Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 32

Jurnal

KOMUNIKASI DALAM KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN


(Studi Kasus Tentang Dialektika Relational dalam Konflik yang Terjadi Antara
Jamaah Masjid Dukuh Pakis Kelurahan Panekan, Magetan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan


untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Oleh:
Ade Uli Fitriyani
D0216002

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
KOMUNIKASI DALAM KONFLIK MASYARAKAT PEDESAAN
(Studi Kasus Tentang Dialektika Relational dalam Konflik yang Terjadi Antara
Jamaah Masjid Dukuh Pakis Kelurahan Panekan, Magetan)

Ade Uli Fitriyani


Dwi Tiyanto

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik


Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Social changes in the community of Dukuh Pakis have an impact on the balance of
community life for its residents. One of them is the conflict of divisions in the congregation
praying Jum’at followed by indications of a split in the daily activities of the people in Pakis
community. The division of the Jum’at congregation included divisions in other religious
practices such as the implementation of Idul adha and Eid prayers, the formation of
sacrificial committees, and other religious activities. It is not yet clear why the eastern
congregation made it difficult to move congregations after for approximately 11 years
agreeing to the agreement to procure a mosque in the west mosque. This decision is
considered sudden by other communities, resulting in assumptions that actually make things
worse. Several reasons cited by the east were not accepted by the west community.
In this conflict the researchers looked more at the conflicts that occurred internally,
namely the connection between the rejection of the congregation and the west congregation,
the difference in views between the west and eastern congregations and the form of
expressions about acceptance and rejection in the conflict. Researchers use relational
dialectic theory. This paper is a research conducted on the community of Dukuh Pakis Rt 01
and Rt 02 with reference to the dialectical concept proposed by Baxter and Montgomery
using a qualitative descriptive type case study as a research method. Sources of research are
the pros and cons of society. Data collection was carried out by in-depth interviews and
documentation of sampling techniques using nonprobability sampling snowball sampling.
The results showed that the dynamics or conflicts occurring internally between west
and eastern congregations did not maximize the role of communication between them. Each
party has a strong belief in carrying out Friday prayers and other religious activities. This
study shows that the Theory of Relational Dialectics can be used to explain more complex
dynamic relationship phenomena such as dynamics in a traditional society. Dialogic
communication can also be verified and its role and application can be identified.

