Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Sub f240f0cf

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN SUBJECTIVE WELL

BEING PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS DI JAKARTA


Dearly 1), dan Sri Lestari2)
Fakultas Psikologi, Universitas Mercubuana, Jakarta
Email : dearly@mercubuana.co.id

Abstract
This research is a quantitative research that aims to determine the relationship of self-efficacy with subjective well
being of the people living with HIV / AIDS (ODHA) in Jakarta. Self-efficacy is using the theory of Bandura (1997) and
subjective well-being based on the theory of Diener (2010). Self effifacy consists of three dimensions, contains (level),
breadth (generality) and strength (Strength). Subjective well-being includes two dimensions of cognitive and affective
dimensions. A total of 70 respondenst of ODHA who are willing to become respondent captured from two foundations,
namely AM and PK in Jakarta into the sample, taken through purposive sampling technique, with the sample criteria
have HIV / AIDS and 17-50 years old. Researchers using a measuring instrument PANAS (The Positive and Negative
Affect scales, Watson & Tellegen, 1988 ) to measure the dimensions of affection, and the Satisfaction With Life Scale
(Diener, 2010) for the cognitive dimension in measuring subjective well being variable. Self efficacy measurement tool
compiled by researchers. Validity and reliability both of the instruments have proven. From the results of correlation
using the Pearson r values 0.774 obtained with p value 0.00 and 0.05 significance level (p <0.05). This shows that
there is a significant positive relationship between self-efficacy with subjective well being in people living with HIV in
Jakarta. Thus, the higher self-efficacy, the higher its subjective well-being. Self-efficacy has the strongest contribution
with the affective dimension, which means belief in ODHA to their ability to control the functioning of their self and
events in the environment contribute most to the positif or negative feelings he had felt towards life.
Keywords : subjective well being, self efficacy, ODHA

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan self efficacy dengan subjective
well being terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jakarta. Self efficacy menggunakan teori dari Bandura (1997)
dan subjective well being menggunakan teori dari Diener (2010). Self effifacy terdiri dari tiga dimensi yaitu tingkat
(level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength). Subjective well being mencakup dua dimensi kognitif dan dimensi
afektif. Sebanyak 70 orang ODHA yang bersedia menjadi responden dijaring dari 2 LSM, yaitu AM dan PK di Jakarta
menjadi sampel penelitian ini, diambil melalui teknik purposive sampling, dengan kriteria sampel mengalami HIV/
AIDS dan berusia 17-50 tahun. Peneliti menggunakan alat ukur PANAS (The positive and negative affect scales, Watson
& Tellegen, 1988) untuk dimensi afeksi, dan Satisfaction With Life Scale (Diener, 2010) untuk dimensi kognitif dalam
mengukur variabel subjective well being. Alat ukur self efficacy disusun sendiri oleh peneliti. Kedua alat ukur tersebut
telah terbukti validitas dan reabilitasnya. Dari hasil uji korelasi menggunakan Pearson diperoleh nilai r 0.774 dengan
p value 0,00 dan taraf signifikansi 0.05 (p< 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan
antara self efficacy dengan subjective well being pada ODHA di Jakarta. Dengan demikian, semakin tinggi self efficacy
maka semakin tinggi pula subjective well being-nya. Self efficacy memiliki hubungan yang paling kuat dengan dimensi
afektif, yang berarti keyakinan ODHA terhadap kemampuannya mengontrol keberfungsian dan kejadian di lingkungan
memberikan kontribusi paling besar terhadap perasaan positif atau negatif yang ia rasakan terhadap kehidupannya.
Kata kunci: subjective well being, self efficacy, ODHA

PENDAHULUAN berarti kumpulan gejala, bukan gejala tertentu.


