Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Abstrak
ABSTRACT
Introduction : Neuromyelitis Optica (NMO) is a disease characterized by involvement of the optic nerve and spinal
cord, resulting in acute or subacute blindness in one or both eyes preceded or followed by transfer myelitis or
ascending myelitis. The definitive diagnosis of NMO is confirmed by a positive NMO-IgG serological examination
or meeting the core criteria, namely optic neuritis, acute myelitis, posterma area syndrome, symptomatic narcolepsy
and symptomatic cerebral syndrome.
Case illustration : 21-year-old woman was brought to the emergency room with complaints of seizures since 2
hours before admission. When having a seizure, the patient's eye glare to the left, while arms and legs bend inward.
The patient was unconscious during a seizure, and after the seizure the patient was immediately aware and
remember the events that occurred during seizure attack. Seizures last 1-2 minutes. 2 days later the patient
experienced weakness and cramps in both legs accompanied by urinary disturbances. Then the patient complained
of decreased vision in both eyes accompanied by pain around the eyes. Thoracal MRI showed lesion in the medulla
until C4 segment of spinal cord. There was no history of fever, no history of spine trauma and no history of
previous pulmonary TB infection.
Discussion : Optic neuromyelitis is a rare and recurrent idiopathic CNS demyelinating disorder that preferentially
involves the optic nerve and spinal cord. The diagnosis criteria of NMO were confirmed by the presence of optic
neuritis and transverse myelitis, spinal cord MRI shows a lesion extending over 3 vertebral segments in addition to
the presence of NMO-IgG autoantibodies. Prompt diagnosis and appropriate therapy will reduce disability or nerve
cell damage in patients.
ABSTRAK
Pendahuluan : Neuromyelitis Optika (NMO) merupakan penyakit yang ditandai dengan keterlibatan saraf optik dan
Medulla Spinalis, terjadi kebutaan akut atau subakut pada satu atau kedua mata yang didahului atau diikuti oleh
myelitis transfersa atau myelitis asenden. Diagnosis pasti dari NMO ditegakkan dengan pemeriksaan serologi NMO-
IgG yang positif atau memenuhi kriteria inti yaitu neuritis optic, myelitis akut, area posterma syndrome, narkolepsi
simptomatik dan sindrom serebral simptomatik.
Ilustrasi kasus : Perempuan 21 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan kejang sejak 2 jam sebelum masuk Rumah
Sakit. Saat kejang mata pasien mendelik kearah kiri, tangan dan kaki menekuk kearah dalam. Saat kejang pasien
tidak sadarkan diri, dan setelah kejang pasien langsung sadar dan mengingat kejadian saat terjadinya kejang. Kejang
terjadi selama 1-2 menit. 2 hari kemudian pasien mengalami kelemahan dan kram pada kedua kaki disertai
gangguan berkemih. Kemudian pasien mengeluhkan penurunan penglihatan pada kedua mata disertai dengan nyeri
disekitar mata. MRI Thorakal menunjukkan gambaran hiperintens pada medulla oblongata hingga medulla spinalis
segmen C4. Tidak ada riwayat demam, tidak ada riwayat trauma pada punggung dan tidak ada riwayat TB Paru
sebelumnya.
Diskusi : Neuromyelitis optika merupakan penyakit demyelinisasi SSP yang jarang terjadi dan sering mengalami
kekambuhan yang biasanya melibatkan saraf optic dan medulla spinalis. Kriteria diagnosis NMO ditegakkan dengan
adanya neuritis optik dan myelitis transversa, gambaran MRI medula spinalis menunjukkan lesi yang melebihi 3
segmen vertebra selain ditemukannya autoantibodi NMO-IgG. Diagnosa yang cepat dan terapi yang sesuai akan
mengurangi kecacatan atau kerusakan sel saraf pada penderitanya.
