Professional Documents
Culture Documents
Nama: M. Delfi Akbar Maulana NIM:19311529 Uas Pemasaran Islami
Nama: M. Delfi Akbar Maulana NIM:19311529 Uas Pemasaran Islami
Nama: M. Delfi Akbar Maulana NIM:19311529 Uas Pemasaran Islami
1. The term Tayyibat, e.g., refers to purity, wholesomeness and lawfulness while the term Rizq
(sustenance) refers to the source of the Tayyibat, Allah, who also describes himself as Tayyib and
who is the sole and undisputed provider of sustenance. The Rizq is used to denote the following
meanings: Godly sustenance, divine bestowal, godly provision and heavenly gifts. Khaba’ith
(plural of Khabeeth) is all that which cannot benefit a Muslim in a Shariah-compliant manner
under normal circumstances. Under other circumstances, however, Khaba’ith can be made use of
or consumed but within the limits of ‘absolute necessity’. For example, a Muslim is allowed to
consume ‘just enough’ of a non-Shariah compliant product, i.e., Haram, pork, e.g., to allow him
to survive if he could not find any other source of food and his survival was clearly at risk. Once
this necessity is lifted the licence to consume is cancelled and consumption of that particular
product becomes a sin. Since Muslim consumers are not allowed to consume Khaba’ith then it
would not make any economic sense for producers to produce such products. In addition to the
lack of economic visibility, producers are ethically bound to produce Taiyyibat and to refrain
from the production of Khaba’ith, even if what they produce is aimed for non-Muslim markets.
The Islamic rule is very clear in this regard and it doesn’t distinguish between a Muslim and a
non-Muslim market, it is universal in nature. From the Islamic religious perspective, Taiyyibat
can be defined as the goods and services that are Shariah-compliant. It is the plural of Taiyyib,
which is the opposite of Khabeeth: ‘Say (O Muhammad): Not equal are Al-Khabîth (all that is
evil and bad as regards things, deeds, beliefs, persons and foods) and At-Taiyyib (all that is good
as regards things, deeds, beliefs, persons, foods), even though the abundance of Al-Khabîth may
please you. So fear Allâh, O men of understanding in order that you may be successful’. Produk
Taiyyibat telah diklasifikasikan oleh ulama Islam ke dalam empat tingkatan yang berbeda, yang
digambarkan dalam apa yang disebut hierarki produk dalam Islam. Tingkatan tersebut adalah
Dharuriyyat (kebutuhan), Hajiyyat (kebutuhan), Kamaliyyat (perbaikan) dan Tarafiyyat
(pemborosan),
Dharuriyyat or Necessities
The concept of staying alive in Islam extends well beyond the conventional concept of survival
and encompasses the preservation of the five basic pillars of life, that is: faith, body and soul,
mind, honour and wealth. Those correspond to a minimum amount of food and drink, clothing,
basic transportation, medication and health services, literacy, security to one’s life, honour,
These correspond to basic products as stated previously but differ in quality, amount and
availability. While it is the state’s duty to ensure that all citizens get enough necessities, it is the
religious responsibility of the people themselves to move higher up the hierarchy, which in turn
enables them to get better quality and larger amounts at their convenience or whenever they wish,
in addition to other appliances that make one’s life easier. Examples of products at this level
include better food, higher-quality clothes, a larger home, home appliances, bottled water instead
of tap water, suitable public transportation, vocational and higher education, books of all titles
Kamaliyyat or Improvements
The third level of the Islamic product hierarchy involves the satisfaction of the five pillars of life
using products of a higher order. For example, owning a beautiful house in an upscale area,
private transportation, expensive schooling for children, and so on. At this level the brand name
2. Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga: tak adil dan tak sah, serta adil dan sah.
Penetapan harga yang “tak adil dan tak sah?berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi kekuatan
pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai atau menaikkan permintaan.
Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia
menyatakan, “Memaksa penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban
untuk menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.?Ini berarti,
penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Ibnu
Taimiyah mendukung pengesampingan elemen monopolistik dari pasar dan karena itu ia
menentang kolusi apapun antara orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan
pembeli. Ia menekankan pengetahuan tentang pasar dan barang dagangan serta transaksi
penjualan dan pembelian berdasar persetujuan bersama dan persetujuan itu memerlukan
pengetahuan dan saling pengertian (Islahi, 1997: 117). Berbeda dengan kondisi musim
kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah
ketika terjadi ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual (arbab al-sila)
menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga
normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-
barang tersebut, merekadiharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat
nyata dari ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan
barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, otoritas harus menetapkan harganya (qimah al-
mithl) untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas
meskipun dalam berbagai kasus dibolehkan mengawasi harga, tapi dalam seluruh kasus tak
disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga. Mereka boleh melakukannya setelah
melalui perundingan, diskusi dan konsultasi dengan penduduk yang berkepentingan. Dalam
hubungannya dengan masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan
musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq). Pihak lain juga diterima
hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai keterangannya. Setelah
melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara
persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh
penduduk. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan
Untuk menjelaskan tujuan gagasan membentuk komisi untuk berkonsultasi, ia mengutip pendapat
ahli fikih lainnya, Abu al-Walid, yang menyatakan, “Logika di balik ketentuan ini adalah untuk
mencari –dengan cara itu- kepentingan para penjual dan para pembeli, dan menetapkan harga
harus membawa keuntungan dan kepuasan orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual)
dan tidak mengecewakan penduduk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa persetujuan
mereka (penjual) dan membuat mereka tidak memperoleh keuntungan, penetapan harga seperti
itu berarti korup, mengakibatkan stok bahan kebutuhan sehari-hari akan menghilang dan barang-
Ia menegaskan secara jelas kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang,
tak akan memperoleh dukungan secara populer. Misalnya, akan muncul pasar gelap atau pasar
abu-abu atau manipulasi kualitas barang yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan itu.