AIDS disebabkan oleh virus yaitu HIV, bila
HIV/AIDS (Human Immuno deficiency
seseorang terinfeksi HIV, tubuh orang tersebut
Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome)
akan membuat antibodi khusus atau kekebalan
merupakan masalah yang mengancam seluruh
untuk menyerang virus tersebut. Dalam tes
lapisan masyarakat dari berbagai kelas ekonomi.
darah apabila dalam darah terdapat antibodi
AIDS merupakan kependekan dari Acquired
tersebut berarti positif HIV. Seseorang dapat
Immune Deficiency Syndrome, Acquired
diprediksikan HIV/AIDS apabila mempunyai
berarti didapat, bukan keturunan. Immune
gejala mayor seperti berat badan menurun lebih
terkait dengan sistem kekebalan tubuh manusia.
dari 10% dalam satu bulan, diare kronis, demam
Deficiency berarti kekurangan. Syndrome

258
Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Subjective Well Being Pada Orang Dengan Hiv/Aids Di Jakarta 259

berkepanjangan, penurunan kesadaran dan memanfaatkan hidup berbagi pada orang lain
demensia. Disamping itu memiliki beberapa terutama pada penderita ODHA. Menurut “A”
gejala minornya yaitu batuk menetap selama kondisi kesehatannya baik, memang diakui
lebih dari satu bulan, herpes, infeksi jamur bahwa dia sering sakit tapi dia tidak mau
dan dermatitis (Sumber Informasi kesehatan : menunda untuk berobat sehingga penyakitnya
Yayasan Aids Indonesia). Menurut data Ditjen tidak parah karena dia sadar bahwa penyakit
Pengendalian Penyakit dan Pengendalian ringanpun dengan kondisi dia yang terinfeksi
Lingkungan RI Kementrian Kesehatan RI pada HIV akan menjadi lebih parah jika tidak segera
Laporan Kasus HIV/AIDS tanggal 28 Mei ditindaklanjuti. Disamping itu “A” menjaga
sampai dengan Maret 2014 (sumber Yayasan pola hidup sehat seperti benar-benar berhenti
Spiritia), jumlah orang terinfeksi HIV adalah merokok. Dia merasa harus bisa melewati
HIV 6.626 orang dan AIDS adalah HIV 308 masalah ini karena tidak mau keluarganya ikut
orang. Secara kumulatif sampai dengan Maret sedih dengan kondisinya.
2014 jumlah orang yang terinfeksi HIV adalah Dari fenomena subjek yang peneliti
134.042 orang dan AIDS adalah 54.231 orang. interview diatas keyakinan ODHA dalam
Pada tahun sebelumnya yaitu 2013 jumlah orang meneruskan kehidupan setelah teridentifikasi
terinfeksi HIV secara kumulatif adalah 103.759 HIV/AIDS berbeda-beda. Ada individu
orang dan AIDS adalah 43.347 orang. Secara setelah mengetahui positif HIV/AIDS menjadi
total kasus ini naik sekitar 29% untuk HIV menyerah, tidak mau berobat karena merasa
dan 25% untuk AIDS dari tahun sebelumnya. sakitnya tidak akan bisa sembuh seperti pada
Dari angka ini menunjukkan bahwa dari tahun diri E yang pada akhirnya meninggal satu
ke tahun HIV/AIDS naik secara signifikan. bulan setelah positif HIV/AIDS. Pada subjek
Terkait ODH, peneliti mewawancara salah B, keyakinan diri memudar terlihat pada
satu dokter di salah satu rumah sakit daerah tatapan matanya kosong dan lesu. Disisi
Bekasi yaitu dokter “P” mempunyai kerabat yang lain subjek A mempunyai keyakinan
yang telah meninggal karena HIV/AIDS di kuat untuk dapat meneruskan hidupnya, dia
bulan Juni 2014. Menurut keterangan dokter memiliki kemauan untuk tetap sehat dan
“P” sejak awal “E” memiliki resiko tinggi tidak menyepelekan penyakit sekunder yang
karena penggunaan jarum pada narkoba tetapi menggerogoti tubuhnya yaitu dengan segera
“E” tidak peduli. Setelah mengetahui dirinya melakukan pengobatan apabila ada keluhan.
terinfeksi HIV/AIDS, kondisi kesehatannya Kemauan dan keyakinan untuk menebus dosa
semakin menurun, kurang bersemangat dalam karena tindakan masa lalu juga menjadi salah
berobat hingga akhirnya “E” meninggal dunia satu dasarnya dapat move on.
sekitar dua bulan setelah terinfeksi. Keyakinan diri inilah yang disebut
Hal senada juga peneliti temukan pada self efficacy yaitu keyakinan seseorang dalam
saat wawancara dengan “B” yang terinfeksi kemampuannya untuk melakukan suatu
HIV mulai sekitar lima bulan lalu. Pandangan bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang
matanya kosong dan sering melihat ke arah itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan
lain, beberapa pertanyaan dari peneliti tidak (Bandura, 2001).
dijawab dengan jelas. “B” yang didampingi Bandura beranggapan bahwa
oleh keluarganya itu terlihat belum bisa move keyakinan seseorang adalah landasan dari
on cenderung acuh dengan orang di sekitarnya hidup manusia. Manusia dengan efficacy
dan terlihat lesu. tinggi yakin bahwa mereka dapat melakukan
Berbeda dengan kondisi ODHA sesuatu yang mempunyai potensi untuk dapat
lainnya, peneliti menghubungi melalui telepon mengubah kejadian di lingkungannya dan akan
dengan “A”. Dari suaranya terdengar ceria dan lebih mungkin bertindak serta lebih mungkin
tanpa beban sehingga peneliti dapat leluasa untuk menjadi sukses daripada manusia yang
untuk bertanya. Dari ceritanya setelah “A” mempunyai efficacy rendah.
setelah mendapat vonis HIV positif maka Dengan variasi keyakinan yang dimiliki
dia ingin menebus segala dosanya dengan ODHA untuk meneruskan kehidupannya, maka
260 Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 258 - 264

