Hamid Fahmi

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No.

1, Januari 2007: 18-32

AKAL DAN WAHYU


DALAM PANDANGAN IBNU RUSYD
DAN IBN TAIMIYYAH

Hamid Fahmi Zarkasy


Institut Studi Islam Darussalam
Pondok Modern Gontor Ponorogo

Abstract

The relation problem of thinking and message is very interesting topic for
debating among Mutakallimun and Muslim philosophers dealing with their own
tendency. Among them, there is rational extreme; therefore, the truth barometer is
in thinking ability, on the contrary, there is traditional extreme which refused that
thinking is as the only resources of religion. This writing will study the effort of
integrity for both of the extremes that had mentioned above. By observing the effort
of two greatest thinkers in Islam History those are; Ibnu Rusyd and Ibnu
Taimiyyah.
The effort of Ibnu Rusyd for connecting between thinking and message is
very systematic, but the meaning limitation of thinking on the ability to think
demonstrative that only owned by philosophers invited varied questions. He seems
outrageous in valuing the thinking ability and demonstration method, but he didn’t
carry out ta’wil without based on Al Burhan in discussing the philosophy issues. He
gave more authority to the philosophers for interpreting the message than the other.
He has preferred thinking than message and this can be decreased the absolutely of
the message.
Ibnu Tamiyyah has the contrary view, mainly by giving priority to message
but didn’t ignore thinking at all. The rightly thinking will never cross over with the
message. Thinking for Ibnu Tamiyyah has not got independence status as Ibnu Rusyd
view.

Key Words: ittishal, muwafaqat, al-burhan, dar’al-ta’arudh

18
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

Pendahuluan hangat diperdebatkan oleh muta-


kallimun dan filosof.1 Issu ini menjadi
Dalam sejarah pemikiran Islam penting karena ia memiliki kaitan
persoalan hubungan antara akal dan dengan argumentasi-argumentasi
wahyu merupakan issu yang selalu mereka dalam pembahasan tentang

1
Pembahasan tentang problem akal dan wahyu dalam Islam dibahas oleh A.J. Arberry,
dalam bukunya Revelation and Reason in Islam, George Allen & Unwin Ltd, London, 1965. Artikel
tentang sejarah singkat ditulis oleh A.S. Tritton, dalam “Reason and Revelation”, dalam Arabic
and Islamic Studies in Honor of Hamilton Gibb, ed. by George Makdisi, Leiden, A.J.Brill, 1965, 619-
630. Pnejelasan singkat tenang aspek mistikalnya dihuraikan oleh D.B. MacDonald, “The
Doctrine of Revelation in Islam” Muslim World, vol. VII, January, 1977, no.2, 113-117.

19
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

konsep Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, menganggap karya Ibn Rushd itu
konsep etika dan lain sebagainya. 2 sebagai percobaan terakhir untuk
Mereka berorientasi pada usaha un- membuktikan hubungan antara akal
tuk membuktikan kesesuaian atau dan wahyu, sedangkan Ibn Taymi-
hubu-ngan antara akal dan wahyu.3 yyah digambarkan sebagai orang
Dalam konteks ini konsep akal, wah- yang menghentikan percobaan ini. 4
yu dan ta’wil menjadi topik yang pen- Sejatinya keduanya berasumsi sama
ting. Filosof Muslim terpenting yang bahwa akal dan wahyu tidak berten-
berusaha membuktikan hubungan tangan, tapi karena situasi sosial dan
antara akal dan wahyu adalah Ibn latar belakang pemikiran mereka
Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) tidak sama 5 kesimpulan yang mereka
penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn hasilkan berbeda .
Taymiyyah 662/ 1263 – 728/1328
A.H. penulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql Prinsip hubungan Ibn Rushd
wa al-naql (sebelumnya diberi judul
muwafaqat sarih al-ma’qul ‘ala sahih al- Dalam membahas masalah akal
manqul). Yang pertama mencoba dan wahyu Ibn Rushd menggunakan
menjelaskan “hubungan” sedang prinsip hubungan (ittisal) yang dalam
yang kedua berusaha menghindar- argumentasi-argumentasinya
kan pertentangan atau menjelaskan mencoba mencari hubungan antara
“kesesuaian”. Akan tetapi Arberry agama dan falsafah. Argumentasi-

2
Untuk pembahasan masalah etika lihat George F Hourani, Reason and Tradition in
Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985; Untuk perdebatan teologis
tentang akal dan wahyu antara al-Zamakhshari dan al-Baydawi lihat Lutpi Ibrahim,
“The Relation of Reason and Revelation in the Theology of al-Zamakhshari and al-
Baydawi”, Islamic Culture, Heyderabad- India, vol. LIV No.2, April 1980, 63-74.
3
Lebih detail tentang sejarah singkat usaha-usaha penyesuaian ini lihat A.J.Arberry,
Revelation and Reason in Islam.
4
Ibid, 69
5
Ibn Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan
bahwa sains dan falsafah bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik
yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian
Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam
pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan filsafat seperti yang
nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic
Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989, 12. Ibn Taymiyyah,
“Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah” dalam Majmu‘at al-Fatawa, Cairo, Matba ‘ah al-
Hukumah, 1966, 175.

