You are on page 1of 106

NASEHAT BAGI

PAVEMENT ENGINEER

Ir. WARDHANI SARTONO, M.Sc


Retired Lecturer Of Airport Engineering.
PENGANTAR

“NASEHAT BAGI PAVEMENT ENGINEER”

Assalamu’alaikum Warah matullahi Wabarakatuh

Nasehat bagi Pavement Engineer ini dalah kumpulan nasehat dan ilmu yang
disampaikan melalui WhatsApp oleh Bp. Ir. Wardhani Sartono, M.Sc dari tahun 2020
sampai tahun 2021
Beliau adalah Retired Lecturer Of Airport Engineering di Departement Teknik Sipil
dan Lingkungan Universitas Gajah Mada.
Beliau juga dosen mata kuliah Pelabuhan Udara saat saya menjadi mahasiswa
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Semoga nasehat dan ilmu yang beliau sampaikan dapat bermanfaat bagi para
penerusnya dan semoga menjadi ladang amal jariyah dan aliran pahala untuk beliau.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Semarang, 1 Januari 2022


Ir. YUSUF WAHYU WIDADA
DESIGN CRITERIA FOR TAXIWAYS CODE 4C & 4E 2020

I. CODE 4C : Design Aircraft B 737- 800/900, A 320-200


Wing span : 36 m
Outer main gear wheel span : 6 m - < 9 m
1. Min width of taxiway pavement 17 m.
2. Min width of graded portion of taxiway strip 25 m.
3. Min clearance distance of outer main wheel to taxiway edge 4 m.
4. Min width of taxiway pavement and shoulder 25 m.
5. Min width of taxiway paved shoulder 2 x 4 m.
6. Min width of taxiway strip 52 m.
7. Min separation distance between taxiway centre line and centre line of instrument runway (D) 158
m.
a. Width of a runway 45 m.
b. Width of runway strips 2 x 140 m.
8. Idem, non-instrument runway (D) 93 m.
9. Min separation distance between taxiway centre line and taxiway centre-line, or Min separation
distance between apron taxiway/taxiway centre line and apron taxiway/taxiway centre line 44 m.
10. Min separation distance between aircraft stand taxilane centre line and aircraft stand taxilane line
40.5 m.
11. Min separation distance between apron taxiway/taxiway centre-line and object 26 m.
12. Min separation distance between taxiway centre line and aircraft stand taxilane and object, or Min
separation distance between aircraft stand taxilane centre line and object 22.5 m.
13. Max longitudinal slope of taxiway pavement 1.5%.
14. Max longitudinal slope change of taxiway 1% per 30 m.
15. Max transverse slope of taxiway pavement 1.5%.
16. Idem, graded portion of taxiway strip upwards 2.5%.
17. Idem, graded portion of taxiway strip downwards 5%.
18. Idem, ungraded portion of strip upwards or downwards 5%.
19. Wing-tip clearance on aircraft parking stand 4.5 m.

II. CODE 4E : Design Aircraft B 777, B 787, A 330, A 350


Wing span : 65 m
Outer main gear wheel span : 9 m - < 15 m
1. Min width of taxiway pavement 23 m.
2. Min width of graded portion of taxiway strip 38 m.
3. Min clearance distance of outer main wheel to taxiway edge 4 m.
4. Min width of taxiway pavement and shoulder 38 m.
5. Min width of taxiway paved shoulder 2 x 7.5 m.
6. Min width of taxiway strip 87 m.
7. Min separation distance between taxiway centre line and centre line of instrument runway (D) 172.5
m.
a. Width of a runway 45 m.
b. Width of runway strips 2 x 140 m.
8. Idem, non-instrument runway (D) 107.5 m.
9. Min separation distance between taxiway centre line and taxiway centre-line, or Min separation
distance between apron taxiway/taxiway centre line and apron taxiway/taxiway centre line 76 m.
10. Min separation distance between aircraft stand taxilane centre line and aircraft stand taxilane line
72.5 m.
11. Min separation distance between apron taxiway/taxiway centre-line and object 43.5 m.
12. Min separation distance between taxiway centre line and aircraft stand taxilane and object, or Min
separation distance between aircraft stand taxilane centre line and object 40 m.
13. Max longitudinal slope of taxiway pavement 1.5%.
14. Max longitudinal slope change of taxiway 1% per 30 m.
15. Max transverse slope of taxiway pavement 1.5%.
16. Idem, graded portion of taxiway strip upwards 2.5%.
17. Idem, graded portion of taxiway strip downwards 5%.
18. Idem, ungraded portion of strip upwards or downwards 5%.
19. Wing-tip clearance on aircraft parking stand 7.5 m.

References :
1. ICAO, Aerodrome Design Manual Part 2, 2020.
2. ICAO, Annex 14, Volume I, 2018.

I hope it is useful.
JOG 04.08.2020.
Wardhani Sartono.
Retired lecturer of airport engineering.
PENGGUNAAN TYPE JOINT/SAMBUNGAN SLAB BETON PADA JPCP ATAU JUCP

Referensi :
R. B. Mallick and T. El-Korchi, 2013, Subchapter 3.8.
I. Expansion Joint
1. Thickened edge (D-1).
Tidak menggunakan dowel, tetapi dengan penebalan tepi slab beton, sering disebut Isolation Joint.
Digunakan pada sambungan melintang, atau pertemuan dengan bangunan struktur lainnya, misal box
culvert.
2. Doweled transvere (D-2).
Menggunakan dowel yang salah satu ujungnya diberi cap/pelindung seperti tutup botol cocacola,
gunanya untuk memberi gap/celah antara ujung dowel dan slab beton terdekat sedalam 25 mm - 30
mm, sehingga pada saat terjadi pemuaian/expansion, ujung dowelnya tidak mendesak slab beton
terdekatnya.
Digunakan pada sambungan melintang, setiap jarak sekitar 150 m, atau ada juga referensi yang
menetapkan setiap 30 - 40 slab beton harus disambung dengan expansion joint, serta pada pertemuan
antara slab beton bagian yang lurus dengan belokan.
II. Construction Joint
1. Transverse construction joint (B-1).
Menggunakan dowel, tanpa expansion cap atau pelindung ujung dowel.
Digunakan pada sambungan melintang.
2. Longitudinal construction joint (B-2).
Menggunakan tie bar.
Digunakan pada sambungan memanjang.
Construction joint digunakan, apabila terdapat perbedaan waktu pengecoran pada slab beton yang
berdekatan.
III. Contraction Joint
1. Transverse contraction joint (A-2).
Menggunakan dowel tanpa expansion cap/pelindung ujung dowel.
Digunakan pada sambungan melintang.
2. Longitudinal contraction joint (A-4).
Menggunakan tie bar.
Digunakan pada sambungan memanjang.
Contraction joint digunakan, apabila tidak ada perbedaan waktu pengecoran pada slab beton yang
berdekatan
3. Dummy joint (A-1 atau A-3).
Tidak menggunakan dowel maupun tie bar.
Digunakan pada sambungan memanjang dan melintang, dan tidak ada perbedaan waktu pengecoran
pada slab beton yang berdekatan.
Note :
a. Dowel, berfungsi sebagai transfer load untuk slab beton yang berurutan (belakang dan depan), berupa baja
polos, 60% - 70% dari panjang dowel diolesi pelumas/grease/slip coating, agar supaya tidak menyatu
dengan slab beton terdekat, dan tidak perlu diberi pipa atau selubung. Dimensi dan jarak antar dowel
tergantung dari tebal slab beton. Untuk tebal slab beton 21 cm - 30 cm, digunakan dowel Diameter 25 mm,
Length 48 cm, Spacing 30 cm.
b. Tie bar, berfungsi sebagai batang pengikat dari slab beton yang bersebelahan (kiri dan kanan), agar supaya
posisi slab beton tidak bergeser. Tie bar, berupa baja ulir diameter 16 mm, jarak 75 cm, panjang 75 cm,
atau diameter 12 mm, jarak 60 cm, panjang 75 cm, yield strength 275 MPa. Tie bar boleh
ditekuk/dibengkok dengan sudut < 20°, bagian yang ditekuk diolesi bahan anti karat.
c. Lebar celah sambungan.
Expansion joint atau Isolation joint 30 mm.
Construction joint dan Contraction joint 8 mm - 12 mm, rata2 10 mm.
d. Sambungan melintang : sambungan yang tegak lurus dengan centerline atau arah lalulintas, digunakan
dowel atau dummy joint.
e. Sambungan memanjang : sambungan yang searah dengan centerline atau arah lalulintas, digunakan tie bar
atau dummy joint.
f. Di bawah slab beton tidak perlu menggunakan lembaran plastik, karena menyalahi konsep dari bonded
layer system of pavement structure menjadi unbonded layer system.
g. Geoffrey Griffiths and Nich Thom, 2007, tidak merekomendasikan type Keyed transverse joint (C-1) dan
Keyed longitudinal joint (C-2), guna mencegah terjadinya Unwanted crack pada permukaan slab beton.
h. JPCP - Jointed Plain Concrete Pavement.
JUCP - Jointed Unreinforced Concrete Pavement.

I'll do my best for my country NKRI.


Semoga bermanfaat.
JOG 07.08.2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
NASEHAT UNTUK PARA HIGHWAY DAN AIRPORT ENGINEER
GENERASI ABAD XXI

1. Kalau ada Civil Engineer (CE), diberi amanah untuk Merancang dan/atau Melaksanakan Pekerjaan
Peningkatan/Overlay Struktur Perkerasan Jalan dan Bandara lama, terjadi kerusakan dini, maka alasan yang
tepat adalah : Kerusakan dini tsb disebabkan oleh Subgrade (tanah dasar) dan Base Course (lapis pondasi
atas) perkerasan lama, daya dukungnya rendah, dan perkerasannya sering tergenang air hujan.
CE tsb masih bisa tidur nyenyak dan makan enak.

2. Kalau ada CE diberi amanah untuk Merancang dan/atau Melaksanakan Struktur Perkerasan Jalan Baru
terjadi kerusakan dini, maka alasan yang tepat adalah : Kerusakan dini Perkerasan Jalan baru disebabkan
oleh banyaknya truck berat overload (Axle Load > 10 T) yang melewati jalan baru tsb.
CE tsb masih bisa makan enak, tetapi sulit tidur nyenyak, karena kawatir kalau terjadi kerusakan lanjutan.

3. Kalau ada CE diberi amanah untuk Merancang dan/atau Melaksanakan Struktur Perkerasan Bandara Baru
terjadi kerusakan dini, maka CE tsb tidak punya alasan, karena Struktur Perkerasan Bandara Baru dirancang
dan dibangun mulai dari bawah (subgrade) keatas (surface course), dan tidak pernah ada pesawat yang
overload (muatan penumpang dan barang melebihi kapasitasnya).
CE tsb tidak bisa tidur nyenyak dan makan enak, karena terus berfikir untuk mencari alasan yang bisa
dipercaya.

Kesimpulan :
Seorang CE memilih profesi sebagai Highway atau Airport Engineer adalah keinginan dan pengabdian untuk
keselamatan orang banyak, bukan kebetulan atau kehormatan.

Semoga bermanfaat.
JOG 8 Agustus 2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
AIRPORT DRAINASE
Robert Horonjeff, 1975

A. Purpose of airport drainage


1. Interception and diversion of surface and groundwater flow originating from lands adjacent to
the airport.
2. Removal of surface runoff from the airport.
3. Removal of subsurface flow from the airport.
B. Surface drainage
1. Water from a drainage area is collected into the storm drain by means of inlets.
2. The inlet structure consists of a concrete box, the top of which is covered with a grate made
of cast iron, cast steel, or reinforced concrete.
The grates must support aircraft wheel loads and shoud there fore be designed for contact
pressures for the aircraft which will be served by the airport.
3. The location of the inlets, depends on the configuration of the airport and on the grading plan.
4. Normally, if there is a taxiway parallel to the runway, the inlets are placed in a valley between
the runway and taxiways.
5. If there is no parallel taxiways, the drains are placed near the edge of the runway pavement
or at the toe of the slope of the graded area.
The FAA recommends that the inlets should not be closer than 75 ft to the edge of the
pavement.
6. On apron, inlets are usually placed in the pavement proper. This is the only way a large apron
area be drained. All grates should be securely fastened to the frames so that they will not be
jarred loose with the passage of traffic.
C. Subsurface drainage
1. The function of subsurface drainage are to :
(a) remove water from a base course.
(b) remove water from the subgrade beneath a pavement, and
(c) intercept, collect, and remove water flowing from springs or pervious strata.
2. Base drainage is normally required where :
(a) frost action occurs in the subgrade beneath a pavement,
(b) the ground water is expected to rise to the level of the base course, and
(c) the pavement is subject to frequent inundation and the subgrade is highly impervious.
D. Note :
1. Pengalaman saya belajar sistim drainase di bandara Sentani Jayapura, 1975, yang dibangun
oleh Belanda, sistim alirannya mirip dengan yang diuraikan dalam buku tsb.
a. Air hujan yang jatuh di permukaan runway, shoulder, dan runway strip harus dialirkan
langsung menuju Openditch (saluran terbuka) yang terletak ditepi runway strip, disebut
surface runoff.
Oleh karena itu harus dibuat transverse slope masing2 untuk runway dan taxiway 1,5%,
paved shoulder 2,5%, runway dan taxiway strips 2% - 2,5%.
b. Air hujan yang meresap (infiltration) di permukaan runway, shoulder, sebagian runway
strip dan air tanah di bawah subgrade, dialirkan melalui pipa yang berlubang 30% dari
permukaannya (perforated pipe), dikelilingi oleh batu pecah dan filter (ijuk), letaknya
dibawah tepi runway, biasanya disebut Subdrain.
c. Setiap jarak 60 m, pipa subdrain dihubungkan dengan pipa tidak berlubang menuju
Openditch, arahnya tegak lurus atau miring dengan sudut sekitar 60°, biasanya disebut
Fransdrain (orang lapangan menyebutnya drainase tulang ikan).
d. Pertemuan antara Subdrain dan Fransdrain dibangun Mainhole (bak kontrol) fungsinya
untuk mengontrol kelancaran aliran air tanah didalam Subdrain tsb.
E. Air hujan dari permukaan (runoff), harus dialirkan melalui pipa tersendiri, umumnya
diameternya besar dan permukaannya rapat.
Air hujan tidak boleh dialirkan menuju ke pipa berlubang dari Subdrain, karena dapat
menghambat penurunan muka air tanah (water table) dibawah subgrade.
2. Kalau ada sistim drainase bandara yang mengalirkan air hujan dari permukaan runway
(runoff), menuju ke saluran drainase bawah tanah yang digunakan sebagai Subdrain, adalah
konsep yang keliru, karena dapat menaikkan muka air tanah dibawah subgrade, efeknya dapat
mengurangi daya dukung (CBR) subgrade.
3. Bandara yang tidak dilengkapi dengan fasilitas bangunan sistem drainase yang benar, pasti
sering terjadi kerusakan pada struktur perkerasannya, misalnya : delaminasion, depression,
rutting, corrugation, pothole, pumping and water bleeding, dll. Akibatnya maintenance cost
nya sangat mahal dan sering mengganggu operasi penerbangan, Airport is temporary closed
due to runway is under repaire.

Semoga bermanfaat.
JOG 27.01.2019.
Revisi 03.08.2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
SUBSURFACE MOISTURE CONTROL FOR ROAD PAVEMENTS

I. Reference :
C.A.O'Flaherty, 2007, Highways, Chater 8.
II. Brief description
1. Water is normally required in the construction of a road to allow for the proper compaction
of the foundation and of pavement courses of soil, to ensure the attainment of compaction
levels upon which the design is based. However, excess water is the enemy of road
foundations and pavements, and good design ensures that extra water is prevented from
entering the road construction. If it is not, the normal overall effect will be effect will be higher
maintenance costs and a reduction in the intended design life of the pavement.
2. All pavement design procedures rely on subgrade soil tests, and the design determined as a
consequence of the testing is only valid if :
a) the foundation and pavement conditions assumed on the basis of these measurements
are similar to those that actually pertain after construction and,
b) they remain substantially unchanged during the design life of the road.
3. Thus, for example, if the subgrade moisture content becomes much higher than that used in
the design following, say, continuous rainfall over a poorly-drained road section, the result
may well be a softening of the subgrade which, in turn, will be reflected in pavement distress,
e.g., surface cracking and the development of rutting and potholes in the outer parts of the
pavement and, especially, in the wheel-paths of heavy commercial vehicles.
4. If water enters the component layers of a soil-aggregate pavement, the pavement's strength
may be so reduced that permanent local deformation occurs in the wheel-paths of wehicles.
If the roadbase becomes saturated, pore pressures may develop under wheel loadings that
result in decompaction and the development of potholes.
5. If the subgrade soil is an expansive clay and moisture is allowed to enter the foundation, the
deterioration of the pavement may be exacerbated by damaging subgrade volume changes
and differential heaving.
If the moisture content of the expansive subgrade is too high at the start of construction, and
it dries back to the equilibrium moisture content over-time, the end result could be a loss of
pavement shape and cracking of the road surfacing.
6. Edge rutting of weak verges caused by the outer wheels of commercial vehicles leaving the
carriageway in, for example, heavy rain can result in water becoming ponded in the ruts, the
infiltration of water into the pavement through openings at the verge-surfacing interface, and
a consequent loss of support for the road pavement edge.
7. The pumping of water and fines through cracks in rigid pavements, are clear signs of
inadequate road drainage.
8. Overall, if unwelcome water cannot be prevented fron obtaining entry to a pavement, good
design ensures that drainage mechanisms are provided for for its swift removal so that its
detrimental impacts on the subgrade and/or pavement are minimized.
9. An alternative to the prevention and remedial approaches to moisture entry is to design the
pavement so that it is able to withstand the anticipated design traffic loads in the presence of
a much higher moisture content in the foundation. The weakness in this approach, however,
is that it is associated with very expensive pavement designs, e.g., if the pavement is designed
for, say, saturated subgrade conditions when saturation is normally likely to occur.
III. Komentar
1. Prof. H. J. Th. Span (1988), mengatakan bahwa Struktur Perkerasan yang baru selesai
dibangun, tetapi tidak dilengkapi dengan bangunan fasilitas drainase yang memadai, maka
design life dari struktur perkerasan tsb sudah berkurang 30%, atau tinggal 70%.
2. Dr. Tommy E. Nantung (2013), mengatakan bahwa yang merusak struktur perkerasan adalah
: AIR yang menggenang di permukaan perkerasan; AIR yang berada di bawah struktur
perkerasan; AIR yang berada di area badan perkerasan (embankment).
IV. Note :
1. Saat ini banyak struktur perkerasan Bandara dan Jalan terjadi kerusakan dini, karena tidak
dilengkapi dengan bangunan Sistem Drainase yang memadai.
2. Airport dan Highway Engineer harus mempunyai Ilmu Pengetahuan Sistem Drainase yang
memadai, oleh karena itu pada saat mahasiswa belajar di Universitas, harus diberi bekal Ilmu
Sistem Drainase Infrastruktur yang cukup.

Semoga bermanfaat.
JOG 1 Agustus 2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
STRUKTUR PERKERASAN JALAN DAN BANDARA SERING TERJADI
KERUSAKAN DINI (EARLY DETERIORATION)

I. Penyebab Utama terkait dengan Subgrade


1. JICA (1994), dalam workshop Kebandar Udaraan di Jakarta, bahwa Subgrade dengan ketebalan
tertentu, 120 cm - 180 cm, setiap lapis dengan tebal 20 cm - 25 cm, harus mempunyai density
rasio (derajad kepadatan) dan CBR lapangan yang hampir sama dengan CBR design.
2. Prof H J Th Span (1988), Guru Besar TU Delft : Struktur perkerasan yang tidak dilengkapi
dengan bangunan fasilitas Sistem Drainase (Surface and Subsurface drainage) yang benar,
maka design life dari struktur perkerasan tsb akan terreduksi 30%. Bagian dari struktur
perkerasan yang pertama kali terjadi degradasi akibat sistem drainase yang kurang baik adalah
Subgrade.
3. Prof H J Th Span (1988), lapisan struktur perkerasan yang benar apabila daya dukung (bearing
strength) dari base course ke subgrade berkurang secara bertahap (gradual) dengan Ratio :
daya dukung lapisan bawah dengan lapisan di atasnya min 1/3. Atau CBR Subgrade atau
Capping layer min 1/3 x CBR Subbase course, dan CBR Subbase course min 1/3 x CBR Base
course.
4. Prof. A.A.A. Molenaar (TU Delft, disertasi 1983) :
The weaker the subgrade bearing strength, the more flexible the pavement structure should
be.
Makin rendah daya dukung subgrade lebih tepat dibangun flexible pavement.
5. Robert N. Hunter (2000), dan Nick Thom (2014) : Subgrade dengan nilai CBR 4% - 15%, di
atasnya harus dihampar Capping layer, dapat berupa granular material, CBR 15% - 30%,
berfungsi sebagai pelindung subgrade dan working platform untuk pelaksanaan pekerjaan
subbase course, bukan sebagai structural layer.
Capping layer digunakan pada struktur perkerasan di UK dan Belanda.
Subbase course direkomendasikan mempunyai nilai CBR mininum 30%.
6. A.O'Flaherty (2007, page 214), merekomendasikan di UK, clearance antara elevasi muka air
tanah tertinggi dengan permukaan subgrade atau formation level (H) minimal 1 m - 1,5 m.
Indonesia, Negara yang terletak di daerah Tropis dengan curah hujan lebih tinggi dari pada di
UK, maka H min 125 cm - 150 cm untuk Highway, dan H min 150 cm - 175 cm untuk Airport.
7. Dr. Tommy E. Nantung, dalam workshop Pavement Preservation di Jakarta, 2013 dan 2014 :
Subgrade yang sudah selesai dibangun, digali tebal 30 cm - 35 cm, distabilisasi, dihamparkan
dan dipadatkan kembali, sehingga mempunyai nilai CBR lapangan yang uniform, sebesar
minimum 2x CBR design Subgrade, sering disebut Improved Subgrade. Improved subgrade
sebagai pengganti dari Capping layer. Artinya daya dukung (CBR) Subgrade harus diberi Safety
Faktor (SF) minimum 2.
8. R. B. Mallick and T. El-Korchi (2013), Subchapter 7.5 Effect of Water.
The presence of certain types of soil materials, such as clay, can cause the effect of water to
be significant, and hence may make the soil not suitable for use in pavement subgrade. As the
water content of the soil increases from very low to high, the properties change.
II. Kesimpulan :
1. CBR subgrade harus diberi SF, sehingga selama masa pelayanan (Service life) harus
mempunyai nilai CBR lapangan minimum lebih besar atau sama dengan CBR design, jangan
sampai terjadi nilai CBR lapangan pada akhir design life < CBR design.
2. Struktur Rigid Pavement di atas subgrade dengan daya dukung/CBR rendah, potensi terjadi
kerusakan dini pada joint/sambungan slab beton (joint spalling).
Di Belanda, elevasi daratan rata2 -4,5 m di bawah MSL, sebagian besar tanahnya mempunyai
daya dukung rendah, mayoritas Highway dibangun dengan Struktur Flexible Pavement.
3. Tanah jenis clay yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air kurang tepat
apabila digunakan untuk subgrade.
4. Apabila salah satu atau lebih dari ke 8 parameter tsb diatas diabaikan, maka Struktur
Perkerasan tsb pasti terjadi kerusakan dini (early deterioration).
5. Struktur Perkerasan Jalan dan Bandara yang baru selesai dibangun, apabila pada masa
pelayanan 1/3 dari design life 20 th (0 - 7 th), sudah terjadi kerusakan sedang dengan metoda
perbaikan Minor Rehabilitation (functional overlay tebal min 5 cm), atau pada masa pelayanan
1/3 - 2/3 design life 20 th (7 th - 14 th) terjadi kerusakan berat, dengan metoda perbaikan
Major Rehabilitation (structural overlay, tebal min 10 cm), maka Struktur Perkerasan tsb tidak
termasuk Pavement Deterioration (kerusakan perkerasan), tetapi termasuk katagori
Pavement Failure (kegagalan perkerasan).

Semoga bermanfaat.
JOG 10 Agustus 2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
MARSHALL MIX DESIGN CRITERIA
AND DEGREE OF COMPACTION OR DENSITY RATIO

I. Asphalt Institute MS-2, 2000 & 2014


AC-BC dan AC-WC untuk Highway Heavy Traffic
Tebal padat efektif.
- AC-WC : 4 cm - 5 cm.
- AC-BC : 6 cm - 7,5 cm.
1. Blows 2 x 75
2. Stability 8.006 N (800 kg/1.800 lb).
3. Flow : 2 mm - 4 mm.
4. VIM : 3% - 5%.
5. VMA : tergantung VIM dan nominal max size of aggregate.
a. AC-WC min 13% - 15%.
b. AC-BC min 12% - 14%.
6. VFA : 65% - 75%.
Nominal maximum size of aggregate :
- AC-WC 1/2" (12,7 mm).
- AC-BC 3/4" (19 mm).
Tidak ada persyaratan tambahan :
a. Marshall Quotient.
b. Retained Marshall Stability.
c. Voids in Refusal Density.

II. FAA AC 150/5370-10G, 2014, page 226, 281


AC-BC dan AC-WC untuk Runway
1. Blows 2 x 75.
2. Stability 2.150 lb (980 kg).
3. Flow : 2 mm - 4 mm.
4. VIM : 3% - 5%.
5. VMA :
a. AC-WC min 15%.
b. AC-BC min 14%.
6. VFB : ---
7. TSR (Tensile Strength Ratio) min 80%.
Density Ratio :
1. Mat density min 96%.
2. Joint density min 94%.

