Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 164

ANALISIS EKOLOGI–EKONOMI PENGELOLAAN

PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG


(Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton,
Provinsi Sulawesi Tenggara)

ABDUL HARIS LAIN

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan Ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis–Ekologi


Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus
Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara)
adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Abdul Haris Lain


Nrp. C252080364
ABSTRACT

ABDUL HARIS LAIN Ecology–Economic Analysis of Fisheries Management


based on Coral Reef Ecosystem (Case Study Liwutongkidi Island Waters, Buton,
Southeast Sulawesi Province) Supervised by LUKY ADRIANTO and
NEVIATY P. ZAMANI.
Coral reef one among the most productive and biologically diverse
ecosystem on the earth. This thesis tries to explore ecological and economic value
of coral reef at Liwutongkidi, Buton District. This study aims to identify: (1)
Identified base substrate composition characteristic, fish community structure (2)
To estimate coral reef ecosystem economical value and (3) To provide coral reef
ecosystem management concept based on ecology-economic model on
Liwutongkidi Islands marine conservation area. The percentage of live coral cover
estimated around 13:01% - 72.50% on the island Siompu, Kadatua and
Liwutongkidi, with the average 46.92% based on lifeform and can be classified as
moderate category. Based on reef fish census was found that the major fish group
was 3,899 individuals, indicator fish groups was 347 individuals, and the target
fish group was 1625 individuals with a diversity between 2.71 - 4.72, which has
mean they were all in medium till high category, the uniformity of reef fish
between 0.69 - 0.92 which has mean a high category and stable communities.
Economy Total (NET) from the direct benefits of coral fisheries resources
utilization in coral Kapoa Village, Villages and Countryside Tongali, Waonu were
respectively Rp. 11.579.106,17, Rp. 43.051.173,27 and Rp. 15.640.846,46 per
month. System analysis and coral fisheries simulation result showed that the third
scenario was more ideal in fish biomass simulation analysis on Liwutongkidi
Islands conservation area and surrounds, there was a reciprocal relationship
amongst catch efforts and fish biomass in a whole time.

Keywords : coral fisheries ecosystem, surplus consumers total utility and total
economic value.
RINGKASAN

ABDUL HARIS LAIN Analisis–Ekologi Pengelolaan Perikanan Berbasis


Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi,
Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). Dibimbing oleh LUKY
ADRIANTO dan NEVIATY P. ZAMANI.

Terumbu karang merupakan ekosistim laut yang sangat kaya akan keaneka
ragaman hayati. Ekosistim ini merupakan habitat berbagai organisme laut yang
membentuk jaring-jaring makanan yang kompleks. Sebagai suatu ekositem alami,
terumbu karang memiliki fungsi dan peranan penting bagi kesuburan perairan laut
dan pada gilirannya bagi perekonomian masyarakat pesisir.
Kondisi perubahan ekosistem terumbu karang Pulau Liwutongkidi dan
sekitarnya dapat diketahui dengan mengkaji perubahan dan pemanfaaatan
terumbu karang melalui pendekatan ekologi-ekonomi sebagai dasar dalam
menentukan pola pendekatan kebijakan yang dilakukan. Adapun tujuan penelitian
ini yaitu (1) mengidentifikasi karakteristik komposisi substrat dasar, struktur
komunitas ikan dan korelasinya dengan habitat di ekosistem terumbu karang
kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi (2) Mengestimasi nilai ekonomi
ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi (3)
menyusun konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan model
ekologi-ekonomi di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi.
Pengambilan data komunitas ikan karang di lokasi penelitian Pulau
Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua menggunakan metode survei Line Intercept
Transect (LIT) (English at.al 1994) dengan beberapa modifikasi CRITIC-
COREMAP LIPI (2004). Terjadinya degradasi terhadap ekosistem terumbu
karang, perlu alat untuk mengukurnya dengan melihat indeks keanekaragaman
(H), Keseragaman (E), dominasi (E), dan pemilihan responden sebagai unit
penelitian dengan metode (purposive sampling). Purposive adalah peneliti yang
menentukan sendiri koresponden yang akan diambil dengan anggapan ataupun
pendapatnya sendiri sebagai sampel penelitiannya. Pengaruh sosial ekonomi
masyarakat menggunakan pendekatan change in productivity atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Effect on Production (EOP) sesuai yang dilakukan oleh
(Cesar 1996) dan (Molberg & Folke 1999).
Kisaran persentase penutupan karang hidup di Pulau Siompu, Kadatua dan
Liwutongkidi antara 13.01% - 72.50%. Rata-rata persentase penutupan 46.92%
berdasarkan lifeform dapat digolongkan kedalam kategori sedang. Analisis indeks
mortalitas karang dengan tingkat kesehatan karang 0.17% – 0.88% memiliki
kesehatan karang yang mendekati nilai 0 adalah rasio kematian karang kecil,
tingkat kesehatan karang tinggi dan apabila mendekati nilai 1 tingkat kesehatan
karang rendah atau rasio kematian karang yang besar.
Hasil sensus kelompok ikan karang menurut family, spesies dan jumlah
individu diklasifikasikan berdasarkan kelompok ikan mayor sebanyak 3899
individu dari 26 famili, kelompok ikan indikator dengan jumlah 347 individu
sedangkan kelompok ikan target adalah 1625 individu dari 17. Keanekaragaman
antara 2.71 - 4.72% termasuk kedalam kategori sedang sampai tinggi,
keseragaman ikan karang antara 0.69 - 0.92 memiliki keseragaman tinggi
komunitas stabil sedangkan dominasi bagi beberapa jenis ikan memiliki kisaran
antara 0.04 - 0.29 yang menunjukan bahwa tidak terdapat dominasi.
Tujuan dari analisis ini adalah mengestimasi nilai manfaat dari ekosistem
terumbu karang dengan menggunakan pendekatan efek produktivitas. Surplus
konsumen, dapat menjadi dasar estimasi nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu
karang . Nilai Ekonomi Total (NET) dari manfaat langsung penggunaan
sumberdaya perikanan karang di Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali
masing-masing adalah sebesar Rp. 11.579.106,17, Rp. 43.051.173,27 dan Rp.
15.640.846,46 per bulan. Hasil analisis system dan simulasi ekosistem perikanan
karang dari skenario 1, 2 dan 3 dapat dikatakan skenario 3 lebih ideal dalam
analisis simulasi biomasa ikan di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi dan
sekitarnya ada hubungan timbal balik antara jumlah penangkapan dengan
biomasa ikan sepanjang waktu.
Untuk menilai keberhasilan ekosistem perikanan karang berkelanjutan
adalah pemantauan dan evaluasi memerlukan informasi yang dikumpulkan secara
periodik, seperti informasi tentang dampak ekologis, tutupan dan jumlah
kepadatan biota dalam kawasan konservasi. Perencenaan pengelolaan wilayah
pesisir tidak dapat diukur dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan di suatu
wilayah, jika tidak dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan
wilayah pesisir itu sendiri. Keberhasilan bukan pada hasil akhir kegiatan, tetapi
hasil monitoring dan evaluasi kegiatan yang sederhana tetapi dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh tesis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor
ANALISIS EKOLOGI–EKONOMI PENGELOLAAN
PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG
(Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton,
Provinsi Sulawesi Tenggara)

ABDUL HARIS LAIN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Judul Tesis : Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan
Berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus
Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton,
Provinsi Sulawesi Tenggara)
Nama Mahasiswa : Abdul Haris Lain
Nomor Pokok : C 252 080 364
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : 3 Agustus 2011 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Judul penelitian yang dipilih untuk penelitian ini adalah Analisis Ekologi-
Ekonomi dalam Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang
(Studi kasus perairan Pulau Liwutongkidi Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi
Tenggara).
Dengan tersusunnya karya ilmiah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada ;
1. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dan masukan yang sangat
berarti kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) beserta segenap dosen dan
staf program studi yang selama ini telah membantu dan memperlancar
penyelesaian studi di IPB.
3. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang
banyak memberikan tanggapan dan masukan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini.
4. Istriku Hajija Hasanella dan putra kami tercinta M. Rezal Laing, M. Mustafa
Laing dan M. Fahril Laing yang telah banyak memberikan dukungan dalam
penyelesaian studi ini.
5. Teman-teman SPL atas kebersamaan, persahabatan dan kerjasama selama
dalam perkuliahan.

Semoga Allah SWT akan memberikan imbalan yang setimpal kepada


semuanya.

Penulis menyadari penulisan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaannya,


sehingga saran dan masukan untuk perbaikan sangat diharapkan.

Bogor, April 2010

Abdul Haris Lain


RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Desa Hila Pulau Ambon pada tanggal 9 Maret 1966
dari ayah Abdul Latip Laing dan ibu Arafiah Launuru. Penulis merupakan anak
pertama dari enam bersaudara.
Tahun 1986 penulis lulus dari Sekolah Menegah Atas negeri 3 Ambon.
Tahun yang sama penulis di terima di Universitas Pattimura Jurusan Pengolahan
Hasil Perikanan.
Tahun 2001 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di Jakarta. Pada tahun 2008 penulis
melanjutkan studi ke IPB dengan sumber pembiayaan dari Coremap II
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xxv
DAFTRA LAMPIRAN ......................................................................... xxvii

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 3
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 4
1.4. Kerangka Pemikiran ................................................................ 4

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang ........................................................................ 9
2.2. Ikan Karang .............................................................................. 12
2.3. Tipe Terumbu Karang ............................................................... 14
2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang ...................................... 14
2.5. Kawasan Konservasi ............................................................... 15
2.6. Pemanfaatan Terumbu Karang ................................................. 17
2.7. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang ............................ 19
2.8. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang ........................................... 21
2.9. Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan .............. 21
2.10. Pengelolaan Berbasis Ekosistem .............................................. 23
2.11. Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem .................. 24

3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 29
3.2. Metode Penelitian ..................................................................... 30
3.3. Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 30
3.4. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 30
34.1. Data Primer .................................................................. 30
34.2. Data Sekunder .............................................................. 31
3.5. Metode Pengambilan Contoh ................................................... 32
3.5.1. Pengambilan Contoh Komponen Biofisik .................. 32
3.5.1.1. Kualitas Perairan ......................................... 34
3.5.1.2. Komunitas Ikan Karang ............................... 34
3.5.1.3. Bentuk Pertumbuhan (lifeform) Komunitas
Karang .......................................................... 35
3.5.2 Metode Pengambilan Contoh Sosial dan Ekonomi ..... 36
3.6. Analisis Data ............................................................................ 38
3.6.1. Analisis Data Ekologi .................................................. 38
3.6.1.1. Persen Penutupan Substrat Dasar ................. 38
3.6.1.2. Indeks Mortalitas ......................................... 39
3.6.1.3. Indeks Keanekaragaman (H) ....................... 39
3.6.1.4. Indeks Keseragaman (E) .............................. 40
3.6.1.5. Indeks Dominasi (C) ................................... 41
3.6.2. Analisis Data Ekonomi ................................................ 41
3.6.2.1. Kerangka Pendekatan Penilaian Valuasi
Ekonomi ........................................................ 41
3.6.2.2. Pendugaan Fungsi Permintaan Terhadap
Sumberdaya Perikanan Karang .................... 41
3.6.2.3. Model Analisis Sistem Perikanan Karang .... 43

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN


4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administratif ........................... 45
4.2. Keadaan Fisik ........................................................................... 46
4.3. Kondisi Biofisik ....................................................................... 46
4.3.1. Kondisi Terumbu Karang ........................................... 46
4.3.2. Kualitas Perairan ........................................................ 47
4.4 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ....................................... 48
4.4.1. Kapal motor/perahu ................................................... 48
4.4.2. Jenis Alat Tangkap ..................................................... 49
4.4.3. Iklim dan Musim Tangkapan ..................................... 49
4.5. Keadaan Sosial Ekonomi .......................................................... 50
4.5.1. Aksesbilitas ................................................................ 50
4.5.2. Kependudukan ........................................................... 51
4.5.3. Karakteristik Koresponden ........................................ 51
4.5.3.1. Umur Responden ....................................... 52
4.5.3.2. Tingkat Pendidikan Responden ................. 53
4.5.3.3. Mata Pencaharian Responden .................... 53
4.5.3.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden.. 54

5. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ....................................... 55
5.2. Kondisi Penutupan Substrat Dasar ........................................... 55
5.3. Komunitas Ikan Karang ............................................................ 63
5.4. Aktifitas Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Karang ................ 69
5.5 Pendugaan Nilai Utility Ekonomi Perikanan Karang ............... 72
5.6. Analisis Pemodelan dalam Perikanan Karang ......................... 79
5.6.1. Konsepsi dan Diskripsi Model ................................... 79
5.6.2. Informasi Dasar dan Asumsi Model .......................... 80
5.6.3. Analisis Pemodelan .................................................... 81
5.7 Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem
Perikanan Karang ..................................................................... 86
5.8. Keberlanjutan Perikanan Karang ............................................. 88
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan ................................................................................... 93
6.2. Saran ......................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 95


DAFTAR TABEL

Halaman
1. Valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama efisiensi, keadilan 27
dan berkelenjutan .................................................................................
2. Jenis dan sumber data primer ............................................................... 31
3. Jenis dan sumber data sekunder ............................................................ 31
4. Parameter kualitas perairan .................................................................. 34
5. Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan
Lifeform dan kodenya ........................................................................... 36
6. Batas wilayah Kecamatan Siompu dan Kecamatan Kadatua ............... 46
7. Kualitas perairan di Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua .................... 47
8. Jarak desa ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten ..................... 50
9. Jumlah kepadatan penduduk dan persebarannya …………………….. 51
10. Jumlah penduduk, kepala keluarga (KK), dan rumah tangga
Perikanan (RTP) ………………………………………………........... 51
11. Klasifikasi umur responden menurut desa ............................................ 52
12. Klasifikasi tingkat pendidikan koresponden ......................................... 53
13. Klasifikasi responden menurut jumlah tanggungan keluarga ............... 54
14. Persentase penutupan karang hidup (karang keras, karang
lunak dan biota lain di Pulau Siompu ................................................... 56
15. Persentase penutupan karang hidup di Pulau Liwutongkidi ................. 58
16. Persentase penutupan karang hidup di Pulau Kadatua ......................... 60
17. Koefisien regresi manfaat sumberdaya perikanan karang pada
perikanan tangkap di Desa Kapoa, Waonu dan Tongali ...................... 73
18. Pendugaan surplus konsumen dari sumberdaya ekosistem
perikanan karang ................................................................................... 74
19. Jumlah nilai ekonomi total (NET)/Bulan dan NET/tahun 77
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Diagram alur penelitian dengan pendekatan ekologi- ekonomi ..... 8
2. Peta lokasi penelitian .................................................................... 29
3. Teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan
menggunakan metode LIT ............................................................ 32
4. Peta lokasi pengambilan data struktur komunitas ikan karang
dan korelasinya ............................................................................. 33
5. Teknik pengumpulan data ikan dengan underwater visual census
(UVC) ........................................................................................... 35
6. Peta pengambilan data sosial ekonomi ......................................... 37
7. Causal loop pengembangan model perikanan karang ................... 44
8. Jumlah perahu/kapal motor Desa Kapoa, Waonu dan Tongali ..... 48
9. Jumlah Alat Tangkap Desa Kapoa, Waonu dan Tongali ............. 49
10. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan
substrat Pulau Siompu .................................................................. 57
11. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar
Pulau Liwutongkidi ...................................................................... 59
12. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar
Pulau Kadatua ............................................................................... 61
13. Kelimpahan kelompok ikan target berdasarkan family
di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua ............................. 65
14. Kelimpahan kelompok ikan mayor berdasarkan family
di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua .............................. 65
15. Kelimpahan kelompok ikan indikator berdasarkan family
di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua .............................. 66
16. Grafik kaenekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominasi (C )
komunitas ikan karang di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan
Kadatua ......................................................................................... 68
17. Visualisasi partisipatif daerah penangkapan ikan 70
18. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang
di Desa Tongali ........................................................................... 75
19. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang
di Desa Kapoa ............................................................................. 75
20. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang
di Desa Waonu ............................................................................ 76
21. Sub model ekologi dan ekonomi perikanan karang .................... 80
22. Grafik simulasi mortality, rekruitment, stok ikan, jumlah
armada penangkapan dan total penangkapan ............................. 82
23. Grafik simulasi rekruitmen dan biomasa ikan dengan
penguranagn jumlah armada penangkapan 0.85% atau 125
armada…………………………………………………………… 83
24. Grafik simulasi rekruitmen dan biomasa ikan dengan
penguranagn jumlah armada penangkapan 0.89% atau 131
armada…………………………………………………………… 85
LAMPIRAN

Halaman
1. Titik koordinat stasiun ....................................................................... 101
2. Kategori karang menurut lifeform ..................................................... 102
3. Jumlah kelimpahan komunitas ikan di semua stasiun ....................... 103
4. Kelimpahan ikan karang berdasarkan jenis, famili, dan jumlah 108
individu di Pulau Siompu ..................................................................
5. Kelimpahan ikan karang berdasarkan jenis, famili, dan
jumlah individu di Pulau Kadatua ..................................................... 109
6. Kelimpahan ikan karang berdasarkan jenis, famili, dan
jumlah individu di Pulau Liwutongkidi ........................................... 110
7. Perhitungan pendugaan nilai utility dan surplus konsumen
pemanfaatan ikan karang di perairan Desa Kapoa ............................ 111
8. Perhitungan pendugaan nilai utility dan surplus konsumen
pemanfaatan ikan karang di perairan Desa Waonu ........................... 116
9. Perhitungan pendugaan Nilai Utility dan surplus konsumen
pemanfaatan ikan karang di perairan Desa Tongali .......................... 121
10. Estimasi panjang ikan dan bobot ikan karang di stasiun penelitian ... 126
11. Perhitungan simulasi model perikanan karang ................................ 131
12. Hasil simulasi biomasa ikan dengan menggunakan 147 kapal .......... 132

13. Hasil simulasi biomasa ikan dengan menggunakan 125 kapal .......... 134

14. Hasil simulasi biomasa ikan dengan menggunakan 131 kapal .......... 136
1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting
dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk
meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk.
Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komperatif karena tersedia
dalan jumlah yang besar dan beraneka ragaman serta dapat dimanfaatkan dengan
biaya eksploitasi yang relatif murah.
Wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik
sebagai sumber pangan, tambang mineral dan enargi, media komunikasi maupun
kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir merupakan tumpuan
harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dimasa mendatang.
Pembangunan di pesisir yang merupakan suatu proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan
sumberdaya alam pesisir. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-
perubahan pada sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya
akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Makin tinggi laju
pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan
makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup terutama
pada ekosistem terumbu karang.
Terumbu karang merupakan ekosistim laut yang sangat kaya akan keaneka
ramana hayati. Ekosistim ini merupakan habitat berbagai organisme laut yang
membentuk jaring-jaring makanan yang kompleks. Sebagai suatu ekositem alami,
terumbu karang memiliki fungsi dan peranan penting bagi kesuburan perairan laut
dan pada gilirannya bagi perekonomian masyarakat pesisir.
Manfaat terumbu karang karang dapat diidentifikasi menjadi manfaat
langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung yaitu manfaat yang
dinikmati secara langsung oleh manusia antara lain pemanfaatan sumberdaya
ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya
yang terkandung didalamnya. Pemanfaatan tidak langsung seperti fungsi terumbu
karang sebagai pelindung pantai, penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati,
dan lain sebagainya.
Apabila di lihat dari luas hamparan terumbu karang, Indonesia memiliki
nomor dua dunia setelah Australia, yaitu mencakup areal sekitar sekitar 42.000
km2 (COREMAP-LIPI, 1998). Estimasi terumbu karang di Indonesia kurang
2
lebih 42.000 km atau 16.50% dari luas total terumbu karang di dunia.
Selanjutnya (Veron 1995) mengemukakan terumbu karang Indonesia merupakan
pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 ganera dan 450 spesies. Namun
dari tahun ke tahun terumbu karang Indonesia kondisinya sudah cukup
memprihatinkan. Berdasarkan data, diketahui bahwa kondisi terumbu karang
Indonesia tinggal 6,51% dalam kondisi sangat baik, 26,04% kondisi baik, 34,71 %
kondisi sedang, dan 32,74% pada kondisi rusak (COREMAP 2001 in Yatin dan
Irmadi 2003). Selanjutnya (P2O-LIPI 2006) terumbu karang Indonesia dalam
keadaan rusak 39.50%, sedang 33.50%, baik 21.70%, dan hanya 3.50% keadaan
sangat baik. Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh dua sebab utama
yaitu permasalahan yang terjadi akibat kegiatan manusia dan permasalahan yang
timbul akibat oleh alam.
Sejalan dengan permasalahan penurunan kondisi terumbu karang yang
terjadi di atas perubahan kondisi terumbu karang Pulau Liwutongkidi secara
umum disebabkan oleh kegiatan manusia. Dari hasil penelitian dengan metode
Line Intercept Transect (LIT) oleh dinas kelautan dan perikanan kabupaten Buton
dalam laporan tahun 2007 digambarkan bahwa terumbu karang pada Pulau
Liwutongkidi dan sekitarnya terjadi kerusakan sangat kritis dibeberapa lokasi
pada kedalaman 3 m dan 10 m. Selanjutnya informasi dari beberapa nelayan
bahwa kerusakan terumbu karang ini disebabkan karena faktor manusia yaitu
nelayan menangkap ikan dengan cara menggunakan potasium, bubu dan bom.
Praktek penangkapan ikan di kawasan Pulau liwutongkidi dengan cara
seperti ini mengakibatkan ikan-ikan kecil dan hewan karang yang berklorofil
(zooxanthellae) akn menjadi punah, sehingga terancam kelestarian ekosistem dan
spesies. Jika hal tersebut didiami dan kerusakan ini terus berlnjut tanpa adanya
suatu usaha perbaikan, maka akan menyebabkan kehilangan suatu komoditas
yang berharga sehingga pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya akan menurun.
Kondisi ini mendorong adanya upaya pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
perikanan karang lebih kearah berkelanjutan.
Untuk mengetahui kondisi perubahan ekosistem terumbu karang di Pulau
Liwutongkidi dan sekitarnya, maka perlu dilakukan penelitian atau kajian yang
berhubungan dengan potensi, perubahan dan pemanfaatan ekosistem terumbu
karang sehingga akan diketahui keadaan akhir dari ekosistem terumbu karang
tersebut.
Wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi memiliki potensi sumberdaya laut
yang besar, apabila potensi tersebut tidak dikelola secara terpadu. Keterpaduan ini
diperlukan dengan memperhatikan hubungan antara komponen-komponen
sumberdaya dalam suatu model, sehingga kelestarian sumberdaya pesisir dapat
terjaga.
Melihat kondisi terumbu karang dewasa ini serta pentingnya nilai ekologis
maupun ekonomi dari terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya bagi
kehidupan manusia, maka perlu menyusun suatu Analisis Ekologi-Ekonomi
Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang di pulau
Liwutongkidi Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.2. Perumusan Masalah


Masyarakat sekitar Pulau Liwotongkidi yang hidup di wilayah pesisir
seperti nelayan dan petani kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam
pesisir. Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam pesisir yang rentan tersebut
berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya penduduk
Kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir disebabkan oleh
berbagai aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang
sebagai komoditas perdagangan ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh
pengguna bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan ini dapat dijumpai
dibeberapa lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang rusak secara fisik.
Menurut Bappeda (2005), di perairan Kecamatan Siompu pada titik
koordinat 050 40’ 23” LS, 120 33’ 57’’ BT kondisi penutupan karang 50- 75
% dan di Kecamatan Kadatua pada titik koordinat 050 31’21’’ LS 120 28’14’’
BT, kondisi penutupan karang 25-35 %. Selain itu juga penambangan karang
untuk bahan bangunan rumah dan jalan. Permasalahan pengelolaan sumberdaya
pesisir juga tidak terlepas dari rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai
yang sebenarnya dari sumberdaya tersebut secara keseluruhan. Selama ini
pemanfaatan oleh masyarakat terhadap sumberdaya pesisir seperti perikanan,
terumbu karang, hutan mangrove dan lain sebagainya lebih berorientasi kepada
pemanfaatan seketika tanpa memperhitungkan keberlanjutannya.
Agar terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati pesisir dan lautan
serta ekosistemnya dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan produksi
perikanan, maka perlu suatu model pengkajian dengan pendekatan secara ekologi-
ekonomi berbasis terumbu karang dengan menjawab beberapa pertanyaan
mendasar yaitu :
1. Bagaimana karakteristik ekologis khususnya kondisi ekosistem terumbu
karang dan ikan-ikan karang
2. Bagaimana pemanfaatan optimal perikanan karang secara berkelanjutan
3. Bagaimana model pengelolaan perikanan karang berbasis ekosistem.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi karakteristik komposisi substrat dasar, struktur komunitas
ikan dan korelasinya dengan habitat di ekosistem terumbu karang kawasan
konservasi Pulau Liwutongkidi
2. Mengestimasi nilai ekonomi ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi
Pulau Liwutongkidi
3. Menyusun konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan model
ekologi-ekonomi di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar bagi
pengelola ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi laut Pulau
Liwutongkidi.
2. Sebagai bahan acuan dalam, perencanaan, kebijakan, pemanfaatan dan
pengelolaan ekosistem terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan.

1.4. Kerangka Pemikiran

Kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi, Sebagai kawasan kaya akan


sumberdaya hayati yang cukup tinggi, dengan kekayaan sumberdaya hayati yang
cukup tinggi dan sebagai daerah nursery ground dan spawning ground maka
kawasan tersebut dikelola dengan baik. Pemanfatan kawasan pesisir Pulau
liwutongkidi dan sekitarnya akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan dan berdampak
penurunan sumberdaya alam dan lingkungannya. Kondisi ini mendesak kita
untuk berbuat sesuatu untuk tujuan perlindungan kawasan ini melalui pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut. Sebagai salah satu dasar pengelolaan, maka
pengelolaan secara ekologi-ekonomi di kawasan ini menjadi sangat penting untuk
memahami sejauh mana pemanfaatan Kawasan Konservasi Laut ini memberikan
manfaat baik itu manfaat langsung maupun tidak langsung, manfaat ekonomi
ataupun manfaat non ekonomi terhadap masyarakat di wilayah pesisir.
Semua sumberdaya laut tersebut harus dimanfaatkan secara terencana dan
terarah. Tanpa adanya suatu perencanaan yang matang dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya tersebut dapat mengancam kelestarian ekosistem sumberdaya itu
sendiri, selanjutnya juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya
hayati laut yang dapat dimanfaatan oleh manusia. Sehingga pemanfaatan potensi
sumberdaya tersebut mutlak harus dilakukan dengan memperhatikan asas
keberlanjutan.
Pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan sangat penting dan harus
dilakukan. Keberadaan ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat
mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang dapat
berfungsi secara optimal maka produksi perikanan ikan akan meningkat sehingga
secara tidak langsung akan memberikan keuntungan baik secara sosial maupun
ekonomi.
Perikanan bukanlah kegiatan ekonomi semata, namun sudah merupakan
jalan hidup sebagian besar nelayan kecil di daerah tropis. Oleh karena itu
pendekatan sosial-ekologi yang mengakomodasikan aspek ekologi dan ekonomi
dalam suatu sistem layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya
ikan ke depan.
Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu proses atau upaya untuk
mengendalikan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam diwilayah
pesisir, sehingga dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat, sekarang dan dimasa mendatang. Oleh karena itu untuk menyelidiki
cara pengelolaan yang baik, sifat ekosistem terumbu karang yang dinamis dan
kondisi lingkungan yang unik perlu dipahami terlebih dahulu. Adanya kesamaan
perspektif tentang tujuan, pola pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem terumbu
karang merupakan wahana untuk mencapai keuntungan bagi masyarakat.
Selanjutnya kualitas ekosistem terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat lokal terhadap berbagai kriteria suatu model pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem perikanan karang dengan menggunakan pendekatan ekologi
dan pendekatan ekonomi.
Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem khas pesisir tropis
yang memiliki berbagai fungsi penting, baik secara ekologis maupun ekonomis.
Fungsi ekologis tersebut adalah penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung
fisik, tempat pemijahan biota perairan, tempat bermain, dan asuhan bagi berbagai
biota. Di samping fungsi ekologis, terumbu karang juga menghasilkan berbagai
produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang,
udang karang, alga, teripang, dan lain-lain.
Pendekatan ekologi dari ekosistem terumbu karang adalah salah satu faktor
yang sangat penting untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada
struktur komunitas ikan yang meliputi persen penutupan karang,
keanekaragaman, keseragaman dan dominasi dari karang serta ikan-ikan karang
serta melihat korelasi antara ikan dan karang. Deskripsi kondisi terumbu karang
menggunakan metode survei Line Intercept Transect (LIT) dengan panjang
transek 70 m pada kedalaman antara 3 - 10 m sejajar garis pantai.
Pendekatan ekonomi dari aspek ekonomi perikanan karang ditentukan
berdasarkan nilai penggunaan langsung (direct use value) dan nilai penggunaan
tidak langsung (indirect use value). Nilai penggunaan langsung berupa produksi
yang dapat langsung dari suatu ekosistem contoh manfaat perikanan ikan
konsumsi dan ikan hias, sedangkan nilai penggunaan tidak langsung sulit untuk
ditetapkan karena nilainya selalu tidak tetap seperti fungsi ekosistem karang
sebagai natural breakwater, dan habitat bagi berbagai jenis ikan karang.
Selain itu terumbu karang menyediakan berbagai pemakaian langsung dan
tak langsung yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir
sekitar Pulau Liwutongkidi. Pemakaian yang paling dominan dan paling bernilai
adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari sumberdaya perikanan laut yang
didukung oleh ekosistem terumbu karang.
Pendekatan ekologi dan ekonomi dijadikan dasar dalam menentukan pola
pendekatan kebijakan yang akan dilakukan. Mengkaji sebuah model pendekatan
ekologis-ekonomis sehingga pengelolaan perikanan berbasis terumbu karang
menjadi pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya
pesisir secara terpadu adalah suatu proses interaktif dan evolusioner untuk
mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan.
Dalam menyususn model pengelolaan ekologi-ekonomi dalam
pemanfaatan ekositem perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi,
dengan menggunakan software Stella 9.02 sebagai tools yang komprehensif
untuk menggambarkan terkaitnya kegiatan pemanfaatan ekologi-ekonomi
ekosistem terumbu karang. Mengidentifikasi akar permasalahan yang mendasari
penurunan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi, dan
menentukan skenario pengelolaan yang tepat untuk mengurangi tekanan kegiatan
pemanfaatan pada ekosistein terumbu karang. Sehingga tujuan akhir dari
pengelolaan perikanan berkelanjutan bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin
pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh
segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta
kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara
lestari. Secara diagramatik kerangka pemikiran penelitianini disajikan pada
Gambar 1 dibawah ini.
Kawasan Konservasi Laut
Pulau Liwutongkidi

Ekosistem Terumbu
Karang

Identifikasi Aspek Struktur Identifikasi Aspek Ekonomi


Komunitas Ikan Karang Perikanan Karang

 Persen penutupan substrat  Sistem perikanan karang


dasar  Pola pemanfaatan dan pengelolaan
 Indeks Mortaitas perikanan karang
 Keanekaragaman  Nilai ekonomi sumberdaya
 Keseragaman dan perikanan karang
 Dominasi

Analisis Ekologi-
Ekonomi Perikanan
Karang

Model Pengelolaan Perikanan


Berbasis Ekosistem

Keberkelanjutan
Perikanan Karang

Gambar 1. Diagram alur penelitian dengan pendekatan ekologi-ekonomi


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis. Meskipun
terumbu karang ditemukan diseluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis
terumbu karang dapat berkembang. Terumbu terbentuk dari endapan-endapan
masif terutama kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan organisme karang, alga
berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat.
Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik dan
keanekaragaman spesies penghuninya yang tinggi.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan
keanekaragaman jenis biota laut seperti: (1) beraneka ragam avertebrata: terutama
karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta
ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut;
(2) beraneka ragam ikan : terutama 50 – 70% ikan karnivora oportunistik, 15%
ikan herbivora dan sisanya omnivora; (3) reptil seperti ular laut dan penyu laut;
(4) ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun
(Bengen 2001).
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup
didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat
menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan
hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur,
dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan
terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral )
sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang
(coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan
penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan
dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya,
karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung
dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun
pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi
banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang
ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan
karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan
didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini
merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan yang
mencolak antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang
hermatik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis (hidup bersama) yang
dinamakan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular),
seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip
binatang karang dan melaksanakan fotosistesis.
Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang
struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk
menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai
sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah
pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini
hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya
matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup
binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC
(Nybakken 1986). Menurut (Veron 1995) terumbu karang merupakan endapan
massif (deposit) padat kalsium (CaCo 3) yang dihasilkan oleh karang dengan
sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme -
organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo 3).
Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu
(Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang
pembangun terumbu (reef-building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas
Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium
polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia
(Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul,
morfologi dan fisiologi. Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah
organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan
sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al (2002)
sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu
zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae
menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan
dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik
berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Cahaya matahari memiliki peranan penting bagi proses pembentukan
terumbu karang (Nybakken 1986). Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis
alga simbotik (zooxanthellae). Kedalaman penetrasi sinar mempengaruhi
kedalaman pertumbuhan karang hermatipik. Kebutuhan oksigen untuk respirasi
fauna di suatu terumbu karang dapat diatasi dengan adanya alga simbiotik yang
disebut zooxanthellae. Oksigan tambahan tersebut dihasilkan dari proses
fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada cahaya matahari.
Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut merupakan hal
penting untuk fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada
cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut
merupakan hal yang penting untuk fotosintesis zooxanthellae yang selanjutnya
akan menentukan pula sebaran vertikal karang batu yang mengandungnya.
Semakin dalam laut semakin kurang intensitas cahaya yang dapat mencapainya,
berarti semakin kecil pula produksi oksigen oleh zooxanthellae (Soekarno et al.
1993).
Salinitas berpengaruh besar terhadap produktifitas terumbu karang.
Teumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran salinitas 32 – 35 %o namun
terdapat juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai dengan 42
%o (Nybakken 1992). Sedangkan Nontji (1987) mengemukakan bahwa toleransi
organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 27–40 %o.
Pertumbuhan terumbu karang ke arah atas dibatasi oleh udara. Banyak
karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga
pertumbuhan kearah atas terbatas hanya sampai tingkat air surut terendah.
Kekeringan terlalu lama akibat surut besar mengakibatkan kematian karang
Nybakken (1992). Pergerakan air laut atau arus diperlukan untuk kelangsungan
hidup terumbu karang, kebutuhan makanan dan oksigen maupun menghindarkan
karang dari timbunan endapan atau bahan pencemar lainnya. Pada siang hari
pasokan oksigen diperoleh dari hasil fotosintesis, sedangkan pada malam hari
sangat diperlukan arus kuat yang dapat memberikan oksigen cukup bagi fauna di
terumbu karang.
Selain itu kondisi substrat sangat berperan bagi pertumbuhan karang.
Substrak yang keras dan bersih diperlukan sebagai tempat melekatnya larva
planula, sehingga memungkinkan pembentukan koloni baru.