1. PENDAHULUAN
Neuromyelitis Optika (NMO) atau yang dikenal dengan nama Devic’s disease
mengenai saraf optik dan medula spinalis. NMO adalah penyakit inflamasi dari sistem saraf
pusat (SSP) yang jarang terjadi dan ditandai dengan serangan neuritis optik dan myelitis yang
berat. Awalnya NMO dianggap sebagai bentuk khusus dari multiple sclerosis (MS). Penelitian
yang dilakukan selama 10 tahun terakhir , dua penyakit ini telah terbukti jelas berbeda. NMO
adalah penyakit sel B-mediated yang terkait dengan anti aquaporin-4 antibodi yang ditemukan
dalam banyak kasus. Baru-baru ini, ditemukan bukti bahwa pada NMO terjadi pengikatan
antibodi, aktivasi komplement, dan infiltrasi eosinofilik dapat disimpulkan bahwa penyakit
Devic adalah penyakit humoral, sedangkan MS merupakan proses mekanisme seluler. Hal ini
diperkuat oleh dengan ditemukannya antibodi IgG serum pada kapiler dalam batang otak dan
otak kecil. Telah dilaporkan bahwa penanda antibodi ini ditemukan pada kasus neuromyelitis
optica dan tidak ditemukan dalam kasus MS. Prevalensi dari NMO juga jauh lebih jarang
dibandingkan dengan MS. NMO mungkin menjadi penyakit monofasik, atau mungkin penyakit
Pada fase akut NMO, medulla spinalis mengalami pembengkakan secara difus pada
multipel segmen dan kadang-kadang dapat mengenai neuron secara keseluruhan. Pemeriksaan
histopatologi menunjukkan adanya nekrosis pada subtansia alba dan grisea dengan infiltrasi
makrofag terkait dengan kehilangan akson dan myelin serta inflamasi perivaskular. Pada kasus
kronik terjadi atrofi dan kavitasi dari segmen medulla spinalis dan saraf optik yang terlibat yang
ditandai dengan gliosis dan degenerasi kistik. Pada area yang mengalami nekrosis, dinding
kapiler menebal dan mengalami hyalinisasi. Pembengkakan yang terjadi pada medulla spinalis
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intramedulla, parenkim pembuluh kecil kolaps, yang
berlanjut menjadi infark. Lesi saraf optik sering melibatkan chiasma optikum. Meskipun NMO
biasanya terbatas pada saraf optik dan medulla spinalis, pada 10% kasus gejala yang muncul
mirip dengan gejala MS, dan lesi pada hipotalamus juga ditemukan pada sekitar 10% kasus.
Yang terbaru ditemukan pada NMO adalah penanda serum NMO-IgG yang memiliki
IgG) yang merupakan komponen dari kompleks protein dystroglycan terletak di astrocytic pada
sawar darah-otak. Diagnosa NMO dapat ditegakkan berdasarkan pada adanya temuan AQP4-IgG
pada pemeriksaan serologi. Namun pemeriksaan serologi ini tidak tersedia disemua rumah sakit,
sehingga untuk menegakkan diagnosis NMO tanpa menggunakan pemeriksaan serologi dapat
dilakukan dengan menilai beberapa kriteria inti yang harus terpenuhi minimal 1 dari beberapa
kriteria yaitu neuritis optik, myelitis akut, area postrema syndrome, narkolepsi simptomatik dan
sindrom serebral simptomatik. Pada hasil pemeriksaan MRI vertebra juga dapat ditemukan lesi
tinggi dan dapat menyebabkan terjadinya akumulasi kerusakan saraf. Fase akut akan
menimbulkan gejala dan tanda-tanda yang terlokalisir sesuai dengan kerusakan saraf pusat yang
terjadi. Tujuan utama terapi pada fase akut adalah untuk menekan respon inflamasi akut,
meminimalisir kerusakan susunan saraf pusat dan memperbaiki fungsi neurologis. Kortikosteroid
dosis tinggi dapat digunakan sebagai terapi fase akut penyakit, karena mudah didapatkan dan
memiliki manfaat dalam menekan respon inflamasi, dan hal ini yang membedakan antara NMO
2. ILUSTRASI KASUS
Pasien wanita usia 21 tahun, dibawa oleh keluarganya ke UGD RSUP Wahidin
Sudirohusodo pada tanggal 16 Oktober 2020. Pasien dibawa ke RS karena mengalami kejang
yang terjadi sejak 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pada saat terjadi kejang pasien tidak
sadarkan diri, mata mendelik ke kiri disertai tangan dan kaki menekuk kearah dalam. Setelah
kejang berhenti, pasien langsung sadar kembali dan mengingat kejadian saat terjadinya kejang.
