Professional Documents
Culture Documents
Jurnal 1520874411
Jurnal 1520874411
Jurnal 1520874411
Anter Asmorotedjo
1520874411
i
The Dance “BALI JAWI”
Based on the Ancient Worship Ritual to Revive the Noble Values of
Javanese People
By Anter Asmorotedjo
ABSTRACT
The dance Bali Jawi is inspired by a ritual from the Jawadipa belief
in the ancient Java time that used to be called as the ancestor worship
ritual. Nowadays, this ritual is still be doing by the disciple of kejawen.
The Javanese spiritual person believes that their ancestors are always
njampangi; a term in Javanese means „keep watching from a distance‟
their posterity. So, this ritual is often believed as a devotional form to the
ancestors. The research is conducted in several sacred places in Java.
There are a lot of honorable values of Java in this ritual. In the other hand,
this kind of ritual has been forgotten in this modern era. Javanese people
tends to make a distance from this kind of ritual. Ironically, they also tend
to consider this kind of ritual as a misguiding doctrine while the fact is
there are so many values of kindness included in it. Therefore, it makes the
Javanese people lost their Javanese identity. The honorable values as a
Javanese human faded day by day and most of them get lost; it is called
“Wong Jawa Ilang Jawane”.
Witnessing the reality that the Javanese honorable values begin to
be faded and based on empirical experiences brings out the idea to raise
this issue into a dance work. The Watu Gilang site in Kotagede is the
starting point of the artistic research in this dance work creation. The result
of the field research, literature research, and information gathered from
various resources converted to be a power from the dance Bali Jawi. The
ideas are transformed into bodily symbols, music, dance properties, and
other supporting elements. Every symbol presented on this dance are
expected to tell the meaning and core values of the dance itself. Therefore,
Bali Jawi could be a meaningful yet high-quality that has honorable values
of Java. The dance work is as well expected to inspire people in order to
revive Javanese human honorable values. The choreographer is trying to
look back to the past and connect it with the present time, as a provision to
understand and forecast the future. The honorable values of Javanese
human are back to its realm and become the initial gate into the glory of
Nuswantara.
Keywords: Bali Jawi, worship ritual, the honorable values of Java
ii
Penciptaan Karya Tari “BALI JAWI” Bersumber dari Ritual
Pemujaan Leluhur guna Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Luhur
Manusia Jawa
ABSTRAK
Tari berjudul Bali Jawi, sebuah karya yang terinspirasi dari ritual
kepercayaan Jawadipa pada masa Jawa Kuno yaitu ritual pemujaan roh
leluhur. Saat ini ritual tersebut masih dilakukan oleh penganut kejawen..
Para pelaku spiritual Jawa percaya bahwa para leluhur selalu njampangi
anak cucunya, maka ritual tersebut sebagai wujud bakti dan bukti
memuliakan para leluhurnya. Riset dilakukan di beberapa tempat
pemujaan yang disakralkan. Dari ritual yang dilakukan, banyak nilai-nilai
luhur yang terkandung didalamnya. Di sisi lain ritual semacam itu sudah
banyak ditinggalkan orang terutama di era modern saat ini. Orang Jawa
sendiri semakin tidak mengenal bahkan menjauh dari ritual semacam itu.
Ironisnya ritual semacam itu dianggap sebagai tindakan yang sesat.
Padahal realitanya banyak ajaran kebaikan serta nilai-nilai keluhuran yang
ada. Akibatnya orang Jawa semakin kehilangan jati dirinya sebagai
manusia Jawa. Nilai-nilai luhur manusia Jawa semakin luntur dan banyak
orang Jawa yang kehilangan identitasnya, Wong Jawa Ilang Jawane.
Melihat realita yang terjadi terkait nilai-nilai luhur Jawa yang
sudah mulai ditinggalkan dan didasari pengalaman empiris menumbuhkan
gagasan untuk mengangkat persoalan tersebut dalam sebuah karya tari.
Situs Watu Gilang di Kotagede sebagai tempat yang dijadikan sebagai titik
awal penelitian artistik dalam penciptaan karya ini. Hasil riset di lapangan,
informasi dari berbagai sumber, serta referensi dari literasi yang
ditemukan dijadikan sebagai kekuatan karya Bali Jawi. Gagasan
ditransformasikan ke dalam simbol-simbol ketubuhan, musik, sett properti,
serta elemen pendukung lainnya. Simbol-simbol yang dihadirkan
diharapkan mampu menyampaikan isi dan makna yang terkandung
didalamnya, sehingga Bali Jawi menjadi karya yang berbobot, yang
memuat nilai-nilai keluhuran. Karya ini juga diharapkan mampu
menginspirasi dalam upaya menghidupkan kembali nilai-nilai luhur
manusia Jawa. Pencipta tari mencoba melihat kembali masa lalu yang
dikaitkan dengan masa kini, sebagai bekal untuk membaca dan melihat
masa depan. Nilai-nilai luhur manusia Jawa kembali para ranahnya, dan
menjadi gerbang awal menuju kejayaan Nuswantara.