2.2. Ikan Karang


Banyak spesies ikan menunjukkan kesukaan terhadap habitat tertentu.
Menurut Robetson (1996) Komunitas ikan karang (kelimpahan dan struktur)
dipengaruhi oleh interaksi kompetisi diantara spesies tersebut.
Menurut Choat dan Bellwood (1991) interaksi ikan karang dengan terumbu
karang dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu :
1. Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan
muda
2. Interaksi dalam mencari makan bagi ikan yang mengkonsumsi biota pengisi
habitat dasar, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup
pada karang dan alga
3. Interaksi tidak langsung antara struktur terumbu karang dan kondisi hidrologi
serta sedimentasi dengan pola makan ikan pemakan plankton dan karnivor.
Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi
terumbu karang itu sendiri. Prsentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya
akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Dan sebaliknya, bila
presentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahana ikan karang akan sangat
berkurang. Berdasarkan peranannya Adrim (1993) dan English et al (1997)
membagi ikan-ikan karang atas tiga kelompok yaitu :
1. Ikan Target. Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal
juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Serranidae,
Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae
Labridae (Chelinus, Himigymnus, choerodon) dan Haemulidae.
2. Ikan Indikator. Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat
hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili
Chaetodontidae (kepe-kepe).
3. Ikan Lain (Mayor Famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan
dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,
Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae dan lain-lain).
Berdasarkan periode aktif mencari makan, maka ikan karang terbagi atas :
1. Ikan Nokturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku
Holocentridae (Swanggi), Suku Apogoninade (Beseng), Suku Hamulidae,
Priacanthidae (Bigeyes), Muraenidae (Eels), Seranidae (Jewfish) dan
beberapa dari suku dari Mullidae (Goat fishes) dan lain-lain.
2. Ikan Diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku
Labraidae (wrasses), Chaetodontidae (Butterfly fishes), Pomacentridae
(Damsel fishes), Scaridae (Parrot fishes), Acanthuridae (Surgeon fishes),
Bleniidae (Blennies), Balistidae (Trigger fishes), Pomaccanthidae (Angel
fishes), Monacanthidae, Ostracionthidae (Box fishes), Etraodontidae,
Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (Goat fishes)
3. Ikan Crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari suku
Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (Groupers), Carangidae (Jacks),
Scorpaenidae (Lion fishes), Synodontidae (Lizard fishes), Carcharhinidae,
Lamnidae, Spyrnidae (Sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels).

Menurut Aninomous (2005), jenis dan komposisi ikan karang pada daerah
rataan terumbu karang di perairan Pulau Liwutongkidi pada tiap stasiun bervariasi
antara 8 – 49 jenis dengan jumlah individu 128 – 1972 ekor untuk kedalaman 3
meter dan untuk kedalaman 10 meter jumlah jenis bervariasi antara 10 – 65 jenis
dengan jumlah individu antara 214 – 1817 ekor. Sedangkan pada daerah tubir
jenis ikan berkisar 10 – 25 jenis dan 29 – 52 jenis dengan jumlah individu perjenis
masing-masing berkisar 259 – 883 ekor dan 399 – 1076 ekor.
Jenis biota yang ditemukan pada terumbu karang sangat bervariasi, dan
sangat potensial dalam mendukung pengembangan ekowisata bahari. Beberapa
jenis biota yang banyak ditemukan diantaranya; crustace (lobster dan kepiting),
molusca, (kerang-kerangan, teripang), dan Echinodermata (bulu babi). Jenis ikan
karang yang banyak ditemukan diantaranya; Pterocaesio digrama (617 individu ),
Abodefduf vaigiensis (200 individu), Pterocaesio tesselata (148 individu),
Chroronis ambonensis (101 invidu), Apogon nigrofasciatus (96 individu),
Centropige ravissimus (92 individu), Chaetodon klenii (92 individu), Apogon
deoderleinii (76 individu), Centropige nox (63 individu), dan Apogon
novemfasciatus ( 48 individu) (Aninomous 2005).
2.3. Tipe Terumbu Karang
Menurut Nybakken (1986) terumbu karang dikelompokan menjadi tiga tipe
struktural umum yaitu :
1. Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
2. Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
3. Terumbu karang cincin (atol)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum
dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998).
Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :
1. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh keatas
atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup
arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung
mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering
mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
2. Terumbu karang tipe penghalang (barrief reef ) terletak di berbagai jarak
kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang
terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya
memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan
merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya
adalah the greaat barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia
dengan panjang 1.350 mil.
3. Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman
goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang
penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi
Selatan.

2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang


Berbagai usaha pemanfaatan sumberdaya laut telah dilakukan, tetapi masih
banyak pula usaha pemanfaatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku
Penyimpangan usaha pemanfaatan sumberdaya laut akan menimbulkan masalah-
masalah bagi kelestarian sumberdaya alam yang ada. Beberapa masalah yang
terjadi di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya
pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan, sumber bahan
bangunan, komoditas perdagangan ikan hias sebagian besar di karenakan oleh
penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida.
Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pada ekosistem
terumbu karang yang disebabkan oleh (1) rendahnya pemahaman masyarakat
tentang nilai sumberdaya pesisir ini berakibat pada eksploitasi yang cenderung
dan kurang ramah lingkungan (2) perlindungan dan kelestarian laut hanya dapat
secara efektif dilaksanakan apabila ditunjang dengan kerangka hukum yang
memadai; (3) terlalu banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir; (4) jumlah dan keragaman kepentingan masyarakat di wilayah pesisir
adalah tinggi; (5) pengambilan karang yang khas untuk dijual sebagai hiasan pada
akuarium; (6) keserakahan.

2.5. Kawasan Konservasi


Konservasi dalam pengertian adalah pemanfaatan sumberdaya alam
secara berkelanjutan. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan
ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan
sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi
merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Konservasi bukan saja untuk menjaga sumberdaya dan mempertahankan
keberadaan plasma nutfa, namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan
peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Dengan upaya
konservasi ini berarti tersedia juga sarana bagi pengembangan pemanfaatan,
pendidikan, pariwisata dan penelitian.
Kawasan konservasi menuntut adanya proses perencanaan dan tahapan
pengelolaan dari suatu kerangka pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan
suatu sumberdaya alam haruslah mengacu pada strategi konservasi yaitu :
1. Melindungi terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin
terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan
ekosistemnya.
2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin
terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan manusia.
3. Pelestarian di dalam pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu
dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatannya sehingga diharapkan dapat
dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.
Dalam upaya penyelamatan dan pemeliharaan kekayaan sumberdaya laut
dimasa mendatang perlu diadakan suatu sistem pengelolaan disesuaikan dengan
kebutuhan dan kepentingan nasional dengan memperhatikan kategari yang telah
diperkenalkan oleh IUCN (International Union for Concervation Nature and
Natural Resources). Selanjutnya (Salm dan Clark 2000) mengemukakan enam
kategori manajemen kawasan konservasi yang dapat dikembangkan. Kategori-
kategori tersebut adalah :
1. Kategori I adalah Kawasan Suaka Alam yang ditetapkan untuk pengelolaan
kehidupan liar (kategori Ib) sedangkan Cagar Alam untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dimasukan kedalam kategori Ia.
2. Kategori II adalah Taman Nasional yang merupakan suatu kawasan lindung
yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem atau rekreasi
3. Kategori III adalah Monumen Alam yang merupakan suatu kawasan lindung
yang dikelola terutama untuk melindungi daerah yang memiliki keadaan alam
khusus.
4. Kategori IV adalah Pengelolaan Daerah Habitat Suatu Jenis tertentu yang
merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan
ekosistem atau rekreasi
5. Kategori V adalah Perlindungan Landsekap Darat dan Perairan adalah
pengelolaan daerah perlindungan terutama untuk kegiatan konservasi maupun
wisata.
6. Kategori VI adalah Pengelolaan Daerah Sumberdaya yang dilindungi
terutama untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang secara berkelanjutan.
Zona perairan konservasi merupakan wilayah yang dijaga dan dilindungi
kelestariannya. Wilayah ini dinyatakan terlarang untuk eksploitasi dan eksplorasi
serta merupakan daerah penyangga. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi
didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan.
Kawasan konservasi laut sering dianggap sebagai kawasan yang
diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan
konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan
perikanan dan pariwisata.
Aktivitas didalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi
sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan (Bengen 2001). Secara
umum zona – zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokan atas 3 (tiga)
zona yaitu :
1. Zona inti adalah zona yang memiliki nilai konservasi tinggi, juga sangat
rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sedikit
aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang
tinggi, serta tidak dapat diijinkan adanya aktvitas eksploitasi.
2. Zona Penyangga merupakan zona yang bersifat terbuka, tetapi dikontrol dari
beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga disekeliling
zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai
aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu, dan melindungi kawasan
konservasi dari pengaruh eksternal.
3. Zona Pemanfaatan adalah zona yang masih memiliki nilai konservasi tertentu,
tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak
bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan
konservasi di pesisir dan laut.
Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untuk kawasan konservasi di
pesisir dan laut menuntuk penerapan kriteria. Penerapan kriteria ini sangat
membantu dan mengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungan secara objektif.

2.6. Pemanfaatan Terumbu Karang


Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan
mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun
dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi
sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung
sering merusak terumbu karang. Menurut (Supriharyono 2000) beberapa
aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu :

(1). Perikanan terumbu karang


Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan
keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan.
Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis
ikan yang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak
bisa diabaikan pada pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dengan
meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan
di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara
intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di
ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa
pulih kembali.
Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis
target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan.
Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada
pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan
yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang.

(2). Penangkapan Ikan Karang


Sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya
lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang digunakan untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia
berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Adanya
interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan serta manusia sebagai
pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut
dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem (Nikijuluw 2002).
Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya
ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih
lanjut (Murdiyanto 2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan
dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasi yang akurat,
sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi
masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya
perikanan dapat berhasil dengan baik
Manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya akan
melakukan kerja apa pun juga. Nelayan dalam upaya memenuhi permintaan pasar
akan ikan laut hias tentunya akan berusaha sekuatnya untuk memenuhi
permintaan tersebut. Namun kadangkala, nelayan lupa akan kaidah kelestarian
sumberdaya ikan sehingga pada saat menangkap ikan laut hias akan dilakukan
dengan berbagai upaya (dengan menggunakan jaring khusus) bahkan sampai
merusak terumbu karang sekalipun (dengan menggunakan bius potassium
sianida).
2.7. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang
Dari ancaman – ancaman terhadap terumbu karang saat ini hal yang sangat
mendesak yang perlu dilakukan adalah tindakan penilaian ekonomi terhadap
berbagai macam fungsi terumbu karang baik sebagai pensuplai barang dan jasa.
Penilaian bisa dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai
yang mempunyai nilai pasar. Dimana nilai bisa diturunkan berdasarkan pada
permintaan (demand), penawaran (supply), harga (price) dan biaya (Cost)
(Spurgeon 1992).
Selanjutnya Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari
ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada
padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh
instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi
melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/TEV).
Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to
pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat tiada nilai pasar
(non market value).
Menurut Fauzi (2004) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya
untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value)
maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya
merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik
penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang
diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain
digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam
dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan
penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan itu sendiri.
Dijelaskan juga oleh Fauzi (2004) bahwa terdapat tiga ciri yang dimiliki
oleh sumberdaya yaitu:
1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah
mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan, maka
kecenderungannya akan musnah.
2. Adanya ketidakpastian, misalnya terumbu karang rusak atau hilang. Akan ada
biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut
mengalami kepunahan.
3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya
akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya.
Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang
komprehensif.
Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga
nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak
terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam.
Menurut Constanza dan Folke (1997) in Adrianto (2006) tujuan valuasi
ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu
yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Selanjutnya
Constanza (2001) in Adrianto (2005) menyatakan untuk tercapainya ke tiga
tujuan diatas, perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu
efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan .
Menurut Charles (1993) pembangunan perikanan berkelanjutan harus
mengadopsikan konsep pembangunan perikanan yang mengandung beberapa
aspek yaitu :
1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pengelolaan ekologi
secara berkelanjutan biomasa atau stok harus diperhatikan sehingga tidak
melewati daya dukung serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari
ekosistem menjadi perhatian utama.
2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi) adalah
pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari
kesejahteraaan penduduk dan pengurangan kemiskinan. Dengan kata lain
mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih
tinggi.
3. Community sustainability merupakan suatu kerangka keberlanjutan
kesejahteraan yang menyangkut komunitas masyarakat haruslah menjadi
perhatian pembangunan perikanan berkelanjutan.
4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan) keberlanjutan
kelembagaan menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang
sehat.
2.8. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang
Strategi dunia mengenai konservasi terumbu karang diidentifikasikan
sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang
berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan produksi makanan, kesehatan dan
berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang
berkelanjutan. Menurut Dahuri et al (2001) beberapa nilai fungsi dari terumbu
karang antara lain:
1. Nilai ekologis, terumbu karang menjaga keseimbangan kehidupan biota laut
dan hubungan tibal balik antara bitao laut dengan faktor abiotik.
2. Nilai ekonomis, sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai komoditi yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
3. Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama yang indah di
kedalaman laut yang dapat dimanfaatkan sebagai wisata bahari.
4. Nilai biologis, yakni sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur
keseimbangan ekosistem perairan.
5. Nilai edukasi, yakni sebagai obyek penelitia dan pendidikan.

Selain itu terumbu karang mempunyai fungsi yang penting antara lain:
1. Sebagai habitat sumberdaya ikan, dalam hal ini dikenal sebagai tempat
memijah, bertelur, mengasuh, mencari makan dan berlindung bagi biota laut.
2. Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budi daya perikanan.
3. Sebagai sumber berbagi makanan dan bahan baku subtansi aktif yang berguna
bagi dunia farmasi dan kedokteran.
4. Sebagai pelindung dari pantai dari gelombang laut sehingga pantai dapat
terhindar dari degrasi dan abrasi.

2.9. Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan


Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu
dirumuskan suatu konsep penataan ruang (spatial plan) serta berbagai pilihan
objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan
pengelolaan wilayah pesisir mengandung 5 dimensi dalam Integrated Coastal
and Ocean Management (ICOM) yaitu (1) keterpaduan antar sektor; (2)
keterpaduan spasial; (3) keterpaduan pengelolaan berbasis pengetahuan; (4)
keterpaduan kelembagaan; dan (5) keterpaduan internasional. Keterpaduan secara
sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal
integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan
keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan
wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi,
teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan
mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem
alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis (Cicin-Sain and Knecht 1998).
Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai
berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan
akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program
aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir
secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan
utama : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4)
evaluasi (Cicin-Sain and Knecht 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan
pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan,
potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian
ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta
strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut.
Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautn itu sendiri. Perubahan-
perubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan
hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan laut, makin tinggi
pula tingkat pemnfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak
mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan
hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir.
(Dahuri et al. 2001 ). Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan
berkelanjutan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku untuk
mengurangi akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan.
2.10. Pengelolaan Berbasis Ekosistem
Pengelolaan berbasis ekosistem adalah merupakan suatu konsep
pengelolaan sumberdaya alam secara modern. Selanjutnya (Cornett 1994)
mendefinisikan pengelolaan ekosistem berbasis perikanan dalam paradigma
biofisik dan sosial sebagai indikator yang perlu diperhatikan dari sudut pandang
keindahan, kesehatan dan kehidupan ekosistem itu secara berkelanjutan. Terumbu
karang dilihat dari produktifitas, keanekaragaman biota dan estetikanya memiliki
potensi sumberdaya yang sangat besar. Sumberdaya ini dapat dimanfaatkan
sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan keberlanjutannya
dan kelestariannya. Upaya pemanfaatan yang optimal perlu dilakukan agar dapat
menunjang pembangunan secara berkelanjutan, dan menjadi sumber pendapatan
bagi masyarakat.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan
(strategic plan), mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan
(proporsionality) antar dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin
ilmu dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders). Agar potensi sumberdaya
alam ini dapat dimanfaatkan sepanjang masa dan berkelanjutan diperlukan upaya
pengelolaan yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam arti memperoleh
manfaat yang optimal secara ekonomi akan tetapi juga sesuai dengan daya dukung
dan kelestarian lingkungan. Sehingga dalam pengelolaan tidak hanya
memanfaatkan akan tetapi juga memelihara dan melestarikannya.
Pengelolaan berbasis ekosistem di suatu kawasan, harus ada payung
hukum dalam melindungi lingkunagan, dan mempertahankan ekosistem agar
keanekaragaman sumberdaya hayati selalu terjaga dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan dan lestari.
Berdasarkan pengelolaan ekosistem perikanan yang dikembangkan oleh
United Nations Environmental Programme (UNEP) dengan pendekatan
pengelolaan dalam pengembangan Ecosistem Based Management (EBM) perlu
mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan kondisi wilayah ekologi, sosial
dan ekonomi yaitu :
1. Integrasi kondisi ekologis, sosial-ekonomi dan tujuan pengelolaan perlu
melibatkan masyarakat sebagai komponen penting dari ekosistem.
2. Batasan pengelolaan perlu mempertimbangkan kondisi ekologi dan politik.
3. Pengelolaan adaptip perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan dan ketidak
kepastian akibat dari proses alam dan sistem sosial.
4. Pemahaman tentang bagaimana proses dan ekosistem merespons gangguan
lingkungan.
5. Keberlanjutan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut

Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk


memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan
pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem yang berpusat pada masyarakat dan
dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu
aspek ekonomi dan ekologi. Hal ini dikenal dengan pengelolaan sumberdaya
pesisir terpadu berbasis masyarakat (Zamani dan Darmawan 2000). Di samping
itu juga diperlukan upaya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat
umumnya dan khususnya penduduk yang ada di wilayah pesisir terhadap
pentingnya sumberdaya alam dalam menunjang kehidupan saat ini dan generasi
mendatang.

2.11. Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem


Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang
unik dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan berbagai
pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang mempunyai kepentingan
dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya di wilayah pesisir.
Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik
wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing
kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan
wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan
kebijakan dan instrumen kelembagaan yang berbeda satua sama lain dalam
mengelola wilayah pesisirnya. Model pengelolaan wilayah pesisir untuk
kabupaten/kota di Indonesia, khususnya dengan keluarnya UU no 22 Tahun 1999
secara formal belum pernah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Sebagai konsekuensi dengan keluarnya kebijakan desentralisasi melalui
UU nomor 22 tahun 1999, pengelolaan wilayah pesisir menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota. Model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten
disusun berdasarkan karakteristik ekosistem wilayah pesisir dan diturunkan pada
instrumen kelembagaan yang ada di pemerintah daerah kabupaten. Dalam
penyusunan model diterapkan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem sebagai sebuah ekosistem yang unik. Membangun sebuah model dalam
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem diperlukan beberapa tahapan sehingga
hasilnya dapat dipercaya.
Tahapan suatu model dalam ekosistem wilayah pesisir untuk membangun
sebuah model Fauzi dan Anna (2008) diperlukan beberapa tahapan sebagai
berikut :
1. Identifikasi masalah dibangun dari beberapa pertanyaan, menjadi sangat
penting untuk membangun suatu model
2. Membangun asumsi-asumsi, hal ini diperlukan untuk menyederhanakan suatu
model secara realitas yang kompleks. Oleh karena itu setiap penyederhanaan
memerlukan asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor
permasalahan yang akan dicari solusi dan jawabannya.
3. Membuat konstruksi dari model itu sendiri dapat dilakukan melalui diagram
alur atau persamaan-persaamaan matematis. Kontruksi model dapat digunakan
dengan komputer software maupun secara analitis.
4. Menentukan analisis yang tepat. Tahap ini adalah mencari solusi yang sesuai
untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahan identifikasi. Dalam
analisis pemodelan dilakukan dengan dua cara, pertama dengan melakukan
optimasi (apa yang seharusnya terjadi) kedua dengan melakukan simulasi (apa
yang akan terjadi).
5. Pengembangan model adalah melakukan interprestasi atas hasil yang dicapai
dalam tahap analisis.
6. Validasi adalah model yang valid tidak saja mengikuti kaidah-kaidah teoritis
yang sahih, namun juga memberikan interprestasi dari hasil yang diperoleh
mendekati kesesuaian dalam hal besaran uji-uji standar seperti statistik dan
prinsip-prinsip matematis.
Dalam konteks diatas, model perencanaan pengelolaan wilayah pesisir
adalah merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat
pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir
dan laut. Selanjutnya Adrianto (2009) mengembangkan 6 (enam) tahapan
pengembangan siklus pengelolaan pesisir terpadu adalah sebagai berikut :
1. Tahap 1. Persiapan : adalah tahap awal untuk dilakukan pengembangan
pengelolaan pesisir terpadu meliputi : (i) menyusun mekanisme program; (ii)
mengidentifikasi lokal inisiator yaitu pihak yang melaksanakan program
pengelolaan pesisir terpadu; (iii) menyiapkan rencana kerja bagi
pengembangan program pengelolaan pesisir terpadu; (iv) melaksanakan
pelatihan yang diperlukan bagi segenap stakeholder yang terkait dengan
pengelolaan pesisir terpadu; (v) menyusun sistem monitoring dan evaluasi dan;
(vi) mempersiapkan penyusunan status pesisir (state of the coasts) yang akan
menjadi obyek pengelolaan terpadu.
2. Tahap 2. Inisiasi, pada tahap ini dibagi 5 jenis kegiatan yaitu : (1) menyusun
perencanaan sistem komunikasi dengan stakeholder yang bertujuan untuk
meningkatakan kesadaran stakeholder terhadap pentingnya pengelolaan pesisir
dan laut; (2) menyusun rencana partisipatif sistem dan menajemen informasi
terkait dengan inisiasi pengelolaan pesisir; (3) menyiapkan status pesisir (State
of the Coast) yaitu dokumen yang berisis status eksisting dari pesisir yang
menjadi obyek pengelolaan; (4) apabila memungkinkan menyusun kajian awal
tentang resiko lingkungan pesisir (Itial Risk Assessment; IRA) yang bermanfaat
untuk menentukan basis bagi prioritas penyelesaian masalahlingkungan pesisir
dan; (5) menyusun rencana pengelolaan pesisir (coastal strategy).
3. Tahap 3. Pengembangan (Development stage) dalam kegiatan ini ada beberapa
tahapan penting yang dilihat adalah sebagai berikut : (i) mempersiapkan
rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir; (ii) menyusun rencana
monitoring lingkungan; (iii) mengatur mekanisme kelembagaan yang terkait
dengan implementasi strategi pengelolaan yaitu meningkatkan komunikasi dan
koordinasi antar institusi; (iv) merancang mekanisme tata ruang di kawasan
pesisir; (v) menyusun rancangan sistem pembiayaan yang berkelanjutan
terhadap implementasi program dan; (vi) melanjutkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat.
4. Tahap 4. Tahap Adopsi ( Adoption Stage ) adalah adopsi dari rencana
implementasi strategi pengelolaan pesisir (Coastal Starategy Implementation
Plan; CISP ). Dengan demikian proses adopsi tidak hanya melibatkan
eksekutif dalam pemerintah, tatapi juga institusi legislatif karena hasil akhir
dari adopsi adalah peraturan daerah atau surat kepuusan eksekutif yang
disahkan Bupati atau Gubernur tentang rencana implementasi strategi
pengelolaan pesisir.
5. Tahap 5. Tahap Implementasi ( Implementation Stage ) adalah imlementasi
dari segenap rencana yang sudah disusun hingga tahap adopsi. Hal ini
mencakup implementasi dari CISP dengan menggunakan sistem pembiayaan
yang sudah ditetapkan dan secara kontinyu melakukan proses monitoring
sesuai dengan tahapan setiap strategi yang telah dituangkan dalam rencana
implementasi strategi pengelolaan pesisir.
6. Tahap 6. Perbaikan dan Konsolidasi (Raffinement and Consolidation Stage)
tahap ini mencakup beberapa kegiatan penting mencakup (i) melakukan kajian
terhadap pencapaian hasil implementsi strategi, termasuk didalamnya output
dan outcome, relatif terhadap tujuan pengelolaan ; (ii) melakukan proses
update terhadap status pesisir (State of the Coast) ; (iii) Apabila diperlukan
melakukan perbaikan terhadap dokumen strategi pengeloaaan pesisir (coastal
starategy), termasuk Coastal Starategy Implementation Plan (CSIP) ; (iv)
melakukan kajian terhadap hal-hal penting untuk siklus pengelolaan pesisir
berikutnya.
Dalam pandangan ecoligical economics, tujuan valuation tidak semata
terkait dengan maksimasi kesejahteraan individu atau perorangan, melainkan juga
terkait dengan tujuan keberlanjutan ecological dan keadilan distribusi.
Selanjutnya Constanza (2001) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa valuation
berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan
ekologi dan keadilan tersebut. Dalam konteks ini, valuasi ecological economics
dapat di nilai dengan tiga tujuan dari penilaian itu sendiri, secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama efisiensi, keadilan dan
berkelanjutan
Tingkat Tingkat Input
Tujua/Dasar Kelompok Dasar Diskusi yang Ilmiah yang Metode
Nilai Responden Preferensi Diperlukan Diperlukan Spesifik
Efisiensi (E- Homo Preferensi Willingnes
Rendah Rendah
value) Economicus individu s to pay
Keadilan (F- Homo Preverensi Veil of
Tinggi Menengah
falue) Communicus komunitas ignorance
Keberlanjutan Homo Preverensi Modeling
Medium Tinggi
(S-value) Naturalis keseluruhan
sistem
Sumber : Constanza and Folk (1997) in Adrianto (2006)
Dari tabel dapat dilihat pandangan ecological-economics, nilai tidak hanya
dilihat dari tujuan maksimalisasi prefrensi individu, seperti yang dikemukakan
oleh pandangan neoklasik (E-value), melainkan ada nilai-nilai lain, yaitu keadilan
(F-value) yang berbasis pada nilai-nilai komunitas, bukan bukan individu. Dalam
konteks F-value ini, nilai sebua ekosistem ditentukan berdasarkan tujuan umum
yang biasanya dihasilkan dari sebuah konsensis atau kesepakatan antar anggota
komunitas (homo communicus) (Adrianto 2006). Selanjutnya dijelaskan oleh
Rawls (1971) in Adrianto (2006) metode evaluasi yang tepat untuk tujuan ini
adalah veil of ignorance, dimana responden memberikan penilain tanpa
memandang status dirinya dalam komunitas. Sementara S-value yang bertujuan
untuk unuk mempertahankan tingkat keberlanjutan ekosistem yang dititip
beratkan pada kehidupan manusia.
Secara empiris, valuasi ekosistem berbsis pada dua nilai terakhir (F-value
dan S-value) relatif masih sedikit di lakukan. Namun demikian, hal ini tidak
mengurangi semangat dari pandangan ecologocal economics bahwa perlu adanya
penyusunan format nilai ekosistem yang lebih komprehensif, tidak hanya berbasis
pada preferensi individu, seperti metode standar yang ada.
3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian di lakukan di ekosistem terumbu karang perairan Pulau
Liwutongkidi, sebuah pulau kecil yang terbentang di antara Pulau Kadatua dan
Pulau Siompu, Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu, Kabupaten Buton
dengan batas wilayah sebagai berikut; sebelah barat berbatasan dengan Selat
Sulawesi, sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kadatua, sebelah timur
berbatasan dengan Pulau Buton, dan sebelah selatan berbatasan dengan Pulau
Siompu Gambar 2. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Secara
temporal, penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu pada bulan April 2010.

Lokasi Penelitian
LOKASI
PENELITIAN

PETA LOKSI
SIOMPU LIWUTONGKIDI KADATUA
KABUPATEN BUTON
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Sumber : Peta CRITC-LIPI 2007

Gambar 2. Peta lokasi penelitian


3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei untuk
melihat keberadaan kualitas ekosistem terumbu karang dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat lokal terhadap berbagai kriteria suatu model pengelolaan
perikanan berbasis ekosistem perikanan karang dengan menggunakan pendekatan
ekologi dan pendekata ekonomi. Dalam upaya menghindari bertambahnya
kerusakan ekosistem perikanan karang di perairan Pulau Liwotongkidi maka
perlu pengkajian secara seksama baik dari segi ekologis maupun sosial ekonomis.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian


Dalam pengambilan data substrat dasar dan ikan karang dan parameter fisik
perairan dilapangan digunakan beberapa peralatan untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Peralatan yang digunkan dalam penelitian ini adalah: peta dasar untuk
lokasi penelitian, perahu motor , pita berskala (roll meter ukuran 100 m), peralatan
SCUBA (Self Containing Underwater Breathing Aparratus) diving, camera dan
video under water, Global Positioning System (GPS) merk magellang triton 2000,
alat tulis bawah air dengan kertas tahan air (sabak dan Pensil), buku identifikasi
karang (Suharsono 2008), buku identifikasi Ikan, paku beton ukuran besar dan
Palu (martil). Selain ikan dan karang juga digunakan alat bantu kuisioner untuk
data social ekonomi perikanan karang.

3.4. Jenis dan Sumber Data


Secara garis besar jenis dan sumber data yang di kumpulkan dalam
penelitian ini ada dua jenis data yaitu : data primer dan data sekunder. Untuk lebih
jelas jenis data dan metode pengumpulannya dapat diuraikan sebagai berikut :

3.4.1. Data primer


Data primer untuk komponen biofisik terdiri dari jenis data fisika, kimia dan
biologi yang meliputi 3 lokasi di perairan Kadatua, Perairan, Siompu dan perairan
Liwutongkidi sedangkan data sosial ekonomi diperoleh dari hasil wawancara
langsung di lapangan dengan berpedoman pada kuisioner yang telah dirancang.
Secara jelas data primer yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis dan sumber data primer
No. Komponen Jenis Data Sumber data
1. Biofisik A. Fisika
- Kedalaman Perairan In situ
- Kecerahan Perairan In situ
- Kecepatan arus In situ
- Suhu perairan In situ
B. Kimia
- Salinitas perairan In situ
- Oksigen terlarut (OD) In situ
C. Biologi
- Tutupan Karang Insitu
- Kelimpahan ikan In situ
2. Sosial Ekonomi - Umur
- Pendidikan In situ
- Pendapatan In situ
- Tanggungan In situ
- Pengalaman In situ
- Profesi mata pencaharian In situ

3.4.2. Data Sekunder


Pengumpulan data sekunder merupakan data penunjang yang dikumpulkan
dari berbagai sumber data seperti hasil penelitian terdahulu, laporan dan dokumen
yang berhubungan dengan penelitian. Data dari pemerintah daerah, Dinas
Perikanan dan Kelautan kabupaten Buton, Kantor BPS dan lembaga-lembaga
yang berhubungan dengan penelitian, maupun yang berasal dari publikasi dan
penelitian yang pernah dilakukan. Rincian jenis dan sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan sumber data sekunder

No. Jenis data Sumber Data


1. Demografi, sosial ekonomi dan budaya Bappeda/BPS Kabupaten Buton
2. Data terumbu karang dan ikan karang Dinas kelautan dan Perikanan
Kabupten Buton/LIPI
3. Data Struktur komunitas karang tahun Dinas kelautan dan Perikanan
2005 - 2008 Kabupten Buton/LIPI
4. Data pemasaran dan hasil tangkapan Dinas kelautan dan Perikanan
ikan lima tahun terakhir Kabupten Buton
5. Peta administrasi wilayah penelitian Bappeda Kabupaten Buton
6. Peta topografi wilayah, hidrologi dan Bappeda Kabupaten Buton/
rupa bumi Bakosurtanal
3.5. Metode Pengambilan Contoh
Untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan kondisi fisik perairan,
perlu adanya pengambilan data. Secara garis besar ada dua komponen data yang
harus diambil yaitu: komponen data biofisik dan komponen data sosial ekonomi.

3.5.1. Pengambilan Contoh Komponen Biofisik


Lokasi pengambilan data biofisik berupa penutupan substrat dasar dan
komunitas ikan karang serta data fisik kondisi perairan dengan metode purposive
sampling dimana penentuan titik-titik pengambilan contoh dilakukan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil antara lain
berupa keselamatan peneliti, waktu, biaya dan daerah terumbu karang yang dapat
mewakili setiap lokasi penelitian. Jumlah titik-titik pengambilan contoh sebanyak
20 stasiun diantaranya 10 stasiun pada Pulau Liwutongkidi, 5 stasiun pada Pulau
Kadatua dan 5 stasiun pada Pulau Siompu. Lebih jelas titik-titik stasiun
pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 4.
Penutupan substrat dasar dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengamatan secara kualitatif dilakukan dengan pengamatan secara visual dengan
metode mantaw tow tentang profil habitat. Sedangkan untuk pengamatan
kuantitatif dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) (English at.al
1994) dengan beberapa modifikasi CRITIC-COREMAP LIPI (2004). Transek
dilakukan dengan menarik pita rol meter sepanjang 70 m sejajar garis pantai
dengan posisi pantai adalah sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT di tentukan
pada garis transek dengan tiga kali ulangan yaitu : 0 -10 m, 30 - 40 m dan 60 - 70
m. Semua biota dan substrat yang menyinggung garis transek tersebut di catat
dengan ketelitian mendekati sentimeter, dibagi panjang transek Gambar 3.

