Akademik Keperawatan Baiturrahim Jambi Abstrak Kep, Anak

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 26

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

DOSEN PENGAJAR

NAMA : HASRIANA

NPM : 202122058

AKADEMIK KEPERAWATAN BAITURRAHIM JAMBI

TAHUN 2021-2022
1. ADHD

Identification and Psychotherapy Against ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder):


Perspective of Contemporary Islamic Education Psychology

Evita Yuliatul Wahidah STIT Muhammadiyah Bojonegoro & Postgraduate Program UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Abstract

This article is intended to dissect more in depth how the process of identification and
psychotherapy in patients with attention disorder accompanied by hyperactive conditions,
especially in children or ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Furthermore, the
identification and psychotherapy of ADHD focus on the perspective of the psychology of
contemporary Islamic education. ADHD is a disorder or abnormality in complex aspects of
cognitive, psychomotor, and affective. The appearance of ADHD symptoms begins at the age
of the child and is chronic. The main symptoms are concentration barrier, self-control
(impulsivity), and hyperactivity. The effectiveness of psychotherapy procedures can
generally be done through behavioral approaches, pharmacological approaches, and
multimodal or combined approaches. In the discussion of this article produced some solutions
to ADHD sufferers according to the psychology of contemporary Islamic education: 1)
desensitization therapy through the process of imagining or relaxation; 2) particular prayer
therapy ‘(meditation); 3) auto-suggestion therapy through prayer in prayer by giving self-
suggestion to do good (hypnosis therapy); 4) therapy of togetherness aspect through
congregational prayer; 5) murottal therapy. Keywords: Identification, Psychotherapy, ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder).

PENDAHULUAN

Masalah kejiwaan menjadi bagian yang selalu muncul dalam kehidupan manusia di dunia.
Adanya kondisi sedemikian rupa menggerakkan para pakar psikologi maupun psikiatri untuk
mencarikan solusinya. Hasilnya telah ditunjukkan berupa ragam model penanganan
psikoterapi.1 Psikoterapi 1 Djamaludin Ancok, Fuad Nashori Suroso, dan Muh Sungaidi
Ardani, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 90. Millah Vol. 17, No. 2, Februari 2018 299 Identifikasi dan
Psikoterapi terhadap ADHD merupakan kegiatan berupa treatment kepada seseorang yang
kondisi kejiwaannya terganggu, melalui terapi atau intervensi pada aspek psikologis.2 Secara
garis besar terdapat beberapa model pokok pendekatan dalam terapi psikologi. Pertama,
psikoanalisis yang dicetuskan oleh Freud. Terapi ini didasari “adanya kehidupan mental yang
tidak disadari seperti dalam dunia mimpi beserta pemaknaan mimpi”. Kedua, behavioristik
yang berpendapat adanya kelainan sikap dikarenakan oleh proses belajar yang tidak tepat.
Ketiga, psikologi humanistik, berpedoman bahwa setiap individu itu memiliki keinginan dan
kesadaran.3 Perkembangan kemajuan zaman, globalisasi dan modernisasi ternyata
menimbulkan banyak perubahan dalam berbagai segi kehidupan. Kondisi demikian
merambah pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga berdampak
terhadap perubahan dinamika suatu kehidupan. Termasuk dalam dunia psikologi pada
spesifikasi psikoterapi. Psikoterapi yang berkembang saat ini menjadi empat jenis, yaitu:
Pertama adalah terapi psikofarmaka, merupakan treatment fisik-biologis pada pasien yang
mengalami depresi melalui obat anti-depresan. Kedua, terapi psikologis yangsering dikenal
denganterapi psikologi biasa. Pendekatan terapi ini fokus pada penanganan masalah kejiwaan
yang merujuk pada aliran psikologi barat. Adapun jenis yang ketiga adalah terapi psikososial.
Terapi psikososial adalah treatment psikologi untuk penderita gangguan maladaptasi sosial.
Keempat adalah terapi psikoreligius.4 Psikoterapi ini ditawarkan untuk anak penyandang
ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Sindrom ketidakseimbangan aktivitas yang
muncul pada anak dengan gejala restlessatau hiperaktif, rendahnya perhatian, semaunya
sendiri, dan distruktif. Hal demikian dapat mengganggu prestasi di bidang akademik serta
proses pembelajaran mereka di sekolah.5 Anak yang menderita ADHD harus mendapat
perha2 Frank Joe Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.
196-197. 3 Bruno, hlm. 243-244. 4 Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa Dan
Kesehatan Jiwa (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 26. 5 Olga Pykhtina et
al., “Designing for Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Play Therapy: The Case of
Magic Land,” in Proceedings of the Designing Interactive Systems Conference (Designing
Interactive Systems (DIS), Newcastle, UK: ACM, New York, USA, 2012),
http://people.cs.vt.edu/~mccricks/dis12- cogdisab/pos-pykhtina.pdf. 300 Millah Vol. 17, No.
2, Februari 2018 Evita Yuliatul Wahidah tian khusus untuk mendapatkan terapi supaya
berkembang sebagaimana mestinya. Berangkat dari pembahasan tersebut psikoterapi menjadi
penting dilakukan bagi penderita ADHD.

KONSEP ADHD

Attention Deficit Hyperactivity Disorder secara istilah adalah hambatan pemusatan perhatian
disertai kondisi hiperaktif. Secara umum sudah banyak penelitian tentang faktor penyebab
Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Meskipun demikian, belum bisa dipastikan secara
pasti fakor dominan atau utama penyebab adanya gangguan tersebut. Para ahli menyimpulkan
bahwa Attention Deficit Hyperactivity Disorder disebabkan adanya masalah genetikal,
bahan-bahan kimia, virus, problem kehamilan dan persalinan serta kondisi yang dapat
mengintervensi penyebab rusaknya jaringan otak manusia. Tidak hanyan faktor hereditas
saja, dalam penelitian yang lain memperlihatkan bahwa lingkungan sosial ternyata juga
memiliki peran dan andil yang cukup besar. Pemanfaatan teknologi informasi audio-visual
berupa televisi, komputer, dan gadget secara tidak tepat disinyalir ikut berperan
memperburuk timbulnya sindrom tersebut. Perlu diketahui bahwa gejala ini juga bisa muncul
pada anak yang mempunyai kondisi neurologis normal. Faktor penyebabnya bisa disebabkan
oleh pola asuh orangtua kepada anak.

IDENTIFIKASI ADHD

Diagnosa gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder sangat beragam, tidak ada jenis tes
yang pasti untuk melakukan mengetahui apakah anak mengidap ADHD atau tidak. Gejala
ADHD tersebut bergantung pada umur, situasi, dan lingkungan anak. Dapat dikatakan,
ADHD merupakan suatu gangguan yang kompleks.6 yang berhubungan dengan kelainan
aspek koginitif, psikomotorik, maupun afektif. 6 Gordon Serfontein, The Hidden Handicap:
How to Help Children Who Suffer from Dyslexia, Hyperactivity and Learning Disabilities
(East Roseville, NSW: Simon & Schuster, 1994), hlm. 170. Millah Vol. 17, No. 2, Februari
2018 301 Identifikasi dan Psikoterapi terhadap ADHD Perlu diketahui bahwa kemunculan
gejala ADHD dimulai pada umur kanak-kanak, bersifat menahun. Gejala utamanya berupa
hambatan konsentrasi, pengendalian diri, serta hiperaktif. 7 Pada gejala Inatensi anak sering
terlihat mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian (tidak bisa fokus). Adanya
stimulus secara spontan dari indera masing-masing sangat mempengaruhi konsentrasi
mereka. Daya tahan konsentrasi mereka sangat terbatas, sehingga menghambat proses
information receiving dari luar (lingkungan). Kemudian pada gejala Impulsifitas, anak
mengalami kelainan sikap atau ketidak harmonisan antara pikiran dengan tindakannya.
(Disorder among think and do). Faktor sense atau perasaan begitu mendominasi sehingga
mereka sangat cepat merespon. Anak juga mengalami hambatan dalam menentukan skala
prioritas ketika sedang beraktifitas, kondisi demikian sangat mengganggu kepribadian dan
lingkungannya. Pada gejala Hiperaktifitas, anak mengalami aktifitas berupa gerakan motorik
yang berlebih di atas rata-rata aktifitas motorik anak normal sesuai usianya. Mereka terlalu
banyak bergerak serasa tanpa lelah dan tujuan yang jelas bahkan sangat sulit untuk
ditenangkan.