20
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

argumentasinya adalah dengan: demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama


Pertama, menentukan kedudukan seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas
hukum belajar falsafah. Menurutnya al-fiqhi), yang digunakan untuk
belajar falsafah adalah belajar ilmu menyimpulkan ketentuan hukum,
tentang Tuhan, yaitu kegiatan filo- metode demonstrasi (qiyas al-burhan)
sofis yang mengkaji dan memikirkan digunakan untuk mamahami segala
segala sesuatu yang wujud (al- yang wujud (al-mawjudat),8 Hasil dari
mawjudat) yang merupakan pertanda proses berfikir demonstratif ini adalah
adanya Pencipta (Sani‘), karena al- kebenaran dan tidak dapat berten-
mawjudat adalah produk dari ciptaan. tangan dengan kebenaran wahyu,
Lebih sempurna ilmu kita tentang karena kebenaran tidak mungkin
hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat) bertentangan dengan kebenaran. 9
lebih sempurna pula ilmu kita Kedua thesis diatas merupakan asas
tentang Tuhan. Karena wahyu (shar‘) bagi kesimpulan Ibn Rushd selanjut-
mendorong aktivitas bertafakkur nya yang menyatakan bahwa para
tentang al-mawjudat ini, maka belajar filosof memiliki otoritas untuk men-
falsafah diwajibkan dan diperintah- ta’wilkan al-Qur’an.
kan oleh wahyu. 6 Kedua membuat Bagaimanapun thesis diatas
justifikasi bahwa kebenaran yang masih menyimpan satu pertanyaan:
diperoleh dari demonstrasi (al-burhan) apakah kebenaran yang diperoleh
sesuai dengan kebenaran yang akal tidak akan bertentangan dengan
diperoleh dari wahyu. Disini ia ber- kebenaran wahyu? Jawaban perta-
argumentasi bahwa di dalam al- nyaan ini tidak dinyatakan secara
Qur’an terdapat banyak ayat-ayat jelas, akan tetapi dapat difahami dari
yang memerintahkan kita untuk teori Ibn Rushd tentang kemampuan
menggunakan akal (nazar) untuk me- akal dalam memahami wahyu, dan
mahami segala yang wujud.7 Karena tentang wahyu yang diklassifikasikan
nazar ini tidak lain daripada proses kedalam makna.
berfikir yang menggunakan metode Berasaskan pada kemampuan
logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka akal manusia, Ibn Rushd membagi
metode yang terbaik adalah metode masyarakat kedalam tiga kelompok:

6
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Immarah, 1
7
The verses are al-Hashr 2; al-A’raf 184; al-ghashiyah 16-17
8
Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 28-29.
9
Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 31

21
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

Pertama kelompok yang tidak dapat lahir dan batin. 12 Klassifikasi teks
menafsirkan al-Qur’an, Kedua, kelom- wahyu ini juga merujuk kepada ke-
pok yang memiliki kemampuan me- mungkinan untuk dapat difahami
nafsirkan secara dialektik dan ketiga dengan akal.
kelompok yang mampu menafsirkan Nampaknya, yang dimaksud
secara demonstratif yang disebut ahl al- Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal)
burhan .10 Akal dalam klassifikasi ini adalah hubungan antara ayat-ayat
difahami sebagai kemampuan untuk yang mengandungi makna batin dan
berfikir dan memahami. Sedangkan kemampuan akal untuk memahami
wahyu dibagi kedalam tiga bentuk dengan metode demonstratif. Maka
makna yang terkandung didalamnya dari itu menurutnya perkataan
yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat ‫ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﺮﺍﺳﺨﻮﻥ‬dalam al-Qur’an (3:7)
difahami dengan tiga metode yang adalah mereka yang memiliki penge-
berbeda (metode retorik, dialektik dan tahuan berdasarkan metode demon-
demonstratif); 2) Teks yang mak-nanya strasi, yaitu para filosof.13
hanya dapat diketahui dengan metode Dari klassifikasi diatas agaknya
demonstrasi.11 Makna yang terkandung jawaban yang diberikan Ibn Rushd
dalam teks ini terdiri dari: a) makna jelas bahwa pertentangan antara akal
lahir, yaitu teks yang me-ngandungi dan wahyu tidak terjadi apabila akal
simbol-simbol (amthal ) yang dibuat difahami sebagai al-burhan. Namun
untuk menerangkan idea-idea yang demikian, Ibn Rushd tetap mengakui
dimaksud.(‫ ) ﺍﳌﻌﺎﱏ ﻟﺘﻠﻚ ﺍﳌﻀﺮﻭﺑﺔ ﺍﻻﻣﺜﺎﻝ‬b) adanya kemungkinan pertentangan
makna batin yaitu teks yang mengan- antara ahl al-burhan dan teks wahyu.
dung idea-idea itu sendiri dan hanya Dan untuk itu solusi yang terbaik me-
dapat difahami oleh yang disebut ahl al- nurutnya adalah seperti cara pe-
burhan. (‫;) ﺍﻟﱪﻫﺎﻥ ﻷﻫﻞ ﺇﻻ ﺗﻨﺠﻠﻲ ﻻ ﺍﻟﱵ ﺍﳌﻌﺎﱐ ﺗﻠﻚ‬ ngambilan hukum Fiqh. Dalam kasus
3) teks yang bersifat ambigu antara tertentu pengetahuan tentang al-