Gambar 3. Teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan


menggunakan metode LIT.
122°28' 122°30' 122°32' 122°34'

5°30'
120° 122° 124°

5°30'




P. Kadatua
P. Siompu
5°32'

5°32'


120° 122° 124°

Kapoa

Waonu
#
#
1 P. Buton
5°34'

5°34'
5 #
#
# 2
4
3

4 5 P.
#
6
Liwutongkidi
#

3 #
#

2 7
5°36'

5°36'
#
#

#
#
# 8
1 10 9

3
#

# 4 5
#
5°38'

5°38'

1 #

Tongali

2# P. Kadatua
P. Siompu

122°28' 122°30' 122°32' 122°34'

PETA PENELITIAN
PETA LOKASI LOKSI Keterangan:
SIOMPU LIWUTONGKIDI KADATUA # Stasiun Pengamatan
SILIKA
KABUPATEN BUTON N
Garis Pantai
KAB.
PROVINSI BUTONTENGGARA
SULAWESI
Skala 1 : 80.000 Daratan
PROV. SULAWESI TENGGARA Rataan Terumbu
1 0 2Km

Sumber : Peta CRITC-LIPI 2007

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan data struktur komunitas ikan karang dan
korelasinya
3.5.1.1. Kualitas Perairan
Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai penting bukan hanya dari sisi
sosial dan ekonomi saja namun juga dari sisi biologi, kimia dan fungsi fisik yang
dapat menentukan keberlangsungan kehidupan ekosistem terumbu karang di
wilayah pesisir. Untuk mengetahui kondisi perairan di wilayah pesisir pulau
Liwitongkidi, Siompu dan Kadatua perlu dilakukan pengukuran terhadap
beberapa parameter yang terkait dengan penelitian tersebut. Lebih jelas dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter kualitas perairan

Parameter Satuan Alat


Fisika
- Kedalaman Perairan meter Deep Gauge
- Kecerahan Perairan meter Secchi disc
- Kecepatan arus meter/detik Floating drought
0
- Suhu perairan C Thermometer
Kimia
- Salinitas perairan Ppt ‰ Refraktometer
- Oksigen terlarut (OD) ppm DO meter YSI 2000

3.5.1.2. Komunitas Ikan Karang


Pengambilan data komunitas ikan karang di lokasi penelitian Pulau
Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua menggunakan metode survei Line Intercept
Transect (LIT). Transek dilakukan dengan menarik rol meter dengan panjang
transek 70 m dipasang sejajar garis pantai dengan lebar 2,5 m sisi kiri dan kanan
garis transek sehingga luas bidang pangamatan ikan per transek adalah 350 meter
persegi pada kedalaman berkisar antara 3 – 10 m. Pengambilan data ikan karang
di lakukan pada sisi timur, barat, utara dan selatan Pulau Liwutongkidi sedangkan
untuk Pulau Kadatau pada sisi sebelah selatan dan Pulau siompu pada sebelah
utara Gambar 5.
Spesies ikan yang di data dilokasi penelitian dan dikelompokan kedalam 3
kelompok berdasarkan peranananya English at al. (1977) yaitu :
1. Ikan Target. Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal
juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; family
Serranidae (ikan kerapu), Lethrinidae (ikan lencam), Nemimpteridae ( ikan
Kurisi), Lutjanidae (ikan kakap), Scaridae (ikan kaka tua), Acanthuridae (ikan
pakol), Mulidae, Siganidae (ikan baronang/samandar), dan Haemulidae (ikan
bibir tebal).
2. Ikan Indikator. Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat
hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari famili
Chaetodontidae (kepe-kepe).
3. Ikan Lain (Mayor Famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak
dijadikan ikan hias air laut Pomacentridae (ikan betok), Caesionidae, Scaridae,
Pomacanthidae, Labridae (ikan sapu-sapuatau cina-cina), Apogonidae (ikan
serinding) dan lain-lain

Gambar 5. Teknik pengumpulan data ikan dengan underwater visual census


(UVC)

3.5.1.3. Bentuk Pertumbuhan (lifeform) Komunitas Karang


Dalam melakukan identifikasi bentuk pertumbuhan (lifeform) komunitas
karang atau penutupan substrat dasar dan biota lain diukur dengan menghitung
panjang rol meter yang menyinggung masing-masing biota. Identifikasi dilakukan
pada 20 stasiun di kawsan konservasi Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya.
Kemudian pencatatan terhadap jenis karang yang menyinggung garis transek
dengan ketelitian sampai dengan centimeter. Data tersebut untuk menghitung nilai
presentase persen tutupan karang dengan penggolongan komunitas karang
berdasarkan lifeform. Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang
berdasarkan lifeform dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan
lifeform dan kodenya

Kategor Kode Keterangan


Branching ACB Paling tidak 2o percabangan. Memiliki axial dan radial
coralit
Encrusting ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum
Acropora dewasa
Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji
Digitake ACD Bercabang tidak lebih dari 2o
Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar
Branching CB Paling tidak 2o percabangan. Memiliki radial dan radial
coralit
Encrusting CE Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) paling
tidak 2o percabangan
Foliose CF Karang terikat ada satu atau lebihtitik,seperti daun, atau
berupa piring
Non- Massive CM Seperti batu besar atau gundukkan
Acropora Submassive CS Berbentuk tiang kecil, knop atau baji
Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera
Heliopora CHL Karang biru
Mellepora CME Karang api
Tabipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil
Dead Coral DC Baru saja mati,warna putih atau putih kotor
Dead Coral with Algae DCA Karang ini masih berdiri,struktur skeletal masih terlihat
Soft Coral SC Karang bertubuh lunak
Sponge SP Karang berbentuk tabung
Zoanthidae ZO Contoh, Platythoa, Protoplatyhoa
Others OT Anemon,tripang,gorgonian, kima dan lain-lain
Algae AA Terdiri lebih dari satu spesies
Assemblage
Coralline CA Algae yang mempunyai struktur kapur
algae
Algae Halimeda HA Berumput/berwarna coklat daging, merah
Macro algae MA Seperti rumput/tebal,berwarna coklat,merah
Turf algae TA Algae berfilamenlebat, yang sering ditemukan di dalam
teritori damselfish
Sand S Pasir
Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil
Silt SI Paasir berlumpur
Abiotik Water W Air atau celah-celah yang lebih dari 50 m
Rock RCK Batu
Sumber : English et al. (1977)

3.5.2. Metode Pengambilan Contoh Sosial dan Ekonomi


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case
study). Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang,
sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelaahannya
terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan
komprehensif (Faisal 2001).
Lebih lanjut secara mendalam dapat dikaji aktivitas ekonomi masyarakat
dengan penggunaan teknik survey dalam pengambilan responden. Penelitian di
lakukan pada aktivitas ekonomi yang berbasis sumberdaya alam yaitu usaha
penangkapan ikan satuan kasusnya adalah areal ekosistem terumbu karang yang
secara administratif terletak di Pulau Liwutongkidi.
Penentuan pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan secara sengaja
(purposive sampling). Pengertian purposive adalah peneliti yang menentukan
sendiri responden yang akan diambil dengan anggapan ataupun pendapatnya
sendiri sebagai sampel penelitiannya. Responden terdiri dari masyarkat nelayan
Desa Kapoa, Desa Waonu Kecamatan Kadatua dan Desa Tongali Kecamatan
Siompu dapat dilihat pada Gambar 6.

12 2 °2 8' 12 2 ° 3 0' 12 2 ° 3 2' 12 2 °3 4'


120 ° 122 ° 124 °
5°30'

5°30'




P. Kadatua
S iomp u
5°32'

5°32'


120 ° 122 ° 124 °

Ka poa

W aonu
P. B uton
5°34'

5°34'

Lokasi Pengambilan
Data Sosial Ekonomi
P. Liw u to ngk id i
5°36'

5°36'
5°38'

5°38'

Tonga li

P.P.
K Siompu
ad at ua

12 2 °2 8' 12 2 ° 3 0' 12 2 ° 3 2' 12 2 °3 4'

P ET A LO K ASIPETA LOKSI
P E NE L ITIAN K et erang an:
SIOMPU LIWUTONGKIDI
S ILIKA KADATUA N G aris P an ta i
KKABUPATEN
AB. B UTO N BUTON Daratan
S ka la 1 : 80 .0 00 Rataan T erum bu
P RO V . S UL AW ES I TE N G GA RA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA 1 0 2Km

Sumber : Peta CRITC-LIPI 2007

Gambar 6. Peta pengambilan data sosial ekonomi


Responden yang di ambil dalam penelitian adalah nelayan yang
menggunakan berbagai jenis alat tangkap diataranya pancing, jaring insang
hanyut, jaring insan tetap, pancing ulur dan bubu, sehingga jumlah sampel yang
diambil telah dianggap nelayan pemanfaatan sumberdaya perikanan karang.
Jumlah responden sebanyak 50 orang dari masing-masing desa, sehingga jumlah
150 orang dari populasi responden nelayan dari ketiga desa tersebut dengan
jumlah nelayan sebanyak 500 orang.
Jumlah sampel setiap populasi minimal 10%, rumus penentuan jumlah
responden mengacu pada Yamane (1967) in Rahmat (1999) sebagai berikut.

N
n .................................................................. (1)
Nd 2  1

Dimana :
N = Jumlah populasi
n = Jumlah sampel
d = Tingkat kekeliruan/kesalahan dalam pengambilan sampel 10%

3.6. Analisis Data


3.6.1. Analisis Data Ekologi
Pendekatan ekologi dari ekosistem terumbu karang adalah untuk melihat
sejauh mana terjadi degradasi terhadap ekosistem terumbu karang. Oleh sebab itu
maka perlu adanya pendekatan secara ekologi untuk melihat struktur komunitas
ikan karang yang terdiri dari :

3.6.1.1. Persentase Penutupan Substrat Dasar


Persentase penutupan substrat dasar adalah bagian dari tutupan struktur
komunitas karang selain penutupan biota lain dengan persamaan

li
Ni   100% ......................................................................... (2)
L
Dimana :
Ni : Persentase penutupan substrat dasar ke-i (%)
li : Panjang lifeform karang jenis ke-i
L : Panjang total transek garis pengamatan ke-i
Kategori kondisi dalam kriteria persentase penutupan karang hidup
berdasarkan Gomez dan Yap (1988) menyatakan kriteria baku mutu untuk
kondisi terumbu karang sebagai berikut :
a. Dikatakan sangat baik antara 75 – 100 %
b. Dikatakan baik antara 50 – 74.9 %
c. Dikatakan sedang antara 25 – 49.9 %
d. Dikatakan rusak antara 0 – 24.9 %

3.6.1.2. Indeks Mortalitas


Indeks mortalitas merupakan nilai yang digunakan untuk menduga tingkat
kesehatan atau kondisi dari ekosistem terumbu karang dan merupakan analisis
lanjutan dari persen penutupan substrat dasar dengan formula sebagai berikut :

KM ...................................................................... (3)
MI 
( KM  KH )

Dimana :
MI : Indeks mortalitas
KM : Karang mati (Dead Coral, With Algae and Rubble )
KH : Karang hidup (Hard Coral, Soft Coral and Other)

Nilai MI mempunyai kisaran antara 0 – 1, apabila nilai MI mendekati 0,


berarti kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian karang yang
kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi. Sedangkan nilai MI mendekati 1,
berarti kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian karang yang
besar atau memiliki kesehatan yang rendah Fachrul (2007).

3.6.1.3. Indeks Keanekaragaman (H')


Untuk mencari indeks keanekaragaman (H') berdasarkan gambaran
populasi melalui jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas
Odum (1971). Untuk menghitung indeks keanekaragaman digunakan indeks
Shannon dengan rumus sebagai berikut :

s
H '   pi ln pi ............................................................................ (4)
i 1
Dimana :

H’ = Indeks keanekaragaman
s = jumlah spesies ikan karang atau jumlah lifeform biota habitat dasar
pi = proporsi jumlah individu pada spesies ikan karang atau proporsi
persentase penutupan lifeform biota habitat dasar
Kriteria Indeks keanekaragaman menurut Brower dan Zar (1977) :
H' ≤ 2.30 : keanekaragaman kecil, tekanan lingkungan sangat kuat
2.3 < H' ≤ 3.30 : keanekaragaman sedang, tekanan lingkungan sedang
H' > 3.30 : keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem

3.6.1.4. Indeks Keseragaman (E)


Indeks keseragaman adalah untuk mengukur keseimbangan komunitas.
Hal ini didasarkan pada ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam
suatu komunitas dihitung berdasarkan persamaan :

H' .................................................................. (5)


E 
Hmaks

Dimana :

E: Indeks keseragaman
H' : Indeks keanekaragaman
Hmax : keseimbangan spesies dalam keseimbangan maksimum = log2 S
S : Jumlah biota/taksa bentuk pertumbuhan karang atau jumlah jenis spesies

Kriteria indeks keseragaman berkisar 0 – 1 menurut Brower dan Zar (1977) :


E ≤ 0.4 : keseragaman kecil, komunitas tertekan
0.4 < E ≤ 0.6 : keseragaman sedang, komunitas labil
E > 0.6 : keseragaman tinggi, komunitas stabil

3.6.1.5. Indeks Dominasi (C) :


Indeks dominansi (C) digunakan untuk menghitung kedominanan suatu
spesies. Indeks ini dihitung dengan melalui indeks dominansi Simpson (Simpson
in Odum 1971) dihitung berdasarkan rumus persamaan :
n
C   ( pi )2 ................................................................. (6)
i 1
Dimana :
C : Indeks dominasi
Pi : Proposi jumlah ke- i terhadap jumlah total
s : jumlah spesies ikan karang
Nilai indeks dominasi berkisar 1 – 0 yang artinya apabila nilai mendekati nilai 1
maka ada kecenderungan satu individu mendominasi yang lainnya.

3.6.2. Analisis Data Ekonomi


Untuk mengetahui seberapa besar manfaat suatu barang secara langsung maupun
tidak langsung yang dapat diperoleh dari keberadaan ekosistem terumbu karang,
maka digunakan beberapa analisis yaitu :

3.6.2.1. Kerangka Pendekatan Penilaian Valuasi Ekonomi


Penilaian valuasi ekonomi potensi sumberdaya terumbu karang di kawasan
konservasi pulau Liwutongkidi kabupaten Buton ini didekati dengan
menggunakan pendekatan change in productivity atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Effect on Production (EOP) sesuai yang dilakukan oleh Cesar 1996 dan
Molberg & Folke 1999. Pendekatan penilaian dengan teknik EOP ini dilakukan
untuk mengetahui nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap
produktifitas perikanan karang.

3.6.2.2. Pendugaan Fungsi Permintaan terhadap Sumberdaya Perikanan


Karang

Pengukuran nilai ekonomi langsung dilakukan dengan beberapa langkah –


langkah yang dikembangkan Adrianto (2006) sebagai berikut:
(a) Menentukan fungsi penggunaan produktivitas sumberdaya hasil tangkapan
ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat. Pendugaan fungsi
permintaan (Direc Uses Value/DUV ) terhadap pemanfaatan langsung dari
sumberdaya ekosistem terumbu karang .
1 2 3 n
Q   0 X 1 X 2 X 3 ... X n …........................…………………. (7)
Dimana :

Q : Jumlah sumberdaya ikan yang diminta


X1 : Harga
X2, X3, ...Xn : Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga.

(b) Melakukan transformasi fungsi penggunaan menjadi fungsi linear agar dapat
diestimasi koefisien masing-masing parameter dengan menggunakan teknik
regresi linear. Formula pada persamaan (1) kemudian ditransformasi menjadi
persamaan (2) sebagai berikut:
ln Q   0  1 ln X 1   2 ln X 2   3 ln X 3  ...   n ln X n
ln Q  ((0  2 (ln X 2 )  3 (ln X 3 )  ...n (ln X n ))  1 ln X1
ln Q     1 ln X 1 ……………………..………………………. (8)

(c) Mentransformasi kembali fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan asal


(persamaan 1), untuk mendapatkan fungsi penggunaan sumberdaya terumbu
karang hasil integrasi dengan koefisien dan variabel sosial ekonomi yang
ditunjukkan melalui persamaan (9) berikut ini:
1
Q  exp ) X1 jika exp (  ) diartikan sebagai  dan  1 adalah  , maka
akan diperoleh persamaan sebagi berikut :

Q   X 1 .................................................................................... (9)

(d) Untuk menduga atau mengestimasi total kesediaan membayar (Nilai Ekonomi
Sumberdaya)

a
U   f Q dQ
0
………..................…………………………….. (10)

Dimana
U : nilai utilitas terhadap sumberdaya atau total WTP dari pemanfaatan
potensi sumberdaya ikan pada kawasan konservasi,
f(Q): fungsi permintaan
a : batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta
(e) Menduga nilai konsumen surplus (CS) yang merupakan nilai langsung
pemanfaatan sumberdaya perikanan karang per satuan individu sebagai
berikut :

CS  U  PQ ……..................………......…………... (11)

Pt  X 1  Q

Dimana :
CS : konsumen surplus yang merupakan nilai langsung pemanfaatan
sumberdaya perikanan karang
Pt : harga yang dibayarkan,

Q : rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta,


X1 : harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta

3.6.2.3. Model Analisis Sistem Perikanan Karang


Penentuan batasan model disini adalah berdasarkan pada tinjauan model
dasar dan isu-isu yang diangkat dalam suatu kasus, yang meliputi beberapa
komponen utama, yaitu daya dukung lingkungan, sumberdaya ikan, upaya
penangkapan, Pasar dan sarana-prasarana. Untuk memudahkan pemahaman
mengenai penentuan batasan model ini, maka dikembangkan suatu bangun model
sederhana yang menggambarkan konsep pemikiran dari pengembangan suatu
model, yang didalamnya sudah menggabungkan semua sub-sub model ke dalam
suatu model yang utuh, seperti terlihat pada Gambar 7.
Model ini mencoba menggabungkan antara pendekatan ekonomi dan
analisis dinamika populasi ikan. Pendekatan ekonomi biasanya berkonsentrasi
pada property analisis dimana ada titik keseimbangan, tapi pada model ini
diperkaya lagi dengan eksperimen penelitian dan mencoba menunjukkan
bagaimana jika keduanya digabung untuk menduga sensitivitas dari hasil
pemodelan sehingga didapat model yang spesifik, kondisi awal, perkiraan empiris,
dan petunjuk pengumpulan data, analisis serta bagaimana membuat kebijakan.
Gambar 7. Causal loop pengembangan model perikanan karang
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administratif


Pulau Liwutongkidi atau biasa disebut juga oleh masyarakat Buton sebagai
Pulau Ular merupakan sebuah pulau kecil yang terbentang antara Pulau Kadatua
dan Pulau Siompu. Ketiga pulau ini memiliki struktur dasar perairan yang tidak
jauh berbeda. Struktur pantai yang terdiri dari pantai dengan dinding berbatu
cadas tersebar cukup luas di Pulau Siompu dan Pulau Kadatua. Pantai kecil yang
berpasir putih juga banyak terdapat pada ketiga pulau ini.
Pulau Liwutongkidi dengan luas pulau sekitar 101,88 km2 dan panjang
garis pantai sekitar 4,747 m. Secara geografis pulau Liwutongkidi terletak pada
05 035’ 23”LS- 05 035’ 59” LS dan 122029’ 57”BT- 122030’51” BT dengan batas
wilayah; sebelah barat berbatasan dengan Selat Sulawesi, sebelah Utara
berbatasan dengan pulau Kadatua, sebelah timur berbatasan dengan pulau Buton,
dan sebelah selatan berbatasan dengan pulau Siompu. Secara fisik, pulau
Liwutongkidi dikategorikan sebagai pulau kecil dan merupakan pulau tidak
berpenghuni, sehingga cakupan wilayah survei untuk data demografi meliputi
Kecamatan Siompu dan Kecamatan Kadatua. Secara Administratif batas-batas
wilayah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Batas wilayah Kecamatan Siompu dan Kecamatan Kadatua


Batas Wilayah
No. Kecamatan Sebelah Sebelah Sebelah Timur Sebelah
Utara Selatan Barat
1 Siompu Kec. Kadatua Laut Flores Kec. Batauga Laut Flores
2 Kadatua Selat Buton Kec. Siompu Kec. Batauga Laut Flores
Sumber : BPPS Buton, 2009

Ekosistem pulau Liwutongkidi memiliki topografi datar sampai curam.


Pada bagian datar kondisi substrat pasir bercampur tanah sedangkan pada bagian
curam umumnya berupa batu cadas. Pada topografi datar (bagian timur pulau
Liwutongkidi) umumnya ditemukan vegetasi berupa pandan, berbagai macam
species golongan rumput-rumputan, tumbuhan merambat (herba) dan kelapa. Pada
topografi curam (bagian barat Pulau Liwutongkidi) umumnya banyak ditumbuhi
berbagai jenis tumbuhan dengan struktur semak. Sedangkan ke arah dalam pulau
(tengah pulau) ditumbuhi vegetasi dengan komposisi dan struktur yang lebih
bervariasi.
Pada pulau Liwutongkidi ditemukan beberapa spesies hewan seperti ketam
kenari dan beberapa jenis ular. Sementara di sebelah barat perairan pulau
Liwutongkidi merupakan jalur migrasi lumba-lumba dan penyu. Pada pulau
Liwutongkidi juga terdapat sumur air tawar yang merupakan sumber air tawar
bagi masyarakat yang ada di sekitar pulau utamanya masyarakat Desa Kapoa
(Kecamatan Kadatua).

4.2. Keadaan Fisik


Pulau Kadatua, Pulau Siompu dan Pulau Liwutongkidi beriklim tropis dan
terletak di sekitar garis khatulistiwa. Suhu pada siang hari sangat panas dan curah
hujan yang cukup tinggi. Musim hujan dipengaruhi oleh angin Barat yang terjadi
pada bulan Desember sampai April, ditandai oleh curah hujan tinggi, ombak besar
dan angin kencang. Pada musim ini angin darat bertiup dari Benua Asia dan
Lautan Pasifik. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai
September, angin Timur bertiup dari Benua Australia yang kering. Pada bulan
April-Mei arah angin dan curah hujan tidak menentu, dikenal dengan musim
pancaroba.
Kedalaman perairan Kadatua, Siompu dan Liwutongkidi bervariasi antara
wilayah yang satu dengan lainnya dengan kedalaman antara 1 – 1000 m. Kondisi
perairannya pada musim timur sangat ditentukan oleh pola pergerakan arus dan
gelombang yang bergerak dari Laut Banda memasuki Selat Makassar, sebaliknya
pada musim barat terjadi pergerakan arus dari Selat Makassar masuk ke Laut
Flores dan terus ke Laut Banda.

4.3. Kondisi Biofisik


4.3.1. Kondisi Terumbu Karang
Tipe terumbu karang di perairan Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua
adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Bentuk dasar koloni karang lengkap,
yaitu karang masif (massive), bercabang (branching), mengerak (encrusting), dan
lembaran (foliaceous).
Berdasarkan hasil pengamatan Anonimous (2003 ) Persen penutupan
karang hidup pada daerah rataan terumbu karang pada kedalaman 3 meter
umumnya kondisinya baik (> 50%) bahkan pada beberapa stasiun pengamatan
kondisinya dalam kategori baik sekali di bandingkan dengan kedalaman 10 meter.
Selanjutnya Napoleon (2006) menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang di
sekitar Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua kondisi ekosistem terumbu karang
pada kedalaman 3 meter lebih baik dari pada kedalaman 10 meter. Dampak
kerusakan terumbu karang secara umum terjadi akibat pemanfaatan hasil
perikanan karang dengan menggunakan bom ikan, penggunaan bubu dan juga
kerusakan karang akibat jangkar kapal nelayan. Dari data tersebut di atas
menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang yang ada di perairan
Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua masih sangat mendukung kehidupan
organisme yang berasosiasi di dalamnya.

4.3.2. Kualitas Perairan


Hasil pengukuran dan pengamatan yang mengacu pada kriteria parameter
kualitas perairan untuk kehidupan organism laut. Secara umum kondisi perairan
Siompo Liwutongkidi dan Kadatua adalah relatif sama. Dari Hasil penelitian
parameter fisika dan kimia yang dilakukan diperoleh suhu perairan berkisar 28 -
31,5 0C, salinitas berkisar 32,0 – 34,2 %o, kecepatan arus berkisar 0,01 – 0,50
m/dtk, Kecerahan tempat pengambilan sampel 100%, DO berkisar 6,00 – 6,60
mg/L, suhu berkisar antara 27.5 – 30.5 oC dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Kualitas perairan di Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua


Lokasi Pengamatan
No Parameter BML
Liwutongkidi Siompu Kadatua
1. Fisika
- Kedalaman (m) 3 – 10 3 – 10 3 – 10 Alami
- Kecerahan (%) 100 100 100 Alami
- Kecepatan arus (m/det) 0.01 – 0.50 0.05 – 0.10 0.01 – 0.50 Alami
- Suhu perairan (0C) 27,8 – 30,5 27,5 – 30,3 27,5 – 29,0

2. Kimia
- Salinitas perairan (ppt) 32.0 – 34.2 32.0 – 34.0 32.0 – 34.0
- Oksigen terlarut (DO) ppm 6.5 – 6.60 6.0 – 6.4 6.0 – 6.4 >4
- pH 8.0 -8.2 7.9 – 8.5 7.9 – 8.5 7–9
Sumber : Hasil olahan data primer 2010
BML : Baku Mutu Lingkungan, untuk Kualitas Air Laut bagi Biota Laut atau Budidaya
Perikanan (Keputusan Men-LH No.02/MENLH/10/1988).

Dengan kondisi perairan di atas menggambarkan bahwa kualitas perairan


masih alami dan belum ada pencemaran perairan. Pencemaran perairan diduga
hanya berasal dari limbah minyak dari pada jalur transportasi khususnya dari Bau-
Bau ke Pulau Kadatua dan Siompu atau sebaliknya. Tingkat kejernihan air pada
setiap titik pengambilan sampel 100%, mengindikasikan bahwa pada lokasi ini
tidak ada sedimentasi (tidak ada sungai) dan juga substrat umumnya adalah
karang atau pasir.

4.4. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

4.4.1. Kapal motor/perahu


Untuk transportasi laut umumnya berupa perahu (sampan) yang digunakan
penduduk baik untuk melakukan aktifitas perikanan maupun sebagai alat
transportasi laut di ketiga desa bervariasi jumlah dan ukurannya. Sebagai sarana
perikanan, masyarakat (nelayan) banyak menggunakan sampan baik yang
menggunakan mesin maupun tanpa mesin. Jumlah perahu atau kapal motor dari
tahun ke tahun menurun disebabkan adanya pemekaran desa lebih jelas dapat di
lihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Jumlah perahu/kapal motor Desa Kapoa, Waonu dan Tongali

Sumber : Statistik Potensi dan Produksi Perikanan Kabupaten Buton Tahun 2009

4.4.2. Jenis Alat Tangkap

Alat tangkap yang digunakan nelayan di desa Tongali, Siompu dan Kadatua pada
umumnya adalah pancing ulur, bubu, gillnet, dan pukat. Jumlah alat tangkap yang
digunakan sekitar 10 jenis alat yang dikelompokkan yaitu kelompok pukat ( pukat
cincing, jaring insang hanyut, jaring insang tetap), kelompok pancing (pancing tonda,
pancing ulur), kelompok alat perangkap (sero dan bubu), dan kelompok bagan (bagan
tancap dan bagan perahu). Sebagian besar usaha perikanan tangkap bersifat
perorangan dan sedikit sekali usaha perikanan tangkap berkelompok skala besar.
Jumlah alat tangkap dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Jumlah Alat Tangkap di Desa Kapoa, Waonu dan Tongali

Sumber : Statistik Potensi dan Produksi Perikanan Kabupaten Buton Tahun 2009

4.4.3. Iklim dan Musim Tangkapan


Perubahan cuaca suatu daerah atau kondisi Iklim wilayah dipengaruhu
oleh temperatur udara, jumlah hari hujan, jumlah curah hujan dan intensitar
penyinaran. Pulau Liwutongkidi, Pulau Siompu dan Pulau Kadatua masuk dalam
kotegori daerah basah yang mempunyai curah hujan lebih dari 2.000 mm/ tahun.
Keadaan musim ketiga pulau ini pada umumnya sama dengan daerah lain yaitu
mempunyai 2 musim yakni musim hujan dan musim kemarau dengan temperatur
udara berkisar antara 270C hingga 30 0C.
Mayoritas nelayan dari ketiga desa ini melakukan aktifitas penangkapan
ikan karang secara maksimal pada musim timur atau masyarakat lokal
mengenalnya dengan musim teduh. Musim tersebut terjadi sekitar bulan Mei
hingga Agustus pada musim ini nelayan menggunakan jaring, pancing, panah dan
bubu untuk menangkap ikan karang. Penangkapan ikan karang mulai berkurang
pada musim barat yaitu pada bulan Oktober hingga Desemmber pada musim ini
nelayan kesulitan untuk melaut karena gelombang besar dan angin kencang.
Secara umum nelayan-nelayan tersebut sudah mengenal kapan perubahan musim
tersebut akan berlangsung dengan melihat tanda-tanda dari alam disekitar
lingkungan mereka.
Selain perubahan musim mereka juga mengetahui kapan musim tangkapan
ikan karang. Musim penangkapan ikan karang dengan hasil tangkapan banyak
pada bulan Maret sampai Juli, hasil tangkapan sedang pada bulan September dan
Oktober dan hasil tangkapan kurang bulan Desember sampai dengan bulan
Januari.

4.5. Keadaan Sosial Ekonomi

4.5.1. Aksesbilitas

Meskipun saat ini belum ada sarana dan prasarana jalur transportasi
khusus ke pulau Liwutongkidi mengingat pulau ini tidak berpenghuni dan
dijadikan sebagai tempat wisata, namun aksesebilitas ke pulau Liwutongkidi
tergolong mudah sebab dapat diakses melalui transportasi laut baik dari pulau
Kadatua, pulau Siompu maupun dari kota Bau-Bau. Transportasi ke pulau
Liwutongkidi rata-rata ditempuh hanya sekitar 20 sampai 30 menit dengan
menggunakan perahu bermotor baik dari Kadatua, Siompu, maupun dari kota
Bau-Bau. Jarak desa ke ibukota kecamatan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jarak desa ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten


No Desa Kecamatan (Km) Kabupaten (Km) Luas (Km2)
1. Kapoa 5 57 2.51
2. Waonu 1.5 56 1.76
3. Tongali 11 13 2.50
Sumber : Kecamatan Kadatua dan Siompu dalam Angka 2009

4.5.2. Kependudukan
Jumlah penduduk desa Kapoa, Waonu dan Tongali sampai pada tahun
2008 masing-masing 1087, 834 dan 1831 jiwa. Dari ketiga desa ini, desa tongali
menjadi desa dengan jumlah penduduk yang terbanyak dan terpadat dengan
kepadatan penduduk 732 jiwa/km2 yang berarti bahwa setiap 1 km2 rata-rata
dihuni oleh 732 orang dengan persebarannya 18.60%. Sedangkan untuk Desa
Waonu kepadatan penduduk 474 jiwa/km2 dengan persebarannya 8.70% dan
desa Kapoa kepadatannya 433 jiwa/km2 persebarannya 11.33% Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah kepadatan penduduk dan persebarannya
Jumlah Kepadatan Persebarannya
No Nama Desa
Penduduk (jiwa) jiwa/km2) (%)
1. Kapoa 1087 433 11.33
2. Waonu 834 474 8.70
3. Tongali 1831 732 18.60
Sumber : Kecamatan Siompu dan Kadatua dalam Angka 2008

Agama yang dianut oleh ketiga desa seluruhnya beragama Islam. Mata
pencaharian utama mereka sehari-hari adalah nelayan. Jumlah penduduk
berdasarkan kepala keluarga (KK), dan rumah tangga perikanan (RTP) secara
khusus untuk lokasi penelitian dari ketiga desa tersebut data dirinci pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah penduduk, kepala keluarga (KK), dan rumah tangga perikanan
(RTP)
RT/KK RTP Jumlah
No Nama Desa
Jumlah % Jumlah % Penduduk
1. Kapoa 278 25.58 36 4.32 1087
2. Waonu 241 28.90 35 3.22 834
3. Tongali 370 20.21 54 3.00 1831
Sumber : Kecamatan Siompu dan Kadatua dalam Angka 2008

4.5.3. Karakteristik Responden

Dengan berbagai pertimbangan dan alasan, masyarakat yang diteliti untuk


data sosial ekonomi masyarakat dilakukan di 3 (tiga) desa. Populasi responden
untuk Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali dengan jumlah 500 nelayan
dan melibatkan 50 responden di masing-masing desa. Seluruh desa yang dipilih
adalah desa pesisir yang meliputi desa-desa yang sudah masuk ke dalam program
COREMAP II.
Seluruh responden adalah laki-laki, dan hampir semuanya adalah nelayan
usia produktif, di atas 26 tahun, dan sudah kawin, dengan anggota keluarga antara
2 sampai dengan 9 orang. Sebagian terbesar nelayan berpendidikan Sekolah Dasar
dan tidak punya pekerjaan sampingan. Pada umumnya mereka adalah suku atau
etnis Buton dan telah tinggal turun temurun di desa mereka semenjak lahir.

4.5.3.1. Umur Responden

Dalam penelitian ini umur responden yang diambil sebagai sampel


bervariasi antara umur 25 tahun sampai dengan lebih dari 50 tahun. Berdasarkan
hasil survey yang dilakukan dari Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali
dapat di klasifikasi berdasarkan umur secara rata-rata untuk ketiga desa dapat
dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Klasifikasi umur responden menurut desa

Persentase (%)
No Nama Desa Umur (tahun) Jumlah (orang)

25 - 30 6 12.00
31 - 35 8 16.00
1 Kapoa 36 - 40 7 14.00
41 - 45 8 16.00
46 - 50 8 16.00
>51 13 26.00
Total 50 100
25 - 30 4 8.00
31 - 35 3 6.00
2 Waonu 35 - 40 8 16.00
41 - 45 14 28.00
46 - 50 8 16.00
>51 13 26.00
Total 50 100
25 - 30 8 16.00
31 - 35 2 4.00
3 Tongali 36 - 40 19 38.00
41 - 45 7 14.00
46 - 50 9 18.00
>51 5 10.00
Total 50 100
25 - 30 18 12.00
31 - 35 13 8.67
4. Rata-rata desa 36 - 40 34 22.67
41 - 45 29 19.33
46 - 50 25 16.67
>51 31 20.67
Total rata-rata 150 100
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2010

4.5.3.2. Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat pendidikan dari ketiga desa ini dapat dikatakan masih tergolong
sangat rendah. Sebagian besar penduduk hanya tamat Sekolah Dasar (SD) .
Jumlah responden menurut tingkat pendidikan persentase tertinggi terdapat pada
tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 60.00% atau berjumlah 90 orang dan
persentase terendah pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu
21 orang atau sebsar 14.00%, sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama
(SMP) jumlahnya 39 orang atau sebesar 26.00% Tabel 12.
Tabel 12. Klasifikasi tingkat pendidikan responden

Desa Sekolah Jumlah


No
SD SMP SMA
1. Kapoa 40 8 2 50
2. Waonu 36 8 6 50
3. Tongali 14 23 13 50
Jumlah 90 39 21 150
Persentase (%) 60 26 14 100
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2010

Rendahnya tingkat pendidikan penduduk, selain disebabkan masih


rendahnya pemahaman penduduk (orang tua) tentang pentingnya pendidikan juga
disebabkan masih terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada di
kecamatan Siompu dan Kadatua khususnya pada jenjang pendidikan SMP dan
SMA.

4.5.3.3. Mata Pencaharian Responden


Dari data survey di lokasi penelitian mata pencaharian utama responden
adalah nelayan dan sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar dan tidak punya
pekerjaan sampingan. Mata pencaharian mereka berfariasi dan berbeda-beda
tergantung pada musim barat dan musim timur dalam penggunaan alat tangkap
ikan. Kebiasan ini telah lama dilakukan sejak jaman nenek moyang mereka dan
merupakan turun temurun dan pada umumnya mereka adalah suku Buton yang
tinggal di desa sejak lahir.

4.5.3.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden

Keluarga dalam masyarakat Desa Siompu, Waonu dan Tongali


merupakan keluarga sekunder, yang pada umumnya terdiri atas pasangan suami
isteri dengan anaknya dan ditambah beberapa anggota keluarga terdekat seperti
keponakan, nenek dan cucu. Jumlah tanggungan keluarga responden merupakan
tanggung jawab laki-laki mempunyai hal kontrol langsung dalam kehidupan
keluarga. Dari hasil survey di ketiga desa tersebut sebagian besar responden
mempunyai jumlah tanggungan keluarga bervariasi antara satu sampai sembilan
orang. Data mengenai jumlah tanggungan keluarga responden dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13. Klasifikasi responden menurut jumlah tanggungan keluarga
Jumlah Desa Persentase (%)
No
Tanggungan Kapoa Waonu Tongali Kapoa Waonu Tongali
1 <2 5 3 - 10.00 6.00 -
2 3 4 6 2 8.00 12.00 4.00
3 4 13 7 15 26.00 14.00 30.00
3 5 13 13 20 26.00 26.00 40.00
4 6 9 12 8 18.00 24.00 16.00
5 7 2 7 5 4.00 14.00 10.00
6 8 2 2 - 4.00 4.00 -
7 9 2 0 - 4.00 - -
Jumlah 50 50 50 100.00 100.00 100.00
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2010
5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang


Penelitian ekosistem terumbu karang yang dilakukan di sekitar Pulau
Siompu, Pulau Kadatua dan Pulau Liwutongkidi dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan karang di lakukan sebanyak 20 stasiun pengamatan. Setiap stasiun
tersebar di beberapa lokasi yang dekat dengan lokasi pemukiman penduduk dan
maupun jauh dari pemukiman penduduk dengan kedalam antara 3 – 10 meter.
Dari 20 lokasi stasiun pengamatan, masing-masing 5 stasiun di Pulau Siompu, 5
stasiun di Pulau Kadatuan dan 10 stasiun di Pulau Liwutongkidi dengan titik-titik
koordinat stasiun dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan pengamatan penutupan substrat dasar di masing-masing
stasiun secara visual terdapat tipe terumbu karang yang berbeda disekitar perairan
Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi dan Pulau Kadatua adalah terumbu karang
tepi (fringing reef). Bentuk dasar koloni karang lengkap, yaitu karang masif
(massive coral), karang bercabang (branching coral), mengerak (encrusting
coral), dan lembaran (foliaceous). Indikator pengamatan yang diteliti adalah
penutupan substrat dasar, kelimpahan ikan karang dan indikator sosial ekonomi
masyarakat.

