Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 23

INCIDENCY OF MICROTIA IN

OTORHINOLARYNGOGY HEAD AND NECK


SURGERY DEPARTEMENT HASAN SADIKIN
HOSPITAL
FROM JULY 2004 – JULY 2009
Burhanudin, A. Dermawan, A.

OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK SURGERY


DEPARTEMENT FACULTY OF MEDICINE UNIVERSITY
PADJADJARAN/HASAN SADIKIN GENERAL HOSPITAL BANDUNG

ABSTRACT

Background : Microtia is a congenital deformity of the external ear that has


variety in degree of failure from deformity with ear components to anotia and
atresia.

Objective : Knowing the incidency of microtia in Hasan Sadikin General


Hospital Bandung from july 2004 – july 2009 period.

Design : It is a descriptive retrospective research with patient with all microtia


diagnosed patients as samples. Data analysis on gender, age, site of failure,
degree of failure, degree of hearing disorder and reconstruction procedure.

Result : From 59 microtia patients, 38 are male (64%) and 21 are female (36%).
Site of failure 46 samples (78%) unilateral, contains of 25 samples on right ear
(42,4%), left ear 21 samples(35,6%) and 13 samples (22,0%) with bilateral
failure. Degree of failure consist of 1 st degree (6,9%), 2nd degree (40,3%) and 3rd
degree (52,8%). Degree of hearing disorder 41 (56,9%) conductive, normal 28
(38,9%) and sensorineural 3 (4,2%). From all samples there are (5,1%) had done
the reconstruction procedure.

Summary : Microtia happens most in male (64%), with most of site of failure are
unilateral (78%), on the right ear dominantly (42,4%) and most of degree of
hearing loss are conductive (56,9%).

Keywords : Microtia, incidency


INSIDENSI MIKROTIA DI BAGIAN THT-KL RSUP
DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE
JULI 2004 - JULI 2009
Burhanudin, A. Dermawan, A.

Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran UNPAD / RSUP Dr. Hasan


Sadikin Bandung

ABSTRAK

Latar Belakang : Mikrotia adalah suatu deformitas dari telinga luar yang ada
sejak lahir, derajat kelainannya bervariasi dari terlihatnya bagian-bagian dari
telinga sampai dengan tidak adanya daun telinga dan lubang telinga luar (anotia
dan atresia).
Tujuan : Untuk mengetahui insidensi mikrotia di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
selama periode juli 2004 – juli 2009.
Desain : Rancangan penelitian adalah deskriptif retrosfektif dengan sampel pasien
yang terdiagnosis mikrotia. Analisis data meliputi jenis kelamin, umur, letak
kelainan, derajat kelainan, derajat gangguan dengar dan tindakan rekonstruksi.
Hasil : Didapatkan 59 penderita mikrotia, laki-laki 38 orang (64%) dan
perempuan 21 orang (36%). Letak kelainan unilateral 46 orang (78%) meliputi
telinga kanan 25 orang (42,4%), telinga kiri 21 orang (35,6%) dan letak kelainan
bilateral 13 orang (22,0%). Derajat kelainan mikrotia meliputi derajat I (6,9%),
derajat II (40,3%) dan derajat III (52,8%). Dengan gangguan dengar konduktif 41
(56,9%) telinga, diikuti dengan pendengaran normal 28 (38,9%) telinga dan
gangguan dengar sensorineural 3 (4,2%) telinga, dan yang telah dilakukan
tindakan rekonstruksi sebanyak tiga orang (5,1%)
Kesimpulan : Mikrotia terjadi lebih banyak pada laki-laki (64 %), dengan letak
kelainan terbanyak bersifat unilateral (78%), dan dominan pada telinga kanan
(42,4%), dengan gangguan dengar terbanyak bersifat konduktif (56,9%).
Kata kunci : mikrotia, insidensi
I. PENDAHULUAN

