Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 5

Puasa untk pekerja berat

Puasa memang wajib, tetapi mencari nafkah juga wajib dan terkadang membutuhkan tenaga yang
ekstra. Dan kewajiban puasa itu tidak bermaksud menghalangi manusia untuk mencari nafkah.
Bagaimana hukumnya pekerja berat untuk tidak berpuasa? Hukum asalnya adalah tidak boleh kecuali
memenuhi persyaratan. Hal ini sebagaimana diurai dalam kitab Bughyatul
Mustarsyidin,  halaman: 141, Darul Kutub Al-Ilmiyah:
‫ أن ال يمكن‬: ‫تة‬00‫ا يعلم من كالمهم س‬00‫لها كم‬00‫ وحاص‬.‫روط‬00‫ه الش‬00‫راث إال إن اجتمعت في‬00‫ل والح‬00‫ال يجوز الفطر لنحو الحصاد وجذاذ النخ‬
‫قة‬00‫ وان يشق عليه الصوم مش‬,‫ أو لم يغنه ذلك فيؤدي إلى تلفه أونقصه نقصا ال يتغابن به‬،‫ وان يتعذر العمل ليال‬،‫تأخير العمل إلى شوال‬
‫وي‬00‫ وان ين‬،‫ وان ينوي ليال ويصبح صائما اال عند وجود العذر‬،‫ال تحتمل عادة بأن تبيح التيمم أو الجلوس في الفرض خالفا البن حجر‬
‫الترخص بالفطر ليمتاز ليمتاز الفطر المباح عن غيره‬
Tidak diperbolehkan membatalkan puasa bagi pekerja kecuali memenuhi enam syarat:
1. Pekerjaannya tidak bisa dikerjakan di waktu malam, atau bisa dikerjakan pada malam hari akan
tetapi akan mengalami kerugian atau malah menyebabkan rusaknya panen.
2. Tidak bisa ditunda sampai pada bulan Syawal.
3. Bila berpuasa akan merasa sangat kepayahan.
4. Harus niat pada malam hari dan baru boleh berbuka ketika merasa sangat payah.
5. Ketika berbuka harus niat dengan memperoleh kemurahan.
6. Bekerja bukan dengan tujuan agar mendapatkan keringanan.
Sedangkan redaksi lain dari kitab Busyra al-Karim, juz 2, halaman: 72 sebagai berikut:

 ‫ويلزم أهل العمل المشق‬  


‫رق بين‬00‫ وال ف‬.‫ وإال فال‬،‫ر‬00‫ديدة أفط‬00‫في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة ش‬
‫ في‬0‫ال‬00‫ وق‬.‫ وتأتي العمل لهم العمل ليال كما قاله الشرقاوي‬،‫ وإن وجد غيره‬0‫األجير والغني وغيره والمتبرع‬
‫ل‬00‫ ب‬،‫ إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له‬0‫ كسبه لنحو قوته المضطر‬0‫ ولو توقف‬،‫التحفة إن لم يتأت لهم ليال‬
‫ة‬00‫ومه ألن الحرم‬00‫ح ص‬00‫ ص‬0‫ام‬00‫ر فص‬00‫ه الفط‬00‫ ومن لزم‬.‫رورة‬00‫ لكن بقدر الض‬،‫ المشقة الفطر‬0‫لزمه عند وجود‬
‫ وال أثر لنحو صداع ومرض خفيف ال يخاف منه ما مر‬،‫ألمر خارج‬. 
Artinya: Wajib bagi para pekerja untuk tetap niat berpuasa di malam hari hingga bila di tengah
puasanya mengalami kepayahan dan ada kekhawatiran akan membahayakan jiwanya, maka ia
diperbolehkan untuk membatalkan puasanya.
Dengan demikian bisa kita pahami, bahwa pekerjaan seberat apapun, kewajiban puasa Ramadhan
tetap harus dijalankan. Sedangkan bila di tengah pekerjaan ia mengalami kepayahan yang luar biasa,
maka ia diperbolehkan membatalkan puasanya. Wallahu a'lam
---------------------------