5.2. Kondisi Penutupan Substrat Dasar


Pengamatan penutupan substrat dasar pada ekosistem terumbu karang
yang dilakukan secara langsung pada tiga lokasi. Hasil pengamatn yang dilakukan
menunjukan tipe terumbu karang di rataan karang Pulau Siompu, Pulau Kadatua
dan Pulau Liwutongkidi dapat di kategorikan sebagai terumbu karang tepi
(fringing reef)..
Hasil pengamatan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect
(LIT) dapat digambarkan bahwa kondisi terumbu karang yang berada di perairan
Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Pulau Liwutongkidi sangat bervariasi. Lebih
jelas dapat dikatakan bahwa pada kedalaman antara 3 – 10 meter terumbu karang
pada semua stasiun dikatagorikan rusak sampai dengan katagori baik.
1. Pulau Siompu
Hasil penelitian penutupan substrat dasar pada 5 stasiun di Pulau Siompu
dengan kedalaman antara 3 – 10 meter. Berdasarkan pengamatan pada stasiun 1
sampai dengan stasiun 5 penutupan karang hidup antara 0.67 % - 71.00 %.
Penutupan karang hidup terbesar pada stasiun 4 sebesar 71.00 % dan persentase
penutupan karang hidup terkecil di jumpai pada stasiun 5 sebesar 0.67 % . Secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Persentase penutupan karang hidup (karang keras, karang lunak dan
biota lain di Pulau Siompu
Karang Karang lunak Persentase Kategori
Stasiun
Keras (%) (%) Penutupan (%) Kondisi
1 41.99 2.00 43.99 Sedang
2 29.17 3.83 33.00 Sedang
3 18.68 7.50 26.18 Sedang
4 67.66 3.34 71.00 Baik
5 0.67 0.00 0.67 Buruk
Sumber : Data primer diolah 2010

Stasiun 1 terletak pada posisi 05º 38' 01" LS dan 122º 30' 13" BT
dijumpai persentase penutupan karang hidup 43.99%, terdiri dari Acropora
0.66%, non Acropora 41.33%, dan Soft coral 2.00%. Kategori lain yang cukup
tinggi di lokasi transek adalah Dead coral (karang mati) dan sand (pasir) masing
–masing 18.17 % dan 18.50%. Karang mati sebesar 18.17% sejalan dengan
patahan karang mati (rubble) sebesar 16.67%. Gambar 10.
Secara visual kondisi rerata persentase penutupan karang hidup di stasiun
1 berdasarkan lifeform di kategori sedang. Gomez dan Alcala (1978), Gomez dan
Yap (1988) persentase penutupan karang sedang antara 25 – 49.9%. Pada stasiun
1 persentase penutupan karang hidup dikategorikan sedang tetapi memiliki variasi
lifeform cukup besar yaitu Coral Encruising, Coral Branching, Coral heliopora,
Coral massive, Coral submassive (Lampiran 2. Kategori karang menurut
lifeform ) Analisis indeks mortalitas karang pada stasiun 1 memiliki nilai 0.45%,
maka rasio kematian karang kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi.
Selanjutnya Fachrul (2007) mengatakan kesehatan karang yang
mendekati nilai 0 adalah rasio kematian karang kecil tingkat kesehatan karang
tinggi dan apabila mendekati nilai 1 tingkat kesehatan karang rendah atau rasio
kematian karang yang besar.
Gambar 10. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat
Pulau Siompu

Stasiun 2 terletak pada koordinat 05º 39' 02" LS dan 122º 29' 40" BT di
jumpai penutupan karang hidup sebesar 33.00%, yang terdiri dari Acropora
1.67%, non Acropora 27.5 %, dan soft coral 3.83%. Sehingga kondisi penutupan
karang hidup dikategorikan sedang. Penurunan penutupan karang hidup
disebabkan oleh tingginya patahan karang (rubble) 35.67% dan kematian karang
(Dead coral) 25.17%. Kerusakan fisik habitat dasar mengakibatkan penurunan
kwalitas terumbu karang, terlihat pada indeks mortalitas sebesar 0.65%
mendekati nilai 1 maka dapat dikatakan kondisi karang pada stasiun 2 memiliki
rasio kematian yang besar atau kesehatan yang rendah.
Berdasarkan pengamatan penutupan substrat dasar pada stasiun 3
koordinat 05º 37' 19" LS dan 122º 30' 50" BT di jumpai karang mati (Dead
coral) 55.32%, Acropora 1.34%, Non Acropora 17.34%, Soft coral 7.50% biota
lain 5.50%, pasir 10.83% dan Rubble 2.17%. Sedangkan penutupan karang
hidup sebesar 26.18% dikategorikan sedang. Kerusakan fisik habitat dasar dapat
mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem terumbu karang. Hal ini terlihat
pada persentase indeks mortalitas karang sebesar 0.69% mendekati nilai 1 maka
rasio kematian karang besar atau memeliki tingkat kesehatan karang rendah.
Pengamatan penutupan karang di stasiun 4 koordint 05º 37' 39" LS dan
122º 31' 40" BT. Analisis persentase penutupan karang hidup kategori baik
dengan nilai persentase 71.00% terdiri dari Acropora 60%, Non Acropora
7.66% dan Soft coral 3.34%. Persentase substrat dasar yang lain 29% meliputi
Dead Coral and Dead Coral with Algae 4.67%, Rubble 10.00% dan pasir
14.33% dengan tingkat kesehatan (Indeks mortalitas) 0.17%. Sedangkan
koordinat 05º 37' 40" LS dan 122 º 32' 42" BT pada stasiun 5 dijumpai
penutupan karang non Acropora massive sebesar 0.67% dan pasir (sand) sebesar
99.33% merupakan salah satu daerah berpasir yang tidak terdapat substrat keras
untuk penempelan planula karang.

2. Pulau Liwutongkidi
Pengamatan penutupan substrat dasar di Pulau Liwutongkidi dilakukan
pada 10 stasiun dengan kedalaman antara 3-10 meter. Persentasi penutupan
karang hidup dari stasiun 1 sampai stasiun 10 berkisar antara 11.67% - 72.50%.
Persentasi terbesar dijumpai pada stasiun 3 sebesar 72.50% dan terkecil di jumpai
pada stasiun 1 sebesar 11.67% lihat Tabel 15.

Tabel 15. Persentase penutupan karang hidup di Pulau Liwutongkidi


Karang Keras Karang lunak Persentase Kategori
Stasiun
(%) (%) Penutupan (%) Kondisi
1 10.34 1.33 11.67 Buruk
2 54.12 0.50 54.62 Baik
3 72.50 0.00 72.50 Baik
4 48.83 0.00 48.83 Sedang
5 56.17 14.50 70.67 Baik
6 50.67 0.00 50.67 Baik
7 43.00 0.00 43.00 Sedang
8 63.83 0.00 63.83 Baik
9 44.17 0.00 44.17 Sedang
10 56.66 0.00 56.66 Baik
Sumber : Data primer diolah 2010

Persentase penutupan karang hidup pada stasiun 2, stasiun 4, stasiun 5, stasiun 6,


stasiun 7,stasiun 8, satasiun 9 dan stasiun 10 masing-masing adalah 54.62%,
48.83%, 72.00%, 56.00%, 43.00%, 63.83%, 44.17% dan 57.66% yang terdiri dari
Acropora, Non Acropora dan Soft coral.
Terumbu karang di Pulau Liwutongkidi dengan Persentase penutupan
substrat dasar dapat dijelaskan sebagai berikut: kategori patahan karang (Rubble)
tertinggi berada di Stasiun 1 sebesar 75.83% dan yang terendah ada di Stasiun 5
sebesar 0.00%. Kondisi penutupan substrat kategori kelompok Acropora tertinggi
di Stasiun 8 sebesar 55.33% dan terendah di Stasiun 1 sebesar 0.67% yang terdiri
dari Acropora branching untuk semua stasiun dari stasiun 1 sampai dengan
stasiun 10 berturut-turut adalah 0.67%, 10.30%, 36.83%, 2.50%, 12.00%, 3.83.%,
7.00%, 48.00%, 21.83%, 22.33% Coral submassive hanya terdapat pada stasiun 7
sebesar 4.17%, coral digitake pada stasiun 2 (0.83%), stasiun 4 (1.00%) dan
stasiun 5 (5.00%) sedangkan coral tabulate terdapat pada stasiun 4 (1.67%),
stasiun 5 (8.33%), stasiun 7 (7.83%) dan stasiun 8 (7.33%) Gambar 11.

Gambar 11. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar Pulau
Liwutongkidi

Persentase penutupan substrat dasar kategori Non Acropora dari stasiun 1 sampai
stasiun 10 berturut-turut adalah 9.67%, 42.99%, 35.67%, 43.66%, 30.84%,
46.84%, 24.00%, 8.50%, 22.34%, dan 34.33%. Persentase penutupan karang
hidup tertinggi pada stasiun 3 sebesar 72.50% dan penutupan karang hidup
terendah terdapat di Stasiun 1 sebesar 11,67%. Stasiun 1 memiliki persentase
penutupan paling rendah disebabkan karena banyak terdapat pecahan karang
(rubble) sebesar 75.83% dan karang mati yang belum ditumbuhi algae. Patahan
karang yang di temui di stasiun 1 perairan Pulau Liwutongkidi akibat
penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bubu tancap. Indeks mortalits
karang pada stasiun 1 rendah atau rasio kematian besar mendekati 1 yaitu sebesar
0.88%
Gomez dan Yap (1988) menjelaskan tingginya tutupan karang keras
merupakan karang yang sehat diikuti dengan keragaman jenis karang. Karang
keras yang dijumpai di stasiun 1 - 10 meliputi jenis Acropora branching,
Acropora tabulate, Acropora submassive, Acropora digitate, Coral branching,
Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, Mushrom coral dan Coral
mellepora. Secara umum dapat dilihat bahwa karang dan biota yang ada di Stasiun
2, stasiun 3, stasiun 5, stasiun 6, stasiun 8, stasiun 10 dikategorikan baik dan
kategori sedang terdapat pada stasiun 4, stasiun 7 dan stasiun 9 (Lampiran 2).

3. Pulau Kadatua
Hasil penelitian penutupan substrat dasar pada 5 stasiun di Pulau Kadatua
dengan kedalaman antara 3 – 10 meter. Berdasarkan pengamatan persentase
penutupan terumbu karang hidup tertinggi pada stasiun 3 sebesar 47.86% dan
terkecil pada stasiun 2 sebesar 13.01%. Komposisi penutupan substrat dasar di
perairan Pulau Kadatua merupakan daerah dengan penutupan karang hidup
rendah sampai sedang Tabel 16.

Tabel 16 . Persentase penutupan karang hidup di Pulau Kadatua


Karang Karang lunak Persentase Kategori
Stasiun
Keras (%) (%) Penutupan (%) Kondisi
1 36.66 1.33 37.99 Sedang
2 13.01 0.00 13.01 Buruk
3 43.53 4.33 47.86 Sedang
4 36.82 0.00 36.82 Sedang
5 29.34 1.67 31.01 Sedang

Penutupan karang hidup pada stasiun 1 sebesar 37.99% yang terdiri dari
Acropora branching (ACB) 21.33%, Acropora digitake (ACD) 1.83%, coral
branching (CD) 1.17%, coral encrusting (CE) 8.00%, coral foliose (CF) 2.00%,
coral massive (CM) 2.33% dan soft coral (SC) 1.33% lifeform yang lain kategori
Dead coral (DC) and Dead coral With Algae (DCA) 37.67%. Biota lain 6.67%,
sand (S) 14.00% dan rubble (R) 3.67%.
Stasiun 2 penutupan karang sangat kecil yaitu 13.01% yang terdiri dari
coral branching (CB) 10.17%, coral encrusting (CE) 0.670%, coral massive
(CM) 1.50%, coral submassive (CS) 0.67% sedangkan pasir (sand) sebesar
83.00% dan Dead coral 4.00%. Stasiun 3 penutupan karang hidup sebesar
47.86% . Penutupan karang hidup paling tinggi di stasiun 3 memiliki persentase
Acropora branching (ACB) 15.33%, Acropora submassive (ACS) 1.33%,
Acropora digitake (ACD) 1.67%, Acropora tabulate (ACT) 8.67%, coral
encrusting (CE) 1.00%, coral massive (CM) 15.53% dan soft coral (SC) 4.33%.
kategori lifeform lain pada stasiun 3 adalah Sand (S) 20.47%, Rubble (R) 3.67%
dan Dead coral (DC) and Dead coral With Algae (DCA) 28.00% lebih jelas
dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar


Pulau Kadatua

Stasiun 4 dengan persentase penutupan karang hidup 36.82% yang terdiri dari
Acropora branching (ACB) 10.33%, Coral branching (CB) 10.33% coral
encrusting (CE) 2.00%, coral foliose (CF) 2.33% dan Coral massive (CM)
11.83% . Kategori lain lifeform adalah Dead coral (DC) and Dead coral With
Algae (DCA) 35.33%, Sand (S) 25.17% dan Rubble (R) 2.67%. Stasiun 5 dengan
penutupan karang hidup 35.33% terdiri dari Acropora 7.00%, Non acropora
22.34% dan Soft coral 1.67%. Hasil analisa lifeform yang lain pada stasiun 5 di
jumpai karang mati yang belum ditumbuhi algae (Dead coral ) 33.67%, sand
22.33% dan patahan karang (Rubble) 13.00% Gambar 12.
Hasil yang didapat pada lokasi penelitian tipe terumbu karang di perairan
sekitar Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua dan Pulau siompu adalah terumbu
karang tepi (fringing reef). Bentuk dasar koloni karang lengkap, yaitu karang
masif (massive), bercabang (branching), mengerak (encrusting), dan lembaran
(foliaceous). Jenis dan jumlah lifeform khususnya yang mempunyai bentuk
koloni bercabang dan masif cukup tinggi sehingga sangat mendukung kehidupan
organisme laut. Persen penutupan karang hidup pada daerah rataan terumbu
karang umumnya kondisinya sedang sampai baik bahkan pada beberapa stasiun
pengamatan kondisinya dalam kategori baik. Keberadaan terumbu karang dapat
juga mempengaruhi keberadaan ikan karang semakin beragam bentuk
pertumbuhan karang maka kekayaan jenis dan kelimpahan spesies ikan karang
akan semakin tinggi. Dari data tersebut menunjukkan bahwa ekosistem terumbu
karang yang ada di sekitar ketiga pulau lokasi penelitian masih sangat mendukung
kehidupan organisme yang berasosiasi di dalamnya.
Lokasi penelitian secara keseluruhan terdapat 7 stasiun yang dikategorikan
baik, 10 stasiun kategori sedang dan 3 stasiun di kategorikan buruk. Persentase
yang ekstrim yang terjadi pada perairan Liwutongkidi stasiun 1 patahan karang
(rubble) mencapai 75.83%. Kerusakan karang ini terjadi karena aktifitas
penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bom, penanaman
bubu diatas karang untuk kepentingan ekonomi sesaat tanpa memperhatikan
kehidupan jangka panjang (Souter 2000). Kerusakan terumbu karang juga
disebabkan oleh jangkar kapal nelayan terutama di pulau Liwutongkidi dan Pulau
Siompu. Selama pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian tidak di
temukan bintang seribu (Acanthaster planci) sebagai predator terbesar karang,
sehinggu kematian karang ini sebagian besar dikarenakan kegiatan penangkapan
ikan karang oleh nelayan. Sedangkan 2 stasiun merupakan hamparan pasir dan
tidak terdapat karang.

5.3. Komunitas Ikan Karang


Hasil pengamatan yang dilakukan dengan visual sensus ikan karang pada
stasiun pengamatan di 3 lokasi pada posisi yang sama dalam identifikasi karang.
Dari seluruh stasiun pengamatan komunitas ikan karang dapat dikelompokan
menjadi tiga kelompok yaitu kelompok ikan target yang biasa disebut dengan
nama ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi, kelompok ikan indikator
merupkan ikan yang erat hubungannnya dengan keseburun terumbu karang dan
ikan lain atau biasa disebut ikan mayor dan banyak dijadikan sebagai ikan hias.
Hasil sensus kelompok ikan karang menurut family, spesies dan jumlah
individu di kawasan konservasi Pulau Siompu, Pulau liwutongkidi dan Pulau
Kadatua. Jumlah total ikan yang teramati di semua stasiun pengamatan
menunjukan jumlah family sebanyak 436, dari pengelompokan menurut jenis
sebanyak 1,081 dan total individu sebanyak 5,871 (Lampiran 3, 4, 5 dan 6 ).
Hasil pengamatan sensus visual ikan karang di perairan pulau Siompu
dilakukan pada 5 titik stasiun menunjukkan jumlah ikan yang diperoleh untuk
semua stasiun adalah 1,433 individu dari 137 spesies dan 44 family kemudian
dikelompokan menurut kelompok . Kelompok ikan mayor yang banyak di jumpai
pada semua stasiun adalah family Pomacentridae sebanyak 380 ekor dari 30
spesies yang banyak di jumpai pada semua stasiun adalah jenis Dascyllus
reticulates, Dascyllus trimaculatus, Dascyllus aruanus dan Chromis ternatensis.
Kelompok ikan Indikator adalah jenis ikan yang paling kuat berasosiasi dengan
jenis-jenis karang. Secara umum jenis ikan ini disebut ikan kepe-kepe dari
family Caetodontidae. Famili Caetodontidae banyak terdapat di semua stasiun
dengan jumlah 60 individu dari jenis Chaetodon kleinii, Chaetodon lunula,
Chaetodon ephippium dan Forcipiger flavissimus. Sedangkan kelompok ikan
target yang di jumpai pada semua stasiun adalah 15 famili dari 119 spesies dan
380 individu yang banyak dijumpai pada semua stasiun adalah family
Acanthuridae, Caesionidae, Siganidae, dan Lethrinidae.
Dari hasil pengamatan komunitas ikan karang disekitar Pulau
Liwutongkidi pada 10 titik stasiun pengamatan, ditemukan sejumlah 2,800
individu dari 40 famili dan 145 spesies. Jumlah tersebut terdiri dari kelompok
ikan target, kelompok ikan indikator dan kelompok ikan mayor. Kelompok ikan
target di lokasi perairan Liwutongkidi, diperoleh sebanyak 16 famili dari 46
spesies dan 803 individu. Jenis ikan yang banyak dijumpai diseluruh stasiun
adalah family Acanthuridae dengan 9 spesies, Caesionidae dengan 2 spesies, dan
Lutjanidae dengan 5 spesies.
Kelompok ikan mayor terdiri dari 23 famili dari 84 spesies dan 1,825
individu yang banyak dijumpai pada stasiun pengamatan dari family
Pomacentridae 28 spesies, Labridae 14 spesies, Balistidae 4 spesies, Scaridae 3
spesies Anthiinae 2 spesies, dan Apogonidae 2 spesies. Kelompok ikan indikator
yang dijumpi pada semua stasiun adalah family Chaetodontidae terdiri dari 15
spesies dan 172 individu. Ikan kelompok ini umumnya memiliki pola warna yang
indah dan gerakan-gerakan yang sangat menarik yang banyak dijumpai adalah
jenis Chaetodon trifascialis, Chaetodon lunulatus, Chaetodon kleinii, Forcipiger
flavissimus dan Heniochus varius.
Pengamatan ikan karang berdasarkan jenis dengan metode visual sensus di
perairan Pulau Kadatua pada 5 titik stasiun pengamatan ditemukan 37 famili
dari 157 spesies dan 1.638 individu. Jumlah individu untuk semua jenis ikan
karang berdasarkan kelompok menunjukan ikan mayor memiliki kelimpahan
sebesar 21 famili, 95 spesies dan 1,081 individu. Jumlah spesies terbesar adalah
dari family Pomecentridae terdiri dari 32 spesies dan 602 individu. Jenis-jenis
yang ditemukan pada semua stasiun adalah Dascyllus reticulates, Dascyllus
trimaculatus, Dascyllus aruanus, Pomacentrus muluccensis, dan Chromis
retrofasciata.
Kelimpahan ikan target pada lokasi penelitian 442 individu dengan jenis
ikan terbesar adalah jenis ikan Pterocaesio tile dari family Caesionidae,
sedangkan ikan indikator sebanyak 115 individu dengan jumlah jenis terbesar
adalah Chaetodon kleinii, dari family Chaetodontidae. Adapun jumlah ikan
karang yang diklasifikasikan berdasarkan kelompok dari masing-masing pulau
dapat dilihat pada Gambar 13, 14 dan 15.

Gambar 13. Kelimpahan kelompok ikan target berdasarkan famili di Pulau


Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua.
Gambar 14. Kelimpahan kelompok ikan mayor berdasarkan family di Pulau
Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua

Keberadaan sumberdaya ikan karang sangat erat kaitannya dengan


keberadaan sumberdaya terumbu karang sebagai habitatnya. Pada daerah terumbu
karang, ikan karang merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga
merupakan organisme besar yang mencolok. Dengan jumlahnya yang besar dan
mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan karang
penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken
1992).

Gambar 15. Kelimpahan kelompok ikan indikator berdasarkan family di Pulau


Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua
Secara umum interaksi antara ikan karang dengan habitatnya meliputi tiga
bentuk utama. Pertama, adanya hubungan langsung antara struktur terumbu dan
tempat perlindungan. Hal ini akan terlihat jelas pada ikan-ikan yang kecil. Kedua,
adanya interaksi pola makan yang melibatkan beberapa ikan karang dan biota
sesil, termasuk alga. Lebih jauh interaksi ini penting bagi eksistensi karang yaitu
penyedian substrat dasar. Ketiga, adanya suatu interaksi peran yang melibatkan
struktur terumbu dan pola makan dari planktivora dan karnivora yan berasosiasi
dengan terumbu.
Ikan target ditemukan sebanyak 1.625 individu yang banyak dijumpai
pada lokasi penelitian berasal dari family Achanturidae, Caesionidae, Mulidae,
Serranidae, Lutjanidae dan Lethrinidae. Ikan Target merupakan jenis ikan
konsumsi yang menjadi target penangkapan nelayan setempat, kelompok ikan ini
mendominasi dua kelompok lainnya. Keberadaan ikan target di ekosistem
terumbu karang adalah untuk mencari makan, pemijahan dan pembesaran anak.
Ikan mayor merupakan ikan yang tidak termasuk kedalam dua kelompok diatas.
Jumlah ikan mayor ditemukan sebanyak 3.899 individu yang dominan berasal
dari famili Pomacentridae. Keberadaan ikan ini adalah sebagai salah satu mata
rantai dalam sistem ekologi dan jaring makanan di ekosistem terumbu karang.
Ikan-ikan terumbu akan melakukan berbagai aktivitas berdasarkan
kebiasaannya serta fungsinya, yang pada akhirnya membentuk suatu pola
keseimbangan yang mendukung keberadaan ekosistem terumbu karang.
Kelompok ini pada umumnya mencari makan dan tinggal di permukaan karang
dengan memakan plankton, alga, atau hewan yang lebih kecil yang terdapat baik
di kolom air maupun di permukaan terumbu . Ikan terumbu yang banyak
dijumpai di semua stasiun pengamatan, sebagian besar dari famili ikan yang
terdapat di ekosistem terumbu karang adalah Pomacentridae, Chaetodotidae,
Pomachantidae, Acanthuridae, Labridae, Caesionidae, Balistidae Lutjanidae,
Balistidae, Serranidae, Siganidae, dan Anthiinae. Selanjutnya Allen dan Steene
(1994), mengemukakan jenis ikan karang yang banyak mendominasi terumbu
karang adalah ikan, Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae,
Apogonidae, Serranidae, Scaridae, Acanthuridae, Bleenidae, dan Gobiidae.
Interaksi yang terjadi menjelaskan besarnya kedekatan keanekaragaman
hayati dan keseragaman ikan karang dengan stasiun pengamatan. Pomacentridae
memiliki pembobotan yang terbesar dengan interaksi yang kuat pad semua
stasiun, yang dipengaruhi faktor kesukaan dan pola pencarian makan. Stasiun
dengan penutupan karang mati beralga (Dead Coral Algae) yang besar
berinteraksi pada ikan Caesio dan ikan Chromis dengan jumlah ikan yang besar.
disebabkan oleh pola makan dan kebutuhan akan tempat berlindung, dimana ikan
Caesio merupakan ikan pemakan plankton dan ikan kecil. Sedangkan ikan
Chromis merupakan ikan herbivor, bertindak sebagai grazer yaitu pemakan alga
sehingga pertumbuhan alga yang bersaing ruang hidup dengan karang dapat
terkendali. Ikan Pomacentridae dan tersebar hampir merata pada seluruh stasiun
dengan nilai terbesar pada perairan Kadatua. Penyebaran ikan ini dipengaruhi oleh
kebutuhan akan tempat perlindungan, dimana shuktur terumbu pada stasiun ini
cocok sebagai tempat berlindung bagi ikan Pomacentridae.
Dari hasil pengamatan komunitas ikan karang di sekitar Pulau Siompu,
Pulau Liwutongkidi dan Pulau Kadatua memiliki keanekaragaman yang berkisar
antara 2.71 sampai dengan 4.72 termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi.
Keseragaman ikan karang antara 0.69 sampai dengan 0.92 memiliki keseragaman
tinggi komunitas stabil sedangkan dominasi bagi beberapa jenis ikan memiliki
kisaran antara 0.04 - 0.29 yang menunjukan bahwa tidak terdapat dominasi
spesies tertentu Gambar 16.

Gambar 16. Grafik keanekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominasi (C )


komunitas ikan karang di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan
Kadatua
Keterangan : S (Siompu ), L (Liwutongkidi), K (Kadatua)
Grafik di atas dapat dilihat pada stasiun 4 Pulau Siompu memiliki
keanekaragaman ikan karang yang tinggi sehingga menyebabkan keseragaman
ikannya menjadi tinggi pula sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
karang dengan persentasi penutupan karang masih bagus (71.00%) . Selanjutnya
Nybaken (1992), salah satu penyebab tingginya keragaman spesies ikan karang di
terumbu karang adalah variasi habitat terdapat di terumbu. Terumbu tidak hanya
terdiri dari karang hidup saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan
celah, daerah algae dan juga perairan dangkal dalam zona-zona yang berbeda
melintasi karang ini sangat disukai oleh berbagai spesies ikan karang.
Hasil tersebut diatas terdapat hubungan positif antara jumlah
keanekaragaman ikan karang yang ditemukan dengan kondisi terumbu karang di
perairan tersebut. Kondisi demikian menjadikan ekosistem ikan karang menjadi
lebih seimbang tidak ada dominasi dari jenis ikan karang. Interaksi yang terjadi
menjelaskan besarnya kedekatan keanekaragaman dan keseragaman ikan karang
dengan stasiun pengamatan. Jenis ikan Pomacentridae memiliki jumlah yang
terbesar dengan interaksi yang kuat pada semua stasiun penelitian. Hal ini juga
dipengaruhi faktor kesukaan dan pola pencarian makan yang sesuai dengan
lingkungannya. Selanjutnya (Allen 2000) setiap spesies memperlihatkan
kecocokan habitat yang tepat diatur oleh kombinasi faktor ketersediaan makanan,
tempat berlindung dan variasi parameter fisik

5.4. Aktifitas Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Karang


Berdasarkan hasil survey terhadap aktifitas perikanan tangkap di wilayah
kajian ternyata sebagian besar masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti
pancing, jaring insang, panah dan bubu. Selanjutnya hasil tangkapan ikan
sebagian besar dihasilkan oleh alat tangkap jaring insang disusul bubu dan
pancing. Penduduk Desa Tongali, Desa Kapoa dan Desa Waonu mata
pencaharian utama adalah nelayan. Kurang lebih 889 rumah tangga perikanan
yang manggantungkan hidup di sektor tersebut dengan menggunakan alat tangkap
pancing, panah, jaring dan bubu.
Dari ketiga desa lokasi penelitian, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan
tidak mempunyai referensi penangkapan terhadap ikan-ikan target yang
merupakan prioritas utama maupun terhadap jenis alat tangkap yang mereka
gunakan. Berdasarkan hasil survey lapangan dengan pengisian kuisioner dan
wawancara terhadap responden nelayan semuanya melakukan penangkapan
terhadap semua jenis ikan karang yang mereka temui dengan alat tangkap
beragam dan dimanfaatkan semua hasil tangkapan. Proses pasca penangkapan
ikan karang sangat sederhana dan teknik penangkapan masih mengikuti budaya
turun-temurun dimana para nelayan dalam melakukan penangkapan hanya satu
kali trip dengan waktu penangkapan anatara 4 – 5 jam. Secara partisipatif lokasi
kegiatan penangkapan ikan karang dapat disajikan pada Gambar 17.

Sumber : Data primer diolah 2010


Keterangan : X ( Nelayan Kapoa), Y (Nelayan Waonu ), Z (Nelayan Tongali )

Gambar 17. Visualisasi partisipatif daerah penangkapan ikan


Alat tangkap bubu yang dipakai nelayan setempat terbuat dari anyaman
bambu dengan jumlah yang dimiliki oleh beberapa nelayan di satu desa berkisar
antara 10 – 20 buah. Operasi alat tangkap tersebut ada dua cara yaitu bubu tanam
dan bubu gantung. Hasil wawancara kebanyak nelayan ketiga desa ini
menggunakan alat tangkap bubu dengan cara gantung. Cara pemasanagn bubu
gantung biasanya diletakan pada kedalaman antara 8 - 10 meter pada daerah tubir
dan diberi tali kurang lebih 4 meter. Kegunaan dari tali tersebut adalah untuk
mempermudah waktu pengambilan bubu dengan cara mengait dari tali tersebut
dan ditarik kepermukaan air. Peletakan alat tangkap bubu di daerah tuber di
celah-celah atau hamparan terumbu karang yang banyak terdapat ikan karang, alat
tangkap ini diletakan 3 sampai dengan 4 hari baru diangkat untuk mengambil
ikannya, setelah itu alat ini diletakan kembali di derah hamparan terumbu karang
begitu seterusnya. Apabila alat ini ada yang rusak akan di perbaiki dan setelah itu
diletekan kembali di daerah rataan terumbu yang banyak ikan karang.
Pengoperasian alat tangkap panah dilakukan oleh masyarakat Tongali,
Kapoa dan Waonu disekitar pantai yang memiliki terumbu karang. Keuntungan
menangkap ikan dengan menggunakan panah adalah nelayan dapat memilih
sendiri jenis ikan yang mereka kehendaki. Hasil wawancara dengan nelayan alat
tangkap panah waktu yang paling baik untuk mengoperasikan alat ini diwaktu
sore sampai malam hari, maka diperlukan alat tambahan penerang berupa lampu.
Menangkap ikan dengan cara memanah yang diutamakan adalah fisik yang kuat
dan jasmani yang sehat karena pemanah akan menyelam kedasar perairan untuk
mencari ikan karang yang bersembunyi di terumbu karang. Nelayan panah
mereka tidak menggunakan alat bantu selam dan pekerjaan ini merupakan
kebiasaan yang telah lama ditekuni dan mereka dapat bertahan 3 - 5 menit di
dasar perairan untuk memanah ikan.
Jenis alat tangkap pancing yang banyak digunakan nelayan Kapoa, Waonu
dan Tongali adalah pancing ulur yang biasa di operasikan oleh satu atau dua orang
dalam satu perahu dengan model pancing disesuaikan dengan jenis ikan yang
ditangkap. Alat pancing yang digunakan nelayan tergantung selera masing-
masing, ada yang menggunakan satu atau dua sampai tiga mata kail di ujung tali
pancing setiap mata kail diberi umpan dan di ujung tali pancing diberikan sedikit
alat pemberat untuk meluruskan tali pancing kearah dasar laut.
Selain alat tangkap bubu, panah dan pancing ada juga yang menggunakan
jaring yang di pasang pada daerah terumbu karang. Penggunaan alat tangkap ini
dapat merusak terumbu karang dengan cara menusuk dengan bambu kearah
terumbu karang untuk menimbulkan bunyi berisik sehingga ikan-ikan keluar dari
persembunyiannya kemudian digiring ke arah jaring yang telah dibentangkan.

