menjadi dirinya sendiri, tanpa menutupi
kekurangan yang ada pada dirinya.
b. Unconditional positive regard
Konselor harus dapat menerima/respek kepada klien walaupun dengan keadaan
yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setiap individu menjalani
kehidupannya dengan membawa segala nilai-nilai dan kebutuhan yang
dimilikinya. Rogers mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi untuk
mengaktualisasikan dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk itulah, konselor harus
memberikan kepercayaan kepad klien untuk mengembangkan diri mereka.
c. Empathy
Empathy di sini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka
berpikirnya. Selain itu empathy yang dirasakan juga harus ditunjukkan. Konselor
harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut
didalam nilai-nilai klien.
Selain tiga karakteristik yang dikemukakan Rogers tersebut, seorang konselor
yang berperan sebagai "pembantu" bagi klien harus memiliki karakteristik yang
positif untuk menjamin keefektifannya dalam memberikan penanganan. Dalam
hal ini, Latipun (2001) membaginya dalam dua aspek utama, yaitu:
1) Keahlian dan ketrampilan
Konselor adalah orang yang harus benar-benar mengerti dunia konseling dan
menyelesaikan permasalahan klien dengan tepat. Aspek keahlian dan ketrampilan
wajib dipenuhi oleh konselor yang efektif.
2) Kepribadian konselor
Kepribadian seorang konselor juga turut menentukan keberhasilan proses
konseling. Dalam hubungannya dengan faktor kepribadian seorang konselor.
Comb A (dikutip dari latipun 2001) mengungkapkan bahwa kepribadian konselor
tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata bagi konselor, akan tetapi dapat
dijadikan dengan instrumen dalam meningkatkan kemampuan dalam membantu
kliennya.

B. Tindakan Konselor

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari keseluruhan


pendidikan di sekolah yang berupaya membantu siswa memahami diri,
menyesuaikan diri, memecahkan masalah, membuat pilihan dan merealisasikan
dirinya dalam kehidupan nyata serta mengembangkan potensi yang dimilikinya
untuk mencapai perkembangan optimal. Konselor sekolah adalah penyelenggara
kegiatan konseling di sekolah. Istilah konselor secara resmi digunakan dalam
undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 6 dengan menyatakan
konselor adalah pendidik dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2005 menyatakan konselor adalah pelaksana pelayanan
konseling di sekolah yang sebelumnya menggunakan istilah BP, guru BP/BK dan
guru pembimbing, untuk itu konselor sekolah mempunyai tugas, tanggung jawab,
wewenang, hak secara penuh dalam pelayanan bimbingan dan konseling terhadap
sejumlah siswa. Secara umum tugas konselor sekolah adalah bertanggung jawab
untuk membimbing, membina dan membantu siswa sehingga memiliki
kepribadian yang matang dan mengenal potensi dirinya yang menyeluruh. Image
tentang bimbingan dan konseling yang beredar di kalangan siswa, bahwa
bimbingan konseling adalah polisi sekolah, takut kalau dipanggil ke ruang BK.
Faktor lain yang membuat tidak nyamannya siswa berhubungan dengan guru
bimbingan dan konseling adalah lokasi dan infrastruktur ruangan. Masih banyak
sekolah yang menempatkan ruangan bimbingan konseling bukan merupakan
ruangan yang penting, contohnya letaknya di pojok belakang sekolah, kondisinya
sempit, tidak nyaman dan sangat tidak memadai untuk proses kegiatan konseling.

Dewa Ketut Sukardi dan Desak NK (2008:30) mengatakan bahwa citra


bimbingan dan konseling semakin diperburuk dengan masih adanya konselor
sekolah yang kinerjanya tidak profesional. Mereka masih lemah dalam memahami
konsep-konsep bimbingan dan konseling secara komprehensif, menyusun
program bimbingan dan konseling, mengimplementasikan teknikteknik
bimbingan dan konseling, kemampuan berkolaborasi dengan pimpinan sekolah
atau guru mata pelajaran, mengelola bimbingan dan konseling, megevaluasi
program (proses dan hasil) bimbingan dan konseling, dan melakukan tindak lanjut
(follow up) hasil evaluasi untuk perbaikan atau pengembangan program. Senada
dengan hal itu, Jumail (2013:251) mengemukakan penelitiannya di SMA Negeri 2
Padang tentang konselor sekolah yang berpendidikan S1 Bimbingan dan
Konseling diperoleh keterangan bahwa kompetensi profesional yang dimiliki
salah seorang konselor sekolah di sekolah tersebut belum sepenuhnya optimal ini
dikarenakan konselor tersebut belum mengaplikasikan pelayanan sesuai dengan
teknik yang baku yang sesuai dengan kaidah-kaidah konseling. Berkenaan dengan
peran konselor di sekolah, maka dibutuhkan kompetensi yang memadahi dari
seorang konselor di sekolah dapat berjalan sesuai apa yang diinginkan,

C. Sosok Utuh Kompetensi Konselor

Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan


profesional sebagai satu keutuhan.Kompetensi akademik merupakan landasan
ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling.
Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi
profesional, yang meliputi:

a) Memahami secara mendalam konseling yang dilayani,


b) Menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
c) Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan, dan
d) Mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
Unjuk kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan ke empat
komptensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi
yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor secara
terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional.
Konselor berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan mengembangkan
isu atau masalah, dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan
membangkitkan semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai alternatif yang
sesuai bagi antisipasi masalah.
C. Standar Kompetensi Konselor
Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di samping kode
etik sebagai regulasi perilaku profesi dan kredensi yang ditetapkan dalam
prosedur dan sistem pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai
sebagai perangkat perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi,
menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan mempersepsi
yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan
tertentu secara efektif dan efisien. Kompetensi bukanlah suatu titik akhir dari

suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang
hayat (lifelong learning process).

Kompetensi profesi konselor merupakan keterpaduan kemampuan personal,


keilmuan dan teknologi, serta sosial yang secara menyeluruh membentuk
kemampuan standar profesi konselor.
Profil kompetensi Konselor meliputi komponen berikut.

