Jurnal 1520874411

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 53

PENCIPTAAN KARYA TARI “BALI JAWI” BERSUMBER DARI RITUAL

PEMUJAAN LELUHUR GUNA MENGHIDUPKAN KEMBALI NILAI-


NILAI LUHUR MANUSIA JAWA

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH


PENCIPTAAN SENI
untuk memenuhi persyaratan mencapai derajad magister
dalam bidang seni, minat utama Penciptaan Seni Tari

Anter Asmorotedjo
1520874411

PROGRAM PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN


PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2019

i
The Dance “BALI JAWI”
Based on the Ancient Worship Ritual to Revive the Noble Values of
Javanese People

By Anter Asmorotedjo

ABSTRACT
The dance Bali Jawi is inspired by a ritual from the Jawadipa belief
in the ancient Java time that used to be called as the ancestor worship
ritual. Nowadays, this ritual is still be doing by the disciple of kejawen.
The Javanese spiritual person believes that their ancestors are always
njampangi; a term in Javanese means „keep watching from a distance‟
their posterity. So, this ritual is often believed as a devotional form to the
ancestors. The research is conducted in several sacred places in Java.
There are a lot of honorable values of Java in this ritual. In the other hand,
this kind of ritual has been forgotten in this modern era. Javanese people
tends to make a distance from this kind of ritual. Ironically, they also tend
to consider this kind of ritual as a misguiding doctrine while the fact is
there are so many values of kindness included in it. Therefore, it makes the
Javanese people lost their Javanese identity. The honorable values as a
Javanese human faded day by day and most of them get lost; it is called
“Wong Jawa Ilang Jawane”.
Witnessing the reality that the Javanese honorable values begin to
be faded and based on empirical experiences brings out the idea to raise
this issue into a dance work. The Watu Gilang site in Kotagede is the
starting point of the artistic research in this dance work creation. The result
of the field research, literature research, and information gathered from
various resources converted to be a power from the dance Bali Jawi. The
ideas are transformed into bodily symbols, music, dance properties, and
other supporting elements. Every symbol presented on this dance are
expected to tell the meaning and core values of the dance itself. Therefore,
Bali Jawi could be a meaningful yet high-quality that has honorable values
of Java. The dance work is as well expected to inspire people in order to
revive Javanese human honorable values. The choreographer is trying to
look back to the past and connect it with the present time, as a provision to
understand and forecast the future. The honorable values of Javanese
human are back to its realm and become the initial gate into the glory of
Nuswantara.
Keywords: Bali Jawi, worship ritual, the honorable values of Java

ii
Penciptaan Karya Tari “BALI JAWI” Bersumber dari Ritual
Pemujaan Leluhur guna Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Luhur
Manusia Jawa

Oleh Anter Asmorotedjo

ABSTRAK
Tari berjudul Bali Jawi, sebuah karya yang terinspirasi dari ritual
kepercayaan Jawadipa pada masa Jawa Kuno yaitu ritual pemujaan roh
leluhur. Saat ini ritual tersebut masih dilakukan oleh penganut kejawen..
Para pelaku spiritual Jawa percaya bahwa para leluhur selalu njampangi
anak cucunya, maka ritual tersebut sebagai wujud bakti dan bukti
memuliakan para leluhurnya. Riset dilakukan di beberapa tempat
pemujaan yang disakralkan. Dari ritual yang dilakukan, banyak nilai-nilai
luhur yang terkandung didalamnya. Di sisi lain ritual semacam itu sudah
banyak ditinggalkan orang terutama di era modern saat ini. Orang Jawa
sendiri semakin tidak mengenal bahkan menjauh dari ritual semacam itu.
Ironisnya ritual semacam itu dianggap sebagai tindakan yang sesat.
Padahal realitanya banyak ajaran kebaikan serta nilai-nilai keluhuran yang
ada. Akibatnya orang Jawa semakin kehilangan jati dirinya sebagai
manusia Jawa. Nilai-nilai luhur manusia Jawa semakin luntur dan banyak
orang Jawa yang kehilangan identitasnya, Wong Jawa Ilang Jawane.
Melihat realita yang terjadi terkait nilai-nilai luhur Jawa yang
sudah mulai ditinggalkan dan didasari pengalaman empiris menumbuhkan
gagasan untuk mengangkat persoalan tersebut dalam sebuah karya tari.
Situs Watu Gilang di Kotagede sebagai tempat yang dijadikan sebagai titik
awal penelitian artistik dalam penciptaan karya ini. Hasil riset di lapangan,
informasi dari berbagai sumber, serta referensi dari literasi yang
ditemukan dijadikan sebagai kekuatan karya Bali Jawi. Gagasan
ditransformasikan ke dalam simbol-simbol ketubuhan, musik, sett properti,
serta elemen pendukung lainnya. Simbol-simbol yang dihadirkan
diharapkan mampu menyampaikan isi dan makna yang terkandung
didalamnya, sehingga Bali Jawi menjadi karya yang berbobot, yang
memuat nilai-nilai keluhuran. Karya ini juga diharapkan mampu
menginspirasi dalam upaya menghidupkan kembali nilai-nilai luhur
manusia Jawa. Pencipta tari mencoba melihat kembali masa lalu yang
dikaitkan dengan masa kini, sebagai bekal untuk membaca dan melihat
masa depan. Nilai-nilai luhur manusia Jawa kembali para ranahnya, dan
menjadi gerbang awal menuju kejayaan Nuswantara.
Kata-kata kunci: Bali Jawi, ritual pemujaan, nilai-nilai luhur Jawa

iii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penciptaan

Berbicara mengenai Jawa tidak hanya berkelindan dengan wilayah


atau sebagai sebutan nama pulau, tetapi mencakup sejarah, kepercayaan,
kepribadian, kebudayaan, filsafat, maupun mitos-mitosnya. Luasnya
pengertian tentang Jawa tersebut dimaknai sebagai sebuah identitas.
Pengertian identitas yang satu dengan yang lainnya tentu saja tidak dapat
dipisahkan, namun yang menjadi fokus perhatian disini khususnya yang
berkaitan dengan kepercayaan (Jawa) yang disebut juga dengan kapitayan.
Menurut buku yang berjudul Kitab Jawa Kuno yang ditulis oleh Damar
Shashangka, kepercayaan Jawa yang tumbuh di masyarakat Jawa dibagi
menjadi tiga kategori besar yaitu; Jawadipa, Jawa Buda (baca: Jowo Budo),
Kejawen. Jawadipa merupakan ajaran asli Jawa sebelum agama-agama masuk
ke Nuswantara. Jejak-jejak ajaran Jawadipa yang masih dapat ditemui antara
lain dalam bentuk piranti upacara yang berupa nasi tumpeng, kepercayaan
terhadap danghyang-danghyang di tempat-tempat tertentu, pemujaan terhadap
roh-roh leluhur yang berpusat pada bangunan bernama pundhen atau candi,
perhitungan wuku, windu, lambang, uriping dina/ neptu, dan sebagainya.
Berkaitan dengan kepercayaan Jawa tersebut bahasan akan difokuskan pada
ritual pemujaan roh leluhur.

Ajaran Jawadipa yang merupakan kepercayaan asli Jawa identik


dengan ritual-ritual.1 Ritual dilakukan sebagai penghormatan kepara para
pendahulu yang berfungsi juga sebagai modal sosial untuk saling menghargai
dalam kehidupan. Adat di Jawa senantiasa mendambakan hubungan dinamis
antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Hubungan ideal antara
mikrokosmos (jagad alit) dan makrokosmos (jagad ageng).
1
Ritual menurut wikipedia bahasa Indonesia merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan
terutama untuk tujuan simbolis yang dilaksanakan berdasar suatu agama (kepercayaan), tradisi,
atau komunitas tertentu yang diatur atau ditentukan, dan tidak dilakukan secara sembarangan.

1
Saat ini di Jawa, yang berkaitan dengan ritual Jawa sering dipandang
sebelah mata bahkan banyak orang menilai ajaran Jawa dianggap melenceng.
Hal-hal yang terkait dengan tradisi Jawa seperti ritual-ritual atau upacara adat
seringkali dianggap kuna, primitif, dan dianggap tidak relevan dengan
perkembangan zaman. Bagi orang yang kurang memahami, akan mengatakan
bahwa sesaji merupakan bentuk persekutuan dengan makhluk halus atau jin
sesat. Pemelintiran pemahaman ini berdampak pada mindset seseorang.
Tradisi Jawa yang diwariskan para leluhur semakin kurang mendapat
perhatian dari sebagian besar masyarakat Jawa. Nilai-nilai budi Jawa yang
seharusnya melekat pada kehidupan manusia Jawa mulai luntur, orang Jawa
tidak mampu lagi menterjemahkan simbol-simbol yang tersembunyi dalam
tata cara budaya Jawa (wong Jawa ilang Jawane).

Permasalahan diatas mendorong munculnya gagasan untuk


mengangkat nilai-nilai keluhuran dalam karya tari. Bersumber dar ritual
pemujaan roh leluhur kemudian digali untuk memunculkan makna yang
terkandung didalamnya melalui pendekatan filosofi Jawa. Kehadiran karya ini
mencoba memberi gambaran betapa tingginya peradaban Jawa yang disetiap
aspeknya mengandung nilai-nilai filosofi serta nilai-nilai luhur kehidupan.
Manusia Jawa perlu berkaca diri agar dapat melihat kembali dan menemukan
jati dirinya sebagai manusia Jawa yang lahir, hidup, dan akan mati di bumi
Jawa.

B. Rumusan Ide Penciptaan

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, muncul beberapa


pertanyaan kreatif, yaitu;

a. Bagaimana menciptakan karya tari yang sesuai dengan gagasan yaitu


mengangkat nilai-nilai luhur manusia Jawa dalam koreografi.
b. Metode apa yang digunakan untuk mentransformasikan gagasan, serta
menemukan simbol-simbol yang dihadirkan dalam karya.

2
Penciptaan karya tari ini merupakan penuangan ide gagasan yang
dimulai dari pengalaman personal. Kegelisahan yang muncul dari melihat
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia terkait deskriminasi terhadap
kepercayaan Jawa telah dirasakan sejak lama. Harus terjun ke lapangan secara
langsung untuk melihat, mendengar dan merasakan yang terjadi di lapangan
sehingga orang akan memandang segala sesuatu tidak hanya dari luar nya saja
ataupun dari berita-berita yang belum tentu benar. Ritual pemujaan
mengandung ajaran-ajaran luhur dan nasihat kebaikan bukan seperti yang
dituduhkan. Hal tersebut menumbuhkan motivasi untuk mewujudkannya ke
dalam sebuah karya seni pertunjukan yang bersumber dari ritual pemujaan
leluhur untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur manusia Jawa.

C. Orisinalitas

Karya ini melibatkan pengalaman subjektif yang belum tentu bisa


dirasakan orang lain. Pengalaman empiris yang terjadi di masa lalu hingga
yang dialami saat ini mengubah pemikiran, pemahaman, dan cara pandang
terhadap kepercayaan Jawa. Pengalaman subjektif penata diperkuat dengan
berbagai informasi yang terkait dengan kepercayaan Jawa, tradisi Jawa,
ataupun yang lebih luas lagi mencakup kebudayaan Jawa yang dipadukan
dengan berbagai sumber referensi.

Penata terjun secara langsung ke lapangan, berdiskusi dengan


penganut kepercayaan Jawa, para pemerhati atau pelaku budaya, maupun
pada seorang arkeolog. Hal tersebut dilakukan untuk menambah dan
melengkapi pengetahuan tentang hal-hal yang mendasari karya yang
diciptakan. Ritual pemujaan juga dilakukan oleh penata sehingga tema yang
diangkat berdasar pada hal-hal yang dialami dan dirasakannya sendiri.
Pengalaman melihat, mendengar, dan merasakan suasanya alam saat
melakukan perjalanan ritual ke tempat-tempat pemujaan menginspirasi
suasana yang dihadirkan dalam karya. Sarana ritual, tempat ritual, serta

3
pengamatan terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mendasari
kehadiran simbol-simbol dalam karya. Hal-hal tersebut diatas menjadi bukti
untuk bahwa karya ini adalah karya yang orisinil dan dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.

D. Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan :
a. Karya ini sebagai media ekspresi untuk menghidupkan kembali
nilai-nilai luhur Jawa, merespon realita yang terjadi terkait nilai-
nilai luhur Jawa yang semakin ditinggalkan oleh masyarakat Jawa
itu sendiri.
b. Karya ini sebagai media ekspresi untuk mewujudkan imajinasi
dalam karya tari yang penuh makna filosofi melalui simbol-simbol
untuk membuka kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kehidupan.

2. Manfaat :
a. Karya ini diharapkan menjadi media untuk refleksi dan introspeksi
diri yang berkaitan identitas sebagai manusia Jawa yang memiliki
kepercayaan, tradisi, budaya serta warisan leluhur lainnya agar
tumbuh rasa cinta, rasa memiliki, dan rasa bangga terhadap
warisan para leluhur Nuswantara.
b. Menjadi karya yang menginspirasi dan memotivasi orang lain serta
menumbuhkan keberanian dalam menghadapi tantangan zaman
dengan tetap selalu menjaga nilai-nilai luhur Jawa yang semakin
ditinggalkan oleh masyarakat Jawa dimasa kini.

4
E. Kajian Sumber Penciptaan
1. Sumber Pustaka

Buku berjudul Agama Jawa tulisan Suwardi Endraswara,


memaparkan banyak hal yang berkaitan dengan kepercayaan Jawa.
Keberadaban Jawa, falsafah, konsepsi dan pemujaan leluhur, ritual Jawa,
dan pokok bahasan lain yang terkait dengan kepercayaan Jawa dibahas
dalam buku ini.

Buku berjudul Filsafat Jawa tulisan Heniy Astiyanto. Buku ini


sebagai bahan pendekatan filosofi dengan karya yang diciptakan. Di Jawa
filsafat diartikan sebagai cinta kesempurnaan yang berarti mengerti akan
awal dan akhir hidup atau wikan sangkan paran. Pandangan hidup,
pemikiran kefilsafatan, nilai-nilai luhur, simbol-simbol dan
pemaknaannya, serta pokok bahasan lain yang terkait dengan karya
dibahas dalam buku ini.

Buku berjudul Karya Cipta Seni Pertunjukan memuat beberapa


sub judul yang disajikan oleh beberapa penulis. Sub judul Riset Artistik-
Koreografi di Lingkungan Akademik pada halaman 77 ditulis oleh
Martinus Miroto. Bagian tersebut memuat hal-hal yang berkaitan proses
karya di lingkungan akademik. Buku yang memberi gambaran terhadap
proses penciptaan seni melalui metode penelitian artistik yang dibeberkan
secara jelas melalui pendapat penulis maupun kutipan-kutipan penting dari
berbagai sumber referensi yang ditulis oleh Miroto.

Buku berjudul Begerak Menurut Kata Hati, buku aslinya berjudul


Moving for Within tulisan Alma M. Hawkins yang diterjemahkan oleh I
Wayan Dibia. Buku ini menjadi referensi dalam proses pencarian gerak.
Buku ini memaparkan tentang fase dalam proses kreativitas, antara lain;
merasakan, menghayati, mengkhayalkan, mengejawantahkan, dan
memberi bentuk.

5
Buku berjudul Sandi-sandi Nusantara karya Hokky Situngkir.
Buku ini memberi kesaksian penelitian kompleksitas bahwa terdapat
pengetahuan yang terkuak ketika kita berhenti melihat budaya sebagai
tradisi belaka. Kesadaran akan kompleksitas sosial di era modern saat ini
yang perlu berkaca pada warisan budaya yang luput dari hingar bingar
modernisme yang mengglobal dan membuat pewarisnya sendiri lupa.
Buku ini menginspirasi hadirnya sandi-sandi serta simbol yang
dimunculkan dalam karya.

2. Sumber Karya

Karya seni pertunjuka berjudul Pager Bumi: Jalan Sunyi Manusia


Jawa karya Garin Nugroho tahun 2017. Anter Asmorotedjo terlibat
sebagai penari utama dalam karya ini. Karya Pager Bumi: Jalan Sunyi
Manusia Jawa, sutradara mengoptimalkan kemampuan penari, dengan
menggali potensi penari melalui eksplorasi dan improvisasi. Materi gerak
yang sifatnya improvisatoris dikombinasikan dengan gerak terpola yang
berpijak pada tari tradisi kerakyatan. Ide atau gagasan karya tersebut
berangkat dari membaca realita yang terjadi pada kehidupan sosial
masyarakat saat ini. Garin Nugroho menyatakan bahwa sebuah karya tari
harus meliputi tiga unsur yaitu; idealism, heritage, entertaint.

Karya tari berjudul Dancing Shadow yang merupakan karya


koreografer Martinus Miroto tahun 2002. Anter Asmorotedjo terlibat
sebagai penari dalam karya ini. Tema tari berangkat dari tradisi ritual
ruwatan, yang ditransformasikan ke dalam bentuk tari kontemporer. Di
karya ini koreografer membentuk karakter penari dengan mengoptimalkan
kemampuan penari hingga mampu untuk menerjemahkan dan
membawakan peran-peran tertentu sesuai dengan keinginan koreografer.
Hal yang menjadi perhatian dalam proses karya ini adalah pencarian
teknik yang bersumber pada sacrum.

6
3. Sumber Lisan

Drs. Wardoyo Sugianto, merupakan pensiunan dosen Fakultas Seni


Rupa, ISI Yogyakarta. Ia merupakan salah satu sesepuh di Paguyuban
Hangudi Bawana Tata Lahir Batin yang padepokannya berada di Sendang
Semanggi atau Sendang Titis. Di paguyuban Hangudi Bawana Tata lebih
akrab dipanggil Romo Wardoyo atau Ki Wardoyo. Ia aktif sebagai pelaku
spiritual Jawa atau penghayat Kepercayaan.

Timmy Hartadi, salah satu pendiri komunitas Turangga Seta yang


sering menyebut komunitas mereka sebagai Tim Arkeolog Menyan.
Ekspedisinya juga sudah beredar di youtube yang dapat dilihat dengan
mengakses youtube: Turangga Seta/ Nuswantara Code dan
www.lakubecik.org.

Yohannes Supramono, nama tersebut lebih dikenal dengan sebutan


Pak Djo. Riwayat pendidikannya; S-1 di FIB jurusan arkeologi (1994) dan
S-2 di Leiden Universiteit (tidak selesai). Riwayat pekerjaannya, antara
lain; sebagai penata laksana seni dan cagar budaya di Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Yogyakarta, sebagai pemerhati cagar budaya, dan
sebagai pamong atau pengajar aksara Jawa kuno (kawi) dan aksara Jawa di
beberapa sanggar.

F. Landasan Penciptaan

Buku Karya Cipta Seni Pertunjukan tertulis hal-hal yang sangat


penting berkaitan dengan proses penciptaan karya tari. Beberapa catatan
dijadikan sebagai landasan penciptaan. Sub judul Riset Artistik-Koreografi di
Lingkungan Akademik tulisan Martinus Miroto memuat hal-hal penting yang
mengatakan bahwa improvisasi sebagai aktivitas trial-and-error merupakan
cara lazim yang diterapkan dalam penciptaan tari.

7
Improvisasi merupakan cara membuka kran bawah sadar tanpa sensor
intelektual, membiarkan spontanitas dan secara serempak melakukan
eksplorasi, penciptaan, dan pertunjukan. Manakala konsep koreografi dialami
secara improvisasi, mereka mulai menjiwainya. Sering muncul kejutan-
kejutan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

8
II. KONSEP PENCIPTAAN

A. Konsep Perwujudan Koreografi

Karya tari Bali Jawi bersumber dari sebuah ritual Jawa kuno berupa
pemujaan roh leluhur. Ritual pemujaan yang dianggap sebagai peninggalan
kepercayaan asli Jawa tersebut banyak mengandung nilai-nilai keluhuran.
Pengalaman subjektif serta pengamatan terhadap realita akan nilai-nilai luhur
Jawa yang sudah mulai luntur sehingga manusia Jawa kehilangan identitasnya,
mendasari ide atau gagasan karya. Pengalaman terjun langsung ke lapangan
menambah pengetahuan dan memberi banyak informasi baru yang
sebelumnya belum diketahui. Pengalaman dan segala informasi yang didapat
digunakan sebagai data-data yang disusun menjadi konsep karya. Ide atau
gagasan kemudian ditransformasikan ke dalam gerak serta elemen pendukung
lainnya seperti; musik, busana, properti, ataupun setting artistic.

1. Rangsang Awal

Rangsang tari karya Bali Jawi ini adalah rangsang ide atau gagasan.
Rangsang ide atau gagasan adalah sebuah rangsang yang terjadi dari perasaan
ataupun pikiran terhadap sesuatu hal yang dirasa menarik. Rangsang tersebut
muncul setelah melihat realita bahwa nilai-nilai keluhuran Jawa sudah mulai
ditinggalkan orang Jawa itu sendiri. Kegelisahan dari melihat realita yang
terjadi di Indonesia khususnya di Jawa, atas berbagai persoalan yang
menyangkut kepercayaan, tradisi, budaya Jawa yang semakin jauh dari
manusia Jawa itu sendiri.

2. Tema Tari

Saat ini banyak orang Jawa semakin jauh bahkan tidak mengenal para
leluhurnya, tidak mengenal tradisi dan budayanya. Nilai-nilai luhur Jawa
semakin menjauh dari manusia Jawa itu sendiri. Kondisi itu membawa

9
manusia Jawa kehilangan jati dirinya, wong Jawa ilang Jawane. Realita
tersebut mendorong penata tari untuk mengangkat sebuah tema tari yang
diciptakannya. Nilai-nilai luhur manusia Jawa dalam ritual pemujaan leluhur
menjadi tema karya Bali Jawi.

3. Judul Tari

Gagasan kembalinya nilai-nilai luhur kepada manusia Jawa tersebut


menumbuhkan ide munculnya judul Bali Jawi. Bali Jawi diambil dari istilah
Jawa, bali sama artinya dengan mulih atau dalam bahasa Indonesia berarti
pulang, sedangkan Jawi sama artinya dengan Jawa. Jawa diartikan sebagai
sebuah identitas yang berupa kepercayaan, budaya, asal-usul, perilaku, tata
krama, falsafah, dan lain-lainnya. Bali Jawi diawali dengan sebuah
pemaknaan akan harapan kembalinya manusia Jawa kepada nilai-nilai luhur
kebudayaan Jawa yang sesungguhnya.

4. Tipe Tari

Tipe tari karya Bali Jawi ini tergolong tipe dramatik. Tipe dramatik
Bali Jawi terlihat dari paparan konsep dari setiap segmen atau adegan yang
dimunculkan. Gagasan diekspresikan secara imaginatif melalui simbol tertentu
dalam sebuah alur dramatik. Penekanan suasana setiap segmen diperkuat
melalui variasi gerak (waktu, intensitas, tenaga), pola permainan musik
(ritmis, dinamis, ilustratif), busana, properti tari, serta desain tata cahaya.

Karya ini terbagi atas enam segmen atau adegan. Masing-masing


segmen menghadirkan imajinasi yang berbeda-beda dengan makna yang
berbeda-beda. Setiap segmen memunculkan suasana yang berbeda yang
membentuk dramatik yang kuat. Suasana yang dihadirkan terinspirasi dari
pengalaman mengikuti ritual-ritual. Suasana yang kuat menjadi hal yang
sangat penting di samping muatan pesan dan kesan yang disampaikan melalui
simbol-simbol yang menjadi kekuatan dramatik yang dihadirkan. Karya Bali
Jawi memusatkan pada sebuah peristiwa atau suasana dengan tidak menggelar
cerita secara naratif.