Secara sederhana mikrotia adalah suatu deformitas dari telinga luar yang ada

sejak lahir, disertai dengan ada atau tidaknya lubang telinga luar. Mikrotia

bervariasi dari tidak adanya daun telinga dan lubang telinga luar (anotia dan

atresia) sampai dengan terlihatnya bagian-bagian dari telinga. 1

Angka kejadian mikrotia pada populasi umum berkisar satu dari 8000

kelahiran secara global, tetapi rentangnya bervariasi tergantung pada kelompok

etnis tertentu. Di Meksiko, Amerika Serikat dan Amerika Selatan angka kejadian

mikrotia kurang dari satu dari 1000 kelahiran sedangkan pada orang Jepang dan

Korea terjadi satu dari 2100 kelahiran. Pada orang-orang kaukasia secara

keseluruhan terjadi 1 dari 20.000 kelahiran. 2

Mikrotia terjadi lebih banyak pada pria dan mengenai telinga kanan, terutama

pada mikrotia yang unilateral. Angka kejadian secara umum lebih banyak pada

orang Hispanik dan Asia daripada orang kulit hitam dan kulit putih. Penyebabnya

bersifat multifaktorial. Kurang dari 15 persen dari kasus mempunyai riwayat

keluarga yang terkena, dan biasanya disertai dengan kelainan kongenital yang

lainnya. Malformasi yang berhubungan dengan kelianan ini yang paling sering

berupa facial cleft, defek jantung, diikuti dengan anopthalmia, defek anggota

gerak, malformasi ginjal yang berat, dan holopresencephaly. 3


1.1. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui insidensi mikrotia di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung

selama periode juli 2004 – juli 2009.

1.2. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data

dasar penyakit mikrotia di Bagian THT-KL FK UNPAD / RS Dr. Hasan Sadikin

Bandung periode juli 2004 – juli 2009

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ETIOLOGI

Penyebab pasti mikrotia belum diketahui secara jelas. McKenzie dan Craig

menyatakan bahwa mikrotia mungkin disebabkan akibat terjadinya iskemia

jaringan intra uterin akibat sekunder dari obliterasi arteri stapedial atau akibat dari

perdarahan pada jaringan lokal.4

Penelitian secara genetik menunjukan beberapa kemungkinan faktor-faktor

penyebab mikrotia, misalnya aberasi kromosom, faktor-faktor yang diturunkan,

dan gen yang bersifat resesif autosomal. Sindroma yang paling sering

berhubungan dengan mikrotia adalah sindroma Goldenhar dan Treacher Collins.4

Selain itu juga, beberapa obat-obatan seperti thalidomide dan isotretinoin

mempunyai dampak sebagai penyebab timbulnya malformasi kongenital yang

berat seperti mikrotia.4


2.2. EMBRIOLOGI DAN ANATOMI

Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah

dan dalam. Dalam perkembangannya telinga dalam merupakan organ yang

pertama kali terbentuk mencapai konfigurasi dan ukuran dewasa pada trimester

pertengahan kehamilan. Sedangkan telinga tengah dan luar belum terbentuk

sempurna saat kelahiran, akan tumbuh terus dan berubah bentuk sampai pubertas.5

Gambar 1. Anatomi daun telinga normal6

Secara embriologi telinga luar dan tengah berasal dari celah brankial pertama

dan kedua, sedangkan telinga dalam berasal dari plakoda otik. Sehingga suatu

bagian dapat mengalami kelainan, sementara bagian lain berkembang normal. Hal

ini memungkinkan rehabilitasi pendengaran pada kebanyakan kelainan telinga

kongenital. 5,7

2.2.1. Telinga Luar dan Tengah

Ruang telinga tengah, mastoid, permukaan dalam membrana timpani dan tuba

Eustachius berasal dari kantong faring pertama. Perkembangan organ ini dimulai
pada minggu keempat dan berlanjut sampai minggu ke 30 fetus, kecuali

pneumatisasi mastoid yang terus berkembang sampai pubertas. Osikel berasal dari

mesoderm celah brankial pertama dan kedua, kecuali basis stapes yang berasal

dari kapsul otik. Osikel berkembang mulai minggu kedelapan sampai mencapai

bentuk komplet pada minggu ke 26 fetus. Liang telinga luar berasal dari ektoderm

celah brankial pertama. Membrana timpani mewakili membran penutup celah

tersebut. Pada awalnya liang telinga luar tertutup sama sekali oleh sumbatan

jaringan padat, akan tetapi akan mengalami rekanalisasi. Kegagalan kanalisasi

akan mengakibatkan timbulnya atresia liang telinga luar. Pada saat yang sama

timbul suatu rangkaian enam penonjolan kecil pada permukaan celah brankial

pertama dan kedua, kemudian semuanya bergabung membentuk daun telinga.

