Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 28

TUGAS MAKALAH

LIMFOMA NON HODGKIN

Nama : Dina Visca Tamara (UAD)

John Lelang (UKWMS)

Anita Widyasari (UII)

Kelompok : 1

PROGRAM KERJA PRAKTEK APOTEKER (PKPA)

RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA

2019

i
DAFTAR ISI
COVER..............................................................................................................................i

DAFTAR TABEL.............................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................3

1. Definisi...................................................................................................................3

2. Epidemiologi..........................................................................................................3

3. Etiologi dan Faktor Risiko.....................................................................................4

4. Klasifikasi dan Histopatologik...............................................................................5

5. Patogenesis Limfoma Non Hodgkin.......................................................................6

6. Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin......................................................................10

7. Gambaran Klinis Limfoma Non-Hodgkin..............................................................13

8. Stadium Penyakit.................................................................................................15

9. Diagnosis..............................................................................................................16

10. Penatalaksanaan...................................................................................................18

11. Prognosis..............................................................................................................21

BAB III KESIMPULAN..................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................23

ii
DAFTAR TABEL

Tabel I. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk


neoplasma limfoid............................................................................................6

Tabel II. Klasifikasi Rappaport.....................................................................................10

Tabel III. Klasifikasi Kiel...............................................................................................11

Tabel IV. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)..........................14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Indeks Prognostik Pasien LNH..................................................................21

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner


limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal
dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe yang sangat
heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap
pengobatan, maupun prognosis. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi
secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh se1 LNH
berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH
memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya (Setioyohadi, 2009).
Insiden LNH terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya.
The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap
tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009. Di
Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan
Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia
(BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari
leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling cepat
setelah melanoma dan paru (Sutrisno, 2010).
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa
faktor risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu onkogen, infeksi virus
Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I (HTLV-I), penyakit autoimun dan
defesiensi imun (Setioyohadi, 2009, Hoffbrand, 2005).
Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi
(excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal (Hoffbrand,
2005). Stadium LNH didasarkan atas kriteria Ann Arbor yang terdiri dari: stadium
I (mengenai satu regio KGB atau satu organ ekstralimfatik); stadium II (mengenai
dua atau lebih KGB pada satu sisi diafragma atau satu organ ekstralimfatik dan
satu atau lebih KGB pada satu sisi diafragma); stadium III (mengenai KGB pada
kedua sisi diafragma, yang dapat disertai dengan keterlibatan limpa atau
1
2

terlokalisasi pada satu organ ekstralimfatik atau keduanya); stadium IV (mengenai


KGB secara difus mengenai satu atau lebih organ ekstralimfatik, dengan atau
tanpa disertai keterlibatan pada KGB (Bakta, 2007).
Pengobatan dengan menggunakan kombinasi kemoterapi (multiagent)
dapat mempengaruhi prognosis dari penyakit. Prognosis limfoma tergantung pada
tipe histologi dan staging (Hoffbrand, 2005).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit
yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel
NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe; yang sangat heterogen, baik
tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun
prognosis (Setioyohadi, 2009).
Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin Lymphomas merupakan
penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.
Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-nodal
jauh lebih sering dijumpai (Hoffbrand, 2005).

2. Epidemiologi
Limfoma maligna merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan
dengan kemoterapi atau dengan kombinasi radioterapi. Insiden penyakit ini
khususnya LNH terlihat terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap
tahunnya. The American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus
baru setiap tahun dan 19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada
tahun 2009.
Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan
Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam
Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih
tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling
cepat setelah melanoma dan paru (Sutrisno, 2010).