10
5. Mode Penyajian

Mode penyajian karya tari Bali Jawi adalah simbolis. Mode penyajian
tari secara simbolis tidak menekankan objek secara nyata namun melalui
simbol-simbol. Yang ditekankan dalam koreografi adalah esensi yang lebih
menawarkan pada kedalaman makna. Sebagai contoh adalah hadirnya simbol
segitiga yang memiliki makna kuat sebagai lambang yang dapat dimaknai dari
berbagai perspektif.
Dari proses ritual pemujaan ditemukan banyak informasi melalui
sasmita, lambang, atau sandi-sandi yang harus dikupas maknanya. Dari sandi-
sandi yang diperoleh menginspirasi hadirnya simbol-simbol. Dengan demikian
pemilihan simbol tidak serta merta dihadirkan namun diperoleh dari proses di
lapangan yang diperkuat dengan berbagai sumber literatur. Karya ini simbol
dimunculkan dalam wujud gerak, busana, properti dan setting artistic.

B. Konsep Penggarapan Koreografi


1. Gerak Tari

Terciptanya gerak dalam karya Bali Jawi didasari sebuah proses


eksplorasi yang dilakukan penari atas arahan penata tari. Eksplorasi
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain; eksplorasi gerak dari
pengkhayalan suatu objek, eksplorasi dengan busana, dan eksplorasi
dengan properti topeng. Dari eksplorasi yang dilakukan muncul gerakan
yang berupa perpaduan gerakan yang terpola dengan gerakan yang bersifat
improvisatoris. Dalam pencarian gerak yang diutamakan adalah kepekaan
rasa dan keliaran berimajinasi. Jarang sekali pencarian gerak dilakukan
dengan hitungan.

Gerak diperoleh melalui proses penjelajahan gerak yang


terstruktur. Simbol-simbol dihadirkan salah satunya melalui gerak tari.
Perjalanan gerak yang melingkar atau berputar menandakan perjalanan
waktu yang bisa diartikan juga sebagai pradaksina. Arah hadap empat atau

11
delapan penari pada adegan tertentu menandakan empat arah mata angin
(utara, timur, selatan, barat), atau delapan arah mata angin (utara, timur
laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut).

Gerak juga didapat dari pengembangan gerak tari kerakyatan, yang


diubah volume geraknya menjadi bentuk gerakan yang berbeda untuk
memunculkan kebaruan dan keunikan. Sumber pijakan tari kerakyatan
antara lain tari Badui dan tari Jathilan yang dikombinasikan dengan
elemen gerak budhalan wayang kulit.

Eksplorasi topeng binatang juga dilakukan karena pada segmen


tertentu para penari menggunakan topeng binatang. Karakter binatang
berbeda-beda sehingga dibutuhkan karakter yang juga berbeda. Karakter
binatang terinspirasi dari binatang mitologi yang juga terdapat dalam
relief-relief candi, kayon, ataupun mitos Jawa. Bagian ini membutuhkan
kemampuan penari untuk menterjemahkan karakter topeng yang
dibawakan. Pada saat tertentu muncul gerakan bersama satu nafas, namun
wujud gerakannya berbeda-beda sesuai dengan karakter topeng yang
dibawakan.

2. Musik Tari

Proses awal penyusunan dan pemilihan komposisi musik pada


karya tari Bali Jawi adalah dengan melakukan penyerapan terhadap
gagasan pokok pada skenario tari tersebut. Merespons gagasan temanya,
penata musik menggunakan pijakan idiom-idiom Jawa sebagai elemen
utama dalam unsur pembangun musiknya, yakni dengan menggunakan
model tangga nada (modus/ scale) yang ada pada musik karawitan Jawa
yang kemudian dikawinkan secara idiom dengan musik Barat (musik
diatonis). Namun tidak juga terbatas pada perkawinan idiom saja, tetapi
juga menghadirkan material bunyi secara fisik sebagai elemen yang
merepresentasikan “Jawa” itu sendiri.

12
Secara keseluruhan komposisi musik Bali Jawi berada dalam
koridor musik diatonis dengan mengadopsi tangga nada Jawa (pelog dan
slendro) sebagai pijakan utamanya. Walaupun berdasar musik diatonis,
tetap selalu dihadirkan bunyi instrumen gamelan Jawa secara fisik pada
rekamannya karena gamelan dalam karya ini adalah sebagai entitas utama.

3. Rias Busana

Konsep busana meruapan perpaduan antara busana Jawa kuno


dengan unsur-unsur lain yang didesain menurut kreativitas perancang
busananya. Busana yang digunakan terbuat dari bahan dan motif kain,
diantaranya; Kain Tenun Lurik , Kain Polos Warna (Merah, Hitam, Putih),
kain motif poleng, kain motif slobok, dan kain bermotif aksana Jawa.
Masing-masing warna ataupun motif mengandung makna tersendiri.
Warna merah sebagai simbol kesuburan wanita. Warna putih sebagai
simbol kesuburan pria. Warna hitam-putih sebagai simbol keseimbangan,
dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai simbol dwi tunggal, gelap-
terang, siang-malam, isi-kosong, dan sebagainya. Konsep rias dalam karya
Bali Jawi dikategorikan pada rias wajah natural.

Slobok adalah motif yang berbentuk susunan segitiga yang


memiliki makna kesempurnaan yang mengarah pada Sangkan Paraning
Dumadi, sedangkan poleng memiliki makna kuat sebagai simbol
keseimbangan alam yang erat hubungannya dengan filosofi kehidupan.
Kain bermotif aksara Jawa memberi kekuatan pada identitas Jawa. Kain
beraksara Jawa dikenakan penari pada adegan tertentu. Dikenakan atau
dipakai dalam istilah Jawa adalah diagem sebagai cermin dalam ungkapan
agama ageming aji.

4. Properti Tari

Properti tari digunakan sebagai bahan eksplorasi sehingga sejak


awal proses properti ini sudah digunakan. Jenis properti yang digunakan;

13
1. Bokor berisi benih jagung sebagai properti yang dibawa penari
perempuan pada awal dan akhir segmen.
2. Dupa sebagai properti yang digunakan pada akhir segmen kedua yang
dibawa oleh penari tunggal sebagai untuk menggambarkan adegan
ritual. Keselaran, harmoni, dan sinergi yang terjalin antara manusia,
alam, dan Sang Pencipta.
3. Pecut/cambuk dan ranting dibawa oleh penari bertopeng kerbau.
Cambuk sebagai simbol ancaman. Ancaman dapat diartikan sebagai
teror untuk memunculkan rasa takut dan cemas. Ranting dimaksudkan
sebagai simbol banyaknya kepercayaan. Kepercayaan secara terus
menerus tumbuh dan berkembang. Semua kepercayaan berasal dari
sumber yang sama dan tujuan yang sama yaitu Yang Maha Kuasa.
Namun kepercayaan atau yang disebut sebagai agama sering menjadi
sumber perpecahan.
4. Topeng binatang sebagai properti tari dengan mengambil berbagai
karakter binatang yang terinspirasi dari wayang kayon, relief candi,
ataupun mitos yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Jenis binatang
yang dihadirkan antara lain; garuda, naga, kerbau, harimau, gajah,
kera, kijang, kura-kura, burung rangkong, srigala, kuda bercula.

5. Tata Rupa Pentas

Karya tari Bali Jawi dipentaskan di studio tari Banjarmili dengan


menggunakan proscenium stage ditambah ruang outdoor yang berada di
belakang panggung. Ruang digunakan untuk memperdalam dimensi ruang.
Ruang belakang tidak terlihat dari awal pertunjukan, namun mulai terlihat
pada pertengahan segmen kelima.
Setting artistic dalam karya Bali Jawi yang digunakan berupa
segitiga yang terinspirasi dari meru atau gunung. Sebagian besar gunung
di Jawa menyediakan penjelasan tentang kosmologi masyarakat di Jawa.
Gunung menjelaskan logika Animisme dan Dinamisme yang menciptakan

14
hubungan terstruktur antara jagad ageng (makrokosmos) dan jagad alit
(mikrokosmos), antara manusia dengan Sang Pencipta yang dikenal
dengan ajaran sangkan paraning dumadi.
Gunung, candi, pohon hayat, dan juga menjadi simbol raga, yakni
tempat bersemayam sang Atma (ruh) sebagai Hyang Maha Suci (I Ketut
Sandika, 2019: 22). Atma disimbolkan sebuah lingkaran kecil yang berada
di dalam segitiga. Simbol segitiga dapat juga dimaknai sebagai simbol dari
sisi kehidupan dengan tiga macam jagad. (Tri Loka/ Tri Buana), yaitu
hubungan antara tiga; jagad atas (alam Niskala), jagad tengan (alam
Niskala-Sakala), dan jagad bawah (alam Sakala), merupakan tiga jagad
yang harus diupayakan terus keselarasan hubungan secara kosmis, untuk
menjaga keseimbangan horisontal dan vertikal (Dharsono: 2007: 151).
Lingkaran kecil yang dapat dimaknai juga sebagai padmasana,
yang berarti bunga teratai yang digunakan sebagai tempat duduk seseorang
yang tercerahkan. Seperti yang terlihat pada relief candi Borobudur yang
menggambarkan pencerahan Sidharta Gautama. Pada adegan akhir,
lingkaran dan segitiga berputar searah jarum jam, sebagai gambaran
kehidupan yang terus berlangsung.

6. Tata Cahaya

Karya Bali Jawi banyak menghadirkan permainan emosi, suasana,


dimensi ruang, waktu yang perlu didukung kehadiran tata cahaya. Tata
cahaya tentu saja akan lebih memperkuat konsep yang telah dirancang.
Tidak hanya berfungsi sebagai penerangan, kehadiran tata cahaya dalam
sebuah karya tari dapat menimbulkan impresi yang berbeda dari imajinasi
penonton. Dibutuhkan tata cahaya yang kuat untuk dapat membawa
penonton fokus pada visualisasi yang dihadirkan. Kekuatan tata cahaya
akan membawa suasana yang hadir merasuk dalam rasa. Kehadiran atau
keberadaan tata cahaya panggung dalam seni pertunjukan sudah

15
merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan (Hendro
Martono, 2010: 1).

7. Penari

Karya tari Bali Jawi menggunakan bentuk koreografi kelompok


dengan jumlah dua belas penari, terdiri dari sebelas penari laki-laki, dan
satu penari perempuan. Pemilihan jumlah penari dalam karya ini
disesuaikan dengan kebutuhan yang telah terkonsep. Jumlah penari ini
terkait dengan peran atau karakter-karangter yang dihadirkan. Pemilihan
penari salah satunya berdasarkan pada skil atau kemampuan penari yang
sering terlibat dalam proses bersama penata tari.
Karakter yang dihadirkan dalam karya tari ini sangat beragam.
Penata tari telah memahami kemampuan penari satu persatu. Penata tari
melakukan pengamatan terhadap potensi ketubuhan, karakter, serta
pengalaman berproses bersama. Pemilihan penari yang sudah sering
terlibat proses bersama memberi kemudahan dalam berproses sehingga
ide-ide penata tari dapat diterjemahkan dengan baik oleh para penari.
Kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki masing-masing penari
berpotensi untuk di eksplor dan dioptimalkan.

