Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

STIGMA TOWARDS PEOPLE WITH MENTAL

DISORDERS: PERSPECTIVES OF ADOLESCENTS IN


PADANG INDONESIA

Rika Sarfika*1, Nursyrwan Effendi2, Adnil Edwin Nurdin3, Hema Malini4


1
Mental Health Nursing Department, Faculty of Nursing, Universitas Andalas, West
Sumatra, Indonesia
rikasarfika@nrs.unand.ac.id
2
Social Sciences Department, Faculty of Social and Cultural Sciences, Universitas Andalas,
West Sumatra, Indonesia
nursyrwan@soc.unand.ac.id
3
Psychiatric Department, Faculty of Medicine, Universitas Andalas, West Sumatra,
Indonesia
adniledwin@gmail.com
4
Medical Surgical Nursing Department, Faculty of Nursing, Universitas Andalas, West
Sumatra, Indonesia
hemamalini@nrs.unand.ac.id

ABSTRACT

Stigma and discrimination toward people with mental disorder is a serious problem among
indonesian, especially in Padang, West Sumatra. The purpose of this study was to determine the
stigma against people with mental disorders among adolescents. This study used a cross-sectional
study design. A total of 967 adolescents were assigned as respondents through purposive
sampling in senior high schools in Padang. The data collected by using Peer Mental Health
Stigmatization Scale (PMHSS) questionnaire. The results showed that, most teenagers thought
people with mental disorders had poor intellectual abilities (62.8%) and were unable to take care
of themselves (51.3%). However, most teenagers believed that people with mental disorders can
be recover (76.8%) and they didn’t agree to look down on people with mental disorders (95.6%).
Age and school environment take effect on evaluating people with mental disorders. The results
of this study emphasize the importance of health education to improve adolescent literacy towards
mental disorders and promote mental health in schools to support the positive views of
adolescents towards people with mental disorders.

KEYWORDS: Adolescents, Stigma, Stigma awareness, Stigma Agreement, Mental disorder


1. Introduction

Gangguan jiwa dan gangguan mental emosional umum di Provinsi Sumatera Barat sudah
cukup memprihatinkan. Prevalensi gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) pada penduduk
usia 15 tahun ke atas sebesar 9.1 per mil, angka ini lebih besar dibanding prevalensi nasioanl
yang hanya sebesar 7.0 per mil. Demikian juga angka depresi, Provinsi Sumatera Barat juga
memiliki prevalensi lebih besar dari prevalensi nasional yaitu 8.2% dan 6.1 %. Selain itu,
kasus pasung (Balitbang Kemenkes RI, 2018). Dari angka ini tergambar bahwa permasalahan
gangguan jiwa di Provinsi Sumatera Barat cuikup besar dan tentu hal ini akan menjadi
tantangan besar bagi pemerintah daerah.
Gangguan jiwa (seperti gangguan depresi mayor dan gangguan kecemasan) menjadi
penyebab utama kecacatan pada usia muda di seluruh dunia (Lancet, 2017). Orang dengan
gangguan jiwa berat (seperti skizofrenia dan gangguan bipolar) diperkirakan meninggal
hingga 20 tahun lebih muda dari populasi umum (Tiihonen et al., 2009). Namun demikian,
kondisi pada gangguan jiwa ini kurang mendapat perhatian, berbeda dengan kasus lain seperti
diabetes, gizi dan obesitas. Stigma yang terkait dengan gangguan jiwa dianggap sebagai faktor
utama yang berkontribusi (Saxena, 2017).
Gangguan jiwa adalah masalah kesehatan yang paling banyak terstigmatisasi (Ke et al.,
2015). Seperti di Kanada, Lebih dari sepertiga masyarakat (38,2%) menganggap bahwa orang-
orang akan mendiskriminasi seseorang yang pernah mengalami depresi, dan sekitar sepertiga
masyarakat (33,7%) menganggap orang yang mereka kenal akan enggan hidup bersama orang
dengan depresi (Stuart, Patten, Koller, Modgill, & Liinamaa, 2014). Masyarakat cenderung
menghindari dan tidak mau memberikan bantuan terhadap orang yang menderita gangguan
jiwa (Mestdagh & Hansen, 2013). Stigma adalah proses sosial yang kompleks yang
melibatkan pelabelan, stereotip, pemisahan, kehilangan status, dan diskriminasi ketika ada
perbedaan kekuasaan. Stigma masyarakat adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok-
kelompok sosial mendukung stereotip dan bertindak terhadap mereka yang dianggap sebagai
kelompok yang tidak beruntung secara sosial (Ke et al., 2015). Dalam istilah remaja, stigma
gangguan jiwa hanya berlaku pada mereka yang berada pada posisi lemah (Mckeague,
Hennessy, O’Driscoll, & Heary, 2015).
Stigma ini sangat merugikan penderita gangguan jiwa karena dapat menurunkan minat
mereka dalam mencari bantuan pelayanan kesehatan (Crowe et al., 2016). Remaja dan
keluarga cenderung menyembunyikan kondisi kesehatan jiwanya dan bahkan membatasi
pencarian bantuan dan perawatan profesional (Sewilam et al., 2015). 90% dari pasien depresi
dan 48.9% pasien skizofrenia yang membutuhkan penanganan tidak melakukan pengobatan
medis karena ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi yang akan didapat dari masyarakat
(Lestari & Wardhani, 2014). Sehingga, kondisi ini dapat memperburuk proses penyembuhan
kondisi kesehatan jiwa mereka (Clement et al, 2015). Stigma yang terinternalisasi juga dapat
menyebabkan remaja berhenti sekolah (40%), tidak mau bersosialisasi dengan teman
sebayanya (54%), dan bahkan mengarahkan mereka ke pertimbangan bunuh diri (26%)
(Chisholm et al., 2016).

