Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 10

HALAMAN KELAYA KAN PUBLIKASI

Artikel Jurnal Tugas Akhir

PENOLAKAN PENCATATAN PERKAWINAN OLEH KEPALA DINAS


KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL DENGAN ALASAN ADANYA AKTA
PEMBATALAN PERKAWINAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS

ARNOLDUS FABIAN FERNANDA SUPRAPTO


NRP : 120116038

Yang mengesahkan

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. J.M. Atik Krustiyati, S.H., M.S Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum
Hukum

PENOLAKAN PENCATATAN PERKAWINAN OLEH KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN


CATATAN SIPIL DENGAN ALASAN ADANYA AKTA PEMBATALAN PERKAWINAN YANG
DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS
Arnoldus Fabian Fernanda Suprapto*, Dr. J.M. Atik Krustiyati, S.H., M.S., Dr. Yoan Nursari Simanjuntak,
S.H. ,M.Hum.

Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Raya Kalirungkut, Surabaya 60293


*corresponding author: arnoldusfabian98@gmail.com

Abstract— Marriage is the process of the union of two people between a man and a woman which creates an
inner and outer bond that makes them husband and wife in which there is a commitment and aims to build a
household and continue offspring. Based on Article 1 of Law no. 1 of 1974 what is meant by marriage is an inner
and outer bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and eternal
family or household based on the One Supreme Godhead. Marriage is not only a civil act, but also a religious
act, because as stipulated in Article 2 paragraph (1) of Law no. 1 of 1974, a marriage bond is valid if it is carried
out according to the law of religion and belief. The problem discussed is whether the action of the Head of the
Mataram City Population and Civil Registry Office who refuses to register on the grounds of an annulment of a
marriage made before a notary is an act of maladministration. The results obtained are that marriages which
are carried out according to the law of each religion or belief, but have not been registered, then the marriage is
not valid as stated in Article 2 of Law no. 1 of 1974. The Head of Dispenduk Capil as the State Administration
Agency or Official is obliged to determine and or make decisions within a period of 10 (ten) working days. The
Head of the Mataram City Civil Registration Dispenduk, within that time limit, refused to register the marriage,
the application for registration of the marriage was considered legally granted as stipulated in Article 3 of the
Administrative Court Law. The refusal to register a marriage is based on an annulment deed made before a
notary, this refusal is contrary to Article 3 of the Administrative Court Law and the AUPB, namely the principle
of accuracy, because the court has the right to annul the marriage and the marriage must have been registered.
Keywords: Rejection, Marriage Registration, Marriage Cancellation Deed

Abstrak— Perkawinan merupakan proses bersatunya dua orang antara seorang pria dan wanita yang
menimbulkan ikatan lahir batin yang menjadikan mereka sebagai pasangan suami dan istri yang di dalamnya
terdapat suatu komitmen dan bertujuan untuk membina sebuah rumah tangga dan meneruskan keturunan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan adalah Ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan tidak hanya
semata-mata merupakan suatu perbuatan perdata saja, melainkan juga sebagai suatu perbuatan
keagamaan, sebab sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, suatu ikatan
perkawinan itu adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Permasalahan
yang dibahas yaitu Apakah tindakan Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Mataram
yang menolak pencatatan dengan alasan adanya pembatalan perkawinan yang dibuat dihadapan Notaris
adalah tindakan Maladministrasi. Diperoleh hasil bahwa Perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum
masing-masing agamanya atau kepercayaannya, namun belum dicatatkan, maka perkawinannya belum sah
sebagaimana Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Kepala Dispenduk Capil selaku Badan atau Pejabat TUN wajib
untuk menetapkan dan atau melakukan keputusan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Kepala
Dispenduk Capil Kota Mataram dalam batas waktu tersebut menolak mencatat perkawinan, permohonan
pencatatan perkawinan dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana Pasal 3 UU PTUN. Penolakan
pencatatan perkawinan didasarkan atas akta pembatalan yang dibuat di hadapan notaris, penolakan
tersebut bertentangan dengan Pasal 3 UU PTUN dan AUPB yakni asas kecermatan, karena yang berhak
membatalkan perkawinan adalah Pengadilan dan perkawinannya harus telah dicatatkan
Kata Kunci: Penolakan, Pencatatan Perkawinan, Akta Pembatalan Perkawinan