10
Fasl al-Maqal, ed. Albert N Nadir, p. 52. G.Hourani, Averoes On the Harmony of
Religion and Philosophy, London, Luzac & Co, 1976, 65.
11
G. Hourani, Averoes, 59
12
G. Hourani, Averoes, 59. Klassifikasi ini berbeda dari klassifikasi kelompok
tradisionalist yang diwakili oleh fuqaha’. Memang klassifikasi ini dimaksudkan untuk
tujuan falsafah dan bukan Fiqh. Tapi dalam kitabnya Bidayat al-Mujtahid Ibn Rushd
mempertahankan klassifikasi tradisional. Lihat Ibn Rushd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtasid, Cairo: al-Halabi, third edition, 1960, 3-6.
13
Fasl al-Maqal, ed. Albert N Nadir, 37.

22
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

mawjud “tidak disebutkan” dalam netapkan aturan berasaskan pada


wahyu dan dalam kasus yang lain kejelasan simbol dan benda yang di-
“disebutkan”. Jika tidak disebutkan simbolkan untuk menentukan apa-
maka ia harus disimpulkan daripada- kah sesuatu ayat zahir boleh dita’wil-
nya, seperti qiyas dalam Fiqh. Jika kan atau tidak. Jika makna zahir
pengetahuan itu disebutkan dan sesuatu ayat adalah seperti arti yang
makna zahirnya bertentangan de- dimaksudkan (al-ma’na al-mawjud fi
ngan hasil pemikiran demonstratif nafsihi), ayat itu tidak perlu dita’wil-
maka diselesaikan dengan dua cara:14 kan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah
Pertama dengan interpretasi secara simbol-simbol belaka dan bukan arti
majazi (alegorik) atau kiasan makna yang sesungguhnya daripada zahir-
zahir itu sesuai dengan aturan-aturan nya ayat-ayat itu harus dita’wilkan
bahasa Arab yang berlaku, yaitu sesuai dengan kesesuaian antara
“menterjemahkan arti sesuatu eks- simbol (al-mithal ) dengan benda yang
presi dari yang bersifat metaforikal disimbolkan (al-mumaththal ).17 Jika
kepada pengertian yang sesung- simbol dan benda yang disimbulkan
guhnya.” 15 dapat mudah diketahui maka setiap
Kedua dengan mencari semua orang boleh menta’wilkannya. Tapi
makna zahir dalam al-Qur’an yang jika simbol dan benda yang disimbol-
sesuai dengan interpretasi alegorik kan sulit diketahui atau jika simbol-
atau yang mendekati makna alegorik simbol itu mudah diketahui tapi ben-
itu. 16 da yang disimbolkan sulit untuk
Akan tetapi untuk menta’wil- diketahui atau jika benda yang disim-
kan secara majazi makna ayat zahir bulkan dapat difahami dengan mu-
pada alternatif pertama Ibn Rushd dah tapi simbol-simbol ayat itu tidak
tidak hanya bersandar pada aturan- dapat begitu saja diketahui, maka
aturan Bahasa Arab saja, ia juga me- ayat-ayat ini hanya boleh dita’wilkan

14
G. Hourani, Averoes, 51.
15
definisi ta’wil sepenuhnya ialah:
.‫ ﻣﻦ ﻏﲑ ﺃﻥ ﳜ ﹲﻞ ﰲ ﺫﺍ ﻟﻚ ﺑﻌﺎﺩﺓ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﰲ ﺍﻟﺘﺠﻮﺯ‬- ‫ﺎﺯﻳﺔ ﺇﱃ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﺍﳊﻘﻴﻘﻴﺔ‬‫ﺇﺧﺮﺍﺝ ﺩﻻﻟﺔ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻻﻟﺔ ﺍ‬
Mengeluarkan (membawa) indikasi lafaz dari yang bersifat metaforikal
kepada pengertian sebenar, dengan tanpa menyimpang dari kebiasaan Bahasa
Arab dalam metafora. Lihat Ibn Rushd, Fasl al-Maqal, ed. Ammarah, 32.
16
G.Hourani, Averroes, 25.
17
Yang dimaksud Ibn Rushd dengan simbol bukanlah bahasa sebagai simbol konsep,
tapi suatu konsep itu sendiri yang merupakan simbol (mithal) dari konsep yang lain.

