Professional Documents
Culture Documents
Hamid Fahmi
Hamid Fahmi
Hamid Fahmi
Abstract
The relation problem of thinking and message is very interesting topic for
debating among Mutakallimun and Muslim philosophers dealing with their own
tendency. Among them, there is rational extreme; therefore, the truth barometer is
in thinking ability, on the contrary, there is traditional extreme which refused that
thinking is as the only resources of religion. This writing will study the effort of
integrity for both of the extremes that had mentioned above. By observing the effort
of two greatest thinkers in Islam History those are; Ibnu Rusyd and Ibnu
Taimiyyah.
The effort of Ibnu Rusyd for connecting between thinking and message is
very systematic, but the meaning limitation of thinking on the ability to think
demonstrative that only owned by philosophers invited varied questions. He seems
outrageous in valuing the thinking ability and demonstration method, but he didn’t
carry out ta’wil without based on Al Burhan in discussing the philosophy issues. He
gave more authority to the philosophers for interpreting the message than the other.
He has preferred thinking than message and this can be decreased the absolutely of
the message.
Ibnu Tamiyyah has the contrary view, mainly by giving priority to message
but didn’t ignore thinking at all. The rightly thinking will never cross over with the
message. Thinking for Ibnu Tamiyyah has not got independence status as Ibnu Rusyd
view.
18
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)
1
Pembahasan tentang problem akal dan wahyu dalam Islam dibahas oleh A.J. Arberry,
dalam bukunya Revelation and Reason in Islam, George Allen & Unwin Ltd, London, 1965. Artikel
tentang sejarah singkat ditulis oleh A.S. Tritton, dalam “Reason and Revelation”, dalam Arabic
and Islamic Studies in Honor of Hamilton Gibb, ed. by George Makdisi, Leiden, A.J.Brill, 1965, 619-
630. Pnejelasan singkat tenang aspek mistikalnya dihuraikan oleh D.B. MacDonald, “The
Doctrine of Revelation in Islam” Muslim World, vol. VII, January, 1977, no.2, 113-117.
19
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32
konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, menganggap karya Ibn Rushd itu
konsep etika dan lain sebagainya. 2 sebagai percobaan terakhir untuk
Mereka berorientasi pada usaha un- membuktikan hubungan antara akal
tuk membuktikan kesesuaian atau dan wahyu, sedangkan Ibn Taymi-
hubu-ngan antara akal dan wahyu.3 yyah digambarkan sebagai orang
Dalam konteks ini konsep akal, wah- yang menghentikan percobaan ini. 4
yu dan ta’wil menjadi topik yang pen- Sejatinya keduanya berasumsi sama
ting. Filosof Muslim terpenting yang bahwa akal dan wahyu tidak berten-
berusaha membuktikan hubungan tangan, tapi karena situasi sosial dan
antara akal dan wahyu adalah Ibn latar belakang pemikiran mereka
Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) tidak sama 5 kesimpulan yang mereka
penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn hasilkan berbeda .
Taymiyyah 662/ 1263 – 728/1328
A.H. penulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql Prinsip hubungan Ibn Rushd
wa al-naql (sebelumnya diberi judul
muwafaqat sarih al-ma’qul ‘ala sahih al- Dalam membahas masalah akal
manqul). Yang pertama mencoba dan wahyu Ibn Rushd menggunakan
menjelaskan “hubungan” sedang prinsip hubungan (ittisal) yang dalam
yang kedua berusaha menghindar- argumentasi-argumentasinya
kan pertentangan atau menjelaskan mencoba mencari hubungan antara
“kesesuaian”. Akan tetapi Arberry agama dan falsafah. Argumentasi-
2
Untuk pembahasan masalah etika lihat George F Hourani, Reason and Tradition in
Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985; Untuk perdebatan teologis
tentang akal dan wahyu antara al-Zamakhshari dan al-Baydawi lihat Lutpi Ibrahim,
“The Relation of Reason and Revelation in the Theology of al-Zamakhshari and al-
Baydawi”, Islamic Culture, Heyderabad- India, vol. LIV No.2, April 1980, 63-74.
3
Lebih detail tentang sejarah singkat usaha-usaha penyesuaian ini lihat A.J.Arberry,
Revelation and Reason in Islam.
4
Ibid, 69
5
Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan
bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik
yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian
Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam
pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang
nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic
Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989, 12. Ibn Taymiyyah,
“Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah” dalam Majmu‘at al-Fatawa, Cairo, Matba ‘ah al-
Hukumah, 1966, 175.