Pendahuluan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat
UU No. 1 Tahun 1974). Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan
perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa
perkawinan tidak hanya semata-mata merupakan suatu perbuatan perdata saja, melainkan
juga sebagai suatu perbuatan keagamaan, sebab sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, suatu ikatan perkawinan itu adalah “sah apabila dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaannya”.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, “selain perkawinan dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, sahnya perkawinan Pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-
surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Karena menurut
Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan
tersebut dicatat di lembaga yang berwenang. Maka dari itu, “Pencatatan perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, terutama bagi
kaum perempuan, karena hal ini juga merupakan upaya pemerintah untuk melindungi hak-
hak perempuan dalam perkawinan. Pada dasarnya pencatatan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Begitu pentingnya pencatatan perkawinan
sehingga pemerintah mencantumkannya dalam Undang-Undang”.
“Perkawinan yang akan dilangsungkan dapat dicegah jika ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang diatur
didalam Pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974, Pencegahan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan sebagaimana
dimaksud didalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Maka dari itu, pencegahan
perkawinan dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan. Selain dapat dicegah, menurut
Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan juga dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian "dapat" pada pasal
ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Perkawinan yang sudah dilangsungkan maksudnya
sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya dan dicatatkan di Kantor Urusan
Agama/Kantor Catatan Sipil, jika perkawinan tersebut ternyata tidak memenuhi syarat
perkawinan sebagaimana Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974, maka
perkawinannya dapat dibatalkan, dan yang mempunyai wewenang membatalkan adalah
Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam, dan Pengadilan Agama bagi yang
beragama Islam.
Pejabat Pencatatan Sipil merupakan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
menurut Pasal 1 angka 3 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan (selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 2014) yang memiliki tujuan untuk
melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara
negara lainnya. Produk hukum yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
(selanjutnya disingkat TUN) berupa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga
disebut Keputusan TUN atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut
Keputusan menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 30 Tahun 2014 adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan”.
Terdapat suatu permasalahan dimana Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (selanjutnya disingkat Kepala Dispendukcapil) Kota Mataram menolak pencatatan
perkawinan yang diajukan oleh seorang istri. Perkawinan antara suami dalam hal ini MIJ
dan istri GAB telah melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya (Hindu),
tepatnya tanggal 02 Maret 2017. Rangkaian Upacara Perkawinan mulai dilakukan dengan
diawali GAB di bawa lari ke rumah Keluarga MIJ karena GAB berstatus Bangsawan
sedangkan MIJ Berstatus Biasa. Pada tanggal 05 Maret 2017, keduanya melaksanakan
Rangkaian upacara adat keagamaan “Mesayut Ketelun” yang bertempat dikediaman Orang
tua MIJ di Kota Mataram. Tanggal 31 Maret 2017, keduanya melaksanakan Rangkaian
Upacara Adat Keagamaan “Widhi Widhana” pada pagi hari, yang kemudian dilanjutkan
dengan resepsi Perkawinan pada siang hari, dihadiri oleh Para Tamu Undangan dari Kedua
Mempelai baik itu Tokoh Agama atau Adat, Tokoh Masyarakat dan Masyarakat, yang
berarti perkawinan telah dilakukan menurut Hukum Agama dan kepercayaannya sesuai
Surat Pengesahan Perkawinan No. 88/PHDI-KC/PP-IV/2017 tanggal 27 April 2017 yang
dikeluarkan oleh Parisade Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Cakranegara. Perkawinan
tersebut meskipun belum dicatatkan, keduanya telah kemudian hidup bersama dan mereka
berdua telah menikmati bulan madu layaknya suami isteri yang telah menikah.
Perkawinannya telah dilangsungkan menurut hukum agamanya, akan tetapi perkawinan
tersebut masih tidak dapat dikatakan sah karena menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974 perkawinan telah sah apabila sudah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Ketika GAB ingin mencatatkan perkawinannya ke Kantor Dinas Kependudukan Dan
Catatan Sipil Kota Mataram, ternyata Kepala DISPENDUKCAPIL menolak mencatat
perkawinan tesebut, dengan alasan bahwa MIJ mengajukan permohonan pembatalan yang
dibuat di hadapan notaris tepatnya tanggal 22 Juli 2017, MIJ menghadap notaris HFA untuk
dibuatkan akta pembatalan perkawinan secara secara sepihak tanpa pengetahuan GAB.
Kemudian oleh notaris diterbitkan Akta Pembatalan Perkawinan Nomor 1 Tanggal 22 Juli
2017.
Pejabat yang mencatat perkawinan adalah Pejabat Pencatatan Sipil menurut Pasal
1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(selanjutnya disingkat UU Adminduk) adalah pejabat yang melakukan pencatatan
Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang
pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pejabat
Pencatatan Sipil merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menurut Pasal 1 angka
3 UU Nomor 30 Tahun 2014, yang memiliki tujuan untuk melaksanakan Fungsi
Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Metode Penelitian
Tipe penelitian dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian hukum yuridis normatif.
Penelitian hukum yuridis normatif menurut Peter Mahmud Marzuki (2009, h. 35) yaitu
”Suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”