III. Asphalt Institute MS-2, 2014, page 180, 181


In-place air voids content 3% - 8%.
Min compaction requirements : 92% - 96% of the TMD.
IV. Asphalt Institute MS-4, 1989, page 303
The average of the densities obtained by the tests must meet one or more of the following typical
criteria depending on the method used to establish target density :
- 96% of laboratory density.
- 92% of maximum theoretical density (MTD atau TMD).
- 99% of control strip density.
Artinya :
Kepadatan lapangan (field/in-place density) yang diperoleh dari beberapa pengujian harus
memenuhi satu atau lebih kriteria/persyaratan tergantung dari metoda yang digunakan dengan
target kepadatan sbb :
- 96% terhadap kepadatan laboratorium (JMF).
- 92% terhadap kepadatan maksimum teoritis dari JMF.
- 99% terhadap Control Strip Density, yaitu density/kepadatan lapangan yang diperoleh saat
Trial Compaction (TC).
Misalkan kepadatan lapangan saat TC 98% terhadap kepadatan laboratorium dari JMF, maka :
Target density/derajad kepadatan/density ratio, yaitu :
Field density x 100% dibagi Laboratory density JMF = 99% x 98% = 97%.
Biasanya, control strip density terhadap laboratory density untuk :
a. Runway 98% - 99%.
b. Highway 97% - 98%.
Mengenai angka 92% terhadap MTD atau TMD ada kaitannya dengan persyaratan in-place air
voids (rongga dalam campuran di lapangan) sebesar 3% - 8% (Asphalt Institute MS-22, 2000, page
7-19).
Pernah saya jelaskan pada saat pembekalan Anggota HPJI DPD DKI, 9 Juni 2020.

Semoga bermanfaat.
JOG 05.07.2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
KORELASI ANTARA ACCEPTANCE CRITERIA DENGAN DENSITY RATIO (DR) HMA

Yang sering ditemui dalam Spesifikasi Teknik HMA adalah sbb :


Hotmix dapat diterima/dibayar apabila :
Density Ratio (DR)/Degree of Compaction = Field density / Laboratory density x 100%, min 98%. Hal ini berlaku
untuk semua nilai VIM = 3% - 5%. Cara seperti ini keliru.
Engineer yang menetapkan angka tunggal DR min 98% dan berlaku untuk semua hotmix dengan VIM = 3% -
5%, disarankan untuk belajar lagi tentang hotmix. Angka DR min 98% dengan VIM rendah < 4%, akan
menghasilkan In-place air voids yg rendah setelah pelaksanaan konstruksi selesai, sehingga dapat mengurangi
durability hotmix.
Untuk Runway dan Highway, kriteria DR yang benar tergantung dari nilai VIM sbb :
A. Asphalt Institute MS-22, 2000.
Mat density :
VIM = 3%, DR min : 95%.
VIM = 3,5%, DR min : 95,5%.
VIM = 4%, DR min : 96%.
VIM = 4,5%, DR min : 96,5%.
VIM = 5%, DR min : 97%.
B. R. B. Mallick & T. El-Korchi, 2014
Mat density :
VIM = 3%, DR min : 95,8%.
VIM = 3,5%, DR min : 96,3%.
VIM = 4%, DR min : 96,8%.
VIM = 4,5%, DR min : 97,3%.
VIM = 5%, DR min : 97,8%.
VIM dengan nilai di antara angka2 tsb diatas dapat dipilih DR dengan pembulatan kebawah atau keatas. Nilai
VIM dikelompokkan menjadi 2 sebagai persyaratan DR dengan pembulatan keatas sbb :
Mat density :
VIM = 3,0% - 3,99%
DR min = 97%.
VIM = 4,0% - 5%.
DR min = 98%.
Joint density :
VIM = 3,0% - 3,99%.
DR min = 95%.
VIM = 4% - 5%.
DR min = 96%.
Untuk hotmix Runway, Taxiway dan Highway paved shoulder : DR min = 96% atau 97%.
Semoga bermanfaat.
JOG 24.08.2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
PENGGUNAAN CEMENT TREATED BASE COURSE (CTBC - P-304)
UNTUK FLEXIBLE PAVEMENT
FAA AC 5370-10G, 2014 : CTBC termasuk Rigid Base Course.

A. CONSTRUCTION
1. Placing :
The Contractor may install the CTBC in single or multiple compacted lifts, however, each compacted
lift must be no greater than 150 mm thick. In multilift construction, the surface of the compacted lift
shall be kept moist until covered with the next lift. Succesive lifts shall be placed and compacted so
that the required total depth of the CTBC is completed within 12 hours.
2. Compaction :
Immediately upon completion of the spreading operates, the CTB material shall be thoroughly
compacted using approved compaction equipment. At the start of compaction, the moisture content
shall be within +/- percentage points of the specified optimum moisture.
3. Finishing :
After completing compaction, the surface of the CTBC shall be shaped to the specified lines, grades,
and cross section. During the finishing process, the surface shall be kept moist by means of fog-type
sprayers. Compaction and finishing shall produce a smooth, dense surface, free of ruts, cracks, ridges,
and loose material. All placement, compaction, and finishing operations shall be completed within 2
hours from the start of mixing. Material not completed within the 2-hour time limit shall be removed
and replaced at the Contractor's expense.
4. Curing :
The compacted and finished CTBC shall be curved with the approved curing agent as soon as possible
and in no case later than 2 hours after completion of the finishing operations. The layer shall be kept
moist using a moisture-retaining cover or a light application of water until the curing material is
applied.

B. NOTE :
1. Memperhatikan uraian tsb di atas, pelaksanaan CTBC sangat ketat dalam hal metoda (placing,
compaction, finishing, curing) dan waktu.
2. Setelah pelaksanaan CTBC selesai, minimum 7 hari untuk menunggu proses mengeras baru boleh
dihamparkan aspal prime/tack coat dan hotmix di atas permukaan CTBC tsb. Bahkan ada Referensi
dari TTI (2004) yang menyarankan setelah selesai pelaksanaan CTBC, 2 minggu atau 1 bulan kemudian
baru boleh dihamparkan lapisan hotmix di atasnya.
3. Kalau nilai f'c terlalu tinggi, CTBC menjadi semakin kaku tetapi brittle/getas akibat load repetition
(beban berulang) dari pesawat atau truck.
4. Pengambilan sampel/benda uji CTBC yang sudah dihamparkan dan baru berumur 7 hari dengan
menggunakan core drill, diameter 10 cm - 15 cm, setebal hamparan CTBC, 15 cm - 20 cm, untuk diuji
density dan f'c, ternyata sangat sulit dilaksanakan, benda uji mudah hancur.
5. Karena pori2 CTBC tertutup oleh pasta semen yang mudah lepas, sehingga rekatan aspal prime/tack
coat tidak kuat. Pada waktu menghampar hotmix di atas CTBC, aspal emulsi (prime/tack coat)
sebagian terkelupas dan menempel di permukaan roda dump truck. Sulit memberikan interlayer
shear strength > 0.41 MPa, akibat dari braking force pesawat B 777-300ER, shg potensi terjadi
delamination.
6. FAA AC 150/5320 -6E, 2009 dan 6F, 2016, sudah memperingatkan, apabila CTBC digunakan untuk
flexible pavement, maka : "it is susceptible to reflective cracking.
7. Pavement Engineering, by RB Mallick and T. El- Korchi, 2009, 2013, dan 2018 : Since the option of
using a very thick HMA is not economical, it is often advised not to use CTB in flexible pavements
(with HMA surface layer), or follow guideline regarding the minimum thickness of HMA with CTB.
8. Principles of Pavement Engineering, by Nick Thom, 2008, dalam pavement layer terminology juga
tidak tercantum CTB sebagai base course untuk flexible pavement.

C. KESIMPULAN :
Kalau CTBC akan digunakan sebagai base course flexible pavement, masalah yang akan terjadi harus
diselesaikan lebih dahulu. Masalahnya yaitu sbb :
1. Sensitif terhadap reflective cracking pada lapisan hotmix di atasnya, setelah CTBC mengalami
penyusutan dan beban berulang/load repetion oleh pesawat yang take of dan landing.
2. Rekatan aspal emulsi CRS-1/1P untuk tack coat atau prime coat di permukaan CTBC tidak terlalu kuat,
sehingga potensi terjadi delamination (pengelupasan lapisan hotmix asphalt).
3. Pengambilan sampel/benda uji CTBC di lapangan menggunakan alat core drill diameter 15 cm untuk
diuji compressive strength umur 7 hari tidak pernah berhasil, karena sampelnya hancur saat core
drillnya diangkat.
4. Kemungkinan besar pekerjaan CTBC selama ini tidak pernah diuji compressive strength umur 7 hari,
yang diuji hanya compressive strength benda uji bentuk silinder yang dibuat di laboratorium, dan
tidak mewakili compressive strength CTBC di lapangan.

D. SARAN
Kalau ingin menggunakan CTBC sebagai flexible pavement, sebaiknya menggunakan Crushed Aggregate
Base Course, dense graded aggregate P-209, ditambah semen sekitar 3%, bearing strength mengandalkan
sifat interlocking aggregate particles, CBR > 95%, seperti pada Runway dan Parallel Taxiway Bandara Hang
Nadim, Batam.

Semoga bermanfaat.
JOG 19.05.2019.
Reshare 21.09.2020.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
MAINTENANCE TECHNIQUES FOR AIRPORT PAVEMENT

Reference : Rajib B. Mallick and Tahar El-Korchi, 2013.


A variety of maintenance techniques are available for asphalt and concrete pavements.
I. For HMA Pavements
1. Sealing and filling of cracks (with hot or cold applied sealants).
2. Small area patching (using hotmix, coldmix, or proprietary material).
3. Spray patching (manual chip seal or mechanized spray patching).
4. Machine patching with AC material.
5. Rejuvenators and seals.
6. Texturization using fine milling.
7. Surface treatment (chip seal, chip seal coat).
8. Slurry seal.
9. Hotmix overlay (includes milling of AC pavements).
10. Hot in-place recycling.
11. Cold in-place recycling.
12. Ultra-thin whitetopping.
II. For Concrete Pavements
1. Joint and crack sealing (with bituminous, silicone, or compression sealants).
2. Partial depth repairs (using AC, PCC, or proprietary materials).
3. Full depth repairs (using AC, PCC, or proprietary materials).
4. Machine patching using hotmix.
5. Slab stabilization and slabjacking.
6. Load transfer.
7. Crack and joint stitching.
8. Hotmix overlays.
9. Bonded/unbonded overlay.
III. Note.
The method of maintenance techniques depend on the type, area and severity level of pavement
deteriorations. Artinya : Metoda teknik pemeliharaan tergantung dari tipe, luas dan tingkat kerusakan
perkerasan.
IV. Penerapan
Pekerjaan perbaikan slab beton struktur cakar ayam dan overlay hotmix di runway dan taxiway NP-2 sisi
utara BISH menggunakan metoda sbb :
1. II.1 dengan compression sealant.
2. II.2 dengan PCC non shrink.
3. II.3 dengan PCC non shrink.
4. II.8 hotmix overlays.
Rencana perbaikan slab beton struktur cakar ayam dan overlay PCC di apron Terminal 1 A, B dan C serta
Terminal 2 D, E dan F BISH, selain menggunakan metoda point II.1, II.2, II.3, juga menggunakan metoda point
II.9 Unbonded overlay.

I hope it is useful.
JOG 22.09.2020.
Wardhani Sartono / Retired lecturer of airport engineering.
OVERLAY PCC ON CAKAR AYAM
JUANDA AIRPORT

Apron B Terminal 2 Bandara Internasional Juanda, merupakan Struktur Cakar Ayam, dibangun selesai 1978,
dioverlay dengan Metoda Unbonded Concrete Overlay on Rigid Pavement, tebal slab beton : ukuran slab 6 m
× 6 m, tebal 17 cm, hotmix interlayer 2 cm - 4 cm.

Berdasarkan diskusi dan masukan antara :


Pak Bambang Suhendro, Wardhani Sartono, Tim AP I Juanda, Tim dari DBU, Konsultan Supervisi GSG,
Kontraktor PT Brantas Abipraya, diputuskan sbb :

Untuk mempercepat penyelesaian overlay Apron B, dan supaya tidak mengganggu aircraft parking stand, maka
Apron Alpha 6 (luasnya kira2 1/3 dari luas total apron B), yang baru saja selesai dibangun dapat digunakan
untuk Parking Stand B 777-300ER, dengan Maximum RTOW 300 Ton.

Quality Assurance (QA) apron B tsb akan dilakukan setelah pekerjaan overlay selesai 100%, diuji defleksi
dengan HWD dilokasi yang sama sebelum dilakukan overlay, dianalisis oleh expert yang profesional.

Hasilnya digunakan sebagai masukan kpd Tim Verifikasi DBU dan PT AP I Juanda, guna menentukan declare
PCN nya.

Semoga bermanfaat.
JOG 25.02.2021.
Wardhani Sartono.
PROF. DR. IR. SEDIJATMO
PENEMU SISTEM PONDASI CAKAR AYAM MENERIMA PENGHARGAAN DARI UGM

A. Penjelasan ringkas
1. Dua tahun lalu, hari Jumat, 22 Feb 2019, Fakultas Teknik UGM dan KATGAMA, memberi penghargaan
"Herman Johannes Award" kepada putra terbaik bangsa, Prof. Dr. Ir. Sedijatmo Hatmo Hoedojo,
Penemu Sistem Pondasi Cakar Ayam dalam rangka Hari Ulang Tahun Pendidikan Tinggi Teknik UGM
yang ke 73. Penghargaan diterima oleh putri keempat almarhum, Asti Tedjaswati.
2. Tiga penerima penghargaan lainnya adalah :
a. Menteri Perindustrian,
b. Menteri Luar Negeri.
c. Menteri Perhubungan.
3. Prof. Dr. Ir. Sedijatmo Hatmo Hoedojo, lahir di Karanganyar, 24 Oktober 1909, alumni THS Bandung
(ITB) 1930 - 1934. Beliau mengajar mata kuliah Tenaga Air di STT/Fakultas Teknik Universitas
Indonesia di Bandung (ITB) dan FT UGM di Yogyakarta, dan mendapat gelar Profesor, 1950. Beliau
wafat, 15 Juli 1984, setahun sebelum hasil karya beliau, yaitu struktur Cakar Ayam untuk Perkerasan
: Runway, Taxiway dan Apron, Sisi Selatan dan Utara, Bandara Internasional Soekarno-Hatta,
beroperasi, 1 April 1985.
4. Sistem Pondasi Cakar Ayam ditemukan beliau th 1961, dan lahirnya ide kreatif teknik pondasi cakar
ayam berawal dari kesulitan konstruksi di atas tanah lunak.
Konsep dari sistem pondasi cakar ayam terdiri dari pelat beton tipis 15 cm - 20 cm, yang didukung
oleh pipa2 (sumuran) beton di bawahnya, dengan tebal pipa 8 cm, diameter pipa 104 cm - 120 cm,
panjang pipa 200 cm, dan jarak antar pipa 250 cm, yang menyatu dan mencengkeram sangat kuat di
dalam tanah yang lunak.
5. Sistem pondasi cakar ayam telah mendapat patent internasional di 10 Negara, antara lain : Indonesia,
Perancis, Belgia, Kanada, Belanda, Denmark dan USA. Beliau adalah Insinyur pertama Indonesia yang
meraih hak patent atas ciptaannya.
Selama merancang bangunan dengan sistem pondasi Cakar Ayam, beliau selalu didampingi oleh Bpk
Ir. Rijanto P. Hadmodjo.

B. Penerapan
Struktur perkerasan dengan sistem pondasi cakar ayam peninggalan beliau antara lain :
1. Apron B Terminal 2 Bandara Juanda, beroperasi sejak 1978 - sekarang. Akhir th 2020 insha Allah
selesai dioverlay dengan PCC tebal 17 cm. Menurut cerita dari guru saya (alm), setelah slab beton
selesai dicor terjadi retak2 di beberapa lokasi, sempat dikomentari negatif oleh koleganya, bahwa
sistem pondasi cakar ayam tidak cocok untuk pavement, karena tidak ada momen dan tekanan tanah
pasif, cocoknya untuk bangunan tower. Bpk Prof. Sedijatmo, sebagai seorang Bangsawan Keturunan
Raja Mangkunegoro III, di Surakarta, tetap melanjutkan temuannya dengan minta dibantu dosen TS
FT UGM, yaitu Bpk Prof. Achmad Antono dan Bpk Ir. Daruslan, untuk meneliti dengan memasang
sensor2 dilokasi tertentu.
Bpk Prof. Achmad Antono menyatakan bahwa pengaruh retak2 kecil slab beton Cakar Ayam jauh
berbeda dengan retak2 slab beton rigid pavement konvensional (Jointed Plain Concrete
Pavement/JPCP). JPCP tsb sekarang banyak dibangun di Jalan Tol dan Apron. Retak2 slab beton di
Apron B Juanda saat itu tidak ada masalah, dan dinyatakan aman. Hasil penelitian beliau 1978, diketik
dengan mesin ketik manual, sekarang masih disimpan oleh teman saya, yang diberi amanah untuk
mengembangkan sistem fondasi Cakar Ayam.
Pembangunan apron B terminal 2 Bandara Internasional Juanda menjadi pilot project pembangunan
struktur Cakar Ayam Runway, Taxiway dan Apron Bandara Internasional Soekarno-Hatta (BISH),
tentunya dengan sedikit modifikasi, termasuk menggunakan double wiremesh dan akhirnya selesai
dibangun 1985, dan sampai sekarang 2021 masih digunakan dalam kondisi baik.
2. Runway, Taxiway, Apron Sisi Utara dan Selatan Bandara Internasional Soekarno-Hatta (BISH),
beroperasi 1985 - sekarang.
Runway (25R - 07L) dan taxiway NP-2 (sisi utara) sudah dioverlay dengan hotmix PMB PG-76, tebal
19 cm, selesai akhir 2019.
Runway (25L - 07R) dan Taxiway Sisi Selatan SP-2 akan dioverlay 2021.
3. Jalan Tol Prof. Sedijatmo yang merupakan jalan access dari kota Jakarta Barat menuju BISH,
beroperasi 1985 - sekarang. Tahun 1989 pernah dioverlay dengan hotmix tebal 10 cm, sampai
sekarang kondisinya masih bagus. Di lokasi tertentu pernah terjadi penurunan sekitar 100 cm, tetapi
tidak patah. Terbukti Runway, Taxiway, Apron, Sisi Selatan dan Utara, BISH, dan Jalan Tol Prof.
Sedijatmo, yang dibangun dengan Sistem Pondasi Cakar Ayam, beroperasi sejak 1985, sampai
sekarang kondisinya masih baik, mempunyai durability tertinggi di Indonesia selama 35 th.
4. Bpk Ir. Soetomo Adisasmito dan Bpk Ir. Rachman Wirjomidjojo (purnakarya JIA-C) pernah memberi
nasehat kepada Dr. Bambang Suhendro dan saya, saat rapat membahas daya dukung Apron IAS,
1996, di Kantor Direktorat Teknik Bandara, Kemayoran.
Retak slab beton pada struktur cakar ayam belum tentu mereduksi daya dukungnya, karena berbeda
dengan retak yang terjadi pada slab beton rigid pavement konvensional (Jointed Plain Concrete
Pavement). Beliau juga pesan untuk meneliti lebih lanjut tentang efek retak slab beton struktur cakar
ayam terhadap penurunan daya dukungnya.
Beliau juga pesan supaya kalian mengembangkan Sistem Pondasi Cakar Ayam untuk Airport yang
merupakan temuan (alm) Bpk Prof. Sedijatmo, dan dilanjutkan oleh Bpk Ir. Rijanto P. Hatmodjo.
5. Hal ini dapat dibuktikan pada saat saya bersama Prof. Bambang Suhendro, mendampingi tim dari BTP
dan PT AP II dalam melakukan uji defleksi dengan alat uji HWD yang diutamakan di area retak di
Runway 25R-07L dan Parallel Taxiway NP-2, BISH, th 2016, 2017 dan 2018. Ternyata slab beton yang
retak, terutama di wheel track area, yang jumlahnya > 2000 titik, tidak semuanya mempunyai defleksi
tinggi > 1.000 micron, dibawah ambang batas 1.200 micron.
C. Pemegang amanah
Para Expert yang diberi amanah untuk mengembangkan Struktur Perkerasan dengan Sistem Fondasi Cakar
Ayam sbb :
a. Prof. Bambang Suhendro.
b. Prof. Harry Christady H.
c. Ir. Maryadi Darmokumoro (dulu menjabat sebagai Dirut PT Waskita Karya yang membangun runway,
taxiway, apron sisi utara dan selatan BISH bersama dengan Kontraktor dari Perancis).
d. Ir. Mitrabani.
Walaupun sistem pondasi Cakar Ayam ada patent nya, tetapi kalau digunakan untuk membangun
infrastruktur milik Negara dibebaskan beaya Royalty.

D. Note :
1. Civil Engineer generasi abad XXI tidak/belum ada yang tertarik untuk belajar dan mengembangkan
struktur perkerasan dengan sistem pondasi Cakar Ayam, temuan putera terbaik Bangsa Indonesia,
mungkin karena tidak ada software nya, sehingga dianggap kurang menarik.
2. Hal ini disebabkan oleh banyak civil engineer di Indonesia kurang tertarik belajar basic theory of
pavement engineering. Banyak engineer yang merancang struktur perkerasan dengan jalan pintas,
hanya mengandalkan software, tetapi tidak punya bekal yang memadai dalam hal experience, dan
knowledge tentang Pavement Engineering.
3. Akibatnya sering ditemui struktur perkerasan yang dibangun setelah th 2000 terjadi kerusakan dini
sebelum mencapai 1/3 - 1/2 dari design life rekomendasi ICAO/FAA (20 th), atau 7 th - 10 th. Mereka
tidak tahu penyebab utama dari kerusakan tsb, dan tipe kerusakan yang sama terjadi di tempat lain,
sehingga yang dirugikan adalah Negara.
4. Tahun 1985an sempat ada komentar dari beberapa Civil Engineer di DJU, terutama dari kolega saya,
mengapa Bpk Prof. Sedijatmo, sebagai Guru Besar TS ITB, dalam mengembangkan sistem pondasi
Cakar Ayam, terutama untuk perkerasan airport dan highway lebih senang bekerjasama dengan Guru
Besar dan dosen2 TS UGM, jawabannya hanya beliaulah yang tahu.
5. Perlu diteliti efisiensi terkait dengan total beaya meliputi : Soil improvement, Bahan konstruksi yang
digunakan, Construction, Maintenance and Repaired, untuk struktur perkerasan tipe Cakar Ayam
dibandingkan dengan tipe lain, yaitu Rigid Pavement atau Flexible Pavement, terutama yang
dibangun di atas tanah yang mempunyai daya dukung rendah, dihitung sejak tahun I beroperasi
sampai mencapai design life > 30 th (rigid pavement), dan > 20 th (flexible pavement).
6. Mari kita mencontoh kepada Para Engineer Pendahulu kita, membangun Struktur Perkerasan
Bandara yang baik dengan durability tinggi, untuk menjamin keselamatan pesawat beserta Crew dan
Penumpangnya.
7. Saya belajar airport pavement sudah 2 generasi, atau 45 th sejak diangkat menjadi PNS di Ditjen
Hubud (1975), sampai sekarang (2021), pasti banyak lupanya, apabila ada kesalahan mohon maaf.

Mari berbuat yang terbaik untuk NKRI.


Semoga bermanfaat.
Wardhani Sartono
Pensiunan guru bandara
DTSL FT UGM
Yogyakarta, 22.02.2021
CONCRETE OVERLAYS ON RIGID PAVEMENTS

Reference :

A. O'Flaherty, 2007, Highways, sub chapter 20.7.2.

I. Fully bonded concrete overlays


1. They are only appropriate if the existing concrete pavement is in good condition and the required
concrete overlay is relatively thin, i.e, 5 cm - 10 cm.
2. With this form of construction the two concrete layers should behave as a monolithic slab; careful
preparation of the existing concrete surface is therefore needed to ensure a good bond is achieved.
3. Surface preparation may consist of cleaning by gritblasting or shotblasting. Existing joints should be
cleaned and resealed prior to overlaying.
4. With bonded overlays the new joints should be located directly above those in underlying pavement,
to prevent reflection cracking.
A cement grout may be applied immediately before the concrete overlay is place, to assist in creating
the bond. Bonded concrete overlays are generally unreinforced concrete.

II. Unbonded concrete overlays


1. They are separated from the existing concrete pavement by a positive separation course which may
be lean concrete, bituminous material (e.g. seal coats, slurry seals or a 4 cm - 5 cm thick bituminous
regulating layer), or polythene film in a double layer.
2. Their use is most appropriate when the existing concrete pavement is extensively cracked. The
overlay may be either unreinforced, jointed reinforced, or continuously reinforced.
3. The overlay joints need not be matched to the same locations as with the underlying existing slab.
4. For unbonded concrete overlays, a minimum practical thickness of 15 cm is recommended for both
unreinforced and reinforced slabs, whilst a minimum thickness of 20 cm is suggested for continuosly
reinforced concrete overlays.

Example :
1. Overlay Apron Terminal 1 and 2, Rigid Pavement Cakar Ayam, Soekarno-Hatta International Airport, DED
finished 2015.
2. Overlay Apron Rigid Pavement, Sultan Babullah Airport Ternate, operated since 12.02.2019.
3. Overlay Apron Rigid Pavement, El Tari Airport Kupang, being under verification.
4. Overlay Apron B Rigid Pavement Cakar Ayam, Juanda International Airport, being under construction.

