Professional Documents
Culture Documents
Dialektika
Dialektika
SKRIPSI
Oleh:
Ade Uli Fitriyani
D0216002
Abstract
Social changes in the community of Dukuh Pakis have an impact on the balance of
community life for its residents. One of them is the conflict of divisions in the congregation
praying Jum’at followed by indications of a split in the daily activities of the people in Pakis
community. The division of the Jum’at congregation included divisions in other religious
practices such as the implementation of Idul adha and Eid prayers, the formation of
sacrificial committees, and other religious activities. It is not yet clear why the eastern
congregation made it difficult to move congregations after for approximately 11 years
agreeing to the agreement to procure a mosque in the west mosque. This decision is
considered sudden by other communities, resulting in assumptions that actually make things
worse. Several reasons cited by the east were not accepted by the west community.
In this conflict the researchers looked more at the conflicts that occurred internally,
namely the connection between the rejection of the congregation and the west congregation,
the difference in views between the west and eastern congregations and the form of
expressions about acceptance and rejection in the conflict. Researchers use relational
dialectic theory. This paper is a research conducted on the community of Dukuh Pakis Rt 01
and Rt 02 with reference to the dialectical concept proposed by Baxter and Montgomery
using a qualitative descriptive type case study as a research method. Sources of research are
the pros and cons of society. Data collection was carried out by in-depth interviews and
documentation of sampling techniques using nonprobability sampling snowball sampling.
The results showed that the dynamics or conflicts occurring internally between west
and eastern congregations did not maximize the role of communication between them. Each
party has a strong belief in carrying out Friday prayers and other religious activities. This
study shows that the Theory of Relational Dialectics can be used to explain more complex
dynamic relationship phenomena such as dynamics in a traditional society. Dialogic
communication can also be verified and its role and application can be identified.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran konflik masyarakat dukuh Pakis secara Umum ?
2. Bagaimana komunikasi dialektis antara ke dua belah pihak terhadap pemberlakuan
dua kelompok jumatan ?
3. Bagaimana komunikasi dialektis internal antara ke dua belah pihak terhadap
pemberlakuan dua kelompok jumatan ?
4. Bagaimana komunikasi dialogis antara pihak kelompok jumatan timur dan kelompok
jumatan barat dalam menyelesaikan konflik pemberlakuan dua kelompok jumatan ?
Kajian Pustaka
A. Konflik dalam kajian ilmu sosial dan Ilmu komunikasi
Menurut Moore (Poloma, 1994, hal. 148) seharusnya sebagai suatu mekanisme
yang menjelaskan fungsi masyarakat, di dalamnya harus mendistribusikan anggota ke
dalam berbagai posisi sosial dan mengajarkan mereka agar melaksanakan kewajiban
yang sesuai dengan posisi itu. Ashley Crossman dalam salah satu artikelnya membahas
tentang teori konflik. Dalam artikelnya menjelaskan bahwa ketegangan dan konflik
muncul ketika sumber daya, status, dan kekuasaan didistribusikan secara tidak merata
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat dan bahwa konflik ini menjadi mesin
untuk perubahan sosial. Dalam konteks ini, kekuasaan dapat dipahami sebagai kontrol
terhadap sumber daya material dan akumulasi kekayaan, kontrol politik dan institusi
yang membentuk masyarakat, dan status sosial seseorang relatif terhadap orang lain
(ditentukan bukan hanya berdasarkan kelas tetapi juga oleh ras, gender, seksualitas,
budaya , dan agama, antara lain) (Crossman, 2019).
Bentuk dan prinsip kegagalan komunikasi di atas seringkali berperan besar
sebagai penyebab konflik. Secara sederhana pertumbuhan konflik dalam proses
komunikasi, terjadi akibat pelemparan pesan yang tidak memuaskan antara komunikan
dengan komunikator. Kembali pada sebuah konsep dasar komunikasi secara umum yang
melibatkan bentuk-bentuk pertukaran pesan dari komunikator ke kemunikan yang
membutuhkan beberapa unsur penyusun komunikasi seperti komunikator, komunikan
dan media atau channel, seharusnya keberlangsungan komunikasi dapat dipandang
sederhana. Terlepas dari konsep sederhana tersebut pada kenyataanya proses pertukaran
pesan tersebut bisa menjadi proses rumit tatkala unsur penyusun komunikasi gagal
menyampaikan pesan dan meneruskan pesan dengan baik..Sehingga apabila proses
komunikasi tidak dapat berlangsung dengan baik, maka hal itu dapat dipandang sebagai
salah satu bentuk kegagalan komunikasi.