C. Rancangan Dramaturgi

Ungkapan yang populer dalam kehidupan orang Jawa sejak dahulu


yaitu “Wong Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu
manis” yang berarti “Orang Jawa itu senang sesuatu yang semu,
disamarkan dengan pasemon, masalah apapun harus dihadapi dengan
muka manis” (Hariwijaya, 2014: 105). Semu berarti tersamar atau tidak
tampak jelas, dan pasemon bisa diartikan sebagai perlambang. Ungkapan
ini menunjukkan sifat orang Jawa yang dalam menyampaikan gagasan
kepada orang lain umumnya tidak secara langsung atau secara tegas lugas.
Pandangan hidup, nasehat, dan ajaran-ajaran dalam kehidupan orang Jawa,

16
merupakan hasil olah rasa berbudaya. Rasa budaya yang tidak dapat
dinyatakan dalam komunikasi pergaulan sehari-hari, sering dinyatakan
dalam bentuk simbol. Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai
simbol-simbol sebagai pengungkapan rasa budaya pada suatu karya seni,
seperti; busana, batik, upacara, ukiran, arsitektur, senjata, dan sebagainya.
Simbol-simbol pada suatu karya seni dapat digunakan sebagai sarana
komunikasi atau media untuk menyampaikan pesan, nasehat, atau ajaran
bagi kehidupan menuju peradaban luhur.
Karya tari Bali Jawi menghadirkan simbol-simbol kebudayaan
Jawa yang muncul disetiap segmennya. Pembagian segmen atau adegan
dalam karya tari ini tidak berdasarkan secara naratif, melainkan atas
pertimbangan dinamika dan dramaturgi. Penata mengimajinasikan suatu
objek atau peristiwa tertentu yang diinterpretasikan dan disusun secara
terstruktur sebagai bahan perancangan dramaturgi
Struktur karya Bali Jawi terbagi menjadi enam segmen sebagai
berikut;
a. Segmen 1: Bapa Akasa – Ibu Pertiwi

Diawali dengan suasana hening dan tenang dibawa ke dalam


imajinasi suasana masa lalu (Jawa kuno). Ada tiga sosok yang dihadirkan
dalam segmen ini. Sosok pertama adalah penari perempuan sebagai simbol
Ibu Pertiwi. Penata berimajinasi dan berkhayal bahwa seorang ibu akan
bersedih dan menangis ketika memiliki seorang anak yang durhaka, anak
yang lupa akan orang tua dan asal-usulnya. Melihat kondisi yang terjadi,
seorang ibu memiliki harapan akan lahirnya putra-putra sebagai penjaga
agung tradisi dan budaya yang diwariskan para leluhur.

Sosok kedua adalah penari laki-laki bertopeng garuda. Penari ini


berperan sebagai sosok garuda yang mewakili penghuni antariksa atau
akasa atau kehidupan atas. Kehadiran dua sosok tersebut sebagai lambang
bapa akasa-ibu pertiwi. Bumi dan langit seringkali disapa sebagai

17
pasangan, hal ini menekankan gagasan akan dua sisi yang saling
melengkapi satu sama lainnya.

Sosok ketiga adalah seorang penari yang ditutup mukanya dalam


keadaan merunduk dan diam. Sosok tersebut sebagai penggambaran
seseorang yang telah dibutakan oleh pemahaman yang melenceng tentang
agama atau kepercayaan. Penari ini mulai bergerak setelah ditaburi benih
jagung, seolah ia terbangun dan tersadarkan diri.

b. Segmen 2: Wong Jawa Ilang Jawane

Segmen ini terfokus pada penari tunggal. Seorang penari laki-laki


sebagai penggambaran manusia yang merefleksi perjalanan hidupnya.
Manusia mengalami proses kedewasaan berpikir seiring dengan hadirnya
peristiwa-peristiwa yang dialami dalam kehidupannya. Segmen ini
merupakan penuangan imajinasi penata dalam menggambarkan perjalanan
manusia dalam pencarian identitasnya sebagai manusia Jawa. Banyak
orang Jawa yang menjauh dari budayanya dan nilai-nilai luhur mulai
ditinggalkan, sehingga Wong Jawa Ilang Jawane.

Segmen ini menghadirkan suasana yang berganti-ganti. Suasana


sedih, bimbang, bingung, marah, bercampur hadir membangun suasana
dramatik. Muka penari yang ditutup kain serta setting artistic segitiga
yang ambruk menggambarkan sebuah nilai-nilai luhur yang sengaja
ditutup dan dijauhkan sehingga manusia tidak lagi mengenal tradisi dan
leluhurnya.

Segmen ini dikhiri dengan penari meyalakan dupa sebagai


penggambaran sebuah ritual. Diikuti berdirinya setting artistic segitiga
sebagai penggambaran sebuah babak baru dan harapan pada Sang Pencipta
dan para leluhur. Hal ini juga menandai munculnya kesadaran manusia
akan jatidirinya sebagai manusia Jawa.

18
c. Segmen 3: Sang Pamomong

Segmen ini penata mengimajinasikan sesuatu pada dimensi lain.


Kekuatan imajinasi dan daya khayal menjadi dasar pada segmen ini.
Diawali dari hadirnya dua penari dalam balutan satu busana berwarna
hitam dan putih. Dua warna hitam-putih menggambarkan dua sisi
kehidupan yang saling terkait dan saling melengkapi. Warna hitam-putih
dimaknai sebagai simbol gelap-terang, isi-kosong, malam-siang, berat-
ringan, halus-kasar, baik-buruk, dan sebagainya.

Sebagai penegasan makna, segmen ini dihadirkan dua penari yang


berperan sebagai sosok pamomong yaitu Togog dan Semar. Dalam
pewayangan dua sosok tersebut sering disebut dengan Punakawan atau
berperan sebagai seorang pamong, pengasuh, atau pembimbing yang
memiliki kecerdasan pikir, ketajaman batin, serta kecerdikan akal budi.
Dalam spiritual Jawa, Togog dan Semar sangat dihormati dan disakralkan
sebagai dua sosok yang saling melengkapi.

d. Segmen 4: Eling Lan Waspada

Segmen ini diawali dengan suasana hening namun mencekam.


Diawali hadirnya sosok bertopeng kerbau yang membawa cambuk dan
ranting. Sosok bertopeng kerbau yang berdiri tegak di kejauhan,
diimajinasikan berada pada dimensi ruang yang berbeda. Sosok bertopeng
kerbau menjadi lambang kegelapan, kematian, ancaman. Kerbau di dalam
kepercayaan tertentu sebagai kendaraan Dewa Yama, atau dalam
pewayangan Jawa disebut Batara Yamadipati. Dalam pewayangan Jawa,
Batara Yamadipati sebagai Dewa pencabut nyawa sering kali dibuat bahan
lelucon oleh para dalang, sehingga hal tersebut menginspirasi suasana
pada segmen ini.

Suasana tegang hanya sepintas dan berubah menjadi cair setelah


muncul penari kelompok. Penari kelompok sebagai penggambaran
manusia yang berbondong-bondong untuk berebut pengaruh, saling

19
menguasai, dan saling berebut klaim kebenaran. Meskipun peristiwa yang
digambarkan cukup serius namun segmen ini digarap secara komedi.
Segmen ini sebagai pengingat bahwa dalam menjalani kehidupan manusia
harus selalu ingat dan waspada. Beja-bejane kang lali, luwih beja kang
eling lan waspada, yang artinya seberuntungnya orang yang lupa, akan
lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.

e. Segmen 5: Mikrokosmos - Makrokosmos

Segmen ini diawali suasana misterius untuk menghantarkan


hadirnya penari bertopeng empat. Muka empat melambangkan perbedaan
cara pandang manusia. Penari bermuka empat terinspirasi dari sosok
Batara Brahma yang digambarkan sebagai sosok Dewa catur muka. Empat
muka menghadap ke empat penjuru mata angin.

Dengan suasana yang masih sama, satu-persatu muncul sosok


manusia berkepala binatang. Jenis binatang yang dipilih adalah jenis
binatang yang ditemui dalam relief candi, wayang, maupun dalam
mitologi Jawa. Binatang yang dihadirkan antara lain; harimau, kura-kura,
srigala, gajah, kera, kijang, burung, kuda bercula. Hadirnya binatang
merupakan imajinasi penata dalam menghayalkan sosok yang berada di
unseen area. Manusia perlu mengakui keberadaan dan eksistensinya.

Segmen ini sebagai penggambaran bahwa Manusia Jawa selalu


memperhatikan hubungan kosmis, yaitu hubungan horisontal dan vertikal.
Masyarakat Jawa sangat mendambakan hubungan dinamis antara manusia-
alam-Sang Pencipta. Hubungan ideal antara mikrokosmos (jagad alit) dan
makrokosmos (jagad ageng).

f. Segmen 6: Hamemayu Hayuning Bawana

Dalam suasana hening, seorang penari muncul dengan mengenakan


kain bertuliskan aksara Jawa diantara penari Garuda dan Naga. Kemudian
penari berjalan dan naik ke atas lingkaran yang jika ditarik garis ke atas

20
persis satu garis dengan setting artistic segitiga. Berada diatas lingkaran
menggambarkan seseorang yang telah tercerahkan, kembali kepada
identitas sebagai manusia Jawa yang harus selalu Hamemayu Hayuning
Bawana.

Muncul empat penari mendekat dan memegang segitiga dan


memutarnya searah jarum jam dengan mengisi ruang. Sampai pada
akhirnya segitiga berhenti persis di tengah panggung. Pada akhir segmen
ini simbol Bapa Akasa – Ibu Pertiwi kembali dihadirkan. Benih jagung
tumbuh seperti harapan sang Ibu Pertiwi. Suasana agung, kehidupan saling
bersinergi. Seluruh panggung terisi kelompok penari yang menempati lima
titik fokus seolah menggambarkan ragam kehidupan di alam semesta.
Manusia, binatang, tumbuhan, serta makhluk-makhluk lain yang hidup dan
bersinergi menghiasi alam raya.

21
III. METODE PENCIPTAAN

A. Metode Penciptaan

Metode penciptaan seni karya Bali Jawi menggunakan metode


penelitian artistik. Metode tersebut dianggap relevan mengingat penelitian
artistik menggabungkan penelitian kualitatif dan karakter khusus dalam
praktik artistik. Hal yang menyangkut dalam penelitian artistik, di antaranya
adalah eksperimen dan eksperien seperti dalam tulisan Riset Artistik-
Koreografi di Lingkungan Akademik yang ditulis oleh Martinus Miroto dalam
buku Karya Cipta Seni Pertunjukan.

Eksperimen merupakan sebuah pengembaraan secara bebas untuk


menjajagi berbagai kemungkinan untuk mendapatkan sesuatu yang dicari.
Dalam eksperimen banyak dilakukan improvisasi sebagai sebuah aktivitas
yang dilakukan. Eksperimen salah satunya ditujukan untuk mencari dan
mendapatkan hal-hal baru dari proses kreatif. Eksperien atau experience
diartikan sebagai sebuah pengalaman. Pengalaman seorang penata tari sangat
berpengaruh pada karya yang diciptakannya. Pengalaman yang dimaksudkan
dikategorikan menjadi dua, yaitu; pengalaman personal dan pengalaman
profesional. Pengalaman personal berkaitan dengan pengalaman atau
perjalanan hidup. Karya yang berangkat dari ritual Jawa kuno tentang
pemujaan roh leluhur dalam kepercayaan Jawa ini terkait erat dengan
pengalaman personal atau disebut juga pengalaman subjektif. Pengalaman
profesional berkaitan dengan keahlian penciptaan. Pengalaman sebagai penari
ataupun penata tari berpengaruh pada proses penciptaan. Kedua pengalaman
tersebut mempengarui hasil karya seni yang diciptakan. Penata tari
merefleksikan pengalaman hidup, baik yang berkaitan dengan pengalaman
personal maupun pengalaman profesional.

Metode penelitian artistik utamanya bertujuan menjadikan satu


kesatuan antara karya penciptaan tari dengan karya ilmiah. Dengan metode itu

22
diharapkan muncul karya-karya yang berkualitas, orisinal, serta muncul
keunikan-keunikan dalam karya. Dalam konteks penelitian artistik, pencipta
seni berlaku sebagai penata tari atau koreografer sekaligus sebagai peneliti.
Metode penelitian artistik dalam karya ini akan dilakukan dengan melakukan
beberapa tahap, antara lain;

1. Perumusan Gagasan Awal

Sebelum memulai sebuah penciptaan karya seni, penata tari melakukan


pencarian ide atau gagasan awal. Setiap penata tari mengawali proses
penciptaan melalui tahap yang berbeda-beda. Demikian juga dengan karya ini,
berawal dari pengamatan terhadap realita yang terjadi yang terkait
deskriminasi terhadap kepercayaan Jawa ataupun tradisi Jawa lainnya. Sumber
informasi antara lain diperoleh dari setiap kunjungan ke tempat pemujaan atau
petilasan, antara lain tempat yang berupa candi, gunung, pantai, goa, serta
tempat sakral lainnya.