vareasi pula kebahagiaan pada diri mereka. saran-saran tentang ukuran sampel untuk
Pada subjek diatas dapat terlihat bahwa E penelitian, yaitu ukuran sampel yang layak
dan B dengan keyakinan yang rendah dalam untuk penelitian. Ukuran sampel layak dalam
menghadapi vonis HIV membuat kehidupannya penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500
tidak lagi menjadi bahagia, putus asa, menarik sampel, dan bila sampel dibagi dalam kategori
diri dari interaksi lingkungan sosial. Berbeda minimal adalah 30 sampel.
halnya dengan A, keyakinan diri yang tinggi
membawanya menjalani kehidupan dengan Teknik Pengambilan Sampel
tetap ceria seperti mau berbagi terutama pada Sampel dipilih dengan teknik Purposive
para penderita ODHA. Kebahagiaan masing- Sampling. Subjek penelitian ini adalah ODHA
masing orang inilah yang disebut sebagai yang berusia 17-50 tahun yang menjadi pasien
subjective well being yaitu kepuasan hidup dan di Yayasan AM dan PKBI di Jakarta. Pasien-
evaluasi terhadap domain-domain kehidupan pasien tersebut ditanyakan kesediaannya
yang penting seperti pekerjaan, kesehatan terlebih dahulu untuk menjadi responden
dan hubungan (Diener, 2008). Termasuk penelitian ini. Setelah dijaring, diperoleh 70
didalamnya emosi mereka, seperti keceriaan, orang pasien yang bersedia menjadi responden
keterlibatan, pengalaman emosi yang negatif dan semunya berjenis kelamin laki-laki.
(contoh: kemarahan, kesedihan) dan ketakutan
yang sedikit. Teknik Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data pada
METODE penelitian ini menggunakan metode angket
tertutup. Angket merupakan suatu daftar
Dalam penelitian ini peneliti
yang berisi rangkaian pertanyaan mengenai
menggunakan metode penelitian kuantitatif
suatu hal yang akan diteliti. Angket tertutup
yaitu digunakan untuk meneliti pada populasi
berisi pernyataan-pernyataan terstruktur yang
tertentu, pengumpulan data menggunakan
memberikan pilihan kepada subjek untuk
instrument penelitian, analisis bersifat
memilih jawaban yang telah tersedia.
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk
menguji hipotesis yang telah ditetapkan
Skala Pengukuran
(Sugiyono, 2010). Pada penelitian ini variabel-
Pada subjective well being peneliti
variabel yang digunakan adalah:
menggunakan alat ukur PANAS (The
Variable (X) : self efficacy
Positive and Negative Affect Scales, Watson
Variable (Y) : subjective well being
& Tellegen, 1988) untuk mengukur dimensi
afeksi sedangkan untuk dimensi Kognisi
Populasi
menggunakan Satisfaction with life scale
Populasi adalah wilayah generalisasi
(Diener, 2010). Alat ukur yang digunakan
yang terdiri atas subyek yang mempunyai
dari hasil adaptasi oleh Rachmawati (2013),
kualitas dan karakteristik tertentu yang
kemudian dimodifikasi sesuai kebutuhan
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
penelitian ini. PANAS menggunakan dimensi
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
afeksi yang meliputi indikator positive affect
2010). Dalam penelitian ini, populasinya
dan negative affect. Satisfaction with life
adalah Orang Dengan HIV/AIDS yang ada
scale menggunakan dimensi kognitif dengan
di Jakarta. Berdasarkan data dari Depkes RI
indikator kepuasan hidup yang terdiri dari 25
tahun 2014, jumlah ODHA di Jakarta adalah
item pernyataan yaitu 15 item favorable dan 10
32.782 orang.
item unfavorable. Alat ukur berupa kuesioner
untuk mengukur varibel self efficacy disusun
Sampel
sendiri oleh peneliti. Kuesionernya terdiri dari
Sampel adalah bagian dari jumlah
40 item pernyataan yaitu 20 item favorable dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi
20 item unfavorable.
tersebut. Sugiyono (2010) memberikan
Kedua alat ukur di atas sudah melalui
Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Subjective Well Being Pada Orang Dengan Hiv/Aids Di Jakarta 261