23
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

oleh orang yang berilmu dan tidak hulukan akal daripada wahyu, yaitu
boleh diungkapkan kepada orang pandangan yang bertentangan de-
awam kecuali dengan penjelasan ngan pemikiran salaf, seperti al-
yang berbeda. 18 Disini Ibn Rushd Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah
tidak menjelaskan lebih jauh tentang atau lainnya. Dengan membatasi
standard pengetahuan al-mithal dan makna perkataan
al-mumaththal atau kreteria untuk berarti ia memberikan otoritas men-
membenarkan kesahihan pengeta- ta’wilkan makna batin al-Qur’an
huan mereka tentang kedua hal itu. kepada filosof, tanpa memper-
Nampaknya asas yang diguna- timbangkan otoritas Nabi dan para
kan Ibn Rushd dalam ta’wil adalah sahabat. Hal ini membahayakan
Bahasa Arab yang merujuk kepada kemutlakan kebenaran wahyu, wal-
kebiasaan (adat lisan al-‘Arab) dan hal pengetahuan para filosof tentang
kejelasan simbol serta benda yang realitas (wujud), yang diperolehi dari
disimbolkan, terutama adalah ke- metode demonstrasi belum dapat
mampuan akal memahami makna- dikatakan final. Dalam masalah dok-
nya dengan menggunakan metode trin ketuhanan atau konsep tentang
demonstratif. Akan tetapi standard Tuhan, misalnya, falsafah Yunani
bahasa Arab dengan simbol-simbol masih mengandung pertentangan
itu tidak dikaitkan dengan bahasa dan berbeda dari konsep dalam al-
sebagai simbol suatu konsep yang Qur’an. Jika Ibn Rushd membahas
dijelaskan Nabi dan difahami oleh lebih detail konsep akal tanpa mem-
para sahabat dan tabi’in. Demikian batasi pada metode demonstrasi
pula proses ta’wil yang dijelaskan falsafah Yunani kesesuaian akal dan
seakan-akan menggambarkan bahwa wahyu dapat difahami lebih jelas.
pengetahuan ahl al-burhan adalah
taken for granted, benar. Ini bermakna Prinsip kesesuaian Ibn Taymi-
bahwa kebenaran wahyu perlu dikaji yyah
ulang dan tidak memberikan ruang
untuk menjelaskan proses bagaimana Prinsip “kesesuaian” Ibn Taymi-
seharusnya pengetahuan demon- yyah yang berarti tanpa perten-
strasi dikaji ulang. Pandangan ini tangan tercemin dari judul kitabnya
boleh difahami sebagai menda- yang menggunakan perkataan

Ibn Rushd, “al-Kashf ‘an Manahij al-Adillah”, terjemahan George Hournai, dalam
18

Averoes, 78-79

24
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

Muwafaqat dan Dar’ Ta’arud. Meski- nya ia bersifat rasional, sifat tradisio-
pun implikasi makna perkataan ini nal tidak bertentangan dengan sifat
hampir sama dengan perkataan ittisal rasional. Shariah terkadang bersifat
dalam pandangan Ibn Rushd, tapi tradisional dan terkadang rasional;
prinsip-prinsip yang digunakan ber- bersifat tradisional (sam’iyyan) jika ia
beda, terutama dalam memahami menetapkan dan menunjukkan se-
makna akal (’aql ) dan dalam menja- suatu, dan bersifat rasional jika ia
barkan wahyu (al-naql, al-sam’). memperingatkan dan menunjukkan
Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini sesuatu hal. 20
dapat difahami dari komentar dan Kedua, jika terjadi pertentangan
jawabannya terhadap masalah yang antara akal dan wahyu, maka priori-
dibahas oleh filosof dan mutakallimun tas diberikan kepada wahyu dan me-
khususnya Fakhr al-Din al-Razi, nolak akal. Akal tidak mungkin diberi
yaitu : bagaimanakah penyelesaian- prioritas karena melalui akal kebe-
nya jika terjadi “pertentangan antara naran wahyu dibuktikan. Jika akal
akal dan wahyu”.19 diberi prioritas sedangkan akal itu
Dari kesemua pembahasan Ibn sendiri boleh berbuat salah, maka ia
Taymiyyah sekurang-kurangnya ter- tidak boleh menjadi alat untuk me-
dapat tiga prinsip utama yang dimak- nentukan kebenaran, lagi pula disini
sud untuk menjawab masalah itu dan wahyu akan dianggap mengandung
membangun prinsip kesesuaian anta- kesalahan.21 Prinsip ini masih bersifat
ra akal dan wahyu. Ketiga-tiga prin- umum dan tidak termasuk perten-
sip itu ialah sebagai berikut: tangan antara pengetahuan tradi-
Pertama, bahwa rasional atau sional (wahyu) dan rasional (akal).
tradisional bukanlah sifat yang boleh Ketiga, jika pertentangan terjadi
menentukan sesuatu itu benar atau antara proposisi akal dan wahyu
salah, diterima atau ditolak. Ia ha- maka harus dikaji apakah proposisi
nyalah metode atau jalan untuk itu qat’i atau zanni. Jika kedua propo-
mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu sisi itu qat’i, maka tidak mungkin
berasal dari tradisi (al-sam’) semesti- terjadi pertentangan dan jika kedua

19
Ibn Sina dalam al-Risalah al-Adhawiyyah, al-Ghazzali dalam risalah Qanun al-Ta’wil
membahas masalah ini, tapi pembahasan Ibn Taymiyyah difokuskan pada Fakhr al-Din
al-Razi dalam kitabnya Asas al-Taqdis fi ‘ilm al-Kalam, dan al-Matalib al-‘Aliyah.
20
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I,ed. M. Rishad Salim, Dar al-Kutub, Cairo,
1981,198.
21
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I, 170-71.

