Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 54

LAPORAN KASUS

G2P1A0 USIA KEHAMILAN 18 – 19 MINGGU + HIPEREMESIS


GRAVIDARUM + HIPERTIROID

Supervisor Pembimbing:
dr. Nur Amin Wahidji, Sp.OG

Dokter Pendamping:
dr. Melina Megawati T. M

Disusun oleh:
dr. Charlotte Grace N

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD DR. HASRI AINUN HABIBIE
GORONTALO
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada ke hadirat Tuhan YME karena penulis telah diberi
kesempatan untuk menyelesaikan laporan kasus tentang “G2P1A0 USIA KEHAMILAN 18 –
19 MINGGU + HIPEREMESIS GRAVIDARUM + HIPERTIROID.“ Adapun tujuan
penulisan tugas laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas dalam Program Internship
Dokter Indonesia. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Nur Amin Wahidji, Sp.OG dan dr. Melina Megawati selaku pembimbing yang
telah memberikan bimbingan yang baik selama penulisan tugas case report ini maupun
selama penulis mengikuti internship di RSUD dr. Hasri Ainun Habibie Gorontalo
2. Para dokter spesialis, perawat, dan staff RSUD dr. Hasri Ainun Habibie Gorontalo
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tugas case report ini.
3. Keluarga dan teman-teman internship yang telah memberikan dukungan serta doa
kepada penulis sehingga penulisan tugas laporan kasus ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tugas laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari semua pihak.

Gorontalo, Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii


DAFTAR GAMBAR..............................................................................................................................iv

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1


BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................................. 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 12
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 49

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Siklus Hormon Kehamilan ........................................................................... 14


Gambar 3.2 Patofisiologi Hiperemesis Gravidarum ............................................................ 18
Gambar 3.3 Skor PUQE (pregnancy-unique quantification of emesis and nausea) ........... 20
Gambar 3.4 Diagnosis Banding Hiperemesis Gravidarum .................................................. 23
Gambar 3.5 Manajemen Hiperemesis Gravidarum ............................................................. 35
Gambar 3.6 Edukasi Pasien Hiperemesis Gravidarum ........................................................ 36
Gambar 3.7 Kadar Hormon TSH Normal Pada Kehamilan ................................................ 31
Gambar 3.8 Siklus Hormon Tiroid Maternal dan Fetus ...................................................... 32
Gambar 3.9 Aksis Hipotalamus – Hipofisis – Kelenjar Tiroid ............................................ 33
Gambar 3.10 Aksis Hipotalamus – Hipofisis – Tiroid dalam Kehamilan ........................... 34
Gambar 3.11 Nilai Tes Fungsi Tiroid ........................................................................... 37
Gambar 3.12 Skrinning Pasien yang mengalami Komplikasi Thyroid Storm..................... 40
Gambar 3.13 Alur Manajemen Hipertiroid pada Kehamilan............................................... 43
Gambar 3.14 Efek Samping Obat Anti Tiroid ..................................................................... 44

iv
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan kasus dengan Judul:

G2P1A0 USIA KEHAMILAN 18 – 19 MINGGU + HIPEREMESIS


GRAVIDARUM + HIPERTIROID

Telah dikoreksi, dibacakan dan disetujui pada Hari/Tanggal:

Mengetahui,
Supervisor Pembimbing

dr. Nur Amin Wahidji, Sp.OG

Dokter Pendamping

dr. Melina Megawati T. M

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mual dan muntah merupakan hal yang umum pada kehamilan, biasanya kedua kondisi
tersebut akan berlangsung hingga usia kehamilan sekitar 16 minggu.1 Prevalensi ibu yang
mengalami mual (nausea) pada kehamilan mencapai 50 – 80% dan sekitar 50% ibu hamil
mengalami muntah (vomitus). Menurut sebuah penelitian yang sudah tervalidasi, terdapat
skor untuk menilai derajat keparahan mual dan muntah selama trimester pertama
kehamilan, yaitu pregnancy-unique quantification of emesis and nausea (PUQE). Skor
pada index PUQE berhubungan dengan kualitas hidup pasien.2
Hiperemesis gravidarum didefinisikan sebagai derajat muntah yang cukup parah yang
menyebabkan terjadinya penurunan berat badan (>5% berat badan sebelum kehamilan),
dehidrasi, alkalosis, dan hipokalemia. Faktor risiko penyebab terjadinya hiperemesis
gravidarum antara lain hormon chorionic gonadotropin (hCG), estrogen, progesteron,
leptin, placenta growth hormone, prolaktin, tiroksin, dan adrenokortikal (Verberg, 2005).
Faktor lain yang menjadi pendukung adalah hipertiroidisme, kehamilan mola sebelumnya,
diabetes, penyakit gastrointestinal, dan asma (Fell dan rekan, 2006).1
Onset terjadinya hiperemesis gravidarum biasanya sekitar usia kehamilan 4 hingga 6
minggu, mencapai puncak sekitar 10 hingga 13 minggu, dan menghilang pada pertengahan
kehamilan pada separuh wanita; namun sebanyak 22% dapat berlanjut sampai melahirkan.
Gejala mual dapat berlangsung sepanjang hari sementara emesis yang terjadi dapat bersifat
episodik ataupun kontinyu dan dipicu oleh rangsangan seperti gerakan, bau, atau pikiran
tentang makanan.3 Hiperemesis berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit terjadi
pada 0,3-2% kehamilan. Wanita yang dirawat di rumah sakit pada kehamilan sebelumnya
karena hiperemesis, hingga 20 persen memerlukan rawat inap pada kehamilan berikutnya
dengan gejala mual muntah berkisar antara 15 – 81%.2,3,4 Hiperemesis gravidarum
merupakan salah satu indikasi utama ibu hamil mengalami perawatan di rumah sakit.
Semakin cepat perawatan yang diterima, mungkin dapat memberikan prognosis yang baik
untuk maternal dan fetus.2
Selama kehamilan, terjadi peningkatan metabolisme tubuh dan peningkatan sekresi
hormon-hormon demi memenuhi kebutuhan janin intrauterin; salah satu hormon yang
meningkat ialah hormon tiroid.

1
Hormon tiroid memainkan peran penting selama kehamilan baik dalam perkembangan
bayi dan dalam menjaga kesehatan ibu. Hipertiroid dalam kehamilan merupakan sebuah
kondisi tingginya hormon tiroid oleh tingginya sekresi kadar hormon beta-hCG selama
trimester pertama dalam kehamilan, yang dapat merupakan kondisi hipertiroid yang telah
ada sebelum kehamilan, atau kondisi yang didapatkan selama masa kehamilan. Massa tiroid
pada kehamilan dapat meningkat dari 10% hingga 30%. Selain itu, ada perubahan kadar
hormon tiroid dan fungsi tiroid sepanjang kehamilan.5
Graves Disease, merupakan suatu kondisi autoimun yang ditandai dengan stimulasi
kelenjar tiroid oleh antibodi reseptor TSH (TRAbs), menjadi penyebab paling umum dari
hipertiroidisme di antara wanita usia subur. Graves Disease yang tidak terobati dapat
menyebabkan disfungsi ovulasi dan infertilitas, new-onset Grave’s Disease dianggap
jarang terjadi pada kehamilan. Faktor lain yang menyebabkan kondisi hipertiroid adalah
gondok multinodular toksik, adenoma toksik, tiroiditis atau struma ovarii. Transient
gestasional hipertiroid terjadi pada 1-3% dari semua kehamilan, penyebabnya adalah
stimulasi tiroid secara fisiologi oleh peningkatan hormon hCG pada trimester awal. Hingga
50% wanita dengan hiperemesis gravidarum mengalami transient hipertiroid.5
Untuk membedakan Graves Disease awitan baru atau berulang pada kehamilan dan
hipertiroidisme gestasional mungkin sulit. Gejala yang terkait dengan Graves Disease
(adanya goiter dan exopthalmus) serta riwayat penyakit tiroid sebelumnya dapapat
membantu membedakan antara penyakit Graves dan hipertiroidisme gestasional.
Peningkatan titer TRAb dapat membantu menegakkan diagnosis Graves Disease pada
kehamilan.5
Hipertiroidisme dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi kehamilan, termasuk
keguguran, preeklamsia, berat badan lahir rendah atau intrauterine fetal growth restriction
dan disfungsi jantung ibu. Pada populasi ibu hamil dengan hipertiroid yang sudah menjalani
pengobatan, risiko terhadap neonatal tetap masih tinggi.5

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D A
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : Sarjana 1
Alamat : Kayubulan, Limboto
Tanggal masuk : 02/01/2022
No. RM : 007216
Biaya pengobatan : BPJS

Nama Suami : Tn. AM


Umur : 28 tahun
Alamat : Kayubulan, Limboto
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : SMA

II. ANAMNESIS
• Keluhan Utama :
Pasien datang ke RSUD Dr Hasri Ainun Habibie karena mual dan muntah disertai
lemas.
• Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IRDO RSUD Dr Hasri Ainun Habibie dengan keluhan mual dan
muntah dan lemas sejak beberapa hari yang lalu. Mual muntah terjadi setelah
makan dan minum, kira kira frekuensi muntah yang dialami > 10 kali per hari
dengan volume kurang lebih 1/2 - 3/4 gelas aqua kecil tiap muntah, dengan isi
muntahan berupa air (+) ampas makanan (+) darah (-). Keluhan mual dan
muntah semakin bertambah berat bila setelah pasien mencium bau yang tajam.

3
Selain itu pasien juga mengeluh badan terasa lemas sehingga tak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya, nafsu makan dirasakan
menurun karena pasien takut muntah sehabis makan, dan merasa pusing serta berat
badannya terasa menurun. Pasien menambahkan jika terdapat nyeri ulu hati.
Selain itu, keluhan pasien lainnya berupa nyeri pada tenggorokkan dan merasa
tenggorokannya lebih besar daripada sebelum hamil ini, merasa sesak dan
berdebar-debar sepanjang hari serta tangan merasa gemetar (+) tetapi tidak
mengeluhkan adanya keringat yang keluar. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien mengaku tidak ada permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya
maupun dalam pekerjaan. Sebelumnya, 5 hari yang lalu pasien pernah masuk
RS dengan keluhan yang sama. Pasien mengaku jika pada kehamilan sebelumnya
pasien tidak muntah hebat seperti ini. Pasien pernah melakukan USG, ia berkata
jika janin yang dikandungnya hanya 1 dan dalam keadaan sehat.
• Riwayat Haid :
Menarche : ± 11 tahun ( usia kelas 6 SD )
Haid : teratur
Siklus : 28 hari
Lama Haid : ± 5 hari – 7 hari
Hari Pertama Haid Terakhir : 2 September 2021
Hari Perkiraan Lahir : 09 Juni 2022
• Riwayat Nikah :
Merupakan pernikahan yang pertama.
• Riwayat Obstetri :
G2P1A0
1. Perempuan, aterm, berat badan lahir 2900 gram, lahir spontan di tolong oleh
bidan, sekarang usia 2,5 tahun, sehat
2. Hamil ini.
• Riwayat Keluarga Berencana (KB) :
Pasien mengaku menggunakan KB suntik tahun 2020, namun pada tahun 2021
pasien mengaku telah melepas KB. Saat penggunaan KB, pasien berkata tidak
ada reaksi alergi atau efek samping apapun.