1. Kompetensi pengembangan kepribadian (KPK), yaitu kompetensi


berkenaan dengan pengembangan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, mandiri
dan mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
a) Menampilkan kepribadian beriman dan bertakwa, bermoral, terintegritas,
mandiri.
b) Menghargai dan meninggikan hakikat, harkat dan kehidupan kemanusiaan.
2. Kompetensi landasan keilmuan dan keterampilan (KKK), yaitu kompetensi
berkenaan dengan bidang keilmuan sebagai landasan keterampilan yang hendak
dibangun. Kompetensi ini meliputi substansi dalam bidang pendidikan, psikologi,
dan budaya.
3. Kompetensi keahlian berkarya (KKB), yaitu kompetensi berkenaan dengan
kemampuan keahlian berkarya dengan penguasaan keterampilan yang tinggi.
a. Hakikat pelayanan konseling.
b. Paradigma, visi dan misi konseling.
c. Dasar keilmuan konseling
d. Bentuk/format pelayanan konseling

e. Pendekatan pelayanan konseling.


f. Teknik konseling.
g. Instrumentasi konseling.
h. Sumber dan media dalam konseling.
i. Jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling.

4. Pengelolaan pelayanan konseling. Kompetensi perilaku berkarya (KPB), yaitu

kompetensi berkenaan dengan perilaku berkarya berlandaskan dasar-dasar


keilmuan dan profesi sesuai dengan pilihan karir dan profesi.
a. Etika profesional konseling
b. Riset dalam konseling
c. Organisasi profesi konseling
5. Kompetensi berkehidupan bermasyarakat (KBB), yaitu kompetensi
berkenaan dengan pemahaman kaidah berkehidupan dalam masyarakat profesi
sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
a. Hubungan antar-individu dan berhubungan dengan lingkungan.
b. Hubungan kolaboratif dengan tenaga profesi lain: pembentukan tim
kerjasama, pelaksanaan kerjasama, dan tanggung jawab bersama.

Keutuhan kompetensi tersebut mencakup:


c. memahami secara mendalam konseli yang dilayani,
d. menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
e. menyelenggarakan pepelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan.
f. mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan,
g. yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
E. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam
Menurut (Judith A. Lewis., at al., 2010: 91) ketika seseorang dipaksa
untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih berat/sulit dari kemampuan
mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan yang praktis, positif,
dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi berbagai tekanan
yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya. Dalam
situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang
mungkin akan merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk
meminta tolong kepada anggota yang bisa membantu. Ketika seseorang konselor
bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan layanan konseling komunitas
kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali hambatan-hambatannya. Dalam
kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat luas, contohnya suatu
daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung meletus yang
mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena
terkena musibah tersebut. Menurut Judith A. Lewis., at al. (2010: 92) menggali
potensi individu atau kelompok masyarakat yang mungkin memerlukan layanan
konseling komunitas untuk mengintervensi kemampuan mereka yang dapat
diimplementasikan melalui aksi masyarakat menggunakan pendekatan kesehatan
masyarakat yang dibantu dengan layanan konseling komunitas.

Kelebihan layanan konseling komunitas pada individu dan masyarakat ini


mencakup tekanan, pemberdayaan, konteks masyarakat, memberikan jalan ke
masa depan. Sebuah pendapat tentang strategi untuk mengahadi situasi yang
darurat, (Solomon, 2003) menunjukkan "meskipun profesional yang bekerja di
arena kesehatan mental jarang dilatih atau dipersiapkan untuk bekerja di tingkat
masyarakat yang lebih luas, skala keadaan darurat ini mungkin perlu
menggunakan intervensi bagi mereka yang dapat diimplementasikan melalui aksi
masyarakat menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat yang dibantu dengan
pemberian layanan konseling komunitas oleh konselor.
F. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam

Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh


konselor adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga
pengelolaan pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam
dengan memberikan layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
1. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam
sebagai daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan
mendorong kemandirian dari pada ketergantungan.
2. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas
kepada masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
3. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk
mencegah atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada
mengobati/ memberikan treatment.
Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.

4. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak


dengan orang yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka
dan masyarakat, bukan di klinik atau kantor.
5. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli
kepada masyarakat dan budaya yang ada disana.
6. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
7. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai
pusat dalam praktik yang efektif.

G. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan


Konseling Kepada Korban Bencana Alam
Menurut Drummond (2000: 5) di beberapa negara, seseorang yang ingin
menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon konselor harus
mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
1. Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma,
reliabilitas, standar kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
2. Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.

3. Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian,


kekuatan, dan batasan yang terstandar dan tidak terstandar.
4. Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk
mengumpulkan, menyimpan dan melindungi instrument penilaian
dan data.

5. Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang


penyediaan informasi yang berarti berdasarkan atas penilaian data.
6. Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi
individu maupun kelompok.
7. Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan
orang tua pada terminology pertumbuhan dan perkembangan
individu.
8. Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional.

Pemberian layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor


tentunya harus sesuai dan tepat pada sasaran yaitu individu atau kelompok korban
bencana alam. Bantuan tersebut harus sesuai dengan keadaan individu dan
kelompok masyarakat yang memiliki pandangan serta kultur atau budaya yang
berbeda, konselor harus mampu secara lisan maupun tulisan dalam memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam

KESIMPULAN

1. Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai
pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas.
2. Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan
profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan
ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling.
Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi
profesional, yang meliputi:
a. Memahami secara mendalam konseling yang dilayani,
b. Menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
c. Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan,
dan
d. Mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
3. kompetensi Konselor meliputi komponen berikut:
a. Kompetensi pengembangan kepribadian (KPK),
b. Kompetensi landasan keilmuan dan keterampilan (KKK),
c. Kompetensi keahlian berkarya (KKB)
d. Kompetensi perilaku berkarya (KPB),
e. Kompetensi berkehidupan bermasyarakat (KBB)

Konselor Agama ialah Bimbingan Islami merupakan proses pemberian


bantuan, artinya bimbingan tidak menentukan atau mengharuskan, melainkan
sekedar membantu individu.