20
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)
6
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Immarah, 1
7
The verses are al-Hashr 2; al-A’raf 184; al-ghashiyah 16-17
8
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 28-29.
9
Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 31
21
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32
Pertama kelompok yang tidak dapat lahir dan batin. 12 Klassifikasi teks
menafsirkan al-Qur’an, Kedua, kelom- wahyu ini juga merujuk kepada ke-
pok yang memiliki kemampuan me- mungkinan untuk dapat difahami
nafsirkan secara dialektik dan ketiga dengan akal.
kelompok yang mampu menafsirkan Nampaknya, yang dimaksud
secara demonstratif yang disebut ahl al- Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal)
burhan .10 Akal dalam klassifikasi ini adalah hubungan antara ayat-ayat
difahami sebagai kemampuan untuk yang mengandungi makna batin dan
berfikir dan memahami. Sedangkan kemampuan akal untuk memahami
wahyu dibagi kedalam tiga bentuk dengan metode demonstratif. Maka
makna yang terkandung didalamnya dari itu menurutnya perkataan
yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat ﺍﻟﻌﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﺮﺍﺳﺨﻮﻥdalam al-Qur’an (3:7)
difahami dengan tiga metode yang adalah mereka yang memiliki penge-
berbeda (metode retorik, dialektik dan tahuan berdasarkan metode demon-
demonstratif); 2) Teks yang mak-nanya strasi, yaitu para filosof.13
hanya dapat diketahui dengan metode Dari klassifikasi diatas agaknya
demonstrasi.11 Makna yang terkandung jawaban yang diberikan Ibn Rushd
dalam teks ini terdiri dari: a) makna jelas bahwa pertentangan antara akal
lahir, yaitu teks yang me-ngandungi dan wahyu tidak terjadi apabila akal
simbol-simbol (amthal ) yang dibuat difahami sebagai al-burhan. Namun
untuk menerangkan idea-idea yang demikian, Ibn Rushd tetap mengakui
dimaksud.( ) ﺍﳌﻌﺎﱏ ﻟﺘﻠﻚ ﺍﳌﻀﺮﻭﺑﺔ ﺍﻻﻣﺜﺎﻝb) adanya kemungkinan pertentangan
makna batin yaitu teks yang mengan- antara ahl al-burhan dan teks wahyu.
dung idea-idea itu sendiri dan hanya Dan untuk itu solusi yang terbaik me-
dapat difahami oleh yang disebut ahl al- nurutnya adalah seperti cara pe-
burhan. (;) ﺍﻟﱪﻫﺎﻥ ﻷﻫﻞ ﺇﻻ ﺗﻨﺠﻠﻲ ﻻ ﺍﻟﱵ ﺍﳌﻌﺎﱐ ﺗﻠﻚ ngambilan hukum Fiqh. Dalam kasus
3) teks yang bersifat ambigu antara tertentu pengetahuan tentang al-
10
Fasl al-Maqal, ed. Albert N Nadir, p. 52. G.Hourani, Averoes On the Harmony of
Religion and Philosophy, London, Luzac & Co, 1976, 65.
11
G. Hourani, Averoes, 59
12
G. Hourani, Averoes, 59. Klassifikasi ini berbeda dari klassifikasi kelompok
tradisionalist yang diwakili oleh fuqaha’. Memang klassifikasi ini dimaksudkan untuk
tujuan falsafah dan bukan Fiqh. Tapi dalam kitabnya Bidayat al-Mujtahid Ibn Rushd
mempertahankan klassifikasi tradisional. Lihat Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtasid, Cairo: al-Halabi, third edition, 1960, 3-6.
13
Fasl al-Maqal, ed. Albert N Nadir, 37.
22
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)
14
G. Hourani, Averoes, 51.
15
definisi ta’wil sepenuhnya ialah:
. ﻣﻦ ﻏﲑ ﺃﻥ ﳜ ﹲﻞ ﰲ ﺫﺍ ﻟﻚ ﺑﻌﺎﺩﺓ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﰲ ﺍﻟﺘﺠﻮﺯ- ﺎﺯﻳﺔ ﺇﱃ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﺍﳊﻘﻴﻘﻴﺔﺇﺧﺮﺍﺝ ﺩﻻﻟﺔ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﺍ
Mengeluarkan (membawa) indikasi lafaz dari yang bersifat metaforikal
kepada pengertian sebenar, dengan tanpa menyimpang dari kebiasaan Bahasa
Arab dalam metafora. Lihat Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 32.