III. Partially bonded concrete overlays


1. They placed directly on the existing pavement with no attempt made to produce a bond. The existing
surface is cleared of loose debris and excess joint seal.
2. Partially bonded overlays are not to be recommended as, in practise, they are difficult to specify or
produce in a uniform manner.
IV. Note :
1. Slab beton yang lama dan sudah terjadi beberapa lokasi kerusakan, tidak boleh langsung dioverlay
dengan PCC. Existing pavement (slab beton lama) sebelum dioverlay dengan PCC harus diperbaiki
dulu kerusakannya (Asphalt Institute MS-17, 2000, Overlays), kemudian dihamparkan hotmix
interlayer tebalnya bervariasi 4 cm - 5 cm, gunanya untuk mencegah terjadinya reflective cracking
pada PCC yang baru.
2. Hotmix interlayer overlay PCC apron Bravo Sultan Babullah TTE, sekarang namanya berubah menjadi
Apron Alpha, tebal 2 cm - 4 cm, design aircraft B 737-800NG MTOW 80 T, beroperasi sejak 12 Feb
2019, sampai saat ini kondisinya masih sangat baik.
3. Partially bounded concrete overlay, pernah dilaksanakan disalah satu segmen taxiway sepanjang
sekitar 900 m. Tebal concrete overlay sekitar 15 cm, baru digunakan selama 3 tahun, concrete overlay
tsb terjadi reflective cracking di banyak tempat akhirnya dibongkar, diganti dengan hotmix overlay th
2007.
Sampai sekarang taxiway tsb masih dapat melayani pesawat dengan pembatasan MTOW (disebut
RTOW), tetapi sudah beberapa kali terjadi kerusakan, karena sudah beroperasi > 10 th.
Taxiway tsb pada th 2021 akan dilakukan reconstruction dan dioverlay dengan hotmix PMB PG-76,
tebal 19 cm, agar mampu dilintasi pesawat B 777- 300ER MTOW 351,5 Ton.

Mari kita menyampaikan ilmu yang bermanfaat untuk Bangsa dan Negara, walaupun hanya sedikit.
JOG 30 July 2020.
Reshare 16 Feb 2021.
Wardhani Sartono.
Retired lecturer of airport engineering.
Prof. Ir. H. J. Th. Span

Guru Besar Faculty of Civil Engineering, TU Delft, Nederland.


Beliau menasehati dalam mata kuliah Structural Design (Pavement Design), tahun 1988 sbb :

1. Struktur perkerasan yang benar, apabila penyebaran beban lalulintas (roda kendaraan/pesawat) dari base
course menuju subbase course dan subgrade menurun secara gradual/bertahap, sehingga kekuatan/daya
dukungnya mulai dari base course, menuju subbase course dan subgrade harus berkurang secara
bertahap.
2. Untuk memudahkan pelaksanaan, agar supaya setiap lapisan perkerasan dapat mencapai kepadatan dan
daya dukung maksimal, maka daya dukung (CBR) setiap lapisan di bawahnya dengan lapisan di atasnya
mempunyai ratio/nilai banding minimal 1/3 (sepertiga).
3. Subgrade (tanah dasar) yang mempunyai daya dukung/CBR : 3% - 15%, di atasnya harus dilindungi capping
layer, dapat berupa granular material, CBR : 15% - 30%. Tujuannya untuk melindungi permukaan subgrade
dari lintasan roda alat2 berat pada saat penghamparan dan pemadatan lapisan di atasnya, yaitu subbase
course.

Note :

1. Sekarang banyak ditemui Airport/Highway Engineer, merancang struktur perkerasan runway dan highway
yang menempatkan Subbase Course, CBR > 40%, bahkan Base course, CBR > 80%, langsung diatas
Subgrade, CBR : 6%.
2. Apabila ada Airport/Highway Engineer, yang merancang struktur perkerasan dengan menempatkan
Subbase course, CBR > 35%, langsung di atas Subgrade, CBR < 8%, tanpa melindungi dengan Capping layer,
CBR : 15% - 30%, maka Airport/Highway Engineer tsb disarankan untuk belajar lagi sungguh2, dengan
banyak membaca literature yang kredibel yang berasal dari Negara2 maju, bukan hanya membaca buku
Manual.
3. Capping layer dapat diganti dengan improved subgrade/selected subgrade/selected material, tebal 30 cm
- 35 cm, CBR lapangan min 2x CBR design dari subgrade.
4. Jangan sampai hasil designnya setelah dilaksanakan oleh Kontraktor terjadi kerusakan dini, yaitu terjadi
rusak sedang atau rusak berat sebelum mencapai masa pelayanan (service life) kurang dari 1/3 - 1/2 design
life 20 th, atau 7 th - 10 th, sehingga merugikan Negara.

Semoga bermanfaat.
JOG 25.01.2019.
Share ulang 17.02.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
NASEHAT UNTUK PARA AIRPORT DAN HIGHWAY PAVEMENT
ENGINEER

A. Pengantar
Struktur Perkerasan Runway dan Highway harus memenuhi minimal 7 (tujuh) syarat agar supaya
mempunyai durability tinggi, sesuai design life > 20 th. Tujuh syarat yang dimaksud adalah sbb :
1. Mempunyai layering system (sistem pelapisan) berdasarkan basic theory yang benar.
2. Menggunakan bahan susun setiap lapisan yang tepat dan berkualitas baik.
3. Mempunyai tebal lapisan perkerasan sesuai dengan komulatif beban rencana.
4. Pelaksanaan konstruksi mengikuti Spesifikasi Teknik.
5. Quality Control sesuai prosedur.
6. Maintenance and Repair (MR) mengikuti PMS (Pavement Management System).
7. Dilengkapi fasilitas sistem drainase yang memadai.
Apabila salah satu syarat di atas dilanggar pasti terjadi kerusakan dini, yaitu rusak sedang
(medium deterioration) sebelum beroperasi selama 1/3 dari design life 20 th, atau 7 th.

B. Note :
Layering sistem, flexible pavement urut dari atas ke bawah.
1. Surface course.
a. Wearing course (AC-WC), tebal 4 cm - 5 cm, hanya 1 lapis.
b. Binder course (AC-BC), tebal 6 cm - 7,5 cm, boleh lebih dari 1 lapis.
2. Base course.
a. Bagian atas : ATB (Asphalt Treated Base), AC-Base, DBM (Dense Bituminous Macadam),
tebal 8 cm - 10 cm.
b. Bagian bawah : Crushed aggregate base course, CBR : 90% - 100%, tebal min 15 cm.
c. Boleh menggunakan Cement Stabilized Base Course, dense graded aggregate, kadar
semen maksimum 3%, CBR : 90% - 100%, tebal min15 cm.
d. Jangan menggunakan CTBC (Cement Treated Base Course), yang mempunyai
compressive strength (f'c), umur 7 hari = 2,76 MPa - 5,5 MPa, dan umur 28 hari < 6,9
MPa, lebih kuat, lebih kaku, tetapi lebih getas/brittle, shg potensi terjadi reflective
cracking pada hotmix.
3. Subbase course
Pitrun, sand & gravel, granular material, tebal min 15 cm, CBR : 30% - 40%.
4. Capping layer
Nama lain : selected materials, atau improved/selected subgrade, CBR : 15% - 30%, tebal 15
cm - 50 cm, hanya berlaku untuk Subgrade, CBR : 4% - 15%.
5. Subgrade/substrate.
Berupa tanah galian maupun timbunan, CBR : 4% - 15%, untuk ketebalan :
a. Highway 90 cm - 150 cm.
b. Runway 120 cm - 180 cm.

Semoga bermanfaat.
JOG 26.08.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
JENIS KERUSAKAN HOTMIX ASPHALT PAVEMENTS
YANG SERING TERJADI DI RUNWAY

The following deteriorations generally occur at Runway Flexible Pavements in Indonesia.


1. Alligator or Fatigue Cracking.
2. Reflective Cracking.
3. Block Cracking
4. Pothole.
5. Depression.
6. Corrugation.
7. Delamination.
8. Rutting.
9. Raveling.
10. Foreign Object Damage.
11. Bleeding, or Flushing, or Loss of Skid Resistance.

Note :

Jenis kerusakan tsb cara perbaikannya harus dengan metoda rekonstruksi, dapat dilaksanakan
rekonstruksi sebagian (lapisan atasnya saja), atau rekonstruksi total (mulai dari subgrade), tergantung
dari luas kerusakan (distress area) dan tingkat kerusakan (severity level). Oleh karena itu penyelidikan
lapangan harus dilakukan secara teliti, diuji dengan cara destructive testing atau NDT.

Semoga bermanfaat.
JOG 27.08.2021.
Wardhani Sartono.
HOTMIX ASPHALT OVERLAY FOR RUNWAY AND HIGHWAY
FLEXIBLE PAVEMENTS

Reference :
1. The Asphalt Institute MS17, 2000, Overlays.
2. A. O'Flaherty, 2007, Highways.

Overlays

They are three catagories of HMA overlays.

1. Heavy structural overlays


Thickness 15 cm - 40 cm.
The design would include : data collection of soil and traffic, NDT (non destructive testing),
longrange traffic forecasting such as a 20-year analysis.
2. Structural overlays
Thickness 10 cm - 15 cm.
They add strength to the old pavement and last longer than maintenance overlays.
They based on traffic forecasting and NDT, but not necessarily accompanied by detailed plans.
3. Functional overlays or maintenance
It is to restore ride quality, pavement section, add structural value and restore uniform surface
texture. It is normally a dense graded HMA in the thickness of 5 cm - 10 cm.
They should be used to prevent further pavement deterioration until a more substantial overlay
is needed.
4. Discription :
a. A structural overlay.
It is constructed to ensure adequate load carrying capacity, and are most often required as a
result of increased traffic volume or a change in axle loading of a vehycle (or wheel loading
of an aircraft).
b. A functioal overlay
It is used when the structural capacity of a pavement is adequate for anticipated loads, but
the pavement is rough or some type of surface distress exits.
5. Note :
1. Raveling, permanent deformation (rutting and corrugation), roughness, low skid resistance,
and cracking are the primary distresses that required correcting prior to an hotmix asphalt
overlay.
2. Hotmix asphalt overlay could be accomplished on an existing flexible pavement, if its surface
is dry (from water) and clean (from loose aggregate and paint marking).
3. The deterioration of existing asphalt pavements that are overlaid should be properly repaired
to reduce reflective cracking or crack propagation in asphalt overlays.
The pattern of reflective crackings may be longitudinal, transverse, diagonal, or block cracks.
TERJEMAHAN RINGKAS
1. Heavy structural overlay
Tebal 15 cm - 40 cm.
Perancangan overlay meliputi koleksi data tanah dan lalulintas, NDT, analisa prediksi lalulintas
(truck atau pesawat) dengan rentang jauh, misal 20 tahun.
2. Structural overlay
Tebal 10 cm - 15 cm.
Overlay ini menambah kekuatan perkerasan lama dan lebih lama dari pada pemeliharaan overlay.
Hal ini berdasarkan pada prediksi lalulintas dan NDT, tetapi tidak disertai dengan rencana detail.
3. Functional overlay atau pemeliharaan
Overlay ini untuk memperbaiki kenyamanan pengendara, ruas perkerasan, menambah nilai
structural dan memperbaiki tekstur permukaan yang seragam. Biasanya menggunakan gradasi
rapat dengan tebal overlay 5 cm - 10 cm.
Hal ini biasanya untuk mencegah kerusakan perkerasan sampai dengan tahapan diperlukan
overlay berikutnya.
4. Penjelasan
a. Structural overlay.
Dilaksanakan untuk menjamin daya dukung, dan lebih disyaratkan sebagai akibat dari
kenaikan volume lalulintas atau perubahan beban gandar (beban roda pesawat).
b. Functional overlay.
Overlay ini digunakan apabila daya/kapasitas dukung perkerasan memadai untuk beban yang
diperhitungkan, tetapi permukaan perkerasannya kasar atau terjadi kerusakan permukaan.
5. Catatan :
1). Kerusakan tipe raveling, deformasi permanen (rutting dan corrugation), roughness
(kekasaran), kekesatan rendah (licin), dan retak2, adalah kerusakan utama yang memerlukan
perbaikan sebelum pelaksanaan overlay dengan hotmix.
2). Hotmix asphalt overlay dapat dilaksanakan pada perkerasan lama, apabila kondisi
permukaannya kering (dari air), dan bersih dari agregat lepas dan cat marka.
3). Kerusakan perkerasan lentur lama yang dioverlay harus disiapkan guna mengurangi retak
reflektif atau crack propagation pada asphalt overlay.
Pola retak reflektif dapat secara memanjang, melintang, arah diagonal, atau block cracks
(retak bentuknya kotak).

Semoga bermanfaat.
JOG 25.01.2017.
Reshare 14.08.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
FILOSOFI DARI ROBERT N. HUNTER :
WEARING COURSE IDENTIK DENGAN KOSMETIK

A. Reference :
Robert N. Hunter, 2000, Asphalts in road construction (UK), page 107.

B. Brief description
The wearing course is essentially a cosmetic treatment in that it is not required to necessarily
have a structural role. However, the surface must provide the appropriate condition for safe and
confortable contact with vehicle tyres. It must also water proofing function since moisture in
pavements is generally undesirable as it can cause various types of damage to the lower layers.

C. Pengalaman melihat dan membaca literatur tentang pekerjaan overlay jalan/bandara di LN


1. Wearing course (AC-WC) jalan atau bandara, selalu dilakukan routine maintenance. Kalau
AC-WC nya masih cukup baik, dapat dilakukan dengan preservation (preventive
maintenance), functional overlay tebal 5 cm - 10 cm, minor rehabilitation (corrective
maintenance).
2. Kalau AC-WC sudah sering terjadi kerusakan akibat aspal hotmixnya sudah
ageing/usang/brittle, AC-WC yang lama dibongkar dengan alat Cold Milling, kemudian dilapis
ulang dengan hotmix yang baru, bisa hanya 1 lapis atau lebih, tergantung dari kondisi existing
pavement dan traffic cummulative number periode berikutnya.
3. Hasilnya pavement tsb mempunyai durability tinggi dan tidak menambah elevasi permukaan
perkerasan

D. Overlay Highway dan Runway di Indonesia


1. Pekerjaan overlay sangat jarang dilakukan dengan mengupas atau membersihkan AC-WC
secara menyeluruh, yang aspalnya sudah ageing/usang/brittle akibat pengaruh cuaca dan
repetition load dari kendaraan atau pesawat. Perbaikan AC-WC hanya dipilih di area yang
lemah saja, bahkan existing pavement langsung dioverlay (lapis ulang) dengan AC-WC, atau
AC-BC dan AC-WC yang baru.
2. Akibat overlay ber kali2, hotmixnya semakin tebal, sehingga akan terjadi masalah Pavement
Deterioration secara berulang dikemudian hari, akibatnya maintenance cost nya sangat
mahal.
3. Kriteria untuk menilai kondisi permukaan AC-WC, sebaiknya menggunakan referensi dari
ASTM D6433-07 (Airports) dan ASTM D5340-12 (Roads).
4. Replacement of the wearing course alone is unlikely to make any significant contribution to
the overall structural strength of the pavement, but the timely removal of a rutted or cracked
surface can check the onset of deterioration in the lower layers (R. N. Hunter, subchapter
4.12.2).
Artinya sbb :
Penggantian wearing course sendiri tidak mungkin memberi kontribusi yang memadai pada
struktur perkerasan secara menyeluruh, kecuali dengan membongkar permukaan yang
terjadi rutting atau retak dapat diketahui dari awal terjadinya kerusakan lapisan di
bawahnya.

E. Advice :
Do not carry out overlay of hotmix asphalt before repairing deterioration of existing pavements
to avoid reflective cracking or crack propagation.
Artinya :
Jangan melaksanaan pekerjaan overlay hotmix asphalt sebelum memperbaiki kerusakan
perkerasan yang ada, untuk mencegah terjadinya reflective cracking.

Semoga bermanfaat.
JOG 27 Juli 2020.
Reshared 16.08.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
DRY-BOUND MACADAM, WET-BOUND MACADAM,
AND PENETRATION MACADAM BASE COURSE

a. Pengantar :
1. Pada tahun1975 - 1976, saya sebagai PNS Dit Jen Perhubungan Udara, mendapat
kesempatan belajar lapangan, di Proyek Peningkatan Fasilitas Landasan Pelabuhan Udara
Sentani Jayapura, dari critical aircraft Fokker F-27 menjadi Fokker F-28. Kontraktor Proyek
tsb PT Hutama Karya, dan Konsultan Supervisi PT Soilens.
2. Selama belajar di lapangan, yang meliputi pekerjaan perpanjangan dan overlay runway, saya
dibimbing oleh para mandor dari PT HK, operator alat2 berat termasuk AMP, dan Site
Manager, Bpk Ir. J. Sardjono dan Bpk Ir. Mahdani Baderi.
3. Saat di lokasi Pekerjaan Perpanjangan Runway, saya belajar pelaksanaan (pencampuran,
penghamparan dan pemadatan) Wet- bound macadam dan Penetration macadam, dengan
aspal AC 60-70 yang dipanaskan.
4. Sebelum di prime coat, permukaan base course dihamparkan batu pengunci (key stone),
nominal maximum size of aggregate 1/2" (12.7 mm), dan dipadatkan. Tujuannya untuk
mengunci celah agar supaya butir2 agregat dipermukaan tidak mudah lepas. Kemudian
dibersihkan dengan kompresor untuk memisahkan antara batu pengunci yang
masuk/mengunci dan yang lepas diantara celah butir agregat di permukaan tsb.
5. Pekerjaan prime-coat, menggunakan alat asphalt sprayer, kadar aspal cair yang diperlukan 4
liter/m2, dengan harapan aspal tsb merembes (penetrate) ke pori2 agregat dengan
kedalaman 4 cm dari permukaan base course, sisanya untuk melapisi permukaan base
course.
6. Untuk Dry-bound dan Wet-bound macadam, sebelum dilakukan uji Field CBR, diuji coba dulu
dengan menjalankan kendaraan ringan (jeep), melintas di permukaan, kecepatan 60 km/jam
- 70 km/jam.
Apabila dalam uji coba tsb tidak ada atau sedikit sekali agregat kasar yang lepas, berarti Dry-
bound dan Wet-bound macadam tsb mempunyai sifat interlocking yang kuat. Sifat
interlocking yang kuat akan memberikan kontribusi yang besar terhadap daya dukung (CBR)
macadam base course.
7. Jenis pekerjaan base course yang saya pelajari 46 th yang lalu, ternyata juga dijelaskan dalam
literatur, beserta penjelasan ringkas berikut ini.
a). O'Flaherty, 2007, page 300 (UK).
b). Paul H. Wright and Karen K. Dixon, 2004, page 506 (USA).
b. Dry-Bound Macadam
1. With dry-bound macadam the constituent crushed stone or slag aggregates are transported
to the site in two separate sizes; a course aggregate that is normally either 37.5 mm or 50
mm nominal size, and the fine screenings graded from 5 mm to less than 10% passing the
0.075 mm sieve.
2. In this way aggregate segregation during stockpiling and transporting is minimized, and a
more uniform construction is obtained at a relatively moderate cost.
3. At the site the dry coarse material is spread to a uniform thickness of 75 mm - 100 mm and
preliminary rolling (two passes) and shaping is the carried our with an 8 T - 10 T smooth-
wheeled roller.
4. After correcting for any depressions or projections, the surface is progressively blinded with
dry fine aggregate using either a vibrating roller or plate compactor to ensure that the voids
between the coarse aggregate particles are filled (choked), thereby increasing the layer's dry
density, increasing its internal friction, and maintaining the interlock.
c. Water-Bound Macadam
1. Premixed water-bound macadam, known as wet-mix, is prepared by mechanically mixing a
measured amount of water with the graded aggregate to ensure that it is at the optimum
moisture content for maximum dry density at the start of field compaction.
2. It is a layer composed of broken-stone (or crushed- gravel or crushed-slag) fragments that
are bound together by stone dust and water applied during construction, in connection with
consolidation of the layer by a heavy roller or a vibratory compactor.
3. This type of macadam road closely resembles those so widely used in the early days of road
building. Now water-bound macadam roads are seldom constructed.
d. Bituminous or Penetration Macadam
1. It is crushed-stone or crushed-slag base or wearing surface in which the fragments are bound
together by bituminous material; the aggregate layer is compacted, and bituminous material
is applied to the surface of the layer.
2. The bituminous material then penetrates into the voids of the compacted layer and serves
to bind the fragments together.
e. History
John Mc Adam, a famous Scottish road builder and engineer, insisted on the use of smaller stone-
about 1.5" (38 mm) maximum size for the entire thickness of the pavement. The first roads of
this type were built by him in England early in the nineteenth Century.
Nama John Mc Adam tsb digunakan sebagai terminologi macadam (USA dan UK), dan makadam
(Indonesia).

Semoga bermanfaat.
JOG 11 Agustus 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
FORMULA EMPIRIK DEGREE OF COMPACTION OR DENSITY RATIO HOTMIX ASPHALT
PAVEMENT MENURUT PENSIUNAN GURU BANDARA

Density Ratio (DR) = Field density × 100% / Laboratory density.


Voids in Mix = 3% - 5%.
In-place air voids = 3% - 7,5%.

DR min = 100 / (1,081 - 0,0108 × VIM).

A. Korelasi DR dengan VIM :


1. VIM = 3% - 3,25%.
DR min = 95,5%.
2. VIM = 3,26 - 3,5%.
DR min = 96%.
3. VIM = 3,51% - 3,75%.
DR min = 96%.
4. VIM = 3,76% - 4%.
DR min = 96,5%.
5. VIM = 4,01% - 4,25%.
DR min = 96,5%.
6. VIM = 4,26% - 4,5%.
DR min = 97%.
7. VIM = 4,51% - 4,75%.
DR min = 97%.
8. VIM = 4,76% - 5%.
DR min = 97,5%.

B. Disederhanakan dengan pembulatan keatas :


a. Mat density.
Dijadikan 3 kategori.
1. VIM = 3% - 3,75%.
==> DR min = 96%.
2. VIM = 3,76 - 4,75%.
==> DR min = 97%.
3. VIM = 4,76% - 5%.
==> DR min = 98%.
Dijadikan 2 kategori.
1. VIM = 3% - 3,99%.
==> DR min = 97%.
2. VIM = 4% - 5%.
==> DR min = 98%.
Jangan digeneralisasi
==> DR min = 98%.
b. Joint density.
DR joint = DR mat - 2%.

C. Note :
1. Voids in Mix (VIM) - rongga udara hotmix di laboratorium dari benda uji Marshall.
2. In-place air voids - rongga udara hotmix di lapangan dari benda uji core-drill.
3. Pengelompokan DR menjadi 2 kategori tercantum dalam : KP 14, tgl 19 Januari 2021,
Spesifikasi Teknik Pekerjaan Bandara.
4. DR min 98%, tercantum dalam SU BM 2018, Revisi Oktober 2020, Tabel 6.3.8.2, hal 6-67.

Semoga bermanfaat.
JOG 22 Juni 2021.
Reshare 10 Agustus 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
FORMULA DENSITY OF HMA

1. Field Density (FD)


Dry weight of core-drill sample / (SSD weight - SSD weight submerged in water).
Field density = In-place density.
2. Laboratory Density (LD)
Dry weight of compacted sample / (SSD weight - SSD weight submerged in water).
Laboratory density = Bulk specific gravity of compacted sample.
3. Maximum Theoretical Density (MTD) or Theoretical Maximum Density (TMD)
Pmm / (Ps/Gse + Pb/Gb).
Pmm - total weight of mixture.
Ps - weight of aggregate.
Pb - weight of asphalt.
Gse - effective specific gravity of aggregate coated with asphalt.
Gb - specific gravity of asphalt (1.03).
4. Control Strip Density (CSD)
The bulk density of a control strip that is constructed using selected rolling procedure.
Artinya :
Kepadatan lapangan di area Trial Compaction yang sudah dipilih Rolling Pattern nya. Rolling
Pattern adalah pola pemadatan yang ditentukan berdasarkan bobot alat pemadat : Steel
Wheel/Tandem Roller, Pneumatic Tire Roller, dan jumlah lintasan setiap Fase/Tahap, meliputi :
Breakdown Rolling, Intermediate Rolling, dan Final/Finish Rolling.
Dasar pemilihannya adalah Control Strip Density minimum 98% atau 99% terhadap Bulk Specific
Grafity dari JMF (Job Mix Formula).

Formula Density Ratio (DR) :


1. DR = FD × 100 / LD.
Minimum 95%, 96%, 97% atau 98%, tergantung dari nilai VIM JMF yang direncanakan (design air
voids 3% - 5%).
Formula ini digunakan untuk kriteria penerimaan pekerjaan hotmix asphalt pavement/overlay di
seluruh Indonesia.
2. DR = FD × 100 / TMD.
Minimum 92%, 92,5% atau 92,8%, dengan target In-place air voids : 3% - 8% atau 7,5% atau 7,2%.
Formula ini jarang sekali digunakan di Indonesia.
3. DR = FD × 100 / CSD.
Minimum 98% atau 99%.
Formula ini tidak digunakan di Indonesia.
4. The Asphalt Institute MS-4, 1989, p-302, 303.
DR min = 96% × LD = 92% × MTD = 99% × CSD.

Semoga bermanfaat.
JOG 23 Juli 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
TYPES OF DENSITY SPECIFICATIONS USED FOR CONSTRUCTION OF
HMA PAVEMENTS

Reference :

NAPA, 1996, Hotmix Asphalt (HMA).