Selain ketidaksempurnaanya unsur penyusun komunikasi seperti yang dijelaskan
dalam konsep dasar komunikasi, dalam upaya menjelaskan mengenai konflik dari
prespektif komunikasi, dimana komunikasi dianggap sebagai salah satu penyebab konflik
maka secara lebih detail lagi dibahas mengenai kegagalan komunikasi secara lebih rinci
dan detail. Charles Berger kemudiam menjelaskan kajiannya, secara umum ia
menyatakan bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam
wilayah interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin besar
sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang terlibat di
dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan negatif (Berger,
2003, hal. 257). Paparan Charles Berger sebenernya lebih terfokus pada bagaimana
sebuah komunikasi berperan dalam interaksi sosial yang terjadi. Temuan Berger ini
kemudian dapat dihubungkan dengan penyebab konflik.
Secara teoritik menurut Robbins terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik
fungsional dan konflik disfungsional (Stephen P. Robbins, 1996, hal. 438). Konflik
fungsional merupakan sebuah konfrontasi antara kelompok yang menambah keuntungan
di akhirnya. Konflik disfungsional adalah konfrontasi atau interaksi di antara kelompok
yang merugikan organisasi atau sekedar menghalangi pencapaian tujuan. Perbedaan
istilah kemudian disampaiakan Steven A. Beebe dan Susan J. Beebe yang merupakan
dua orang pakar komunikasi dari Amerika Serikat membagi konflik menjadi dua kategori
besar yaitu, konflik konstruktif dan konflik destruktif. Konflik konstruktif merupakan
bentuk konflik yang memiliki sifat saling kerjasama (Beebe, 2001, hal. 221-222).
Pengklasifikasian yang diutarakan dua pakar Steven A. Beebe dan Susan J. Beebe ini
memberikan gambaran konflik dari pengaruhnya mengatasi perbedaan dan sifat yang
melekat pada perselisihan tersebut.
Pembahasan mengenai tipe tipe konflik di atas kemudian berimplikasi pada
identifikasi mengenai sifat-sifat konflik. Salah satu identifikasi mengenai sifat konflik
juga diutarakan oleh ilmuwan dengan latar belakanag ilmu komunikasi. Adalah Adler
dan Rodman (2006: 236-237), ia membagi sifat konflik menjadi empat sifat umum yaitu
ekspresi perjuangan, ketidakcocokan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan yang
terakhir saling ketergantungan. Ekspresi perjuangan merupakan bentuk ekspresi
kebencian yang diberikan oleh seseorang karena orang lain melakukan sesuatu yang
tidak sepantasnya. Kedua, merasakan ketidakcocokan tujuan merupakan sifat konflik
yang muncul karena ada pihak-pihak tertentu yang merasakan munculnya
ketidaksesuaian tujuan dengan bentuk tujuan pihak lain, sehingga pada beberapa kasus
tidak ada bentuk penyelesaian yang tersedia. Ketiga, merasakan hadiah yang sangat
langka merupakan bentuk sifat konflik yang membuat pihak-pihak yang terlibat
merasakan adanya hadiah yang akan mereka dapatkan jika memenangkan konflik
tersebut. Keempat, saling ketergantungan menjadi sifat konflik yang membuat pihak-
pihak yang bertikai merasakan adanya perasaan saling tergantung dan saling
membutuhkan.
Setelah mengetahui tipe dan sifat konflik hal selanjutnya adalah mengetahui tentang
karakteristik konflik. Karakteristik konflik ini diajukan oleh Miall digunakan oleh Celina
Del Felice, Secara umum Miall (2004) membagi karaketeristik konflik menjadi tiga sifat
yang spesifik. Pertama, konflik biasanya bersifat asimetris terutama yang berhubungan
dengan kekuatan dan status. Kedua, bentuk-bentuk konflik yang ada biasanya
diperpanjang, sehingga digambarkan dalam bentuk siklus atau lonceng. Ketiga, bentuk-
bentuk konflik yang diperpanjang biasanya mengganggu sisi kemasyarakatan secara
lokal dan global (Del Felice, 2008, hal. 76).