2. Post traumatic syndrom disorder


Kejadian luar biasa dalam kehidupan dapat dialami oleh seseorang dimulai dari
sejak lahir sampai meninggal dunia. Seiring dengan perjalanan kehidupan sudah tentunya
seseorang pasti akan mengalami berbagai peristiwa. Peristiwa akibat alam seperti gempa,
tsunami, gunung meletus dan lainya maupun akibat manusia seperti terror bom, perang,
perlakuan yang tidak mengenakkan, dan kriminalitas. Peristiwa yang dialami seseorang
dapat menjadi sebuah pengalaman yang sangat menentukan bagi orang tersebut. Berat
ringannya peristiwa sangat subjektif menurut orang. Tetapi semakin berat trauma
tersebut dirasakan oleh seseorang maka akan semakin beresiko mengalami hal yang
dikenal dengan post traumatic stress disorders (PTSD).1,2
Kejadian trauma dimasyarakat semakin banyak seperti trauma bencana alam
maupun trauma karena perbuatan manusia. Data di Amerika menunjukan 60% laki - laki
dan 50% wanita memiliki pengalaman traumatis, yang berkembang menjadi PTSD
sekitar 6,7% dari seluruh populasi. Sedangkan data dari komnas perempuan sejak tahun
2007-2010, di Indonesia telah terjadi 91.311 kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan, begitu pula kasus kekerasan seksual pada anak dilaporkan mencapai 250
kasus.2,3
Melihat data diatas maka sebenarnya banyak kasus PTSD dimasyarakat namun
tidak terungkap karena gejala klinis yang muncul pada setiap pasien PTSD tidaklah
sama. Tergantung pengalaman, riwayat gangguan psikiatri sebelumnya, mekanisme
pertahanan diri yang dipakai, dan banyak faktor lainnya termasuk lingkungan. Sehingga
tidak mudah untuk mengenali dan mendiagnosis pasien

PTSD. Dalam membuat diagnosis PTSD perlu kecermatan bagi seorang dokter. Seperti
yang dijelaskan diatas, manifestasi klinis PTSD sangat bermacam macam. Biasanya
dapat berupa depresi, gangguan bipolar, mania, paranoid, dan dapat disertai dengan
gejala psikotik sehingga penegakkan diagnosis akan menjadi cukup sulit.
Gangguan trauma paska stres atau yang dikenal juga sebagai Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) adalah sebuah kondisi gangguan kesehatan mental akibat
peristiwa yang mengerikan, seperti kecelakaan, perang, ataupun kejadian bencana alam
(gempa bumi, tsunami, longsor dan lainnya).

Dampak dari gangguan trauma itu sendiri tentu bervariasi, dari yang ringan
sampai yang berat. Berikut beberapa diantaranya:

- Selalu merasa cemas dan sangat mengganggu, 

- Terbayang-bayang dengan peristiwa bencana, 

- Mimpi buruk yang menyebabkan kesulitan tidur, 

- Kondisi fisik penderita menjadi siaga ketika mereka mengingat ataupun memikirkan
trauma yang dialami.

Gejala psikis seperti demikian tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Para korban
harus dibantu agar pulih kondisi psikologisnya dari pengalaman traumatis melalui
pemulihan trauma (trauma healing). 

Gangguan PTSD pada korban bencana muncul setelah 1 bulan, sedangkan


gangguan trauma yang muncul kurang dari 1 bulan disebut Acute Stress Disorder (ASD).
Biasanya korban yang mengalami ASD dapat pulih kembali dari gangguan trauma
sehingga hanya memerlukan dukungan psikososial. 

Sedangkan Gangguan PTSD memerlukan penanganan khusus, seperti terapi psikis


dengan intervensi khusus dan jika sangat mengganggu dapat dipertimbangkan pemberian
obat-obatan. 
Lalu bila kita didekat mereka, apa saja kira-kira yang bisa kita lakukan untuk
memulihkan kondisi tersebut.

1. Meminimalkan paparan media yang memberitakan tentang bencana atau peristiwa


tersebut 

2. Menghindarkan mereka dari tempat-tempat dimana kejadian mengerikan itu


berlangsung 

3. Memberikan dukungan, kita perlu menunjukkan bahwa kita peduli dan berempati
terhadap kondisi korban. 

4. Memberikan donasi dalam bentuk pangan, sandang, dan papan. 

5. Mengajak para korban untuk bermain dan bersenda gurau, hal ini dapat meringankan
tekanan traumatis yang dialami korban

6. Melakukan kegiatan bersama-sama seperti memasak di dapur umum

7. Menjadi pendengar cerita para korban, bila mereka siap menceritakan musibah yang
dialaminya

Secara moral, dukungan psikososial ditujukan untuk melepaskan korban dari perasaan
ketakutan yang dialaminya, bukannya bertujuan untuk melupakan peristiwa pahit
tersebut. Dan kegiatan yang dilakukan bersama-sama memberikan efek psikologis yang
kuat kepada korban yang menandakan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi
peristiwa ini. 

Selain itu edukasi seputar informasi bencana atau informasi bantuan pun menjadi hal
yang penting dan dapat disampaikan kepada korban sehingga apabila bencana susulan
terjadi para korban mengerti apa yang harus dilakukan.

Kondisi psikologis seseorang setelah mengalami trauma dapat kembali pulih atau normal.
Tentunya pemulihan kondisi psikologis seseorang tergantung dari bagaimana mereka
mampu menghadapi situasi sulit serta ketersediaan sumber-sumber daya lokal yang dapat
menunjang proses pemulihan trauma.
Namun, tidak dipungkiri bahwa gangguan trauma dapat menetap dan berkepanjangan
k.sehingga memerlukan penanganan yang lebih lanjut dan bersifat holistic.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III
“Konseling pada korban bencana & Post Traumatic Stress Disorder”

Dosen pembimbing: Vice Elese

Disusun oleh:

Serli dwi mardianti


P05120218077
Kelas: 3B DIII Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
RANGKUMAN

“Konseling pada korban bencana”

K. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para korban
bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan konseling.
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang atau
sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan
kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang mampu
mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
L. jenis pelayanan konseling pada korban bencana
Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
6. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Play therapy
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Menurut The Association for Play Therapy terdapat 14 macam
keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy sebagai sebuah intervensi,
yaitu:
71) Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri. Permainan adalah salah satu cara
untuk menarik anak agar bisa terlibat dalam kegiatan konseling.,
72) Komunikasi. Permainan adalah media alami yang digunakan anak untuk
mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan berbagai pilihan permainan
yang dapat memancing anak untuk dapat terus terlibat dalam permainan.
73) Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi kebutuhan
anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
74) Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak sedang
melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
75) Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga pemecahan
atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir kreatif atas persoalan
yang dialami.
76) Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi yang
dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang
secara optimal tanpa beban mental.
77) Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses dan
menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan ekspresi emosi
yang lebih tepat.
78) Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru dan
mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain.
79) Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah hidup
mereka secara perlahanlahan.
80) Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang mendalam atas
kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang dimunculkan dalam
permainan.
81) Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan konselor serta
mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Peningkatan hubungan. Bermain dapat meningkatkan
82) hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan anak untuk mewujudkan
aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan orang lain disekitarnya. Anak dapat
mengenal cinta dan perhatian yang positif terhadap lingkungannya.
83) Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini mereka bisa
tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat yang mereka merasa
diterima. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak.
84) Bekerja dengan mainan, seni dan media bermain lainnya mereka akan menemukan
berbagai keterampilan dalam mengatasi ketakutan Bermain game. Game membantu
anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai
peluang untuk meningkatkan keterampilan.
11. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: Relaksasi,
yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang mengalami
ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan suatu
pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa
teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan
sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling yang dapat
dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih relaks. Kondisi releks
adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan dalam suasana emosi yang
tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap perangsang tertentu. teknik penenangan
(relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam
mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana alam.
12. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang selamat
yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan
konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma, 2009).