Ketakutan seperti itu dinyatakan juga oleh Ibnu Qudamah. Bahaya yang sama, juga banyak
dibahas oleh ahli-ahli ekonomi modern, karena itu disangsikan lagi, bahaya ini harus ditekan,
kalau bisa dihilangkan sama sekali. Harga itu perlu ditetapkan melalui musyawarah bersama dan
diciptakan oleh rasa kewajiban moral serta pengabdian untuk kepentingan umum.
3. Islam merupakan agama yang paling promotif karena memiliki banyak sekali mahzab (fiqh) yang
bisa disesuaikan dengan keadaan-keadaan tertentu. Islam yang sekarang sebaiknya yang bersifat
promotive bukan konfrontatif. Islam yang promotif lebih bersifat mengajak karena sekarang ini di
Indonesia banyak sekali agama yang diakui sehingga apabila kita melakukan dakwah tidak yang
bersifat mengajak maka tidak ada yang tertarik untuk bergabung dengan islam. holy-marketer
atau pemasar suci adalah para pelaku pemasaran yang mengikuti Syariah. Kaitannya dengan
dakwah adalah ketika seorang pemasar yang menganut pada Syariah, dalam melakukan dakwah
atau memasarkan produk-produk dengan mengikuti syariat islam maka orang tersebut sudah
melakukan dakwah. Karena dakwah tidak selalu tentang berceramah, ketika kita berjualan dan
kita memasarkan suatu produk dengan mengikuti syariat islam itu juga sudah termasuk dakwah.
Ketika seorang pemasar mengikuti syariat islam dalam memasarkan produk, maka ia sudah tahu
apa yang diperbolehkan dalam islam dan apa yang tidak diperbolehkan dalam islam sehingga
Iklan Yang Mengandung Penipuan (Mengelabui Konsumen) Atau Gharar. Hukumnya adalah
Saeeda Ahmad memberi kami definisi yang bagus tentang apa yang sebenarnya halal: “Ini adalah
keseluruhan ekosistem nilai-nilai etika yang umum bagi bisnis dan masyarakat. Ini memastikan
Anda makan produk yang sehat, bersih, tidak beracun, dan Anda tidak memiliki gaya hidup yang
akan merugikan Anda. Ekonomi halal dimaksudkan untuk berbasis nilai. Ini memastikan Anda
hak pekerja & pemasok, dll. Ini memiliki banyak aspek dan peluang yang berbeda.”
Bedanya halal market dengan traditional market adalah tipe konsumen yang menyenangi halal
market adalah mereka yang peduli dengan produk-produk yang mengusung konsep pemasaran
halal. Di pasar tradisional, tidak semua orang yang berjualan itu orang islam, sehingga banyak
sekali dari mereka yang tidak mengikuti syariat dalam menjual produk, tidak mesti produk yang
dijual itu merupakan produk halal, tapi cara mengolah yang salah juga bisa membuat produk itu
menjadi haram. Misalkan seperti memotong ayam, jika mengikuti syariat islam, maka seharusnya
memotong ayam itu harus menghadap kearah kiblat, jika tidak maka ayam itu bisa menjadi haram
untuk dimakan. Maka dari itu sangat penting untuk mengusung pemasaran halal untuk
menghindari mudharat..
4. Logistik dapat didefinisikan sebagai sebagai proses perencanaan, implementasi, dan pengendalian
terkait proses penyimpanan barang dan jasa supaya dapat memenuhi kebutuhan dari pelanggan.
Tujuan utama dari logistik adalah untuk memastikan bahwa konsumen dapat menikmati,
menggunakan, atau mengkonsumsi produk pada waktu dan jumlah yang tepat, sesuai kebutuhan,
serta dalam kondisi yang baik (Talib & Hamid, 2013). Maka dapat disimpulkan bahwa
manajemen logistik meliputi berbagai aktivitas, antara lain: transportasi, penyimpanan dan
produk halal harus mengikuti hukum syariah, tidak terkecuali proses logistiknya. Oleh karena itu,
perlu adanya proses logistik yang menerapkan prinsip- prinsip syariah dalam pelaksanaannya.
Prinsip utama dari halal logistic adalah memastikan pemisahan antara produk halal dan non halal.
Dari seluruh supply chain, pihak penyedia jasa layanan logistik berperan penting untuk
memastikan bahwa bahan mentah, bahan baku, pengemasan, penyimpanan dan trasnportasi
produk halal telah dilakukan dengan benar sehingga tidak terkontaminasi produk non halal (Soon
et al, 2017). Menurut Tieman (2013) ada tiga dasar dalam halal logistic, yaitu: kontak langsung
dengan produk haram, risiko kontaminasi, dan persepsi konsumen Muslim. Ketiga hal tersebut