Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 16

Factors Associated with Obesity in Adults in South East Asia

Abstrakt

Background: Obesity is defined as an abnormal condition with having excess fat making it a
risk to health. The risk of diseases caused by obesity such as type 2 diabetes for adolescents,
coronary heart disease, stroke, myocardial infarction, cancer, and even failure to breathe
normally while sleeping. The purpose of this research literature is to find factors that are
strongly associated with obesity in adults in Southeast Asia. Methods: (1) Identify various
Pubmed, Scopus, Science direct, Proquest, and ProQuest Dissertations database search
articles (2) "Obesity" and "Adult" keyword searches, "East Asian" articles according to
inclusion criteria, (3) Inclusion Criteria are 5-year journal limit (2015-2020), document type
article, English language, journal that discusses obtaining literature in the form of complete
text. Results: Rough calculation of the prevalence of obesity in adults aged 18 years and over
in ASEAN countries namely; Indonesia 28%, Cambodia 6.9%, Laos 42.8%, Malaysia 13.3%,
Myanmar 11.5%, Singapore 60.5%, Thailand 12.7%, Vietnam 20.2%, Brunei Darussalam
28.2%. And the highest sex in all ASEAN countries is women. Conclusion: Obesity is a
health problem in Southeast Asia which can be seen from the increasing prevalence of
obesity from year to year in Southeast Asia. In general, the factors that can cause obesity are,
sex, age level of education, physical activity, marital status, history of obesity during
childhood, genetics, stress, alcohol consumption and smoking habits, consumption patterns,
residence, economic status, habits sleep, culture, social media, and friend influence.

Keywords: Obesity, adults, Southeast Asia


I. PENDAHULUAN

Penyakit tidak menular/ Non-communicable diseases (NCD) merupakan masalah yang


mengancam kesehatan secara global dan pembangunan negara. Pertumbuhan zaman yang
modern dan harapan hidup yang meningkat dapat memicu peningkatan beban penyakit tidak
menular yang berhubungan dengan life style. Epidemi obesitas adalah salah satu dari
pertumbuhan kesehatan masyarakat kekhawatiran di seluruh dunia. Prevalensi obesitas
diseluruh dunia hampir tiga kali lipat dalam 4 dekade terakhir. Hasil dari,obesitas telah
menjadi epidemi global yang masih terus diproyeksikan menjadi masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia dan itu menjadi masalah serius di negara-negara berkembang
dan meningkat di negara maju (Kesehatan Dunia Organisasi, 2018). Konsultasi Ahli
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Obesitas memberikan peringatan tentang
prevalensi obesitas di negara-negara berkembang. Laporan WHO sebelumnya tentang Diet,
Nutrisi, dan Pencegahan Penyakit Kronis menyebutkan obesitas sebagai faktor risiko utama
untuk semua penyakit tidak menular [34]
Zaher Khazaei, et al (2020) mengatakan, Indeks massa tubuh dihitung dari tinggi yang
dilaporkan sendiri dan berat (kg / m²). Kategori BMI dihitung sesuai dengan pedoman
Organisasi Kesehatan Dunia: underweight (<18,5 kg / m²), berat normal (18,5–24,9 kg / m²),
kelebihan berat badan(25–29,9 kg / m²) dan obesitas (≥ 30 kg / m²).[1] Obesitas dipastikan
mengarah pada masalah kesehatan termasuk hipertensi, diabetes melitus dan terutama
penyakit Arteriosklerosis. Arteriosklerosis dapat timbul sebagai penyakit arteri koroner,
kecelakaan serebrovaskular dan penyakit arteri perifer. Pada kebanyakan kasus,
Arteriosklerosis merupakan hasil dari obesitas, terutama dari komplikasi diabetes mellitus.
Apalagi obesitas bisa menyebabkan Arteriosklerosis dari komponen multifaktorial yang
terkait dengan sindrom metabolic [25]

Pola makan dan asupan makanan yang dikonsumsi merupakan salah satu faktor utama yang
dapat menimbulkan obesitas. Pola makan yang tepat tidak terlepas dari pengeluaran biaya
yang besar (sumber dana). Ada harga ada pula kualitas, artinya semakin terjamin kebersihan
dan kesehatan suatu makanan, semakin tinggi pula harga atau biaya untuk memperoleh
makanan tersebut begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, di negara-negara miskin dan
berkembang, masyarakat lebih cenderung mengkonsumsi makanan murah. Hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor salah satu kemungkinannya adalah kebutuhan makanan
dalam jumlah banyak namun tidak sesuai dengan sumber dana penghasilan atau pendapatan
yang dimiliki. Menurut penelitian Wan et al (2019) dalam penelitiannya yang berjudul
Analysis of Obesity among Malaysian University Students: A Combination Study with the
Application of Bayesian Structural Equation Modelling and Pearson Correlation menyatakan
bahwa Sumber dana memiliki dampak tertinggi pada asupan makanan yang tidak sehat dan
dampak terendah pada asupan makanan sehat.[21]

