Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 100

1

NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA

DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA

SEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN KARAKTER

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh
Johan Aristya Lesmana
NIM 107013001450

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
2
3
4
5

ABSTRACT

JOHAN ARISTYA LESMANA, 107013001450, "Cultural Values China and Java


in Putri Cina Novel Work Item Sindhunata as Character Education." Education
Language and Indonesian literary, Faculty of Tarbiya and ScienceEducation, State
Islamic UniversitySyarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Drs. Jamal D. Rahman,
M. Hum. January, 2014.

Culture is one of the typical symptoms of humane values that have to be


developed for the benefit of human life. Chinese cultural values in a diverse and
Java novel Putri Cina Sindhunata work is an example of that culture can be a
major influence for human civilization. From the analysis in this paper there are
five Chinese cultural values, among others, the value of religiosity, cultural
sharing, the value of struggle, forecasts culture, and culture of simplicity. In
addition, there are 7 values of Javanese culture is a culture of love harmony,
unggah-ungguh culture or manners, culture ojo dumeh or do not get cocky,
cultural welas asih or affection, culture nyekar, weton culture, and cultural
responsibilities. Of all the cultural values are cultural values that constitute 9 grain
character education, namely, the value of religiosity, cultural simplicity, sharing
culture, the value of struggle, love harmony culture, a culture of compassion or
affection, unggah-ungguh culture or manners, culture ojo dumeh or not
overbearing, and cultural responsibility. There are also values that are rooted in
both cultures, but not including grain character education, which in Chinese
culture and cultural divination or fortune-telling weton of calculation day, date,
month, and year in Java. There is also nyekar in Javanese culture is still done
mostly Java community. Expected research can develop character education
granules. Cultural values that can enrich the Indonesian cultural treasure that is
currently depleting eroded times. Hence the need for seriousness to tackle the
crisis before it happened culture of moral decay everywhere, by formulating the
cultural values into an educational framework.

Keywords : Chinese Cultural Values, Cultural Values Java, Grain Character


Education.
6

ABSTRAK

JOHAN ARISTYA LESMANA, 107013001450, “Nilai Budaya Cina dan Jawa


dalam Novel Putri Cina Karya Sindhunata sebagai Butir Pendidikan Karakter”.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia, Fakultas Ilmu tarbiyah dan
Pendidikan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen
Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M.Hum. Januari, 2014.

Budaya adalah salah satu gejala khas manusiawi yang memiliki nilai untuk
dikembangkan bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya Cina
dan Jawa yang beragam dalam novel Putri Cina karya Sindhunata adalah contoh
bahwa budaya dapat memberikan pengaruh besar bagi peradaban manusia. Dari
analisis dalam skripsi ini terdapat 5 nilai budaya Cina, antara lain; nilai
religiusitas, budaya berbagi, nilai perjuangan, budaya ramalan, dan budaya
kesederhanaan. Di samping itu terdapat 7 nilai budaya Jawa yaitu; budaya cinta
harmoni, budaya unggah-ungguh atau sopan santun, budaya ojo dumeh atau
jangan sombong, budaya welas asih atau kasih sayang, budaya nyekar, budaya
weton, serta budaya tanggung jawab. Dari kesemua nilai budaya tersebut terdapat
9 nilai budaya yang merupakan butir pendidikan karakter, yaitu; nilai religiusitas,
budaya kesederhanaan, budaya berbagi, nilai perjuangan, budaya cinta harmoni,
budaya welas asihatau kasih sayang, budaya unggah-ungguh atau sopan-santun,
budaya ojo dumeh atau jangan sombong, dan budaya tanggung jawab. Selain itu
terdapat pula nilai-nilai yang mengakar di kedua budaya tersebut, namun tidak
termasuk butir pendidikan karakter, yaitu budaya ramalan di Cina dan budaya
weton atau meramal dari perhitungan hari, tanggal, bulan, dan tahun di Jawa.
Adapula budaya nyekar di Jawa yang hingga saat ini masih dilakukan sebagian
masyarakat Jawa. Diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan butiran
pendidikan karakter. Nilai-nilai budaya tersebut dapat memperkaya khazanah
kebudayaan Indonesia yang saat ini semakin menipis tergerus zaman. Maka perlu
adanya keseriusan untuk menanggulangi krisis budaya tersebut sebelum terjadi
kerusakan moral dimana-mana, yaitu dengan merumuskan nilai-nilai budaya
tersebut ke dalam suatu kerangka pendidikan.

Kata Kunci: Nilai Budaya Cina, Nilai Budaya Jawa, Butir Pendidikan Karakter.
KATA PENGANTAR

Asyhaduallaa ilaahailallah, wa asyhadu anna muhammadarrosulullah.


Innasholati, wanusuki, wamahyaaya wa mamaati lillahirabbil aalamiin.
Alhamdulillah, segala puji dan puja hanyalah pantas untuk Haqqul Yaqien Rabbul
Alamiin, Tuhan seru sekalian alam Allah Azza wa jalla yang senantiasa
melindungi segenap makhluk yang ada di langit dan di bumi. Dialah Tuhan Esa
yang hanya kepada-Nya penulis berlindung dan meminta pertolongan. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurah dari seluruh umat kepada Sang Mandataris
Tuhan di muka bumi untuk menyampaikan ajaran kebenaran, Yaitu Nabiullah
Muhammad SAW. Petunjuknya dan segenap ajarannya akan terus terpatri pada
seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini merupakan perjuangan panjang penulis selama tujuh tahun


menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah untuk memperoleh kelulusan
dengan bekal keilmuan yang insyaallah bisa diterapkan dan
dipertanggungjawabkan dalam kehidupan nyata penulis. Penulis sadar dalam
proses menjalani perkuliahan jauh dari kesan kesempurnaan, penulis mengakui
bahwa penulis belum bisa menjadi mahasiswa yang baik selama mengikuti
perkuliahan. Perjalanan panjang berliku ini akhirnya membawa penulis kembali di
medan penempuhan Program Sarjana pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penulis berharap secercah tulisan ini dapat dijadikan setitik bahan renungan dan
referensi bagi berbagai pihak yang membacanya. Semoga bermanfaat bagi penulis
dan pembaca skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tentu menapaki fase jalan terjal dan berliku dalam proses
penyelesaiannya. Karena itulah penulis membutuhkan banyak energi semangat
positif dari berbagai pihak untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang
setinggi-tingginya kepada :

i
ii

1. Nurlena Rifa’i, Ph.D., Sebagai Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah


Jakarta sekaligus dosen pengampu matakuliah terakhir dalam proses
perbaikan perkuliahan penulis. Atas segala inspirasi dan motivasi beliau,
penulis diizinkan mengikuti kuliah dan dapat menempuh perkuliahan
dengan baik.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Seorang Ibu yang baik bagi para mahasiswa PBSI dan dengan penuh
kesabaran menunggu dan mengingatkan penulis untuk segera
menyelesaikan program sarjana serta selalu mendukung kegiatan aktivis
penulis selama menjadi mahasiswa.
3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan sekaligus dosen
pembimbing akademik penulis yang selalu memotivasi dan menginspirasi
serta mengingatkan penulis agar bisa menjadi contoh yang baik, dosen
yang selalu memberikan apresiasi pada kegiatan – kegiatan penulis selama
menjadi mahasiswa dan segera menyelesaikan studi penulis di jurusan
PBSI, juga selalu menyemangati penulis agar terus melanjutkan studi
setinggi-tingginya.
4. Drs. Jamal D Rahman, M.Hum., seorang dosen pembimbing skripsi yang
penulis kagumi pemikiran dan karyanya. Penulis dengan penuh kesadaran
memilih konten judul skripsi agar bisa sesuai dengan bidang beliau dengan
penuh pengharapan agar beliau bisa membimbing penbulisan skripsi
penulis. Dengan kesabarannya, penulis banyak belajar untuk lebih
bersemangat menyelesaikan skripsi ini.
5. Rusdy Zakariya, M.Ed. M. Phill., sesosok dosen yang pernah
menyempatkan memberikan peringatan serius pada penulis agar mengurus
perkuliahan dengan proses yang penuh idealisme dan independensi yang
tinggi. Dari beliau penulis mendapat pelajaran berharga yang tidak akan
pernah penulis lupa semasa hidup penulis dengan pesan “Anda ini
pemimpin, leader. Anda harus mempertanggungjawabkan akademis anda
iii

dengan idealisme anda sebagai seorang leader, bukan sebagai mahasiswa


biasa”.
6. Keluarga tercinta, Ibu dan Bapak, kedua orangtua penulis. Perpisahan
mereka menorehkan tinta emas di hati penulis untuk memacu semangat
menjalani kehidupan dengan segala kompleksitas tantangannya. Dengan
segala keterbatasan pendidikan dan finansial mereka, penulis mendapat
kesempatan untuk berusaha lebih dari yang biasanya. Penulis merasa
sangat bangga memiliki orangtua seperti mereka juga adik semata wayang
penulis yang menjadi harta berharga penulis agar lebih giat lagi menggapai
impian-impian penulis.
7. Para kakanda-ayunda senior penulis di HMI yang memantik api semangat
penulis untuk terus melakukan perbaikan dalam diri penulis, memotivasi,
menginspirasi, dan terus membimbing penulis hingga saat ini. Amelya
Hidayat, Faisal Anwar, M Fathul Arif, Fathul Munir, Riyan Nurdiansyah,
Ujang Syarif Hidayatullah, Budi Kurniawan, Ridwan Afandi, Ahmad
Fauzi, Eko Arisandi, Amelia Hidayat, Eko Arisandi, Nunung Nurjanah,
Eka Setiawati, Neng Sri Nuraini, Siti Nurhayati, Syukri Rifa’i, Sofwan
Tamami, Akbar Khadafi, Aris Maulana Akbar, Zul Hendra, Febrian
Shandi, Ali Fuad Hendra, dan senior-senior lain yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu.
8. Para teman seperjuangan penulis yang terus memberikan semangat.
Terutama keluarga kecil penulis; Didah Nurhamidah, Istika Putri, Hilda
Nurul Mawaddah. Juga para teman-teman; Ikhwan, Ahmad Bahrul Ulum,
Rudi Sopiyadi, M Nurmilal, Eddy Najmudien, Faqih Mufti, Ahmad
Zaenuddin, Siti Zaetun, Nia Nirawati, Iman Lesmana, Fajar Chandra
Perdapa, Lutfi Syauki Faznur, Media, Sofyan Adenansi, Sri Wahyuni,
Irfan Nawawi, Abdul Ghafur, Heri Darmawan, Aufa Maftuhah, Lindah,
Mega Fiyani, Taufikurrahman, dan kawan-kawan lain yang tidak bisa
disebutkan di sini. Terima kasih atas dedikasi kawan-kawan.
9. Para Adinda yang penuh potensi dan semangat, terutama Adinda
Nurfaizah yang selalu memotivasi penulis dan menemani proses
iv

kehidupan yang penuh dengan kesabaran dan rasa syukur. Muhammad


Abduh, Ahmad Fuad Basyir, Anang Jatmiko, Fathurrohman, Monica
Harfiyani, Nurkamaliah, Fiera Endah Pratiwi, Desi Listyaningrum,
Rusmiatun Fitriah, Febriandanu Sulistiawan, Siti Maesaroh, dan adinda-
adinda lainnya. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.
10. Keluarga Besar HMI Cabang Ciputat, Keluarga Besar HMI Komtar,
Keluarga Besar BPL, Keluarga Besar Lapenmi, Keluarga Besar Bakornas
LDMI PB HMI, Keluarga Besar Lisuma Jakarta, Keluarga Besar
IMABSII, Keluarga Besar Mahasiswa PBSI Angkatan 2007, Keluarga
Besar Dewan Pendidikan Kota Tangerang Selatan. Keluarga Besar HMI
Cabang Bangka-Belitung, HMI Cabang Bengkulu.
11. Para dewan dosen PBSI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membimbing penulis dengan penuh semangat dan kesabaran.
12. Dan berbagai pihak yang telah secara sengaja atau tidak sengaja
membantu proses kehidupan penulis hingga saat ini.

Semoga semua bantuan, dukungan, semangat, motivasi, inspirasi yang


diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan kemuliaan dari Allah SWT.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
kebaikan bagi setiap pembacanya. Amin.

Jakarta, Januari 2014

Penulis
v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1


B. Identifikasi Masalah.....................................................................................5
C. Pembatasan Masalah....................................................................................6
D. Rumusan Masalah........................................................................................6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................6
F. Metodologi Penelitian..................................................................................7
G. Kajian Pustaka............................................................................................11
H. Sistematika Penulisan.................................................................................12

BAB II KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Nilai Budaya.................................................................................13


1. Definisi Nilai.......................................................................................13
2. Definisi Budaya...................................................................................14
3. Hakikat Nilai Budaya..........................................................................18
B. Budaya Cina...............................................................................................19
C. Budaya Jawa...............................................................................................22
D. Hakikat Novel............................................................................................27
E. Hakikat Pendidikan....................................................................................28
F. Pengertian Karakter....................................................................................29
G. Hakikat Pendidikan Karakter.....................................................................31
1. Pengertian Pendidikan Karakter..........................................................31
2. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter..........................................................33
vi

BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG NOVEL PUTRI CINA

A. Tinjauan Umum Terhadap Novel Putri Cina.............................................35


B. Tentang Penulis Novel Putri Cina.............................................................42
1. Sejarah Kelam Mengilhami Novel Putri Cina.....................................44
2. Totalitas Seorang Penulis.....................................................................46
C. Sinopsis Novel Putri Cina.........................................................................49

BAB IV NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA DALAM NOVEL PUTRI


CINAKARYA SINDHUNATASEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN
KARAKTER

A. Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina.......................54


B. Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina.................61
1. Nilai Budaya Cina................................................................................61
2. Nilai Budaya Jawa................................................................................69
C. Nilai Budaya Cina dan Jawa dalm Novel Putri Cina sebagai Butir
Pendidikan Karakter...................................................................................74

BAB V PENUTUP

A. Simpulan....................................................................................................80
B. Saran...........................................................................................................82

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................83

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : ......................................................................................................34


Tabel 4.1 : ......................................................................................................63
Tabel 4.2 : ......................................................................................................65
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 : ......................................................................................................32


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Karya manusia untuk menentukan sejarah peradabannya adalah
budaya.Setiap manusia memerlukan suatu konsep kebudayaan yang dapat menjadi
landasan untuk menjalani kehidupannya. Landasan tersebut menjadi kerangka
terukur bagi setiap tindak-tanduk yang dilakukannyan, karena manusia akan
mengolahnya sebagai sebuah aturan yang primer untuk mengatur lingkungannya
dan hubungannya dengan makhluk lain secara horizontal. Konsep budaya tersebut
juga berlaku bagi keyakinan manusia akan hal yang metafisik. Dimana peran
budaya dalam hal ini menegaskan keyakinan manusia akan hal yang metafisik
sebagai suatu khazanah pengetahuan, bukan suatu hal yang ditakuti atau tidak
terjangkau. Dari hal inilah budaya sangat mempengaruhi karakter manusia.
Bila kini kita tahu mulai bergesernya peradaban adalah karena nilai-nilai
penyangganya tidak lagi dijadikan kunci pengukur, tidak lagi dihidupi, persoalan
menata kembali serta menghadapi krisis nilai terletak pada tiang penyangganya
kebudayaan ini.Penempatan kembali manusia pada titik sentral dengan nilai pada
dirinya sendiri serta tujuan pada dirinya sendiri memang menjadi syarat pertama
penggunaan manusia hanya sekedar nilai alat yang bisa dimanipulasi. Syarat
kedua, setiap usaha merumuskan kembali strategi budaya yang sadar, yaitu
penghormatan pada yang suci, apa yang esensial, dan yang spiritual dari
manusia.1Jadi pengembangan kebudayaan perlu difokuskan pada strategi budaya
yang bersumber pada nilai.Disinilah kebudayaan menjadi format karakter yang
melekat pada manusia yaitu peningkatan spiritual.
Pudarnya beberapa nilai salah satunya disebabkan oleh jarangnya
penggunaan atau pengejawantahan nilai-nilai tersebut di lingkungan sosial, maka

1
Mudji Sutrisno, Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat,
2008) cet.1, h.23.

1
2

perlu adanya keseriusan dari semua pihak untuk memberikan perhatian pada
pendidikan budaya yang berbasis pendidikan karakter.
Dunia ini sempat terguncang dengan beberapa berita yang memilukan,
berbagai fenomena abnormal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata dan
menyatu dengan masyarakat.Rutinitas tawuran antara SMAN 70 dengan musuh
bebuyutannya SMAN 6 Jakarta adalah contoh kecil dari hilangnya nilai
persahabatan di kalangan siswa.Sekolah yang bertetangga ini telah menunjukkan
karakter yang buruk yang dapat mencoreng dunia pendidikan di negeri ini. Di
manapun tawuran antarpelajar itu merupakan aib yang susah dilerai dan
diselesaikan, karena ini merupakan kontak balas dendam dari masing-masing
sekolah. Jika dirunut kembali ke belakang, awal terjadinya tawuran antara kedua
sekolah tersebut sudah cukup lama, antara tahun 80-an. Salah satu faktor hal ini
bisa terjadi karena kurangnya pengawasan orangtua, sekolah, dan masyarakat
sebagai tripusat pendidikan, serta kurangnya penghayatan nilai-nilai saling
memaafkan pada diri siswa. Nilai karakter tentu menjadi pilar penting bagi
penyelesaian peristiwa negatif yang berlarut-larut tersebut. Maka semua elemen
perlu mengawasi dan membina perjalanan pendidikan, baik di sekolah, maupun di
lingkungan masyarakat dan keluarga.
Pada segmen berita lain, kasus pencabulan, pernikahan di bawah umur dan
pemerkosaan kian menjadi berita top range di Indonesia. Menikahi gadis di
bawah umur seolah menjadi trend di kalangan para pejabat tinggi, bahkan para
ulama dengan dalih mengikuti sunnah Rasulullah. Padahal dalam Undang-Undang
telah diatur bahwa wanita yang boleh dinikahi adalah yang usinya telah berumur
18 tahun. Beberapa fenomena pernikahan yang tidak lazim sangat mudah kita
temukan di tengah-tengah masyarakat. Budaya seperti ini tidak bisa dijadikan
contoh yang baik untuk tumbuh kembang anak. Ini adalah penyimpangan budaya
yang harus ditolak dan diperbaiki.
Budaya pernikahan yang seharusnya menjadi landasan sucinya suatu ikatan
menjadi ternoda akibat ulah segelintir orang yang memaksakan dirinya menikah
dengan pasangan yang belum cukup umur.
3

Dari beberapa fenomena kemanusiaan di atas, penulis mencoba mengkaji


konsep kebudayaan yang dibangun di tengah masyarakat yang heterogen dan
plural. Tulisan akan difokuskan pada nilai budaya yang memberikan sentuhan
pendidikan karakter bagi pengembangan kualitas pendidikan di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa salah satu definisi dari budaya adalah gejala khas
manusiawi,2 maka untuk menentukan arah budaya yang benar perlu adanya
pendidikan, karena pendidikan merupakan sebuah subintegrasi dari kebudayaan
yang khusus membina karakter manusia layaknya manusia secara utuh, dalam
kesempatan lain, pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses memanusiakan
manuisa3. Melalui pendidikan diharapkan manusia dapat menentukan budaya
yang baik dan benar untuk dapat membantu dirinya mencapai tujuan
hidupnya.Maka perlu adanya pendidikan budaya yang mumpuni untuk dijadikan
perangkat pembelajaran yang relevan demi terbinanya karakter manusia yang
cerdas dan cakap.Di Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya, diharapkan
pendidikan karakter menjadi jawaban atas segala keresahan yg merundung
masyarakat secara umum.Penerapan pendidikan karakter yang selama ini terus
digarap oleh pemerintah mesti menjadi rujukan yang sistematis dan aplikatif
dalam menjalankan roda pendidikan di semua tingkatan, tak terkecuali SLB
sekalipun.
Pendidikan karakter yang juga dipahami sebagai kerangka budaya yang
memuat nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia secara utuh mesti dijadikan
grand design bagi terbinanya masyarakat yang mencintai dan mebnghormati
kebudayaan nusantara yang sejak lama dibangun dan dicitrakan sebagai bahan
rujukan bagi berbagai dimensi kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.
Semua tertuang dalam dalam senyawa yang utuh sebagai suatu kesatuan nilai
yang menjadi penggerak semangat nasionalisme dan menjadi pemersatu bangsa
Indonesia. Oleh karenanya, setiap lembaga pendidikan yang terus menerapkan
pendidikan karakter pada kurikulumnya senantiasa mengafirmasi nila-nilai

2
Ibid., h.4.
3
Isjoni, Saatnya Pendidikan Kita Bangkit (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Oktober 2001),
Cet.1, h.3.
4

budaya bangsa sebagai pijakan utama dalam memberikan pemahaman akan


kekayaan ragam budaya bangsa yang bernilai positif bagi kemajuan bangsa.
Muatan nilai-nilai budaya secara formal diterapkan di sekolah ialah
pembelajaran sastra.Bagi siswa sekolah, sastra dapat dipelajari bertahap, mulai
dari berdongeng yang diterapkan di Sekolah Dasar, hingga pada tahap penulisan
karya sastra itu sendiri yang ada pada Standar Kompetensi di Sekolah Menengah
Atas dan sederajat.Sebagai pelajaran yang dirangkapkan pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia di sekolah, sastra juga erat kaitannya dengan sejarah bangsa
seperti yang sering dituangkan dalam dongeng dan roman klasik.Dari berbagai
kisah dalam sastra tersebut banyak memuat nilai-nilai budaya yang dapat menjadi
daya semangat nasionalisme bagi siswa.
Dalam klasifikasinya, sastra khususnya bagi anak, itu ada citraan tersendiri,
sastra anak misalnya. Secara umum sastra anak adalah citraan dan atau metafora
kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan baik aspek emosi,
perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan
dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh
pembaca anak-anak.4 Di sisi lain, sastra juga dapat dimaksudkan pada kategori
yang bertujuan untuk mengungkapkan nilai keindahan, sedangkan nilai keindahan
ini kemudian dapat terintegrasi menjadi bebagai nilai-nilai yang dapat memaknai
kehidupan. Nilai keindahan juga seringkali dipadukan dengan keharmonisan.
James Joyce yang dikutif oleh William J. Grace (1965) mengemukakan bahwa
keindahan itu mempunyai tiga cirri atau unsure pokok, yaitu: (1) Kepaduan
(integrity), (2) keselarasan (harmony), dan (3) kekhasan (individuation).5 Dalam
upaya memperkenalkan sastra sebagai ragam budaya membaca dan bercerita
anak, tentu keindahan menjadi faktor penentu keberhasilan anak dalam bersastra
pada usia dini. Hal demikian menjadi penting mengingat bahwa pendidikan
karaktyer itu harus dimulai dan dibiasakan sedini mungkin.Maka, sastra
merupakan bagian penting bagi jalannya fungsi pendidikan karakter sebagai
upaya utuh untuk melestarikan budaya bangsa.
4
Rohinah M Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendekatan Moral yang
Efektif (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)cet.1, h.37.
5
Atar Semi, Anatomi Sastra (Padang: Angkasa Raya, 1988) cet.1, h.26.
5

Pada novel Putri Cina karya Shindunata terdapat beberapa kisah menarik
yang disajikan dengan penuh ketelitian dan meyakinkan akan proses asimilasi
budaya yang kaya akan makna. Perpaduan budaya tersebut merupakan ragam
budaya yang saat ini masih berjaya di tanah nusantara. Bahwa dari beragamnya
budaya nasional, mesti adanya keseriusan warga Negara untuk melestarikan dan
terus mengembangkannya di masa depan. Penanaman budaya pada siswa sekolah
diharapkan dapat menjadi faktor utama bagi berkembangnya pendidikan karakter
yang berkualitas.Bahan sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perkembangan budaya harus menjadi perhatian serius untuk diterapkan di sekolah
sebagai media untuk meningkatkan pendidikan karakter.
Putri Cina merupakan novel epik yang memuat kisah perjalanan seorang
wanita keturunan etnik Tionghoa dalam mengarungi berbagai peristiwa yang
terjadi di Indonesia, sikap feminis dari seorang wanita sejara tajam dikupas secara
heroic untuk mempertahankan identitasnya sebagai warga Negara Indonesia yang
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga Negara yang lain.
Perjalanan cerita ini merujuk pada berbagai peristiwa sejarah dan budaya yang
cerdas disadur oleh pengarang. Penampilan kisah beberapa sejarah budaya jawa
yang kental begitu detil disampaikan menjadi sebuah suatu rangkaian peristiwa
nyata yang berhubungan langsung dengan kehidupan nyata saat ini. Ketajaman
mengupas budaya bahkan donging yang beredar di Nusantara ini yang kemudian
menjadi titik fokus dalam mengkaji novel ini sebagai nilai yang berperan penting
dalam pengembangan pendidikan karakter.

