Professional Documents
Culture Documents
Abtrak 1
Abtrak 1
Abstrakt
Background: Obesity is defined as an abnormal condition with having excess fat making it a
risk to health. The risk of diseases caused by obesity such as type 2 diabetes for adolescents,
coronary heart disease, stroke, myocardial infarction, cancer, and even failure to breathe
normally while sleeping. The purpose of this research literature is to find factors that are
strongly associated with obesity in adults in Southeast Asia. Methods: (1) Identify various
Pubmed, Scopus, Science direct, Proquest, and ProQuest Dissertations database search
articles (2) "Obesity" and "Adult" keyword searches, "East Asian" articles according to
inclusion criteria, (3) Inclusion Criteria are 5-year journal limit (2015-2020), document type
article, English language, journal that discusses obtaining literature in the form of complete
text. Results: Rough calculation of the prevalence of obesity in adults aged 18 years and over
in ASEAN countries namely; Indonesia 28%, Cambodia 6.9%, Laos 42.8%, Malaysia 13.3%,
Myanmar 11.5%, Singapore 60.5%, Thailand 12.7%, Vietnam 20.2%, Brunei Darussalam
28.2%. And the highest sex in all ASEAN countries is women. Conclusion: Obesity is a
health problem in Southeast Asia which can be seen from the increasing prevalence of
obesity from year to year in Southeast Asia. In general, the factors that can cause obesity are,
sex, age level of education, physical activity, marital status, history of obesity during
childhood, genetics, stress, alcohol consumption and smoking habits, consumption patterns,
residence, economic status, habits sleep, culture, social media, and friend influence.
Pola makan dan asupan makanan yang dikonsumsi merupakan salah satu faktor utama yang
dapat menimbulkan obesitas. Pola makan yang tepat tidak terlepas dari pengeluaran biaya
yang besar (sumber dana). Ada harga ada pula kualitas, artinya semakin terjamin kebersihan
dan kesehatan suatu makanan, semakin tinggi pula harga atau biaya untuk memperoleh
makanan tersebut begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, di negara-negara miskin dan
berkembang, masyarakat lebih cenderung mengkonsumsi makanan murah. Hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor salah satu kemungkinannya adalah kebutuhan makanan
dalam jumlah banyak namun tidak sesuai dengan sumber dana penghasilan atau pendapatan
yang dimiliki. Menurut penelitian Wan et al (2019) dalam penelitiannya yang berjudul
Analysis of Obesity among Malaysian University Students: A Combination Study with the
Application of Bayesian Structural Equation Modelling and Pearson Correlation menyatakan
bahwa Sumber dana memiliki dampak tertinggi pada asupan makanan yang tidak sehat dan
dampak terendah pada asupan makanan sehat.[21]
Obesitas tidak saja dipicu oleh pola makan yang buruk, tetapi dapat juga disebabkan oleh
berkurang atau menurunnya aktivitas fisik. Berbagai aktivitas kerja dan rekreasi yang bersifat
monoton atau minim pergerakan tubuh dapat pula menjadi pemicu terjadinya obesitas.
Sebagai contoh, salah satu aktivitas rekreasi yang pling populer dan sederhana hingga saat ini
adalah menonton televisi. Dapat diketahui bahwa televisi merupakan salah satu sarana
rekreasi yang wajib tersedia di setiap rumah tangga pada masa kini. Menonton televisi dalam
waktu yang lama dapat dinikmati dengan posisi duduk santai dan menghabiskan waktu
hingga beberapa jam. Dalam penelitian Gupta et al (2019) dalam penelitiannya yang berjudul
Frequency of television viewing and association with overweight and obesity among women
of the reproductive age group in Myanmar: results from a nationwide cross-sectional survey
menyatakan bahwa prevalensi kelebihan berat badan adalah 26,5% dan obesitas adalah
12,2% di antara peserta penelitian. Kemungkinan kelebihan berat badan dan obesitas pada
peserta penelitian adalah 20% lebih tinggi pada peserta yang menonton televisi setidaknya
seminggu sekali dibandingkan dengan peserta yang tidak menonton televisi sama sekali.