Obesitas tidak saja dipicu oleh pola makan yang buruk, tetapi dapat juga disebabkan oleh
berkurang atau menurunnya aktivitas fisik. Berbagai aktivitas kerja dan rekreasi yang bersifat
monoton atau minim pergerakan tubuh dapat pula menjadi pemicu terjadinya obesitas.
Sebagai contoh, salah satu aktivitas rekreasi yang pling populer dan sederhana hingga saat ini
adalah menonton televisi. Dapat diketahui bahwa televisi merupakan salah satu sarana
rekreasi yang wajib tersedia di setiap rumah tangga pada masa kini. Menonton televisi dalam
waktu yang lama dapat dinikmati dengan posisi duduk santai dan menghabiskan waktu
hingga beberapa jam. Dalam penelitian Gupta et al (2019) dalam penelitiannya yang berjudul
Frequency of television viewing and association with overweight and obesity among women
of the reproductive age group in Myanmar: results from a nationwide cross-sectional survey
menyatakan bahwa prevalensi kelebihan berat badan adalah 26,5% dan obesitas adalah
12,2% di antara peserta penelitian. Kemungkinan kelebihan berat badan dan obesitas pada
peserta penelitian adalah 20% lebih tinggi pada peserta yang menonton televisi setidaknya
seminggu sekali dibandingkan dengan peserta yang tidak menonton televisi sama sekali.
Wanita pedesaan yang menonton televisi setidaknya seminggu sekali, 1,2 kali beresiko
mengalami obesitas dibandingkan dengan peserta yang tidak menonton televisi sama sekali .
[17]. Dengan demikian, tujuan dari systematic riew ini adalah secara sistematis meninjau dan
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi obesitas pada orang dewasa di Asia
Tenggara. Tinjauan systematic riew ini mengikuti pelaporan pilihan untuk tinjauan pelaporan
sistematis dan meta-analisis (PRISMA) karena pelaporan tinjauan sistematis yang transparan
dan lengkap.

II. METODE

Strategi Pencarian

Dalam melakukan strategi pencarian dilakukan sesuai dengan Item Pelaporan Pilihan untuk
Tinjauan Sistematik dan Meta-Analisis (PRISMA) pedoman untuk melakukan tinjauan
sistematis (Moher, Liberati, Tetzlaff, Altman, & Grup PRISMA, 2009). Pencarian sistematis
pertama kali dilakukan dengan menggunakan database berikut: Scopus, PubMed, CINAHL /
EBSCO, Science Direct, Springer Link, Cambridge menggunakan strategi pencarian yang
dijelaskan dalam gambar 1. Studi yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris dari 5 tahun
terakhir (Januari 2015 hingga Januari) 2020) dimasukkan. Pencarian dilakukan pada bulan
Desember 2019, untuk memastikan bahwa setiap artikel yang diterbitkan setelah pencarian
awal dimasukkan. Judul subjek medis yang sesuai (MeSH) digunakan bersama dengan
pencarian dan frasa kata teks. Kata kunci dengan operator Boolean yang dicari di setiap basis
data meliputi (Obesitas) ATAU (Body Weight) ATAU (Body Mass Index ≥30) DAN
(Adolenscent) ATAU (Teenager) ATAU (Adults) DAN (Obesity in Asia Tenggara) OR
(Obesity in Indonesia) OR (Obesity in Cambodia) OR (Obesity in Laos) OR (Obesity in
Malaysia) OR (Obesity in Myanmar) OR (Obesity in Singapura) OR (Obesity in Thailand)
OR (Obesity in Vietnam) OR (Obesity in Bruneai Darussalam).

Strategi pencarian literatur dengan mamasukkan kata kunci Obesity adults didapatkan 647
artikel yang terdiri dari: scopus = 60 artikel, ProQuest = 210 artikel, Sage Jurnal = 6 jurnal,
Science Direct = 255 artikel, Cambriage = 38 artikel dan Springer link= 78 artikel, kemudian
dipilah -pilah sesuai dengan kreteria inklusi sehingga yang memenuhi sebnyak 10 artikel
untuk ulasan ini. 10 artikel ini dinilai untukkualitas,ekstraksi data dan sintesis.

Kriteria Inklusi

Kami memasukkan semua studi bahasa Inggris yang mempertimbangkan obesitas pada orang
dewasa di Asia Tenggara yang diterbitkan antara Januari 2015 dan Januari 2020. Ulasan ini
mencakup penelitian asli (eksperimental, non eksperimental, observasional, dan kualitatif).
Ulasan sistematis tidak termasuk. Studi dianggap memenuhi syarat jika secara eksplisit jika:

1. Ditargetkan pada populasi termasuk pada golongan usia dewasa dengan berusia 18 tahun
ke atas

2. Penelitian ini dilakukan pada orang dewasa yang berada didalam Kawasan Asia Tenggara
yaitu pada negara (Indonesia,Cambodia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand,
Vietnam, dan Bruneai Darussalam) serta memiliki BMI dengan kreteria obesitas (≥ 30
kg / m²).