Gunung atau meru menginspirasi hadirnya setting artistic segitiga.


Tempat-tempat lain yang menginspirasi hadirnya simbol-simbol dalam karya
Bali Jawi. Di Gunung Srandhil terdapat patung Ki Tunggul Sabda Jati Daya
Among Raga atau Ki Tunggul Jati Jaya Among Raga yang berwujud sosok
Semar yang menginspirasi hadirnya sosok pamong. Arca dan relief binatang
yang ditemui pada candi-candi menginspirasi hadirnya sosok bertopeng
binatang yang dihadirkan dalam karya.

Pengalaman tersebut membawa pengaruh pada proses kreatif penata.


Beberapa karya yang penata ciptakan sebelumnya selalu berpijak pada spirit
Jawa. Karya-karya tersebut antara lain yang berjudul Colohok, Semelah,
Matangin, Pawenang Ing Palagan, Matar Mitos, Hayuningrat, dan Suwung.
Proses spiritual yang dilakukan mendorong penata untuk menciptakan karya
seni pertunjukan dengan dengan spirit Jawa yang berangkat dari sebuah ritual
Jawa kuno yaitu pemujaan roh leluhur. Ritual pemujaan tersebut mendasari
ide dalam penciptaan karya Bali Jawi.

23
2. Perancangan

Perancangan dapat dilakukan dengan berbagai cara berkaitan dengan


ide atau gagasan. Bagi peneliti artistik-koreografi, tahap perancangan
penelitian diperlukan untuk membantu upaya identifikasi yang mengarahkan
tindakan penelitian praktis. Perancangan dalam karya Bali Jawi dilakukan
dengan cara penelitian. Proses ini, secara tidak langsung telah dilakukan
penelitian jauh sebelum ditemukannya gagasan awal. Setelah gagasan awal
ditemukan, dimulailah sebuah perancangan melalui beberapa tahapan.
Tahapan-tahapan tersebut antara lain adalah menentukan konsep tema, konsep
bentuk, dan konsep medium.

Salah satu yang sering dilakukan oleh masyarakat penghayat


kepercayaan Jawa atau penganut kapitayan sebagai penghormatan terhadap
para leluhur adalah ritual pemujaan. Ritual ini juga sering dilakukan oleh
orang yang memiliki kesadaran pribadi untuk menjaga, dan merawat tradisi
warisan para leluhur. Orang yang melakukan ritual pemujaan roh leluhur
biasanya mengenakan ageman atau busana tradisional (Jawa atau sesuai
dengan pakaian adat Nuswantara lainnya). Mereka berkunjung ke pelitasan
dengan mempersembahkan sajen atau sesaji dan melakukan ritual sesuai
dengan caranya masing-masing. Sebagian besar masyarakat Jawa tentu sudah
sangat akrab dengan apa yang disebut dengan sesaji. Apa yang disebut dengan
sesaji memiliki bentuk, tata cara dan kelengkapan yang berbeda-beda, unik
bahkan sangat spesifik sesuai dengan kekayaan alam budaya wilayahnya
masing-masing yang wilayah memiliki tradisinya sendiri-sendiri.

Petilasan dipercaya sebagai salah satu tempat turunnya roh leluhur.


Bagi orang yang telah mendapatkan otoritas (bakat atau melalui proses
tertentu), dalam ritual tersebut biasanya terjadi komunikasi batin antara
manusia dengan roh leluhur. Komunikasi lain dengan cara para leluhur
meminjam raga dari orang yang dianggap mampu dan mendapatkan otoritas
untuk ditempati. Masuknya roh leluhur pada raga manusia sering disebut

24
dengan kalenggahan. Para proses itulah para leluhur menyampaikan sasmita,
yang intinya berisi tentang wejangan, piwulang, atau pesan, nasihat, arahan
yang intinya berupa nilai-nilai luhur kehidupan. Mendengar nasihat-nasihat
yang disampaikan seringkali bertolak belakang dengan kenyataan yang sering
terdengar. Ritual Jawa yang sering dianggap sebagai suatu tindakan yang
sesat, kenyataannya mengajarkan kebaikan yang penuh nilai-nilai keluhuran.
Selain itu, para leluhur seringkali menyampaikan berbagai informasi yang
terkait dengan sejarah masa lalu melalui sasmita, lambang, atau sandi-sandi
yang harus dikupas arti atau maknanya. Sayangnya di era global ini ritual
ataupun upacara tradisi perlahan mulai ditinggalkan orang. Desa-desa tidak
lagi diramaikan dengan upacara tradisi budaya leluhurnya. Dari ritual ini
banyak mendapat pelajaran tentang nilai-nilai luhur. Nilai luhur Jawa yang
semakin jauh dari orang Jawa itu sendiri berakibat hilangnya identitas manusia
Jawa. Hal tersebut menumbuhkan motivasi untuk mengangkat dan
menghidupkan kembali nilai-nilai luhur manusia Jawa sebagai tema tari.

Setelah tema ditentukan, dilanjutkan dengan merancang konsep


bentuk. Tari sebagai media untuk mengungkapkan sebuah gagasan dan pesan
tertentu diharapkan mampu ditangkap oleh penonton. Penangkapan penonton
tidak harus dipahami dengan pendapat yang sama. Penata menyadari bahwa
penonton yang memiliki latar belakang ilmu pengetahuan yang berbeda akan
memaknai dengan sudut pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang
justru akan memberikan dampak positif untuk pengkayaan makna.

Dari pengalaman penata sering terlibat sebagai penari dalam karya-


karya koreografer Indonesia seperti Miroto, Bimo Wiwohatmo, Retno Maruti,
serta keterlibatan dalam karya Garin Nugroho dan berbagai workshop yang
diikuti berpengaruh pada proses kreatif yang membentuk diri penata selama
ini. Pengalaman menjadi penari dan penata tari, serta seringnya terlibat dalam
karya-karya seni tradisi maupun kontemporer memiliki pengaruh pada karya-
karya yang diciptakan. Berbagai pengalaman tersebut mempengaruhi bentuk
dari karya Bali Jawi yang merupakan perpaduan unsur seni tradisi dan

25
kontemporer dengan menghadirkan simbol-simbol tertentu untuk
menyampaikan gagasan. Simbol dimunculkan dari berbagai elemen, antara
lain; gerak, busana, properti, dan setting artistic. Kemunculan berbagai simbol
atau tanda yang kuat mengarahkan pada pola bentuk garap simbolis.

Perancangan ini dapat berubah mengingat kreativitas selalu muncul


setiap saat. Perencanaan bukanlah sesuatu hal yang membelenggu kreativitas
sehingga berpeluang mengalami perkembangan. Seiring berjalannya proses,
selalu terjadi perubahan dari waktu ke waktu hingga sampai tahap akhir karya
selesai.

3. Eksplorasi-Improvisasi

Eksplorasi adalah suatu penjajakan terhadap suatu objek yang


terstruktur. Tahap eksplorasi sebelumnya sudah dilakukan pada saat terjun ke
lapangan dalam rangka riset artistik. Keterlibatan langsung di lapangan dalam
mengikuti ritual-ritual merupakan salah satu tahap eksplorasi awal.

Eksplorasi dalam koreografi merupakan tahap yang melibatkan


ketubuhan yang dilakukan di ruangan tertentu baik outdoor maupun indoor
melalui berbagai cara. Eksplorasi dilakukan untuk mencari kemungkinan-
kemungkinan yang dapat dimunculkan dalam karya. Dalam konteks ini
eksplorasi tidak hanya terkait dengan gerak tubuh, tetapi juga dengan kostum,
properti, setting artistic yang dibutuhkan sesuai ide atau gagasan karyanya.

Tahap pertama penata tari memberikan penuangan ide atau gagasan


kepada para penari. Penuangan bertujuan agar penari tahu dan paham terhadap
konsep garapannya. Penata menyampaikan struktur yang telah ditulis serta
memberikan gambaran melalui catatan untuk dibaca, dipelajari, dan dihayati
para penari ataupun pendukung lainnya.

Setelah penuangan selesai dimulailah kerja studio untuk mencari


materi yang terkait dengan garapan. Garapan disusun menjadi enam segmen
atau adegan. Eksplorasi diawali dengan mengacu dari segmen pertama,

26
dilanjutkan segmen kedua, dan seterusnya sampai dengan segmen keenam
atau terakhir. Kenyataan di lapangan, tahap eksplorasi ini tidak selalu
dilakukan secara berurutan dari yang pertama hingga terakhir, tetapi bisa
dibolak balik.

Salah satu cara eksplorasi yaitu penata memberikan konsep kepada


penari untuk diterjemahkan atau diekspesikan melalui gerak tubuh. Penari
melakukan gerak dan mengeksplorasi tubuhnya sesuai arahan penata. Tahap
ini penata memberikan motivasi melalui pengembangan gerak yang sudah ada,
suara-suara atau vokal, busana, properti topeng, dan sebagainya. Penari
diharapkan bisa merasakan dan menghayati gerak yang dilakukannya.

Selain konsep yang sudah terstruktur, karya ini juga bersifat


improvisatoris yang berarti banyak mengandalkan kemampuan improvisasi.
Improvisasi bersifat spontan tanpa terencana atau terpola. Improvisasi dapat
menghadirkan bentuk yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Improvisasi
selalu terjadi pada saat melakukan eksplorasi. Improvisasi dilakukan oleh para
penari dengan arahan penata tari. Penata mengarahkan para penari untuk dapat
merasakan, menghayati, seta mengkhayalkan gagasan yang disampaikan.
Segala yang ditemukan dalam tahap ini dipilih dan diambil sesuai dengan
kebutuhan koeografinya. Mengoptimalkan karakteristik tubuh penari dan tidak
hanya terfokus pada bentuk gerak dan pola lantai. Melalui eksplorasi ini
ditemukan gerakan-gerakan yang unik dan menarik. Secara keseluruhan
gerakan-gerakan yang diperoleh menjadi satu keutuhan dalam membangun
sebuah penyusunan dramatik karya. Semua yang dipelajari tentang proses
pencarian serta pengembangan gerak berkaitan dengan aspek ruang dan waktu
dicoba diaplikasikan dalam proses kreatifnya.

Selain cara diatas, gerak didapat dari pengembangan yang berpijak dari
tari kerakyatan. Pola gerak tari kerakyatan dipadukan dengan gerak-gerak
yang terinspirasi dari budhalan wayang kulit. Pola kerakyatan diubah volume

27
geraknya dan diolah menjadi gerak yang baru yang unik dengan tidak
meninggalkan spirit kerakyatannya.

4. Komposisi-Evaluasi

Komposisi dapat diartikan sebagai tahap pembentukan. Setelah


melakukan tahap eksplorasi-improvisasi dan evaluasi, selanjutnya masuk pada
tahap penyusunan atau komposisi. Dibutuhkan ketelitian, serta kreativitas
yang baik dari seorang penata tari untuk dapat menyusun dan menata segala
bentuk penemuan yang telah didapatkan dari proses eksplorasi, dan
improvisasi. Tahap komposisi sudah pasti akan dilakukan untuk menyatukan
seluruh elemen-elemen pertunjukan yang dibutuhkan di dalam karya tari.
Semua yang dipilih dikomposisikan menjadi satu keutuhan koreografi.

Evaluasi dapat diartikan sebagai tahap penilaian. Maksud dari evaluasi


disini adalah penilaian atau koreksi dari penata tari mengenai proses yang
sudah dilakukan sebelumnya. Tahap evaluasi tidak hanya dilakukan pada saat
proses eksplorasi dan improvisasi saja, melainkan secara terus-menerus ketika
proses pembentukan atau komposisi. Ketika karya sudah terbentuk secara
utuh, evaluasi masih tetap dilakukan dengan tujuan untuk selalu mengkritisi
hal-hal yang menyangkut karya tari, seperti; gerak, tata busana, musik,
properti, setting artistic, dan lain-lain.