Hasil dan Pembahasan


Perkawinan antara AP dan IJ telah dilangsungkan sesuai dengan hukum agama dan
atau kepercayaannya, sehingga sah menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, menentukan Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku, perihal
pencatatan perkawinan, menurut Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974, dijelaskan
bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte
resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. Ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974,
nampak adanya suatu hal yang perlu ditafsirkan, di satu sisi yang mengesahkan
perkawinan adalah hukum agamanya, pencatatan perkawinan merupakan suatu tindakan
administrasi,
sehingga pencatatan bukan membuat perkawinan menjadi sah.
Perihal sahnya perkawinan didasarkan hukum agamanya dan pencatatan
perkawinan merupakan pemenuhan syarat administrasi, sebagaimana dikutip dari Ansyari
k
perkawinan dan pencatatan perkawinan berfungsi secara kumulatif, bukan alternatif
karena sahnya perkawinan berperan memberi label sah kepada perkawinan itu,
sedangkan pencatatan perkawinan memberi label bahwa perkawinan tersebut
merupakan perbuatan hukum. Sehubungan dengan itu, pencatatan perkawinan disini
sangat penting merupakan bukti otentik tentang telah dilangsungkan perkawinan yang
sah. (M. Anshary MK, 2010 : 23-24). Sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan
sebagai suatu yang berfungsi sebagai syarat komulatif, berarti bahwa pencatatan
perkawinan turut menetukan sahnya perkawinan. Pencatatan perkawinan merupakan
kewajiban administratif berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang bertujuan
untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia jika di kemudian hari timbul
perbuatan hukum yang berimplikasi terjadinya akibat hukum sehingga dapat dibuktikan
dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik sebagai suatu bentuk kepastian
hukum. (Dyah Ochtorina Susanti, 2020, jurnal). Perkawinan antara AP dengan IJ meskipun
telah dilangsungkan menurut hukum agamanya (Hindu), namun perkawinannya belum
dicatatkan, maka perkawinan antara Ayu dengan IJ belum sah menurut hukum
sebagaimana Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan sebagai peristiwa penting sebagaimana Pasal 34 UU Adminduk yang sah
berdasarkan ketentuan PP No. 9 Tahun 1975 wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada
Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari
sejak tanggal perkawinan. Pelaporan adanya pencatatan perkawinan tersebut Pejabat
Pencatatan sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta
Perkawinan. Perkawinan dicatat oleh Pejabat Pencatatan Sipil menurut Pasal 1 angka 16
UU Adminduk adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang
dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Perkawinan antara AP dengan IJ telah
dilangsungkan menurut hukum agamanya sesuai bukti Surat Pengesahan Perkawinan No.
88/PHDI-KC/PP-IV/2017 tanggal 27 April 2017 yang dikeluarkan oleh Parisade Hindu
Dharma Indonesia Kecamatan Cakranegara, tidak lama kemudian AP dan IJ
mendaftarkan perkawinannya di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil, namun IJ belum
menandatangani Kutipan akta nikah, hingga tanggal 22 Juli 2017, IJ telah menyatakan
Pembatalan Perkawinannya sebagaimana Akta Pembatalan Perkawinan Nomor 1 Tanggal
22 Juli 2017 yang dibuat dihadapan Notaris HF.
Perkawinan dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil (bagi calon
mempelai yang bukan beragama Islam), yang diselenggarakan oleh Kepala
Dispendukcapil, yang merupakan Pejabat pemerintahan. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.
30 Tahun 2014 Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan
keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. AP dan IJ yang
mencatatkan perkawinan ke Dispendukcapil Kota Mataram telah tepat dan Kepala
Dispendukcapil wajib mencatat perkawinan yang sudah dilakukan sesuai dengan hukum
agama
Pejabat Pencatat Perkawinan Dispendukcapil mempunyai wewenang menerbitkan
Kutipan akta nikah, sebagai keputusan badan dan/atau pejabat TUN, sebagaimana Pasal
87 UU No. 30 Tahun 2014. Kutipan akta nikah dilihat segi bentuknya merupakan
penetapan tertulis dikeluarkan oleh badan TUN, yakni Pejabat Pencatat Perkawinan
Dispendukcapil berdasarkan hukum publik/administrasi negara, bersifat konkret,
individual, dan final. Perkawinan antara AP dan IJ telah dilangsungkan menurut hukum
masing-masing agamanya dan atau kepercayaannya, berdasarkan bukti Surat Pengesahan
Perkawinan No. 88/ PHDI-KC/PP-IV/2017 tanggal 27 April 2017 yang dikeluarkan oleh
Parisade Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Cakranegara, serta perkawinan tersebut
k
telah didaftarkan atau dicatatkan di Dispendukcapil. AP dan IJ meskipun telah
mendaftarkan, namun pada tanggal 22 Juli 2017, IJ telah menentukan Pembatalan
Perkawinannya sebagaimana Akta Pembatalan Perkawinan Nomor 1 Tanggal 22 Juli 2017
yang dibuat dihadapan Notaris HF.
Pembatalan perkawinan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974,
yang menentukan Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian "dapat" diartikan bisa batal
atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak
menentukan lain. Perkawinan dibatalkan, yang berarti bahwa perkawinannya tersebut
telah dilangsungkan, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974,