1.1 Study aim


Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran stigma gangguan jiwa di kalangan
remaja sekolah menengah di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
2. Methods
2.1 Design and participants

Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada bulan agustus 2019 di 4 kecamatan yang
memiliki sebaran kasus gangguan jiwa tertinggi di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat
Indonesia. Target sampel sebanyak 520 orang remaja usia sekolah menengah atas (SMA)
yang berada di wilayah Kota Padang. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode
multistage sampling. Sekolah yang berada di 4 kecamatan (dari total 11 kecamatan yang
ada di Kota Padang), 2 kecamatan terletak di tengah kota Padang yaitu SMA Negeri 2
Padang yang terletak di area kecamatan Padang Barat dan SMA negeri 10 Padang yang
terletak di area kecamatan Padang Timur, dan 2 Kecamatan yang terletak di pinggiran
Kota Padang yaitu SMA negeri 15 Kota Padang berada di area Kecamatan Pauh dan SMK
negeri 8 Padang berada di area Kecamatan Lubug Begalung. Penyapihan sampel masing-
masing sekolah menggunakan cara purposive sampling, kuesioner diberikan pada remaja
yang sudah pernah melihat orang seusianya yang memiliki masalah gangguan jiwa.

Instruments
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peer Mental Health Stigmatization
(PMHSS) yang diadopsi dari Mckeague, Hennessy, O’Driscoll, & Heary (2015).
Instrumen ini terdiri dari 24 item pernyataan dengan rentang respon mulai dari ‘Disagree
completely’ (1) sampai ‘Agree completely’ (5) yang menggali 5 dimensi, 8 item berkaitan
dengan stigma sosial yang disadari remaja (stigma awareness); 8 item berkaitan stigma
yang diyakini remaja terhadap orang dengan gangguan jiwa (stigma agreement); 4 item
berkaitan dengan intelectual ability; 2 item berkaitan dengan pemulihan; dan 2 item
berkaitan dengan friendship. Hasil ukur berupa skor dengan rentang 24 sampai dengan
120, semakin tinggi skor maka semakin tinggi pula stigma remaja terhadap orang dengan
gangguan jiwa.

Data collection questionnaire also included questions about age, gender, asal sekolah,
level of education, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan orang tua, dan suku. It
also asked participants if they had ever been diagnosed with a mental illness. Lastly, they
were asked about whether or not they had a relative or neighbour with a severe mental
illness and whether or not they had contact with them.
Procedure
Persetujuan etik diberikan oleh komite etika penelitian fakultas kedokteran universitas
andalas di Padang. The target population included students from eight Senior Hight
School in Indonesia. The participants were recruited at school. Questionnaires were given
to students who agreed to participate sign an informed consent form which stated the
nature of the study and the ethical safeguards in place. If a subject had difficulty
answering the questions, an interviewer would help them. The data was collected from
November to December 2018.