5. Presentasi-Dokumentasi

Seni pertunjukan merupakan seni yang tidak bisa diulang secara persis
sama, sehingga momentum-momentum tidak dapat terulang. Setiap saat
dokumentasi selalu dibutuhkan dan digunakan sebagai bahan evaluasi serta
mengukur seberapa jauh karya yang telah diselesaikan. Kelemahan-kelemahan
dapat dilihat dari hasil rekaman video, sehingga akan mudah dalam melihat
kekurangan untuk selanjutnya memperbaikinya. Pendokumentasian dilakukan
secara terus menerus dari awal proses hingga akhir.

28
B. Proses Penciptaan

Seni tari merupakan cabang seni yang bersifat kolektif, artinya seni ini
tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain demi
menunjang keberhasilan sebuah karya itu sendiri. Karya tari Bali Jawi tidak
dapat berdiri sendiri karena membutuhkan campur tangan dari berbagai
disiplin seni ataupun yang diluar disiplin seni. Kehadiran berbagai disiplin
ilmu dalam karya tari ini, seperti seni musik, seni rupa, fotografi, arkeologi,
sejarah, dan cabang ilmu lain memberikan pengkayaan terhadap materi
garapan. Hal tersebut bermanfaat untuk memperkuat konsep dari karya tari
agar makna dan pesan yang disampaikan memiliki pemaknaan yang luas.
Mencipta merupakan proses dialog dua arah antara pencipta seni
dengan seluruh elemen seni yang terlibat di dalamnya. Dialog sangat penting
di dalam proses penciptaan karya tari ini, karena tanpa adanya dialog di antara
para pendukung karya tari maka pemahaman mengenai ide dan konsep tidak
dapat dimengerti dan dipahami. Dialog di dalam karya tari Bali Jawi meliputi
proses saling melengkapi di dalam ruang interaksi baik secara fisik maupun
imajiner dari semua pendukung. Proses dialog dalam karya tari ini dijabarkan
sebagai berikut:
1. Proses Penata Tari dengan Penari

Penata tari mengawali proses dengan membagikan konsep yang telah


dirancang dalam tulisan untuk dbaca dengan cermat kemudian
mendiskusikannya dalam pertemuan. Pada pertemuan awal penata
menceritakan konsep secara detail sehingga para penari mengerti dan paham
dengan konsep yang dipaparkan. Ide atau gagasan terkait dengan pengalaman
subjektif sehingga penyampaikan idenya diperlukan detail dan kecermatan.

Latihan dilakukan di studio dengan seluruh penari yang selalu diawali


dan diakhiri dengan membaca mantra atau doa menurut keyakinan masing-
masing penari. Enam segmen yang telah dirancang dicoba diterapkan pada
penari. Walaupun setiap latihan hanya fokus pada satu atau dua segmen, tetapi

29
penari yang belum berkesempatan latihan tetap datang mengikuti proses.
Penata sering muncul ide spontan, sehingga bisa saja semua penari dibutuhkan
untuk mengeksplor. Latihan diutamakan pada proses merasakan, menghayati,
dan menghayalkan sesuatu berdasar konsep koreografinya. Cara bereksplorasi
hampir tidak dilakukan dengan menggunakan hitungan, namun diutamakan
kepekaan rasa pada diri sendiri, antar penari, maupun penari dengan
musiknya. Kadangkala penata menyalakan dupa ataupun mengurangi cahaya
lampu studio untuk membangun suasana.

Banyak terjadi perubahan-perubahan disetiap segmen. Ada beberapa


materinya telah didapat lalu dihilangkan, ataupun sering terjadi penambahan
ataupun perubahan disetiap proses. Proses terjadi secara dinamis dan garis
besarnya penari tidak mengalami kesulitan dalam menterjemahkan gagasan
penata.

2. Proses Penata Tari dengan Penata Musik


Pada awal pertemuan dengan penata musik, penata tari menjelaskan
terlebih dahulu ide dan konsep karyanya. Selanjutnya penata tari dan penata
musik mencoba menyamakan persepsi tentang ide dan konsep garapan.
Menyamakan persepsi sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadi
kekeliruan di dalam memahami konsep yang diinginkan. Didalam proses
kreatif antara musik dan tari, penata tari tidak mengharuskan penata musik
untuk selalu mengikuti keinginannya. Setiap proses diutamakan terjadi diskusi
terhadap kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dalam
menginterpretasikannya.

3. Proses Penata Tari dengan Penata Cahaya


Pada awal proses karya ini, penata tari memberikan penjelasan
mengenai gambaran karya yang akan dihadirkan. Diskusi terjadi untuk
menyatukan persepsi terkait dengan pencahayaan. Selain untuk memperkuat
suasana, permainan warna pada lampu dalam karya tari ini, berfungsi untuk
membagi dimensi ruang, memperkuat imajinasi melalui tampilan visual.

30
Penata tari juga memberi kebebasan kepada penata cahaya untuk merespons
setiap momen yang hadir dalam karya tari. Penata cahaya sering hadir pada
saat latihan untuk memastikan perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap
proses.

4. Proses Penata Tari dengan Penata Busana


Proses dengan penata busana diawali dengan penata tari memberikan
penjelasan kepada penata busana mengenai konsep karyanya. Selanjutnya
penata busana merespons konsep yang disampaikan penata tari dalam wujud
desain tata busana. Terjadi juga diskusi penata tari dan penata busana yang
berhubungan dengan bentuk, bahan, dan warna busana. Komunikasi dilakukan
untuk menemukan kesepakatan desain serta kemungkinan-kemungkinan
terjadi penambahan atau perubahan.

5. Proses Penata Tari dengan Penata Artistik


Komunikasi antara penata tari dengan penata artistik intens dilakukan
sebelum berlangsungnya latihan. Diskusi yang dilakukan bersama penata
artistik membuahkan hasil berupa setting artistic segi tiga yang diletakkan di
center stage. Terjadi perubahan serta pengembangan untuk lebih
memaksimalkan kehadiran setting artistic tersebut. Segitiga dalam proses
awal hanya statis berada di center stage, mengalami perubahan teknis agar
dapat diekplor lebih maksimal.

31
IV. ULASAN KARYA

A. Ulasan Penyajian
Setiap aspek kehidupan manusia tidak pernah lepas dari lambang,
pertanda, atau simbol. Lambang atau pertanda bagi manusia Jawa dimulai
dari fase awal kehidupan hingga kematiannya. Kebudayaan Jawa memiliki
simbol-simbol yang dihormati dan disakralkan yang memiliki tujuan yang
diyakini secara bersama-sama untuk dapat mempersatukan dan
menguatkan suatu ikatan budaya. Simbol dalam budaya Jawa memiliki
makna tertentu sesuai dengan apa yang diyakini dan disepakati bersama.
Pada umumnya makna yang terkandung di dalamnya sebagai sesuatu yang
memiliki kekuatan spiritual. Secara umum simbol yang ada mulai dari
bentuk yang paling sederhana sampai yang paling kompleks selalu
mengandung tiga hal, yaitu; manusia, semesta, dan keyakinannya.
Karya tari Bali Jawi berdurasi 35 menit, dengan pembagian
segmen atau adegan yang sudah terstruktur. Struktur karya ini terbagi
menjadi enam segmen sebagai berikut;
a. Segmen 1:

Sesosok perempuan berjalan perlahan membawa bokor berisi benih


jagung. Jagung diartikan sebagai penjaga agung (penjaga tradisi Jawa).
Menabur benih jagung juga diartikan sebagai menabur benih Jawi atau
budi Jawa. Perempuan sebagai simbol Ibu Pertiwi yang dapat diartikan
juga sebagai Dewi Kehidupan yang menaburkan benih jagung sebagai
harapan akan keagungan dan ditanggapi dengan bersinarnya bintang
waluku sebagai bentuk persetujuan alam raya yang tidak pernah menolak
semua bentuk kelahiran untuk menyeimbangkan kehidupan fana.
Kehidupan baru akan selalu membawa harapan baru yang seharusnya tak
bisa lepas dari kehidupan masa lalu, karena masa lalu akan membentuk
saat ini dan menyiapkan ukiran cerita untuk kehidupan nanti. Hadirnya

32
kehidupan baru diharapkan sebagai penjaga-penjaga warisan para leluhur
yang telah meninggalkan peradabannya yang tinggi.

Pada segmen ini dimunculkan juga penari laki-laki bertopeng


garuda sebagai penggambaran sosok Garuda. Sosok Garuda tersebut
mewakili penghuni antariksa atau akasa, sehingga kehadiran dua sosok
tersebut dijadikan sebagai lambang bapa akasa-ibu pertiwi. Bumi dan
langit seringkali disapa sebagai pasangan, hal ini menekankan gagasan
akan dua sisi yang saling melengkapi satu sama lainnya.

Gambar 1. Adegan penari sebagai lambang Bapa Akasa –Ibu Pertiwi.


(Foto: Noer Budi Prasetya, 2019)

Ibu Pertiwi digambarkan mengenakan kain merah dan Garuda


mengenakan kain putih. Merah dapat diartikan sebagai lambang kesuburan
perempuan, dan putih sebagai lambang kesuburan laki-laki. Persatuan
keduanya diwujudkan dalam wujud Lingga-Yoni yang merupakan simbol
energi yang menghasilkan daya penciptaan.

b. Segmen 2

Segmen ini merupakan penuangan imajinasi dari perjalanan


manusia yang merefleksi dirinya untuk menemukan identitasnya sebagai
manusia Jawa. Manusia tumbuh dewasa bukan hanya berarti fisik, tetapi

33
juga tumbuh akal budinya. Didasari oleh kegelisahan melihat kondisi dan
realita bahwa banyak orang telah menjauh dari budayanya sendiri. Nilai-
nilai luhur mulai ditinggalkan sehingga orang Jawa sendiri mulai
kehilangan identitasnya, Wong Jawa Ilang Jawane.

Gambar 2. Adegan penari yang menggambarkan upaya seseorang dalam


mempertahankan tradisi yang telah hancur.
( Foto: Noer Budi Prasetya, 2019)

Ditutupnya muka penari dengan kain serta setting segitiga yang


ambruk menggambarkan sebuah nilai-nilai luhur yang sengaja ditutup dan
dijauhkan sehingga manusia tidak lagi mengenal tradisi dan leluhurnya.
Terinspirasi dari berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti
pengrusakan patung-patung yang dianggap sebagai berhala, ritual labuhan
yang dibubarkan oleh sekelompok massa tertentu, pengrusakan tempat-
tempat pemujaan, dan sebagainya. Hanya para penjaga agung yang masih
tetap mau berupaya untuk mempertahankan sebuah nilai-nilai luhur yang
diwariskan para leluhur Nuswantara.

Akhir bagian ini, penari meyalakan dupa sebagai penggambaran


sebuah ritual yang diikuti berdirinya setting segitiga. Segmen ini memberi
gambaran sebuah pengharapan kepada Sang Pencipta, harapan pada para
leluhur hingga tumbuh kesadaran manusia untuk kembali pada jatidirinya

34
sebagai manusia Jawa. Hidup adalah laku pribadi, sehingga harus berjalan
mengikuti rasa yang sejati.

c. Segmen 3

Segmen ini menghadirkan dua penari dalam balutan satu busana


berwarna hitam dan putih. Dwi warna tersebut menggambarkan dua sisi
kehidupan yang saling terkait dan saling melengkapi. Warna hitam-putih
dapat diinterpretasikan sebagai simbol gelap-terang, isi-kosong, malam-
siang, berat-ringan, halus-kasar, baik-buruk, dan sebagainya.

