Professional Documents
Culture Documents
Retrospect of Policy Actors On Implementation Process: Retrospeksi Aktor Kebijakan Terhadap Proses Implementasi
Retrospect of Policy Actors On Implementation Process: Retrospeksi Aktor Kebijakan Terhadap Proses Implementasi
https://doi.org/10.35880/inspirasi.v11i1.148
ABSTRAK
Program One Pesantren One Product (OPOP) adalah janji Gubernur dan wakil
gubernur Jawa Barat terpilih dalam pemberdayaan kemandirian ekonomi
pesantren. Program ini mendorong penciptaan produk unggulan dan
pengembangan Koperasi dan usaha pesantren. Seleksi perencanaan usaha
pesantren dilaksanaknakan melalui beberapa tahapan, (1) seleksi administrasi; (2)
audisi tahap I (tingkat kecamatan); (3) tahap ll (tingkat kabupaten/kota); dan tahap
III (tingkat provinsi). Hadiah yang diberikan berupa, pelatihan dan magang,
pendampingan usaha, bantuan modal, pameran dagang, ikut serta dalam business
matching, bahkan sampai pembentukan badan hukum Koperasi. OPOP tidak hanya
memberikan kemampuan dalam bidang usaha tetapi juga memberikan peluang
pemasaran yang luas dengan menyediakan offtaker (pembeli) bagi produk
unggulan pesantren. OPOP diatur di dalam PERGUB Jabar no 24 tahun 2019
tentang Penyelenggaraan One Pesantren One Product, yang dilaksanakan selama 5
tahun (2018-2023). Aparatur implementor kebijakan mengevaluasi
penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan kebijakan. Penelitian kebijakan ini
menggunakan pendekatan kualititatif dengan FGD (Focus Grup Discussion) sebagai
teknik pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya pelibatan
multistakeholder dalam penyelenggaraan kegiatan, maka diperlukan project
management yang baik, dalam penjadwalan kegiatan dan alokasi Sumber Dana.
Kemudian multistakeholder dengan tujuan dan pandangan yang berbeda, maka
perlu disamakan persepsinya menggunakan juknis yang detail.
PENDAHULUAN
Penduduk Jawa Barat tahun 2018 berjumlah 48,68 juta orang, dapat menjadi ancaman
pengangguran dan kriminalitas terbesar se-lndonesia bila SDM Jawa Barat tidak memiliki pengetahuan
moral keagamaan dan keahlian berusaha. Pesantren sebagai institusi pendidikan keagamaan memiliki
peran penting dalam pengembangan kedua aspek tersebut. Namun mayoritas pembiayaan pesantren
di Jawa Barat sangat bergantung terhadap donasi/shodaqoh dari para orang tua murid dan jamaah
sehingga pengembangan pesantren sangat lambat dengan fasilitas seadanya. Untuk menanggulangi
hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menjalankan program One Pesantren One Product
(OPOP) dengan tujuan antara lain:
(1) Menciptakan kemandirian ekonomi pesantren sehingga pembiayaan operasional tidak
bergantung dari pemberian orang lain;
(2) Optimalisasi sumber daya pesantren, jumlah pes antren di Jawa Barat tercatat sebanyak
8.264 pesantren, memiliki asset tetap berupa tanah yang luas dan bangunan, SDM
santri sebanyak 783.248 orang dan kyai/ustadz sebanyak 58.699 orang, merupakan
potensi pembangunan ekonomi yang cukup besar;
(3) Mengikis kesenjangan pendapatan perkotaan dan pedes aan, indeks gini rasio Jawa
Barat tahun 2018 tercatat 0.403, indeks ini dapat diturun kan bila pesantren yang
berlokasi di pelosok desa mampu membu ka unit usaha sehingga menciptakan
pertumbuhan ekonomi di desa;
(4) Mengurangi arus urbanisasi dan pengangguran, dengan adanya unit usaha dan
pertumbuhan ekonomi di desa akan mengurangi arus urbanisasi dan pengangguran
Program OPOP dilaksanakan berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat no 24 Tahun 2019
tentang Penyelenggaraan One Pesantren One Product, yang merupakan janji Gubernuru dan
wakil Guberbur terpilih saat kampanye. Program ini, sangat penting membangun kemandirian
Pesantren secara ekonomi agar bisa membiayai kebutuhan operasional maupun pengembangan
sarana dan prasarana pesantren. Selain itu, program ini tentu berdampak kepada masyarakat
sekitar pesantren yang tersebar di 550 kecamatan se-Jawa Barat.