4
• Riwayat Ante Natal Care (ANC) :
Pasien memeriksakan kehamilannya di bidan 2 kali, belum mendapatkan imunisasi
TT
• Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Asma : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Alergi Obat : disangkal
- Riwayat Gastritis : disangkal
- Riwayat Gondok : disangkal
- Riwayat Autoimun : disangkal
- Riwayat penyakit selama kehamilan: disangkal
• Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Asma : disangkal
- Riwayat Autoimun : disangkal
- Riwayat Gondok : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
• Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga, sedangkan suami bekerja sebagai swasta,
mempunyai 1 orang anak. Biaya pengobatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi:
kurang

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status internus
• Keadaan Umum : tampak lemas
• Kesadaran : composmentis
• Tanda Vital :
➢ Tekanan Darah : 130 / 100 mmHg
➢ Nadi : 109 x / menit, regular kuat angkat
➢ Pernapasan : 22 x / menit, teratur
➢ Suhu : 37,5 0C

5
➢ SpO2 : 99% Room Air
• Mata : mata cekung (+/+), konjungtiva palpebra anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), eksoftalmus (+/+)
• Telinga : discharge (-/-)
• Hidung : discharge (-/-), napas cuping hidung (-/-)
• Mulut : sianosis (-), bibir kering (+)
• Leher : Tampak pembesaran kelenjar tiroid bilateral yang ikut bergerak
saat menelan, simetris kiri dan kanan, permukaan rata, nyeri tekan (-),
konsistensi kenyal
• Thorak :
Cor : BJ I, II reguler, bising (-)
Pulmo : SD vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
• Abdomen : supel, bising usus (+) , nyeri tekan epigastrium (+)
• Ekstremitas : akral hangat +/+/+/+ edema -/-/-/-
tremor halus pada extremitas superior +/+

Status Ginekologi
Pemeriksaan Luar: TFU 3 jari dibawah pusat
Pemeriksaan Dalam: VT dan Inspekulo tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


• Hasil Lab Lengkap (28/12/2021)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 14,9 10.8 – 15.6 gr/dL
Leukosit 8,96 4800 – 10800 /µL
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0 0–3 %
Netrofil Stab/Batang 0 2–6%
Netrofil Segmen 92 50 – 70 %
Limfosit 7 20 – 40 %
Monosit 2 2–8%
Trombosit 320.000 150000 – 450000 /µL
Eritrosit 6,02 4 – 6 juta

6
Hematokrit 43,72 42 – 52
MCV 73 82 – 92 fentoliter
MCH 24,8 27 – 31 picogram
MCHC 34,1 32 – 36 %
RDW 20,2 11.5 – 14.5
Rapid HbSAg Non Non Reaktif
reaktif
Elektrolit:
Na 128 135 – 145
K 3.2 3.5 – 5.5
Cl 87 98 – 108

• Hasil Lab Lengkap (02/01/2022)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 14,6 10.8 – 15.6 gr/dL
Leukosit 12,84 4800 – 10800 /µL
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0 0–3 %
Netrofil Stab/Batang 0 2–6%
Netrofil Segmen 90 50 – 70 %
Limfosit 6 20 – 40 %
Monosit 4 2–8%
Trombosit 323.000 150000 – 450000 /µL
Eritrosit 6,01 4 – 6 juta
Hematokrit 43,1 42 – 52
MCV 72 82 – 92 fentoliter
MCH 24,4 27 – 31 picogram
MCHC 34,0 32 – 36 %
RDW 21,0 11.5 – 14.5
GDS 116 mg/dl < 200

7
• Hasil Urinalisis (02/01/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Kekeruhan Keruh Kekuningan
Warna Kuning Negatif
Tua
Urobilinogen 4 / ++ Negatif
Bilirubin 1/+ Negatif
Keton 100 / ++ Negatif
Darah Negatif Negatif
Protein 30 / + Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif 00 /µL
Glukosa Norm Negatif juta
Berat Jenis 1,020 1,005 – 1,030
pH 5 4,5 – 8,0

• Hasil Pemeriksaan Tes Fungsi Tiroid (03/01/2022)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
FT 4 4.36 0.82 – 1.51
TSHs <0.005 0.27 – 4.7

• Hasil EKG (04/01/2022)


Hasil : Sinus Takikardi

8
V. DIAGNOSA KERJA

G2P1A0, usia 26 tahun, hamil 18 – 19 Minggu + Hiperemesis Gravidarum + Hipertiroid


+ Hipokalemi

VI. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana di IGD:
• IVFD (RL + Neurosanbe 1 ampul) : D5% = 1:1, 28 tetes dilanjutkan D5% 20
tetes
• Omeprazole 40 mg / 24 jam / iv dilanjutkan Ranitidin amp/12 jam/iv
• Ondancentrone 4 mg / 8 jam / iv
VII.PROGNOSIS
Quo Ad Visam : dubia ad bonam
Quo Ad Sanam : dubia ad bonam
Quo Ad fungionam : dubia ad bonam
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam

IX. FOLLOW UP PASIEN


Perawatan Hari 1
(03/01/2022)
S Mual (+) Muntah (+) sesak dan sering berdebar debar
O o KU/Kes : Tampak sakit sedang / Compos Mentis
o TTV: TD: 110/70, N: 110 x/menit, RR 22 x/menit, Suhu 36,7°C
SpO2: 99%
o Mata: Ca -/-, SI -/-, eksoftalmus +/+
o Thorax: BJ I/II Reguler, bising (-), Rh -/-, Wh -/-
o Abdomen: Supel, BU (+) normal, nyeri tekan (+) regio epigastrium, TFU
3 jari dibawah pusat
o Ekstremitas: Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik, tremor
halus pada ekstremitas superior +/+
A G2P1A0, usia 26 tahun, hamil 18 – 19 Minggu + Hiperemesis Gravidarum +
Hipertiroid + Hipokalemi
P o IVFD (RL + Neurosanbe 1 ampul) : D5% = 1:1, 28 tetes dilanjutkan D5% 20
tetes
o O2 NK 2-3 lpm (kp)
o Ranitidin amp/12 jam/iv
o Ondancentrone 4 mg / 8 jam / iv
o Pasien diminta untuk Periksa Tes Fungsi Tiroid (Hasil Terlampir)

9
Perawatan Hari 2
(04/01/2022)
S Mual (+) Muntah (+) berdebar - debar
O o KU/Kes : Tampak sakit sedang / Compos Mentis
o TTV: TD: 120/70, N: 107x/menit, RR 22x/menit, Suhu 36,5°C
SpO2: 98%
o Mata : Ca -/-, SI -/-, eksoftalmus +/+
o Thorax : BJ I/II Reguler, bising (-), Rh -/-, Wh -/-
o Abdomen : Supel, BU (+) normal, NTE (-),TFU 3 jari dibawah pusat
o Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik, tremor halus
pada ekstremitas superior +/+
A G2P1A0, usia 26 tahun, hamil 18 – 19 Minggu + Hiperemesis Gravidarum +
Hipertiroid + Hipokalemi
P • IVFD RL + KaEN 3B = 1:1 20 tpm
• O2 NK 2-3 lpm (kp)
• Ranitidin amp/12 jam/iv
• Ondancentrone 4 mg / 8 jam / iv
• Terlampir hasil lab tgl 28/12/2021 saat dirawat di RSHA didapatkan hasil
hipokalemia → (+) KSR 3x1 tab
• Terlampir hasil lab tes fungsi tiroid didapatkan hasil Hipertiroid → terapi
dari Interna (+) Propanolol 3 x 10 mg dan PTU 2x1 tab

Perawatan Hari 3
(05/01/2022)
S Mual dan Muntah berkurang, berdebar-debar
O o KU/Kes : Tampak sakit sedang / Compos Mentis
o TTV: TD: 110/70, N: 99x/menit, RR 22x/menit, Suhu 36,5°C
SpO2: 99%
o Mata : Ca -/-, SI -/-, eksoftalmus +/+
o Thorax : BJ I/II Reguler, bising (-), Rh -/-, Wh -/-
o Abdomen : Supel, BU (+) normal, NTE (-),TFU 3 jari dibawah
pusat
o Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik,
tremor halus pada ekstremitas superior +/+
A G2P1A0, usia 26 tahun, hamil 18 – 19 Minggu + Hiperemesis Gravidarum +
Hipertiroid + Hipokalemi
P • IVFD RL + KaEN 3B = 1:1 20 tpm
• O2 NK 2-3 lpm (kp)
• Ranitidin amp/12 jam/iv
• Ondancentrone 4 mg / 8 jam / iv
• KSR 3x1 tab
• Propanolol 3 x 10 mg
• PTU 2x1 tab

10
Perawatan Hari
IV
(06/01/2021)
S Berdebar-debar
O o KU/Kes : Tampak sakit sedang / Compos Mentis
o TTV: TD: 110/80, N: 98x/menit, RR 22x/menit, Suhu 36,5°C
o Mata : Ca -/-, SI -/-, eksoftalmus +/+
o Thorax : BJ I/II Reguler, bising (-), Rh -/-, Wh -/-
o Abdomen : Supel, BU (+) normal, NTE (-),TFU 3 jari dibawah
pusat
o Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik,
tremor halus pada ekstremitas superior +/+
A G2P1A0, usia 26 tahun, hamil 18 – 19 Minggu + Hiperemesis Gravidarum +
Hipertiroid + Hipokalemi
P Pasien dapat pulang dari rawat inap. Obat pulang:
• Propanolol 3 x 10 mg
• PTU 2x1 tab

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Hiperemesis Gravidarum
3.1.1. Definisi Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum didefinisikan sebagai derajat muntah yang cukup
parah yang menyebabkan terjadinya penurunan berat badan (>5% berat badan sebelum
kehamilan), dehidrasi, alkalosis, dan hipokalemia.1
Sedangkan definisi yang ditentukan dari WHO (World Health Organization),
Keadaan muntah muntah yang berat atau berlebihan, lebih dari 8 kali dalam 24 jam atau
setiap saat, menimbulkan gejala dehidrasi, gangguan asam basa, dan elektrolit sehingga
mengganggu kesehatan dan pekerjaan sehari hari.6
3.1.2. Epidemiologi Hiperemesis Gravidarum
Pada kehamilan yang terjadi sekitar 0,3-2% mengalami hiperemesis gravidarum
(sekitar 5 per 1000 kehamilan). Berdasarkan statistik internasional Hiperemesis
gravidarum tampaknya lebih umum di masyarakat westernized-industrialized dan
daerah perkotaan daripada daerah pedesaan. Demografi terkait ras, jenis kelamin, dan
usia menunjukkan tidak ada pengaruh dominasi ras yang tercatat dengan jelas mengenai
kejadian hiperemesis gravidarum, meskipun hyperemesis gravidarum sendiri kurang
umum pada populasi Indian Amerika dan Eskimo, serta kurang umum di Afrika dan
beberapa populasi Asia (tetapi tidak untuk warga Jepang). Risiko hiperemesis
gravidarum tampaknya menurun dengan usia ibu lanjut.4
Pada studi berbasis populasi dari California dan Nova Scotia, tingkat rawat inap
untuk hiperemesis adalah 0,5 hingga 0,8 persen. Kejadian rawat inap kurang umum
pada wanita obese.1
Hiperemesis berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit terjadi pada 0,3-
2% kehamilan. Wanita yang dirawat di rumah sakit pada kehamilan sebelumnya karena
hiperemesis, hingga 20 persen memerlukan rawat inap pada kehamilan berikutnya
dengan gejala mual muntah berkisar antara 15 – 81%.2,3,4
3.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko Hiperemesis Gravidarum
Banyak teori yang sudah diselediki berkaitan antara mual muntah pada
kehamilan dengan hiperemesis gravidarum, oleh karena itu kami butuh studi terkontrol
dengan jumlah sampel yang adekuat untuk menetapkan hubungan anatara mual muntah

12
dengan penyakit yang dialami. Beberapa teori mengenai etiologi dari hiperemesis
gravidarum:7
a. Teori hormonal
• Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Berdasarkan teori yang terbukti bahwa mual muntah berkolerasi dengan
tingginya produksi hormon hCG oleh plasenta, dan teori ini ditemukan pada tahun
1940 oleh Schoeneck dimana kadar hormon hCG yang tinggi ditemukan pada
pasiennya. Hal tersebut didukung oleh tingginya kejadian bayi kembar, penyakit
mola, kehamilan dengan fetus yang mengalami sindrom down. Kita harus hati-hati
dalam mendiagnosis penyebab terjadinya hiperemesis gravidarum, karena
sebenarnya peran dari hormon hCG masih kurang jelas dan sebagai tambahan
kondisi lain dengan kadar hormon hCG yang tinggi seperti choriocarcinoma tidak
mengalami mual muntah, juga pada beberapa wanita hamil dengan serum HCG
yang tinggi tidak mengalami muntah. Hal tersebut yang menjadi alasan para
peneliti mulai menyelediki sensitivitas hormon TSHr (reseptor TSH) terhadap
hormon hCG dan mereka menemukan pada beberapa pasien, terdapat mutase pada
ekstraselular reseptor domain yang membuat mereka semakin responsif, bahkan
pada kadar hCG normal. Menariknya, terdapat kesamaan struktural antara hCG
dengan TSH. Bias pada pemeriksaan lab yang terjadi pada pengkuran hormon hCG
ditemukan karena tes yang berbeda yang digunakan untuk mendeteksi stereotip
hCG yang berbeda.
• Estrogen
Tingginya kadar estrogen pada pasien dengan hiperemesis gravidarum
menunjukkan peran dari estrogen pada patogenesis penyakit. Selain itu telah
diketahui bahwa mual dan muntah merupakan efek samping dari penggunaan alat
KB yang mengandung estrogen. Estrogen menurunkan motilitas saluran cerna dan
pengosongan lambung, juga menyebabkan perpindahan cairan untuk menurunkan
keasaman lambung dan mencegah terjadinya H.pylori untuk tumbuh. Wanita hamil
yang merokok mempunyai kadar estrogen yang rendah dan mereka lebih jarang
mengalami mual dan muntah.
Sebagai tambahan, kadar estrogen meningkat pada kehamilan namun mual dan
muntah biasanya menurun setelah trimester pertama, oleh karena itu untuk mencari
penyebab harus dipelajari lebih mendalam lagi.

13
• Progesteron
Peneliti berpikir jika saat terjadi peningkatan fungsi korpus luteum pada
trimester awal berhubungan juga dengan meningkatnya kadar progesteron
sehingga mereka menyimpulkan terdapat hubungan antara kadar progesteron yang
tinggi dengan kejadian mual dan muntah. Fakta ini mungkin disebabkan oleh efek
progesteron pada spinchter seperti relaksasi spinchter esofagus bagian bawah.
Kadar progesteron semakin meningkat pada kehamilan sehingga hubungan antara
kadar progesteron dengan kejadian mual muntah membutuhkan penelitian lebih
lanjut seperti estrogen. Selain itu, tidak ada data yang cukup mendukung korelasi
antara tingkat keparahan penyakit dan tingkat progesteron yang tinggi.

