Professional Documents
Culture Documents
Arnoldus Artikel Jurnal S1
Arnoldus Artikel Jurnal S1
Yang mengesahkan
Dr. J.M. Atik Krustiyati, S.H., M.S Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum
Hukum
Abstract— Marriage is the process of the union of two people between a man and a woman which creates an
inner and outer bond that makes them husband and wife in which there is a commitment and aims to build a
household and continue offspring. Based on Article 1 of Law no. 1 of 1974 what is meant by marriage is an inner
and outer bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and eternal
family or household based on the One Supreme Godhead. Marriage is not only a civil act, but also a religious
act, because as stipulated in Article 2 paragraph (1) of Law no. 1 of 1974, a marriage bond is valid if it is carried
out according to the law of religion and belief. The problem discussed is whether the action of the Head of the
Mataram City Population and Civil Registry Office who refuses to register on the grounds of an annulment of a
marriage made before a notary is an act of maladministration. The results obtained are that marriages which
are carried out according to the law of each religion or belief, but have not been registered, then the marriage is
not valid as stated in Article 2 of Law no. 1 of 1974. The Head of Dispenduk Capil as the State Administration
Agency or Official is obliged to determine and or make decisions within a period of 10 (ten) working days. The
Head of the Mataram City Civil Registration Dispenduk, within that time limit, refused to register the marriage,
the application for registration of the marriage was considered legally granted as stipulated in Article 3 of the
Administrative Court Law. The refusal to register a marriage is based on an annulment deed made before a
notary, this refusal is contrary to Article 3 of the Administrative Court Law and the AUPB, namely the principle
of accuracy, because the court has the right to annul the marriage and the marriage must have been registered.
Keywords: Rejection, Marriage Registration, Marriage Cancellation Deed
Abstrak— Perkawinan merupakan proses bersatunya dua orang antara seorang pria dan wanita yang
menimbulkan ikatan lahir batin yang menjadikan mereka sebagai pasangan suami dan istri yang di dalamnya
terdapat suatu komitmen dan bertujuan untuk membina sebuah rumah tangga dan meneruskan keturunan.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perkawinan adalah Ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan tidak hanya
semata-mata merupakan suatu perbuatan perdata saja, melainkan juga sebagai suatu perbuatan
keagamaan, sebab sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, suatu ikatan
perkawinan itu adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Permasalahan
yang dibahas yaitu Apakah tindakan Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Mataram
yang menolak pencatatan dengan alasan adanya pembatalan perkawinan yang dibuat dihadapan Notaris
adalah tindakan Maladministrasi. Diperoleh hasil bahwa Perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum
masing-masing agamanya atau kepercayaannya, namun belum dicatatkan, maka perkawinannya belum sah
sebagaimana Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Kepala Dispenduk Capil selaku Badan atau Pejabat TUN wajib
untuk menetapkan dan atau melakukan keputusan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Kepala
Dispenduk Capil Kota Mataram dalam batas waktu tersebut menolak mencatat perkawinan, permohonan
pencatatan perkawinan dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana Pasal 3 UU PTUN. Penolakan
pencatatan perkawinan didasarkan atas akta pembatalan yang dibuat di hadapan notaris, penolakan
tersebut bertentangan dengan Pasal 3 UU PTUN dan AUPB yakni asas kecermatan, karena yang berhak
membatalkan perkawinan adalah Pengadilan dan perkawinannya harus telah dicatatkan
Kata Kunci: Penolakan, Pencatatan Perkawinan, Akta Pembatalan Perkawinan
Pendahuluan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat
UU No. 1 Tahun 1974). Berdasarkan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan
perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa
perkawinan tidak hanya semata-mata merupakan suatu perbuatan perdata saja, melainkan
juga sebagai suatu perbuatan keagamaan, sebab sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, suatu ikatan perkawinan itu adalah “sah apabila dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaannya”.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, “selain perkawinan dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, sahnya perkawinan Pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-
surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Karena menurut
Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan
tersebut dicatat di lembaga yang berwenang. Maka dari itu, “Pencatatan perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, terutama bagi
kaum perempuan, karena hal ini juga merupakan upaya pemerintah untuk melindungi hak-
hak perempuan dalam perkawinan. Pada dasarnya pencatatan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Begitu pentingnya pencatatan perkawinan
sehingga pemerintah mencantumkannya dalam Undang-Undang”.
“Perkawinan yang akan dilangsungkan dapat dicegah jika ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang diatur
didalam Pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974, Pencegahan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan sebagaimana
dimaksud didalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Maka dari itu, pencegahan
perkawinan dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan. Selain dapat dicegah, menurut
Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan juga dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian "dapat" pada pasal
ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Perkawinan yang sudah dilangsungkan maksudnya
sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya dan dicatatkan di Kantor Urusan
Agama/Kantor Catatan Sipil, jika perkawinan tersebut ternyata tidak memenuhi syarat
perkawinan sebagaimana Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974, maka
perkawinannya dapat dibatalkan, dan yang mempunyai wewenang membatalkan adalah
Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam, dan Pengadilan Agama bagi yang
beragama Islam.