Dari ketiga pembahasan diatas yaitu mngenai, tipe, sifat serta karaktersitik konflik
memberikan penegasan bahwa ilmu sosial memiliki keterjangkauan yang luas dan saling
memiliki ketersinambungan satu sama lainnya. Ilmu komunikasi turut menjadi satu
cabang ilmu yang mendalami konflik dari segi komunikasi. Ilmu komunikasi
memandang konflik merupakan dampak dari adanya interaksi sosial yang terjadi dala
sebuah masyarakat.
Sementara untuk Proses dialogis, proses ini digunakan untuk menentukan arah
serta aliran komunikasi dalam sebuah hubungan yang terjalin di tengah adanya
dinamika-dinamika yang membuat beberapa perubahan. Dengan dialog dapat
didefinisaikan ulang hubungan yang muncul serta bagaimana bentuknya. Menurut Mixail
Baxtin (Griffin, 2012) terdapat lima pengertian dialog dalam sebuah hubungan, yaitu
dialog sebagai unsur pokok komunikasi yang membangun dan mendasari hubungan.
Yang ke dua dialog sebagai rantai ucapan, selanjutnya dialog bersifat tidak terduga.
Dialog juga sebagai moment estis, dimana dalam tahapan orang-orang merasa saling
memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Selain itu dialog juga merupakan sarana ekspresi
sikap kritis.
Teori Dialektika relasional ini memiliki dua tipe, yaitu dialektika internal
(internal dialectical) dan dialektika eksternal (eksternal dialectical). Tipe tersebut
didasarkan pada kedudukan seorang individu dalam berkomunikasi. Pada dialektika
internal merujuk pada komunikasi dalam sebuah komunitas, sedangkan pada dialektika
eksternal merujuk pada komunikasi antar individu dalam sebuah komunitas disertai
dengan ketegangan yang terjadi dalam kelompok atau pihak lainnya. Berikut sajian
gambar tipologi dua tipe dialektika rasional (Griffin, 2012, hal. 156):
Perpindahan dan
atau perpecahan
Sholat Jum’at
Dialektis Dialogis
Kerangka berfikir
Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kualitaitif studi kasus, Bodgan dan Taylor dalam
Basrowi mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati (Basrowi,
2008 ) .Kemudian masih dalam Basrowi menurut Miles dan Huberman, metode kualitatif
adalah metode yang berusaha mengungkapkan berbagai keunikan yang terdapat dalam
individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara
menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (Basrowi, 2008).
Penelitian studi kasus bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan
sekarang dan interaksi suatu sosial, individu, kelompok, lembaga dan masyarakat ( (Husnaini
& Akbar, 2017). Metode Kualitatif deskriptif analitik yang dipakai dalam penelitian ini
adalah untuk mendapatkan data yang mendalam berupa data-data yang mengandung makna
(Sugiyono, 2010)
Peneliti belum mengetahui secara pasti bagaimana seluk beluk konflik yang terjadi
anatra warga dusun Pakis dan beberapa pihak pengusaha bawang merah. Peneliti ingin secara
menggali factor-faktor yang melekat dalam konflik tersebut. Selain kepada pihak tokoh
masyarakat dan pengusaha secara langsung, peneliti juga akan menggali informasi
mendalam melalui wawancara kepada warga sekitar yang terkena dampak atas konflik
tersebut.
Secara epistimologis fenomena ini merupakan sebuah fenomena jamak, dengan
kriteria banyak factor yang membentuk konflik tersebut sekaliapun hanya dilihat dari
prespektif komunikas. Pertimbangan segi ontologisnya adalah peneliti akan berusaha
membaur dalam suatu percakapan intens yang sering dinamakan indepht interview. Peneliti
akan terlibat secara emosional dalam melahkukan penelitian ini. Dari segi aksiologis, peneliti
berusaha mengikuti nilai yang dianut oleh responden.