3
4

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui.
Ada beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu (Setioyohadi, 2009, Hoffbrand,
2005, Bakta, 2007):
a. Imunodefisiensi: diketahui sekitar 25% kelainan herediter langka yang
berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah severe combined
immunodeficiency, hypogamma globulinemia, common variable
immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia.
Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali
dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnyaberagam,
mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monokional.
b. Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkit
endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit sporadik.
Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV,
hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum
diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan
faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi
EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga
dihubungkan dengan posttranspIant lymphoproIifer ative disorders
(PTLDs) dan AIDS-associat ed lymphomas.
Selain EBV DNA, HTLV-1 juga merupakan agen penyebab
leukimia/limfoma sel T dewasa/ imunodefisiensi (herediter atau didapat)
yang merupakan faktor pencetus untuk terjadinya limfoma sel B. Pada
sindrom defisiensi imun didapat (AIDS) terdapat peningkatan insidensi
limfoma di tempat-tempat yang tidak umum, misalnya di sistem saraf
pusat. Limfoma tersebut biasanya berasal dari sel B dan secara histologi
berderajat tinggi atau sedang.
Enteropati yang diinduksi gluten serta limfadenopati
angioimunoblastik merupakan faktor pemcetus terjadinya limfoma sel T,
dan beberapa limfoma jaringan limfoid yang terkait dengan mukosa
(mucosa-assosiated lymphoid tissue, MALT) di lambung, faktor
5

pencetusnya dikaitkan dengan infeksi Helicobacter. Infeksi hepatitis C


juga telah diajukan sebagai faktor risiko terjadinya limoma non-Hodgkin.
c. Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering
dihubungkan dengan risiko tinggi adalah petemak sefta pekerja hutan dan
peftanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut
organik.
d. Diet dan Paparan Lainnya: risiko LNH meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok. dan yang terkena
paparan ultraviolet.

4. Klasifikasi dan Histopatologik


Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingungkan
dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini demikian cepat
dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi yang satu sama lain tidak kompatibel. Pada
tahun 1994 telah dikeluarkan klasifikasi Revisied American European Lymphoma
(REAL) dan diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup semua
keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan dengan
skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran pembagian
limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi lebih ke
arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotipe, genetik, dan klinis
yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan kemungkinan
asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status penataan
ulang imunoglobulinnya (Hoffbrand, 2005).
6

Tabel I. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk


neoplasma limfoid

Sel B (85%) Sel T dan sel NK (15%)


Neoplasma prekursor sel B Neoplasma prekursor sel T
 Limfoma/leukimia limfoblastik  Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor B (ALL-B/LBL) prekursor T (ALL-T/LBL)
Neoplasma sel B matur (perifer) Neoplasma sel T matur (perifer)
 Leukimia limfositik kronik sel  Leukimia prolimfositik sel T
B/ Limfoma limfositik kecil  Leukimia limfositik granular sel T
 Leukimia prolimfositik sel B  Leukimia sel NK agresif
 Limfoma limfoplasmasitik  Leukimia/Limfoma sel T dewasa
 Limfoma sel B zona marginal (HTLV-1)
limpa (limfosit vilosa)
 Leukimia sel berambut  Limfoma sel T/NK ekstranodal,
 Myeloma sel plasma/ tipe nasal
plasmasitoma  Limfoma sel T jenis enteropati
 Mycosis fungoides/ sindrom
 Limfoma sel B zona marginal Sezary
ekstranodal tipe MALT  Limfoma sel besar anaplastik, tipe
kutaneus primer
 Limfoma sel mantel
 Limfoma folikular  Limfoma sel T perifer, tidak
 Limfoma sel B zona marginal dispesifikasi
nodal  Limfoma sel T angioimunoblastik
 Limfoma sel B besar difus  Limfoma sel besar anaplastik, tipe
 Limfoma Burkitt sistemik primer