1.074 pesantren telah mengikuti program OPOP pada tahun 2019, terbagi dua kelompok
yaitu start up (perintisan usaha) dan scale up (pengembangan usaha). OPOP mampu mendorong 531
pesantren untuk mulai berbisnis dan mengembangkan 543 pesantren yang sudah menjalankan bisnis
mulai dari agrobisnis, peternakan, perikanan, perdagangan, konveksi dan kuliner berdasarkan potensi
pesantren.
JURNAL INSPIRASI Vol. 12 No. 2, Desember 2021 148
OPOP merupakan sebuah inovasi pemberdayaan usaha pesantren. Ini tidak bisa dilakukan
program sebelumnya, yang hanya memberikan hibah kepada pesantren dan tidak terjadi pemerataan
pembangunan pesantren di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat. OPOP dilaksanakan melalui kompetisi
rencana usaha dengan memperhatikan pemerataan, masif dan berkelanjutan. Pemilahan peserta
dimulai saat pendaftaran, menggunakan metode self assesment, dengan kategori pemula dan
pengembangan. Seleksi perencanaan usaha dilaksanakan melalui tahapan (1) seleksi administrasi; (2)
audisi tingkat kecamatan;(2) audisi tingkat kab/kota; dan (3) audisi tingkat provinsi. Hadiah yang
diberikan berupa, pelatihan dan magang, pameran dagang dan business matching sampai
pembentukan badan hukum koperasi pesantren. OPOP tidak hanya memberikan peluang pemasaran
produk namun memberikan offtaker produk usaha pesantren.
OPOP berdampak positif dalam bentuk pemerataan layanan pemerintah Jawa Barat kepada
1.074 pesantren, bahkan salah satu output program ini adalah, adanya database teknologi informasi
terhadap usaha pesantren se-Jawa Barat. Program ini dapat berhasil dengan adanya kerjasama aktif
Pentahelix (akademisi, praktisi bisnis, komunitas pesantren dan pemerintah, media) dalam setiap
kegiatan. Akan tetapi pada proses pelaksanaan masih terdapat hal-hal yang belum sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Permasalahan ini timbul karena ternyata pesantren mempunyai karakteristik
yang khas, yang pada akhirnya menyebabkan pelaksanaan di lapangan menjadi berbeda
Implementasi Kebijakan adakalanya tidak sesuai dengan tujuan dan perencanaan kebijakan,
maka dibutuhkan evaluasi secara kontinu agar implementasi sesuai dengan tujuan kebijakan.
Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah “Bagaimana saran aktor kebijakan dalam mengevaluasi
proses implementasi Penyelenggaraan One Pesantren One Product di Jawa Barat agar sesuai dengan
tujuan perencanaan?”. ini merupakan penelitian retrospektive implementasi kebijakan
pemberdayaan usaha pesantren.
TINJAUAN TEORITIS
Pesantren
Istilah pesantren secara etimologis berasal dari kata “santri” dengan penambahan awalan pe
dan akhiran an yang berarti tempat belajar atau tempat tinggal para santri (istilah pelajar di pesantren)
(Daulay, 2014). Sedangkan istilah “santri” direlasikan dengan Bahasa Sansekerta “shastri” diambil dari
kata “shastra” yang berarti buku suci, buku agama, dan pengetahuan.