Wanita pedesaan yang menonton televisi setidaknya seminggu sekali, 1,2 kali beresiko
mengalami obesitas dibandingkan dengan peserta yang tidak menonton televisi sama sekali .
[17]. Dengan demikian, tujuan dari systematic riew ini adalah secara sistematis meninjau dan
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi obesitas pada orang dewasa di Asia
Tenggara. Tinjauan systematic riew ini mengikuti pelaporan pilihan untuk tinjauan pelaporan
sistematis dan meta-analisis (PRISMA) karena pelaporan tinjauan sistematis yang transparan
dan lengkap.
II. METODE
Strategi Pencarian
Dalam melakukan strategi pencarian dilakukan sesuai dengan Item Pelaporan Pilihan untuk
Tinjauan Sistematik dan Meta-Analisis (PRISMA) pedoman untuk melakukan tinjauan
sistematis (Moher, Liberati, Tetzlaff, Altman, & Grup PRISMA, 2009). Pencarian sistematis
pertama kali dilakukan dengan menggunakan database berikut: Scopus, PubMed, CINAHL /
EBSCO, Science Direct, Springer Link, Cambridge menggunakan strategi pencarian yang
dijelaskan dalam gambar 1. Studi yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris dari 5 tahun
terakhir (Januari 2015 hingga Januari) 2020) dimasukkan. Pencarian dilakukan pada bulan
Desember 2019, untuk memastikan bahwa setiap artikel yang diterbitkan setelah pencarian
awal dimasukkan. Judul subjek medis yang sesuai (MeSH) digunakan bersama dengan
pencarian dan frasa kata teks. Kata kunci dengan operator Boolean yang dicari di setiap basis
data meliputi (Obesitas) ATAU (Body Weight) ATAU (Body Mass Index ≥30) DAN
(Adolenscent) ATAU (Teenager) ATAU (Adults) DAN (Obesity in Asia Tenggara) OR
(Obesity in Indonesia) OR (Obesity in Cambodia) OR (Obesity in Laos) OR (Obesity in
Malaysia) OR (Obesity in Myanmar) OR (Obesity in Singapura) OR (Obesity in Thailand)
OR (Obesity in Vietnam) OR (Obesity in Bruneai Darussalam).
Strategi pencarian literatur dengan mamasukkan kata kunci Obesity adults didapatkan 647
artikel yang terdiri dari: scopus = 60 artikel, ProQuest = 210 artikel, Sage Jurnal = 6 jurnal,
Science Direct = 255 artikel, Cambriage = 38 artikel dan Springer link= 78 artikel, kemudian
dipilah -pilah sesuai dengan kreteria inklusi sehingga yang memenuhi sebnyak 10 artikel
untuk ulasan ini. 10 artikel ini dinilai untukkualitas,ekstraksi data dan sintesis.
Kriteria Inklusi
Kami memasukkan semua studi bahasa Inggris yang mempertimbangkan obesitas pada orang
dewasa di Asia Tenggara yang diterbitkan antara Januari 2015 dan Januari 2020. Ulasan ini
mencakup penelitian asli (eksperimental, non eksperimental, observasional, dan kualitatif).
Ulasan sistematis tidak termasuk. Studi dianggap memenuhi syarat jika secara eksplisit jika:
1. Ditargetkan pada populasi termasuk pada golongan usia dewasa dengan berusia 18 tahun
ke atas
2. Penelitian ini dilakukan pada orang dewasa yang berada didalam Kawasan Asia Tenggara
yaitu pada negara (Indonesia,Cambodia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand,
Vietnam, dan Bruneai Darussalam) serta memiliki BMI dengan kreteria obesitas (≥ 30
kg / m²).
