Strategi Pengembangan Industri Biodiesel Di Indonesia

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI BIODIESEL DI INDONESIA

(Development Strategy of Biodiesel Industry in Indonesia)


Bambang Suhada, S.E, M,Si 1) dan Ir. Mira Rivai, M.Si 2)
1). Dosen Tetap DPK Kopwil II Pada Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Metro,
Mahasiswa Program Doktor IPB
2). Konsultan Bioenergi Bogor, Mahasiwa Program Doktor IPB

Abstract

Nowadays, Indonesian people and industries’ dependent to diesel fuel are very
high, which impact to subsidizes obligation by governments. Development of
biodiesel is needed to overcome the dependencies of fuel and government
subsidizes obligation. This research is aimed to determine the development
strategy of biodiesel industry in Indonesia in order to increase domestic
consumption of biodiesel. Scope activities of the research were commodity
selection of biodiesel raw material using MPE method, determination of
biodiesel selling price using financial feasibility study method, and selection of
development strategy of biodiesel industry using AHP method. The results
showed only palm oil has big opportunity and ready to use as biodiesel raw
material. Based on financial feasibility study, biodiesel selling price was still
higher than diesel fuel price. In order to increase the domestic biodiesel
consumption, the best strategy was price policy for biodiesel to make it more
competitive to diesel fuel price. We suggest to continue this research by
improving assumption of financial feasibility study by adding conversion rate,
yield and process technologies of three different raw materials and
implementation of strategy needs strong intention and goodwill from all
stakeholders.

Key words: biodiesel, palm oil, price, development strategy.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Energi yang digunakan oleh rakyat Indonesia saat ini berasal dari bahan bakar fosil.
Konsumsi BBM (minyak tanah, bensin, pertamax, solar) oleh masyarakat secara nasional
sangat dominan yaitu mencapai 63%, sementara gas 17%, listrik 10%, batubara 8% dan LPG
2% (Daryono, 2006).
Sejak 20 tahun terakhir jumlah produksi minyak bumi Indonesia cenderung mengalami
penurunan, dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir jumlah konsumsi BBM Indonesia
jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah produksinya. Saat ini Indonesia -merupakan negara
pengimpor (net importir) BBM. Beban subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah setiap
tahunnya cukup besar. Menurut Hambali (2006), untuk tahun 2006 alokasi dana subsidi BBM
mencapai Rp. 54,3 trilyun dengan jumlah minyak yang disubsidi sebesar 41 juta kiloliter,
yang terdiri atas 14 juta kiloliter solar, 17 juta kiloliter premium dan 10 juta kiloliter minyak
tanah. Upaya pengurangan subsidi BBM dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Perpres
No. 5/ 2005. Jumlah subsidi beberapa bahan bakar direduksi sehingga harga BBM mengalami
kenaikan, seperti harga premium naik 188%, solar 205% dan minyak tanah 286% (Hendroko,
2006). Di beberapa daerah yang wilayahnya terisolir, infrastruktur jalannya kurang memadai,
merupakan pulau terpencil dengan depo pangkalan BBM yang jauh dan biaya angkut yang
mahal, harga BBM menjadi jauh lebih tinggi dibanding yang telah ditetapkan pemerintah.
Kondisi ini sangat memberatkan masyarakat.
Pengurangan subsidi belum menyelesaikan permasalahan energi nasional. Hal ini karena
kebutuhan bahan bakar untuk rumah tangga, sarana tranportasi dan aktivitas industri yang
makin meningkat. Setiap tahunnya diperkirakan konsumsi BBM meningkat sekitar tujuh
persen. Sebagai solusinya yaitu perlu pengembangan energi alternatif terbarukan berbasis
sumber daya alam nabati Indonesia untuk mengurangi ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap bahan bakar fosil. Salah satu contohnya yaitu biodiesel. Menurut Zhang et al. (2003)
biodiesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak disel, memiliki kelebihan
diantaranya yaitu dihasilkan dari bahan baku yang dapat diperbarui (renewable), bersumber
bahan baku lokal (domestic resource), dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan
bakar fosil. Beberapa kelebihan biodiesel dibanding bahan bakar fosil yaitu biodiesel
memiliki emisi CO rendah dan CO2 yang dihasilkan dari pembakaran biodiesel dapat
direcycle oleh proses fotosintesa sehingga meminimalkan efek rumah kaca (Korbitz, 1999;
Agarwal dan Das, 2001), memiliki titik nyala yang relatif tinggi yaitu 150oC sehingga kurang
volatil dan lebih aman selama transportasi ataupun dalam penanganannya (Krawcryk, 1996),
dan mampu memberikan efek pelumasan yang dapat mengurangi aus dan memperpanjang
umur mesin (Von Wedel, 1999).

Pengembangan biodiesel di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan mengingat potensi


bahan baku yang dimiliki. Hal ini didukung pula oleh Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional dan Inpres No. 1 /2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar
Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain. Namun pengembangan dan pemanfaatan biodiesel di
Indonesia masih terkendala pada harga bahan baku yang masih mahal yang menyebabkan
harga jual biodiesel menjadi tinggi sehingga tidak dapat berkompetisi dengan harga BBM
bersubsidi.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian terhadap strategi pengembangan
industri biodiesel di Indonesia. Kajian strategi ini diperlukan untuk membantu pengambil
keputusan dalam melakukan pemilihan strategi yang tepat agar industri biodiesel dapat
berkembang di Indonesia. Sehingga untuk ke depannya, masyarakat memiliki pilihan
alternatif bahan bakar yang akan digunakan dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil
dapat dikurangi.

Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk menentukan strategi pengembangan industri biodiesel di Indonesia
agar pemanfaatan untuk kebutuhan domestik makin meningkat.

Ruang Lingkup Kegiatan


Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan komoditas bahan baku biodiesel menggunakan metode MPE.
2. Penentuan harga jual biodiesel dengan menggunakan perhitungan harga pokok produksi
berdasarkan hasil perhitungan kelayakan fmansial industri biodiesel.
3. Pemilihan strategi pengembangan industri biodiesel di Indonesia dengan menggunakan
metode AHP.