5.5. Pendugaan Nilai Utility Ekonomi Perikanan Karang


Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas
perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Berdasarkan tipologi nilai ekonomi
total ekosistem ini mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung.
Manfaat langsung yang dapat dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang
adalah perikanan karang. Sedangkan manfaat tidak langsung diantaranya sebagai
jasa ekologis (ecological services) seperti kemampuan menyerap karbon, penahan
gelombang. Penelitian ini membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung yang
berdasarkan kepada produktivitas ekosistem terumbu karang yang mempunya
nilai pasar (market base) yaitu ikan karang.
Penilaian ekonomi potensi sumberdaya terumbu karang di kawasan
konservasi pulau Liwutongkidi dengan menggunakan pendekatan change in
productivity atau yang lebih dikenal dengan sebutan Effect on Production (EOP)
sesuai yang dilakukan oleh (Cesar 1996 dan Molberg & Folke 1999). Pendekatan
penilaian dengan teknik EOP ini dilakukan untuk mengetahui nilai ekosistem
pesisir berdasarkan fungsinya terhadap produktifitas perikanan karang.
Pendugaan fungsi permintaan untuk menilai manfaaat langsung dari
ekosistem perikanan karang di Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi dan Pulau
Kadatua dapat di duga dari konsumen surplus (persamaan 11). Analisis
permintaan digunakan untuk pendugaan nilai ekonomi ikan karang yang didekati
melalui konsumen surplus dan produsen yang terkait dengan perubahan
sumberdaya yang diminta. Pendugaaan fungsi permintaan dari ekosistem
perikanan karang untuk menilai manfaat langsung dalam penelitian ini mengikuti
jumlah tangkapan (Q) merupakan variable terkait (variable dependen) atau
dipengaruhi oleh variable bebas seperti dipengaruhi oleh harga rata-rata
timbangan (P) tingkat pendidikan (Ed), Umur (A), jumlah tanggungan (F) dan
Pengalaman nelayan (Ex) dengan menggunakan regresi berganda di peroleh
koofisien disajikan dalam Tabel 17.
Tabel 17. Koefisien regresi manfaat sumberdaya perikanan karang pada
perikanan tangkap di Desa Kapoa, Waonu dan Tongali

Standard Lower
Desa Kapoa Coefficients t Stat P-value Upper 95%
Error 95%
Intercept b0 -0.29031 0.3637 -0.79829 0.42899 -1.0232 0.442609
Harga b1 -1.01336 0.0271 -37.3528 5.77E-35 -1.0680 -0.95868
Umur b2 -0.01258 0.0262 -0.47939 0.00340 -0.0655 0.040314
Pendidikan b3 0.037111 0.0336 1.10321 0.02759 -0.0307 0.104905
Tanggungan b4 -0.03286 0.013 -2.51031 0.01581 -0.0592 -0.00648
Pendapatan b5 1.033752 0.0191 54.04 7.15E-42 0.9952 1.072305
Standard Lower
Desa Waonu Coefficients t Stat P-value Upper 95%
Error 95%
Intercept b0 0.1239 0.2985 0.415194 0.6800 -0.4777 0.7256
Harga b1 -1.0023 0.01074 -93.2986 3.25E-52 -1.0240 -0.981
Umur b2 0.0532 0.01921 2.771011 0.00812 0.0145 0.0919
Pendidikan b3 0.0197 0.01464 1.345457 0.00537 -0.0098 0.0492
Tanggungan b4 0.0034 0.01026 0.335595 0.00877 -0.0172 0.0241
Pendapatan b5 0.9733 0.01772 54.92977 3.52E-42 0.9376 1.009
Standard Lower
Desa Tongali Coefficients t Stat P-value Upper 95%
Error 95%
Intercept b0 1.4846 0.68001 2.183178 0.0344 0.1141 2.85505
Harga b1 -1.0086 0.04377 -22.9977 8.63E-26 -1.0948 -0.91824
Umur b2 -0.1175 0.07063 -1.66368 0.00329 -0.2599 0.02484
Pendidikan b3 -0.0582 0.05327 1.767514 0.00424 -0.0148 0.2242
Tanggungan b4 0.0907 0.054171 1.674794 0.00107 -0.0184 0.1999
Pendapatan b5 0.9260 0.035049 26.42119 1.25E-28 0.8554 0.99666
Sumber : Data primer diolah 2010

Untuk mencari nilai kegunaan (utility) dan surplus konsumen untuk total
pemanfaatan langsung ekosistem perikanan karang yang aktual dapat di
identifikasi berdasarkan hasil olahan data primer yang didapat dari wawancara
dan pengisian kuisioner oleh rumah tangga perikanan dengan menggunakan
software 9.5. Surplus konsumen merupakan selisih antara harga yang dibayarkan
untuk mendapatkan barang atau jasa (willingness to pay) dari rata-rata jumlah
sumberdaya ikan karang yang diminta dikalikan dengan harga per unit
sumberdaya yang dikonsumsikan.
Dari hasil analisis regresi pada Tabel 18 diatas, kemudian dilanjutkan
dengan perhitungan surplus konsumen untuk menilai manfaat langsung dari ikan
karang. Penghitungan valuasi ekonomi sumberdaya terumbu karang di Perairan
Pulau Kadatua Desa Waonu untuk manfaat terumbu karang yang dapat dirasakan
secara langsung oleh masyarakat. Selengkapnya hasil pendugaan surplus
konsumen yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Pendugaan surplus konsumen dari sumberdaya ekosistem perikanan
karang
Nama Jenis Rata-rata Surplus Konsumen
No Utility (Rp)
Desa Pemanfaatan Q (Kg) (RP)
1. Kapoa Ikan karang 71.90 6.157204158 107 6.075788591 107
2. Waonu Ikan karang 64.16 2.264245735 107 2.258981164 107
3. Tongali Ikan karang 66.24 8.277645712 107 8.207064954 107
Jumlah 202.3 16.699095606 107 16.541834709 107
Sumber : Data Primer setelah diolah 2010

Dari tabel di atas menunjukan bahwa nilai manfaat (utility) terbesar dari
pemanfaatan ikan karang sebesar Rp. 82.776.457,12 dengan konsumen surplus
sebesar Rp. 82.070.649,54 nilai tersebut diperoleh dari pemanfaatan langsung
terumbu karang dari ketiga desa dengan rata-rata permintaan konsumen perbulan
sebesar 202.3 kg/bulan. Kemudian nilai manfaat (utility) untuk pemanfaatan
ekosistem ikan karang Desa Kapoa sebesar Rp. 61.572.041,58 dengan
konsumen surplus sebesar Rp. 60.757.885,91 dengan rata-rata permintaan dari
konsumen sebesar 71.90 Kg/bulan. Sedangkan Desa Waonu sangat kecil, nilai
manfaat (utility) Rp. 22.642.457,35 surplus konsumen Rp. 22.589.811,64 dengan
rata-rata permintaan sebesar 64.16 Kg/bulan.
Nilai surplus konsumen dari hasil tangkapan ikan karang dan nilai
ekonomi untuk total permintaan berdasarkan manfaat (utility) dari masyarakat
terhadap hasil tangkapan di kawasan terumbu karang di Desa Kapoa, Waonu dan
Tongali. Kurva permintaan berdasarkan utility konsumen di sajikan pada Gambar
18, 19 dan 20.
Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas
perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Berdasarkan tipologi nilai ekonomi
total ekosistem ini mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung.
Manfaat langsung yang dapat dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang
adalah perikanan karang. Sedangkan manfaat tidak langsung diantaranya sebagai
jasa ekologis (ecological services) seperti kemampuan menyerap karbon, penahan
gelombang. Penelitian ini membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung yang
berdasarkan kepada produktivitas ekosistem perikanan karang yang mempunya
nilai pasar (market base) yaitu ikan karang.
P

Gambar 18. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di


Desa Tongali

Gambar 19. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di


Desa Kapoa
P

Gambar 20. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di


Desa Waonu

Pendugaan nilai ekonomi sumberdaya adalah suatu upaya untuk menilai


manfaat dan biaya dari sumberdaya lingkungan biasa disebut dengan valuasi
ekonomi (economic valuation ). Valuasi ekonomi sumberdaya perikanan karang
bertujuan untuk pemanfaatan ikan karang secara berkelanjutan melalui pendugaan
nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total merupakan instrument yang dianggap
tepat untuk menghitung hasil tangkapan ikan karang di areal terumbu karang
sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya ekosistem perikanan karang.
Pada gambar diatas P merupakan harga hasil tangkapan per bulan dan Q
variable rata-rata timbangan per kg. Semakin besar jumlah hasil tangkapan, maka
semakin besar pula harga rata-rata timbangan. Berdasarkan hasil kalkulasi Maple
9,5, dapat diestimasi nilai surplus konsumen per bulan dari masing-masing desa
dapat dilihat pada Tabel 20. Dengan demikian Nilai Ekonomi Total (NET) dari
manfaat langsung penggunaan sumberdaya perikanan karang di Desa Kapoa,
Desa Waonu dan Desa Tongali masing-masing adalah sebesar Rp. 11.579.106,17,
Rp. 43.051.173,27 dan Rp. 15.640.846,46 per bulan. Apabila dikonversi ke dalam
pendapatan per tahun masing-masing desa, maka Nilai ekonomi Total (NET) Desa
Tongali Rp. 187.690.157,52, Desa Waonu Rp. 516.614.079,24 dan desa Kapoa
Rp. 138.949.274,04/tahun. Jumlah nilai ekonomi total dari ketiga desa untuk
Kawasan Konservasi Pulau Liwutongkidi sebesar Rp. 843.253.510,80/tahun
Tabel 19.

Tabel 19. Jumlah nilai ekonomi total (NET)/bulan dan NET/tahun

No Nama Desa NET /Bulan NET / Tahun


(Rp) (Rp)
1. Kapoa 11.579.106,17 138.949.274,04
2. Waonu 43.051.173,27 516.614.079,24
3. Tongali 15.640.846,46 187.690.157,52
Total pendapatan 843.253.510,80
Sumber: Data primer diolah tahun 2010

Total nilai ekonomi perikanan karang dihitung langsung dari nilai


pemanfaatan langsung bagi masyarakat pesisir. pemanfaatan yang paling
dominan dan paling bernilai adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari
sumberdaya perikanan karang yang didukung oleh ekosistem terumbu karang
dengan estimasi hasil perhitungan adalah USD 15.000.-/hektar/tahun yang sering
digunakan oleh LIPI dan DKP. Jika pemanfaaatan yang berlebihan atau tidak
ramah lingkungan akan mengakibatkan kerusakan atau rusaknya terumbu karang
dari suatu perairan, maka sumberdaya akan kehilangan potensi ekonomi kurang
lebih Rp. 1.3 milyar, apabila diasumsikan kedalam nilai tukar dolar US. 1 $ sama
dengan Rp. 10.000,- .
Berdasarkan konfrensi internasional dari Global Biodiversity Conference
yang diselenggarakan di Cape Town Afrika Selatan pada tanggal 13 – 16 Oktober
2009 dengan pemanfaatan ekosisteem perikanan karang untuk pendugaan nilai
ekonomi total terumbu karang sebagai “ ecosystem services” berkisar US $
129.200/hektar/tahun. Apabila hasil konfrensi tersebut sebagi acuan untuk
menilai pemanfaatan ekosistem wilayah pesisir, maka pemanfaatan ekosistem
perikanan karang di Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua dan Pulau Siompu
dengan rata-rata penutupan karang sebesar 46,92% di kategorikan sedang. Hal
tersebut dapat diasumsikan dari persen kerusakan penutupan karang telah
kehilanagn nilai ekonomi perikanan karang sebesar Rp. 179.924.808.896/ tahun.
Terumbu karang di identifikasi sebagai sumberdaya yang memiliki nilai
konservasi tinggi karena memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi,
keindahan dan menyediakan cadangan sumber plasma nutfah (Sawyer 1992 in
Dahuri 2003).
Sumberdaya alam yang berperan sangat penting bagi kehidupan ternyata
dalam pemanfaatannya sering menggunakan cara-cara yang kurang bijaksana. Hal
ini tercermin dari sikap dan perilaku dalam mengekstraksi dengan menggunakan
pola pemanfaatan tidak ramah lingkungan. Selanjutnya Cesar (2000) melaporkan
terjadi praktek penangkapan besar–besaran dengan bahan peledak dan sianida di
Indonesia. Penyebabnya adalah demand yang tinggi terhadap ikan karang
terutama jenis kerapu ( groupers) maupun ikan Napoleon wrasse.
Dengan nilai pasar yang tinggi berkisar USD 60-180 per kilo telah
menyebabkan perburuan ikan karang dihampir seluruh perairan Indonesia. Akibat
perilaku destruktif tersebut tidak dapat dihindari terjadi degradasi sumberdaya
alam yang tak terkendali. Salah satu sumberdaya alam yang berada dalam kondisi
ini adalah ekosistem terumbu karang. Saat ini terjadi perubahan pada pola
pemanfaatan ekosistem terumbu karang.
Umumnya perubahan pola pemanfaaatan bukan kearah yang lebih baik
tetapi pada pola pemanfaatan yang destruktif dengan tidak berdasarkan kepada
keberlanjutan ekosistem tersebut seperti penangkapan berlebih, pengunaan bom,
penggunaan obat bius, pemasangan perangkap dan penambangan karang.
Penelitian ini dapat memberikan peringatan kepada kita bahwa
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara berhati-
hati akan dapat menguras persediaan sumberdaya alam yang ada. Kondisi ini
pada gilirannya nanti akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan
harus dilakukan secara bijaksana, dengan selalu mempertimbangkan sisi positif
dan negatifnya.
Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable
atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping sifat
renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada
umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya
pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum.
Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :
1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan
(over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja
berlebihan (over employment).
2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state
property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh
swasta/perorangan (private property rights).
Persoalan-persoalan yang terjadi di lokasi penelitian tersebut diatas
menunjukkan bahwa sebesar apapun potensi sumberdaya ikan yang berada dalam
suatu perairan tetapi tidak diatur atau tidak ada regulasi dalam bidang
pemanfaatan sumberdaya ikan. Akan terjadi degradasi terhadap potensi
sumberdaya ikan, hal ini akan berdampak terhadap pelaku-pelaku usaha
penangkapan ikan terutama nelayan tangkap.

5.6. Analisis Pemodelan dalam Perikanan Karang

5.6.1. Konsepsi dan Diskripsi Model


Pemodelan sistem berawal dari bagaimana mencoba memahami dunia
nyata ini dan menuangkannya menjadi sebuah model dengan beragam metode
yang ada. Model dinilai sejauh mana model itu dapat berguna, sehingga langkah
pertama dalam pemodelan adalah menentukan tujuan dari pemodelan tersebut.
Model dapat dibuat untuk memprediksi sebuah komponen dalam model setelah
jangka waktu tertentu. Kegunaan model sebagai alat prediksi terletak pada
ketepatan dan ketelitian hasil prediksinya. Model juga dapat dipakai sebagai
wahana untuk ingin memahami struktur dan perilaku dari sumberdaya perikanan
karang.
Model perikanan berkelanjutan terdiri dari 2 sub model yaitu model
ekologi dan model ekonomi. Kedua sub model ini dapat berinteraksi satu dengan
yang lainnya. Model ini juga merupakan perpaduan model dinamik (sub model
ekologi dan ekonomi), secara diagramatik keterkaitan antara sub model dapat
dilihat pada Gambar 21.
INTEREST GROUTH RATE NATURAL MORTALITY

RECRUITMEN MORTALITY
STOK IKAN

DENSITY
TOTAL PENANGKAPAN KKAPAL MOTOR

AREA
COST

TANGKAPAN PER NELAYAN

REVENEUS

KEUNTUNGAN PER BULAN

MUSIM HARGA PER KG

Gambar 21. Sub model ekologi dan ekonomi perikanan karang

5.6.2. Informasi Dasar dan Asumsi Model


Perumusan sistem yang dibangun berdasarkan model matematikan dengan
menggunakan persamaan seperti (Lampiran 10). Berdasarkan hasil analisis pada
setiap dimensi ekosistem berbasis perikanan diperlukan hal-hal yang dapat
mempengaruhi ekosistem perikanan karang adalah sebagai berikut : (i) laju
pertumbuhan alami populasi ikan; (ii) mati akibat penangkapn; (iii) mati alami
akibat stres, penyakit atau ketuaan; (iv) biaya perunit usaha; (v) harga per kg ikan;
(vi) rata-rata hasil penangkapan ikan per bulan; (vii) jumlah hari penangkapan per
bulan dan jumlah armada penangkapan. Berdasarkan batasan tersebut maka
wilayah kajian adalah areal Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau liwutongkidi
dengan luas areal 262,36 ha.
Hasil Penelitian populasi awal dari daya dukung lingkungan untuk
b
mengestimasi biomasa ikan dapat dihitung W=aL dimana (a) dan (b) adalah

konstanta hubungan panjang dan berat (Love 1993). Beberapa peneliti yang
bergabung dalam Fishbase Organization (2010 ) dan Pauly (1980) berpendapat
mengenai kisaran (a) = 0,01 dan (b) = 2 - 3 untuk ikan demersal. Sehingga
biomasa ikan dikawasan konservasi laut daerah Pulau Liwutongkidi dapat
dihitung. Hasil perhitungan biomasa ikan di lokasi penelitian adalah 39.771,12 kg
biomasa ikan atau 39.77 ton. Perhitungan analisis biomasa ikan sesuai yang
dilakukan (Pet-Soede at al, 2001 in Froese dan Pauly, 1998), (Lampiran 11).
Menurut Luckof et al. (2005) laju pertumbuhan alami populasi ikan antara
50 - 60%. Laju kematian adalah sangat penting dalam menganalisis dinamika
suatu populasi yang dieksploitasi. Mortalitas alami disebabkan oleh predasi,
penyakit, ketuaan, kondisi lingkungan, stress yang berkaitan dengan ekosistem
dan lain sebagainya 0.3%. Selanjutnya dikemukakan oleh Gulland (1977) in
Pauly (1984) Laju Eksploitasi alami berkisar antara 0.3 - 0.5 % tergantung pada
kondisi lingkungan sekitarnya. Biaya per unit usaha adalah Rp. 200.000 perbulan,
dan harga per kg ikan adalah Rp. 12.500, frekwensi usaha penangkapan adalah 20
hari penangkapan per bulan. Dengan jumlah kapal waktu saat penelitian (existing)
147 kapal.

5.6.3. Analisis Pemodelan


Analisis Pemodelan adalah proses yang menekankan pada pendekatan
holistik terhadap pemecahan masalah dan menggunakan model untuk
mengidentifikasi dan meniru karakteristik dari sistem-sistem yang kompleks serta
membuat suatu skenario pemecahan masalah. Dinamika sistem sangat berguna
untuk menggambarkan pemahaman kita tentang sistem yang ada di alam nyata.
Dalam keadaan demikian analisis sistem dan simulasi sering dipakai untuk
menguji hipotesis-hipotesis kita tentang bagaimana sistem bekerja Lane (1994).
Jika kita dapat memodelkan sistem perikana karang maka skenario untuk
mengelola laut dan ekosistemnya secara lestari dapat dilaksanakan secara baik,
benar dan berkesinambungan.

a. Skenario 1. (Exixting)

Suatu pengelolaan sumberdaya parikanan karang di kawasan konservasi


laut daerah yang berkelanjutan adalah jenis pengelolaan yang mempertimbangkan
fungsi ekologis dan ekonomis agar diperoleh kegiatan pemanfaatan yang rasional
dan optimal. Dalam pemanfaatan ekosistem perikanan karang sebagai kawasan
konservasi perlu dilihat keseimbangan dalam pemanfaatan dan biomassa
lingkungan.
Berdasarkan hasil simulasi keberlanjutan perikanan karang di kawasan
konservasi Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya pada bulan pertama sampai dengan
bulan ke sembilan terlihat perubahan yang signifikan. Gambar 22 menunjukan
penurunan biomasa ikan dan recruitmen seiring dengan peningkatan aktifitas
penangkapan nelayan. Jika skenario ini terjadi, maka kondisi yang demikian dapat
dipredeksi keberlanjutan perikanan karang akan mengalami penurunan yang
signifikan pada periode bulan ke bulan. Hal ini akan memberikan dampak negatif
terhadap biomasa ikan di kawasan terumbu karang.

1: Stok Ikan 2: Recruitment 3: Total …n perbulan 4: Kapal Motor 5: Keunt…n perbulan


40000
30000
20000
148
250000000 1

20000
15000 2
10000 3 4 4 4 4
147
100000000

0
0
0 5 5 5 5
146
-50000000 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1.00 15.75 30.50 45.25 60.00
Page 1 Months 9:37 AM Mon, Aug 22, 2011
Gambar 22. Grafik simulasi mortality, recruitment, stok ikan, jumlah armada
penangkapan dan total penangkapan

Perubahan biomassa ikan dapat diukur berdasarkan jumlah kapal dan


upaya tangkapan dengan jumlah 147 kapal penangkapan. Pada bulan pertama
sampai dengan bulan kesembilan jumlah upaya penangkapan sejalan dengan
menurunnya biomassa ikan. Bulan ketujuh upaya tangkap meningkat biomassa
ikan menurun sampai periode bulan kesembilan, setelah bulan kesembilan pada
periode bulan ke sepuluh biomasa ikan habis. Selanjutnya Fazli et al. (2009),
McManus (1997) biomasa ikan di pengaruh oleh upaya penangkapan disebabkan
oleh kelebihan tangkapan. Lampiran 12.
b. Skenario 2.

Hasil simulasi biomassa ikan di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi,


Kadatua dan Siompu untuk melihat degradasi pada biomassa ikan ada beberapa
variable yang harus diperhatikan adalah biomassa ikan, manfaat ekonomi dan
upaya. Sebagaimana dalam model standar bioekonomi ekosistem perikanan
karang. Perubahan biomassa ikan dipengaruhi oleh tiga parameter biofisik yaitu
rekruitmen, biomassa dan jumlah armada penangkapan ikan.

1: Stok Ikan 2: Recruitment 3: Total …n perbulan 4: Keunt…n perbulan 5: Kapal Motor


2e+010.
7e+009.
25000
250000000
126

1e+010. 3
3.5e+009
15000 5 5 4 5 5
150000000
125
4
4
3 4 3
3
0
0
5000 2
50000000 1
124 1 2 1 2 1 2
1.00 15.75 30.50 45.25 60.00
Months 12:53 PM Mon, Aug 22, 2011
Gambar 23. Grafik simulasi recruitment dan biomassa ikan dengan penguranagn
jumlah armada penangkapan 0.85% atau 125 armada

Hasil analisis simulasi pada Gambar 23. Dari gambar terlihat fluktuasi
penangkapan dari periode awal bulan sampai dengan akhir bulan. Naik turunnya
upaya penangkapan tidak sejalan dengan fluktuasi biomassa ikan. Hal ini tidak
terjadi keseimbangan antara total penangkapan dengan biomassa ikan artinya
rekruitmen dan biomasa ikan dari waktu ke waktu bertambah tidak di pengaruhi
oleh upaya penangkapan. Pada gambar tersebut terlihat biomassa dari periode
awal bulan meningkat sejalan dengan periode waktu.
Pengurangan jumlah perahu motor dari 147 menjadi 125 kapal sangat
mempengaruhi biomassa ikan. Dengan demikian perubahan terhadap jumlah kapal
dapat meningkatkn biomassa ikan dan rekruitmen dari periode bulan pertama
sampai pada bulan ke enam puluh.
Untuk melihat perubahan biomassa ikan dari periode bulan pertama
sampai dengan bula ke enam puluh yang dipengaruhi oleh upaya penangkapan
perbulan dengan jumlah kapal, selanjutnya dijelaskan oleh (Grandcourt 2003)
rekruitmen dan biomasa ikan di pengaruhi oleh upaya penangkapan dapat dilihat
pada Lampiran 13.

c. Skenario 3
Skenario ini lebih baik kondisinya dibandingkan dengan scenario yang
lain. Pada Lampiran 14 Variable penangkapan ikan mempengaruhi degradasi
biomassa ikan. Dinamika perubahan yang terjadi pada biomassa ikan secara
langsung akan mempengaruhi rekruimen dan jumlah pendapatan masyarakat
nelayan. Keterkaitan antara biomassa ikan dengan upaya penangkapan dilakukan
melalui perubahan jumlah kapal yang menjadi variabel penentu dalam fungsi
pertumbuhan ikan (rekruitmen). Penurunan biomassa ikan dan rekruitmen
berbanding terbalik dengan total penangkapan dan keuntungan nelayan perbulan
dari periode awal bulan sampai dengan akhir bulan.
Hasil simulasi dengan menggunakan 131 armada penangkapan terlihat
hubungan timbal balik antara upaya penangkapan dengan biomassa ikan
sepanjang waktu. Pada awal periode total penangkapan tinggi biomassa
mengalami penurunan, total penangkapan menurun biomassa ikan mengalami
peningkatan dan seterusnya.

1: Recruitment 2: Stok Ikan 3: Total …n perbulan 4: Kapal Motor 5: Keunt…n perbulan


600000000
1e+009.
25000
132
350000000

3
300000000
500000000
15000 4 4 4 4
131
200000000

5 5
3 3
5
3
0 5
0
5000 2
130 1
50000000 1 2 1 2 1 2
1.00 15.75 30.50 45.25 60.00

Gambar 24. Grafik simulasi recruitment dan biomassa ikan dengan penguranagn
jumlah armada penangkapan 0.89% atau 131 armada
Apabila keseimbangan ini biomasa ikan dan rekruitmen ini terjadi sepanjang masa
dari bulanke bulan, maka kondisi biomassa ikan dan total penangkapan pada
daerah kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi , Kadatua dan Siompu dapat
dikatakan kondisi ideal Lampiran 14.
Biomassa ikan pada suatu lokasi dapat dipengaruhi oleh beberapa factor
yaitu makanan, ruang (habitat) dan faktor lain salah satu adalah tekanan
penangkapan (Royce 1972). Tingginya tekanan penangkapan dapat
mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan menurun rata-rata ukuran
ikan. Jika semua individu dewasa ditangkap dan gagal matang gonad maka tidak
ada lagi pemijahan yang menyuplai anak ikan untuk rekruitmen.
Pendugaan biomassa ikan memiliki peranan penting sebagai “fine
tunning” system penangkapan guna hasil tangkapan yang lebih besar. Selanjutnya
dapat berperan untuk menyusun perencanaan guna rehabilitasi ketika terjadi laju
penangkapan lebih dan mengembankan strategi pengelolaan selama
berlangsungnya transisi teknologi kearah penggunaan berbagai metode
penangkapan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Selain itu pendugaan biomassa
ikan memiliki tugas utama dalam mempersiapkan perencanaan yang tepat tentang
hasil tangkapan dan biomassa populasi serta mencoba membuat prediksi tentang
dampak dari berbagai kebijakan pengelolaan yang diterapkan.

5.7. Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Perikanan Karang


Untuk mencapai hasil yang optimum dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan tidak terlepas dari sistim dinamik karena sumberdaya ekosistem
perikanan karang adalah merupakan sumberdaya perikanan yang dinamis. Secara
keseluruhan dinamik ekosistem sumberdaya perikanan dan intervensi manusia
dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan karang baik langsung
maupun tidak langsung sepanjang tahun.
Sebuah pengelolaan haruslah ditekankan pada orientasi pemecahan
masalah dengan menggunakan cara-cara yang ilmiah berdasarkan fisik, biologi,
sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya perikanan karang dilakukan terlebih dahulu dengan merumuskan
suatu rencana pengelolaan berbasis masyarakat. Rencana pengelolaan perikanan
karang di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi, Pulau Siompu dan Pulau
Kadatua dapat berupa pengawasan dan pengembangan perikanan tangkap ikan
karang yang berwawasan lingkungan Zhang at al. (2009). Pengawasan
bertujuan untuk menjaga agar sumberdaya dan lingkungan perairan dapat terjaga
secara lestari dan berkelanjutan, sedangkan pengembangan usaha perikanan
karang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan terhadap sumberdaya
ikan karang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan (Degnbol 2002).
Untuk mencegah terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap komoditi
sumber daya ikan karang di terumbu karang dapat dilakukan beberapa aturan-
aturan yang ditetapkan antara lain dengan :
1. Membatasi jumlah hasil tangkap. Untuk sumber daya perikanan terumbu

karang, cara ini mudah dilakukan karena secara umum biota terumbu karang
adalah biota yang hidup menetap di dasar (benthos) atau yang bergerak tidak
jauh dan tidak pernah meninggalkan terumbu karang, sehingga jumlah stok di
ekosistem tersebut mudah dihitung. Dengan mengetahui jumlah stok di alam
dan kemampuan regenerasi, maka jumlah tangkapan perwaktu tangkap dapat
diatur. Komoditi perikanan terumbu karang seperti kima, teripang, ikan hias,
anemon serta karang.
2. Pengaturan waktu tangkap. Pengaturan waktu tangkap perlu dilakukan bagi

jenis-jenis sumber perikanan terumbu karang tertentu, guna menghindari


tertangkapnya jenis yang sedang dalam musim pemijahan. Untuk mengetahui
kapan jenis-jenis tersebut memijah, tentu saja perlu ada penelitian mendalam
tentang siklus reproduksinya, kapan telur jenis-jenis biota itu masak dan
memijah perlu penelitian.
3. Membatasi ukuran tertentu (panjang/berat individu jenis biota) Pembatasan

ukuran jenis tangkapan perlu dilakukan untuk menjamin agar semua individu
yang ditangkap sudah menunaikan tugas memperpanjang keturunannya. Untuk
mengetahui ukuran berapa individu jenis biota itu mulai memijah.
4. Mengatur dan mengawasi penggunaan alat tangkap ikan. Dengan pengaturan

ukuran mata jaring misalnya, ikan-ikan kecil yang tidak ekonomis tidak
ditangkap. Bubu sebagai alat tangkap ikan terumbu karang dapat merusak
habitat terumbu karang karena menggunakan batu karang hidup sebagai
pemberat dan pe-nyamar alat tersebut.
5. Penerapan sistem zonasi. Sistem zonasi yakni membagi kawasan terumbu
karang menjadi zona yang berbeda pemanfaatannya. Antara lain ada zona yang
ditutup sementara waktu untuk semua jenis pemanfaatan guna menjamin
pelestarian sumber alamnya, atau zona pemanfaatan secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat didefinisikan
sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan
kepada masyarakat lokal untuk mengelola sumberdayanya sendiri dengan terlebih
dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, tujuan serta aspirasinya.
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat ini menyangkut juga pemberian
tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan
yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup
mereka.
Model pengelolaan seperti tersebut di atas akan lebih efektif jika
dimasyarakat Tongali, Kapoa dan Waonu terdapat suatu kelembagaan di bidang
perikanan. Kelembagaan tersebut berfungsi sebagai wadah untuk menampung
semua aspirasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Pentingnya di bentuk
kelembagaan pengelolaan perikanan di sebuah desa pesisir selain berfungsi
sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat juga untuk mempermudan
pemberian bantuan maupun pelaksanaan program dalam pemberdayaan
masyarakat pesisir oleh pemerintah atau lembaga non pemerintah.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Alcala (1998) sebuah pengelolaan terhadap
ikan karang merupakan suatu hal yang kompleks karena berkaitan dengan
penangkapan yaitu interaksi antara sumberdaya ikan, alat tangkap dan armada
penangkapan sehingga banyak faktor yang saling berkaitan. Sebuah pengelolaan
harusnya dapat memulihkan atau melindungi suatu wilayah dari degrdasi
lingkungan serta dalam jangka panjang dapat merawat sumberdaya tersebut agar
berkelanjutan. Oleh karena itu keterlibatan masrarakat yang nantinya sebagai
pelaksana dari sebuah pengelola ekosistem perikanan mutlak diperlukan agar
mereka merasa ikut berperan dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan
pengelolaan di daerah lingkungan pesisir mereka.

5.8. Keberlanjutan Perikanan Karang


Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir pada dasarnya adalah suatu
proses perbaikan kehidupan masyarakat pesisir menuju arah yang lebih baik,
terutama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai alat atau perangkat kerjanya.
Dalam memanfaatkan dan mengelola keberlanjutan perikanan karang di
wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya perlu di perhatikan daya
dukung dan kemampuan sumberdaya ikan asimilasi wilayah pesisir dan daratan
dalam hubungan ekologis, ekonomis, dan sosial. Kesinambungan ketersediaan
sumber daya ini merupakan kunci dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya kelautan dan perikanan.
Namun, dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan di ketiga desa tersebut selama ini, yang perlu mendapat perhatian,
antara lain : pertambahan jumlah penduduk di wilayah pesisir yang cukup pesat
dan memerlukan sumber daya kelautan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya;
masih banyaknya praktek pemanfaatan sumber daya perikanan karang secara
merusak dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Sebagian besar penduduk Desa Tongali, Kapoa dan Waonu
menggantungkan kehidupan pada sumberdaya laut dengan mata pencaharian
utama adalah nelayan. Mereka memanfaatkan sumberdaya laut seperti ikan,
kepiting dan ikan-ikan hias dengan menggunakan berbagai macam alat tangkap
yang dapat merusak dan mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut. Dominasi
pekerjaan nelayan di laut, seperti kemampuan menangkap ikan sangat
mempengaruhi pendapatan dan keadaan ekonomi mereka. Pendapatan
masyarakat nelayan masih relative rendah dan sangat berfariasi tergantung pada
musim, musim ikan, musim ombak atau musim paceklik.
Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang di
kawasan konservasi, terutama dari aktivitas masyarakat nelayan maka diperlukan
pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah
suatu proses pengontrolan tindakan masyarakta pengguna agar pemanfaatan
sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana sesuai dengan kaidah-kaidah
pelestarian lingkungan. Selanjutnya (Lowis at al, 1997) untuk mengetahui kondisi
perubahan ekosistem terumbu karang, maka perlu dilakukan Pengelolaan
berkelanjutan perikanan karang dan memulihkan kembali kondisi karang yang
telah degradasi.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengaruh kegiatan pembangunan
pada ekosistem terumbu karang cukup besar, meliputi perusakan karang secara
langsung melalui ledakan bom, jangkar kapal nelayan, bubu maupun
penambangan karang. Namun berdasarkan wawancara dengan masyarakat
kegiatan penangkapan dalam kurun waktu tahun 2006-2010, kegiatan
pembangunan yang pengaruhnya paling besar pada ekosistem terumbu karang di
kawasan konservasi Pulau liwutongkidi adalah aktifitas penangkapan nelayan
dengan menggunakan bom, jaring dan alat tangkap bubu.
Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah didasarkan pada prinsip-
prinsip pencegahan tangkap lebih (over fishing), pengaturan penggunaan alat
penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang ramah
lingkungan, pengelolaan berbasis masyarakat, pertimbangan kearifan lokal, dan
pertimbangan bukti ilmiah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun
2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan.
Pemanfaatan kawasan konservasi laut daerah diprioritaskan untuk
melindungi potensi perikanan dan kelautan dari eksploitasi berlebihan dan untuk
menjamin ketersediaan sumber daya laut secara berkelanjutan demi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, pengembangan budidaya perikanan yang ramah
lingkungan, pengembangan pariwisata bahari, serta konservasi terumbu karang,
mangrove, padang lamun dan keanekaragaman hayati laut yang potensial dan
Untuk mempertahankan fungsi dari ekosistem terumbu karang kawasan
konservasi laut daerah perairan di Pulau Liwutongkidi, Kadatua dan Siompu yang
selama ini dalam pemanfaatan sering dilakukan dengan cara yang deskruktif
sehingga berdampak pada ekosistem perikanan karang. Kawasan konservasi dari
ketiga pulau ini telah ditetapkan dengan pembagian zonasi dan pengaturan
pengoperasian alat tangkap, tetapai dalam pemanfaatan masih melanggar
kesepakatan yang telah disepakati antara masyarakat nelayan, pemerintah daerah
dan COREMAP II.
Dari permasalahan diatas, maka perlu dikembangkan suatu pendekatan
yang lebih spesifik yang merupakan awal dari berbagai konsep pendekatan yaitu
pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Pengelolaan
berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu
dengan memperhatikan aspek kelembagaan hukum.
Kawasan konservasi laut daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan
desa perlu diawasi dari kegiatan-kegiatan masyarakat yang belum memahami
manfaatnya. Untuk menjamin adanya pengawasan dan penegak aturan, maka
aturan hukum mengenai daerah perlindungan laut harus dicanangkan. Aturan
hukum perlu dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku yang
melanggar aturan daerah perlindungan laut, pembuatan aturan yang telah
disepakati bersama perlu ditegkan dan sanksi diberikan kepada pelanggar. Sanksi
yang dikenakan harus sesuai dengan yang ada dalam perdes, tidak boleh ditambah
ataupun dikurangi. Jika sesorangan melanggar atuaran untuk beberapa kali sudah
layak untuk diserahkan kepada aparat penegak hukum, beserta barang bukti.
Peranan hukum adalah untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat pada umumnya agar kehidupan
bermasyarakat dapat berlangsung dengan tertib dan teratur. Peranan hukum
sebagai pemelihara keseimbangan harus dilaksanakan secara fleksibel, antara
individu dengan kepentingan masyarakat, antara kepentingan ekologis dan
kepentingan ekonomi, antara kepentingan pemanfaatan dengan kepentingan
pelestarian sumberdaya.
Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan
pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil.
Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan
kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber
perikanan karang. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan
menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan
kepentingan masyarakat Davis (2008). Kebijakan yang berbasis pada potensi
masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan
perlindungan ekosistem perikanan karang. Selain itu juga memberikan
keuntungan ganda : pertama, mengakomodasi aspirasi masyarakat maka
pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga mempermudah
proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut
bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang sangat penting
adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan kesjahteraan masyarakat.
Untuk menilai keberhasilan ekosistem perikanan karang berkelanjutan
adalah pemantauan dan evaluasi memerlukan informasi yang dikumpulkan secara
periodik, seperti informasi tentang dampak ekologis, tutupan dan jumlah
kepadatan biota dalam kawasan konservasi.
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir tidak dapat diukur dengan
tingkat keberhasilan pelaksanaan di suatu wilayah, jika tidak dilakukan
monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.
Keberhasilan bukan pada hasil akhir kegiatan, tetapi hasil monitoring dan evaluasi
kegiatan yang sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.
6. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan analisis data serta


pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditari beberapa simpulan sebagi berikut :
1. Penutupan terumbu karang di perairan Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi dan
Pulau Kadatua menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang masih sangat
mendukung kehidupan organisme yang berasosiasi di dalamnya. Secara
ekologinya komposisi terumbu karang untuk pertumbuhan masih baik untuk
pemulihan secara alami.
1. Komunitas ikan karang dari ketiga pulau memiliki keanekaragaman sedang
sampai tinggi, sedangkan keseragaman tinggi dengan komunitas ikan stabil.
Kondisi yang demikian menjadikan ekosistem ikan karang menjadi lebih
seimbang tidak ada dominasi dari jenis ikan karang.
2. Nilai Ekonomi Total dari manfaat langsung penggunaan sumberdaya
perikanan karang di Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali masing-
masing adalah sebesar Rp.11.579.106,17, Rp. 43.051.173,27 dan Rp.
15.640.846,46 per bulan,
2. Perbandingan dalam pemodelan dari ketiga skenario dapat dikatakan skenario
3 dengan jumlah 131 kapal lebih baik dibandingkan dengan scenario 1
(kondisi aktual) dan skenario 2 dengan jumlah kapal 125. Skenario 3 dapat di
prediksi biomasa ikan ada hubungan timbal balik antara total penangkapan
dengan biomasa ikan sepanjang waktu. Pada awal periode total penangkapan
meningkat biomasa mengalami penurunan, total penangkapan menurun
biomassa ikan mengalami kenaikan sampai bulan terakhir.