III. RESULT

Dari hasil literatur Riview yang didapat, bahawa obesitas pada orang dewasa yang
berada di Kawasan Asia Tenggara hasil pravelensi kasar Indonesia 28 %, Cambodia
64,4%, Laos 42,8% Class I or Class II Obesity, Malaysia 13,4%, Myanmar 11.5%,
Singapura 60.5%, Thailand 12.7%, Vietnam 20.2%, Brunei Darussalam 28,2%. Dan
jenis kelamin yang paling tinggi disemua negara ASEAN adalah wanita hal ini
dikarenakan pengeluaran energi pada wanita lebih rendah dari pada pria karena
kurangnya aktifitas fisik. Sehingga penyimpanan lemak cenderung lebih tinggi pada
wanita [30].. Hal ini dapat di liat pada tabel dibawah ini

Tabel 1. Pravelensi Kasar Obesitas Menurut Jenis Kelamin pada orang Dewasa
di ASEAN
Articles (authors, Country Jenis Kelamin
year) yang Obesitas
Male Female

Harbuwono, Dante, Indonesia 16,9% 28,6%


et al, 2018

Zaher Khazaei, et al, Cambodia 2,7% 4,8%


2020

Supa Pengpid, et Laos 17,9% 20,9%


al.,2018

Christopher Pell et Malaysia 11,1% 15,4%


al., 2016

Shekhar Grover et Myanmar 2.6% 8,4%


al., 2018

Low, serena et al., Singapura 8% 92%


2019

Zaher Khazaei, et al, Thailand 7% 12,7%


2020

Tran Quoc Cuong, Vietnam 1,92% 2,53%


et al,. 2019

Sok King Ong et Brunei 36,3% 33%


al., 2016 Darussalam

Selain dipengaruhi factor jenis kelamin ada juga factor yang mempengaruhi obesity yaitu
usia, tingkat pendidikan, aktivitas fisik, status pernikahan, riwayat obesitas saat masa anak-
anak, genetik, stress, konsumsi alkohol dan kebiasaan merokok, pola konsumsi, tempat
tinggal, status ekonomi, kebiasaan tidur, budaya, media sosial, dan pengaruh teman.

IV. DISCUSSION

Obesitas merupakan kenaikan berat badan terjadi jika asupan energi melebihi dari keluaran
energi selama jangka waktu tertentu. Pada masyarakat modern, baik asupan maupun keluaran
energi bergantung berbagai beberapa factor.

1. Jenis Kelamin

Risiko obesitas tampaknya lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria. Estrogen
yang merupakan hormon utama wanita menjadi faktor penting dalam menjaga berat
badan ideal. Interaksi antara hormon estrogen, leptin, dan tiroid mengatur pengeluaran
energi. Pengeluaran energi pada wanita lebih rendah dari pada pria karena kurangnya
aktifitas fisik. Sehingga penyimpanan lemak cenderung lebih tinggi pada wanita [30].
Satu studi kasus kontrol yang melibatkan 542 wanita postmenopause berusia 40-75
tahun menemukan bahwa, gaya hidup kurang gerak dapat dikaitkan dengan
berkurangnya metabolisme estrogen dalam tubuh6. Hasil penelitian Nurwanti (2018)
menunjukkan durasi rata-rata perilaku kurang gerak pada pria dan wanita masing-
masing adalah 3,68-3,79 jam/hari dan 3,90-3,97 jam/hari. Durasi rata-rata perilaku
kurang gerak pada wanita lebih lama dari lakilaki. Makin lama durasi rata-rata perilaku
kurang gerak seseorang, makin sedikit aktifitas fisik yang dapat dilakukan, sehingga
makin tinggi risiko terjadinya obesitas[30].

2. Usia

Secara umum, obesitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Penelitian yang
dilakukan oleh Sidik dan Rampal (2009), menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara usia dengan prevalensi obesitas. Dalam penelitiannya disebutkan, seseorang
dengan usia 50–59 tahun memiliki prevalensi obesitas yang tinggi (58.2%)
dibandingkan dengan orang berusia 20–49 tahun (45.6%) [5]. Hal ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hong et al (2018) yang menyebutkan bahwa diantara
kelompok usia yang memiliki angka obesitas lebih tinggi adalah 30–49 tahun (sekitar
50%). Sedangkan kelompok usia 18–29 tahun memiliki berat badan dan BMI di bawah
batas normal (20.2%) [23]. Usia berpengaruh terhadap peningkatan berat badan
khususnya pada wanita. Karena semakin bertambahnya usia, hormon estrogen makin
menurun. Penurunan estrogen mempengaruhi aktifitas fisik yang berdampak pada
risiko obesitas6. Proporsi obesitas pada orang dewasa tertinggi terjadi pada wanita
paruh baya, terutama mereka yang berusia 41-45 tahun. Proporsi ini dua kali lipat lebih
besar dari laki-laki dengan usia yang sama.

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan berhubungan dengan terjadinya obesitas. Namun tidak selamanya


tingginya tingkatan pendidikan selaras dengan perilaku gaya hidup sehat yang baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Yun et al (2018) menunjukkan hasil bahwa responden
yang memiliki pola makan yang buruk dimana sering memakan camilan dan kurangnya
beraktifitas fisik adalah mereka yang justru memiliki pengetahuan yang baik mengenai
pola makan ideal dan nutrisi seimbang10

4. Aktivitas Fisik

Seringkali obesitas dihubungkan dengan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang kurang
dapat mempengaruhi terjadinya obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Shi et al
(2014) menunjukkan hasil bahwa aktivitas fisik memiliki hubungan yang signifikan
dengan obesitas. Kurangnya melakukan aktivitas fisik atau berolahraga selama hari
aktif, berdampak pada terjadinya obesitas 11. Menurut Barasi (2009) kemajuan
teknologi menyebabkan berkurangnya kebutuhan untuk menggunakan tenaga otot
manusia dalam melaksanakan tugas manual yang memerlukan banyak energi. Saat ini
semakin sedikit jenis pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai pekerjaan manual
berat. Bahkan tugas yang tidak terlalu menuntut kekuatan fisik pun telah diperingan
oleh penggunaan robot dan teknologi komputer12. Dari segi transportasi, semakin
banyak orang menggunakan mobil dari pada berjalan kaki atau bersepeda. Selain itu
tersebar luasnya sarana hiburan elektronik di setiap rumah mengurangi aktifitas hiburan
di luar rumah.

