Islmika IAIN Kerinci

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

Islamika Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman

Vol. … , No. … , …… , xxx – xxx

p-ISSN:1693-8712|e-ISSN: 2502-7565

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETAHANAN RUMAH TANGGA
Eka Astuti
NIM. 21102016

Prodi Ahwal Asyahsyiyah


Fakultas Agama Islam
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
DOI:
http://doi.org/... (Filled By Journal Manager)

Abstract
Article Info
Getting married at the age of less than 18 years is a reality that must be faced by some children around the world, es-
Article history:
pecially developing countries including Indonesia. Until now, we can still find underage marriage in regional tribes in
Received : xxxxxxx
Accepted : xxxxxxx various parts of Indonesia. Early marriage is often associated with an early age at first birth – often before a girl's
Published : xxxxxxx physical development is complete – which can have adverse health consequences for both mother and child. Pregnancy
Author’s email
complications kill 700 teenage girls per year. This is also a barrier to education as girls are expected to leave school to
ekaastuti989@gmail.com
take care of their families after marriage. This affects their intellectual development as well as their choices for prof-
itable employment and economic independence. Studies that have been conducted concluded that the factors due to
promiscuity that trigger early marriage . Departing from these academic reasons, this study discusses the factors that
cause early marriage in Islamic society and its impact on the welfare of household life. This research method uses
qualitative research methods
Keywords: Early-age marriage; causes of early marriage; impact of early marriage; houseold resilience.

Pendahuluan

Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang termasuk
Indonesia. Sampai saat ini pernikahan di bawah umur masih dapat kita temui pada suku-suku daerah yang ada di berbagai wilayah Indonesia (Desminar, 2019). Hasil
kajian yang dilaksanakan oleh BKKBN, pada 2010 Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda ranking 37 dunia dan tertinggi kedua di
ASEAN setelah Kamboja. Perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah sebanyak lebih dari 22.000 (0.2 persen). Sementara perempuan muda 15-19
tahun yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun (11,7% P:1,6% L). Kemudian kelompok perempuan umur 20-24 tahun
lebih dari 56,2 persen sudah menikah. Data ini menunjukkan bahwa demikian tingginya angka pernikahan dini di Indonesia, terutama bagi perempuan (Iriani, 2018).
Meskipun demikian berbagai problem pun muncul, mulai dari ketidaksiapan mental pasutri; perselingkuhan; sering terjadi percekcokan atau pertengkaran;
meningkatnya pengangguran; meningkatnya angka perantauan di kota (Iriani, 2018); sampai dengan gagalnya berumah tangga (Desminar, 2019).
Meskipun ada pergeseran ke arah usia pernikahan yang lebih tinggi di banyak bagian dunia, 82 juta anak perempuan di negara berpenghasilan rendah yang
sekarang berusia antara 10 dan 17 tahun akan menikah sebelum ulang tahun ke-18 mereka, melanggar sejumlah konvensi internasional serta undang-undang nasional.
Pernikahan dini sering dikaitkan dengan usia dini saat melahirkan pertama kali – seringkali sebelum pertumbuhan fisik seorang gadis sempurna – yang dapat memiliki
konsekuensi kesehatan yang merugikan bagi ibu dan anak. Komplikasi kehamilan membunuh 700gadis remaja per tahun. Hal ini juga menjadi penghalang pendidikan
karena anak perempuan diharapkan meninggalkan sekolah untuk mengurus keluarga mereka setelah menikah. Hal ini mempengaruhi perkembangan intelektual mereka
serta pilihan mereka untuk pekerjaan yang menguntungkan dan kemandirian ekonomi. Selain itu, perempuan yang menikah muda mungkin kurang mampu menegaskan
diri dan memantapkan posisinya dalam rumah tangga patriarki suaminya. Akibatnya, mereka mungkin memiliki lebih sedikit kekuasaan, status dan otonomi dalam
rumah tangga, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional mereka.( Meliksah Ertem, Tahire Kocturk , 2015 )
Sifat pernikahan dini di mana-mana yang dipraktikkan di semua latar belakang dan kesenjangan sosial di Bangladesh menyebabkan banyak kekhawatiran
karena menurut laporan UNICEF tentang “Keadaan anak-anak dunia 2017” Bangladesh memiliki tingkat prevalensi tertinggi keempat pernikahan anak di dunia (59%
pernikahan wanita terjadi sebelum usia 18 tahun). Kemiskinan dan rendahnya literasi merupakan faktor penentu; namun, fenomena ini memiliki konsekuensi kesehatan
yang parah yang seringkali diabaikan dan diterima begitu saja di negara seperti Bangladesh ( Susmita Ghosh, 2019 ).