1. Density Secified as Percent of Laboratory Density
a. Typically density specifications require that field density (FD) be at least 95% of laboratory
density (LD) and, in some cases, at least 98%.
In order for this type of specification to work effectively several items are required.
b. The material produced at the HMA facility must be compacted in the field laboratory to
establish a reference density and to evaluate the amount of air voids in the mixture at the
reference density.
c. The field-produced mix matches the mix design volumetric properties, the laboratory
compacted samples should provide the same air voids content used in the mix design.
d. This is typically 4%. If an in-place air voids content of 8% is desired for a mix designed at 4%
voids, the in-place density should be 96% of the reference laboratory density (AI MS-22).
DR = FD × 100 / LD, minimum 95% to 98%.
FD = Dry weight of core-drill sample / (SSD weight - SSD weight submerged in water).
LD = Dry weight of compacted sample / (SSD weight - SSD weight submerged in water).
2. Density Specified as Percent of Theoretical Maximum Density
a. The method of compaction control for density is to require that the contractor achieve some
minimum percentage of the Theoretical Maximum Density (TMD).
b. The bulk density of the asphalt mixture is measured after compaction of the in-place mixture
(FD), and compared to the TMD.
c. Some states do not compact samples of the field-produced materials in the laboratory during
construction (bulk specific gravity or laboratory density).
d. Some engineers believe that laboratory compaction of samples (LD) is not necessary since
the reference density is based on the TMD which is determined without compacting samples.
DR = FD × 100% / TMD, minimum 92%.
TMD = 100 / ((100 - Pb)/Gse + Pb/Gb).
Pb - % of binder by total weight of mixture.
Pb - specific gravity of binder (1,03).
Gse - effective specific gravity of aggregate.
3. Density Specified as Percent of Control Strip Density
a. This method that is used to specify density is to compare the bulk density of the in-place
asphalt mixture to the bulk density of a control strip that is constructed using selected rolling
procedure.
b. Most specifications that use the control strip method require that the control strip be
compacted to some minimum percentage of the design laboratory density (LD) or to some
minimum percentage of TMD.
c. Assume that a specification requires that a control strip have a density of at least 94% of
TMD, and that all HMA placed after the control strip have a density of at least 98% of the
control strip.
d. This specification could be made simpler by requiring that the in-place mixture be compacted
to a minimum density of 0,94 × 0,98 = 0,92 or 92% of TMD.
Note :
1. Di Indonesia untuk pekerjaan HMA pavement/overlay, DR atau Degree of Compaction masih
menggunakan persyaratan no 1, yaitu : Persen dari Laboratory Density atau Bulk specific gravity,
minimum 96%, 97% atau 98%, tergantung desired VIM dari JMF nya.
2. Menurut beberapa referensi terbaru, DR menggunakan persyaratan no 2, yaitu berdasarkan
persen dari TMD, minimum 92%. Persyaratan DR berdasarkan persen dari TMD sudah
direcomendasikan dalam The Asphalt Institute MS-4, 1989, yaitu minimum 92%.
3. The Asphalt Institute MS-4, 1989, juga mensyaratkan :
FD di lapangan berdasarkan produksi harian (lot production), dibandingkan dengan FD dari hasil
Trial Compaction (Control Strip Density), minimum 99%, sedangkan NAPA, 1996, mensyaratkan
minimum 98%, tetapi In-place air voids harus diperhatikan, maksimum 8%.
4. Menurut penjelasan point 2 di atas, beberapa engineer dan State di USA menjelaskan, apabila DR
dinyatakan dalam persen dari TMD, tidak diperlukan pemadatan sampel hotmix di laboratorium
(LD) selama produksi. Kalau diterapkan di Indonesia mungkin kurang tepat, masih diperlukan
pemadatan sampel hotmix di laboratorium, untuk mengontrol Marshall properties-nya apakah
masih sesuai/mendekati JMF, terutama : density, stability, flow, dan VIM. Pemadatan sampel
hotmix di laboratorium tidak perlu dilaksanakan berdasarkan produksi harian, tetapi cukup 3 atau
5 hari sekali untuk 3 sampel, atau berdasarkan bobot/tonase tertentu, misal 3 sampel untuk
setiap 1.500 ton produksi hotmix.

Semoga bermanfaat.
JOG 19 Juli 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
Berguru Hotmix Asphalt kepada Suhu Bpk Ir. J. Hendro Moeljono

1. Th 1982 saya kuliah di Pasca Sarjana Jalan Raya ITB-PU. Semester II ada MK Peralatan Konstruksi
Perkerasan, diajar dosen Bapak Ir. J. Hendro Moeljono, mantan Pimpro Jalan Tol Jagorawi.
2. Th 1982, kalau tidak salah beliau menjabat sebagai Kakanwil PU di Manado, sehingga beliau
mengajarnya setiap hari Sabtu, pk 08.00 - 16.30.
3. Jumlah mhsw 44 orang, berasal dari Kontraktor, Bina Marga, Konsultan dan Universitas.
Kuliah Sesi terakhir bahas tentang : Hotmix, JMD, JMF, Trial Compaction, Rolling Pattern, Density,
QC.
4. Menjelang kuliah berakhir beliau sudah siap2 mau pulang memberi kesempatan kepada
mahasiswa untuk bertanya.
a. Saya bertanya kpd beliau : Pak, satuan hotmix koq pakai ton, menghitung bobot/tonasenya
apakah berdasarkan penimbangan hotmix di AMP atau dengan rumus pendekatan : Luas ×
Tebal rata2 dari core-drill × Density = ...... Ton.
Jawaban beliau lugas : Di AMP ada komponen, namanya Weigh Hopper. Weigh artinya bobot
atau penimbangan, bukan takaran, sehingga bobot/tonase hotmix harus dihitung
berdasarkan penimbangan setelah hotmix keluar dari AMP, tidak ada cara lain.
b. Teman saya dari Kontraktor bertanya : Pak, apa alasannya bahwa produksi harian hotmix di
AMP harus mengikuti JMF.
Mungkin karena beliau sudah capek, jawaban beliau agak keras : JMF itu singkatan dari Job
Mix Formula, Formula artinya pedoman yang harus diikuti, kalau produksi hotmix harian
tidak mengikuti JMF, lebih baik tidak usah memproduksi hotmix, sayang AMP nya.
Semua mahasiswa di kelas tertawa mendengar jawaban beliau, tetapi beliau sendiri tidak
ikut tertawa.
5. Awal 1983, saya dkk magang selama seminggu di Proyek Pembangunan Jalan Tol Jakarta -
Tangerang. Kontraktornya konsorsium dari : Takenaka Komuten, Nipon Hodo, Hutama Karya,
disingkat : Takenaka Nipo Hutama. Konsultan supervisi PCI dari Jepang. Ternyata yang dijelaskan
Pak Hendro Moeljono benar, bahwa bobot/tonase hotmix di Proyek tsb dihitung dengan cara
menimbang bobot dump truck kosong dan dump truck terisi hotmix. Selisih bobot dump truck
tsb adalah bobot hotmix dalam Ton.
Note :
Dari nostalgia berguru 40 th yang lalu dapat saya ambil hikmahnya.
Apabila sekarang masih ada engineer yang menghitung bobot/tonase hotmix dari produksi AMP tidak
dilakukan dengan cara penimbangan, dan memproduksi hotmix harian di AMP tidak mengikuti JMF,
artinya engineer tsb tidak menyadari bahwa ilmunya tentang hotmix asphalt pavement sudah
ketinggalan 40 tahun, atau 2 generasi.

Semoga bermanfaat.
JOG 10 Juli 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
DENSITY RATIO BERDASARKAN PERSEN DARI LABORATORY DENSITY DAN VIM
DARI JMF

A. Pengantar
Wardhani Sartono, 2020, mengambil di tengah In-place air voids dari Asphalt Institute MS-2, 2000
(3% - 8%) dan R. B. Mallick & T. El-Korchi, 2014, 2018 (3% - 7,2%).
In-place air voids 3% - 7,5%, (digunakan untuk hotmix asphalt pavement bandara, dalam KP 14 th
2021).
DR min = FD/LD × 100%.
FD - Field density.
Density Ratio (DR) dinyatakan dalam persen terhadap Laboratory Density (LD) dari Job Mix
Formula (JMF).
VIM - Voids in Mix dari JMF = 3% - 5%.

B. Formula empirik sederhana


DR dapat dihitung dengan menggunakan formula empirik sederhana sbb :
DR = 100/(1,081 - 0,0108 × VIM).
Contoh hitungan :
VIM JMF = 3,4%.
DR = 100/(1,081 - 0,0108 × 3,4) = 95,76% ~ 95,8%.
Kalau dihitung, nilai DR berdasarkan VIM : 3% - 5%, sbb :
1. VIM = 3%, DR min 95,4%.
2. VIM = 3,25%, DR min 95,6%.
3. VIM = 3,5%, DR min 95,9%.
4. VIM = 3,75%, DR min 96,1%.
5. VIM = 4%, DR min 96,4%.
6. VIM = 4,25%, DR min 96,6%.
7. VIM = 4,5%, DR min 96,9%.
8. VIM = 4,75%, DR min 97,1%.
9. VIM = 5%, DR min 97,4%.
DR pada Joint (sambungan) = DR mat (hamparan dengan jarak min 30 cm dari joint), dikurangi
2%.
VIM dengan nilai di antara angka2 tsb di atas dapat dipilih atau interpolasi nilai DR dengan
pembulatan keatas.

C. Disederhanakan :
1. VIM = 3% - 3,25%.
DR min = 95,5%.
2. VIM = 3,26 - 3,75%.
DR min = 96%.
3. VIM = 3,76% - 4,25%.
DR min = 96,5%.
4. VIM = 4,26% - 4,75%.
DR min = 97%.
5. VIM = 4,76% - 5%.
DR min = 97,5%.

D. Spesifikasi Teknis Hotmix Asphalt untuk Bandara dalam KP 14 tahun 2021.


Disederhanakan lagi dan dibulatkan keatas (0,5%), hasilnya sbb :

a. Mat density.
1. VIM = 3% - 3,99%.
DR min = 96,5% ~ 97%.
2. VIM = 4% - 5%.
DR min = 97,5% ~ 98%.
b. Joint density.
1. VIM = 3% - 3,99%.
DR min = 95%.
2. VIM = 4% - 5%.
DR min = 96%.

E. Note :
1. Density Ratio juga dapat dinyatakan berdasarkan persentase terhadap nilai :
a. Laboratory Density, min 96%.
b. Maximum Theoretical Density, min 92%.
c. Control Strip Density, min 99%.
2. Menetapkan spesifikasi DR atau Derajat Kepadatan hotmix hanya menggunakan satu nilai,
min 98%, tanpa memperhatikan nilai VIM, sedangkan DR < 98% dianggap tidak memenuhi
syarat, adalah spesifikasi yang tidak tepat.
3. Apabila terdapat lokasi atau segmen hotmix asphalt pavement/overlay mempunyai nilai DR
< 98%, jangan ter- gesa2 dibongkar atau pelaksananya didenda. Nilai DR dievaluasi kembali
berdasarkan VIM dan dapat menggunakan daftar DR yang tercantum pada point C di atas.

Semoga bermanfaat.
JOG 1 Juli 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
PERLUKAH UJI PRD DIJADIKAN SYARAT SEBAGAI QUALITY CONTROL
UNTUK PEKERJAAN HOTMIX ASPHALT

A. Penjelasan singkat

Percentage Refusal Density (PRD) adalah menguji sampel hotmix diameter 10 cm, jumlah
tumbukan 2 × 400 blows, tujuannya untuk mengetahui voids in mix, syaratnya min 2%.

B. Referensi :

1. Robert N. Hunter, 2000, Asphalts in road construction, page 420 - 421.


a. The Percentage Refusal Density (PRD) is a measure of the relative state of compaction
of cores extracted from the pavement layers.
b. Currently, it is only applicable to dense coated macadam roadbases and basecourses
including heavy duty macadams.
c. The main drawbacks of the PRD test for control purpuse are the time it takes to achieve
a result and the intensity of labour required.
d. The adverse effect this also has on client/contractor relationships has been reported by
various engineers since the introduction of the test for acceptance purposes.
e. Nevertheless, it seems likely that this test, or a variation of it, will be used for the
foreseeable future.

2. Asphalt Institute MS-2, 2000 dan 2014, Mix Design Methods for Asphalt Concrete, tidak
mencantumkan persyaratkan uji PRD min 2% sebagai persyaratan QC dan RMS yaitu : MS
(60°C, 24 jam), dibagi MS (60° C, 30 menit) × 100%.

3. KP 14 tahun 2021, Spesifikasi Teknis Pekerjaan Fasilitas Sisi Udara Bandara, tidak
mensyaratkan pengujian PRD sebagai QC, mensyaratkan uji TSR min 80%, tetapi bukan
berdasarkan produksi harian.

4. Di UK mensyaratkan RMS atau Immersion Index min 75%.


PRD digunakan sebagai penelitian, bukan sebagai persyaratan QC.

5. FAA AC 150/5370- 14B, 2000, Hotmix Asphalt Paving, tidak mensyaratkan uji PRD sebagai QC.

6. Asphalt Institute MS-22, 2000, Construction of Hotmix Asphalt Pavements, tidak


mensyaratkan uji PRD sebagai QC.

7. FAA AC 150/5370- 10G, 2014 dan -10H, 2018, Standards for Specifying Construction of
Airports, tidak mensyaratkan uji PRD sebagai QC.
Ada syarat tambahan TSR min 80%.

8. R. B. Mallick and Tahar El-Korchi, 2018, Pavement Engineering, tidak membahas uji PRD
sebagai QC.
9. NAPA, 1991, 1996, Hot Mix Asphalt Materials, Mixture Design and Construction, tidak
menjelaskan dan mensyaratkan uji PRD sebagai QC, tetapi mensyaratkan RMS min 75% dan
TSR min 70%.

10. Spesifikasi Umum 2018 BM, Devisi 6, subchapter 6.3.7 point 5.b.viii : mensyaratkan pengujian
PRD harus dilaksanakan setiap hari produksi Laston, bersamaan dengan uji Marshall, nilai
Voids in Refusal Density, min 2%.

C. Note :

1. Dari uraian referensi 1 tsb di atas, uji PRD hanya digunakan untuk macadam roadbase dan
basecourse, cukup penting tetapi tidak prioritas.
Apakah perlu pengujian PRD dijadikan syarat QC untuk AC-WC dan AC-BC?

2. Pengujian PRD memerlukan usaha yang tinggi, beaya mahal, sebagai indikator bahwa hotmix
tsb setelah melayani lalulintas pada akhir design life (20 th), asphalt pavementnya masih
mepunyai void min 2%.
Seandainya uji PRD dilakukan hanya 3 sampel khusus untuk AC-Base/ATB dalam satu proyek
dari awal sampai selesai, guna penelitian, mungkin bisa diterima.

3. Ada yang lebih penting dari pada berharap void/rongga dalam campuran asphalt pavement
pada akhir design life min 2%. Lebih baik berusaha membangun hotmix asphalt pavement
yang mempunyai durability tinggi, tidak terjadi kerusakan dini sebelum asphalt pavement tsb
melayani lalulintas selama minimal 50% dari design life 20 th, atau 10 th.

4. Para pavement engineer yang membuat spesifikasi teknik hotmix asphalt harus banyak
membaca referensi yang upto date, serta harus mendengarkan masukan dari tim pelaksana,
yang meliputi : Satker, Kontraktor dan Konsultan Supervisi.
Mereka harus memperhitungkan potensi temuan auditor pada saat pekerjaan tsb diaudit.

Semoga bermanfaat.
JOG 29 Juni 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
MEMADATKAN SUBBASE COURSE DI ATAS SUBGRADE
MENGIKUTI METODA MBAH CARIK PENJUAL JADAH DI KALIURANG

1. Wheel load of vehicles or aircrafts on the upper layer (concrete slab for Rigid Pavement, and HMA
surface course for Flexible Pavement) that are spread to the bottom layer (subgrade) should be
as gradual as possible.
2. Menghampar subbase course dengan CBR 60% langsung diatas subgrade dengan CBR 6% kalau
dikertas mudah. Tetapi kalau dilaksanakan di lapangan, pada saat proses pemadatan subbase
berlangsung, roda roller berjalan, permukaan subbasenya melendut (naik turun), karena daya
dukung lapisan bawahnya (subgrade) terlalu rendah (CBR 6%), dibandingkan dengan daya dukung
lapisan atasnya (subbase, CBR 60%).
3. Akibatnya subbase sangat sulit mencapai CBR 60%, dan lapisan subgrade bagian atas bisa rusak
berupa retak2 melintang (overstress), karena over compaction, efek dari pemadatan subbase
dengan jumlah lintasan roller yang banyak.
4. Retak melintang di permukaan subgrade yang agak lebar, air yang meresap dari lapisan di atasnya
dapat masuk ke dalam permukaan subgrade sehingga dapat menurunkan daya dukung subgrade.
5. Dr Tommy E Nantung, 2013, menyatakan bahwa penambahan kadar air (moisture) 3% - 5% di
subgrade yang sudah dipadatkan pada kondisi OMC, dapat menurunkan daya dukungnya hingga
50%.
Seharusnya diatas subgrade dengan CBR 4% - 15%, dibawah subbase, dihampar Capping Layer,
tebal > 20 cm, granular material CBR 15% - 30%, sebagai working platform, (lantai kerja), bukan
sebagai structural layer (Nick Thom, 2014 dan R. N. Hunter, 2000).
6. Belajar dari metoda kerjanya mbah Carik penjual jadah di Kaliurang, Yogyakarta sbb :
Saat mbah Carik membuat jadah dengan menumbuk ketan yang sudah masak dan masih panas
didalam tumbu (tempat yang terbuat dari bambu), tumbunya diletakkan diatas papan kayu yang
keras. Kalau tumbunya diletakkan diatas benda yang lunak (kasur), maka jadahnya tidak dapat
padat.
Ternyata mbah Carik sudah menggunakan prinsip Pavement Engineering : The degree of
compaction of upper layers during construction are significantly influenced by the bearing
strength of underlying layers.
7. Prof. H. J. Th. Span, TU Delft 1988 : The ratio between the bearing strength of underlying layer
and upper layer should be equal to or more than 1/3. In the other words, the minimum CBR of
subgrade or capping layer is 1/3 × CBR of subbase course, and the minimum CBR of subbase
course is 1/3 × CBR of base course.
8. Bagi pavement designer yang masih merancang struktur perkerasan tanpa memperhatikan
workability (kemudahan dalam pelaksanaan) seperti uraian singkat di atas, disarankan untuk
belajar langsung ditempatnya mbah Carik penjual jadah tsb.

Semoga bermanfaat.
JOG 25.05.2020.
Reshared 14.06.2021.
Wardhani Sartono (Pensiunan guru bandara).
PRINCIPLE OF PAVEMENT ENGINEERING

Reference :

Nick Thom, 2014, page 184.


A. Description
Underlying each pavement design method, often out of sight of the user, are certain key
principles. In reality, there are just a handful of conceptually simple tasks that a pavement has to
fulfil, which can be summarised as follows.
1. Protect the subgrade.
In general, the natural ground will not be strong enough to bear traffic load directly, it would
deform and rut. The pavement must therefore be stiff enough and thick enough to distribute
the load from the vehicle wheels over a wide enough area not to cause excessive subgrade
deformation.
2. Guard against deformation in the pavement layers.
At every level in the structure of the pavement the materials used must themselves be stable
enough not to suffer deformation under the stresses experienced at that level.
3. Guard against break-up of the pavement layers.
Similarly, the internal strength of the pavement layers must be sufficient not to allow
excessive cracking to develop under traffic loading.
4. Protect from environmental attack.
The materials used should be such that they do not lose their properties under attact from
whatever the local climate throws at them, or with the passage of time. Drainage must be
adequate to prevent excessive water build-up at any level in the pavement.
5. Provide a suitable surface.
Requirement of evenness, skid resistance, noise and/or spray suppression may vary, but the
design has to be suited to the provision of an appropriate pavement surface.
6. Ensure maintainability.
Accepting that no pavement lasts forever, the design must ensure that it is possible to carry
out necessary maintenance within acceptable limits of disruption and cost.
These six key tasks together define successful engineering design, and much of this part of
the book is denoted to the techniques by which such design can be achived. However, design
is also constrained by arguably equally important non-engineering principles.

B. Note :

1. Untuk memenuhi 6 syarat tsb diatas, Nick Thom, University of Nottingham, 2014,
merekomendasikan bahwa Tipikal Flexible Pavement, terdiri dari 6 lapis, urutan dari atas ke
bawah sbb :
a. Surface course or wearing course, - asphalt (AC-WC).
b. Binder course or base course, - asphalt (AC-BC).
c. Base course (TRRL/TRL - Road base).
d. Sub-base.
e. Capping layer.
f. Subgrade or Substrate.

2. Subgrade CBR 4% - 15%, diperlukan Capping layer, CBR 15% - 30%, tebalnya bervariasi 15 cm
- 60 cm.
Kalau Subgrade, CBR 4%, diperlukan Capping layer, tebal 60 cm.
Subgrade CBR 15%, diperlukan Capping layer, tebal 15 cm, sedangkan Subgrade CBR 4% -
15%, tebal Capping layer dapat ditentukan dengan interpolasi.

3. TRL, 1993, menyamakan Capping layer dengan Selected subgrade atau Improved subgrade,
sedangkan TRRL 1970, menyamakan Capping layer dengan Weather protection atau
Drainage protection.

4. Bagi Pavement Engineer yang selama ini dalam merancang struktur perkerasan tidak pernah
menggunakan Capping layer atau Improved subgrade, semoga segera mendapat hidayah
untuk kembali ke jalan yang benar, dengan membaca referensi dari edisi lama sampai dengan
edisi terbaru. Gunanya untuk mencegah terjadinya kerusakan dini akibat penurunan daya
dukung Subgrade.

5. Struktur perkerasan yang mengalami kerusakan dini, yaitu rusak saat beroperasi melayani
lalulintas (kendaraan atau pesawat) selama 1/3 design life 20 th, atau 6,5 th, maka yang
paling dirugikan adalah Negara, yang bertanggung jawab adalah Perencana, Pelaksana,
Pengawas, dan yang menyetujui hasil perancangan tsb.

Mari berbuat yang terbaik untuk Bangsa dan Negara.


Semoga bermanfaat.
JOG 09.06.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
PERSYARATAN FRICTION/SKID RESISTANCE RUNWAY BANDARA
CODE 4C & 4E

Referensi :

ICA0 Airport Services Manual, Part 2, 2002.


Runway Surface Conditions.

Berdasarkan alat uji dan kecepatan dalam mph.

A. Mu-meter, V = 40 mph.
1. New surface : 0.72.
2. Maintenance : 0.52.
3. Minimum : 0.42.

B. Mu-Meter, V = 60 mph.
1. New surface : 0.66.
2. Maintenance : 0.38.
3. Minimum : 0.26.

C. Runway friction tester, V = 40 mph.


1. New surface : 0.82.
2. Maintenance : 0.60.
3. Minimum : 0.50.

D. Runway friction tester, V = 60 mph.


1. New surface : 0.74.
2. Maintenance : 0.54.
3. Minimum : 0.41.

E. Skiddometer, V = 40 mph.
1. New surface : 0.82.
2. Maintenance : 0.60.
3. Minimum : 0.50.

F. Skiddometer, V = 60 mph.
1. New surface : 0.74.
2. Maintenance : 0.47.
3. Minimum : 0.34.
Note :

1. Nilai friction/skid resistance runway sangat dipengaruhi oleh macrotexture dan microtexture
permukaan runway. Macrotexture dan microtexture sangat dipengaruhi oleh kualitas hotmix
asphalt, meliputi : bahan susun (agregat dan aspal), JMF dan metoda Pelaksanaan.

2. Rubber deposit dan bahan kontaminan lainnya (lumpur, tumpahan olie) dapat menurunkan nilai
skid resistance secara drastis, oleh karena itu permukaan runway harus bersih dari rubber deposit
dan bahan kontaminan.

3. Frekuensi pengujian Friction/Skid Resistance setiap runway ber -beda2, tergantung dari jumlah
pesawat jet yang landing perhari, karena hal ini sangat mempengaruhi ketebalan rubber deposit
di Touch Down Zone.

4. Kedua ujung Runway, di area dari threshold sepanjang 200 m - 300 m sering tidak teruji dengan
alat uji skid resistance, karena digunakan untuk pencapaian kecepatan alat uji dari 0 - 40/60 mph.

5. Area di kedua ujung runway sepanjang 200 m - 300 m tsb harus diuji dengan alat TRRL Texture
Meter (secara manual), karena di kedua area ini sering digunakan untuk turning pesawat saat
takeoff dan setelah landing.

6. IRI (International Roughness Index), terkait dengan runway comfort dapat diuji dengan alat uji :
Laser Beam Profilometer.
Syarat untuk runway, IRI max 1,8 mm/m, referensi lain ada yang menetapkan, IRI max 2 mm/m.

Semoga bermanfaat, terutama bagi para inspektur landasan.


JOG 03.04.2018.
Share ulang 02.06.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
LABORATORY COMPACTION OF HOTMIX ASPHALT (HMA)
Nasehat bagi Kontraktor dan Konsultan Supervisi

Asphalt Institute MS-2, 2014 (4.3).

1. As part of all detailed mix design procedures, the asphalt mixture is compacted by some method
into speciments for further testing.

2. The laboratory compaction effort is intended to replicate the ultimate on final compacted
condition of the pavement after being exposed to several years of traffic loading.

3. Experience has shown that the pavements that maintain an air void level of around 4 percent
provide the best long-term performance in the field.

4. As a result, choosing the appropriate level of compaction in the laboratory is crucial in designing
a well performing mixture.

Terjemahan ringkas

1. Sebagian dari seluruh uraian prosedur mix design, campuran hotmix dipadatkan dengan
beberapa cara dalam sampel untuk uji selanjutnya.