perkawinan telah dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya dan atau
kepercayaannya, namun karena perkawinan tersebut tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974. Permohonan
pembatalan dapat diajukan oleh salah satunya suami atau istri, sebagaimana Pasal 23 UU
No. 1 Tahun 1974, pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami istri,
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 25 UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan antara AP dan IJ belum didaftarkan atau dicatatkan dan belum
diterbitkan Kutipan akta nikah, maka perkawinan tersebut tidak dapat dibatalkan.
Pembatalan perkawinan seharusnya diajukan ke Pengadilan Negeri (bagi non Islam), IJ
memang mempunyai wewenang untuk mengajukan pembatalan perkawinan sesuai
dengan ketentuan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974, akan tetapi pembatalan perkawinan
seharusnya diajukan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan Pasal 25 UU No. 1
Tahun 1974, melainkan pembatalan perkawinan tersebut didasarkan atas Akta
Pembatalan Perkawinan Nomor 1 Tanggal 22 Juli 2017 yang dibuat dihadapan Notaris HF.
Notaris membuat akta pembatalan atas kehendak pemohon dalam hal ini IJ. Notaris
mempunyai kewenangan membuat akta otentik, sebagaimana Indonesia sebagai negara
hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga
Negara, bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik. IJ menghadap notaris agar dibuatkan
akta otentik, oleh IJ akta tersebut digunakan sebagai bukti sempurna menghadap Kepala
Dispoendukcapil, bahwa perkawinan tersebut batal, dalam arti dianggap tidak pernah
berlangsung suatu perkawinan yang mengikat lahir batin antara IJ dengan AP oleh
Dispendukcapil.
Notaris sebagaimana Pasal 1 angka 1 UUJN, adalah Pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang- Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya. Kewenangan
notaris membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan
yang diharuskan oleh Peraturan Perundang-Undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan Akta, menyimpan Akta. Akta Pembatalan Perkawinan Nomor 1 Tanggal 22 Juli
2017 yang dibuat dihadapan Notaris HF, diajukan oleh IJ, dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa yang mempunyai wewenang membatalkan
perkawinan adalah hakim Pengadilan Negeri berdasarkan putusannya. Hal ini berarti
bahwa meskipun notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat
akta otentik, jika penghadap dalam hal ini IJ meminta agar notaris membuat akta
pembatalan perkawinan, seharusnya notaris tidak membuat dengan memberikan
penyuluhan notaris seharusnya penyuluhan hukum kepada IJ bahwa yang mempunyai
wewenang membatalkan perkawinan adalah Pengadilan.
Kepala Dispendukcapil diperkenankan menolak pencatatan perkawinan jika ada
larangan menurut UU No. 1 Tahun 1974, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu
keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada
pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut diatas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan
acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan
tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan, sebagaimana
Pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974. Kepala Dispendukcapil kota Mataram menolak pencatatan
perkawinan yang diajukan oleh AP dan IJ, penolakan tersebut bukan disebabkan karena
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, atau di dalam hal
penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh
pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan
tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya, melainkan ditolak karena Akta
Pembatalan Perkawinan Nomor 1 Tanggal 22 Juli 2017 yang dibuat dihadapan Notaris HF.
Penolakan pencatatan perkawinan tersebut tidak berlandaskan hukum, karena selaku
Badan atau Pejabat TUN dalam menjalankan wewenangnya berpegang kepada AUPB,
salah satunya yakni asas kecermatan, yang berisi Keputusan dan/atau Tindakan harus
didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas
penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan
dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan
dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan. Di antara penetapan AUPB
yakni kewajiban memberikan informasi, terkait ketentuan mengenai dokumen
administrasi yang dapat diperlihatkan dan ditunjukkan oleh instansi pemerintah kepada
pihak yang terlibat. Ketentuan itu antara lain, bahwa instansi Administrasi Pemerintahan
dapat memperlihatkan dokumen administrasi kepada pihak yang terlibat sejauh hal
tersebut berkaitan dengan dengan usaha mempertahankan secara hukum
kepentingannya dan sejauh bahwa hal tersebut tidak menyebabkan pelanggaran atau
maladministrasi. Disamping itu, harus dimuat ketentuan bahwa atas permintaan pihak
yang terlibat, instansi Administrasi Pemerintahan tidak diperbolehkan membuka rahasia
yang berkenaan dengan kehidupan pribadidan rahasia-rahasia perusahaan pihak yang
bersangkutan. Apabila dalam keputusan atau tidak diambilnya suatu keputusan Badan
atau Pejabat TUN tidak didukung oleh informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan, maka dikatakan
sebagai keputusan yang maladministrasi. (Muhamad Azhar, NOTARIUS, Edisi 08 Nomor 2
September 2015).
Penolakan pencatatan perkawinan oleh Badan atau Pejabat TUN tidak didukung