Data analysis
Analisis deskriptif dilakukan pada data sosio-demografi yang menghasilkan nilai
frekuensi dan persentase. Sedangkan, analisis deskriptif pada variabel stigma
menghasilkan nilai sentral tendensi berupa mean, median, minimal-maksimal, dan 95%
confident interval serta untuk melihat normalitas distribusi data. As the distribution of the
data did not conform to anormal curve, non-parametric analyses were used. Bivariate
analyses were performed between the stigma and the socio-demographic variables using
the Mann–Whitney U test for dichotomous variables, and the Kruskal–Wallis test for
polytomous variables. Analisis data ini menggunakan sistem komputerisasi.

3. Results
3.1 Karakteristik demografi responden
Kuesioner dibagikan ke 778 orang remaja sekolah menengah yang
berada dipingiran kota padang dan pusat kota padang. Data demografi
responden dapat dilihat pada tabel 1. The sample consisted of 778 people, with a
mean age of 16 years (range 14–19). Participation quota was based on academic years.
There were no subjects with nonformal education. Other socio-demographic
characteristics and background about participants are shown in Table 1.
3.2 Gambaran stigma

Table 1. Sample Demographics (n = 778)

Demographics N Percentage
Gender
Male 325 41.8 %
Female 453 58.2 %
Age
Early adolescent (11-13 years) 0 0%
Middle adolescent (14-16 years) 503 64.7 %
Late adolescent (17-19 years) 275 35.3 %
Suku
Minang 662 85.2 %
Java 32 4.1 %
Batak 12 1.5 %
Keturunan cina/india 61 7.8 %
Aceh 1 0.1 %
Melayu 2 0.3 %
Betawi 1 0.1 %
Nias 6 0.8 %
Tahun akademik
Tahun pertama 281 36.1 %
Tahun kedua 248 31.9 %
Tahun ketiga 249 32.0 %
Lokasi sekolah
Pinggiran kota 366 47 %
Pusat kota 412 53 %
Level of education (father)
Primary school 59 7.6 %
Junior high school 90 11.6 %
Senior high school 378 48.6 %
College 251 32.3 %
Level of education (mother)
Primary school 68 8.7 %
Junior high school 82 10.5 %
Senior high school 371 47.7 %
College 257 33.0 %
Pendapatan orang tua (perbulan)
Rendah (< 2.000.000 IDK) 358 46.0 %
Menengah ( 2.100.000 - 5.000.000 IDK) 270 34.7 %
Tinggi (> 5.100.000 IDK) 150 19.3 %
Have you ever visited a mental health service? yes 9.5 % (n=410)
Have you ever visited a psychologist or a psychiatrist? 10.0 %
yes (n=410)
Have you ever seen a people with a mental disorder? yes 88.8 %
(n=411)
What is your relationship with the person with mental illness? n = 406
Parent (father / mother) 0.2 %
Siblings 0.5 %
Others family 7.9 %
Friend 4.2 %
Other people 87.2 %
f =frekuensi, MR = Mean Rank, P < 0.005