2. Usaha pemadatan laboratorium dimaksudkan untuk meniru secara ultimit dalam konsisi
pemadatan akhir dari perkerasan setelah terbuka (tidak terlindungi oleh cuaca) beberapa tahun
dari pembebanan lalulintas (truck atau pesawat).

3. Pengalaman menunjukkan bahwa perkerasan yang mempertahankan rongga (void) dengan


tingkat/kondisi sekitar 4%, memberikan kinerja jangka panjang di lapangan yang terbaik.

4. Hasilnya, pemilihan derajad kepadatan yang tepat di laboratorium adalah sangat penting dalam
perancangan campuran HMA dengan kinerja yang baik.

Note :

1. VIM (Voids in mix) dari JMF (Job Mix Formula) : 3% - 5%.


In-place air voids :
a. Asphalt Institute MS-2, MS-22 : 3% - 8%.
b. R. B. Mallick and T. El-Korchi (2013, 2018) : 3% - 7,2%.
Artinya, HMA pada saat awal masa pelayanan (service life), initial in-place air voids, maksimum
7,2% atau 8%, minimum 6%.
Pada saat akhir masa pelayanan, final in-place air voids, minimum 3%.
Batas kritis, apabila in-place air voids mencapai 2%.
2. Derajad kepadatan/Degree of Compaction/Density Ratio (DR) = Field density / Laboratory density
× 100%.
DR min harus memperhatikan nilai VIM dari JMF.
VIM : 3%, DR min 96%.
VIM : 3,5%, DR min 96,5%.
VIM : 4%, DR min 97%.
VIM : 4,5%, DR min 97,5%
VIM : 5%, DR min 98%.

3. DR yang tinggi mendekati 100% terhadap Laboratory Density (LD), atau > 94% terhadap
Theoretical Maximum Density (TMD), sehingga in-place air voids < 6%, tidak direkomendasikan.

Semoga bermanfaat.
JOG 04.05.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
DETERIORATIONS OF RIGID PAVEMENTS DUE TO POOR/LOW
SUBGRADE SUPPORTS

Reference :

Austroads, Visual assessment of pavement condition, 1987.


1. Depression
Depression in the pavement surface, almost invariably across a crack or joint.
2. Faulting
Differential residual vertical displacement of abutting slabs at joints and cracks creating a step
deformation.
3. Rocking
It is a dynamic phenomenon where there is vertical movement at a joint or crack under traffic.
Usually due to loss of support caused by pumping.
4. Block crack
Interconnected cracks forming a series of blocks approximately rectangular in shape, commonly
distributed over the full pavement.
5. Corner crack/break
A crack extending diagonally from a longitudinal edge to a transverse joint.
6. Pumping
Pumping is the ejection of material by water through joints or cracks caused by deflection of the
slab under passing loads. It carries particles of gravel, sand, clay, or silt and results in a progressive
loss of pavement support. Pumping near joints indicates poor joint sealer and loss of support
which will lead to cracking under repeated loads. Finally, pumping can reduce subbase and
subgrade supports.
Note :
1. Jenis kerusakan nomor 1 s/d 5 tsb di atas banyak ditemukan pada struktur Rigid Pavement, tipe
Jointed Plain/Unreinforced Concrete Pavement (JPCP/JUCP) yang dibangun di atas subgrade
dengan daya dukung rendah. Kerusakan pumping yang tidak segera diperbaiki dapat menurunkan
daya dukung subbase dan subgrade.
2. Para airport atau highway engineer yang berpendapat bahwa Rigid/Concrete Pavement dapat
dibangun di atas subgrade/tanah dasar dengan daya dukung rendah (CBR : 3% - 4%, atau E : 30
MPa - 40 MPa), serta menghilangkan base course dan subbase course, mereka sebaiknya belajar
lagi dengan membaca banyak literature Pavement Engineering yang kredibel.

I hope it is useful.
JOG 15.06.2020.
Reshare 24.04.2021.
Wardhani Sartono.
Retired lecturer of airport engineering
CAPPING LAYER/IMPROVED SUBGRADE/SELECTED SUBGRADE/SELECTED
MATERIAL UNTUK HIGHWAY DAN AIRPORT PAVEMENT

A. Surat Dirjen BM No. BM 0603-Db/849, tg 03.08.2021, Point 3a Perkerasan Jalan :


Perencanaan lapis perkerasan agar mengacu pada MDP 2017 termasuk suplemennya.
Agregat kelas A dapat digunakan sebagai alternatif material drainage layer.
Material timbunan pilihan berbutir (granular selected material) dapat digunakan sebagai
alternatif material capping/separator layer.
B. Prof. H. J. Th. Span, 1988
Beliau Guru besar TU Delft, mengajarkan sbb :
Subgrade dengan nilai CBR = 3% - 15%, harus dilindungi Capping Layer, berupa granular material,
CBR = 15% - 30%, tebal 15 cm (CBR subgrade 15%) sampai 60 cm (CBR subgrade 3%), sebagai lapis
pelindung subgrade atau working platform, bukan sebagai Structural Layer. Tujuannya agar
supaya tidak terjadi kerusakan permukaan subgrade (overstressed) akibat lintasan roda Peralatan
Konstruksi saat pelaksanaan lapisan di atasnya, yaitu Subbase dan Base Course.
Hal ini juga dijelaskan dalam literatur : Dr. Robert N. Hunter, 2000, Asphalts in Road Construction.
C. Norbert Dellate, 2008, page 86
The separator layer may be a granular base material or an appropriate geotextile.
The separator layer must :
a. Prevent fines from pumping up from the subgrade into the permeable base.
b. Provide a stable platform fo facilitate the construction of the permeable base and other
overlying layers.
c. Provide a shield to deflect infiltrated water over to its edge drain, thereby providing
protection for the subgrade.
d. Distribute live loads to the subgrade without excessive deflection.
Only an aggregate separator layer can satisfactorily accomplish (b) and (d).
The granular separator layer is prefered to the fabric since the granular layer will provide the
construction platform and distribution of loads to the subgrade.
The thickness of the granular separator layer is dictated by construction requirements and can
range from 10 cm - 30 cm.
D. Mencontoh FP yang Sudah Terbukti Mempunyai Durability Tinggi > 25 th
1. Jalan Tol Jagorawi, CBR subgrade 4%, Selected material CBR > 10%, tebal 30 cm.
Kontraktor : Morison Knudsen dari USA bekerja sama dengan PT WK, beroperasi 1978.
2. Jalan Tol Jakarta- Tangerang, CBR subgrade min 6%, Selected material CBR > 15%, tebal 25
cm - 30 cm.
Kontraktor : Takenaka- Nipo- Hutama, dari Jepang dan PT HK, beroperasi 1985.
3. Runway dan Taxiway Bandara Hang Nadim Batam, Subgrade CBR min tidak diketahui,
Improved subgrade CBR min 30%, tebalnya tidak diketahui.
Kontraktor : Hyundai, dari Korea Selatan, beroperasi 1995.
E. NOTE :

1. Kontraktor Asing yang melaksanakan Pembangunan Jalan dan Bandara tsb melibatkan
tenaga kerja dari Indonesia, mulai dari bawah sampai Site Engineer. Berarti Tenaga kerja dan
para Engineer Indonesia kalau diberi kesempatan dan contoh yang baik pasti sukses dalam
merancang dan membangun struktur perkerasan Jalan dan Bandara dengan durability tinggi.

2. Setelah th 2000 (Abad XXI) merancang dan membangun Struktur Perkerasan yang
mempunyai durability tinggi seperti 3 (tiga) contoh tsb di atas semakin langka, padahal
Prinsip Ilmu Pavement Engineering dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Yang
berubah hanya istiqomah dari para engineernya.

Semoga bermanfaat.
JOG 17.09.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
AIRPORT PAVEMENT TYPE FOR ACN-PCN ACCORDING TO ICAO
ANNEX 14, 2018 VOLUME I

1. Airport Pavements.
a. Flexible Pavement (F).
b. Rigid Pavement (R).
2. Subgrade strength category
a. High strength, CBR 15%, Code A.
b. Medium strength, CBR 10%, Code B.
c. Low strength, CBR 6%, Code C.
d. Ultra low strength, CBR 3%, Code D.
3. Maximum allowable tire pressure category
a. Unlimited, Code W.
b. High : pressure limited to 1.75 MPa, Code X.
c. Medium : pressure limited to 1.25 MPa, Code Y.
d. Low : pressure limited to 0.5 MPa, Code Z.
4. Evaluation method
a. Technical evaluation, Code T.
b. Using aircraft experience, Code U.

Contoh :

Runway 25R - 07L Bandar Udara Internasional Jakarta Soekarno-Hatta.


PCN 131 R/D/X/T.
Artinya Runway tsb mempunyai kriteria sbb :
a. Relative pavement bearing strength 131.
b. Rigid pavement (R).
c. Ultra low subgrade strength category (D).
d. Limited tire pressure, B 777-300ER = 1,55 MPa < 1.75 MPa (X).
e. Technical evaluation method (T).

Note :
1. Runway bandara2 di Jepang dan Korea Selatan, mayoritas mempunyai Subgrade strength
category A atau B, sedangkan di Indonesia mayoritas runway mempunyai Code C.
Movement area bandara di Asia yang mempunyai Ultra low Subgrade strength category Code D
hanya 2, yaitu Runway, Taxiway dan Apron Sisi Utara dan Selatan Bandara Internasional Jakarta
Soekarno-Hatta serta Apron B Bandara Internasional Juanda Surabaya.
2. Di Jepang dan Korea Selatan, mayoritas runway dibangun di atas subgrade yang kuat, karena
sesuai basic theory of pavement engineering, daya dukung struktur FP sangat tergantung dari
bearing strength base course dan subgradenya.
Mayoritas kerusakan struktur FP ditentukan oleh daya dukung subgradenya.
3. Di Belanda dan UK, runway mempunyai Subgrade strength category yang bervariasi, mulai dari
A, B dan C, saya belum pernah menemukan runway di Belanda dan UK yang mempunyai Subgrade
strength category D.
4. Mengapa Code daya dukung Subgrade (A, B, C, dan D) movement area (runway, taxiway dan
apron) setiap bandara harus diinformasikan ke AIP (Aeronautical Information Publication),
sehingga diketahui oleh Airline dan Airport Authority di seluruh dunia?
5. Padahal Subgrade adalah bagian dari struktur perkerasan yang merupakan lapisan dengan
ketebalan tertentu (JICA 1994 : 90 cm, 120 cm, 150 cm, 180 cm) tergantung dari bobot pesawat
yang dilayani, letaknya paling bawah, mempunyai uniformity (keseragaman) dalam hal bearing
capacity (daya dukung) dan density (kepadatan), serta harus mempunyai durability milebihi
design life 20 th (ICAO, FAA). Subgrade sering disebut Substrate (UK) dan Tanah Dasar, bukan
Permukaan Tanah Asli.
6. Yang dapat menjawab pertanyaan nomor 4 tsb hanya ICAO, FAA dan Boeing Airplane Company
yang berperan dalam membuat pedoman ACN-PCN.

Semoga bermanfaat.
JOG 18.09.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara
THE FOUNDATION OF FLEXIBLE PAVEMENTS

Reference :

Robert N. Hunter, 2000, Asphalts in Road Construction


A. Description
1. The pavement foundation (subbase, capping layer, subgrade) has dual function. It must
provide :
a. short-term service as a haul road and construction platform and
b. long term service as a support to the asphaltic construction above.
2. For this reason, the concept of designing a flexible pavement in two stages has been
developed in the UK.
I. Stage one :
1. It involves designing the foundation, which has to carry a limited number of heavy wheel
loads. It
2. This is done by ensuring that the combination of thickness and elastic stiffness of the
granular
3. A lower quality "capping" is placed over the soil and forms part of the earthworks. This is
covered by better quality crushed rock subbase which is commonly 15 cm thick but can be
as thick as 35 cm.
4. The design principles remain the same whether the granular layer is in two parts or only
0ne. In is essential that overstressing and plastic (i.e, permanent) deformation in the soil
are prevented.
material placed obove it is adequate.
In present UK practice, this granular layer usually consists of two parts.
a. The capping layer is not required when the assessed CBR for the soil exceeds 15%.
b. Subbase is not required on "hard rock subgrade" that are intact or, if granular, would
have a laboratory CBR of 30%, and which do not have a high water table.
addition to protecting the soil from overstressing, the layer itself must not develop
serious ruts under the action of construction traffic. For practical purposes, the rut depth
should not exceed 40 mm.
II. Stage two :
1. It of the design process involves selection of the correct combination of asphalt stiffness and
thickness to ensure that the foundation is not overstressed and that the layer itself does not
crack.
2. In addition, the roadbase, base course and wearing course combination must not develop
permanent deformation which leads to wheel track rutting.
3. This is most effectively dealt with by correct mixture design and attention to quality control on
site, particularly in regard to compaction, including the temperature of materials at the same
compaction.
B. Terjemahan
1. Foundasi perkerasan (subbase, capping layer, subgrade) mempunyai fungsi ganda. Harus
menyediakan :
a. Pelayanan jangka pendek sebagai jalan kerja dan lantai kerja selama pelaksanaan.
b. Pelayanan jangka panjang untuk mendukung pelaksanaan lapisan hotmix di atasnya.
2. Dengan alasan ini, konsep dalam perencanaan flexible pavement menjadi 2 (dua) tahap telah
dikembangkan di UK.

I. Tahap I :

1. Tahap I meliputi perancangan fondasi, yang harus mendukung beban roda kendaraan berat
terbatas.
Ini penting bahwa tegangan lebih (overstressing) dan deformasi permanen tanah dasar
(subgrade) harus dihindari.
2. Hal ini dikerjakan dengan menjamin bahwa kombinasi dari tebal dan modulus elastik (E) dari
bahan granular yang dihamparkan di atasnya mencukupi.
Di UK secara praktis saat ini, bahan granular biasanya terdiri dari 2 lapis.
3. Bahan dengan kualitas lebih rendah disebut "capping" diletakkan di atas tanah dasar (subgrade)
dan membentuk bagian dari pekerjaan tanah.
Bagian ini dilindungi dengan batu pecah berkualitas baik sebagai subbase, tebal 15 cm - 35 cm.
a. Capping layer tidak diperlukan apabila CBR tanah dasar (subgrade) > 15%.
b. Subbase tidak diperlukan diatas subgrade dengan batuan yang keras, atau granular yang
mempunyai CBR laboratorium 30% dan tidak terdapat muka air tanah yang tinggi.
4. Prinsip perancangan tetap sama apakah menggunakan lapisan granular dua lapis atau satu lapis.
Sebagai tambahan untuk melindungi tanah dasar/subgrade dari overstressing, lapisannya sendiri
tidak harus berkembang alur (rut) yang besar di bawah lintasan roda kendaraan untuk
pelaksanaan. Untuk tujuan praktis, kedalaman alur harus tidak melebihi 40 mm.

II. Tahap II :

1. Tahap II dari proses perancangan meliputi pemilihan kombinasi yang tepat antara modulus elastik
aspal dan ketebalan untuk menjamin bahwa fondasi tidak terjadi overstressed (tegangan lebih)
dan masing2 lapisan tidak retak.
2. Sebagai tambahan, gabungan dari road base (base course), base course (binder course), dan
wearing course tidak harus berkembang menjadi deformasi permanen yang mengakibatkan
rutting (alur) di lintasan roda.
3. Hal ini sangat efektif diberlakukan dengan rancangan campuran yang benar, dan memperhatikan
kontrol kualitas di lokasi, terutama yang terkait dengan pemadatan, termasuk suhu dari bahan
yang sama saat pemadatan.

Semoga bermanfaat.
JOG 20.09.2021.
Pensiunan guru bandara.
BITUMINOUS OVERLAYS ON RIGID PAVEMENTS

Reference :
A O'Flaherty, 2002, 2007, Highways, page 539.
A. Explanation
1. There is no uniformly accepted method for assessing the thickness of a bituminous overlay
required to strengthen a rigid pavement. If the existing pavement has significant deterioration it
may be appropriate to crack and seat it prior to overlying.
2. As an example, guidance on bituminous overlay thickness may then be obtained from UK design
charts for new pavements by assuming that the existing pavement is either a granular subbase
or a cement bound roadbase.
3. In addition to structural considerations, the bituminous overlay thickness will be governed by the
need to delay the development of reflection cracking initiated from joints or cracks in the
underlying pavement.
4. The FWD analysis procedure may be used to assess the required thickness of bituminous overlay
on rigid pavement, provided appropriate design criteria are available.
5. The Asphalt Institute effective procedure, described for overlays to flexible pavements, can also
be applied to rigid pavements.
As with bituminous pavements, each layer of the existing rigid pavement is converted to an
equivalent thickness of asphaltic concrete by applying an appropriate conversion factor.
6. A minimum thickness of 10 cm is recommended for bituminous overlays placed directly on
concrete pavements, if the design overlay thickness is 17,5 cm - 22,5 cm, the use of a crack-relief
layer may also be considered.
7. Asphalt Institute MS-17, Overlays, 2000.
a. Functional overlays, thickness 5 cm - 10 cm.
b. Structural overlays, thickness 10 cm - 15 cm.
c. Heavy structural overlays, thickness 15 cm - 40 cm.
B. NOTE :
1. Uraian singkat tsb di atas, Dokumen FAA AC 150/5320- 6D, Supplement 2002 & 2004, dan Asphalt
Institute MS-17, 2000, Overlays, yang mendasari FGD PT AP II di Hotel Borobudur, Jakarta, Juni
2013, menetapkan bahwa metoda Strengthening Runway 25R - 07L dan Taxiway NP-1 dan NP-2,
serta Runway 25L - 07R dan Taxiway SP-1, SP-2, WC-1 serta WC-2, Bandar Udara Internasional
Jakarta Soekarno-Hatta (BUIJSH), harus dilakukan dengan cara Hotmix Overlay on Rigid
Pavement, tidak ada metoda lain. Alasannya karena Runway harus tetap beroperasi, dan window
time hanya disediakan 7 jam, mulai dari pk 22.00 - 05.00, tetapi dalam prakteknya hanya berlaku
mulai pk 23.00 - 05.00 atau 6 jam.
2. Overlay hotmix di atas rigid pavement, tebal 19 cm, telah selesai dilaksanakan di Runway 25R -
07L dan Taxiway NP-2, selesai akhir 2019, dan akan dilanjutkan Overlay hotmix di Runway 25L -
07R dan sebagian sisi timur Taxiway NP-1 pada akhir tahun 2021.
3. Sebelumnya juga pernah dilakukan Hotmix Overlay on Rigid Pavement Struktur Cakar Ayam, tebal
slab beton 14 cm, di Jalan Tol Prof. Sedijatmo, yang beroperasi 1985. Ruas Jalan Tol tsb dioverlay
dengan hotmix tebal 10 cm, th 1988 - 1989, sampai saat ini kondisinya masih bagus.

Semoga bermanfaat.
JOG 22.09.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
KARAKTERISTIK HOTMIX ASPHALT PAVEMENT UNTUK RUNWAY DAN HIGHWAY
Wardhani Sartono
Pensiunan guru bandara DTSL FT UGM

A. Referensi :

1. NAPA, 1991 dan 1996.


2. Asphalt Institute, MS-22, 2000.

B. Penjelasan ringkas

Terdapat 7 karakteristik (properties) Hotmix Asphalt (HMA) yang digunakan untuk Surface Course
(lapis permukaan) dan Overlay Runway dan Highway, sbb :

1. Stability.
2. Durability.
3. Impermeability.
4. Workability.
5. Flexibility.
6. Fatigue resistance.
7. Skid resistance.

C. Penjelasan Ringkas

1. Stability
Perkerasan harus kuat mendukung beban lalulintas (truck atau pesawat) tanpa mengalami
deformasi/perubahan bentuk (corrugation, rutting).

2. Durability
Perkerasan harus mempunyai daya tahan terhadap pengaruh cuaca (udara dan air), ageing
(usang) dari aspal, disintegrasi dari agregat, pengelupasan aspal dari permukaan agregat
(stripping), untuk mendukung beban lalulintas (pesawat atau truck), selama design life,
minimum 20 th.

3. Impermeability
Perkerasan harus kedap, mempunyai rongga dalam campuran yang sangat kecil, sehingga air
diatas permukaan perkerasan tidak dapat meresap/masuk kedalam rongga agregat tsb.

4. Workability
Campuran bahan perkerasan (hotmix) harus mudah dikerjakan, meliputi : pencampuran
(mixing), penghamparan (spreading), dan pemadatan (compaction).

5. Flexibility
Perkerasan harus cukup lentur sehingga tidak mengalami retak2 akibat dari penurunan
subgrade secara bertahap (gradual).
6. Fatigue resistance
Perkerasan tidak mudah mengalami retak2 akibat beban lalulintas (pesawat atau truck) yang
ber ulang2 sampai umur rencana atau jumlah lintasan tertentu.

7. Skid resistance
Permukaan perkerasan harus kesat sehingga pada saat kondisi basah dilintasi kendaraan
(truck atau pesawat) sesuai kecepatan rencana, kendaraan tsb tidak tergelincir.
Dari ke 7 karakteristik HMA tsb, yang paling sulit ditentukan nilainya berdasarkan quality
control (QC) dan hasil uji di laboratorium adalah : skid resistance dan durability.

D. Skid resistance dan Durability

1. Skid resistance (kekesatan).

Nilai skid resistance dapat diukur dengan alat Mu Meter, Skiddometer, atau Runway Friction
Tester, setelah perkerasan selesai dibangun. Pengukuran skid resistance di laboratorium
dengan alat uji British Pendulum Tester tidak mewakili nilai skid resistance dari perkerasan
secara keseluruhan.

2. Durability (keawetan/kehandalan).

Durability dapat dinyatakan memenuhi syarat, setelah perkerasan tsb berfungsi melayani
kendaraan atau pesawat selama waktu tertentu, atau design life 20 tahun, dengan tahapan
sbb :

a. Sepertiga yang I dari design life 20 tahun, atau selama 6,5 tahun yang I, perkerasan hanya
mengalami kerusakan ringan. Pemeliharaan dilakukan dengan cara pavement
preservation atau preventive maintenance, diharapkan struktur perkerasan tsb
mempunyai durability tinggi (high durability pavement).

b. Struktur perkerasan yang melayani kendaraan atau pesawat sesuai volume dan beban
rencana, selama 1/3 dari design life, atau 6,5 th, tetapi sudah sering terjadi kerusakan
dengan tingkat medium deterioration, dan memerlukan minor rehabilitation, atau
corrective maintenance, maka struktur perkerasan tsb termasuk low durability
pavement.

c. Struktur perkerasan yang melayani kendaraan atau pesawat sesuai volume dan beban
rencana, selama 1/3 dari design life, atau 6,5 th, tetapi sudah sering terjadi kerusakan
berat, atau high deterioration, dan perbaikannya dengan cara major rehabilitation, atau
reconstruction, maka struktur perkerasan tsb tidak termasuk pavement deterioration
(kerusakan perkerasan), tetapi termasuk pavement failure (kehancuran perkerasan).
E. NOTE :

1. Dijelaskan dalam referensi AI MS-22, 2000, bahwa Compaction Specification, atau degree of
compaction atau Density Ratio, atau derajat kepadatan, minimum 97% atau 98%, tidak
menjamin longlife pavement/durability.
Compaction specifications are the final step in the total quality assurance of the HMA
construction process.
Longlife pavement sangat tergantung dari :
a. Kualitas bahan susun : agregat dan aspal.
b. Job Mix Formula (JMF).
c. Construction (Pelaksanaan).
d. Quality Control.
e. Acceptance criteria (kriteria penerimaan).
Kelima faktor tsb di atas harus terintegrasi dalam persyaratan proyek untuk menghasilkan
produk HMA yang berkualitas.

2. Bahan susun/dasar hotmix, terdiri dari agregat 93% - 95%, dan aspal 5% - 7%. Walaupun
persentase aspal hanya 5% - 7% dari bobot hotmix, tetapi kualitas aspal sangat
mempengaruhi kualitas dan durability HMA pavement tsb.

3. Sebelum th 2000, para engineer Indonesia sudah banyak yang berhasil membangun Flexible
Pavement untuk Runway dan Highway, yang mempunyai design life > 20 th.
Setelah th 2000, banyak dibangun struktur FP dan RP untuk Runway dan Highway tetapi
sudah terjadi kerusakan dini sebelum beroperasi 1/3 - 1/2 dari design life 20 th, atau 6,5 th -
10 th.

F. NASEHAT

Prof. H. J. Th. Span, Guru besar TU Delft, 1988.


Pavement engineering is knowledges base on experiences, experimentals, and supported by the
theoretically methods.

Semoga bermanfaat.
JOG 28.11.2020.
Reshare 05.10.2021
TRIAL COMPACTION HMA

A. Tujuan :
Menentukan Rolling Pattern (Pola Pemadatan).
B. Rolling Pattern
Rolling pattern dibagi menjadi 3 tahap (fase).
I. Breakdown Rolling (BR).
Alat : Tandem (Steel Wheel) Roller (TR), bobot min 8 Ton.
Jumlah lintasan : bilangan ganjil, 3, 5, 7 lintasan dst, kalau sudah ada tanda2 retak rambut
(hair crack) harus segera berhenti.
Prinsip pemadatan : Static loading.
II. Intermediate Rolling (IR).
Alat : Pneumatic Tire Roller (PTR), bobot > 10 Ton.
Jumlah lintasan : bilangan ganjil, 11, 13, 15 lintasan, dst.
Prinsip pemadatan : Kneading.
III. Final/Finish Rolling.
Alat : Tandem Roller (TR), bobot > 10 Ton.
Jumlah lintasan : bilangan genap atau ganjil.
Tujuan : menghilangkan bekas lintasan roda PTR.
C. Kecepatan alat pemadat (Roller)
Rumusnya : V = 2, 3, 4 (mph).
Maksudnya :
1. BR, V = 2 mph = 2 × 1,6 = 3,2 km/jam.
Dibulatkan 3 - 4 km/jam.
2. IR, V = 3 × 1,6 mph = 4,8 km/jam.
Dibulatkan 4 - 5 km/jam.
3. FR, V = 4 × 1,6 mph = 6,4 km/jam.
Dibulatkan 6 - 6,5 km/jam.
D. Parameter
Rolling pattern sangat dipengaruhi oleh :
1. Karakteristik HMA, termasuk gradasi agregat dan jenis aspalnya.
2. Suhu pemadatan, berdasarkan viskositas dari aspalnya.
3. Tebal padat efektif HMA.
4. Bobot alat pemadat (Roller).
5. Jumlah lintasan dari masing2 alat pemadat.
6. Daya dukung lapisan dibawah HMA.
E. Note :
Target Density sangat dipengaruhi oleh Fase I (Breakdown Rolling) dan Fase II (Intermediate
Rolling).