oleh informasi dan dokumen yang lengkap, dapat berakibat adanya maladministrasi.
Maladministrasi dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, sesuai dengan pendapat
Widodo maladministrasi dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, yang dimana mal-
administrasi adalah suatu perbuatan yang menyimpang dari etika administrasi, atau suatu
perbuatan administrasi yang menajuhkan dari pencapaian tujuan administrasi. (Widodo,
mal-administrasi dalam pelayanan surat izin usaha, https:// repository.unair.ac.id  ›
JURNAL). Selama ini banyak kalangan terjebak dalam memahami maladministrasi yang
semata hanya dianggap sebagai penyimpangan administrasi secara sempit atau
penyimpangan yang hanya berkaitan dengan ketatabukuan dan tulis-menulis.
Maladministrasi merupakan perilaku melampaui wewenang, menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaran pelayanan publik
yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian
materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Kepala
Dispendukcapil Kota Mataram yang menolak mencatat perkawinan antara AP dengan IJ,
dengan alasan IJ membatalkan perkawinan dengan menyerahkan akta pembatalan
perkawinan yang dibuatnya di hadapan Notaris HF, dan Kepala Dispendukcapil tidak
mencatatnya perkawinan, mendapatkan pada AUPB (asas kecermatan) dapat dikatakan
sebagai tindakan maladministrasi atas dasar kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum
dalam penyelenggaran pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan
pemerintah yang menimbulkan kerugian.
Bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh Kepala Dispendukcapil Kota Mataram
yang menolak mencatat perkawinan antara AP dengan IJ. Terkait penolakan permohonan
pencatatan, sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 3 UU PTUN, bahwa apabila
Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN. Ketentuan Pasal 3
UU PTUN tersebut dijelaskan bahwa setiap badan atau Jabatan TUN itu wajib melayani
setiap permohonan warga masyarakat yang ia terima apabila hal yang dimohonkan
kepadanya itu menurut peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya sedangkan
dalam Ayat 2 UU PTUN menentukan bahwa Badan atau pejabat TUN yang tidak
mengeluarkan keputusan atas permohonan sebagaimana jangka waktu yang telah
ditentukan, maka Badan atau Pejabat TUN dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan. Tidak mengeluarkan tindakan apapun atas suatu permohonan untuk
menerbitkan keputusan sering kali disebut “sikap diam” dari Badan atau Pejabat TUN, dan
pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sikap diam tersebut dianggap sebagai
suatu keputusan TUN. Namun, apabila sebelumnya telah ada suatu permohonan untuk
menerbitkan keputusan, maka sikap diam dari Badan atau Pejabat TUN dianggap sebagai
penolakan atas permohonan tersebut. (Indroharto, 2015 : 185). Dikaitkan dengan
tindakan Kepala Dispenduk Capil yang menolak mencacat perkawinan dalam arti tidak
mengeluarkan keputusan atas permohonan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja,
maka Badan atau Pejabat TUN dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan, jika
tidak mengeluarkan tindakan apapun atas suatu permohonan untuk menerbitkan
keputusan sering kali disebut “sikap diam” dari Badan atau Pejabat TUN, sikap diam
tersebut dianggap sebagai suatu keputusan TUN. Namun, apabila sebelumnya telah ada
suatu permohonan untuk menerbitkan keputusan, maka sikap diam dari Badan atau
Pejabat TUN dianggap sebagai penolakan atas permohonan tersebut. (Indroharto, 2015 :
185), tindakan tersebut adalah mengabaikan hukum (disregard of the law), dalam hal ini
asas kecermatan sebagai salah satu AUPB.
Kepala Dispendukcapil, dalam upaya untuk mencatat atau menolak Pencatatan
pendaftaran peristiwa penting sudah seharusnya melakukan pemeriksaan
persyaratan secara lengkap, sebagai pelaksana asas kecermatan yakni suatu keputusan
dan/atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan keputusan dan/atau tindakan
sehingga keputusan dan/atau tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat
sebelum keputusan dan/atau tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan. Kepala
Dispendukcapil kota Mataram dengan mendasarkan asas kecermatan, seharusnya tidak
menolak untuk mencatat perkawinan yang diajukan oleh AP, penolakan pencatgatan
perkawinan tersebut mengabaikan asas kecermatan sebagai salah satu asas dalam AUPB.
Penolakan pencatatan perkawinan oleh Petugas Pencatat Perkawinan
Dispendukcapil Mataram tersebut selain bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 UU
PTUN terkait masalah setiap badan atau Jabatan TUN wajib melayani setiap permohonan
warga masyarakat yang diterima, apabila hal yang dimohonkan kepadanya itu menurut
peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya sedangkan Badan atau pejabat TUN, jika
tidak mengeluarkan keputusan atas permohonan sebagaimana jangka waktu yang telah
ditentukan (sepuluh hari), maka Badan atau Pejabat TUN dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan. Selain hjal sebagaimana tersebut di atas, tindakan penolakan
tersebut tidak memenuhi asas kecermatan bagian dari AUPB yang digunakan sebagai
dasar pejabat administrasi dalam menjalankan jabatannya. AUPB adalah prinsip yang
digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam
mengeluarkan keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk.