Kegagalan penggabungan bagian daun telinga yang berasal dari celah brankial

pertama dan kedua mengakibatkan timbulnya kista atau fistula preaurikuler. 1,2,5,8

2.2.2. Telinga Dalam

Labirin mulai berdiferensiasi pada akhir minggu ketiga dengan munculnya

plakoda otik (auditori). Dalam waktu kurang dari satu minggu plakoda tersebut

mengalami invaginasi membentuk lekuk pendengaran, kemudian berdilatasi

membentuk suatu kantong, selanjutnya tumbuh menjadi vesikula auditorius. Suatu

proses migrasi, pertumbuhan dan elongasi vesikula kemudian berlangsung dan

segera membuat lipatan pada dinding kantong yang secara jelas memberi batas

tiga divisi utama vesikula auditorius yaitu sakus dan duktus endolimfatikus,

utrikulus dengan duktus semi sirkuler dan sakulus dengan duktus koklea. Dari

utrikulus kemudian timbul tiga tonjolan mirip gelang. Lapisan membran yang
jauh dari perifer gelang diserap meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada

perifer gelang. Sakulus kemudian membentuk duktus koklearis berbentuk spiral.

Secara filogenetik organ-organ akhir khusus berasal dari neuromast yang tidak

terlapisi yang berkembang dalam kanalis semisirkularis membentuk krista.

Didalam utrikulusdan sakulus membentuk makula dan di dalam koklea

membentuk organ korti. Diferensiasi ini berlangsung dari minggu keenam sampai

ke 10 fetus, pada saat itu hubungan definitif seperti telinga orang dewasa telah

siap.9

2.3. KLASIFIKASI KELAINAN

Istilah “micro” artinya kecil, dan “otia” artinya telinga. Karena itu jika

diterjemahkan secara harfiah “microtia” artinya telinga kecil. Faktanya pada

kebanyakan kasus mikrotia bukan hanya tonjolan jaringan saja tetapi melibatkan

struktur yang kompleks pada telinga luar. Mikrotia secara khusus diklasifikasikan

berdasarkan bagian yang dapat dikenali dari telinga normal yang masih terlihat.

Terdapat banyak klasifikasi, salah satu yang sering digunakan adalah dengan

membedakan deformitas ke dalam tipe lobular dan konkal.

A B

Gambar 2. Klasifikasi mikrotia berdasarkan pada tipe


2A lobular, 2B konkal
Telinga dengan tipe mikrotia lobular berbentuk seperti sosis dengan bagian

yang besar dari sisa lobulus telinga. Biasanya lubang telinga luar dan meatus tidak

ada. Pada mikrotia tipe konka, sisa konka lebih besar dan lebih mudah dikenali,

biasanya lobulus, bagian-bagian dari konka, antihelix dan tragus masih dapat

teridentifikasi. Lubang telinga luar dapat ada atau tidak ada. 10

Beberapa penulis memakai klasifikasi Metz untuk menyatakan derajat

deformitas daun telinga. Derajat I memperlihatkan daun telinga tidak sempurna

tetapi masih bisa dikenali heliks, tragus atau lobulus. Derajat II terdiri dari bentuk

lekuk atau seperti tanda tanya dengan lengkungan yang diatas adalah heliks yang

rudimenter. Bentuk uni paling sering ditemukan. Derajat III berupa satu atau dua

tonjolan yang tak sempurna sebagai petunjuk tempat lobulus. Bentuk daun telinga

tidak ada hubungannya dengan kelainan didalamnya, oleh karena itu klasifikasi ini

hanya berguna untuk kepentingan deskriftif.5,9


Gambar 3. Klasifikasi Metz malformasi daun telinga.5

2.4. DIAGNOSIS

Prosedur diagnostik yang dilakukan adalah pemeriksaan Brain Evoked

Response Audiometry (BERA) sebaiknya dikerjakan segera setelah kelahiran

untuk menilai fungsi telinga dalam pada kedua telinga. BERA biasanya

direkomendasikan dilakukan pada usia tiga sampai enam bulan. Evaluasi

pemeriksaan otologi secara berkala disarankan untuk menyingkirkan beberapa

masalah yang mungkin terjadi, misalnya otitis media pada telinga yang normal.