5. Status Pernikahan

Melalui penelitian Pujilestari (2017), ditemukan bahwa status pernikahan memiliki


hubungan yang signifikan terhadap prevalensi obesitas pada orang dewasa. Seseorang
yang telah memiliki pasangan cenderung terjadi obesitas (33.1%) dibandingkan yang
sendiri. Terdapat penjelasan pada hubungan antara status pernikahan dengan obesitas.
Orang yang belum menikah cenderung selektif dalam memilih makanan untuk tetap
menjaga penampilannya. Lain halnya dengan orang telah menikah. Mereka tidak lagi
memperhatikan asupan makanan akibat telah menemukan pasangan, sehingga
penampilan tidak lagi menjadi prioritas utama. Hal ini yang umum terjadi pada tatanan
sosial. Selain itu, dalam rumah tangga juga diperhatikan kekayaan pangannya. Macam
dan rupa pangan yang dikonsumsi oleh pasangan yang telah menikah beraneka ragam.
Ini yang disebut dengan social obligation atau kewajiban sosial, yaitu kebutuhan
pangan seseorang akan terpenuhi secara baik jika telah memiliki pasangan hidup14.

6. Riwayat obesitas saat masa anak-anak,

Seseorang yang pernah obesitas pada masa anak-anak cenderung akan mengalami
obesitas pada saat dewasa. Terdapat banyak faktor yang dapat menjadi penyebab,
namun dapat dikatakan secara jelas bahwa anak laki-laki yang menderita obesitas tidak
akan bisa tumbuh menjadi pria dewasa yang memiliki berat badan normal kecuali ada
intervensi yang dilakukan dalam tepat waktu. Pola makan yang telah terbentuk dan
susah untuk diubah menjadi salah satu faktor penyebab. Susahnya mengembalikan
berat badan menjadi ideal saat sudah obesitas juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya obesitas saat dewasa apabila tidak dilakukan intervensi tepat waktu saat pada
masa anak-anak mengalami obesitas. Penelitian yang dilakukan Shi et al (2014)
menunjukkan bahwa riwayat obesitas pada masa anak-anak saat berumur antara 5
sampai 12 tahun berhubungan secara signifikan dengan prevalensi obesitas saat dewasa
(32.4%) dibandingkan yang pada masa kecil memiliki berat badan normal (20.2%)11.

7. Genetik

Faktor genetik berhubungan dengan pertambahan berat badan, IMT, dan lingkar
pinggang. Jika ayah atau ibu menderita kelebihan berat badan maka kemungkinan
anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40-50%. Apabila kedua orang tua
menderita obesitas kemungkinan anaknya menjadi obesitas sebesar 70-80% 15.
Kerentanan seseorang dalam menderita obesitas salah satunya dapat dilihat dari jenis
genotipe yang dimiliki16. Penelitian yang dilakukan oleh Daya et al (2019)
menunjukkan bahwa individu dengan genotipe AT / AA berisiko 3,72 kali lebih besar
mengalami obesitas dan 5,98 kali lebih besar dalam asupan lemak makanan
dibandingkan dengan individu yang memiliki genotipe TT. Responden obesitas yang
memiliki genotipe AT / AA memiliki asupan lemak makanan 1,40 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang memiliki genotipe TT. Temuan ini menunjukkan
bahwa orang dewasa di Indonesia dengan genotipe AT / AA FTO rs9939609 memiliki
risiko obesitas yang lebih tinggi dan preferensi untuk asupan lemak makanan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki genotipe TT17. Pada sebagian
besar kasus obesitas, peningkatan pesat dalam insidensi obesitas di dalam populasi
yang stabil secara genetik menyiratkan bahwa faktor eksternal berperan lebih besar.

8. Stress

Stress merupakan faktor penting lain yang ditemukan memiliki hubungan positif
terhadap kejadian obesitas. Stress dapat didefinisikan sebagai emosi negatif dari segi
psikologi, perilaku, bahkan perubahan biokimia pada seseorang. Stress pada seseorang
ada kaitannya dengan kebiasaan pola makan. Seseorang yang mengalami stress
cenderung memiliki pola makan yang buruk. Mereka lebih memilih untuk banyak
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dengan porsi lebih besar. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Widiantini (2014), stres berhubungan bermakna dengan obesitas
(nilai p = 0,003). Stres dapat mendukung kejadian obesitas yang disebabkan oleh
perilaku dan metabolisme. Penelitian di Kanada, menemukan hubungan yang signifikan
antara obesitas dengan pekerjaan yang mempunyai tekanan atau stres tinggi. Hal
tersebut merupakan hasil dari keadaan biologis dan perilaku individu yang mengalami
stres kerja. Obesitas pekerja dapat disebabkan oleh tekanan pekerjaan yang tinggi dan
mereka tidak dapat menahan pikiran yang dihasilkan dari stres kerja. Stres dapat
mendukung obesitas yang disebabkan perilaku dan metabolisme dan merupakan
dampak lingkungan psikososial yang merugikan18.