Di era degradasi ekologis, perubahan iklim global, pergeseran demografis dan meningkatnya intensitas dan frekuensi bencana alam, Kepulauan Pasifik
termasuk Negara Bagian Hawai'i menghadapi risiko yang semakin tinggi. Kesejahteraan manusia dan lingkungan sangat erat kaitannya; dengan demikian, solusi
berbasis sains harus mengawinkan proses berbasis tempat dan relevan secara budaya yang menghubungkan kesiapsiagaan bencana, bantuan dan pemulihan dengan
teori dan aplikasi ketahanan ( Sarah Henly, 2014 )

Dalam beberapa tahun terakhir, ada fenomena yang menunjukkan peningkatan kematian ibu saat melahirkan yang cukup signifikan. Inilah mengapa
keberadaan bidan desa dipertanyakan. Kasus kematian ibu saat melahirkan di desa membuat banyak pihak memusatkan perhatian pada kinerja bidan desa. Kajian yang

Copyright © 2022 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
dilakukan oleh WHO menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sehingga upaya penurunan kematian ibu tidak efektif.( Indrayani,
2017 )

Perkawinan anak merupakan hambatan besar bagi pembangunan sosial dan ekonomi  di Nepal, dan menjadi perhatian utama bagi kesehatan wanita.
Sedikit  bukti dari Nepal tersedia mengenai cara-cara di mana pernikahan dini dapat membahayakan kehidupan perempuan muda dan  kesehatan serta pilihan
reproduksi mereka.( Sah RB, 2014 )
Studi yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa faktor akibat pergaulan bebas yang memicu terjadinya pernikahan dini (Hastuti & Aini, 2016). Kemudian pernikahan
dini ini oleh Yumarni & Suhartini (2019) akan berpotensi besar terjadi perceraian. Hal ini disebabkan faktor emosi kedua fihak yang masih labil sehingga tidak dapat
memelihara kerukunan dalam rumah tangganya. Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini ini. Padahal di sisi lain orang tua tentunya
menginginkan anaknya fokus sekolah dulu jangan nikah dulu sampai benar-benar dewasa atau mapan. Faktor pendidikan dan juga ekonomi menjadi pertimbangan.
Namun anak juga berhak menyelamatkan dirinya dari perzinaan. Perilaku seks bebas yang dilakukan remaja modern baik dengan pasangannya (pacar) maupun dengan
kekasih gelapnya menambah kasus remaja hamil di luar nikah. Oleh karena itu pentingnya kajian secara mendalam dan kompleks tentang penyebab dari pernikahan
dini untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi dengan masa depan anak dan keturunannya.
Berangkat dari alasan akademis tersebut, penelitian ini membahas tentang faktor-faktor penyebab pernikahan dini dalam masyarakat Islam dan dampaknya terhadap
kesejahteraan hidup rumah tangga. Selain belum banyak kajian yang membahas detail terkait hal tersebut, juga menjadi penting untuk mengetahui akar persoalan
terjadi pernikahan dini di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini juga setidaknya memberi masukan kepada para orang tua untuk lebih mendidik anak-anaknya lebih
bijak dan dewasa dalam mengambil keputusan terkait nikah di masa muda. Mengingat ada banyak dampak buruk dari pernikahan dini.
Dalam upaya mendeteksi lebih detail berbagai faktor penyebab terjadinya pernikahan dini tentunya harus memahami hakikat pernikahan. Pernikahan adalah salah satu
cara tuhan menunjukkan kasih sayang untuk menentramkan umatnya. Hal ini akan dipahami bagi mereka yang yang memahami dengan baik esensi dari setiap
perbuatannya (Busthami et al., 2021). Sejalan dengan hal tersebut, dijelaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa, pada
hakikatnya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk memelihara kemaslahatan dalam pernikahan, yang bersangkutan mesti memperhatikan dan mentaati peraturan agama dan negara dalam hal ini fikih
dan aturan undang-undang. Dalam mencatatkan pernikahan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Calon
mempelai juga penting memahami terkait dasar hukum nikah, rukun nikah, khitbah, perencanaan nikah, dan tujuan nikah (Wibisana, 2016). Dalam menuju
terbentuknya pernikahan yang diinginkan yang sesuai dengan konsep sakinah, mawaddah wa rohmah maka dibutuhkan pasangan suami istri yang saling membutuhkan