Pengobatan otitis media efusi pada telinga yang normal harus agresif untuk

mengoptimalkan fungsi pendengaran pada anak dan menghindari terjadinya


keterlambatan bicara. Pada anak yang kooperatif dapat dilakukan pemeriksaan

sound-field testing atau bahkan pemeriksaan audiogram nada murni. Jadwal rutin

pemeriksaan audiologi untuk follow-up harus dilanjutkan.4

Pemeriksaan CT Scan tidak dianjurkan dikerjakan pada anak usia kurang dari

4-6 tahun. CT Scan dikerjakan sebelum dilakukan tindakan rekonstruksi pinna

untuk menilai keadaan telinga tengah apakah diperlukan tindakan bedah atau

tidak.4

2.5. PENATALAKSANAAN

Masalah yang mendesak pada kelainan telinga kongenital adalah cacat yang

mengakibatkan gangguan pendengaran. Pada kelainan kongenital unilateral tidak

memerlukan latihan pendengaran dan evaluasi secara dini. Tuli sebelah telinga

dapat merupakan hambatan yang nyata terutama apabila telah mencapai sekolah

tingkat tinggi.1,5,11

Masalah yang paling mendesak ialah tuli yang mengenai kedua telinga. Anak

mulai berbicara pada tahun pertama kehidupan, pendengaran diperlukan untuk

belajar berbicara. Keadaan ini akan mengakibatkan keterlambatan berbicara.

Status pendengaran anak harus segera diketahui sedini mungkin. Bila pada terlihat

pendengaran kurang, maka alat bantu dengar harus sudah di pasang pada umur

enam bulan dengan tujuan selain untuk mendapatkan daya sensori lingkungan

sehingga terbentuk pengertian tentang bunyi dan bicara juga untuk menentukan

fungsi koklea secara akurat pada umur yang lebih muda.9


2.5.1. Terapi non pembedahan

Jika pendengaran pada telinga yang tidak terkena normal, penggunaan alat

bantu dengar tidak direkomendasikan. Jika pada telinga normal ditemukan dengan

gangguan dengar derajat berat atau jika anak lahir dengan mikrotia pada kedua

telinga disertai dengan atresia liang telinga, alat bantu dengar sebaiknya dipasang

segera setelah lahir.4

2.5.2. Terapi Bedah

Rekonstruksi mikrotia merupakan tindakan bedah yang menantang untuk ahli

bedah rekonstruksi. Pada tahun 1959 Dr. Tanzer mempublikasikan paper tentang

penggunaan kartilago rusuk autogen dalam rekonstruksi telinga dan membawa era

baru dalam rekonstruksi telinga. Sejak 1970 Dr. Brent memodifikasi teknik Dr.

Tanzer dan telah mengobati lebih dari 1000 pasien mikrotia dalam 25 tahun

terakhir. Sekarang ini penggunaan kartilago rusuk autogen masih merupakan gold

standard untuk rekonstruksi mikrotia. Meskipun banyak teknik baru yang sedang

dikembangkan termasuk implan alloplastic, osseo-integrated prostheses dan tissue

engineering.3

Dalam beberapa literatur waktu dilaksanakannya rekonstruksi mikrotia masih

diperdebatkan. Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan waktu yang tepat

dalam rekonstruksi telinga luar adalah usia dari kematangan telinga luar,

ketersediaan donor kartilago rusuk, dan dampak psikologis dari penyakit ini. Saat

lahir, telinga 66 % dari ukuran dewasa. Usia 3 tahun 85 % dari ukuran dewasa.

Usia 6 tahun 95 % dari ukuran dewasa. Kartilago rusuk ukurannya mencukupi


pada usia 5 atau 6 tahun. Dan berdasarkan pengalaman Dr. Brent efek psikologis

dari mikrotia penting saat anak mulai masuk sekolah. Oleh karena itu, Dr. Brent

secara umum memulai rekonstruksi telinga pada usia 6 tahun. Sekitar 60-70 %

rekonstruksi dikerjakan pada usia antara 6 sampai 10 tahun. Dr. Nagata memulai

rekonstrusi pada usia 10 tahun dengan lingkar dada minimal 60 cm, yang dapat

dikonfirmasi dari pemeriksaan radiologi. Ini berhubungan dengan volume relatif

dari luasnya tulang rawan yang dibutuhkan untuk tindakan rekonstruksinya.3

Evaluasi lengkap pemeriksaan audiologi dan radiografi dari tulang temporal

penting pada semua pasien dengan mikrotia. Gangguan pendengaran yang paling

banyak pada mikrotia adalah berupa conductive hearing loss. Akan tetapi

gangguan dengar sensorineural juga dapat ditemukan pada 10-15 % pasien.