25
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

proposisi itu zanni maka dipilih pro- na itu kita tidak dapat menjadikan
posisi yang lebih pasti (rajih). Jika semua pengetahuan akal sebagai
proposisi yang dihasilkan akal lebih asas bagi wahyu atau dalil bagi
pasti (qat’i), maka prioritas diberikan kebenarannya. Baginya, asas kesa-
kepada proposisi akal daripada hihan wahyu adalah kebenaran Nabi
proposisi dari pengetahuan wahyu (sidq al-rasul ). Mendahulukan akal
(al-sam’i) dan sebaliknya. Tapi propo- berarti mengutamakan pendapat filo-
sisi akal diutamakan bukan karena ia sof, mutakallim atau sufi daripada
berasal dari akal tapi karena sifat risalah Nabi,25 dan dapat mengaki-
qat’i-nya itu.22 batkan bid’ah dan kekufuran.
Secara umum pandangan Ibn Meskipun demikitan, Ibn Taymi-
Taymiyyah menolak prinsip akal yyah sama sekali tidak merendahkan
sebagai asas wahyu dan asas bagi makna akal jika akal difahami seba-
menentukan kesahihan wahyu yang gai a) watak (gharizah) atau b) penge-
berarti mendahulukan akal daripada tahuan yang diperoleh dari akal (al-
wahyu. Alasannya, karena kebera- ma’rifa al-hasila bi-l-‘aql). Sebagai
daan wahyu berasal dari nabi (al- gharizah akal menjadi syarat bagi
sam’) dan bukan dari akal. Meskipun segala macam ilmu, apakah rasional
kebenaran wahyu dapat diketahui ataupun irrasional, dan dalam kedu-
dengan pengetahuan akal, tapi dukannya sebagai syarat, akal tidak
pengetahuan akal tidak dapat mene- dapat bertentangan dengan wahyu.
tapkan adanya (thubut) wahyu. 23 Demikian pula sebagai pengetahuan
Kesahihan wahyu tidak mungkin yang diperoleh dari gharizah tadi akal
bergantung pada pengetahuan yang difahami sebagai pengetahuan akal
diperoleh akal, sebab sifat dapat yang jelas dan pasti kebenarannya
difahami atau diketahui oleh akal (‘aqli qat’i). Pada poin ini Ibn Taymi-
bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) yyah tidak memberikan penjelasan
sesuatu benda. 24 Seandainya kebe- lebih detail atau contoh tentang apa
naran wahyu itu tidak diketahui atau hakekat pengetahuan akal yang pasti
dibuktikan oleh akal sekalipun ia (‘aqli qat’i) itu. Mungkin maksudnya
tetap memiliki sifat kebenaran, kare- adalah pengetahuan yang diperoleh

Dar’ Ta’arud, vol.I, 87.


22

Ibid, 88ff.
23

24
Ibid, 193. Cf. Naqd al-Mantiq, ed. by Muhammad Hamid al-Faqi, Cairo: Matba‘ah al-
Sunnah al-Muhammadiyyag, 1951, 42-44.
25
Dar’ Ta’arud, vol.V, 320-322. Cf. Naqd al-Mantiq, 54.

26
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

melalui fitrah, seperti yang ia jelaskan Selanjutnya dalam mendahulu-


dalam kitabnya Naqd al-Mantiq. 26 kan wahyu Ibn Taymiyyah berprinsip
Tapi mungkin juga bermaksud bahwa wahyu itu benar dan disam-
‫( ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﻱ ﻋﻠﻢ‬necessary knowledge), yai- paikan melalui argumentasi-argu-
tu pengetahuan yang diperoleh mentasi tradisional dan rasional,
melalui proses tawatur dan yang karena itu tidak dapat bertentangan
menjamin pengetahuan yang pasti dengan pengetahuan akal yang
(’ilm al-yaqini ) secara lafzi atau mak- benar. Pertentangan itu mungkin ter-
nawi.27 Pengetahuan ini dimiliki oleh jadi karena pengetahuan tentang wah-
Sahabah, tabi‘un dan tabi‘ al-tabi’un, yu yang tidak jelas atau pengetahuan
sebab baginya mereka itu adalah akal yang salah. Pengetahuan wahyu
sumber ilmu pengetahuan tradisi yang benar diperoleh dari proses ber-
yang harus dipercayai. 28 Tapi yang fikir yang benar dan pengetahuan ter-
jelas pengertian ‘aqli qat’i ini merujuk minologi yang sesuai dengan tradisi,
kepada pengetahuan yang bukan dan bukan diluar itu. Maka dari itu ia
berasal dari pemikiran spekulatif membedakan terminologi (alfaz) yang
atau al-burhan seperti pandangan Ibn digunakan dalam sunnah dan disepa-
Rushd. 29 kati oleh ahl al-ijma’ dari terminologi