Kata-kata kunci: Bali Jawi, ritual pemujaan, nilai-nilai luhur Jawa
iii
I. PENDAHULUAN
1
Saat ini di Jawa, yang berkaitan dengan ritual Jawa sering dipandang
sebelah mata bahkan banyak orang menilai ajaran Jawa dianggap melenceng.
Hal-hal yang terkait dengan tradisi Jawa seperti ritual-ritual atau upacara adat
seringkali dianggap kuna, primitif, dan dianggap tidak relevan dengan
perkembangan zaman. Bagi orang yang kurang memahami, akan mengatakan
bahwa sesaji merupakan bentuk persekutuan dengan makhluk halus atau jin
sesat. Pemelintiran pemahaman ini berdampak pada mindset seseorang.
Tradisi Jawa yang diwariskan para leluhur semakin kurang mendapat
perhatian dari sebagian besar masyarakat Jawa. Nilai-nilai budi Jawa yang
seharusnya melekat pada kehidupan manusia Jawa mulai luntur, orang Jawa
tidak mampu lagi menterjemahkan simbol-simbol yang tersembunyi dalam
tata cara budaya Jawa (wong Jawa ilang Jawane).
2
Penciptaan karya tari ini merupakan penuangan ide gagasan yang
dimulai dari pengalaman personal. Kegelisahan yang muncul dari melihat
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia terkait deskriminasi terhadap
kepercayaan Jawa telah dirasakan sejak lama. Harus terjun ke lapangan secara
langsung untuk melihat, mendengar dan merasakan yang terjadi di lapangan
sehingga orang akan memandang segala sesuatu tidak hanya dari luar nya saja
ataupun dari berita-berita yang belum tentu benar. Ritual pemujaan
mengandung ajaran-ajaran luhur dan nasihat kebaikan bukan seperti yang
dituduhkan. Hal tersebut menumbuhkan motivasi untuk mewujudkannya ke
dalam sebuah karya seni pertunjukan yang bersumber dari ritual pemujaan
leluhur untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur manusia Jawa.
C. Orisinalitas
3
pengamatan terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mendasari
kehadiran simbol-simbol dalam karya. Hal-hal tersebut diatas menjadi bukti
untuk bahwa karya ini adalah karya yang orisinil dan dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.
2. Manfaat :
a. Karya ini diharapkan menjadi media untuk refleksi dan introspeksi
diri yang berkaitan identitas sebagai manusia Jawa yang memiliki
kepercayaan, tradisi, budaya serta warisan leluhur lainnya agar
tumbuh rasa cinta, rasa memiliki, dan rasa bangga terhadap
warisan para leluhur Nuswantara.
b. Menjadi karya yang menginspirasi dan memotivasi orang lain serta
menumbuhkan keberanian dalam menghadapi tantangan zaman
dengan tetap selalu menjaga nilai-nilai luhur Jawa yang semakin
ditinggalkan oleh masyarakat Jawa dimasa kini.
4
E. Kajian Sumber Penciptaan
1. Sumber Pustaka
5
Buku berjudul Sandi-sandi Nusantara karya Hokky Situngkir.
Buku ini memberi kesaksian penelitian kompleksitas bahwa terdapat
pengetahuan yang terkuak ketika kita berhenti melihat budaya sebagai
tradisi belaka. Kesadaran akan kompleksitas sosial di era modern saat ini
yang perlu berkaca pada warisan budaya yang luput dari hingar bingar
modernisme yang mengglobal dan membuat pewarisnya sendiri lupa.
Buku ini menginspirasi hadirnya sandi-sandi serta simbol yang
dimunculkan dalam karya.
2. Sumber Karya
6
3. Sumber Lisan
F. Landasan Penciptaan
7
Improvisasi merupakan cara membuka kran bawah sadar tanpa sensor
intelektual, membiarkan spontanitas dan secara serempak melakukan
eksplorasi, penciptaan, dan pertunjukan. Manakala konsep koreografi dialami
secara improvisasi, mereka mulai menjiwainya. Sering muncul kejutan-
kejutan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
8
II. KONSEP PENCIPTAAN
Karya tari Bali Jawi bersumber dari sebuah ritual Jawa kuno berupa
pemujaan roh leluhur. Ritual pemujaan yang dianggap sebagai peninggalan
kepercayaan asli Jawa tersebut banyak mengandung nilai-nilai keluhuran.