Telinga tengah normal jarang ditemukan dalam hubungan nya dengan mikrotia.

Keadaan telinga tengah tidak berhubungan langsung dengan deformitas dari

telinga luar. Beratnya deformitas telinga luar terlihat berkorelasi dengan beratnya

abnormalitas dari tulang temporal tapi tidak ada hubungan antara beratnya tanda-

tanda dismorfik dengan derajat gangguan dengar yang ditemukan. Tindakan

bedah telinga tidak dilakukan pada mikrotia unilateral dengan pendengaran

normal pada telinga yang lainnya. Ini dikarenakan pasien biasanya tidak

memerlukan pendengaran binaural setelah tindakan bedah telinga. Dan juga

karena dipercaya bahwa struktur saraf pendengaran untuk proses binaural

berkembang hanya jika pendengaran binaural ada sejak awal kehidupan. Akan

tetapi penelitian terbaru memperlihatkan bahwa gangguan dengar unilateral


meningkatkan resiko terhadap keterlambatan berbicara dan bahasa, attention

deficit disorder, dan kurangnya prestasi disekolah.3

TEKNIK BRENT

Terdapat empat tahapan prosedur :

Tahap pertama : pembuatan rangka telinga dengan menggunakan tulang

rawan rusuk kontralateral

Cetakan dibuat dengan meletakan kepingan film roentgen terhadap telinga

normal pada kasus-kasus mikrotia unilateral. Atau pada telinga orang tuanya pada

kasus yang bilateral dan dirancang sesuai dengan gambaran anatomi yang khas

dari telinga. Selanjutnya cetakan dibuat beberapa milimeter lebih kecil untuk

mengakomodasi ketebalan kulit yang menutupinya dan telinga yang telah

direkonstruksi.11

Kartilago tulang rusuk kontralateral ke 6, 7, dan 8 diambil. Dasar dari rangka

dipotong dari sambungan kartilago tulang rusuk ke 6 dan 7. Sedangkan heliks

diambil dari kartilago tulang rusuk ke 8. Heliks kemudian dijahit dengan dasar

rangka dengan benang nylon. Rangka buatan ditempatkan subkutis. Potongan sisa

dari kartilago disimpan di kantung posterior dimana rangka tadi ditempatkan atau

dibawah sayatan di dada untuk digunakan pada tahap selanjutnya untuk

memperbaiki proyeksi telinga. Dipasang drain kecil dua buah selama lima hari.
Tahap kedua : transposisi lobulus

Dilakukan beberapa bulan setelah tahap pertama selesai. Dilakukan mobilisasi

lobulus ke arah inferior dari dasar jaringan flap dan dilakukan rotasi sampai ke

ujung dari rangka telinga. Jaringan lobulus yang tidak terpakai kemudian dibuang.

Tahap ketiga: elevasi rangka auricular

Insisi dibuat beberapa milimeter dari tepi. Pemisahan dilakukan pada bagian

posterior kapsul sampai didapatkan proyeksi yang tepat. Potongan kartilago

diletakan antara rangka dan mastoid untuk menstabilkan posisi telinga. Tandur

kulit digunakan untuk menutupi bagian belakang dari bekas rangka kartilago

yang dielevasi.

Tahap keempat : pembuatan tragus

Tandur kulit atau kartilago diambil dari permukaan konkal anterolateral telinga

normal. Insisi J-Shaped dibuat sepanjang batas posterior tragus. Bagian tandur

yang telah diletakkan akan menghasilkan proyeksi tragus dan rongga dibelakang

tragus. Jaringan lunak dibuang dari konka yang baru sampai ke lekukan konkal.
TEKNIK NAGATA

Terdapat dua tahapan prosedur :

Tahap pertama : Pembuatan rangka telinga luar, rekonstruksi tragus dan

transposisi lobulus

Kartilago tulang rusuk 6, 7, 8, 9 ipsilateral diambil. Dasar rangka dipotong dari

sambungan ke 6 dan 7 tulang rusuk. Heliks dan crus heliks diambil dari tulang

rusuk ke 8. Tulang rusuk ke 9 digunakan untuk membuat crus superior, inferior

dan antiheliks. Rangka tulang rusuk dirakit dengan menggunakan kawat kecil.