6.2. Saran
Disarankan kepada semua pihak pengelola dan khususnya keapada
pemerintah Kabupaten Buton. Perlu diperhatikan pengendalian terhadap alat
tangkap di kawasan konservasi dilakukan secara tegas dan berkesinambungan
agar pemulihan biomasa ikan lebih cepat dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L. 2004. Ekonomi dan Pengelolaan Mangrove dan Terumbu Karang


Pada Program Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika,
Bogor PKSPL-IPB,

Adrianto L. 2005. Bahan Pengantar Survey Valuasi Ekonomi Sumberdaya


Mangrove. Kerjasama antara Departemen Kelautan dan Perikanan, PT.
Plarenco dan PKSPL-IPB, Bogor : Juli-Oktober 2005

Adrianto L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi


Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut, diterbitkan oleh PKSPL-IPB,
Bogor.

Adrianto L. 2009. Memahami pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil, Modul Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Secara Terpadu. Anyer, Maret 2009. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, DKP

Adrim M. 1983. Pengantar studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode
Pengkajian Dalam Khursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan
Kondisi Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta

Allcala A.C, 1998. Effect of Marine Reserve on Coral Fish Abudance and Yields
of Philipina Coral Reef. Ambio

Allen Gerald R dan R Steane. 1994. Indo-Pacific Coral reef Field Guide. Tropical
Reef Research

Allen Gerald. R. 2000. Tropical Reef Fishes of Indonesia. Pariplus Edition (HK)
Ltd.

Anonimous, 2009a. Kecamatan Kadatua dalan Angka. Kerjasama Bappeda


Kabupaten Buton dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, Bau-Bau

Anonimous, 2009b. Kecamatan Siompu dalam Angka. Kerjasama Bappeda


Kabupaten Buton dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, Bau-Bau

Anonimous 2005. Laporan akhir Survey Detail Pengembangan Ekowisata Bahari


Pulau Liwutoangkidi Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara.

Anonimous. 2003. Rencana Zonasi Kawasan MCMA Provinsi Sulawesi


Tenggara bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Sumberdaya
Perikanan dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Kendari
Barbier, R., Acreman. EBM dan D. Nowler. 1997. Economic Valuation of
Wetland: A Guide for Makers and Planners. RAMSAR Convention
Berau, Gland, Switzerland.

Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal


Resources. SMR-report14/94. Center for Studies of Environmental and
Resources. University of Bergen. Norway

Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan
Secara Terpadu dan Berkelanjutan Makalah Pelatihan Pengelolaan Wilayah
Pesisir Terpadu Tanggal 29 Oktober – 3 Nopember 2001.

Bengen DG. 2003a. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Sumberdaya Alam


Pesisir dan Laut PKSPL-IPB.

Bengen DG. 2003b. Format Keterpaduan dan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan


Sumberdaya Alam. Dalam Warta Pesisir dan Lautan, Edisi Khusus Nomor
01/2003, PKSPL-IPB.

Brower, J. E. dan J. H, Zar. 1977. Fiel and laboratory Methods for General
Ecology. Dubuque Iowa.

Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia


Tenggara. USA: World Resource Institute.

Cesar H. 1996. Economic Analysis of Indonesia Coral Reef Journal of


Environment Management 66; 440-453
Cesar, H. 2000. Collected Essay on the Economics of Coral Reefs. Cordio
Department Biology and Environmental Science, Kalmar University.
Sweden

Charles. AT. 1993. Towards Sustainability, The Fisheries Experience, Ecological


Economic vol.11.

Choat, J. H. dan D. R, Bellwood. 1991. Reef Fishes : Their History and Evolution.
In ; The Ecology of Fishes on Coral Reefs, Sale. P. F. Academic Press, San
Diego

Cicin Sain and R.W. Knecht 1998. Integrated Coastal and Marine Management.
Island Pres, Washington DC.

COREMAP-LIPI. 1998. Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan


Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta

Cornett, Z.J. 1994 Ecosystem management, Wy New Ecosystem manage News. 3


CRITIC-COREMAP II LIPI. 2006. Nias Baseline Ekologi. Jakarta
CRITIC-COREMAP II LIPI. 2004. Materi Pelatihan Penilaian Ekosistem
Terumbu Karang. Jakarta
Damanik, Janianton dan Weber, F.H. 2006. Perencanaan Ekowisata : dari Teori ke
Aplikasi, Yogyakarta. 142 hlm.

Dahuri.R, Rais.J, Ginting.S.P, Sitepu.M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya


Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Edisi revisi Cetakan ke II.
Jakarta. PT. Pradnya Paramita

Dahuri, R. 2000, Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan


Rakyat, ( ISPIL ) Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan
Indonesia.

Dahuri R, 2003. Keanekaragaman hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan


Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Degnbol P, 2002. The Ecosystem Approach and Fisheries Management


Institutions: The Noble Art of Addressing Complexity and Uncertainty With
all Onboard and on a Budget

Davis Niel A, 2008. Evaluating collaborative fisheries management planning : A


Canadian case study. Marine Policy 32 (2008) 867–876

English, S., C. Wilkinson, dan V. Baker. 1994. Survey Manual For Tropical
Marine Resources. Mc Graw Publication. Australia, 178 hlm.

Endiger, E.N., J. Jompa, G.V. Limmon, W. Widjatmoko and M.J Risk. 1998. Reef
Degradation and Coral Biodiversity in Indonesia : Effect of Land Based
Pollution, Destructive Fishing Practice and Change Overtime. Marine
Pollution Bulletin Vol. 36 No. 8. Pergamon Press.

Fachrul. M.H, 2007. Metode Sampling Bioekologi, Cetakan Pertama, Jakarta PT.
Bumi Aksara.

Faisal S. 2001. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta PT. Raja Grafindo


Persada

Fandeli, C. 2000. Kebijakan Pengembangan Ekowisata : Pengembangan


Ekowisata dengan Paradigma Baru Pengelolaan Areal Konservasi. Dalam
Fandeli C dan Mukhlison (Editor). Pengusahaan Ekowisata. Penerbit Fak.
Kehutanan UGM : Pustaka Pelajar; Unit Konservasi SDA DIY. Jogyakarta.

FAO. 2000. Application of Contingent Valuation Method in Developing


Countries. FAO Economic and Social Development Papers No. 146/200.
FAO, Rome.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta. PT


Gramedia.

Fauzi A. dan Anna S. 2008. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan


Untuk Analisis Kebijakan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fazli H, Chang IZ, Douglas Edward Hay, Chun WL, 2009. Stock assessment and
management implications of anchovy kilka (Clupeonella engrauliformis) in
Iranian waters of the Caspian Sea

Fishbased Organization, 2010 : http://www.fishbased.com

Gomez, ED. H.T. Yap, 1988. Monitoring reef Condition, Coral Reef Management
handbook. Second Adition. RA. Kenchington dan Bryget ET. Hudson
(editor) Unesco Regional Office for Science and Technology for South East
Asia. Jakarta

Gomez, E.D and A.C. Alcala. 1978. Status of Philipina coral reef. Proc. Int.
Symp. Biogeogr. Evol. S. Hem. Auckland New Zealand, 17-20 July 1978.

Grandcourt Edwin M, Herman S.J. Cesar, 2003. The Bio-Economic Impact of


Mass Coral Mortality on the Coastal Reef Fisheries of the Seychelles.
Fisheries Research 60 (2003) 539–550

Jalaludin Rahmat, 1999. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Rajawali Press.


Jakarta

Kunzman Andreas. 2001. Corals, Fishermen And Tourists. Jurnal Pesisir Dan
Lautan Volume 4 No.1 Tahun 2001 Pkspl Ipb. 66 Hlm.

Lane D.C. 1994. Modeling as learning: a consultancy methodology for enhancing


learning in management teams. In Modeling for Learning Organizations
(J.D.W. Morecroft and J.D. Sterman eds.). Productivity Press, Portland,
Oregon.

Lembaga Napoleon. 2006. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Kawasan


SILIKA (Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua). Scientific Report.
Kerjasama Coral Reef Rehabilitation and Management Program II dengan
Lembaga Napoleon.

Louis W. Botsford, Juan Carlos Castilla, Charles H. Peterson, 1997. The


Management of Fisheries and Marine Ecosystems. Science Vol. 277

Love. R.H. 1993, A comparison of Volume Scattering Strength Data With Model
Calculation Based on Quasisynaptically Collected Fishery Data. J.A. Coust.
Soc. Am. 94. 2255-68.

Luckof PD, Wet LFd dan Brink DD, 2005. Aplication of the Condition Factor in
the Production of African Sharptooth catch fish Clarias gariepinus.
Aguacultur o, at The University of Stellenbosch

McCook L J. 1999. Macro algae, nutrients and phase shifts on coral reefs:
scientific issue and management consequences for the Great Barrier Reef.
Coral reef (18): 357-367
McManus J. W. Tropical Marine Fisheries and the Future of Coral Reefs: a Brief
Review With Emphasis on Southeast Asia. Coral Reefs (1997) 16, Suppl.:
S121-S127

Molberg F, Folk C 1999. Ecological Goods and Services of coral reef Ecosystem.
Ecological Economic Vol. 29 pp 215-233.

Murdiyanto, B. 2004. Mengenal memelihara dan melestarikan, Ekosistem Bakau.


Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta

Nikijuluw. Victor P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT.


Pustaka Cidesindo, Jakarta

Nontji A 1987 Peranan Zooxanthella dalam Ekosistem Terumbu Karang Oseano


Vol. IX No. 3 LON LIPI Jakarta.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Cetakan kedua
Penerbit PT Gramedia Jakarta ( Terjemahan ) dari : Biology and Ecological
Approach.

Odum E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. 3 rd Eds. W. B. Sounders Company.


Philadelphia.

Pauly D. 1980 A Selection of Simple Methods For The Assessment of Tropical


Fish Stock. FAO Fish, Circ. No. 729. Firm/C 729.

Pauly D. 1984 Fish Population Dynamics in Tropical Waters : A Manual For Use
With Programmable Calculators . ICLARM. Manila. Fhilipina

Pet-Soedea C, W.L.T. van Densena, J.S. Pet, M.A.M. Machiels, 2001. Impact of
Indonesian Coral Reef Fisheries on Fish Community Structure and the
Resultant Catch Composition Fisheries Research 51 (2001) 35-51

Robetson, D. R. 1996. Inter specific Competition Controls Abundance and habitat


Use of Territorial Caribbean Damselfishes. Ecology :
Royce W.F. 1972 Introduction to The Fishery Science. Academic Press, INC.
New York.

Salm, V.R. Clark John R. and Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Area :
A Guide for Planners and Managers. IUCN. Washington DC.

Soekarno, M. hutomo, M.K. Moosa dan P. Darsono, 1993 Terumbu karang di


Indonesia, Sumberdaya, Permasalahan, dan Pengelolaan. LON LIPI Jakarta

Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. New York: Springer-Verlag.

Souter David W and Olof Linde, 2000. The Health and Future of Coral Reef
Systems. Ocean & Coastal Management 43 (2000) 657-688
Spurgeon, J. 1992. The Economic Valuation of Coral Reefs Marine Pollution
Bulletin vol. 24 (11) 529-536.

Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi


Jakarta. LIPI

Sumich J.L. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Ed ke-5.


Dubuque:WmC Brown.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. Jakarta. Gramedia.

Veron JEN. 1995. Coral in Space and Time. Towns Ville: Australian Institute of
Marine Science.

Widodo, J dan S. Nurhakim, 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.


Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource
Management. 28 Oktober s/d 2 November 2002. Hotel Golden Clarion.
Jakarta.

Yatin, S. dan Irmadi, N. 2003. Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya


Terumbu Karang. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Bakosurtanal.
Cibinong.

Zamani, N.P dan Darmawan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu


Berbasis Masyarakat. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan IPB.

Zhang C.I, Suam K, Donald G, Richard M, Jae Bong Lee, Hee Won P, Jong Hee
Lee, 2009. An ecosystem-based fisheries assessment approach for Korean
fisheries. Fisheries Research 100 (2009) 26–41
LAMPIRAN
101

Lampiran 1. Titik-titik Koordinat Stasiun Penelitian.


Pulau
Stasiun
Siompu Liwutongkidi Kadatua
º
05 38' 01" LS 05º 36' 11" LS º
05 33' 29" LS
1.
122º 30' 13" BT 122º 29' 59" BT 122º 30' 33" BT
05º 39' 02" LS 05º 35' 49" LS 05º 33' 56" LS
2.
122º 29' 40" BT 122º 29' 47" BT 122º 30' 26" BT
05º 37' 19" LS 05º 35' 33" LS 05º 34' 11" LS
3.
122º 30' 50" BT 122º 30' 02" BT 122º 29' 46" BT
05º 37' 39" LS 05º 35' 21" LS 05º 34' 04" LS
4.
122º 31' 40" BT 122º 30' 24" BT 122º 29' 09" BT
05º 37' 40" LS 05º 35' 20" LS 05º 33' 38" LS
5.
122º 32' 42" BT 122º 30' 41" BT 122º 28' 43" BT
05º 35' 26" LS
6.
122º 30' 54" BT
05º 35' 37" LS
7.
122º 30' 58" BT
05º 35' 55" LS
8.
122º 30' 50" BT
05º 36' 07" LS
9.
122º 30' 35" BT
05º 36' 13" LS
10.
122º 30' 17" BT
Lampiran 2. Kategori Karang menurut Lifeform

STASIUN PENGAMATAN
No KATEGORI KODE
K1 K2 K3 K4 K5 S1 S2 S3 S4 S5 L 1 L 2 L 3 L 4 L 5 L 6 L 7 L 8 L 9 L 10

Branching ACB 21.33 15.33 10.33 3.33 - - 0.67 52.00 - 0.67 10.30 36.83 2.50 12.00 3.83 7.00 48 21.83 22.33
Encrusting ACE - - - - 0.66 0.34 - - - - - - - - - - -
1 Acropora
Submassive ACS - 1.33 - - - - - - - - - - - 4.17 - - -
Digitake ACD 1.83 1.67 - 3.67 - 1.33 0.67 4.33 - - 0.83 - 1.00 5.00 - - - - -
Tabulate ACT - 8.67 - - - - 3.67 - - - 1.67 8.33 - 7.83 7.33 - -
Jumlah 23.16 27.00 10.33 7.00 0.66 1.67 1.34 60 0 0.67 11.13 36.83 5.17 25.33 3.83 19.00 55.33 21.83 22.33

Branching CB 1.17 10.17 - 10.33 2.00 25.83 4.00 1.00 2.33 - 3.17 10.50 15.83 16.83 22.17 23.17 14 5.33 9.67 9.5
Encrusting CE 8.00 0.67 1.00 2.00 1.67 4.17 7.50 6.67 - - 0.83 5.33 1.67 5.50 0.67 6.00 - - 1.33
Foliose CF 2.00 - - 2.33 - - 4.00 1.67 - - 0.67 21.33 2.67 1.00 3.00 2.50 - - 1.50 14.17
Massive CM 2.33 1.50 15.53 11.83 18.67 9.00 10.67 8.00 - 0.67 1.67 1.33 9.83 15.83 5.00 6.83 5.50 - 10.50 7.5
2 Non-Acropora
Submassive CS - 0.67 - - - 2.00 1.33 - - - - - 5.67 - - 3.17 - - - -
Mushroom CMR - - - - - - - 5.33 - 3.33 1.17 - 1.17 - 5.17 4.50 3.17 0.67 1.83
Heliopora CHL - - - - - 0.33 - - - - - - - - - - - - - -
Mellepora CME - - - - - - - - - - - 3.33 - 3.33 - - - - - -
Tabipora CTU - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah 13.50 13.01 16.53 26.49 22.34 41.33 27.5 17.34 7.66 0.67 9.67 42.99 35.67 43.66 30.84 46.84 24.00 8.50 22.34 34.33
Jumlah Karang Keras 36.66 13.01 43.53 36.82 29.34 41.99 29.17 18.68 67.66 0.67 10.34 54.12 72.50 48.83 56.17 50.67 43.00 63.83 44.17 56.66
Dead Coral DC 13.50 4.00 28.00 20.33 33.67 18.17 25.17 55.32 1.00 - 12.50 35.00 11.83 44.00 13.33 21.50 14.00 4.67 9.33 14.83
3 Dead Coral with Algae DCA 24.17 - - 15 - 0.50 - - 3.67 - - - 1.33 - 11.67 - 5.00 11.00 28.17 5.33

Jumlah 37.67 4.00 28.00 35.33 33.67 18.67 25.17 55.32 4.67 0.00 12.50 35.00 13.16 44.00 25.00 21.50 19.00 15.67 37.50 20.16
4 Soft Coral SC 1.33 - 4.33 - 1.67 2.00 3.83 7.50 3.34 - 1.33 0.5 - - 14.50 - - - - -
1.33 4.33 0 1.67 2.00 3.83 7.50 3.34 0.00 1.33 0.50 - - 14.50 - - - - -

Sponge SP 5.00 - - - - 2.17 2.33 5.50 - - - - - - - - - - - 1.00


5 Biota lain Zoanthidae ZO - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Others OT 1.67 - - - - - - - - - - - - - 1.33 5.33 - - -
6.67 0.00 0.00 0.00 0.00 2.17 2.33 5.50 0.00 0.00 0.00 1.33 5.33 1.00

Algae Assemblage AA - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Coralline algae CA - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
6 Algae Halimeda HA - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Macro algae MA - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Turf algae TA - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Sand S 14.00 83.00 20.47 25.17 22.33 18.50 3.83 10.83 14.33 99.33 - - - 4.50 3.00 10.50 8.50 12.67 8.00 -
Rubble R 3.67 0 3.67 2.67 13.00 16.67 35.67 2.17 10.00 0.00 75.83 10.33 14.33 2.67 0.00 12.00 29.50 7.83 10.33 22.17
7 Abiotik - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Silt SI
Water W - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Rock RCK - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Jumlah 17.67 83.00 24.14 27.84 35.33 35.17 39.50 13.00 24.33 99.33 75.83 10.33 14.33 7.17 3.00 22.50 38.00 20.50 18.33 22.17
Jumlah Keseluruhan 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase Penutupan Karang (%) 37.99 13.01 47.86 36.82 31.01 43.99 33.00 26.18 71.00 0.67 11.67 54.62 72.50 48.83 70.67 50.67 43.00 63.83 44.17 56.66
Indeks Mortalitas
102

0.52 0.24 0.40 0.51 0.60 0.45 0.65 0.69 0.17 0.00 0.88 0.45 0.27 0.49 0.26 0.40 0.53 0.27 0.52 0.43
Rata -rata Peersen Penutupan Karang 46.92
Keterangan : K = (Stasiun Penelitian di Perairan Kadatua )
S = (Stasiun Penelitian di Perairan Siompu )
L = (Stasiun Penelitian di Perairan Liwutongkidi )
Lampiran 3. Jumlah Kelimpahan Komunitas Ikan di Semua Stasiun
No Statiun
Family Sp Spesies Ikan Jml
K1 K2 K3 K4 K5 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L9 L 10 S 1 S2 S3 S4 S5
1 Chaetodontidae 1 Chaetodon Vagabundus 2 2 2 2 8
2 Chaetodon auriga 1 2 1 4
3 Chaetodon trifascialis 2 2 2 1 3 2 1 2 3 2 2 2 24
4 Chaetodon unimaculatus 2 2 4
5 Chaetodon melannotus 4 2 6
6 Chaetodon xanthurus 2 2
7 Chaetodon raflesi 3 3 1 1 2 2 12
8 Chaetodon punctatofasciatus 1 1 2
9 Chaetodon lunulatus 4 2 5 4 3 6 4 2 1 11 2 2 2 4 5 57
10 Chaetodon baronessa 1 3 2 2 4 2 3 4 3 24
11 Chaetodon kleinii 4 3 5 5 5 3 4 8 5 6 1 3 1 8 8 6 4 3 6 88
12 Chaetodon lunula 4 2 1 2 9
13 Chaetodon ephippium 2 2 4
14 Chaetodon ocellicaudus 2 2
15 Chaetodon ornatissimus 2 2
16 Chaetodon ulietensis 2 2
17 Chaetodon adiergastos 2 2
18 Forcipiger flavissimus 2 2 2 2 2 1 2 3 2 2 2 2 2 3 29
19 Heniochus chrysostomus 5 2 2 1 2 12
20 Heniochus varius 4 3 4 1 1 4 5 2 1 2 2 29
21 Heniochus acuminatus 25 25
2 Pomacanthidae 22 Centropyge bicolor 3 2 2 2 2 2 5 3 4 3 2 2 7 3 42
23 Centropyge tibicen 1 1 1 1 4 8
24 Centropyge vroliki 2 3 1 2 4 1 1 14
25 Centropyge bispinosus 1 1 1 3
26 Pomacanthus imperator 2 2
27 Pygoplites diacanthus 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 12
28 Chaetodontoplus conspicillatus 1 1 2
29 Chaetodontoplus mesoleucus 1 1
3 Ephippidae 30 Platax pinnatus 3 2 1 6 1 2 15
31 Platax boersi 2 2 4
4 Acanthuridae 32 Acanthurus olivaceus 2 2 2 6
33 Acanthurus blochii 3 4 8 2 4 21
34 Acanthurus auranticavus 4 3 7
35 Acanthurus pyroferus 2 2 1 5 3 2 15
36 Acanthurus nigrofuscus 6 4 2 25 4 5 3 8 57
37 Ctenochaetus tominiensis 1 1 3 2 2 4 13

103
38 Paracanthurus hepatus 2 2
39 Zebrasoma scopas 6 4 6 3 2 9 8 2 2 20 4 8 2 8 7 7 98
40 Ctenochaetus striatus 2 2 6 10
(Lampiran 3) Lanjutan

No Statiun
Family Sp Spesies Ikan Jml
K1 K2 K3 K4 K5 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L 9 L 10 S 1 S2 S3 S4 S5
41 Naso thynnoides 36 12 24 23 14 18 127
5 Zanclidae 42 Zanclus cornutus 2 6 5 3 3 9 6 2 2 2 4 3 2 4 53
6 Siganidae 43 Siganus puellus 2 2 4 2 2 2 2 16
44 Siganus guttatus 17 12 2 8 39
45 Siganus doliatus 2 2 2 6
46 Siganus vulpinus 3 1 2 2 3 2 2 2 2 19
7 Pomacentridae 47 Amblyglyphidodon curacao 6 8 5 4 6 12 10 6 6 6 69
48 Amblyglyphidodon leucogaster 9 4 3 3 4 12 4 5 12 4 4 9 4 12 13 4 8 114
49 Amblyglyphidodon ternatensis 12 5 16 6 3 7 49
50 Amphiprion percula 4 4
51 Amphiprion perideraion 8 2 3 2 4 2 2 23
52 Amphiprion ocellaris 3 4 7
53 Amphiprion sandaricinos 2 2 2 2 8
54 Premnas biaculeatus 3 2 2 2 9
55 Amblyglyphidodon aureus 3 2 6 3 14
56 Amphiprion clarkii 2 2 3 2 3 4 2 4 22
57 Dascyllus reticulatus 15 13 5 8 8 18 12 24 23 12 15 3 15 5 13 15 6 210
58 Dascyllus trimaculatus 6 23 6 12 6 4 21 9 23 8 118
59 Dascyllus aruanus 17 17 8 17 12 12 11 16 8 6 17 9 25 31 6 212
60 Neoglyphidodon crossi 2 4 4 10
61 Pomacentrus littoralis 3 7 8 6 3 27
62 Pomacentrus muluccensis 15 5 9 15 11 4 4 7 3 12 16 5 16 12 134
63 Chromis amboinensis 27 4 24 3 12 12 9 17 108
64 Chromis retrofasciata 10 7 9 7 4 12 11 30 9 6 10 8 11 9 143
65 Chromis ternatensis 4 14 14 16 45 41 16 28 15 63 256
66 Chromis atripectoralis 35 7 42
67 Neoglyphidodon nigroris 2 3 3 1 2 2 13
68 Pomacentrus alexanderae 2 3 4 2 3 1 3 2 4 4 28
69 Dischistodus perspicillatus 1 1 1 2 2 7
70 Neoglyphidodon thoracotaeniatus 2 2 2 2 2 10
71 Chrysiptera talboti 3 1 5 3 2 14
72 Pomacentrus amboinensis 4 3 6 8 5 12 7 4 3 4 4 3 63
73 Chrysiptera springeri 7 2 9
74 Chrysiptera hemicyanea 3 2 5
75 Chromis sp 1 6 4 11
76 Chromis viridis 5 12 36 12 7 9 18 9 12 12 132
77 Chrysiptera rollandi 2 3 6 5 12 28
78 Abudefduf vaigiensis 7 2 2 5 4 20
104

79 Chromis margaritifer 1 2 8 4 3 3 6 5 32
80 Pomacentrus bangkanensis 1 2 4 2 9
8 Lutjanidae 81 Lutjanus gibbus 30 30
82 Lutjanus bohar 4 5 8 3 20
(Lampiran 3) Lanjutan

No Statiun
Family Sp Spesies Ikan Jml
K1 K2 K3 K4 K5 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L 9 L 10 S 1 S2 S3 S4 S5
83 Lutjanus decussatus 2 2 2 2 2 4 2 3 2 3 24
84 Lutjanus fulviflama 3 2 7 12
85 Macolor niger 1 1 1 3
86 Aprion virescens 2 1 3
87 Lutjanus kasmira 4 5 2 12 23
9 Nemipteridae 88 Scolopsis bilineatus 5 1 4 2 4 1 2 5 1 2 3 4 4 38
89 Scolopsis lineatus 2 1 2 5
10 Lethrinidae 90 Gnonathodentex aureolineatus 5 15 12 2 12 6 35 87
91 Monotaxis heterodon 2 7 1 1 2 9 3 25
92 Lethrinus amboninensis 2 1 1 1 1 6
11 Carangidae 93 Elegatis bipinnulatus 1 1 1 3
94 Caranx melampygus 1 1 1 3
12 Sphyraenidae 95 Sphyraena helleri 25 25
96 Sphyraena barracuda 1 1
13 Scombridae 97 Scomberomurus commerson 2 2 4
98 Rastrelliger kanagurta 12 16 28
99 Gymnosarda unicolor 1 2 3
14 Caesionidae 100 Pterocaesio tile 30 34 24 12 12 67 26 35 24 50 42 30 22 15 12 435
101 Pterocaesio pisang 4 12 7 24 16 21 8 92
102 Pterocaesio trilineata 12 6 7 2 27
15 Anthiinae 103 Pseudanthias huchti 14 8 8 10 7 12 29 36 12 19 15 14 14 198
104 Pseudanthias bicolor 6 21 18 3 48
16 Serranidae 105 Cephalopholis argus 1 1 2
106 Cephalopholis urodeta 1 2 1 1 5
107 Cephalopholis miniata 2 1 1 2 2 1 9
108 Epinephelus polyphekadion 1 1 2
109 Epinephelus merra 3 3 3 1 2 3 2 2 4 4 2 6 2 37
110 Plectropomus oligocanthus 1 1
111 Variola louti 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 13
112 Epinephelus fasciatus 3 2 2 7
113 Aethaloperca rogaa 1 1
17 Cirrhitidae 114 Cirrhitichthys falco 4 2 1 2 2 1 12
115 Paracirrhites forsteri 1 1 1 1 1 2 2 9
18 Haemullidae 116 Diagramma melanacrum 0
117 Plectorhinchus vittatus 2 1 2 5
118 Plectorhinchus chaetodonnoides 1 1 1 1 1 1 1 2 9
19 Scaridae 119 Chlorurus bleekeri 1 1 8 8 18
120 Chlorurus sordidus 4 3 2 1 2 2 6 2 2 2 3 1 3 33
121 Cetosscarus bicolor 2 1 2 1 1 7
20 Labridae

105
122 Cheilinus fasciatus 1 1 1 1 1 1 6
123 Cirrhilabrus solorensis 4 6 18 12 6 35 12 7 41 13 18 24 23 9 14 8 250
124 Cheilinus chlorourus 1 1
(Lampiran 3) Lanjutan

No Statiun
Family Sp Spesies Ikan Jml
K1 K2 K3 K4 K5 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L 9 L 10 S 1 S2 S3 S4 S5
125 Anampses meleagrides 1 1 1 3
126 Thalassoma lunare 2 4 3 1 2 4 5 3 1 1 12 3 3 4 2 3 2 55
127 Halichoeres hortulanus 1 1 2 1 1 1 7
128 Thalassoma hardwicke 1 2 1 1 1 3 3 1 1 14
129 Halichoeres leucurus 1 1 1 1 4
130 Halichoeres chrysus 5 2 1 1 1 10
131 Halichoeres chloropterus 1 2 1 1 5
132 Bodianus mesothorax 2 1 3
133 Hemigymnus melapterus 2 1 1 1 1 6
134 Halichoeres negrescens 8 8
135 Halichoeres melanurus 2 1 1 1 2 1 1 1 10
136 Oxcheilinus celebicus 2 1 3
137 Choerodon anchorago 1 1 2 1 1 1 7
138 Labroides dimidiatus 3 2 2 5 3 4 3 3 2 12 3 3 5 2 4 56
139 Diproctacanthus xanthurus 1 1
140 Labroides bicolor 1 1 1 1 1 5
141 Cheilio inermis 12 1 13
142 Gomphosus varius 1 1 2
143 Pseudocheilinus hexataenia 1 2 4 2 9
21 Holocentridae 144 Myripristis murdjan 2 2 2 6 2 14
145 Sargocentron spiniferum 1 2 2 2 3 2 1 2 2 3 2 2 24
146 Neoniphon sammara 1 2 3
22 Apogonidae 147 Apogon aureus 12 12 4 2 100 12 12 2 35 191
148 Apogon compressus 3 4 2 6 8 12 6 6 8 55
149 Cheilodipterus macrodon 2 3 4 9
23 Pseudochromidae 150 Pseudochromis paranox 1 2 1 4
24 Ptereleotridae 151 Nemateleotris magnifica 2 3 5 4 2 2 2 2 4 4 30
152 Ptereleotris avides 2 2 4
25 Callionymidae 153 Synchiropus splendidus 1 1
26 Pinguipedidae 154 Parapercis sp 2 3 4 2 4 4 3 2 2 2 1 2 31
155 Parapercis clathrata 1 1 2 2 6
156 Parapercis hexophthalma 2 2 2 6
27 Synodontidae 157 Synodus dermatogenys 3 2 2 3 2 1 3 2 18
28 Gobiidae 158 Koumansetta rainfordi 1 1
159 Valenciennea strigata 2 2 4
160 Amblyeleotris guttata 1 2 1 4
106

161 Amblyeleotris sp 3 1 1 1 2 2 1 1 12
162 Amblyeleotris steinitzi 2 3 1 6
29 Blenniidae 163 Meiacanthus grammistes 1 1 1 2 2 7
(Lampiran 3) Lanjutan

No Statiun
Family Sp Spesies Ikan Jml
K1 K2 K3 K4 K5 L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8 L 9 L 10 S 1 S2 S3 S4 S5
30 Scorpaenidae 164 Pterois volitans 4 1 1 2 8
165 Pterois antennata 1 1 2
166 Scorpaenopsis sp 1 1 2
31 Platycephalidae 167 Cymbacephalus beaufirti 1 1 2 4
32 Ostraciidae 168 Ostracion cubicus 1 1 1 1 1 1 1 1 8
169 Ostracion solorensis 1 1 1 1 4
33 Mullidae 170 Parupeneus crassilabris 2 3 5
171 Parupeneus multifasciatus 2 2 4 1 2 2 2 1 3 3 22
172 Parupeneus vanicolensis 24 24
173 Parupeneus barbarinus 3 2 2 2 2 1 2 2 2 2 20
34 Aulostomidae 174 Aulostomus chenensis 2 2 1 1 1 2 1 1 1 12
35 Centriscidae 175 Aeoliscus strigatus 12 5 9 6 32
36 Pempheridae 176 Pempheris vanicolensis 4 4
37 Balistidae 177 Balistoides conspicillum 1 1 1 1 1 1 6
178 Sufflamen chrysopterus 1 1 1 2 1 1 1 8
179 Balistapus undulatus 1 1 2 1 1 1 7
180 Odonus niger 21 6 26 12 100 38 20 32 12 8 14 12 8 17 6 19 36 7 12 406
38 Tetraodontidae 181 Canthigaster bennetti 1 12 12 1 26
182 Canthigaster papua 1 3 4
183 Arothron nigropunctatus 1 1 1 1 4
184 Canthigaster valentini 2 2 1 2 3 2 2 1 1 2 1 3 22
39 Syngnathidae 185 Dunckerocampus dactyliophorus 2 2 4
40 Muraenidae 186 Gymnothorax javanicus 5 5
187 Rhinomuraena quaesita 2 3 2 7
188 Gymnothorax fimbriatus 1 1
189 Heteroconger hassi 23 23
41 Carcharhinidae 190 Carcharinus melanopterus 1 2 2 5
42 Desyatidae 191 Taeniura lymma 1 1 2 1 1 6
43 Diodontidae 192 Diodon sp 1 2 1 1 5
44 Plotosidae 193 Plotosus lineatus 65 65
JUMLAH INDIVIDU 311 265 416 427 219 336 300 295 312 378 263 278 254 220 164 395 202 178 531 127