satu dengan lainnya dan mau saling menerima kekurangan masing-masing pasangan, dan calon mempelai laki-laki setelah keduanya sah menikah dia akan mengemban
amanah besar yaitu menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, menjadi suri tauladan bagi keturunan keturunannya (Widiyanto, 2020).
Sementara itu, pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang memiliki usia di bawah umur yang biasanya di bawah 17 tahun. Baik
pria atau wanita jika belum cukup umur (17 Tahun) apabila melangsungkan pernikahan dapat dikatakan sebagai pernikahan usia dini. Di Indonesia sendiri pernikahan
belum cukup umur ini marak terjadi, tidak hanya di desa melainkan juga di kota. Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 6 mengatur batas
minimal usia untuk menikah di mana pernikahan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Akan tetapi
dari sisi medis dan psikologis, usia tersebut masih terbilang dini untuk menghadapi masalah pada pernikahan.
Faktor pendorong pernikahan dini yang sering kita jumpai di lingkungan masyarakat adalah ekonomi, orang tua, pendidikan, pergaulan, adat istiadat dan
hamil diluar nikah. Ada persepsi yang kuat dari orang tua mengenai suatu konsep pernikahan dibawah umur oleh anak perempuan. Beberapa hasil penelitian dan survei
Agege, dkk (2018) tentang konsep pernikahan dini pun berbeda beda, dimana pernikahan dini dianggap sebagai pernikahan yang kurang dari usia 18 tahun: Sangat
setuju sebanyak 63% dan 30%, pernikahan dini disebut pernikahan remaja sebesar 53% sangat setuju dan 37%, sebagai pelanggaran pada anak perempuan disebutkan
bahwa sangat setuju sebesar 46% dan setuju 33%. Jelaslah bahwa ada lebih banyak ketidaksepakatan oleh responden mengenai persepsi tentang penyebab pernikahan
dini. Secara khusus, mayoritas sederhana dari 60% belum mengakui diskriminasi gender dalam praktik dasar pernikahan dini. Namun, 77% mengakui bahwa
ketidaktahuan terhadap penyebabnya, sehingga dapat juga disimpulkan dari hal tersebut, bahwa ketidaktahuan telah secara tidak sengaja menyebabkan anak-anak
perempuan sehingga tidak diberi perhatian yang seharusnya (Muntamah et al., 2019). Resiko lain dari perkawinan muda adalah terjadinya KDRT, resiko ketika
melahirkan karena alat reproduksi pada usia muda belum berkembang dengan baik, yang nantinya akan berdampak pada kematian ibu atau bayi. Perkawinan usia muda
juga akan mengakibatkan ketidaksiapan dalam membangun rumah tangga, karena mereka belum cukup dewasa dalam bersikap maupun dalam pengambilan keputusan
(Apriliani & Nurwati, 2020).
Pernikahan dini tersebut secara tidak langsung akan berdampak terhadap banyak hal, di antaranya terkait ketahanan keluarga. Pada dasarnya seseorang yang sudah
memiliki keluarga pasti berharap keluarga yang bisa menghadapi segala situasi yang terjadi dalam kehidupan. Oleh karena itu, perlu adanya ketahanan keluarga untuk
mencapai hal tersebut. Pentingnya ketahanan keluarga tertera dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa kondisi dinamik suatu keluarga
yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil dan psikis-mental spiritual guna hidup mandiri untuk hidup harmonis
mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin (Apriliani & Nurwati, 2020).
Ketahanan keluarga meliputi beberapa aspek, yaitu pertama, ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan sandang (pakaian) pangan (makanan yang baik dan halal,
sehat, memenuhi kebutuhan nutrisi) serta papan (rumah tempat tinggal yang layak sesuai kemampuan). Kedua, ketahanan non fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan
mental rohaniah-psikologis dari pasangan dan anak-anak yang dilahirkannya (rasa aman dan terlindungi, tenteram, penuh cinta dan kedamaian sakinah mawaddah wa
rahmah). Ketiga, ketahanan sosial yaitu terpeliharanya hubungan fungsional dengan orang tua dan sanak keluarga, serta dengan komunitas di lingkungannya. Keempat,
ketahanan di bidang agama dan hukum yaitu ketaatan terhadap ketentuan agama dan hukum yang mengatur hak dan kewajiban suami dan isteri, orang tua dan anak-