Insisi dibuat pada permukaan anterior lobulus. Insisi W-Shaped dibuat juga pada

permukaan posterior lobulus untuk membagi lobulus menjadi flap tragus anterior

dan flap kulit lobulus posteroanterior. Kantung subkutis dibuat dari insisi ini

kemudian rangka ditempatkan pada celah kantung tersebut. Flap posterior

dibesarkan untuk menutupi anterior tragus, lobulus ditransposisikan dengan teknik

Z plasty. Digunakan penyangga disekitar flap kulit dan rangka kemudian

dipertahankan selama dua minggu.

Tahap kedua : elevasi rangka

Enam bulan setelah tahap pertama, potongan kartilago yang berbentuk bulan

sabit diambil dari tulang rusuk ke 5 dari insisi sebelumnya. Dibuat insisi 5

milimeter dibelakang batas dari konstruksi yang telah dibuat. Rangka ditinggikan

dan dipertahankan pada tempatnya. Flap fasia temporoparietal di tinggikankan

melalui insisi baru pada kulit kepala dan dan dibuat saluran subkutis untuk

menutupi permukaan posterior dari tandur kartilago dan telinga yang


direkonstruksi. Pada bagian belakang dari rangka kemudian ditutup dengan tandur

kulit dari daerah kulit oksipital.

2.6. KOMPLIKASI

Karena kompleksnya struktur anatomi telinga luar, diperlukan perhatian yang

terperinci sebelum dilakukan tindakan rekonstruksi. Komplikasi yang paling

sering terjadi dari rekonstruksi mikrotia adalah hasil kosmetik yang tidak

menyenangkan. Komplikasi lain yang lebih jarang terjadi adalah infeksi,

perdarahan, atau pneumothorak dalam proses penanaman kartilago tulang rusuk.

Terbentuknya hematoma pada kantung kulit dari rangka kartilago telinga yang

baru dapat juga menjadi penyebab terjadinya infeksi.

III. METODE DAN CARA PENELITIAN

Rancangan penelitian adalah deskriptif retrosfektif. Sampel penelitian adalah

semua pasien poliklinik THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung yang di

diagnosis sebagai mikrotia, yang datang selama jangka waktu penelitian.

Penelitian ini dilakukan di poliklinik THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung dari juli 2004 – juli 2009 dengan melihat data rekam medik pasien

mikrotia. Data yang diambil adalah jenis kelamin, umur, lokasi kelainan, derajat

mikrotia, pemeriksaan penunjang yang meliputi BERA (Brain Evoked Response

Audiometry) dan Audiometri nada murni serta tindakan rekonstruksi.


MIKROTIA

MR

Jenis kelamin, umur, lokasi kelainan,


derajat mikrotia, pemeriksaan
penunjang, tindakan rekonstruksi

IV. HASIL PENELITIAN

Dari penelitian ini didapatkan 59 pasien mikrotia yang datang berobat ke

bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode

juli 2004 – juli 2009. Terdiri dari frekuensi laki-laki 38 (64%) pasien dan

perempuan 21 (36%) pasien dengan perbandingan laki-laki dengan perempuan

1,8:1.

Gambar 2.Diagram umur dan jenis kelamin


Gambar 1. Diagram Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan

21
Perempuan
36%

9 8 8
Laki-laki
64%
4
2 2 2 2 1
0 - 5 thn 6 - 10 thn 11 - 15 thn 16 - 20 thn 21 - 25 thn 26 - 30 thn
Tabel 1. Frekuensi Umur dan Jenis Kelamin pada Mikrotia Periode Juli
2004-Juli 2009

Umur Laki-laki Perempuan Total %


0 – 5 thn 21 9 30 50,9
6 – 10 thn 8 8 16 27,1
11 – 15 thn 2 2 4 6,8
16 – 20 thn 4 2 6 10,2
21 – 25 thn 2 2 3,4
26 – 30 thn 1 1 1,6