B. Identifikasi Masalah
Dari beberapa permasalahan yang dibahas di atas, maka identifikasi masalah
pada penelitian ini, antara lain:
1. Pendidikan Karakter belum mengacu pada ragam nilai budaya.
2. Belum tercapainya secara maksimal penanaman pendidikan karakter di
lembaga pendidikan.
3. Kurangnya Karya sastra rujukan pembelajaran mengenai kebudayaan
Cina dan Jawa sebagai butir pendidikan karakter.
6

4. Terbatasnya analisis novel tentang budaya Cina dan Jawa sebagai bahan
ajar di sekolah.

C. Pembatasan Masalah
Pembahasan dalam latar belakang dan identifikasi masalah di atas
menyimpulakn ranah pengkajian masalah cukup umum dan luas, maka perlu
adanya pembatasan masalah untuk memberikan titik fokus dalam masalah yang
akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini. Penulis membatasi masalah dalam
skripsi ini yaitu nilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina
karya Sindhunata.
D. Rumusan Masalah
Penulisan skripsi ini akan dirumuskan dari identifikasi masalah yang telah
dikemukakan di atas.Rumusan masalah dimaksudkan untuk menemukan solusi
pada setiap masalah yang berkaitan dengan penelitian pada judulu skripsi ini.
Rumusan masalah tersebut antara lain:
1. Bagaimana gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawadalam novel
Putri Cina karya Sindhunata?
2. Nilai budaya Cina dan Jawa apa saja dalam novel Putri Cina karya
Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter?

E. Tujuan dan Manfaat Pengkajian


Pengkajian ini bertujuan untuk:
1. Memberikan gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel
Putri Cina karya Sindhunata sebagai keragaman identitas bangsa yang
perlu dilestarikan.
2. Menganalisis nilai budaya Cina dan Jawa pada Novel Putri Cina karya
Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter.

Adapun manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah:

1. Secara praktis, manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah untuk
menegaskanbeberapa persamaan nilai budaya Cina dan Jawa yang
7

terkandung dalam Novel Putri CinaKarya Sindhunata sebagai upaya


untuk mengembangkan butir Pendidikan Karakter di Indonesia.
2. Secara teoretis, kajian ini dapat menjadi acuan bagi berbagai pihak yang
mendalami dunia pendidikan dan kebudayaan untuk menelaah lebih dalam
tentang nilai budaya Cina dan Jawapada novel Putri Cina karya
Sindhunata sebagai pengembang butir Pendidikan Karakter.

F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah dan hubungannya dengan konteks
keberadaannya.Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif bersifat deskriptif.
Dalam penelitian karya sastra, misalnya akan dilibatkan pengarang, lingkungan
sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada
umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna yang
terkandung di balik tindakan yang mendorong timbulnnya gejala sosial.Penelitian
mempertahankan hakikat nilai-nilai.Sumber data dalam ilmu sastra adalah karya,
naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.
Penelitian kualitatif lebih sesuai untuk penelitian hal-hal yang bersangkutan
dengan masalah kultur dan nilai-nilai, seperti sastra.6 Penelitian sastra sebagai
wujud penelitian kualitatif tentunya harus menerima kenyataan akan adanya
keharusan penelitiannya memiliki wawasan yang luas tentang konvensi bahasa,
konvensi sastra, dan konvensi sosial budaya agar dapat memberikan interpretasi
yang tepat dan keputusan atau kesimpulan yang benar. Sehingga dengan demikian
penelitian sastra akhirnya dapat memberi sumbangan yang berharga bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, ilmu, dan teori sastra, dan bagi peningkatan
taraf hidup manusia.

Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai-


nilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina karya
Sindhunata. Metode penelitian sastra yang digunakan secara khusus adalah

6
Ibid., h. 34.
8

metode Pendekatan Ekspresif. Pendekatan Ekspresif adalah pendekatan dalam


kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau
temperamen penulis. Pada abad ke-18, pada masa Romantik, perhatian terhadapa
sastrawan sebagai pencipta karya sastra menjadi dominan. Karya sastra adalah
anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang.
Karya sastra tidak akan hadir jika tidak ada yang menciptakannya sehingga
pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya.7

Dalam pendekatan ini, penilaian terhadap karya seni ditekankan pada


keaslian dan kebaruan. Penilaian sebuah karya seni sebagian besar bergantung
pada kadar kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya sebelumnya.
Yang itu itu adalah yang baru, yaitu sesuatu yang dianggap lebih baik daripada
yang lama. Ada keberatan dan kritik bagi pendekatan ekspresif, antara lain
disampaikan oleh kaum formalis, strukturalis, dan pragmatis. Pendekatan ini telah
ditonjolkan pada zaman klasik kebudayaan Barat. Walaupun pendekatan ini
kemudian tidak begitu besar efeknya dalam sejarah kebudayaan Barat. Hal ini
barangkali karena penonjolan diri manusia dalam kebudayaan yang berabad-abad
lamanya dikuasai oleh agama Kristen dan filsafat yang coraknya sesuai dengan
agama itu.

Sejarah panjang mengenai munculnya pendekatan ekspresif sebenarnya


ramai dibicarakan pada abad Pertengahan. Manusia selaku pencipta meneladani
ciptaan Tuhan. Ide tentang manusia, khususnya sebagai pencipta baru lahir agak
lambat dan secara berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan Barat. Kemudian
dalam teologi Masehi dan dalam filsafat serta konsepsi klasik ini ditempatkan
dalam rangka pandangan terhadap dunia dan alam sebagai ciptaan Tuhan.
Tuhanlah yang menjadi pencipta, pencipta yang sungguh-sungguh sejati.
Penciptaan oleh manusia selalu bersifat penciptaan kembali. Dalam rangka uraian
ini menitikberatkan masalah point of view terutama penting sebagai gejala yang
menggarisbawahi usaha untuk melepaskan pengarang dari karyanya dan
menentukan serta mempertahankan otonomi karya sastra dari penulisnya. Gejala

7
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: PT Grasindo, 2008) cet. 1, h.181
9

penghilangan atau penghapusan pengarang dari karya atau ciptaannya menjadi


perdebatan panjang mengenai pendekatan ekspresif. Beberapa kritik tersebut
tentu menimbulkan kritik baru yang berupaya untuk melampauinya. Contoh
mutakhir tentang mempertahankan dan menyelamatkan kedudukan penulis karya
sastra sebagai faktor yang mustahak dan menentukan dalam penafsiran karya
sastra adalah buku P.D. Juhl yang berjudul Interpretation. An essay in the
Philosophy of Literary Criticism (1980). Buku ini dengan sangat tegas menentang
pendirian struktural dan otonomi yang melepaskan karya sastra dari niat
penulisnya. Juhl pada pokoknya mempertahankan tiga dalil atau tesis ataupun
tuntutan, yang bukan tidak berkaitan satu sama lain sebagai berikut:

1. Ada kaitan logis antara pernyataan mengenai arti sebuah karya dan
pernyataan mengenai niat penulisnya.
2. Penulis adalah orang yang nyatanya terlibat dalam dan bertanggung jawab
atas proporsi yang diajukan dalam karyanya.
3. Karya sastra hanya mempunyai satu arti. Niat bukanlah yang dinyatakan
secara eksplisit oleh penulis mengenai rencana, motif, atau susunan
karyanya, melainkan yang diniatkan oleh kata-kata yang digunakan dalam
karyanya. Niat bukanlah sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan atau
penulisan karya sastra. Niat justru terwujud dalam proses perumusan
kalimat-kalimat yang dipakai dalam karya.8

Daya ekspresi pengarang senantiasa tumbuh dan berkembang sehingga


muncul berbagai variasi teknik penulisan, gaya, dan berbagai jenis ekspresif.
Sastra dipandang memiliki sistem sendiri namun, tidak terlepas dari masalah
penciptaan, masalah ekspresi, dan masalah penerimaan sastra oleh pembaca.9

Bagi banyak orang sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan


tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan yang buruk. Ada pesan yang sangat
jelas di sampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga

8
A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)
cet.1, h. 177.
9
Atar Semi, Metode Penelitian Sastra (Bandung: Angkasa, 1993), cet.1, h.109.
10

dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang
kehidupan di sekitarnya.10 Kemampuan sastra dalam menyampaikan pesan
menempatkan sastra menjadi sarana kritik sosial.11 Dipicu oleh kesadaran bahwa
karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain,
maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah
masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan system
komunikasi secara keseluruhan.12 Dalam masyarakat primitif, misalnya, sastra
sulit dipisahkan dari ucapan keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari, dan
permainan. Dalam membaca novel atau sajak kita masih bisa mendapatkan
kenikmatan seperti yang didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa
merasa lega sehabis mengikuti upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu
memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap
dalam menghadapi pekerjaan sehari-hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung
gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu,
dan bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu teks novel
Putri Cina karya Sindhunata,
2. Menentukan fokus penelitian yakni menelaah konteks nilai budaya Cina
dan Jawadalam novel Putri Cina karya Shindunata sebagai butir
Pendidikan Karakter.
3. Menyusun dan membuat laporan penelitian.

G. Kajian Pustaka
Penelitian novel Putri Cina karya Sindhunata ini merupakan penelitian yang
sangat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan nilai budaya Cina dan Jawa sebagai
pembentuk karakter pendidikan pada novel jarang disinggung dalam pengkajian

10
Melani Budianta, dkk. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi. (Magelang: Indonesia Tera, 2006). Cet.3, h.19.
11
Ibid., h.20.
12
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U. Teori, Metode, dan teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Poststrukturalisme. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Cet.1. h.331.
11

karya ilmiah. Hal demikian yang mendasari penulis untuk mencoba menelaah
lebih dalam mengenai kaitan antara kebudayaan daengan pendidikan karakter.
Jika mengenai nilai pendidikan karakter sudah ada, berikut sekilas penjabaran
maksud tersebut; Analisis berjudul “Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Sang
Pemimpi Karya Andrea Hirata sebagai Bahan Ajar Apresiasi Novel dan Model
Pembelajaran di SMP” yang disusun oleh Candra Nurjaman dari mahasiswa
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung tahun 2012 adalah satu-satunya yang penulis dapatkan
informasinya pengkajian novel yang menganalisis dengan pendidikan karakter.
Penelitian ini dilatarbelakangi karena belum adanya penelitian yang mengkaji
nilai pendidikan karakter dalam sebuah novel. Tujuan yang dicapai oleh peneliti
adalah untuk mendeskripsikan berkenaan dengan (1) unsur-unsur dan hubungan
antar unsure yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, (2)
nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata, (3) tingkat kesesuaian novel Sang Pemimpi sebagai bahan pembelajaran
apresiasi sastra di SMP, (4) model pembelajaran apresiasi novel dengan
menggunakan bahan ajar novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Jadi,
kesimpulan yang dapat digarisbawahi dari kajian pustaka ini adalah bahwa belum
ada penelitian mengenai nilai Budaya Cina dan Jawa sebagai butir Pendidikan
Karakter di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai Nilai
Budaya Cina dan Jawa sebagai Pembentuk Karakter Pendidikan Nasional adalah
penelitian pertama yang dilakukan. Belum ada penelitian serupa mengenai tema
ini.
Pada skripsi ini penulis akan membedakan kajian analisis atau kajian
pustaka yang telah dilakukan sebelumnya dengan judul di atas. Perbedaan
pertama, dalam penelitian ini akan banyak menganalisis mengenani kebudayaan
yang digambarkan dalam novel Putri Cina. Kebudayaan yang sangat kental
tersebut menjadi landasan peneliti untuk mengolah sebuah analisis mengenai
budaya Cina dan Jawa yang menjadi pengiring perjalanan cerita pada novel karya
Sindhunata tersebut. Kedua, penelitian ini akan mengkorelasikan antara
kebudayaan Cina dan Jawa dengan Pendidikan Karakter yang selama ini sedang
12

dijadikan program unggulan dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional.


Peneliti menganalisis adanya nilai-nilai kebudayaan Cina dan Jawa dalam novel
Putri Cinayang dapat dijadikan dasar sebagai pembentuk nilai-nilai karakter
pendidikan nasional.

H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis
membagi pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai
berikut:
BAB 1 Berisi Pendahuluan; membahas Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian, Kajian Pustaka, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Berisi Kajian Teoretis; Hakikat Nilai Budaya, Budaya Cina, Budaya Jawa,
Hakikat Novel,Hakikat Karakter, Hakikat Pendidkan, dan Hakikat
Pendidikan Karakter.
BAB III Berisi Deskripsi Umum Novel Putri Cina; Tentang Penulis Novel Putri
Cina, Sinopsis Novel Putri Cina.
BAB IV Berisi Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina,
Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa Novel Putri Cina, Nilai Budaya
Cina dan Jawa dalam novel Putri Cinasebagai Butir Pendidikan
Karakter.
BABV Berisi Penutup; Simpulan dan Saran.
BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Nilai Budaya


1. Definisi Nilai
Definisi nilai menurut Rahmat adalah kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia, sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Pada dasarnya nilai
merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu obyek, bukan obyek itu
sendiri. Sesuatu yang mengandung nilai berarti ada sifat atau kualitas yang
melekat pada sesuatu tersebut. Dengan demikian, nilai itu sebenarnya adalah suatu
kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai
karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai. Pandangan ini
juga berarti nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang telah
berhubungan dengan subyek (manusia pemberi nilai).13

Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan


tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan cara pelaksanaan
atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen pertimbangan yang
membawa ide-ide seseorang individu mengenai hal-hal benar, baik, dan
diinginkan. Para peneliti bidang perilaku organisasi sudah lama memasukkan
konsep nilai sebagai dasar pemahaman sikap dan motivasi individu. Individu yang
memasuki suatu organisasi dengan pendapat yang telah terbentuk sebelumnya
tentang apa yang “seharusnya” dan apa yang “tidak seharusnya” terjadi. Hal ini
selanjutnya menimbulkan implikasi pada perilaku atau hasil-hasil tertentu yang
lebih disukai dari yang lain. Dengan kata lain, nilai menutupi objektivitas dan
rasionalitas.

13
Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004),
cet.1, h.13.

13
14

Kata ‘nilai’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga mempunyai
arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Kata ‘nilai’
diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai nilai. Maka
sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna dalam
kehidupan manusia.
Memahami nilai akan lebih jelas apabila dilanjutkan dengan usaha
mempelajari watak nilai. Dengan memahami watak nilai atau etos nilai,
diharapkan seseorang dapat mengetahui sesuatu yang berharga dalam kehidupan
ini, dan mengetahui apa yang harus diperbuatnya untuk menjadi manusia dalam
arti yang sepenuhnya. Hal lain ialah bahwa nilai itu sendiri mempunyai dasar
pembenaran atau sumber pandangan dari berbagai hal seperti metafisika, teologi,
etika, logika, dan lain-lain.
Nilai budaya sebagai suatu kesatuan makna merupakan kerangka aturan
yang berlaku pada kondisi sosial tertentu. Nilai atau value didefinisikan sebagai
alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai
secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan cara pelaksanaan atau keadaan
akhir yang berlawanan Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-
ide seseorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik dan diinginkan. Nilai
memiliki sifat isi dan intensitas. Sifat isi menyampaikan bahwa cara pelaksanaan
atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting. Sifat intensitas menjelaskan
betapa pentingnya hal tersebut.

2. Definisi Budaya
Menelaah pengertian kebudayaan bukanlah hal yang mudah, mengingat
banyaknya batasan konsep dari berbagai bahasa, sejarah, dan sumber bacaannya
atau literaturnya. Demikian juga dalam pendekatan metodenya, telah banyak
disiplin ilmu lain seperti sosiologi, psikoanalisis, psikologi (perilaku) yang
mengkaji bermacam-macam masalah, yang tingkat kejelasannya bergantung pada
15

konsep dan penekanan masing-masing. Bahkan ada yang bertentangan dalam hal
pertanyaan tentang segi-segi epistemologis dan ontologis.14
Untuk merumuskan definisi Budaya, penulis mencoba membagi menjadi
dua ranah pengertian, yaitu pengertian etimologis dan pengertian semantis. Kedua
pengertian tersebut merupakan pengertian primer dalam memahami budaya.
2.1. Definisi Etimologis
Dari segi asala katanya, kata ini kerap disejajarkan dengan kata: cultuur
(Belanda), Kultur (Jerman), culture (Inggris), atau cultura (Latin). Kata budaya
sendiri sering diartikan dari suku katanya kemudian diberi arti masing-masing
suku kata tersebut.Ada yang memilahnya menjadi satuan kata antara budi dan
daya, atau buah dan budi, bahkan bu dan daya.setelah memilah suku kata
tersebut, kemudian suku kata itu diartikan terpisah dan disatukan menjadi satu
kesatuan arti dari kata budaya. Kata ini juga sering merujuk pada kata buddhaya
(Sansekerta) yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang artinya akal,
maksud, dan pandangan. Dalam bahasa sansekerta ada kata lain yang lebih
mendekati maksud dari kata budaya, yaitu abhyudaya yang artinya hasil baik,
kemajuan, atau kemakmuran yang serba lengkap.15
Pada kesempatan yang lain kata budaya berasal dari buddhayah (sansekerta)
yang merupakan bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.16
Kata budi dan akal sebagai rangkaian makna yang menjadi satu kesatuan kata
budaya merupakan hal yang tepat menjelaskan bahwa budaya itu merupakan
proses menyejarah dengan akal dan budi sebagai pilar utama untuk menciptakan
sebuah kebudayaan yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia
sesuai fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi.17

14
M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Budaya (Bandung:
Pustaka Satya, 2001), cet.1, h. 16.
15
Mudji Sutrisno, Filsafat kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat,
2008) cet.1, h.1.
16
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
cet.60, h.150.
17
QS Al-Baqarah (2:30), Al-Qur’an Al-Karim. Dijelaskan bahwa khalifah dalam bahasa
arab sebagai pemimpin yang dimandatkan oleh Allah untuk mengelola alam semesta. Pada tafsir
16

Melihat banyaknya pendefinisian kata budaya tersebut, para ahli pun masih
belum menarik kesimpulan makna dari kata budaya.Oleh karena itu, kata budaya
tetap dibiarkan mendefinisikan kata budaya sesuai dengan kondisi dan keadaan
tertentu dalam ruang masyarakat yang majemuk dan memiliki tata nilai sosial
yang dinamis.
2.2. Definisi Semantis
Kata budaya atau kebudayaan secara semantic, identik dengan suatu unsure
yang menjadi bekal bagi manusia untuk menggali nilai-nilai.Dalam sejarahnya,
kata budaya memang banyak digunakan oleh manusia sebagai seperangkat nilai
kebaikan yang dapat mengantarkan suatu tatanan nilai untuk mengatur kehidupan
manusia sesuai dengan kebutuhan dan keadaan sosial di mana manusia itu
hidup.Budaya yang lekat dengan kehidupan manusia tersebut sering didefinisikan
secara semantic oleh berbagai pihak yang serius mengkaji masalah-masalah dalam
kebudayaan.
2.3. Macam-macam Definisi Menurut Beberapa Disiplin Ilmu
A.L Kroeber dan C Kluckhohn memberikan makna pada 160 arti
kebudayaan ke dalam 6 kategori pokok.Masing-masing menurut pendekatan ilmu
tertentu.Ilmu sosiologi menekankan kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan
(adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain) yang dimiliki manuisa sebagai subyek
masyarakat.Ilmu sejarah menekankan perkembangan kebudayaan dan tradisi atau
warisan dari generasi ke generasi.Sementara filsafat menekankan aspek
normative, nilai-nilai, realisasi cita-cita, dan way of life.18
Manusia sebagai makhluk yang memiliki cirri khas sebagai makhluk
pencari makna dengan kelebihan akalnya merupakan definisi primer dalam
kaitannya dengan kebudayaan.Setiap manusia dalam Islam khususnya diberikan
tugas sebagai khalifah Fi Al-Ardi atau pemimpin di muka bumi.Firman Allah

lain, kata khalifah juga diartikan sebagai pengganti, yaitu manusia yang menggantikan makhluk-
makhluk sebelumnya. Dengan kelebihan manusia yaitu memiliki akal, Tuhan menegaskan kepada
seluruh makhluk ciptaannya untuk patuh dan menyembah manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya
yang paling sempurna. Pada kesempatan yang sama Iblis adalah makhluk yang membangkang
peritah Allah tersebut.
18
Mudji Sutrisno, Filsafat kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat,
2008) cet.1, h.4.
17

dalam Surat Al-Baqarah Ayat 30 ini menjelaskan bahwa Allah telah menugaskan
pada manusia untuk mengelola dunianya di bumi dan menjadi pemimpin atasnya.
Jika dicermati lebih mendalam, dalam upaya manusia dalam mengelola dan
memimpin bumi itu diperlukan sebuah tatanan nilai sosial yang dapat dijadikan
sebagai aturan dalam pengelolaan tersebut. Aturan itu dapat berupa tatanan nilai
yang membudaya pada suatu kelompok manusia tertentu dan dijadikan sebagai
rambu-rambu dalam menjalankan tugasnya sebagai Khalifah di muka bumi. Pada
zaman saat ini mudah sekali menemukan manusia yang kehilangan makna sejati
atau tujuan hidup. Dengan mudah orang melihat tidak adanya nilai-nilai penting
yang diperlukan bagi suatu keseimbangan manusiawi yang sejati.19 Padahal,
pemenuhan nilai-nilai manusiawi itu adalah hal terpenting untuk mewujudkan
keseimbangan manusia berlandaskan pada keutuhan manusia sebagai makhluk
berakal atau Insan Kamil.
2.4. Unsur- Unsur Kebudayaan
Beberapa orang sarjana telah mencoba merumuskan unsure-unsur
kebudayaan, misalnya Melville J Herskovits mengajukan empat unsur pokok
kebudayaan, yaitu:20
1. Alat-alat Teknologi
2. Sistem Ekonomi
3. Keluarga
4. Kekuasaan Politik
Bronislaw Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori
fungsional dalam antropologi menyebut unsur-unsur kebudayaan antara lain:
1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya,
2. Organisasi ekonomi,
3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, perlu diingat bahwa
keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama,

19
Louis Leahy, Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan
Data Empiris Baru (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991) cet.1, h.30.
20
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)
cet.1, h.153-154.
18

4. Organisasi kekuatan.
Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam
menentukan pola kehidupan manusia yang berbudaya. Dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur tersebut dapat diklasifikasikan kembali ke dalam tujuh unsur
kebudayaan yang dianggap sebagau unsur yang universal, yaitu:
1. Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia
2. Mata Pencarian Hidup dan Sistem-sistem Ekonomi
3. Sistem Kemasyarakatan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem pengetahuan
7. Religi

3. Hakikat Nilai Budaya


Pemahaman akan suatu nilai tidak lepas dari suatu tatanan sifat yang ada
pada fitrah manusia. Nilai yang menjadi konsekuensi hidup manusia dalam
mengelola kehidupan di dunia merupaka perangkat penting bagi tercapainya
tujuan hidup. Penanaman dan pemahaman nilai yang benar akan melahirkan suatu
kebudayaan yang baik dan benar pula untuk menjapai tujuan itu. Maka setiap
tujuan hidup manusia harus membawa perangkat nilai budaya yang luhur untuk
dilestarikan dan dijaga. Jika proyeksi atau rancangan budaya manusia ke depan
ditopangkan pada tatanan nilai luhur pada dirinya sendiri, kemungkina jejak
perjalanan manusia juga kea rah nilai yang luhur pula. Di sini yang menentukan
adalah kompas dasar langkah pengembangan si amnesia dengan kebudayaan itu.
Agar rancang budaya di atas terlaksana dan berlaku, dibutuhkan dua syarat
yaitu, pertama, rancang atau tatanan budaya ini mesti pas dengan manusia.Kedua,
rancang budaya ini mesti berdimensi utuh manusiawi, artinya yang mampu
mengembangkan manusia dalam nilainya yang paling luhur, yang lebih
mengedepankan kualitas dari pada kuantitas, isi dari pada bungkus. Dengan kata
19

lain lebih menaruh cinta di depan dari pada kebencian atau ketakutan.21 Maka
dapat disimpulkan bahwa nilai budaya yang sejati haruslah mengabdi pada
manusia, mengembangkan manusia menjadi semakin manusiawi,
mengembangkan pribadi yang memiliki pancaran karakter akhlak yang luhur serta
sikap hidup yang cakap dan bisa diterima dengan baik dimanapun ia berada.