Gambar 3.1Siklus Hormon Kehamilan

• Serotonin
Serotonin memiliki perannya sendiri pada patogenesis muntah melalui efeknya
pada susunan saraf pusat dan sistem gastrointestinal. Walaupun Borgeat, dkk
menemukan jika pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum tidak memiliki
kadar serotonin tinggi. Peran obat anti-serotonin dalam muntah yang diinduksi
kemoterapi dan efektivitasnya dalam hiperemesis gravidarum adalah 2 fakta
berbasis bukti kuat yang mendukung hubungan tersebut.
b. Teori Psikologi
Hubungan antara hiperemesis gravidarum dan gangguan psikologis memiliki
teori yang didukung oleh banyak penelitian dan beberapa ada yang meremehkan
hubungan yang sudah jelas ini. Tetapi hubungan kausal antara gangguan tersebut
dan hiperemesis gravidarum belum belum terbukti karena penelitian melaporkan
Jika terdapat beban psikologi akibat dari hiperemesis gravidarum dan mual muntah,
Selain itu, secara kebetulan gangguan psikologi yang dialami akan memperpanjang
durasi hiperemesi gravidarum. Selain itu, ditemukan korelasi antara tingkat

14
keparahan vomitus dan tingkat disfungsi psikologis dalam hal kecemasan,
gangguan tidur dan gangguan suasana hati.
c. Teori Imunologi dan Sitokin
Penelitian menemukan bahwa pasien hiperemesis gravidarum memiliki tingkat
serum DNA bebas sel janin (cell-free fetal DNA) yang juga ditemukan menjadi
tinggi di pasien dengan persalinan prematur, preeklamsia dan Down's sindrom.
Interaksi imunologis antara ibu dan janin adalah kondisi yang penting dan harus
seimbang untuk integritas kehamilan karena mengatur invasi trofoblas ke
endometrium. Jika kekebalan ibu melemah, trofoblas akan menyerang rahim secara
agresif. Mekanisme tersebut dimediasi oleh aktivitas sel T sitotoksik dan sel
Natural Killer (NK) yang ditemukan berlimpah dipemeriksaan histopatologi
endometrium pasien dengan hiperemesis gravidarum. Oleh karena itu, telah
ditetapkan bahwa abnormalitas reaksi imunologis yang dimediasi oleh sel T
sitotoksik dan sel NK, terjadi terhadap trofoblas janin yang menyebabkan tingkat
cell-free fetal DNA yang tinggi karena sel yang sitotoksisitas. Selain itu, korelasi
ditemukan antara cell-free fetal DNA dan tingkat keparahan muntah serta tingkat
hCG.

Dalam review dari 1.301 kasus hiperemesis gravidarum dari Kanada, Fell dkk,
menunjukkan bahwa komplikasi medis dari gangguan hipertiroid, penyakit mola,
gangguan gastrointestinal, diabetes pregestasional, dan asma secara signifikan
merupakan faktor risiko independen untuk hiperemesis gravidarum, sedangkan ibu
yang merokok dan usia ibu yang lebih tua dari 30 tahun menurunkan risiko. Kehamilan
dengan janin perempuan dan janin kembar juga berisiko lebih tinggi. Pada beberapa
penelitian, wanita dari kelas sosial ekonomi rendah hingga menengah, wanita dengan
tingkat pendidikan rendah, wanita dengan kehamilan sebelumnya dengan riwayat
hiperemesis gravidarum, wanita pada kehamilan pertama, dan wanita dengan
intoleransi terhadap kontrasepsi oral sebelumnya lebih sering mengalami mual dan
muntah selama kehamilan.4

Faktor lain yang telah diusulkan termasuk etnis, status pekerjaan, anomali
janin, peningkatan berat badan, mual dan muntah pada kehamilan sebelumnya, riwayat
infertilitas, interval antar kehamilan, dan intoleransi sebelumnya terhadap kontrasepsi
oral dan genetik. Studi di Norwegia menunjukkan bahwa anak perempuan yang lahir
dari kehamilan dengan komplikasi hiperemesis memiliki risiko 3% mengalami

15
hiperemesis pada kehamilannya sendiri. Sedangkan wanita yang tidak memiliki riwayat
hiperemesis gravidarum sebelumny memiliki risiko sekitar 1,1% pada kehamilan
selanjutnya. Dalam survei yang diberikan kepada ibu yang memiliki kehamilan dengan
komplikasi hiperemesis, tingkat hiperemesis yang lebih tinggi dilaporkan di antara
kerabat mereka. Hal ini terutama terjadi pada saudara perempuan mereka.4

3.1.4. Patofisiologi Hiperemesis Gravidarum


a. Perubahan Hormonal4
Wanita dengan hiperemesis gravidarum sering memiliki kadar hCG tinggi yang
menyebabkan hipertiroidisme sementara. hCG secara fisiologis dapat merangsang
reseptor thyroid-stimulating hormone (TSH) kelenjar tiroid. Kadar hCG mencapai
puncaknya pada trimester pertama. Beberapa wanita dengan hiperemesis
gravidarum tampaknya memiliki hipertiroidisme subklinis. Namun, dalam porsi
yang lebih besar (50-70%), TSH ditekan sementara dan indeks tiroksin (T4) bebas
meningkat (40-73%) tanpa tanda klinis hipertiroidisme, antibodi tiroid yang
bersirkulasi, atau pembesaran tiroid. Pada hipertiroidisme transien hiperemesis
gravidarum, fungsi tiroid menjadi normal pada pertengahan trimester kedua tanpa
pengobatan antitiroid.
Sebuah laporan pada keluarga unik dengan hipertiroidisme gestasional berulang
yang terkait dengan hiperemesis gravidarum menunjukkan mutasi pada domain
ekstraseluler reseptor TSH yang membuatnya responsif terhadap kadar hCG
normal. Dengan demikian, kasus hiperemesis gravidarum dengan hCG normal
mungkin disebabkan oleh berbagai isotipe hCG.
Sebuah korelasi positif antara tingkat elevasi hCG serum dan kadar T4 bebas
telah ditemukan, dan tingkat keparahan mual tampaknya terkait dengan tingkat
stimulasi tiroid. hCG mungkin tidak secara independen terlibat dalam etiologi
hiperemesis gravidarum tetapi mungkin secara tidak langsung terlibat oleh
kemampuannya untuk merangsang tiroid. Untuk pasien ini, kadar hCG dikaitkan
dengan peningkatan kadar imunoglobulin M, komplemen, dan limfosit. Dengan
demikian, proses kekebalan mungkin bertanggung jawab untuk peningkatan
sirkulasi hCG atau isoform hCG dengan aktivitas tiroid yang lebih tinggi. Kritik
terhadap teori ini mencatat bahwa (1) mual dan muntah bukanlah gejala biasa dari
hipertiroidisme, (2) tanda-tanda hipertiroidisme biokimiawi tidak universal pada

16
kasus hiperemesis gravidarum, dan (3) beberapa penelitian telah gagal untuk
mengkorelasikan keparahan gejala dengan gejala. kelainan biokimia.
Beberapa penelitian mengubungkan kadar estradiol yang tinggi dengan tingkat
keparahan mual dan muntah pada pasien yang hamil, sementara yang lain tidak
menemukan korelasi antara kadar estrogen dan tingkat keparahan mual dan muntah
pada wanita hamil. Intoleransi sebelumnya terhadap kontrasepsi oral dikaitkan
dengan mual dan muntah pada kehamilan. Progesteron juga mencapai puncaknya
pada trimester pertama dan menurunkan aktivitas otot polos; Namun, beberapa
penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara kadar progesteron dan gejala
mual dan muntah pada wanita hamil. Lagiou et al mempelajari secara prospektif
pada 209 wanita dengan mual dan muntah yang menunjukkan bahwa kadar estradiol
berkorelasi positif sedangkan kadar prolaktin berbanding terbalik dengan mual dan
muntah pada kehamilan.
b. Disfungsi Gastrointestinal
Kontraksi peristaltik lambung dipicu oleh adanya “pacemaker” dari lambung
sendiri. Disritmia lambung telah dikaitkan dengan morning sickness. Kehadiran
disritmia dikaitkan dengan mual. Mekanisme yang menyebabkan disritmia
lambung termasuk peningkatan kadar estrogen atau progesteron, gangguan tiroid,
kelainan pada tonus vagal dan simpatis, dan sekresi vasopresin sebagai respons
terhadap gangguan volume intravaskular. Banyak dari faktor-faktor ini hadir pada
awal kehamilan. Faktor patofisiologi ini dihipotesiskan lebih parah atau saluran
cerna lebih sensitif terhadap perubahan saraf atau humoral pada mereka yang
mengalami hiperemesis gravidarum.4
Muntah adalah suatu cara dimana saluran cerna bagian atas membuang isinya
bila terjadi iritasi, rangsangan atau tegangan yang berlebihan pada usus. Muntah
merupakan refleks terintegrasi yang kompleks terdiri atas tiga komponen utama
yaitu detektor muntah, mekanisme integratif dan efektor yang bersifat otonom
somatik. Rangsangan pada saluran cerna dihantarkan melalui saraf vagus dan aferen
simpatis menuju pusat muntah. Pusat muntah juga menerima rangsangan dari pusat-
pusat yang lebih tinggi pada sereberal, dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada
area postrema dan dari aparatus vestibular via serebelum. Beberapa signal perifer
mem-bypass trigger zone mencapai pusat muntah melalui nukleus traktus solitarius.
Pusat muntah sendiri berada pada dorsolateral daerah formasi retikularis dari
medula oblongata. Pusat muntah ini berdekatan dengan pusat pernapasan dan pusat
17
vasomotor. Rangsang aferen dari pusat muntah dihantarkan melalui saraf kranial V,
VII, X, XII ke saluran cerna bagian atas dan melalui saraf spinal ke diapragma, otot
iga dan otot abdomen.8
Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih kontroversial.
Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan lemak
habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tidak sempurna,
maka terjadilah ketosis dengan tertimbunya asam aseton asetik, asam hidroksi
butirik, dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan
cairan akibat muntah akan menyababkan dehidrasi, sehingga cairan ekstra vaskuler
dan plasma akan berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian juga
dengan klorida.8
Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehigga aliran darah ke
jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan zat makanan dan oksigen ke jaringan
berkurang dantertimbunya zat metabolik dan toksik. Kekurangan kalium sebagai
akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal, meningkatkan
frekuensi muntah yang lebih banyak, merusak hati, sehigga memperberat keadaan
penderita.8

Gambar 3.2 Patofisiologi Hiperemesis Gravidarum

c. Masalah psikologis4
Perubahan fisiologis yang terkait dengan kehamilan berinteraksi dengan
keadaan psikologis dan nilai budaya setiap wanita. Respon psikologis dapat
berinteraksi dengan dan memperburuk fisiologi mual dan muntah selama

18
kehamilan. Meskipun demikian, hiperemesis gravidarum biasanya merupakan
penyebab, bukan akibat dari, stres psikologis. Dalam kasus yang sangat tidak biasa,
kasus hiperemesis gravidarum dapat mewakili penyakit kejiwaan, termasuk
gangguan konversi atau somatisasi atau depresi berat.
3.1.5. Manifestasi Klinis
Batasan seberapa banyak terjadinya mual muntah yang disebut hiperemesis
gravidarum belum ada kesepakatannya. Akan tetapi jika keluhan mual muntah tersebut
sampai mempengaruhi keadaan umum ibu dan sampai mengganggu aktivitas sehari-
hari sudah dapat dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum,
menurut berat ringannya gejala dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:8
• Tingkat I.
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu
merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri
pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 per menit, tekanan darah sistolik
menurun, turgor kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung.
• Tingkat II.
Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik
dan mata sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi
turun, hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam
bau pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan
dalam kencing.
• Tingkat III
Keadaan umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari
somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi
menurun. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai
Encephalopathy Wernicke dengan gejala nistagmus, diplopia, dan perubahan
mental. Keadaan ini terjadi akibat defisiensi zat makanan, termasuk vitamin B
kompleks. Timbulnya ikterus menunjukan adanya gangguan hati.