9. Pola Konsumsi

Pola konsumsi berhubungan dengan obesitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan


oleh Wan et al (2019) bahwa asupan makanan yang tidak sehat (makanan cepat saji dan
minuman ringan) menunjukkan kontribusinya terhadap masalah obesitas untuk
mahasiswa di Malaysia. Peningkatan konsumsi makanan olahan yang mudah
dikonsumsi (makan siap saji), berdensitas energi lebih tinggi dari pada makanan
rumahan, sehingga menyebabkan overkonsumsi energi secara pasif2. Menurut Shi et al
(2014) bahwa makanan yang dimasak sendiri di rumah lebih sehat dan proporsional
dari pada beli di luar rumah11. Worsley et al (2017) juga mengemukakan pendapatnya
bahwa konsumsi gula yang berlebihan, makan dengan porsi besar, dan konsumsi
makanan cepat saji menyebabkan terjadinya obesitas19. Menurut Nurwanti et al (2018)
dalam penelitiannya, bahwa satu sendok gula tambahan yang dikonsumsi setiap hari
meningkatkan risiko obesitas sekitar 14%7. Pola konsumsi masyarakat juga mengalami
pergeseran, dari makan secara teratur menjadi pola makan yang kurang terstruktur,
yang lebih menyukai konsumsikudapan, produk makanan siap saji, dan minuman
ringan dari pada makan sampai kenyang dengan selang waktu yang lebih panjang.
Makanan yang dikonsumsi cenderung kaya lemak dan karbohidrat dengan indeks
glikemik tinggi, serta kurang mengandung sumber karbohidrat yang lambat diserap dan
kurang mikronutrien. Akibat kebiasaan ini, mekanisme pengendalian nafsu makan
menjadi kurang efektif13.

10. kebiasaan merokok dan konsumsi alcohol

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shi et al (2014) bahwa mengkonsumsi


alkohol dan merokok setiap hari berhubungan positif dengan obesitas pada responden
laki-laki dewasa di Singapura. Responden yang mengkonsumsi alkohol berisiko 2,26
kali lebih besar mengalami obesitas dari yang tidak mengkonsumsi alkohol. Responden
yang merokok setiap hari berisiko 1,73 kali lebih besar mengalami obesitas dari yang
tidak merokok11. Paparan asap rokok terbukti dapat meningkatkan resisten insulin dan
berhubungan dengan akumulasi lemak pusat20. Peminum alkohol mendapatkan
tambahan asupan kalori yang berasal dari alkohol dan gula yang terkandung dalam
minuman tersebut. Alkohol dapat meningkatkan kadar trigliserida dalam tubuh.
Akumulasi trigliserida di hati dan di otot akan mengakibatkan terjadinya resistensi
insulin dan pengeluaran hormon adipokin yang berperan penting dalam keseimbangan
energi dan metabolisme. Asupan glukosa berlebihan dan pengeluaran energi yang tidak
seiimbang dapat menimbulkan terjadinya keseimbangan energi positif, yaitu kelebihan
energi ini disimpan dalam bentuk lemak di dalam tubuh sehingga terjadi akumulasi
lemak berlebihan di jaringan adiposa abdominal dan dapat dilihat sebagai obesitas
sentral21.

11. Tempat Tinggal

Hubungan antara lingkungan tempat tinggal dan obesitas diperkirakan bervariasi antar
negara karena budaya dan lingkungan sosial ekonomi yang berbeda22. Prevalensi
obesitas lebih tinggi pada subyek perkotaan (51%) dibandingkan dengan subyek
pedesaan (23%)23. Perempuan yang tinggal kota cenderung mengalami obesitas dari
pada yang tinggal di desa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al
(2019), bahwa tempat tinggal berhubungan secara signifikan dengan kejadian obesitas
di Myanmar. Dari 27,7% responden yang mengalami obesitas, 17,9% diantaranya
bertempat tinggal di kota. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya hidup dan ketersediaan
pangan yang ada di kota sehingga berpengaruh terhadap asupan makanan yang
berlebihan3,24. Tersedianya lebih banyak pilihan makanan di kota, meningkatkan
hasrat untuk makan menjadi lebih tinggi25. Selain itu, makanan dijual sepanjang hari
(dapat dibeli kapan saja), metode pengawetan semakin canggih sehingga makanan
dapat selalu tersedia, dan banyaknya produk makanan hanya memerlukan sedikit proses
pemasakan sehingga dapat segera dimakan13. Sedangkan di desa, lebih sedikit dalam
memanfaatkan alat transportasi dan alat bantu dalam pekerjaan yang melelahkan
sehingga aktifitas fisik menjadi lebih banyak dan juga konsumsi makanan yang
kurang3.