Dari pengelompokan umur dibagi sebagai berikut : 1) usia 0 – 5 tahun

sebanyak 30 (50,9%) pasien, 2) usia 10 – 15 tahun sebanyak 16 (27,1%) pasien, 3)

usia 11 – 15 tahun sebanyak 4 (6,8%) pasien, 4) usia 16 -20 tahun sebanyak 6

(10,2%) pasien, 5) usia 21-25 tahun sebanyak 2 (3,4%) pasien, 6) usia 26 – 30

tahun sebanyak 1 (1,6%) pasien. Dari data didapatkan umur yang terbanyak saat

berkunjung ke poli THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah antara 0 – 5

tahun diikuti dengan kelompok umur 6 -10 tahun dan 16 -20 tahun. (Tabel 1)

Gambar 3. Diagram Letak Kelainan Gambar 4. Diagram LetakKelainan dan Jenis Kelamin

Unilateral Bilateral Laki-laki Perempuan


16
14
22%

9
8
7
5

78%

Telinga kanan Telinga kiri Kedua telinga

Pada data rekam medik diketahui letak kelainan yang terbanyak adalah bersifat

unilateral, sebesar 46 pasien (78%) dengan perincian telinga kanan 25 pasien

(42,4%) terdiri dari laki-laki 16 pasien dan perempuan 9 pasien, telinga kiri 21
pasien (35,6%) terdiri dari laki-laki 14 pasien, perempuan 7 pasien dan letak

kelainan bilateral 13 pasien (22,0%) terdiri dari laki-laki 8 pasien dan perempuan

5 pasien. (Tabel 2)

Tabel 2. Frekuensi Letak Kelainan dan Jenis Kelamin

Letak kelainan Laki-laki Perempuan Total %


Telinga kanan 16 9 25 42,4
Telinga kiri 14 7 21 35,6
Kedua telinga 8 5 13 22,0

Dari data ditemukan variasi derajat kelainan dibagi ke dalam tiga kelompok

sebagai berikut : 1) derajat I sebanyak 5 (6,9%) telinga, terdiri dari telinga kanan 3

buah, telinga kiri 2 buah 2) derajat II sebanyak 29 (40,3%) telinga, terdiri dari

telinga kanan 20 buah, telinga kiri 9 buah 3) derajat III sebanyak 38 (52,8%)

telinga, terdiri dari telinga kanan 15 buah, telinga kiri 23 buah. (Tabel 3)

Gambar 5. Diagram derajat kelainan dan letak kelainan


Telinga kanan Telinga Kiri

23
20

15

3
2

Derajat I Derajat II Derajat III


Tabel 3. Frekuensi Derajat Kelainan dan Letak Kelainan

Derajat kelainan Telinga kanan Telinga kiri Total %


Derajat I 3 2 5 6,9
Derajat II 20 9 29 40,3
Derajat III 15 23 38 52,8

Pada pemeriksaan penunjang dengan BERA dan audiometry nada murni

didapatkan hasil terbanyak adalah gangguan dengar konduktif 41 (56,9%) telinga,

diikuti dengan pendengaran normal 28 (38,9%) telinga dan gangguan dengar

sensorineural 3 (4,2%) telinga. Dengan perincian sebagai berikut derajat I

gangguan dengar konduktif 3 (4,2%) telinga, normal 1 (1,4%) telinga dan tidak

ada gangguan dengar sensorineural, derajat II gangguan dengar konduktif 15

(20,8%) telinga, gangguan dengar sensorineural 2 (2,8%) telinga, normal 14

(19,4%) telinga, derajat III gangguan dengar konduktif 23 (31,9%) telinga,

gangguan dengar sensorineural 1 (1,4%) telinga, normal 13 (18,1%) telinga.

(Tabel 4)

Gambar 6. Diagram Derajat Kelainan pada Telinga dan Derajat


Gangguan Dengar
Conductif Hearing Loss Sensorineural Hearing Loss Normal

23

15
13 13

3
2
1 1
0

Derajat I Derajat II Derajat III


Tabel 4. Frekuensi Derajat Kelainan pada Telinga dan Derajat Gangguan Dengar

Derajat Conductive % Sensorineural % Normal %


kelainan Hearing Loss Hearing Loss
Derajat I 3 4,2 - - 1 1,4
Derajat II 15 20,8 2 2,8 14 19,4
Derajat III 23 31,9 1 1,4 13 18,1
Total 41 56,9 3 4,2 28 38,9

Pada penelitian ini didapatkan data sebanyak tiga pasien (5,1%) telah dilakukan

tindakan rekonstruksi.