19
3.1.6. Diagnosis Hiperemesis Gravidarum
Anamnesis
Saat anamnesis pasien ibu hamil dengan mual muntah kita dapat menggunakan
skor PUQE. PUQE skor termasuk pertanyaan tentang jumlah serangan muntah per hari,
lamanya mual per hari dalam jam dan jumlahnya episode muntah-muntah, dengan skor
minimal 3 dan maksimal skor 15. Skor <6 menunjukkan hiperemesis gravidarum
ringan, 7-12 hiperemesis gravidarum sedang dan 13 atau lebih menunjukkan
hiperemesis gravidarum parah. Skor PUQE mungkin juga digunakan untuk memantau
hasil pengobatan selama di rumah sakit hari.2

Gambar 3.3 Skor PUQE (pregnancy-unique quantification of emesis and nausea)

Onset terjadinya hiperemesis gravidarum biasanya sekitar usia kehamilan 4


hingga 6 minggu, mencapai puncak sekitar 10 hingga 13 minggu, dan menghilang pada
pertengahan kehamilan pada separuh wanita; namun sebanyak 22% dapat berlanjut
sampai melahirkan. Gejala mual dapat berlangsung sepanjang hari sementara emesis
yang terjadi dapat bersifat episodik ataupun kontinyu dan dipicu oleh rangsangan
seperti gerakan, bau, atau pikiran tentang makanan.3
Pada pasien kita harus mempertimbangkan riwayat medis sebelumnya riwayat
hiperemesis gravidarum pada kehamilan sebelumnya. Kita juga harus menyingkirkan
penyebab hiperemesis gravidarum yang lain termasuk: abdominal pain, riwayat infeksi
saluran kencing, riwayat obat, dan infeksi H. pylori kronis. Tidak mungkin bagi pasien
untuk mengalami demam, menggigil dan kaku, sakit kepala dan gangguan penglihatan
jadi jika ini gejala hadir, kondisi lain harus dipertimbangkan.7,8

20
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan harus mencakup suhu, nadi, darah, tekanan, saturasi oksigen, laju
pernapasan, serta tanda-tanda dehidrasi seperti: mukosa bibir kering, penurunan turgor
kulit dan penurunan produksi urin sering terjadi. Kita juga harus mencoba
mengecualikan penyebab bedah seperti kolik ginjal dan radang usus buntu dengan
pemeriksaan. Kehamilan mola mempunyai ciri yaitu tingkat fundus yang tinggi yang
tidak berkorelasi dengan usia kehamilan dan dikonfirmasi oleh ultrasonografi. Selain
itu perlu juga dilakukan pemeriksaan tiroid dan abdominal untuk menyingkirkan
diagnosis banding.7,8
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah lengkap,
urinalisis, kultur urin, gula darah, elektrolit, USG (pemeriksaan penunjang dasar),
analisis gas darah, tes fungsi hati dan ginjal.8
Pada keadaan tertentu, jika pasien dicurigai menderita hipertiroid dapat
dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dengan parameter TSH dan T4. Pada kasus
hiperemesis gravidarum dengan hipertiroid 50-60% terjadi penurunan kadar TSH. Jika
dicurigai terjadi infeksi gastrointestinal dapat dilakukan pemeriksaan antibodi
Helicobacter pylori.8
Pemeriksaan fungsi hati mencakup pemeriksaan enzim hati dan bilirubin,
amilase dan lipase. Terjadi peningkatan kadar transaminase pada 50% pasien dengan
hiperemesis gravidarum. Transaminitis ringan sering sembuh setelah mual telah
teratasi. Namun, peningkatan enzim hati yang signifikan mungkin merupakan tanda
dari kondisi hati lain yang mendasarinya, seperti hepatitis (virus, iskemik, autoimun),
atau beberapa penyebab lain dari kerusakan hati. Tingkat amilase meningkat pada
sekitar 10% pasien dengan hiperemesis gravidarum. Lipase, bila dikombinasikan
dengan amilase, dapat meningkatkan spesifisitas dalam mendiagnosis pankreatitis
sebagai etiologi. 4
Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan
pemeriksaan berat jenis urin, ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin dan
hematokrit. Pemeriksaan USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kehamilan
ganda ataupun mola hidatidosa.8

21
3.1.7. Diagnosis Banding Hiperemesis Gravidarum
Onset timbulnya mual dan muntah adalah penting—gejala mual dan muntah
kehamilan bermanifestasi sebelum usia kehamilan 9 minggu pada hampir semua wanita
yang terkena. Ketika seorang pasien mengalami mual dan muntah untuk pertama
kalinya pada usia kehamilan 9 minggu atau lebih, kondisi lain harus dipertimbangkan
dengan cermat dalam diagnosis banding.2,9
Riwayat kondisi kronis yang berhubungan dengan mual dan muntah yang
mendahului kehamilan harus dicari (misalnya, cholelithiasis atau gastroparesis
diabetik). Kasus langka hiperemesis gravidarum terkait dengan gangguan Mendel
interaksi reseptor hormone dan gangguan mitokondria menunjukkan bahwa setidaknya
beberapa bagian dari hiperemesis diperburuk pada kehamilan.2,9
Sejumlah temuan fisik menunjukkan kondisi selain mual dan muntah kehamilan
sebagai penyebab mual dan muntah. Misalnya, nyeri perut atau nyeri tekan atau
ketidaknyamanan di daerah epigastrium setelah muntah bukanlah karakteristik yang
menonjol dari mual dan muntah kehamilan. Demam dan sakit kepala tidak ada pada
mual dan muntah kehamilan. Pemeriksaan neurologis abnormal menunjukkan
gangguan neurologis primer sebagai penyebab mual dan muntah, meskipun jarang
dapat ditemukan sebagai akibat dari mual dan muntah berat pada kehamilan (misalnya,
thiamine deficiency encephalopathy atau mielinolisis pontin sentral). Jika ada gondok,
penyakit tiroid primer harus dicurigai. Temuan tidak ada riwayat penyakit tiroid
sebelumnya, tidak ada bukti penyakit Graves (seperti gondok), dan gangguan self-
limited dengan gejala muntah, mendukung diagnosis tirotoksikosis transien gestasional
dan tes tiroid rutin tidak diperlukan. Namun, pada pasien dengan hiperemesis
gravidarum di mana tes fungsi tiroid diperoleh, hasilnya mungkin menunjukkan
hipertiroksinemia atau tirotoksikosis transien gestasional. Hal ini umumnya terbatas
pada paruh pertama kehamilan dan dapat ditandai dengan peningkatan T4 bebas dan
penekanan hormon perangsang tiroid serum.2,9

22
Gambar 3.4 Diagnosis Banding Hiperemesis Gravudarum
3.1.8. Komplikasi Hiperemesis Gravidarum
Komplikasi Maternal
Meskipun kematian akibat mual dan muntah kehamilan jarang dilaporkan saat
ini, morbiditas yang signifikan, seperti: ensefalopati wernicke, avulsi limpa, ruptur
esofagus, pneumotoraks, dan nekrosis tubular akut, telah dilaporkan. Ensefalopati
Wernicke (disebabkan oleh defisiensi vitamin B1) terkait dengan hiperemesis
gravidarum telah dikaitkan dengan kematian ibu atau cacat neurologis permanen.
Selain peningkatan rawat inap di rumah sakit, beberapa wanita mengalami morbiditas
psikososial yang signifikan yang disebabkan oleh mual dan muntah kehamilan, yang
mengakibatkan keputusan untuk terminasi kehamilan. Sebuah tinjauan sistematis
morbiditas psikologis dalam kaitannya dengan hiperemesis gravidarum memang
menunjukkan skor skala depresi dan kecemasan yang lebih tinggi secara signifikan
pada wanita dengan kondisi tersebut.2
Komplikasi Fetal
Tingkat keparahan mual dan muntah dapat berefek pada janin. Dengan muntah
ringan atau sedang, hanya ada sedikit efek nyata pada hasil kehamilan. Tidak ada
hubungan yang signifikan dari hiperemesis gravidarum dengan anomali kongenital
telah dibuktikan. Outcome yang paling sering diteliti adalah kejadian berat badan lahir
rendah (BBLR). Pada beberapa penelitian mengatakan anak yang lahir dari ibu dengan

23
gejala dan atau penurunan berat badan yang berlebihan (>15%) secara signifikan lebih
mungkin untuk mengalami kelahiran prematur, rendah berat lahir, intrauterine growth
restriction, gangguan perkembangan saraf, autism. Namun, beberapa penelitian telah
mengidentifikasi tidak ada peningkatan BBLR dengan mual dan muntah kehamilan.2,9
Sebaliknya, tinjauan sistematis dan metaanalisis wanita dengan hiperemesis
gravidarum menunjukkan insiden tinggi memiliki bayi BBLR dengan usia gestasional
yang tidak sesuai masa kehamilan dan bayi prematur. Namun, tidak ada hubungan
antara hiperemesis gravidarum dan kematian perinatal atau neonatus yang ditunjukkan
pada kohort retrospektif yang besar.2
3.1.9. Penatalaksanaan Hiperemesis Gravidarum
Saat pasien tidak dapat mentolerir cairan yang masuk ke dalam tubuh tanpa
muntah dan tidak berhasil dalam manajemen rawat jalan, rawat inap untuk evaluasi dan
pengobatan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit sangat direkomendasikan,
khususnya pasien dengan hiperemesis gravidarum derajat II dan III.2,8 Berikut
manajemen penatalaksanaan hiperemesis gravidarum:
Terapi Medikamentosa
Perlu diingat pemberian medikamentosa sebagai terapi hiperemesis gravidarum tidak
boleh teratogenic. Berikut obat-obat yang dapat diberikan pada pasien:
Anti Emetik
a. Vitamin B6 dan Doxylamine
Pengobatan hiperemesis gravidarum dengan vitamin B6 (piridoksin) saja atau
vitamin B6 (piridoksin) ditambah doxylamine dalam kombinasi terbukti aman dan
efektif serta menjadi pilihan farmakoterapi lini pertama. Menurut Food and Drugs
Association (FDA) penggunaan vitamin B6 (piridoksin) ditambah obat doxylamine
ditoleransi dengan baik pada wanita hiperemesis gravidarum dan tidak terkait
dengan peningkatan efek samping maternal. Efek samping sistem saraf pusat
(mengantuk, kelelahan, atau kantuk, atau ketiganya) terjadi pada 28% wanita yang
menggunakan obat kombinasi. Keamanan janin dari kombinasi vitamin B6
(piridoksin) ditambah obat doxylamine telah dibuktikan dalam berbagai studi
epidemiologi.2
b. Dopamine antagonis
Beberapa antagonis dopamin telah dijelaskan dalam literatur medis untuk
pengobatan hiperemesis gravidarum, seperti metoklopramid dan berbagai obat
golongan fenotiazin (prometazin, proklorperazin, atau klorpromazin). Obat-obat
24
tersebut terbukti dalam meredakan gejala mual muntah. Selama terjadi mual dan
muntah, reseptor dopamin di lambung berperan dalam menghambat motilitas
lambung. Prochlorperazin dan promethazine bekerja pada reseptor D2 untuk
menimbulkan efek antiemetik. Sementara itu metocloperamide bekerja di sentral
dan di perifer. Obat ini menimbulkan efek antiemetik dengan cara meningkatkan
kekuatan spincter esofagus bagian bawah dan menurunkan transit time pada saluran
cerna.2,8
Penitian double-blind RCT penggunaan antara prometazin intravena versus
metoklopramid dalam wanita dengan hiperemesis gravidarum menemukan bahwa
keduanya sama sama memiliki efektivitas dalam mengurangi mual dan gejala
muntah akan tetapi tingkat kantuk, pusing, dan distonia berkurang dengan
metoklopramid. Efek samping dari obat-obatan ini adalah mulut kering, mengantuk,
distonia, dan sedasi. Meskipun fenotiazin diidentifikasi sebagai kemungkinan
penyebab malformasi kongenital dalam satu penelitian, agregat studi membuktikan
keamanan mereka. Penggunaan metoklopramid selama kehamilan belum terbukti
meningkatkan risiko malformasi kongenital.2
c. Antihistamin
Antihistamin (seperti dimenhydrinate dan diphenhydramine) telah terbukti
efektif dalam mengendalikan gejala mual dan muntah kehamilan dan. Pemberian
antihistamin bertujuan untuk menghambat secara langsung kerja histamin pada
reseptor H1 dan secara tidak langsung mempengaruhi sistem vestibular,
menurunkan rangsangan di pusat muntah. Selanjutnya, sebagian besar penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan antara penggunaan antihistamin dengan kejadian
defek pada janin. Efek samping yang umum termasuk sedasi, mulut kering, pusing,
dan konstipasi.2
d. Serotonin 5-hydroxytryptamine type 3 receptor antagonists
Pemberian serotonin antagonis cukup efektif dalam menurunkan keluhan mual
dan muntah. Obat ini bekerja menurunkan rangsangan pusat muntah di medula.
Serotonin antagonis yang dianjurkan adalah ondansetron. Odansetron biasanya
diberikan pada pasien hiperemesis gravidarum yang tidak membaik setelah
diberikan obat-obatan yang lain.8
Efek samping yang umum dari ondansetron termasuk sakit kepala, kantuk,
kelelahan, dan sembelit. Ondansetron dapat memperpanjang interval QT, terutama

25
pada pasien dengan masalah jantung yang mendasari, hipokalemia, atau
hipomagnesemia.2
Belum ada data yang cukup untuk menyatakan keamanaan penggunaan
ondansentron terhadap fetus. Pada sebuah penelitian melaporkan penggunaan
ondansetron pada trimester pertama dapat memicu terjadinya kejadian bibir
sumbing (cleft palate) pada janin. Studi lainnya melaporkan tentang hubungan
antara ondansetron dan malformasi kongenital masih tidak konsisten, dengan
beberapa menunjukkan peningkatan cacat lahir dan yang lain tidak menunjukkan
perbedaan. Jadi, meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan
risiko cacat lahir dengan penggunaan ondansetron trimester awal, risiko absolut
untuk terjadinya defek kongenital masih rendah. Hal ini menjadikan penggunaan
ondansetron sebelum 10 minggu kehamilan harus dipantau risiko dan manfaatnya.2
e. Steroid
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial karena dikatakan pemberian pada
kehamilan trimester pertama dapat meningkatkan risiko bayi lahir dengan cacat
bawaan.2,8