12. Status Ekonomi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al (2019), bahwa status ekonomi
berhubungan secara signifikan dengan kejadian obesitas di Myanmar. Dari 58,7%
responden yang mengalami obesitas, responden terbanyak (19,2%) berstatus ekonomi
kaya3. Menurut Pujilestari (2017), obesitas perut lebih banyak terjadi pada orang-orang
dengan tingkat ekonomi kaya karena pengaruh transisi ekonomi. Transisi ekonomi
menyebabkan terjadinya transisi nutrisi, yaitu dengan mengubah pola makan dari
makanan pokok tradisional sehat menjadi makanan tinggi energi. Orang-orang dengan
tingkat ekonomi kaya lebih memiliki akses dan keterjangkauan yang lebih baik untuk
mendapatkan makanan. Pada saat yang sama, perkembangan ekonomi dan kemajuan
teknologi juga meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat khususnya dengan tingkat
ekonomi kaya. Perkembangan teknologi membuat tugas pekerjaan kurang melelahkan
dan secara fisik kurang menuntut. Peralatan rumah tangga untuk melakukan tugas
rumah tangga sekarang banyak tersedia dan terjangkau. Meningkatnya penggunaan
transportasi pribadi juga menyebabkan pengeluaran energi lebih sedikit selama
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Rendahnya aktivitas fisik dikombinasikan
dengan pergeseran pola konsumsi dalam makanan telah diidentifikasi sebagai
kontributor utama untuk obesitas14.

13. Kebiasaan Tidur


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wan et al (2019) bahwa durasi tidur
menunjukkan kontribusinya terhadap masalah obesitas untuk mahasiswa master di
Malaysia2. Menurut penelitian Shi et al (2014), ada hubungan antara jam tidur dengan
obesitas. Responden yang tidur kurang dari 6 jam per hari berisiko 3,73 kali lebih besar
mengalami obesitas dari yang tidur 8 jam per hari. Hal ini didasari oleh peningkatan
nafsu makan melalui perubahan kadar serum leptin dan grehlin yang menjadi regulator
rasa lapar11. Menurut Pratiwi (2017) berkurangnya waktu tidur dapat meningkatkan
hormon ghrelin yang menjadi promotor rasa lapar. Peningkatan hormon ghrelin akan
dibarengi dengan penurunan kadar hormon leptin, dimana hormon leptin diketahui
menjadi hormon yang berpengaruh pada timbulnya rasa kenyang. Dengan adanya
peningkatan hormon ghrelin pada individu dengan durasi tidur singkat, maka akan
terjadi peningkatan nafsu makan26. Waktu tidur yang kurang dapat menyebabkan
peningkatan produksi hormon kortisol dan peningkatan sekresi insulin. Salah satu
fungsi dasar insulin adalah menghambat terjadinya lipolisis pada sel adiposa. Jika
jumlah hormon insulin dalam tubuh meningkat, maka pemecahan sel lemak menjadi
semakin terhambat dan dapat meningkatkan profil lipid dalam tubuh. Selain
menghambat lipolisis, hormon insulin juga dapat menjadi promotor penyimpanan
trigliserida dengan menurunkan transkripsi lipase trigliserida dalam jaringan adiposa.
Mekanisme ini dapat meningkatkan lemak tubuh dan menyebabkan obesitas27.

14. Budaya

Pada elemen masyarakat tertentu beberapa pemikiran bahwa memiliki tubuh yang
terlihat gemuk adalah bukti kesejahteraan keluarga dan hal demikian sudah menjadi
budaya setempat. Tidak luput pula rasa percaya masyarakat akan takhayul-takhayul
mengenai makanan yang harus dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi pada pada
situasi dan kondisi tertentu tanpa memperhatikan kadar gizi dan kebutuhan kalori
seseorang28. Salah satu budaya yang dapat menumbuhkan obesitas adalah budaya siri
pada Suku Bugis. Salah satu aturan adat yang berlaku dalam budaya siri adalah
kesetaraan yang membatasi aktivitas dalam keluarga, terutama perempuan dalam rumah
tangga. Sehingga sangat rentan terjadinya penimbunan lemak dalam tubuh atau
terjadinya obesitas. Berdasarkan penelitian Herman (2013), menyatakan bahwa dari 18
responden perempuan dengan obesitas, diperoleh 7 responden yang menjunjung
budaya siri, 5 responden yang tidak menjunjung budaya siri dan 6 resonden yang tidak
ditanyakan oleh peneliti.
15. Media Sosial

Maraknya iklan-iklan atau promosi makanan yang beredar baik melalui media gambar,
elektronik maupun digital yang didukung dengan tersedianya berbagai jenis makanan,
meningkatkan daya beli dan hasrat konsumsi masyakat. Hal ini seringkali dibarengi
dengan gaya hidup masyarakat saat ini9. Terutama dalam hal aktifitas fisik dimana
aktifitas fisik telah tergantikan oleh kebiasaan mengakses media sosial dalam posisi
santai, serta didukung dengan penelitian Radzi et al (2019), yang menunjukkan bahwa
asupan makanan yang tidak sehat (makanan cepat saji dan minuman ringan),
penggunaan media sosial dan stres menunjukkan kontribusi bobot tertinggi masalah
kelebihan berat badan dan obesitas untuk mahasiswa Malaysia2.