B. Budaya Cina

Cina adalah nama dari daerah budaya, dan pemukiman turun temurun dari
budaya kuno sejak dahulu kala hingga kini, dan merupakan negara di Asia Timur.
Peradaban Cina adalah merupakan salah satu peradaban tertua di dunia, yang
terdiri dari sejarah dan budaya beberapa negara yang ada sejak 6 milenia yang
lalu.Pada perang saudara terakhir di Cina, perang ini berakhir dengan jalan buntu
dan mengakibatkan adanya dua negara yang memiliki dua nama Cina
yaitu Republik Rakyat Cina. Cina merupakan peradaban tertua di dunia yang
masih ada hingga kini. Cina memiliki sistem penulisan yang konsisten sejak
dahulu dan masih digunakan hingga kini. Banyak penemuan-penemuan penting
bersumber dari peradaban Cina kuno, seperti kertas, kompas, serbuk mesiu, dan
materi-materi cetak.Dokumen tertua yang mencatat istilah "cina"
di Nusantara adalah inskripsi (tulisan) pada lempeng tembaga Bungur A berangka
tahun 860 M. Prasasti ini menyebut tentang juru cina sebagai orang yang bertugas
mengurus pedagang/pemukim dari Cina. Dapat diduga, istilah ini dipinjam dari
kata bahasa Sanskerta.

Sebagian besar budaya Cina berdasarkan tanggapan bahwa adanya sebuah


dunia roh. Berbagai metode penelahan telah membantu menjawab pertanyaan, dan
dijadikan pun alternatif kepada obat. Budaya rakyat telah membantu mengisi
kekosongan untuk segala hal yang tiada penjelasannya. Kaitan antara mitos,
agama dan fenomena yang aneh memang rapat sekali. Dewa-dewi menjadi
sebahagian tradisi, antara yang terpenting termasuk Guan Yin , Maharaja Jed dan
Budai. Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional
21
Mudji Sutrisno, Filsafat kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks (Jakarta: Hujan Kabisat,
2008) cet.1, h.16.
20

Cina . Kebanyakan kisah-kisah ini telah berevolusi menjadi perayaan tradisional


Tionghoa . Konsep-konsep lain pula diperluas ke luar mitos menjadi lambang
kerohanian seperti dewa pintu dan singa penjaga. Konsep-konsep lain pula
diperluas ke luar mitos menjadi lambang kerohanian seperti dewa pintu dan singa
penjaga. Di samping yang suci, turut dipercayai yang jahat. Di samping yang suci,
turut dipercaya yang jahat. Amalan-amalan seperti menghalau mogwai dan jiang
shi dengan pedang kayu pic dalam Taoisme adalah antara konsep yang diamalkan
secara turun-temurun. Praktek seperti menghalau mogwai dan Jiang shi dengan
pedang kayu pic dalam Taoisme adalah konsep yang dilaksanakan secara turun-
temurun. Upacara penilikan nasibCina masih diamalkan pada hari ini selepas
bertahun-tahun mengalami perubahan. Upacara penilikan nasibCina masih
dilaksanakan pada hari ini setelah bertahun-tahun mengalami perubahan.

Budaya China sangat dipengaruhi oleh tiga kekuatan besar. Tiga kekuatan
yang membentuk budaya China adalah Confucianisme, Taoisme dan Buddhisme.
Tiga kekuatan ini menghasilkan budaya humanisme yang membuat gaya hidup
China jadi sangat praktis dan juga tenang dalam menghadapi situasi sulit.
Contohnya dalam 4000 tahun dalam sejarah China, ribua peperangan telah
berkecamuk tetapi tak satupun yang disebabkan perselisihan agama. Tiga ajaran
ini saling memuji alih-alih bertentangan satu sama lain. Karakteristik utama ajaran
Confusianisme terdiri dari dua komponen yaitu prinsip humanisme, prinsip logis
dan tak berlebihan. Humanisme mencakup sikap sopan , murah hati, tulus, rajin
dan baik hati. Taoisme yang dilahirkan oleh Lao Tzu lebih bersifat metafisik dan
abstrak dibanding dengan Confusianisme. Dalam hal pengajaran Taoisme
melibatkan bagaimana seuatu hal terjadi dan bagaimana sesuatu hal itu bekerja.
Buddhisme berasal dari India yang berkembang sejak 250 SM. Buddhisme
bertujuan untuk membimbing ras manusia menuju kedamaian dengan mengurangi
atau menghentikan penderitaan dan pengembangan moral yang baik. Buddha
mengajarkan “Doktrin Karma “ dan “Jalan menuju Nirwana”. Doktrin Karma
yang merujuk ke kelahiran kembali, berasal dari pengetahuan tentang pengalaman
hidup seseorang sebelumnya. Jalan menuju Nirwana merujuk kepada berakhirnya
penderitaan universal dan pencapaian kebahagiaan abadi melalui pemahaman
21

spiritual. Perbedaan nyata di antara ketiga kekuatan pembentuk adalaha


Confusianisme menganut paham humanism ( kemanusiaan), Taoisme menganut
paham naturalism (kekuataan alam) dab Buddhismen menganut paham
spiritualisme(kerohanian). Ketiga ajaran ini tidak bersifat religious secara kaku
dalam semua upaya membentuk hidup dengan menggunakan metafisik dan
epistemologi yang berbeda. Karena budaya dapat berubah sesuai dengan
lingkungan baru, selama abad ke 11 ajaran Taoisme dan Buddhisme berasimilasi
ke Confusianisme menjadi satu kesatuan yang mencakup ketiganya. Neo
Confucian dan Post Confucianisme. Ajaran ini merupakan sistem yang dominan
yang tetap menjadi pengaruh besar dalam pemikiran bangsa Cina.

Referensi "Tiga kekuatan yang membentuk budaya Cina adalah


Confucianisme, Taoisme dan Buddhisme. Tiga kekuatan ini menghasilkan budaya
humanisme yang membuat gaya hidup Cina jadi sangat praktis dan juga tenang
dalam menghadapi situasi sulit. Contohnya dalam 4000 tahun dalam sejarah Cina,
ribua peperangan telah berkecamuk tetapi tak satupun yang disebabkan
perselisihan agama. Tiga ajaran ini saling memuji alih-alih bertentangan satu
sama lain. Karakteristik utama ajaran Confusianisme terdiri dari dua komponen
yaitu prinsip humanism e, prinsip logis dan tak berlebihan. Humanisme mencakup
sikap sopan , murah hati, tulus, rajin dan baik hati. Taoismen yang dilahirkan oleh
Lao Tzu lebih bersifat metafisik dan abstrak dibanding dengan Confusianisme.
Dalam hal pengajaran Taoisme melibatkan bagaimana seuatu hal terjadi dan
bagaimana sesuatu hal itu bekerja. Buddhismen berasal dari India yang
berkembang sejak 250 SM. Buddhisme bertujuan untuk membimbing ras manusia
menuju kedamaian dengan mengurangi atau menghentikan penderitaan dan
pengembangan moral yang baik. Buddha mengajarkan “Doktrin Karma “ dan
“Jalan menuju Nirwana”. Doktrin Karma yang merujuk ke kelahiran kembali
berasal dari pengetahuan tentang pengalaman hidup seseorang sebelumnya. Jalan
menuju Nirwana merujuk kepada berakhirnya penderitaan universal dan
pencapaian kebahagiaan abadi melalui pemahaman spiritual.
22

Beberapa kisah mengenai orang Cina di tanah air dikisahkan pula oleh
Pramudya Ananta Toer dalam Hoa Kiau di Indonesia (1960). Kehadiran orang
Cina di Indonesia menuai beragam sikap, ada yang menerima dan ada juga yang
menolak. Namun, kehadiran orang-orang Cina di tanah air sejak berabad-abad
yang lampau dan kemudian memberikan dampak positif terhadap perkembangan
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di tanah air.22

C. Budaya Jawa

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini
merupakan pulau berpenduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu
wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk
Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak
sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari
beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini
berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi
Indonesia.

Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik,
merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia.
Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur
hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas
penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60
juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa.
Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai
bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim,
namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya
di pulau ini.

22
Zulfa Hanum, Kritik Sastra: Sebuah Penilaian terhadap Karya Sastra (Tangerang: PT
Pustaka Mandiri, 2012) cet.1, h. 68.
23

Asal mula nama 'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama
pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada
masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki
banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti
"jauh".Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang
membuat pulau ini terkenal. Yawadvipa disebut dalam epik IndiaRamayana.

Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama,


mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi
Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut
dengan nama Sanskerta yāvaka dvīpa (dvīpa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa
kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti
'rumah'.

Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda


Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung
tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki
"Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo,
dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.

Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa


struktur megalitik telah ditemukan di pulau Jawa, misalnya menhir, dolmen, meja
batu, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Punden
berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan
Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa
Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak
ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar
bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk
lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Pada abad ke-4
SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M Kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar
tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat.

Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan
berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya
24

tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa
tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik
dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya yang membentang di sepanjang pulau
Jawa menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara
relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-
negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada
merupakan sarana perhubungan utama masyarakat, meskipun kebanyakan sungai
di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat
menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai
tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.

Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh
masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Budaya Jawa
secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa
Tengah-DIY dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa mengutamakan
keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya
Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain
terdapat di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur terdapat juga di daerah perantauan
orang Jawa yaitu di Jakarta, Sumatera dan Suriname. Bahkan budaya Jawa
termasuk salah satu budaya di Indonesia yang paling banyak diminati di luar
negeri. Beberapa budaya Jawa yang diminati di luar negeri adalahWayang
Kulit, Keris, Batik dan Gamelan. Di Malaysia dan Filipina dikenal istilah keris
karena pengaruh Majapahit LSM Kampung Halaman dari Yogyakarta yang
menggunakan wayang remaja adalah LSM Asia pertama yang menerima
penghargaan seni dari AS tahun 2011. Gamelan Jawa menjadi pelajaran wajib di
AS, Singapura dan Selandia Baru. Gamelan Jawa rutin digelar di AS-Eropa atas
permintaan warga AS-Eropa. Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya
karya sastra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Memori Dunia.

Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of


Singapore John N. Miksic, jangkauan kekuasaan Majapahit
meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan
25

pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni. Budaya Jawa
termasuk unik karena membagi tingkat bahasa Jawa menjadi beberapa tingkat
yaitu Ngoko, Madya Krama. Ada yang berpendapat budaya Jawa identik feodal
dan sinkretik. Pendapat itu kurang tepat karena budaya feodal ada di semua negara
termasuk Eropa. Budaya Jawa menghargai semua agama dan pluralitas sehingga
dinilai sinkretik oleh budaya tertentu yang hanya mengakui satu agama tertentu
dan sektarian.

Jawa adalah kancah pertemuan dari berbagai agama dan budaya.


Pengaruh budaya India adalah yang datang pertama kali dengan agama Hindu-
Siwa dan Buddha, yang menembus secara mendalam dan menyatu dengan tradisi
adat dan budaya masyarakat Jawa. Para brahmana kerajaan dan pujangga istana
mengesahkan kekuasaan raja-raja Jawa, serta mengaitkan kosmologi
Hindu dengan susunan politik mereka. Meskipun kemudian agama Islam menjadi
agama mayoritas, kantong-kantong kecil pemeluk Hindu tersebar di seluruh
pulau. Terdapat populasi Hindu yang signifikan di sepanjang pantai timur dekat
pulau Bali, terutama di sekitar kota Banyuwangi. Sedangkan komunitas Buddha
umumnya saat ini terdapat di kota-kota Besar terutama dari kalangan Tionghoa
Indonesia.

Sekumpulan batu nisan Muslim yang berukiran halus dengan tulisan dalam
bahasa Jawa Kuna dan bukan bahasa Arab ditemukan dengan penanggalan tahun
sejak 1369 di Jawa Timur. Damais menyimpulkan itu adalah makam orang-orang
Jawa yang sangat terhormat, bahkan mungkin para bangsawan. M.C.
Ricklefs berpendapat bahwa para penyebar agama Islam yang berpaham sufi-
mistis, yang mungkin dianggap berkekuatan gaib, adalah agen-agen yang
menyebabkan perpindahan agama para elit istana Jawa, yang telah lama akrab
dengan aspek mistis agama Hindu dan Buddha. Sebuah batu nisan seorang
Muslim bernama Maulana Malik Ibrahim yang bertahun 1419 (822 Hijriah)
ditemukan di Gresik, sebuah pelabuhan di pesisir Jawa Timur. Tradisi Jawa
menyebutnya sebagai orang asing non-Jawa, dan dianggap salah satu dari
26

sembilan penyebar agama Islam pertama di Jawa (Walisongo), meskipun tidak


ada bukti tertulis yang mendukung tradisi lisan ini.

Saat ini lebih dari 90 persen orang Jawa menganut agama Islam, dengan
sebaran nuansa keyakinan antara abangan (lebih sinkretis) dan santri (lebih
ortodoks). Dalam sebuah pondok pesantren di Jawa, para kyai sebagai pemimpin
agama melanjutkan peranan para resi di masa Hindu. Para santri dan masyarakat
di sekitar pondok umumnya turut membantu menyediakan kebutuhan-
kebutuhannya. Tradisi pra-Islam di Jawa juga telah membuat pemahaman Islam
sebagian orang cenderung ke arah mistis. Terdapat masyarakat Jawa yang
berkelompok dengan tidak terlalu terstruktur di bawah kepemimpinan tokoh
keagamaan, yang menggabungkan pengetahuan dan praktik-praktik pra-Islam
dengan ajaran Islam.

Sejarah kerajaan Jawa juga banyak menghiasi perjalanan peradaban di Jawa.


Banyaknya konflik dan pertikaian di Jawa membuat paradigma tersendiri yang
unik mengenai Jawa. Konflik tersebut lebih cenderung pada konflik internal.
Konflik internal tersebut yang menimbulkan krisis di Jawa khususnya Yogyakarta
pada waktu itu. Akibatnya kemerdekaan kerajaan di Jawa perlahan mulai hancur.
Hal ini ditandai oleh datangnya orang-orang Eropa ke Jawa untuk tujuan
menjajah. Simbol kesejahteraan Jawa baru muncul saat Hamengkubuwono II
memimpin Yogyakarya. Penduduk Jawa mulai menikmati kesejahteraan dalam
pelbagai segi, dan Yogyakarta khususya merupakan sebuah kerajaan yang sangat
kuat.23

D. Hakikat Novel
Novel sebagai salah satu jenis prosa dari karya sastra semakin popular di
kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bacaan cerita yang memiliki alur, novel
dapat memberikan efek ekspresi dan apresiasi bagi pembacanya, bahkan tidak
sedikit pembaca yang terkagum dan mengikuti karakter sang tokoh dalam novel.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘novel’ berarti karangan prosa yang

23
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2008) cet.1, h.239.
27

panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-


orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku.
Menurut Nurgiyantoro, Dunia kesusastraan mengenal prosa (Inggris: prose)
sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Prosa dalam
pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text)
atau wacana naratif (narrative discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti
cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan.24
Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Novel
sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model
kehidupan yang diidealkan, dinia imajinatif, yang dibangun melalui sebagai unsur
instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain,
yang kesemuannya tentu bersifat naratif.
Novel berasal dari bahasa Italia,novella, yang dalam bahasa jerman Novelle,
dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel.
Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan
istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa
fiksi yang panjangnya cakupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu
pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek
kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.25
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Novel adalah karangan
prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan
orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
E. Hakikat Pendidikan
Pengertian pendidikan yang dikemukakan para pakar tentu berbeda satu
dengan yang lainnya.Pengertian tersebut didasarkan pada pemahaman, budaya,
bangsa, dan lain sebagainya.Maka dalam menentukan pengertian pendidikan perlu
kita mengambil beberapa pengertian dari pakar tersebut untuk kemudian
dipadukan dan ditarik kesimpulan yang sesuai dengan pengertian atau definisi

24
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: UGM Press, 2000) cet.1, h. 1
25
Ibid., cet.1, h. 9.
28

yang diberikan oleh para pakar tersebut. Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar
Dewantara memberikan definisi pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan umumnja berarti daja-upaja untuk memadjukan bertumbuhnja
budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak;
dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-baian
itu, agar supaja kita dapat memadjukan kesempurnaan hidup, jakni
kehidupan dan penghidupan anak-anak jang kita didik selaras dengan
dunianja.26

Sehubungan dengan pembahasan ini Alvin Toffler seperti yang dikutip oleh
Louis Leahy (1991) mengungkapkan bahwa:
Gelombang guncangan revolusi industri telah membongkar bangunan
nilai-nilai lama.Kondisi-kondisi baru menuntut suatu tata nilai baru, tetapi
para pendidik malah menghindarinya. Sebagai reaksi terhadap cara
pendidikan yang bersifat klerikal, pengajaran fakta-fakta untuk
“membiarkan murid bebas berfikir sesuai dengan kehendaknya sendiri”
telah menjadi nilai tertinggi bagi paham progresif. Pendidikan masih tetap
mempunyai makna pembentuk kepribadian , namun para pendidik telah
membuang gagasan penanaman nilai-nilai.

Pada kesempatan lain, kita dapat menuturkan beberapa pengertian


pendidikan dari para pegiat di bidang pendidikan.27 Secara definitif, pendidikan
diartikan sebagai berikut:
a. John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental
secara intelektual dan emosional kea rah alam dan sesame manusia.
b. Langeveld
Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya
supaya menjadi dewasa.Usaha membimbing adalah adalah usaha yang
didasari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan
anak yang belum dewasa.
c. Hoogeveld

26
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama;
Pendidikan (Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa, 1962), h.14-15.
27
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan( Jakarta: Rineka Cipta, 2003), cet.2,
h.69.
29

Mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap


menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri.
d. Rousseau
Pendidikan adalam memberi kita pembekalan yang tidak ada pada masa
anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.

Secara garis besar pendidikan Indonesia mengarah pada definisi yang


tertuang pada Undang-Undang No.20 tahun 2003, bahwa pendidikan adalah
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagmaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan Negara.

F. Pengertian Karakter
Pengertian karakter secara etimologis berasal dari kata Latin, yaitu
“kharakter,”“kharassein,” dan “kharax,” yang bermakna “tools for marking,”
“to angrave,” dan “pointed stake.” Kata ini mulai banyak digunakan dalam
bahasa Perancis sebagai “caractere” pada abad ke-14. Ketika masuk ke dalam
bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi “character.” Selanjutnya
dalam bahasa Indonesia kata “character” ini menjadi “karakter.”
Pada pemahaman yang lebih luas, karakter itu didefinisikan sebagai
kualitas-kualitas yang teguh dan khusus, yang dibangun dalam kehidupan
seseorang, yang menentukan responnya tanpa pengaruh kondisi-kondisi yang ada.
Secara ringkas, karakter merupakan istilah yang menunjuk kepada aplikasi nilai-
nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
Jadi, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain. Karakter juga bisa dipahami sebagai tabiat
atau watak. Dengan demikian, orang berkarakter adalah orang yang memiliki
kepribadian atau berwatak.
30

Menurut para ahli, karakter yaitu sebagai berikut:28


1. Karakter Menurut Lickona
Karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara
bermoral. Sifat alami ini dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui
tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan
menghargai orang lain, dan karakter-karakter mulia lainnya.
2. Karakter Menurut Suyanto
Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik
dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, atau keperibadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
4. Karakter menurut Ki Hadjar Dewantara
Pada dasarnya belum ada kata karakter pada masa Ki Hadjar Dewantara.
Namun, bisa dikorelasikan sebagai pendidikan budi pekerti. Menurutnya
budi pekerti adalah bersatunya antara gerak dan pikiran, perasaan dan
keghendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Secara
ringkas, budi pekerti adalah sebagai sifatnya jiwa manusia, mulai dari
angan-angan hingga terjelma menjadi tenaga. Dengan adanya budi
pekerti manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus
berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri.

Setiap orang menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki ciri khas yang


berbeda-beda, sebagaimana mereka memiliki roman muka yang berbeda-beda
pula. Manusia satu dengan yang lain tidak ada kesamaan sebagaimana perbedaan

28
Agus Wibowo dan Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), cet. 1, hal. 42.
31

guratan tangan atau sidik jari mereka. Karena sifatnya yang konsisten, maka budi
pekerti itu menjadi penanda seseorang. Misalnya apakah orang tersebut berbudi
pekerti baik atau buruk. Maka pendidikan yang baik itu mestinya mampu
mengalahjkan dasar-dasar jiwa manusia yang jahat, menutupi, bahkan mengurangi
tabiat-tabiat yang jahat tersebut.

G. Hakikat Pendidikan Karakter


1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan
(action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter
tidak akan efektif.29 Dalam pendidikan karakter tidak cukup dengan pengetahuan
lantas melakukan tindakan dengan pengetahuannya saja. Hal ini karena
pendidikan karakter terkait erat dengan nilai dan norma.
Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
yang baik kepada semua yang terlibat dan sebagai warga pendidikan sehingga
mempunyai pengetahuan, kesadaran, dan tindakan dalam melaksanakan nilai-nilai
tersebut. Semua warga pendidikan yang terlibat dalam pengembangan karakter
yang baik ini sesungguhnya dalam rangka pembangun karakter peserta didik. Hal
ini penting untuk menemukan contoh dan lingkungan yang kondusif dengan
karakter baik yang sedang dibangun dalam kepribadiannya. Di bawah ini adalah
skema pendidikan karakter yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

29
Muhammad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), cet.1, h.28.
32

Bagan2.1: Skema Pendidikan Karakter

Pendidikan di negeri ini butuh mentransforamsikan kehidupan ke arah yang


lebih dinamis dengan berbagai perangkat kehidupan yang bisa menunjang
perkembangan zaman. Pendidikan karakter dihadirkan sebagai salah satu
pandangan yang menawarkan semangat meraih masa depan pendidikan yang
gemilang. Menurut Suyanto, setidaknya ada sembilan pilar karakter yang berasal
dari nilai-nilai luhur universal sebagai berikut:30
a. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya.
b. Kemandirian dan tanggung jawab.
c. Kejujuran/amanah.
d. Hormat dan santun.
e. Dermawan, suka menolong, dan kerja sama.
f. Percaya diri dan pekerja keras.
g. Kepemimpinan dan keadilan.
h. Baik dan rendah hati.
i. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter di atas hendaknya diajarkan secara sistematis
dalam model pendidikan yang hiolistik. Apabila kesembilan pilar tersebut benar-
benar dipahami, dirasakan kebaikan dan perlunya dalam kehidupan dan

30
Ibid, h.29.
33

diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, inilah sesungguhnya pendidikan karakter


yang diharapkan.

2. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter


Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter menurut Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Tabel2.1: Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Pada filsafat pendidikan Paulo Freire, pendidikan karakter juga dapat


ditafsirkan sebagai pendidikan penyadaran terhadap tugas dan tanggung jawab
sebagai manusia. Freire menyebutnya dengan istilah Conscientizacao. Pada
konsepsinya tentang pendidikan yang mashyur ini Freire menggolongkan
kesadaran manusia menjadi tiga bagian, antara lain:31
1. Kesadaran Magis (magical consciousness), yaitu suatu kesadaran
masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan
faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat
kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia—natural maupun
supra natural—sebagai penyebab.

31
William A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008) cet.2, h.117.
34

2. Kesadaran naif (naival consciousness) , keadaan yang dikategorikan dalam


kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab
masalah masyarakat.
3. Kesadaran Kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat
aspek sistenm dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural
menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis. Untuk secara
kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
akibatnya pada keadaan masyarakat.

Salah satu tujuan pendidikan karakter ialah keadilan. Keadilan berasal dari
fakta bahwa fase-fase perkembangan merupakan sebuah ukuran universal untuk
menilai eksistensi manusia. Karena keadilan berasal dari proses dialogis yang
melahirkan pertumbuhan. 18 butir nilai pendidikan karakter dapat menjadi prinsip
dalam pertumbuhan kesadaran manusia dalam menjalani kehidupan sebagai warga
negara Indonesia.
35

BAB III

DESKRIPSI UMUM TENTANG NOVEL PUTRI CINA

A. Tinjauan Umum terhadap Novel Putri Cina

Pada bagian pengantar dari novel ini disebutkan bahwa novel ini
didedikasikan untuk mengenang ibunya yang juga seorang keturunan Cina.
Pengarang menjelaskan bahwa novel ini merupakan sebuah katalog berjudul
Babad Putri Cina yang ditulis untuk mengiringi Pameran Lukisan Putri Cina
karya Hari Budiono pada Mei 2006.kemudian pengarang mengembangkan
kembali ide dan cerita tersebut hingga akhirnya menjadi sebuah novel dengan
judul Putri Cina. Kemudian pada bagian lainnya pengarang mengisahkan kembali
cerita mengenai Jaka Prabangkara yang ia sadur dari buku Menyurat yang Silam
Menggurat yang Menjelang karya Nancy K. Florida pada tahun 2003. Sebagian
dari cerita Putri Cina ini pernah dipentaskan dalam ketoprak dengan lakon “Putri
Cina” oleh grup ketoprak Tjap Tjonthong Djogjakarta.

Pada dasarnya novel ini memuat berbagai problematika sosial yang cukup
kompleks dalam kaitannya dengan sejarah kebudayaan nusantara. Kisah yang
ditampilkan selalu merujuk pada penggalan sejarah para kerajaan yang pernah
berjaya di bumi nusantara. Pengarang mengisahkan cerita sejarah kebudayaan
tersebut secara terperinci dan meyakinkan para pembacanya untuk ‘menyelam’
bersama alur cerita yang disajikan.

Novel dengan tebal 303 halaman ini merupakan cerita tragika anak manusia
keturunan Cina. Sindunata berhasil menerjuni tragika itu dalam pelbagai lika-
likunya. Ia mendalami tragika itu lewat pengetahuannya yang luas dan kaya
tentang filsafat dan mitos, baik Jawa maupun Cina. Tragika itu juga ditelusurinya
lewat babad dan sejarah. Kemudian dijalinnya semua itu dalam sebuah sastra
tentang Putri Cina. Putri Cina adalah sebuah sastra tragedi yang indah dan kaya
akan permenungan hidup. Pengarang menuturkan dengan gaya yang khas, novel
36

ini akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, dimana mitos dan
kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini
sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya.
Dengan amat menyentuh novel ini berhasil melukiskan bagaimana di panggung
sejarah yang tragis itucinta sepasang kekasing yang tak ingin terpisahkan oleh
daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati.

Putri Cina karya Sindhunata ini merupakan novel sejarah epik nusantara
yang dirangkai dalam sajian budaya yang memukau.Pada beberapa segmentasinya
tergambar jelas mengenai nilai-nilai moral yang terkandung dalam kisah
kebudayaan tersebut.Maka pantas jika novel ini dapat menyuguhkan para
pembacanya pada pesona budaya yang kental khususnya budaya Jawa.Deskripsi
budaya yang ditampilkan meliputi kebudayaan kerajaan Majapahit yang wilayah
kekuasaannya terbentang luas di tanah nusantara.Novel Putri Cina telah berhasil
‘menyihir’ pembacanya untuk larut dalam segmen kisahnya yang dibawakan
secara memukau oleh pengarang.Novel yang diterbitkan November 2007 ini
memulai kisahnya dengan pengembaraan hidup seorang wanita cantik keturunan
Tionghoa yang hidup di tanah jawa. Dalam perjalanan awalnya itu sang wanita
malah kebingungan akan jati dirinya yang semakin menimbulkan tanda tanya.

Manusia ini tak punya akar.


Dia diterbangkan kemana-mana
Seperti debu yang berhamburan di jalanan.
Ke segala arah, bertumbukan dengan angin
Ia jatuh terguling-guling.
Memang hidup kita ini sangatlah pendek
Kita datang ke duian ini sebagai saudara;
Tapi mengapa kita meski diikat pada daging dan darah? (Sindhunata, 2007:
9)

Berikut adalah petikan sajak T’ao Ch’ien yang menjadi gambaran awal
cerita sang wanita ini menjadi garis besar kisah dalam novel Putri Cina yang
dikarang oleh Sindhunata. Petikan sajak tersebut memberikan wajah yang muram
tentang arti sebuah kehidupan. Sajak tersebut dalam novel ini menjadi ujung
37

tombak perjalanan cerita Putri Cina hingga akhir. Dari sepenggal sajak ini pula
pengarang mencoba masuk ke jantung budaya yang kuat mengakar di tanah Jawa.
Kisah-kisah yang ditampilkan dalam novel Putri Cina kemudian menjadi pesan
moral dan sosial bagi siapa saja yang membacanya bahwa kerukunan hidup itu
tidak bisa diikatkan pada suatu bangsa tertentu, atau yang lebih menyayat hati
terbatas hanya pada keturunan suatu etnis tertentu. Gambaran utuh dari pesan ini
secara umum ialah kesederhaan hidup haruslah menjadi yang utama untuk bisa
hidup saling berdampingan. Pada titik nilai karakter yang terkandung pada pesan
tersebut adalah saling menghargai atau toleransi perlu dijunjung tinggi sebagai
bangsa yang bermartabat. Hal tersebut perlu diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari dan ditanamkan sejak dini sebagai suatu pendidikan karakter bagi
manusia. Jika kebersamaan yang “tidak terbatas” antar sesama manusia sudah
hadir, maka pola sosial yang dibangun selanjutnya lebih bersifat gotong royong
bersama membangun peradaban yang maju tanpa diskriminasi. Gotong royong
dalam beberapa pengertian dapat juga diartikan sebagai suatu aspek terpenting
dalam hubungan antarmanusia.32

Putri cina sebagai tokoh utama ditampilkan penuh kebimbangan dalam


memecahkan masalah hidup yang dialaminya. Masalah tersebut yang kemudian
mengajak pembaca untuk mengenal problematika filosofis yang kuat mengenai
suatu nilai dalam ruang kebudayaan. Kisahnya menghadapkan pembaca pada
sebuah titik benturan kebudayaan yang berdampak luas pada ruang lingkup sosial.
Putri Cina mulai mempertanyakan mengapa hidupnya terasa tak berarti ketika
dihadapkan pada persoalan asal dan keturunan.
Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada
suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya ia berasal dari Cina. Tapi ia
tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya
itu dan ke sana sekalipun ia tidak pernah. (Sindhunata, 2007: 9)

Penggalan di atas merupakan pencitraan pengarang terhadap tokoh utama


yang secara sederhana dapat disimpulkan sebagai suatau keluh-kesah seseorang
32
Peter Kropotkin, Gotong Royong Kunci Kesejahteraan Sosial; Tumbangnya
Darwinisme Sosial (Depok: Piramedia, 2006) cet.1, h.161.
38

dalam menjalani hidup. Keluhan tersebut berpadu dengan keadaan identitas


dirinya yang menyimpan tanda tanya mengenai dinamika perenungan seseorang
yang merasa dirinya terbatas hanya karena asal-usulnya. Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang saat ini menjadi momok bagi putri cina untuk bertahan hidup sebagai
seorang yang mempunyai jiwa dan raga. Kegelisahan putri cina sebagai manusia
adalah harga dirinya yang pengarang tampilkan dengan gaya bahasa yang halus
yaitu ‘wajah’. Putri cina seakan tidak berwajah atas kecantikan dirinya, merasa tak
punya apa-apa atas kekayaannya

Tapi mengapa, makin ia bertambah kaya, makin terasa ia tak berwajah.


Kekayaan dan hartanya tak lagi menjadi tumpuan yang menyangga
wajahnya. Nyatanya wajahnya telah hilang, entah kemana (Sindhunata,
2007 :11)
Skema bercerita dengan gaya filosofis cukup kental pada saduran-saduran
yang dituliskan pengarang disajikan dalam beberapa segmen cerita untuk
menggambarkan hati yang gundah-gulana sang putri cina. Pengarang mencoba
menggambarkan bahwa dari syair-syair yang ditampilakn, pembaca akan
berempati dengan kegelisahan tokoh utama yaitu Putri Cina. Pesan yang ingin
disampaikan pengarang bahwa harta dan kehormatan akan sia-sia bila manusia ini
tak lagi berwajah

Wajah dari mawar


Hitam melayu tanpa sinar
Wahai wajah yang suram,
Wajah Putri Cina mawar Hitam
Telanjang ditelan malam

Pada beberapa segmen pengarang menyajikan filosofi kehidupan dari negeri


Cina yaitu hikmah dan syair dari para leluhurnya. Syair-syair yang disajikan
merupakan penguatan akan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dari alur cerita.
Hal ini dikemukakan melalui salah satu syair dari penyair Tionghoa, Han San
sebagai berikut:

Ketika aku masih tinggal di desa


Orang-orang menyanjungku tiada taranya
39

Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota


Anjing pun melihatku dengan memicingkan mata
Seorang bergumam celanaku terlalu sempit
Orang lain bilang bajuku terlalu panjang
Cungkillah dariku mata kesombongan burung elang
Aku akan terbang seperti burung gereja
Mulia dan berharga (Sindhunata, 2007: 12-13)

Syair di atas merupakan antiklimaks dari segala kegelisahan putri cina yang
merasa kehilangan wajahnya. Pengarang dengan jeli mengutarakan permasalahan
harga diri sebagai seseorang itu dengan menggambarkan suatu kesombongan yang
ada pada diri manusia. Oleh karena itu, untuk menangkal segala kesombongan
manusia perlulah hidup dengan sederhana. Mestilah orang meninggalkan
kesombongan akan harta dan bendanya, supaya ia menjadi sederhana seperti
burung gereja, hingga ia kembali menemukan harga dirinya. Kesederhanaan
tersebut adalah jalan menuju penemuan jati diri manusia. Sindhunata seakan
berpesan bahwa setiap warga negara yang ditakdirkan sebagai keturunan etnis
Tionghoa yang hidup di mana pun, di tanah air mana pun yang masih merasa ada
batas dan jarak bagi dirinya untuk menyatu dengan tanah air tersebut jadikanlah
kesederhanaan sebagai tanah airnya yang sejati.

Sesungguhnya kesederhanaan itulah tanah air yang dibutuhkan. Sebab


seperti kata penyair T’ao Ch’ien, ia sudah ditakdirkan untuk terbang seperti
debu. Debu yang selalu terbang tak mungkin terikat pada suatu tanah air.
Kalaupun ia mempunyai tanah air yang membuat hidupnya aman, itu adalah
kesederhanaan. (Sindhunata, 2007: 13)
Pengarang mencoba menarik sudut pandang budaya Tionghoa yang penuh
kearifan dalam menafsirkan kehidupan. Di antara kemasan budaya tersebut dapat
dijadikan acuan untuk menentukan nilai-nilai budaya yang dapat berfungsi
sebagai pembentuk nilai pendidikan karakter. Tentu hal ini bila dicermati lebih
jauh akan kita dapatkan kesimpulan bahwa dari kesederhanaan muncullah
kehidupan yang bersahaja dan bermartabat. Begitu pula untuk membangun bangsa
ini diperlukan nilai-nilai pendidikian karaktrer untuk membangun bangsa yang
maju dan sejahtera. Disamping itu berbagai pedoman atau pepatah hidup dari para
40

leluhur budaya Cina ditampilkan dalam novel ini sebagai suatu rambu-rambu
kehidupan bagi siapa saja yang meyakininya (etnis Tionghoa).

“Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar
daun pisang saja. Untuk apa semuanya, bila pada akhirnya manusia cukup
dibaringkan di atas daun ketika ia selamanya tertidur”(Sindhunata, 2007:
14)
Pada bagian ke-2 novel Putri Cina pengarang mulai memasukkan unsur
budaya Jawa yang disajikan dalam bentuk kisah dongeng. Dongeng tersebut
mengisahkan sekaligus mempertegas sejarah bahwa pada saat kerajaan terbesar di
nusantara berjaya, istri Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya Kelima
adalah seorang keturunan Tionghoa. Kisah dongeng sejarah ini yang memulai
babak demi babak pengembaraan Putri Cina.

Novel ini berbeda dengan novel pada umumnya. Perbedaan tersebut terlihat
jelas pada gaya narasi pengarang dalam menyampaikan alurnya. Novel ini lebih
ditekankan pada gaya penceritaan naratif. Karena hampir 90 persen gaya
penulisan ceritanya disajikan secara narasi. Jarangnya dialog antar tokoh
menguatkan citra bahwa novel ini menggunakan sudut pandang mahatahu. Bahwa
pengarang sebagai pelaku dalam terjun secara tidak langsung ini mengisahkan
alur cerita dan sekaligus menceritakan kisah para tokoh yang hadir dalam novel.

Tragedi cinta antara sepasang kekasih yang berdarah Cina dan Jawa menjadi
sentral cerita novel Putri Cina yang ditulis oleh Sindhunata ini. Tokoh Putri Cina
dalam novel ini melesat menembus waktu dan jaman, antara jaman Majapahit
hingga kerusuhan Mei yang berdarah, tahun 1998. Dia hadir sebagai Putri Campa
pada jaman Prabu Brawijaya, Roro Hoyi pada jaman Amangkurat, Eng Tay pada
legenda Sam Pek dan Eng Tay, dan hadir sebagai sosok Giok Tien pada masa
”kerajaan Medang Kamulan Baru”.
Tragedi berdarah yang menimpa keturunan etnis Cina selalu berulang.
Celakanya mereka tidak pernah belajar dari sejarah. Sindhunata melakukan
otokritik terhadap etnis Cina yang tidak pernah belajar dari sejarah (kebetulan
Sindhunata juga berdarah Cina, berayahkan Liem Swie Bie dan beribu Koo Soen
41

Ling). Orientasi etnis Cina yang ada di tanah Jawa selalu mengejar harta dan
kekayaan dunia, melupakan tradisi leluhur bangsa Cina. Akibatnya mereka
menjadi kelompok kaya elitis yang berada di tengah-tengah mayoritas etnis Jawa
yang tertinggal secara ekonomi. Keahlian mereka di bidang perniagaan
dimanfaatkan betul oleh penguasa, sejak jaman Belanda hingga sekarang.Mereka
tidak sadar sedang dijadikan sapi perah, dan siap dikorbankan sewaktu-
waktu. Kondisi ini secara laten bisa meledak sebagai bom waktu. Dan bom itu
benar-benar meledak (atau tepatnya ”diledakkan”) ketika pecah kerusuhan Mei
1998.
Tragedi Putri Cina yang diwakili oleh tokoh Giok Tien dalam peristiwa
kerusuhan Mei 1998 oleh Sindhunata diubah layaknya lakon ketoprak dengan
mengganti nama masa Orde Baru dengan nama Kerajaan Medang Kamulan Baru,
dengan raja bergelar Amurco Sabdo. Di sana muncul intrik antara senapati Gurdo
Paksi, Patih Wrehonegoro, dan lurah prajurit Tumenggung Joyo Sumengah.
Lakon ini mengingatkan pembaca pada perseteruan antara Wiranto dan Prabowo.
Putri Cina digambarkan sebagai istri dari senopati Gurdo Paksi yang kemudian
menjadi korban intrik tingkat tinggi hingga Giok Tien ternodai harga diri
kewanitaannya oleh syahwat kuasa Amurco Sabdo dan menjadi rebutan antara
Tumenggung Joyo Sumengah dan Gurdo Paksi. Keduanya telah menaruh hati
kepada Giok Tan semenjak dia menjadi primadona ketoprak keliling Sekar
Kastubo. Pada kenyataanya cinta Giok Tien hanya untuk Gurdo Paksi, yang
waktu itu masih prajurit bernama Setyoko. Cinta Giok Tien yang Cina, dan
Setyoko yang Jawa terjalin sudah. Dan itu membawa dendam kekalahan bagi
Tumenggung Joyo Sumenggah yang juga mengharap cinta dari Giok Tien.
Novel ini sangat menyentuh dan mampu mengungkap sisi kelam sejarah dan
latar belakang budaya Cina-Jawa serta intrik politik yang melatarbelakangi
berbagai peristiwa kerusuhan yang menjadikan etnis Cina selalu sebagai
korbannya.
Di dunia ini semua manusia menanggung nasib yang sama, karena kita
hanyalah debu. Cina dan Jawa , sama-sama debunya. Mengapa kita mesti
bertanya, siapakah kita? Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua
adalah saudara(Sindhunata, 2007: 1)
42

B. Tentang Penulis Novel Putri Cina


Lahir di Kampung Hendrik, Batu, Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1952.
Berlatar belakang pendidikan sekolah seminari di Seminarium Marianum
Lawang, Malang pada tahun 1971. Tahun 1980, ia berhasil
menyelesaikan studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, dan
pada 1983 kembali menyelesaikan studi teologi di Institut Filsafat Teologi
Kentungan, Yogyakarta. Melanjutkan studi doktoral filsafat di Hochschule für
Philosophie, Philosophische Fakultat SJ di Munchen, Jerman, dari tahun 1986-
1992, dan lulus dengan predikat sumacumlaude. Tesis doktoralnya membahas
mengenai pemberontakan petani Jawa di zaman kolonial pada abad ke-19 sampai
awal abad ke-20. Tesisnya tersebut kini telah terbit menjadi buku berjudul Hoffen
auf den Ratu-Adil.
Sejak awal dekade 80-an ia bermukim di Yogyakarta. Awalnya aktif di
bidang jurnalistik. Karir jurnalistiknya dimulai dengan bekerja sebagai wartawan
Majalah Teruna terbitan P.N. Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1974, di mana ia
bertugas menulis berita tentang kegiatan di SMA di Jakarta. Tahun 1977 menjadi
wartawan harian Kompas, Jakarta. Di harian ini Sindhunata menulis komentar
tentang sepak bola dan berbagai masalah kebudayaan. Ia juga membuat feature-
feature tentang nasib dan penderitaan orang kecil. Feature-featurenya yang
dibuatnya mampu menyentuh hati pembacanya. Dengan membaca tulisannya,
pembaca seolah dibawa masuk ke dalam nasib, penderitaan, dan pengalaman
orang-orang kecil yang dijumpai Sindhunata dalam tugas jurnalistiknya
Sindhunata boleh disebut sebagai puncak kecerdasan berbahasa. Sastrawan
kelahiran Batu, yang sejak awal dekade 80-an bermukim di Jogjakarta itu,
memang "Man of Letters". Penulis yang total dan setia membaktikan hidupnya
bertekun di semak belukar makna huruf-huruf. Sindhunata dikenal luas sebagai
wartawan, filsuf, novelis, penyair, pelopor jurnalisme sastrawi, penulis feature
sepak bola, dan kurator senirupa. Ia menjalani karir sebagai penulis dalam
kerangka hidup mistik. Kepengarangan dihayatinya sebagai wujud konkret
intimitas cinta mendalam pada sang Khalik.
43

Menanti Ratu Adil - Motif Eskatologis Protes Petani Jawa Abad 19 dan
Awal Abad 20 adalah naskah buku yang ia terjemahkan dari disertasi hasil
ngangsu kaweruh (menimba ilmu) di Universitas Munchen, Jerman pada 1986-
1992. Disertasi Hoffen auf den Ratu Adil itu merupakan tafsiran baru kajian
gerakan protes petani yang sebelumnya dirintis sejarawan almarhum Sartono
Kartodirdjo dan almarhum Onghokham. Karya terbaru ini perlu disebut, kecuali
karena citra Sindhunata telanjur lekat dengan novel klasik Anak Bajang
Menggiring Angin, disertasi itu ditulisnya dengan gaya bertutur prosaik layaknya
menulis feature.
Sindhunata sendiri mengalami pertobatan profetik pada saat belajar di
Jerman. Ia peranakan Tionghoa berwajah Jawa. Di Indonesia ia hampir jarang
bersentuhan dengan kaumnya. Aktivitasnya lebih tercurah untuk orang Jawa
dengan segala persoalan sosio-kulturalnya.Wajah yang "menipu" ini membuat
Sindhunata mengalami krisis identitas. Ia terasing total di negeri orang.
Guncangan eksistensial itu mendorongnya menekuni novel-novel bertema Auf der
Suche nach einer Heimat (para pencari tanah leluhur) karya pengarang imigran
Yahudi. Kaum pelarian itu saking trauma dengan holocaust kerap
menyembunyikan identitas rombeng mereka, bahkan di ruang pengakuan dosa
saat bertatap muka dengan pastor.Sindhunata sadar: ia sulit menerima identitas
kecinaannya karena tidak bisa menerima ketidakadilan yang ditimpakan kepada
kaumnya. Menanggung karma sejarah kambing hitam sangat merisaukan. Krisis
itu akhirnya mereda. Di Jerman ia menemukan kembali identitasnya yang sekian
lama ditelan wajah yang cenderung menipu diri sendiri maupun sesama.
Perjuangan membebaskan diri dari karma pala itu bukanlah perlawanan sosial
melainkan pergulatan batin individual. Penderitaan telah memurnikan dirinya
hingga menjadi jujur terhadap diri sendiri maupun kaumnya.
Sindhunata terbebas dari tirani tuduh-menuduh dengan spiral prasangka
etnis makin menanjak karena berkepribadian bukan pendendam. Karakter pemaaf
melepaskan dia dari belenggu kecublukan masa lalu dan membuatnya kembali
kuat. Ia memaafkan keterbatasannya sendiri sehingga perasaan malu dan
menyalahkan diri tidak terlalu berat ditanggung. Ia memaafkan juga orang lain
44

atas peran mereka dalam menghadirkan kekecewaan dan kesedihan. Tujuan


hidupnya bukanlah untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus
tumbuh.
Istilah "Cina" memang sangat menyakitkan bagi etnis Cina yang hidup dan
menetap di Jawa. Justru karena tidak mau terjerumus kembali dalam mekanisme
tipu-menipu, eskapisme, dan eufemisme Sindhunata bersikeras dengan identitas
"(ke)Cina(an)"-nya. Kosa kata Tionghoa atau Cina menurutnya selalu menjadi
pelarian dan permanisan dari realitas sosial yang berlumuran kekerasan,
ketidakadilan, pengejaran, labelling, dan stigmatisasi. Penyempurnaan sarana dan
pengaburan substansi memang karakteristik mendasar zaman sekarang. Itu
sebabnya, kendati mendapat reaksi keras di mana-mana, Sindhunata
mempertahankan judul novelnya dan tidak mau mengganti, misalnya, dengan
judul Putri Cina.