5. Patogenesis Limfoma Non Hodgkin


Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan
limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen
(antigent independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent).
Pada tahap I, sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian
menjadi sel B imatur dan sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal
sebagai naive B-cell. Apabila sel B terkena rangsangan antigen, maka proses
7

perkembangan akan masuk tahap 2 yang terjadi dalam berbagai kopartemen


folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi immunoglobuline gene
rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma yang akan pulang
kembali ke sumsum tulang.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh
seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang
disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini
berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat
terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini
menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar,
kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan
selnya mengalami perubahan.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B cell dapat
langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel
plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi
menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell
mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast,
centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang
tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat
adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening,
dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan
imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin
besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor (Setioyohadi, 2009).
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang
penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi
terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit
yang diketahui tentang agen yang mempengaruhi penyusunan ulang kromosom
8

abnormal, namun pada pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa
paparan kerja pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang
salah [misalnya, inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi
ini tidak terkait dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
eksogen dapat mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan
penyusunan ulang kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan
(pengasapan) terpajan fosfin (Potter, 1992). Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas
gen dalam sel-T) mengalami perubahan struktural yang luas selama
perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang terpisah: V-(D)-J
penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan berat rantai
isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses DNA
rusak dan bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam kedua
proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus
kromosom yang berbeda: DHJH, VH DHJH pada kromosome (chr) 14;
VKJK pada kromosom 2, dan V λJλ pada kromosom 22 (Potter, 1992).
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami
translokasi dalam limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan
peradangan. Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang
ditekan oleh BCL-6, termasuk banyak gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa
BCL-6 memodulasi sinyal reseptor sel B. BCL-6 represi dari dua gen kemokin,
MIP-1alpha dan IP-10, juga mungkin meminimalkan respon inflamasi. Blimp-1,
BCL-6 target lain, sangant penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak ekspresi
BCL-6 tidak ada dalam sel plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol
diferensiasi plasmacytic. Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan
perubahan indikasi diferensiasi plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc
dan peningkatan ekspresi siklus inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan
bahwa transformasi maligna oleh BCL-6 melibatkan penghambatan diferensiasi
dan penigkatan proliferasi. (Pasqualuccii, at.al, 2003, Shaffer, at.al, 2000)
Selain mutasi gen, penuaan mungkin merupakan faktor penting dalam
patogenesis Kelompok I LNH sel B, karena tumor ini terjadi terutama di
kelompok usia yang lebih tua, dan peningkatan angka kejadian dalam setiap
9

kelompok usia lebih dari 55 tahun. Penjelasan biologis bagaimana penuaan


berpengaruh terhadap limfoma genesis belum dipahami dengan baik. Efek
penuaan pada sistem kekebalan tubuh telah dipelajari selama beberapa tahun.
Konsep bahwa penuaan adalah keadaan imunodefisiensi mungkin peryataan yang
terlalu umum. Pada pemeriksaan sumsum tulang ditemukan Clonotypes baru.
Hasil yang didapatkan oleh peneliti sebelumnya yaitu adanya disregulasi dari
sistem kekebalan tubuh. Pertama, diketahui bahwa timus berinvolusi sehingga sel
T bergantung lebih banyak pada kolam perifer. Selain itu, proliferasi sel T dan
produksi IL-2 mengalami penurunan. Sel T autoreaktif muncul dengan
bertambahnya usia. Dalam garis keturunan sel B respon humoral terhadap antigen
asing menurun sementara produksi antibodi autoreaktif meningkat. Perubahan
dalam repertoar B-sel pada tikus terjadi dengan penuaan yang mungkin berubah
yaitu gen V, D,dan J. sel B manusia dari individu yang berusia tua mengalami
proliferasi 50% kurang efisien dibandingkan dari usia muda, perbedaan ini
mungkin karena gangguan dalam komponen jalur transduksi sinyal tertentu dalam
sel-B. Penuaan juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam T-dan B-
repertoar. Pengaturan ukuran dan aktifitas proliferasi clonotypes B-sel tertentu
pada orang tua mungkin kurang dikontrol dengan baik karena perubahan dalam
kompartemen sel-T. Ini ditambah dengan peningkatan frekuensi autoreaktif
clonotypes, dapat menghasilkan populasi B-sel yang kurang patuh pada peraturan
oleh sel T, sehingga meningkatan risiko untuk mengalami pertumbuhan otonom
(Potter, 1992).
Selain itu LNH sel B memiliki hubungan dengan keadaan
immunodeficiency, yang paling sering adalah oligoclonal atau poliklonal, dan ini
telah mengangkat isu bahwa beberapa limfoma ini lebih kepada
lymphoproliferative daripada gangguan neoplastik. Banyak limfoma timbul dalam
berbagai bentuk immunodeficiency seperti EBV+, menunjukkan peran partisipatif
gen EBV dalam proses lymphomagenic. Mekanisme dasar untuk limfomagenesis
pada immunodeficiency diduga melibatkan gangguan pengawasan imunologi dan
kemampuan sel-T untuk menghilangkan sel-sel mengekspresikan antigen
permukaan sel atipikal. Dalam sel B virus dipertahankan sebagai plasmid dalam
10