PANDUAN IDENTIFIKASI

Dalam melaksanakan proses identifikasi ADHD American Psychiatric Association (APA),


menggunakan standar untuk memastikan hambatan dalam memusatkan perhatian dengan
merujuk kepada DSM IV “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,
edition4th”antara lain: “Pertama, fokus atau perhatian lemah. Ciri-cirinya antara lain: hal-hal
yang detail sukar dipahami, sering menciptakan kesalahan fatal “sembrono” dalam
beraktifitas, ketika diajak berbicara secara langsung tidak didengarkan, arahan atau instruksi
tidak diindahkan, gagal menyelesaikan pekerjaan, seringkali kehilangan benda berharga,
kurang menyukai tantangan, menghindari tugas-tugas yang membutuhkan kerja keras mental,
mudah sekali lupa dalam menyelesaikan aktifitas dan rutinitas.8 Kedua, Hiperaktivi7 Arga
Paternotte dan Jan Buitelaar, ADHD ( Attention Deficit Hyperactivity Dirsoder) : Gangguan
Pemusatan Perhatian dan hiperaktivitas (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 78. 8
Mariyah Mariyah, Christiyanti Aprinastuti, dan Brigitta Erlita Tri Anggadewi,
“Pengembangan Alat Peraga Untuk Meningkatkan Kemampuan Belajar Matematika Pada
Anak Dengan ADHD,” Prosiding Temu Ilmiah Nasional X Ikatan Psikologi Perkembangan
Indonesia, Peran Psikologi Perkembangan Dalam 302 Millah Vol. 17, No. 2, Februari 2018
Evita Yuliatul Wahidah tas Impulsifitas. Kondisi hiperaktif mempunyai ciri-ciri menonjol
yaitu mengalami kecemasan. Ditunjukkan dengan kondisi tangan atau kaki “menggeliat” di
kursi, tidak tahan lama duduk di dalam kelas seperti anak normal biasanya, aktif berlarian
atau melakukan gerakan berlebihan pada keadaan yang tidak semestinya. Saat remaja atau
dewasa gejala sebatas pada perasaan cemas yang sifatnya subjektif muncul dari diri
sendiri.Sedangkan gejala impulsifitas pada diri mereka ditandai dengan seringnya menjawab
pertanyaan sebelum penanya selesai mengajukan suatu pertanyaan, kurang mampu bersabar
dalam kegiatan antri atau menunggu, senang menginterupsi atau mengganggu orang lain,
seperti rnemotong diskusi.9 Ketiga, beberapa gejala kurang fokus yang muncul sebelum anak
berusia 7 tahun. Keempat, terdapat hambatan ketika berada di dua atau lebih keadaan.
Kelima, terdapat hambatan secara klinis, signifikan pada fungsi sosial, akademik, atau
pekerjaan. Keenam, gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya skizofrenia, atau gangguan
psikotik yang lain.
“Dampak ADHD terhadap pendidikan antara lain: 1) membutuhkan waktu yang cukup lama
dalam memulai aktifitas; 2) kurang berprestasi; 3) ketidak stabilan dalam melakukan ritme
pekerjaan; 4) mengabaikan instruksi atau perintah; 5) mengabaikan tugas; 6) selalu
meninggalkan bendabenda; 7) kebingungan; 8) menangguhkan pekerjaan; 9) motivasi
rendah; 10) kesulitan mengerjakan tugas; 11) menghindari teman; 12) berperilaku kacau.10
Sedangkan pengaruh ADHD pada perilaku: menuntut, turut campur dengan orang lain,
mudah frustasi, kurang mengendalikan diri, tidak tenang/gelisah, lebih banyak bicara, suka
menjadi pemimpin, mudah berubah pendiran, mengganggu, cenderung untuk mendapat
kecelakaan, dan mudah bingung, mengalami hari-hari baik dan buruk. Pengaruh ADHD
terhadap aspek sosial antara lain egois, cemas, kasar, kurang peka, kurang dewasa, tertekan,
harga diri rendah, membuat keributan, tidak berfikir panjang, menarik diri dari kelompok,
sering berperilaku tanpa perasaan, dan tidak mau menunggu giliran.

PSIKOTERAPI ADHD

Meskipun ada obat untuk ADHD, ada sejumlah pilihan pengobatan yang telah terbukti
efektif bagi beberapa anak. Strategi yang efektif termasuk pendekatan perilaku, farmakologi,
dan metode multimodal. 1. Pendekatan Perilaku Pendekatan perilaku merupakan satu set luas
intervensi tertentu yang memiliki tujuan bersama memodifikasi lingkungan fisik dan sosial
untuk mengubah atau mengubah perilaku. Mereka digunakan dalam pengoba. Mohamad
Sugiarmin, “Bahan Ajar: Anak Dengan ADHD” (Bandung : PLB, 2007), hlm. file.
upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/.../ADHD.pdf Lihat juga; Praptiwi
Rachmawati, “Penerapan Terapi ‘Back in Control (BIC)’ Pada Anak ADHD (Attention
Deficits Hiperactivity Disorder),” Warta Warga (blog), 2010,
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/penerapan-terapi- %e2%80%9cback-in-control-
bic%e2%80%9d-pada-anak-adhd-attention-deficits-hiperactivity-disorder/. Dinie Ratri
Desiningrum, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Psikosain, 2016), hlm. 15,
eprints.undip.ac.id/51629/1/Dinie_Ratri_-_Buku_Psikologi_ABK_2016. Nuligar Hatiningsih,
“Play Therapy Untuk Meningkatkan Konsentrasi Pada Anak Attention Deficit Hyperactive
Disorder(ADHD),” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan Vol. 1, no. 2 (2013): 324–42, https://
doi.org/10.22219/jipt.v1i2.1586. 304 Millah Vol. 17, No. 2, Februari 2018 Evita Yuliatul
Wahidah tan ADHD untuk memberikan struktur untuk anak dan untuk memperkuat perilaku
yang sesuai. Mereka yang biasanya menerapkan pendekatan perilaku termasuk orang tua
serta berbagai profesional, seperti psikolog, personil sekolah, masyarakat terapis kesehatan
mental, dan dokter perawatan primer. Jenis pendekatan perilaku meliputi pelatihan perilaku
wali murid serta pendidik (keduanya diajarkan keterampilan manajemen anak), program
sistematis manajemen kontingensi (misalnya penguatan positif, “waktu menyendiri,” biaya
respon, dan token economy) , terapi perilaku klinis (training dalam pemecahan masalah dan
keterampilan sosial), dan pengobatan kognitif-perilaku (misalnya, self-monitoring, verbal diri
instruksi, pengembangan strategi pemecahan masalah, self-reinforcement). Secara umum,
pendekatan ini dirancang untuk menggunakan strategi pengajaran dan penguatan langsung
untuk perilaku positif dan konsekuensi langsung bagi perilaku yang tidak pantas. Pilihan ini,
program yang sistematis dari manajemen kontingensi intensif dilakukan di dalam kelas
khusus dan kamp musim panas dengan pengaturan dikendalikan oleh individu yang sangat
terlatih telah ditemukan untuk menjadi sangat efektif. Sebuah studi kemudian dilakukan oleh
Pelham, Wheeler, dan Chronis (1998) menunjukkan bahwa dua pelatihan pendekatan-orang
tua dalam terapi perilaku dan perilaku kelas intervensi-juga berhasil dalam mengubah
perilaku anak-anak dengan ADHD. untuk keberhasilan pendekatan perilaku. Penggunaan
strategi perilaku memegang janji tetapi juga menyajikan beberapa keterbatasan. Teknik
perilaku mungkin menarik bagi orang tua dan profesional untuk alasan berikut:

a. Strategi perilaku yang digunakan paling sering ketika orang tua tidak ingin memberikan
obat anak mereka;

b. Strategi perilaku juga dapat digunakan bersama dengan obat-obatan (lihat metode
multimodal);

c. Teknik behavioral dapat diterapkan dalam berbagai pengaturan termasuk sekolah, rumah,
dan masyarakat.

d. Strategi perilaku mungkin satu-satunya pilihan jika anak memiliki reaksi yang merugikan
terhadap obat-obatanrperilaku tanpa perasaan, dan tidak mau menunggu giliran.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran. Konseling & Psikoterapi Islam: Penerapan Metode


Sufistik. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. Al-Ghazali, Abū Ḥāmid Muḥammad b.
Muḥammad al-. Rahasia-Rahasia Shalat. Diterjemahkan oleh Muhammad al- al-Baqir.
Bandung: Karisma, 1993. Al-Mahalliy, Jalaluddin, dan Jalaluddin As-Suyuthi. Terjemah
Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul Jilid 4. Bandung: Sinar Baru, 1990. Bruno, Frank
Joe. Kamus Istilah Kunci Psikologi. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Caroline, Stephannie.
“Komunikasi Interpesonal Antara Terapis Dengan Anak Penyandang ADHD.” Jurnal e-
Komunikasi Vol. 2, no. 2 (2014).
http://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/ view/1767. Darajat, Zakiah.
Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental. Cet. 15. Jakarta: Gunung Agung, 1996.
Desiningrum, Dinie Ratri. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Psikosain,
2016. eprints.undip.ac.id/51629/1/Dinie_Ratri_-_Buku_ Psikologi_ABK_2016.pdf.
Djamaludin Ancok, Fuad Nashori Suroso, dan Muh Sungaidi Ardani. Psikologi Islami: Solusi
Islam Atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. F, Chrisna.
Writing Skill for Adhd: Terapi Dan Bimbingan Menulis Untuk Anak ADHD. Sleman:
Maxima, 2014. Hatiningsih, Nuligar. “Play Therapy Untuk Meningkatkan Konsentrasi Pada
Anak Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD).” Jurnal Ilmiah 316 Millah Vol. 17,
No. 2, Februari 2018 Evita Yuliatul Wahidah Psikologi Terapan Vol. 1, no. 2 (2013): 324–42.
https://doi.org/10.22219/ jipt.v1i2.1586.