26
Dalam kitab ini ia menjelaskna bahwa fitrah adalah kecenderungan alami manusia
kepada kebenaran, namun kecenderungan untuk mengikuti kebenaran secara am ini
tidak sempurna dan karena itu fitrah alami ini disempurnakan oleh al-fitrah al-munazzalah
yaitu agama yang diwahyukan ini yang memberikan penerangan dan kerangka kerja
(framework) tentang kebenaran secara lebih detail. Maka itu baginya kebenaran dari
pengetahuan intuitif yang diperoleh dari fitrah alami ini memiliki derajat yang sama
dengan pengetahuan wahyu. Sebab ia yakin bahwa Allah menciptakan fitrah dalam
bentuknya yang sebaik-baiknya (ahsani taqwim), kesalahan dan kesesatan dalam
pemikiran hanyalah disebabkan oleh masing-masing individu. Maka itu berasaskan
pada pemahaman tentang konsep fitrah ini dapat difahami pandangan Ibn Taymiyyah
bahwa pertentangan antara akal dan wahyu tidak terjadi. Lihat Naqd al-Mantiq, 39; Cf.
“Bayan Muwafaqat, Sarih al-Ma’qul li SahIh al-Manqul”, published in the margin of the
Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, 4 vols, Cairo: Matba ‘ah al-Amiriyyah, 1321. A.H., vol.II,
.253.
27
Dar’ Ta’arud, vol. I, 195.
28
Lihat Ibn Taymiyyah, “Muqaddimah fi Usul al-Tafsir”, dalam Majmu’at al-Fatawa,
vol.13, Matba’ah al-Hukumah, 1966, 21 9.
29
Lebih detail tentang kritiknya terhadap metod ini lihat, Ibn Tayniyyah, al-Radd
‘ala al-Mantiqiyyin, ed. Rafiq al-‘Ajam, Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993, 130-35.

27
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

yang tidak terdapat dalam tradisi Disini nampaknya Ibn Taymi-


(shari’ah, nusus wahyu dan sunnah).30 yyah tidak membatasi obyek ta’wil
Untuk membedakan keduanya yang kepada perkataan majazi dalam al-
diperlukan adalah pemahaman terha- Qur’an seperti dibahas Ibn Rushd.
dap tradisi (al-sam’, al-sunnah) yang me- Meskipun ia mengartikan ta’wil
rujuk pada perkataan Nabi, Sahabah, sebagai penafsiran dan penjelasan
tabi‘un and tabi‘ al-tabi’in. Dari mereka ucapan, ia tetap menekankan pada
inilah otoritas memahami wahyu kesesuaiannya dengan makna zahir
bermula, sebab Nabi Muhammad SAW dari lafaz ucapan itu. Dalam pan-
adalah makhluk yang paling tahu dangannya perkataan zahir yang
kebenaran ( ) dan karena dapat difahami dari lafaz bermacam-
itu ia adalah orang paling mampu macam bentuknya, ada yang menu-
untuk menerangkan kebenaran. rut konteksnya dan ada pula yang
(‫) ﺍﳊﻖ ﺑﻴﺎﻥ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻗﺪﺭ‬.31 Maka itu ia me- difahami sesuai dengan ikatan-ikatan
mahami istilah ta’wil sebagai menje- (quyud) yang ada didalamnya. Ianya
laskan seperti yang dimaksud Allah tidak memiliki denotasi yang uniform
atau merujuk kepada apa yang sehingga harus dita’wilkan apa
dikehendaki Allah 32 dan kreteria adanya seperti yang dilakukan Ahl al-
ta’wil yang dapat diterima (ta’wil al- Ithbat, dan tidak memiliki denotasi
maqbul), adalah ta’wil yang sesuaia batin yang harus selalu difahami
dengan arti yang dimaksud oleh secara batin seperti yang dilakukan
“pembicara” atau Tuhan melalui Nufat al-Sifat. Jadi perkataan zahir
Nabi. Maka itu ia mendifinisikan diketahui dari denotasi lafaz secara
ta’wil sebagai: mutlak, atau dari denotasi konteks-
nya atau dari kesamaannya dengan
konteks yang lain. 34 Untuk itu ia
menetapkan tiga sharat agar ta’wil itu
dapat diterima: 1) menjaga agar lafaz
itu sesuai dengan makna yang

Dar’ Ta’arud, vol.I, 241.


30

Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol. I, 22ff.


31

32
Ibn Taymiyyah menyebutkan beberapa ayat yang mengandungi lafaz ta’wil, seperti
dalam al-A’raf 53; al-Nisa’ 59; Yusuf 6, 37, 45, dan 100, tapi sayang ia tidak menjabarkan
makna lafaz ta’wil pada setiap ayat itu. Lihat Dar’ Ta’arud, vol. I, 206.