TINJAUAN PUSTAKA
Biodiesel
Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar cair yang dihasilkan dari minyak nabati dan
dapat digunakan sebagai alternatif pengganti solar atau diesel. Menurut Nelson et al. (1996)
dan Watanabe et al. (2001), umumnya biodiesel dihasilkan melalui proses transesterifikasi,
yaitu suatu reaksi kimia antara minyak nabati dan alkohol dengan bantuan katalis untuk
menghasilkan ester (biodiesel) dan gliserol. Katalis yang digunakan biasanya berupa katalis
basa, asam ataupun enzim. Menurut Zhang et al. (2003), metanol umum digunakan karena
harganya lebih murah sehingga biaya produksinya lebih rendah. Reaksi transesterifikasi
berlangsung pada suhu rendah yaitu 60-70 oC, tekanan 20 psia, dengan rendemen berkisar 95-
98 persen. Parameter penting biodiesel adalah angka setana, bilangan asam dan bilangan iod
(Soerawidjaja dan Tahar, 2003).
Berbeda dengan solar/diesel yang tidak dapat diperbaharui dan tidak ramah lingkungan akibat
kandungan CO, C02 dan logam berafiya yang relatiftinggi, biodiesel merupakan energi
terbarukan dan ramah lingkungan. Energi yang dihasilkan biodiesel relatif sama dengan yang
dihasilkan oleh solar. Angka cetana biodiesel yang lebih tinggi dibanding solar menyebabkan
suara mesin motor bakar yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar menjadi lebih
halus dibanding bila menggunakan solar (Gafar et al., 2001). Pemakaian biodiesel dapat
meminimalkan efek rumah kaca karena gas C02 yang dihasilkan dari hasil pembakaran
biodiesel dapat -didaur ulang melalui proses fotosintesa, emisi CO serta kandungan bahan
partikulat dan hidrokarbon tak terbakarnya rendah, titik nyalanya relatif tinggi, dan mampu
memberikan efek pelumasan (Korbitz, 1999; Von Wedel, 1999; Agarwal dan Das, 2001).
Keunggulan biodiesel ini menyebabkan biodiesel menjadi alternatif terbaik untuk bahan bakar
fosil dan telah digunakan di berbagai negara terutama negara-negara yang sensitif terhadap
isu lingkungan (Zhang et al., 2003). Jenis minyak yang digunakan sebagai bahan baku
biodiesel pada suatu negara tergantung pada potensi bahan baku yang tersedia di negara yang
bersangkutan. Beberapa jenis minyak yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel adalah
minyak kedelai, minyak kanola, minyak biji bunga matahari, minyak jarak, minyak kelapa,
dan minyak sawit. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan suatu negara produsen untuk
mengembangkan biodiesel adalah : a) ketersediaan bahan baku di negaranya, b) minyak
nabati yang akan diolah menjadi biodiesel merupakan tanaman asli atau budidaya asli negara
tersebut sehingga pasokan bahan baku terjamin, c) kapasitas produksi disesuaikan dengan
besarnya permintaan produk biodiesel di negara tersebut, dan d) kesadaran terhadap
kelangkaan sumber energi di masa yang akan datang (Soerawidjaja dan Tahar, 2003).
Menurut Zhang et al., (2003), minyak bekas dapat pula digunakan sebagai bahan baku
biodiesel. Beberapa perusahaan otomotif di dunia telah menggunakan biodiesel tanpa
melakukan modifikasi mesin. Biodiesel dapat digunakan secara murni atau disebut B100 dan
dapat juga penggunaannya dicampur dengan solar. B20 berarti campuran biodiesel 20% dan
solar 80%. Masing-masing negara menggunakan campuran yang berbeda, misalnya Amerika
dan Eropa menggunakan B20, Perancis B5, sementara Indonesia juga menetapkan BS
(Hambali et al., 2005).

Sistem Penunjang Keputusan (SPK)


Sistem penunjang keputusan (SPK) merupakan suatu sistem yang menggunakan model yang
berhubungan antara keputusan dan jalan keluar untuk menunjang pemecahan masalah.
Fokusnya adalah masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan masalah-masalah yang
berhubungan. Karakteristik dasar dari SPK adalah kemampuan mendisain model.
Model yaitu abstraksi dari dunia nyata dengan memperhatikan hal-hal atau sifat-sifat dari
sesuatu yang dimilikinya. Pada umumnya yang sering digunakan adalah model-model
matematik karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu dapat mempersingkat waktu,
memanipulasi model dengan mengubah variabel-variabel, biaya desain lebih rendah
dibandingkan dengan melakukan eksperimen pada kondisi sistem yang sebenarnya.
Menurut Eriyatno (1996), ilmu sistem adalah suatu ilmu yang mempelajari perilaku dari
elemen yang berhubungan dan terorganisir untuk mencapai tujuan. Hubungan antar sub
sistem atau elemen dapat berupa transaksi, interaksi, transisi, koneksi atau relasi. Menurut
Marimin (2005) sistem adalah sekelompok metode, prosedur, teknik atau obyek yang
berhubungan dan terorganisir saling keterkaitan satu sama lain untuk membentuk kesatuan
keseluruhan demi mencapai tujuan tertentu. Ilmu sistem dapat dijadikan dasar untuk
merancang sistem penunjang keputusan (SPK) yang digunakan untuk membantu para
pimpinan atau manajer membuat keputusan terutama keputusan yang bersifat kompleks dan
tidak terstruktur serta tidak dapat atau sulit diprediksi.