2. TEMPERAMENT,
Temperamen dan praktik pengasuhan orang tua menentukan perkembangan sosial
emosi anak usia prasekolah
ABSTRAC
Socioemotional development is important for children to develop their own
potential, cognitive development, support school readiness and academic success. This
study aims to analyze the child’s temperament, parent’s parenting practices to children’s
socioemotional development aged 5-6 years. This study used a quantitative survey
approach. Samples in this study were 100 children and
their mothers from 6 kindergartens in Depok City. Samples were chosen by using a
convenient sampling method with criteria that mothers would be a sample of research.
The collected data was analyzed using a structural equation model with Smart PLS 6.0.
The instruments used in this study were the mother's and father's parenting practice
questionnaire, EAS temperament questionnaire, and social-emotional development
questionnaire. The results of the study showed that a child’s socioemotional development
is affected positive significant by the mother’s parenting practice, father’s parenting
practice, and also children’s temperament. This study also showed that a father’s
parenting practice provides positive significant to the mother’s parenting practice and
child’stemperament.
Keywords: Children; Parenting practice; Socioemotional development;
Abstrak
Temperaments Perkembangan sosial dan emosi penting dicapai anak untuk
mengembangkan potensi diri anak, meningkatkan perkembangan kognitif, mendukung
kesiapan sekolah dan keberhasilan akademik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis pengaruh temperamen anak dan praktik pengasuhan orang tua terhadap
perkembangan sosial emosi anak usia 5-6 tahun. Penelitian ini menggunakan
pendekatan survey kuantitatif. Sampel pada penelitian ini adalah 100 pasang anak
prasekolah dan ibunya yang berasal dari 6 TK di Kota Depok. Sampel dipilih
menggunakan metode convenient sampling dengan kriteria ibu bersedia menjadi sampel
penelitian. Data dianalisis menggunakan smart PLS 6.0. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuesioner
praktik pengasuhan ibu dan ayah, kuesioner temperamen EAS, dan kuesioner
perkembangan sosial emosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan sosial
emosi anak dipengaruhi secara positif signifikan oleh praktik pengasuhan ibu, praktik
pengasuhan ayah, dan temperamen anak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
praktik pengasuhan ayah memberikan pengaruh positif signifikan terhadap praktik
pengasuhan ibu dan temperamen anak.

Kata kunci: Anak; Perkembangan sosial emosi; Praktik pengasuhan;temperamen

Pendahuluan

Fakta menyebutkan bahwa terdapat peningkatan tingkat partisipasi kerja perempuan (lebih dari
50,0%) dan diperkirakan meningkat karena akses perempuan lebih besar terhadap pendidikan dan
pelatihan (ILO, 2014). International Labour Organization (2014) menyatakan transisi perempuan dari
pekerja domestik menjadi pekerja eksternal merupakan tantangan, seperti tuntutan jam kerja
perempuan yang tidak fleksibel. Fenomena ibu bekerja ini memberikan dampak, tidak hanya bagi ibu
sebagai individu, tetapi juga keluarga. Ibu, sebagai orang yang memiliki peranan penting dalam
pengasuhan, akan menghasilkan efek pengasuhan yang berbeda ketika ibu memiliki status bekerja
(Puspitawati & Setioningsih, 2011). Penelitian lainnya (Bianchi & Milkie, 2010) menyebutkan bahwa
ada kemungkinan status bekerja pada ibu akan memberikan efek negatif kepada anak remajanya,
terUsia remaja, sekitar 12 hingga 16 tahun, merupakan kelompok usia remaja awal (Santrock, 2014).
Santrock (2014) menyebutkan bahwa memasuki usia tersebut, remaja seringkali merasakan perubahan
hidup yang semakin cepat dan kompleks, yang mudah menimbulkan stres, kecemasan, depresi, dan
berbagai emosi negatif yang tidak bisa dihindari secara penuh oleh individu. Emosi merupakan respon
yang diberikan oleh remaja terhadap suatu stimulus dari dalam dirinya dan dari luar dirinya sehingga
anak dapat beradaptasi dan terhindar dari perilaku perilaku agresif (Hughes et al., 1998 dalam Ulutas
& Omeglu, 2008). Hal ini sangatlah diperlukan agar remaja dapat diterima dalam masyarakat.
Ekspresi marah, sedih, dan takut merupakan emosi dasar seseorang yang diidentikkan dengan emosi
negatif (Goleman, 2015). Oleh karena itu, orang dewasa yang diharapkan untuk dapat melakukan
diskusi bersama remaja tersebut adalah orang tua, sebagai pihak yang memiliki intensitas
kebersamaan paling besar dan pihak pertama yang memberikan dasar-dasar nilai bagi anak (Gentry &
Campbell, 2002). Respon orang tua, terutama ibu, terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari
sangat memengaruhi pembelajaran emosi remaja, terutama ketika mereka mengalami stres, kesedihan,
kemarahan, atau perasaan bersalah (Santrock,utama pada keluarga dengan penghasilan rendah.

Temperamen merupakan salah satu karakteristik anak yang dapat memengaruhi interaksi antara
anak dan orang tua, khususnya ibu sebagai pengasuh utama (Lestari, 2012). Santrock (2007)
menyatakan bahwa temperamen adalah gaya perilaku dan karakteristik respons dari seseorang.
Penelitian-penelitian sebelumnya (Stoltzfus & Karraker, 2009) mengungkapkan bahwa kesesuaian
antara temperamen anak dengan perilaku orang tua dapat menghasilkan perkembangan anak yang
optimal. Lerner et al. (1985) telah menyebutkan suatu model, dimana temperamen anak berpengaruh
terhadap interaksi ibu-anak dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan optimal
yang dialami oleh anak. Temperamen merupakan karakteristik individu yang menentukan afektif
seseorang serta memerankan peran dalam interaksi dan fungsi sosial (Calkins, 2012).

Temperamen telah dimiliki seseorang sejak lahir. Namun tingginya interaksi dengan lingkungan
dapat memengaruhi temperamen atau temperamen berkembang sebagai hasil elaborasi dengan
pengalaman masa kanak-kanak hingga remaja dan menjadi suatu kepribadian (Caspi &Shiner, 2006
dalam Santrock, 2014). Penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa interaksi yang berkualitas
terdiri dari atensi dan penerimaan orang tua yang dirasakan oleh remaja (Lerner et al., 1998). Interaksi
ibu-anak yang baik dapat membantu remaja untuk memiliki kecerdasan emosi yang baik (Santrock,
2007). Tujuan dari interaksi yang dilakukan oleh ibu kepada anak remajanya adalah membangun
kesesuaian antara karakteristik dan kemampuan remaja dengan tuntutan dan ekspektasi dari
lingkungan (Santrock, 2014). Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan remaja yang merasakan
penerimaan orang tuanya melalui interaksi orang tua-remaja berhubungan dengan kemampuan remaja
untuk mengetahui dan mengelola emosi, serta menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya (Kim et
al., 2003; Rueter & Conger, 1995). Beberapa penelitian menemukan bahwa kecerdasan emosi erat
kaitannya dengan karakteristik pengasuh atau ibu. Hasil penelitian Puspitawati dan Setioningsih
(2011) menemukan bahwa karakteristik keluarga, yaitu pendapatan ibu, dapat meningkatkan
kecerdasan emosi anak. Hurlock (1999) menyebutkan bahwa ibu yang lebih berumur cenderung
menerima perannya sepenuh hati sebagai ibu sehingga berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas
pengasuhan anak, yang akhirnya akan berpengaruh juga terhadap kecerdasan emosi anak. Hasil
penelitian lainnya yang dilakukan oleh Febriana (2001) menemukan bahwa riwayat pendidikan ibu
juga berpengaruh signifikan terhadap kecerdasan emosi anak. Walaupun penelitian mengenai interaksi
ibu-remaja dan kecerdasan emosi remaja sudah banyak dilakukan, belum banyak penelitian yang
meneliti kedua variabel tersebut dan dihubungkan dengan temperamen remaja. Begitu pula dengan
penelitian mengenai keluarga remaja di perdesaan. Keluarga perdesaan, yang diidentikkan dengan
permasalahan sosial ekonomi, seringkali mengalami permasalahan dalam menerapkan pengasuhan
yang baik (Papalia, Olds, & Fieldman, 2009). Berdasarkan pemaparan terebut, penelitian ini bertujuan
menganalisis pengaruh karakteristik remaja dan karakteristik keluarga terhadap interaksi ibu-remaja
pada keluarga remaja dengan ibu bekerja di perdesaan. Penelitian ini juga bertujuan menganailsis
pengaruh karakteristik remaja, karakteristik keluarga, dan interaksi ibu-remaja terhadap kecerdasan
emosi remaja pada keluarga remaja dengan ibu bekerja di perdesaan.