26
Gambar 3.5 Manajemen Hiperemesis Gravidarum

Anti Refluks
Pada hiperemesis gravidarum tentunya terdapat mekanisme refluks, oleh karena
itu kita membutuhkan anti refluks dalam penanganan hiperemesis gravidarum. Terapi
lini pertama adalah dengan pemberian antasida oral. Jika gejala parah berlanjut, H2-
antagonis reseptor seperti simetidin atau ranitidin. Obat-obatan tersebut dianggap
aman, tetapi misoprostol dikontraindikasikan karena dapat merangsang persalinan.
Golongan proton pump inhibitor (PPI) yang umum digunakan, omeprazole, juga aman
untuk digunakan dalam kehamilan (Diav-Citrin dan rekan, 2005; Mahadevan dan Kane,
2006).1

27
Terapi Non Medikamentosa
Rehidrasi Cairan dan Vitamin2,8
Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme
kompensasi yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi gangguan
hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan darah berkurang. Pada
kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi termasuk dalam dehidrasi
karena kehilangan cairan (pure dehidration). Maka tindakan yang dilakukan adalah
rehidrasi yaitu mengganti cairan tubuh yang hilang ke volume normal, osmolaritas yang
efektif dan komposisi cairan yang tepat untuk keseimbangan asam basa. Pemberian
cairan untuk dehidrasi harus memperhitungkan secara cermat berdasarkan: berapa
jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium, defisit kalium dan ada tidaknya asidosis.
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan
glukosa 5% dalam cairan garam fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat
ditambahkan kalium dan vitamin, terutama vitamin B1 (thiamine) atau vitamin B
kompleks dan dapat diberikan pula asam amino secara intravena apabila terjadi
kekurangan protein. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
ensefalopati Wernicke. Bila dalam 24 jam pasien tidak muntah dan keadaan umum
membaik dapat dicoba untuk memberikan minuman, dan lambat laun makanan dapat
ditambah dengan makanan yang tidak cair. Dengan penanganan ini, pada umumnya
gejala-gejala akan berkurang dan keadaan aman bertambah baik.
Diet dan Nutrisi
Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung pada
derajat muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan peneriamaan penderita terhadap
rencana pemberian makanan. Pada prinsipnya bila memungkinkan saluran cerna harus
digunakan. Bila peroral menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric
tube (NGT). Saluran cerna mempunyai banyak keuntungan misalnya dapat
mengabsorsi banyak nutrien, adanya mekanisme defensif untuk menanggulangi infeksi
dan toksin. Selain itu dengan masuknya sari makanan ke hati melalui saluran porta ikut
menjaga pengaturan homeostasis nutrisi.2,8,9
Bila penderita sudah dapat makan peoral, modifikasi diet yang diberikan
makanan dalam porsi kecil namun sering (1-2 jam), diet tinggi karbohidrat, rendah
protein dan rendah lemak, hindari suplementasi besi untuk sementara, hindari makan
pedas, hindari makanan yang emetogenik dan berbau sehingga menimbulkan
rangsangan muntah. Pada penelitian kecil menunjukan jika makanan yang mengndung
28
protein cenderung memicu terjadinya mual muntah dibandingkan makanan
berkarbohidrat atau berlemak.2,8

Gambar 3.6 Edukasi Pasien Hiperemesis Gravidarum

Terapi Psikologi
Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan.
Hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu merupakan
proses fisiologis, kurangi pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik lainnya
yang melatarbelakangi penyakit ini. Jelaskan juga bahwa mual dan muntah adalah
gejala yang normal terjadi pada kehamilan muda, dan akan menghilang setelah usia
kehamilan 4 bulan.
Terapi Alternatif
Terapi alternatif lainnya adalah mengkonsumsi vitamin B6 (pyridoxine)
sebelum kehamilan selama 1 bulan mungkin akan mengurangi insidens dan keparahan
dari hiperemesis gravidarum.2 Defisiensi vitamin B6 akan menyebabkan kadar
serotonin rendah sehingga saraf panca indera akan semakin sensitif yang menyebabkan
ibu mudah mual dan muntah. Pada wanita hamil terjadi peningkatan kynurenic dan
xanturenic acid di urin. Kedua asam ini diekskresi apabila jalur perubahan tryptophan
menjadi niacin terhambat. Hal ini dapat juga terjadi karena defisiensi vitamin B6. Kadar
hormon estrogen yang tinggi pada ibu hamil juga menghambat kerja enzim
kynureninase yang merupakan katalisator perubahan tryptophan menjadi niacin, yang
mana kekurangan niacin juga dapat mencetuskan mual dan muntah.8
Menurut American College of Obstetrician and Gynecologist (ACOG), salah
satu terapi alternatif lainnya untuk menangani hiperemesis gravidarum adalah
mengkonsumsi jahe. Beberapa studi control randomized dan non-randomized serta
systematic review mengemukakan jika jahe dapat mengurangi gejala mual, namun dari

29
ketiga studi tersebut tidak ada yang menunjukkan keuntungan dalam menangani gejala
muntah.2 Belum ada penelitian yang menunjukan hubungan kejadian abnormalitas pada
fetus dengan jahe. Namun, harus diperhatikan bahwa akar jahe diperkirakan
mengandung tromboksan sintetase inhibitor dan dapat mempengaruhi peningkatan
reseptor testoteron fetus.8
Selain itu acupuncture, acupressure, atau stimulasi elektrik pada saraf
(acustimulation) dapat juga menjadi salah satu terapi alternatif.2,9 Hipnoterapi juga bisa
menjadi salah satu terapi alternatif, namun untuk bukti tentang keefektifan dari
hipnoterapi masih sangatlah sedikit.2
3.2.Hipertiroid dalam Kehamilan
3.2.1. Definisi Hipertiroid
Hipertiroid dalam kehamilan merupakan sebuah kondisi tingginya hormon
tiroid oleh tingginya sekresi kadar hormon -hCG selama trimester pertama dalam
kehamilan, yang dapat merupakan kondisi hipertiroid yang telah ada sebelum
kehamilan, atau kondisi yang didapatkan selama masa kehamilan. Hipertiroid ditandai
dengan peningkatan hormon tiroid yang beredar di sirkulasi darah (T4 dan T3) disertai
penurunan kadar TSH atau thyrotropin.10
3.2.2. Epidemiologi Hipertiroid dalam Kehamilan
Tirotoksikosis simtomatik atau hipertiroidisme terjadi pada 1:1000 hingga 2000
kehamilan.11 Data lain menunjukkan bahwa hipertiroid dalam kehamilan terjadi sebesar
0,05%-3% dari seluruh jumlah kehamilan.12
Hipertiroidisme pada kehamilan yang membutuhkan pengobatan paling sering
disebabkan oleh Graves Disease, yang diperkirakan mencapai 85% hingga 95% dari
kasus hipertiroidisme yang signifikan secara klinis. Penyakit Graves paling sering
terjadi pada wanita berusia antara 20 dan 40 tahun, dengan insiden yang meningkat
seiring bertambahnya usia. Hipertiroidisme yang signifikan secara klinis dari penyebab
lain jauh lebih jarang. Misalnya, hipertiroidisme karena nodul tiroid jauh lebih kecil
kemungkinannya pada wanita di bawah usia 40 tahun, dengan insiden kurang dari
0,001% hingga 0,002%. Di daerah dengan defisiensi iodium yang diketahui, prevalensi
hipertiroidisme bisa lebih tinggi karena perkembangan nodul tiroid fungsional.10

30
3.2.3. Perubahan Fungsi Tiroid pada Kehamilan
Dampak kehamilan pada fisiologi tiroid ibu sangat besar. Perubahan struktur
dan fungsi kelenjar terkadang menyebabkan kebingungan dalam mendiagnosis
kelainan tiroid. Perubahan fisiologis kehamilan menyebabkan kelenjar tiroid
meningkatkan produksi hormon tiroid sebesar 40 hingga 100 persen untuk memenuhi
kebutuhan ibu dan janin. Secara anatomis, kelenjar tiroid mengalami pembesaran
selama kehamilan yang disebabkan oleh hiperplasia kelenjar dan peningkatan
vaskularisasi. Glinoer dkk (1990) melaporkan bahwa rata-rata volume tiroid meningkat
dari 12 mL pada trimester pertama menjadi 15 mL saat melahirkan. Volume total
berbanding terbalik dengan konsentrasi serum thyrotropin (TSH). Pembesaran tersebut
tidak patologis, tetapi kehamilan normal biasanya tidak menyebabkan tiromegali yang
signifikan. Jadi, jika ada tiromegali yang signifikan maka harus diselidiki. 5,11
Pada awal trimester pertama, kadar protein pembawa (protein carrier) utama,
thyroxine binding globulin (TBG), meningkat, mencapai puncaknya pada sekitar 20
minggu, dan stabil pada baseline kira-kira dua kali lipat selama sisa kehamilan. Total
serum tiroksin (T4) meningkat tajam mulai antara 6 dan 9 minggu dan mencapai
plateau pada 18 minggu. Kadar T4 serum bebas sedikit meningkat dan memuncak
seiring dengan kadar hCG, dan kemudian kembali normal. Kenaikan total
triiodothyronine (T3) lebih jelas hingga 18 minggu, dan setelah itu stabil. Kadar
thyroid-releasing-hormon (TRH) tidak meningkat selama kehamilan normal, tetapi
neurotransmitter ini melewati plasenta dan berfungsi untuk merangsang hipofisis janin
untuk mensekresi tirotropin (Thorpe-Beeston et al, 1991). Kadar serum tirotropin pada
awal kehamilan menurun karena stimulasi tiroid dari efek TSH yang lemah dari human
chorionic gonadotropin (hCG) (Grossman dkk, 1997).11

Gambar 3.7 Kadar Hormon TSH normal pada Kehamilan

31
Gambar 3.8 Siklus Hormon Tiroid pada Maternal dan Fetus
Meskipun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, T4 diubah menjadi T3
yang lebih kuat dengan deiodinasi dalam jaringan perifer. Selama kehamilan normal,
kadar globulin yang mengikat tiroid yang bersirkulasi meningkat, dan sebagai
konsekuensinya, kadar total T3 dan T4 juga meningkat. Karena itu, kadar hormon bebas
harus diukur pada wanita hamil. Kadar TSH harus ditafsirkan dengan hati-hati pada
trimester pertama karena human chorionic gonadotrophin memiliki efek stimulasi yang
lemah pada reseptor TSH.13
Modifikasi serum TSH dan hormon hCG sebagai fungsi usia kehamilan juga
ditampilkan. Subunit alfa dari kedua glikoprotein adalah identik, sedangkan subunit
beta, meskipun serupa, berbeda dalam urutan asam aminonya. Sebagai hasil dari
kesamaan struktural ini, hCG memiliki aktivitas tirotropik intrinsik, dan dengan
demikian, kadar serum yang tinggi menyebabkan stimulasi tiroid. Memang, kadar

32
tirotropin menurun dalam lebih dari 80 persen wanita hamil, sedangkan mereka tetap
dalam kisaran normal untuk wanita tidak hamil.11

Gambar 3.9 Aksis Hipotalamus Hipofisis dan Kelenjar Tiroid


Thyrotropin-releasing hormone (TRH) pada janin dapat terdeteksi pada
midpregnancy. Pada masa kehamilan, dibutuhkan sekresi T4 yang tinggi untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin, oleh karena itu asupan iodium pada ibu hamil
harus ditingkatkan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka kadar TSH akan
meningkat dan kadar T4 akan menurun.12
Janin tidak dapat mensintesis T4 dan T3 sampai minggu ke 10 kehamilan, oleh
karena itu janin bergantung pada transfer transplasental dari hormon ibu . Selama masa
kehamilan, tiroksin maternal ditransfer ke janin. Tiroksin maternal sangat penting untuk
perkembangan otak janin, dan terutama untuk perkembangan kelenjar tiroid janin.
Meskipun kelenjar tiroid janin mulai mengonsentrasikan iodin dan menyintesis hormon
tiroid setelah 12 minggu gestasi, kontribusi tiroksin maternal tetap penting. Pada
kenyataannya, tiroksin maternal merupakan 30% dari tiroksin janin saat cukup bulan.12
Terdapat lima faktor yang memengaruhi fungsi tiroid dalam kehamilan, yaitu:
1) Peningkatan sementara kadar hormon hCG yang diproduksi oleh plasenta selama