Tabel 2 - Item response stigma


Stigmatizing attitudes towards people AC A NAND D DC
with mental disorder (%) (%) (%) (%) (%)
Intelectual ability
1 Most people believe that children with
emotional or behavioural problems are just as 3.4 29.6 46.4 17.3 3.3
intelligent as other children
2 Most people believe that children with
emotional or behavioural problems can get good 3.0 34.2 46.8 13.3 2.6
grades in school.
3 I believe that children with emotional or
behavioural problems are just as intelligent 6.0 36.7 43.4 12.1 1.8
as other children
4 I believe that children with emotional or
behavioural problems can get good grades in 5.8 23.4 37.5 29.6 3.7
school
Recovery
5 Most people believe that children with
emotional or behavioural problems will get 14.4 61.4 19.4 3.5 1.2
better some day.
6 I believe that children with emotional or
18.1 58.7 17.9 3.9 1.3
behavioural problems can get better
Friendship
7 Most children would be happy to be friends
with somebody who has emotional or 1.4 12.8 46.2 30.8 8.7
behavioural problems.
8 I believe it is good to be friends with someone
2.2 20.2 51.9 21.0 4.8
who has emotional or behavioural problems
Stigma awareness
9 Most people look down on children who visit a
counsellor because they have emotional or 5.2 27.5 35.9 22.1 9.3
behavioural problems.
10 Most people believe that children with
emotional or behavioural problems are 3.3 18.6 42.3 26.9 8.9
dangerous.
11 Most people believe that children with
emotional or behavioural problems are not as 3.1 28.1 44.2 18.1 6.5
trustworthy as other children.
12 Most people believe that children with
emotional or behavioural problems are to blame 2.1 19.9 37.2 30.0 10.9
for their problems.
13 Most employers believe it is a bad idea to give 4.9 34.6 43.3 14.0 3.2
a part-time job to a child with emotional or
behavioural problems.
14 Teachers believe that children with emotional
or behavioural problems do not behave as well 2.0 30.2 45.7 16.0 6.1
as other children in class.
15 Most people believe that children with
emotional or behavioural problems are not as
4.1 47.2 37.7 8.4 2.6
good as other children at taking care of
themselves.
16 Most people are afraid of children who
visit a counsellor because they have 1.7 27.0 45.2 20.6 5.6
emotional or behavioural problems.
Stigma agreement
17 I look down on children who visit a counsellor
because they have emotional or behavioural 0.7 3.7 27.1 35.9 32.6
problems
18 I believe that children with emotional or
2.0 12.4 40.6 29.9 15.1
behavioural problems are dangerous
19 I believe that children with emotional or
behavioural problems are not as trustworthy as 1.3 16.1 53.5 20.3 8.8
other children
20 I believe that children with emotional or
behavioural problems are to blame for their 1.4 11.7 45.9 28.9 12.1
problems.
21 I believe that it is not a good idea for
employers to give part-time jobs to children 2.6 25.5 49.0 18.0 4.9
with emotional or behavioural problems
22 I believe that children with emotional or
behavioural problems do not behave as well as 1.6 23.7 52.6 16.6 5.5
other children in class.
23 I believe that children with emotional or
behavioural problems are not as good as other 1.9 35.4 46.2 13.1 3.4
children at taking care of themselves
24 I would be afraid of someone if I knew that
2.4 22.0 27.2 21.0 7.2
they had emotional or behavioural problems.

AC = agree completely, A=agree, NAND= Neither agree nor disagree, D=disagree, DC=
diasgree completely

Tabel 3 – Dimension stigma rates

Stigmatizing attitudes towards people


Mean Median SD Min-Max
with mental disorder
Stigma 68.40 29.60 46.40 28 - 94
Stigma agreement 22.16 23.00 4.29 8 - 36
Stigma awareness 24.23 24.00 4.41 8 – 38
Friendship 6.83 6.00 1.38 2 - 10
Recovery 4.28 4.00 1.35 2 – 10
Intelectual ability 11.35 11.00 2.06 4 - 19

SD: standard deviation; 95% CI: 95% confidence interval.