Beberapa permasalahan sosial emosi yang dihadapi oleh anak prasekolah, yaitu
ketidakmampuan menyesuaikan diri, egosentris, agresif, dan perilaku antisosial (Susanto,
2011). Penelitian Hanifah & Ningrum (2017) menemukan bahwa 34,5% anak mengalami
masalah emosi berupa pemahaman emosi yang masih rendah. Perkembangan sosial
emosi yang tidak tercapai secara optimal menunjukkan bahwa anak belum dapat
mengatur emosinya dengan baik dan kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain
(Cohn, Merrell, Felver-Gant, Tom, & Endrulat, 2009). Penelitian longitudinal yang
dilakukan Campbell et al. (2006) menemukan bahwa anak yang mengalami hambatan
dalam perkembangan sosial emosi sejak dini secara konsisten menunjukkan perilaku
agresif dan kenakalan saat memasuki usia remaja. Saat ini, di wilayah perkotaan
fenomena pelanggaran hukum yang melibatkan anak maupun remaja semakin
meningkat. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan sosial emosi anak selama kurun waktu 2011-2016
meningkat, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, tawuran pelajar dan kekerasan di
sekolah (bullying) meningkat.

Permasalahan emosi anak yang belum matang dapat digambarkan dengan


temperamen dan kestabilan emosi anak yang rendah. Penelitian Baer et al. (2015)
menunjukkan anak dengan temperamen yang emosional cenderung memiliki kompetensi
sosial yang rendah dan tingkat masalah sosial yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
pentingnya bagi orang tua untuk memahami temperamen anak sejak dini dan melakukan
praktik pengasuhan yang tepat, agar saat dewasa terbentuk kepribadian yang positif. Di
Indonesia, masih sedikit penelitian mengenai pengaruh interaksi antara temperamen dan
pengasuhan terhadap perkembangan anak usia dini. Mengacu pada uraian permasalahan
yang ada mengenai pentingnya perkembangan sosial dan emosi pada anak prasekolah,
maka beberapa permasalahan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana
karakteristik orang tua, karakteristik anak, praktik pengasuhan ibu dan ayah,
temperamen anak, dan perkembangan sosial emosi anak usia 5-6 tahun?; 2) Bagaimana
temperamen anak, praktik pengasuhan ibu dan ayah menjadi faktor yang memengaruhi
perkembangan sosial emosi anak usia 5-6 tahun

METODE

Penelitian ini menggunakan desain crosssectional study. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor,
Jawa Barat. Lokasi dipilih secara purposive karena Kabupaten Bogor merupakan lokasi dengan
partisipasi ibu bekerja tertinggi di Jawa Barat berdasarkan laporan kinerja pemerintah (LAKIP)
Kabupaten Bogor 2014 (Prolap Inspektorat Kabupaten Bogor, 2015). Kecamatan Ciampea dipilih
secara purposive karena Kecamatan Ciampea merupakan wilayah dengan arah pengembangan industri
non-farm dengan banyaknya sentra industri rumahan (home industry) sehingga lebih besar peluang
untuk mendapatkan keluarga dengan anak remaja yang memiliki ibu bekerja (Prolap Inspektorat
Kabupaten Bogor, 2015). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu bekerja dengan anak remaja yang
tinggal di wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penarikan contoh dilakukan secara
purposive, yaitu ibu bekerja dan anak remaja yang bersekolah di sekolah terpilih. Sekolah yang
terpilih adalah SMP PGRI Ciampea, SMP Plus Darrul Solihin, SMP Madani, dan SMP Hanura.
Sekolah-sekolah tersebut dipilih karena berada di daerah dengan banyak industri rumahan yaitu Desa
Bojong Rangkas, Desa Cihideung Ilir, Desa Cihideung Udik, dan Desa Cinangka (Prolap Inspektorat
Kabupaten Bogor, 2015).

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari empat sekolah tersebut, jumlah anak remaja dengan ibu
bekerja adalah 115 orang anak remaja. Jumlah responden yang berhasil diolah datanya adalah 80
responden anak remaja dan ibunya (160 responden) dengan pertimbangan memilih keluarga dengan
anak remaja yang tinggal bersama ibunya pada saat pengambilan data berlangsung. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
self-administered, untuk remaja, dan wawancara, untuk ibu, dengan bantuan kuesioner. Data primer
meliputi karakteristik remaja (usia remaja, jenis kelamin remaja, temperamen remaja), karakteristik
orang tua (lama pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, pendapatan ibu, lama kerja ibu), interaksi ibu-
remaja, dan kecerdasan emosi remaja. Data mengenai karakteristik temperamen diperoleh dengan
menggunakan instrumen yang diadopsi dari EATQ-R (Early Adolescent Temperament
Questionnaire–Revised) yangdibuat oleh Putnam, Ellis, dan Rothbart (1999). Pengukuran EATQ-R
digunakan untuk mengetahui temperamen remaja selanjutnya digolongkan dalam empat dimensi
berdasarkan reaktivitas dan pengaturan diri yaitu surgency, negative affectivity, effortful control, dan
affiliativeness. Surgency adalah temperamen dengan ciri khas remaja dengan keceriaan, spontanitas,
cepat tanggap, dan mudah bergaul. Efforful control adalah temperamen dengan ciri khas remaja
dengan kemampuan pengendalian diri. Affiliativeness adalah temperamen dengan ciri khas remaja
mudah mempertahankan hubungan. Negative affectivity adalah temperamen dengan ciri khas
kepribadian yang sulit. Berdasarkan instrumen tersebut, temperamen terdiri dari 12 subdimensi yaitu
kesenangan, takut, malu, frustasi, perasaan depresi, agresi, perhatian atau atensi, kontrol diri untuk
tidak melakukan sesuatu kegiatan (inhibitory control), kontrol diri untuk melakukan sesuatu kegiatan
(activation control), afiliasi, sensitivitas persepsi (perceptual sensitivity), dan sensitivitas akan sesuatu
yang menyenangkan (pleasure sensitivity). Pernyataan asli dalam instrumen ini berisikan 65
pernyataan yang menyangkut empat dimensi temperamen tersebut. Lima poin skala Likert digunakan
untuk mengukur persepsi remaja mengenai pernyataan yang merujuk kepada temperamen remaja.
Namun, hasil uji reliabilitas menunjukkan angka yang kurang baik (αdikembangkan dari kecerdasan
emosi Goleman (1995). Instrumen kecerdasan remaja terdiri dari 30 pernyataan yang terbagi menjadi
9 dimensi kesadaran diri, 6 dimensi pengaturan diri, 6 dimensi motivasi, 4 dimensi empati, dan 5
dimensi keterampilan sosial. Instrumen ini fokus kepada kemampuan remaja dalam mengelola emosi,
khususnya emosi marah, sedih, dan takut. Pengukuran menggunakan skala Likert yang terdiri dari
hampir tidak pernah diberi skor 1, jarang diberi skor 2, sering diberi skor 3, dan selalu diberi skor 4.
Hasil uji reliabilitas kuesioner ini menunjukkan angka yang kurang baik

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif (jumlah, persentase, nilai
rataan, standar deviasi, nilai minimum dan maksimum) digunakan untuk menggambarkan
karakteristik remaja dan keluarga, temperamen remaja, interaksi iburemaja, dan kecerdasan emosi
remaja. Analisis inferensia meliputi analisis regresi untuk mengetahui pengaruh karakteristik remaja,
karakteristik keluarga, temperamen, dan interaksi ibu remaja terhadap kecerdasan emosi remaja.
Sebelum dilakukan analisis, data mentah diolah dengan mengubahnya ke dalam bentuk indeks (0,0-
100,0).