16. pengaruh teman

Terjadinya perubahan pola makan dan aktifitas fisik pada orang dewasa tidak terlepas
dari pergaulan atau hubungan sosial. Baik pola makan maupun gaya hidup seseorang
akan dengan sangat mudah berubah untuk mempertahankan hubungan dan relasi sosial.
Hal ini didukung oleh penelitian dari Bruening,, 2018 menyatakan bahwa pola asupan
makanan dapat juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh anggota
kelompok teman sebaya.

V. CONCLUSION

Obesitas menjadi masalah kesehatan di Asia Tenggara yang dapat dilihat dari peningkatan
prevalensi obesitas dari tahun ke tahun pada beberapa negara di Asia Tenggara. Secara umum
faktor yang dapat menyebabkan obesitas yakni usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
aktivitas fisik, status pernikahan, riwayat obesitas saat masa anak-anak, genetik, stress,
kebiasaan merokok, pola konsumsi, konsumsi alkohol, tempat tinggal, status ekonomi,
kebiasaan tidur, budaya, media sosial, dan pengaruh teman. Upaya pencegahan lalu dapat
dilakukan dengan pemberian sosialisasi mengenai pentingnya aktivitas fisik sebagai upaya
pencegahan terjadinya obesitas.
REFERENSI

[1] S. Low et al., “The prevalence of sarcopenic obesity and its association with cognitive
performance in type 2 diabetes in Singapore,” Clin. Nutr., no. xxxx, pp. 1–8, 2019.

[2] C. Y. Tok, S. R. Ahmad, and D. S. Q. Koh, “Dietary habits and lifestyle practices
among university students in universiti Brunei Darussalam,” Malaysian J. Med. Sci.,
vol. 25, no. 3, pp. 56–66, 2018.
[3] H. M. Rd and Y. Tokuda, “Differences and overlap between sarcopenia and physical
frailty in older community-dwelling Japanese,” vol. 28, no. June 2018, pp. 157–165,
2019.

[4] W. Widiantini and Z. Tafal, “Aktivitas Fisik, Stres, dan Obesitas pada Pegawai Negeri
Sipil,” Kesmas Natl. Public Heal. J., no. 4, p. 325, 2014.

[5] S. Sidik and L. Rampal, “The prevalence and factors associated with obesity among
adult women in Selangor, Malaysia,” Asia Pac. Fam. Med., vol. 8, no. 1, p. 2, 2009.

[6] S. Oktavianthi et al., “Uncoupling protein 2 gene polymorphisms are associated with
obesity.,” Cardiovasc. Diabetol., vol. 11, no. 1, p. 1, 2012.

[7] D. S. Harbuwono, L. A. Pramono, E. Yunir, and I. Subekti, “Obesity and central


obesity in indonesia: Evidence from a national health survey,” Med. J. Indones., vol.
27, no. 2, pp. 53–59, 2018.

[8] A. A. Pratiwi, “Hubungan Konsumsi Camilan dan Durasi Waktu Tidur dengan
Obesitas di Permukiman Padat Kelurahan Simolawang, Surabaya Relation between
Snacking and Sleep Duration with Obesity at Slum Area Simolawang Sub-District,
Surabaya,” AzizaH Ajeng Pratiwi dan Triska Susila Nindya, pp. 153–161, 2017.

[9] C. U. Pujilestari, L. Nyström, M. Norberg, L. Weinehall, M. Hakimi, and N. Ng,


“Socioeconomic inequality in abdominal obesity among older people in Purworejo
District, Central Java, Indonesia-A decomposition analysis approach,” Int. J. Equity
Health, vol. 16, no. 1, pp. 1–11, 2017.

[10] F. Witjaksono et al., “The effect of breakfast with different macronutrient composition
on PYY, ghrelin, and ad libitum intake 4 h after breakfast in Indonesian obese women
NCT03697486 NCT,” BMC Res. Notes, vol. 11, no. 1, pp. 3–7, 2018.

[11] N. Puspitasari, “Kejadian Obesitas Sentral pada Usia Dewasa,” HIGEIA (Journal
Public Heal. Res. Dev., vol. 2, no. 2, pp. 249–259, 2018.

[12] W. Kurdanti et al., “Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja,”
J. Gizi Klin. Indones., vol. 11, no. 4, p. 179, 2015.

[13] I. K. Sudiana, I. W. G. A. E. Putra, and P. P. Januraga, “Konsumsi Tuak Meningkatkan


Risiko Obesitas Sentral pada Pria Dewasa di Karangasem, Bali,” Public Heal. Prev.
Med. Arch., vol. 4, no. 2, p. 107, 2016.

[14] Z. M. Shariff and G. L. Khor, “Obesity and household food insecurity: Evidence from
a sample of rural households in Malaysia,” Eur. J. Clin. Nutr., vol. 59, no. 9, pp. 1049–
1058, 2005.

[15] S. K. Ong et al., “Cross-sectional STEPwise Approach to Surveillance (STEPS)


Population Survey of Noncommunicable Diseases (NCDs) and Risk Factors in Brunei
Darussalam 2016,” Asia-Pacific J. Public Heal., vol. 29, no. 8, pp. 635–648, 2017.
[16] C. Angkurawaranon, W. Jiraporncharoen, B. Chenthanakij, P. Doyle, and D. Nitsch,
“Urban environments and obesity in southeast asia: A systematic review, meta-
analysis and Meta-regression,” PLoS One, vol. 9, no. 11, pp. 1–19, 2014.