Durasi kejang terjadi selama 1-2 menit dengan frekuensi sebanyak 3 kali sebelum akhirnya
pasien dibawa ke RS. Saat sampai di RS pasien mengalami kejang sebanyak 1 kali. Sebelumnya
ke 2 pasien tiba-tiba mengalami kelemahan dan kram pada kedua kakinya dan kaki sulit untuk
digerakkan, dan hipestesi dari akral hingga setinggi vertebra thorakal 1-2. Selain itu pasien juga
mengeluhkan kesulitan berkemih. Beberapa hari setelah terjadi kelemahan pada kaki, pasien
mengeluhkan penglihatan kedua matanya terganggu dan tidak dapat melihat dengan jelas dan
disertai dengan rasa nyeri pada kedua mata saat pasien diminta untuk mengerakkan bola
matanya.
Riwayat demam sebelumnya disangkal, riwayat trauma pada punggung dan bokong
disangkal, dan riwayat TB paru disangkal. Riwayat penyakit diabetes, kolesterol dan hipertensi
disangkal. Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan visus pada okuli dekstra dan sinistra 3/6. Hasil
pemeriksaan MRI thorakal yang dilakukan tanggal 19 Oktober 2020 menunjukkan lesi isointens
pada T1WI dan Slight hiperintens pada T2WI pada medulla oblongata hingga medulla spinalis
setinggi segmen vertebra C4 (Gambar 1). Gambaran MRI kepala tidak tampak kelainan.
Gambar 1. Gambaran MRI Thorakal T2WI potongan (a) sagittal dan (b) koronal menunjukkan
gambaran hiperintens pada medulla oblongata hingga medulla spinalis segmen
vertebra C4.
500 mcg intravena, gabapentin 1 x 300 mg intraoral, dan ranitidin 2 x 150 mg intraoral. Pada hari
ke 8 perawatan keluhan lemah dan kram pada kedua kaki serta gangguan penglihatan pasien
sudah membaik, pasien sudah bisa berjalan sendiri ke kamar mandi dan dapat melihat dengan
jelas. Pasien diperbolehkan pulang dan kontrol setiap minggu di poliklinik neurologi RS
Wahidin Sudirohusodo. Saat rutin kontrol di poliklinik, keluhan yang sama tidak pernah lagi
3. DISKUSI
dikarakteristikkan sesuai dengan adanya neuritis optik dan myelitis transversa yang terjadi secara
terpisah atau simultan. Karakteristik khas dari NMO meliputi myelitis episodik yang biasanya
berat dan disertai dengan bangkitan kejang tonik paroksismal, adanya temuan lesi pada medulla
spinalis yang memanjang yang mengenai tiga atau lebih segmen vertebra yang menyebabkan
terjadinya paraparesis atau quadriparesis, spinal cord sensory syndrome dan/atau disfungsi
sfingter. Pada pasien ini kejang merupakan gejala yang muncul pertama kali, kemudian diikuti
dengan paraparesis kedua tungkai beberapa hari kemudian dan setelah itu baru muncul gangguan
pasti dari NMO, namun sayangnya tidak semua RS memiliki fasilitas untuk pemeriksaan
serologi ini.1,2,3 Pada laporan kasus ini penegakan diagnosa NMO hanya berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan imaging dikarenakan tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan
serologi NMO-IgG. Pasien awalnya dicurigai mengalami myelitis transversa yang kemudian
diikuti dengan neuritis optik. Hal inilah yang mendasari penegakan diagnosis NMO pada pasien
ini.