28
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

terdapat dalam Bahasa Arab dan apa-apa yang disampaikan Tuhan


maksud al-shari’ serta tidak memaha- (akhbar) tentang diriNya, tentang Hari
mi dengan makna lain. 2) menjaga Akhir dan lain-lain yang benar belaka
agar maknanya sesuai dengan yang sifatnya. Ta’wil dalam masalah yang
dimaksudkan oleh pembicara dalam kedua ini hanya Allah saja yang
konteks lafaznya. 3) memperhatikan mengetahuinya, sedangkan manusia
ikatan-ikatan (quyud ) yang terdapat hanya dapat mengetahui arti literal
dalam lafaz dan yang mengikat teks itu, tapi tidak mengetahui ta’wil
maknanya, sebab perbedaan satu atau realitas yang sesungguhnya. 36
lafaz dengan lafaz lain ditentukan Dalam masalah-masalah doktrin
oleh ikatan yang menyertainya. Oleh (akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak
itu kita tidak boleh menta’wilkan melihat adanya kontradiksi teks
lafaz-lafaz al-Qur’an dengan sesuka wahyu seperti dalam al-ta’wil al-talabi,
hati tanpa mengkaji maksud yang kontradiksi itu wujud hanya dalam
sesungguhnya sesuai dengan konteks akal orang yang memahami.37
masing-masing lafaz.35 Jelaslah bahwa Ibn Taymiyyah
Selanjutnya ia membagi ta’wil dan Ibn Rushd berbeda dalam
menjadi dua: Pertama, ta’wil yang memahami makna ta’wil. Bagi yang
berkaitan dengan perintah kepada pertama ta’wil sama dengan tafsir dan
manusia untuk berbuat, disebut menekankan pada kesesuaian zahir
dengan al-ta’wil al-talabi, yaitu ta’wil lafaz dengan makna dan makna
tengang perintah dan larangan (al- dengan maksud al-shari’, sedangkan
amr wa al-nahy). Disini Ibn Taymiyyah yang kedua menekankan makna
menerima adanya kontradiksi antara ta’wil pada penjelasan makna sebenar
satu teks dengan yang lain, berkaitan (haqiqi) dari makna majazi atau mak-
dengan teks-teks nasikh dan mansukh. na batin sesuatu teks. Perbedaan ini
Kedua, ta’wil yang berkaitan dengan dapat difahami lebih jelas melalui

33
(Proses) menta’birkan sesuatu sesuai dengan indikasi lafaz dan pengertian
zahirnya, yaitu mentafsirkan ucapan dan menjelaskan artinya.Dar’ Ta’arud, vol. I, 14.
34
Ibnrahim ‘Uqaili, Takamul al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda Ibn Taymiyyah, al-Ma’had al-
Alami li-l-Fikri al-Islami, 1981, 172-73. Dalam hal ini Ibn Taymiyyah mengkritik filosof
karena mereka menggunakan terminologi (lafaz) tanpa memperhatikan ikatan-ikatan
maknanya (quyud). istilah-istilah seperti ‘ashiq, ma’shuq, illah dan sebagainya bukanlah
istilah-istilah yang ada dalam shari’ah. Lihat Dar’ Ta’arud, I, 231.
35
Ibn Taymiyyah, “Muqaddimah fi al-Tafsir”, 255-257.
36
Dar’ Ta’arud, vol. I 206-207.
37
Ibid , vol. V,230ff.

29
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

pemahaman mereka dalam menta’- Taymiyyah dalam ayat ini adalah


wilkan ayat-ayat mutashabihat realitas atau modaliti atau dalam
(‫ﺎﺕ ﺁﻳﺎﺕ‬‫ ) ﻣﺘﺸﺎ‬yang diterangkan da- bahasa salaf disebut al-kayf.
lam al-Qur’an (3:7).38 Ibn Rushd me-
mahami bahwa ta’wil ayat mutashabi- Penutup
hat hanya diketahui oleh Allah dan
orang-orang yang memiliki ilmu Usaha Ibn Rushd untuk meng-
berfikir demonstratif, sedangkan bagi hubungkan akal dan wahyu sangat
Ibn Taymiyyah hanya Allah saja yang sistimatis, akan tetapi pembatasan
tahu. Ia meletakkan titik setelah makna akal pada kemampuan ber-
perkataan ‫ ﺍﷲ ﺇﻻ‬dan bukan sesudah fikir demonstratif yang hanya dimiliki
perkataan ‫ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﺮﺍﺳﺨﻮﻥ‬. Karena me- oleh filosof mengundang berbagai
nurutnya para sahabah dan tabi’un pertanyaan. Ia nampak seperti berle-
memahami ayat mutashabihat, tapi bihan dalam menilai kemampuan
mereka tidak mengetahui realitas akal dan metode demonstrasi, tapi ia
sesungguhnya (modalitas) dari khabar tidak mengamalkan ta’wil yang ber-
yang disampaikan Allah itu dan hanya asaskan al-burhan dalam membahas
Allah saja yang tahu ‫ ﺍﷲ ﺇﻻ ﺗﺎﻭﻳﻠﻪ ﻻﻳﻌﻠﻢ‬. issue-issue falsafahnya. Demikian
Inilah sebabnya mengapa Ibn Tay- pula ketika memberikan otoritas
miyyah tidak menjelaskan perkataan kepada filosof untuk menta’wilkan
‫ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﺮﺍﺳﺨﻮﻥ‬karena ianya tidak wahyu, melebihi yang lain, ia telah
berkaitan dengan otoritas menta’- mendahulukan akal dari wahyu dan
wilkan. Abrahamov mendakwa ayat ini dapat mengurangi kemutlakan
ini mematahkan pendapat Ibn wahyu.
Taymiyyah, karena kalimat “hanya Pandangan Ibn Taymiyyah ada-
Allah saja yang tahu ta’wil ayat lah sebaliknya, yaitu memberi priori-
mutasyabihat”, menunjukkan bahwa tas kepada wahyu tapi ia tidak me-
Nabi dan dari para sahabat tidak ngesampingkan akal sama sekali.
mengetahui maknannya.39 Tapi nam- Akal dan pengetahuan akal yang
paknya Abrahamov salah faham berfikir benar tidak akan berten-
sebab ta’wil yang difahami Ibn tangan dengan wahyu. Akal bagi Ibn