1. Sejarah Kelam Mengilhami Novel Putri Cina


Sindhunata, setiap berpaling ke masa lalu, senantiasa teringat Sioe Lien,
gadis kecil teman bermain di tahun 50-an. Sioe Lien selalu tertawa riang saat
bermain di sungai yang membelah kampung Hendrik, Batu, Malang. Sindhunata
tidak tahu, mengapa tiba-tiba Sioe Lien harus pulang ke RRT bersama keluarga.
Banyak peti-peti besar disiapkan menjelang kepergiannya. Baru kelak setelah
dewasa, Sindhunata tahu keluarga Sioe Lien terkena PP 10/1959 tentang Dwi-
Kewarganegaraan. Setiap teringat Sioe Lien, Sindhunata tergoda melihat arti dan
indahnya kesunyian. Sindhunata pun jadi tahu makna Tionghoa kelahiran
Jawa.Percik gerimis kaki kanak-kanakmu/ dingin bermain di sungai
kesendirianmu. Itulah bait puisi yang dipersembahkan Sindhunata untuk Sioe Lien
di antologi puisi Air Kata Kata (2004).Tokoh sentral novel Putri Cina, Giok Tien,
istri Gurdo Paksi, sesungguhnya alter ego Koo Soen Ling, ibu kandung
Sindhunata sendiri. Giok Tien dan Gurdo Paksi mati dibunuh Joyo Sumenggah,
panglima Medang Kamulan, dalam krisis politik berujung pembersihan etnis. Dua
sejoli beda etnis itu muksa menjadi sepasang kupu-kupu, persis legenda Sam Pek
dan Eng Tay. Ketika Sindhunata masih belia, ibunya gemar mendongeng tentang
45

Sam Pek dan Eng Tay. Kisah tua Tiongkok zaman antik perihal cinta manusia
yang tidak kesampaian. Ibunya senantiasa terharu setiap mengisahkan sepasang
kekasih tak direstui orangtua karena perbedaan status sosial.
Perjalanan spiritual Giok Tien ditemani Korsinah ke Gunung Kawi tidak
lain kunjungan Sindhunata menemani ibunya berziarah ke makam guru kebajikan
Eyang Djoego (Taw Low She) dan Eyang Imam Soedjono (Djie Low She) di
Malang Selatan. Peziarahan Putri Cina ke pelbagai kelenteng dan makam kuno di
Tuban sebenarnya perjalanan Sindhunata mengantar ibunya berziarah ke makam
kakeknya di pantai utara Jawa. Menemukan makam Putri Cempa secara kebetulan
saat Putri Cina dalam proses cetak adalah rahmat terselubung yang didapat sang
novelis yang kesasar ketika mencari makan malam di Lasem.

Koo Soen Ling menjanda sejak muda ditinggal mati Liem Swie Bie,
suaminya. Ia membesarkan tujuh anaknya dengan bekerja sebagai penjahit.
"Bimbang di Hati" adalah lagu kesukaan Koo Soen Ling. Lagu mengesan itu
tanpa sengaja didengarnya dari pengamen jalanan sewaktu pergi ke Surabaya.
Rombongan Orkes Keroncong Sinar Pangoentji dari Bekonang, Sukoharjo, Jawa
Tengah, pun mendendangkan, "Kurasa bimbang di hati, meninggalkan kau pergi,
juwita," di dekat peti jenazah Koo Soen Ling, saat disemayamkan di Kampung
Hendrik, Batu, Malang, Oktober 2006. Lagu itu bertutur tentang seorang suami
yang berat hati hendak bepergian mencari nafkah dengan meninggalkan keluarga.
Anak-anak lalu diserahkan kepada istri untuk dirawat sampai suami pulang nanti.
Sang istri pun sukses membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang.

Karya sastra merupakan sarana yang bisa membantu manusia terhubung


secara lebih sadar dengan intelegensia abadi dalam hati. Sastra menggeser hadir
dari kepala ke nurani mereka, beranjak dari logika menuju waskita, melampaui
persepsi menuju visi, dan mengatasi keduniawian menjadi kesejatian.Karya sastra
bisa dirunut kembali ke sumbernya. Sebuah karya sastra, tanpa kecuali novel
Putri Cina, terpaut dengan pengalaman hidup, identitas, falsafah, maupun
perasaan-perasaan pengarangnya. Pengarang menyatakan diri dan
mengomunikasikan pengalaman hidupnya secara mendalam. Sindhunata setali
46

tiga uang Pramoedya Ananta Toer. Roman sejarah Pramoedya menjadi sangat
memikat dan indah ketika bertutur mengenai tokoh-tokoh perempuan seperti
Gadis Pantai atau Nyai Ontosoroh. Heroisme dalam roman sejarah Pramoedya
selalu berkibar di tangan perempuan karena ia sangat dekat dengan ibu dan
neneknya.Perempuan di tangan Sindhunata adalah representasi kehendak bebas.
Pembaca pun sering dibikin cemburu pada kepiawaian Sindhunata mengisahkan
tokoh simbok-simbok dalam buku Mata Air Bulan (1998). Kegandrungan
Sindhunata pada tokoh-tokoh perempuan kadang disalah-mengerti sebagai efek
samping hidup melajang. Padahal, yang benar, karena ia sangat mengidolakan
ibunya.Tapi, Sindhunata tidak mau menanggung sesal begitu ibunya wafat.
Ungkapan bijak yang mengatakan bahwa mistikus menjadi mashyur karena sangat
mencintai ibunya menemukan kebenaran dalam karya-karya Sindhunata.

Dalam menulis ia mempunyai prinsip yakni langsung terjun ke lapangan,


Karena prinsip itu Sindhunata bahkan pernah menghabiskan beberapa hari di
lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak pada 1979. Pengalaman itu membuahkan
empat feature bersambung tentang ‘dunia maksiat’ tersebut. Ia juga pernah ikut
berjudi sabung ayam di Bali agar dapat memahami bagaimana dunia perjudian itu
berjalan, sebelum kemudian menulis laporan jurnalistik.

2. Totalitas Seorang Penulis


Tentang kedalaman tulisan-tulisannya, tak usah diragukan lagi. Sindhunata
menulis dengan detail. Ia bukan tipe ‘jurnalis telepon’ yang hanya bermodal
wawancara telepon, ditambah riset serba sedikit di perpustakaan atau internet, lalu
menulis di belakang meja. Dengan berada di lapangan, Sindhunata bisa
merengkuh detail peristiwa, dan juga rasa dari peristiwa itu.
Salah satu cara lain dari Sindhunata dalam mengungkap detail tampak
dalam tulisannya tentang tokoh-tokoh. Memang Sindhunata telah banyak
menulis feature tentang tokoh-tokoh. Baik orang kecil sampai seniman tradisional
kawakan seperti dalang Ki Darman Gondo, penari topeng Losari, Ibu Dewi,
pembuat wayang suket, Mbah Gepuk, pelukis rakyat Citrowaluyo, Empu Gending
Martopangrawit, penari topeng Malangan Mbah Gimun, dan sebagainya. Dari
47

tulisan-tulisannya tampak kepiawaian Sindhunata mengolah detail untuk


membangun perspektif kemanusiaan tokoh tersebut. Ia juga mampu
menggerakkan hati pembaca bahkan sampai mereka rela memberikan sumbangan
yang nyata kepada orang ditulisannya dan memang membutuhkan bantuan
mereka.

Setelah berhenti menjadi wartawan Kompas, ia bekerja di majalah


kebudayaan Basis di Yogyakarta. Tahun 1994, ia di angkat menjadi pemimpin
redaksi majalah Kebudayaan basis menggantikan Dick Hartoko, yang memasuki
masa pensiun. Berbekal dari pengalaman malang-melintang di dunia wartawan,
Sindhunata membuat terobosan yang menyegarkan. Ia mengubah format dan
tampilan Basis. Dalam hal ini, ia berhasil mematahkan anggapan bahwa sebuah
majalah ilmiah itu harus berkesan serius dan ilmiah pula. Di bawah
kepemimpinannya, ia membuat majalah ilmiah dan serius itu menjadi menarik
dan enak dibaca tanpa mengurangi bobot ilmiahnya.

Di majalah Basis ini pun Sindhunata tetap konsisten dengan pengalaman


jurnalistiknya. Ia menggarap keilmiahan dengan citarasa jurnalistiknya yang
humanis. Seperti yang tertera pada logonya, ia menyebut Basis sebagai jurnalisme
seribu mata. Atas kesetiaannya menjalani garis hidupsebagai wartawan sampai
kini, ia mendapatkan Penghargaan Kesetiaan Profesi sebagai Wartawan selama
tiga puluh tahun masa pengabdian dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada
tahun 2005.

Selain sebagai wartawan, Sindhunata yang juga seorang rohaniwan Yesuit,


filsuf dan teolog ini, juga di kenal sebagai seorang novelis yang telah melahirkan
banyak karya. Dalam menulis Sindhunata tidak membatasi minatnya. Ia bisa
menulis tentang apa saja: agama, pelacur, tukang rambutan, burung-burung di
bundaran Hotel Indonesia, beras, dan lainnya. Semuanya di buat dengan gusto,
penuh cita rasa, opini/ide yang telah dimatangkan, dan dimasak oleh benaknya.

Tercatat hingga kini sudah lebih dari tiga puluh judul buku lahir dari
tangannya. Pantas bila ia disebut sebagai penulis yang lengkap dan serba bisa.
48

Tercatat feature-feature jurnalistiknya telah diterbitkan pada tahun 2006 dalam


pancalogi: ‘Manusia & Pengharapan’, ‘Manusia & Keadilan’, ‘Manusia &
Keseharian’, ‘Manusia & Perjalanan’, dan ‘Manusia & Kebatinan’. Selain itu ia
juga menciptakan sejumlah novel antara lain ‘Bharatayudha’ (Cerita Wayang,
1978), ‘Anak Bajang Menggiring Angin’ (Cerita Wayang, 1983), ‘Mengapa Aku
Mencintaimu, Oh Maria’ (1986), dll. Ia juga menerbitkan buku kumpulan puisi
berjudul ‘Air Kata-Kata’ (2003), yang berisi Puisi-puisi yang pernah ditulisnya.

Pendiri komunitas Pangoentji atau Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe


yang concern pada bidang seni dan budaya ini juga senang menulis dalam bahasa
Jawa. Menurutnya bahasa Jawa itu harus diasah, maka menulislah ia dalam
bahasa Jawa di rubrik ‘Blencong’ di harian Suara Merdeka.Berkat ‘kerja kaki’nya,
dan dengan ramuan jurnalisme sastrawi, Sindhunata telah berhasil menyingkirkan
anggapan bahwa wartawan itu hanya pandai menulis tapi tidak berbuat. Tulisan-
tulisan Sindhunata jelas memperlihatkan bahwa seorang jurnalis juga bisa berbuat
banyak untuk kemanusiaan dan menolong penderitaan. Maka tak salah bila ada
yang mengatakan, fokus Sindhunata dengan tulisan-tulisannya adalah
kemanusiaan (humanisme), sesuatu yang mahal untuk era yangkadung disuntuki.

Khusu Novel Putri Cina, novel Sindhunata paling gres, terbit September
2007 dan cetak ulang November 2007, dinobatkan komunitas sastra Bandung
"Nalar" sebagai karya sastra paling bermutu. Putri Cina merupakan figurasi
tragika nasib kaum minoritas Tionghoa Indonesia. Novel rumit dengan segerobak
tokoh ini menggunakan teknik bercerita maju mundur. Sindhunata mengambil
seting cerita dari zaman Majapahit era Brawijaya hingga pengujung Orde Baru,
melumuri novelnya dengan babad, legenda, mitos, dan sejarah sekaligus.Para
penguasa Jawa mengincar rahim perempuan peranakan Tionghoa. Raden Patah,
raja Demak anak Brawijaya, lahir dari kandungan seorang ibu peranakan
Tionghoa. Begitu tulis Sindhunata.Novel ini semula katalog berjudul Babad Putri
Cina yang ditulis untuk pameran lukisan Putri Cina karya Hari Budiono di
Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Yogjakarta, Mei 2006. Hari Budiono, perupa
kelahiran Mojokerto, bekerja di Bentara Budaya Yogyakarta, mendapat inspirasi
49

setelah membaca draft Kambing Hitam. Hari Budiono memang konsultan artistik
untuk buku-buku Sindhunata.

C. Sinopsis Novel Putri Cina


Kita datang ke dunia ini sebagai saudara,
Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah,
Yang ternyata hanya memisahkan kita

Putri Cina merasa risau dengan keadaan dirinya sendiri. Dia hidup di tanah
Jawa namun secara fisik dia berbeda. Dia memang keturunan Cina, namun di
kalangan orang Cina sendiri, dia tidaklah termasuk Cina karena tidak besar dan
lahir di Cina. Dia bahkan tidak bisa berbahasa Cina. Namun, dia kemudian
mengingat kisah, tentang keberadaan dirinya.
Menurut dongeng Jawa, dia adalah istri Prabu Brawijaya kelima. Ketika
Prabu Brawijaya jalan di kampung, dia melihat ada janda, kemudian menidurinya.
Janda itu melahirkan seorang anak bernama Jaka Prabangkara. Dia pandai
melukis, maka disuruhlah untuk melukis Putri Cempa. Setelah lukisan jadi,
ternyata ada noda hitam di sekitar kemaluan Putri Cempa. Brawijaya menuduh
kalau anaknya itu sudah pernah bersetubuh dengan permasurinya sehingga tahu
benar letak noda tersebut. Akhirnya, Jaka Prabangkara diusir, dengan
menerbangkan layang-layang raksasa, lantas dia terdampar di Cina dan ditemukan
oleh pasangan yang tak punya anak. Maka, Jaka Prabangkara diangkatnya
menjadi anak, dia menjadi terkenal, karena pandai melukis. Kemasyuran Jaka
Prabangkara sampai ke Kaisar Cina, dia diangkat menjadi cucu kemudian
dinikahkan dengan cucu Kaisar Cina sekaligus putri orang tua angkatnya.
Putri Cina yang merupakan putri Kaisar Cina kemudian dinikahkan dengan
Raja Majapahit, namun kemudian bercerai. Oleh Raja Majapahit, Putri Cina
diberikan kepada putranya, Arya Damar yang memerintah di Palembang. Saat
diceraikan usia dalam kandungan Putri Cina berumur 7 bulan. Tak berapa lama di
Palembang Putri Cina melahirkan putra yang dinamakan Raden Patah. Dia juga
melahirkan satu orang putra lagi bernama Raden Kusen. Arya Damar ingin Raden
50

Patah menggantikannya menjadi raja, namun Raden Patah menolak. Dia


kemudian pergi diam-diam. Hal ini diikuti oleh adiknya Raden Kusen.
Sesampainya di Jawa, mereka berdua bertemu dengan Sunan Ngampel dan
berguru kepadanya. Setelah lama di sana, Raden Kusen mengingatkan pada Raden
Patah, bahwa tujuan mereka ke Jawa adalah untuk menemui Prabu Brawijaya.
Namun Raden Patah berniat untuk menetap, sedangkan Raden Kusen melanjutkan
perjalanan dan oleh Brawijaya diangkat menjadi Adipati Terung.
Suatu ketika, Raden Patah berniat mendirikan sebuah padepokan, maka oleh
Sunan Ngampel dia ditunjukkan sebuah tempat bernama Bintara. Semakin lama
Bintara semakin masyhur, kemasyhuran ini sampai ke Majapahit. Dia diminta
untuk menemui Brawijaya. Raja Brawijaya sangat senang. Dia bahkan
menghadiahi pasukan dan mengakui kekuasaan Bintara. Tak lama setelah itu,
karena keinginan menyebarkan agama, maka Raden Patah berhasil menaklukan
Majapahit, yang merupakan kerajaan milik ayahnya sendiri.
Keruntuhan Majapahit disambut senang hati oleh Putri Cina, karena dia
pernah terluka oleh sikap Prabu Brawijaya. Namun, dia juga merasa sedih karena
anaknya sendirilah yang melakukan kudeta. Mengetahui anaknya menjadi raja di
Puau Jawa, maka dia bertekad untuk menyusul. Namun, begitu sampai di
Majapahit, dia mendapati bahwa kerajaan itu sudah tak berpenghuni lagi, tinggal
sejarah. Di situlah dia bertemu dengan Loro Cemplon, pelayannya dulu. Dari
Cemplon dia mendengar kabar bahwa Sabdopalon Nayagenggong, abdinya yang
paling setia sudah tidak berada di Majapahit. Dia sudah ke Banyuwangi
untuk murca.
Di Banyuwangilah, kemudian dia bertemu dengan abdinya tersebut.
Sabdopalon Nayagenggong, kemudian menceritakan, bahwa pertumpaahan di
Tanah Jawa sebenarnya tumbal sejak lama, bahkan sejak para dewa belum
diturunkan. Hal ini diawali ketika Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya
berebut kekuasaan. Sang Hyang Tunggal marah kemudian menegur mereka.
Ismaya menjadi Semar dan Antaga menjadi Togog. Sabdopalon Nyaagenggong
sendiri merasa bersalah atas pertikaian yang terjadi antara Brawijaya dengan
51

Patah, maka dari itu dia ingin murca. Dia juga mengaku sebagai Semar. Untuk
itulah, dia mengatakan, dia perlu bertanggungjawab atas semua ini.
Setelah Sabdopalon Nayagenggong murca, Putri Cina melanjutkan
perjalanan ke Tuban. Di sanalah dia berpisah dengan Cemplon. Dalam
perjalanannya Putri Cina merasa senang bahwasannya dia melihat kaumnya serba
berkecukupan. Namun, kemudian dia khawatir, karena sekarang kaumnya sangat
mementingkan harta yang notabene akan menjadi bumerang untuk diri mereka
sendiri.
Dalam babak baru, Putri Cina melihat adanya kerajaan baru dinamakan
Medang Kamulan. Dulu kerajaan ini tercipta karena Ajisaka dapat mengalahkan
Dewata Cengkar yang lalim. Awalnya Negeri Medang Kamulan Baru, yang
dipimpin oleh Prabu Murhardo sangat aman tentram, dan sejahtera. Rakyat sangat
mencintai raja mereka. Namun, lambat laun, raja menunjukkan gelagat yang
buruk. Dia mulai dikuasai oleh nafsu mempertahankan kekuasaan. Dia juga mulai
memerintah dengan penuh kekerasan, bahkan terhadap rakyatnya sendiri.
Tersiar kabar bahwa dalam menjalankan kepemimpinan, dia dibantu oleh
kekuatan gaib. Dia memiliki keris bernama Kyai Pesat Nyawa, sebuah pusaka
yang haus akan pertumpahan darah. Dia mempercayakan keris itu pada
senapatinya bernama Gurdo Paksi. Dalam menjalankan pemerintahan dia
dikelilingi anak buah yang penjilat dan licik, sebut saja patihnya sendiri bernama
Patih Wrehonegoro dan juga Lurah Prajurit Tumenggung, Joyo Sumengah. Prabu
Amurco Sabdo (semenjak lalim Prabu Murhardo diganti namanya oleh rakyat)
sebenarnya tahu kalau ada persaingan antarbawahannya, namun dia memilih
membiarkan.
Mengetahui hal ini, Putri Cina merasa khawatir, karena setiap kali terjadi
kerusuhan maka bangsanya selalu menjadi korban. Memang benar, di awal para
penguasa nampak mendukung golongan Cina, karena orang Cina dinilai
menguntungkan secara materi. Namun, ketika situasi tidak terkendali, maka
penguasa akan mengorbankan orang Cina, dan melakukan provokasi, bahwa Cina
adalah orang-orang yang rakus, serta pelit tidak peduli dengan masyarakat
pribumi.
52

Taktik ini pula yang kemudian dijalankan oleh Prabu Amurco Sabdo, ketika
patihnya Gurdo Paksi tidak mau menjalankan perintah untuk
mengkambinghitamkan orang Cina. Karena istri Gurdo Paksi sendiri orang China,
bernama Giok Tien. Giok Tien masa mudanya dikenal sebagai seorang pemain
Ketoprak yang termasyhur. Banyak orang berusaha untuk mendekati dia, tak
terkecuali Tumenggung Joyo Sumengah. Namun ternyata, Giok Tien lebih
memilih Gurdo Paksi sebagai pendamping hidupnya. Kisah persaingan inilah
yang kemudian menyulut dendam Joyo Sumengah hingga ajal.
Karena Gurdo Paksi tak ingin lagi ada kekerasan, maka dia menyerahkan
pusaka Pesat Nyawa kepada Prabu Amurco Sabdo. Dia memilih untuk
mengendalikan suasana dengan damai. Namun, pihak Joyo Sumengah secara
diam-diam memperkeruh masyarakat dan terus membuat provokasi, agar seluruh
orang Cina disingkirkan. Joyo Sumengah juga secara diam-diam membunuh
kedua kakak Giok Tien menggunakan keris Pesat Nyawa. Dia kemudian berhasil
membujuk Giok Tien untuk ikut ke istana, dengan alasan Gurdo Paksi sudah tidak
bisa mengendalikan suasana. Ternyata, sampai di istana, Joyo Sumengah hanya
ingin memperkosa Giok Tien. Untunglah, Prabu Amurca Sabdo mengetahui hal
ini, sehingga dia dapat menyelamatkan Giok Tien.
Namun sesampainya di kamar, Prabu Amurco Sabdo merasa terangsang,
sehingga dia pun memaksa Giok Tien untuk bersetubuh. Giok Tien tidak dapat
melawan. Persetubuhan ini secara diam-diam disaksikan oleh Tumenggung Joyo
Sumengah, bahkan kemudian karena diancam oleh Joyo Sumengah, Prabu
Amurco Sabdo mempersilahkan Joyo Sumengah untuk menyetubuhi Giok Tien.
Sementara itu, di tempat lain Gurdo Paksi yang mati-matian meredam susana tak
berhasil, banyak sekali orang China yang menjadi korban. Dia menjadi orang
yang pertama kali disalahkan atas segala kerusuhan ini, terutama oleh masyarakat.
Masyarakat meminta dia untuk turun, dan tak lagi memegang jabatan sebagai
orang yang menjaga keamanan. Bahkan dia baru tahu kalau kakak iparnya telah
dibunuh orang, dengan keris Pesat Nyawa menancap di tubuhnya. Maka,
masyarakat langsung menuduh Gurdo Paksi sebagai seorang pembunuh, karena
53

masyarakat tahu bahwa satu-satunya orang yang memegang pusaka itu hanyalah
Gurdo Paksi.
Gurdo Paksi yang tak merasa bersalah, kemudian ingin meminta keadilan
kepada Prabu Amurco Sabdo. Dengan kemarahan, dia mendatangi istana. Di
sanalah, dia kemudian menyaksikan Tumenggung Jaya Sumengah hendak
menyetubuhi istrinya, maka marahlah dia. Setelah tahu suaminya tak bersalah,
maka Giok Tien, mengancam raja dan tumenggungnya itu, dengan cara
mengumumkan apa yang telah diperbuat oleh dua orang pembesar tersebut. Hal
ini menyiutkan nyali keduanya.
Maka, sebagai gantinya, Gurdo Paksi meminta, Prabu Amurco Sabdo untuk
turun tahta, begitu pun dirinya, akan turun tahta sebagai Senapati Perang. Hal ini
mendapatkan persetujuan, maka Amurco Sabdo pun mencari penggantinya. Orang
tersebut adalah Prabu Aryo Sabrang, yang notabene masih kerabat dekatnya.
Berbeda dengan Amurco Sabdo, Aryo Sabrang memerintah dengan arif dan
bijaksana. Dia juga meninggalkan cara-cara kekerasan.
Sementara itu, Tumenggung Jaya Sumengah masih terus menyimpan
dendam terhadap Gurdo Paksi. Maka ketika Gurdo Paksi dan Giok Tien sedang
berziarah ke makan dua orang kakanya, Jaya Sumengah menyerang dengan
menggunakan anak paah. Tewaslah kedua orang tersebut dan terbang menjadi
kupu-kupu. Jaya Sumengah sendiri, kemudian menyesal dan bunuh diri.
54

BAB IV

NILAI BUDAYA CINA DAN JAWA

DALAM NOVEL PUTRI CINAKARYA SINDHUNATA

SEBAGAI BUTIR PENDIDIKAN KARAKTER

D. Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina

Dongeng sejarah kebudayaan Jawa merupakan senjata ampuh dalam novel


ini untuk mengemukakan pesan nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan
pendidikan karakter. Dongeng-dongeng tersebut memuat kisah sejarah kekuasaan
di Jawa dengan asimilasi budaya Cina melalui kisah pengembaraan Putri Cina.
Putri Cina adalah tokoh yang mewakili kaum berketurunan Cina.