Tabel 4. Perbedaan rerata stigma berdasarkan status sosio-demographic (n=778)
Karakteristik responden IA R F SAw SAg Stigma
MR P MR P MR P MR P MR P MR P
Gender
Man 390.24 402.21 0.151 365.56 0.010 395.66 0.516 409.66 0.034 401.44 0.209
Woman 0.937
388.97 380.38 406.67 385.08 375.04 380.93
Age
Early adolescent (11-13 tahun) 0 0.153 0 0.878 0 0.008 0 0.378 0 0.009 0 0.107
Middle adolescent (14-16 tahun) 381.08 388.65 404.88 394.73 404.99 399.10
Late adolescent (17-19 tahun) 404.89 391.05 361.37 379.93 361.18 371.94
Suku
Minang 393.22 0.145 387.20 0.564 392.57 0.442 383.68 0.123 391.39 0.467 389.10 0.710
Jawa 392.92 408.09 413.92 388.47 413.34 404.42
Batak 453.13 383.92 327.83 376.29 475.13 419.50
Keturunan cina/india 320.46 397.98 341.18 458.66 348.95 381.20
Aceh 349.50 687.00 311.50 737.50 429.50 659.00
Melayu 303.50 230.50 541.50 349.50 313.25 329.25
Betawi 502.00 687.00 530.50 625.00 589.00 683.00
nias 551.17 423.17 437.25 277.50 280.33 304.75
Tahun akademik
Tahun pertama 392.15 389.74 405.04 390.07 416.14 403.40 0.334
Tahun kedua 390.32 0.943 398.10 397.81 380.00 390.76 388.83
0.650 0.072 0.659 0.012
Tahun ketiga 385.69 380.66 363.68 398.32 358.19 374.48
Lokasi sekolah
Pinggiran Kota Padang 429.20 0.000 435.76 0.000 414.11 0.003 364.68 0.004 416.82 0.001 409.09 0.022
Pusat Kota Padang 354.24 348.40 367.64 411.55 365.23 372.10
Level of education (father)
SD 404.63 406.92 406.92 411.36 399.07 411.40 0.532
SMP 419.26 0.058 419.32 418.94 385.01 425.68 409.58
0.118 0.174 0.064 .0392
SMA 400.27 395.64 394.87 369.33 381.38 378.84
PT 359.05 365.46 355.76 416.35 386.51 393.21
Level of education (mother) 415.18 0.548
SD 417.71 403.35 393.77 419.64 412.98 0.400
391.38
SMP 382.91 0.442 424.84 0.303 408.46 0.020 399.65 0.637 404.35
394.16
SMA 395.25 389.56 364.09 383.51 375.60
375.38
PT 375.85 374.48 419.00 386.94 398.61
Income family
Low (< 2.000.000 IDK) 418.56 419.08 412.99 382.03 406.36 406.85 0.075
Middle (2.100.000 - 5.000.000 IDK) 0.002
356.57 354.45 0.001 376.72 0.014 395.17 0.689 372.31 0.144 365.73
Hight (> 5.100.000 IDK) 379.42 381.99 356.46 397.13 380.21 390.88

IA= Intelectual abilty, R= Recovery, F=friendship, SAw= stigma awareness, SAg = stigma agreement, MR = Mean rank, P ≤ 0.05.
4. Discussion
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada remaja sekolah menengah yang
berada di pinggiran kota dan pusat kota Padang mengenai Stigma Towards People With
Mental Disorders: Perspectives Of Adolescents In Padang Indonesia didapatkan hasil
bahwa masih kurang baiknya stigma remaja dengan masalah kejiwaan, hal ini dapat
dilihat berdasarkan hasil tabel pengolahan data kuesioner di tabel 2 item response stigma.
Bahwa pada poin intelectual ability didapatkan bahwa hingga 46,8 % remaja pada sekolah
menengah meyatakan kurang setuju orang dengan masalah kejiwaan dapat mengikuti
pembelajaran dan mendapatkan nilai yang baik seperti remaja pada umumnya. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maulik (2018) bahwa stigma tersebut
mengenai masalah pengetahuan, prasangka, dan perilaku (deskriminasi), sehingga remaja
yang kurang pengetahuan dan berprasangka negatif akan sulit menerima orang dengan
masalah kejiwaan dapat beradaptasi dan mengikuti pelajaran disekolah.

Pada poin friendship didapatkan data 46,2% remaja pada sekolah menengah
menyatakan kurang setuju untuk bergaul dengan orang yang memiliki masalah kejiwaan.
Hal ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Schomerus (2015) bahwa dengan
stigma dari orang banyak dapat mempengaruhi pemikiran seseorang terhadap suatu hal.
Serta pada poin stigma agreement didapatkan data hingga 52,6 % remaja pada sekolah
menengah menyatakan bahwa orang dengan masalah kejiwaan tidak sebaik anak remaja
pada umumnya jika disekolah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Evans-Lacko (2012) bahwa bentuk emosi, kognitif dan pereliku dapat mempengaruhi
stigma seseorang. Namun, pada poin recovery remaja pada sekolah menengah percaya
bahwa orang dengan masalah kejiwaan dapat menjadi lebih baik suatu hari nanti hal ini
dibuktikan dengan data hingga 61,4 % remaja pecaya dengan hal tersebut.