Metode Perbandingan Eksponensial


Metode perbandingan eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode pengambilan
keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu.
Metode ini pada prinsipnya merupakan suatu metode pemberian nilai (scoring) terhadap
pilihan-pilihan yang ada. Hal yang sangat penting dalam metode ini adalah penentuan bobot
dari setiap kriteria yang ada. Selain itu kemampuan dari pakar yang memberikan penilaian
(judgement) sangat berpengaruh terhadap validitas hasil keputusan (Marimin, 2005).

Metode Prakiraan
Metoda prakiraan (forecasting) merupakan suatu teknik yang menduga apa yang akan terjadi
pada masa yang akan datang. Menurut Makridakis (1993), metoda prakiraan kuantitatif dapat
digunakan apabila terpenuhi kondisi berikut : informasi tentang keadaan masa lalu tersedia,
informasi tersebut dapat dikuantitatifkan, dan keadaan masa lalu diasumsikan berlanjut terus.
Kelompok analisis deret berkala adalah metoda prakiraan yang disusun dengan menggunakan
suatu analisa statistik terhadap data masa lalu. Asumsi dasar yang dipakai adalah bahwa nilai
masa lalu dan masa kini mempunyai pola yang sama dan terus berlanjut di masa yang akan
datang, sehingga prediksi nilai di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan dasar nilai
masa lalu dan masa kini. Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah analisis
kecenderungan (trend analysis). Metode analisis trend merupakan pencocokan suatu
persamaan garis matematis terhadap data dan memproyeksikannya ke masa yang akan datang.
Metoda analisis kecenderungan memiliki empat model yaitu model tinier, kuadratik,
eksponensial dan S-curve.

Analisis Finansial
Dalam menilai tingkat keberhasilan suatu perusahaan, pengambil keputusan memerlukan
informasi tentang kinerja keuangan yang tersusun dalam bentuk akuntansi keuangan.
Umumnya kajian analisis finansial dilakukan dengan memperhitungkan nilai NPV (Net
Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C rasio (Net Benefit Cost Ratio), PBP
(Payback Period) dan analisis sensitivitas (Gray et a1.,1992).
Kriteria nilai sekarang neto (net present value, NPV) didasarkan pada konsep mendiskonto
seluruh aliran kas ke nilai sekarang. Dengan mendiskonto semua
aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang, kemudian
menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama,
yaitu harga (pasar) saat ini. NPV menunjukkan jumlah lumpsum yang dengan arus diskonto
tertentu memberikan angka berapa besar nilai usaha (Rp) tersebut pada saat ini. Jika NPV
lebih besar dari 0 atau bernilai positif, berarti proyek layak dan jikaNPV lebih kecil dari 0
atau negatif berarti proyek tidak layak.
Tingkat kemampulabaan internal (internal rate of return, IRR) adalah metode analisis
kelayakan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat balikan internal sewaktu nilai sekarang
arus kas masuk sama dengan nilai sekarang pengeluaran investasi atau sewaktu NPV sama
dengan 0. Jika IRR lebih besar dari tingkat bunga, maka proyek tersebut layak diterima.
Kelayakan finansial suatu usaha dapat pula dikaji dengan menggunakan kriteria Net B/C
rasio. Jika B/C lebih besar dari satu artinya suatu usaha layak namun jika lebih kecil dari satu
maka usaha tersebut tidak layak dan sebaiknya ditolak.
Jangka waktu pemulihan modal (payback period, PBP) adalah jangka waktu yang diperlukan
untuk mengembalikan seluruh modal yang diinvestasikan. Biasanya dinyatakan dalam satuan
tahun.
Analisis sensitivitas bertujuan untuk menghitung kepekaan investasi terhadap perubahan-
perubahan faktor harga. Analisis sensitivitas ini dapat menggambarkan perubahan harga
produk apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga bahan baku.

Metode AHP
Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan salah satu teknik yang dapat
digunakan dalam pengambilan suatu keputusan. AHP merupakan suatu model yang luwes
yang mampu memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun
gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-
masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan. Proses ini juga memungkinkan orang
menguji kepekaan hasilnya terhadap perubahan informasi. AHP memasukkan pertimbangan
dan nilai-nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman dan
pengetahuan untuk menyusun hierarki suatu masalah pada logika, intuisi dan pengalaman
untuk memberikan pertimbangan. Metode AHP mempunyai beberapa prinsip yaitu
decomposition, comparative judgement, synthesis of priority dan logical consistency. AHP
dilakukan melalui empat langkah yaitu identifikasi sistem, penyusunan hirarki, penyusunan
matriks gabungan, pengolahan vertikal dan penghitungan vektor prioritas.
Menurut Saaty (1980), tahapan terpenting dalam analisis adalah penilaian dengan teknik
komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada suatu tingkatan
hirarki. Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara
satu elemen dengan elemen lainnya. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap
hasil penilaian untuk menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan
terendah.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam teknik AHP adalah melakukan analisis kebutuhan
terhadap permasalahan yang sedang dikaji. Dari hasil analisis kebutuhan ini selanjutnya
dilakukan penyusunan hirarki sesuai kebutuhan, dan penilaian secara berpasangan setiap
elemen dalam hirarki tersebut. Selanjutnya setiap elemen pada hierarki yang sama diolah
(pengolahan horizontal) sehingga diperoleh tingkat konsistensi pendapat setiap elemen, yang
dinilai dengan consistency ratio (CR). Untuk menghitung CR dibutuhkan nilai random index
(RI) yang didapat dari tabel Oarkridge. Jika rasio konsistensi telah memenuhi syarat yaitu
tidak lebih dari 0,1 maka dapat dilakukan penggabungan pendapat dari setiap pengambil
keputusan untuk dibuat matriks pendapat gabungan dan dilakukan perhitungan bobot prioritas
masing-masing sub elemen. Terakhir, dilakukan pengolahan vertikal untuk memperoleh
vektor prioritas sistem (Marimin, 2005).

METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Pengembangan biodiesel dengan memanfaatkan potensi bahan baku minyak nabati di
Indonesia merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat akan BBM fosil,
apalagi mengingat Indonesia saat ini merupakan negara net importir akibat kebutuhan yang
lebih besar dibanding kemampuan berproduksi.
Industri biodiesel sudah ada di Indonesia, namun proporsi terbesar adalah untuk ekspor,
sementara konsumsi biodiesel domestik masih rendah. Hal ini disebabkan karena harga jual
biodiesel untuk domestik yang tidak dapat bersaing dengan harga BBM bersubsidi. Namun
saat ini industri biodiesel nasional mengalami kendala dalam mengekspor produknya ke
negara tujuan Eropa. Agar industri biodiesel makin berkembang di Indonesia maka diperlukan
upaya peningkatan konsumsi biodiesel domestik.
Strategi pengembangan industri biodiesel yang tepat
diperlukan sebagai solusi, dengan tujuan agar industri biodiesel makin berkembang di
Indonesia, sehingga ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap BBM fosil makin rendah
yang ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi biodiesel oleh masyarakat. Permasalahan
yang menjadi kajian ini merupakan fenomena yang kompleks karena melibatkan berbagai
faktor yang saling terkait, sehingga diperlukan suatu pendekatan sistem untuk memecahkan
permasalahan tersebut.
Kerangka pemikiran pelaksanaan kajian strategi pengembangan industri biodiesel di
Indonesia disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran

Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem ditandai oleh dua hal, yaitu mencari semua faktor penting yang ada dalam
mendapatkan solusi yang baik dalam menyelesaikan masalah dan menyusun suatu model
kuantitatif untuk membantu memutuskan secara rasional (Eriyatno, 1996). Pendekatan sistem
dilaksanakan dengan tahapan identifikasi terhadap kebutuhan yang dilanjutkan dengan
formulasi permasalahan dan identifikasi sistem. Aktor-aktor (stakeholders) dalam suatu
sistem mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, saling berhubungan satu sama lain dan
berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada. Identifikasi sistem merupakan mata rantai
hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan permasalahan yang harus diselesaikan
untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan
gambaran terhadap sistem yang dikaji.

Pemodelan Sistem
Sub model yang dikembangkan meliputi sub model pemilihan komoditas bahan baku,
penentuan harga pokok produksi biodiesel berdasarkan perhitungan kelayakan finansial
industri biodiesel, dan strategi pengembangan industri biodiesel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


l. Pemilihan Komoditas Bahan Baku Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar berbasis minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai
minyak solar. Oleh karena itu, pemanfaatan biodiesel akan mengeliminir kebutuhan akan
solar. Untuk tahap awal, biodisel dapat mengurangi sekitar 5-10 persen kebutuhan solar untuk
industri dan masyarakat.
Tiga jenis minyak nabati yang berpotensi sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia adalah
minyak kelapa sawit, minyak kelapa, dan minyak jarak pagar. Ketiga jenis minyak nabati
tersebut dipilih prioritasnya berdasarkan potensi yang dimiliki meliputi luas lahan perkebunan
yang telah ada saat ini, produktivitas, kemungkinan perluasan lahan, kebijakan pemerintah,
aplikasi untuk pangan, dan harga bahan baku minyaknya.

- Luas lahan
Saat ini, komoditas sawit unggul dalam ha1 luas lahan perkebunan. Berdasarkan data
Ditjenbun (2007), tahun 2005 luas lahan perkebunan sawit mencapai 5,45 juta ha dan
meningkat tahun 2006 menjadi 6,07 juta ha. Sementara luas lahan perkebunan kelapa tahun
2005 mencapai 3,80 juta ha dan tahun 2006 menjadi 3,82 juta ha. Perkebunan sawit dan
kelapa diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta dan perkebunan
besar negara.
Adapun untuk komoditas jarak pagar, perkebunannya masih dalam tahap pengembangan
dalam hal kesesuaian lahan dan budidaya. Beberapa kelompok masyarakat dan pihak swasta
di beberapa daerah telah mulai membudidayakan jarak pagar. Ditjenbun (2006) menyebutkan
bahwa tahun 2006 penanaman jarak pagar mencapai luasan 40.000 ha, dan tahun 2007
direncanakan meningkat menjadi 341.000 ha. Ishom (2006) menyebutkan bahwa daerah di
Indonesia yang saat ini telah mengembangkan jarak pagar adalah Bogor, Lampung, Sukabumi
dan NTB.

- Produktivitas
Rata-rata produktivitas CPO mencapai 2,05 ton minyak/ha dan PKO mencapai 0,42 ton
minyak/ha. Berdasarkan data Ditjenbun (2007), jumlah produksi min_vak sawit tahun 2006
adalah sebesar 16,2 juta ton, yang terdiri atas CPO sebanyak 13,4 juta ton dan PKO sebanyak
2,8 juta ton. Untuk tahun 2007, jumlah total produksi minyak sawit Indonesia diperkirakan
mencapai 17,1 jutaton. Dengan jumlah produksi minyak sawit tersebut, artinya produksi
minyak sawit Indonesia telah melampaui jumlah produksi minyak sawit Malaysia. Produksi
minyak sawit akan terus meningkat di masa mendatang, yang berasal dari tanaman belum
menghasilkan (TBM) saat ini, dan dari pengoptimalan produktivitas tanaman menghasilkan
(TM) yang telah ada serta masih memungkinkan untuk dilakukan.
Untuk komoditas kelapa, rata-rata produktivitasnya mencapai 0,83 ton minyak/ha.
Berdasarkan data Ditjenbun (2007), jumlah produksi minyak kelapa tahun 2006 mencapai
3,16 juta ton.
Sementara saat ini tingkat produktivitas biji jarak pagar di Indonesia mencapai 2-3 ton biji/ha,
dengan masa tanam selama 6 bulan dan penanaman biasanya dilakukan selama musim
kemarau. Dengan rendemen ekstraksi sekitar 30%, maka produktivitas jarak pagar
diperkirakan sekitar 0,6-0,9 ton minyak/ ha. Produktivitas biji jarak pagar masih dapat
ditingkatkan menjadi 5 ton/ha dengan cara pemilihan bibit yang lebih baik dan penggunaan
dosis pupuk yang sesuai.

