Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

LAPORAN KASUS : NEUROMYELITIS OPTIKA

CASE REPORT : NEUROMYELITIS OPTICA


Edo Febrian Ananda*, Muhammad Akbar**
*
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi; Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; Makassar; Indonesia.
**
Staf Pengajar Departemen/KSM Neurologi; Universitas Hasanuddin /RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo; Makassar; Indonesia.

ABSTRACT
Introduction : Neuromyelitis Optica (NMO) is a disease characterized by involvement of the optic nerve and spinal
cord, resulting in acute or subacute blindness in one or both eyes preceded or followed by transfer myelitis or
ascending myelitis. The definitive diagnosis of NMO is confirmed by a positive NMO-IgG serological examination
or meeting the core criteria, namely optic neuritis, acute myelitis, posterma area syndrome, symptomatic narcolepsy
and symptomatic cerebral syndrome.
Case illustration : 21-year-old woman was brought to the emergency room with complaints of seizures since 2
hours before admission. When having a seizure, the patient's eye glare to the left, while arms and legs bend inward.
The patient was unconscious during a seizure, and after the seizure the patient was immediately aware and
remember the events that occurred during seizure attack. Seizures last 1-2 minutes. 2 days later the patient
experienced weakness and cramps in both legs accompanied by urinary disturbances. Then the patient complained
of decreased vision in both eyes accompanied by pain around the eyes. Thoracal MRI showed lesion in the medulla
until C4 segment of spinal cord. There was no history of fever, no history of spine trauma and no history of
previous pulmonary TB infection.
Discussion : Optic neuromyelitis is a rare and recurrent idiopathic CNS demyelinating disorder that preferentially
involves the optic nerve and spinal cord. The diagnosis criteria of NMO were confirmed by the presence of optic
neuritis and transverse myelitis, spinal cord MRI shows a lesion extending over 3 vertebral segments in addition to
the presence of NMO-IgG autoantibodies. Prompt diagnosis and appropriate therapy will reduce disability or nerve
cell damage in patients.

Key Word : Optic neuromyelitis, Transvers myelitis, Optic neuritis, NMO-IgG

ABSTRAK
Pendahuluan : Neuromyelitis Optika (NMO) merupakan penyakit yang ditandai dengan keterlibatan saraf optik dan
Medulla Spinalis, terjadi kebutaan akut atau subakut pada satu atau kedua mata yang didahului atau diikuti oleh
myelitis transfersa atau myelitis asenden. Diagnosis pasti dari NMO ditegakkan dengan pemeriksaan serologi NMO-
IgG yang positif atau memenuhi kriteria inti yaitu neuritis optic, myelitis akut, area posterma syndrome, narkolepsi
simptomatik dan sindrom serebral simptomatik.
Ilustrasi kasus : Perempuan 21 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan kejang sejak 2 jam sebelum masuk Rumah
Sakit. Saat kejang mata pasien mendelik kearah kiri, tangan dan kaki menekuk kearah dalam. Saat kejang pasien
tidak sadarkan diri, dan setelah kejang pasien langsung sadar dan mengingat kejadian saat terjadinya kejang. Kejang
terjadi selama 1-2 menit. 2 hari kemudian pasien mengalami kelemahan dan kram pada kedua kaki disertai
gangguan berkemih. Kemudian pasien mengeluhkan penurunan penglihatan pada kedua mata disertai dengan nyeri
disekitar mata. MRI Thorakal menunjukkan gambaran hiperintens pada medulla oblongata hingga medulla spinalis
segmen C4. Tidak ada riwayat demam, tidak ada riwayat trauma pada punggung dan tidak ada riwayat TB Paru
sebelumnya.
Diskusi : Neuromyelitis optika merupakan penyakit demyelinisasi SSP yang jarang terjadi dan sering mengalami
kekambuhan yang biasanya melibatkan saraf optic dan medulla spinalis. Kriteria diagnosis NMO ditegakkan dengan
adanya neuritis optik dan myelitis transversa, gambaran MRI medula spinalis menunjukkan lesi yang melebihi 3
segmen vertebra selain ditemukannya autoantibodi NMO-IgG. Diagnosa yang cepat dan terapi yang sesuai akan
mengurangi kecacatan atau kerusakan sel saraf pada penderitanya.

Kata Kunci : Neuromyelitis optika, Myelitis transversa, Neuritis optik, NMO-IgG


LAPORAN KASUS : NEUROMYELITIS OPTIKA
CASE REPORT : NEUROMYELITIS OPTICA
Edo Febrian Ananda*, Muhammad Akbar**
*
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi; Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; Makassar; Indonesia.
**
Staf Pengajar Departemen/KSM Neurologi; Universitas Hasanuddin /RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo; Makassar; Indonesia.