Reduksi Data
Kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi
Dalam Teori yang dikemukakan Baxter dan Griffin, dialog sebagai sensibilitas kritis
(dialogue as a critical sensibility). Menjadi bagian dari uatu kewajiban untuk mengkritik
suara yang dominan, khususnya mereka yang menekan pandangan-pandangan yang
bertentangan. Dialog yang dimaksud adalah dialog yang bertujuan untuk
menyampaiakan keinginan beberapa masyarakat minoritas dalam hal ini adalah jamaah
timur yang berasal dari RT 02, dan jamaah barat yang berasal dari RT 01. Fungsi ini
belum terealisasi dan berdampak baik dalam konflik. Beberapa dialog yang membahas
tetntang keinginan masing-masing pihak belum pernah terjadi dalam forum yang
melibatkan duabelah pihak. Dialog semacam ini hanya dilakukan secara sepihak oleh
masing-masing pihak. Beberapa individu yang merasa terbebani untuk menympaikan
hasil diskusi seperti misalnya tokoh masyarakat, menyampaikan hanya secara general
saja karena minimnya informasi yang mereka dapatkan juga. Akan tetapi pihak timur
pada dasarnya telah menyadari bahwa pihak barat menginginkan bersatunya kembali
jamaah mengingat beberapa kali mencoba mengajaknya diskusi. Dirinya merasa bahwa
jika dalam bentuk diskusi demikian dan merasa telah mengutarakan dengan jelas maksud
dan tujuan perpindahan mereka.
Di lain pihak pak samsuri kemudian memberikan keterangan bahwa dialog yang
diutarakan untuk mengetahui maskud yang sebenanrnya sampai saat ini belum
mendapatkan respon yang positif. Ketidakpuasan atas jawaban yang disampaiakan pihak
timur membuat pihak barat mengalamai sedikit kekesalan dan menganggap jawaban
tersebuthanyalah sebatas jawaban dalamrangka mencarijalan aman saja sebagai
minoritas. Jadi fungsi dialog ini belum terealisasi dalam konflikmasyarakat dukuh Pakis.
b. Kesadaran berdialog yang minim menghambat momen estetis
Pada dasarnya Baxter menggambarkan sensansi timbal balik tersebut dari
penyempurnaan, perlengkapan atau keseluruhan ditengah pengalaman yang
terfragmentasi tersebut tidak berlangsung lama. Akan ada masa di mana dialog
mengembalikan beberapa memori kebersamaan yang akhirnya timbul perasaan saling
membutuhkan kembali. Di desa Pakis masayrakat yang masih tradisional memiliki
inisiatif yang rendah untuk bersikap saling terbuka dan memberanikan diri berbisacara
terlebih dahulu. Keberanian berpendapat hanya dimiliki beberapa tokoh saja. Dalam
sikap manusiawinya beberapa tokoh memiliki kberpihakan tertentu sehingga akan sulit
untuk berdialog secara netral dan penuh keternbukaan. Dalam hal ini adalah dialog yang
mgningatkan kembali masyarakat dukuh pakis atas kesepakatan 11 tahun silam yang
membutuhkan proses dan kerja keras yang cukup panjang.
Masyarakat jamaah barat hanya mengatakan bahwa masyarakat jamaah timur
menghianai kesepakatan. Cara berdialog dengan kalimat tersebut cenderung membuat
jamaah timur merasa perlu melakukan pembelaan. Padahal secara ideal dialog
seharusnya bertujuan untuk mencapai moment estetis. Di mana masyarakat jamaah timur
kembali mengingat perjuangan sebelas tahun silam dan kembali merenungi
keputusannya untuk pindah jamaah. tujuan dialog ini belum bisa teralsiasi dalam konflik
ini. Dalam sesi wawancara yang di lakukan oleh peniliti, peneliti menemukan ungkapan
pengkhianatan muncul dari pihak jamaah barat ditujukan kepada pihak timur. Pihak barat
mengakui pihak timur pada dasarnya telah mengetahui hal tersebut dan maksuda
tersebut. Pihak timur memang telah mengetahui beberapa dialog tersebut dan pihaknya
tidak ambil pusing dengan pernyataan sebelas tahun silam tersebut.
c. Dialog tidak mengungkap permasalahan konflik
Dialog sebagai ungkapan (dialog as utterance) Ungkapan digambarkan sebagai
penghubung ekspresif yang membentuk rantai dialog. Oleh karena itu, ungkapan yang
disetuji dipengaruhi kata-kata yang keluar sebelumnya dan kata-kata yang akan
digunakan. Baxter menekankan pada apakah ungkapan memberi kepercayaan pada
suara-suara kedua belah pihak dalam suatu hubungan atau tidak. Kenyataan yang muncul
adalah pihak barat dan pihak timur tidak pernah membawa topik ini dalam dialog sehari-
hari mereka. Mereka beranggapan jika membawa topik ini ke ranah masayarakat dengan
dialog sama saja mereka mengungkit-ungkit konflik dan memperparah kondisi konflik.