33
trimester pertama, yang akan merangsang produksi reseptor TSH; 2) Peningkatan TBG
yang diinduksi oleh hormon estrogen selama trimester pertama yang bekerja di hati,
yang akan dipertahankan selama kehamilan, dan terjadi bersamaan dengan peningkatan
kadar T3 dan T4; 3) Perubahan dalam sistem imunitas, yang menyebabkan reaksi
eksaserbasi, atau ameliorasi penyakit tiroid autoimun yang mendasarinya; 4)
Peningkatan metabolisme hormon tiroid oleh plasenta; dan peningkatan ekskresi iodida
dalam urin yang disebabkan oleh tingginya kadar idodotironin deiodinase tipe 3 (D3)
yang mendegradasi tiroksin dan T3 menjadi bahan yang inaktif sehingga dapat
menyebabkan gangguan dari produksi hormon tiroid.12
3.2.4. Etiologi Hipertiroid pada Kehamilan
Secara keseluruhan, penyebab paling umum hipertiroidisme pada wanita usia
subur adalah Graves Disease, yang terjadi pada 0,2% pasien hamil. Selain itu, penyebab
hipertiroidisme lainnya adalah kadar hCG yang sangat tinggi,terlihat pada morning
sickness yang parah (hiperemesis gravidarum), dapat menyebabkan hipertiroidisme
sementara pada awal kehamilan (Gestasional Transient Tirotoksikosis, GTT). Etiologi
lain yang terkait kondisi hipertiroid dalam kehamilan, yaitu: kondisi terkait tiroid
(penyakit Graves, tiroiditis kronik, tiroiditis sporadik asimtomatik, kondisi non-
autoimun terkait tiroid (goiter multinodular, adenoma toksik, tiroiditis subakut),
hipertiroid gestasional (gestasi multipel, tumor trofoblastik, mola hidatidiformis,
koriokarsinoma), dan iatrogenic (konsumsi berlebihan dari levotiroksin, iodine-
induced).12,14

Gambar 3.10 Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Tiroid dalam Kehamilan

34
3.2.5. Diagnosis Banding Hipertiroid pada Kehamilan
Berikut beberapa penyakit yang dapat memicu terjadinya kondisi hipertiroid
saat hamil:
a. Gestasional Transient Tirotoksikosis dan Hiperemesis Gravidarum
Wanita yang mengalami hiperemesis gravidarum memiliki kadar tiroksin serum
yang sangat tinggi dan kadar tirotropin yang rendah. Hal tersebut merupakan hasil dari
stimulasi reseptor tirotropin dari konsentrasi hCG yang masif—tetapi normal untuk
kehamilan. Kondisi sementara ini juga disebut tirotoksikosis gestasional (GTT).
Sekalipun terjadi hiperemesis gravidarum pada kasus ini obat antitiroid tidak
diperlukan (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2002). Nilai tiroksin
dan tirotropin serum menjadi lebih normal pada pertengahan kehamilan.11
GTT mempengaruhi 1-5% wanita hamil di awal kehamilan dan bukan karena
penyakit tiroid intrinsik. Pasien dengan GTT dapat datang dengan palpitasi, kecemasan,
tremor, dan intoleransi panas. Bentuk GTT yang parah adalah hiperemesis gravidarum,
yang ditandai dengan mual, muntah, dan penurunan berat badan yang signifikan hingga
5 kg. Gejala-gejala ini bersama dengan TRAb negatif dan tidak adanya oftalmopati
Graves, gondok. Perjalanan klinis berkorelasi erat dengan kadar hCG, yang mulai
meningkat pada minggu ke-7 kehamilan. Gejala secara spontan sembuh sebagai
konsentrasi serum hCG menurun antara minggu 14 dan 20. Wanita dengan kehamilan
kembar (multiple gestational), penyebab lain GTT yang sering, memiliki kadar human
chorionic gonadotropin (hCG) yang lebih tinggi untuk periode waktu yang lebih lama
dan akibatnya mungkin lebih bergejala. Pada pasien yang sangat bergejala, percobaan
dengan pemberian beta-blocker dapat memberikan bantuan. Pada kehamilan,
propranolol lebih dianjurkan karena pemberian atenolol telah dikaitkan dengan
penurunan berat badan lahir. Wanita dengan riwayat GTT sebelumnya memiliki
kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami episode berulang. Prognosis dari GTT ini
tidaklah buruk, baik pada maternal ataupun fetal. Pengukuran fungsi tiroid tidak
dianjurkan pada pasien dengan hiperemesis gravidarum kecuali ada tanda-tanda
hipertiroidisme yang jelas.15,16
b. Subklinis Hipertiroid
Hipertiroidisme subklinis ditandai dengan konsentrasi tirotropin serum yang
rendah secara abnormal bersamaan dengan kadar hormon tiroksin dalam kisaran
referensi normal (Surks dkk, 2004). Efek jangka panjang dari tirotoksikosis subklinis
persisten termasuk osteoporosis, morbiditas kardiovaskular, dan perkembangan
35
menjadi tirotoksikosis klinis atau thyroid-failure. Casey dan Leveno (2006)
mengidentifikasi hipertiroidisme subklinis pada 1,7 persen wanita hamil (Tabel 53-1).
Para peneliti ini menunjukkan bahwa hipertiroidisme subklinis tidak terkait dengan
prognosis kehamilan yang buruk. Pengobatan hipertiroidisme subklinis pada wanita
hamil tidak dianjurkan karena tidak ada manfaat yang ditunjukkan untuk ibu atau janin.
Selain itu, secara teori ada resiko pada janin karena obat antitiroid melewati plasenta
dan dapat mempengaruhi fungsi tiroid janin.11,15
c. Penyakit Graves (Graves Disease)
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun di mana hipertiroidisme disebabkan
oleh produksi autoantibodi yang diarahkan melawan reseptor TSH dan merangsang
kelenjar tiroid untuk meningkatkan produksi hormon tiroid. Pada pemeriksaan TSH
memiliki kadar yang tinggi. Secara biokimia, peningkatan kadar serum antibodi
reseptor TSH (TRAb) terdeteksi pada 95% pasien dengan penyakit Graves. Manifestasi
penyakit lain (perubahan mata yang terlihat atau exopthalmus) di sekitar 25%, dan
gondok (goiter) yang hadir di sekitar 50% dari pasien dengan Graves Disease yang baru
didiagnosis. Diagnosis Graves Disease harus dicurigai pada wanita hamil hipertiroid
yang 1) memiliki gejala sebelum kehamilan 2) memiliki diagnosis hipertiroidisme
sebelumnya, dan 3) pernah melahirkan bayi dengan disfungsi tiroid. Pada masa
postpartum, rebound sistem kekebalan dapat menyebabkan eksaserbasi Graves
Disease.5,11,13
d. Gestasional Trophoblas Disease
Kadar tiroksin pada wanita dengan kehamilan mola biasanya cukup tinggi.
Seperti yang telah dibahas, kadar hCG yang tinggi secara abnormal menyebabkan
stimulasi berlebihan pada reseptor TSH. Karena tumor ini sekarang biasanya
didiagnosis lebih awal, hipertiroidisme yang tampak secara klinis menjadi kurang
umum (Goodwin dan Hershman, 1997). Dengan pengobatan definitif, kadar T4 bebas
serum biasanya menjadi normal secara paralel dengan penurunan konsentrasi hCG.5
e. Adenoma Tiroid dan Carcinoma Tiroid
Ukuran tiroid meningkat selama kehamilan dan kehamilan telah dianggap
sebagai faktor risiko peningkatan pertumbuhan nodul tiroid. Umumnya, strategi
diagnostik untuk nodul tiroid serupa pada wanita hamil dan tidak hamil, meskipun
radionuclide scan dikontraindikasikan pada kehamilan. Setelah menemukan nodul
tiroid, riwayat keluarga dan pribadi lengkap dan pemeriksaan klinis, termasuk tes fungsi
tiroid harus dilakukan. Ultrasonografi tiroid adalah alat diagnostik akurat yang dapat
36
digunakan pada kehamilan untuk membantu menentukan gambaran dan pertumbuhan
nodul. Biopsi aspirasi jarum halus adalah prosedur lain yang aman selama kehamilan
dan kehamilan tidak berpengaruh pada akurasi diagnostiknya.5
3.2.6. Diagnosis Hipertiroid pada Kehamilan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada anamnesis hal yang perlu ditanyakan ialah gejala utama yang dikeluhkan
oleh pasien, riwayat penyakit pasien sebelumnya, dan riwayat penyakit keluarga.
Gejala yang sering dikeluhkan ialah gejala sering letih, mual, muntah, kulit hangat,
lembab dan berkeringat. Mencari informasi riwayat penyakit secara mendetail
diperlukan untuk membantu penegakan diagnosis. Anamnesis dapat memberikan
informasi apakah keadaan ini merupakan keadaan fisiologik ibu hamil atau suatu hal
patologik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda
hipertiroid secara sistemik dan keadaan kelenjar tiroid secara spesifik.
Pemeriksaan Tes Fungsional Tiroid Maternal
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan ialah pemeriksaan kadar serum
TSH dilanjutkan dengan kadar T4 dan fT4. Idealnya, rentang referensi untuk fungsi
tiroid pada kehamilan ditetapkan secara lokal pada tingkat populasi pada wanita hamil
tanpa penyakit tiroid. The American Thyroid Association merekomendasikan bahwa
ketika rentang referensi lokal tidak tersedia, rentang referensi yang lebih rendah untuk
TSH dapat dikurangi sebesar 0,4 miliunit/L dan rentang referensi atas untuk TSH dapat
dikurangi sebesar 0,5 miliunit/L pada akhir trimester pertama kehamilan. (3). Di luar
trimester pertama, TSH menjadi normal menuju rentang referensi tidak hamil, dan
rentang referensi tidak hamil dapat digunakan. Rentang referensi untuk T4 total dan T3
total juga harus disesuaikan untuk kehamilan. Batas rentang referensi atas untuk T4
total dan T3 total dapat ditingkatkan sekitar 50% setelah 16 minggu kehamilan.
Sebelum usia kehamilan 16 minggu, terjadi peningkatan bertahap total T4 dan total T3
dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak hamil. Penyesuaian terhadap rentang
referensi total T4 dan T3 total ini diperlukan untuk menjelaskan peningkatan globulin
pengikat tiroid pada kehamilan.11,14

37
Gambar 3.11 Nilai Tes Fungsi Tiroid

Pemeriksaan antibody TRAb11,14,16


TRAb adalah istilah umum untuk mendefinisikan antibodi yang mengikat
TSHR. TRAb dapat merangsang, memblokir, atau netral terhadap TSHR. Graves
Disease disebabkan oleh antibodi yang merangsang TSHR. TRAb berguna dalam
mengkonfirmasi diagnosis Graves Disease. Pada prakonsepsi, adanya peningkatan
TRAb merupakan prognostik risiko kekambuhan Graves Disease atau kegagalan
pengobatan dengan ATD (Anti thyroid drugs). Selama kehamilan, TRAb melintasi
plasenta dan dapat menyebabkan hipertiroidisme janin. Kadar TRAb lebih dari 3 kali
batas atas normal berhubungan dengan hipertiroidisme pada janin dan bayi baru lahir.
Sementara antibodi peroksidase tiroid (TPO-Ab) positif telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko keguguran dan kelahiran prematur pada wanita eutiroid, hal itu
adalah penanda nonspesifik untuk penyakit tiroid autoimun tanpa nilai prognostik untuk
janin dan bayi baru lahir pada Penyakit Graves. TRAb harus diperiksa pada wanita
hamil dengan riwayat Graves Disease atau Graves Disease aktif sebelumnya .Jika kadar
TRAb rendah atau tidak terdeteksi pada awal kehamilan, tidak ada tes TRAb lebih
lanjut yang direkomendasikan. Jika TRAb ibu meningkat atau pasien sedang dirawat
dengan ATD, TRAb harus diukur lagi antara minggu 18-22. Pada mereka dengan
tingkat mendekati 3-4× di atas batas atas normal, TRAb harus diperiksa lagi selama
minggu 28-34. Konsentrasi serum TRAb ibu lebih besar dari 3 kali batas atas kisaran
referensi pada trimester ketiga merupakan faktor risiko hipertiroidisme neonatal.
Pemeriksaan Tiroid pada Fetus
Riwayat gangguan tiroid pada ibu, khususnya penggunaan propiltiourasil atau
methimazole selama kehamilan, atau riwayat antibodi reseptor tiroid ibu yang diketahui