“Post Traumatic Stress Disorder”


Z. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang terjadi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam hidupnya. PTSD
merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis
seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap sebagai salah satu bagian
dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya muncul beberapa tahun setelah
kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut dapat
di diagnosis mengalami PTSD.
AA. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
21. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang dialami,
peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak korban
meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa kurang
mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta adanya
gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya penyangkalan
terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
22. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan tentang
pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
23. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.
24. Faktor neurobiology
Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya berperan
dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang kejadian trauma yang
dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan yang tidak disadari, misalnya
aspek autonom yang merupakan respon dari rasa takut.
BB. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
31. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
21) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
22) Perkosaan atau pelecehan seksual
23) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
24) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
32. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
21) Kecelakaan mobil atau kebakaran
22) Bencana alam, seperti gempa bumi
23) Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
24) Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
33. Veteran perang atau korban perang sipil
34. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal, atau
orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
35. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
36. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
CC. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD
16. Perubahan fikiran
26) Tidak dapat menerima kenyataan
27) Teringat- ingat
28) Mimpi buruk
29) Susah konsentrasi
30) Menjadi pelupa
17. Perubahan perasaan
26) Takut yang berlebihan
27) Cemas
28) Sedih
29) Bimbang
30) Merasa tak pantas hidup lagi
18. Perubahan tingkah laku
36) Sesak nafas
37) Susah tidur
38) Jantung berdebar-debar
39) Nafsu makan berkurang
40) Menarik diri dari orang lain
41) Mudah terkejut
42) Kepala pusing dan pingsan
DD. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam
responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)

Referensi:
Mukhadiono, Subagyo, W., &Wahyudi. 2016. Pemulihan PTSD Anak-Anak Korban Bencana
Play Therapy.Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). 11
(1) : 23-30.
Munro, E.A., Manthei, R.J., & Small, J.J. 1985. Penyuluhan (Counselling): Suatu pendekatan
berdasarkan keterampilan. Alih Bahasa: Amti, E. Jakarta: Ghalia Indonesia.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Vanny Puspita Sari

NIM : P05120218083

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

U. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

V. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

W. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
gg. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
hh. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
ii. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
jj. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
kk. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
ll. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
mm. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
nn. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.

X. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana


Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
gg) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
hh) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
ii) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan batasan
yang terstandar dan tidak terstandar.
jj) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
kk) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang
berarti berdasarkan atas penilaian data.
ll) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
mm) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua
pada terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
nn) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian
layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

Y. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
17. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

18. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
19. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
20. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
m. Play therapy
n. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
o. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

CC. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

DD. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :
a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).

b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :


1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.

c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :


1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.

d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :


1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.

e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.
Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT
dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

m. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
n. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.

o. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

p. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

EE. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

14. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


ddd. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
eee. Pelecehan termasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
fff. Penyiksaan
ggg. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap
keluarga
hhh. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
iii. Pelecehan pemujaan
jjj. Terorisme
kkk. Peristiwa ledakan bom
lll. Menyaksikan pembunuhan
mmm.Ancaman, penyiksaan
15. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
16. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

FF.Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

19.Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

20.Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

21.Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

GG. Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

HH. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

6. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
6. Obat-Obatan
 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,
cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

II. Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

29. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.

30. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.

31. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.

32. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.

33. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.

34. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.

35. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Ikhtiar Wahyudi

NIM : P05120218070

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN


TAHUN AJARAN 2019/2020
KONSELING PADA KORBAN BENCANA

Z. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

AA. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

BB. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
oo. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
pp. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
qq. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
rr. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
ss. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
tt. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
uu. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
vv. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.
CC. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban
Bencana Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
oo) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
pp) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
qq) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan
batasan yang terstandar dan tidak terstandar.
rr) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
ss)Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
tt) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu maupun
kelompok.
uu) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua
pada terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
vv) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian
layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

DD. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
21. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

22. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
23. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
24. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
p. Play therapy
q. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
r. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

JJ. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

KK. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :

a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).

b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :


1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.

c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :


1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.

d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :


1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

q. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
r. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.

s. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

t. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

LL. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

17. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


nnn. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
ooo. Pelecehan termasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
ppp. Penyiksaan
qqq. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap
keluarga
rrr. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
sss.Pelecehan pemujaan
ttt. Terorisme
uuu. Peristiwa ledakan bom
vvv. Menyaksikan pembunuhan
www. Ancaman, penyiksaan
18. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
19. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.
MM. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

22.Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

23.Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

24.Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

NN. Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

OO. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

7. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
7. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

PP.Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

36. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.

37. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.

38. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.

39. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.

40. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.

41. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
42. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.

MANAJEMEN BENCANA LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Venni Harmeilawati Rizki

NIM : P05120218084

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU


PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

P. Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Q. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

R. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
z. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
aa. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
bb. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
cc. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
dd. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
ee. Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
ff. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
gg. Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.

S. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban Bencana


Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
ff) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
gg) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
hh) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan
batasan yang terstandar dan tidak terstandar.
ii) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
jj) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang berarti
berdasarkan atas penilaian data.
kk) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu
maupun kelompok.
ll) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua pada
terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
mm) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian
layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

T. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
22. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

23. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
24. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
25. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
l. Play therapy
m. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
n. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

Y. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

Z. Gejala GSPT
Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)
yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :

a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :


1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).

b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :


1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.

c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :


1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.

e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

j. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
k. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.

l. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

m. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.
AA. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

14. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


ff. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
gg. Pelecehantermasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
hh. Penyiksaan
ii. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga
jj. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
kk. Pelecehan pemujaan
ll. Terorisme
mm. Peristiwa ledakan bom
nn. Menyaksikan pembunuhan
oo. Ancaman, penyiksaan
15. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
16. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

BB. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

2. Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

3. Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

4. Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

CC. Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

DD. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

12. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
8. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

EE. Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

2. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.

3. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang


positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.

4. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan


memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.

5. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui


komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.

6. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan


melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.

7. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien


dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.

8. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn


klien kepada konselor.