PEMBAHASAN

Usia remaja pada penelitian ini berkisar antara 12 hingga 16 tahun yang duduk di bangku sekolah
menengah pertama (SMP). Usia remaja terbanyak adalah 14 tahun (38,8%) sedangkan paling sedikit
ialah usia 16 tahun (1,2%). Berdasarkan Hurlock (1950), responden penelitian ini berada dalam usia
remaja awal (early adolescence), yaitu di antara usia 11-18 tahun. Secara khusus, remaja pada tahapan
ini mengalami pertumbuhan fisik dan perubahan organ seksual yang cepat sehingga memengaruhi
perkembangan biologis, kognitif, dan sosioemosional anak. Perkembangan yang dialami oleh remaja
dipengaruhi oleh faktor bawaan, faktor lingkungan, dan pengalaman masa kanak-kanak (Santrock,
2014). Berdasarkan teori psikososial Erikson, remaja awal memiliki tugas perkembangan utama yaitu
menemukan identitas dirinya (identity versus role confusion). Kemampuan berhubungan dengan
orang lain, khususnya ibu, dapat membantu remaja untuk menemukan identitas dirinya. Melalui
kesempatan itu pula, remaja dapat belajar untuk memahami dan mengontrol emosi dari ibu. Sesuai
dengan teori ekologi

DAFTAR PUSTAKA

[ILO]. International Labour Organization. (2014). Indonesia: Tren Sosial dan Ketenagakerjaan. Diambil
dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/
---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_32 9870.pdf [diunduh 20 Jan 2016].

Calkins, S. D. (2012). Temperament and its impact on child development: comments on rothbart,
kagan, eisenberg, and schermerhorn and bates. Encyclopedia on Early Childhood Development.
Diambil dari http://www.childencyclopedia.com/temperament/accordin g-experts/temperament-
and-its-impactchild-development-comments-rothbartkagan. [diunduh 14 Agustus 2017].

Febriana. (2001). Pola pengasuhan, eq anak, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di SDN
Kotamadya Bogor (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.

Gallagher, K. (2002). Does child temperament moderate the influence of parenting on adjustment?.
Developmental Review, 22, 623-643