Keyword: social Conflict, Dialectica Internal, Dialogis communications


Pendahuluan
Salah satu kegiatan yang tidak dapat terlepaskan dari kehidupan manusia dalam
bermasyarakat adalah berkomunikasi. Sebagian besar aktivitasnya diisi dengan kegiatan
berkomunikasi, mulai dari mengobrol, membaca koran, mendengarkan radio, menonton
televisi atau bioskop, dan sebagainya. Sehingga komunikasi menjadi bagian penting
masyarakat terlebih lagi ketika seorang individu harus memulai hidup bermasyarakat.
Berkomunikasi pada dasarnya ditempuh seseorang untuk memenuhi fungsi sosial dan fungsi
pengambilan keputusan (Mulyana, 2012, hal. 4). Dalam fungsi pengambilan keputusan,
seseorang memutuskan untuk berkomunikasi ketika mereka sedang berada di tengah berbagai
pilihan, misalnya saja pilahan untuk melakukan atau tidak melakukan. Dalam tahap Fungsi
sosial inilah, seseorang melakukan komunikasi dengan tujuan untuk menunjukan ikatan
dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. (Mulyana, 2012, hal. 6).
Komunikasi memainkan peranan penting bagi semua aspek interaksi sosial, sehingga
memunculkan suatu kenyataan bahwa komunikasi bisa menciptakan bentuk-bentuk
pengalaman positif dan negatif (Berger, 2003, hal. 257).
Judy C. Pearseon menambahkan bahwa fungsi komunikasi bagi manusia adalah
terbagi menjadi dua hal yaitu untuk melangsungkan kehidupan (keselamatan fisik,
meningkatkan kesadaran pribadi, menampilakn diri kita sendiri kepada orang lain, dan
mencapai ambisi pribadi. Fungsi kedua adalah kelangsungan hidup masyarakat, yaitu
memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat. Dalam
fungsi kedua inilah kajian komunikasi erat kaitannya dengan kajian sosiologi, salah satunya
tentang konflik masyarakat. Intensitas komunikasi masyarakat nyaris tidak bisa terukur lagi
bagi sebuah masyarakat yang tinggal di lingkungan bersama seperti misalnya dalam sebuah
desa.
Desa sendiri didefinisikan sebagai cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan
pemerintahan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk (Jamaludin, 2015, hal. 5). Sebuah
desa identik dengan kemasyarakatannya, gotong royong dan segalanya.. Di sisi lain Pola
hubungan dan tingkat komunikasi pada masa itu masih sangat rendah, terutama di daerah
pedesaan terpencil dan pedalaman (Sumpeno, 2011, hal. 01). Selain itu beberapa ciri lain
masyarakat rural dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya adalah: Sederhana, mudah
curiga,menjunjung tinggi “unggah-ungguh” atau tata kram ,guyub dan kekeluargaan, lugas
atau berbicara apa adanya, tertutup dalam hal keuangan, perasaan “minder” terhadap orang
kota, menghargai (“ngajeni”) orang lain, maasyarakat yang mengingat janji, Suka gotong-
royong, Demokratis, Religius (Waluya, 2012, hal. 2-4)
Dari ciri dan identifikasi yang telah para ahli sampaiakan terkait masyarakat desa,
jika kita kaitkan dengan komunikasi, maka seharusnya komunikasi masyarakat desa
setidaknya memiliki tingkat beberhasilan yang tinggi, mengingat sikap toleransi dan gotong
royong serta kepedulian satu sama lain yang cukup tinggi. Selain itu masyarakat desa
cenderung statis sehingga lebih bersifat homogen, sehingga sangat minim terjadinya
kesenjangan pendapat yang berakibat pada selisih faham dan berujung konflik. Pada
kenyataanya, konflik tetaplah menjadi hal yang sangat wajar tumpuh di masyarakat rural.
Berdasarkan data Podes periode tahun 2011-2018 jumlah desa/kelurahan yang
menjadi ajang konflik massal cenderung meningkat, dari sekitar 2.500 desa pada tahun 2011
menjadi sekitar 2.800 desa/kelurahan pada tahun 2014, dan kembali meningkat menjadi
sekitar 3.100 desa/kelurahan pada tahun 2018 (BPS, 2018). Beberapa kasus konflik lahir