Kesimpulan
1. Perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya atau
kepercayaannya, namun belum dicatatkan, maka perkawinannya belum sah
sebagaimana Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974.
2. Kepala Dispenduk Capil selaku Badan atau Pejabat TUN wajib untuk menetapkan dan
atau melakukan keputusan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Kepala
Dispenduk Capil Kota Mataram dalam batas waktu tersebut menolak mencatat
perkawinan, permohonan pencatatan perkawinan dianggap dikabulkan secara hukum
sebagaimana Pasal 3 UU PTUN.
3. Penolakan pencatatan perkawinan didasarkan atas akta pembatalan yang dibuat di
hadapan notaris, penolakan tersebut bertentangan dengan Pasal 3 UU PTUN dan AUPB
yakni asas kecermatan, karena yang berhak membatalkan perkawinan adalah
Pengadilan dan perkawinannya harus telah dicatatkan
Daftar Pustaka

Anshari, MK, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Efendi, A’an, and Dyah Ochtorina Susanti. 2020. Logika Dan Argumentasi Hukum. Jakarta:
Prenada Media

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang PTUN, Sinar Harapan, Jakarta, 2015

Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Muhamad Azhar, Relevansi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Sistem
Penyelenggaraan Administrasi Negara, NOTARIUS, Vol 2. No. 8

Widodo, mal-administrasi dalam pelayanan surat izin usaha, https://


repository.unair.ac.id › JURNAL).

You might also like