P ISSN xxxxx | E ISSN xxxxxx


Copyright © 2021 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
anak. Keempat hal itulah aspek dalam ketahanan keluarga yang seringkali justru lemah dalam kasus pernikahan dini. Oleh karena menjadi penting untuk
mengeksplorasi lebih dalam lagi terkait faktor-faktor penyebab pernikahan dini serta berbagai dampaknya sebagai pertimbangan yang patut diperhatikan dalam kasus
pernikahan dini.

Metode

Untuk mencapai 3 tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, artikel ini telah menerapkan systematic literature review (SLR) atau metodologi penelitian pustaka
sistematis (PPS). Patricia A. Alexander menetapkan 10 langkah dalam PPS, 51 yakni (1) mencari pertanyaan kritis yang penting untuk dikaji dengan metodologi
penelitian pustaka, (2) mengajukan pertanyaan kritis yang belum terjawab, tetapi bisa dijawab, (3) menentukan kriteria-kriteria pustaka yang akan dicari dan diteliti, (4)
menentukan kriteria-kriteria kualitas pustaka yang sudah dicari dan layak dan tidak layak untuk diteliti, (5) mengumpulkan data-data pokok, (6) mengumpulkan data-
data lain yang relevan, (7) menentukan kemungkinan pengelompokan-pengelompokan data, (8) mengidentifikasi hasil-hasil penelitian yang bermakna, (9) menentukan
pola-pola dan kecenderungan-kecenderungan, dan (10) memublikasikan kontribusi penelitian.
Langkah nomor 1 dan 2 telah dilakukan di atas dan telah dirumuskan 3 pertanyaan kritis penelitian, yakni (1) Bagaimana factor – factor penyebab pernikahan dini yang
berdampak pada ketahanan keluarga ? (2) Mengapa penyebab pernikahan dini itu terjadi (3) Apa implikasi dari dampak pernikahan dini terhadap ketahanan keluarga ?
Selanjutnya, pada langkah nomor 3, pustaka-pustaka yang dicari dan diteliti ialah artikelatikel atau hasil-hasil penelitian tentang penilaian atau asesmen autentik dalam
tentang factor – factor pernikahan dini yang berdampak pada ketahanan keluarga. Artikel-artikel itu menjadi sumber data tentang factor – factor pernikahan dini dan
dampaknya terhadap ketahanan keluarga. Artikel-atikel atau hasil-hasil penelitian tersebut dicari di https://garuda.ristekbrin.go.id/ dan Google pada bulan Januari 2022.
Kata-kata kunci untuk mencari artikel-artikel tersebut adalah “ factor-faktor pernikahan dini “, “ Dampak pernikahan dini “,” Dampak pernikahan dini terhadap
ketahanan keluarga “, “ factor dan dampak pernikahan dini “, akibat pernikahan dini “, “ penyebab pernikahan dini “ . Dari hasil pencarian itu, ditemukan 15 artikel-
atikel atau hasil-hasil penelitian tentang factor-faktor pernikahan dini dan dampaknya terhadap ketahanan keluarga.
Pada langkah PPS nomor 4, kriteria pustaka yang diteliti ialah artikel-artikel atau hasil-hasil penelitian empiris tentang penilaian atau asesmen autentik tentang factor
pernikahan dini dan dampak terhadap ketahanan keluarga. Artikel-atikel atau hasil-hasil penelitian pustaka tidak diteliti sebab tidak menunjukkan bagaimana
pelaksanaan penilaian atau asesmen autentik tentang factor-faktor pernikahan dini dan dampaknya terhadap ketahanan keluarga. Dari 15 pustaka tersebut, hanya 10 (P1
—P10) yang merupakan hasil penelitian empiris tentang pelaksanaan penilaian atau asesmen autentik dalam factor-faktor pernikahan dini dan dampaknya terhadap
ketahanan keluarga, dan inilah yang diteliti.
Usia perkawinan pertama bagi perempuan menjadi refleksi perubahan sosial ekonomi. Pergeseran ini sangat berpengaruh terhadap potensi kelahiran tetapi juga bidang
pendidikan dan ekonomi. Dari penelitian yang dilakukan di Desa Tembung, sejak masa survey awal, observasi hingga proses penelitian itu sendiri, dapat diketahui
bahwa dari 47.420 jiwa penduduk Desa Tembung terdapat ± 10.354 pasangan remaja dengan tingkat pendidikan yang rendah yang sudah menikah di usia muda dan
kebanyakan dari mereka yang menikah di usia muda adalah remaja wanita dan diantaranya masih hamil anak pertama dan sudah pernah melahirkan, seperti pada table
berikut.
Persentase wanita usia 15-18 tahun yang sudah menjadi Ibu atau hamil anak pertama dengan tingkat pendidikan terakhir tahun 2011

Pendidikan Persentase (%) Persentase Yang Sudah Pernah

Jumlah Remaja Yang Sudah Jumlah Remaja Yang Hamil Melahirkan

Menikah di Usia Muda Anak Pertam

Tidak Sekolah Tidak Tamat 16,6% 6,7% 23,3%


SD SD 17,2% 4,9% 22,0%
Tidak Tamat SMP 17,5% 5,2% 22,7%
4,1% 1,1% 5,20%

Sumber : Kantor Kepala Desa Tembung 2011.

Dari data-data diatas maka dapat dilihat pada remaja yang tidak sekolah terdapat 16,6% remaja yang menikah di usia muda, 6.7% remaja yang hamil anak pertama dan
23,3% yang sudah pernah melahirkan. Pada remaja yang tidak tamat SD terdapat 17,2% remaja yang sudah menikah di usia muda, 4,9% remaja yang hamil anak
pertama dan 22,0% remaja yang sudah pernah melahirkan. Pada remaja yang tamat SD terdapat 17,5% remaja yang sudah menikah di usia muda, 5,2% remaja yang
hamil anak pertama dan 22,7% remaja yang sudah pernah melahirkan. Sedangkan pada remaja yang tidak tamat SMP terdapat 4,1% remaja yang sudah menikah di usia
muda, 1,1% remaja yang hamil anak pertama dan 5,20% remaja yang sudah pernah melahirkan. Data diatas menunjukkan banwa banyak perempuan dalam usia muda
yang sudah kawin atau sudah (terpaksa) hamil di usia-usia sekolah dasar kebawah sehingga terpaksa putus sekolah tidak dapat melanjutkan pendidikan kejenjang yang
lebih tinggi. Ini artinya dengan berbagai alasan perempuan di usia dini harus sudah kawin dan hamil tanpa kuasa berbuat banyak untuk masa depannya. Angka ini terus
melonjak mengingat semakin meningkatnya penduduk Desa Tembung, maka semakin meningkat pula pengaruh budaya yang masuk ke Desa Tembung yang dapat
mempengaruhi remaja-remaja di Desa Tembung terutama remaja usia belia yang mengakibatkan meningkatnya angka remaja yang menikah di 6 usia. Masalah
perkawinan usia muda dikalangan remaja memiliki tingkat masalah yang sama dengan daerah lain, terutama daerah yang memilki tingkat penduduk yang padat, dengan
tingkat ekonomi masyarakatnya yang rendah. Dimana kebanyakan remaja yang telah menikah di usia yang relatif masih sangat muda hidup dengan latar belakang dari
rendahnya ekonomi orangtua, pengaruh lingkungan sosial yang sangat mendorong remaja untuk memutuskan menikah di usia yang masih muda, serta kurangnya
perhatian dan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh keluarga.
Langkah PPS nomor 5—10 sudah dilakukan dengan mengacu pada teori-teori yang dikemukakan sebelumnya. Data-data tentang factor-faktor pernikahan dini dan
dampak terhadap ketahanan keluarga dikumpulkan dengan mencari 15 karakteristik factor pernikahan dini dan dampaknya pada setiap artikel atau hasil penelitian