Pengalaman subjektif serta pengamatan terhadap realita akan nilai-nilai luhur
Jawa yang sudah mulai luntur sehingga manusia Jawa kehilangan identitasnya,
mendasari ide atau gagasan karya. Pengalaman terjun langsung ke lapangan
menambah pengetahuan dan memberi banyak informasi baru yang
sebelumnya belum diketahui. Pengalaman dan segala informasi yang didapat
digunakan sebagai data-data yang disusun menjadi konsep karya. Ide atau
gagasan kemudian ditransformasikan ke dalam gerak serta elemen pendukung
lainnya seperti; musik, busana, properti, ataupun setting artistic.
1. Rangsang Awal
Rangsang tari karya Bali Jawi ini adalah rangsang ide atau gagasan.
Rangsang ide atau gagasan adalah sebuah rangsang yang terjadi dari perasaan
ataupun pikiran terhadap sesuatu hal yang dirasa menarik. Rangsang tersebut
muncul setelah melihat realita bahwa nilai-nilai keluhuran Jawa sudah mulai
ditinggalkan orang Jawa itu sendiri. Kegelisahan dari melihat realita yang
terjadi di Indonesia khususnya di Jawa, atas berbagai persoalan yang
menyangkut kepercayaan, tradisi, budaya Jawa yang semakin jauh dari
manusia Jawa itu sendiri.
2. Tema Tari
Saat ini banyak orang Jawa semakin jauh bahkan tidak mengenal para
leluhurnya, tidak mengenal tradisi dan budayanya. Nilai-nilai luhur Jawa
semakin menjauh dari manusia Jawa itu sendiri. Kondisi itu membawa
9
manusia Jawa kehilangan jati dirinya, wong Jawa ilang Jawane. Realita
tersebut mendorong penata tari untuk mengangkat sebuah tema tari yang
diciptakannya. Nilai-nilai luhur manusia Jawa dalam ritual pemujaan leluhur
menjadi tema karya Bali Jawi.
3. Judul Tari
4. Tipe Tari
Tipe tari karya Bali Jawi ini tergolong tipe dramatik. Tipe dramatik
Bali Jawi terlihat dari paparan konsep dari setiap segmen atau adegan yang
dimunculkan. Gagasan diekspresikan secara imaginatif melalui simbol tertentu
dalam sebuah alur dramatik. Penekanan suasana setiap segmen diperkuat
melalui variasi gerak (waktu, intensitas, tenaga), pola permainan musik
(ritmis, dinamis, ilustratif), busana, properti tari, serta desain tata cahaya.
10
5. Mode Penyajian
Mode penyajian karya tari Bali Jawi adalah simbolis. Mode penyajian
tari secara simbolis tidak menekankan objek secara nyata namun melalui
simbol-simbol. Yang ditekankan dalam koreografi adalah esensi yang lebih
menawarkan pada kedalaman makna. Sebagai contoh adalah hadirnya simbol
segitiga yang memiliki makna kuat sebagai lambang yang dapat dimaknai dari
berbagai perspektif.
Dari proses ritual pemujaan ditemukan banyak informasi melalui
sasmita, lambang, atau sandi-sandi yang harus dikupas maknanya. Dari sandi-
sandi yang diperoleh menginspirasi hadirnya simbol-simbol. Dengan demikian
pemilihan simbol tidak serta merta dihadirkan namun diperoleh dari proses di
lapangan yang diperkuat dengan berbagai sumber literatur. Karya ini simbol
dimunculkan dalam wujud gerak, busana, properti dan setting artistic.
11
delapan penari pada adegan tertentu menandakan empat arah mata angin
(utara, timur, selatan, barat), atau delapan arah mata angin (utara, timur
laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut).
2. Musik Tari
12
Secara keseluruhan komposisi musik Bali Jawi berada dalam
koridor musik diatonis dengan mengadopsi tangga nada Jawa (pelog dan
slendro) sebagai pijakan utamanya. Walaupun berdasar musik diatonis,
tetap selalu dihadirkan bunyi instrumen gamelan Jawa secara fisik pada
rekamannya karena gamelan dalam karya ini adalah sebagai entitas utama.
3. Rias Busana
4. Properti Tari
13
1. Bokor berisi benih jagung sebagai properti yang dibawa penari
perempuan pada awal dan akhir segmen.
2. Dupa sebagai properti yang digunakan pada akhir segmen kedua yang
dibawa oleh penari tunggal sebagai untuk menggambarkan adegan
ritual. Keselaran, harmoni, dan sinergi yang terjalin antara manusia,
alam, dan Sang Pencipta.
3. Pecut/cambuk dan ranting dibawa oleh penari bertopeng kerbau.
Cambuk sebagai simbol ancaman. Ancaman dapat diartikan sebagai
teror untuk memunculkan rasa takut dan cemas. Ranting dimaksudkan
sebagai simbol banyaknya kepercayaan. Kepercayaan secara terus
menerus tumbuh dan berkembang. Semua kepercayaan berasal dari
sumber yang sama dan tujuan yang sama yaitu Yang Maha Kuasa.