38
harus dikomunikasikan kepada neonatologis atau dokter anak yang akan merawat bayi
setelah lahir karena obat dan antibodi ini dapat mempengaruhi fungsi tiroid neonatus.15
Evaluasi fungsi tiroid janin agak kontroversial. Meskipun penilaian sonografi
tiroid janin telah dilaporkan pada wanita yang memakai obat thionamide atau mereka
yang memiliki antibodi perangsang tiroid, sebagian besar peneliti saat ini tidak
merekomendasikan evaluasi rutin (Cohen dkk, 2003; Luton dkk, 2005). Misalnya,
Kilpatrick (2003) merekomendasikan pengujian antibodi janin hanya jika ibu
sebelumnya telah menjalani ablasi 131Iodine ablation. Karena hiper atau hipotiroidisme
janin dapat menyebabkan hidrops, hambatan pertumbuhan, gondok, atau takikardia,
pengambilan sampel darah janin tampaknya tepat jika kondisi ini berkembang selama
kehamilan dengan komplikasi penyakit Graves (Brand dan rekan kerja, 2005).11
Pemeriksaan Fetal Ultra Sound (FUS)16
Wanita dengan janin yang memiliki gangguan tiroid, TRAb lebih besar dari 3
kali batas nilai normal, takikardia janin, dan hipertiroidisme yang tidak terkontrol harus
melakukan pemeriksaan USG. USG anatomi janin awal umumnya dilakukan pada 18-
22 minggu dan kemudian setiap 4 minggu untuk menilai usia kehamilan, viabilitas
janin, volume cairan ketuban, anatomi janin, dan deteksi malformasi.
Skrinning Prakehamilan
Pengujian fungsi tiroid yang diindikasikan harus dilakukan pada wanita dengan
riwayat penyakit tiroid atau mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit tiroid,
diabetes mellitus tipe 1, atau kecurigaan klinis penyakit tiroid. Tes fungsi tiroid pada
wanita hamil tanpa gejala yang mengalami pembesaran tiroid ringan tidak diperlukan
karena pembesaran kelenjar tiroid hingga 30% terjadi selama kehamilan. Pada wanita
hamil dengan gondok yang nyata atau dengan nodul tiroid yang jelas, tes fungsi tiroid
dapat diperbolehkan, begitu juga pada pasien hamil dengan riwayat terapi radiasi yang
berlokasi di kepala dan leher; riwayat keluarga dengan disfungsi tiroid; obesitas (BMI
>40 kg/m2); penggunaan amiodaron atau litium atau riwayat penggunaan kontras yang
mengandung iodine dalam waktu dekat; infertilitas yang tidak dapat dijelaskan; dan
bertempat tinggal di area dengan masalah insufisiensi iodin.12,15
Terdapat tiga pilihan tatalaksana kondisi hipertiroid dalam kehamilan, yaitu
terapi ATD jangka panjang, terapi radioaktif dengan menggunakan ablasi iodine-131,
total tiroidektomi; riwayat karsinoma tiroid dengan penggobatan menggunakan iodine-
131. Sebaiknya proses konsepsi dilakukan dalam waktu 6 bulan hingga satu tahun
setelah pengobatan selesai.12
39
3.2.7. Komplikasi Hipertiroid pada Kehamilan
Komplikasi Maternal
Badai tiroid (Thyroid storm) adalah keadaan hipermetabolik akut, mengancam
jiwa dan jarang terjadi pada kehamilan, disebabkan oleh kelebihan hormon tiroid.
Kondisi tersebut ditandai dengan tirotoksikosis berat disertai dengan dekompensasi
sistemik. Untuk mengkonfirmasi diagnosis dan evaluasi derajat keparahan penyakit
dapat menggunakan Burch-Wartofsky Point Scale. Badai tiroid biasanya bermanifestasi
secara klinis sebagai kombinasi dari tanda dan gejala berikut: demam, takikardia,
disritmia jantung, dan disfungsi sistem saraf pusat.

Gambar 3.12 Skrinning Pasien yang mengalami komplikasi Thyroid Storm


Sebaliknya, hipertensi pulmonal dan gagal jantung akibat kardiomiopati yang
disebabkan oleh efek tiroksin yang berlebih pada miokardium sering terjadi pada wanita
hamil (Sheffield dan Cunningham, 2004). Gagal jantung terjadi pada 8 persen dari 90
wanita dengan tirotoksikosis yang tidak terkontrol. Pada wanita ini, kardiomiopati
ditandai dengan cardiac output yang meningkat sehingga dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (Fadel dan rekan, 2000; Klein dan Ojamaa, 1998). Wanita hamil
dengan tirotoksikosis memiliki cadangan jantung yang minimal, dan dekompensasi
biasanya dicetuskan oleh preeklamsia, anemia, sepsis, atau kombinasinya.

40
Kardiomiopati yang diinduksi tiroksin dan hipertensi pulmonal seringkali reversibel
(Sheffield dan Cunningham, 2004; Siu dan rekan, 2007; Vydt dan rekan, 2006).11,15
Komplikasi pada Fetal dan Nenonatus
Hipertiroidisme yang tidak diobati dengan baik dikaitkan dengan peningkatan
persalinan prematur, berat lahir rendah, keguguran, dan lahir mati (still birth). Risiko
janin dan neonatus yang terkait dengan penyakit Graves terkait baik dengan penyakit
itu sendiri atau dengan pengobatan penyakit dengan thioamide (propylthiouracil atau
methimazole). Karena persistensi antibodi ibu, kemungkinan tirotoksikosis pada janin
harus dipertimbangkan pada semua wanita dengan riwayat penyakit Graves (9).
Tirotoksikosis pada janin biasanya bermanifestasi sebagai takikardia janin dan
pertumbuhan janin yang buruk. Karena sebagian besar penyakit tiroid pada wanita
dimediasi oleh antibodi yang melewati plasenta, ada kekhawatiran tentang risiko
perkembangan hipotiroidisme dan hipertiroidisme yang dimediasi imun pada neonatus.
Wanita hamil dengan penyakit Graves dapat memiliki imunoglobulin TSH dan
imunoglobulin TSH binding inhibitor yang masing-masing dapat merangsang atau
menghambat tiroid janin.15
Dalam beberapa kasus, imunoglobulin TSH binding inhibitor dapat
menyebabkan hipotiroidisme sementara pada neonatus dari wanita dengan penyakit
Graves. Sekitar 1-5% neonatus memiliki hipertiroidisme atau penyakit Graves neonatus
yang disebabkan oleh transplasental dari imunoglobulin TSH binding inhibitor ibu.
Pada neonatus, antibodi ibu dibersihkan lebih lambat dibandingkan thioamides, yang
kadang-kadang menyebabkan keterlambatan presentasi penyakit Graves pada neonates.
Insiden penyakit Graves pada neonatus tidak berhubungan dengan fungsi tiroid ibu saat
ini. Neonatus dari wanita dengan penyakit Graves yang telah dirawat dengan
pembedahan atau dengan radioaktif yodium-131 sebelum kehamilan, dan yang ibunya
tidak memerlukan pengobatan thioamide, mungkin masih memiliki antibodi yang
bersirkulasi, dan oleh karena itu tetap berisiko terhadap penyakit Graves pada neonatus
dan harus dipantau dengan tepat.15
3.2.8. Penatalaksanaan Hipertiroid pada Kehamilan
Wanita hamil dengan hipertiroidisme yang bergejala harus diobati dengan obat
antitiroid golongan thioamides (ATD). Baik propiltiourasil (PTU) atau methimazole
(MMI). Pilihan obat tergantung pada trimester kehamilan, respons terhadap terapi
sebelumnya, dan apakah tirotoksikosis didominasi T4 atau T3. Methimazole biasanya
dihindari pada trimester pertama karena telah dikaitkan dengan embriopati yang
41
ditandai dengan atresia esofagus atau koanal serta aplasia kutis, cacat kulit bawaan
Secara khusus, tujuh dari sembilan kasus mengalami aplasia kutis, dan satu-satunya
kasus atresia esofagus, terjadi pada bayi yang terpajan methimazole. Oleh karena itu,
propiltiourasil umumnya diresepkan untuk mengontrol hipertiroidisme pada trimester
pertama. Setelah trimester pertama, baik methimazole atau propylthiouracil dapat
digunakan untuk pengobatan hipertiroidisme.15
Dalam kasus yang jarang terjadi, propiltiourasil menghasilkan hepatotoksisitas
yang signifikan secara klinis, yang telah mendorong beberapa dokter spesialis untuk
beralih ke methimazole setelah trimester pertama. Namun, transisi dari propiltiourasil
ke methimazole dapat mengakibatkan periode kontrol hipertiroidisme yang buruk.
Dengan demikian, beberapa wanita tetap menggunakan propiltiourasil selama
kehamilan. Selain itu, propiltiourasil menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan
digunakan secara khusus untuk tirotoksikosis predominan T3. Jika ingin dilakukan
penggantian, rasio dosis propiltiourasil terhadap methimazole yang direkomendasikan
adalah 20:1.15
Transien leukopenia terjadi pada hingga 10% wanita hamil yang menggunakan
obat thioamide, tetapi situasi ini tidak mengharuskan untuk memberhentikan terapi.
Namun, pada kurang dari 1% pasien yang menggunakan obat thioamide,
agranulositosis berkembang secara tiba-tiba dan mengharuskan penghentian obat.
Perkembangan agranulositosis tidak berhubungan dengan dosis, dan karena onsetnya
yang akut, jumlah leukosit serial selama terapi tidak membantu. Jadi, jika demam atau
sakit tenggorokan berkembang, wanita diinstruksikan untuk segera menghentikan
penggunaan obat dan melaporkan untuk pemeriksaan darah lengkap.15

42
\

Gambar 3.13 Alur Manajemen Hipertiroid pada Kehamilan

Dosis ATD awal bersifat empiris. Jika propiltiourasil dipilih, dosis oral 100-600 mg
setiap hari, dibagi menjadi tiga dosis, dapat dimulai, tergantung pada keparahan klinis.
Dosis khas pada pasien rata-rata adalah 200-400 mg setiap hari. Jika methimazole
digunakan, dosis harian awal 5-30 mg secara oral, dibagi menjadi dua dosis, dianjurkan
(walaupun frekuensi dapat dikurangi menjadi satu dosis harian saat terapi rumatan).
Tujuannya adalah pengobatan dengan dosis thioamide serendah mungkin untuk
mempertahankan kadar T4 bebas sedikit di atas atau dalam kisaran normal-tinggi, terlepas
dari kadar TSH. Pada wanita dengan tirotoksikosis T3 yang dominan, T3 total harus
dipantau. Beta-blocker dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk palpitasi
simtomatik. Propranolol adalah agen pilihan pada kehamilan dan dimulai pada 10-40 mg
diminum tiga sampai empat kali sehari.15

43
Gambar 3.14 Efek Samping Obat Anti Tiroid
Manajemen yang sesuai untuk wanita dengan hipertiroid gestasional dan
hiperemesis gravidarum meliputi terapi suportif, manajemen dehidrasi, dan perawatan inap
bila dibutuhkan. Golongan ATD tidak direkomendasikan untuk manajemen hipertiroidisme
gestasional. Tiroidektomi subtotal dapat diindikasikan selama kehamilan sebagai terapi
untuk penyakit Grave ibu jika seorang pasien memiliki reaksi buruk yang parah terhadap
terapi ATD, diperlukan dosis ATD yang terus-menerus tinggi (lebih dari 30 mg/hari MMI
atau 450 mg/hari PTU) atau pasien tidak patuh terhadap terapi ATD dan memiliki
hipertiroidisme yang tidak terkontrol. Waktu operasi yang optimal adalah pada trimester
kedua. 15
Memasuki masa postpartum, konsumsi PTU ataupun MMI tidak menjadi
kontraindikasi untuk pasien menyusui. Walaupun kedua obat dapat masuk melalui ASI,
dosis MMI sebesar 20 mg dan PTU sebesar 450mg termeasuk dosis aman untuk menyusui
dan monitoring status tiroid neonatus tidak dibutuhkan selama menyusui.14