proses uji coba terhadap 30 sampel. Dari hasil berada pada masa dewasa dini yang tergolong
uji coba, dilakukan uji validitas terhadap alat usia produktif. Subjective well being semakin
ukur self efficacy, dengan taraf signifikansi tinggi pada usia yang lebih tinggi pula.
5% menggunakan kriteria r hasil positif, Sementara pada variabel jenis pekerjaan,
serta r hasil > r tabel. Hasilnya diperoleh karyawan menempati jumlah perbanyak dalam
nilai r berkisar 0,583 hingga 0,941. Hal ini penelitian ini. Responden terbanyak yang
menunjukkan seluruh item valid. Sementara memiliki subjective well being yang paling
pada alat ukur subjective well being, nilai r tinggi berada pada jenis pekerjaan karyawan,
berkisar 0,404 hingga 0,896. Artinya seluruh sementara subejctive well being yang paling
item dinyatakan valid. rendah ada pada kelompok pekerjaan PNS.
Untuk uji reliabilitas menggunakan Alpha Menerima kenyataan bahwa seseorang
Cronbach, diperoleh nilai 0,985 untuk alat telah tertular virus HIV sangat tidak mudah.
ukur self efficacy dan 0, 976 untuk alat ukur ODHA tidak hanya dihadapkan pada
subjective well being. Hal ini menunjukkan permasalahan penyakitnya saja tetapi juga
kedua alat ukur tersebut reliabel. harus menghadapi stigma sosial yang sangat
diskriminatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dengan permasalahan yang
Hasil uji korelasi menggunakan Pearson sangat kompleks tersebut, tentunya akan
diperoleh nilai r sebesar 0,774 dengan taraf mempengaruhi kondisi kesehatan fisiologis
sigfikansi 0,000. Hal ini berarti Ho ditolak. maupun psikologisnya. Seseorang cenderung
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akan memiliki perasaan bahwa dirinya tidak
ada hubungan yang signifikan antara self berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah
efficacy dan subjective well being pada ODHA ketika ia dinyatakan positif tertular HIV. Hal
di Jakarta. Semakin tinggi self efficacy, semakin ini dapat menurunkan kebahagiaan hidupnya
tinggi pula subjective well being ODHA. dalam semua aspek.
Berikut disajikan data demografi dari Subjective well being menunjukkan
Tabel 1. Usia Responden kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domain-
Masa Usia Jumlah Responden domain kehidupan yang penting seperti
pekerjaan, kesehatan dan hubungan. Termasuk
Akhir Remaja 16-18 1 [1%]
didalamnya emosi mereka, seperti keceriaan
Dewasa Dini 19-40 51 [73%]
dan keterlibatan dan pengalaman emosi yang
Dewasa 41-60 18 [26%]
negatif, seperti kemarahan, kesedihan, dan
Madya
ketakutan yang sedikit. Dengan kata lain,
Total 70
kebahagiaan adalah nama yang diberikan untuk
Tabel 2. Jenis Pekerjaan pikiran dan perasaan yang positif terhadap
seseorang (Diener, 2008).
Jenis Pekerjaan Jumlah
Dalam penelitian ini subjective well
Karyawan 39 (56%)
being dijelaskan sebagai evaluasi subyektif
Wiraswasta 9 (13%) seseorang mengenai kehidupannya, yang
Freelance 13 (19%) mencakup kepuasan terhadap hidupnya,
PNS 5 (7%) tingginya efek positif dan rendahnya efek
Mahasiswa 4 (5%) negatif. Diener (1994) menyatakan adanya 2
komponen umum dalam subjective well being
Karyawan 70 (100%)
yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif.
Total 39 (56%) a. Dimensi Kognitif
Kepuasan hidup (life satisfaction)
subyek penelitian.
merupakan bagian dari dimensi kognitif
Berdasarkan analisa kualitatif
dari subjective well being. Life Satisfaction
dari kondisi demografi subyek penelitian
(Diener, 1994) merupakan penilaian kognitif
berdasarkan usia, responden ODHA terbanyak
seseorang mengenai hidupnya, apakah
262 Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 258 - 264

kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan Subjective well being dipengaruhi oleh
baik. Ini merupakan perasaan cukup, damai beberapa faktor, yaitu usia, jenis kelamin,
dan puas dari kesenjangan antara keinginan kepribadian, tujuan, spiritualitas dan kualitas
dan kebutuhan dengan pencapaian dan hubungan sosial. Dari sejumlah faktor
pemenuhan. Campbell, Converse dan Rogers tersebut, kepribadian merupakan hal yang
(dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa lebih berpengaruh pada subjective well being
komponen kognitif ini merupakan kesenjangan dibandingkan dengan faktor lainya. Hal ini
yang dipersepsikan antara keinginan dan dikarenakan beberapa variabel kepribadian
pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak. menunjukkan kekonsistenan dengan
Dimensi kognitif subjective well being ini juga subjective well being diantaranya self esteem
mencakup area kepuasan/domain satisfaction (Campbell dalam Diener, 1984) menunjukkan
individu di berbagai bidang kehidupannya bahwa kepuasan terhadap diri merupakan
seperti bidang yang berkaitan dengan diri prediktor kepuasan terhadap hidup. Namun
sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, self esteem ini akan menurun selama masa
kesehatan, keuangan, pekerjaan dan waktu ketidakbahagiaan (Laxer dalam Diener, 1984).
luang. Selain sef esteem, self efficacy
b. Dimensi Afektif merupakan komponen yang ada dalam diri
Dimensi dasar dari subjective well being individu yang merupakan keyakinannya
adalah afek, dimana didalamnya termasuk terhadap kemampuan diri mengendalikan
mood dan emosi yang menyenangkan dan keberfungsian diri dan kejadian di lingkungan.
tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan Bandura (1997) mengemukakan bahwa self
emosi yang menyenangkan ketika mereka efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi,
menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri yaitu :
mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak a. Tingkat (level)
menyenangkan ketika menganggap sesuatu Yaitu penilaian kemampuan individu
yang buruk terjadi pada mereka, karenanya pada tugas yang sedang dihadapinya. self
mood dan emosi bukan hanya menyenangkan efficacy individu dalam mengerjakan suatu
tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas.
itu diharapkan atau tidak (Diener, 2003). Individu memiliki self efficacy yang tinggi
Dimensi afek ini mencakup afek pada tugas yang mudah dan sederhana,
positif yaitu emosi positif yang menyenangkan atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan
dan afek negatif yaitu emosi dan mood yang membutuhkan kompetensi yang tinggi.
tidak menyenangkan dimana kedua afek ini Individu yang memiliki self efficacy yang
berdiri sendiri dan masing-masing memiliki tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat
frekuensi dan intensitas (Diener, 2000). kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
Diener & Lucas 2000 mengatakan dimensi b. Keluasan (generality)
afektif ini merupakan hal yang sentral untuk Yaitu mengacu pada ketahanan dan
subjective well being. Dimensi afek memiliki keuletan individu dalam menyelesaikan
peranan dalam mengevaluasi well-being masalah. Dimensi ini berkaitan dengan
karena dimensi afek memberikan kontribusi penguasaan individu terhadap bidang atau
perasaan menyenangkan dan perasaaan tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan
tidak menyenangkan pada dasar kontinual dirinya memiliki self efficacy pada aktivitas
pengalaman personal. Kedua afek berkaitan yang luas, atau terbatas pada fungsi domain
dengan evaluasi seseorang karena emosi tertentu saja. Individu dengan self efficacy
muncul dari evaluasi yang dibuat oleh orang yang tinggi akan mampu menguasai beberapa
tersebut. Afek positif meliputi simptom- bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu
simptom antusiasme, keceriaaan, dan tugas. Individu yang memiliki self efficacy
kebahagiaan hidup. Afek negatif merupkan yang rendah hanya menguasai sedikit bidang
kehadiran simptom yang menyatakan bahwa yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu
hidup tidak menyenangkan (Synder, 2007). tugas.
Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Subjective Well Being Pada Orang Dengan Hiv/Aids Di Jakarta 263