Namun kepercayaan atau yang disebut sebagai agama sering menjadi
sumber perpecahan.
4. Topeng binatang sebagai properti tari dengan mengambil berbagai
karakter binatang yang terinspirasi dari wayang kayon, relief candi,
ataupun mitos yang dipercaya oleh masyarakat Jawa. Jenis binatang
yang dihadirkan antara lain; garuda, naga, kerbau, harimau, gajah,
kera, kijang, kura-kura, burung rangkong, srigala, kuda bercula.
14
hubungan terstruktur antara jagad ageng (makrokosmos) dan jagad alit
(mikrokosmos), antara manusia dengan Sang Pencipta yang dikenal
dengan ajaran sangkan paraning dumadi.
Gunung, candi, pohon hayat, dan juga menjadi simbol raga, yakni
tempat bersemayam sang Atma (ruh) sebagai Hyang Maha Suci (I Ketut
Sandika, 2019: 22). Atma disimbolkan sebuah lingkaran kecil yang berada
di dalam segitiga. Simbol segitiga dapat juga dimaknai sebagai simbol dari
sisi kehidupan dengan tiga macam jagad. (Tri Loka/ Tri Buana), yaitu
hubungan antara tiga; jagad atas (alam Niskala), jagad tengan (alam
Niskala-Sakala), dan jagad bawah (alam Sakala), merupakan tiga jagad
yang harus diupayakan terus keselarasan hubungan secara kosmis, untuk
menjaga keseimbangan horisontal dan vertikal (Dharsono: 2007: 151).
Lingkaran kecil yang dapat dimaknai juga sebagai padmasana,
yang berarti bunga teratai yang digunakan sebagai tempat duduk seseorang
yang tercerahkan. Seperti yang terlihat pada relief candi Borobudur yang
menggambarkan pencerahan Sidharta Gautama. Pada adegan akhir,
lingkaran dan segitiga berputar searah jarum jam, sebagai gambaran
kehidupan yang terus berlangsung.
6. Tata Cahaya
15
merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan (Hendro
Martono, 2010: 1).
7. Penari
C. Rancangan Dramaturgi
16
merupakan hasil olah rasa berbudaya. Rasa budaya yang tidak dapat
dinyatakan dalam komunikasi pergaulan sehari-hari, sering dinyatakan
dalam bentuk simbol. Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai
simbol-simbol sebagai pengungkapan rasa budaya pada suatu karya seni,
seperti; busana, batik, upacara, ukiran, arsitektur, senjata, dan sebagainya.
Simbol-simbol pada suatu karya seni dapat digunakan sebagai sarana
komunikasi atau media untuk menyampaikan pesan, nasehat, atau ajaran
bagi kehidupan menuju peradaban luhur.
Karya tari Bali Jawi menghadirkan simbol-simbol kebudayaan
Jawa yang muncul disetiap segmennya. Pembagian segmen atau adegan
dalam karya tari ini tidak berdasarkan secara naratif, melainkan atas
pertimbangan dinamika dan dramaturgi. Penata mengimajinasikan suatu
objek atau peristiwa tertentu yang diinterpretasikan dan disusun secara
terstruktur sebagai bahan perancangan dramaturgi
Struktur karya Bali Jawi terbagi menjadi enam segmen sebagai
berikut;
a. Segmen 1: Bapa Akasa – Ibu Pertiwi
17
pasangan, hal ini menekankan gagasan akan dua sisi yang saling
melengkapi satu sama lainnya.
18
c. Segmen 3: Sang Pamomong
19
menguasai, dan saling berebut klaim kebenaran. Meskipun peristiwa yang
digambarkan cukup serius namun segmen ini digarap secara komedi.
Segmen ini sebagai pengingat bahwa dalam menjalani kehidupan manusia
harus selalu ingat dan waspada. Beja-bejane kang lali, luwih beja kang
eling lan waspada, yang artinya seberuntungnya orang yang lupa, akan
lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
20
persis satu garis dengan setting artistic segitiga. Berada diatas lingkaran
menggambarkan seseorang yang telah tercerahkan, kembali kepada
identitas sebagai manusia Jawa yang harus selalu Hamemayu Hayuning
Bawana.
21
III. METODE PENCIPTAAN
A. Metode Penciptaan
22
diharapkan muncul karya-karya yang berkualitas, orisinal, serta muncul
keunikan-keunikan dalam karya. Dalam konteks penelitian artistik, pencipta
seni berlaku sebagai penata tari atau koreografer sekaligus sebagai peneliti.
Metode penelitian artistik dalam karya ini akan dilakukan dengan melakukan
beberapa tahap, antara lain;
23
2. Perancangan
24
dengan kalenggahan. Para proses itulah para leluhur menyampaikan sasmita,
yang intinya berisi tentang wejangan, piwulang, atau pesan, nasihat, arahan
yang intinya berupa nilai-nilai luhur kehidupan. Mendengar nasihat-nasihat
yang disampaikan seringkali bertolak belakang dengan kenyataan yang sering
terdengar. Ritual Jawa yang sering dianggap sebagai suatu tindakan yang
sesat, kenyataannya mengajarkan kebaikan yang penuh nilai-nilai keluhuran.