3. Penanganan Anak Autis dalam Interaksi Sosial Autism Children Handling on Social
Interaction
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jln. Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta,
55281. HP 085225951270 <asrizalsaiin@gmail.com>. Diterima 24 Oktober 2015,
diperbaiki 10 Februari 2016, disetujui 21 Februari 2016.
Abstract
This paper offers solutions for social workers in the treatment of autism in terms of social
interaction problem. Social workers can practice it on the field in an attempt to deal with
autism in social interaction through performing several approaches. Currently, many social
workers do not know how to deal with autism who have problems in their social
interactions, whereas the responsibility of social workers tasks are relegating autists in the
community. This paper offers two forms of treatment of autism, early treatment and
integratedhandling. This has become the focus of discussion in this paper to guide social
workers no longer face trouble in handling social interaction of children with autism,
whichusually has been a problem in the fieldfor social workers.
Keywords: autis; interaction; social workers
Abstrak
Tulisan ini menawarkan solusi bagi pekerja sosial dalam penanganan autisme yang
bermasalah dalam hal interaksi sosialnya. Pekerja sosial dapat mempraktekkannya di
lapangan. Dalam upaya untuk menangani autisme dalam interaksi sosial, pekerja sosial
dapat melakukan beberapa pendekatan. Perkembangan saat ini, banyak pekerja sosial tidak
tahu cara menangani autisme yang bermasalah dalam interaksi sosialnya, padahal menjadi
tanggung jawab serta tugas mereka ketika diturunkan dimasyarakat. Tulisan ini
menawarkan dua bentuk penanganan autisme, yaitu penanganan dini dan penangan terpadu.
Hal inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Konsep dasar yang ditawarkan
adalah melalui dua bentuk penanganan yang ditawarkan, pekerja sosial tidak kesulitan lagi
menangani permasalahan interaksi sosial anak autis, yang selama ini menjadi problem di
lapang
A. Pendahuluan
Fakta menyebutkan kemiskinan tidak hanya terkait dengan ketidak mampuan dalam
memenuhi kebutuhan material dasar, tetapi juga terkait dengan berbagai dimensi lain
kehidupan manusia, misalnya kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan dan peranan
sosial.1 Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang ingin dilahirkan ke muka bumi ini dalam
keadaan miskin, artinya lahir dalam kekurangan, seperti cacat atau tidak sempurna baik fisik
maupun mental. Orang tua, kadang juga tidak dapat menerima anaknya menderita autis,
karena orang tua mempunyai beban yang berat dan menjadi aib keluarga. Orang tua yang
mau menerima anaknya menga lami gejala autis memerlukan biaya yang cukup besar untuk
dapat mengobati dan memasukkan anaknya ke yayasan atau lembaga yang dapat menangani
masalah anak autis.Autisme bukan sekedar kelemahan mental tetapi gangguanperkembangan
mental, sehingga penderita mengalami kelambanan dalam kemampuan, perkembangan fisik
dan psikisnya pun tidak mengikuti irama dan tempo perkembangan yang normal. Hakekatnya
anak penderita autis juga memerlukan pendidikan dan bimbingan sebagaimana anak normal
lainnya, karena sebenarnya anak berkelainan itu juga mempunyai potensi untuk
dikembangkan, potensi tersebutakan dapat dikembangkan semaksimal mungkin. apabila
mendapat pengaruh-pengaruh atau bimbingan. Penanganan anak autis harus dilakukan terapi
dini dengan melibatkan ahli dari berbagai multidisiplin dan orang tua. Faktor waktu menjadi
penentu bagi penyembuhan kasus autisme, artinya semakin cepat seorang anak terdekteksi
terkena penyakit autis, semakin mudah mengatasinya, karena keberhasilan terapi tergantung
padaberat ringannya gejala yang ada, umur memulai terapi dan dukungan orang tua. Sejatinya
penanganan anak autis harus dilakukan dengan melibatkan ahli dari berbagai
multidisiplin, salah satunya adalah pekerja sosial. Profesi yang memberi pertolongan
pelayanan sosial kepada individu, kelompok dan masyarakat dalam peningkatan
keberfungsian sosial dan membantu memecahkan masalah sosial disebut dengan pekerjaan
sosial. Pekerjasosial adalah seorang yang memiliki profesidalam membantu memecahkan
masalah danmengoptimalkan keberfungsian sosial individu,kelompok dan masyarakat serta
mendekatkanmereka dengan sistem sumber.5 Pekerja sosialdalam menjalankan tugas berada
dalam naunganbadan-badan sosial yang bergerak dalam pelayanan sosial, dengan tujuan
untuk mencapaivisi dan misi dalam memberikan layanan sosial.Pekerja sosial dituntut dapat
mengenal kecenderungan-kecendrungan negatif yang terjadipada anak. Pekerja sosial
jugaharus memilikibasic skill dalam berkomunikasi, pengetahuanserta sikap yang baik dalam
membina dan memberi perhatian dan kasih sayang kepada anak.Pekerja sosial membutuhkan
peran orang-orangyang dekat dengan anak, seperti peran orang tua,teman dan lingkungan
yang dijadikan sebagaifaktor pembentuk dan penentu kematangansosial anak. Suatu
kerjasama dapat diwujudkanapabila pekerja sosial dengan pelaku interaksisaling
berhubungan dan melakukan interaksisosial, sehingga dibutuhkan adanya seorang
pekerja sosial dalam memberikan pelayanansosial pada anak. Anak dalam pertumbuhannya
sangat membutuhkan kasih-sayang,memaafkan, dan mencintai. Keseimbangan antara
kasihsayang danmemaafkan-mencintai merupakan kombinasikonsep dalam membangun
struktur awal gunamenciptakan cinta suci dalam keluarga. Termasuk dilingkungan
masyarakat, harus adanyabelas kasihan dan saling berbagi kasih antarasatu orang dengan
yang lainnya. Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya lahir dalamkeadaan sempurna
(normal), ketika kenyataanyang dihadapi lain (anaknya lahir dalam keadaanautis), orang tua
seharusnya tetap bisa menganggap anak sebagaimana mestinya dia bertanggungjawab bahkan
mungkin lebih mendapatkan perhatian, agar penanganan terhadap kelainanyang terjadi pada
anak juga tidak mengalamikesalahan. Peranan orang tua anak autis dalammembantu anak
untuk mencapai perkembangandan pertumbuhan optimal sangatlah menentukan,sebab orang
tua adalah pembimbing dan penolong yang paling baik dan berdikasi tinggi.7Dari beberapa
hambatan perkembangan anakautis yaitu hambatan emosional dan interaksisosial, penulis
hanya berfokus pada interaksisosial pada anak autis,karena seperti yang telahditerangkan
sebelumnya, anak autis memilikihambatan komunikasi sosial, sehingga penelitianyang
mengkaitkan anak autis dengan interaksisosial menjadi sangat penting.Dari permasalan di
atas, membuat penulis tertarik untuk mengakaji ulang mengenaipermasalahan interaksi sosial
pada anak autis.Melihat realitas yang ada, anak autis akan selaluada dan memerlukan
pemecahan permasalahan,yaitu ketika anak autis melakukan interaksi sosial. Bagaimana
upaya penanganan yang sesuaidan seharusnya diterapkan pada penyandangautis, khususnya
tentang penanganan interaksi sosial anak autis.
B. Tujuan dan manfaat
a. Tujuan
b. untuk menjelaskan serta mengetahui tingkat keberfungsian pekerja sosialdalam
menangani persoalan anak autis, terutamapersoalan interaksi sosial anak. Dengan
caramengetahui gejala-gejala yang timbul dalam diri anak autis, diharapkan dapat
mengatasi danmenangani ketidakberfungsian interaksi sosialpada anak autis.
c. dapat menjadi tolak ukuryang komprehensif mengenai upaya yang dapat
dilakukan pekerja sosial dalam penanganan sosial anak, sehingga dapat menjadi acuan
dalam memacu kemampuan pekerja sosial.
b. Manfaat
praktis bagi masyarakat adalah sebagai jawaban atas permasalahan sosial bagi anak autis
dalammenentukan kemampuan sosial dan memberisolusi untuk menangani anak autis
dalam berinteraksi di masyarakat, sehingga masyarakat dapatmenerima anak autis
dengan semestinya
C. Penggunaan Metode Penelitian
Metode penulisan dalam karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library reserch) atau
studi dokumentasi. Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan konsep kebijakan
teori ataudoktrin, pemikiran konseptual dan penulisan pendahulu yang berkaitan dengan
objek telaah penulisan ini berupa literatur karya tulis ilmiah. Riset pustaka yang
membatasi kegiatan hanyakepada bahan-bahan koleksi perpustakaan sajasedangkan data-
data wawancara dipergunakanuntuk mengkonfirmasi dan memperjelas (klarifikasi) data-
data yang diperoleh dari pustakatersebut.Wawancara digunakan jika data yang
dibutuhkan berhubungan dengan interaksi sosial anak autis tidak terpenuhi dengan
maksimal. Penulisan ini bersifat deskriptif-analitis, yakni mendeskripsikan dan
menganalisis tindakan pekerja sosial terhadap permasalahan yang terdapat dalam
kehidupan sosial anak,dan menganalisis tentang upaya pekerja sosial dalam mengenalkan
kemampuan sosial anak. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif
komparatif. Data yang sudah terkumpul kemudian disusun dan dilaporkan apa adanya
dan diambil kesimpulan yang logis kemudian
dianalisis. Analisis tidak menggunakan angkaangka dan rumus-rumus
4. Interaksi Sosial Anak Autis
Pengertian anak autis memiliki banyak makna (multi tafsir), tergantung dari sudut mana
pengertian tersebut diambil. Anak autis sering juga disebut dengan Autisme atau
golongan autis. Secara terminologi, autisme dapat diartikan sebagai,
1. gejala menyendiri atau menutup diri secara total dari dunia riil dan tidak mau
berkomunikasi lagi dengan dunia luar, cara berfikir yang dikendalikan oleh kebutuhan
personal atau diri sendiri,
2. menanggapi dunia berdasarkan penglihatan, harapan sendiri dan menolak realitas,
3. keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.
Ditinjau dari segi perilaku, anak-anak penderita autis cenderung untuk melukai
dirinyasendiri, tidak percaya diri, bersikap agresif, menanggapi secara kurang atau
berlebihan terhadapstimulasi eksternal, dan menggerak-gerakkananggota tubuhnya
secara tidak wajar.10 Autismememiliki gejala-gejala utama yang menonjolpada diri
anak autis, sehingga bagi orang laindapat mengenali bahwa anak tersebut adalahanak
autis atau autisme. Gejala-gejala tersebut meliputi gangguan atau keanehan
dalamberinteraksi dengan lingkungan. Autisme jugamemiliki gangguan dalam
kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun anverbal. Selainitu juga autisme
memiliki gangguan keanehan
dalam berperilaku.
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli dan dokter di dunia
masih memperdebatkannya. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan
biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan jiwa. Ahli
lainnya lagi berpendapat karena kombinasi makanan yang salah atau
lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun sehingga mengakibatkan kerusakan
pada usus besar, kemudian mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik,
termasuk autis. Widyawati mengemukakan bahwa ada berbagai macam teori tentang
penyebab autis, yaitu teori psikososial, teori biologis dan teori imunologi.Gangguan
autisme menyebabkan anak-anak p nyandang autis semakin jauh tertinggal apabila
dibandingkan dengan anak-anak non-autis yang sebaya ketika usia mereka semakin
bertambah. Apabila dibandingkan dengan anak normal,
anak-anak autis jauh lebih sedikit belajar dari lingkungannya. Anak-anak autis tidak
belajar dengan cara yang sama seperti anak yang lain seusianya.Anak autis
menunjukkan kegagalan membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan
kurangnya respons terhadap lingkungan atau kurangnya minat kepada orang atau anak
di sekitarnya. Kekhususan pada anak autis adalah sulitnya berkonsentrasi, memiliki
dunia sendiri, sehingga anak auis sulit berinteraksi dengan lingkungan. Anak autis
memiliki cara berfikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri,
menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, menolak realitas dan
memiliki keasyikan yang ekstrim dengan pikiran dan fantasinya sendiri.
1. Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial ialah hubungan antara individu satu dengan individu lain.
Individu satu dapat mempengaruhi individu lain atau sebaliknya,jadi terdapat adanya
hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat terjadi antar individu
dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.
Interaksi menurut H. Bonner dalam bukunya“Sosial Psikologi”, mengemukakan
bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih. Satu
individu manusia diman kelakuan individu tersebut dapat mempengaruhi, mengubah
atau memperbaiki kelakuan individu lain atau sebaliknya.
2. Hambatan Kualitatif dalam Interaksi Sosial Anak Autis
Dalam pencarian data penulisan karya ilmiah
ini, didapati minimal ada dua gejala yang timbul dari gejala-gejala berikut yang
terjadi pada anak yang mengalami gangguan interaksi sosial, yakni Kontak mata
sangat kurang, ekspresi wajah yang kurang hidup, gerak gerik yang kurangfokus;
Tidak bisa bermain dengan teman sebaya;Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan
oranglain; Kurangnya hubungan sosial dan emosionalyang timbal balik.Pendapat
lain, gangguan interaksi sosialpada anak autisme dibagi dalam tiga kelompok,yaitu
Menyendiri (Aloof), banyak terlihat pada anak-anak yang menarik diri, acuh tak
acuhdan akan kesal bila diadakan pendekatan sosial
serta menunjukkan perilaku serta perhatian yangterbatas (tidak hangat) Pasif, dapat
menerimapendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola permainannya
disesuaikan dengandirinya; Aktif tapi aneh, secara spontan akan mendekati anak
lain, namun interaksi ini sering kali tidak sesuai dan sering hanya sepihak Beberapa
gangguan interaksi sosial pada anak autisme yang telah disebutkan, menimbulkan
hambatan sosial bagi anak autis. Hambatan sosial anak autis akan berubah sesuai
denganperkembangan usia. Biasanya, dengan bertambahnya usia maka hambatan
akan tampak berkurang. Adapun hambatan yang dialami anak autis adalah sebagai
berikut:18 Sejak tahun pertama, anak autis mungkin telah menunjukkan adanya
gangguan pada interaksi sosial yang timbal balik, seperti menolak untuk disayang
atau dipeluk, tidak menyambut ajakan ketika akan diangkat dengan mengangkat
kedua lengannya, kurang dapat meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal
menunjukkan suatu objek kepada orang lain, serta adanya gerakan pandangan mata
yang abnormal; Permainan yang bersifat timbalbalik mungkin tidak akan terjadi
3. Penanganan pada Anak Autis
Umumnya, kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan
usaha yang lebih berat lagi untuk dapat mengatasinya.19 Pada kondisi tertentu, pekerja
sosial juga mengalami kesulitan ketika menangani anak autis. Menurut Mirza Maulana
dalam bukunya “Anak Autis”, penanganan autisme mencakup dua hal, yaitu
penanganan dini dan penanganan terpadu. Untuk penanganan dini, terdiri dari beberapa
cara:
a. Intervensi dini: Autisme memang merupakan gangguan neurobioligis yang menetap.
Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi dan perilaku.
Gangguan neurobiligis tidak bisa diobati, tetapi gejala-gejalanya bisa dihilangkan atau
dikurangi, sampai orang awam tidak lagi dapat membedakan mana anak non-autis dan
mana anak autis. Semakin dini terdiagnosis dan terintervensi, semakin besar
kesempatan untuk sembuh. Penyandang autisme dinyatakan sembuh bila gejalanya
tidak kentara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara
normal dalam masyarakat luas. Intervensi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, yang
penting berusaha merangsang anak secara intensif sedini mungkin agar ia mampu
keluar dari dunianya sendiri.
b. Dibantu Terapi di Rumah:21Salah satu metode intervensi dini yang banyak
diterapkan di Indonesiaa adalah modifikasi atau lebih dikenal ABA (aplied behavior
analysis),yang ditemukan oleh psikolog asal Amerika,O. Ivar Lovaas di tahun 1964.22
Melaluimetode ini, anak dilatih melakukan berbagai macam keterampilan yang berguna
bagihidup bermasyarakat, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa
dan seterusnya. Namun terutama yang perluditerapkan adalah latihan kepatuhan. Hal
ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri menjadi
perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Kelebihan metode intervensi ini adalah
pendekatannya yang sistematis, terstruktur dan terukur pada penyandang autisme untuk
mengetahui ketidakmampuannya. Masuk Kelompok Khusus Biasanya setelah
1-2 tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk kekelompok
kecil, bahkan ada yang siap untuk masuk kekelompok bermain. Mereka yang belum
siap masuk kekelompok bermain, bisa diikutsertakan kekelompok khusus. Dikelompok
ini mereka mendapatkan kurikulum yang khusus dirancang secara individual, disini
pula anak akan mendapatkan berbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapis
wicara, terapis okupasi dan ortopedagog. Menurut Abdul Hadis dalam bukunya
“Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik” mengistilahkan dengan layanan
pendidikan, yaitu meliputi layanan pendidikan awal dengan program intervensi dini,
dengan program terapi penunjang dan layanan pendidikan lanjutan. Depdiknas dalam
hal memberikan layanan pendidikan awal dengan program penanganan dini,
mengemukakan bahwa program penanganan dini untuk anak autis mencakup:25
Discrete Trial Training (DTT) dari lovaas, program yang didasari oleh model perilaku
“operant conditioning” yaitu pemberian hadiah atau penguatan terhadap perilaku positif
yang terjadi dan dikehendaki oleh guru, orang tua dan masyarakat, agar perilaku baik
itu diulang-ulang atau dipertahankan. Intervensi learning experience and alternative
program for preschooler and parent(LEAP). Program LEAP adalah perkembangan
sosial anak (kekurangan sosial yang dialami anak
autistik). Model LEAP menggunakan teknik pengajaran reinforcement (penguatan) dan
kontrol terhadap stimulus.
a. Floor time, yaitu berdasar pada teori perkembangan keterampilan kognitif dalam 4-5
tahun pertama kehidupan yang didasarkan pada emosi dan relationship. Greenspan
dkk mengembangkan suatu pendekatan perkembangan terpadu untuk intervensi
anak yang mempunyai kesulitan besar dalam berhubungan, berkomunikasi dan teknik
intervensi interaktif yang sistematik. Inilah yang disebut floor time. Treatment and
Education of autistik and Related Comunication Handicapped Children (TEACH).
Penanganan dalam program ini termasuk diagnosa, terapi, konsultasi, kerjasama dengan
masyarakat sekitar, karena telah dipandang sebagai keluarga dan komunitas yang
hamonis,26 tunjangan hidup dan tenaga kerja dan berbagai pelayanan lainnya
untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang khusus para terapis, dalam program TEACH
harus memiliki pengetahuan dalam berbagai
bidang termasuk speech pathology, lembaga kemasyarakatan, intervensi dini,
pendidikan luar biasa dan psikologi. Konsep pembelajaran dari model atau pendekatan
TEACH berdasarkan pada tingkah laku, perkembangan dan dari sudut pandang teori
ekologi yang berhubungan dengan dasar autisme. Penanganan kedua yang dilakukan
adalah penangan terpadu. Penanganan terpadu bagi anak autis merupakan sebuah
keharusan apabila penanganan dini tidak berhasil secara objektif, apalagi orang tua
menginginkan anaknya dapat sembuh dari gangguan autis. Selain pekerja sosial, orang
tua memiliki peran penting karena dibutuhkan pemahaman, kasabaran dan konsistensi
dalam upaya penyembuhan anak dari gangguan autis. Proses pendidikan dan
pengajaranyang didapatkan oleh anak dari orang tua, sekolah, dan lingkungan sangat
berpengaruh pada keberhasilan penanganan autis pada anak. Berdasarkan penelitian,
untuk mendukung penanganan terpadu bagi anak autis, orang tua dapat memakai
produk-produk herbal yang mengandung buah noni. Buah noni terbukti efektif dapat
menyembuhkan autis pada anak. Produk herbal tersebut diharapkan mengandung buah
noni yang memiliki lebih dari dua ratus kandungan nutrisi yang bermanfaat bagi
kesehatantubuh
5. Penutup
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penulisan karya ilmiah ini adalah bahwa seorang
pekerja sosial dalam menangani anak autis yang bermasalah terhadap interaksi sosialnya,
dapat dilakukan dengan berbagai penangan. Dalampenulisan ini, memberikan dua bentuk
penanganan, yang sebelumnya diketahui terlebih dahulugejala yang timbul pada anak
yangmengalamigangguan interaksi sosial. Setidaknya perludiketahui terlebih dahulu dua
gejala pada anakyang mengalami gangguan interaksi sosial. Darigangguan interaksi
sosial tersebut, barulah dapatdiketahui anak tersebut mengalami hambatansosial.
Hambatan sosial anak autis yang timbulakan berubah sesuai dengan perkembangan
usia.Biasanya, dengan bertambahnya usia maka hambatan akan tampak
berkurang.Penanganan autisme mencakup dua hal,yaitupenanganan dini dan penanganan
terpadu. Untuk penanganan dini, terdiri dari beberapa cara,seperti intervensi dini, dibantu
terapi di rumah,dan masuk kelompok khusus. Adapun penanganan terpadu bagi anak
autis menjadi sebuahkeharusan apabila penanganan dini tidak berhasilsecara objektif.
Apalagi orang tua menginginkananaknya dapat sembuh dari gangguan autis. Berdasarkan
penelitian, penanganan terpadu bagianak autis dapat dilakukan dengan cara
memakaiproduk-produk herbal yang mengandung buahnoni. Buah noni terbukti efektif
dapat menyembuhkan autis pada anak.
Pustaka Acuan