Masayarakat dari dua belah pihak memilih tetap berdialog dengan sesama dan membahas
hal-hal di luar konflik. Mereka mengaku mereka ingin memperbaiki keadaan akan tetapi
bukan dengan jalan saling meributkan perpecahan sholat jumat. Padahal penyebab
kesenjangan konflik tidak lain dan tidak bukan adalah perpecahan sholat jumat itu
sendiri. Pihak tokoh masyarakat merasa sudah pasrah dan mengembalikan keputusan
kepada masing-masing pribadi dengan syarat masyarakat dilarang melakukan ajakan
yang bersifat profokatif dan memaksa kehendak individu.
Sampai pada penelitian berlangsung, dialog antar masyarakat masih terjadi dengan
intensitas yang cukup rendah, khusunya antar masing-masing pihak yang berbeda
pendapat yaitu antar pihak jamaah timur dan jamaah barat. Hal tersebut semakin terlihat
lebih jelas perbedaannya pada masing-masng tokoh jamaah barat dan timur. Mereka
mengaku sudah tidak pernah berdialog lagi. Akan tetapi mereka masing-masing berpesan
kepada jamaah yang lain untuk senantiasa berdialog tanpa menyinggung masalah jamaah
agar keteganagan tidak semakin memuncak.
d. Dialog membangun masyarakat melalui interaksi
Dialog sebagai proses yang membangun (dialogue as constitutive process) pada
prinsipnya komunikasi menciptakan suatu hubungan individu berubah. Pada prakteknya
komunikasi justru menjadi salah satu dampak dari adanya konflikmasyarakat ini.
Komunikasi yang terjadi antara warga masyarakat dukuh pakis mengalami beberapa
berubahan dan kemudian berlanjut pada proses interaksi lainnya. Dapat diindikasikan
bahwa masyarakat dukuh pakis melakukan komunikasi dan dialog sebagai sarana untuk
menjaga hubungan baik di tengahkonflik. Dalam kasus semacam ini dapat diketahui
bahwa terjadi dialog yang berperan sebagai sebuah proses membagun hubungan.
Terlepas dari dialog formalitas yang mereka uayakan, hubungan mereka juga ikut
berubah. Dalam teori dikatakan bahwa hubungan dialogis mempertimbangkan
perbedaan dan kesamaan pada orang menjadi sama pentingnya. Kenyataan yang timbul
dalam masyarakat Dukuh Pakis sedikit berbeda, dalam hal ini terjadi proses interaksi
yang berusaha menutup-nutupi keadaan konflik yang sebenarnya tengah terjadi. Dalam
artian warga meminimalisir pembahasan mengenai kontradiksi-kontradiksi yang ada di
tengah masyarakatnya. Seharusnya perbedaan memusatkan pada apa arti dari perbedaan
ini bagi pasnagan dan bagaiaman mereka bertindak atas arti-arti tersebut. Sementara
persamaan akan sikap-sikap, latar belakang, dan minat dapat menyatukan bersama orang-
orang secara positif.
Melihat jenis topikyang sering mereka diskusikan dalam keadaan formal dan non-formal
yang melibatkan ke dua belah pihak, atau antar personal dari masing-masing pihak, hal
tersebut di atas tidak terjadi dalam masyarakat dukuh pakis. Pada akhirnya harapan yang
muncul darimasing-masing pihak adalah kebebasan mengambil keputusan tanpa ada
paksaan satu sama lain sehingga hal semacam ini bisa dikategorikan bukan konflik,
melainkan output dari kebebasan individu.
e. Dialog masyarakat mengandung topik kesamaan
dalam sebuah konflik akan muncul kontradiksi-kontradiksi antara beberapa pihak yang
terlibat. Pada dasarnya seharusnya dialog hadir sebagai aliran dilektis (dialogue as
dialectical flux) yang artinya dialog menjadi sebuah sarana untuk mempertemukan jenis-
jenis dilaektis dalam sebuah hubungan tanpa terkecuali. Kemudian perlu diingat bahwa
kehidupan sosial merupakan produk dari “penyatuan yang dikuasai kontradiksi dan
penuh ketegangan dari dua hasrat yang berperang” maka menjadi sebuahkewajran jika
kontradisi seringkali menjadi hal yang diakui keberadaanya dan dimaklumi. Dampak
yang kemudian muncl adalah proses mengembangkan dan mempertahankan hubungan
menjadi sulit ditebak, tidak bisa terselesaikan, dan tidak bisa dipastikan.