III. RESULT
Dari hasil literatur Riview yang didapat, bahawa obesitas pada orang dewasa yang
berada di Kawasan Asia Tenggara hasil pravelensi kasar Indonesia 28 %, Cambodia
64,4%, Laos 42,8% Class I or Class II Obesity, Malaysia 13,4%, Myanmar 11.5%,
Singapura 60.5%, Thailand 12.7%, Vietnam 20.2%, Brunei Darussalam 28,2%. Dan
jenis kelamin yang paling tinggi disemua negara ASEAN adalah wanita hal ini
dikarenakan pengeluaran energi pada wanita lebih rendah dari pada pria karena
kurangnya aktifitas fisik. Sehingga penyimpanan lemak cenderung lebih tinggi pada
wanita [30].. Hal ini dapat di liat pada tabel dibawah ini
Tabel 1. Pravelensi Kasar Obesitas Menurut Jenis Kelamin pada orang Dewasa
di ASEAN
Articles (authors, Country Jenis Kelamin
year) yang Obesitas
Male Female
Selain dipengaruhi factor jenis kelamin ada juga factor yang mempengaruhi obesity yaitu
usia, tingkat pendidikan, aktivitas fisik, status pernikahan, riwayat obesitas saat masa anak-
anak, genetik, stress, konsumsi alkohol dan kebiasaan merokok, pola konsumsi, tempat
tinggal, status ekonomi, kebiasaan tidur, budaya, media sosial, dan pengaruh teman.
IV. DISCUSSION
Obesitas merupakan kenaikan berat badan terjadi jika asupan energi melebihi dari keluaran
energi selama jangka waktu tertentu. Pada masyarakat modern, baik asupan maupun keluaran
energi bergantung berbagai beberapa factor.
1. Jenis Kelamin
Risiko obesitas tampaknya lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria. Estrogen
yang merupakan hormon utama wanita menjadi faktor penting dalam menjaga berat
badan ideal. Interaksi antara hormon estrogen, leptin, dan tiroid mengatur pengeluaran
energi. Pengeluaran energi pada wanita lebih rendah dari pada pria karena kurangnya
aktifitas fisik. Sehingga penyimpanan lemak cenderung lebih tinggi pada wanita [30].
Satu studi kasus kontrol yang melibatkan 542 wanita postmenopause berusia 40-75
tahun menemukan bahwa, gaya hidup kurang gerak dapat dikaitkan dengan
berkurangnya metabolisme estrogen dalam tubuh6. Hasil penelitian Nurwanti (2018)
menunjukkan durasi rata-rata perilaku kurang gerak pada pria dan wanita masing-
masing adalah 3,68-3,79 jam/hari dan 3,90-3,97 jam/hari. Durasi rata-rata perilaku
kurang gerak pada wanita lebih lama dari lakilaki. Makin lama durasi rata-rata perilaku
kurang gerak seseorang, makin sedikit aktifitas fisik yang dapat dilakukan, sehingga
makin tinggi risiko terjadinya obesitas[30].
2. Usia
Secara umum, obesitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Penelitian yang
dilakukan oleh Sidik dan Rampal (2009), menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara usia dengan prevalensi obesitas. Dalam penelitiannya disebutkan, seseorang
dengan usia 50–59 tahun memiliki prevalensi obesitas yang tinggi (58.2%)
dibandingkan dengan orang berusia 20–49 tahun (45.6%) [5]. Hal ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hong et al (2018) yang menyebutkan bahwa diantara
kelompok usia yang memiliki angka obesitas lebih tinggi adalah 30–49 tahun (sekitar
50%). Sedangkan kelompok usia 18–29 tahun memiliki berat badan dan BMI di bawah
batas normal (20.2%) [23]. Usia berpengaruh terhadap peningkatan berat badan
khususnya pada wanita. Karena semakin bertambahnya usia, hormon estrogen makin
menurun. Penurunan estrogen mempengaruhi aktifitas fisik yang berdampak pada
risiko obesitas6. Proporsi obesitas pada orang dewasa tertinggi terjadi pada wanita
paruh baya, terutama mereka yang berusia 41-45 tahun. Proporsi ini dua kali lipat lebih
besar dari laki-laki dengan usia yang sama.