atas kesalahan masyarakat dalam menjalin komunikasi yang baik. Wirawan (Arumsari,
Paradita, & Wijayanti, 2020, hal. 25) mengungkapkan bahwa kemungkinan kualitas dan
kuantitas konflik di Indonesia cenderung mengalami kenaikan beriringan dengan indikasi
perkembangan masyarakat sipil.
Konflik masyarakat beberapa waktu lalu terjadi di Dukuh Pakis dan berimbas hingga
saat ini. Dukuh Pakis merupakan salah satu dukuh yang terletak di Kecamatan Panekan.
Memiliki setidaknya sekitar 80 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk sekitar 250 an.
Dukuh ini terbagi menjadi dua RT yang lebih akrab disebut dengan Pakis Utara (untuk RT
02) dan Pakis Selatan (untuk RT 01). Keberagaman warga tidak begitu nampak jika dilihat
dari karakter masyarakat di dukuh ini. Mulai dari agama, jenis pekerjaan, dan adat istiadat
yang dianut. Sebagian besar penduduknya memiliki pekerjaan sebagai petani. Dominasi
jenis pekerjaan yang ke dua adalah pengusaha Bawang merah. Pengusaha bawang merah
merupakan sebutan bagi mereka para tengkulak bawang merah yang membeli bawang
merah dari sawah warga Pakis sendiri, dan beberapa daerah luar Pakis baik daerah dalam
Kabupaten Magetan maupun daerah luar kabupaten Magetan seperti Kabupaten Ngawi,
Ponorogo, dan beberapa daerah lainnya. Dalam hal kepercayaan agama, 98% penduduknya
menganut agama islam.
Fenomena terpecahnya jamaah masjid akhir tahun 2019 di desa Pakis memiliki
dampak yang panjang dalam kehidupan masyarakat dukuh Pakis. Fenomena ini sempat
muncul 12 Tahun silam dengan jenis penyebab yang berbeda. Pada masa itu masyarakat dan
tokoh agama desa memutuskan melakukan perpindahan masjid yang diperuntukkan sholat
Jumat dan sholat hari raya karena pertimbangan syariat islam sholat Jumat itu sendiri.
Masyarakat melakukan renovasi terhadap salah satu mushola dan membangunnya menjadi
sebuah masjid yang berukuran besar agar mampu menampung seluruh jamaah. dan
semenjak saat itu mushola tersebut diresmikan menjadi masjid. Tepat pertengahan 2019
hingga saat ini dengan sebuah permasalahan baru, beberapa jamaah secara diam-diam
melakukan perpindahan sholat jumat secara tiba-tiba atau membentuk kelompok jamaah
baru yang beranggtakan keluarga besar salah satu tokoh agama di dukuh Pakis yang tinggal
di daerah timur. Masyarakat Dusun Pakis sendiri menyemaskan kejadian ini karena
berkaitan dengan jumlah makmum sholat jum’at. Ini yang kemudian mengakibatkan
kegelisahan antar warga Desa Pakis.
Indikasi konflik agama lain kemudian bermunculan setelah pemisahan masjid
tersebut, diantaranya kelompok pengajian setiap malam jumat. Beberapa warga yang
melakukan perpindahan sholat Jumat memilih memisahkan diri dan membentuk kelompok
pengajian rutin sendiri. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terganggunya keharmonisan
hubungan antar tetangga di dusun Pakis. Selain beberapa hal di atas nampak beberapa
sindirian dilayangkan antar warga yang berakibat pada terbengkalainya beberapa kegiatan
rutin dan sikap gotong royong warga. Sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan
religius yang kuat masyarakat Dusun pakis terbiasa menyelesaikan konflik dengan agama.
Terlihat dari fenoma ini justru urusan agama menjadi dampak akibat adanya salah satu
konflik. Selama ini belum ada upaya komunikasi yang intens dalam menghadapi persoalan
ini. Seperti yang diungkapkan dalam kajian yang dilakukan oleh Hasenclever dan
Ritterberger bahwa sesungguhnya keberadaan agama dalam beberapa kondisi bisa menjadi
fasilitator dalam penyelesaian konflik. (Hasenclever & Rittberger, 2000, hal. 642). Pada
kenyataanya dalam kasus Desa Pakis ini justru intoleransi masyarakat yang muncul selama
konflik adalah dalam hal beribadah atau urusan agama lainnya. Fakta ini kemudian menjadi