Dalam kondisi masyarakat dukuh pakis sendiri, peran dialog untuk mewadahi aliran
kontradiksibelum begitu nampak. Dikatakan demikian karena masyarakat pihak tmur
cenderung mengalah dan memilih diam untuk tidak menyampaiakan pendapat yang
bertetangan dengan masyarakat barat. Tanggapan masyarakat barat kemudian
membiarkan semuanya berlalu dengan begitu saja. Beberapa tokoh yang berusaha
menjalin dialog tidak begitu menghasilkan hasil yang signifikan. Seharusnya dalam hal
ini di bahas pandangan masing-masing yang melandasi perpecahan shlat jumat terjadi.
Masyarakat biasa cenderung menyembunyikan perasaan mereka ketika saling bertemu
antar pihak lain. Akan tetapi dalam lingkup pihaknya pembicaraan dan dialog sering
terjadai. Dialog yang muncul justru dialog yang memperuncing kontradiktif. Jadi
pernyataan bahwa seharusnya dialog menjadi aliran berkomunikasi masalah kontradiktif
yang muncul belum aplikatif dalam kasus konflik masyarakat tradisonla didukuh Pakis.
Alassan mendasarnya adalah rasa tidak enakan dan usaha kerasa untuk terlihat rukun.
Kesimpuan
- Kesimpulan
1. Konflik yang terjadi dalammasyarakat dukuh Pakis RT 01 dan RT 02 adalah tentang
perpecahan jamaah masjid yang disebabkan oleh perbedaan pandangan, alasan
perpecahan, serta kesalahfahaman yang berlarut-larut karena antara kedua belah pihak
yang saling berasumsi dan masih belum memaksimalkan upaya dalam mengelola
konflik secara komunikasi dialektis maupun dialogis.
2. Dalam komunikasi dialektis, pihak masng-masing jamaah menyampaikan perbedaan
pandangan yang telah mereka hasilkan dalam masing-masing kelompoknya. Mereka
berperan sebagai komunikan dan komunikator. Komunikasi yang terjalin cenderung
komunikasi interpersonal. Konflik ini merupakan konflik internal. Konflik ini terjadi
antar beberapa individu dalam kelompok jamaah barat dan jamaah timur yang masih
berada dalam suatu wilayah tanpa melibatkan individu atau kelompok lain dari luar.
3. internal dialectic yang terjadi adalah: masyarakat Dukuh Pakis memilih memanfaatkan
kebebasanya sebagai individu yang bebas untuk menentukan di mana dirinya harus
beribadah dan melakukan cara beribadahnya sendiri akan tetapi di sisi lain keputusan dan
keyakinan tersebut datang berirngan dengankeraguan akibat dampak dari keputusan yang
mereka ambil. Beberapa masyarakat meragukan akan keputusannya setelah mereka
mendapatkan dampak sosial di tengahmasyarakat yang sedang mengalami perpecahan.
Dalam kondisi yang demikian komunikas sangat diharapkan mampu menemukan titik
temu, masyarakat Dukuh Pakis mengalami ketimpangan komunikasi dimana hanya
tokoh-tokoh penting saja yang mereka anggap mampu mengomunikaskan endapat
dengan baik, sementara pihak jamaah timur yang terdiri dari kelompok minoritas
dmemilih diam dan lebih tertutup untuk bebrpendapat bahkancenderung menghindari
forum musyawarah.
4. Komunikasi dialogis antara masyarakat jamaah barat dan jamaah timur terhadap
keputusan perpecahan sholat jumat yang kenudian diikuti dengan kegiatan keagamaan
lainnya sangat minim terjadi. Hal demikian membuat arah resolusi konflik menuju
masalah inti penyebab masalah, melainkan lebih kepada unsur yang bertujuan untuk
meningkatkan intensitas kesadaran saling membutuhkan dalam sebuah kehidupan
berkomunitas. Masyarakat Pakis lebih sering melakukan dialog membahas permasalahan
sehari-hari daripada berdialog mengenai perpecahan jamaah yang saat ini tengah terjadi.