Pesantren memiliki beberapa fungsi dan peran dalam kehidupan masyarakat. Fungsi dan peran
tersebut dapat dibagi menjadi fungsi utama (primary functions) dan fungsi sekunder (secondary
functions). Tiga fungsi utama pesantren yaitu: pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu keIslaman;
kedua, pemeliharaan tradisi Islam; dan ketiga, reproduksi ulama.
usaha pesantren perlu disusun secara cermat, jelas dan tegas guna mengatur penyelenggaraan
pemberdayaan usaha masyarakat sehingga dapat meningkatkan kinerja kewirausahaan daerah dan
Produk Domestik Bruto (PDRB) Jawa Barat.
Pada dasarnya proses kebijakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Proses kebijakan,
termasuk kebijakan pemberdayaan usaha masyarakat, berlangsung dalam suatu dalam suatu system
politik dan pemerintahan yang berlaku, dan mendapat pengaruh dan dukungan dari lingkungan
sekitarnya, seperti diilustrasikan Campbell dan Mazzoni (Marshall dan Gerstl - Pepin,2005: 11) yang
mengemukakan bahwa untuk mengidentifikasi berbagai aktivitas dalam lingkungan kebijakan dapat
merujuk model system kebijakan sebagaimana disajikan pada gambar tersebut. Proses kebijakan
publik berlangsung dalam suatu sistem politik yang dipengaruhi oleh lingkungannya dan Proses ini
berjalan secara bertahap, dan sirkuler (siklikal) sehingga suatu kebijakan tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan-kebijakan lain yang sudah ada atau kebijakan yang sedang berjalan (Dunn, 2004: 46;
Fowler, 2009: 14-18).
Gambar 2: Sistem Pengaturan dan Kebijakan Pendidikan serta konsep yang berpengaruh
Sumber :Marshall dan Gerstl-Pepin, 2005:11
Aktor-aktor kebijakan yang berpengaruh dalam ekosistem kebijakan, sehingga kebijakan dapat
berjalan dengan baik. Adapun aktor kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi (a) aktor utama
(resmi, atau struktural), dan (b) aktor non-utama (tidak resmi, atau non-struktural) (Imron, 1996: 38-
45). Para aktor kebijakan itu berperan dalam proses kebijakan, khususnya dalam proses implementasi
karena dalam proses implementasi kebijakan terdapat banyak masalah.
dengan aktor lainnya. Aktor ini sering bisa sangat membantu sehingga hubungan dengan aktor
ini harus tetap dijaga dengan baik.
b. Aktor dengan tingkat kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang tinggi diklasifikasikan
sebagai Pemain Kunci (Key Players). Aktor ini harus lebih aktif dilibatkan secara penuh
termasuk dalam mengevaluasi strategi baru.
c. Aktor dengan tingkat kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang rendah diklasifikasikan
pengikut lain, untuk melibatkan aktor ini lebih jauh karena kepentingan dan pengaruh yang
dimiliki biasanya berubah seiring berjalannya waktu. Aktor ini harus tetap dimonitor dan dijalin
komunikasi dengan baik.
d. Aktor dengan tingkat kepentingan (interest) yang rendah tetapi memiliki kekuatan (power)
yang tinggi diklasifikasikan sebagai pendukung (contest setters). Aktor ini dapat mendatangkan
resiko sehingga keberadaannya perlu dipantau dan dikelola dengan baik. Aktor ini dapat
berubah menjadi key players karena suatu peristiwa. Hubungan baik dengan stakeholder ini
terus dibina.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan (policy research atau policy study) dengan
menggunakan strategi “restrospective (ex post) analysis” (Dunn, 2004:13) atau “backward mapping”
(Marshall & Gerstl-Pepin, 2005: 61). Dengan mengacu pada pemikiran dari, Danim (2000: 23), yang
dimaksud penelitian kebijakan adalah prosedur penelitian ilmiah yang berusaha memperoleh
pemahaman yang mendalam tentang suatu kebijakan, yang hasil-hasilnya dapat digunakan untuk
menyusun rekomendasi yang berorientasi-tindakan praktis terkait dengan kebijakan yang
bersangkutan. Penelitian kebijakan ini dilakukan dengan mengacu kepada prinsip-prinsip:
multidimensional, induktif-empiris, berorientasi Tindakan praktis, berbasis actor kebijakan, dan
bermuatan nilai. Sehubungan dengan itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
(Maxwell,1996: 17-20;), atau metode penelitian kualitatif (qualitative research method). Kajian
kualitatif penting dalam pengembangan kebijakan karena memiliki kontribusi dalam formulasi,
implementasi, dan modifikasi kebijakan.