MANAJEMEN BENCANA LANJUTT III

KONSELING PADA KORBAN BENCANA

DOSEN PEMBIMBING :
VIECE ELESE

DISUSUN OLEH :
BELLA SAMYA DWI PUTRI (P05120218052)

KELAS:
3B DIII KEPERAWATAN
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
DIII KEPERAWATAN
2020/2021
A. Pengertian
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
B. Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai
pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam
menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu, konselor juga
bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat
menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005).
Kegiatan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang,

karena untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan

sebagai konselor atau ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik

secara khusus untuk memperoleh kompetensi sebagai konselor, yaitu meliputi

pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta pengalaman dalam

bidang bimbingan dan konseling.

Sebagai konselor yang professional dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan

di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan

konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram

yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi individu untuk mencapai kemandirian,

dalam wujud kemampuan mamahami, menerima, mengarahkan, mengambil keputusan,

dan merealisasikan diri secara bertanggung jawab sehingga mencapai kebahagiaan dan

kesejahteraan dalam hidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang

Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah).


C. Karakteristik konselor
1. Congruence
2. Unconditional positive regard
3. Empathy
D. Jenis Pelayanan Konseling Pada Korban Bencana
1. Play therapy
Play therapy menurut the Association for Play Therapy adalah “process where in
trainer play therapists use the therapeutic power of play to help clients prevent of
resolve psychosocial difficulties and achieve optimal growth and development”
(Nawangsih, 2014). Play therapymenekankan pada kekuatan permainan sebagai alat
untuk membantu klien yang memerlukan bantuan.Hasil penelitian membuktikan
bahwa Play therapy menjadi salah satu alternatif penanganan yang cukup efektif
untuk membantu mengatasi trauma pada anak-anak korban bencana alam
(Mukhadiono, dkk, 2016).
2. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban (Munro,
Manthei, dan Small (1985) yaitu:
a) Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang
b) Disensitisasi, yaitu merupakan suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah
tingkah laku melalui perpaduan beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan
sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan sesuatu
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling
yang dapat dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih
relaks. Kondisi releks adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan
dalam suasana emosi yang tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap
perangsang tertentu. teknik penenangan (relaksasi dan disensitisasi) merupakan
salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam mengatasi trauma yang
dialami oleh korban bencana alam.
3. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang
selamat yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan
informasi, layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan
konseling perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok,
layanan konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma,
2009).
Penerapan jenis layanan konseling tergantung pada tingkat, jenis, dan kondisi
permasalahan yang dialami oleh korban bencana alam, serta pelaksanaannya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan (lokasi pegungsian). Sedangkan
untuk mengetahui, apakah korban bencana alam memerlukan layanan pendalaman,
maka konselor perlu untuk menanyakan intensitas masalah yang masih dialami
setelah mengikuti kegiatan konseling trauma. Korban yang menyatakan bahwa
masalah yang dialaminya belum terentaskan dan memerlukan tindakan lanjutan
(layanan pendalaman). Maka konselor harus mendekati korban baik secara individu
maupun kelompok (tergantung pada masalah yang dialami), untuk selanjutnya
diberikan layanan pendalaman.

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

A. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang
terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam
hidupnya. PTSD merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu
pengalaman traumatis seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap
sebagai salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya
muncul beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih
dari 6 bulan maka orang tersebut dapat di diagnosis mengalami PTSD.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
25. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang
dialami, peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak
korban meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama
kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa
kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta
adanya gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya
penyangkalan terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
26. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan
tentang pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
27. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.

28. Faktor neurobiologi


Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya
berperan dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang
kejadian trauma yang dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan
yang tidak disadari, misalnya aspek autonom yang merupakan respon dari rasa
takut.
C. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
a) Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
25) Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
26) Perkosaan atau pelecehan seksual
27) Serangan tiba-tiba atau pembajakan
28) Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
b) Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
1. Kecelakaan mobil atau kebakaran
2. Bencana alam, seperti gempa bumi
3. Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan
teroris
4. Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
c) Veteran perang atau korban perang sipil
d) Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal,
atau orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
e) Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
f) Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
D. Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD :
a) Perubahan fikiran
19. Tidak dapat menerima kenyataan
20. Teringat- ingat
21. Mimpi buruk
22. Susah konsentrasi
23. Menjadi pelupa
b) Perubahan perasaan
1. Takut yang berlebihan
2. Cemas
3. Sedih
4. Bimbang
5. Merasa tak pantas hidup lagi
3) Perubahan tingkah laku
1. Sesak nafas
2. Susah tidur
3. Jantung berdebar-debar
4. Nafsu makan berkurang
5. Menarik diri dari orang lain
6. Mudah terkejut
7. Kepala pusing dan pingsan
E. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa
dalam responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)
MANAJEMEN BENCANA

LANJUT III

Dosen Pembimbing : Vice Elese

Disusun Oleh:

Nama : Dera Tri Yolendari

NIM : P05120218058

Kelas : 3B D III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU

PRODI D III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KONSELING PADA KORBAN BENCANA

EE.Definisi
Salah satu profesi yang dapat memberikan tindakan/pelayanan kepada para
korban bencana alam adalah profesi konseling yaitu dengan memberikan pelayanan
konseling. Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
Melalui pelayanan konseling yang diberikan oleh konselor diharapkan para
korban bencana alam dapat memahami dan menerima kondisi diri dan lingkungan secara
objektif, positif dan dinamis, mengambil keputusan sesuai dengan kondisi yang ada,
melaksanakan kegiatan sesuai dengan keputusan yang telah diambil serta itu
merealisasikan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki.

FF. Menjangkau Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Ketika seseorang dipaksa untuk menghadapi tekanan lingkungan yang lebih
berat/sulit dari kemampuan mereka dalam mengatasinya, mereka memerlukan bantuan
yang praktis, positif, dan membangun. Suatu saat seseorang dipaksa untuk mengatasi
berbagai tekanan yang tiba-tiba, baik yang disebabkan bencana alam yang menimpanya.
Dalam situasi lain, orang yang menjadi korban, mengalami tekanan/stress yang
berkelanjutan dan meraka yang terpinggirkan. Tekanan apapun, seseorang mungkin akan
merasa pesimis, tidak percaya diri, bahkan merasa takut untuk meminta tolong kepada
anggota yang bisa membantu.
Ketika seseorang konselor bertekad untuk terjun ke lapangan dan memberikan
layanan konseling komunitas kepada korban bencana alam, pasti banyak sekali
hambatan-hambatannya. Dalam kasus korban bencana alam yang terjadi pada masyarakat
luas, contohnya suatu daerah yang terkena musibah barjir, tanah longsor dan gunung
meletus yang mengakibatkan keluarga serta masyarakat yang kehilangan tempat tinggal,
pekerjaan, serta kehilangan keluarga yang berakibat meninggal dunia karena terkena
musibah tersebut.