- Perluasan lahan
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata perluasan perkebunan kelapa sawit dari tahun
20002007 mencapai 6,5% per tahun, sementara perluasan lahan perkebunan kelapa mencapai
0,56% per tahun.
Keuntungan bagi tanaman jarak pagar yang cocok hidup di lahan kritis (marjinal), sehingga
perluasan perkebunan jarak pagar dalam jumlah besar dapat dilakukan. Hasil evaluasi
kesesuaian lahan yang dilakukan oleh Mulyani, et al. (2006) menunjukkan bahwa lahan yang
sesuai untuk pengembangan jarak pagar di Indonesia adalah seluas 49;50 juta ha. Lahan
tersebut dapat dikelompokkan menjadi kelas sangat sesuai (S1) dengan luasan 14,30 juta ha,
cukup sesuai (S2) seluas 5,50 juta ha, dan sesuai marginal (S3) seluas 29,70 juta ha. Potensi
pengembangan jarak pagar yang paling besar adalah pada lahan yang sementara tidak
diusahakan (lahan terlantar) yang luasnya mencapai 12,40 juta ha serta padang rumput 3,10
juta ha. Pengembangan jarak pagar dapat diprioritaskan pada lahan yang sangat sesuai dan
cukup sesuai, yang tersebar luas di Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Papua, Jawa Timur,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Waluku Utara.

- Kebijakan pemerintah
Empat komoditi utama yang ditetapkan Pemerintah sebagai bahan baku biofuel saat ini untuk
dikembangkan secara intensif yaitu kelapa sawit dan jarak pagar untuk biodiesel serta
singkong dan tebu untuk bioetanol (KADIN, 2006).
Bahan baku yang paling siap untuk digunakan
sebagai bahan baku biodiesel saat ini adalah CPO karena perkebunan kelapa sawit telah
berkembang sedemikian rupa dan dapat lebih ditingkatkan lagi. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa rata-rata produksi CPO dari tahun 2000-2007 meningkat 11 % per
tahunnya, sementara produksi minyak kelapa hanya meningkat sebesar 0,81 % per tahun.
Peningkatan produksi minyak kelapa yang rendah dan tingkat kebutuhan industri pangan dan
oleokimia yang sangat tinggi terhadap minyak kelapa yang diperkirakan menjadi
pertimbangan komoditas kelapa tidak termasuk dalam komoditas utama untuk bahan baku
biodiesel.

-Aplikasi untuk pangan


Baik minyak kelapa sawit maupun minyak kelapa dibutuhkan oleh industri pangan dan
nonpangan di Indonesia. Hanya minyak jarak pagar yang pemanfaatannya untuk industri
nonpangan saja. Sebagian besar penggunaan CPO nasional yaitu sebesar 52 persen diekspor
ke luar, dan sisanya untuk mencukupi kebutuhan domestik dengan perincian untuk produk
pangan 40 persen dan untuk produk non pangan 8 persen. Pada Tabel 1 disajikan proporsi
penggunaan CPO nasional.
Tabel 1. Komposisi Penggunaan CPO Nasional

Penggunaan Ekspor Persentase 52%


Industri minyak goreng 37%
Industri margarin 3%
Industri sabun 3%
Industri oleokimia 5%
Sumber : Depperin (2007).
- Harga
Harga minyak sawit mengalami peningkatan tajam hingga Juli 2007 mencapai USD 600 -
775/ton, sedangkan harga minyak kelapa mencapai USD 850/ton. Sementara untuk minyak
jarak pagar, hasil perhitungan yang dilakukan RNI (2006) menyebutkan bahwa harga jual
minyak jarak kasar (CJO) mencapai Rp. 3.000/L.
Berdasarkan penentuan prioritas dengan menggunakan metode MPE terhadap faktor-faktor
potensi yang dimiliki ketiga jenis minyak tersebut, diperoleh hasil bahwa saat ini minyak
sawit menduduki prioritas tertinggi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel,
menyusul minyak jarak dan minyak kelapa (Tabel2).
Tabe12. Perhitungan prioritas

Ket : TK : tingkat kepentingan


NA : nilai alternatif
Nilai MPE : (NA)(TK)

2. Analisis Kelayakan Finansial Industri Biodiesel


Perhitungan kelayakan finansial industri biodiesel dilakukan untuk mengetahui HPP biodiesel
yang dihasilkan masing-masing jenis minyak sebagai patokan dalam menentukan harga jual
biodiesel. Hasil perhitungan ini kemudian dibandingkan dengan harga solar untuk masyarakat
dan industri.
Dalam perhitungan aspek finansial ini selain harga bahan baku minyak, beberapa asumsi
lainnya yang digunakan untuk ketiga jenis minyak dibuat sama, meliputi .
- Kapasitas produksi yang digunakan 300 ton biodiesel per hari.
- Seluruh barang yang diproduksi habis terjual dan pembayaran hasil penjualan dilakukan
pada tahun itu juga.
- Berbagai kombinasi harga untuk seluruh item dianggap konstan selama dilakukan
pengkajian.
- Umur proyek ditetapkan selama 15 tahun. Tingkat suku bunga pinjaman yang digunakan
adalah 19 persen/tahun dengan grace period pokok pinjaman adalah satu tahun dan grace
period bunga pinjaman adalah satu tahun.
- Lama pembangunan pabrik dan uj i coba produksi adalah 1 tahun dan dihitung sebagai
tahun ke-0.
- Kapasitas produksi tahun pertama adalah 80%, tahun-tahun berikutnya kapasitas produksi
adalah 100%. Perhitungan kebutuhan biaya berdasarkan (Mariana, 2005) :
¢ Rendemen produk : 95,24 %
¢ Lama operasi pabrik : 24 jam per hari, 25 hari per bulan
¢ Hari beroperasi : 300 hari/tahun
“ Perbandingan antara modal sendiri dengan modal pinjaman (debt equity ratio) adalah
30% modal sendiri dan 70% modal pinjaman.
“ Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus, dengan nilai sisa
(salvage value) untuk semua peralatan adalah 10 persen.
“ Harga jual produk lebih tinggi 15% dari HPP Besar pajak ditentukan berdasarkan
Undang-undang Pajak No. 17/2000.