c. Kekuatan (strength) Berdasarkan hasil yang diperoleh


Yaitu dapat menunjukkan apakah dalam penelitian ini, maka dapat dibuat
self efficacy tetap bertahan dalam berbagai beberapa kesimpulan, yaitu :
macam aktifitas, situasi dan mengacu pada 1. Ada hubungan positif dan signifikan antara
penilaian keyakinan diri berdasarkan aktivitas self efficacy dengan subjective well being
keseluruhan tugas yang dijalaninya. Dimensi pada ODHA di Jakarta. Hal ini mengandung
yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat pengertian semakin meningkat self efficacy
kekuatan atau kemantapan individu terhadap maka semakin meningkat pula subjective
keyakinannya. Self efficacy menunjukkan well being-nya. Dimensi afeksi memiliki
bahwa tindakan yang dilakukan individu akan korelasi yang lebih tinggi daripada dimensi
memberikan hasil yang sesuai dengan yang kognisi dalam variabel subjective well
diharapkan individu. self efficacy menjadi being.
dasar dirinya melakukan usaha yang keras, 2. Dari sampel yang diteliti dapat dilihat
bahkan ketika menemui hambatan sekalipun. bahwa ODHA tertinggi di kelompok masa
Dengan demikian jelas bahwa Self dewasa dini yaitu usia 19-40 tahun yaitu
Efficacy yang tinggi penting untuk dimiliki oleh sebanyak 73% yang merupakan masa
ODHA khususnya, karena hal tersebut akan produktif.
mempengaruhi Subjective well being-nya. 3. Ada kecenderungan ODHA yang bekerja
ODHA dengan Self Efficacy tinggi memiliki sebagai karyawan memiliki subjective
semangat untuk meneruskan kehidupannya well being lebih tinggi.
dengan berlandaskan pada keyakinan diri 4. Ada kecenderungan semakin tinggi usia
yang kuat dalam menyikapi permasalahannya. semakin tinggi pula self efficacy dan
Keyakinan diri ini masuk pada salah satu subjective well being-nya.
faktor yang mempengaruhi Subjective well
being yaitu kepribadian. Dalam kepribadian Saran
mencakup kepuasan terhadap diri yang Saran Teoritis
merupakan prediktor kepuasan dalam hidup Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan
yaitu bagaimana ODHA memandang dirinya, dapat mengaitkan atau membandingkan
tentang kelebihan dan kekurangannya berikut variabel lain yang dapat mempengaruhi
mengakui keterbatasannya dengan berbesar Subjective well being, seperti Hubungan self
hati sehingga mempunyai kepercayaan diri esteem dengan subjective well being untuk pria
yang kuat untuk hidup sukses dan bahagia dan wanita, sehingga dapat memperkaya hasil
meskipun dengan kondisi terinfeksi virus HIV/ penelitian dalam bidang Psikologi Klinis.
AIDS.
Dari uji hasil korelasi antara self efficacy Saran Praktis
dengan dimensi subjective well being diperoleh 1. Bagi ODHA
hasil bahwa dimensi afeksi dari subjective ODHA diharapkan dapat mengontrol
well being memiliki peran yang berbeda, self efficacy dalam kehidupan sehari-
dimensi afeksi lebih besar daripada dimensi hari sebagai salah satu upaya untuk
kognisi dalam subjective well being. Hal ini mempertahankan daya tahan tubuhnya, serta
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh tetap aktif menjalin hubungan dengan pihak
Schimmack, Schupp dan Wagner (2008) yang luar supaya lebih meningkatkan subjective
mengatakan bahwa dimensi-dimensi dalam well being-nya.
subjective well being memberikan kontribusi 2. Bagi Masyarakat
yang berbeda, sehingga satu dimensi tidak bisa Diharapkan masyarakat dapat
menggeneralisasi ke dimensi lainnya. membantu meningkatkan self efficacy ODHA
dengan membuka diri, memberikan semangat
PENUTUP untuk beraktivitas normal dan membantu
memberikan informasi yang diperlukan terkait
Kesimpulan
virus HIV.
264 Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 258 - 264