Al-Qur’an, 3:7
38

Abrahamov, “Ibn Taymiyyah On the Agreement of Reason with Tradition” dalam


39

The Muslim World, vol. LXXXII, No. 3-4, 1992, 265.

30
Akal dan Wahyu dalam Pandangan Ibnu Rusyd dan Ibn Taimiyyah (Hamid Fahmi Zarkasy)

Taymiyyah tidak memiliki status pada dua kutub: a) menolak secara


independen seperti pandangan Ibn mutlak anggapan bahwa akal adalah
Rushd. Dan berbeda dari al-Razi akal sumber pengetahuan agama dan b)
tidak dapat menjadi asas bagi wahyu, menerima akal sebagai satu-satunya
tapi justru wahyu adalah asas bagi sumber ilmu pengetahuan.40 Tujuan
akal. Karena ia tidak mengakui ada- Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd
nya pertentangan antara akal dan hakekatnya sama tapi posisi mereka
wahyu maka ia melihat itu hanya tidak sama, meskipun kedua-duanya
karena pengetahuan tentang wahyu tidak berada pada salah satu kutub
yang tidak jelas atau pengetahuan secara ekstrim, tapi mereka memiliki
akal yang salah. Untuk itu ia kecenderungan masing-masing pada
memandang perlunya pengetahuan salah satunya. Akhirnya, dari pan-
tentang tradisi dan pendekatan dangan kedua-dua pemikir ini kita
linguistik yang benar, dan inilah mengetahui bahwa konsep akal dan
esensi konsep ta’wil Ibn Taymiyyah. konsep berfikir serta pengetahuan
Mungkin kesimpulan Abrahamov yang benar dan tidak bertentangan
benar bahwa dalam Islam reaksi dengan wahyu masih merupakan
terhadap trend penggunaan akal sesuatu poin yang perlu pembahasan
dapat di gambarkan sebagai berada lebih detail.

Daftar Pustaka

A.J. Arberry, 1965. Revelation and Reason in Islam, George Allen & Unwin Ltd,
London.

A.S. Tritton. 1965. Arabic and Islamic Studies in Honor of Hamilton Gibb, ed. by
George Makdisi, Leiden, A.J.Brill.

Abrahamov, “Ibn Taymiyyah On the Agreement of Reason with Tradition”


dalam The Muslim World, vol. LXXXII, No. 3-4, 1992, 265.

al-Faqi, Muhammad Hamid (ed). 1951. Naqd al-Mantiq, Cairo: Matba‘ah al-
Sunnah al-Muhammadiyyah.

40
Abrahamov, “Ibn Taymiyyah On ther Agreement” 256.

31
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 9, No. 1, Januari 2007: 18-32

Bello, Iysa A. 1989. Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and


Orthodoxy.Leiden, E.J.Brill,

D.B. MacDonald, “The Doctrine of Revelation in Islam” Muslim World, vol.


VII, January, 1977, no.2, 113-117.

G.Hourani, 1976. Averoes On the Harmony of Religion and Philosophy, London:


Luzac & Co.

Hourani, George F, 1985. Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge:


Cambridge University Press,

Ibn Rushd. 1960. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Cairo: al-Halabi,


third edition.

Ibn Taymiyyah, 1966.Majmu‘at al-Fatawa, Cairo: Matba ‘ah al-Hukumah.

____________. 1981. Dar’ Ta’arud, vol.I,ed. M. Rishad Salim, Cairo: Dar al-
Kutub.

____________. 1993. al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, ed. Rafiq al-‘Ajam, Beirut:


Dar al-Fikr al-Lubnani.

Ibnrahim ‘Uqaili, 1981. Takamul al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda Ibn Taymiyyah, al-
Ma’had al-Alami li-l-Fikri al-Islami.

32

You might also like