Namun dari perbedaan stigma berdasarkan status sosio-demographic didapatkan hasil


bahwa dari segi jenis kelamin tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara laki-laki
dan perempuan terhadap stigma remaja tentang masalah gangguan kejiwaan dan juga
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Febrianti (2017) tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan stigma terhadap orang dengan HIV dan AIDS didapatkan hasil
bahwa jenis kelamin tidak memimilki hubungan statistic signifikan tehadap stigma.
Sedangkan dari segi suku bangsa didapatkan hasil bahwa remaja dengan suku Batak,
Betawi, dan Nias memiliki score yang tinggi pada point intelectual ability yaitu Batak
(453.13), Betawi (502.00), dan Nias (551.17), tertinggi dari suku lainnya sehingga remaja
dengan suku Batak, Betawi, dan Nias memiliki stigma yang buruk terhadap orang dengan
masalah kejiwaan. Namun pada point recovery didapatkan hasil remaja dengan suku Aceh
dan Betawi memiliki point tertinggi yaitu 687.00, hal ini menyatakan bahwa remaja
dengan suku Aceh dan Betawi percaya bahwa orang dengan masalah kejiwaan dapat
menjadi lebih baik suatu hari nanti.
Berdasarkan lokasi sekolah, remaja yang bersekolah di pinggiran kota padang
memiliki stigma yang buruk terhadap orang dengan masalah kejiwaan yaitu ditemukan
score yang tinggi pada point intelectual ability, friendship, dan stigma agreement. Namun
remaja yang bersekolah di pinggiran kota padang juga percaya bahwa orang dengan
masalah kejiwaan dapat menjadi lebih baik suatu hari nanti. Berdasarkan hasil dari
pengolahan data yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 4 dari point income family,
remaja yang memiliki pendapatan keluarga yang rendah memiliki stigma yang buruk
terhadap orang yang memiliki masalah kejiwaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Febriantin (2017) didapatkan hasil bahwa status ekonomi keluarga yang rendah
berpengaruh terhadap stigma seseorang. Artinya remaja yang memiliki income family
yang rendah diusahakan lebih banyak mendapat informasi tentang masalah kejiwaan serta
diperlukan adanya pendidikan kesehatan terhadap remaja tersebut. Namun, remaja yang
memiliki income family yang rendah juga percaya bahwa orang dengan masalah kejiwaan
dapat menjadi lebih baik suatu hari nanti.

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat dilihat masih kurang baiknya stigma remaja
terhadap orang dengan masalah kejiwaan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3 yang
membahas tentang tingkat dimensi stigma bahwa masih tinggi nya stigma remaja
terhadap orang dengan masalah kejiwaan baik dari segi stigma, stigma awareness, stigma
agreement, dan intelectual ability, serta sangat rendahnya nilai pada point recovery yang
menandakan bahwa sangat kecil kepercayaan remaja bahwa orang dengan masalah
kejiwaan dapat lebih baik suatu saat nanti.

5. Conclusion
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan pada remaja sekolah menengah yang berada di
pinggiran dan pusat kota Padang didapatkan bahwa masih kurang baiknya stigma remaja
terhadap orang dengan masalah kejiwaan serta masih sangat kecil kepercayaan remaja
bahwa orang dengan masalah kejiwaan dapat menjadi lebih baik suatu hari nanti.