sitoplasma sel yang beristirahat, sehingga sejumlah besar sel B terinfeksi. Kondisi
ini akan mempengaruhi pertumbuhan sel B menjadi sel ganas. Sel B yang baru
terinfeksi (nonneoplastic) dan baris sel lymphoblastoid yang dibiakkan dari darah
orang yang terinfeksi terus-menerus mengekspresikan beberapa protein virus
EBNAs 1, 2a, 3a, 3b, 3c dan EBNA-LP, LMP1, 2A, 2B tapi menghasilkan sangat
sedikit virus. Protein membran merupaka target antigen untuk sitotoksik T-sel
(Potter, 1992).
Sel yang berubah menjadi sel kanker seringkali tetap rnempertahankan
sifat "dasar"nya. Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat
mudah masuk aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah, sedangkan
sel kanker dari imunobias amat jarang masuk ke dalam aliran darah, namun
dengan tingkat mitosis yang tinggi (Setioyohadi, 2009).

6. Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin


Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada
suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta
fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah
klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi
Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation,
serta klasifikasi terbaru REAL (Hoffbrand, 2005, Bakta, 2007).

Tabel II. Klasifikasi Rappaport

1. Lymphocytic, poorly differentiated


a. Nodular (NLPD)
b. Diffuse (DLPD)
2. Lymphocytic, well differentiated
a. Diffuse (DLWD)
3. Mixed lymphocytic histiocytic
a. Nodular (NMLH)
b. Diffuse (DMLH)
4. Undifferentiated
a. Diffuse (DU)
 Burkitt type
11

 Non-Burkitt (lymphoblastic) type

Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin


mendekati bentuk limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan
sel yang lebih besar dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu,
dilihat susunan sel, apakah noduler, atau difus.
a. Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:
1) LNH dengan derajat keganasan rendah
2) LNH dengan derajat keganasan tinggi
Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar
getah bening, serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T.

Tabel III. Klasifikasi Kiel

Sel T
Sel B
High grade malignancy
Low grade malignancy
Lymphocytic
Lymphocytic
Small cerebriform cell
Lymphoplasmacytic
Mycosis funguides
Plasmacytic
Sezary’s syndrome
Centroblastic/centrocytic
Lymphoepitheloid (Lenner’s lymphomas)
Follicular
Angioimmunoblastic T zone
Diffuse
Pleomorphic small cell
Centrocytic
High grade malignancy High grade malignancy
Centroblastic Pleomorphic medium and large cell
Immunoblastic Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+) Large cell anaplastic (Ki-1+)
Burkitt’s lymphoma Lymphoblastic
Lymphoblastic Rare types
Rare types
12

b. Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis


Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation for
clinical usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi
ini merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada.
Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang
dengan demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar
getah bening normal. Maka secara umum klasifikasi limfoma berasal dari sel B
adalah:
1) Precursor B-cell lymphoma
Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk
leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut lymphoblastic
leukemia/lymphoma.
2) LNH yang berasal dari naive B-cell
LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang identik
dengan bentuk chronic lymphocytic leukemia (CLL).
3) LNH berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid. LNH dari
germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
(a) Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari
germinal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, tetapi
incurable. Follicular lympoma sering disertai translokasi kromosom 14
dan 18 {t(14;18)} yang menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang
mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain gene.
(b) Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam folikel
normal (centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu disebut
sebagai diffuse large cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi
sangat responsif terhadap kemoterapi.
4) LNH yang berasal dari mantle zone
LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara
imunofenotipe mirip dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan
klinis slowly progressive dan incurable dengan standard chemotherapy.
13

5) LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular


Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, low-
grade mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic
marginal zone lymphoma. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone
marginal atau prafolikuler dari folikel limfoid normal.

7. Gambaran Klinis Limfoma Non-Hodgkin


a. Gejala klinik limfoma non-hodgkin
1. Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan
pembesaran kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri pada satu
atau lebih regio kelenjar getah bening perifer.
2. Gejal konstutisional. Demam, keringat pada malam hari, dan penurunan
berat badan lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin. Dapat terjadi
anemia dan infeksi dengan jenis yang ditemukan pada penyakin Hodgkin
3. Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur
orofaringeal (cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan timbulnya
keluhan sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau tersumbat.
4. Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan purpura
merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus.
Sitpenia juga dapat disebabkan oleh autoimun.
5. Penyakit abdomen. Hati dan limpa seringkali membesar dan kelenjar getah
bening retroperitonela atau mesentrika sering terkena. Saluran
gastrointestinal adalah lokasi ekstranodal yang paling sering terkena
setelah sumsum tulang, dan pasien bisa datang gejala nyeri abdomen akut.
6. Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit
juga secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum
dan terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom Sezary.
b. Kelainan Hematologi
Pada pemeriksaan hematologi seorang LNH dapat dijumpai kondisi
sebagai berikut:
14

1) Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi hemolitik


autoimun juga dapat terjadi (Hoffbrand, 2005).
2) Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum tulang,
mungkin terdapat netropenia, trombositopenia (khususnya jika limpa
membesar), atau gambaran leukoeritroblastik.
3) Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel limfoma
folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang bervariasi, dapat
ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.
4) Biopsi trephin sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20% kasus.
keterlibatan sumsum tulang lebih sering ditemukan pada limfoma maligna
derajat rendah. Pada pemeriksaan petanda imunologik dengan teknik
fluorensi atau peroksidase dapat mendeteksi keterlibatan minimal
(misalnya suatu populasi klonal sel B yang terbatas) yang mudah dikenali
dengan mikroskop konvensional (Bruce, 2007).
c. Petanda imunologik
Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk melihat
ekspresi antigen pada permukaan sel sangat penting untuk menentukan jenis sel
(sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya. Antigen diferensiasi kelompok
yang berguna dalam penegakan diagnosis limfoma dapat dilihat pada tabel.

Tabel IV. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)

Sel T Sel B Petanda aktivasi Antigen umum leokosit


CD2 CD19 CD23 CD45
CD3 CD20 CD25
CD5 CD22 CD30
CD7 CD24

Subset sel T Sel B langka


CD4 CD5
CD8

Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi


kromosom khas yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Kalainan yang
15

sangat khas adalah t(8;4) pada limfoma Butkitt, t(14;18) pada limfoma folikular,
t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5) pada sel besar anaplastik.
d. Kimia Darah
Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang abnormal
mengesankan adanya penyakit diseminata. Kadar LDH serum meningkat pada
penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan kuas serta dapat digunakan sebagai
suatu petanda prognostik.