Pejabat Pencatatan Sipil merupakan “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
menurut Pasal 1 angka 3 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan (selanjutnya disingkat UU No. 30 Tahun 2014) yang memiliki tujuan untuk
melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara
negara lainnya. Produk hukum yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
(selanjutnya disingkat TUN) berupa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga
disebut Keputusan TUN atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut
Keputusan menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 30 Tahun 2014 adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan”.
Terdapat suatu permasalahan dimana Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil (selanjutnya disingkat Kepala Dispendukcapil) Kota Mataram menolak pencatatan
perkawinan yang diajukan oleh seorang istri. Perkawinan antara suami dalam hal ini MIJ
dan istri GAB telah melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya (Hindu),
tepatnya tanggal 02 Maret 2017. Rangkaian Upacara Perkawinan mulai dilakukan dengan
diawali GAB di bawa lari ke rumah Keluarga MIJ karena GAB berstatus Bangsawan
sedangkan MIJ Berstatus Biasa. Pada tanggal 05 Maret 2017, keduanya melaksanakan
Rangkaian upacara adat keagamaan “Mesayut Ketelun” yang bertempat dikediaman Orang
tua MIJ di Kota Mataram. Tanggal 31 Maret 2017, keduanya melaksanakan Rangkaian
Upacara Adat Keagamaan “Widhi Widhana” pada pagi hari, yang kemudian dilanjutkan
dengan resepsi Perkawinan pada siang hari, dihadiri oleh Para Tamu Undangan dari Kedua
Mempelai baik itu Tokoh Agama atau Adat, Tokoh Masyarakat dan Masyarakat, yang
berarti perkawinan telah dilakukan menurut Hukum Agama dan kepercayaannya sesuai
Surat Pengesahan Perkawinan No. 88/PHDI-KC/PP-IV/2017 tanggal 27 April 2017 yang
dikeluarkan oleh Parisade Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Cakranegara. Perkawinan
tersebut meskipun belum dicatatkan, keduanya telah kemudian hidup bersama dan mereka
berdua telah menikmati bulan madu layaknya suami isteri yang telah menikah.
Perkawinannya telah dilangsungkan menurut hukum agamanya, akan tetapi perkawinan
tersebut masih tidak dapat dikatakan sah karena menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974 perkawinan telah sah apabila sudah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Ketika GAB ingin mencatatkan perkawinannya ke Kantor Dinas Kependudukan Dan
Catatan Sipil Kota Mataram, ternyata Kepala DISPENDUKCAPIL menolak mencatat
perkawinan tesebut, dengan alasan bahwa MIJ mengajukan permohonan pembatalan yang
dibuat di hadapan notaris tepatnya tanggal 22 Juli 2017, MIJ menghadap notaris HFA untuk
dibuatkan akta pembatalan perkawinan secara secara sepihak tanpa pengetahuan GAB.
Kemudian oleh notaris diterbitkan Akta Pembatalan Perkawinan Nomor 1 Tanggal 22 Juli
2017.
Pejabat yang mencatat perkawinan adalah Pejabat Pencatatan Sipil menurut Pasal
1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(selanjutnya disingkat UU Adminduk) adalah pejabat yang melakukan pencatatan
Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang
pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pejabat
Pencatatan Sipil merupakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menurut Pasal 1 angka
3 UU Nomor 30 Tahun 2014, yang memiliki tujuan untuk melaksanakan Fungsi
Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
Metode Penelitian
Tipe penelitian dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian hukum yuridis normatif.
Penelitian hukum yuridis normatif menurut Peter Mahmud Marzuki (2009, h. 35) yaitu
”Suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”
Kesimpulan
1. Perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya atau
kepercayaannya, namun belum dicatatkan, maka perkawinannya belum sah
sebagaimana Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974.
2. Kepala Dispenduk Capil selaku Badan atau Pejabat TUN wajib untuk menetapkan dan
atau melakukan keputusan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja. Kepala
Dispenduk Capil Kota Mataram dalam batas waktu tersebut menolak mencatat
perkawinan, permohonan pencatatan perkawinan dianggap dikabulkan secara hukum
sebagaimana Pasal 3 UU PTUN.
3. Penolakan pencatatan perkawinan didasarkan atas akta pembatalan yang dibuat di
hadapan notaris, penolakan tersebut bertentangan dengan Pasal 3 UU PTUN dan AUPB
yakni asas kecermatan, karena yang berhak membatalkan perkawinan adalah
Pengadilan dan perkawinannya harus telah dicatatkan
Daftar Pustaka
Efendi, A’an, and Dyah Ochtorina Susanti. 2020. Logika Dan Argumentasi Hukum. Jakarta:
Prenada Media
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang PTUN, Sinar Harapan, Jakarta, 2015
Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Muhamad Azhar, Relevansi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Sistem
Penyelenggaraan Administrasi Negara, NOTARIUS, Vol 2. No. 8