Selain itu, para leluhur seringkali menyampaikan berbagai informasi yang
terkait dengan sejarah masa lalu melalui sasmita, lambang, atau sandi-sandi
yang harus dikupas arti atau maknanya. Sayangnya di era global ini ritual
ataupun upacara tradisi perlahan mulai ditinggalkan orang. Desa-desa tidak
lagi diramaikan dengan upacara tradisi budaya leluhurnya. Dari ritual ini
banyak mendapat pelajaran tentang nilai-nilai luhur. Nilai luhur Jawa yang
semakin jauh dari orang Jawa itu sendiri berakibat hilangnya identitas manusia
Jawa. Hal tersebut menumbuhkan motivasi untuk mengangkat dan
menghidupkan kembali nilai-nilai luhur manusia Jawa sebagai tema tari.
25
kontemporer dengan menghadirkan simbol-simbol tertentu untuk
menyampaikan gagasan. Simbol dimunculkan dari berbagai elemen, antara
lain; gerak, busana, properti, dan setting artistic. Kemunculan berbagai simbol
atau tanda yang kuat mengarahkan pada pola bentuk garap simbolis.
3. Eksplorasi-Improvisasi
26
dilanjutkan segmen kedua, dan seterusnya sampai dengan segmen keenam
atau terakhir. Kenyataan di lapangan, tahap eksplorasi ini tidak selalu
dilakukan secara berurutan dari yang pertama hingga terakhir, tetapi bisa
dibolak balik.
Selain cara diatas, gerak didapat dari pengembangan yang berpijak dari
tari kerakyatan. Pola gerak tari kerakyatan dipadukan dengan gerak-gerak
yang terinspirasi dari budhalan wayang kulit. Pola kerakyatan diubah volume
27
geraknya dan diolah menjadi gerak yang baru yang unik dengan tidak
meninggalkan spirit kerakyatannya.
4. Komposisi-Evaluasi
5. Presentasi-Dokumentasi
Seni pertunjukan merupakan seni yang tidak bisa diulang secara persis
sama, sehingga momentum-momentum tidak dapat terulang. Setiap saat
dokumentasi selalu dibutuhkan dan digunakan sebagai bahan evaluasi serta
mengukur seberapa jauh karya yang telah diselesaikan. Kelemahan-kelemahan
dapat dilihat dari hasil rekaman video, sehingga akan mudah dalam melihat
kekurangan untuk selanjutnya memperbaikinya. Pendokumentasian dilakukan
secara terus menerus dari awal proses hingga akhir.
28
B. Proses Penciptaan
Seni tari merupakan cabang seni yang bersifat kolektif, artinya seni ini
tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain demi
menunjang keberhasilan sebuah karya itu sendiri. Karya tari Bali Jawi tidak
dapat berdiri sendiri karena membutuhkan campur tangan dari berbagai
disiplin seni ataupun yang diluar disiplin seni. Kehadiran berbagai disiplin
ilmu dalam karya tari ini, seperti seni musik, seni rupa, fotografi, arkeologi,
sejarah, dan cabang ilmu lain memberikan pengkayaan terhadap materi
garapan. Hal tersebut bermanfaat untuk memperkuat konsep dari karya tari
agar makna dan pesan yang disampaikan memiliki pemaknaan yang luas.
Mencipta merupakan proses dialog dua arah antara pencipta seni
dengan seluruh elemen seni yang terlibat di dalamnya. Dialog sangat penting
di dalam proses penciptaan karya tari ini, karena tanpa adanya dialog di antara
para pendukung karya tari maka pemahaman mengenai ide dan konsep tidak
dapat dimengerti dan dipahami. Dialog di dalam karya tari Bali Jawi meliputi
proses saling melengkapi di dalam ruang interaksi baik secara fisik maupun
imajiner dari semua pendukung. Proses dialog dalam karya tari ini dijabarkan
sebagai berikut:
1. Proses Penata Tari dengan Penari
29
penari yang belum berkesempatan latihan tetap datang mengikuti proses.
Penata sering muncul ide spontan, sehingga bisa saja semua penari dibutuhkan
untuk mengeksplor. Latihan diutamakan pada proses merasakan, menghayati,
dan menghayalkan sesuatu berdasar konsep koreografinya. Cara bereksplorasi
hampir tidak dilakukan dengan menggunakan hitungan, namun diutamakan
kepekaan rasa pada diri sendiri, antar penari, maupun penari dengan
musiknya. Kadangkala penata menyalakan dupa ataupun mengurangi cahaya
lampu studio untuk membangun suasana.