44
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini akan dibahas pasien Ny. DA usia 26 tahun, G2P1A0, hamil 18
– 19 minggu dengan hiperemesis gravidarum. Pasien datang ke IGD RSUD Dr Hasri Ainun
Habibie dengan keluhan mual dan muntah sejak kemarin 3 hari yang lalu. Mual muntah
awalnya hanya terjadi pada pagi hari saja dan terjadi setelah makan dan minum, namun sejak
2 hari SMRS muntah yang dialami > 10 x / hari dengan volume ± 1/2 - 3/4 gelas besar. Isi
muntahan berupa makanan minuman yang dikonsumsi sebelumnya, pada muntahan tidak
terdapat darah. Keluhan mual dan muntah semakin bertambah berat bila setelah makan dan
minum, dan berkurang saat istirahat. Selain itu pasien juga mengeluh badan terasa lemas
sehingga tak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya, bibir terasa kering, nafsu
makan dirasakan menurun karena pasien takut muntah. BAB dan BAK dirasakan semakin
menurun. Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati. Selain itu, keluhan pasien lainnya berupa nyeri
pada tenggorokkan dan merasa tenggorokannya lebih besar daripada sebelum hamil ini, merasa
sesak dan berdebar-debar sepanjang hari serta tangan merasa gemetar (+) tetapi tidak
mengeluhkan adanya keringat yang keluar. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien mengaku
tidak ada permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya maupun dalam pekerjaan.
Sebelumnya, 5 hari yang lalu pasien pernah masuk RS dengan keluhan yang sama. Pasien
mengaku jika pada kehamilan sebelumnya pasien tidak muntah hebat seperti ini. Pasien pernah
melakukan USG, ia berkata jika janin yang dikandungnya hanya 1 dan dalam keadaan sehat.
Pasien mengaku tidak ada permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya maupun dalam
pekerjaan.
Riwayat haid pasien: menarche pada usia sekitar 11 tahun, haid teratur dengan siklus
28 hari, lama haid ± 5 hari, HPHT 02-09-2021 sehingga HPL sekitar bulan Juli 2022. Riwayat
pernikahan: merupakan pernikahan yang pertama. Riwayat Obstetri : G2P1A0, anak pertama
perempuan, aterm, berat badan lahir 2900 gram, lahir spontan di tolong oleh bidan, sekarang
usia 2,5 tahun dalam kondisi sehat. Riwayat KB: suntik pada tahun 2020 dan berhenti pada
tahun 2021 kemudian pasien hami. Pasien ANC di bidan 2 kali, belum mendapatkan imunisasi
TT. Untuk riwayat penyakit berkata jika mual muntah yang dialami sekarang lebih berat ketika
hamil anak pertama, penyakit bawaan dan keluarga lainnya disangkal
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan hiperemesis gravidarum karena berdasarkan
anamnesis pada pasien ini ditemukan adanya gejala mual dan muntah yang berat (frekuensi >
10 kali), dimana keluhan tersebut sampai menggangu aktivitas sehari-hari sampai pekerjaanya.
45
Muntah tersebut juga menimbulkan komplikasi dehidrasi karena kekurangan cairan
yang diminum dan kehilangan cairan karena muntah. Pada pasien ini tidak dilakukan skrining
hiperemesis gravidarum berdasarkan skor PUQE untuk menentukan kualitas hidup pasien akan
penyakitnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemas, tekanan darah
130 / 100 mmHg, nadi 109 x / menit, frekuensi pernapasan 22x / menit, teratur, suhu 37,5 0C,
mata cekung (+/+), eksoftalmus (+/+) dan bibir kering (+). Pada leher didapatkan pembesaran
kelenjar tiroid bilateral yang ikut bergerak saat menelan, simetris kiri dan kanan, permukaan
rata, nyeri tekan (-), konsistensi kenyal, serta pada abdomen tampak supel, dengan BU (+) serta
didapatkan nyeri tekan epigastrium (+) dan tremor halus pada ekstremitas superior (+/+). Pada
pemeriksaan status ginekologi dan obstetri didapatkan TFU 3 jari di bawah tali pusat.
Onset terjadinya hiperemesis gravidarum biasanya sekitar usia kehamilan 4 hingga 6
minggu, mencapai puncak sekitar 10 hingga 13 minggu, dan menghilang pada pertengahan
kehamilan pada separuh wanita; namun sebanyak 22% dapat berlanjut sampai melahirkan.
Keluhan muntah kadang begitu hebatnya sehingga segala apa yang dimakan dan diminum
dimuntahkan, diperberat jika mencium bau tajam, sehingga dapat mempengaruhi keadaan
umum dan mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun dan timbul gejala
dehidrasi.
Secara klinis hiperemesis gravidarum dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu: tingkat I.
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu merasa lemah, nafsu
makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa nyeri pada epigastrium. Nadi meningkat
sekitar 100 per menit, tekanan darah sistolik menurun, turgor kulit menurun, lidah mengering
dan mata cekung. Tingkat II: Penderita tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih
menurun, lidah mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik
dan mata sedikit ikterus. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tensi turun,
hemokonsentrasi, oliguria dan konstipasi. Aseton dapat tercium dalam bau pernapasan, karena
mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam kencing. Tingkat III: Keadaan
umum lebih buruk, muntah berhenti, kesadaran menurun dari somnolen sampai koma, nadi
kecil dan cepat, suhu meningkat dan tensi menurun. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf
yang dikenal sebagai Encephalopathy Wernicke dengan gejala nistagmus, diplopia, dan
perubahan mental.
Tanda kehamilan yang didapat pada anamnesis penderita ini adalah adanya riwayat telat
haid sejak tanggal 02 September 2021, pasien sudah melakukan tes kehamilan dengan hasil
yang positif, disertai pemeriksaan USG yang menunjukan Janin Tunggal Intra Uterin Hidup.

46
Pasien dimasukan dalam hiperemesis gravidarum tingkat II, karena muntah semakin
berat, penderita tampak lemah, mata cekung, bibir kering, frekuensi nadi cepat (104x/menit),
pernafasan agak cepat (22 x/menit). Namun dalam penegakan diagnosis ini perlu dilakukan
pemeriksaan darah rutin, kimia urin, elektrolit, gula darah dan USG. Pada pemeriksaan
laboratorium pada urin ditemukin keadaan ketonuria (++) dan juga terjadi gangguan elektrolit
dan pada pemeriksaan USG tidak nampak kelainan apapun.
Penyebab terjadinya hiperemesis gravidarum masih kontroversial. Ada 4 teori yang
membicarakan terjadinya patogenesis penyakit tersebut, salah satunya teori hormonal ditandai
oleh peningkatan hormon hCG yang berkolerasi dengan peningkatan hormon tiroid, hormon
estrogen dan juga progesteron yang meningkat saat kehamilan trimester pertama. Hormon hCG
akan bersirkulasi dalam darah kemudian akan berikatan dengan reseptornya di otak lalu akan
merangsang pusat muntah di otak, yaitu chemoreceptor trigger zone (CTZ) selain itu hormon
progesterone dan estrogen akan menyebabkan terjadinya penurunan motalitas otot dan
pengosongan lambung sehingga terjadilah proses mual dan muntah.
Diagnosis banding hiperemesis gravidarum bermacam-macam, salah satunya kondisi
hipertiroid pada kehamilan. Macam kasus hipertiroid pada kehamilan dapat berupa penyakit
autoimun (Graves Disease), gestasional transient tirotoksikosis (GTT) , hipertiroid subklinis
hingga mola hidatidosa. Pada anamnesis pasien didapatkan gejala berupa nyeri pada
tenggorokkan dan pasien merasa tenggorokannya lebih besar daripada sebelum hamil ini,
merasa sesak dan berdebar-debar sepanjang hari serta tangan merasa gemetar (+) tetapi tidak
mengeluhkan adanya keringat yang keluar, pasien baru pertama kali mengalami keluhan
tersebut dan menyangkal jika dikeluarga ataupun dirinya pernah menderita penyakit gondok.
Pemeriksaan fisik juga didapatkan kondisi takikardi, respiratory rate yang sedikit meningkat
namun saturasi oksigen normal, dan pada pemeriksaan leher teraba pembesaran kelenjar tiroid
bilateral yang ikut bergerak saat menelan, simetris kiri dan kanan, permukaan rata, nyeri tekan
(-), konsistensi kenyal, dan tremor halus pada ekstremitas superior (+/+). Karena kecurigaan
tersebut, dokter mengajukan pemeriksaan tes fungsi hormon tiroid, dan didapatkanlah nilai
yang bermakna, dimana terjadi peningkatan signifikan hormon FT4 dan penurunan TSH
sehingga ditegakkanlah diagnosis hipertiroid.
Pasien dengan GTT dapat datang dengan palpitasi, kecemasan, tremor, dan intoleransi
panas. Bentuk GTT yang parah adalah hiperemesis gravidarum, yang ditandai dengan mual,
muntah, dan penurunan berat badan yang signifikan hingga 5 kg. Namun gejala ini tidak
disertai dengan ditemukannya exoftalmus dan goiter atau gondok serta kondisi akan membaik
seiring dengan penurunan hormon hCG saat memasuki trimester kedua (antara minggu 14 dan
47
20). Wanita dengan kehamilan kembar (multiple gestational), penyebab lain GTT yang sering,
memiliki kadar human chorionic gonadotropin (hCG) yang lebih tinggi untuk periode waktu
yang lebih lama dan akibatnya mungkin lebih bergejala, namun pada anamnesis pasien
menjelaskan jika yang terlihat di USG hanya janin tunggal. Kondisi hipertiroid lainnya dapat
disebabkan oleh molahidatidosa, namun dari pemeriksaan fisik TFU pasien sesuai dengan usia
kehamilan, jadi kemungkinan terjadinya mola hidatidosa dapat disingkirkan, namun
pemeriksaan dapat dipastikan dengan pemeriksaan USG lebih lanjut. Dari kondisi hipertiroid
pada kehamilan, sekitar 85% dapat disebabkan oleh Graves Disease. Graves Disease dapat
ditandai dengan gejala hipertiroid disertai dengan perubahan mata yang terlihat atau
exopthalmus dan gondok, namun pemeriksaan antibodi TRAb perlu disarankan untuk
menegakkan diagnosis Graves Disease.
Penatalaksanaan hiperemesis gravidarum dibedakan menjadi rehidrasi dan koreksi
elektrolit, terapi nutrisi, terapi dengan obat-obatan, dan psikoterapi. Terapi cairan dilakukan
untuk mengatasi dehidrasi dengan pemberian cairan rehidrasi. Umumnya kehilangan air dan
elektrolit diganti dengan cairan isotonik, misalnya Ringer Laktat, ringer asetat atau normal
salin. Cairan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan pasien ini adalah kristaloid yaitu
Ringer Laktat, dengan pertimbangan bahwa pada pasien terjadi penurunan volume cairan
intravaskuler dan kecenderungan defisit cairan intraseluler dan interstisial.
Pada pasien ini diberikan terapi obat-obatan antara lain vitamin neurosanbe drip 1
ampul dalam infus RL, kemudian sempat diberikan infus Dextrose 5 % lalu diganti dengan
pemberian RL dengan KaEN-3B guna mengkoreksi gangguan elektrolit dan rehidrasi serta
terapi nutrisi. Selain itu, pemberian obat antiemetic berupa Ondansentron per 8 jam via
intravena karena pasien mengalami muntah hebat dan sebelumnya pasien sudah dirawat di
RSHA dan diberikan metocloperamide. Obat antirefluks juga diberikan berupa ranitidin injeksi
yang merupakan second line dari pengobatan hiperemesis gravidarum. Obat lainnya berupa
KSR tablet karena pasien mengalami hipokalemia.
Penatalaksanaan untuk kondisi hipertiroid pasien adalah dengan pemberian obat anti
tiroid, hal ini didasari oleh manifestasi klinis yang jelas serta peningkatan kadar hormon yang
bermakna. Obat anti tiroid yang digunakan adalah PTU 2x1 dikarenakan PTU memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan Methimazole. Selain itu diberikan juga obat beta
bloker, yaitu Propanolol 3 x 10 mg. Pemberian obat-obatan tersebut tentunya harus diawasi
efeknya terhadap ibu dan janin.

48
DAFTAR ISI
1. Cunningham, F. Obstetri Williams. Edisi 23. Jakarta: EGC, 2012. 1030-50p
2. American College Obstetrician and Gynecologist (ACOG). ACOG Bulletin: Nausea
and Vomiting in Pregnancy. 2018. Diambil dari https://www.acog.org/clinical/clinical-
guidance/practice-bulletin/articles/2018/01/nausea-and-vomiting-of-pregnancy.
Diunduh tanggal 05 Januari 2022
3. McGibbon, KW et al. Hyperemesis Gravidarum : Strategies to Improve Outcome.
2020. Diambil dari DOI: 10.1097/NAN.0000000000000363. Diunduh tanggal 05
Januari 2022
4. Ogunyemi, DA. Hyperemesis Gravidarum. 2017. Diambil dari
https://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a1. Diakses pada tanggal 05
Januari 2022
5. Manisto, T. Tyhroid Disease in Pregnancy. 2013. Diambil dari
https://www.medscape.com/viewarticle/814179_4. Diakses pada tanggal 06 Januari
2022
6. World Health Organization (WHO). 2013
7. Gabra A, Habib H, Gabra M (2018) Hyperemesis Gravidarum, Diagnosis, and
Pathogenesis. Crit Care Obst Gyne Vol.5 No.1:5. Diambil dari DOI: 10.21767/2471-
9803.1000172. Diakses pada tanggal 06 Januari 2022
8. Widayana, Ary. Diagnosis dan Penatalaksanaan Hiperemesis Gravidarum. Diunduh
dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/5114. Diakses pada tanggal 06
Januari 2022
9. American College Obstetrician and Gynecologist (ACOG). Morning Sickness : Nausea
and Vomitting of Pregnancy. 2020. Diambil dari https://www.acog.org/womens-
health/faqs/morning-sickness-nausea-and-vomiting-of-pregnancy. Diakses pada
tanggal 07 Januari 2022
10. Sorah K. Hyperthyroidism in Pregnancy. 2020. Diambil dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559203/. Diakses pada tanggal 09 Januari
2022
11. Cunningham, F. Obstetri Williams. Edisi 23. Jakarta: EGC. 2012. 1126-30p.
12. Suparman, E. Hipertiroid dalam Kehamilan. E-CliniC, 9(2), 479. 2021. Diunduh dari
https://doi.org/10.35790/ecl.v9i2.34907. Diakses pada tanggal 09 Januari 2022
13. Fiana Deswita, Dewi RP. Penyakit Tiroid dalam Kehamilan : Diagnosis dan
Manajemen. Medula 9 (1), 186-91. 2019. Diunduh dari
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/2370/pdf. Diakses
pada tanggal 10 Januari 2022
14. American Thyroid Association. Hyperthyroidism in Pregnancy. 2019. Diunduh dari
https://www.thyroid.org/hyperthyroidism-in-pregnancy/. Diakses pada tanggal 10
Januari 2022
15. American College of Obstetrician and Gynecologists. ACOG Bulletin : Thyroid
Disease in Pregnancy. Diunduh dari https://www.acog.org/clinical/clinical-
guidance/practice-bulletin/articles/2020/06/thyroid-disease-in-pregnancy. Diakses
pada tanggal 10 Januari 2022
16. Nguyen et al. Clinical Diabetes and Endocrinology (2018) 4:4. Diunduh dari
https://doi.org/10.1186/s40842-018-0054-7. Diakses pada tanggal 10 Januari 2022

49

You might also like