Proses akuisisi pengetahuan pakar pada kajian ini menggunakan metode kualitatif/induktif
dengan menggunakan strategi focus group discussion (FGD) sebanyak lima kali dengan mengundang
lima kelompok narasumber yang berbeda. Narasumber berasal dari seluruh stakeholders terkait
dengan Kajian One Pesantren One Product dengan rincian sebagai berikut:
Kegiatan FGD diatas dilakukan guna melihat apakah pelaksanaan program OPOP ini sudah
sesuai dengan yang diharapkan maka perlu dilakukan kajian dengan melakukukan evaluasi
pelaksanaan OPOP tahun 2019. Dengan adanya evaluasi pada kajian ini, diharapkan kegiatan OPOP di
tahun mendatang menjadi lebih baik serta terdapat peningkatan kualitas dan kemandirian pesantren
hasil binaan.
.
JURNAL INSPIRASI Vol. 12 No. 2, Desember 2021 152
Kajian di atas menunjukkan bahwa peran aktor kebijakan sangat beragam, Wahab (1998:35)
menjelaskan bahwa “ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktor kebijakan, antara lain, budaya
politik, distribusi kekuasaan, atau karakter kekuasaan yang terdapat dalam sistem politik dan policy
style yang terdapat pada pelbagai negara”. Peran Gubernur Jawa Barat yang memiliki distribusi
kekuasaan yang didasari janji politik memiliki peran dominan dalam penyelenggaraan program
Secara garis besar restrospective action yang harus dilakukan pihak penyelenggara dalam
implementasi kebijakan Pergub 24 tahun 2019 tentang penyelenggaraan OPOP, antara lain :
1. Seleksi pendamping harus dilakukan dengan melihat persyaratan dari orang-orangnya, selain
akademisi juga pengetahuan tentang pesantren menjadi hal yang utama;
2. Para pendamping perlu diberi pembekalan sebelum terjun kelapangan, dimana mereka perlu
dibekali dengan informasi tentang bagaiamana membimbing, memberi konsultasi dan
advokasi, juga membantu dalam pengembangan usahanya dengan aturan yang seragam.
Sehingga pada akhirnya pesantren sudah siap untuk diuji;
3. Seleksi peserta perlu dilakukan dengan lebih ketat lagi. Perlunya informasi tentang status dari
pesantren dan bisnis yang dijalankan, dengan melalui survey pendahuluan dan juga seleksi dari
para san/tri yang akan ikut serta;.
4. Persyaratan peserta yang boleh ikut serta dalam program OPOP ini harus memenuhi kriteria
yang sudah ditentukan, jadi peserta yang dapat ikut dalam program OPOP hanya yang memiliki
persyaratan tersebut;
5. Target jumlah peserta yang diterima sebaiknya didasarkan pada pemenuhan kualifikasi dari
pesantren, tidak hanya didasarkan pada target yang ditetapkan. Karena jika kondisinya
demikian, maka persoalan yang telah terjadi di tahun sebelumnya akan dihadapi lagi, dimana
untuk menegjar target yang ditetapkan akhirnya banyak pesantren yang sebetulnya tidak
memenuhi syarat utnuk dikembangkan;
6. Kejelasan dari kriteria bisnis strat up dan scale up. Dimana keduanya sudah merupakan
pesantren yang memiliki bisnis yang memang akan dikembangkan;
7. Perlunya petunjuk teknis yang jelas, detail dan seragam, sehingga dalam pelaksanaan OPOP ini
dapat dimengerti oleh semua pihak;
8. Perlunya sosialisasi program ke setiap pesatren agar mereka tahu apa tujuan dari program
OPOP ini sehingga mengerti bahwa program ini merupakan program yang akan memeberi
manfaat pada pesantren mereka;
9. Masalah hadiah yang berupa uang perlu dipertimbangkan kembali, karena ada pesantren yang
menggunakan uang hadiah untuk urusan pribadi. Sehingga hadiah yang berupa barang akan
lebih berguna untuk pengembangan bisnis pesatren. Akan tetapi perlu juga ditetapkan
konsekuensi dari ahdiah yang diterima, mereka perlu memeprlihatkan perkembangan dalam
bisnis nya. Sehingga mereka terpicu untuk terus memelihara kemajuan bisnisnya;