1. PENDAHULUAN

Neuromyelitis Optika (NMO) atau yang dikenal dengan nama Devic’s disease

merupakan penyakit idiopatik immunomediated demyelinating dan necrotizing yang dominan

mengenai saraf optik dan medula spinalis. NMO adalah penyakit inflamasi dari sistem saraf

pusat (SSP) yang jarang terjadi dan ditandai dengan serangan neuritis optik dan myelitis yang

berat. Awalnya NMO dianggap sebagai bentuk khusus dari multiple sclerosis (MS). Penelitian

yang dilakukan selama 10 tahun terakhir , dua penyakit ini telah terbukti jelas berbeda. NMO

adalah penyakit sel B-mediated yang terkait dengan anti aquaporin-4 antibodi yang ditemukan

dalam banyak kasus. Baru-baru ini, ditemukan bukti bahwa pada NMO terjadi pengikatan

antibodi, aktivasi komplement, dan infiltrasi eosinofilik dapat disimpulkan bahwa penyakit

Devic adalah penyakit humoral, sedangkan MS merupakan proses mekanisme seluler. Hal ini

diperkuat oleh dengan ditemukannya antibodi IgG serum pada kapiler dalam batang otak dan

otak kecil. Telah dilaporkan bahwa penanda antibodi ini ditemukan pada kasus neuromyelitis

optica dan tidak ditemukan dalam kasus MS. Prevalensi dari NMO juga jauh lebih jarang

dibandingkan dengan MS. NMO mungkin menjadi penyakit monofasik, atau mungkin penyakit

inflamasi demielinasi yang hilang-timbul.1,2

Pada fase akut NMO, medulla spinalis mengalami pembengkakan secara difus pada

multipel segmen dan kadang-kadang dapat mengenai neuron secara keseluruhan. Pemeriksaan

histopatologi menunjukkan adanya nekrosis pada subtansia alba dan grisea dengan infiltrasi

makrofag terkait dengan kehilangan akson dan myelin serta inflamasi perivaskular. Pada kasus

kronik terjadi atrofi dan kavitasi dari segmen medulla spinalis dan saraf optik yang terlibat yang

ditandai dengan gliosis dan degenerasi kistik. Pada area yang mengalami nekrosis, dinding

kapiler menebal dan mengalami hyalinisasi. Pembengkakan yang terjadi pada medulla spinalis

dapat menyebabkan peningkatan tekanan intramedulla, parenkim pembuluh kecil kolaps, yang

berlanjut menjadi infark. Lesi saraf optik sering melibatkan chiasma optikum. Meskipun NMO
biasanya terbatas pada saraf optik dan medulla spinalis, pada 10% kasus gejala yang muncul

mirip dengan gejala MS, dan lesi pada hipotalamus juga ditemukan pada sekitar 10% kasus.

Yang terbaru ditemukan pada NMO adalah penanda serum NMO-IgG yang memiliki

sensitivitas 73% dan spesifisitas 91%. 1,3

Pada NMO terjadi peningkatan serum antibodi aquaporin-4 immunoglobulin G (AQP4-

IgG) yang merupakan komponen dari kompleks protein dystroglycan terletak di astrocytic pada

sawar darah-otak. Diagnosa NMO dapat ditegakkan berdasarkan pada adanya temuan AQP4-IgG

pada pemeriksaan serologi. Namun pemeriksaan serologi ini tidak tersedia disemua rumah sakit,

sehingga untuk menegakkan diagnosis NMO tanpa menggunakan pemeriksaan serologi dapat

dilakukan dengan menilai beberapa kriteria inti yang harus terpenuhi minimal 1 dari beberapa

kriteria yaitu neuritis optik, myelitis akut, area postrema syndrome, narkolepsi simptomatik dan

sindrom serebral simptomatik. Pada hasil pemeriksaan MRI vertebra juga dapat ditemukan lesi

longitudinal yang panjang ≥ 3 segmen vertebra. 1,2,3

Neuromyelitis optika (NMO) merupakan penyakit dengan angka kekambuhan yang

tinggi dan dapat menyebabkan terjadinya akumulasi kerusakan saraf. Fase akut akan

menimbulkan gejala dan tanda-tanda yang terlokalisir sesuai dengan kerusakan saraf pusat yang

terjadi. Tujuan utama terapi pada fase akut adalah untuk menekan respon inflamasi akut,

meminimalisir kerusakan susunan saraf pusat dan memperbaiki fungsi neurologis. Kortikosteroid

dosis tinggi dapat digunakan sebagai terapi fase akut penyakit, karena mudah didapatkan dan

memiliki manfaat dalam menekan respon inflamasi, dan hal ini yang membedakan antara NMO

dengan multiple sclerosis.1,2,3

2. ILUSTRASI KASUS

Pasien wanita usia 21 tahun, dibawa oleh keluarganya ke UGD RSUP Wahidin

Sudirohusodo pada tanggal 16 Oktober 2020. Pasien dibawa ke RS karena mengalami kejang

yang terjadi sejak 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pada saat terjadi kejang pasien tidak

sadarkan diri, mata mendelik ke kiri disertai tangan dan kaki menekuk kearah dalam. Setelah

kejang berhenti, pasien langsung sadar kembali dan mengingat kejadian saat terjadinya kejang.