P ISSN xxxxx | E ISSN xxxxxx


Copyright © 2021 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
empiris tentang factor-faktor pernikahan dini dan dampaknya dengan mencari penyebab-penyebab dan implikasinya, serta data-data lain yang relevan. Data ihwal
tentang factor-faktor pernikahan dini dan dampaknya terhadap keluarga dalam bentuk frekuensi dikelompokkan ke dalam 10 karakteristik atau kategori yang Becker
sebut sebagai statistika semu (quasi statistics) untuk mendukung analisis kualitatif. 5 Data dalam bentuk frekuensi setiap karakteristik yang muncul pustaka-pustaka
yang diteliti dianalisis lebih dalam untuk menemukan perbedaan, ambiguitas, makna yang sebenarnya, pola-pola dan kecenderungan- kecenderungannya. 10 Data-data
lain tentang dampak pernikahan dini dan implikasinya dianalisis dengan dikaitkan pada data-data lain yang relevan untuk mengungkap apa yang sebetulnya terjadi.
Publikasi artikel ini merupakan langkah ke-10 yang dicetuskan oleh Alexander

Hasil dan Pembahasan

Bagian ini mendeskripsikan dan membahas (1) Bagaimana factor – factor penyebab pernikahan dini yang berdampak pada ketahanan keluarga ? (2)
Mengapa penyebab pernikahan dini itu terjadi? (3) Apa implikasi dari dampak pernikahan dini terhadap ketahanan keluarga. Pernikahan saat ini menjadi jalan keluar
dari permasalahan gaul bebas. Kebebasan bertingkah laku dan bergaul bagi generasi muda saat ini, sering kali membawa pada kehamilan yang tidak diingankan dan
banyak yang berakhir pada pernikahan yang dipaksakan. Dipaksakan karena sebenarnya banyak diantara mereka yang akhirnya menjalani pernikahan yang sebenarnya
belum siap, sehingga banyak yang berakhir dengan perceraian.
Padahal pernikahan adalah sesuatu yang sakral yang memang bisa menghindarkan manusia dari perzinahan. Ketahanan keluarga dalam Islam, bermula
dari pernikahan yang disiapkan secara lahir dan batin. Bagaimana seorang suami dan istri paham hak dan kewajibannya masing-masing. Hal tersebut haruslah
dipersiapkan sebelum terjadi pernikahan.
Persiapan ini bukan hanya secara individu, tetapi juga secara lingkungan dan negara. Bagaimana lingkungan yang senantiasa mendukung terbentuknya karakter-
karakter pemuda yang bertanggung jawab terhadap masa depan. Mulai dari keluarga dan masyarakat. Seorang kepala keluarga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarganya, pendidikannya, moral dan akhlak anggota keluarganya. Sebagaimana usahanya menjaga keluarganya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan
menjalankan fungsi keluarga lainnya. Seorang istri dan ibu dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang selalu ada jika dibutuhkan anak-
anaknya. Sehingga tidak ada anak yang kurang pengawasan dan terjerumus dalam pergaulan bebas. Keluarga juga yang harusnya menjadi yang pertama
mempersiapkan anak-anaknya menuju ke kedewasaannya.
Negara ikut berperan menjamin agar setiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Dukungan
negara dalam penyelenggaraan sistem pendidikan, ekonomi dan lainnya, menjadi bukti peranan negara dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Selain juga menjaga
agar tidak terjadi pergaulan bebas di kalangan generasi muda. Memberikan sanksi tegas terhadap siapa saja yang melanggar norma-norma pergaulan, termasuk
tontonan-tontonan pornoaksi dan pornografi yang merusak generasi muda.
Pernikahan dini bisa menjadi solusi pergaulan bebas, jika memang pernikahan tersebut diniatkan demikian. Sebab dalam Islam tidak ada syarat menikah dibatasi
dengan usia. Pembatasan pernikahan adalah akil baliqh. Jika usia 16 tahun seoarang laki-laki dan perempuan telah baligh, maka diperbolehkan menikah. Pernikahan
menjaga manusia dari perzinahan dan menjaga kehormatan.
Pada saat akil baligh, seharusnya seseorang sudah mengerti tentang tanggung jawabnya. Baik sebagai laki-laki atau perempuan dewasa. Menjaga
kehormatannya, dan menyadari apa yang dilakukannya akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Sehingga siap menjalani pernikahan tanpa merasa
kehilangan hak-hak nya sebagai remaja. Sebagai contoh di dalan Islam adalah Ibunda Aisyah yang dinikahi oleh Rasulullah di usia 6 tahun, dan sepenuhnya menjadi
istri beliau di usia 9 tahun. Beliau dapat menjalani tugasnya sebagai istri dengan baik dan bertanggung jawab.
Dalam kehidupan yang penuh keimanan, tentunya tidak akan ada permasalahan yang merusak tatanan masyarakat. Pergaulan bebas tidaklah terjadi. 
Pernikahan dini bukan hanya sebatas solusi dari akibat pergaulan bebas, melainkan solusi untuk menghidarinya. Sebab pernikahan dapat menjadikan ketahanan
keluarga terjaga dan sebagai pondasi bangsa yang kokoh dalam peradaban yang  gemilang.
Ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan Indonesia terpaksa memilih untuk menjalani pernikahan dini diantaranya :
Faktor pertama yang menyebabkan pernikahan dini adalah ekonomi. Tidak bisa dipungkiri, sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup di bawah
garis kemiskinan dan memiliki banyak anak. Guna mengurangi beban, tidak jarang para orangtua memutuskan untuk menikahkan anaknya. Tidak hanya itu saja
alasannya, masih banyak orangtua yang menikahkan anaknya di usia dini dengan menjodohkannya dengan pria kaya, bahkan rentang usianya jauh berbeda. Alasannya
untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
Hal selanjutnya yang menjadi penyebab banyaknya pernikahan dini di Indonesia adalah pola asuh keluarga. Misalnya saja seorang anak hasil korban
perceraian yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtua. Tidak jarang, anak-anak korban perceraian mencari kenyamanan dari luar rumah. Bisa ke teman,
orang dewasa yang baru dikenal bahkan juga pacar. Dengan alasan nyaman di luar rumah, tidak jarang anak memutuskan untuk segera menikah supaya cepat keluar
dari lingkungan yang dianggapnya toxic.Tidak hanya korban perceraian saja, anak yatim piatu yang tidak mendapatkan pengasuhan yang layak juga bisa menjadi
korban pernikahan dini.
Selanjutnya pergaulan bebas, dengan pergaulan yang semakin luas, anak-anak harus dibekali dengan banyak pengetahuan. Termasuk
juga dengan pengetahuan atau pendidikan sex dan reproduksi. Selain itu gaya pacaran yang kurang sehat juga menyumbang angka pernikahan dini yang tinggi. Saat
remaja atau anak di bawah umur terlanjur hamil, kebanyakan orangtua akan menikahkan anaknya. Hal tersebut untuk menyelamatkan harga diri keluarga, terutama
pihak perempuan.
Lingkungan social juga bisa dibilang sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap pernikahan dini. Lingkungan yang dimaksud di sini tidak hanya
keluarga saja namun juga orang-orang sekitar yang tinggal berdekatan. Pernikahan dini bisa terjadi karena mengikuti jejak teman, adanya desakan dari masyarakat
sekitar, sampai dengan tekanan dari orangtua yang ingin segera menggendong cucu. Seringkali dengan berbagai tekanan yang menghimpit, membuat anak-anak ingin