3. Tingkat Pendidikan
4. Aktivitas Fisik
Seringkali obesitas dihubungkan dengan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang kurang
dapat mempengaruhi terjadinya obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Shi et al
(2014) menunjukkan hasil bahwa aktivitas fisik memiliki hubungan yang signifikan
dengan obesitas. Kurangnya melakukan aktivitas fisik atau berolahraga selama hari
aktif, berdampak pada terjadinya obesitas 11. Menurut Barasi (2009) kemajuan
teknologi menyebabkan berkurangnya kebutuhan untuk menggunakan tenaga otot
manusia dalam melaksanakan tugas manual yang memerlukan banyak energi. Saat ini
semakin sedikit jenis pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai pekerjaan manual
berat. Bahkan tugas yang tidak terlalu menuntut kekuatan fisik pun telah diperingan
oleh penggunaan robot dan teknologi komputer12. Dari segi transportasi, semakin
banyak orang menggunakan mobil dari pada berjalan kaki atau bersepeda. Selain itu
tersebar luasnya sarana hiburan elektronik di setiap rumah mengurangi aktifitas hiburan
di luar rumah.
5. Status Pernikahan
Seseorang yang pernah obesitas pada masa anak-anak cenderung akan mengalami
obesitas pada saat dewasa. Terdapat banyak faktor yang dapat menjadi penyebab,
namun dapat dikatakan secara jelas bahwa anak laki-laki yang menderita obesitas tidak
akan bisa tumbuh menjadi pria dewasa yang memiliki berat badan normal kecuali ada
intervensi yang dilakukan dalam tepat waktu. Pola makan yang telah terbentuk dan
susah untuk diubah menjadi salah satu faktor penyebab. Susahnya mengembalikan
berat badan menjadi ideal saat sudah obesitas juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya obesitas saat dewasa apabila tidak dilakukan intervensi tepat waktu saat pada
masa anak-anak mengalami obesitas. Penelitian yang dilakukan Shi et al (2014)
menunjukkan bahwa riwayat obesitas pada masa anak-anak saat berumur antara 5
sampai 12 tahun berhubungan secara signifikan dengan prevalensi obesitas saat dewasa
(32.4%) dibandingkan yang pada masa kecil memiliki berat badan normal (20.2%)11.
7. Genetik
Faktor genetik berhubungan dengan pertambahan berat badan, IMT, dan lingkar
pinggang. Jika ayah atau ibu menderita kelebihan berat badan maka kemungkinan
anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40-50%. Apabila kedua orang tua
menderita obesitas kemungkinan anaknya menjadi obesitas sebesar 70-80% 15.
Kerentanan seseorang dalam menderita obesitas salah satunya dapat dilihat dari jenis
genotipe yang dimiliki16. Penelitian yang dilakukan oleh Daya et al (2019)
menunjukkan bahwa individu dengan genotipe AT / AA berisiko 3,72 kali lebih besar
mengalami obesitas dan 5,98 kali lebih besar dalam asupan lemak makanan
dibandingkan dengan individu yang memiliki genotipe TT. Responden obesitas yang
memiliki genotipe AT / AA memiliki asupan lemak makanan 1,40 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang memiliki genotipe TT. Temuan ini menunjukkan
bahwa orang dewasa di Indonesia dengan genotipe AT / AA FTO rs9939609 memiliki
risiko obesitas yang lebih tinggi dan preferensi untuk asupan lemak makanan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki genotipe TT17. Pada sebagian
besar kasus obesitas, peningkatan pesat dalam insidensi obesitas di dalam populasi
yang stabil secara genetik menyiratkan bahwa faktor eksternal berperan lebih besar.
