Sumber Hukum Dari Hukum Adat

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

SUMBER HUKUM YANG BERASAL DARI HUKUM ADAT

La Ode Dedi Abdullah(1)


Ahmad Gustian(2)
Ending Tri Pratiwi (3)
Rudi Abdullah(4)
Asrianti D’Java(5)

ABSTRAK

Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat


dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang
memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan
bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya
merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi,
transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Hukum Adat  adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan
menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat.

Kata Kunci : Sumber Hukum Yang Berasal Dari Hukum Adat


Definisi Hukum Adat
[ CITATION Abd183 \l 1033 ] Hukum adalah seperangkat norma dan aturan
adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah
terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari
istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan
istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.
[ CITATION Abd183 \l 1033 ] Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu
dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi
pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi
sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia. Sebagai perilaku
manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi,
sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan
pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.(Abdullah dan Dja’wa).
Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah
kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan
yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum
kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di
Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya
bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan
dengan hukum perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”.
Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan
kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan. Di
Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini
mengandung unsur agama. Abdullah dan Dja’wa (2018) Terminologi “Adat” dan
“Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian
padahal sesungguhnya  keduanya adalah dua lembaga yang berlainan. Adat sering
dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan
jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman)
di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-
soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-
istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
[ CITATION Abd184 \l 1033 ] Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan
yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu
dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang
sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal
dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial
hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat
kuat dalam masyarakat .
[ CITATION Abd15 \l 1033 ] Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan
atas level-level  antara lain :
1. Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar
kesepakatan.
2. Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan
hukum telah ditetapkan.
3. Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan
masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.
4. Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan
pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara
ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi)
pada era masa kini.

Dalam perkembangannya, [ CITATION Abd187 \l 1033 ] hukum adat


mengandung dua arti yaitu :
1. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat.
Adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat
hukum adat tertentu.
Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
2. Hukum kebiasaan.
Adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan
pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat
dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis
dalam bentuk perundangan.

[ CITATION Abd183 \l 1033 ] Ciri-ciri hukum adat adalah :


1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.

[ CITATION Abd184 \l 1033 ] Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak
hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan
lingkungan  sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga
(perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di
masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual
kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai
dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural
maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu
kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau
kepercayaan.
Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat
dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang
memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan
bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya
merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi,
transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur
dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan
dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki
eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang
menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga
formal.
[ CITATION Abd184 \l 1033 ] Masyarakat Adat didefinisikan sebagai
Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di
wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,
budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam
masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan
penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus
menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri,
dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi
kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa
membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena
UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan
menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa
diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya.
Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya,
dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa
ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai
komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.[ CITATION Abd186 \l
1033 ]
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus
diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya
masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu
kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus
menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem
ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas
dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di
Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu “BHINNEKA TUNGGAL
IKA” yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu
kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

CITATION Abd183 \l 1033 : , (Abdullah & Pratiwi, Sumber Hukum Yang Berasal Dari
Hukum Adat, 2018),

CITATION Abd184 \l 1033 : , (Abdullah & D'Java, Sumber-Sumber Hukum Bisnis, 2018),

CITATION Abd15 \l 1033 : , (Abduallah & Dja'wa, 2015),

CITATION Abd187 \l 1033 : , (Abdullah & Pratiwi, Hukum Dan Ruang Lingkup Hukum
Bisnis, 2018),

CITATION Abd186 \l 1033 : , (Abdullah & Dja'wa, Pengantar Hukum Bisnis, 2018),

You might also like