menarik untuk dilakukan analisis, khususnya dalam prespektif komunikasi yang terjadi di
dalamnya.
Keterkaitan antara dua jenis konflik itu kini masih menjadi sebuah pertanyaan bagi
masyarakat umumnya khususnya. Simpang siur informasi serta minimnya komunikasi yang
terjalin antara warga yang terlibat menjadikan masalah ini berlarut-larut. Pada akhirnya
konflik ini terkesan didiamkan dan diserahkan kepada masing-masing individu masyarakat
untuk menyikapinya. Ujaran kebencian semakin terjadi manakala beberapa masyarakat
mengaku mendapatkan intimadasi tertentu. Konflik ini akhirnya mengarah pada konflik
antara RT 01 dan RT 02. Situasi ini sangat erat kaitanyya dengan dinamika komunikasi yang
terbentuk dalam masyarakat selama konflik ini terjadi.
Berdasarkan fakta di atas salah satu faktor besar yang sangat memungkinkan
menjadi penyebab sekaligus penyelesaian konflik tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah
komunikasi. Kesalahfahaman yang timbul akibat komunikasi menjadikan beberapa warga
pada akhirnya mudah terprovokasi dan mempengaruhi warga lainnya mengingat salah satu
ciri masyarakat desa adalah kepedulian satu sama lainnya yang cukup tinggi. Pada akhirnya
penulis tertarik untuk melakukan sebuah kajian komunikasi atas konflik yang terjadi di
Dukuh Pakis tersebut. Penulis ingin meneliti bagaimana peran komunikasi dalam konflik
antar masyarakan rural dengan kriteri yang sedemikian rupa. Penulis merasa bahwa unsur
komunikasi menjadi salah satu penyebab konflik ini. Peneliti akan menggunakan pisau
analisis sesuai dengan latar belakang studi penulis sebagai mahasiswa komunikasi yaitu teori
dialektika rasional (Rasional Dialectic Theory atau RDT), dibantu dengan beberapa teori
dari ranah sosiologi berupa teori konflik. Peneliti akan mencari data secara kualitatif dengan
metode observasi dan wawancara secara mendalam kepada pihak terkait dalam konflik.
Pemeliti menganalisis peristiwa berdasarkan asumsi dan elemen dari toeri Dialektika
relasional yang merupakan teori bidang ilmu komunikasi yang merujuk pembahasan
mengani konflik dalam hubungan individu secara khusus.
Terjadinya konflik dalam masyarakat tentu bukanlah merupakan hal baru. Beberapa
kolompok masyarakat yang tinggal di kawasan lain mungkin juga pernah melakukan dan
terlibat dalam sebuah pertentangan pendapat terhadap tokoh masyarakat tertentu, tetapi tidak
semua bentuk komunikasi yang menjadi latarbelakang konflik dengan antar tokoh
masyarakat dan masyarakat pada umumnya dapat disamakan dengan komunikasi konflik di
masyarakat lain. Secara Sederhana, selalu ada keunikan tersendiri yang terdapat dalam
komunikasi yang dilakukan suatu kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak dapat
disamaratakan dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat lain. Perbedaan dan
keunikan komunikasi di suatu kelompok masyarakat kemungkinan besar membawa
pengaruh luas bagi perbedaan-perbedaan bentuk perselisihan atau konflik serta resolusi
konflik. Keunikan-keunikan dalam kelompok tersebut mungkin sedikit banyak dipengaruhi
oleh faktor-faktor demografis dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda-beda antara satu
daerah dengan yang lain.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran konflik masyarakat dukuh Pakis secara Umum ?
2. Bagaimana komunikasi dialektis antara ke dua belah pihak terhadap pemberlakuan
dua kelompok jumatan ?
3. Bagaimana komunikasi dialektis internal antara ke dua belah pihak terhadap
pemberlakuan dua kelompok jumatan ?
4. Bagaimana komunikasi dialogis antara pihak kelompok jumatan timur dan kelompok
jumatan barat dalam menyelesaikan konflik pemberlakuan dua kelompok jumatan ?