GG. Menangani Individu dan Kelompok Korban Bencana Alam


Salah satu layanan konseling komunitas yang dapat dikembangkan oleh konselor
adalah Federal Emergency Management Agency (FEMA) suatu lembaga pengelolaan
pemberi bantuan dalam situasi darurat seperti korban bencana alam dengan memberikan
layanan berdasarkan prinsip umum berikut:
ww. Berdasarkan kekuatan. Keadaan krisis yang dialami korban bencana alam sebagai
daya lentur yang alami pada individu dan masyarakat. Dan mendorong kemandirian
dari pada ketergantungan.
xx. Jangkauan terorietasi. Konselor memberikan layanan konseling komunitas kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan yaitu korban bencana alam.
yy. Lebih praktis dari pada psikologi alam. konseling krisis dirancang untuk mencegah
atau mengurangi tolakan bencana merugikan daripada mengobati/ memberikan
treatment.
zz. Diagnosis gratis. Pemberian layanan konseling komunitas tepat sasaran yang
mendukung pendidikan yang mendudkung keadaan alam setempat.
aaa. Dilakukan dalam setting non tradisional. Konselor memerlukan kontak dengan orang
yang selamat akibat korban bencana alam di rumah mereka dan masyarakat, bukan di
klinik atau kantor.
bbb.Kompetensi budaya. Konselor berusaha untuk memaahami dan peduli kepada
masyarakat dan budaya yang ada disana.
ccc. Dirancang untuk memperkuat masyarakat yang ada dengan sistem pendukung.
ddd.Sebagai suatu cara untuk mempromosikan identitas program yang konsisten.
Terutama tentang konsep kemampuan multikultural yang dikenal sebagai pusat
dalam praktik yang efektif.

HH. Kemampuan Konselor dalam Memberikan Layanan Konseling Kepada Korban


Bencana Alam
Seseorang yang ingin menjadi konselor harus lulus ujian sertifikasi. Di Florida, calon
konselor harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam delapan bidang, yaitu:
ww) Memahami konsep dasar pengukuran seperti validitas, norma, reliabilitas, standar
kesalahan pengukuran, dan standardisasi.
xx) Mengidentifikasi kondisi-kondisi tentang efek hasil tes.
yy) Menunjukkan pengetahuan dari fungsi utama prosedur penilaian, kekuatan, dan
batasan yang terstandar dan tidak terstandar.
zz) Menunjukkan pengetahuan untuk prosedur yang sesuai untuk mengumpulkan,
menyimpan dan melindungi instrument penilaian dan data.
aaa) Mengembangkan laporan lisan dan tulisan tentang penyediaan informasi yang
berarti berdasarkan atas penilaian data.
bbb) Menunjukkan pemahaman statistik yang penting untuk intervensi individu
maupun kelompok.
ccc) Menginterpretasikan penilaian data untuk personel professional dan orang tua
pada terminology pertumbuhan dan perkembangan individu.
ddd) Mengidentifikasi data individu dari arsip dan laporan professional. Pemberian
layanan konseling komunitas yang dilakukan oleh konselor

II. Jenis pelayanan konseling pada korban bencana


Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua
korban bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu
dengan memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat
diberikan kepada korban yaitu:
25. Play Therapy
Bagi korban anak-anak, konselor dapat memberikan play therapy. Anak-anak
korban bencana cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa
karena anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak biasanya
akan terjadi penghentian perkembangan emosional (Kaplan, dkk, 1997).

26. Penenangan
Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana yang
mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma yang mendalam
kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga memerlukan penanganan
(teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu menghilangkan rasa cemas yang dialami
oleh korban.Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang Disensitisasi, yaitu merupakan
suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah tingkah laku melalui perpaduan
beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan
membayangkan sesuatu (Munro, Manthei, dan Small, 1985).
27. Layanan pendalaman
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon, masalah,dan
kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-beda pula. Layanan
pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban bencana alam yang
memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan konseling. Beberapa masalah
yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin dapat terselesaikan melalui layanan
play therapy dan teknik penenangan atau melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada
beberapa masalah yang lain mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam
agar dapat terentaskan.
28. Peran Konselor Terhadap Korban bencana
Konselor atau konseling memiliki peran penting untuk membantu pengetesan kondisi
trauma yang dialami oleh korban melalui layanan konseling bencana (disaster
counseling) yaitu :
s. Play therapy
t. Penenangan (relaksasi dan disensitisasi)
u. Layanan pendalaman (eklektik)
Dalam upaya untuk dapat membantu pemulihan trauma yang dialami oleh korban
bencana alam yang selamat, konselor perlu memahami kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh klien sebelum memilih metode, teknik, jenis layanan dan
pendekatan konseling agar pelayanan konseling bencana yang diberikan dapat
bermanfaat.

POST TRAUMATIC SYNDROM DISORDER

QQ. Definisi

Post traumatic syndrom disorder atau gangguan stress paska trauma (GSPT)adalah
gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perang,
kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.

Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma berbeda
dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT biasanya bersifat luar
biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT
dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa
disebut ordinary stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami
ordinary stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena perbedaan
kapasitas menghadapi catastrophic stress.

RR. Gejala GSPT

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV)


yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator
bahwa seseorang yang mengalami GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b)
Peristiwa yang dialami lagi; (c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam
kriteria b (gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000).
Gejala untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :
a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau mempelajari peristiwa yang
melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri
sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan hebat
(pada anak-anak, respon tersebut mengakibatkan perilaku kacau atau
memprovokasi).
b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu.
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (ilusi,
halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau
eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat
mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang
terkait dengan peristiwa traumatis.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang
dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala indikator pemunculan, diantaranya :
1) Perasaan terasing.
2) Rentang afeksi terbatas
3) Merasa masa depan suram.
e. Gejala gangguan kehidupan.

Yaitu gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau


bidang penting lainnya.