30
Penata tari juga memberi kebebasan kepada penata cahaya untuk merespons
setiap momen yang hadir dalam karya tari. Penata cahaya sering hadir pada
saat latihan untuk memastikan perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap
proses.
31
IV. ULASAN KARYA
A. Ulasan Penyajian
Setiap aspek kehidupan manusia tidak pernah lepas dari lambang,
pertanda, atau simbol. Lambang atau pertanda bagi manusia Jawa dimulai
dari fase awal kehidupan hingga kematiannya. Kebudayaan Jawa memiliki
simbol-simbol yang dihormati dan disakralkan yang memiliki tujuan yang
diyakini secara bersama-sama untuk dapat mempersatukan dan
menguatkan suatu ikatan budaya. Simbol dalam budaya Jawa memiliki
makna tertentu sesuai dengan apa yang diyakini dan disepakati bersama.
Pada umumnya makna yang terkandung di dalamnya sebagai sesuatu yang
memiliki kekuatan spiritual. Secara umum simbol yang ada mulai dari
bentuk yang paling sederhana sampai yang paling kompleks selalu
mengandung tiga hal, yaitu; manusia, semesta, dan keyakinannya.
Karya tari Bali Jawi berdurasi 35 menit, dengan pembagian
segmen atau adegan yang sudah terstruktur. Struktur karya ini terbagi
menjadi enam segmen sebagai berikut;
a. Segmen 1:
32
kehidupan baru diharapkan sebagai penjaga-penjaga warisan para leluhur
yang telah meninggalkan peradabannya yang tinggi.
b. Segmen 2
33
juga tumbuh akal budinya. Didasari oleh kegelisahan melihat kondisi dan
realita bahwa banyak orang telah menjauh dari budayanya sendiri. Nilai-
nilai luhur mulai ditinggalkan sehingga orang Jawa sendiri mulai
kehilangan identitasnya, Wong Jawa Ilang Jawane.
34
sebagai manusia Jawa. Hidup adalah laku pribadi, sehingga harus berjalan
mengikuti rasa yang sejati.
c. Segmen 3
Segmen ini juga dihadirkan dua sosok pamomong yaitu Togog dan
Semar. Punakawan atau Panakawan diartikan sebagai seorang pengasuh,
pembimbing yang memiliki kecerdasan pikir, ketajaman batin, serta
kecerdikan akal budi. Wawasannya sangat luas dengan sikap yang
bijaksana serta arif dengan segala pengetahuan. Pada hakikatnya Semar
adalah manusia setengah Dewa yang bertugas mengasuh para satria sejati.
Para satria yang diasuh oleh Semar akan beruntung karena akan menuju
kepada nilai-nilai kebaikan. Togog berperan sebagai pamomong yang
mengasuh para satria yang memiliki watak angkara. Tugas utamanya
adalah mengingatkan sang satria yang diasuhnya agar mengurungkan
rencana-rencana buruknya agar kembali kepada kebenaran. Ia selalu
membukakan kesadaran akan akibat dari perilaku buruk yang menjadi sifat
dasar para asuhannya. Togog-Semar merupakan dua sosok yang saling
melengkapi. Dalam karya ini kedua sosok tersebut mengenakan kain yang
terdiri dari dua warna yaitu hitam dan putih. Togog mengenakan kain
motif slobok, dan Semar mengenakan kain motif poleng.
35
selanjutnya dalam sisi spiritual atau kejiwaan/ batin (Ardian Kresna, 2010:
63-64).
Gambar 3. Adegan dua pamong Togog - Semar dan dua penari sebagai simbol
dua sisi kehidupan.
(Dok: Nur Budi Prasetya, 2019)
d. Segmen 4
36
bahan lelucon oleh para dalang, sehingga hal tersebut menginspirasi pada
segmen ini. Menggambarkan peristiwa dengan menghadirkan unsur
komedi.
Gambar 4. Adegan penari berkuluk emas dengan pijakan gerak tari kerakyatan.
(Foto: Noer Budi Prasetya, 2019)
37
Perlu keberanian untuk bersikap dalam merespons realita terhadap
kepercayaan asli Jawa yang penuh nilai-nilai keluhuran. Tanpa keberanian
justru akan semakin dilecehkan dan dianggap rendah yang tidak akan
mungkin membawa perubahan. Segmen ini sebagai pengingat bahwa
hidup harus selalu ingat dan waspada. Beja-bejane kang lali, luwih beja
kang eling lan waspada, yang artinya seberuntungnya orang yang lupa,
akan lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
e. Segmen 5
38
Gambar 5. Adegan yang terinspirasi dari lambang-lambang binatang dalam
kebudayaan Jawa, seperti pawukon, kayon, serta relief candi.