Segmen ini juga dihadirkan dua sosok pamomong yaitu Togog dan
Semar. Punakawan atau Panakawan diartikan sebagai seorang pengasuh,
pembimbing yang memiliki kecerdasan pikir, ketajaman batin, serta
kecerdikan akal budi. Wawasannya sangat luas dengan sikap yang
bijaksana serta arif dengan segala pengetahuan. Pada hakikatnya Semar
adalah manusia setengah Dewa yang bertugas mengasuh para satria sejati.
Para satria yang diasuh oleh Semar akan beruntung karena akan menuju
kepada nilai-nilai kebaikan. Togog berperan sebagai pamomong yang
mengasuh para satria yang memiliki watak angkara. Tugas utamanya
adalah mengingatkan sang satria yang diasuhnya agar mengurungkan
rencana-rencana buruknya agar kembali kepada kebenaran. Ia selalu
membukakan kesadaran akan akibat dari perilaku buruk yang menjadi sifat
dasar para asuhannya. Togog-Semar merupakan dua sosok yang saling
melengkapi. Dalam karya ini kedua sosok tersebut mengenakan kain yang
terdiri dari dua warna yaitu hitam dan putih. Togog mengenakan kain
motif slobok, dan Semar mengenakan kain motif poleng.

Togog-Semar dapat juga sebagai yin-yang dalam budaya Jawa.


Konsep yin yang diartikan sebagai kegelapan dalam simbol warna hitam
mengacu pada misteri paruh waktu kehidupan perkembangan yang dijalani
manusia dalam dunia jasmani atau fisik, sedangkan yang diartikan sebagai
penerang dalam simbol warna putih mengacu kepada paruh waktu

35
selanjutnya dalam sisi spiritual atau kejiwaan/ batin (Ardian Kresna, 2010:
63-64).

Gambar 3. Adegan dua pamong Togog - Semar dan dua penari sebagai simbol
dua sisi kehidupan.
(Dok: Nur Budi Prasetya, 2019)

d. Segmen 4

Dalam ajaran Kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang


mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat
menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan
pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan
hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari
sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.

Segmen ini menghadirkan sosok bertopeng kerbau yang membawa


cambuk dan ranting. Sosok banteng atau kerbau yang berdiri tegak di
kejauhan, seakan berada pada dimensi ruang yang berbeda. Kerbau
menjadi lambang kegelapan, kematian, dan ancaman. Dalam kepercayaan
tertentu sosok kerbau dipercaya sebagai kendaraan Dewa Yama, atau
dalam pewayangan Jawa disebut Batara Yamadipati. Dalam pewayangan
Jawa, Batara Yamadipati sebagai dewa pencabut nyawa sering kali dibuat

36
bahan lelucon oleh para dalang, sehingga hal tersebut menginspirasi pada
segmen ini. Menggambarkan peristiwa dengan menghadirkan unsur
komedi.

Segmen ini muncul penari kelompok sebagai penggambaran


manusia yang berbondong-bondong untuk berebut pengaruh, saling
menguasai, dan sebagainya. Masyarakat Jawa yang sangat toleran dan
memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda dipaksakan untuk
mengikuti satu pemahaman. Akibatnya satu sama lain saling berebut
kebenaran. Penari kelompok mengenakan kuluk yang dipakai di kepala
sebagai simbol kekuasaan. Segmen ini memberi gambaran bahwa
kekuasaan memiliki pengaruh pada sejarah yang tertulis. Sikap saling
menguasai dalam hal ini mengarah pada satu kepercayaan yang dianut
masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa pada zaman dulu telah memiliki
kepercayaan sendiri sebelum agama-agama asing masuk ke Nuswantara.
Kepercayaan yang dianut muncul dari nurani orang Jawa. Masyarakat
Jawa juga sangat toleransi terhadap agama-agama yang masuk ke
Nuswantara. Tetapi yang terjadi saat ini justru kepercayaan Jawa seolah
terasing di negeri sendiri.

Gambar 4. Adegan penari berkuluk emas dengan pijakan gerak tari kerakyatan.
(Foto: Noer Budi Prasetya, 2019)

37
Perlu keberanian untuk bersikap dalam merespons realita terhadap
kepercayaan asli Jawa yang penuh nilai-nilai keluhuran. Tanpa keberanian
justru akan semakin dilecehkan dan dianggap rendah yang tidak akan
mungkin membawa perubahan. Segmen ini sebagai pengingat bahwa
hidup harus selalu ingat dan waspada. Beja-bejane kang lali, luwih beja
kang eling lan waspada, yang artinya seberuntungnya orang yang lupa,
akan lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.

e. Segmen 5

Segmen ini diawali hadirnya penari bermuka empat. Muka empat


melambangkan perbedaan cara pandang. Perbedaan disikapi sebagai
sebuah keberagaman yang saling melengkapi. Seseorang tidak bisa
menilai dengan hanya melihat sisi luarnya saja, namun perlu melihat sisi
dalamnya. Penari bermuka empat terinspirasi dari sosok Batara Brahma
yang digambarkan sebagai sosok Dewa catur muka. Empat muka
menghadap ke empat penjuru mata angin.

Satu-persatu muncul sosok manusia berkepala binatang. Jenis


binatang yang dipilih adalah jenis binatang mitologi yang dipercaya
masyarakat Jawa. Binatang yang dihadirkan antara lain; harimau, kura-
kura, srigala, gajah, kera (wanara), kijang, burung, kuda bercula. Bagi
yang percaya, sosok tersebut diyakini nyata dan masih ada sampai
sekarang dan keberadaannya ada di area yang tidak terlihat (unseen area).
Manusia perlu mengakui keberadaan dan eksistensinya. Berbagai jenis
binatang tersebut salah satunya dapat dilihat dalam relief-relief candi
ataupun dalam wayang kayon atau gunungan.

38
Gambar 5. Adegan yang terinspirasi dari lambang-lambang binatang dalam
kebudayaan Jawa, seperti pawukon, kayon, serta relief candi.
(Foto: Nur Budi Prasetya, 2019)

Simbol dalam bentuk binatang sering diasosiasikan dengan kondisi


kejiwaan, harapan, dan imajinasi manusia. Binatang yang digambarkan
biasanya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia dan bersifat
luar biasa (hebat). Simbol dalam bentuk separuh manusia dan separuh
binatang yang dihadirkan dengan penari bertopeng melambangkan
kekuatan yang terdapat pada binatang yang digabungkan dengan kekuatan
manusia sehingga terbentuk imajinasi berupa manusia yang serba lebih
dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Daya imajinasi masyarakat
penganut kepercayaan ini sangat menakjubkan dan memberi pengaruh
yang amat mendasar bagi kehidupan mereka. Salah satu ciri etika Jawa
ditunjukkan pada tujuan manusia Jawa adalah menjaga keselarasan
semesta. Manusia Jawa selalu memperhatikan hubungan kosmis, yaitu
hubungan horizontal dan hubungan transendental. Hubungan horizontal
yaitu hubungan antara manusia dengan makhluk lain seperti hewan dan
tumbuhan atau makhluk mati seperti tanah, air, api, udara, serta
lingkungannya. Hubungan transendental adalah hubungan manusia dengan
Gusti atau Sang Pencipta. Dari sini dapat ditangkap bahwa masyarakat
Jawa sangat mendambakan hubungan dinamis antara manusia-alam-Sang

39
Pencipta. Hubungan ideal antara mikrokosmos (jagad alit) dan
makrokosmos (jagad ageng).

f. Segmen 6

Meditasi telah dilakukan para leluhur Nuswantara untuk


menemukan pembebasan diri dan kesejatian hidup. Meditasi merupakan
pencarian ke dalam diri dan merupakan perjalanan panjang yang tidak
terbatas. Meditasi sebuah jalan personal yang tidak tergantung pada orang
lain. Pada adegan ini seorang penari muncul dengan mengenakan kain
bertuliskan aksara Jawa. Kain diartikan sebagai pakaian yang dikenakan
penari sebagai simbol ageman. Penghayatan agama orang Jawa tercermin
dalam agama ageming aji, bahwa agama merupakan busana keprabon
yang sungguh berharga (Asti Musman, 2017: 22).

Penari berjalan dan berdiri di tengah lingkaran yang jika ditarik


garis ke atas persis satu garis dengan sett property segitiga. Berdiri tegak
dan percaya diri, menatap ke depan dengan penuh harapan dan keyakinan.
Bagian ini lingkaran dan segitiga diputar searah jarum jam yang
menunjukkan waktu yang terus berjalan dan tidak akan pernah kembali.
Yang perlu dilakukan manusia hanyalah memperbaiki diri agar kehidupan
lebih bermakna. Sebagai manusia Jawa harus sadar bahwa dalam
kehidupan ini manusia memiliki tugas untuk Hamemayu Hayuning
Bawana (mempercantik/ memperindah dunia yang sudah cantik/ indah).

Pada bagian akhir, penggambaran Bapa Akasa – Ibu Pertiwi


kembali dihadirkan. Benih jagung tumbuh seperti harapan sang Ibu
Pertiwi. Seluruh panggung terisi kelompok penari yang menempati lima
titik fokus yang menggambarkan kehidupan di alam semesta. Manusia,
binatang, tumbuhan, serta makhluk-makhluk lain yang hidup dan
bersinergi menghiasi alam raya.

40
Gambar 6. Adegan terakhir menggambarkan seorang penari mendapatkan
sebuah pencerahan. sebuah harapan yang terwujud yaitu lahirnya para penjaga
agung Nuswantara.
(Foto: Noer Budi Prasetya, 2019)

Kelahiran yang berarti munculnya sesuatu yang baru, membentuk sebuah


pribadi baru dalam bentuk pembelajaran dan ditempa oleh pengalaman, antara
hitam dan putihnya kehidupan dalam satu kesatuan waktu, tidak ada yang
terpisahkan seperti konsep keterpaduan antara mikrokosmos dan makrokosmos,
antara hitam dan putih, dan antara bertumbuh dan berkembang hingga
menemukan kesejatian dalam setiap tuntunan kehidupan. Kelahiran akan selalu
ada meski diharapkan ataupun tidak seiring dengan kehidupan yang terus
berputar. Demikian juga dalam proses bertumbuh dan berkembang, tidak
selamanya proses belajar untuk berkembang mampu mengikuti tuntunan yang
ada. Tragisnya malah tidak pernah merasa ada yang menuntun dikarenakan tidak
bisa menyatu dengan semesta untuk mengenali simbol-simbol atau penanda
semesta yang ada di dunia. Sejatinya semesta selalu penuh dengan simbol dan
tanda-tanda yang bisa menuntun untuk mendapatkan kesempurnaan, termasuk di
dalamnya segala binatang, tumbuhan, dan bintang di langit.

Manusia akan senantiasa belajar sebagai manusia untuk menuju


kesejatiannya sebagai manusia yang serba tidak sempurna sehingga perlu untuk
selalu niteni, mengamati, menerjemahkan tanda-tanda dari semesta untuk
menjadikan dirinya paripurna. Keadaan untuk selalu belajar dan berkembang itu

41
dalam peradaban Jawa selaras dengan rasa. Rasa akan mencapai tingkat mengerti
dan memahami bukan semata atas bertambahnya usia, tetapi lebih kepada
kerelaan untuk belajar dan mempelajari. Dari apa yang telah dipelajari akan
terjadi keseimbangan antara mikrokosmos (jagad alit) dengan jagad ageng
(makrokosmos) guna menjadikan manusia yang utuh dalam olah rasa maupun
dengan semesta. Keseimbangan atau harmoni dengan semesta adalah segalanya
bagi manusia Jawa. Sayangnya harmoni ini tak lagi bisa dicapai karena kesadaran
untuk oleh rasa bagi manusia Jawa sudah lama ditinggalkan dan dilupakan. Hal
ini yang menjadikan Bali Jawi begitu bermakna.