Sedangkan menurut Hasanuddin (2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT


dapat dikelompokkan menjadi 4 kriteria, yaitu :

u. Kriteria A : Trauma

Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang mengancam


kematian serta respon terhadap kejadian berupa rasa takut yang sangat kuat dan
rasa tidak berdaya.
v. Kriteria B : re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan persepsi.
Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa kejadian itu terjadi
kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang sama berulang pada saat terjadi, jika
teringat trauma tsb.
w. Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi

Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan percakapan


yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma, tidak mampu mengingat trauma, hilang minat
dalam aktivitas, perasaan lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan emosi dan perasaan menumpul, serta merasa kehilangan masa depan.

x. Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap rangsang

Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi, waspada


berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

SS. Faktor-faktor Penyebab GSPT

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya
GSPT, yaitu :

20. Faktor kesengajaan manusia, diantaranya :


xxx. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.
yyy. Pelecehan termasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan
emosional.
zzz. Penyiksaan
aaaa. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap
keluarga
bbbb. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.
cccc. Pelecehan pemujaan
dddd. Terorisme
eeee. Peristiwa ledakan bom
ffff. Menyaksikan pembunuhan
gggg. Ancaman, penyiksaan
21. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :
a. Industrial
b. Kebakaran
c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam
d. Bencana nuklir
e. Runtuhnya bangunan, dan
f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh
22. Faktor bencana alam
a. Angin ribut
b. Angin topan
c. Tornado
d. Banjir
e. Gempa bumi
f. Salju longsor, dan
g. Tsunami.

TT. Respon Korban Terhadap Bencana

Leach (Andi Fakhrudin, 2005) menegaskan bahwa berdasarkan atas pola-pola


respon korban terhadap dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
25.Kelompok I

Kelompok ini biasanya relatif bersahaja, pemikiran mereka masih jelas, dan penuh
perhitungan dalam tindakan. Mereka ini kerapkali dinamakan sebagai "supercool".
Dari keseluruhan korban biasanya terdapat 10% - 20%.

26.Kelompok II

Kelompok ini menunjukkan gejala sangat bingung dan membingungkan. Proses


berfikir mereka bertipikal salah atau keliru, dan tidak mampu membuat rencana
dengan cara yang masuk akal. Tingkah lakunya menyerupai robot, dan
memperlihatkan simptom- simptom fisik dan psikologikal yang nyata, khususnya
berupa anxiety yang tinggi. Korban yang termasuk ke dalam kategori ini sekitar
75%.

27.Kelompok III

Kelompok ini selalu menunjukkan beberapa tingkah laku yang tidak sesuai,
beberapa diantaranya ada yang menjadi tidak berdaya (helplesness) dan membeku
(cooled) pada situasi dan tempat tertentu, perasaannya mudah berganti, dan beberapa
diantaranya cenderung bertingkah laku yang sangat membahayakan dirinya dan
orang lain. Prevalensinya antara 10% hingga 15%.

UU. Dampak GSPT

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak


kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan
seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak
munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang
muncul pada aspek fisik di antaranya adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil,
badan lesu, mual-mual, pening,, sesak napas, dan panic. Aspek emosi di antaranya
iritasi, hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.
Sedangkan aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan menyelesaikan
masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan baik.

Aspek perilaku di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan
berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak
mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin
bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan,
mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa,
hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan
keyakinan, tidak tulus, dll.

VV. Pengobatan GSPT

Pengobatan gejala PTSD umumnya terdiri dari terapi obat-obatan dan juga
dilakukan psikoterapi.

8. Psikoterapi

 Terapi kognitif. Membantu pengidap untuk mengenali cara pikir (pola


kognitif) yang menyebabkan terhambatnya pengidap dalam proses melalui
peristiwa traumatis tersebut.
 Terapi paparan. Terapi paparan bertujuan untuk membantu pengidap agar
bisa menghadapi situasi dan memori yang dianggap menakutkan sehingga
pengidap dapat menghadapinya dengan efektif. Terapi ini efisien terutama pada
kasus dimana pengidap mengalami kilas balik atau mimpi buruk.
 Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). EMDR
menggabungkan terapi paparan dan sebuah serial pergerakkan mata terarah
untuk membantu pengidap memproses sebuah peristiwa traumatis dan dokter
akan mengamati reaksi pengidap.
8. Obat-Obatan

 Antidepresan. Obat ini membantu meringankan gejala depresi,


cemas, gangguan tidur dan gangguan konsentrasi.
 Antikecemasan. Obat ini membantu meredakan gangguan cemas yang berat.
 Prazosin. Efektivitas prazosin dalam meringankan gejala dan menekan
terjadinya mimpi buruk masih dalam perdebatan.

WW. Peran Perawat dalam GSPT

Sebagai perawat kita dapat memberikan berupa konseling kepada korban GSPT,
yaitu :

43. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui


dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa
bersalah, dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam
mengatasi rasa tak berdaya dan keputusasaannya.
44. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang
positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang
permasalahan yang dihadapi.
45. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan
memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnya agar
kembali seimbang.
46. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui
komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.
47. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan
melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikan satu masalah.
48. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien
dan membantu pemecahannya secara bersama-sama.
49. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn
klien kepada konselor.
MANAJEMEN BENCANA LANJUTT III

KONSELING PADA KORBAN BENCANA

DOSEN PEMBIMBING :
VIECE ELESE

DISUSUN OLEH :
AYU INDRA SEPTIAWATI (P05120218049)

KELAS:
3B DIII KEPERAWATAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
DIII KEPERAWATAN
2020/2021
hh. Pengertian
Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga profesional kepada seseorang
atau sekelompok individu untuk mengembangkan kehidupan efektif sehari-hari dan
penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan fokus mandiri yang
mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung dalam proses pembelajaran (Prayitno, 2013).
ii. Konselor
Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai
pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam
menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien. Selain itu, konselor juga
bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat
menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya (Lesmana, 2005).
Kegiatan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang,

karena untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian khusus atau kemampuan

sebagai konselor atau ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Konselor di didik

secara khusus untuk memperoleh kompetensi sebagai konselor, yaitu meliputi

pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap atau kepribadian serta pengalaman dalam

bidang bimbingan dan konseling.