Enam Orang Ini Dibolehkan Islam Tidak Berpuasa Ramadhan


Orang-orang ini disebutkan secara rinci oleh Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam Kasyifatu
Saja. Mereka ini diizinkan secara syara’ untuk membatalkan puasanya
. ‫ا‬00‫ والمريض والشيخ الهرم أي الكبير الضعيف والحامل ولو من زن‬0‫يباح الفطر في رمضان لستة للمسافر‬
‫د‬00‫ادة عن‬00‫ل ع‬00‫ديدة ال تحتم‬00‫قة ش‬00‫ه مش‬0‫ أي حيث لحق‬0‫ان‬00‫أو شبهة ولو بغير آدمي حيث كان معصوما والعطش‬
‫الزيادي أو تبيح التيمم عند الرملي ومثله الجائع وللمرضعة ولو مستأجرة أو متبرعة ولو لغير آدمي‬
Artinya, “Enam orang berikut ini diperbolehkan berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan. Mereka
adalah
1. pertama musafir,
2. kedua orang sakit,
3. ketiga orang jompo (tua yang tak berdaya),
4. keempat wanita hamil (sekalipun hamil karena zina atau jimak syubhat [kendati wanita ini
berjimak dengan selain manusia tetapi ma’shum]).
5. Kelima orang yang tercekik haus (sekira kesulitan besar menimpanya dengan catatan yang tak
tertanggungkan pada lazimnya menurut Az-Zayadi, sebuah kesulitan yang membolehkan
orang bertayamum menurut Ar-Romli)-serupa dengan orang yang tercekik haus ialah orang
yang tingkat laparnya tidak terperikan-, dan
6. keenam wanita menyusui baik diberikan upah atau suka rela (kendati menyusui bukan anak
Adam, hewan peliharaan misalnya).” Islam memungkinan orang-orang ini terbebas dari
kewajiban puasa di bulan Ramadhan meskipun sebagian dari enam orang ini harus
menggantinya di luar Ramadhan. Karena, kondisi yang dialami enam orang ini, dalam
pandangan ulama, memungkinkan hilangnya kemampuan puasa dari yang bersangkutan saat
Ramadhan. Artinya, Islam tidak memaksakan mereka yang tidak mampu berpuasa. Wallahu
A’lam. (Alhafiz K)
-------------------
4 Macam Batal Puasa: Mana yang Harus Qadha dan Bayar Fidyah?
Syekh Nawawi dalam syarah Kasyifatus-Saja menjabarkan penjelasan Syekh Sumair sebagai
berikut;
Pertama, wajib qadha dan membayar fidyah.
Golongan yang wajib mengqadha puasa dan membayar fidyah terdiri dari dua, yaitu
memutuskan puasa karena mengkhawatirkan selain dirinya dan keterlambatan menqadha
puasa hingga datang bulan Ramadhan berikutnya. Syekh Nawawi memberikan gambaran
pada poin pertama ini seperti halnya orang yang menyelamatkan orang lain atau selainnya
sehingga ia membatalkan puasa. Contoh lain adalah ibu hamil dan menyusui yang
mengkhawatirkan kesehatan anaknya ketika ia berpuasa, meski dia sendiri sanggup
melakukannya.

Kedua, wajib qadha saja.


Syekh Nawawi memberikan alasan mengapa hanya diwajibkan qadha tanpa membayar
fidyah, yaitu tidak adanya dalil yang menunjukkan wajibnya fidyah. Di antara yang termasuk
dalam kelompok ini adalah orang yang meninggalkan puasa karena sakit ayan, melakukan
perjalanan jauh, sakit tidak permanen, lupa berniat di waktu malam, menyengaja berbuka, dan
sebagainya.