Durasi kejang terjadi selama 1-2 menit dengan frekuensi sebanyak 3 kali sebelum akhirnya

pasien dibawa ke RS. Saat sampai di RS pasien mengalami kejang sebanyak 1 kali. Sebelumnya

pasien tidak pernah mengalami kejang seperti ini.


Pasien kemudian dipindahkan ke ruang perawatan Neurologi, dan pada perawatan hari

ke 2 pasien tiba-tiba mengalami kelemahan dan kram pada kedua kakinya dan kaki sulit untuk

digerakkan, dan hipestesi dari akral hingga setinggi vertebra thorakal 1-2. Selain itu pasien juga

mengeluhkan kesulitan berkemih. Beberapa hari setelah terjadi kelemahan pada kaki, pasien

mengeluhkan penglihatan kedua matanya terganggu dan tidak dapat melihat dengan jelas dan

disertai dengan rasa nyeri pada kedua mata saat pasien diminta untuk mengerakkan bola

matanya.

Riwayat demam sebelumnya disangkal, riwayat trauma pada punggung dan bokong

disangkal, dan riwayat TB paru disangkal. Riwayat penyakit diabetes, kolesterol dan hipertensi

disangkal. Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan visus pada okuli dekstra dan sinistra 3/6. Hasil

pemeriksaan MRI thorakal yang dilakukan tanggal 19 Oktober 2020 menunjukkan lesi isointens

pada T1WI dan Slight hiperintens pada T2WI pada medulla oblongata hingga medulla spinalis

setinggi segmen vertebra C4 (Gambar 1). Gambaran MRI kepala tidak tampak kelainan.

Gambar 1. Gambaran MRI Thorakal T2WI potongan (a) sagittal dan (b) koronal menunjukkan
gambaran hiperintens pada medulla oblongata hingga medulla spinalis segmen
vertebra C4.

Pasien kemudian didiagnosia dengan neuromyelitis optika dan diberikan terapi

metilprednisolon 3 x 125 mg selama tiga hari, fenitoin 3 x 100 mg intraoral, mecobalamin 3 x

500 mcg intravena, gabapentin 1 x 300 mg intraoral, dan ranitidin 2 x 150 mg intraoral. Pada hari
ke 8 perawatan keluhan lemah dan kram pada kedua kaki serta gangguan penglihatan pasien

sudah membaik, pasien sudah bisa berjalan sendiri ke kamar mandi dan dapat melihat dengan

jelas. Pasien diperbolehkan pulang dan kontrol setiap minggu di poliklinik neurologi RS

Wahidin Sudirohusodo. Saat rutin kontrol di poliklinik, keluhan yang sama tidak pernah lagi

dialami oleh pasien.

3. DISKUSI

Neuromyelitis optika merupakan penyakit idiopatik demyelinisasi berkaitan dengan

autoantibodi NMO-IgG dengan target saluran aquaporin-4. Neuromyelitis optika umumnya

dikarakteristikkan sesuai dengan adanya neuritis optik dan myelitis transversa yang terjadi secara

terpisah atau simultan. Karakteristik khas dari NMO meliputi myelitis episodik yang biasanya

berat dan disertai dengan bangkitan kejang tonik paroksismal, adanya temuan lesi pada medulla

spinalis yang memanjang yang mengenai tiga atau lebih segmen vertebra yang menyebabkan

terjadinya paraparesis atau quadriparesis, spinal cord sensory syndrome dan/atau disfungsi

sfingter. Pada pasien ini kejang merupakan gejala yang muncul pertama kali, kemudian diikuti

dengan paraparesis kedua tungkai beberapa hari kemudian dan setelah itu baru muncul gangguan

penglihatan. Serum autoantibodi NMO-IgG merupakan penanda untuk menegakkan diagnosis

pasti dari NMO, namun sayangnya tidak semua RS memiliki fasilitas untuk pemeriksaan

serologi ini.1,2,3 Pada laporan kasus ini penegakan diagnosa NMO hanya berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan imaging dikarenakan tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan

serologi NMO-IgG. Pasien awalnya dicurigai mengalami myelitis transversa yang kemudian

diikuti dengan neuritis optik. Hal inilah yang mendasari penegakan diagnosis NMO pada pasien

ini.