8. Stress
Stress merupakan faktor penting lain yang ditemukan memiliki hubungan positif
terhadap kejadian obesitas. Stress dapat didefinisikan sebagai emosi negatif dari segi
psikologi, perilaku, bahkan perubahan biokimia pada seseorang. Stress pada seseorang
ada kaitannya dengan kebiasaan pola makan. Seseorang yang mengalami stress
cenderung memiliki pola makan yang buruk. Mereka lebih memilih untuk banyak
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat dengan porsi lebih besar. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Widiantini (2014), stres berhubungan bermakna dengan obesitas
(nilai p = 0,003). Stres dapat mendukung kejadian obesitas yang disebabkan oleh
perilaku dan metabolisme. Penelitian di Kanada, menemukan hubungan yang signifikan
antara obesitas dengan pekerjaan yang mempunyai tekanan atau stres tinggi. Hal
tersebut merupakan hasil dari keadaan biologis dan perilaku individu yang mengalami
stres kerja. Obesitas pekerja dapat disebabkan oleh tekanan pekerjaan yang tinggi dan
mereka tidak dapat menahan pikiran yang dihasilkan dari stres kerja. Stres dapat
mendukung obesitas yang disebabkan perilaku dan metabolisme dan merupakan
dampak lingkungan psikososial yang merugikan18.
9. Pola Konsumsi
Hubungan antara lingkungan tempat tinggal dan obesitas diperkirakan bervariasi antar
negara karena budaya dan lingkungan sosial ekonomi yang berbeda22. Prevalensi
obesitas lebih tinggi pada subyek perkotaan (51%) dibandingkan dengan subyek
pedesaan (23%)23. Perempuan yang tinggal kota cenderung mengalami obesitas dari
pada yang tinggal di desa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al
(2019), bahwa tempat tinggal berhubungan secara signifikan dengan kejadian obesitas
di Myanmar. Dari 27,7% responden yang mengalami obesitas, 17,9% diantaranya
bertempat tinggal di kota. Hal ini disebabkan oleh faktor gaya hidup dan ketersediaan
pangan yang ada di kota sehingga berpengaruh terhadap asupan makanan yang
berlebihan3,24. Tersedianya lebih banyak pilihan makanan di kota, meningkatkan
hasrat untuk makan menjadi lebih tinggi25. Selain itu, makanan dijual sepanjang hari
(dapat dibeli kapan saja), metode pengawetan semakin canggih sehingga makanan
dapat selalu tersedia, dan banyaknya produk makanan hanya memerlukan sedikit proses
pemasakan sehingga dapat segera dimakan13. Sedangkan di desa, lebih sedikit dalam
memanfaatkan alat transportasi dan alat bantu dalam pekerjaan yang melelahkan
sehingga aktifitas fisik menjadi lebih banyak dan juga konsumsi makanan yang
kurang3.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gupta et al (2019), bahwa status ekonomi
berhubungan secara signifikan dengan kejadian obesitas di Myanmar. Dari 58,7%
responden yang mengalami obesitas, responden terbanyak (19,2%) berstatus ekonomi
kaya3. Menurut Pujilestari (2017), obesitas perut lebih banyak terjadi pada orang-orang
dengan tingkat ekonomi kaya karena pengaruh transisi ekonomi. Transisi ekonomi
menyebabkan terjadinya transisi nutrisi, yaitu dengan mengubah pola makan dari
makanan pokok tradisional sehat menjadi makanan tinggi energi. Orang-orang dengan
tingkat ekonomi kaya lebih memiliki akses dan keterjangkauan yang lebih baik untuk
mendapatkan makanan. Pada saat yang sama, perkembangan ekonomi dan kemajuan
teknologi juga meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat khususnya dengan tingkat
ekonomi kaya. Perkembangan teknologi membuat tugas pekerjaan kurang melelahkan
dan secara fisik kurang menuntut. Peralatan rumah tangga untuk melakukan tugas
rumah tangga sekarang banyak tersedia dan terjangkau. Meningkatnya penggunaan
transportasi pribadi juga menyebabkan pengeluaran energi lebih sedikit selama
berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Rendahnya aktivitas fisik dikombinasikan
dengan pergeseran pola konsumsi dalam makanan telah diidentifikasi sebagai
kontributor utama untuk obesitas14.