Inti pesan yang akan disampaikan mengenai nilai budaya Cina dan Jawa
sebagai butir pendidikan karakter. Penulis menyajikan dalam berbagai filosofi
hidup dari kedua budaya tersebut, yaitu Cina dan Jawa. Serta penulis juga
menganalisis bagaimana karakter budaya orang-orang Cina yang Hidup di Jawa
dengan segala kompleksitas problematikanya.

Pada bagian ini penulis menggambarkan perpaduan budaya Cina dan


budaya Jawa benar-benar menyatu lewat penyajian dongeng kerajaan. Kisah
perpaduan ini diawali dengan pernikahan para raja dengan para wanita keturunan
Cina. Bagian ini pula yang menjelaskan bahwa judul Putri Cina ini diambil oleh
pengarang. Di Tanah Jawa, nama Putri Cina sudah tidak asing lagi. Bahkan ia
sudah berperan jauh dalam kejayaan kerajaan-kerajaan di Jawa. Hal tersebut
merupakan sumbangan terbesar budaya Cina untuk budaya Jawa. Perjalanan
kebudayaan di Jawa hingga saat ini berkembang tidak lepas dari peran Putri Cina
sebagai ‘Ibu’ yang melahirkan kebudayaan tersebut di Tanah Jawa. Putri Cina
berkontribusi besar akan kelahiran anak-anaknya yang kelak memimpin kerajaan
di Jawa. Dalam novel dikisahkan bahwa perjalanan Jaka Prabangkara yang
merupakan hukuman dari Ayahandanya Parabu Brawijaya karena dituduh
55

berselingkuh dengan Sang Permaisuri Putri Cempa yang juga keturunan Cina
dalam sebuah lukisan ‘polosnya’.33 Setelah itu Jaka Prabangkara diusir dari Tanah
Jawa.

Deru dan badai menyeret layang-layangnya. Tak lama kemudian layang-


layangnya merendah. Dari ketinggian tampak terbentang di bawah sana
daratan yang indah. Jangan-jangan itu adalah daratan Negeri Cina. Benar,
akhirnya layang-layang itu menukik turun dan mendarat di sebuah dusun
terpencil, Yut-wa-hi namanya. (Sindhunata, 2007: 18)
Perjalanan panjang itu berakhir di Negeri Cina. Sesaat setelah itu pula Jaka
Prabangkara ditemukan oleh keluarga pencari kayu di hutan kemudian diangkat
menjadi anaknya. Dengan bakat melukis yang luar biasa, Jaka Prabangkara
menjadi sosok terkenal di dusun terpencil tersebut hingga terdengar ke kerajaan
Cina. Kemudian Jaka Prabangkara menikahi seorang Putri Cina yang canti jelita.

Asimilasi budaya yang pertama dalam kisah ini adalah bahasa. Bahasa Jawa
yang dibawa Jaka Prabangkara ke Cina menjadi suatu gambaran menarik
mengenai interaksi sosial putra Jawa dengan warga Cina. Namun, beruntungnya
Jaka Prabangkara cukup mahir berbahasa Cina karena ibunya yang juga seorang
Cina sering mengajarinya bahasa Cina ketika ia masih kecil.

..... dan karena ia sempat tinggal di Istana Majapahit, maka ia sempat juga
berkenalan dengan Putri Cina. Malahan dari putri cina itulah ia belajar
bahasa Cina, sampai ia bisa.
Karena itu pada perjumpaan yang pertama, Jaka Prabangkara dapat
langsung berbicara dengan Kim Liyong dalam bahasa Cina dengan amat
fasih. (Sindhunata, 2007: 23)
Dari fenomena bahasa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi
geografis dan perbedaan kebangsaan mengharuskan seseorang beradaptasi dengan
interaksi sosial yang cakap di masyarakat sekitar ia berada di suatu tempat
33
Jaka Prabangkara memiliki bakat melukis sejak kecil, maka diperintahkannya ia
melukis permaisuri Putri Cempa oleh Prabu Brawijaya (ayahandanya). Namun setelah lukisan
tersebut jadi perseis dengan adanya, Prabu Brawijaya melihat ada kejanggalan akan titik hitam
tinta di lukisan tepat pada kemaluannya. Prabu menuduh Jaka Prabangkara tidak mungkin
mengetahui sedetil itu jika sebelumnya tidak bersetubuh dengan permaisuri Putri Cempa.
Kemudian Raja hendak membunuhnya.. Kemudian Raja mencari akal untuk mengusirnya dari
Tanah Jawa. Raja memberikan tawaran agar Jaka Prabangkara dihukum saya untuk melukis
angkasa raya dengan layang-layang raksasa dengan sebuah surat dari Sang Raja.
56

tersebut. Kecakapan interaksi tersebut merupakan suatu gejala sosial-budaya


yang pokok dalam memadukan kebudayaan. Di samping bahasa, barang-barang
ukiran dan makanan juga ikut meramaikan gambaran asimilasi budaya.
Dikisahkan bahwa Jaka Prabangkara membawa lukisan, barang ukiran, dan
makanan dari jawa sebagai bekal ia dalam perjalanan mengudaranya selama
berberapa bulan sebelum mendarat di Cina.

Jaka Prabangkara merupakan sosok tampan yang bijak dan baik hati. Maka
tidak heran janda dan anaknya yang menemukan Jaka di hutan menjadi sangat
bahagia dengan kehadirannya. Dengan bakat melukisnya yang luar biasa, Jka
Prabangkara sekejap terkenal seantero negeri Cina.

Dalam waktu singkat dusun Yut-wa-hi jadi amat terkenal di seluruh Negeri
Cina. Semua orang memuji, di sana ada anak seorang janda yang tampan
rupanya, amat bijak perilakunya, dan amat pandai melukis apa saja.
(Sindhunata, 2007: 20)
Cerita tersebut mempertegas bahwa dengan kebijakan dan hati yang mulia
semua orang akan merasakan sentuhan kebahagiaan. Begitu juga dalam kehidupan
sosial-budaya di masyarakat. Kecakapan perilaku perlulah menjadi pilar utama
dalam berinterakti ditambah lagi dengan kreatifitas melukis Jaka Prabangkara
yang mahir, itu menjadi panutan semua orang. Nilai karakter yang dapat diambil
dari interaksi budaya ini adalah kerendahan hati, mandiri, dan kerja keras sebagai
perilaku yang mencerminkan budaya yang baik untuk membentuk pendidikan
karakter.

Serentak kondisi sosial-budaya berubah drastis ketika kerajaan Majapahit


yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya kalah oleh pasukan Raden Patah yang
notabenenya sebagai anak dari Prabu Brawijaya. Saat itu pula Raden Patah
berkuasa dan menjadikan Demak sebagai pusat kerajaan di Tanah Jawa. Raden
Patah yang berguru pada Sunan Ngampeldenta (Sunan Ampel) tidak hanya
membawa kerajaan baru melainkan juga agama baru—dari agama boedo menjadi
agama Islam yang diajarkan oleh Sunan Ampel. Kerajaan dan agama baru tersebut
membawa perubahan yang signifikan di masyarakat Jawa. Pertumbuhan agama
57

tersebut pun sangat pesat. Hingga saat ini pemeluk agama baru itu memiliki
pengikut terbanyak di Tanah Jawa, begitu juga dengan kaum Putri Cina banyak
yang memeluk agama tersebut bahkan menyebarkannya ke luar kerajaan dengan
jalur perdagangan.

Sambil berniaga, mereka menyebarkan agama baru itu. Dengan demikian


berkat kaumnya pula, maka Tanah Jawa menjadi terbuka terhadap kegiatan
dan kebudayaan baru yang dibawa agama baru tersebut ke Tanah Jawa.
(Sindhunata, 2007: 32-33)
Kondisi tersebut menjadi suatu perubahan kebudayaan dan sosial yang
signifikan di Jawa. Orang mulai menjalankan kebiasaan baru dengan agama Islam
tersebut. Agama tersebut memberikan dampak yang luas bagi kemajuan Jawa
membina kebudayaannya. Tentu kondisi sosial tersebut sangat berpengaruh bagi
perkembangan pemikiran manusia Jawa.

Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa itu lahir dari rahim Putri Cina.
Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan bagi Putri Cina. Sejarah seakan
meminjam rahimnya agar perubahan yang diinginkan bisa terjadi. Dengan
demikian tidak sia-sia ia datang ke Jawa. Sudah jelas suratan takdir yang
digariskan bagi hidupnya. Ia harus ikut memperanakkkan perubahan yang
sekarang telah terjadi di Tanah Jawa.

Kenyataan sejarah tersebut ternyata tak lama memberikan efek bahagia bagi
Putri Cina, sekejap ia merenungkan kembali, bahwa kejayaan anaknya, Raden
Patah sebagai penguasa Jawa tidaklah ia rasakan, karena sudah lama anaknya
meninggalkannya, bahkan ketika ia berjaya tak satupun kabar yang datang
kepadanya. Seolah Putri Cina tidak terlibat langsung dalam kejayaan Demak yang
menjadi Kiblat seluruh kegiatan sosial dan budaya di Tanah Jawa. Kesedihan
Putri ina memuncak saat ia harus mengingat bahwa kejayaan Demak yang
dipimpin anaknya itu adalah hasil berperang melawan Kerajaan Majapahit yang
notabenenya merupakan ayahandanya sendiri.

...tapi mengapa ia tak bisa diakui sebagai ibu penguasa dan pembaharu
Tanah Jawa itu, hanya karena ia adalah Putri Cina?
58

Putri Cina tak mampu menghalau kesedihan itu. Memang kesedihannya


benar-benar dalam ia telah dibuang oleh Prabu Brawijaya. Dan sekarang
anaknya yang lahir dari Prabu Brawijaya, yang menjadi penguasa baru di
Tanah Jawa itu juga menyia-nyiakannya sebagai ibu. Itu semuanya terjadi
mungkin karena ia adalah perempuan Cina. Itulah kesedihan Putri Cina
yang harus ditanggungnya. (Sindhunata, 2007: 35)
Kondisi sosial-budaya tersebut telah mempengaruhi suasana hati dan perilaku
seseorang. Oleh karena itu, nilai-nilai sosial-budaya yang tertanam di tengah-
tengah masyarakat hendaknya sebagai suatu tatanan nilai yang baik, agar sistem
kemasyarakatan yang dijalankan oleh para anggota masyarakat tertentu dapat
berjalan dengan baik dan dinamis. Implikasinya dari tatanan sosial yang baik bagi
kemajuan pendidikan karakter adalah berkembangnya suatu negara yang
berkarakter serta menjunjung tinggi sikap positif yang mengarah pada kemajuan
dan kesejahteraan. Untuk mewujudkan hal itu, perlu penegakan pendidikan
karakter ditanamkan sejak dini. Dimulai dari pendidikan, bangsa ini akan menuju
masa depan yang cerah.

Pada bagian kesepuluh novel ini pengarang mulai menceritakan awal mula
dan sal-usul dari pertikaian manusia yang hingga saat ini menjadi tebing inggi
untuk diselesaikan oleh berbagai kalangan. Kasus yang menjadi masalah utama
dalam cerita ini adalah kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat yang hanya
karena perbedaan pendapat, golongan, suku, etnis, dan adat istiadat. Lebih
parahnya lagi perbedaan tersebut menjadi pertikaian besar dengan
mengatasnamakan agama. Lebih buruk lagi pertikaian dalam satu agama yang
sama. Hal ini menjadi potret suram dari wajah pendidikan di negeri ini.

Kisah pertikaian ini bermula dari kehidupan para dewa di langit. Pengarang
mengisahkan tentang dongeng Sang Hyang Wenang, dewa dari semua dewa. Ia
memiliki putra bernana Sang Hyang Tunggal. Di sisi lain ada pula kerajaan jin
yang rajanya bernama Begawan Rekatama, ia mempunyai seorang putri cantik
jelita bernama Dewi Rekatawi. Kedua orangtua tersebut bersepakat untuk
mengawinkan kedua mereka. Tidak lama kemudian Dewi Rekatawi mengandung
dan melahirkan. Namun, bukan bayi yang ia lahirkan akan tetapi sebutir telur.
59

Telur tersebut kemudian berubah menjadi 3 bayi laki-laki yang berasal dari kulit
telur, putih telur, dan kuning telur. Dari sini berawal perebutan kekuasaan. Kulit
telur dengan angkuhnya mengatakan dialah yang pantas menggantikan takhta
kerajaan, begitu pula dengan putih telu yang juga ngotot bahawa dirinyalah yang
lebih baik untuk menggantikan takhta kerajaan. Sementara kuning telur sebagai
pihak penengah pertikaian itu. Kulit telur bernama Sang Hyang Antaga, putih
telur bernama Sang Hyang Ismaya, dan kuning telur bernama Sang Hyang
Manikmaya. Pada pertikaian tersebut Sang Hyang Manikmaya menawarkan
sayembara untuk mengakhiri pertikaian tersebut dengan target menelan gunung
Garbawasa, sebuah gunung yang luar biasa besarnya. Pergilah mereka menghadap
gunung Garbawasa. Sang Hyang Antaga selaku petarung pertama yang mencoba
menelan gunung itu, karena besarnya gunung tersebut ia tidak bisa menelannya,
dari kenekatannya itu mulutnya robek menjadi lebar. Sekarang wajahnya menjadi
jelek tidak karuan yang mulanya sebagai sosok yang tampan.

Kemudian Sang Hyang Ismaya yang mencoba menelan gunung Garbawasa.


Dengan perenungan yang tinggi Sang Hyang Ismaya dapat menelan gunung
tersebut. Namun celakanya, gunung tersebut tidak bisa dikeluarkan lagi, sehingga
perutnya membuncit ke depan dan bokongnya membesar pula tersodok puncak
gunung Garbawasa. Dalam dongeng budaya Jawa, Sang Hyang Antaga dikenal
sebagai Togog yang ditugaskan menemani manusia yang jahat dan Sang Hyang
Ismaya dikenal sebagai Semar yang diperintahkan untuk menemani manusia yang
baik. Sedangkan Sang Hyang Manikmaya sepintas kelihatan tidak bersalah, maka
ia tetap ditempatkan di surga. Padahal akibar ide dari Sang Hyang Manikmaya
itulah yang memanas-manasi keduanya untuk menelan gunung Garbawasa. Dan
kemudian Sang Hyang Manikmaya diangkat untuk memimpin takhta dan menjadi
penguasa dewa-dewa dengan gelar baru Batara Guru.

Sama dengan semar dan togog, kelakuan Batara Guru pun seperti kelakuan
manusia yang suka akan pertikaian dan haus akan kekuasaan. Itu sesuai
dengan sifat kuning telur yang menjadi asal-usulnya. Jika kulit telur
menandakan manusia hanya peduli akan hal-hal luaran, dan putih telur
adalah lambang bagi manusia yang suka akan kejujuran, maka kuning telur
60

adalah lambang bagi manusia yang haus akan kekuasaan. (Sindhunata,


2007: 62)
Dikisahkan bahwa Batara guru yang berasal dari kuning telur tersebut
adalah dewa yang paling mirip dengan manusia. Ia gila akan kekuasaan yang
diselimuti dengan rasa iri, dengki, persaingan, pertikaian, dan pertentangan
terhadap sesamanya. Dalam budaya orang Jawa, Semar itu adalah pamomong
orang Jawa sepanjang masa. Semarlah yang menjaga orang Jawa agar terhindar
dari marabahaya. Dalam hal ini pengarang mencoba menguliti kebudayaan orang
Jawa yang menjadikan semar sebagai panutan sebenarnya adalah dewa yang suka
bertikai juga seperti halnya manusia.

Gunung Garbawasa merupakan cerminan dari alam jagat raya. Semestinya


Semar sadar bahwa seharusnya kebesaran jagat raya tak boleh ditaklukkan dengan
nafsunya. Akhirnya jagat raya sendiri yang menghukumnya. Kisah keserakahan
ini yang kemudian meluas menjadi pertikaian.

Dijelaskan dalam kisah ini bahwa Sang Hyang Tunggal marah dan menegur
mereka, “Kalian dewa, tapi kelakuan kalian seperti manusia saja.” Waktu itu
manusia belum diciptakan. Itu artinya sesungguhnya telah direncanakan dalam
rancangan jagat raya34 bahwa manusia senantiasa berbuat pertikaian dan
kerusakan bagi dirinya. Dongeng ini menjadi lambang bahwa manusia yang diberi
akal dan nafsu oleh Tuhan menjadi pilar pertikaian itu hadir di muka bumi hingga
saat ini.

Pengarang dengan tegas menuturkan kritiknya dalam segmen cerita di novel


ini dengan menerjemahkan bahwa dari pertikaian itu dapat ditelusuri bahwa Putri
Cina itu adalah sama tapi lain dengan mereka.

34
Dalam agama Islam peristiwa ini dikenal ketika para malaikat protes kepada Allah akan
kekhawatirannya terhadap rencana Allah yang akan menciptakan manusia. Dalam Kitab Suci Al-
Quran dijelaskan yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, mereka berkata:
“Mengapa engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mengucikan Engkau?” Tuhan Berfirman: “Sesungguhnya Akumengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).
61

“Karena Paduka dan kaum Paduka lain dengan mereka tapi sama dengan
mereka,” jawab Sabdopalon-Nayagenggong.
“Karena diriku yang tidak jelas ini? Cina bukan, Jawa bukan. Ya Jawa, ya
Cina. Karena itukah maka aku lain tapi sama dengan mereka?” tegas Putri
Cina.
“Benar, Paduka. Pegitulah adanya,” jawab Sabdopalon-Nayagenggong.
“Itukah suratan takdirku?” tanya Putri Cina lagi.
“Benar, Paduka. Ketika keadaan damai, paduka adalah manusia seperti
mereka karena sama dengan mereka. Tapi ketika keadaan pecah dalam
pertikaian, Paduka bukanlah manusia karena Paduka tidak sama dengan
mereka,” tegas Sabdopalon-Nayagenggong.(Sindhunata, 2007: 71)
Kritik tajam ini merupakan suatu kesadaran status sosial orang keturunan
Cina di Tanah Jawa yang hingga saat ini masih berada pada posisi yang tidak jelas
dan menjadi bom waktu ketika pertikaian terjadi mereka akan dimusnahkan
kembali seperti saat-saat sebelumnya mereka menjadi kambing hitam dari
pertikaian yang kejam. Kritik tersebut dikisahkan dalam novel tersebut karena
dari sudut oandang psikologis pengarang, bahwa pengarang merupakan orang
keturunan Cina yang lahir dan besar di Tanah Jawa.

E. Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina

Novel Putri Cina merupakan novel sejarah yang kental dengan budaya Cina
dan Jawa. Novel dengan tebal 304 halaman ini dapat dikatakan sebagai sebuah
novel yang menampilkan gaya penceritaan yang unik dalam menentukan suatu
pesan kepada pembaca. Pengarang menyajikan dongeng dan petuah para dewa
sebagai teknik untuk menyampaikan pesan. Setelah dilakukan penelitian, peneliti
mencoba mengemukakan kategori nilai yang terdapat di dalam budaya Cina dan
Jawa, yaitu:

1. Nilai Budaya Cina


Budaya Cina adalah budaya yang penuh dengan ajaran-ajaran kehidupan.
Banyak leluhur Negeri Tirai Bambu itu yang menjadi pubnggawa sejarah
peradaban Cina yang menjadikan negeri itu melesat dengan sangat cepat menjadi
penguasa di Asia. Dalam budaya Cina, pepatah-pepatah leluhur bisa saja menjadi
suatu kepercayaan atau agama mereka seperti ajaran Konfusius yang menjadi
62

landasan agama Konghucu. Pada novel Putri Cina akan dibahas mengenai nilai-
nilai butir karakter tentang ajaran-ajaran itu sekaligus implikasinya terhadap
pendidikan. Berikut beberapa hasil analisis nilai budaya Cina dalam novel Putri
Cina:
a. Nilai Religiusitas
Nilai religiusitas merupakan nilai kehidupan sesuai dengan ajaran agama
atau keyakinan manusia. Nilai ini meliputi banyak hal dalam menjaga kehidupan
manusia agar tetap pada koridor keimanan dan ketakwaannya. Nilai religiusitas
juga bisa diartikan sebagai pedoman hidup agar kehidupan lebih baik dan tertata
dengan benar. Pada novel Putri Cina banyak sekali ragam nilai religiusitas yang
ditampilkan oleh pengarang seperti contoh penggalan cerita di bawah ini:
Memang, beginilah ajaran K’ung Tzu, bapak agama Kong Hu Cu yang
lama dipeluknya. K’ung Tzu berkata, siapa menghormati orangtuanya, dia
tidak akan memberontak pada mereka yang lebih tinggi daripada dia. Dan
siapa yang hormat dan taat pada mereka yang memang lebih tinggi
daripadanya dia, dia tidak akan menemukan kesulitan dalam hidupnya.
(Sindhunata, 2007: 35)

Demikian tekun ia bersembahyang dan percaya bahwa Dewi Kuan Im


akan menolongnya. Apalagi kalau ia sembahyang dengan tekun seperti
makco, mak, dan mamaknya sendiri, pasti Dewi Kuan Im akan
menolongnya seumur hidup. (Sindhunata, 2007:217)

Selama ini, setiap hari Giok Tien masih bersembahyang dan menyalakan
hio di meja sembahyangan, di mana terpasang kedua gambar kakaknya
tercinta, giok Hong dan Giok Hwa. Sambil mengangkat hio dipandanginya
gambar kedua kakaknya itu dengan linangan ari mata. (Sindhunata,
2007:280).