Temuan MRI pada NMO yaitu berupa lesi longitudinal yang luas yang dapat mengenai
tiga atau lebih segmen vertebra yang dikenal dengan Longitudinally extensive transverse myelitis
(LETM), dan menjadi hal yang penting selain dari pemeriksaan serologi. Hasil MRI T2WI
umumnya menunjukkan lesi luas memanjang pada tiga atau lebih segmen vertebra. Pada stadium
akut biasanya didapatkan godalinum enhancement (dalam hari sampai bulan), swelling /edema
dan nekrosis medulla spinalis. Namun pada fase akut MRI otak umumnya normal, yang dapat
mengalami perubahan dalam beberapa hari pada sekitar 60 % kasus. Adanya gambaran lesi di
otak tidak menyingkirkan diagnosis NMO. Pada pasien ini, hasil pemeriksaan MRI thorakal
menunjukkan gambaran lesi hiperintens pada T2WI pada daerah medulla oblongata hingga
medulla spinalis setinggi segmen vertebra C4, sedangkan pada MRI kepala tidak di ditemukan
adanya kelainan.4,5
Terapi NMO ditujukan untuk mengurangi gejala yang muncul dan untuk mencegah
kekambuhan. Pada fase akut pemberian kortikosteroid dosis tinggi (methilprednisolon 1000mg
per hari selama 3-5 hari) menjadi pilihan yang kemudian diikuti dengan pemberian prednison
sesuai dengan beret badan pasien. Seiring dengan perbaikan gejala klinis dosis prednison dapat
diturunkan perlahan untuk mencegah komplikasi dan kekambuhan. Jika terjadi respon yang
methilprednisolon intravena 125 mg 3 kali sehari selama 3 hari, dan terjadi perbaikan kelemahan
pada kedua kaki dan tajam penglihatan pasien setelah pemberian steroid dosis tinggi. Pada hari
ke 8 perawatan didapatkan tajam penglihatan pasien sudah 6/6 pada kedua mata, dan nilai 5
Penanganan fase akut pasien dengan tes serologi positif atau negative adalah sama.
Tujuan dari pemebrian terapi fase akut ini adalah untuk menekan reaksi inflamasi akut,
mengurangi kerusakan pada sistem saraf pusat dan meningkatkan fungsi neurologis jangka
panjang. Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya disebutkan bahwa ketika
NMO mengalami kekambuhan maka pemberian kortikosteroid dosis tinggi dianggap paling baik
karena ketersediaannya yang mudah didapat, mudah diberikan dan memiliki respon menekan
pharesis dalam menangani serangan akut dan di dapatkan perbaikan klinis pada pasien.
Penelitian pertama yang menunjukkan manfaat penggunaan plasma pheresis tahun 1999
menyatakan prosedur ini aman dan efektif. Kombinasi kortikosteroid dan plasma pharesis
dikatakan lebih efektif dibandingkan hanya dengan pemberian kortikosteroid. Efek samping
plasma pheresis seperti infeksi dan blood clots juga harus pertimbangan. Pemilihan terapi
menggunakan kortikosteroid atau kombinasi dengan plasma pharesis tetap sesuai dengan
1. Jarius, S., Wildemann, B., & Paul, F. (2014). Neuromyelitis optica: clinical features,
immunopathogenesis and treatment. Clinical & Experimental Immunology, 176(2), 149-164.
2. Wingerchuk, D. M., & Weinshenker, B. G. (2014). Neuromyelitis optica (Devic’s
syndrome). Handbook of clinical neurology, 122, 581-599.
3. Nielsen, H. H., Ravnborg, M., & Illes, Z. (2014). Diagnosis and treatment of neuromyelitis
optica. Ugeskrift for laeger, 176(26), V02130104-V02130104.
4. Wu, Y., Zhong, L., & Geng, J. (2019). Neuromyelitis optica spectrum disorder: pathogenesis,
treatment, and experimental models. Multiple sclerosis and related disorders, 27, 412-418.
5. Jarius, S., Paul, F., Weinshenker, B. G., Levy, M., Kim, H. J., & Wildemann, B. (2020).
Neuromyelitis optica. Nature Reviews Disease Primers, 6(1), 1-32.
6. Kessler RA, Mealy MA, Levy M. Treatment of neuromy-elitis optica spectrum disorder: acut,
preventive, and symtomatic. Curr treat options neurol. 2016; 18:2.