JUMLAH INDIVIDU MASING-MASING PULAU 1638 2800 1433

JUMLAH FAMILI DISEMUA STASIUN 44

JUMLAH JENIS IKAN DI SEMUA STASIUN 193

107
JUMLAH INDIVIDU DISEMUA STASIUN PENGAMATAN 5871

Keterangan : K : Pulau Kadatua L : Pulau Liwutongkidi S : Pulau Siompu


108

Lampiran 4. Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Jenis, Family dan jumlah Individu di Pulau
Siompu
Stasiun
Family Jumlah
S 1 S 2 S3 S 4 S 5
I. Kelompok Ikan Target
1. Acanthuridae 37 15 2 33 - 87
2. Serranidae 8 3 8 5 - 24
3. Caesionidae 30 22 - 14 - 66
4.. Holocentridae 2 - - 4 - 6
5. Mullidae - 5 24 5 - 34
6. Haemulidae 3 2 - - - 5
7. Scaridae 1 10 - 3 - 14
8. Lutjanidae 15 11 - 4 - 30
9. Siganidae 4 3 2 4 - 13
10. Sphyraenidae - - - 25 1 26
11. Carangidae - - - 1 - 1
12. Synodontidae 2 - - - - 2
13. Lethrinidae 9 9 - 39 - 57
14. Scombridae 2 - - 2 - 4
15. Nemipteridae 3 4 - 4 - 11
116 84 36 143 1 380
II. Kelompok Ikan Indikator
16. Chaetodontidae 23 9 5 23 0 60

III. Kelompok Ikan Mayor


17. Apogonidae - 11 - 47 - 58
18. Pomacanthidae 3 4 7 6 - 20
19. Balistidae 6 19 36 8 13 82
20. Blenniidae - - - 2 - 2
21. Tetraodontidae 1 - 3 - - 4
22. Labridae 14 11 23 27 11 86
23. Ostraciidae 1 - 1 1 - 3
24. Scorpaenidae 0 - 2 - - 2
25. Pomacentridae 195 56 48 236 35 570
26. Ephippidae 2 - - - - 2
27. Gobiidae - 1 - 4 - 5
28. Ptereleotridae 4 - 4 - - 8
29. Pinguipedidae 2 2 2 3 2 11
30. Cirrhitidae 4 - - 3 - 7
31. Pseudochromidae - - - 1 - 1
32. Zanclidae 4 - - 6 - 10
33. Anthiinae 14 3 - 14 - 31
34. Diodontidae - - - 1 - 1
35. Plotosidae - - - - 65 65
36. Carcharhinidae 1 2 2 - - 5
37 Centriscidae 5 - 9 6 - 20
Jumlah 256 109 137 365 126 993
Total 395 202 178 531 127 1433
Sumber : Data primer diolah 2010
109

Lampiran 5. Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Jenis, Family dan jumlah Individu di Pulau
Kadatua
Stasiun
FAMILY Jumlah
K 1 K 2 K 3 K 4 K5
I. Kelompok Ikan Target
1 Acanthuridae 12 42 9 17 11 91
2 Serranidae 3 5 6 10 2 26
3 Caesionidae 30 12 44 36 19 141
4 Holocentridae 1 - 3 4 2 10
5 Mullidae 5 2 6 3 2 18
6 Haemulidae - - 3 2 - 5
7 Scaridae 7 - 3 4 1 15
8 Nemipteridae 7 1 1 6 2 17
9 Lutjanidae 6 - 40 6 - 52
10 Siganidae 17 12 7 5 2 43
11 Carangidae - - 1 1 - 2
12 Synodontidae - 3 2 - 2 7
13 Lethrinidae - - 2 6 3 11
14 Scombridae - 2 - - - 2
15 Desyatidae - - 1 1 - 2
Jumlah 88 79 128 101 46 442
II. Kelompok Ikan Indikator
16 Chaetodontidae 22 33 19 27 14 115

III. K elompok Ikan Mayor


17 Apogonidae 12 3 16 8 6 45
18 Pomacanthidae 7 2 9 8 2 28
19 Balistidae 22 6 29 15 - 72
20 Blenniidae 1 - - 1 - 2
21 Tetraodontidae 2 3 3 14 16 38
22 Labridae 17 16 34 28 19 114
23 Ostraciidae - - 2 1 - 3
24 Scorpaenidae - 4 1 1 - 6
25 Pomacentridae 117 97 112 182 94 602
26 Ephippidae 3 - 2 4 - 9
27 Gobiidae - 3 6 2 2 13
28 Ptereleotridae - - 2 3 5 10
29 Pinguipedidae 2 - 6 7 2 17
30 Pempheridae - - 4 - - 4
31 Zanclidae 2 6 5 3 3 19
32 Anthiinae 14 8 8 16 7 53
33 Cirrhitidae - - 5 3 2 10
34 Pseudochromidae - - - 1 - 1
35 Aulostomidae 2 - 2 1 1 6
36 Muraenidae - 5 23 - - 28
37 Diodontidae - - - 1 - 1
Jumlah 201 153 269 299 159 1081
Total 311 265 416 427 219 1638
Sumber : Data primer diolah 2010
110

Lampiran 6. Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Jenis, Family dan jumlah Individu di Pulau
Liwutongkidi
FAMILY L 1 L 2 L 3 L 4 L5 L 6 L 7 L 8 L 9 L 10 Jumlah
I Kelompok Ikan Target
1 Acanthuridae 40 33 4 29 25 4 25 3 5 10 178
2 Serranidae 6 5 2 1 3 5 4 - 1 - 27
3 Caesionidae 36 67 42 35 24 50 42 - 51 - 347
4 Holocentridae 5 2 1 - 2 4 2 9 - - 25
5 Mullidae - 2 4 4 - 3 - 2 2 2 19
6 Haemulidae - - 1 - 1 - 1 - 1 - 4
7 Scaridae 2 2 - 2 6 2 - 2 2 11 29
8 Nemipteridae 4 - - 1 2 5 - 1 - 2 15
9 Lutjanidae - 2 2 3 4 13 4 2 3 - 33
10 Siganidae 8 - 6 - 2 5 - - 2 4 27
11 Desyatidae 2 - 1 - - - - 1 - - 4
12 Carangidae - - 2 - - - - - - 1 3
13 Lethrinidae - - 7 1 15 - 12 3 12 - 50
14 Scombridae - - 12 - 16 1 - - - - 29
15 Platycephalidae 1 - - 1 - 2 - - - - 4
16 Synodontidae - - 3 - 2 - 1 3 - - 9
11
Jumlah 104 3 87 77 102 94 91 26 79 30 803
II. Kelompok Ikan Indikator
17 Chaetodontidae 7 18 29 18 15 8 21 19 20 17 172

III. Kelompok Ikan Mayor


18 Apogonidae - 8 14 - 100 18 - - 12 - 152
19 Pomacanthidae 5 7 4 4 6 1 5 - 2 2 36
20 Balistidae 102 40 21 34 13 9 16 13 8 17 273
21 Blenniidae - - - - 1 - - 2 - - 3
22 Tetraodontidae 2 - 4 4 - 1 1 - 2 - 14
23 Labridae 43 26 19 49 18 3 40 23 33 24 278
24 Ostraciidae - 2 - - 1 - 1 1 1 - 6
25 Scorpaenidae - - 1 1 1 - - - - 1 4
10
26 Pomacentridae 52 53 45 6 98 99 97 133 51 54 788
27 Ephippidae - - - - 1 - - 6 - 1 8
28 Gobiidae - - 3 - 1 - - 2 3 - 9
29 Callionymidae - - - 1 - - - - - - 1
30 Ptereleotridae - - 4 - 2 2 - 4 2 2 16
31 Pinguipedidae - 4 4 - - 3 2 - 2 - 15
Pseudochromida
32 e 0 - - - - - - - 2 - 2
33 Zanclidae 9 - - 6 - 2 - 2 2 - 21
34 Anthiinae 12 29 57 12 - 19 - 18 - 15 162
35 Diodontidae - - 2 - - 1 - - - - 3
36 Muraenidae - - - - 2 3 1 2 - - 8
37 Cirrhitidae - - - - 1 - - 2 - 1 4
38 Aulostomidae - - 1 - 2 - 1 1 1 - 6
39 Centriscidae - - - - 12 - - - - - 12
40 Syngnathidae - - - - 2 - 2 - - - 4
Jumlah 225 169 179 217 261 161 166 209 121 117 1825
33
Total 300 295 312 378 263 278 254 220 164 2800
6
Sumber : Data primer diolah 2010
111

Lampiran 7 . Perhitungan Pendugaan Nilai Utility dan Surplus Konsumen Pemanfaatan Ikan Karang
di Perairan Desa Kapoa

Tangkapan Harga Umur Pendidikan Tanggungan Pendapatan


No. Nama Responden
Q P A Ed F I
1 Mulir 95 9,000 33 6 2 800,000
2 Amiruddin 35 15,000 41 6 6 525,000
3 La Ode Yususf 50 15,000 28 6 4 750,000
4 Baharudin 37 15,000 47 6 6 555,000
5 Hamsa 30 10,000 37 6 7 300,000
6 Naim 45 17,500 34 6 4 775,000
7 La Wena 90 12,667 39 6 4 1,085,000
8 La Hindu 55 10,000 45 6 4 550,000
9 La Saudia 75 12,500 41 6 4 900,000
10 Zamaludin 150 10,000 35 6 5 1,500,000
11 La Ausa 35 15,000 37 6 6 525,000
12 La Kauma 50 15,000 60 6 3 750,000
13 La Ode Rini 80 10,000 49 9 6 800,000
14 La Pala 45 10,000 55 6 5 450,000
15 La Alu 50 14,333 28 9 4 720,000
16 La Banu 155 12,000 50 6 5 1,755,000
17 Samsudin 105 10,667 49 6 2 1,030,000
18 Musulinu 75 11,000 41 6 9 765,000
19 La Bau 50 11,500 45 6 9 610,000
20 La Kare 95 9,000 60 6 6 855,000
21 La Sadai 85 11,000 32 9 4 885,000
22 La Sadiici 90 12,500 48 6 8 1,225,000
23 La Zuani 106 11,500 33 9 5 1,058,000
24 La Bahaza 65 15,000 50 6 6 975,000
25 La Mudi 45 15,000 41 6 3 675,000
26 La Jide 115 9,000 65 6 4 1,080,000
27 La Ajilama 120 12,000 75 6 2 1,230,000
28 La Nafi 95 9,500 50 6 8 900,000
29 Taslim 82 12,000 30 12 3 900,000
30 La Fani 65 11,667 59 6 1 725,000
31 La Sabu 75 15,000 53 6 4 1,050,000
32 La Zahani 45 15,000 49 6 5 675,000
33 La Subu 70 15,000 60 6 3 1,050,000
34 La Alimu 45 15,000 26 6 5 675,000
35 La Ziyidi 95 8,000 67 6 1 760,000
36 Sumarlin 60 15,000 30 9 5 900,000
37 Janadia 70 15,000 33 6 6 1,050,000
38 La Afusa 80 8,000 75 6 4 640,000
39 Zaheruddin 60 15,000 37 12 4 900,000
40 La Samu 80 10,000 52 6 5 800,000
41 La Sulema 55 9,000 53 6 6 495,000
42 Bakri 70 15,000 51 6 5 1,050,000
43 Taslim Duju 80 8,000 36 9 7 640,000
44 La Nisa 55 15,000 43 6 4 825,000
45 La Bayane 55 15,000 39 6 5 825,000
46 La Ode Anton 75 14,500 39 9 5 1,005,000
47 Hamisinari 70 9,500 35 6 6 660,000
48 Hasanuddin 45 15,000 43 6 5 675,000
49 La Ode Saleh 75 8,000 34 6 5 600,000
50 La Meti 65 15,000 27 9 4 975,000
71.90
Jumlah Nelayan = 50
Luas Terumbu Karang = 262,36 Ha
112

Ln Q Ln P Ln A Ln Ed Ln I
4.5539 9.1050 3.4965 1.7918 13.5924
3.5553 9.6158 3.7136 1.7918 13.1712
3.9120 9.6158 3.3322 1.7918 13.5278
3.6109 9.6158 3.8501 1.7918 13.2267
3.4012 9.2103 3.6109 1.7918 12.6115
3.8067 9.7700 3.5264 1.7918 13.5606
4.4998 9.4467 3.6636 1.7918 13.8971
4.0073 9.2103 3.8067 1.7918 13.2177
4.3175 9.4335 3.7136 1.7918 13.7102
5.0106 9.2103 3.5553 1.7918 14.2210
3.5553 9.6158 3.6109 1.7918 13.1712
3.9120 9.6158 4.0943 1.7918 13.5278
4.3820 9.2103 3.8918 2.1972 13.5924
3.8067 9.2103 4.0073 1.7918 13.0170
3.9120 9.5703 3.3322 2.1972 13.4870
5.0434 9.3927 3.9120 1.7918 14.3780
4.6540 9.2749 3.8918 1.7918 13.8451
4.3175 9.3057 3.7136 1.7918 13.5476
3.9120 9.3501 3.8067 1.7918 13.3212
4.5539 9.1050 4.0943 1.7918 13.6589
4.4427 9.3057 3.4657 2.1972 13.6933
4.4998 9.4335 3.8712 1.7918 14.0185
4.6634 9.3501 3.4965 2.1972 13.8719
4.1744 9.6158 3.9120 1.7918 13.7902
3.8067 9.6158 3.7136 1.7918 13.4225
4.7449 9.1050 4.1744 1.7918 13.8925
4.7875 9.3927 4.3175 1.7918 14.0225
4.5539 9.1590 3.9120 1.7918 13.7102
4.4067 9.3927 3.4012 2.4849 13.7102
4.1744 9.3645 4.0775 1.7918 13.4939
4.3175 9.6158 3.9703 1.7918 13.8643
3.8067 9.6158 3.8918 1.7918 13.4225
4.2485 9.6158 4.0943 1.7918 13.8643
3.8067 9.6158 3.2581 1.7918 13.4225
4.5539 8.9872 4.2047 1.7918 13.5411
4.0943 9.6158 3.4012 2.1972 13.7102
4.2485 9.6158 3.4965 1.7918 13.8643
4.3820 8.9872 4.3175 1.7918 13.3692
4.0943 9.6158 3.6109 2.4849 13.7102
4.3820 9.2103 3.9512 1.7918 13.5924
4.0073 9.1050 3.9703 1.7918 13.1123
4.2485 9.6158 3.9318 1.7918 13.8643
4.3820 8.9872 3.5835 2.1972 13.3692
4.0073 9.6158 3.7612 1.7918 13.6231
4.0073 9.6158 3.6636 1.7918 13.6231
4.3175 9.5819 3.6636 2.1972 13.8205
4.2485 9.1590 3.5553 1.7918 13.4000
3.8067 9.6158 3.7612 1.7918 13.4225
4.3175 8.9872 3.5264 1.7918 13.3047
4.1744 9.6158 3.2958 2.1972 13.7902

1.8844 1.4798 13.5920


113

SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.994763
R Square 0.989553
Adjusted R
Square 0.988366
Standard Error 0.039796
Observations 50

ANOVA
Significance
df SS MS F F
Regression 5 6.6003 1.32007 833.5315 2.17463E-42
Residual 44 0.0697 0.00158
Total 49 6.6701

Standard Upper
Coefficients Error t Stat P-value Lower 95% 95%
Intercept -0.29031 0.3637 -0.79829 0.428987532 -1.02323 0.442609
X Variable 1 -1.01336 0.0271 -37.3528 5.77104E-35 -1.06803 -0.95868
X Variable 2 -0.01258 0.0262 -0.47939 0.003403816 -0.06547 0.040314
X Variable 3 0.037111 0.0336 1.10321 0.027593251 -0.03068 0.104905
X Variable 4 -0.03286 0.0130 -2.51031 0.015812754 -0.05921 -0.00648
X Variable 5 1.033752 0.01913 54.0400 7.15217E-42 0.99519 1.072305

> restart;
> b0:= -0.2903 ;
b1:= -1.0134 ;
b2:= -0.0126 ;
b3:= 0.0371 ;
b4:= -0.0329 ;
b5:= 1.0338 ;
rata_LnA:= 3.7575 ;
rata_LnEd:= 1.8844 ;
rata_LnF:= 1.4798 ;
rata_LnI:= 13.5920 ;
b0 := -0.2903
b1 := -1.0134
b2 := -0.0126
b3 := 0.0371
b4 := -0.0329
b5 := 1.0338
rata_LnA := 3.7575
rata_LnEd := 1.8844
rata_LnF := 1.4798
rata_LnI := 13.5920
114

> lna:=b0+b2*rata_LnA+b3*rata_LnEd+b4*rata_LnF+b5*rata_LnI;
lna := 13.73499092
> a:=exp(lna);
a := 9.226367847 105
> b:=b1;
b := -1.0134
> f(Q):=(Q/a)^(1/b);
5
7.694072450 10
f(Q ) :=
0.9867771857
Q
> Qrata:= 71.90 ;
Qrata := 71.90
> plot(f(Q),Q=0..Qrata);

> N:= 50 ;
L:= 262.36 ;
N := 50
L := 262.36
> U:=int(f(Q),Q=0..Qrata);
U := 6.157204158 107
> P:=(Qrata/a)^(1/b);
P := 11323.44467
> PS:=P*Qrata;
115

PS := 8.141556718 105
> CS:=U-PS;
CS := 6.075788591 107

> Nilai_Ekonomi_Total:=CS*N/L;
Nilai_Ekonomi_Total:= 1.157910617 107
> plot({f(Q),P},Q=0..Qrata);
116

Lampiran 8. Perhitungan Pendugaan Nilai Utility dan Surplus Konsumen Pemanfaatan Ikan Karang
di Perairan Desa Waonu

Tangkapan Harga Umur Pendidikan Tanggungan Pendapatan


No. Nama Responden
Q P A Ed F X
1 La Bente 160 4000 54 6 7 640.000
2 Hamimu 50 10000 30 6 3 500.000
3 La Sarume 60 10000 45 6 4 600.000
4 Arsilu 40 10000 30 6 4 400.000
5 Asri 57 11000 36 12 2 627.000
6 La Hazina 200 4000 58 6 5 800.000
7 La Lyru 54 10000 58 6 2 540.000
8 La Aka 69 11000 48 6 5 759.000
9 Zahami 76 10500 58 6 5 798.000
10 La Yamin 50 10000 38 9 5 500.000
11 La Campuru 71 10000 43 6 6 710.000
12 La Amrin A 34 11000 36 6 4 374.000
13 La Hadhi 41 11500 34 9 5 471.500
14 Jumardin 45 11000 35 9 3 495.000
15 Arfin 70 10000 40 6 8 700.000
16 Daudi 50 10000 48 6 7 500.000
17 La Ode Basimu 50 10000 42 9 6 500.000
18 Saharudin H 50 10000 41 12 7 500.000
19 Hamsa H 45 11000 52 6 5 495.000
20 Sarlan 47 10500 39 6 8 493.500
21 Harsyad 40 10000 40 12 5 400.000
22 La Ampe 62 11000 43 6 6 682.000
23 La Seni 54 10000 35 6 4 540.000
24 Arsili 35 12000 42 6 3 420.000
25 La Ode Bihu 49 11000 60 6 7 539.000
26 La Maamu 38 10000 55 6 3 380.000
27 Zahamaru 51 10000 41 12 5 510.000
28 Saludin 52 10000 46 12 5 520.000
29 Arsiki 37 11000 43 6 5 407.000
30 La Edi 50 10500 42 6 7 525.000
31 La Ode Karima 67 10000 65 9 4 670.000
32 La Ramli 65 10000 50 9 5 650.000
33 La Haza 63 10500 52 6 4 661.500
34 Baharudin Minu 130 6000 37 12 6 780.000
35 La Ziyru 15 20000 50 6 7 300.000
36 Saman Udin 17 20000 45 6 6 340.000
37 Mulia 15 25000 42 6 6 375.000
38 La Ba Aba 150 4000 55 6 3 600.000
39 Sa Adi 130 4000 56 6 6 520.000
40 La Tauli 45 10000 46 6 6 450.000
41 Muliadin B 37 10000 43 9 6 370.000
42 La Hamsati 125 4000 50 6 6 500.000
43 La Hane 154 4000 48 6 6 616.000
44 La Ane A 85 7000 45 6 6 595.000
45 Zahuli 54 10000 28 6 4 650.000
46 Hamiru 54 10000 56 6 2 540.000
47 Tahanudin 45 10000 30 6 3 450.000
48 Ha Alam 50 10000 54 6 5 500.000
49 Salihi 55 10000 45 6 7 550.000
50 Ruhlin 65 10000 37 9 5 650.000
64.16 2.709.3500

Jumlah Nelayan = 50
Luas Terumbu Karang = 262,36 Ha
117

Ln Q Ln P Ln A Ln Ed Ln Ex

5.0752 8.2940 3.9890 1.7918 13.3692


3.9120 9.2103 3.4012 1.7918 13.1224
4.0943 9.2103 3.8067 1.7918 13.3047
3.6889 9.2103 3.4012 1.7918 12.8992
4.0431 9.3057 3.5835 2.4849 13.3487
5.2983 8.2940 4.0604 1.7918 13.5924
3.9890 9.2103 4.0604 1.7918 13.1993
4.2341 9.3057 3.8712 1.7918 13.5398
4.3307 9.2591 4.0604 1.7918 13.5899
3.9120 9.2103 3.6376 2.1972 13.1224
4.2627 9.2103 3.7612 1.7918 13.4730
3.5264 9.3057 3.5835 1.7918 12.8320
3.7136 9.3501 3.5264 2.1972 13.0637
3.8067 9.3057 3.5553 2.1972 13.1123
4.2485 9.2103 3.6889 1.7918 13.4588
3.9120 9.2103 3.8712 1.7918 13.1224
3.9120 9.2103 3.7377 2.1972 13.1224
3.9120 9.2103 3.7136 2.4849 13.1224
3.8067 9.3057 3.9512 1.7918 13.1123
3.8501 9.2591 3.6636 1.7918 13.1093
3.6889 9.2103 3.6889 2.4849 12.8992
4.1271 9.3057 3.7612 1.7918 13.4328
3.9890 9.2103 3.5553 1.7918 13.1993
3.5553 9.3927 3.7377 1.7918 12.9480
3.8918 9.3057 4.0943 1.7918 13.1975
3.6376 9.2103 4.0073 1.7918 12.8479
3.9318 9.2103 3.7136 2.4849 13.1422
3.9512 9.2103 3.8286 2.4849 13.1616
3.6109 9.3057 3.7612 1.7918 12.9166
3.9120 9.2591 3.7377 1.7918 13.1712
4.2047 9.2103 4.1744 2.1972 13.4150
4.1744 9.2103 3.9120 2.1972 13.3847
4.1431 9.2591 3.9512 1.7918 13.4023
4.8675 8.6995 3.6109 2.4849 13.5670
2.7081 9.9035 3.9120 1.7918 12.6115
2.8332 9.9035 3.8067 1.7918 12.7367
2.7081 10.1266 3.7377 1.7918 12.8347
5.0106 8.2940 4.0073 1.7918 13.3047
4.8675 8.2940 4.0254 1.7918 13.1616
3.8067 9.2103 3.8286 1.7918 13.0170
3.6109 9.2103 3.7612 2.1972 12.8213
4.8283 8.2940 3.9120 1.7918 13.1224
5.0370 8.2940 3.8712 1.7918 13.3310
4.4427 8.8537 3.8067 1.7918 13.2963
3.9890 9.2103 3.3322 1.7918 13.3847
3.9890 9.2103 4.0254 1.7918 13.1993
3.8067 9.2103 3.4012 1.7918 13.0170
3.9120 9.2103 3.9890 1.7918 13.1224
4.0073 9.2103 3.8067 1.7918 13.2177
4.1744 9.2103 3.6109 2.1972 13.3847
3.7859 1.9398 13.1773
118

SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.999005
R Square 0.998011
Adjusted R Square 0.997785
Standard Error 0.025001
Observations 50

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 5 13.80213 2.760426 4416.333 3.11125E-58
Residual 44 0.027502 0.000625
Total 49 13.82963

Standard
Coefficients Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%
Intercept 0.123942 0.298517 0.415194 0.680018 -0.47767 0.7256
X Variable 1 -1.00233 0.010743 -93.2986 3.25E-52 -1.02398 -0.981
X Variable 2 0.053219 0.019206 2.771011 0.008157 0.01451 0.0919
X Variable 3 0.019693 0.014637 1.345457 0.005371 -0.00980 0.0492
X Variable 4 0.003443 0.01026 0.335595 0.008771 -0.01723 0.0241
X Variable 5 0.973332 0.01772 54.92977 3.52E-42 0.93763 1.0090

> restart;
> b0:= 0.123942453 ;
b1:= -1.002330507 ;
b2:= 0.053219271 ;
b3:= 0.019693221 ;
b4:= 0.003443128 ;
b5:= 0.973332291 ;
rata_LnA:= 3.7859 ;
rata_LnEd:= 1.9398 ;
rata_LnF:= 1.5716 ;
rata_LnI:= 13.1773 ;
b0 := 0.123942453
b1 := -1.002330507
b2 := 0.053219271
b3 := 0.019693221
b4 := 0.003443128
b5 := 0.973332291
rata_LnA := 3.7859
rata_LnEd := 1.9398
119

rata_LnF := 1.5716
rata_LnI := 13.1773
> lna:=b0+b2*rata_LnA+b3*rata_LnEd+b4*rata_LnF+b5*rata_LnI;
lna := 13.19492902
> a:=exp(lna);
a := 5.376316934 105
> b:=b1;
b := -1.002330507
> f(Q):=(Q/a)^(1/b);
5
5.213879364 10
f(Q ) :=
0.9976749116
Q
> Qrata:= 64.16 ;
Qrata := 64.16
> plot(f(Q),Q=0..Qrata);

> N:= 50 ;
L:= 262.36 ;
N := 50
L := 262.36
> U:=int(f(Q),Q=0..Qrata);
U := 2.264245735 108
> P:=(Qrata/a)^(1/b);
P := 8205.379512
> PS:=P*Qrata;
PS := 5.264571495 105
> CS:=U-PS;
CS := 2.258981164 108
120

> Nilai_Ekonomi_Total:=CS*N/L;
Nilai_Ekonomi_Total:= 4.305117327 107
> plot({f(Q),P},Q=0..Qrata);
121

Lampiran 9. Perhitungan Pendugaan Nilai Utility dan Surplus Konsumen Pemanfaatan Ikan Karang
di Perairan Desa Tongali

Tangkapan Harga Umur Pendidikan Tanggungan Pendapatan


No. Nama Responden
Q P A Ed F I
1 La Dada 110 9,667 47 6 7 1,040,000
2 La Bua 140 9,250 53 6 6 1,240,000
3 La Bakiri 65 9,667 37 9 7 635,000
4 Akbar Tolas 145 8,000 29 12 5 1,140,000
5 M. Amin 85 11,000 42 12 5 895,000
6 La Natsir 120 9,000 37 9 4 1,080,000
7 La Auma 75 9,667 65 6 5 730,000
8 La Ramani 80 7,000 47 9 4 540,000
9 Husni 45 15,000 25 12 3 675,000
10 La Kotanda 60 12,500 47 9 4 1,245,000
11 Kasim Tomsio 50 10,000 49 6 5 500,000
12 La Kimu 85 12,500 49 6 4 1,075,000
13 Abdul Wahid 30 9,000 49 12 5 270,000
14 La Rianto 80 8,000 40 12 4 640,000
15 La Sura 45 9,000 50 6 5 405,000
16 La Hamsi 73 12,500 40 9 6 945,000
17 Husen Fadara 60 15,000 37 9 5 900,000
18 La Yinta 45 15,000 30 9 4 675,000
19 La Toea 50 15,000 37 9 4 750,000
20 La Umini 90 7,000 30 9 4 620,000
21 M. Yasir 45 9,000 37 12 4 405,000
22 La Sunufi 75 9,500 45 6 5 720,000
23 Sulaiman 60 9,000 40 9 6 540,000
24 La Mahi 70 9,500 57 6 4 655,000
25 La Mbonu 75 9,500 41 12 5 710,000
26 Umar D 70 10,000 57 6 7 700,000
27 La Bai 40 20,000 30 12 5 800,000
28 Mustar 45 15,000 35 12 5 675,000
29 Saharuddin 55 15,000 32 12 4 825,000
30 Abdullah Kara 72 12,500 30 12 4 955,000
31 La Manggo Ali 50 10,000 37 9 5 500,000
32 La Nefo Hanif 60 13,000 40 9 6 780,000
33 Jamaludin H 45 10,000 40 12 5 450,000
34 Mukhlisa 56 15,000 30 9 4 840,000
35 Saludin R 48 15,000 37 9 5 720,000
36 Ahmat Mbolobo 85 9,500 40 9 7 790,000
37 La Ugi 70 9,000 40 6 5 630,000
38 Salim Tehe 42 15,000 47 6 4 630,000
39 Wuni 50 9,000 39 9 5 450,000
40 Musliadi 65 9,000 30 9 4 585,000
41 La Doruna 55 15,000 37 9 5 825,000
42 Rahman D 45 15,000 40 12 5 675,000
43 La Yili 90 8,000 52 6 6 720,000
44 La Puto 70 15,000 37 9 5 1,050,000
45 La Halili 70 15,000 43 9 6 1,050,000
46 La Babu 86 15,000 45 6 6 1,290,000
47 Usman K 55 15,000 41 9 7 825,000
48 La Dyfa 30 15,000 49 9 3 450,000
49 La Mano 35 15,000 44 9 5 525,000
50 La Kuasa 65 10,000 40 6 6 650,000

66.24 37.420.000

Jumlah Nelayan = 50
Luas Terumbu Karang = 262,36 Ha
122

Ln Q Ln P Ln A Ln Ed Ln I

4.7005 9.1764 3.8501 1.7918 13.8547


4.9416 9.1324 3.9703 1.7918 14.0306
4.1744 9.1764 3.6109 2.1972 13.3614
4.9767 8.9872 3.3673 2.4849 13.9465
4.4427 9.3057 3.7377 2.4849 13.7046
4.7875 9.1050 3.6109 2.1972 13.8925
4.3175 9.1764 4.1744 1.7918 13.5008
4.3820 8.8537 3.8501 2.1972 13.1993
3.8067 9.6158 3.2189 2.4849 13.4225
4.0943 9.4335 3.8501 2.1972 14.0346
3.9120 9.2103 3.8918 1.7918 13.1224
4.4427 9.4335 3.8918 1.7918 13.8878
3.4012 9.1050 3.8918 2.4849 12.5062
4.3820 8.9872 3.6889 2.4849 13.3692
3.8067 9.1050 3.9120 1.7918 12.9116
4.2905 9.4335 3.6889 2.1972 13.7589
4.0943 9.6158 3.6109 2.1972 13.7102
3.8067 9.6158 3.4012 2.1972 13.4225
3.9120 9.6158 3.6109 2.1972 13.5278
4.4998 8.8537 3.4012 2.1972 13.3375
3.8067 9.1050 3.6109 2.4849 12.9116
4.3175 9.1590 3.8067 1.7918 13.4870
4.0943 9.1050 3.6889 2.1972 13.1993
4.2485 9.1590 4.0431 1.7918 13.3924
4.3175 9.1590 3.7136 2.4849 13.4730
4.2485 9.2103 4.0431 1.7918 13.4588
3.6889 9.9035 3.4012 2.4849 13.5924
3.8067 9.6158 3.5553 2.4849 13.4225
4.0073 9.6158 3.4657 2.4849 13.6231
4.2767 9.4335 3.4012 2.4849 13.7695
3.9120 9.2103 3.6109 2.1972 13.1224
4.0943 9.4727 3.6889 2.1972 13.5670
3.8067 9.2103 3.6889 2.4849 13.0170
4.0254 9.6158 3.4012 2.1972 13.6412
3.8712 9.6158 3.6109 2.1972 13.4870
4.4427 9.1590 3.6889 2.1972 13.5798
4.2485 9.1050 3.6889 1.7918 13.3535
3.7377 9.6158 3.8501 1.7918 13.3535
3.9120 9.1050 3.6636 2.1972 13.0170
4.1744 9.1050 3.4012 2.1972 13.2794
4.0073 9.6158 3.6109 2.1972 13.6231
3.8067 9.6158 3.6889 2.4849 13.4225
4.4998 8.9872 3.9512 1.7918 13.4870
4.2485 9.6158 3.6109 2.1972 13.8643
4.2485 9.6158 3.7612 2.1972 13.8643
4.4543 9.6158 3.8067 1.7918 14.0702
4.0073 9.6158 3.7136 2.1972 13.6231
3.4012 9.6158 3.8918 2.1972 13.0170
3.5553 9.6158 3.7842 2.1972 13.1712
4.1744 9.2103 3.6889 1.7918 13.3847
3.6952 2.1585 13.4755
123

SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.980859
R Square 0.962085
Adjusted R Square 0.957776
Standard Error 0.071617
Observations 50

ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 5 5.726456 1.145291 223.298 4.32233E-30
Residual 44 0.225675 0.005129
Total 49 5.952131

Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95%

Intercept 1.484581 0.680009 2.183178 0.034401 0.114112766 2.85505


X Variable 1 -1.00859 0.043765 -22.9977 8.63E-26 -1.094757922 -0.91824
X Variable 2 -0.11751 0.07063 -1.66368 0.003285 -0.259851856 0.02484

X Variable 3 -0.05818 0.053269 1.767514 0.004238 -0.014760031 0.2242


X Variable 4 0.090724 0.054171 1.674794 0.001069 -0.01844906 0.19990
X Variable 5 0.926027 0.035049 26.42119 1.25E-28 0.855390831 0.99666

> restart;
> b0:= 1.4846 ;
b1:= -1.0086 ;
b2:= -0.1175 ;
b3:= -0.0582 ;
b4:= 0.0907 ;
b5:= 0.9260 ;
rata_LnA:= 3.6952 ;
rata_LnEd:= 2.1585 ;
rata_LnF:= 1.5849 ;
rata_LnI:= 13.4755 ;
b0 := 1.4846

b1 := -1.0086
b2 := -0.1175
b3 := -0.0582
b4 := 0.0907
b5 := 0.9260
rata_LnA := 3.6952
124

rata_LnEd := 2.1585
rata_LnF := 1.5849

rata_LnI := 13.4755
> lna:=b0+b2*rata_LnA+b3*rata_LnEd+b4*rata_LnF+b5*rata_LnI;
lna := 13.54685273
> a:=exp(lna);
a := 7.644047688 105
> b:=b1;
b := -1.0086
> f(Q):=(Q/a)^(1/b);
5
6.810174294 10
f(Q ) :=
0.9914733294
Q

> Qrata:= 66.24 ;


>
Qrata := 66.24
> plot(f(Q),Q=0..Qrata);

> N:= 50 ;
L:= 262.36 ;
N := 50
L := 262.36

> U:=int(f(Q),Q=0..Qrata);
125

U := 8.277645712 107
> P:=(Qrata/a)^(1/b);
P := 10655.30772
> PS:=P*Qrata;
PS := 7.058075834 105
> CS:=U-PS;
CS := 8.207064954 107
> Nilai_Ekonomi_Total:=CS*N/L;
Nilai_Ekonomi_Total:= 1.564084646 107
> plot({f(Q),P},Q=0..Qrata);
126
Lampiran 10 . Estimasi Panjang Ikan dan Bobot Ikan Karang di Stasiun Penelitian

No Estimasi
b
Family Spesies Ikan
Length Estimation
(CM) (Kisaran)
JML a b L W  aLb
F Spesies Rata2 panjang