14. Budaya
Pada elemen masyarakat tertentu beberapa pemikiran bahwa memiliki tubuh yang
terlihat gemuk adalah bukti kesejahteraan keluarga dan hal demikian sudah menjadi
budaya setempat. Tidak luput pula rasa percaya masyarakat akan takhayul-takhayul
mengenai makanan yang harus dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi pada pada
situasi dan kondisi tertentu tanpa memperhatikan kadar gizi dan kebutuhan kalori
seseorang28. Salah satu budaya yang dapat menumbuhkan obesitas adalah budaya siri
pada Suku Bugis. Salah satu aturan adat yang berlaku dalam budaya siri adalah
kesetaraan yang membatasi aktivitas dalam keluarga, terutama perempuan dalam rumah
tangga. Sehingga sangat rentan terjadinya penimbunan lemak dalam tubuh atau
terjadinya obesitas. Berdasarkan penelitian Herman (2013), menyatakan bahwa dari 18
responden perempuan dengan obesitas, diperoleh 7 responden yang menjunjung
budaya siri, 5 responden yang tidak menjunjung budaya siri dan 6 resonden yang tidak
ditanyakan oleh peneliti.
15. Media Sosial
Maraknya iklan-iklan atau promosi makanan yang beredar baik melalui media gambar,
elektronik maupun digital yang didukung dengan tersedianya berbagai jenis makanan,
meningkatkan daya beli dan hasrat konsumsi masyakat. Hal ini seringkali dibarengi
dengan gaya hidup masyarakat saat ini9. Terutama dalam hal aktifitas fisik dimana
aktifitas fisik telah tergantikan oleh kebiasaan mengakses media sosial dalam posisi
santai, serta didukung dengan penelitian Radzi et al (2019), yang menunjukkan bahwa
asupan makanan yang tidak sehat (makanan cepat saji dan minuman ringan),
penggunaan media sosial dan stres menunjukkan kontribusi bobot tertinggi masalah
kelebihan berat badan dan obesitas untuk mahasiswa Malaysia2.
Terjadinya perubahan pola makan dan aktifitas fisik pada orang dewasa tidak terlepas
dari pergaulan atau hubungan sosial. Baik pola makan maupun gaya hidup seseorang
akan dengan sangat mudah berubah untuk mempertahankan hubungan dan relasi sosial.
Hal ini didukung oleh penelitian dari Bruening,, 2018 menyatakan bahwa pola asupan
makanan dapat juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh anggota
kelompok teman sebaya.
V. CONCLUSION
Obesitas menjadi masalah kesehatan di Asia Tenggara yang dapat dilihat dari peningkatan
prevalensi obesitas dari tahun ke tahun pada beberapa negara di Asia Tenggara. Secara umum
faktor yang dapat menyebabkan obesitas yakni usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
aktivitas fisik, status pernikahan, riwayat obesitas saat masa anak-anak, genetik, stress,
kebiasaan merokok, pola konsumsi, konsumsi alkohol, tempat tinggal, status ekonomi,
kebiasaan tidur, budaya, media sosial, dan pengaruh teman. Upaya pencegahan lalu dapat
dilakukan dengan pemberian sosialisasi mengenai pentingnya aktivitas fisik sebagai upaya
pencegahan terjadinya obesitas.
REFERENSI
[1] S. Low et al., “The prevalence of sarcopenic obesity and its association with cognitive
performance in type 2 diabetes in Singapore,” Clin. Nutr., no. xxxx, pp. 1–8, 2019.