P ISSN xxxxx | E ISSN xxxxxx


Copyright © 2021 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
lari saja dari segalanya. Tidak jarang menganggap menikah adalah jalan keluar yang paling mudah. Padahal, pernikahan merupakan hubungan yang sangat kompleks
dan terjadi dalam kurun waktu yang lama.
Factor adat dan budaya juga mempengaruhi pernikahan dini. Tidak bisa dipungkiri sampai saat ini adat dan budaya yang telah diturunkan secara turun
temurun seakan menjadi ‘tugas’ untuk generasi penerus. Dalam hal menikah dini, ada beberapa wilayah di Tanah Air yang sampai saat ini masih melakukannya.
Misalnya saja wilayah Indramayu, banyak gadis berusia 13-15 tahun yang sudah menikah, sibuk dengan urusan rumah tangga. Tidak hanya itu saja bahkan ada yang
lebih extreme lagi di Sulawesi Selatan. Tepatnya di daerah bernama Kodingareng, lokasinya bahkan tidak jauh dari kota Makassar. Tolok ukur pernikahan di tempat ini
adalah jika wanita sudah mengalami menstruasi pertamanya, orangtua akan sibuk mencari pasangan untuk anaknya. Padahal seperti yang diketahui, waktu menstruasi
pertama bisa sangat bervariasi. Mulai dari usia 10 sampai dengan 17 tahun. Jika menstruasi di usia 10 tahun, tentunya organ-organ reproduksi anak masih belum siap.
Bisa menyebabkan berbagai penyakit berbahaya nantinya. Tidak hanya penyakit fisik, namun juga mental. Selain dua daerah yang telah disebutkan itu, masih banyak
wilayah lainnya di Indonesia dengan adat menikahkan anak usia belia. Faktor penyebabnya beragam.
Mudahnya akses informasi juga merupakan factor penyebab pernikahan dini dan saat ini tidak hanya berdampak baik saja, namun juga sebaliknya. Bagi
anak-anak yang masih belum cukup umur, berbagai informasi yang masih seringkali tidak disaring, sehingga masuk mentah-mentah. Selain itu, mudahnya akses
informasi ini juga membuat anak-anak menyaksikan berbagai konten-konten dewasa. Bahkan konten-konten pacaran berbau romantis pun juga memengaruhi perilaku
anak-anak. Paparan konten-konten dewasa, ajakan nikah muda embel-embel agama, sampai dengan info yang salah tentang seksualitas menyumbang angka pernikahan
dini di Indonesia.