Temuan MRI pada NMO yaitu berupa lesi longitudinal yang luas yang dapat mengenai

tiga atau lebih segmen vertebra yang dikenal dengan Longitudinally extensive transverse myelitis

(LETM), dan menjadi hal yang penting selain dari pemeriksaan serologi. Hasil MRI T2WI

umumnya menunjukkan lesi luas memanjang pada tiga atau lebih segmen vertebra. Pada stadium

akut biasanya didapatkan godalinum enhancement (dalam hari sampai bulan), swelling /edema

dan nekrosis medulla spinalis. Namun pada fase akut MRI otak umumnya normal, yang dapat

mengalami perubahan dalam beberapa hari pada sekitar 60 % kasus. Adanya gambaran lesi di

otak tidak menyingkirkan diagnosis NMO. Pada pasien ini, hasil pemeriksaan MRI thorakal
menunjukkan gambaran lesi hiperintens pada T2WI pada daerah medulla oblongata hingga

medulla spinalis setinggi segmen vertebra C4, sedangkan pada MRI kepala tidak di ditemukan

adanya kelainan.4,5

Terapi NMO ditujukan untuk mengurangi gejala yang muncul dan untuk mencegah

kekambuhan. Pada fase akut pemberian kortikosteroid dosis tinggi (methilprednisolon 1000mg

per hari selama 3-5 hari) menjadi pilihan yang kemudian diikuti dengan pemberian prednison

sesuai dengan beret badan pasien. Seiring dengan perbaikan gejala klinis dosis prednison dapat

diturunkan perlahan untuk mencegah komplikasi dan kekambuhan. Jika terjadi respon yang

buruk terhadap metilprednisolon atau prednison maka imunoglobulin intravena dan

plasmapheresis dapat dipertimbangkan.1,5 Pada laporan kasus ini, pasien diberikan

methilprednisolon intravena 125 mg 3 kali sehari selama 3 hari, dan terjadi perbaikan kelemahan

pada kedua kaki dan tajam penglihatan pasien setelah pemberian steroid dosis tinggi. Pada hari

ke 8 perawatan didapatkan tajam penglihatan pasien sudah 6/6 pada kedua mata, dan nilai 5

untuk kekuatan motorik kedua kaki pasien.

Penanganan fase akut pasien dengan tes serologi positif atau negative adalah sama.

Tujuan dari pemebrian terapi fase akut ini adalah untuk menekan reaksi inflamasi akut,

mengurangi kerusakan pada sistem saraf pusat dan meningkatkan fungsi neurologis jangka

panjang. Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya disebutkan bahwa ketika

NMO mengalami kekambuhan maka pemberian kortikosteroid dosis tinggi dianggap paling baik

karena ketersediaannya yang mudah didapat, mudah diberikan dan memiliki respon menekan

inflamasi sangat baik.6

Penelitian lain oleh Postevka menggabungkan terapi kortikosteroid disertai plasma

pharesis dalam menangani serangan akut dan di dapatkan perbaikan klinis pada pasien.

Penelitian pertama yang menunjukkan manfaat penggunaan plasma pheresis tahun 1999

menyatakan prosedur ini aman dan efektif. Kombinasi kortikosteroid dan plasma pharesis

dikatakan lebih efektif dibandingkan hanya dengan pemberian kortikosteroid. Efek samping

plasma pheresis seperti infeksi dan blood clots juga harus pertimbangan. Pemilihan terapi

menggunakan kortikosteroid atau kombinasi dengan plasma pharesis tetap sesuai dengan

pengalaman tenaga medis dan ketersedian pengobatan dirumah sakit terkait.6


DAFTAR PUSTAKA

1. Jarius, S., Wildemann, B., & Paul, F. (2014). Neuromyelitis optica: clinical features,
immunopathogenesis and treatment. Clinical & Experimental Immunology, 176(2), 149-164.
2. Wingerchuk, D. M., & Weinshenker, B. G. (2014). Neuromyelitis optica (Devic’s
syndrome). Handbook of clinical neurology, 122, 581-599.
3. Nielsen, H. H., Ravnborg, M., & Illes, Z. (2014). Diagnosis and treatment of neuromyelitis
optica. Ugeskrift for laeger, 176(26), V02130104-V02130104.
4. Wu, Y., Zhong, L., & Geng, J. (2019). Neuromyelitis optica spectrum disorder: pathogenesis,
treatment, and experimental models. Multiple sclerosis and related disorders, 27, 412-418.
5. Jarius, S., Paul, F., Weinshenker, B. G., Levy, M., Kim, H. J., & Wildemann, B. (2020).
Neuromyelitis optica. Nature Reviews Disease Primers, 6(1), 1-32.
6. Kessler RA, Mealy MA, Levy M. Treatment of neuromy-elitis optica spectrum disorder: acut,
preventive, and symtomatic. Curr treat options neurol. 2016; 18:2.

You might also like