[17] R. Das Gupta, I. H. Sajal, M. Hasan, I. Sutradhar, M. R. Haider, and M. Sarker,


“Frequency of television viewing and association with overweight and obesity among
women of the reproductive age group in Myanmar: Results from a nationwide cross-
sectional survey,” BMJ Open, vol. 9, no. 3, pp. 1–8, 2019.

[18] M. Daya et al., “Obesity risk and preference for high dietary fat intake are determined
by FTO rs9939609 gene polymorphism in selected Indonesian adults,” Asia Pac. J.
Clin. Nutr., vol. 28, no. 1, pp. 183–191, 2019.

[19] S. Grover, D. N. Sinha, S. Gupta, P. C. Gupta, and R. Mehrotra, “The changing face of
risk factors for non-communicable disease in Myanmar: Findings from the 2009 and
2014 WHO STEP Surveys,” J. Public Heal. (United Kingdom), vol. 41, no. 4, pp.
750–756, 2019.

[20] P. Hatthachote, R. Rangsin, M. Mungthin, and B. Sakboonyarat, “Trends in the


prevalence of obesity among young Thai men and associated factors: From 2009 to
2016,” Mil. Med. Res., vol. 6, no. 1, pp. 1–8, 2019.

[21] C. W. J. M. Radzi, H. S. Jenatabadi, A. R. A. Alanzi, M. I. Mokhtar, M. Z. Mamat, and


N. A. Abdullah, “Analysis of obesity among malaysian university students: A
combination study with the application of Bayesian structural equation modelling and
pearson correlation,” Int. J. Environ. Res. Public Health, vol. 16, no. 3, 2019.

[22] T. Q. Cuong et al., “Associated factors of hypertension in women and men in vietnam:
A cross-sectional study,” Int. J. Environ. Res. Public Health, vol. 16, no. 23, pp. 1–14,
2019.

[23] S. A. Hong, K. Peltzer, K. T. Lwin, and L. S. Aung, “The prevalence of underweight,


overweight and obesity and their related socio-demographic and lifestyle factors
among adult women in Myanmar, 2015-16,” PLoS One, vol. 13, no. 3, p. e0194454,
2018.

[24] G. P. Abris, S. M. P. Provido, S. Hong, S. H. Yu, C. B. Lee, and J. E. Lee,


“Association between dietary diversity and obesity in the Filipino Women’s Diet and
Health Study (FiLWHEL): A cross-sectional study,” PLoS One, vol. 13, no. 11, pp. 1–
16, 2018.

[25] Z. Khazaei, M. Sohrabivafa, I. Darvishi, H. Naemi, and E. Goodarzi, “Relation


between obesity prevalence and the human development index and its components: an
updated study on the Asian population,” J. Public Heal., 2020.

[26] H. N. E. Surniyantoro, A. H. Sadewa, and P. Hastuti, “Uncoupling Protein 2 (UCP2)


as Genetic Risk Factor for Obesity in Indonesia is Different in Gender Stratification,”
Kobe J. Med. Sci., vol. 64, no. 2, pp. E64–E72, 2018.
[27] C. Pell et al., “Coming of age, becoming obese: A cross-sectional analysis of obesity
among adolescents and young adults in Malaysia,” BMC Public Health, vol. 16, no. 1,
pp. 1–11, 2016.

[28] V. Carr, R. M., Oranu, A., & Khungar, “乳鼠心肌提取 HHS Public Access,” Physiol.
Behav., vol. 176, no. 1, pp. 139–148, 2016.

[29] A. Worsley, W. Wang, R. Sarmugam, Q. Pham, J. Februhartanty, and S. Ridley,


“Family food providers’ perceptions of the causes of obesity and effectiveness of
weight control strategies in five countries in the Asia Pacific region: A cross-sectional
survey,” Nutrients, vol. 9, no. 1, 2017.

[30] E. Nurwanti et al., “Roles of sedentary behaviors and unhealthy foods in increasing the
obesity risk in adult men and women: A cross-sectional national study,” Nutrients, vol.
10, no. 6, 2018.

[31] S. Pengpid, M. Vonglokham, S. Kounnavong, V. Sychareun, and K. Peltzer, “The


prevalence of underweight and overweight/obesity and its correlates among adults in
Laos: a cross-sectional national population-based survey, 2013,” Eat. Weight Disord.,
vol. 0, no. 0, p. 0, 2018.

[32] K. Peltzer and S. Pengpid, “The Association of Dietary Behaviors and Physical
Activity Levels with General and Central Obesity among ASEAN University
Students,” AIMS Public Heal., vol. 4, no. 3, pp. 301–303, 2017.

[33] A. S. Htet et al., “Urban-rural differences in the prevalence of non-communicable


diseases risk factors among 25-74 years old citizens in Yangon Region, Myanmar: A
cross sectional study,” BMC Public Health, vol. 16, no. 1, pp. 1–12, 2016.

[34] World Health Organization,O.a.O.World Health Organization,Geneva, Switzerland, 2018.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs311/en/

You might also like