Terjadinya pernikahan dini di wilayah tersebut memiliki implikasi negatif bagi kehidupan pasangan yang telah melangsungkan pernikahan dini. Implikasi
negative dimaksud adalah pertengkaran, percekcokan, dan bentrokan antara suami-istri. Emosi yang belum stabil, semakin rentan memicu konflik dan pertengkaran
antara suami-istri. Di dalam rumah tangga, konflik dan pertengkaran sebenarnya merupakan pemandangan yang wajar, namun jika terjadi secara berkelanjutan, maka
bisa mengakibatkan perceraian. (Sd, wawancara, Pamekasan, tanggal 08 Juli 2010) Ketika perceraian terjadi, yang yang kemudian menjadi korban adalah perempuan
dan anak-anak.
Perkawinan usia muda di Indonesia masih menjadi sebuah polemik, karena melihat dari data yang ada disetiap tahunnya angka perkawinan usia muda ini
terus meningkat walaupun tidak tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia telah melakukan perkawinan pada
umur dibawah 18 tahun pada 2008 sampai 2015. Sudah tercatat bahwa sekitar 1.348.886 anak perempuan yang melakukan perkawinan dibawah usia 18 tahun pada
2012. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 300.000 anak perempuan yang telah kawin dibawah usia 16 tahun (Sunarti, 2018).
Data lainnya memiliki perbedaan dengan BPS, yaitu data SDKI menunjukkan bahwa 17% anak perempuan yang berada pada prevalensi usia 20-24 tahun
sudah kawin sebelum usia 18 tahun, yang berarti hal ini digolongakan sebagai perkawinan anak. data dari SUSENAS pada tahun 2012, setidaknya ada 25% perempuan
pada prevalensi usia 20-24 tahun yang telah melakukan perkawinan pada usia dibawah 18 tahun atau perkawinan anak. Adanya permasalahan mengenai perkawinan
usia muda yang masih terjadi di Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan bahwa adanya perceraian yang diakibatkan dari adanya perkawinan muda ini. Jika kita
merujuk kepada salah satu prasyarat ketahanan keluarga yang menyatakan bahwa kesiapan menikah menjadi salah satu syarat untuk bisa membangun ketahanan
keluarga, maka tidak heran apabila tingkat perceraian di Indonesia menjadi tinggi karena masih banyaknya perkawinan muda yang terjadi di Indonesia.
Jika merujuk pada konsep ketahanan keluarga yang menjelaskan bahwa didalam suatu keluarga perlu adanya kemampuan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan dan ancaman yang dihadapi baik itu dari dalam maupun dari luar, maka ketahanan keluarga yang dibangun dari perkawinan muda ini belum mencapai
konsep dari ketahanan keluarga itu sendiri. Hal ini disebabkan karena mereka belum memiliki pengetahuan mengenai membangun sebuah rumah tangga. Apalagi,
perkawinan muda ini mengharuskan mereka untuk berhenti sekolah sehingga pengetahuan yang dimiliki pun terbatas. Prasayarat untuk membangun ketahanan keluarga
sangat tergambarkan pada kasus perkawinan muda ini. Kebanyakan perkawinan muda yang dilakukan berbagai daerah belum memenuhi prasyarat tersebut salah
satunya kesiapan menikah. Faktanya, seseorang melakukan perkawinan bukan atas dasar dirinya telah siap untuk menikah akan tetapi didasari oleh berbagai faktor
perkawinan usia muda yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari segi psikologisnya, seseorang yang sudah kawin diusia muda pada dasarnya belum memiliki kesiapan
mental.

Kesimpulan

Temuan terpenting dari penelitian ini ialah bahwa dampak pernikahan dini pada ketahanan rumah tangga berakibat sangat besar. Hal ini akan sangat
mempengaruhi dalam perekonomian keluarga dan juga dalam pendidikan anak . Implikasinya, anak – anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik dan dapat
menyebabkan mental anak menjadi buruk. Pernikahan dini juga mengakibatkan perceraian karena kurangnya pendidikan sebelum menikah. Namun, artikel ini
mempunyai keterbatasan karena menggunakan metodologi penelitian pustaka dengan meneliti hasil-hasil penelitian tentang factor-faktor dan dampak terhadap
keluaraga. Alhasil, factor-faktor dan dampak pernikahan dini terhadap ketahanan keluarga di luar hasil-hasil penelitian tersebut tidak tercakup dan tidak dianalisis
dalam artikel ini. Maka, artikel ini perlu dilengkapi dengan beberapa penemuan study kasus yang lain dalam skala yang luas serta bagaimana mengatasi permasalahan
pernikahan dini dalam ketahanan keluarga.

Referensi

Apriliani, F. T., & Nurwati, N. (2020). Pengaruh Perkawinan Muda terhadap Ketahanan Keluarga. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 7(1), 90-
99. archive.org.