8. Stadium Penyakit
Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan.
Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja
yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.
a. Formulasi kerja yang baru (Santoso da Krisfu, 2004)
Tingkat rendah:
1) Limfositik kecil
2) Sel folikulas, kecil berbelah
3) Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah
Tingkat sedang:
1) Sel folikulis, besar
2) Sel kecil berbelah, difus
3) Sel campuran besar dan kecil, difus
4) Sel besar, difus
Tingkat tinggi:
1) Sel besar imunublastik
2) Limfoblastik
3) Sel kecil tak berbelah
b. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor
(Setioyohadi, 2009)
1) Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu
organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE)
16

2) Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma
yang sama. II2: pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. II3: pembesaran
3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma. IIE: pembesaran 1 regio atau lebih KGB
dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak difus / batas tegas.
3) Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III),
yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat
ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S)
4) Stadium IV:
Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.

9. Diagnosis
a. Anamnesis
Umum:
1) Pemebesaran kelenjar getah bening dan malaise umum
(a) Berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan
(b) Demam tinggi 380C 1 minggu tanpa sebab
(c) Keringan malam
2) Keluhan anemia
3) Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
4) Penggunaan obat (Diphantoine)
Khusus:
1) Penyakit autoimun
2) Kelainan darah
3) Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pembesaran KGB
2) Kelainan/pembesaran organ
3) Performace status: ECOG atau WHO/Kamofsky
17

c. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) Rutin
Hematologi:
(a) Darah perifer lengkap
(b) Gambaran darah tepi
2) Urinalisa:
(a) Urin lengkap
3) Kimia klinik:
(a) SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat.
(b) Alkali fosfatase
(c) Gula darah puasa dan 2 jam pp
(d) Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
4) Khusus
(a) Gamma GT
(b) Cholinesterase (CHE)
(c) LDH/fraksi
(d) Serum Protein Elektroforesis (SPE)
(e) Imuno Elektroforese (IEP)
(f) Tes coombs
(g) B2 Mikroglobulin
b. Biopsi
1) Biopsi KGB dilakukan hanya I kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenj ar perifer/superfi sial yang
representatif, maka tidak perlu biopsi intra abdominal atau intratorakal.
Spesimen kelenjar diperiksa:
(a) Rutin
Histopatologi: REAL-WHO dan Working Formulation
(b) Khusus
Imunoglobulin permukaan dan Histo/sitokimia
18

2) Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi. FNAB


dilakukan atas indikasi tertentu.
3) Tidak diperlukan penentuan stadium laparatomi.
c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina
iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm.
d. Radiologi
1) Rutin:
(a) Toraks foto PA dan lateral
(b) CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah)
2) Khusus:
(a) CT scan toraks
(b) USG Abdomen
(c) Limfografi,limfosintigrafi
e. Cairan tubuh lain: cakan pleura, asites, cairan serebrospinal j ika dilakukan
punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping
pemeriksaan rutin lainnya.
f. Immunophenotyping: Parafinpanel: CD 20, CD 3.

Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi seksisi


kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Pemeriksaan dari hasil aspirasi
jarum tidak memadai untuk diagnosis komfirmatif. Dilakukan klasifikasi
histopatologik menurtu klasifikasi yang lazim dipakai (di Indonesia umumnya
gabungan working formulation dan Kiel). Kemudian dilakukan prosedur
penderajatan penyakit sehingga derajat penyakit dapat ditentukan.

10. Penatalaksanaan

Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma
dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk
menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk
LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut:
19

a. Radioterapi
1) Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
2) Untuk ajuvan pada bulky disease
3) Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
b. Kemoterapi
1) Kemoterapi tunggal (singel agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah
2) Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:
(a) Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:
 CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison)
 CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)
 COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with leucovorin
rescue)
 CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)
 C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine, prednison,
procarbazine)
(b) Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
 COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine, prednison,
bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
 Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin rescue,
doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, mechlorethamine, vincristine,
procarbazine).
 M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).
(c) Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
 COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine, prednison,
infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
 ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with leucovorin rescue,
doxorubicine, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide, cytarabine,
bleomycin, vincristine, methotrexate with leucovorin rescue).
20

 MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine,


cyclophosphamide, vincristine, prednison, bleomycin).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi
CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain.
penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah
angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga
jarang digunakan. (hemato merah).
c. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi
baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panajang.
d. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem
cell transplantasi.
e. Terapi dengan imunomodulator
Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma,
dikombinasikan dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi untuk
memperpanjang masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang masih
kontroversial
f. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody
ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B.
Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu memberikan
remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung digabung dengan
kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif.
Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:
1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1
3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5

Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian


ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit,
sebaiknya diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan
anti-CD20 (Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL
(Forspointner, at.al, 2004).
21

11. Prognosis

LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent


Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang
relatif baik, dengan median survival I 0 tahun, tetapi biasanya tidak dapat
disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau
folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek,
namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi
intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis
"divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi
outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi
regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan
pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi
prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan
jumlah lokasi ekstra nodal.

Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga


abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang
didapat arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 “ (age adjusted lPl), indeks yang
digunakan lebih sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum
LDH, dan status “performance”, tanpa status ekstra nodal.

Gambar 1. Indeks Prognostik Pasien LNH.

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V)


22

BAB III

KESIMPULAN

Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner


limfosit yang dapat berasal dari limfosit B dan limfosit T yang merupakan
penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan klinisnya.
Etiologi sebagian besar Limfoma Non-Hodgkin tidak diketahui. Namun
terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya Limfoma Non-
Hodgkin, yaitu onkogen, infeksi virus Ebstein Barr, Human T-leukemia Virus-I
(HTLV-I), penyakit autoimun dan defesiensi imun.
Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin bisa didapatkan melaui amanmnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Tetapi untuk penegakan
diagnosis pasti Limfoma Non-Hodgkin adalah dengan melakukan pemeriksaan
histologi biopsi eksisi (excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan
ekstranodal. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pemebesaran
kelenjar getah bening dan malaise umum, dan pada pemeriksaan labratorium
biasanya ditemukan anemia normositik normokrom. Selain itu pemeriksaan
petanda imunologik (immunological marker) untuk melihat ekspresi antigen pada
permukaan sel juga sangat penting untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel T)
serta tingkat perkembangannya.
Terapi untuk Limfoma Non-Hodgkin terdiri atas terapi spesifik untuk
membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum
penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi.
Terapi spesifik yaitu radioterapi, kemoterapi (CHOP), Transplantasi sumsum
tulang, transplantasi sel induk, imunomodulator, dan targeted therapy.

22
23

DAFTAR PUSTAKA

Setioyohadi, B. 2009. Limfona Non-Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 1251-
1260.
Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-
Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit
Dalam volume 2; 96-102.
Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.
Jakarta: EGC; 185-198.
Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I. Jakarta:
EGC;.p.192- 219.
Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa media:
No. 4(17).
Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma. In
Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams & Wilkins : 435-
56.
Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant Lymphoma.
Journal Of Clinical Oncology. Volume 25(5); 581.
Forspointner R, Dreyling M, Repp R, et all. 2004. The summary: The addition of
rituximab to a combination of fludarabine, cyclophosphamide,
mitoxantrone (FCM) significantly increases the response rate and prolongs
survival as compared to FCM alone in patients with relapsed and
refractory follicular and mantle cell lymphomas. Results from a
prospective randomized study of the German Low Grade Lymphoma
Study Group (GLSG). Blood (4); 3061-7l.
Potter M. 1992. Pathogenetic Mechanisms in B-Cell Non-Hodgkin's Lymphomas
in Humans. Cancer Research. 52: 5525s-5528s.

23
24

Pasqualucci, at al. 2003. Molecular Pathogenesis of Non-Hodgkin's Lymphoma:


the Role of Bcl-6. Institute for Cancer Genetics, Columbia University. Vol
44 (S3) S5-S12.
Shaffer AL, at al. 2000. BCL-6 represses genes that function in lymphocyte
differentiation, inflammation, and cell cycle control. 13(2):199-212.

24

You might also like