16
G.Hourani, Averroes, 25.
17
Yang dimaksud Ibn Rushd dengan simbol bukanlah bahasa sebagai simbol konsep,
tapi suatu konsep itu sendiri yang merupakan simbol (mithal) dari konsep yang lain.
23
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32
oleh orang yang berilmu dan tidak hulukan akal daripada wahyu, yaitu
boleh diungkapkan kepada orang pandangan yang bertentangan de-
awam kecuali dengan penjelasan ngan pemikiran salaf, seperti al-
yang berbeda. 18 Disini Ibn Rushd Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah
tidak menjelaskan lebih jauh tentang atau lainnya. Dengan membatasi
standard pengetahuan al-mithal dan makna perkataan
al-mumaththal atau kreteria untuk berarti ia memberikan otoritas men-
membenarkan kesahihan pengeta- ta’wilkan makna batin al-Qur’an
huan mereka tentang kedua hal itu. kepada filosof, tanpa memper-
Nampaknya asas yang diguna- timbangkan otoritas Nabi dan para
kan Ibn Rushd dalam ta’wil adalah sahabat. Hal ini membahayakan
Bahasa Arab yang merujuk kepada kemutlakan kebenaran wahyu, wal-
kebiasaan (adat lisan al-‘Arab) dan hal pengetahuan para filosof tentang
kejelasan simbol serta benda yang realitas (wujud), yang diperolehi dari
disimbolkan, terutama adalah ke- metode demonstrasi belum dapat
mampuan akal memahami makna- dikatakan final. Dalam masalah dok-
nya dengan menggunakan metode trin ketuhanan atau konsep tentang
demonstratif. Akan tetapi standard Tuhan, misalnya, falsafah Yunani
bahasa Arab dengan simbol-simbol masih mengandung pertentangan
itu tidak dikaitkan dengan bahasa dan berbeda dari konsep dalam al-
sebagai simbol suatu konsep yang Qur’an. Jika Ibn Rushd membahas
dijelaskan Nabi dan difahami oleh lebih detail konsep akal tanpa mem-
para sahabat dan tabi’in. Demikian batasi pada metode demonstrasi
pula proses ta’wil yang dijelaskan falsafah Yunani kesesuaian akal dan
seakan-akan menggambarkan bahwa wahyu dapat difahami lebih jelas.
pengetahuan ahl al-burhan adalah
taken for granted, benar. Ini bermakna Prinsip kesesuaian Ibn Taymi-
bahwa kebenaran wahyu perlu dikaji yyah
ulang dan tidak memberikan ruang
untuk menjelaskan proses bagaimana Prinsip “kesesuaian” Ibn Taymi-
seharusnya pengetahuan demon- yyah yang berarti tanpa perten-
strasi dikaji ulang. Pandangan ini tangan tercemin dari judul kitabnya
boleh difahami sebagai menda- yang menggunakan perkataan
Ibn Rushd, “al-Kashf ‘an Manahij al-Adillah”, terjemahan George Hournai, dalam
18
Averoes, 78-79
24
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)
Muwafaqat dan Dar’ Ta’arud. Meski- nya ia bersifat rasional, sifat tradisio-
pun implikasi makna perkataan ini nal tidak bertentangan dengan sifat
hampir sama dengan perkataan ittisal rasional. Shariah terkadang bersifat
dalam pandangan Ibn Rushd, tapi tradisional dan terkadang rasional;
prinsip-prinsip yang digunakan ber- bersifat tradisional (sam’iyyan) jika ia
beda, terutama dalam memahami menetapkan dan menunjukkan se-
makna akal (’aql ) dan dalam menja- suatu, dan bersifat rasional jika ia
barkan wahyu (al-naql, al-sam’). memperingatkan dan menunjukkan
Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini sesuatu hal. 20
dapat difahami dari komentar dan Kedua, jika terjadi pertentangan
jawabannya terhadap masalah yang antara akal dan wahyu, maka priori-
dibahas oleh filosof dan mutakallimun tas diberikan kepada wahyu dan me-
khususnya Fakhr al-Din al-Razi, nolak akal. Akal tidak mungkin diberi
yaitu : bagaimanakah penyelesaian- prioritas karena melalui akal kebe-
nya jika terjadi “pertentangan antara naran wahyu dibuktikan. Jika akal
akal dan wahyu”.19 diberi prioritas sedangkan akal itu
Dari kesemua pembahasan Ibn sendiri boleh berbuat salah, maka ia
Taymiyyah sekurang-kurangnya ter- tidak boleh menjadi alat untuk me-
dapat tiga prinsip utama yang dimak- nentukan kebenaran, lagi pula disini
sud untuk menjawab masalah itu dan wahyu akan dianggap mengandung
membangun prinsip kesesuaian anta- kesalahan.21 Prinsip ini masih bersifat
ra akal dan wahyu. Ketiga-tiga prin- umum dan tidak termasuk perten-
sip itu ialah sebagai berikut: tangan antara pengetahuan tradi-
Pertama, bahwa rasional atau sional (wahyu) dan rasional (akal).