DAFTAR PUSTAKA Rachmawati, S. 2013. Kualitas hidup orang


dengan HIV/AIDS yang mengikuti
Anand, P.V, & Kumar, Y. 2013. Subjective
terapi antiretroviral. Jurnal Sains Dan
well being f performing artists
Praktik PSikologi, 1, 48–62.
and its relaionship with self-efficacy.
Indian Journal of Positive Psychology, Schimmack, U., Schupp, J., & Wagner, G. G.
4(2), 235-243. 2008. The influence of environment
and personality on the affective and
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian Malang:
cognitive component of subjective well
UMM Press.
being. Social Indic Research, 89, 41–
Bandura, A. 1997. Self-efficacy : The Excercise 60.
of Control. New York: Freeman.
Sharma, N., & Sokhey, G. 2013. Role of self-
Diener, E., & Diener, B. 2008. Happiness : efficacy in quality of life of people
Unlocking The mysteries of living with HIV/AIDS. Jurnal Distance
psychological wealth. S i n g a p o r e : Education Punjabi University, 4(1),
Blackwell Publishing. 162–165.
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., Sorrell, J. M. 2009. Aging toward happiness.
& Griffin, S. 2010. The satisfaction Journal of Psychosocial Nursing, 47,
with life scale. Journal of Personality 3.
Assessment, 49, 71–75.
Spiritia, Y. 3 September 2014. Laporan
Feist, J., & Feist, G. 2010. Teori Kepribadian Terakhir Kemenkes. Diambil dari
(Buku 2.). Jakarta: Salemba. h t t p : / / w w w. s p i r i t i a . o r. i d / S t a t s /
Friedman, H., & Miriam, W. 2006. Kepribadian StatCurr.php?lang=id&gg=1
Teori Klasik dan Riset Moder (3rd ed.). Sugiyono. 2004. Statistika Penelitian.
Jakarta: Erlangga. Bandung: CV Alfabeta.
Hurlock, E. B . 2004. Psikologi Perkembangan Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif
(5th ed.). Jakarta: Erlangga. dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Indonesia, K. A. Informasi AIDS. dalam Tong, Y., & Song, S. 2004. A study on general
http://www.aidsina.org/modules. self-efficacy and subjective well being
php?name=FAQ&myfaq=yes&id_ of low ses college student in chinese
cat=1&categories=HIV-AIDS#1. university. Proquest Psychology
diunduh 1 September 2014 Journal, 38(4), 637.
Indonesia, Y. A. Materi HIV AIDS. dalam Watson, D., Clark, L. A., & Tellegen, A. 1988.
http://www.yaids.com/materi.php Development and validation of brief
Diunduh 3 September 2014 measures of positive and negative
Stigma. n.d.. In Kamus Bahasa Indonesia online. affect : The PANAS Scales. Journal
dalam http://kamusbahasaindonesia of Personality and Social Psychology,
org/stigma 54(6), 1063–1070.
Nurhayati, E. 2012. Kebijakan Pencegahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS di
Provinsi Jabar. Universitas Padjajaran.
Ollins, F. E., Hutton, V. E., & Misajon, R. A.
2012. Subjective well being and felt
stigma when living with HIV. Journal
of Science, 22, 65–73.

You might also like