Semoga bermanfaat.
JOG 06.10.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
TRIAL COMPACTION HOT MIX ASPHALT PAVEMENT BINDER AC 60-70

A. Tujuan :
Trial Compaction (TC) tujuannya untuk menentukan Rolling Pattern (Pola Pemadatan).
TC dilaksanakan minimum 3 lajur dengan panjang lajur 40 m - 60 m.
B. Rolling Pattern
Rolling pattern dibagi menjadi 3 tahap (fase).
I. Breakdown Rolling (BR)
Alat : Tandem (Steel Wheel) Roller (TR), bobot 8 Ton - 12 Ton.
Jumlah lintasan : bilangan ganjil, 3, 5, 7 lintasan dst, kalau sudah ada tanda2 retak rambut
(hair crack) harus segera berhenti.
Prinsip pemadatan : Static loading.
Suhu : 135 C - 145 C.
II. Intermediate Rolling (IR)
Alat : Pneumatic Tired Roller (PTR), bobot 10 Ton - 14 Ton.
Jumlah lintasan : bilangan ganjil, 11, 13, 15 lintasan, dst.
Prinsip pemadatan : Kneading.
Suhu : 110 C - 120 C.
III. Final/Finish Rolling (FR)
Alat : Tandem Roller (TR), bobot : 10 Ton - 14 Ton.
Jumlah lintasan : bilangan genap atau ganjil.
Tujuan : menghilangkan bekas lintasan roda PTR.
Suhu : 95 C - 105 C.
C. Kecepatan alat pemadat (Roller)
Rumusnya : V = 2, 3, 4 (mph).
Maksudnya :
1. BR, V = 2 mph = 2 × 1,6 = 3,2 km/jam.
Dibulatkan 3 - 4 km/jam.
2. IR, V = 3 × 1,6 mph = 4,8 km/jam.
Dibulatkan 4 - 5 km/jam.
3. FR, V = 4 × 1,6 mph = 6,4 km/jam.
Dibulatkan 6 - 6,5 km/jam.
D. Parameter
Rolling pattern sangat dipengaruhi oleh :
1. Karakteristik HMA, termasuk gradasi agregat dan jenis aspalnya.
2. Suhu pemadatan, berdasarkan viskositas dari aspalnya.
3. Tebal padat efektif HMA.
4. Bobot alat pemadat (Roller).
5. Jumlah lintasan dari masing2 alat pemadat.
6. Daya dukung lapisan dibawah HMA.
E. Note :
Hotmix yang dihamparkan dengan Asphalt Finisher sebelum dipadatkan dengan Roller sudah
mempunyai density 80% - 85%, tergantung dari tipe Asphalt Finishernya.
Target Density sangat dipengaruhi oleh proses Fase I (Breakdown Rolling) dan Fase II
(Intermediate Rolling), sedangkan Fase III (Finish/Final Rolling) hanya untuk menghilangkan bekas
lintasan roda PTR.
F. Nasehat :
1. Jumlah lintasan (passing) pada Fase Breakdown Rolling dan Intermediate/Secondary Rolling
disarankan menggunakan bilangan ganjil, dijelaskan dalam Journal AAPT, Vol 33, 1964,
Dallas, The Compaction of Asphaltic Concrete on the Road, by H. J. Fromm.
2. HRB SS 131, 1972, State of the Art : Compaction of Asphalt Pavements.
a. All compaction should be completed before the temperature of the mat drops below 80
C.
b. Studies indicate that the typical time that elapses between spreading and rolling is about
16 minutes, and experience also indicates that it is difficult to compact the mat within 8
minutes of placing.

Semoga bermanfaat.
JOG 06.10.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
Bandara Morowali Sulawesi Tengah Berdasarkan AIP, 23 April 2020

Penjelasan ringkas

Dimensi Runway 1.890 × 30 m2.


Berdasarkan dimensi Runway tsb, mampu melayani pesawat B 737-500, RTOW < 60 T, dengan Code
4C.

Declare PCN :

RWY dan APRON :


PCN 68 F/C/X/T.
Runway dan Apron mampu melayani pesawat A 330-200, MTOW 220 T, sebanyak min 10.000
coverages.

TWY : PCN 89 F/C/X/T.


Taxiway mampu melayani pesawat B 777-300ER, MTOW 351 T, sebanyak min 10.000 coverages.

Note :
1. Design aircraft berdasarkan runway length 1.890 m, yaitu B 737-500, RTOW < 60 T, tidak
sebanding dengan Runway dan Apron pavement bearing capacity (A 330-200, MTOW 220 T),
serta Taxiway pavement bearing capacity (B 777- 300ER, 351 T).
Perbedaannya terlalu besar, kemungkinan ada yang salah dalam menentukan nilai PCN runway,
apron dan taxiway.
2. Code T adalah Technical evaluation method, artinya angka PCN 67 dan 89 dihitung berdasarkan
teori yang benar.
Saran :
1. Penentuan Declare PCN harus mengikuti peraturan yang tercantum dalam dokumen ICAO Annex
14, 2018, Chapter 2.6 Strength of pavements.
2. Declare PCN seluruh bandara di Indonesia perlu dievaluasi ulang dengan menggunakan alat HWD
milik BTP dan dihitung dengan metoda yang benar, guna menghindari perbedaan spt tsb di atas.
Hal yg sama juga terjadi di bandara lain.

Semoga bermanfaat bagi para airport engineer generasi penerus.


JOG 09.10.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
PCN RUNWAY, TAXIWAY DAN APRON BANDARA SULTAN THAHA JAMBI
BERDASARKAN AIP 15 JULI 2021

A. Runway geometric

1. Dimensi 2.600 × 45 m2.


Runway strip 2.722 × 150 m.
Critical aircraft B 737- 800NG, MTOW 80 T, atau B 737- 900ER, MTOW 85 T, Code 4C.
2. Bandara Jambi dekat dengan Ibukota Negara, Jakarta, sehingga Airline tidak akan
mengoperasikan pesawat B 737-800/ 900 dengan MTOW 80 T atau 85 T, tetapi dengan
RTOW. Maksudnya pesawat beroperasi dengan full penumpang, full bagasi, tetapi tidak full
avture (nasehat Capt Oyan dari GA, 1992).

B. Bearing srength :

1. Runway :
PCN 65 F/B/X/T.
2. Taxiway :
Taxiway A :
PCN 65 F/B/W/T.
Twy B and C :
PCN 64 F/C/X/T.
3. Apron :
East PCN 57 R/B/X/T.
West PCN 65 F/B/W/T.

C. Penjelasan singkat

1. RWY PCN 65 F/B/X/T.


Critical aircraft A 330-300, MTOW 242 T.
2. Taxiway A :
PCN 65 F/B/W/T.
Critical aircraft A 330- 300, MTOW 242 T.
Taxiway B dan C :
PCN 64 F/C/X/T.
Critical aircraft A 330- 300, RTOW 213 T.
3. Apron East.
PCN 57 R/B/W/T.
Critical aircraft A 330- 300, RTOW 218 T.
Apron West.
PCN 65 R/B/W/T.
Critical aircraft A 330- 300, MTOW 242 T.
Note :
1. Max allowable tire pressure category, Code W (unlimited), hanya berlaku untuk Rigid Pavement
yang kuat, mempunyai compressive strength min 30 MPa, tidak berlaku untuk Flexible Pavement,
sehingga declare :
PCN 65 F/B/W/T, keliru, code W diganti dengan X (Annex 14, 2018).
2. Th 1992 saya bersama tim dari Pusjatan mendampingi pak Praminto Hadi dari Dit Pelud (DBU),
menguji FWD dan Test Pit di Runway dan Apron Jambi. Nilai CBR dalam kondisi hujan (saturated)
rendah, shg mempunyai Subgrade Strength Category C (low), tidak mungkin sekarang naik
menjadi B (medium).
3. Critical aircraft berdasarkan geometrik runway (Code 4C, B 737- 900ER) dan critical aircraft
berdasarkan pavement bearing capacity movement area A 330-300 tidak relevan.
Yang benar nilai PCN didasarkan MTOW atau RTOW pesawat yang diijinkan utk take off di runway
tsb, sedangkan taxiway dan apron menyesuaikan.
4. Bandara2 internasional di LN declare PCN nya biasanya hanya 2, di Runway (mayoritas F) dan
Apron (semuanya R), shg tidak membingungkan pilot.
5. Di Indonesia, declare PCN movement area sering tidak sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh Boeing Commercial Airplane Group Airport Technology Organization (1998) : The maximum
allowable gross weight of the critical/design aircraft on that pavement (RTOW or MTOW). Hampir
semua bandara menggunakan nilai PCN berdasarkan MTOW, walaupun panjang runwaynya
terbatas. Terkesan nilai PCN hanya sebagai formalitas, makin besar nilai PCN makin
membanggakan bagi pengelola bandaranya.

Semoga bermanfaat.
JOG 11.10.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
BASE COURSE UNTUK RIGID PAVEMENT

Dr. Tommy E. Nantung, PE., Indiana DoT, Workshop Long-Life Pavement, 12.10.2021.
A. Fungsi Base Course untuk Rigid Pavement :
1. Mereduksi bending stress dari slab beton.
2. Mereduksi defleksi pada sambungan dan bagian yang retak dari slab beton.
3. Melindungi subgrade terhadap moisture (kadar air) dan vertical strain yang berlebihan.
4. Meningkatkan fungsi drainage layer.
5. Memberikan lantai kerja yang stabil pada saat pelaksanaan.
6. Mendapatkan kerataan permukaan sebelum pengecoran slab beton.
B. Ada 4 macam Base Course untuk Rigid Pavement di USA.
1. CTB - Cement Treated Base.
2. ATB - Asphalt Treated Base.
3. LCB - Lean Concrete Base.
4. Granular Base.
C. Di Negara Bagian Indiana, tidak suka menggunakan CTB, ATB dan LCB, karena selain harganya
mahal, juga tidak memberi bonded (rekatan) yang sangat kuat antara permukaan Base Course
dengan Concrete Slab. Di Indonesia, Highway Rigid Pavement digelar lembaran plastik di atas LCB
dan di bawah Slab Beton, supaya frictionnya 0 (nol), dan tidak terjadi bonded antara LCB dengan
Slab Beton.
D. Di Indiana lebih suka menggunakan Granular Base (Aggregate Base atau Batu Pecah bergradasi
rapat/ dense graded) sebagai base course, karena selain harganya lebih murah, juga memberikan
rekatan (bonded) yang sangat kuat antara permukaan Base Course dengan Concrete Slab.
Akibatnya, friction antara permukaan base course dengan slab beton juga lebih kuat, dan
pengaruh curling (sifat slab beton yang cembung pada siang hari dan cekung pada malam hari)
menjadi lebih kecil.
Note :
1. Di Indonesia, akhir2 ini CTB banyak digunakan sebagai base course untuk Runway Flexible
Pavement, karena tidak pernah berpikir harganya mahal, serta tidak memperhatikan
rekatan/bonded/ interface shear strength, antara permukaan base course dengan HMA surface
course, semoga segera mendapat hidayah untuk kembali kepada basic theory yang benar.
2. Baru sadar, ternyata sudah usia hampir 71 th, mencatat penjelasan workshop lebih lambat
dibandingkan dengan waktu masih usia dibawah 40 th. Hal ini sesuai pesan dari dosen saya di TU
Delft, 1988, Prof. D. G. Prais, sbb : Kalau sudah usia lebih dari 50 th, belajar Ilmu Sosial dan Hukum
lebih cepat mengerti, tetapi kalau belajar Ilmu Teknik dan IImu Pengetahuan Alam termasuk
Matematika semakin lambat mengerti.

Semoga bermanfaat.
JOG 12.10.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara
DRAINAGE LAYER DAN TACK COAT

Mengikuti Workshop Long-lasting pavement, dari Dr. Tommy E. Nantung, PE,. Indiana DoT,
13.10.2021.
Membahas stress and strain in RP and FP, saya hanya ingin membuat resume tentang drainage layer
dan tack coat.
1. Drainage layer harus dibuat untuk RP dan FP, terdiri dari granular material, open graded, tebal 75
mm, gunanya untuk mengalirkan rembesan air dari atas kesamping agar supaya tidak merembes
ke lapisan bawah/subgrade.
2. Moisture/kelembaban pada slab beton yang terlalu lama, dapat menimbulkan warping stress.
Oleh karena itu, air yang meresap pada pori2 slab beton harus segera dialirkan keluar melalui
drainage layer.
3. Tack coat beayanya sangat murah, tetapi sering diabaikan. Aspal tack coat yang tebal, aspalnya
akan naik ke atas sehingga potensi terjadi bleeding. Tack coat harus menggunakan aspal dengan
kualitas yang bagus, tipis, rata sehingga memberi rekatan yang kuat dengan lapisan di atasnya.
4. Ada peserta yang bertanya, mana yang lebih baik menggunakan CTBC (Cement Stabilized Base
Course) dan Aggregate/Granular Base Course untuk Flexible Pavement di USA.
Dijawab oleh Dr. Tommy E. Nantung, bahwa di Indiana DoT lebih suka menggunakan Granular
Base Course dari pada CTBC untuk FP. Alasannya, permukaan CTBC licin dan tidak berpori
sehingga aspal tack coat dapat menyebabkan slippery layer (lapisan yang licin) terhadap lapisan
di atasnya (AC-BC).
Note :
1. Penyemprotan aspal cair/emulsi diatas granular base course disebut Prime Coat, karena ada
sebagian besar aspal yang meresap di permukaan granular base course, dan ada sebagian kecil
yang berfungsi sebagai perekat terhadap lapisan aspal di atasnya, maka BM menyebut : prime
coat sebagai lapis resap perekat.
2. Penyemprotan aspal cair/emulsi di atas permukaan yang sudah beraspal, atau permukaan slab
beton, atau CTBC yang berpori sangat kecil, aspalnya tidak dapat meresap, semuanya berfungsi
sebagai perekat, disebut Tack Coat, maka BM menyebut : tack coat sebagai lapis perekat.
3. Dalam referensi, Prime Coat tidak perlu diuji kuat geser, atau interlayer shear strength (USA),
atau interface shear strength (UK), tetapi Tack Coat harus diuji interlayer shear strength. Gunanya
untuk mengetahui kuat geser di antara dua lapisan terhadap gaya pengereman kendaraan berat
atau pesawat. Bandara yang melayani pesawat B 777- 300ER, aspal tack coat harus mempunyai
interlayer shear strength min 0,41 MPa.
4. Seandainya masing2 peserta mau membuat resume singkat dan dikumpulkan ke HPJI, ditulis
ulang, akan menjadi catatan ringkas yang sangat bermanfaat bagi para praktisi di lapangan.

Semoga bermanfaat.
JOG 13.10.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara
DRY-BOUND MACADAM, WET-BOUND MACADAM, AND PENETRATION
MACADAM BASE COURSE

A. Pengantar
1. Pada tahun1975 - 1976, saya sebagai PNS Dit Jen Perhubungan Udara, mendapat
kesempatan belajar lapangan, di Proyek Peningkatan Fasilitas Pelabuhan Udara Sentani
Jayapura, dari critical aircraft Fokker F-27 menjadi Fokker F-28. Kontraktor Proyek tsb PT
Hutama Karya, dan Konsultan Supervisi PT Soilens.
2. Selama belajar di lapangan, yang meliputi pekerjaan perpanjangan runway dan overlay, saya
dibimbing oleh para mandor dari PT HK, operator alat2 berat termasuk AMP, dan Site
Manager, Bpk Ir. J. Sardjono dan Bpk Ir. Mahdani Baderi.
3. Saat di lokasi Pekerjaan Perpanjangan Runway, saya belajar pelaksanaan (pencampuran,
penghamparan dan pemadatan) Wet- bound macadam dan Penetration macadam, dengan
aspal AC 60-70 yang dipanaskan.
4. Sebelum di prime coat, permukaan base course dihamparkan batu pengunci (key stone),
nominal maximum size of aggregate 1/2" (12,7 mm), dan dipadatkan. Tujuannya untuk
mengunci celah agar supaya butir2 agregat dipermukaan tidak mudah lepas. Kemudian
dibersihkan dengan kompresor untuk memisahkan antara batu pengunci yang
masuk/mengunci dan yang lepas diantara celah butir agregat di permukaan tsb.
Base course terdiri dari agregat kasar (campuran sebagian besar batu pecah stone crusher
dan sebagian kecil batu bulat), dan agregat halus tipe gradasi rapat (dense graded).
5. Pekerjaan prime- coat, menggunakan alat asphalt sprayer, kadar aspal cair yang diperlukan
4 liter/m2, dengan harapan aspal tsb merembes/meresap (penetrate) ke pori2 agregat
dengan kedalaman 4 cm dari permukaan base course, sisanya untuk melapisi permukaan
base course sebagai perekat terhadap lapisan di atasnya. Oleh karena itu Bina Marga
menyebut prime coat sebagai lapis resap perekat.
6. Jenis pekerjaan base course yang saya pelajari 46 th yang lalu, ternyata juga dijelaskan dalam
literatur, beserta penjelasan ringkasnya berikut ini.
a. O'Flaherty, 2007, page 300 (UK).
b. Paul H. Wright and Karen K. Dixon, 2004, page 506 (USA).
B. Dry-Bound Macadam
1. With dry-bound macadam the constituent crushed stone or slag aggregates are transported
to the site in two separate sizes; a course aggregate that is normally either 37.5 mm or 50
mm nominal size, and the fine screenings graded from 5 mm to less than 10% passing the
0.075 mm sieve.
2. In this way aggregate segregation during stockpiling and transporting is minimized, and a
more uniform construction is obtained at a relatively moderate cost.
3. At the site the dry coarse material is spread to a uniform thickness of 75 mm - 100 mm and
preliminary rolling (two passes) and shaping is the carried our with an 8 T - 10 T smooth-
wheeled roller.
4. After correcting for any depressions or projections, the surface is progressively blinded with
dry fine aggregate using either a vibrating roller or plate compactor to ensure that the voids
between the coarse aggregate particles are filled (choked), thereby increasing the layer's dry
density, increasing its internal friction, and maintaining the interlock.
C. Water-Bound Macadam
1. Premixed water-bound macadam, known as wet-mix, is prepared by mechanically mixing a
measured amount of water with the graded aggregate to ensure that it is at the optimum
moisture content for maximum dry density at the start of field compaction.
2. It is a layer composed of broken-stone (or crushed-gravel or crushed-slag) fragments that are
bound together by stone dust and water applied during construction, in connection with
consolidation of the layer by a heavy roller or a vibratory compactor.
3. This type of macadam road closely resembles those so widely used in the early days of road
building. Now water-bound macadam roads are seldom constructed.
D. Bituminous or Penetration Macadam
1. It is crushed-stone or crushed-slag base or wearing surface in which the fragments are bound
together by bituminous material; the aggregate layer is compacted, and bituminous material
is applied to the surface of the layer.
2. The bituminous material then penetrates into the voids of the compacted layer and serves
to bind the fragments together.
E. History
John Mc Adam, a famous Scottish road builder and engineer, insisted on the use of smaller stone-
about 1.5" (38 mm) maximum size for the entire thickness of the pavement. The first roads of
this type were built by him in England early in the nineteenth Century.
F. Note :
1. Workshop dari Dr. Tommy E. Nantung, tg 11 - 15 Okt 2021, menjelaskan bhw base course
Rigid Pavement di USA ada 4 macam, yaitu :
a. CTB - Cement Treated Base.
b. ATB - Asphalt Treated Base.
c. LCB - Lean Concrete Base.
d. Granular Base.
Beliau mengatakan, di USA lebih senang menggunakan Granular Base, sebagai base course
Rigid Pavement, karena lebih murah.
2. Nama lain granular base course.
a. FAA : Aggregate Base Course (P-208, P-209).
b. DBU : Aggregate Base Course/Batu Pecah.
c. BM : Batu pecah kelas A, B atau C.
d. UK : Macadam Road Base.
Karena John Mc Adam orang Great Britain, maka engineer USA tidak menggunakan nama
Macadam.
3. FAA AC 150/5320-6C, 1978, subchapter 33, merekomendasikan penggunaan Stabilized Base
Course, CBR min 100%, dan Stabilized Subbase Course, CBR min 35%, untuk runway flexible
pavement yang mendukung pesawat jet dengan bobot minimum 100.000 lbs (45,35 kg).
Stabilized Base Course, merupakan Dense graded aggregate base ditambah semen 3%
berdasarkan berat.

Semoga bermanfaat.
JOG 28.09.2021.
Revisi 18.10.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.

Note :

Penjelasan F no 3 tentang Stabilized Base Course, CBR min 100%, dan Stabilized Subbase Course, CBR
min 35%, juga diulang pada dokumen :
a. FAA AC 150/5320- 6E, 2009, subchapter 317.
b. FAA AC 150/5320- 6F, 2016, subchapter 3.6.1, dan
c. FAA AC 150/5320- 6G, 2021, subchapter 3.5.2.
AC (Advisory Circular), artinya Surat Edaran dari FAA yang berisi nasehat, sehingga ilmu tentang
Stabilized Base Course dan Stabilized Subbase Course, harus dipelajari dalam buku Pavement
Engineering yang kredibel.
Ternyata FAA konsisten dengan ilmu pengetahuannya.
BITUMINOUS OVERLAYS ON RIGID PAVEMENTS

Reference :
A O'Flaherty, 2002, 2007, Highways, page 539.
A. Explanation
1. There is no uniformly accepted method for assessing the thickness of a bituminous overlay
required to strengthen a rigid pavement. If the existing pavement has significant
deterioration it may be appropriate to crack and seat it prior to overlying.
2. As an example, guidance on bituminous overlay thickness may then be obtained from UK
design charts for new pavements by assuming that the existing pavement is either a granular
subbase or a cement bound roadbase.
3. In addition to structural considerations, the bituminous overlay thickness will be governed
by the need to delay the development of reflection cracking initiated from joints or cracks in
the underlying pavement.
4. The FWD analysis procedure may be used to assess the required thickness of bituminous
overlay on rigid pavement, provided appropriate design criteria are available.
5. The Asphalt Institute effective procedure, described for overlays to flexible pavements, can
also be applied to rigid pavements.
As with bituminous pavements, each layer of the existing rigid pavement is converted to an
equivalent thickness of asphaltic concrete by applying an appropriate conversion factor.
6. A minimum thickness of 10 cm is recommended for bituminous overlays placed directly on
concrete pavements, if the design overlay thickness is 17,5 cm - 22,5 cm, the use of a crack-
relief layer may also be considered.
7. Asphalt Institute MS-17, Overlays, 2000.
a. Functional overlays, thickness 5 cm - 10 cm.
b. Structural overlays, thickness 10 cm - 15 cm.
c. Heavy structural overlays, thickness 15 cm - 40 cm.
B. NOTE :
1. Dokumen FAA AC 150/5320- 6D, 1995, Supplement 2002 & 2004, dan Asphalt Institute MS-
17, 2000, Overlays, digunakan untuk menindak lanjuti FGD PT AP II di Hotel Borobudur,
Jakarta, Juni 2013. Dari hasil FGD tsb ditetapkan bahwa metoda Strengthening Runway 25R
- 07L dan Taxiway NP-1 dan NP-2, serta Runway 25L - 07R dan Taxiway SP-1, SP-2, WC-1 serta
WC-2, Bandar Udara Internasional Jakarta Soekarno-Hatta (BUIJSH), harus dilakukan dengan
cara Hotmix Overlay on Rigid Pavement, tidak ada metoda lain. Alasannya karena Runway
harus tetap beroperasi, dan window time hanya berlaku 7 jam, pk 22.00 - 05.00, tetapi dalam
pelaksanaannya hanya berlaku mulai pk 23.30 - 05.30 atau 6 jam, karena masih nunggu
pesawat GA B 777-300ER, CGK - AMS yang takeoff pk 23.00.
2. Overlay hotmix aspal PMB PG-76 di atas rigid pavement, tebal 19 cm, telah selesai
dilaksanakan di Runway 25R - 07L dan Taxiway NP-2, selesai akhir 2019, dan akan dilanjutkan
Overlay hotmix di Runway 25L - 07R dan sebagian sisi timur Taxiway NP-1 pada awal th 2022.
3. Guna mencegah terjadinya delamination antara lapisan overlay hotmix dengan lapisan di
bawahnya, akibat braking force wide body aircraft B 777- 300ER, digunakan Tack Coat
dengan aspal emulsi Shell CRS-1P, yang telah diuji dan mempunyai interlayer/interface shear
strength min 0,41 MPa.
4. Sebelumnya juga pernah dilakukan Overlay Hotmix on Rigid Pavement Struktur Cakar Ayam,
tebal slab beton 14 cm, di Jalan Tol Prof. Sedijatmo, yang beroperasi 1985. Ruas Jalan Tol tsb
dioverlay hotmix tebal 10 cm, th 1988 - 1989, dilaksanakan malam hari, sampai saat ini
kondisinya masih bagus.
5. Pelaksanaan Overlay Hotmix di atas Runway Rigid Pavement di Bandara yang beroperasi
dengan window time terbatas 7 jam, tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan Pelaksanaan Overlay Hotmix di atas Highway Rigid Pavement yang melayani lalulintas
di lajur sebelahnya.