Ia mengangkat lagi hionya. Aroma hio harum bertebaran. Asapnya halus


menerpa wajahnya. Lalu dia pun melakukan sajah di depan bongpay
kedua kakaknya. (Sindhunata, 2007: 288)

Empat puluh hari setelah kematian kedua kakaknya. Pagi itu ketika hari
masih remang-remang, Giok Tien pergi ke kuburan kedua kakaknya. Di
depan kuburan Giok Tien bersembahyang, semoga arwah kakaknya
beristirahat dengan tenang untuk selamanya. Ia mengangkat hio,
mengangkatnya di depan bongpay kedua kakaknya yang amat dicintainya
itu. (Sindhunata, 2007: 288)
63

Penggalan-penggalan cetita di atas merupakan bukti nilai religiusitas


sangat dijunjung tinggi oleh putri Cina. Ia berdoa untuk minta pertolongan dan
keselamatan pada Dewi Kuan Im untuk ia dan kaumnya yang hidup di Jawa. Doa-
doa itulah yang menjadi teman setia ketika putri Cina bersedih hati dan untuk
mengenang kedua kakaknya yang telah meningggal akibat kekerasan dan
pembantaian yang dialami keluarganya dan kaumnya di Tanah Jawa.

b. Budaya Kesederhanaan
Selain nilai religius di atas, nilai budaya kesederhanaan juga merupakan
nilai yang penting dalam novel Putri Cina. Agar memudahkan pembaca, peneliti
membuat tabel untuk memudahkan memahami kategori nilai budaya
Kesederhanaan, maka peneliti menguraikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1: Kategori Nilai Pendidikan Karakter dalam Teks Novel Putri CinaBagian 1
No Kategori Teks Novel Putri Cina
1 Budaya Cina tentang Ia sendiri terheran-heran, mengapa ia dan
Kesederhanaan kaumnya selalu tergoda untuk mencintai harta
dan kekayaan yang berlebih-lebihan. Padahal
leluhurnya telah mengajarkan bahwa “hanya
dengan menjadi sederhana kau dapat
menemukan dirimu yang sesungguhnya”
Leluhurnya juga mengajarkan berulang-ulang
untuk menemukan tao, jalan kebahagiaan itu,
manusia tak boleh terikat akan benda atau harta
apa pun jua.
Dan tidakkah Chuang Tzu berkata, “Jika saat
berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan
beberapa lembar daun pisang saja.” Untuk
apakah semuanya, bila akhirnya manusia cukup
dibaringkan di atas daun ketika ia untuk
selamanya tertidur? (Sindhunata, 2007: 13)
64

Analisis nilai karakter pada tabel di atas menggambarkan bahwa putri Cina
dan kaumnya adalah karakter manusia yang rajin mengumpulkan harta.
Kebahagiaan yang selama ini mereka cari tentu akan sia-sia jika hanya berpatok
pada hal yang duniawi. Kekayaan bukanlah segalanya dalam hidup ini. Malah
kekayaan tersebutlah yang menjadikan putri Cina semakin tak berwajah.

Dulu ia dikenal kaya raya. Ia mempunyai segala harta benda. Dan tentu saja,
karena kekayaan dan hartanya, ia semakin bisa mempercantik wajahnya.
Memang ia kelihatan makin cantik, bila ia memperagakan dirinya beserta
semua kekayaan dan hartanya. Sekarang ia juga semakin bertambah kaya.
Hartanya semakin bertumpah-ruah. Apa saja yang diinginkannya bisa
dibuatnya. Tapi kenapa makin ia bertambah kaya. Makin terasa ia tak lagi
berwajah. Kekayaan dan hartanya tak lagi bisa menjadi tumpuan yang
menyangga wajahnya. Nyatanya wajahnya telah hilang, entah kemana.
(Sindhunata, 2007: 11)
Secara tegas pengarang menyampaikan pesan bahwa Putri Cina dan
kaumnya harus menuruti apa kata leluhurnya untuk menjadi pribadi-pribadi yang
sederhana dan tidak terikat pada dunia semata dengan mengumpulkan kekayaan
dan harta. Karena pada akhirnya manusia akan mati. Saat mati leluhurnya
berpesan bahwa manusia hanya akan membutuhkan beberapa lembar daun saja.
Jadi apalah gunanya harta berlimpah tersebut.

Kesederhanaan merupakan sebuah nilai hidup yang amat bermanfaat yang


akan mengantarkan seseorang pada gerbang kebahagiaan sejati. Dengan
kesederhanaan itulah manusia telah mencapai puncak kebahagiaannya di dunia.
Pada dasarnya nilai kesederhanaan sebagai suatu entitas dari kebudayaan timur
khususnya Asia. Kesederhanaan juga yang menjadi akar bagi kehidupan manusia
untuk menjadi manusia yang selalu ramah kepada siapa pun. Keramahan tersebut
akan menghilangkan sifat-sifat yang tidak terpuji seperti kesombongan.
Kesederhanaa merupakan nilai utama dari kebudayaan manusia yang harus dijaga.
Kesederhanaan pula menjadi pilar bagi kehidupan beragama. Dalam kisah novel
tersebut kesederhanaan dikisahkan melalui para leluhur orang Cina, seperti
Chuang Tzu. Di tanah Jawa, hal senada juga sering diungkapkan mengenai
65

kesederhanaan. Hal tersebut menjadi falsafah hidup bagi orang Jawa urip ojo
neko-neko, hidup itu jangan macam-macam. Sugih tanpa Bandha, kekayaan tidak
didasari kebendaan. Akulturasi dua kebudayaan tersebut memang menjadi sangat
menarik mengingat kedua kebudayaan tersebut merupakan kebudayaan yang
paling banyak pepatah hidupnya.

Tabel 4.2: Kategori Nilai Pendidikan Karakter dalam Teks Novel Putri Cina Bagian 2
No. Kategori Teks Novel Putri Cina
2 Budaya Cina yang -Mestilah ia meninggalkan segala kesombongan
Menjauhkan Diri dari akan harta dan bendanya supaya ia menjadi
Kesombongan dan sederhana seperti burung gereja. (Sindhunata,
Keserakahan 2007: 13)
-itulah sesungguhnya sifat orang Cina. Senang
menikmati kebadanan, tapi tak membenci
kerohanian. Menyenangi dunia, tapi nafsunya tak
terlalu duniawi. Menyenangi yang rohani, tapi
keinginannya tak terlalu rohani. Di antara dua
hal itulah terletak kebahagiaan manusia.
(Sindhunata, 2007: 77)
-Putri Cina teringat, beginilah sifat orang Cina
itu pernah ditegur oleh penyair Han San dari
Pegunungan Salju:
orang kaya itu khawatir akan banyak hal.
Mereka hanya berdagang dan berdagang.
Tak tahu bersyukur meski rezekinya banyak.
Di lumbungnya, padinya membusuk sudah.
Toh segantang saja tak rela mereka pinjamkan.
Pikiran mereka berkisar pada keinginan
Bagaimana mengeruk keuntungan.
Dengan semurah-murahnya mereka membeli kain
sutera
66

Tapi dari yang murah itu dibuatlah


Busana mahal dan mewah.
Pada saat mati nanti, mereka lupa.
Hanya lalatlah yang mengucapkan dukacita.
(Sindhunata, 2007: 78)

Keseimbangan hidup menjadi pilar utama untuk melenyapkan rasa sombong


dan keserakahan. Hidup penuh syukur dengan segala kesederhanaan itu lebih baik
dari banyak harta namun terus diliputi rasa tidak puas, iri, dan dengki. Pada novel
Putri Cina sifat-sifat sombong ditampilkan sebagai sebuah realita sejarah yang
dilakoni orang-orang Cina selama ini. Padahal para leluhurnya sudah
mengingatkan berkali-kali agar hidup manusia itu sederhana. Manusia sebagai
makhluk yang diberikan keistimewaan berupa akal dan nafsu perlu hati-hati
menggunakan kelebihan tersebut, sebab jika tidak akan menjerumuskannya dalam
kesombongan dan keserakahan. Sifat demikian adalah sifat yang tidak terpuji
dalam kehidupan.

Keserakahan tersebut akan menimbulkan kerusakan-kerusakan tatanan


sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat. Bahkan hingga pada titik
ekstrim yaitu kekerasan. Hal demikian juga diceritakan dalam novel Putri Cina
bahwa dalam sejarah raja-raja yang bertikai di Tanah Jawa. Dalam setiap
pertikaian yang akan terjadi dalam setiap penguasa beserta para pengikutnya
merasa dirinya benar dan lawannya salah. Bila demikian, maka keadaan itu
menuntut adanya mereka yang bisa dipersalahkan. Pada mereka inilah ditimpakan
segala kesalahan dari mereka-mereka yang bertikai. Dengan menimpakan
kesalahan itu, maka mereka yang bertikai merasa dirinya bersih. Mereka mencari
korban kesalahan dari luar mereka, supaya terasa bahwa mereka tak bersalah,
karena mereka memeang mau menyembunyikan kesalahan mereka. Tapi korban
itu tak boleh terlalu lain dari mereka, supaya bisa mewakili mereka. Itulah sejarah
kekejaman dari pertikaian yang diawali dengan sifat keserakahan akan kekuasaan.
67

Sifat sombong dan serakah itu akan berdampak sistemik pada pola
pengembangan sosial-budaya di masyarakat luas. Dari sifat seperti itu pula
perpecahan demi perpecahan muncul di permukaan masyarakat. Terjadilah
kerusakan pada tata kelola kehidupan. Tabel di atas memberikan gambaran bahwa
semua kebudayaan direncanakan secara baik untuk memberikan efek sosial yang
baik pula. Karena dari nilai-nilai kebudayaan tersebut dapat dijadikan pedoman
hidup bagi para pengikutnya untuk memperjuangkan perubahan sosial ke arah
yang lebih baik. Untuk menjawab segala tantangan itu, hidup sederhana harus
mulai ditanamkan sejak dini. Hal tersebut dapat diimplementasikan dalam sistem
pendidikan yang berkarakter. Inilah sebabnya peneliti mencoba mengurai dan
menganalisis novel ini sebagai suatu proses perubahan sosial tercipta.

c. Nilai Perjuangan
Putri Cina selalu ingat pepatah leluhurnya agar hidup di dunia ini selalu
menekankan semangat perjuangan yang senantiasa menjadi teman setia di saat
menjalani kehidupan. Hidup manusia di dunia itu dapat dinilai dari cara
bagaimana ia berjuang hidup dengan sgala kompleksitas permasalahan yang ada.
Nilai perjuangan ini ditunjukkan pada bagian ke-5 dan ke-19 novel ini. Ketika
Majapahit lengser oleh Raden Fatah anaknya yang kemudian ia mendirikan
kerajaan baru bernama Demak dengan agama barunya pula, dan saat sedang
terjadinya kerusuhan besar-besaran di negeri Pedang Kemulan. Semua orang Cina
dibantai, dibunuh, diperkosa, dijarah, dan dibakar hidup-hidup akibat adu domba
pemerintahan Prabu Amurco Sabdo seperti pada penggalan cerita berikut:
Memang beginilah ajaran K’ung Tzu, tiap manusia mulia harus
mengusahakan apa yang pokok dalam hidupnya. Jika ada yang pokok itu
kuat mengakar pada dirinya, jalan yang benar bagi hidupnya akan terus
muncul dan mengalir dari dalam dirinya. (Sindhunata, 2007: 35)

Sejarah seakan meminjam rahimnya, agar perubahan yang diinginkan bisa


terjadi. Dengan demikian tak sia-sialah kedatangannya ke Tanah Jawa ini.
Kalaupun tetap tidak jelas, siapa dia dan dari manakah asal-usulnya, adalah
jelas suratan takdir yang digariskan bagi hidupnya: ia harus ikut
memperanakkan perubahan yang sekarang telah terjadi di Tanah Jawa.
(Sindhunata, 2007: 33)
68

“Benar Tien. Begitulah perjalanan nasib.Semula kamu tdak tahu mengapa


kamu harus menjalani hidup seperti itu.Baru kelak kamu tahu, tanpa jalan
hidup yang sudah kamu tempuh itu tak mungkin kamu sampai menjadi
seperti sekarang.Karena itu, Tien, kamu harus bersyukur dan terus berjuang
atas segala peristiwa yang telah terjadi pada hidupmu” kata Siok Nio.
(Sindhunata, 2007:218)

Nilai perjuangan yang digambarkan tidak sekedar perjuangan dalam


peperangan seorang putri Cina, melainkan perjuangan memperanakkan seorang
putra yang menjadi raja di Tanah Jawa. Perjuangan itu semakin bergelora saat
putri Cina dihantui kecemasan akan tidak dianggapnya dirinya oleh Raden Patah
anaknya yang kini menjadi pemimpin di Tanah Jawa.
Pada penggalan cerita berikutnya nilai perjuangan hidup Giok Tien di
Tanah Jawa menjadi penggalan kisah yang mengharukan untuk ditelusuri setiap
ceritanya. Berakar dari pejuangan untuk bertahan hidup pulalah seorang Cina
dapat hidup dengan penuh semangat di Jawa walaupun perjalanan hidupnya
dihantui oleh pengadudombaan kaumnya yang selalu menjadi kambing hitam
dalam setiap pertikaian di Tanah Jawa.

d. Budaya Berbagi
Pengarang semakin menunjukkan kiatnya menyuguhkan nilai cinta harmoni
dengan menyajikan bait-bait syair mengenai penguatan dan berpikir positif.
Sebagai seorang Cina yang lahir dan besar di Tanah Jawa. Pengarang piawai
menceritakan bagaimana semangat yang harus ditempuhg oleh orang-orang Cina
yang hidup di Jawa. Penggalan syair itu sebagai berikut:
Jika orang lain bikin kami susah di hati
Kami akan menganggap itu adalah tumpukan rezeki
Kami akan belajar, setiap hari, mulai sekarang juga
Jangan kami membuat orang lain susah hatinya
Dengan apa yang kami miliki saat ini.
Setiap kami diberi satu
Kami akan memberi lipat sepuluh.
Bila kami difitnah padahal kami tidak bersalah
Kami hendak menganggapnya sebagai pahala.
Bila kami salah tapi dipuji dan dianggap benar
Akan kami rasakan itu sebagai hukuman. (Sindhunata, 2007:301)
69

Syair itulah bagian akhir dari cerita novel Putri Cina. Sangat jelas
pengarang mengharapkan dari novel ini tercipta perdamaian. Perdamaian yang
dibuat oleh orang-orang Cina yang hidup di Jawa dengan mengubah pola pikir
positif dalam setiap menanggapi keadaan dan peristiwa. Nilai cinta harmoni inilah
yang harus diterapkan dalam butiran-butiran pendidikan karakter. Cinta harmoni
merupakan nilai inti dari pendidikan karakter yang selama ini diprogramkan oleh
pemerintah. Nilai cinta harmoni akan tumbuh dengan sendirinya jika manusia
dapat memberikan respon yang positif terhadap setiap keadaan. Oleh karena itu,
segala perbuatan kita yang dirangkum dalam pendidikan karakter adalah berawal
dari pikiran kita.

e. Budaya Ramalan
Ramalan merupakan kunci perjalanan hidup bagi sebagian besar orang Cina.
Dengan ramalan itu mereka dapat menjadikan kehidupan lebih bermakna dan
patut diperjuangkan. Ramalan-ramalan bagi orang Cina hadir dari leluhurnya dan
berupa Shio pada tahun-tahun Cina. Tidak sedikit pula orang Cina
menggantungkan hidupnya pada ramalan-ramalan tersebut.
Giok Tien tersentak karena kata-kata itu. Ia merasa kematian menjadi suatu
yang nyata baginya. Ia sendiri lalu teringat, mamanya pernah pergi ke
seorang empek gwamia, kakek peramal. Empek itu menganjurkan agar ia
dan suaminya mesti banyak prihatin, karena salah seorang anaknya akan
mengalami banyak cobaan. (Sindhunata, 2007: 175)

2. Nilai Budaya Jawa


Pada budaya Jawa, nilai-nilai yang disajikan seputar kisah-kisah kerajaan
dan tatanan kehidupan kerajaan dan masyarakat di Tanah Jawa dalam menyikapi
sesuatu. Budaya Jawa sangat kental dengan ajaran kehidupannya yang mengakar
kuat di hati masyarakatnya sebagai spirit untuk menjalani kehidupan. Berikut
adalah nilai-nilai yang dirangkum dari novel Putri Cina, antara lain:
a. Budaya Cinta Harmoni
Nilai ini merupakan substansi dari nilai-nilai kehidupan yang dinamis. Nilai
cinta harmoni adalah nilai cinta terhadap perdamaian dan ketenteraman hidup.
Pada novel ini dapat ditemui banyak kisah-kisah yang menawarkan pemahaman
70

tentang kekerasan. Namun di atas semua itu para masyarakat sangat menjunjung
tinggi perdamaian. Hal tersebut pula tertuang dalam penggalan kisan Putri Cina
mengenai pertikaian yang sering terjadi di tanah Jawa. Pertikaian tersebut tentu
bertolak belakang dengan kedua budaya besar—Cina dan Jawa—tersebut. Budaya
Cina dan Budaya Jawa memiliki kesamaan untuk menjunjung tinggi harmonisasi
kehidupan. Oleh karena itu penekanan terhadap harmoni kehidupan perlu di
frasakan dengan kata “cinta” agar tercipta suasana penuh kasih. Nilaqi cinta
harmoni ditunjukkan pada penggalan novel berikut:
Perlahan-lahan kedamaian dan ketenteraman rakyat Tanah Jawa pulang
kembali ke Pedang Kemulan. Rakyat berpengharapan besar, semoga
kedamaian dan ketenteraman tadi selama-lamanya lestari. Mereka senang,
karena Prabu Aryo Sabrang memerintah dengan sabar dan penuh
keterbukaan. Sesungguhnya hal itulah budaya yang baik di Tanah Jawa.
(Sindhunata, 2007: 297)

Pada aplikasi kekuasaan, harmoni adalah cara penguasa dengan sabar dan
terbuka terhadap rakyat untuk memerintah demi kedamaian dan ketenteraman.
Pesan ini merupakan pesan tersirat dari penggalan kisah di atas. Pengarang terus
memberikan kisah yang menggenapkan kesewenangan, yaitu menjadi keadilan.
Perjalanan Putri Cina yang terakhir dilakoni oleh Giok Tien. Pada bagian akhir
cerita ini pengarang menyuguhkan pesan-pesan cinta yang dalam bagi umat Cina
di manapun berada, khususnya di Jawa dengan petikan sebagai berikut:
Seperti kupu-kupu kuning di Tanah Jawa, ia juga terbang ke utara. Kupu-
kupu kuning itu mati di utara dan hujan kembali berjatuhan ke dunia,
menyegarkan dan menyuburkan tanahnya. Kupu-kupu Putri Cina itu juga
terbang ke utara dan dari sana bunga-bunga ungu di tangannya menjadi
taburan hujan emas yang jatuh bertaburan ke dunia.(Sindhunata, 2007: 300)

b. Nilai Tanggung Jawab


Nilai tanggung jawab sering muncul dari kisah upaya-upaya penguasa
dalam melayani rakyatnya dalam berbagai kisah perjalanan hidup Putri Cina.Nilai
tanggung jawab sangatlah penting dalam memerintah suatu kerajaan, karena
tanggung jawab adalah pilar utama setiap pemimpin di dunia ini. Dari nilai
tanggung jawab ini akan lahir Negara yang berkeadaban, adil, makmur, dan
sejahtera. Nilai tanggung jawab juga hadir untuk mengevaluasi kualitas kehidupan
71

setiap manusia.Pesan nilai tanggung jawab disajikan secara bertahap tentang kisah
kekuasaan kerajaan.Contoh kekuasaan kerajaan yang sangat brutal dalam kisah
ini, yaitu kerajaan Pedang Kemulan menjadi salah satu contoh betapa penting nilai
tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pemimpin.Nilai tanggung
jawab juga dapat disaksikan atas perebutan kekuasaan yang terjadi di Tanah
Jawa.Seringnya hadir kemunafikan, saling curiga, dan saling berperang serta
kegaduhan merupakan dampak hilangna rasa tanggung jawab pada manusia. Hal
tersebut tersirat dalam penggalan novel sebagai berikut:
Malahan ia bertekad manghapus segala kenangan lama yang membuat
rakyat takut dan susah. Ia tidak ingin negeri Medang Kemulan dialami
rakyat seperti pedang kemulan............... (Sindhunata, 2007: 279)

Tak hanya keamanan dan kedamaian saja yang kembali pulih di Medang
Kemulan. Dalam waktu singkat kesejahteraan dan kemakmuran mulai
datang merambati Medang Kemulan. (Sindhunata, 2007: 280)

Samapi kini tidak jelas bagi rakyat, siapakah sesungguhnya orang-orang


dibalik kekerasan terhadap orang-orang Cina tersebut. Tak mungkinlah
massa rakyat bisa mengamuk dengan demikian terencana, jika tiada orang
yang mengatur dan menggerakkan mereka dengan cerdik dan licik.
(Sindhunata, 2007: 282)

c. Budaya Welas Asih (Menyayangi setulus hati)


Nilai welas asih atau kasih sayang merupakan inti dari segala nilai
kehidupan manusia di dunia.Nilai ini perlu menjadi prioritas bagi siapa saja dalam
menjalankan harmoni kehdupan untuk saling menghargai dan menghormati
sesama.Nilai kasih sayang yang ditunjukkan dalam novel ini meliputi niai yang
selalu menjadi pegangan bagi orang Cina dalam menjalani hidup dimana pun
mereka berada.
Nilai welas asih sesungguhnya adalah nilai yang sangat diperankan oleh
orang Jawa dalam kehidupan.Dari kisah dalam novel ini kita dapat menganalisis
bahwa Budaya Cina pun memiliki nilai welas asih sebagai pegangan hidup
masyarakatnya. Nilai welas asih yang ditampilkan dalam novel ini sebagai
berikut:
“Ya Tien, dan air mata itu hanya diberikannya kepada orang yang mau
berhati welas asih seperti dia. Maka dengan memegang Suinli, kamu tak
72

hanya akan didatangi rezeki, tapi juga harus mempunya hati yang welas
asih.Dengan permata Suini, Dewi Welas Asih mengingatkan kamu. Nak,
bahwa janganlah kamu mencari kebahagiaan, sebab dengan mencari
kebahagiaan kamu akan menemi kemalangan. Maka yang harus kamu
kerjakan adalah mencintai, karena hanya dengan mencintai kamu akan
menjadi bahagia dan menemui kebahagiaan,” tutur Siok Nio. (Sindhunata,
2007:218)

d. Budaya Unggah-ungguh(Sopan Santun)


Sopan santun merupakan nilai luhur bagi orang Jawa. Salah satu ciri khas
orang Jawa adalah sopan santun. Setiap orang Jawa membudayakan sopan santun
dalam kehidupan sehari-hari. Pada kasta kerajaan sopan santun menjadi pilar
kelakuan orang di lingkungan kerajaan. Setiap orang harus berjalan sambil duduk
dan membungkuk saat menghadap raja dan sungkeman terhadap orangtua.
Budaya ini sangat kuat dipegang oleh orang-orang Jawa. Seperti penggalan cerita
di bahawa ini:
Maka Roro Hoyi pun diboyong ke mataram. Sesampainya di sana, Sultan
amangkurat belum mau menggaulinya. Maklum, Roro Hoyi bukanlah
perawan Keraton. Karena itu untuk sementara ia dititipkan pada Bei
Wirorejo di Kademangan Wirorejan. Di sana ia dididik untuk belajar
unggah-ungguh, adat istiadat kehalusan, Keraton. (Sindhunata, 2007:187)

e. Budaya Nyekar (Menabur bunga di kuburan)


Bagi kebanyakan orang Jawa, budaya berkunjung ke kuburan menjadi
keharusan untuk mendoakan orang yang telah meninggal dan mengingat
kematian. Nyekardengan menaburkan bunga di atas tanah kuburan merupakan
budaya leluhur orang Jawa. Sebagian dari mereka juga meyakini dari proses
nyekar tersebut mereka akan mendapat rezeki yang melimpah.
“Dulu papaku berpesan, kalau ke Gunung Kawi, jangan lupa mampir ke
makam Mbah Kromeo di desa Kebobang. Aku ingin mengirim bunga ke
sana, sejak papa meninggal baru kali ini aku nyekar lagi Mbah Kromeo,” kata
Giok Tien. (Sindhunata, 2007:172)

f. Budaya Weton (Hitungan Jawa)


Meramal juga menjadi kebiasaan orang-orang Jawa. Mereka kadang
menokohkan seseorang menjadi juru weton untuk meramal orang-orang menurut
73

hitungan hari, tanggal, bulan, dan tahun Jawa. Namun, terkadang juga orang Jawa
meramalkannya sendiri. Hitungan dalam Jawa menjadi aktivitas masyarakat yang
memiliki kepercayaan tinggi akan suatu persamaan angka-angka dan nama-nama
dalam hari, tanggal, bulan, dan tahun. Seperti dalam cerita di bahawa ini.
Giok Tien meneruskan ceritanya, ia dan ayahnya mempunyai weton, hari
kelahiran yang sama, yakni senin Legi. Karena itu Mbah Kromeo
menganjurkan, agar setiap malam Senin Legi ayahnya mencemplungkan
bunga mawar, melati, dan kenanga kedalam segelas air. Esok paginya air
bunga itu harus diminum mereka berdua, dan sisanya untuk mencuci muka.
Setelah itu Giok Tien berjalan menuju perempatan kampung, dan
menaburkan bunga itu di tengah-tengahnya. Waktu itu Giok Tien tidak tahu,
untuk apa itu semuanya. Namun seperti ayahnya, ia yakin, minum air bunga
dan mencuci muka dengan air bunga itu akan membuat mereka selamat
sejahtera. (Sindhunata,2007: 173)

g. Budaya Ojo dumeh (Jangan Sombong)


Setiap manusia Jawa memegang teguh prinsip ojo dumeh dalam menjalani
kehidupan agar terhindar dari kesombongan yang bisa mencelakakan dirinya
sendiri. Ojo dumeh juga menjadi kebudayaan yang mulia bagi orang Jawa yang
telah mencapai kesuksesan dan atau meraih jabatan tinggi agar semakin tinggi
kekuasaan dan ilmu, seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Berikut
penggalan cerita mengenai budaya tersebut:
Wahyu dan segala perangkat ghaibnya membuat ia ora eling lan waspada.
Ia menjadi lupa akan ajaran leluhur, bahwa manusia ini harus selalu ingat
akan pesan ojo dumeh. Maksudnya, kalau sudah sakti dan berkuasa,
janganlah lupa, bahwa wong sekti ana kalane apes, pangkat bisa minggat,
wong pinter bisa lali, rejeki bisa mati, donya bisa lunga: orang sakti bisa
celaka, pangkat bisa pergi, orang pintar bisa lupa, rezeki bisa mati, dunia
bisa pergi. (Sindunata, 2007: 101)

Nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang dijaga dan dilestarikan secara


turun-temurun oleh masyarakat Cina dan masyarakat Jawa. Nilai itu memuat hal
yang paling primer dalam kehidupan manusia untuk mengembangkan dirinya
menjadi pribadi yang baik dan dapat diterima di lingkungannya hidup dan
berinteraksi. Nilai-nilai tersebut merupakan kesungguhan peran masyarakat dalam
menjaga dan membudayakannya menjadi suatu tatanan sosial yang mampu
menjadi pembentuk dan penggerak pendidikan yang memiliki karakter
74

kebangsaan. Dari nilai-nilai budaya tersebut penulis mengangkatnya sebagai butir


pendidikan karakter sesuai dengan judul skripsi ini.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel Putri Cina ini adalah nilai
yang tersirat dari falsafah hidup yang ditanamkan oleh para leluhur sebagai suatu
tatanan nilai budaya yang harus dijaga. Nilai tersebut disajikan melalui teknik
kausalitas dan tanya-jawab. Nilai hidup itu lahir dari pertanyaan-pertanyaan tokoh
yang kemuydian mendapatkan poenjelasan dari orang di sekitarnya maupun
pengingatan tokoh terhadap sajak-sajak para leluhurnya yang mengajarkan dan
menanamkan nilai-nilai budaya yang penuh damai tersebut. Nilai-nilai tersebut
juga dapat dijadikan landasan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter.