Sebagai konselor yang professional dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan

di masyarakat, tentunya tidak terlepas dari kegiatan sosial. Layanan bimbingan dan

konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram

yang dilakukan oleh konselor untuk memfasilitasi individu untuk mencapai kemandirian,

dalam wujud kemampuan mamahami, menerima, mengarahkan, mengambil keputusan,

dan merealisasikan diri secara bertanggung jawab sehingga mencapai kebahagiaan dan

kesejahteraan dalam hidupnya (dalam, Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang

Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah).


jj. Karakteristik konselor
U. Congruence
V. Unconditional positive regard
W. Empathy
kk. Jenis Pelayanan Konseling Pada Korban Bencana
FF. Play therapy
Play therapy menurut the Association for Play Therapy adalah “process where in
trainer play therapists use the therapeutic power of play to help clients prevent of
resolve psychosocial difficulties and achieve optimal growth and development”
(Nawangsih, 2014). Play therapymenekankan pada kekuatan permainan sebagai alat
untuk membantu klien yang memerlukan bantuan.Hasil penelitian membuktikan
bahwa Play therapy menjadi salah satu alternatif penanganan yang cukup efektif
untuk membantu mengatasi trauma pada anak-anak korban bencana alam
(Mukhadiono, dkk, 2016).
GG. Penenangan
Ada dua teknik penenangan yang dapat diberikan kepada korban (Munro,
Manthei, dan Small (1985) yaitu:
nn) Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban yang
mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang
oo) Disensitisasi, yaitu merupakan suatu pedekatan yang digunakan untuk mengubah
tingkah laku melalui perpaduan beberapa teknik yang terdiri dari memikirkan
sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan sesuatu
Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling
yang dapat dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih
relaks. Kondisi releks adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan
dalam suasana emosi yang tenang serta berkurangnya kesensitifan terhadap
perangsang tertentu. teknik penenangan (relaksasi dan disensitisasi) merupakan
salah satu teknik yang tepat untuk digunakan dalam mengatasi trauma yang
dialami oleh korban bencana alam.
HH. Layanan pendalaman
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam yang
selamat yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi, layanan
informasi, layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan
konseling perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok,
layanan konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi) (Tim Konseling Trauma,
2009).
Penerapan jenis layanan konseling tergantung pada tingkat, jenis, dan kondisi
permasalahan yang dialami oleh korban bencana alam, serta pelaksanaannya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan (lokasi pegungsian). Sedangkan
untuk mengetahui, apakah korban bencana alam memerlukan layanan pendalaman,
maka konselor perlu untuk menanyakan intensitas masalah yang masih dialami
setelah mengikuti kegiatan konseling trauma. Korban yang menyatakan bahwa
masalah yang dialaminya belum terentaskan dan memerlukan tindakan lanjutan
(layanan pendalaman). Maka konselor harus mendekati korban baik secara individu
maupun kelompok (tergantung pada masalah yang dialami), untuk selanjutnya
diberikan layanan pendalaman.
II. Pengertian
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi atau keadaan yang
terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatik atau kejadian buruk dalam
hidupnya. PTSD merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu
pengalaman traumatis seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik. PTSD dianggap
sebagai salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety disorder). PTSD biasnya
muncul beberapa tahun setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih
dari 6 bulan maka orang tersebut dapat di diagnosis mengalami PTSD.
JJ. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya PTSD
pp. Faktor Resiko
 Aspek trauma yang dimaksud adalah durasi dan beratnya peristiwa yang
dialami, peristiwa yang tiba-tiba terjadi tanpa adanya peringatan, adanya banyak
korban meninggal, serta merupakan korban tindakan kriminal terutama
kekerasan seksual.
 Perasaan yang timbul saat trauma berupa merasa hidupnya beresiko, merasa
kurang mampu mengontrol peristiwa, timbul rasa takut dan putus harapan, serta
adanya gejala disosiatif saat kejadian.
 Karakteristik individu yang memiliki resiko PTSD, ada riwayat menderita
gangguan psikiatri dan saraf, trauma terutama saat anak-anak, adanya
penyangkalan terhadap trauma yang dialami dan reaksi stres akut.
 Faktor pasca trauma, berupa penyangkalan trauma oleh orang sekitar atau
penolakan atas apa yang telah dialami serta kurangnya dukungan lingkungan
sekitar.
qq. Faktor Psikodinamik
Suatu hipotesa menyatakan kejadian trauma dapat membangkitkan ingatan
tentang pengalaman sebelumnya yang menimbulkan suatu konflik psikologis.
rr. Faktor Kognitif-Prilaku
Model kognitif dari PTSD menyatakan orang-orang yang tidak mampu
merasionalisasi trauma dengan cepat mengalami gangguan PTSD.

ss. Faktor neurobiologi


Peran faktor neurobiologi dalam PTSD berkaitan dengan ingatan dan kondisi
ketakutan. Hipokampus dan beberapa bagian dari lobus temporalis dipercaya
berperan dalam mengingat kejadian yang disadari, misalnya ingatan tentang
kejadian trauma yang dialami. Amygdala diyakini berperan dalam suatu ingatan
yang tidak disadari, misalnya aspek autonom yang merupakan respon dari rasa
takut.
KK. Orang-orang yang beresiko PTSD adalah :
a. Siapapun yang menjadi korban atau menyaksikan sebuah adegan kekerasan, atau
berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
Para survivor ini termasuk :
i. Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
ii. Perkosaan atau pelecehan seksual
iii. Serangan tiba-tiba atau pembajakan
iv. Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
b. Survivor pada kejadian yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari:
E. Kecelakaan mobil atau kebakaran
F. Bencana alam, seperti gempa bumi
G. Kejadian kecelakaan major, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan
teroris
H. Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaanindustri.
c. Veteran perang atau korban perang sipil
d. Anak-anak yang merasa diabaikan atau dilecehkan secara seksual, fisik, atau verbal,
atau orang dewasa yang dilecehkan seperti anak kecil.
e. Orang yang mengetahui kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau teman
dekat atau orang yang dicintai
f. Profesional yang berhubungan dengan korban pada situasi trauma, seperti pekerja
emergency, polisi, pemadam kebakaran, militer, dan pekerja pencari dan penyelamat.
LL.Perubahan yang diakibatkan adanya PTSD :
a. Perubahan fikiran
26. Tidak dapat menerima kenyataan
27. Teringat- ingat
28. Mimpi buruk
29. Susah konsentrasi
30. Menjadi pelupa
b. Perubahan perasaan
a. Takut yang berlebihan
b. Cemas
c. Sedih
d. Bimbang
e. Merasa tak pantas hidup lagi
3) Perubahan tingkah laku
1. Sesak nafas
2. Susah tidur
3. Jantung berdebar-debar
4. Nafsu makan berkurang
5. Menarik diri dari orang lain
6. Mudah terkejut
7. Kepala pusing dan pingsan
MM. Simtom-simtom Stres Pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder / PTSD)
1. Mengalami kembali kejadian traumatic (Re-experiencing)
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa
dalam responsivitas (Avoidance)
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan (Arousal)

You might also like