Dayakisni, Tri dan Hadaniah. (2003). Psikologi Sosial,Malang: UMM Press,


Hadis, Abdul. (2006). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik, Bandung:
Alfabeta
Huri, Daman, dkk. (2008). Demokrasi dan Kemiskinan,Malang: Averroes Press
Kartini, Kartono. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: CV.
Mandar Maju
Maulana, Mirza. (2007). Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental lain Menuju Anak
Cerdas dan Sehat,
Yogyakarta: Kata Hati
Mulder, Niels. (2004). Individual, Society and History
According to Indonesia School Texts, terj. A. Widyamartaya, Individu, Masyarakat, dan
Sejarah, cet.5,
Yogyakarta: Kanisius
Salam, Kang YS. (2013). Terapi Cinta; Metode Menciptakan Cinta Suci Dalam
Keluarga, Yogyakarta:
Bintang Motivasi

4. PENGETAHUAN IBU MENINGKATKAN KEMAMPUAN “TOILET


TRAINING” ANAK

ABSTRAK
Tujuan dari peneitian adalah mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan
kemampuan toilet training anak usia todler. Penelitian merupakan penelitian cross
sectional. Hipotesa yang dibuktikan adalah “Adanya hubungan antara pengetahuan ibu
dengan Kemampuan toilet trainingpada anak usia
todler. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien usia todller di desa Hadiwarno, Mejobo
Kudus. sejumlah 54 anak. Penelitian menggunakan instrument tentang pengetahuan dan
kemampuan toilet training. Hasil menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan ibu
dengan kemampuan toilet traininganak dengan p = 0,0000 (α = 0,05). Penelitian ini
merekomendasikan untuk meningkatkan
pengetahuan ibu untuk meningkakan kemampuan toilet training pada anak khusunya
anak usia todler. Kata Kunci : pengetahuan, kemampuan, toilet training, anak usia todler

1. PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua peristiwa yang berbeda tetapi
berlangsung sama. Keduanya saling berkaitan sehingga sulit dipisahkan. Pertumbuhan
merupakan proses pertambahan ukuran sebagai akibat pertambahan jaringan pada anak.
Perkembangan merupakan proses perubahan atau diferensiasi kemampuan anak dalam
hal kognitif, afektif, psikomotorik, psikologis dan sosial (Dorland, 2000). Salah satu
tugas perkembangan pada anak
adalah kemandirian, kedisiplinan dan kepekaan emosi. Perkembangan anak yang
terhambat akan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia yang buruk di masa
mendatang. Kualitas perkembangan anak terutama ditentukan pada usia balita (bayiusia
lima tahun) yang usia kisarannya 0-5
tahun. Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebaiknya direncanakan
sejakawal kehidupan seseorang dan berlanjut pada masa usia balita. Usia toddler
merupakan usia emas karena perkembangan anak di usia toddler ini yaitu usia 1-3 tahun
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Sehingga apabila di usia
toddler ini mengalami
hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya maka akan berpengaruh besar pada
kehidupan anak selanjutnya. Salah satu tugas besar pada anak usiatoddler ini adalah
latihan toilet training (Nursalam dkk, 2008). Pada masa ini sangat penting untuk
meletakkan dasar-dasar pertumbuhan danperkembangan anak. Pertumbuhan dan
perkembangan yang baik akan menghasilkan suatu generasi sehat yang
berkualitas di masa depan. Salah satu stimulasi yang penting dilakukan pada masa
perkembangan adalah stimulasi terhadap kemandirian anak dalam melakukan buang
air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) di toilet atau toilet training . Toilet training
atau latihan berkemih dan defekasi merupakan salah satu tugas perkembangan anak pada
usia todler, dimana pada usia ini kemampuan untuk mengontrol rasa inginberkemih,
mengontrol rasa ingin defekasi mulai berkembang. Menurut Wong (2000) melalui toilet
training anak akan belajar bagaimana mereka mengendalikan keinginan untuk buang air
kecil dan selanjutnya mereka menjadi terbiasa
menggunakan toilet secara mandiri.Irawan (2003) mengungkapkan bahwa di Singapura
didapatkan bahwa 15 % anak tetap mengompol diusia 5 tahun dan sekitar
1,3% anak laki-laki serta 0,3% untuk anak perempuan, sedangkan di Inggris
masihmemiliki kebiasaan BAB sembarangan pada usia 7 tahun dimana hal ini
disebabkankarena kegagalan toilet training.Hasil
penelitian lain menyebutkan bahwa 90 %dari anak anak usia 2-3 tahun berhasildiajarkan
melakukan toilet traing dan 80 %dari anak-anak mendapat kesuksesan tidakmengoimpol
dimalam hari antara usia 3-4 tahun (Brazelton, 2003). Berdasar hal tersebut
menggambarkan bahwa toilettraining pada anak todler menjadi hal yangpenting
dilakukan. Menurut Brazelton (2001) toilet training perlu diperkenalkan secara dini
untuk mengantisipasi reflek pengeluaran urin dan feses bayi pada waktu yang tepat. Hal
ini penting dilakukan untuk melatihkemandirian anak dan sebagai stimulasiuntuk
perkembangan lainnya. Toilettraining dilakukan untuk menanamkankebiasaan baik pada
anak, terutama mengenai kebersihan diri. Toilet trainingharus dilakukan pada usia yang
tepat. Apabila waktu pelaksanaan toilet trainingtidak tepat, maka akan terjadi
kesulitanpada perkembangan kemampuan anak.Mengajarkan toilet training pada
anakbukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.Blum & Taubman (2003)
menyatakanbahwa toilet training yang diajarkan padasekelompok anak usia kurang dari
24 bulan,68% dapat menyelesaikannya sebelum usia3 tahun. Sedangkan pada
sekelompok yangberusia >24 bulan, hanya 54% yang mampumenyelesaikannya sebelum
3 tahun. Sebuahstudi di Belgia juga menghasilkan konklusibahwa pelaksanaan toilet
traing yang lebihdini akan mempercepat tercapainyakemampuan kontrol kemih (Blum,
2003).Berdasar hal tersebut menggambarkanbahwa toilet training khususnya anak
usiatodler memerlukan latihan dan hal inimelibatkan peran serta orang tua khususnya ibu
atau care givernya. Oleh karena itupengetahuan ibuakan toilet training sangatpenting
untuk dimiliki oleh seorang ibu. Menurut Notoadmojo (2003), menjelaskanbahwa
pengadopsian perilaku ibu untukmelatih anak melakukan toilet traing yang melalui
proses seperti diatas dan didasari oleh pengetahuan, kesadaran yang positif,maka
perilaku tersebut akan berlangsung langgeng (long lasting). Namun sebaliknya jika
perilaku tersebut tidak didasari olehpengetahuan dan kesadaran, maka perilakutersebut
bersifat sementara atau tidak akanberlangsunglama.
2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan deskripsi analitik
dengan desain penelitian cross sectional . dan menggunakan tekhnik non probability
sampling dengan pendekatan purposive sampling untuk pengambilam sampel. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua anak usia todler di desa Hadiwarno RW 3 Kecamatan
Mejobo Kabupaten Kudus. Jumlah populasi anak todler di desa Hadiwarno RW 3
Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus adalah 115 anak. Sampel pada penelitian ini
adalah anak todler yang berada di wilayah RW 3, Mejobo Kudus sejumlah 54 anak
dengan kriteria inklusi anak usia 1-3 tahun Ibu/keluarga bersedia apabila anak menjadi
responden penelitian, mampu membaca, menulis, dan berkomunikasi secara verbal dan
non verbal. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisioner yang berisi
daftar mpertanyaan tentang data demografi, pengetahuan ibu, sikap ibu dan kemampuan
toilet traininganak yang sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan dengan
menggunakan korelasi Pearson product moment. Data pada penelitian ini dianalisis
menggunakan satu program komputer. Data dianalisis dengan menggunakan analisis
univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan pada variabel usia, jenis kelamin,
pengetahuan, sikap dan kemampuan toilet training anak. Analisis bivariat yang
digunakan adalah analisis chi squere.
3. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini membuktikan dan menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan bahwa
apakah ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kemampuan toilet training pada anak
usia todler dengan talasemia. Berdasarkan analisis univariat di dapatkan bahwa sebagian
besar (31 responden / 57,4%) mendapatkan pengetahuan ibu yang baik Analisis Univariat
yang dilakukan pada variabel Kemampuan toilet training pada anak todler menunjukkan
bahwa kemampuan toilet training pada anak usia todler sebagian besar menunjukkan
ategori baik yaitu sebanyak 36 responden (66,7%). Hal tersebut dapat di lihat pada
Diagram 2. Berdasarkan Diagram 2 terlihat bahwa aspek kemampuan toilet training anak
todler sebagian besar menunjukkan kemampuan yang baik yaitu sebanyak 36
responden ( 66,7%) Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil, terdapat hubungan yang
signifikan antara pengetahuan ibu dengan kemampuan toilet training pada anak todler
(p=0,000). Hal ini dapat dilihat dari tabel 1 Penelitian ini merupakan penelitian cross
sectional maka interpretasi dilakukan dengan melihat Odd Rasio (OR). Hasil analisis di
dapatkan OR dari variabe

DAFTAR PUSTAKA
Brazelton. 2001. Toilet Training. Available from: http//:www.gresdial.com/. Diakses pada
tanggal 15 Oktober 2012
Cahyaning Setyo Hutomo (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dengan
Praktik Ibu Dalam Menerapkan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler di Kelurahan
Jebres Surakarta. Tesis tidak dipublilkasikan
Diah Ragil Cahya Rini (2012). Hubungan pengetahuan orang tua tentang toilet training
dengan kesiapan orang tua dalam toilet training pada anak usia toddler di puskesmas
Gamping Sleman Yogyakarta, skripsi tidak dipublikasikan
Dorland, Newman.(2000). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29,Jakarta:EGC

You might also like