V. DISKUSI

Beberapa penelitian melaporkan mikrotia lebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan perempuan dengan rasio 2:1. Insidensi mikrotia bilateral dilaporkan

sekitar 10-30 %, dan telinga kanan paling banyak terkena sekitar 55-65 % pada

kasus-kasus mikrotia yang unilateral. Temuan penelitian terbaru di Jepang

menunjukan data yang sama yaitu rasio laki-laki - perempuan, 4:1. Insidensi kasus

mikrotia bilateral 30 %, dengan telinga kanan terkena sekitar 51 % pada kasus

yang unilateral. Adapun derajat beratnya kelainan tidak berbeda antara kasus-

kasus yang unilateral dan yang bilateral. 8,12

Pada penelitian ini menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu jumlah

penderita laki-laki 38 (64%) pasien dan perempuan 21 (36%), dengan

perbandingan 1,8 : 1. Dengan letak kelainan yang terbanyak adalah telinga kanan

25 pasien (42,4%) pada kasus yang unilateral, dan letak kelainan bilateral 13

pasien (22,0%).

Konsultasi pasien yang lahir dengan mikrotia idealnya segera setelah kelahiran.

Ini diperlukan untuk evaluasi sistem organ yang lain, dan penting untuk
mengetahui kondisi awal status pendengaran anak. Gangguan dengar yang terjadi

pada telinga yang mengalami kelainan biasanya bersifat konduktif (40-60 dB)

akibat sekunder dari tidak adanya liang telinga luar dan akibat adanya fiksasi

tulang-tulang osikular.13 Fungsi telinga dalam pada kebanyakan kasus biasanya

masih baik sehingga dapat memberikan beberapa kemampuan dalam pendengaran

anak.

Pada penelitian ini dengan BERA dan audiometry nada murni didapatkan hasil

terbanyak adalah gangguan dengar konduktif 41 (56,9%) telinga, diikuti dengan

pendengaran normal 28 (38,9%) telinga dan gangguan dengar sensorineural 3

(4,2%) telinga.

VI. KESIMPULAN

Insidensi mikrotia di poliklinik THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada

juli 2004 – juli 2009, paling banyak terjadi pada laki-laki sebanyak 38 kasus

(64%), dengan letak kelainan terbanyak bersifat unilateral (78%), dan dominan

pada telinga kanan sebanyak 25 kasus (42,4%) dengan ganguan dengar terbanyak

adalah bersifat konduktif sebanyak 41 (56,9%) telinga.


DAFTAR PUSTAKA

1. Berke J. Cause of Hearing Loss - Microtia. Available from :


http://www.about.com/microtia.htm
2. http://www.California Ear Institute Atresia Repair.com
3. Shen J, Quinn FB, Ryan MW. Microtia. Available from :
http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Microtia-Recon-0410/Microtia-Recon-
0410.htm
4. Bonilla A. Microtia. Available from : http: //emedicine. medscape. com/
article/ 995953-overview
5. Ballenger JJ. Congenital anomali of ear. In : Ballenger JJ, ed. Disease of
the nose throat, ear, head and neck. 13 th ed. Philadelphia : Lea and
Febiger, 1996: 485-518.
6. Shambaugh GE. Developmental anatomy of the ear. In : Shambaugh GE
ed. Surgery of the ear. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co, 1967 : 5-
39
7. Duvall AJ, Liston SL. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. Dalam :
Adams GL, Boeis LR, Hilger PA, eds. Boeis buku ajar penyakit THT (alih
bahasa). Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran, 1995: 27-38.
8. Schuknecht HF. Congenital Aural Atresia. Laryngoscope 1989; 99: 908-
917
9. Muhtarum Yusuf, Soepriyadi. Kelainan Telinga Kongenital dalam : Media
Perhati Vol.8 no.2 April-Juni 2002. Hal 35-47
10. Bauer BS. Reconstruction of The External Ear in Microtia. Available from
http://www.childsdoc.org/fall96/bauer/microtia.asp
11. Lambert PR. Congenital aural atresia. In Bailey BJ, ed. Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Philadelphia: JB Lippincott Co. 1993 : 1579-90
12. Jafek BW, Nager GT, Strife J, Gayler RW. Congenital Aural Atresia: an
analysis of 311 cases. Trans Sect Otolaryngol Am Acad Opthamol
Otolaryngol 1975;80: 588-595.
13. Bonilla J A. Microtia Medical Journal, July 8, Volume 3. Number 7. 2002

You might also like