(Foto: Nur Budi Prasetya, 2019)
39
Pencipta. Hubungan ideal antara mikrokosmos (jagad alit) dan
makrokosmos (jagad ageng).
f. Segmen 6
40
Gambar 6. Adegan terakhir menggambarkan seorang penari mendapatkan
sebuah pencerahan. sebuah harapan yang terwujud yaitu lahirnya para penjaga
agung Nuswantara.
(Foto: Noer Budi Prasetya, 2019)
41
dalam peradaban Jawa selaras dengan rasa. Rasa akan mencapai tingkat mengerti
dan memahami bukan semata atas bertambahnya usia, tetapi lebih kepada
kerelaan untuk belajar dan mempelajari. Dari apa yang telah dipelajari akan
terjadi keseimbangan antara mikrokosmos (jagad alit) dengan jagad ageng
(makrokosmos) guna menjadikan manusia yang utuh dalam olah rasa maupun
dengan semesta. Keseimbangan atau harmoni dengan semesta adalah segalanya
bagi manusia Jawa. Sayangnya harmoni ini tak lagi bisa dicapai karena kesadaran
untuk oleh rasa bagi manusia Jawa sudah lama ditinggalkan dan dilupakan. Hal
ini yang menjadikan Bali Jawi begitu bermakna.
42
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Karya tari Bali Jawi bersumber pada ritual Jawa Kuno berupa
pemujaan roh-roh leluhur di mana kepercayaan Jawa yang dianut pada masa
lalu bernama Jawadipa. Kepercayaan tersebut dianggap sebagai kepercayaan
asli Jawa yang berpengaruh pada kepercayaan Jawa selanjutnya, yaitu
kepercayaan Jawa Buda (Jowo Budo), yang kemudian mempengaruhi
munculnya Kejawen. Jejak-jejak ajaran Jawadipa yang masih ditemui saat ini
salah satunya adalah ritual pemujaan roh leluhur yang saat ini masih dilakukan
orang atau sekelompok orang di tempat pemujaan, petilasan, atau tempat lain
yang disakralkan. Di era modern ini, hal-hal yang berkaitan dengan ritual
Jawa sering disalahartikan secara negatif sehingga orang Jawa sendiri semakin
menjauhinya. Ritual Jawa yang mengandung nilai-nilai luhur semakin dijauhi
dan ditinggalkan, sehingga banyak orang Jawa yang kehilangan identitasnya
atau sering disebut wong Jawa ilang Jawane.
Karya Bali Jawi juga merupakan sebuah respon dari realita yang
terjadi di Indonesia saat ini. Karya Bali Jawi merefleksi kehidupan
berkepercayaan, bertradisi, dan berkebudayaan bagi orang Jawa. Karya ini
juga melibatkan pengalaman subjektif penata tari. Pengalaman yang mengarah
pada perubahan pikiran dan pandangan terhadap suatu kepercayaan. Realita
yang terjadi pada kepercayaan Jawa yang semakin terpinggirkan dan sering
menjadi korban deskriminasi menumbuhkan kegelisahan dan mendorong
penata untuk terjun langsung ke lapangan.
Proses kreatif dilakukan melalui beberapa tahapan berdasar metode
penelitian artistik. Metode ini memposisikan seorang penata tari sekaligus
sebagai peneliti. Terjun langsung ke lapangan dilakukan untuk memastikan
bahwa ada perbedaan antara realita yang dilihat dan dibaca dengan objek yang
diteliti. Penata terjun dalam kelompok penganut kapitayan atau kepercayaan
untuk mencari informasi secara langsung yang berkaitan dengan kepercayaan.
43
Sejak saat ini penata sering melakukan ritual bersama orang-orang penganut
kepercayaan Jawa. Ritual pemujaan yang dipandang sebagai salah satu wujud
memuliakan para leluhur yang telah lebih dahulu hidup dan berkuasa Jawa.
Pengalaman-pengalaman yang dialami dalam melihat, mendengar, dan
merasakan sesuatu dari masa lalu hingga sekarang sebagai salah satu sumber
informasi. Dari ritual yang dilakukan banyak diperoleh sasmita, lambang, atau
sandi-sandi yang harus dikupas maknanya. Sandi-sandi tersebut mendasari
simbol-simbol yang dihadirkan dalam karya.
Karya tari Bali Jawi diharapkan mampu menjadi karya seni yang
memuat nilai-nilai filosofi Jawa yang mampu membangkitkan kesadaran
manusia akan nilai-nilai kehidupan. Refleksi diri yang dilakukan dapat
menjadi sarana untuk memaknai kehidupan dan menumbuhkan kesadaran
bahwa manusia hidup selalu terkait dengan alam semesta dan Sang Pencipta.