Ketiga, wajib membayar fidyah tanpa qadha


Hanya wajib membayar fidyah tanpa wajib mengqadha adalah diperuntukkan orang tua renta
yang sudah tidak mampu lagi menjalankan ibadah puasa. Termasuk juga orang-orang sakit
yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Logis jika hanya berkewajiban membayar
fidyah, hal ini disebabkan lemahnya fisik yang tak mungkin lagi melakukan puasa.

Keempat, tidak wajib qadha dan tidak wajib fidyah.


Hukum ke empat ini diperuntukkan bagi orang gila, anak kecil yang belum baligh, dan kafir
asli. (Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Kasyifatus-Saja, Surabaya: al-Bayan, hal.
114). Artikel ini rasanya sangat penting ditulis dan dipublikasikan kepada umat Muslim
secara luas. Ternyata masih saja terjadi perbedaan pemahaman khususnya terkait qadha dan
fidyah. Sebagaimana penuturan para jamaah bahwa selama ini bagi wanita hamil atau
menyusui yang meninggalkan puasa karena hawatir terjadi hal buruk pada bayinya, hanya
membayar fidyah tanpa mengqadha.Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan menjamur di tengah
masyarakat Muslim. Imam al-Ghazali turut menjelaskan dalam karyanya, kitab Ihya
Ulumiddin,

‫واما الفدية فتجب على الحامل والمرضع إذا أفطرتا خوفا على ولديهما لكل يوم مد حنطة لمسكين واحد مع القضاء‬
“Adapun fidyah adalah wajib atas wanita hamil dan menyusui ketika keduanya membatalkan
puasa karena khawatir akan keselamatan anaknya, setiap hari (yang ditnggalkan) satu mud
untuk satu orang miskin, dan dibarengi dengan melakukan qadha (mengganti puasa)” (Imam
al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Indonesia: Dar al-Ihya, hal. 234, Juz 1). Demikian pula Syekh
Taqiyuddin dalam Kifayatu al-Akhyar, menambahkan;
‫ل‬00‫ة لك‬00‫ار والفدي‬00‫وان خافتا على ولديهما بسبب إسقاط الولد في الحامل وقلة اللبن في المرضع أفطرتا وعليهما القضاء لإل فط‬
‫يوم مد من الطعام‬
Jika keduanya (wanita hamil dan menyusui) mengkhawatirkan kondisi anaknya; sebab
keguguran bagi wanita hamil dan sedikit ASI bagi wanita yang menyusui, maka keduanya
berbuka. Dan wajib atas keduanya mengqadha dan membayar fidyah satu mud untuk setiap
hari (hari meninggalkan puasa). (Syekh Taqiyuddin, Kifayatul-Akhyar, Indonesia: Dar al-
Ihya, juz 1, hal. 213). Wallahu a’lamu bi ash-shawab

----------------------------
8 yang membatalkan puasa

Selain harus melaksanakan kewajiban-kewajiban pada saat puasa, kita juga dituntut untuk
menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Dalam kitab Fath al-Qarib
dijelaskan bahwa perkara yang dapat membatalkan puasa meliputi beberapa hal, berikut
perinciannya:

Pertama, sampainya sesuatu ke dalam lubang tubuh dengan disengaja.

Maksudnya, puasa yang dijalankan seseorang akan batal ketika adanya benda (‘ain) yang
masuk dalam salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam yang dalam istilah
fiqih biasa disebut dengan jauf. Seperti mulut, telinga, hidung. Benda tersebut masuk ke
dalam jauf dengan kesengajaan dari diri seseorang. Lubang (jauf) ini memiliki batas awal
yang ketika benda melewati batas tersebut maka puasa menjadi batal, tapi selama belum
melewatinya maka puasa tetap sah. Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut
dengan muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata; dalam telinga, yaitu
bagian dalam yang sekiranya tidak telihat oleh mata; sedangkan dalam mulut, batas awalnya
adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan hulqum.

Puasa batal ketika terdapat benda, baik itu makanan, minuman, atau benda lain yang sampai
pada tenggorokan, misalnya. Namun, tidak batal bila benda masih berada dalam mulut dan
tidak ada sedikit pun bagian dari benda itu yang sampai pada tenggorokan.  