[2] C. Y. Tok, S. R. Ahmad, and D. S. Q. Koh, “Dietary habits and lifestyle practices
among university students in universiti Brunei Darussalam,” Malaysian J. Med. Sci.,
vol. 25, no. 3, pp. 56–66, 2018.
[3] H. M. Rd and Y. Tokuda, “Differences and overlap between sarcopenia and physical
frailty in older community-dwelling Japanese,” vol. 28, no. June 2018, pp. 157–165,
2019.
[4] W. Widiantini and Z. Tafal, “Aktivitas Fisik, Stres, dan Obesitas pada Pegawai Negeri
Sipil,” Kesmas Natl. Public Heal. J., no. 4, p. 325, 2014.
[5] S. Sidik and L. Rampal, “The prevalence and factors associated with obesity among
adult women in Selangor, Malaysia,” Asia Pac. Fam. Med., vol. 8, no. 1, p. 2, 2009.
[6] S. Oktavianthi et al., “Uncoupling protein 2 gene polymorphisms are associated with
obesity.,” Cardiovasc. Diabetol., vol. 11, no. 1, p. 1, 2012.
[8] A. A. Pratiwi, “Hubungan Konsumsi Camilan dan Durasi Waktu Tidur dengan
Obesitas di Permukiman Padat Kelurahan Simolawang, Surabaya Relation between
Snacking and Sleep Duration with Obesity at Slum Area Simolawang Sub-District,
Surabaya,” AzizaH Ajeng Pratiwi dan Triska Susila Nindya, pp. 153–161, 2017.
[10] F. Witjaksono et al., “The effect of breakfast with different macronutrient composition
on PYY, ghrelin, and ad libitum intake 4 h after breakfast in Indonesian obese women
NCT03697486 NCT,” BMC Res. Notes, vol. 11, no. 1, pp. 3–7, 2018.
[11] N. Puspitasari, “Kejadian Obesitas Sentral pada Usia Dewasa,” HIGEIA (Journal
Public Heal. Res. Dev., vol. 2, no. 2, pp. 249–259, 2018.
[12] W. Kurdanti et al., “Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja,”
J. Gizi Klin. Indones., vol. 11, no. 4, p. 179, 2015.
[14] Z. M. Shariff and G. L. Khor, “Obesity and household food insecurity: Evidence from
a sample of rural households in Malaysia,” Eur. J. Clin. Nutr., vol. 59, no. 9, pp. 1049–
1058, 2005.
[18] M. Daya et al., “Obesity risk and preference for high dietary fat intake are determined
by FTO rs9939609 gene polymorphism in selected Indonesian adults,” Asia Pac. J.
Clin. Nutr., vol. 28, no. 1, pp. 183–191, 2019.
[19] S. Grover, D. N. Sinha, S. Gupta, P. C. Gupta, and R. Mehrotra, “The changing face of
risk factors for non-communicable disease in Myanmar: Findings from the 2009 and
2014 WHO STEP Surveys,” J. Public Heal. (United Kingdom), vol. 41, no. 4, pp.
750–756, 2019.
[22] T. Q. Cuong et al., “Associated factors of hypertension in women and men in vietnam:
A cross-sectional study,” Int. J. Environ. Res. Public Health, vol. 16, no. 23, pp. 1–14,
2019.
[28] V. Carr, R. M., Oranu, A., & Khungar, “乳鼠心肌提取 HHS Public Access,” Physiol.
Behav., vol. 176, no. 1, pp. 139–148, 2016.
[30] E. Nurwanti et al., “Roles of sedentary behaviors and unhealthy foods in increasing the
obesity risk in adult men and women: A cross-sectional national study,” Nutrients, vol.
10, no. 6, 2018.
[32] K. Peltzer and S. Pengpid, “The Association of Dietary Behaviors and Physical
Activity Levels with General and Central Obesity among ASEAN University
Students,” AIMS Public Heal., vol. 4, no. 3, pp. 301–303, 2017.