42
V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Karya tari Bali Jawi bersumber pada ritual Jawa Kuno berupa
pemujaan roh-roh leluhur di mana kepercayaan Jawa yang dianut pada masa
lalu bernama Jawadipa. Kepercayaan tersebut dianggap sebagai kepercayaan
asli Jawa yang berpengaruh pada kepercayaan Jawa selanjutnya, yaitu
kepercayaan Jawa Buda (Jowo Budo), yang kemudian mempengaruhi
munculnya Kejawen. Jejak-jejak ajaran Jawadipa yang masih ditemui saat ini
salah satunya adalah ritual pemujaan roh leluhur yang saat ini masih dilakukan
orang atau sekelompok orang di tempat pemujaan, petilasan, atau tempat lain
yang disakralkan. Di era modern ini, hal-hal yang berkaitan dengan ritual
Jawa sering disalahartikan secara negatif sehingga orang Jawa sendiri semakin
menjauhinya. Ritual Jawa yang mengandung nilai-nilai luhur semakin dijauhi
dan ditinggalkan, sehingga banyak orang Jawa yang kehilangan identitasnya
atau sering disebut wong Jawa ilang Jawane.
Karya Bali Jawi juga merupakan sebuah respon dari realita yang
terjadi di Indonesia saat ini. Karya Bali Jawi merefleksi kehidupan
berkepercayaan, bertradisi, dan berkebudayaan bagi orang Jawa. Karya ini
juga melibatkan pengalaman subjektif penata tari. Pengalaman yang mengarah
pada perubahan pikiran dan pandangan terhadap suatu kepercayaan. Realita
yang terjadi pada kepercayaan Jawa yang semakin terpinggirkan dan sering
menjadi korban deskriminasi menumbuhkan kegelisahan dan mendorong
penata untuk terjun langsung ke lapangan.
Proses kreatif dilakukan melalui beberapa tahapan berdasar metode
penelitian artistik. Metode ini memposisikan seorang penata tari sekaligus
sebagai peneliti. Terjun langsung ke lapangan dilakukan untuk memastikan
bahwa ada perbedaan antara realita yang dilihat dan dibaca dengan objek yang
diteliti. Penata terjun dalam kelompok penganut kapitayan atau kepercayaan
untuk mencari informasi secara langsung yang berkaitan dengan kepercayaan.

43
Sejak saat ini penata sering melakukan ritual bersama orang-orang penganut
kepercayaan Jawa. Ritual pemujaan yang dipandang sebagai salah satu wujud
memuliakan para leluhur yang telah lebih dahulu hidup dan berkuasa Jawa.
Pengalaman-pengalaman yang dialami dalam melihat, mendengar, dan
merasakan sesuatu dari masa lalu hingga sekarang sebagai salah satu sumber
informasi. Dari ritual yang dilakukan banyak diperoleh sasmita, lambang, atau
sandi-sandi yang harus dikupas maknanya. Sandi-sandi tersebut mendasari
simbol-simbol yang dihadirkan dalam karya.
Karya tari Bali Jawi diharapkan mampu menjadi karya seni yang
memuat nilai-nilai filosofi Jawa yang mampu membangkitkan kesadaran
manusia akan nilai-nilai kehidupan. Refleksi diri yang dilakukan dapat
menjadi sarana untuk memaknai kehidupan dan menumbuhkan kesadaran
bahwa manusia hidup selalu terkait dengan alam semesta dan Sang Pencipta.
Tari tidak berhenti pada persoalan garap teknik dan bentuk saja,
melainkan harus memiliki isi dan rasa yang kuat. Tari merupakan bentuk
ungkapan ekspresi dan perasaan secara jujur dari penata tari terhadap
peristiwa dan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Perasaan yang
dirasakan tersebut dituangkan ke dalam sebuah karya tari dengan
menggunakan gerak sebagai media penghubung antara gagasan, perasaan
dengan penonton. Dengan demikian gerak beserta elemen-elemen tari lainnya
harus mampu menyampaikan makna yang terkandung di dalam karya secara
tepat dan jelas. Kejujuran dan keikhlasan untuk terbuka menjadi kunci penting
untuk dapat mewujudkan semuanya.

B. Saran-saran
Proses karya Bali Jawi mengalami banyak perubahan disetiap
segmennya. Sampai akhir proses masih ada hal-hal yang terasa belum
memuaskan. Banyak bagian yang terasa perlu penyempurnaan, sehingga perlu
adanya masukan dari berbagai pihak. Masih banyak ditemukan kekurangan
baik dari segi konsep maupun penyajian. Review dari penonton dijadikan
bahan evaluasi untuk pembenahan menuju karya-karya selanjutnya. Karya tari

44
Bali Jawi dapat diselesaikan dengan cukup baik melalui proses yang cukup
panjang. Berkat dukungan dari para penari dan para pendukung lainnya, karya
tari ini mengalami pembenahan-pembenahan dan terus-menerus menuju
perbaikan.
Gagasan yang disampaikan dalam karya tari Bali Jawi dapat
tersampaikan dengan cukup baik. Walaupun tidak semua penonton dapat
menangkap isi dan maknanya, namun dapat menikmati dari sisi lainnya.
Tanggapan penonton setelah melihat dalam pementasan work in progress,
maupun setelah pementasan ujian akhir selesai, banyak komentar yang
cenderung positif. Walaupun demikian, masih ada beberapa catatan atau
masukan terkait dengan struktur, dramaturgi, pemaknaan, referensi, dan
sebagainya. Semua masukan diperhatikan dan diterima sebagai bahan
evaluasi untuk pematangan menuju tahap perkembangan selanjutnya. Karya
ini tujuan akhirnya bukan hanya sekedar untuk memenuhi ujian tugas akhir,
namun untuk jangkauan yang lebih luas lagi yaitu bermanfaat bagi dunia seni
tari di Indonesia dan bermanfaat bagi semesta.

45
KEPUSTAKAAN

A. Sumber Tertulis

Achmad, Sri Wintala. (2017), Asal-usul & Sejarah Orang Jawa, Yogyakarta:
Araska.

Achmad, Sri Wintala. (2017), Filsafat Jawa: Menguak Filosofi, Ajaran, dan Laku
Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Araska.

Achmad, Sri Wintala, (2018), Etika Jawa: Pedoman Luhur dan Prinsip Hidup
Orang Jawa, Yogyakarta: Araska.

Astiyanto, Heniy. (2000), Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal,


Yogyakarta: Warta Pustaka.

Ciptoprawiro, Abdullah. (2000), Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.

Citraninda Noerhadi, Inda. (2012), Busana Jawa Kuna, Depok: Komunitas Bambu.

CR, Otto Sukatno. (2016), Nalar Serta Rasionalitas Mistik Dan Ilmu Gaib,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darini, Ririn. (2016), Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu-Buddha,


Yogyakarta: Ombak.

Dewantara, Setyo Hajar (2017), Suwung, Ajaran Rahasia Leluhur Jawa, Tangerang
Selatan: Kaurama Buana Antara.

Dharsono. (2007), Budaya Nusantara: Kajian Konsep Mandala dan Konsep


Triloka Terhadap Pohon Hayat Pada Batik Klasik, Bandung: Rekayasa
Sains.

Endraswara, Suwardi. (2004), Guru Sejati, Yogyakarta: Narasi.

Endraswara, Suwardi. (2013), Memahu Hayuning Bawana, Yogyakarta: Narasi.

Endraswara, Suwardi. (2015), Agama Jawa, Yogyakarta: Narasi.

Endraswara, Suwardi. (2018), Falsafah Hidup Jawa, Yogyakarta: Cakrawala.

46
Farela, Aristo. (2017), A Short History Of Java, Surabaya: Ecosystem Publishing.

Hadi, Y. Sumandiyo. (2007), Kajian Tari, Teks Dan Konteks, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.

Hadi, Y. Sumandiyo. (2012), Koreogarfi Bentuk-Teknik-Isi, Yogyakarta: Cipta


Media.

Hariwijaya. (2014), Filsafat Jawa: Ajaran Luhur Warisan Leluhur, Jogjakarta:


Gelombang Pasang.

Hawkins, Alma M. (1991), Moving From Within atau Bergerak Menurut Kata Hati,
terjemahan Prof. Dr. I Wayan Dibia. (2003), Jakarta: Ford Fondation dan
MSPI..

Guntur. (2016), Metode Penelitian Artistik, Surakarta: ISI Press.

Kresna, Ardian. (2010), Semar & Togog: Yin Yang Budaya Jawa, Jakarta: Narasi.

Kresna, Ardian. (2012), Punakawan,: Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa,


Jakarta: Narasi.

Martono, Hendro. (2010), Mengenal Tata Cahaya Seni Pertunjukan, Yogyakarta:


Cipta Media.

Martono, Hendro. (2012), Ruang Pertunjukan dan Berkesenian, Yogyakarta: Cipta


Media.

MC, Wahyana Giri. (2010), Sajen & Ritual Orang Jawa, Yogyakarta: Narasi.

Miroto, Martinus. (2017), Riset Artistik–Koreografi Lingkungan Akademis Karya


Cipta Seni Pertunjukan, Yudhi Aryani, dkk, Yogyakarta: JB Publisher.

Miswanto. (2009), Esensi Falsafah Jawa Bagi Peradaban Umat Hindu, Surabaya:
Paramita.

Muhibbuddin, Muhammad (2019), R.M.P. Sosrokartono: Kisah Hidup Dan


Ajaran-Ajarannya, Yogyakarta: Araska.

Musman, Asti. (2017), Agama Ageming Aji, Menelisik Akar Spiritualisme Jawa,
Yogyakarta: Pustaka Jawi.

47
Panyadewa, Seno. (2014), Misteri Borobudur, Jakarta: Dolphin.

Pals, Daniel L. (2012), Seven Theories of Religion, Yogyakarta: IRCiSoD.

Purwadi. (2004), Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa, Yogyakarta:


Tunas Harapan.

Purwoko, Agus. (2013), Gunungan: Nilai-Nilai Filsafat Jawa, Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Rahadhian, P.H. (2018), Eksistensi Candi: Sebagai Karya Agung Arsitektur


Indonesia di Asia Tenggara, Yogyakarta Kanisius.

Sahid, Nur. (2016), Semiotika, Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.

Sandika, I Ketut. (2019), Tantra: Ilmu Kuno Nusantara, Banten: Javanica.

Santosa, Iman Budhi. (2013), Manusia Jawa Mencari Kebeningan Hati,


Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia.

Sastrosuwignjo, R.S. (1954), Djawa-Kuno, Djakarta: Sari Pers.

Shashangka, Damar. (2015), Darmagandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-


Ajaran Rahasia, Banten: Dolphin.

Shashangka, Damar. (2016), Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati, Jakarta:
Dolphin.

Sholeh, Khoirul. (2008), Wisata Spiritual: Menjelajahi Situs-Situs Bersejarah


Spiritual di Sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Narasi.

Situngkir, Hokky. (2016), Sandi-sandi Nusantara, Bandung: Expose.

Soebachman, Agustina. (2015), Hikayat Bumi Jawa, Yogyakarta: Syura Media


Utama.

Suhardi. (2018), Manekung Di Puncak Gunung: Jalan Keselamatan Kejawen,


Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Suharto, Ben. (1985), Komposisi Tari: Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru,
Yogyakarta: Ikalisti.

48
Sulaksono, Djoko. (2016), Filsafat Jawa, Surakarta: Yuma Pustaka.

Suwaidi, Fahmi, dan Abu Aman. (2013), Ensiklopedi Syirik & Bid’ah Jawa,
Kartasura: Aqwam.

Tunggono, Victoria. (2016), Gerbang Nuswantara, Jakarta: PB Kompas.

Tunggono, Victoria. (2018), Candi Nuswantara, Jakarta: PB Kompas.

Yuwono, Prapto. (2012), Sang Pamomong: Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai


Luhur Manusia Jawa, Yogyakarta: Adiwacana.

B. Narasumber

Pardiman, Pelaku Budaya dan pemilik “Omah Cangkem Management”

Timmy Hartadi, pendiri kelompok ekspedisi “Turangga Seta”

Wardoyo Sugianto, sesepuh Paguyuban “Hangudi Bawana Tat Lahir Batin”

Yohannes Supramono, arkeolog dan Pemerhati Budaya

C. Discografi

Pager Bumi, karya Garin Nugroho Riyanto, 2017

Dancing Shadows, karya Martinus Miroto (Miroto Dance Company), 2002

49
D. Webtografi

https://id.wikipedia.org/wiki/Ritual

http://turanggaseta.com/download/jagad-gumelar/

www.lakubecik.org

50

You might also like