Analisis finansial yang dilakukan meliputi penghitungan biaya investasi, biaya produksi,
harga pokok, harga jual dan prakiraan pendapatan serta kriteria kelayakan usaha. Rekapitulasi
hasil perhitungan kriteria kelayakan usaha disajikan pada Tabe13.
Dibandingkan dengan harga solar untuk masyarakat sebesar Rp. 4.300/L, terlihat bahwa harga
jual biodiesel hasil perhitungan untuk ketiga j enis bahan baku jauh lebih tinggi, dimana
biodiesel sawit Rp. 9.250/L, biodiesel kelapa Rp. 11.760/L dan biodiesel jarak pagar Rp.
5.060/L.
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diketahui bahwa :
“ Untuk biodiesel sawit, industri menjadi tidak layak pada peningkatan harga bahan baku
7% ataupun penurunan harga jual 6%.
“ Untuk biodiesel kelapa, industri menjadi tidak layak pada peningkatan harga bahan baku
6% ataupun penurunan harga jua15%.
“ Untuk biodiesel jarak, industri menjadi tidak layak pada peningkatan harga bahan baku
10% ataupun penurunan harga jual 8%.

Harga jual biodiesel yang jauh lebih tinggi dibanding harga solar, menyebabkan sangat sedikit
masyarakat yang tertarik untuk beralih menggunakan biodiesel. Pihak industri pun lebih
memilih untuk mengekspor produknya ke negara lain.
Tabel 3. Kriteria kelayakan finansial industri biodiesel
Minyak Jarak
Keterangan Satuan Minyak Sawit Minyak Kelapa
Pagar
Harga Bahan Baku Rp/Kg 6.440 8.500 3.000
Total Investasi Rp. 390.222.697.178 450586.268.831 289.421.793.821
Sumber Modal
a. Pinjaman (70%) R 273.135.888.025 315.410.388.182 202.595.255.675
b. Modal sendiri (30%) Rp 117.066.809.153 135.175.880.649 86.826.538.146
Bunga Pinjaman %/tahun 18% 18% 18%
Kriteria Investasi :
a. NPV Rp 191.499.697502 219.789.294.765 144.840.132.731
b.IRR % 29,87% 29,83% 29,99%
c. Net B/C 1,6 1,56 1,6
d. PBP Tahun 3,59 3,59 3,57
e. BEP(volume) Liter 1.631 1.293 2.888
f. B EP (nilai) 15.971.764.741 15.914.404.770 16.185.551.711
g. Harga Pokok Produksi Rp/L 8.046 10.229 4.400
Harga Jual Biodiesel
(15% HPP + HPP) Rp/L 9250 11.760 5.060

3. Strategi Pengembangan Industri Biodiesel


Analisis Kebutuhan
Penentuan aktor-aktor yang berperan dalam pengembangan industri biodiesel di Indonesia
didasarkan pada justifikasi pendapat pakar. Aktor-aktor yang berpengaruh dalam sistem
pengembangan industri biodiesel di Indonesia adalah pemerintah, petani, industri biodiesel,
industri pendukung dan terkait, masyarakat pengguna, lembaga pembiayaan, Perguruan
Tinggi dan Lembaga Litbang, serta LSM.
- Pemerintah membutuhkan penerimaan pendapatan melalui pajak dan retribusi meningkat,
penyerapan tenaga kerja, kelestarian lingkungan tetap terjaga, penurunan beban subsidi,
dan taraf kehidupan masyarakat meningkat.
- Petani membutuhkan stabilitas dan harga jual bahan baku di pasaran terjamin, bantuan
bibit berkualitas tinggi, informasi budidaya berekonomi tinggi, dan insfrastruktur
pertanian yang memadai.
- Industri penghasil biodiesel, membutuhkan stabilitas dan harga produk di pasaran makin
baik, kelangsungan perusahaan terjamin, bahan baku mudah diperoleh dengan kontinuitas
dan stabilitas harga terjaga dengan baik, mutu produk olahan sesuai standar, tekanan dari
pasar Eropa terhadap isu lingkungan berkurang, kepastian dan peningkatan konsumsi
biodiesel oleh pasar domestik terjamin, terbentuknya persaingan yang adil antara biodiesel
dengan BBM bersubsidi.
- Industri pendukung dan terkait, membutuhkan agar produk yang dihasilkannya dapat
diserap oleh industri biodiesel, kelangsungan perusahaan terjamin, harga biosolar (hasil
blending biodiesel dengan solar) lebih terjangkau.
- Masyarakat pengguna, membutuhkan harga biodiesel yang kompetitif (sama atau bahkan
lebih murah) dibanding solar, adanya jaminan kondisi mesin kendaraan tetap baik setelah
menggunakan biodiesel.
- Lembaga pembiayaan, membutuhkan kepastian usaha dalam pemberian kredit dan
meminimumkan terjadinya kredit macet.
- PT dap Litbang, membutuhkan agar hasil penelitian produksi biodiesel yang efisien dapat
diaplikasikan di industri, kerjasama penelitian makin meningkat.
- LSM, membutuhkan jaminan kelestarian hutan dan lingkungan serta minimisasi cemaran
yang mungkin timbul dari aktivitas industri.