Berdasarkan tiga kesimpulan di atas dapat diketahui bahwa masih ada sikap ingin bersatu
yang timbul dalam masyarakat. Di sisi lain keinginan bersatu bagi masyarakat masing-
masing pihak memiliki definisi yang berbeda bahkan bertolak belakang. Pihak jamaah
timur bersikeras menginginkan bahwa jika sebuah keputusan untuk bersatu kemabli,
maka tempat yang paling layak dan tepat adalah masjid timur yang tidak lainmerupakan
masjid peninggalan nenek moyang yang telah ditinggalkan belasan tahun lamanya. Di
pihak lain, jamaah barat justru tetap mempertahankan membentuk jamaah barat di masjid
barat, dengan alasan bahwa sebuah keputusan besar yang disepakati sebelas tahun silam
tidak bisa dengan mudah dipermainkan apalagi dihiananti. Ke dua belah pihak sama-
sama memiliki sisi egosime dan menjunjung hak otonomi yang melekat atas dirinya
masing-masing.
- Saran
1. Perlu adanya kegiatan mengidentifikasi konflik yang dapat dilakukan oleh beberapa
tokoh perangkat desa terkait asal-usul konflik dan jenis konflik serta individu atau
kelompok yang terlibat secara aktif dalam konflik. hal tersebut seharusnya ditempuh
untuk menentukan strategi yang efektif dan efisien penyusunan dan penyampaian
pesan dalam upaya meredakan konflik yang terjadi antara dua belah pihak jamaah.
setelah ditemukan hasil identifikasi konflik secara keseluruhan dan dilakukan secara
obyektif, implementasi dalam sebuah forum musyawarah menjadi strategi yang
efektif untuk menyampaikan hasil identifikasi tersebut.
2. Ketegangan yang terjadi dalam sebuah komunitas tanpa melibatkan pihak luar
seharusnya memberlakukan fungsi dan peran gatekeeper ata seseorang yang mampu
mengelola informasi yang baik dan memiliki sikap tidak memihak, menurut penulis
dengan adanya peran tersebut, akan meminimalisir adanya disinformasi atau jenis
kesalahan penerimaan pesan yang sering terjadi dalam keadaan masyarakat yang
sedang berkonflik.
3. Pengadaan kegiatan-kegiatan dan forum diskusi seharusnya dimaksimalkan untuk
membiasakan masyarakat bernai berpendapat dan bersifat terbuka satu sama lainnya.
Masyarakat yang terbiasa dengan ikllim berdiskusi sehat diharapkan juga mampu
menyesuaikan diri dengan baik saat terjadi kontradiski-kontradiksi yang pasti hadir
dalam sebuah masyarakat. Hal ini bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknlogi
komunikasi yang efektif dan efisien. Selain itu masyarakat seharusnya
memaksimalkan peran remaja dukuh untuk berpartisipasi secara aktif dalam
menyusun kegiatan-kegiatan dukuh demi memperbanyak frekuensi kebersamaan antar
masyarakat.
4. Hingga penelitian ini dilakukan belum ada upaya musyawarah yang melibatkan
seluruh pihak dalam konflik, menurut peneliti forum musyawarah yang bisa
mempertemukan pendapat-pendapat masng-masng pihak perlu diadakan untuk saling
menemukan jalan tengah agar konflik ini tidak meluas menuju aspek kehidupan
bermasyarakat lainnya.
Daftar Pustaka
Amin, A. S. (2017). Komunikasi Sebagai Penyebab dan Solusi Konflik Sosial. Jurnal
Common, 01, 101-109.
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. : PT. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Arumsari, N., Paradita, W. D., & Wijayanti, T. (2020). Strategi Komunikasi dalam Upaya
Penyelesaian Konflik Nelayan Pantai Utara di Kabupaten Batang. Integralistik, 31(1),
22-29.
Astrid. (1999). omunikasi dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Bina Cipta.