1 Chaetodontidae 1 Chaetodon Vagabundus 9 12 21 10.5 0.0278 2.9730 1086.4151 30.2023


2 Chaetodon auriga 8 11 19 9.5 0.0311 2.9760 812.2794 25.2619
3 Chaetodon trifascialis 5 12 17 8.5 0.0312 2.9530 555.3593 17.3272
4 Chaetodon unimaculatus 10 11 21 10.5 0.0533 2.8333 782.2321 41.6930
5 Chaetodon melannotus 7 10 17 8.5 0.0267 3.0490 682.0219 18.2100
6 Chaetodon xanthurus 9 10 19 9.5 0.022 3.1900 1315.037995 28.9308
7 Chaetodon raflesi 7 9 16 8.0 0.0222 3.1400 685.0189 15.2074
8 Chaetodon punctatofasciatus 6 9 15 7.5 0.0267 3.0490 465.6523 12.4329
9 Chaetodon lunulatus 5 10 15 7.5 0.0693 2.6215 196.7764 13.6366
10 Chaetodon baronessa 7 10 17 8.5 0.0448 2.8280 425.0076 19.0403
11 Chaetodon kleinii 4 11 15 7.5 0.0448 2.8280 298.3137 13.3645
12 Chaetodon lunula 10 11 21 10.5 0.0257 3.1000 1464.4914 37.6374
13 Chaetodon ephippium 12 14 26 13 0.0225 3.0609 2568.4387 57.7899
14 Chaetodon ocellicaudus 6 10 16 8 0.0318 2.9840 495.2455 15.7488
15 Chaetodon ornatissimus 10 11 21 10.5 0.0257 3.1000 1464.4914 37.6374
16 Chaetodon ulietensis 11 12 23 11.5 0.0311 2.8741 1118.2828 34.7786
17 Chaetodon adiergastos 10 12 22 11 0.0257 3.1000 1691.6765 43.4761
18 Forcipiger flavissimus 9 12 21 10.5 0.021 3.0000 1157.6250 24.3101
19 Heniochus chrysostomus 8 16 24 12 0.0132 3.3690 4322.7649 57.0605
20 Heniochus varius 10 12 22 11 0.025 3.0000 1331.0000 33.2750
21 Heniochus acuminatus 12 16 28 14 0.0247 3.1058 3627.8093 89.6069
2 Pomacanthidae 22 Centropyge bicolor 9 13 22 11 0.0415 3.0000 1331.0000 55.2365
23 Centropyge tibicen 7 11 18 9 0.0492 2.7945 464.1204 22.8347
24 Centropyge vroliki 8 10 18 9 0.0537 2.8860 567.4713 30.4732
25 Centropyge bispinosus 10 12 22 11 0.092 2.4580 362.8634 33.3834
26 Pomacanthus imperator 21 26 47 23.5 0.0102 3.4690 57047.2106 581.8815
27 Pygoplites diacanthus 12 22 34 17 0.0161 2.929 4017.7683 64.6861
28 Chaetodontoplus conspicillatus 9 10 19 9.5 0.0179 2.9298 732.0397 13.1035
29 Chaetodontoplus mesoleucus 9 10 19 9.5 0.0104 2.9670 795.9869 8.2783
3 Ephippidae 30 Platax pinnatus 5 21 26 13 0.0425 2.9750 2060.5420 87.5730
31 Platax boersi 21 30 51 25.5 0.0425 2.975 15291.7446 649.8991
4 Acanthuridae 32 Acanthurus olivaceus 12 18 30 15 0.007 3.3980 9916.4927 69.4154
33 Acanthurus blochii 17 24 41 20.5 0.0178 3.1440 13309.2670 236.9050
34 Acanthurus auranticavus 19 28 47 23.5 0.0041 3.0000 12977.8750 53.2093
35 Acanthurus pyroferus 12 18 30 15 0.0051 3.0000 3375.0000 17.2125
36 Acanthurus nigrofuscus 17 20 37 18.5 0.0301 2.9670 5750.4061 173.0872
37 Ctenochaetus tominiensis 12 16 28 14 0.0231 3.0635 3244.6155 74.9506
38 Paracanthurus hepatus 12 14 26 13 0.0409 3.0660 2602.2578 106.4323
39 Zebrasoma scopas 7 14 21 10.5 0.0304 2.9570 1046.3013 31.8076
40 Ctenochaetus striatus 10 20 30 15 0.0231 3.0635 4008.2571 92.5907
41 Naso thynnoides 9 20 29 14.5 0.051 2.7154 1424.2252 72.6355
(Lampiran 10) Lanjutan
127

No Estimasi
b
F
Family Spesies Ikan
Length Estimation (CM)
(Kisaran)
JML a b L W  aLb
Spesies Rata2 panjang

5 Zanclidae 42 Zanclus cornutus 9 19 28 14 0.0147 3.3699 7283.4454 107.0666


6 Siganidae 43 Siganus puellus 22 28 50 25 0.0246 3.0000 15625.0000 384.3750
44 Siganus guttatus 25 30 55 27.5 0.0174 3.0000 20796.8750 361.8656
45 Siganus doliatus 18 24 42 21 0.0104 3.2721 21204.7792 220.5297
46 Siganus vulpinus 18 22 40 20 0.0287 3.0000 8000.0000 229.6000
7 Pomacentridae 47 Amblyglyphidodon curacao 5 8 13 6.5 0.0126 3.4351 620.0671 7.8128
48 Amblyglyphidodon leucogaster 5 10 15 7.5 0.0048 3.0000 421.8750 2.0250
49 Amblyglyphidodon ternatensis 4 8 12 6 0.0048 3.0000 216.0000 1.0368
50 Amphiprion percula 3 7 10 5 0.0316 2.9298 111.6458 3.5280
51 Amphiprion perideraion 2 7 9 4.5 0.0409 3.0000 91.1250 3.7270
52 Amphiprion ocellaris 3 8 11 5.5 0.0385 2.9041 141.2821 5.4394
53 Amphiprion sandaricinos 3 8 11 5.5 0.0358 3.0000 166.3750 5.9562
54 Premnas biaculeatus 2 11 13 6.5 0.0537 2.886 221.8543 11.9136
55 Amblyglyphidodon aureus 8 11 19 9.5 0.0126 3.4351 2283.3809 28.7706
56 Amphiprion clarkii 2 8 10 5 0.0235 3.0000 125.0000 2.9375
57 Dascyllus reticulatus 2 5 7 3.5 0.0311 3.1327 50.6293 1.5746
58 Dascyllus trimaculatus 2 5 7 3.5 0.108 2.75 31.3464 3.3854
59 Dascyllus aruanus 2 4 6 3 0.0136 2.686 19.1226 0.2601
60 Neoglyphidodon crossi 4 7 11 5.5 0.0178 3.1822 226.9772 4.0402
61 Pomacentrus littoralis 5 8 13 6.5 0.0281 3.084 321.3844 9.0309
62 Pomacentrus muluccensis 2 7 9 4.5 0.0305 3.0121 92.7986 2.8304
63 Chromis amboinensis 2 7 9 4.5 0.0258 3 91.1250 2.3510
64 Chromis retrofasciata 2 4 6 3 0.009 2.773 21.0406 0.1894
65 Chromis ternatensis 2 6 8 4 0.016 3.408 112.6732 1.8028
66 Chromis atripectoralis 4 9 13 6.5 0.0179 3.2907 473.2101 8.4705
67 Neoglyphidodon nigroris 5 10 15 7.5 0.0178 3.1822 609.0037 10.8403
68 Pomacentrus alexanderae 4 8 12 6 0.0135 3.312 377.7782 5.1000
69 Dischistodus perspicillatus 7 11 18 9 0.0537 2.8860 567.4713 30.4732
70 Neoglyphidodon thoracotaeniatus 8 11 19 9.5 0.0206 3.1462 1191.5548 24.5460
71 Chrysiptera talboti 2 6 8 4 0.0399 3.0000 64.0000 2.5536
72 Pomacentrus amboinensis 5 7 12 6 0.0439 2.8238 157.5228 6.9153
73 Chrysiptera springeri 2 5 7 3.5 0.038 3.0000 42.8750 1.6293
74 Chrysiptera hemicyanea 2 5 7 3.5 0.0399 3.0000 42.8750 1.7107
75 Chromis sp 2 4 6 3 0.0379 3.0000 27.0000 1.0233
76 Chromis viridis 1 8 9 4.5 0.0351 2.8997 78.3647 2.7506
77 Chrysiptera rollandi 2 6 8 4 0.022 3.0012 64.1066 1.4103
78 Abudefduf vaigiensis 7 10 17 8.5 0.099 3.267 1087.4558 107.6581
79 Chromis margaritifer 6 8 14 7 0.0044 3.0000 343.0000 1.5092
80 Pomacentrus bangkanensis 5 7 12 6 0.0215 3.21 314.6774 6.7656
(Lampiran 10) Lanjutan

128
No Estimasi
b
Family Spesies Ikan
Length Estimation
(CM) (Kisaran)
JML a b L W  aLb
F Spesies Rata2 panjang

8 Lutjanidae 81 Lutjanus gibbus 18 29 47 23.5 0.0153 3.091 17296.9991 264.6441


82 Lutjanus bohar 6 12 18 9 0.0156 3.0587 829.3571 12.9380
83 Lutjanus decussatus 21 30 51 25.5 0.0201 3.0000 16581.3750 333.2856
84 Lutjanus fulviflama 29 34 63 31.5 0.0205 2.9599 27217.5737 557.9603
85 Macolor niger 26 36 62 31 0.0308 3.0000 29791.0000 917.5628
86 Aprion virescens 35 40 75 37.5 0.0162 2.905 37373.2471 605.4466
87 Lutjanus kasmira 18 29 47 23.5 0.0111 3.1540 21103.1865 234.2454
9 Nemipteridae 88 Scolopsis bilineatus 12 18 30 15 0.0138 3.1738 5403.5408 74.5689
89 Scolopsis lineatus 10 20 30 15 0.0257 3.0000 3375.0000 86.7375
10 Lethrinidae 90 Gnonathodentex aureolineatus 13 20 33 16.5 0.018 3.0625 5352.3509 96.3423
91 Monotaxis heterodon 7 16 23 11.5 0.0239 3.011 1562.2884 37.3387
92 Lethrinus amboninensis 18 28 46 23 0.0204 3 12167.0000 248.2068
11 Carangidae 93 Elegatis bipinnulatus 30 40 70 35 0.0135 2.92 32261.0642 435.5244
94 Caranx melampygus 25 30 55 27.5 0.0211 2.941 17103.2031 360.8776
12 Sphyraenidae 95 Sphyraena helleri 20 35 55 27.5 0.0047 3 20796.8750 97.7453
96 Sphyraena barracuda 50 55 105 52.5 0.007 2.972 129513.0258 906.5912
13 Scombridae 97 Scomberomurus commerson 25 35 60 30 0.0205 2.9599 23557.6086 482.9310
98 Rastrelliger kanagurta 20 30 50 25 0.0061 3.191 28895.2574 176.2611
99 Gymnosarda unicolor 34 39 73 36.5 0.0105 3.065 61436.6646 645.0850
14 Caesionidae 100 Pterocaesio tile 12 14 26 13 0.0174 3.0000 2197.0000 38.2278
101 Pterocaesio pisang 12 18 30 15 0.0074 3.15 5066.2599 37.4903
102 Pterocaesio trilineata 8 14 22 11 0.0107 3.1778 2038.6265 21.8133
15 Anthiinae 103 Pseudanthias huchti 4 10 14 7 0.0425 2.975 326.7132 13.8853
104 Pseudanthias bicolor 4 8 12 6 0.0254 3.0000 216.0000 5.4864
16 Serranidae 105 Cephalopholis argus 24 30 54 27 0.0093 3.1807 35705.7964 332.0639
106 Cephalopholis urodeta 17 23 40 20 0.0138 3.173 13432.8503 185.3733
107 Cephalopholis miniata 20 35 55 27.5 0.0107 3.1141 30354.6998 324.7953
108 Epinephelus polyphekadion 20 28 48 24 0.0124 3.057 16569.3612 205.4601
109 Epinephelus merra 18 25 43 21.5 0.0096 3.196 18133.1527 174.0783
110 Plectropomus oligocanthus 35 38 73 36.5 0.0132 3.0000 48627.1250 641.8781
111 Variola louti 21 35 56 28 0.0122 3.0791 28572.2403 348.5813
112 Epinephelus fasciatus 19 28 47 23.5 0.0161 2.929 10371.8868 166.9874
113 Aethaloperca rogaa 31 34 65 32.5 0.0299 3.0000 34328.1250 1026.4109
17 Cirrhitidae 114 Cirrhitichthys falco 6 9 15 7.5 0.0033 3.8493 2335.4648 7.7070
115 Paracirrhites forsteri 6 9 15 7.5 0.0201 3.0000 421.8750 8.4797
18 Haemullidae 116 Diagramma melanacrum 30 32 62 31 0.0077 3.131 46714.6892 359.7031
117 Plectorhinchus vittatus 21 27 48 24 0.0132 3.0000 13824.0000 182.4768
118 Plectorhinchus chaetodonnoides 28 30 58 29 0.0215 3.0000 24389.0000 524.3635
19 Scaridae 119 Chlorurus bleekeri 21 29 50 25 0.0041 3.0000 15625.0000 64.0625
120 Chlorurus sordidus 23 30 53 26.5 0.0127 3.141 29540.3264 375.1621
121 Cetosscarus bicolor 22 27 49 24.5 0.0174 3.0000 14706.1250 255.8866
(Lampiran 10) Lanjutan
129

No Estimasi
Family Spesies Ikan
Length Estimation
JML a b L b
W  aLb
F Spesies (CM) (Kisaran) Rata2 panjang

20 Labridae 122 Cheilinus fasciatus 16 19 35 17.5 0.0318 3.0000 5359.3750 170.4281


123 Cirrhilabrus solorensis 4 9 13 6.5 0.0415 3.0000 274.6250 11.3969
124 Cheilinus chlorourus 12 15 27 13.5 0.0197 2.9932 2417.2136 47.6191
125 Anampses meleagrides 8 12 20 10 0.015 3.0000 1000.0000 15.0000
126 Thalassoma lunare 10 15 25 12.5 0.0211 2.8317 1276.7918 26.9403
127 Halichoeres hortulanus 10 18 28 14 0.0222 3.0000 2744.0000 60.9168
128 Thalassoma hardwicke 8 17 25 12.5 0.0126 2.878 1435.1821 18.0833
129 Halichoeres leucurus 10 12 22 11 0.0215 3.0000 1331.0000 28.6165
130 Halichoeres chrysus 8 12 20 10 0.0175 2.9568 905.3156 15.8430
131 Halichoeres chloropterus 10 12 22 11 0.016 2.87 974.5340 15.5925
132 Bodianus mesothorax 7 10 17 8.5 0.0174 3.0000 614.1250 10.6858
133 Hemigymnus melapterus 8 12 20 10 0.0182 3.0000 1000.0000 18.2000
134 Halichoeres negrescens 8 11 19 9.5 0.0182 3.0000 857.3750 15.6042
135 Halichoeres melanurus 7 10 17 8.5 0.0156 3.0000 614.1250 9.5804
136 Oxcheilinus celebicus 9 11 20 10 0.0201 3.0000 1000.0000 20.1000
137 Choerodon anchorago 8 13 21 10.5 0.0145 3.125 1553.1613 22.5208
138 Labroides dimidiatus 5 8 13 6.5 0.0108 3.0000 274.6250 2.9660
139 Diproctacanthus xanthurus 5 6 11 5.5 0.0076 3.105 198.9877 1.5123
140 Labroides bicolor 5 7 12 6 0.0409 3.0000 216.0000 8.8344
141 Cheilio inermis 12 15 27 13.5 0.0036 3.066 2921.4828 10.5173
142 Gomphosus varius 4 7 11 5.5 0.0124 3.002 166.9432 2.0701
143 Pseudocheilinus hexataenia 5 7 12 6 0.0415 3.0000 216.0000 8.9640
21 Holocentridae 144 Myripristis murdjan 7 11 18 9 0.0376 3.0000 729.0000 27.4104
145 Sargocentron spiniferum 7 11 18 9 0.0154 3.1188 946.4366 14.5751
146 Neoniphon sammara 8 11 19 9.5 0.0276 2.8884 666.8941 18.4063
22 Apogonidae 147 Apogon aureus 4 6 10 5 0.0081 3.409 241.4286 1.9556
148 Apogon compressus 4 6 10 5 0.0108 3.0000 125.0000 1.3500
149 Cheilodipterus macrodon 5 7 12 6 0.0041 3.577 607.3612 2.4902
23 Pseudochromidae 150 Pseudochromis paranox 6 8 14 7 0.0076 3.105 420.7551 3.1977
24 Ptereleotridae 151 Nemateleotris magnifica 5 8 13 6.5 0.007 2.972 260.6025 1.8242
152 Ptereleotris avides 7 8 15 7.5 0.0278 2.9730 399.5371 11.1071
25 Callionymidae 153 Synchiropus splendidus 4 6 10 5 0.0109 3.3415 216.5750 2.3607
26 Pinguipedidae 154 Parapercis sp 6 12 18 9 0.0100 3.1000 908.1379 9.0814
155 Parapercis clathrata 9 11 20 10 0.0124 3.002 1004.6158 12.4572
156 Parapercis hexophthalma 9 12 21 10.5 0.0085 3.0000 1157.6250 9.8398
27 Synodontidae 141 Synodus dermatogenys 8 17 25 12.5 0.0047 3.3455 4674.2555 21.9690
28 Gobiidae 142 Koumansetta rainfordi 4 6 10 5 0.0081 3.0000 125.0000 1.0125
143 Valenciennea strigata 6 8 14 7 0.0087 3.0000 343.0000 2.9841
144 Amblyeleotris guttata 5 6 11 5.5 0.0129 3.0000 166.3750 2.1462
145 Amblyeleotris sp 5 6 11 5.5 0.0245 3.0000 166.3750 4.0762
146 Amblyeleotris steinitzi 4 6 10 5 0.0090 3.0000 125.0000 1.1250
130
(Lampiran 10) Lanjutan

No Estimasi
b
Family Spesies Ikan
Length Estimation
(CM) (Kisaran)
JML a b L W  aLb
F Spesies Rata2 panjang

29 Blenniidae 163 Meiacanthus grammistes 5 6 11 5.5 0.0285 3.0000 166.3750 4.7417


30 Scorpaenidae 164 Pterois volitans 12 15 27 13.5 0.0178 2.84 1622.3625 28.8781
165 Pterois antennata 13 15 28 14 0.0266 3.0000 2744.0000 72.9904
166 Scorpaenopsis sp 12 17 29 14.5 0.0326 2.9801 2890.6318 94.2346
31 Platycephalidae 167 Cymbacephalus beaufirti 40 50 90 45 0.004 3.2105 203066.7300 812.2669
32 Ostraciidae 168 Ostracion cubicus 3 5 8 4 0.101 2.588 36.1519 3.6513
169 Ostracion solorensis 4 5 9 4.5 0.007 2.972 87.3670 0.6116
33 Mullidae 170 Parupeneus crassilabris 12 16 28 14 0.0123 3.081 3397.9773 41.7951
171 Parupeneus multifasciatus 10 13 23 11.5 0.0114 3.2108 2545.0049 29.0131
172 Parupeneus vanicolensis 10 12 22 11 0.0036 3.451 3925.0587 14.1302
173 Parupeneus barbarinus 10 13 23 11.5 0.0151 3.078 1840.0429 27.7846
34 Aulostomidae 174 Aulostomus chenensis 25 35 60 30 0.0367 2.9432 22256.8284 816.8256
35 Centriscidae 175 Aeoliscus strigatus 9 12 21 10.5 0.0326 2.9720 1083.8635 35.3340
36 Pempheridae 176 Pempheris vanicolensis 6 7 13 6.5 0.0119 3.026 288.3207 3.4310
37 Balistidae 177 Balistoides conspicillum 9 15 24 12 0.0174 3.0000 1728.0000 30.0672
178 Sufflamen chrysopterus 6 12 18 9 0.0174 3.0000 729.0000 12.6846
179 Balistapus undulatus 5 7 12 6 0.007 2.972 205.4308 1.4380
180 Odonus niger 5 15 20 10 0.0366 3.0000 1000.0000 36.6000
38 Tetraodontidae 181 Canthigaster bennetti 3 5 8 4 0.0266 3.0000 64.0000 1.7024
182 Canthigaster papua 3 6 9 4.5 0.0252 3.0000 91.1250 2.2964
183 Arothron nigropunctatus 17 20 37 18.5 0.0266 3.0000 6331.6250 168.4212
184 Canthigaster valentini 3 5 8 4 0.0367 2.9432 59.1538 2.1709
39 Syngnathidae 185 Dunckerocampus dactyliophorus 10 14 24 12 0.0174 3.0000 1728.0000 30.0672
40 Muraenidae 186 Gymnothorax javanicus 90 100 190 95 0.0035 3.0000 857375.0000 3000.8125
187 Rhinomuraena quaesita 65 85 150 75 0.004 2.561 63391.6266 253.5665
188 Gymnothorax fimbriatus 50 60 110 55 0.0004 3.3236 608512.4032 243.4050
189 Heteroconger hassi 40 45 85 42.5 0.004 2.561 14801.4428 59.2058
41 Carcharhinidae 190 Carcharinus melanopterus 130 145 275 137.5 0.0033 3.1000 4253420.9351 14036.2891
42 Desyatidae 191 Taeniura lymma 45 60 105 52.5 0.0174 3.0000 144703.1250 2517.8344
43 Diodontidae 192 Diodon sp 8 12 20 10 0.285 2.345 221.3095 63.0732
44 Plotosidae 193 Plotosus lineatus 4 6 10 5 0.0082 3.457 260.8190 2.1387

JUMLAH BIOMASA (Kg) 39,771.12

Sumber : a dan b . WWW. Fishbased.org


123

Lampiran 11. Simulasi model perhitungan perikanan karang


124

Appendix 12. Hasil simulasi biomassa ikan dengan menggunakan 147 kapal

Stok Total Jumlah


Bulan Recruitmen Mortality Keuntungan
Ikan Penangkapan Kapal
1 39,771.12 23,862.67 17,889.90 147 11,931.34 194,223,750.00
2 33,812.56 20,287.53 14,700.00 147 10,143.77 154,350,000.00
3 29,256.32 17,553.79 11,025.00 147 8,776.90 108,412,500.00
4 27,008.22 16,204.93 8,570.10 147 8,102.47 77,726,250.00
5 26,540.59 15,924.35 10,878.00 147 7,962.18 106,575,000.00
6 23,624.76 14,174.86 8,423.10 147 7,087.43 75,888,750.00
7 22,289.09 13,373.45 17,889.90 147 6,686.73 194,223,750.00
8 11,085.92 6,651.55 10,731.00 147 3,325.77 104,737,500.00
9 3,680.69 2,208.41 5,889.11 147 0 44,213,826.76
10 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
11 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
12 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
13 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
14 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
15 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
16 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
17 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
18 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
19 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
20 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
21 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
22 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
23 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
24 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
25 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
26 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
27 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
28 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
29 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
30 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
31 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
32 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
33 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
34 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
35 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
36 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
37 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
38 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
39 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
40 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
41 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
125

(Lampiran 12) Lanjutan

Stok Total Jumlah


Bulan Recruitmen Mortality Keuntungan
Ikan Penangkapan Kapal
42 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
43 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
44 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
45 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
46 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
47 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
48 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
49 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
50 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
51 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
52 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
53 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
54 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
55 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
56 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
57 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
58 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
59 0 0 0 147 0 -29,400,000.00
Final 0 147 -29,400,000.00
126

Lampiran 13. Hasil simulasi biomassa ikan dengan menggunakan 125 kapal

Stok Total Jumlah


Bulan Recruitmen Mortality Keuntungan
Ikan Penangkapan Kapal
1 39,771.1 23,862.67 15,212.50 125 11,931.34 165,156,250.00
2 36,489.9 21,893.97 12,500.00 125 10,946.99 131,250,000.00
3 34,936.9 20,962.17 9,375.00 125 10,481.08 92,187,500.00
4 36,043.0 21,625.82 7,287.50 125 10,812.91 66,093,750.00
5 39,568.4 23,741.06 9,250.00 125 11,870.53 90,625,000.00
6 42,188.9 25,313.38 7,162.50 125 12,656.69 64,531,250.00
7 47,683.1 28,609.89 15,212.50 125 14,304.95 165,156,250.00
8 46,775.6 28,065.36 9,125.00 125 14,032.68 89,062,500.00
9 51,683.2 31,009.97 8,500.00 125 15,504.98 81,250,000.00
10 58,688.2 35,212.96 11,337.50 125 17,606.48 116,718,750.00
11 64,957.2 38,974.34 10,837.50 125 19,487.17 110,468,750.00
12 73,606.9 44,164.15 10,000.00 125 22,082.07 100,000,000.00
13 85,688.9 51,413.39 13,500.00 125 25,706.70 143,750,000.00
14 97,895.6 58,737.41 11,587.50 125 29,368.70 119,843,750.00
15 115,676.8 69,406.13 11,212.50 125 34,703.06 115,156,250.00
16 139,167.4 83,500.47 10,287.50 125 41,750.23 103,593,750.00
17 170,630.1 102,378.11 11,587.50 125 51,189.05 119,843,750.00
18 210,231.7 126,139.04 8,962.50 125 63,069.52 87,031,250.00
19 264,338.7 158,603.25 11,962.50 125 79,301.63 124,531,250.00
20 331,677.8 199,006.73 15,625.00 125 99,503.37 170,312,500.00
21 415,556.2 249,333.75 9,662.50 125 124,666.87 95,781,250.00
22 530,560.6 318,336.37 13,537.50 125 159,168.19 144,218,750.00
23 676,191.3 405,714.79 10,000.00 125 202,857.39 100,000,000.00
24 869,048.7 521,429.22 9,162.50 125 260,714.61 89,531,250.00
25 1,120,600.8 672,360.49 12,250.00 125 336,180.24 128,125,000.00
26 1,444,531.0 866,718.63 9,537.50 125 433,359.32 94,218,750.00
27 1,868,352.8 1,121,011.72 18,125.00 125 560,505.86 201,562,500.00
28 2,410,733.7 1,446,440.24 8,787.50 125 723,220.12 84,843,750.00
29 3,125,166.3 1,875,099.82 10,087.50 125 937,549.91 101,093,750.00
30 4,052,628.7 2,431,577.26 8,712.50 125 1,215,788.63 83,906,250.00
31 5,259,704.9 3,155,822.94 10,000.00 125 1,577,911.47 100,000,000.00
32 6,827,616.3 4,096,569.82 15,212.50 125 2,048,284.91 165,156,250.00
33 8,860,688.7 5,316,413.26 11,237.50 125 2,658,206.63 115,468,750.00
34 11,507,657.9 6,904,594.74 8,712.50 125 3,452,297.37 83,906,250.00
35 14,951,242.7 8,970,745.67 9,625.00 125 4,485,372.83 95,312,500.00
36 19,426,990.6 11,656,194.37 10,987.50 125 5,828,097.18 112,343,750.00
37 25,244,100.3 15,146,460.18 11,162.50 125 7,573,230.09 114,531,250.00
38 32,806,167.8 19,683,700.73 9,862.50 125 9,841,850.37 98,281,250.00
39 42,638,155.7 25,582,893.45 11,337.50 125 12,791,446.72 116,718,750.00
40 55,418,264.9 33,250,958.98 10,000.00 125 16,625,479.49 100,000,000.00
41 72,033,744.4 43,220,246.68 15,212.50 125 21,610,123.34 165,156,250.00
42 93,628,655.3 56,177,193.18 9,912.50 125 28,088,596.59 98,906,250.00
43 121,707,339.4 73,024,403.64 10,000.00 125 36,512,201.82 100,000,000.00
44 158,209,541.2 94,925,724.73 13,500.00 125 47,462,862.37 143,750,000.00
45 205,658,903.5 123,395,342.15 18,212.50 125 61,697,671.08 202,656,250.00
46 267,338,362.1 160,403,017.30 15,375.00 125 80,201,508.65 167,187,500.00
47 347,524,495.8 208,514,697.49 21,625.00 125 104,257,348.74 245,312,500.00
48 451,760,219.5 271,056,131.73 16,587.50 125 135,528,065.87 182,343,750.00
49 587,271,697.9 352,363,018.75 18,212.50 125 176,181,509.38 202,656,250.00
127

(Lampiran 13) Lanjutan


Total
Stok Jumlah
Bulan Recruitmen Penang- Mortality Keuntungan
Ikan Kapal
kapan
50 763,434,994.7 458,060,996.88 13,937.50 125 229,030,498.44 149,218,750.00
51 992,451,555.7 595,470,933.44 12,225.00 125 297,735,466.72 127,812,500.00
52 1,290,174,797.4 774,104,878.47 16,862.50 125 387,052,439.24 185,781,250.00
53 1,677,210,374.1 1,006,326,224.51 16,775.00 125 503,163,112.26 184,687,500.00
54 2,180,356,711.4 1,308,214,026.86 12,462.50 125 654,107,013.43 130,781,250.00
55 2,834,451,262.3 1,700,670,757.42 9,787.50 125 850,335,378.71 97,343,750.00
56 3,684,776,853.5 2,210,866,112.15 13,375.00 125 1,105,433,056.08 142,187,500.00
57 4,790,196,534.6 2,874,117,920.80 15,162.50 125 1,437,058,960.40 164,531,250.00
58 6,227,240,332.5 3,736,344,199.54 12,337.50 125 1,868,172,099.77 129,218,750.00
59 8,095,400,094.8 4,857,240,056.90 13,500.00 125 2,428,620,028.45 143,750,000.00
Final 10,524,006,623.2 125 201,562,500.00
128

Lampiran 14. Hasil simulasi biomassa ikan dengan menggunakan 131 kapal

Total Jumlah
Bulan Stok Ikan Recruitmen Mortality Keuntungan
Penangkapan Kapal

1 39,771.1 23,862.7 15,942.70 131 11,931.3 173,083,750.00


2 35,759.7 21,455.9 13,100.00 131 10,727.9 137,550,000.00
3 33,387.6 20,032.6 9,825.00 131 10,016.3 96,612,500.00
4 33,578.9 20,147.3 7,637.30 131 10,073.7 69,266,250.00
5 36,015.3 21,609.2 9,694.00 131 10,804.6 94,975,000.00
6 37,126.0 22,275.6 7,506.30 131 11,137.8 67,628,750.00
7 40,757.5 24,454.5 15,942.70 131 12,227.2 173,083,750.00
8 37,042.0 22,225.2 9,563.00 131 11,112.6 93,337,500.00
9 38,591.6 23,155.0 8,908.00 131 11,577.5 85,150,000.00
10 41,261.1 24,756.7 11,881.70 131 12,378.3 122,321,250.00
11 41,757.8 25,054.6 11,357.70 131 12,527.3 115,771,250.00
12 42,927.4 25,756.4 10,480.00 131 12,878.2 104,800,000.00
13 45,325.6 27,195.4 14,148.00 131 13,597.7 150,650,000.00
14 44,775.4 26,865.2 12,143.70 131 13,432.6 125,596,250.00
15 46,064.3 27,638.5 11,750.70 131 13,819.2 120,683,750.00
16 48,132.9 28,879.7 10,781.30 131 14,439.8 108,566,250.00
17 51,791.4 31,074.8 12,143.70 131 15,537.4 125,596,250.00
18 55,185.2 33,111.1 9,392.70 131 16,555.5 91,208,750.00
19 62,348.1 37,408.8 12,536.70 131 18,704.4 130,508,750.00
20 68,515.8 41,109.5 16,375.00 131 20,554.7 178,487,500.00
21 72,695.5 43,617.3 10,126.30 131 21,808.6 100,378,750.00
22 84,377.9 50,626.7 14,187.30 131 25,313.3 151,141,250.00
23 95,504.0 57,302.4 10,480.00 131 28,651.2 104,800,000.00
24 113,675.2 68,205.1 9,602.30 131 34,102.5 93,828,750.00
25 138,175.5 82,905.3 12,838.00 131 41,452.6 134,275,000.00
26 166,790.1 100,074.1 9,995.30 131 50,037.0 98,741,250.00
27 206,831.9 124,099.1 18,995.00 131 62,049.5 211,237,500.00
28 249,886.4 149,931.9 9,209.30 131 74,965.9 88,916,250.00
29 315,643.1 189,385.8 10,571.70 131 94,692.9 105,946,250.00
30 399,764.3 239,858.6 9,130.70 131 119,929.3 87,933,750.00
31 510,563.0 306,337.8 10,480.00 131 153,168.9 104,800,000.00
32 653,251.9 391,951.1 15,942.70 131 195,975.5 173,083,750.00
33 833,284.7 499,970.8 11,776.90 131 249,985.4 121,011,250.00
34 1,071,493.2 642,895.9 9,130.70 131 321,447.9 87,933,750.00
35 1,383,810.5 830,286.3 10,087.00 131 415,143.1 99,887,500.00
36 1,788,866.7 1,073,320.0 11,514.90 131 536,660.0 117,736,250.00
37 2,314,011.8 1,388,407.1 11,698.30 131 694,203.5 120,028,750.00
38 2,996,517.1 1,797,910.2 10,335.90 131 898,955.1 102,998,750.00
39 3,885,136.3 2,331,081.8 11,881.70 131 1,165,540.9 122,321,250.00
40 5,038,795.6 3,023,277.3 10,480.00 131 1,511,638.6 104,800,000.00
41 6,539,954.2 3,923,972.5 15,942.70 131 1,961,986.2 173,083,750.00
129

(Lampiran 14) Lanjutan

Total Jumlah
Bulan Stok Ikan Recruitmen Mortality Keuntungan
Penangkapan Kapal
42 8,485,997.8 5,091,598.7 10,388.30 131 2,545,799.3 103,653,750.00
43 11,021,408.9 6,612,845.3 10,480.00 131 3,306,422.6 104,800,000.00
44 14,317,351.6 8,590,410.9 14,148.00 131 4,295,205.4 150,650,000.00
45 18,598,409.1 11,159,045.4 19,086.70 131 5,579,522.7 212,383,750.00
46 24,158,845.1 14,495,307.0 16,113.00 131 7,247,653.5 175,212,500.00
47 31,390,385.6 18,834,231.4 22,663.00 131 9,417,115.7 257,087,500.00
48 40,784,838.3 24,470,903.0 17,383.70 131 12,235,451.5 191,096,250.00
49 53,002,906.1 31,801,743.7 19,086.70 131 15,900,871.8 212,383,750.00
50 68,884,691.3 41,330,814.8 14,606.50 131 20,665,407.4 156,381,250.00
51 89,535,492.2 53,721,295.3 12,811.80 131 26,860,647.6 133,947,500.00
52 116,383,328.0 69,829,996.8 17,671.90 131 34,914,998. 194,698,750.00
53 151,280,654.6 90,768,392.7 17,580.20 131 45,384,196.3 193,552,500.00
54 196,647,270.8 117,988,362.49 13,060.70 131 58,994,181.3 137,058,750.00
55 255,628,391.3 153,377,034.82 10,257.30 131 76,688,517.4 102,016,250.00
56 332,306,651.4 199,383,990.89 14,017.00 131 99,691,995.4 149,012,500.00
57 431,984,629.9 259,190,777.9 15,890.30 131 129,595,388.9 172,428,750.00
58 561,564,128.6 336,938,477.2 12,929.70 131 168,469,238.5 135,421,250.00
59 730,020,437.4 438,012,262.5 14,148.00 131 219,006,131.3 150,650,000.00
Final 949,012,420.7 131 211,237,500.00
126

You might also like