Semoga bermanfaat.
JOG 22.09.2021.
Reshare 04.11.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
PENGGANTIAN BERKALA JOINT SEALANT PADA RIGID PAVEMENT

1. Joint Sealant pada sambungan slab beton harus diganti secara berkala, durasinya tergantung dari
kualitasnya.
Karena harganya mahal dan ada yang belum tahu fungsinya, sehingga walaupun joint sealantnya
sudah ageing/getas/tidak elastis belum diganti.

2. Fungsi joint sealant untuk mencegah air hujan masuk ke rigid pavement melalui sambungan
(joint), dan bagian slab beton yang retak. Walaupun joint sealant berwarna hitam, tetapi tidak
boleh diganti dengan aspal atau hotmix, karena mempunyai sifat elasticity yang berbeda.

3. Untuk menghemat dan mempermudah penggantian joint sealant, di bawah joint sealant diberi
backer rod (warna putih seperti styrofoam), bentuknya bulat dengan diameter 1,25 × lebar celah.
Lebar celah Construction joint dan Contraction joint 10 mm - 15 mm, agar supaya tidak
menghalangi sifat muai dan susut slab beton.

4. Air hujan yg meresap dibawah slab beton tsb tertahan di base course, subbase course, atau
subgrade. Pada saat pesawat atau kendaraan berat melintasi joint yang sering kemasukan air
hujan akan terjadi pumping, yaitu proses keluarnya air dari bawah slab beton ke permukaan
melalui joint sambil membawa butiran2 tanah/agregat halus sehingga menimbulkan rongga
dibawah joint.

5. Kalau proses pumping dibiarkan, slab beton tsb dapat pecah, karena di bawahnya terdapat
rongga yang menyebabkan daya dukung di bawah slab beton berkurang. Kerusakan yang sering
terjadi karena pumping adalah : cracking, faulting, corner break, joint spalling.

6. Guna menghindari terjadinya pumping dan penggantian joint sealant, serta menambah
kenyamanan bagi user (riding quality), maka diatas slab beton dapat dilakukan overlay hotmix
asphalt concrete, dengan tebal minimal 100 mm (Asphalt Institute MS-17, 2000, Robert N.
Hunter, 2000, dan A. O'Flaherty, 2007).
Hal ini hanya berlaku untuk Rigid Pavement highway (Jalan Tol Prof. Sedijatmo), Runway, dan
Taxiway, tetapi tidak berlaku untuk Apron.

7. Bonded hotmix overlay di atas rigid pavement menjadi kuat apabila transvere grooving
permukaan slab beton tidak terlalu dalam, cukup dengan tining (alat seperti garpu), dan tack coat
menggunakan aspal emulsi Shell CRS-1P yang pernah diuji interlayer/interface shear strength di
PRI Florida USA 2017 dan di Laboratorium Transportasi DTSL FT UGM dengan nilai > 0.41 MPa.

Semoga bermanfaat.
JOG 26.11.2019.
Reshare 05.11.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
PUMPING IN RIGID PAVEMENTS

A. Reference

R. B. Mallick and T. El-Korchi, 2013, Pavement Engineering, Sub chapter 6.8.

B. Discription

1. Pumping is defined as the ejection of material from underneath the PCC slab as a result of
water pressure. Water accumulated underneath of PCC slab will pressurize when the slab
deflects under traffic load. The source of the ejected material can be from the base or
subgrade. To initiate the pumping process, small void space needs to be created beneath the
slab. This could occur by compression of plastic soil or due to warping of the PCC slab at the
joint area.

2. A free-draining soil will not accumulate the necessary water. A fine soil-water suspension
underneath the slab is formed and aids in the ejection of the soil. After repeated cycles of
slab deflection and soil-water suspension is ejected, a larger void space is created
underneath the slab. At this stage faulting is observed, and eventually cracking and corner
breaks could occur if significantly higher stresses are developed in the PCC slab.

3. To minimize pumping, pump- susceptible soils such as clays and high-plasticity fine-grained
soils should be avoided. Free-draining bases and erosion-resistant bases are highly
recommended.

A source of water is essential for pumping to occur.


Water could be provided by the presence of a high water or poorly functioning joint seals or
cracks in the PCC slab. In any event, a well-draining base could greatly decrease the potential for
pumping distress.

C. Note :

1. Pumping adalah jenis kerusakan yang banyak terjadi pada Rigid Pavement (RP). Hal ini
disebabkan oleh kelebihan kadar air (moisture) di subbase yang berasal dari infiltrasi
(peresapan) dari slab beton yang retak atau sambungan (joint), atau sistem drainase bawah
permukaan yang kurang baik, atau kombinasi dari subbase yang sensitif terhadap air dan
kadar butiran halus yang tinggi.

2. Pumping dapat terjadi karena defleksi/lendutan dari slab beton yang dilintasi beban roda
(truck atau pesawat), air dan butiran halus dibawah slab beton keluar keatas melalui slab
beton yang retak atau sambungan/joint dari slab. Air yang keluar keatas slab beton tsb sambil
membawa butiran2 halus, sehingga terjadi rongga, dan mengurangi daya dukung dibawah
slab beton yang mengakibatkan retak pada slab beton tsb.
3. Pumping dapat dicegah dengan cara sbb.
a. Menghampar drainage layer, berupa granular material, open graded, tebal 75 mm,
dibawah slab beton dan diatas base course (Dr Tommy E. Nantung, 2013, 2015 dan
2021).
b. Menghamparkan capping layer, granular material, CBR 15% - 30%, tebal 15 cm - 40 cm,
tergantung dari CBR subgrade 5% - 15% (UK dan Belanda). Capping layer selain berfungsi
sebagai lapis pelindung subgrade juga sebagai drainage layer.
TRRL : capping layer is similar to improved subgrade and drainage layer.
c. Membangun sistem drainase (surface and subsurface drainage) yang benar, sehingga
tidak ada air hujan dari atas slab beton, atau air tanah dibawah slab beton yang terjebak
di subbase course dan/atau subgrade.
d. Mengganti backer rod dan joint sealant secara berkala, dan memperbaiki slab beton
yang retak, guna mencegah air hujan yang meresap (infiltrasi) kebawah slab beton
melalui joint slab yang kurang rapat dan slab beton yang retak.
e. Menghamparkan HMA (hotmix asphalt) surface course atau overlay hotmix di atas slab
beton dengan tebal minimal 100 mm (Asphalt Institute MS-17, 2000, Robert N. Hunter,
2000, dan A O'Flaherty, 2007), setelah dilaksanakan penggantian joint sealant dan
perbaikan slab beton yang retak.

Semoga bermanfaat.
JOG 20 Juni 2020.
Reshare 06 Nov 2021
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
SKID RESISTANCE ATAU KEKESATAN DAN HYDROPLANING MENURUT ORANG
DESA JAMAN DULU
Wardhani Sartono
Pensiunan guru bandara DTSL FT UGM

1. Pada th 1970an banyak rumah orang2 desa termasuk rumah orang tua saya membuat kamar
mandi yang sangat sederhana.
Lantainya dibuat dari campuran pasir, sedikit semen, bata merah yang dihancurkan, dan gamping,
karena belum ada dan tidak mampu membeli tegel keramik.

2. Selesai dicor, lantai semen sederhana yang sudah agak mengeras di pukul2 atau digaruk dengan
sapu lidi, biar permukaannya terlihat agak kasar/kesat (skid), lantainya dibuat miring (gradient),
pada bagian permukaan yang paling rendah dibuat lubang supaya tidak terjadi genangan air
(ponding/standing water) agak lama, sehingga aliran airnya lancar (surface run-off).

3. Seminggu sekali lantai kamar mandi disikat pakai sikat ijuk agar bersih dari kontaminan (lumut
dan bekas sabun mandi batangan cap bebek), sehingga lantainya tidak licin. Tujuannya kalau ada
orang mandi sambil olah raga loncat2 dan lantainya basah, orang tsb tidak akan tergelincir.

4. Sebenarnya orang2 desa tsb yang kebanyakan tidak tamat SD, belum pernah merasakan naik
pesawat, tidak tahu terminologi skid resistance dan hydroplaning, tetapi mereka sudah
menerapkan kedua parameter tsb, demi menjaga keselamatan keluarganya agar supaya saat
mandi tidak tergelincir.

5. Semoga orang2 desa tsb dapat memberi inspirasi kepada orang yang merasa sebagai pavement
engineer, sehingga tidak keliru dalam menjelaskan tentang skid resistance kepada orang lain dan
menerapkannya dengan benar di permukaan perkerasan (pavement surface).

6. Pada saat saya mengajar mata kuliah PMS (Pavement Management System) di Prodi S2 MSTT FT
UGM, saya selalu nasehati kepada mahasiswi saya yang semuanya sudah dewasa, bahkan banyak
yang sudah berkeluarga, untuk rajin ke Salon melakukan facial. Maksudnya supaya wajah yang
mulai agak kasar karena debu menjadi bersih, karena tujuan facial sebenarnya adalah untuk
memperkecil skid resistance di wajah sehingga wajah yang sebelumnya agak kasar berubah
menjadi halus dan mulus, kelihatan lebih cantik dan menarik. Ternyata mahsiswi saya semuanya
tertawa sebagai tanda bahwa mereka setuju dengan nasehat saya tsb.

Note :
a. Skid resistance - kekesatan : 0,42 - 0,72.
b. Skid resistance tinggi - permukaan perkerasan kesat (tidak licin) dalam kondisi basah.
c. Skid resistance rendah - permukaan perkerasan licin dalam kondisi basah.
Kata2 dalam kondisi basah harus disertakan.
Mari kita berbuat yang terbaik untuk Bangsa dan Negara, demi keselamatan penumpang pesawat dan
kendaraan.

Semoga bermanfaat.
JOG 16.03.2019.
Share ulang 08.11.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
NASEHAT UNTUK PARA HIGHWAY DAN AIRPORT ENGINEER

1. Kalau seseorang ingin menjadi highway atau airport engineer yang profesional, tidak harus ikut
sertifikasi profesi, tetapi cukup belajar kepada tukang membuat peti mati atau nisan.

2. Orang yang membuat peti mati/nisan selalu ingin hasil karyanya yang terbaik, bukan untuk
dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain yang belum tentu dia kenal dengan calon penggunanya.

3. Alasannya orang yang membuat peti mati atau nisan tsb takut/malu apabila dikomplain oleh
penggunanya yang telah menghadap Allah Yang Maha Kuasa.

4. Seandainya seorang highway dan airport engineer dalam merancang dan membangun struktur
perkerasan jalan dan runway juga berfikir bukan untuk kepentingan dirinya, mempunyai rasa
takut/malu kalau hasil kerjanya dikomplain oleh penggunanya/user yaitu : driver, pilot,
penumpang, maka highway dan airport engineer tsb pasti selalu bekerja yang terbaik, karena
besuk juga akan dimintai pertanggung jawaban saat menghadap Allah SWT.

5. Mari kita silaturahim melalui Webinar Pekerjaan Flexible Pavement Series yang ke 5, dengan
Topik : Pavement Preservation, Selasa, 09 Nov 2021, pk 09.00 - 12.00 WIB, Narasumber Bpk Ir.
Purnomo, yang diselenggarakan oleh PT HKA dan PT HKI, contact person : Johan Handoko
(08123163272) atau Ardhi Hartono (08115900601).

Semoga bermanfaat.
JOG 25.01.2019.
Reshare 09.11.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
Area dengan curah hujan tinggi tetapi tidak dilengkapi dengan sistem drainase yang memadai dapat
merusak struktur perkerasan

AIR DAPAT MERUSAK STRUKTUR PERKERASAN JALAN DAN RUNWAY

Dapat dijelaskan sbb :

1. Air (yang berasal dari permukaan perkerasan).


2. Air (yang berasal dari bawah perkerasan).
3. Air (yang berasal dari kawasan sekitar perkerasan).
4. Beban lebih (overload).

Note :

1. Muka air tanah (MAT) tertinggi dibawah perkerasan syaratnya120 - 180 cm di bawah permukaan
subgrade/tanah dasar. Kalau MAT nya tinggi mendekati permukaan subgrade dapat menurunkan
daya dukung subgrade.

2. Dr. Tommy E. Nantung, orang Indonesia yang bekerja di Indiana DoT, USA, menyatakan
Penambahan kadar air 3% - 5% dari subgrade yang sudah dipadatkan pada kondisi OMC dapat
menurunkan daya dukung subgrade (CBR) sampai 50%.

3. Kesimpulannya, sistem drainase bandara dan jalan (surface drainage and subsurface drainage),
harus berfungsi dengan benar.
a. Air hujan yang mengalir di permukaan (surface run off) runway dan jalan harus segera
mengalir ke saluran terbuka (open ditch) yang biasanya dibangun di tepi grass shoulder atau
runway strip.
b. Air tanah di bawah permukaan runway, runway strip, jalan dan bahu jalan yang berasal dari
dalam tanah atau infiltasi dari air permukaan runway dan jalan harus dapat mengalir melalui
pipa subsurface drainage, kemudian dialirkan kesamping menuju saluran drainase terbuka
yang dibangun di tepi grass shoulder atau runway strip.
c. Air yang berasal dari luar kawasan jalan atau bandara tidak boleh menggenangi kawasan tsb,
karena dapat merusak embankment.
d. Air yang berasal dari surface run off dicegah agar tidak masuk ke dalam subsurface drainage
yang biasanya dibangun dibawah tepi runway atau paved shoulder, karena dapat menaikkan
MAT di bawah subgrade (Robert Horonjeff, 1975). Membangun banyak sumur resapan di
shoulder/bahu jalan juga dapat menaikkan MAT di bawah subgrade/tanah dasar.

4. Dari uraian tsb diatas ternyata : air disebut 3x dan overload hanya disebut 1x.
Mirip seperti ustadz yang memberi ceramah kepada pemuda/i sbb :
Seorang pemuda bertanya kepada Rasul : Siapa orang yang harus dihormati?
Rasul menjawab : ibumu, ibumu, ibumu, baru bapakmu.
Ibumu disebut 3x dan bapakmu hanya disebut 1x.
5. Maksudnya seorang anak harus menghormati Ibunya 3× lebih tinggi dari pada bapaknya, tetapi
kadang2 ada anak2 yang manja, inginnya punya 3 ibu dan 1 bapak.

Semoga bermanfaat.
CGK 07.02.2019.
Reshare 12.11.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
STRUKTUR PERKERASAN JALAN DAN BANDARA SERING TERJADI
KERUSAKAN DINI (EARLY DETERIORATION)

I. Penyebab Utama terkait dengan Subgrade (Tanah Dasar)

1. JICA (1994), dalam workshop Kebandar Udaraan di Jakarta, bahwa Subgrade dengan
ketebalan tertentu, 90 cm - 180 cm, setiap lapis dengan tebal 20 cm - 25 cm, harus
mempunyai density rasio (derajad kepadatan) dan CBR lapangan yang hampir sama dengan
CBR design. Dengan kata lain, subgrade untuk ketebalan tertentu (90 cm - 180 cm) dan ruas
panjang tertentu harus seragam (uniform) dalam hal bearing capacity (CBR), dan density.
Seragam artinya nilainya hampir sama, tidak sama 100%.

2. Prof. H. J. Th. Span (1988), Guru Besar TU Delft : Struktur perkerasan yang tidak dilengkapi
dengan bangunan fasilitas Sistem Drainase (Surface and Subsurface drainage) yang benar,
maka design life dari struktur perkerasan tsb akan terreduksi 30%.
Bagian dari struktur perkerasan yang pertama kali terjadi degradasi/perlemahan daya
dukung akibat sistem drainase yang kurang baik adalah Subgrade (tanah dasar).

3. Prof. H. J. Th. Span (1988), lapisan struktur perkerasan yang benar apabila daya dukung
(bearing strength) dari base course ke subgrade berkurang secara bertahap (gradual) dengan
Ratio : daya dukung lapisan bawah dengan lapisan di atasnya min 1/3. Atau CBR Subgrade
atau Capping layer min 1/3 x CBR Subbase course, dan CBR Subbase course min 1/3 x CBR
Base course.

4. Prof. A.A.A. Molenaar (TU Delft, disertasi 1983) :


The weaker the subgrade bearing strength, the more flexible the pavement structure should
be.
Makin rendah daya dukung subgrade lebih tepat dibangun flexible pavement.

5. Robert N. Hunter (2000), dan Nick Thom (2014) : Subgrade dengan nilai CBR 4% - 15%, di
atasnya harus dihampar Capping layer, dapat berupa granular material, CBR 15% - 30%.
Capping layer sebagai lapis pelindung subgrade dan lantai kerja (working platform) untuk
pelaksanaan pekerjaan subbase course, bukan sebagai structural layer.
Capping layer digunakan pada struktur perkerasan di UK dan Belanda.
Subbase course direkomendasikan mempunyai nilai CBR mininum 30%.

6. A.O'Flaherty (2007, page 214), merekomendasikan di UK, clearance antara elevasi muka air
tanah tertinggi dengan permukaan subgrade atau formation level (H) minimal 1 m - 1,5 m.
Indonesia, Negara yang terletak di daerah Tropis dengan curah hujan lebih tinggi dari pada
di UK, maka :
a. H min : 120 cm - 150 cm untuk Highway.
b. H min : 150 cm - 180 cm untuk Airport.
7. Dr. Tommy E. Nantung, dalam workshop Pavement Preservation di Jakarta, 2013 dan 2015 :
Subgrade yang sudah selesai dibangun, digali tebal 30 cm - 35 cm, distabilisasi, dihamparkan
dan dipadatkan kembali, sehingga mempunyai nilai CBR lapangan yang uniform, sebesar
minimum 2x CBR design dari Subgrade.
Lapisan ini sering disebut Improved Subgrade, sebagai pengganti dari Capping layer. Artinya
daya dukung (CBR) Subgrade harus diberi Safety Faktor (SF) minimum 2.

8. R. B. Mallick and T. El-Korchi (2013), Subchapter 7.5 Effect of Water.


The presence of certain types of soil materials, such as clay, can cause the effect of water to
be significant, and hence may make the soil not suitable for use in pavement subgrade. As
the water content of the soil increases from very low to high, the properties change.

II. Kesimpulan :

1. CBR subgrade harus diberi SF, sehingga selama masa pelayanan (Service life) harus
mempunyai nilai CBR lapangan minimum lebih besar atau sama dengan CBR design, jangan
sampai terjadi nilai CBR lapangan pada akhir design life < CBR design.

2. Ada referensi yang menyatakan Capping layer sama dengan Improved subgrade, Selected
subgrade dan Selected material, fungsinya sama, yaitu untuk melindungi permukaan
Subgrade, dan memberikan lapisan yang uniform/seragam, tetapi metoda pelaksanaannya
berbeda. Formation level Improved subgrade sama tinggi dengan permukaan subgrade,
sedangkan Formation level Capping layer lebih tinggi dari permukaan subgrade, beda
tingginya sesuai dengan tebal Capping layer, 15 cm - 50 cm.

3. Struktur Rigid Pavement di atas subgrade dengan daya dukung/CBR rendah, potensi terjadi
kerusakan dini pada joint/sambungan slab beton (joint spalling).
Di Belanda, elevasi daratan rata2 minus 4,5 m di bawah MSL, sebagian besar tanahnya
mempunyai daya dukung rendah, mayoritas Highway dibangun dengan Struktur Flexible
Pavement.

4. Tanah jenis clay yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air kurang tepat
apabila digunakan untuk subgrade. Harus dilakukan perbaikan tanah (soil improvement)
lebih dulu, sesuai dengan karakteristik dari tanah tsb.

5. Apabila salah satu atau lebih dari ke 8 parameter tsb diatas diabaikan, maka Struktur
Perkerasan tsb pasti terjadi kerusakan dini (early deterioration).

6. Struktur Perkerasan Jalan dan Bandara mempunyai durability rendah, apabila pada masa
pelayanan 1/3 dari design life 20 th (0 - 7 th), sudah terjadi kerusakan sedang (medium
severity level) dengan metoda perbaikan Corrective maintenance atau Minor rehabilitation
(patching dan functional overlay tebal min 5 cm).
7. Apabila struktur perkerasan Jalan dan Bandara, pada masa pelayanan 1/3 - 2/3 design life 20
th (7 th - 14 th) terjadi kerusakan berat (high severity level), dengan metoda perbaikan Major
Rehabilitation termasuk Partially reconstruction atau Structural overlay, tebal 10 cm, maka
Struktur Perkerasan tsb tidak termasuk Pavement Deterioration (kerusakan perkerasan),
tetapi termasuk katagori Pavement Failure (kegagalan perkerasan).

8. Apabila masih ada Civil Engineer yang berpendapat bahwa Subgrade dengan daya dukung
(CBR) rendah lebih tepat dibangun Rigid Pavement, maka Civil Engineer tsb menganut ajaran
sesat. Mari kita doakan semoga mereka segera mendapat hidayah untuk kembali ke jalan
yang benar, sehingga hasil kerjanya tidak merugikan Negara.

Semoga bermanfaat.
JOG 01.08.2020.
Reshare 28.12.2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
BOEING B 777-300ER

MTOW : 351,535 T.
Runway length 3.600 m.
Route terjauh CGK - LHR.

ACN :
Rigid P : 66, 85, 109, 131.
Flexible P : 64, 71, 89, 120.

Bandara dengan panjang runway 3.000 m.


Route terjauh ke Jeddah atau Timur Tengah.
RTOW : 290 - 300 Ton.

Bandara Internasional Juanda Surabaya Berdasarkan AIP Dec 2021.

Runway : 3.000 × 45 m2.


PCN 94 F/D/X/T.
RTOW 295 T (realistis).

Taxiway NP-2.
PCN 147 F/B/X/T.
ACN untuk Subgrade Category B :
ACN 71 F/B/X/T.

Declare PCN taxiway NP-2 tidak realistis, melampaui batas atas, padahal di taxiway tsb pernah terjadi
beberapa kali depression saat dilintasi pesawat Lion B 737-900ER dan Citilink A 320-200.

Note :

1. Banyak sekali declare PCN movement area di Indonesia tidak mengikuti teori yang benar, tetapi
hanya tergantung dari software.
2. Khusus untuk bandara dengan Code 4C dan 4E jangan sampai terjadi kesalahan dalam
menetapkan declared PCN.
3. Kalau sering keliru, lebih baik dalam kalimat terakhir AIP diberi catatan spt membuat SK sbb :
Apabila terjadi kekeliruan dikemudian hari maka akan dibetulkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

Semoga bermanfaat.
JOG 25 Des 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
RENCANA PENUTUPAN BANDARA HLP TGL 1 JAN 2022
UNTUK PEKERJAAN REVITALISASI BANDARA

1. Pada tg 13 Oktober 2017, setelah 2,5 bulan runway HLP terjadi delamination, Ketua IPI (Ikatan
Pilot Indonesia) Bpk Capt Bambang Adi Surya, bersilaturahim dengan KASAU, Bpk Marsekal Hadi
Tjahjanto, di Jakarta, saya dimintai saran tentang Bandara HLP.
Saran saya sbb : Sebelum movement area (runway, taxiway dan apron) bandara HLP dilaksanakan
rekonstruksi dengan metoda yang benar, bandara tsb sebaiknya tidak digunakan untuk melayani
wide-body aircraft, Code 4E, misal A-330, A-350, B-747, B-777, B-787, dan sejenisnya, baik
pesawat pengangkut JCH maupun pesawat Tamu Negara.

2. Alasannya, kalau terjadi kerusakan runway pada saat pesawat landing atau take-off, yang malu
adalah Negara, karena Bandara HLP merupakan Bandara Pertahanan yang terletak di Ibukota
NKRI.
Terlepas dari saran saya tsb diatas diterima atau ditolak sebagai masukan, tetapi saya merasa
bersyukur sejak peristiwa runway delamination, 28 Juli 2017 sampai sekarang, bandara HLP tidak
digunakan melayani wide-body aircraft untuk JCH dan Tamu Negara. Penerbangan wide body
aircraft untuk JCH dan Tamu Negara dipindahkan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Pesawat komersial yang beroperasi di bandara HLP saat ini adalah Code 4C, type : A-320-200 dan
B-737-800/900, dengan Maximum Takeoff Weight < 85 Ton.

3. Harapan saya semoga Metoda Rekonstruksi Runway, Taxiway dan Apron, yang merupakan bagian
dari Revitalisasi Bandara HLP mengikuti Ilmu Pavement Engineering dengan benar. Tujuannya
supaya movement area (runway, taxiway dan apron), aman dan nyaman melayani Pesawat Wide-
body Aircraft, tipe B 777-300ER, untuk pesawat komersial, pesawat VVIP, dan pesawat Tamu
Negara, yang mempunyai bobot lebih dari 330 Ton dan design life 20 th (rekomendasi ICAO &
FAA).