Tari tidak berhenti pada persoalan garap teknik dan bentuk saja,
melainkan harus memiliki isi dan rasa yang kuat. Tari merupakan bentuk
ungkapan ekspresi dan perasaan secara jujur dari penata tari terhadap
peristiwa dan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Perasaan yang
dirasakan tersebut dituangkan ke dalam sebuah karya tari dengan
menggunakan gerak sebagai media penghubung antara gagasan, perasaan
dengan penonton. Dengan demikian gerak beserta elemen-elemen tari lainnya
harus mampu menyampaikan makna yang terkandung di dalam karya secara
tepat dan jelas. Kejujuran dan keikhlasan untuk terbuka menjadi kunci penting
untuk dapat mewujudkan semuanya.
B. Saran-saran
Proses karya Bali Jawi mengalami banyak perubahan disetiap
segmennya. Sampai akhir proses masih ada hal-hal yang terasa belum
memuaskan. Banyak bagian yang terasa perlu penyempurnaan, sehingga perlu
adanya masukan dari berbagai pihak. Masih banyak ditemukan kekurangan
baik dari segi konsep maupun penyajian. Review dari penonton dijadikan
bahan evaluasi untuk pembenahan menuju karya-karya selanjutnya. Karya tari
44
Bali Jawi dapat diselesaikan dengan cukup baik melalui proses yang cukup
panjang. Berkat dukungan dari para penari dan para pendukung lainnya, karya
tari ini mengalami pembenahan-pembenahan dan terus-menerus menuju
perbaikan.
Gagasan yang disampaikan dalam karya tari Bali Jawi dapat
tersampaikan dengan cukup baik. Walaupun tidak semua penonton dapat
menangkap isi dan maknanya, namun dapat menikmati dari sisi lainnya.
Tanggapan penonton setelah melihat dalam pementasan work in progress,
maupun setelah pementasan ujian akhir selesai, banyak komentar yang
cenderung positif. Walaupun demikian, masih ada beberapa catatan atau
masukan terkait dengan struktur, dramaturgi, pemaknaan, referensi, dan
sebagainya. Semua masukan diperhatikan dan diterima sebagai bahan
evaluasi untuk pematangan menuju tahap perkembangan selanjutnya. Karya
ini tujuan akhirnya bukan hanya sekedar untuk memenuhi ujian tugas akhir,
namun untuk jangkauan yang lebih luas lagi yaitu bermanfaat bagi dunia seni
tari di Indonesia dan bermanfaat bagi semesta.
45
KEPUSTAKAAN
A. Sumber Tertulis
Achmad, Sri Wintala. (2017), Asal-usul & Sejarah Orang Jawa, Yogyakarta:
Araska.
Achmad, Sri Wintala. (2017), Filsafat Jawa: Menguak Filosofi, Ajaran, dan Laku
Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Araska.
Achmad, Sri Wintala, (2018), Etika Jawa: Pedoman Luhur dan Prinsip Hidup
Orang Jawa, Yogyakarta: Araska.
Citraninda Noerhadi, Inda. (2012), Busana Jawa Kuna, Depok: Komunitas Bambu.
CR, Otto Sukatno. (2016), Nalar Serta Rasionalitas Mistik Dan Ilmu Gaib,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dewantara, Setyo Hajar (2017), Suwung, Ajaran Rahasia Leluhur Jawa, Tangerang
Selatan: Kaurama Buana Antara.
46
Farela, Aristo. (2017), A Short History Of Java, Surabaya: Ecosystem Publishing.
Hadi, Y. Sumandiyo. (2007), Kajian Tari, Teks Dan Konteks, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.
Hawkins, Alma M. (1991), Moving From Within atau Bergerak Menurut Kata Hati,
terjemahan Prof. Dr. I Wayan Dibia. (2003), Jakarta: Ford Fondation dan
MSPI..
Kresna, Ardian. (2010), Semar & Togog: Yin Yang Budaya Jawa, Jakarta: Narasi.
MC, Wahyana Giri. (2010), Sajen & Ritual Orang Jawa, Yogyakarta: Narasi.
Miswanto. (2009), Esensi Falsafah Jawa Bagi Peradaban Umat Hindu, Surabaya:
Paramita.
Musman, Asti. (2017), Agama Ageming Aji, Menelisik Akar Spiritualisme Jawa,
Yogyakarta: Pustaka Jawi.
47
Panyadewa, Seno. (2014), Misteri Borobudur, Jakarta: Dolphin.
Shashangka, Damar. (2016), Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati, Jakarta:
Dolphin.
Suharto, Ben. (1985), Komposisi Tari: Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru,
Yogyakarta: Ikalisti.
48
Sulaksono, Djoko. (2016), Filsafat Jawa, Surakarta: Yuma Pustaka.
Suwaidi, Fahmi, dan Abu Aman. (2013), Ensiklopedi Syirik & Bid’ah Jawa,
Kartasura: Aqwam.
B. Narasumber
C. Discografi
49
D. Webtografi
https://id.wikipedia.org/wiki/Ritual
http://turanggaseta.com/download/jagad-gumelar/
www.lakubecik.org
50