Acknowledgements
Acknowledgments. The heading should be treated as a 3rd level heading and should not be
assigned a number.
References
Balitbang, K. R. (2018). Hasil Utama RISKESDAS 2018.
Chisholm, K., Patterson, P., Torgerson, C., Turner, E., Jenkinson, D., & Birchwood, M.
(2016). Impact of contact on adolescents’ mental health literacy and stigma: the
SchoolSpace cluster randomised controlled trial. BMJ Open, 6(2), e009435.
https://doi.org/10.1136/bmjopen-2015-009435
Crowe, A., Averett, P., Glass, J. S., Dotson-blake, K. P., Grissom, S. E., Ficken, D. K., …
Holmes, J. A. (2016). Mental Health Stigma : Personal and Cultural Impacts on
Attitudes, 7(2), 97–119. https://doi.org/10.22229/spc801925
Evans-Lacko, S.; Brohan, E.; Mojtabai, R.; Thornicroft, G. Association between public views of mental
illness and self-stigma among individuals with mental illness in 14 European countries. Psychol.
Med. 2012, 42, 1741–1752.
Febrianti. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stigma Terhadap Orang dengan HIV dan
AIDS : Journal Endurance. http://doi.org/10.22216/jen.v2i2.1840.
Ke, S., Lai, J., Sun, T., Yang, M. M. H., Wang, J. C. C., & Austin, J. (2015). Healthy Young
Minds: The Effects of a 1-hour Classroom Workshop on Mental Illness Stigma in High
School Students. Community Mental Health Journal, 51(3), 329–337.
https://doi.org/10.1007/s10597-014-9763-2
Lancet. (2017). Global , regional , and national incidence , prevalence , and years lived with
disability for 328 diseases and injuries for 195 countries , 1990 – 2016 : a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. Global Health Metrics, 390,
1211–1259. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(17)32154-2
Lestari, W., & Wardhani, Y. F. (2014). Stigma and Management on People with Severe
Mental Disorders with “ Pasung ” ( Physical Restraint ). Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 17(2 April 2014), 157–166. https://doi.org/Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Litbang Kemenkes RI, Jl. Indrapura
17 Surabaya Korespondensi : weny_litbangkes@yahoo. co. id / ika_pinky@yahoo. com
Mckeague, L., Hennessy, E., O’Driscoll, C., & Heary, C. (2015). Peer Mental Health
Stigmatization Scale: Psychometric properties of a questionnaire for children and
adolescents. Child and Adolescent Mental Health, 20(3), 163–170.
https://doi.org/10.1111/camh.12088
Pallab K. Maulik, Siddhardha Devarapalli, Sudha Kallakuri, Anadya Prakash Tripathi, Mirja Koschorke
and Graham Thornicroft. (2018). Longitudinal assessment of an anti-stigma campaign related to
common mental disorders in rural India : The British Journal of Psychiatry (2018) Page 1 of 6.
doi: 10.1192/bjp.2018.190
Saxena, S. (2017). Comment Excess mortality among people with mental disorders : a public
health priority. The Lancet Public Health, 3(6), e264–e265.
https://doi.org/10.1016/S2468-2667(18)30099-9
Schomerus, G.; Evans-Lacko, S.; Rusch, N.; Mojtabai, R.; Angermeyer, M.C.; Thornicroft, G. Collective
levels of stigma and national suicide rates in 25 European countries. Epidemiol. Psychiatr. Sci.
2015, 24, 166–171.
Sewilam, A. M., Watson, A. M. M., Kassem, A. M., Clifton, S., McDonald, M. C., Lipski, R.,
… Nimgaonkar, V. L. (2015). Suggested avenues to reduce the stigma of mental illness
in the Middle East. International Journal of Social Psychiatry, 61(2), 111–120.
https://doi.org/10.1177/0020764014537234
Stuart, H., Patten, S. B., Koller, M., Modgill, G., & Liinamaa, T. (2014). Stigma in Canada:
Results from a Rapid Response Survey. The Canadian Journal of Psychiatry,
59(1_suppl), 27–33. https://doi.org/10.1177/070674371405901S07
Tiihonen, J., Lönnqvist, J., Wahlbeck, K., Klaukka, T., Niskanen, L., Tanskanen, A., &
Haukka, J. (2009). 11-year follow-up of mortality in patients with schizophrenia : a
population-based cohort study ( FIN11 study ), 374. https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(09)60742-X
Varcarolis, E. M., & Halter, M. J. (2010). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing:
a Clinical Approach. (J. Ferguson, Ed.) (6th ed.). St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier.

[1]Somov, A.: Wildfire safety with wireless sensor networks. Sciendo Endorsed Transactions on
Ambient Systems. pp. 1-11 (2011)
[2]Motaz, A.: Start programming using Object Pascal. Vol. 2, pp. 10-11. Legally Free Computer
Books, US (2013)

You might also like