tradisional bukanlah sifat yang boleh Ketiga, jika pertentangan terjadi
menentukan sesuatu itu benar atau antara proposisi akal dan wahyu
salah, diterima atau ditolak. Ia ha- maka harus dikaji apakah proposisi
nyalah metode atau jalan untuk itu qat’i atau zanni. Jika kedua propo-
mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu sisi itu qat’i, maka tidak mungkin
berasal dari tradisi (al-sam’) semesti- terjadi pertentangan dan jika kedua
19
Ibn Sina dalam al-Risalah al-Adhawiyyah, al-Ghazzali dalam risalah Qanun al-Ta’wil
membahas masalah ini, tapi pembahasan Ibn Taymiyyah difokuskan pada Fakhr al-Din
al-Razi dalam kitabnya Asas al-Taqdis fi ‘ilm al-Kalam, dan al-Matalib al-‘Aliyah.
20
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I,ed. M. Rishad Salim, Dar al-Kutub, Cairo,
1981,198.
21
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I, 170-71.
25
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32
proposisi itu zanni maka dipilih pro- na itu kita tidak dapat menjadikan
posisi yang lebih pasti (rajih). Jika semua pengetahuan akal sebagai
proposisi yang dihasilkan akal lebih asas bagi wahyu atau dalil bagi
pasti (qat’i), maka prioritas diberikan kebenarannya. Baginya, asas kesa-
kepada proposisi akal daripada hihan wahyu adalah kebenaran Nabi
proposisi dari pengetahuan wahyu (sidq al-rasul ). Mendahulukan akal
(al-sam’i) dan sebaliknya. Tapi propo- berarti mengutamakan pendapat filo-
sisi akal diutamakan bukan karena ia sof, mutakallim atau sufi daripada
berasal dari akal tapi karena sifat risalah Nabi,25 dan dapat mengaki-
qat’i-nya itu.22 batkan bid’ah dan kekufuran.
Secara umum pandangan Ibn Meskipun demikitan, Ibn Taymi-
Taymiyyah menolak prinsip akal yyah sama sekali tidak merendahkan
sebagai asas wahyu dan asas bagi makna akal jika akal difahami seba-
menentukan kesahihan wahyu yang gai a) watak (gharizah) atau b) penge-
berarti mendahulukan akal daripada tahuan yang diperoleh dari akal (al-
wahyu. Alasannya, karena kebera- ma’rifa al-hasila bi-l-‘aql). Sebagai
daan wahyu berasal dari nabi (al- gharizah akal menjadi syarat bagi
sam’) dan bukan dari akal. Meskipun segala macam ilmu, apakah rasional
kebenaran wahyu dapat diketahui ataupun irrasional, dan dalam kedu-
dengan pengetahuan akal, tapi dukannya sebagai syarat, akal tidak
pengetahuan akal tidak dapat mene- dapat bertentangan dengan wahyu.
tapkan adanya (thubut) wahyu. 23 Demikian pula sebagai pengetahuan
Kesahihan wahyu tidak mungkin yang diperoleh dari gharizah tadi akal
bergantung pada pengetahuan yang difahami sebagai pengetahuan akal
diperoleh akal, sebab sifat dapat yang jelas dan pasti kebenarannya
difahami atau diketahui oleh akal (‘aqli qat’i). Pada poin ini Ibn Taymi-
bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) yyah tidak memberikan penjelasan
sesuatu benda. 24 Seandainya kebe- lebih detail atau contoh tentang apa
naran wahyu itu tidak diketahui atau hakekat pengetahuan akal yang pasti
dibuktikan oleh akal sekalipun ia (‘aqli qat’i) itu. Mungkin maksudnya
tetap memiliki sifat kebenaran, kare- adalah pengetahuan yang diperoleh
Ibid, 88ff.