Barzam. (2018, Januari). Psikologi Komunikasi. Retrieved from Pakarkomunikasi.com:
https://pakarkomunikasi.com/perbedaan-4-konsep-karakteristik-komunikan-dalam-
psikologi-komunikasi
Basrowi. (2008 ). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Baxter, L., & Montgomery, B. (1996). . Relating: Dialogues and dialectics. The Guilford
communication series.
Beebe, S. J. (2001). Communication, Principles for A Lifetime. . Allyn and Bacon: Neddham
Heights.
Berger, C. R. (2003). Message Production Skill in Social Interaction. In J. O. Burlesson,
Handbook of Communication and Sosial Interaction Skill (pp. 257-289). New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates.
BPS. (2018). Statistika Kriminal 2018. Jakarta: BPS.
Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Muda.
Bungin, H. M. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell, J. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five
Tradition. London: Sage Publication.
Crossman, A. (2019, Juli 3). Social Science. Retrieved from ToughtCo.:
https://www.thoughtco.com/conflict-theory-3026622
Del Felice, C. (2008). Youth Criminality and Urban Social Conflict in the city of Rosario,
Argentina: Analiysis and Proposal for Conflict Transformation. International journal
Of Conflict and Violance, 3(1), 72-91.
Fahrudin, N., Hatjarjo, S., & Satyawan, A. (2018, Juni). Komunikasi Dialektis Masyarakat
Beda Agama di Bojonegoro. Jurnal Komunikasi Islam, 08(01), 67-76.
Gerring, J. (2007). Case Study Research, Principles and Practices. Cambridge: Cambridge
University Press.
Griffin, E. (2012). Relational Dialectis. In E. Griffin, First Look At Communication Theory
(p. 153). New York: MC Graw Hill.
Hasenclever, A., & Rittberger, V. (2000). Does Religion Make a Difference? Millennium:
Millenium: Journal of International Studies ISSN 0305-8298 No. 3., 29, 641-674.
Husnaini, U., & Akbar, P. S. (2017). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jamaludin, A. N. (2015). Sosiologi Perdesaan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: RinekaCipta.
Larry A. Samavor, e. a. (2007). Communication between Cultures. Belmont: Wadsworth.
Liliweri, A. (1994). Perspektif Teoritis Komunikasi Antarpribadi Suatu Pendekatan Kearah
Psikologi. Bnadung: Citra Adi Bakti.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2018). Teori Komunikasi edisi 9. Jakarta: Salemba.
Milles, M. B. (1992). Analisis Data Kualitatif (Terjemahan). Jakarta: UI Press.
Mulyana, D. (2012). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bndung: CV Remaja Rosda Karya.
Ngebu, J. F. (2017). Dialektika Internal Dalam Dinamika Budaya Pesta Sekolah. Surakarta:
FISIP UNS.
Ngebu, J. F. (2019). Thesis (Dialektika Internal dalam Dinamika Budaya Sekolah).
Surakarta: Universitas Sebalas Maret.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Jakarta .
Nurhadi, Z. F. (2017). Kajian Tentang Efektifitas Pesan dalam Komunikasi. Jurnal
Komunikasi Hasil Pemikiran dan Penelitian Volume. 3 No. 1, 90-96.
Poloma, M. (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Grafindo Persada.
Puntmant, L. (2009). Conflict Management and Mediation. In W. F, Century Communication,
Refference Handbook (pp. 211-219). Thousand Oak: Sage Publication.
Rakhmat, J. (1985). Psikologi Komunikasi. Bandung: Radja Karya.
Rawlins, W. K. (1988). Adolescents Interactions with Parents and Friends: Dialectics of
Temporal Perspective and Evaluation. Journal of Social and Personal Relationships,,
5, Page 27-46.
Sinaga., D. (1988 ). Sosiologi dan Antropologi. Klaten: PT. Intan Pariwara. .
Stephen P. Robbins. (1996). Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi danAplikasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif,.
Bandung: Alfabeta.
Sumpeno, W. (2011). Perencanaan Desa Terpadu Edisi Kedua, Read (Reinforcament Action
and Development. Yogyakarta: Read Indonesia.
Sutopo, H. B. (2006). Metodologi Penelitian Kulaitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Uchjana, E. (2007). LMU KOMUNIKASI – Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Waluya, B. (2012, Maret 08). Rural Community. Retrieved from Direktori File UPI:
http://file.upi.edu
West, R. d. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba
Humanika.