F. Nilai Budaya Cina dan Jawa sebagai Butir Pendidikan Karakter

Berbagai nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina telah banyak
mengilhami lahirnya suatu kebebasan dalam menjalani kehidupan dan
memberikan gambaran utuh mengenai peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di
Tanah Jawa. Peristiwa sejarah tersebut dapat dijadikan ‘guru’ bagi kita untuk
merenungi hal-hal mendasar tentang pengelolaan suatu budaya yang dapat
mengantarkan manusia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu pelu adanya
kesadaran sejarah. Menurut Diana (Sindhunata, 2000: 69):35

Kesadaran sejarah adalah sikap mental atau sikap jiwa pada diri suatu
individu, masyarakat, atau bangsa yang ditumbuhkan dari hasil penggalian
kebenaran yang dikandung fakta sejarah lengkap dengan hubungan
kausalitasnya secara menyeluruh untuk mengembangkan kearifan dan
kebijaksanaan yang bersangkutan dalam menghadapi masa sekarang dan
masa datang.
Kata kunci untuk memaknai kesadaran sejarah secara berurutan adalah
kebenaran sejarah, kearifan, dan kebijaksanaan. Artinya dengan menelaah,
menemukan, memahami serta menghayati adanya kebenaran sejarah maka
seseorang atau sekelompok masyarakat akan dapat mengambil keputusan

35
Diana Nomida Musnir, “Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis” dalam
Sindhunata (ed), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil
Society, Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet.1, h. 69.
75

bertindak yang bijaksana dengan penuh kearifan untuk menghadapi hidup mereka,
baik secara individu, maupun kelompok.

Setiap sejarah mengandung nilai budaya yang menjadi pelengkap kisah


dalam sejarah tersebut. Nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan kehidupan
bagi siapa saja yang memahaminya dan menghikmahinya. Nilai budaya tersebut
dapat dijadikan sumber bagi pemikiran pendidikan nasional agar mencapai
tujuannya.

Pendidikan karakter sangat penting diterapkan di setiap sendi kehidupan


pendidikan di Indonesia, terutama lembaga-lembaga pendidikan formal seperti
sekolah. Hal ini karena karakter yang baik terkait erat dengan keberhasilan anak
didik dalam belajar. Pencapaian yang akan didapat oleh peserta didik dalam
pendidikan karakter akan jauh lebih luas dibandingkan dengan pelaksanaan
pendidikan seperti biasa saja. Berbagai nilai yang diterapkan dalam pendidikan
karakter diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara serta beragama. Hal ini tentunya akan sangat menunjang keberhasilan
pendidikan nasional untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari sudut pandang
dalam skripsi ini, penulis mengambil Nilai budaya Cina dan Jawa yang khas dan
masing-masing memeiliki karakter kebudayaan yang beragam dan identik dengan
ajaran-ajaran kehidupan.

Penelaahan yang dilakukan tentang budaya Cina dan Jawa dapat dibawa ke
ranah upaya seluruh stake holders bidang pendidikan untuk mengupayakan secara
serius dalam mencanangkan pendidikan karakter sebagai suatu hal yang utama
untuk mencapai keberhasilan pendidikan nasional. Beberapa faktor indikator
pencapaian keberhasilan pendidikan karakter dapat dilihat dari berbagai aspek
kesalihan sosial di lingkungan masyarakat secara luas, tidak hanya mengandalkan
aspek kecerdasan intelektual saja.

Dalam proses belajar-mengajar, baik di sekolah maupun di lembaga


pendidikan lainnya, anak didik harus dibangun karakternya agar mempunya rasa
percaya diri yang baik. Rasa percaya diri dapat dimunculkan dengan memberikan
76

bantuan kepada mereka untuk menemukan kelebihan atau poteni yang ia miliki.
Setiap anak manusia pasti mendapatkan anugerah dari Tuhan berupa kelebihan
atau potensi masing-masing. Di sinilah butuh kesabaran, keteladanan, dan
ketelitian seorang pendidik untuk memberikan pendidikan bagi anak didiknya.
Dalam karya novel Putri Cinaperan seorang pendidik atau guru sangat
berpengaruh bagi seluruh sendi kehidupan. Bahkan pada kisahnya setiap orang
keturunan Cina pasti memiliki rambu-rambu kehidupan yang terus digenggam
oleh hatinya. Rambu-ranmbu kehidupan itu asalnya dari nenek moyang mereka
yang tertuang dalam beberapa kitab, terutam kitab suci mereka yang selalu
menekankan ajaran kebaikan dan keseimbangan dengan alam semesta. Dari sini
muncul rasa percaya diri untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan hikmah.
Pada bagian novel Putri Cina terdapat ajaran leluhur Cina mengenai
keyakinan. Dari hal ini setiap tindakan yang dilakukan masnuisa harus didasari
oleh keyakinan agar bisa dilaksanakan dengan percaya diri. Setiap manusia
diberikan kepercayaan untuk melakukan suatu hal dengan sendirinya akan tumbuh
dan berkembang rasa percaya diri yang kuat. Dalam praktik di lingkungan
masyarakat, terutama di lingkungan sekolah, tidak jarang kita temui anak yang
tidak mempunyai rasa percaya diri, karena memang tidak diberi kepercayaan
dalam melakukan sesuatu. Maka setiap pendidik perlu memberikan kepercayan
bagi anak didiknya agar dia dapat melakukan sesuatu dengan penuh percaya diri.
Karakter penting yang harus dibangun agar setiap manusia dapat meraih
keberhasilan, baik di lingkungan keluiarga, kelompok, maupun di lingkungan
masyarakat secara luas adalah kemampuan untuk menjalin kerja sama dengan
yang lain. Kemapuan dalam menjalin kerja sama ini dapat dilatih sejak dini.
Misalnya ketika anak di sekolah, seorang guru membuatkan kelompok belajar
pada saat proses belajar mengajar. Uapayaka seorang guru untuk memantau dan
sesering mungkin untuk mendorong anak didik agar lebih aktif terlibat dalam
kegiatan kelompok yang dilakukan. Kemampuan dalam menjalin kerja sama juga
dapat dibangun dengan permainan yang menyenangkan di sekolah.
Sebagai makhluk sosial, kemampuan dalam bekerja sama ini harus
dibangun sejak kanak-kanak. Di samping keluarga, lembaga pendidikan
77

mempunyai tugas dan tanggung jawab akan hal ini. Sebab orang yang tidak bisa
menjalin kerja sama dengan orang lain akan sulit mencapai kesuksesan dan
kebahagiaan hidup. Dikisahkan pula dalam kisah Putri Cina seorang Jaka
Prabangkara selama berada di negeri Cina pandai bergaul dan mudah diajak kerja
sama. Maka ia pun dengan cepat terkenal seantero negeri itu. Dengan berbagai
keahliannya melukis, Jaka pun dipanggil seorang raja untuk dianugerahi hadiah
oleh kerajaan. Dari kisah tersebut, dapat diambil hikmahnya bahwa, jiwa yang
mudah bergaul dan selalu berjiwa kerja sama akan melahirkan banyak
kemampuan dan kesuksesan dalam hidupnya.

Analisis terhadap novel Putri Cina ini dapat memberikan gambaran utuh
bagaimana pendidikan dan kebudayaan adalah suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Karena pendidikan merupakan gejala khas kebudayaan, begitu pula
kebudayaan merupakan hasil dari pembangunan pendidikan yang menitikberatkan
pada nilai-nilai budi pekerti dan karakter. Para pengamat perkembangan
masyarakat sering mengeluhkan bahwa pembangunan nasional kita kurang
memberi tempat yang memadai bagi dimensi kebudayaan. Dalam kata lain,
terlepas dari apa yang dimaksudkan dengan pengertian kebudayaan yang telah
diulas pada Bab 2 dalam skripsi ini, penulis memandang pendidikan selalu terkait
dengan kebudayaan, karena hakikat dari proses pendidikan adalah proses
perubahan manusia dalam tingkah lakunya (cara dan kemampuan berpikir, sikap
dan nilai, dan kemampuan kerja). Atas dasar itu pendidikan ditempatkan oleh
Undang-Undang No.2 Tahun 1989 untuk berfungsi memelihara dan
mengembangkan kebudayaan nasional.36 Menurut UU Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan disamping berfungsi mengembangkan, juga harus berakar
pada kebudayaan nasional.

Nilai-nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina pada penjelasan
sebelumnya merupakan nilai budaya secara keseluruhan yang terdapat dalam
novel. Maka untuk menjabarkan nilai-nilai budaya Cina dan Jawa sebagai butir

36
Soedijarto, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan
Bangsa (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet.1, h.7.
78

pendidikan karakter, penulis mengklasifikasikan kembali nilai-nilai budaya


tersebut dengan butir pendidikan karakter yang berjumlah 18 butir seperti yang
sudah dijelaskan pada Bab 2. Berikut ini adalah nilai-nilai budaya Cina dan Jawa
yang merupakan butir pendidikan karakter:

1. Nilai Religiusitas,
2. Budaya Kesederhanaan,
3. Budaya Berbagi,
4. Nilai Perjuangan,
5. Budaya Cinta Harmoni,
6. Budaya Tanggung Jawab,
7. Budaya Welas Asih (Menyayangi setulus hati),
8. Budaya Unggah-Ungguh (Sopan Santun), dan
9. Budaya Ojo Dumeh (Jangan Sombong).

Itulah nilai-nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina karya
Sindhunata yang menjadi butir pendidikan karakter. Diharapkan penelitian ini
dapat mengembangkan butiran nilai pembentuk pendidikan karakter. nilai budaya
tersebut dapat memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia yang saat ini semakin
menipis tergerus zaman. Maka perlu adanya keseriusan untuk menanggulangi
krisis budaya tersebut sebelum terjadi kerusakan moral dimana-mana.
Terdapat 3 nilai budaya yang tidak masuk kateogi pendidikan karakter,
yaitu budaya ramalan, budaya nyekar, dan budaya weton. Ketiga budaya tersebut
adalah budaya Cina dan Jawa yang hanya merupakan adat-istiadat atau kebiasaan
masyarakat kedua etnis tersebut, bukan merupakan nilai yang pantas untuk
menjadi butir pendidikan karakter.
Pengarang sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Jawa sangat
mempengaruhi sajian budaya dalam novel Putri Cina. Dari analisis skripsi ini
menyimpulkan bahwa nilai budaya Jawa lebih dominan dibandingkan dengan
nilai budaya Cina. Salah satu faktornya adalah pengarang seorang yang lebih
dikenal sebagai budayawan Jawa, latar geografis dalam novel ini sebagian besar
di Jawa dan segala kompleksitas orang keturunan Cina yang hidup di Jawa.
79

Nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina dapat dijadikan sumber
dalam mengembangkan butir pendidikan karakter di Indonesia, karena Indonesia
adalah suatu bangsa yang mempunyai budaya yang beragam yang dipersatukan
oleh semangat dan tujuan untuk memelihara kesatuan dan persatuan negara
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, Indonesia menggunakan
motto “Bhineka Tunggal Ika.” Pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam
konteks kebudayaan ini.37

37
Ibid., h. 96.
80

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina karya Sindhunata
merupakan perangkat untuk mengembangkan Pendidikan Karakter di Indonesia.
Ragam nilai budaya Cina dan Jawa yang disajukan dalam novel tersebut dapat
dijadikan suatu khazanah kebudayaan nasional yang berbasis pada Pendidikan
Karakter. Berikut ini adalah simpulan dari pembahasan dalam skripsi ini, antara
lain:
1. Sindhunata menggambarkan perpaduan budaya Cina dan budaya Jawa
benar-benar menyatu lewat penyajian dongeng sejarah. Di Tanah Jawa,
nama Putri Cina sudah tidak asing lagi. Bahkan ia sudah berperan jauh
dalam kejayaan kerajaan-kerajaan di Jawa. Hal tersebut merupakan
sumbangan terbesar budaya Cina untuk budaya Jawa. Perjalanan
kebudayaan di Jawa hingga saat ini berkembang tidak lepas dari peran
Putri Cina sebagai ‘Ibu’ yang melahirkan kebudayaan tersebut di Tanah
Jawa.
2. Berdasarkan analisis, diketahui bahwa novel Putri Cina karya Sindhunata
memuat nilai-nilaibudaya Cina dan Jawa yang menjadi pegangan
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain;
a. Nilai budaya Cina
Nilai budaya Cina yang dapat diklasifikasikan dalam novel Putri Cina,
antara lain nilai religiusitas, budaya kesederhanaan, nilai perjuangan,
budaya berbagi, dan budaya ramalan
b. Nilai Budaya Jawa
Sedikitnya terdapat 7 nilai budaya Jawa yang disajikan dalam novel
Putri Cina, antara lain budaya cinta harmoni, budaya unggah-ungguh
atau sopan-santun, budaya nyekar, budaya weton atau hitungan Jawa,
81

budaya ojo dumeh atau jangan sombong, budaya welas asih atau kasih
sayang, dan budaya tanggung jawab.
c. Perpaduan nilai budaya Cina dan Jawa
Dari dua jenis nilai budaya, yaitu Cina dan Jawa, terdapat perpaduan
nilai budaya di antara keduanya, yaitu budaya ramalan dan atau weton,
budaya tanggung jawab, budaya berbagi, budaya nyekar, budaya
perjuangan, dan budaya kesederhanaan.
d. Pengarang sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Jawa sangat
mempengaruhi budaya dalam novel Putri Cina. Nilai budaya Jawa
lebih dominan dibandingkan dengan nilai budaya Cina. Salah satu
faktornya adalah pengarang seorang yang lebih dikenal sebagai
budayawan Jawa, latar geografis dalam novel ini sebagian besar di
Jawa dan segala kompleksitas orang keturunan Cina yang hidup di
Jawa.

3. Nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina yang merupakan butir
pendidikan karakter antara lain budaya nilai religiusitas, budaya
kesederhanaan, nilai perjuangan, budaya berbagi, budaya cinta harmoni,
budaya unggah-ungguh atau sopan-santun, budaya welas asih atau kasih
sayang, budaya ojo dumeh atau jangan sombong, dan budaya tanggung
jawab. Nilai-nilai budaya tersebut dapat memperkaya khazanah
kebudayaan Indonesia yang saat ini semakin menipis tergerus zaman.
Maka perlu adanya keseriusan untuk menanggulangi krisis budaya tersebut
sebelum terjadi kerusakan moral dimana-mana, yaitu dengan merumuskan
nilai-nilai budaya tersebut ke dalam suatu kerangka pendidikan. Adapun
nilai budaya yang tidak termasuk dalam butir pendidikan karakter adalah
budaya ramalan, budaya nyekar, dan budaya weton. Ketiga budaya
tersebut hanyalah kebiasaan orang Cina dan Jawa yang menjadi
kepercayaan hidup masyarakat keduanya, bukan termasuk butir pendidikan
karakter yang mampu memberikan kontribusi bagi pendidikan.
82

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan, ada


beberapa saran yang diajukan penulis yaitu:

1. Nilai budaya Cina dan Jawa dalan novel Putri Cina karya Sindhunata dapat
dijadikan sebagai acuan untuk memperkaya khazanah butir pendidikan
karakter.
2. Para stakeholders dunia pendidikan dapat menjadikan nilai-nilai budaya Cina
dan Jawa dalam novel Putri Cina sebagai sumber rujukan dalam
memperkenalkan ragam budaya bangsa untuk menambah kualitas pendidikan
karakter.
3. Diharapkan nilai-nilai budaya Cina dan Jawa yang terkandung di dalam novel
Putri Cina ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan dapat juga
dijadikan pembelajaran sastra di sekolah yang berbasis pendidikan karakter
bagi kemajuan pendidikan di masyarakat.
4. Hasil analisis skripsi ini dapat dijadikan rekomendasi bagi pemerintah untuk
mengembangkan butir Pendidikan Karakter.
83

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003.

Azzet, Akhmad Muhaimin. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Jakarta:


Ar-Ruzz Media. 2011.
Baedowi, Ahmad. Calak Edu: Esai-esai Pendidikan. Jakarta: Pustaka Alvabet.
2012.

Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk


Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera. 2006.

Damono, Sapardi Djoko. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia. Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

Effendi, S. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya. 2009.

Freire, Paulo. Politik Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Hakim, M. Arifin. Ilmu Budaya Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Budaya. Bandung:
Pustaka Satya. 2001.

Hanum, Zulfa. Kritik Sastra: Sebuah Penilaian terhadap Karya Sastra.


Tangerang: PT Pustaka Mandiri. 2012.

Hasanuddin WS, Prof. Dr., M.Hum (Editor). Ensiklopedi Sastra Indonesia.


Bandung: Titian Ilmu. 2004.

Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009.

Ikram, Achadiati, dkk. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan


Aksara. Jakarta: Rajawali Press. 2009.

Kropotkin, Peter. Gotong Royong Kunci Kesejahteraan Sosial; Tumbangnya


Darwinisme Sosial. Depok: Piramedia. 2006.
Leahy, Louis. Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah Roh-Materi Berdasarkan
Data Empiris Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991.
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian
Pertama; Pendidikan. Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa. 1962.

Mulyana, Rahmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.


2004.
84

Noor, Rohinah M. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan


Moral yang Efektif. Yogyakarta: Ar-Ruz Media. 2011.
Nurgiyantoro, B. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. 2000.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme hingga Poststrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu


Semesta. 2008.

Rosidi, Ajip. Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Bandung:


Remaja Rosdakarya. 1995.

Semi, Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1988.

Semi, Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 1993.

Sindhunata (ed). Menggagas Paradima Baru Pendidikan: Demokratisasi,


Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisuis. 2000.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.

Smith, William A. Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


2006.
Soedijarto. Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka. 1998.

Sugono, Dandi (Pimpinan Redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi


Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003.

Sutrisno, Mudji. Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks. Jakarta: Hujan


Kabisat. 2008.

Wibowo, Agus dan Hamrin. Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar. 2012.
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi 1.
Bandung: UPI Press. 2006.
85
86

BIOGRAFI PENULIS

JOHAN ARISTYA LESMANA lahir di Bekasi, 16 Juli


1989. Menuntaskan Sekolah Dasar (SD) di SDN
Karangsambung 01 Bekasi. Kemudian, melanjutkan ke MTs
Al-Rosyadiyah Bekasi. Setelah itu ia melanjutkan Sekolah
Menengah Atas di SMA KORPRI Karawang. Ia
meneruskan ke Perguruan Tinggi Negeri di Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia FITK UIN Syarif Hidayayullah
Jakarta, masuk pada tahun 2007. Selain itu, ia juga
mengikuti jenjang kuliah D3 Plus di KAHFI Motivator
School Jakarta.
Mahasiswa yang gemar membaca dan diskusi ini adalah
seorang aktivis di berbagai organisasi kepemudaan. Tercatat ia pernah menjadi
Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat pada 2010-2011, Ketua
HMI Cabang Ciputat 2011-2012, saat ini memegang amanah sebagai Koordinator
Tim Kareteker Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pendidikan Mahasiswa
Islam (LAPENMI) PB HMI. Di samping itu ia juga pernah menjadi Ketua Ikatan
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII) Wilayah Pulau
Jawa-Madura pada 2010-2012. Pernah pula menjabat sebagai Ketua Bidang
Politik, Hukum, dan HAM Lingkar Studi Mahasiswa DKI Jakarta pada 2010-
2011.
Dari segudang pengalaman aktivisnya, ia sering diminta untuk menjadi
narasumber diskusi kebangsaan di berbagai Kampus di Indonesia, diantaranya;
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Pakuan Bogor, STAIN SAS
Bangka-Belitung, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali, STKIP PGRI
Bangkalan-Madura, Universitas Suryakancana Cinajur, Universitas Indonesia
Depok, Universitas Gunadarma, Universitas Trisakti Jakarta. Selain itu sering
juga diundang untuk menjadi motivator di berbagai Fakultas di UIN Jakarta dan di
berbagai Sekolah di wilayah Jabodetabek. Dari kesibukannya sebagai aktivis dan
motivator, ia juga gemar menulis di berbagai media online.
Dalam hidupnya berprinsip bahwa “Setiap ucapan, sikap, dan perbuatan kita
upayakan tidak sedikitpun memberikan kesempatan bagi orang lain untuk
berprasangka negatif terhadap kita.” Dari prinsip itu ia punya harapan besar untuk
memimpin bangsa ini sebagai Presiden Republik Indonesia yang ia canangkan
terwujud pada tahun 2034.
87
88

You might also like