23
24
Ibid, 193. Cf. Naqd al-Mantiq, ed. by Muhammad Hamid al-Faqi, Cairo: Matba‘ah al-
Sunnah al-Muhammadiyyag, 1951, 42-44.
25
Dar’ Ta’arud, vol.V, 320-322. Cf. Naqd al-Mantiq, 54.
26
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)
26
Dalam kitab ini ia menjelaskna bahwa fitrah adalah kecenderungan alami manusia
kepada kebenaran, namun kecenderungan untuk mengikuti kebenaran secara am ini
tidak sempurna dan karena itu fitrah alami ini disempurnakan oleh al-fitrah al-munazzalah
yaitu agama yang diwahyukan ini yang memberikan penerangan dan kerangka kerja
(framework) tentang kebenaran secara lebih detail. Maka itu baginya kebenaran dari
pengetahuan intuitif yang diperoleh dari fitrah alami ini memiliki derajat yang sama
dengan pengetahuan wahyu. Sebab ia yakin bahwa Allah menciptakan fitrah dalam
bentuknya yang sebaik-baiknya (ahsani taqwim), kesalahan dan kesesatan dalam
pemikiran hanyalah disebabkan oleh masing-masing individu. Maka itu berasaskan
pada pemahaman tentang konsep fitrah ini dapat difahami pandangan Ibn Taymiyyah
bahwa pertentangan antara akal dan wahyu tidak terjadi. Lihat Naqd al-Mantiq, 39; Cf.
“Bayan Muwafaqat, Sarih al-Ma’qul li SahIh al-Manqul”, published in the margin of the
Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, 4 vols, Cairo: Matba ‘ah al-Amiriyyah, 1321. A.H., vol.II,
.253.
27
Dar’ Ta’arud, vol. I, 195.
28
Lihat Ibn Taymiyyah, “Muqaddimah fi Usul al-Tafsir”, dalam Majmu’at al-Fatawa,
vol.13, Matba’ah al-Hukumah, 1966, 21 9.
29
Lebih detail tentang kritiknya terhadap metod ini lihat, Ibn Tayniyyah, al-Radd
‘ala al-Mantiqiyyin, ed. Rafiq al-‘Ajam, Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993, 130-35.
27
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32
32
Ibn Taymiyyah menyebutkan beberapa ayat yang mengandungi lafaz ta’wil, seperti
dalam al-A’raf 53; al-Nisa’ 59; Yusuf 6, 37, 45, dan 100, tapi sayang ia tidak menjabarkan
makna lafaz ta’wil pada setiap ayat itu. Lihat Dar’ Ta’arud, vol. I, 206.
28
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)
33
(Proses) menta’birkan sesuatu sesuai dengan indikasi lafaz dan pengertian
zahirnya, yaitu mentafsirkan ucapan dan menjelaskan artinya.Dar’ Ta’arud, vol. I, 14.
34
Ibnrahim ‘Uqaili, Takamul al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda Ibn Taymiyyah, al-Ma’had al-
Alami li-l-Fikri al-Islami, 1981, 172-73. Dalam hal ini Ibn Taymiyyah mengkritik filosof
karena mereka menggunakan terminologi (lafaz) tanpa memperhatikan ikatan-ikatan
maknanya (quyud). istilah-istilah seperti ‘ashiq, ma’shuq, illah dan sebagainya bukanlah
istilah-istilah yang ada dalam shari’ah. Lihat Dar’ Ta’arud, I, 231.
35
Ibn Taymiyyah, “Muqaddimah fi al-Tafsir”, 255-257.
36
Dar’ Ta’arud, vol. I 206-207.
37
Ibid , vol. V,230ff.
29
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32
Al-Qur’an, 3:7
38
30
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)
Daftar Pustaka
A.J. Arberry, 1965. Revelation and Reason in Islam, George Allen & Unwin Ltd,
London.
A.S. Tritton. 1965. Arabic and Islamic Studies in Honor of Hamilton Gibb, ed. by
George Makdisi, Leiden, A.J.Brill.
al-Faqi, Muhammad Hamid (ed). 1951. Naqd al-Mantiq, Cairo: Matba‘ah al-
Sunnah al-Muhammadiyyah.
40
Abrahamov, “Ibn Taymiyyah On ther Agreement” 256.
31
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32
____________. 1981. Dar’ Ta’arud, vol.I,ed. M. Rishad Salim, Cairo: Dar al-
Kutub.
Ibnrahim ‘Uqaili, 1981. Takamul al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda Ibn Taymiyyah, al-
Ma’had al-Alami li-l-Fikri al-Islami.
32