Identifikasi Masalah
Permasalahan utama pada pengembangan industri biodiesel di Indonesia adalah :
- Harga jual biodiesel yang lebih tinggi dibanding harga solar.
- Harga bahan baku meningkat tajam, khususnya CPO.
- Konsumsi biodiesel oleh pasar domestik masih rendah, sebagai akibat dari harga biodiesel
yang tidak kompetitif terhadap solar bersubsidi.
- Harga biodiesel sensitif terhadap fluktuasi harga minyak mentah dunia dan hal ini sangat
berpengaruh pada keekonomian industri biodiesel dalam negeri.
- Jumlah industri biodiesel di Indonesia masih sedikit
- Adanya penolakan biodiesel dari Indonesia oleh negara Eropa.
- Belum terjaminnya ketersediaan pasokan bahan baku untuk biodiesel.
- Infrastruktur yang kurang memadai untuk penyebaran biodiesel ke masyarakat.
- Teknologi pembuatan biodiesel relatif sederhana. Namun saat ini teknologi yang telah dan
sedang dikembangkan di dalam negeri baru pada tahap skala kecil dan menengah dengan
sistem batch process sampai kapasitas 6.000 ton/tahun, yang dikembangkan oleh LAPI-
ITB, BPPT, PT Rekayasa Industri, PT Pindad, dan lainnya. Teknologi pengolahan
biodiesel skala besar dengan sistem continuous process masih tergantung pada lisensi luar
negeri seperti Lurgi (s/d 250.000 ton/tahun), BDI (s/d 150.000 ton/ tahun), Conneman (s/d
100.000 ton/tahun) dan Biox (s/d 50.000 ton/tahun).

Berdasarkan hal tersebut, maka sebagai kriteria adalah bahan baku, teknologi, pasar, investasi,
lingkungan, regulasi dan R&D.

Alternatif Strategi
Alternatif strategi yang akan dipilih berdasarkan pada Wahyudi (2006) dan Ishom (2006),
yaitu :
1. Melakukan sosialisasi penggunaan biodiesel pada masyarakat dalam negeri, dengan tujuan
agar minat masyarakat untuk mensubstitusi pemakaian solar dengan biodiesel makin
meningkat sehingga membuka peluang pasar domestik bagi industri dan ketergantungan
terhadap pasar ekspor dapat ditekan.
2. Menyediakan infrastruktur pendukung yang memadai bagi pendistribusian biodiesel ke
masyarakat di daerah. Selain sarana transportasi dan jalan, diperlukan pula fasilitas
pencampuran (blending) solar dan biodiesel, kemudahan biodiesel untuk diperoleh di
SPBU, dan sebagainya.
3. Memberikan insentif bagi petani dan industri. Insentif diberikan bagi petani untuk jaminan
ketersediaan bahan baku, dalam bentuk penyediaan bibit dan infrastruktur pertanian,
sosialisasi budidaya berekonomi tinggi, dan penyediaan dan kemudahan pemanfaatan
lahan kritis/semi kritis untuk pengembangan jarak pagar. Sementara insentif industri
diberikan dalam bentuk (Timnas BBN, 2006) : fasilitas pajak penghasilan untuk
penanaman modal di bidang biofuel, pembebasan pembayaran cukai untuk komoditas
BBN dan pembebasan PPN untuk perdagangan BBN (hulu sampai hilir), dan insentif
pasar modal agar lebih kondusif terhadap pembiayaan pengembangan BBN.
4. Membuat kebijakan harga (price policy) bagi produk biodiesel, sehingga harga jualnya
dapat lebih kompetitif dengan harga solar.

Struktur Hirarki Keputusan


Perhitungan hasil pembobotan berpasangan oleh pakar dilakukan dengan menggunakan
software Criterium Decision Plus (CDP 3.0). Hasil perhitungan terhadap konsistensi rasio
(CR) memberikan nilai yang lebih rendah dibanding 0,1 yaitu pada level aktor nilai CR 0,070
; pada level kriteria nilai CR berkisar 0,032-0,087 dan pada level alternatif diperoleh nilai CR
0,025-0,043. Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan
konsekuen oleh pakar.
Hasil pembobotan menunjukkan bahwa saat ini, aktor yang paling berperan dalam
pengembangan industri biodiesel adalah pemerintah (0,329), diikuti oleh petani (0,249) dan
lembaga litbang (0,175). Pada level kriteria yang paling penting adalah regulasi (0,224),
diikuti oleh pasar (0,216), investasi (0, 173), bahan baku (0, 167), dan R&D (0,102). Pada
level alternatif, kebijakan harga yang paling penting (0,379), diikuti oleh pemberian
insentifbagi petani dan industri (0,246), menyediakan infrastruktur (0,200) dan sosialisasi
pada masyarakat (0,175). Struktur hirarki keputusan pemilihan strategi pengembangan
industri biodiesel di Indonesia disajikan pada Gambar 2.
Berdasarkan Gambar 2, untuk pengembangan industri biodiesel di Indonesia, pemerintah
memiliki peranan terpenting. Pada pengembangan biodiesel di Indonesia, faktor terpenting
yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menyiapkan perangkat regulasi dan kebijakan
yang bersifat positif bagi perkembangan industri biodiesel dan peningkatan konsumsi
biodiesel masyarakat, membangun iklim investasi dan usaha yang sehat dan kondusif, dan
jaminan bahan baku.
Menurut Walburger et al. (2006), untuk menstimulasi produksi dan penggunaan biofuel
diperlukan berbagai kebijakan dan program dari pemerintah yang ingin mengembangkan
biofuel di negaranya. Untuk Indonesia, strategi yang paling diharapkan baik oleh pihak
masyarakat dan industri saat ini untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah membuat
kebijakan harga (price policy) bagi biodiesel. Kebijakan harga ini diperlukan agar harga jual
biodiesel yang dihasilkan dapat menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan harga solar.
Harga jual biodiesel yang lebih kompetitif akan membuka peluang besar bagi masyarakat
untuk beralih dari solar ke biodiesel, sehingga pasar domestik bagi biodiesel nasional akan
makin terbuka lebar. Berkurangnya jumlah pemakaian solar karena telah disubstitusi oleh
biodiesel tentunya dapat mengurangi beban subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah
seeara rutin setiap tahunnya. Selain itu juga ketergantungan terhadap produk solar makin
berkurang dan masyarakat memiliki alternatif bahan bakar lain selain solar/diesel.
Gambar 2. Struktur hirarki pemilihan strategi pengembangan industri biodiesel