Semoga bermanfaat.
JOG 23 Des 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
PERSYARATAN AGREGAT DAN MARSHALL UNTUK HOTMIX ASPHALT DAN
TEBAL PADAT YANG DIREKOMENDASIKAN

I. Parameter
1. Gradasi rapat dan ukuran (dense graded and size).
2. Keausan (abrasion).
3. Kekerasan (roughness).
4. Daya tahan thd pelapukan (soundness).
5. Bentuk butir (particle shape).
6. Tekstur permukaan (surface texture).
7. Absorpsi (absorption).
8. Kebersihan (cleaness).
9. Kelekatan thd aspal (affinity for bitumen).
10. Berat jenis (specific gravity).
II. Penggunaan
1. HMA (Hotmix Asphalt)
a. HMA atau AC (Asphaltic Concrete), digunakan untuk Surface Course, yang terdiri dari 2
lapis atau lebih.
b. Lapis paling atas AC-WC dan lapis di bagian bawah AC-BC.
c. Rentang kadar aspal 5,0% - 7,5%
d. Persyaratan agregat untuk HMA mengikuti spesifikasi teknik FAA AC 150/5370- 10G,
2014, atau Asphalt Institute MS-2, 2014, Asphalt Mix Design Methods.
2. Leveling
a. Agregat untuk leveling mempunyai nominal maximum size of aggregate 3/8 in (9 mm).
Tebal padat 2 cm - 3,5 cm.
b. Rentang kadar aspal 5,5% - 8,0%.
c. Leveling digunakan untuk memperbaiki area yang mengalami kerusakan depression.
d. Penghamparan hotmix yang menggunakan Automatic Asphalt Finisher (dilengkapi
Automatic Screed Control), pekerjaan leveling di runway, taxiway dan highway,
maksimum 3 cm, tidak diperlukan lagi. Hal ini pernah dilaksanakan di runway 25R-07L
dan Taxiway NP-2 Bandara Internasional Jakarta Soekarno-Hatta.
3. AC-WC (Asphalt Concrete Wearing Course)
a. Agregat untuk AC-WC, bergradasi rapat (dense graded), mempunyai nominal maximum
size of aggregate 1/2 in (12,7 mm), atau maximum size of aggregate 3/4 in (19 mm).
Tebal padat 4 cm - 5 cm.
b. AC-WC hanya boleh dihampar 1 lapis paling atas.
c. Rentang kadar aspal 5,0% - 7,5%.
4. AC-BC (Asphalt Concrete Binder Course)
a. Agregat untuk AC-BC, bergradasi rapat (dense graded), mempunyai nominal maximum
size of aggregate 3/4 in (19 mm), atau maximum size of aggregate 1 in (25,4 mm).
b. AC-BC dapat dihamparkan 1 lapis atau lebih.
Tebal padat 6 cm - 7,5 cm, atau kelipatannya.
Contoh : 2 × 6 cm, 2 × 7 cm, dan 2 × 7,5 cm
c. Rentang kadar aspal 4,5% - 7,0%.
5. ATB (Asphalt Treated Base) atau AC (Asphalt Concrete)-Base
a. Bagian atas Crushed Aggregate Base Course (CABC), di bawah AC-BC, dapat diganti
dengan ATB atau AC-Base, yaitu hotmix asphalt, dense graded aggregate, nominal
maximum size of aggregate 1 in (25,4 mm), atau maximum size of aggregate 1,5 in (37,5
mm).
Tebal padat 8 cm - 10 cm.
b. Rentang kadar aspal 4,5% - 7,0%.
c. Sebagian besar airport dan highway engineer menyatakan bahwa AC-BC merupakan
lapisan bawah dari hotmix surface course, tetapi menurut ketentuan dari UK (TRL)
bahwa AC-BC merupakan lapisan paling atas dari base course, sehingga AC-BC disebut
base course, sedangkan dibawah base course disebut road base.
6. Bentuk butiran
Bentuk butiran agregat dan surface texture mudah dicapai apabila agregatnya mempunyai
abrasi rendah < 30%, dan dipecah dengan alat Stone Crusher. Ada referensi lain yang
mensyaratkan nilai abrasi agregat untuk runway hotmix asphalt, maksimum 25%. Nilai abrasi
agregat yang terlalu rendah, kurang dari 16%, pori2 nya terlalu kecil, sehingga dapat
mengurangi daya rekat aspal terhadap agregat.
III. Properties of Hotmix Asphalt (HMA) pavements
A. Marshall properties (AI MS-2, 2014)
1. Number of blows : 2 × 75.
2. Stability.
a. Highway, min 800 kg.
b. Airport, min 980 kg (FAA).
3. Flow : 2 - 4 mm.
4. VIM : 3% - 5%.
VIM should be targeted :
a. Highway ~ 4%.
b. Runway : 3.5% +/- 0.2%.
5. VMA.
a. AC-WC, min 14%.
b. AC-BC, min 13%.
c. AC-Base, min 12%.
6. VFA : 65% - 75%.
B. HMA Properties (AI MS-22, 2000)
1. Stability.
2. Durability.
3. Impermeability.
4. Workability.
5. Flexibility.
6. Fatigue resistance.
7. Skid resistance.
C. Note :
1. Asphalt Institute MS-2, 2014, tidak mensyaratkan 2 parameter sbb :
a. PRD (Percentage Refusal Density), blows 2 × 400, minimum 2%.
b. Retained Marshall Stability (RMS) atau Immersion Index (UK), minimum 75%.
2. Pavement engineer harus dapat membedakan penggunaan Marshall properties dan
HMA properties dalam mengevaluasi HMA Pavement. Masih banyak pavement engineer
yang menganut ajaran menyimpang. Mereka memenuhi permintaan auditor dengan
cara mengambil sampel core drill, ditentukan kadar aspal dan voids in mix (VIM),
kemudian dibandingkan dengan kadar aspal optimum dan VIM (voids in mix) dari JMF.

Semoga bermanfaat.
JOG 21 Des 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
FLEXIBLE/ASPHALT PAVEMENT DAN RIGID/CONCRETE PAVEMENT
Wardhani Sartono
Pensiunan guru bandara DTSL FT UGM

1. Robert N. Hunter, 2000 : Asphalt are used in well over 95% of all UK road pavement construction
sites and to an even greater extent in maintenance works.
This is because they are so much more convenient to handle and lay for small to medium sized
jobs, and as cost effective as concrete, if more so, on the very largest projects.
2. Saat ini banyak sekali Civil Engineer di Indonesia, menganut ajaran menyimpang, yaitu bhw :
Rigid Pavement lebih tepat dibangun di atas tanah lunak atau tanah dasar dengan daya dukung
rendah (CBR design 3% - 4%), dengan alasan penyebaran beban di bawah slab beton ke subgrade
lebih kecil dan merata, karena mereka hanya melihat satu slab beton saja, dan tidak pernah
memperhatikan slab beton beserta sambungannya secara keseluruhan.
3. Berdasarkan pola pikir seperti ini, banyak Civil Engineer Indonesia yang merancang Rigid
Pavement dengan menghilangkan base course, subbase course, dan capping layer/improved
subgrade/selected subgrade/selected materials, CBR 15% - 30%, tebal 30 cm - 40 cm, yang
berfungsi sebagai lapis pelindung subgrade.
4. Mereka menempatkan slab beton tebal 30 cm, langsung di atas lean concrete tebal 10 cm, dan
drainage layer tebal 15 cm, di atas subgrade, CBR 10%. Mereka tidak menyadari bahwa Lean
Concrete tebal 10 cm, sifatnya kaku tetapi getas (brittle), hanya berfungsi sebagai lantai kerja,
sedangkan drainage layer terdiri dari open graded aggregate, sehingga bukan merupakan
structural layer, karena daya dukungnya rendah sekali.
5. Saya bersyukur telah mendapat hidayah untuk kembali ke jalan yang benar setelah study lanjut
Post Graduate di TU Delft, Belanda, 1988, selama 2 th, dibimbing oleh : Prof. H. J. Th. Span dan
Prof. A.A.A. Molenaar.
6. Prof. A.A.A. Molenaar, TU Delft, 1988 (disertation 1983) : Pavement is a multi layer bonded
system.
The weaker the subgrade bearing strength, the more flexible the pavement structure should be.
Mayoritas (> 95%) panjang ruas jalan di Belanda, dibangun dengan struktur flexible pavement,
walaupun hampir seluruh wilayahnya mempunyai daya dukung rendah, dan elevasi rata2 minus
4,5 m dibawah MSL (1988).
7. Semoga Civil Engineer lulusan abad XXI sebagai generasi penerus yang masih menganut ajaran
menyimpang tsb segera mendapat hidayah untuk kembali ke jalan yang benar.
8. Flexible Pavement (FP) dan Rigid Pavement (RP), apabila dirancang berdasarkan layering system
(sistem pelapisan) yang benar, dan dilaksanakan dengan metoda yang benar, mempunyai
keunggulan masing2, sbb :
a. Di UK, FP mempunyai design life min 30 th, sedangkan RP mempunyai design life min 40 th.
b. RP unggul dalam hal skid resistance, sedangkan FP unggul dalam hal kenyamanan (riding
quality).
c. FP setelah dilaksanakan penghamparan dan pemadatan HMA, hanya nunggu beberapa jam
dapat langsung digunakan untuk melayani beban lalulintas, sedangkan RP harus nunggu 28
hari setelah pengecoran slab beton selesai.
d. RP dan FP mampu mendukung beban lalulintas (truck atau pesawat) yang sama, tetapi FP
lebih menguntungkan mendukung beban bergerak dengan loading time 0,02 detik,
sedangkan RP tidak terpengaruh loading time.
e. Apabila terjadi kerusakan tingkat medium, cara memperbaiki FP lebih mudah dibandingkan
dengan RP.
f. Kerusakan struktur perkerasan akibat daya dukung subgrade rendah, untuk RP umumnya
tipe joint spalling, joint damage, sedangkan FP tipe kerusakannya rutting and depression.
g. Mayoritas movement area bandara di dunia, dibangun struktur perkerasan : Apron dibangun
RP, Taxiway dibangun RP dan FP, dan Runway dibangun FP.
h. Di Negara Korea Selatan, hampir semua Highway Rigid Pavement dioverlay hotmix tebal 10
cm atas permintaan WN demi kenyamanan (KOTI, 2014).
i. Dan lain2.
9. Tidak dapat disimpulkan bahwa Flexible Pavement lebih baik dari pada Rigid Pavement, dan
sebaliknya, pemilihannya tergantung dari banyak faktor.

Semoga bermanfaat.
JOG 22 Juni 2021.
Revisi 25 Nov 2021.
BOLEHKAH MENGHAMPAR AGGREGATE BASE COURSE
LANGSUNG DI ATAS SUBGRADE
Wardhani Sartono
Pensiunan guru bandara

A. Saat ini banyak sekali pavement engineer yang merancang Struktur Flexible Pavement (FP) dan
Rigid Pavement (RP) untuk Airport dan Highway dengan menempatkan aggregate base, CBR min
60%, langsung di atas Subgrade, CBR < 10%, dan mereka tidak pernah merasa salah.
B. Hal ini mungkin karena mereka belum mempunyai "sense of engineer" yang cukup. Sense of
engineer hanya dapat diperoleh apabila mereka saat bekerja di lapangan mengamati dengan
teliti, pikirannya tetap berpegang teguh pada teori yang benar. Semoga tiga tulisan singkat
berikut ini dapat menyadarkan pola pikir mereka yang keliru.
1. FAA AC 150/5320-6E, 2009, -6F, 2018 :
Aggregate layers can be placed anywhere in the flexible pavement structure except at the
surface or subgrade (dalam flexible pavement, lapisan aggregate base boleh dihampar
dimana saja, kecuali di atas permukaan hotmix asphalt atau subgrade).
2. Robert N. Hunter, 2000, Asphalts in Road Constructiion, page 514, 515.
a. Thus, when the roadbase/base course is being laid, the resulting soft spots or areas in
the subbase may be revealed either by deformation under the wheels of the loaded
delivery lorries, or by the paver itself losing traction as its wheels or tracks settle into the
subbase which has insufficient strength.
b. Failure to detect and remedy the problem at this stage simply results in the roadbase
being under-compacted since there is inadequate reaction from the subbase to the
rollers compactive efforts and full mechanical interlock of the roadbase aggregate
cannot occur.
3. Prof. H. J. Th. Span, 1988, TU Delft, Nederland.
He recommended the ratio between the bearing strength or CBR of underlying layers and
the upper layers should be at least 1/3.
It meant the minimum CBR of subgrade = 1/3 × CBR of the capping layer or subbase course,
and the minimum CBR of subbase course = 1/3 × CBR of the base course or road base.
Setelah membaca dan mengerti dengan benar tulisan tsb di atas, harapannya para pavement engineer
makin menyadari bahwa menghampar dan memadatkan aggregate base langsung di atas subgrade
dapat merusak dan mengurangi daya dukung subgrade, serta lapisan aggregate base tidak akan
mencapai kepadatan maksimal.
Oleh karena itu : Do not spread and compact aggregate base layer directly on top of subgrade.

Semoga bermanfaat.
JOG 1 Des 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara
BELAJAR MEMADATKAN AGGREGATE BASE COURSE DI ATAS
SUBBASE COURSE

1. Th 1975 saya belajar di lapangan kepada Mandor dari PT Hutama Karya di Proyek Rehabilitasi dan
Peningkatan Landasan Pelabuhan Udara Sentani Jayapura.
2. Menurut Mandor dari PT HK, kalau Base Course (lapis pondasi atas) yang sedang dipadatkan di
atas Subbase Course (lapis pondasi bawah), CBR : 30%, di lokasi tertentu terjadi lendutan, bisa
dipastikan bahwa di lokasi tsb tidak akan tercapai maximum density serta CBR min 80%.
3. Penyebab utama terjadinya lendutan tsb ada 2 kemungkinan sbb :
a. Terdapat air yang terjebak di lapisan subbase, sehingga mereduksi CBR subbase. Mungkin
pelaksanaannya saat musim hujan, dan dibiarkan terbuka terlalu lama.
b. Terdapat segregasi di lapisan Subbase, sehingga dapat mereduksi CBR subbase. Mungkin
proses mixing dan spreadingnya kurang homogen.
4. Cara memperbaiki, dilokasi tsb harus di rekonstruksi, yaitu dibongkar sampai lapisan subbase.
Material subbase diganti dengan material yang baru, berupa sand & gravel/pitrun, dihamparkan
dan dipadatkan sehingga mencapai field CBR : 30%. Material lama tidak dibuang, tetapi
dikembalikan ke stockpile, kalau sudah kering dapat digunakan lagi.

Note :
1. Subbase course, sand and gravel untuk runway, CBR 30%. Granular material dengan PI rendah,
kalau basah karena hujan, nilai CBR nya bisa turun sampai 75% dari CBR lapangan, atau menjadi
CBR min 20%.
2. Menurut Mandor PT HK tsb, memadatkan aggregate base course diatas subbase CBR 20%
dikatakan sulit, (apalagi di atas subgrade CBR 6% - 10%).
3. Th 1982, salah satu dosen Pascasarjana ITB-PU, (alm) Pak Harsono Martakim (mantan Dirjen BM)
selalu menyebut dirinya sebagai Mandor Jalan. Pak Purnomo (mantan Dir Bintek BM), dalam
salah satu tulisannya menyebut dirinya sebagai Pensiunan Mandor Jalan.
4. Mungkin maksudnya bahwa ilmunya para Mandor Jalan bisa lebih tinggi dari pada ilmunya para
Insinyur Jalan, tergantung dari kejeliannya terhadap pelaksanaan konstruksi perkerasan jalan.

Semoga bermanfaat bagi para Insinyur Jalan generasi milenial.


JOG 03 Des 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
Menilai Skid Resistance Hotmix Asphalt Surface Course
Secara Sederhana

Contoh : Bandar Udara Internasional Hang Nadim, Batam (BTH), beroperasi 1995. Runway dioverlay
Okt 2021, tebal 12,5 cm. Taxiway sudah beroperasi hampir 27 th, belum pernah dioverlay, sehingga
warna permukaan hotmixnya terlihat abu2 kusam, terjadi retak di wheel track area. Pengamatan tgl
10.12.2021.
1. Permukaan hotmix asphalt (HMA) mempunyai nilai skid resistance tinggi, apabila permukaannya
mempunyai makrotekstur tinggi dan butiran agregat kasarnya mempunyai mikrotekstur tinggi
(kasar).
2. Permukaan HMA mempunyai makrotekstur tinggi, apabila secara visual terlihat jelas banyak
butiran agregat kasarnya dan rata, sedikit sekali beda tingginya (dapat dikontrol dengan straight
edge/penggaris, panjang 2 m).
3. Permukaan HMA mempunyai mikrotekstur tinggi, apabila permukaan agregat kasarnya kalau
disentuh dengan jari tangan terasa tajam seperti sand paper. Agregat kasar mempunyai
mikrotekstur tinggi, apabila merupakan produksi hasil pecahan dari Stone Crusher (mesin
pemecah batu).
4. Permukaan HMA yang mempunyai makrotekstur dan mikrotekstur tinggi, tidak licin, apabila
dilintasi pesawat atau kendaraan dengan kecepatan tinggi walaupun dalam kondisi basah/hujan.
5. Makrotekstur lebih efektif menahan pesawat atau kendaraan dengan kecepatan tinggi agar tidak
mudah tergelincir.
Mikrotekstur lebih efektif menahan pesawat atau kendaraan dengan kecepatan rendah agar
tidak mudah tergelincir.
6. Rubber deposit, tumpahan olie atau minyak pelumas, asphalt bleeding, lumpur, dapat
mengurangi makrotekstur, sehingga mereduksi skid resistance dari hotmix asphalt surface
course. Akibatnya, permukaan hotmix asphalt menjadi licin dalam kondisi basah.
7. Di luar negeri, untuk menambah nilai skid resistance di permukaan runway flexible pavement,
dibuat transverse grooving (alur melintang), dengan syarat HMA nya harus mempunyai kualitas
terbaik (Aerodrome Design Manual Part 3, 1983, Pavements).
8. Alat uji skid resistance di lapangan :
a. Mu meter.
b. Skiddometer.
c. Runway friction tester.
Kecepatan kendaraan saat melaksanakan pengujian 40 mph (65 km/jam) dan 60 mph (95
km/jam).
Alat uji skid resistance di area kecepatan rendah, misal Turning Area dan Taxilane, menggunakan
: TRRL Texture Meter.
Alat uji skid resistance di laboratorium menggunakan : British Pendulum Tester.

Semoga bermanfaat.
Wardhani Sartono.
JOG 14 Des 2021.
Pensiunan guru bandara.
PERLUKAH UJI PRD DIJADIKAN SYARAT SEBAGAI QUALITY CONTROL UNTUK
PEKERJAAN HOTMIX ASPHALT

I. Penjelasan singkat
Percentage Refusal Density (PRD) adalah menguji sampel hotmix diameter 10 cm, jumlah
tumbukan 2 × 400 blows, atau diameter 15 cm, jumlah tumbukan 2 × 600 blows, tujuannya untuk
mengetahui Voids in Mix, syaratnya min 2%.
II. Referensi :
1. Robert N. Hunter, 2000, Asphalts in road construction, page 310, 420 - 421.
a. The introduction of the PRD test and the predominance of the use of Dense Bitumen
Macadam Road-Bases (DBMRB) in varying thicknesses has meant that it has been
necessary to establish the optimum layer thickness at which the contract PRD can be
achieved.
b. Experience has suggested that when laying 28 mm or 40 mm DBMRB or a HDMRB (Heavy
Duty Macadam Road Base), failure to achieve PRD can be expected when the layer
thickness is less than 70 mm and that layers of thickness greater than 85 mm usually
meet the PRD specification with optimum thicknesses being 95 mm - 100 mm.
c. The Percentage Refusal Density (PRD) is a measure of the relative state of compaction
of cores extracted from the pavement layers.
d. Currently, it is only applicable to dense coated macadam roadbases and basecourses
including heavy duty macadams.
e. The main drawbacks of the PRD test for control purpuse are the time it takes to achieve
a result and the intensity of labour required.
f. The adverse effect this also has on client/contractor relationships has been reported by
various engineers since the introduction of the test for acceptance purposes.
g. Nevertheless, it seems likely that this test, or a variation of it, will be used for the
foreseeable future.
2. Asphalt Institute MS-2, 2000 dan 2014, Mix Design Methods for Asphalt Concrete, tidak
mencantumkan persyaratkan uji PRD min 2% sebagai persyaratan QC dan RMS yaitu : MS
(60°C, 24 jam), dibagi MS (60° C, 30 menit) × 100%.
3. KP 14 tahun 2021, Spesifikasi Teknis Pekerjaan Fasilitas Sisi Udara Bandara, tidak
mensyaratkan pengujian PRD sebagai QC, mensyaratkan uji TSR min 80%, tetapi bukan
berdasarkan produksi harian.
4. FAA AC 150/5370- 14B, 2000, Hotmix Asphalt Paving, tidak mensyaratkan uji PRD sebagai QC.
5. Asphalt Institute MS-22, 2000, Construction of Hotmix Asphalt Pavements, tidak
mensyaratkan uji PRD sebagai QC.
6. FAA AC 150/5370- 10G, 2014 dan -10H, 2018, Standards for Specifying Construction of
Airports, tidak mensyaratkan uji PRD sebagai QC.
Ada syarat tambahan TSR min 80%.
7. NAPA, 1991, 1996, Hot Mix Asphalt Materials, Mixture Design and Construction, tidak
menjelaskan dan mensyaratkan uji PRD sebagai QC, tetapi mensyaratkan RMS min 75% dan
TSR min 70%.
8. Spesifikasi Umum 2018 BM, Devisi 6, subchapter 6.3.7 point 5.b.viii : mensyaratkan pengujian
PRD harus dilaksanakan setiap hari produksi Laston, bersamaan dengan uji Marshall, nilai
Voids in Refusal Density, min 2%.
III. Note :
1. Dari uraian referensi 1 tsb di atas, uji PRD hanya digunakan untuk dense bitumen macadam
roadbase (DBMRB) dan heavy duty macadam roadbase (HDMRB), cukup penting tetapi tidak
prioritas sebagai QC. Apakah perlu pengujian PRD dijadikan syarat QC untuk AC-WC dan AC-
BC?
2. Saya pernah mendapat laporan dan keluhan dari salah satu Satker untuk Proyek
Pembangunan Jalan. Pada saat menguji PRD AC-BC tebal 6 cm, baru memadatkan satu sisi
sebanyak 400 blows, banyak agregat kasarnya yang hancur, padahal syaratnya harus 2 × 400
blows. Bagaimana hasilnya apabila yang diuji PRD adalah AC-WC dengan tebal benda uji 4
cm?
3. Para pavement engineer yang membuat spesifikasi teknik yang mensyaratkan PRD sebagai
QC produksi hotmix, harus banyak membaca referensi yang upto date, serta harus
mendengarkan masukan dari tim Pelaksana, yang meliputi : Satker, Kontraktor dan Konsultan
Supervisi.
Mereka juga harus memperhitungkan potensi temuan Auditor BPK atau Itjen pada saat
pekerjaan tsb diaudit.

Semoga bermanfaat.
JOG 17 Des 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.
FILOSOFI DARI ROBERT N. HUNTER :
WEARING COURSE IDENTIK DENGAN KOSMETIK

I. Reference :
Robert N. Hunter, 2000, Asphalts in road construction (UK), page 107.
The wearing course is essentially a cosmetic treatment in that it is not required to necessarily
have a structural role. However, the surface must provide the appropriate condition for safe and
confortable contact with vehicle tyres. It must also water proofing function since moisture in
pavements is generally undesirable as it can cause various types of damage to the lower layers.
II. Penjelasan singkat
Sebenarnya yang bisa menjelaskan filosofi lapis permukaan perkerasan (AC-WC) jalan dan runway
identik dengan kosmetik secara akurat hanya para Wanita atau Ibu2 yang hobynya suka
mempercantik wajahnya, dan sering membaca tentang Hotmix Overlay on Flexible Pavement :
1. Komestik adalah bahan untuk melindungi wajah, walaupun harganya mahal, harus diganti
secara rutin (routine maintenance). Kosmetik lama harus dibersihkan, dengan cara facial,
kemudian dilapis ulang dengan bahan kosmetik yang baru, karena menurut Ibu2 tsb bahwa
kosmetik termasuk bahan habis pakai, bukan barang inventaris.
2. Seorang wanita/ibu2 tidak mungkin membiarkan kosmetik lama tetap nempel di wajahnya,
kemudian dilapisi kosmetik baru, dengan alasan, semakin tebal kosmetik yang nempel di
wajah, semakin terlindungi wajahnya dari pengaruh cuaca.
3. Dengan metoda routine maintenance yang benar, yaitu mengganti kosmetik lama yang
menempel di wajahnya dengan kosmetik yang baru, maka wanita/ibu2 tsb wajahnya akan
tetap fresh, even, smooth, dan dapat memperpanjang durability kecantikannya sampai
"design life".
4. Seorang airport and pavement engineer kalau akan melaksanakan hotmix overlay di atas
flexible pavement, harusnya mencontoh filosofi Ibu2 tsb di atas, yaitu mengupas AC-WC yang
sudah mengalami ageing atau cracking dengan alat Cold Milling, kemudian di overlay dengan
hotmix yang baru, kemungkinan besar flexible pavement tsb mempunyai durability yang
lebih tinggi.
5. Harus disadari bahwa AC-WC (Asphalt Concrete Wearing Course), termasuk barang habis
pakai, kalau sudah usang/ageing harus dibuang dan diganti dengan AC-WC yang baru.
Metoda pemeliharaan (maintenance) atau perbaikan (repair) seperti ini disebut Inlay, dan
menurut PMS (Pavement Management System) termasuk tahap : Minor Rehabilitation.
Apabila Inlay tidak memadai dan harus ditambah dengan Overlay di atasnya, metoda
pemeliharaan seperti ini termasuk tahap : Major Rehabilitation.

Semoga bermanfaat.
JOG 18 Des 2021.
Wardhani Sartono.
Pensiunan guru bandara.

You might also like