P ISSN xxxxx | E ISSN xxxxxx


Copyright © 2021 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
Busthami, D. S., Sanusi, M., & Nawi, S. (2021, September). Efektifitas Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Mengenai Batas Usia Minimal Perkawinan. Journal
of Lex Generalis (JLG), 2(9), 2509-2519. http://www.pasca-umi.ac.id/.
http://www.pasca-umi.ac.id/index.php/jlg/article/view/654

Desminar. (2019). Dampak Pernikahan Dini dalam Kehidupan Masyarakat Islam. Jurnal Kajian dan Pengembangan Umat, 3(1), 1-8. http://www.jurnal.umsb.ac.id/.
https://doi.org/10.31869/jkpu.v2i1.1909

Hastuti, P., & Aini, F. N. (2016). Gambaran Pernikahan Dini Akibat Pergaualan Bebas. Jurnal Riset Kesehatan, 5(1), 11-13. https://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/.
https://doi.org/10.31983/jrk.v5i1.444

Iriani, S. (2018). Fenomena Pernikahan Dini dalam Perspektif Islam (Studi Kasus di Desa Kalikuning). Jurnal Penelitian Keislaman, 14(2), 153-161.
https://journal.uinmataram.ac.id/. https://doi.org/10.20414/jpk.v14i2.700
Muntamah, A. L., Latifiani, D., & Arifin, R. (2019, Juni). Pernikahan Dini di Indonesia: Faktor dan Peran Pemerintah (Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum
bagi Anak). Widya Yuridika Jurnal Hukum, 2(1), 1-12. publishing-widyagama.ac.id. https://doi.org/10.31328/wy.v2i1.823
Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim, 14(2), 185-193.
Widiyanto, H. (2020, Januari-Juni). Konsep Pernikahan dalam Islam (Studi Fenomenologis Penundaan Pernikahan Di Masa Pandemi). Jurnal Islam Nusantara, 4(1),
103-110. https://www.jurnalnu.com/. 0.33852/jurnalin.v4i1.213

Yumarni, A., & Suhartini, E. (2019, Januari). Perkawinan Bawah Umur dan Potensi Perceraian (Studi Kewenangan KUA Wilayah Kota Bogor). Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM, 26(1), 193-211. https://journal.uii.ac.id/. https://doi.org/10.20885/iustum.vol26.iss1.art10

Farah Tri Apriliani1, Nunung Nurwati2 Pengaruh Perkawinan Muda terhadap Ketahanan Keluarga farah18005@mail.unpad.ac.id,
2nngnurwati@yahoo.co.id

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), hal. 1 4 Sapto Adji, UU.
No. 1 Tahun 1974, (Semarang: CV. Pelajar, 1989), hal. 1 4 JURNAL KAJIAN DAN PENGEMBANGAN UMAT P-ISSN : 2356-413X E-ISSN : 2715-8403 Vol. 3
No. 1 Tahun 2019

Siti yuli Astuty,Faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda dikalangan remaja di desa tembung kecamatan percut sei tuan kabupaten deli Serdang,
https://media.neliti.com/media/publications/222008-faktor-faktor-penyebab-terjadinya-perkaw.pdf

https://www.muslimahtimes.com/pernikahan-dini-dan-ketahanan-keluarga

Umi Sumbulah Faridatul Jannah, Pernikahan dini dan implikasinya terhadap kehidupan keluarga pada masyarakat madura (perspektif hukum dan gender) Egalita
Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Volume VII No. 1 Januari 2012, hlm. 83-101

Meliksah Ertem, Tahire Kocturk ( 2015, Juni ) Opinions on early-age marriage and marriage customs among Kurdish-speaking women in southeast
Turkey, J Fam Plann Reprod Health Care 2008; 34(3): 147–152 http://jfprhc.bmj.com/ pada 8 Juni 2015

Susmita Ghosh dan Asma Shawly ( 2019, Agustus ) Causes of Early Marriage and Its Effect on Reproductive Health of Young Mothers in Bangladesh, Md Ruhul
Kabir et al. / American Journal of Applied Sciences 2019, 16 (9): 289.297 DOI: 10.3844/ajassp.2019.289.297

• • • • •
Sarah Henly-Shepard Cheryl Anderson Kimberly Burnett Linda J. Cox John N. Kittinger Maka'ala Ka'aumoana ( 2014, Mei ), Quantifying household social
resilience: a place-based approach in a rapidly transforming community, Nat Hazards (2015) 75:343–363 DOI 10.1007/s11069-014-1328

Sah RB, Gaurav K, Baral DD, Subedi L, Jha N, Pokharel PK( 2014 ), Factors affecting Early Age Marriage in Dhankuta Municipality, Nepal Nepal Journal of
Medical Sciences, 2014;3(1):26-30.

Indrayani ( 2017, Oktober ) Please, understand why village midwife performance is not optimum! Bangladesh Journal of Medical Science Vol. 16 No.
04 October’17. Page : 505-514

P ISSN xxxxx | E ISSN xxxxxx


Copyright © 2021 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
P ISSN xxxxx | E ISSN xxxxxx
Copyright © 2021 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)

You might also like