10. Perlunya untuk meninjau kembali lokasi dari pesentren yang harus di bina para pemdamping.
Sebaiknya lokasinya disesuaikan dengan jalur yang searah, sehingga tidak membuang tenaga
dan waktu karena lokasi yang tidak dalam satu area. Yang menyebabkan peran pendamping
menjadi tidak maksimal;
11. Perlunya pembekalan para juri dalam menilai peserta, dengan menggunakan indikator-
indikator yang jelas, sehingga para peserta mengetahui mengapa mereka kalah ataupun
menang dalam kompetisinya;
JURNAL INSPIRASI Vol. 12 No. 2, Desember 2021 162
PENUTUP
Dari pembahasan pada bagian sebelumnya maka dapat diambil simpulan sebagai berikut. Pertama,
Kebijakan pemberdayaan usaha pesantrren, merupakan hasil janji politik yang dituangkan kedalam
peraturan gubernur Jawa Barat. Kedua, Peran pemerintah (Gubernur Jawa Barat) dalam kebijakan ini
memiliki peran yang dominan dalam perumusan kebijakan, DPRD dan aktor non kebijakan lainnya
hanya berperan dalam pengesahan anggaran dan perumusan kedalam dokumen perencanaan
pembangunan. Ketiga, dalam proses implementasi memerlukan banyak dukungan stakeholder yang
memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu untuk pengembangan peran strategis pesantren dalam
Halal Value Chain Nasional. Keempat, dengan adanya pelibatan multistakeholder dalam
penyelenggaraan kegiatan, maka diperlukan project management yang baik, dalam penjadwalan dan
alokasi Sumber Dana. Kelima, multistakeholder dengan tujuan dan pandangan yang berbeda, maka
perlu disamakan persepsinya menggunakan juknis yang detail. Keenam, kegiatan ini memerlukan
feedback dari berbagai stakeholder secara terus menerus agar penyelenggaraan sesuai tujuan
kebijakan. Rekomendasi yang disampaikan adalah, perlu adanya penelitian lanjutan mengenai tingkat
pengembalian sebuah kebijakan sebagai dampak kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Basyit (2017) Pembaharuan Model Pesantren: Respon Terhadap Modernitas, Vol.XVI Koordinat
Danim, S. (2000). Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Dunn, W. (2004). Public Policy Analysis: An Introduction (Third Ed.). New Jersey: Pearson –
Prentice Hall Inc
Fowler, F.C. (2009). Policy Studies for Educational Leaders: An Introduction (third.ed.). Boston:
Pearson Education, Inc.
Haidar Putra Daulay (2014) Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group
Imron, A. (1996). Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya.
Jakarta: Bumi Aksara
MacRae, D. & Wilde, J.A. (1985). Policy Analysis for Public Decisions. LanhamNew York-
London: University Press of America.
Marshall, C. & Gerstl-Pepin, C. (2005). ReFraming Educational Politics for Social Justice. Boston:
Pearson Education, Inc.
Maxwell, J. A. (1996). Qualitative Research Design: An Interactive Approach. California: SAGE
Publications, Inc.
Wahab, A.S. (1998). Analisis Kebijakan Publik: Teori dan Aplikasinya. Malang: Fakultas Ilmu
Administrasi UNIBRAW.
Wakka., Abdul Kadir.( 2014). Analisis Stakeholder Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Mengkendek. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea.Vol. 3
No.1, April 2014:47-45.