Berbeda halnya ketika benda yang masuk dalam jauf seseorang yang sedang berpuasa
dilakukan dalam keadaan lupa, atau sengaja tapi ia belum mengerti bahwa masuknya benda
pada jauf adalah hal yang dapat membatalkan puasa. Dalam keadaan demikian, puasa yang
dilakukan seseorang tetap dihukumi sah selama benda yang masuk dalam jauf tidak dalam
volume yang banyak, seperti lupa memakan makanan yang sangat banyak pada saat puasa.
Maka ketika hal tersebut terjadi puasa dihukumi batal. (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath
al-Mu’in, juz 1, hal. 259).  

Kedua, mengobati dengan cara memasukkan benda (obat atau benda lain) pada salah
satu dari dua jalan (qubul dan dubur).

Misalnya pengobatan bagi orang yang sedang mengalami ambeien dan juga bagi orang yang
sakit dengan memasang kateter urin, maka dua hal tersebut dapat membatalkan puasa.  

Ketiga, muntah dengan sengaja. Jika seseorang muntah tanpa disengaja atau muntah
secara tiba-tiba (ghalabah) maka puasanya tetap dihukumi sah selama tidak ada sedikit pun
dari muntahannya yang tertelan kembali olehnya. Jika muntahannya tertelan dengan sengaja
maka puasanya dihukumi batal.  

Keempat, melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis (jima’) dengan sengaja.
Bahkan, dalam konteks ini terdapat ketentuan khusus: puasa seseorang tidak hanya batal dan
tapi ia juga dikenai denda (kafarat) atas perbuatannya. Denda ini adalah berpuasa selama dua
bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, ia wajib memberi makanan pokok senilai satu mud
(0,6 kilogram beras atau ¾ liter beras) kepada 60 fakir miskin. Hal ini tak lain bertujuan
sebagai ganti atas dosa yang ia lakukan berupa berhubungan seksual pada saat puasa.

Kelima, keluarnya air mani (sperma) disebabkan bersentuhan kulit. Misalnya, mani keluar
akibat onani atau sebab bersentuhan dengan lawan jenis tanpa adanya hubungan seksual.
Berbeda halnya ketika mani keluar karena mimpi basah (ihtilam) maka dalam keadaan
demikian puasa tetap dihukumi sah.

Keenam, mengalami haid atau nifas pada saat puasa. Selain dihukumi batal puasanya,
orang yang mengalami haid atau nifas berkewajiban untuk mengqadha puasanya. Dalam hal
ini puasa memiliki konsekuensi yang berbeda dengan shalat dalam hal berkewajiban untuk
mengqadha. Sebab dalam shalat orang yang haid atau nifas tidak diwajibkan untuk
mengqadha shalat yang ia tinggalkan pada masa haid atau nifas.

Ketujuh, gila (junun) pada saat menjalankan ibadah puasa. Ketika hal ini terjadi pada
seseorang di pertengahan melaksanakan puasanya, maka puasa yang ia jalankan dihukumi
batal.    

Kedelapan, murtad pada saat puasa.


Murtad adalah keluarnya seseorang dari agama Islam. Misalnya orang yang sedang puasa
tiba-tiba mengingkari keesaan Allah subhanahu wata’ala, atau mengingkari hukum syariat
yang sudah menjadi konsensus ulama (mujma’ alaih). Di samping batal puasanya, ia juga
berkewajiban untuk segera mengucapkan syahadat serta mengqadha puasanya.    Delapan hal
di atas adalah perkara yang dapat membatalkan puasa, ketika salah satu dari delapan hal
tersebut terjadi pada saat puasa, maka puasa yang dijalankan oleh seseorang menjadi batal.
Semoga ibadah puasa kita pada bulan Ramadhan kali ini diberi kelancaran dan kesempurnaan
serta menjadi ibadah yang diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Amin yaa Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam.

You might also like