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan pertimbangan potensi aspek luas areal perkebunan, produktivitas, kemungkinan
perluasan lahan, kebijakan pemerintah, kemungkinan aplikasi minyak untuk industri pangan
dan harga minyak diketahui bahwa untuk saat ini komoditas kelapa sawit yang paling
memungkinkan dan paling siap untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel.
Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial menunjukkan bahwa dengan harga beli bahan
baku minyak yang berkisar antara Rp. 3.000 - Rp. 8.500 per kg, harga jual biodiesel lebih
tinggi dibanding harga solar untuk masyarakat yang hanya sebesar Rp. 4.300/L. Harga
biodiesel yang tidak kompetitif inilah yang menyebabkan masyarakat masih enggan untuk
beralih ke biodiesel. Industri pun lebih memilih untuk mencari peluang pasar ekspor
dibanding pasar domestik.
Agar konsumsi biodiesel dalam negeri dapat ditingkatkan, maka strategi yang paling tepat dan
sangat diharapkan oleh masyarakat pengguna dan industri dari pemerintah adalah kebijakan
harga (price policy) bagi biodiesel. Dengan harga biodiesel yang lebih kompetitifterhadap
harga solar, konsumsi biodiesel dalam negeri dapat lebih ditingkatkan sehingga
ketergantungan terhadap solar makin berkurang.

Saran
1. Asumsi perhitungan analisis kelayakan finansial industri biodiesel bagi ketiga jenis bahan
baku hanya membedakan pada harga bahan baku minyak saja, sementara hal lainnya
dibuat sama. Oleh karena itu perlu diperhitungkan faktor konversi, rendemen dan
teknologi proses masing-masing bahan baku minyak mengingat sifat fisiko-kimia ketiga
jenis minyak ini berbeda.
2. Penerapan strategi pengembangan industri biodiesel membutuhkan tekad kuat dan
goodwill dari se luruh stakeholders agar keberhasilan dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, A.K., Das, L.M., 2001. Biodiesel development and characterization for use as a fuel
in compression ignition engines. J. Eng. Gas Turbines Power 123: 440-447. Daryono,
M. 2006. Kebijakan Pengembangan dan Pemanfaatan Biofuel di Lingkup BUMN.
Prosiding Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia, Jakarta, p.
33-37.

Eriyatno. 1996. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press,
Bogor.

Gafar, A., O. Sijabat, La Pupung, Evita H.L. dan Z. Arfan. 2001. Experience in Palm
Biodiesel Application for Transportation. Hasil Penelitian Lemigas, Indonesia.

Gray, C., P. Simanjuntak, L. K. Sabar, P. F. L. Maspaitella dan R. C. G Varley. 1992.


Pengantar Evaluasi Proyek. PT Gramedia Utama, Jakarta.

Hambali, E. 2006. Partisipasi Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Biodiesel dan


Bioethanol di Indonesia. Prosiding Work

shop Nasional Bisnis Biodiesel dan Bicetanol di Indonesia, Jakarta, p. 115-123. Hambali, E,
dkk. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya, Jakarta.

Hendroko, R. 2006. Pengalaman Pengembangan Desa Mandiri Energi oleh PT RNI. Prosiding
Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia, Jakarta, p. 54-66.

Ishom, F. 2006. Pengembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Prosiding Workshop


Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia, Jakarta, p. 111-114.

Korbitz, W., 1999. Biodiesel production in Europe and North American, an encouraging
prospect. Renew. Energy 16 : 1078-1083. Krawczyk, T., 1996. Biodiesel. INFORM 7
(8) : 801-822.

Makridakis. 1993. Metoda dan Aplikasi Peramalan. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mariana, A. 2005. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Investasi pada Industri
Biodiesel Kelapa Sawit

Menggunakan Model Sistem Dinamis. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Marimin.
2005. Teori dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT Grasindo,
Jakarta.

Mulyani, A, F. Agus dan David Allelorung. 2006.


Potensi Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), Bogor.

Nelson, L.A., Foglia, T.A., Marmer, W.N., 1996. Lipase-catalyzed production of biodiesel. J.
Am. Oil Soc. Chem. 73 (8) : 1191- 1195.

Saaty, T.L. 1986. The Analitical Hierarchy Process Planning Priority Setting Resources
AIlocation. McGraw Hill International Book Company, New York.

Soerawidjaja, T.H. dan TaharA. 2003. Menggagas Kebijakan Pengembangan Biodiesel di


Indonesia. Seminar Peluang Bisnis, 17 Desember 2003. Serpong.

Wahyudi, B. 2006. Kebijakan Industri Biodiesel dan Bioethanol di Indonesia. Prosiding


Workshop Nasional Bisnis Biodiesel dan Bioetanol di Indonesia. Jakarta, 21
November 2006, p. 38. Kerjasama KADIN Indonesia dan SBRC-IPB.

Watanabe, Y, Shimada, Y, Sugihara, A., Tominaga, Y, 2001. Enzymatic conversion of waste


edible oil to biodiesel fuel in a fixedbed bioreactor. J. Am. Oil Soc. Chem. 78 (2), 703-
707.

Walburger, A.M., D.L. Roy, K.K. Kaushik, K.K. Klein. 2006. Policies to Stimulate Biofuel
Production in Canada : Lessons from Eu rope and The United States. http://
www.biocap.ca/rif/report/ Walburger A.pdf. [28 Juli 2007].

Zhang, Y, M.A. Dube, D.D. McLean, M. Kates. 2003. Biodiesel production from waste
cooking oil: 1. Process design and techno logical assessment. Bioresource
Technology, 89: 1-16.

You might also like