Kajian Pustaka
A. Konflik dalam kajian ilmu sosial dan Ilmu komunikasi
Menurut Moore (Poloma, 1994, hal. 148) seharusnya sebagai suatu mekanisme
yang menjelaskan fungsi masyarakat, di dalamnya harus mendistribusikan anggota ke
dalam berbagai posisi sosial dan mengajarkan mereka agar melaksanakan kewajiban
yang sesuai dengan posisi itu. Ashley Crossman dalam salah satu artikelnya membahas
tentang teori konflik. Dalam artikelnya menjelaskan bahwa ketegangan dan konflik
muncul ketika sumber daya, status, dan kekuasaan didistribusikan secara tidak merata
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat dan bahwa konflik ini menjadi mesin
untuk perubahan sosial. Dalam konteks ini, kekuasaan dapat dipahami sebagai kontrol
terhadap sumber daya material dan akumulasi kekayaan, kontrol politik dan institusi
yang membentuk masyarakat, dan status sosial seseorang relatif terhadap orang lain
(ditentukan bukan hanya berdasarkan kelas tetapi juga oleh ras, gender, seksualitas,
budaya , dan agama, antara lain) (Crossman, 2019).
Bentuk dan prinsip kegagalan komunikasi di atas seringkali berperan besar
sebagai penyebab konflik. Secara sederhana pertumbuhan konflik dalam proses
komunikasi, terjadi akibat pelemparan pesan yang tidak memuaskan antara komunikan
dengan komunikator. Kembali pada sebuah konsep dasar komunikasi secara umum yang
melibatkan bentuk-bentuk pertukaran pesan dari komunikator ke kemunikan yang
membutuhkan beberapa unsur penyusun komunikasi seperti komunikator, komunikan
dan media atau channel, seharusnya keberlangsungan komunikasi dapat dipandang
sederhana. Terlepas dari konsep sederhana tersebut pada kenyataanya proses pertukaran
pesan tersebut bisa menjadi proses rumit tatkala unsur penyusun komunikasi gagal
menyampaikan pesan dan meneruskan pesan dengan baik..Sehingga apabila proses
komunikasi tidak dapat berlangsung dengan baik, maka hal itu dapat dipandang sebagai
salah satu bentuk kegagalan komunikasi.
Selain ketidaksempurnaanya unsur penyusun komunikasi seperti yang dijelaskan
dalam konsep dasar komunikasi, dalam upaya menjelaskan mengenai konflik dari
prespektif komunikasi, dimana komunikasi dianggap sebagai salah satu penyebab konflik
maka secara lebih detail lagi dibahas mengenai kegagalan komunikasi secara lebih rinci
dan detail. Charles Berger kemudiam menjelaskan kajiannya, secara umum ia
menyatakan bahwa sebenarnya komunikasi dan beragam tujuannya berada dalam
wilayah interaksi sosial yang terbentang dalam rutinitas yang unik, yang semakin besar
sepanjang waktu. Sebagai bentuk interaksi sosial maka semua pihak yang terlibat di
dalamnya dapat merasakan hubungan serta pengalaman yang positif dan negatif (Berger,
2003, hal. 257). Paparan Charles Berger sebenernya lebih terfokus pada bagaimana
sebuah komunikasi berperan dalam interaksi sosial yang terjadi. Temuan Berger ini
kemudian dapat dihubungkan dengan penyebab konflik.
Secara teoritik menurut Robbins terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik
fungsional dan konflik disfungsional (Stephen P. Robbins, 1996, hal. 438). Konflik
fungsional merupakan sebuah konfrontasi antara kelompok yang menambah keuntungan
di akhirnya. Konflik disfungsional adalah konfrontasi atau interaksi di antara kelompok
yang merugikan organisasi atau sekedar menghalangi pencapaian tujuan. Perbedaan
istilah kemudian disampaiakan Steven A. Beebe dan Susan J. Beebe yang merupakan
dua orang pakar komunikasi dari Amerika Serikat membagi konflik menjadi dua kategori
besar yaitu, konflik konstruktif dan konflik destruktif. Konflik konstruktif merupakan
bentuk konflik yang memiliki sifat saling kerjasama (Beebe, 2001, hal. 221-222).
Pengklasifikasian yang diutarakan dua pakar Steven A. Beebe dan Susan J. Beebe ini
memberikan gambaran konflik dari pengaruhnya mengatasi perbedaan dan sifat yang
melekat pada perselisihan tersebut.
Pembahasan mengenai tipe tipe konflik di atas kemudian berimplikasi pada
identifikasi mengenai sifat-sifat konflik. Salah satu identifikasi mengenai sifat konflik
juga diutarakan oleh ilmuwan dengan latar belakanag ilmu komunikasi. Adalah Adler
dan Rodman (2006: 236-237), ia membagi sifat konflik menjadi empat sifat umum yaitu
ekspresi perjuangan, ketidakcocokan, merasakan hadiah yang sangat langka, dan yang
terakhir saling ketergantungan. Ekspresi perjuangan merupakan bentuk ekspresi
kebencian yang diberikan oleh seseorang karena orang lain melakukan sesuatu yang
tidak sepantasnya. Kedua, merasakan ketidakcocokan tujuan merupakan sifat konflik
yang muncul karena ada pihak-pihak tertentu yang merasakan munculnya
ketidaksesuaian tujuan dengan bentuk tujuan pihak lain, sehingga pada beberapa kasus
tidak ada bentuk penyelesaian yang tersedia. Ketiga, merasakan hadiah yang sangat
langka merupakan bentuk sifat konflik yang membuat pihak-pihak yang terlibat
merasakan adanya hadiah yang akan mereka dapatkan jika memenangkan konflik
tersebut. Keempat, saling ketergantungan menjadi sifat konflik yang membuat pihak-
pihak yang bertikai merasakan adanya perasaan saling tergantung dan saling
membutuhkan.
Setelah mengetahui tipe dan sifat konflik hal selanjutnya adalah mengetahui tentang
karakteristik konflik. Karakteristik konflik ini diajukan oleh Miall digunakan oleh Celina
Del Felice, Secara umum Miall (2004) membagi karaketeristik konflik menjadi tiga sifat
yang spesifik. Pertama, konflik biasanya bersifat asimetris terutama yang berhubungan
dengan kekuatan dan status. Kedua, bentuk-bentuk konflik yang ada biasanya
diperpanjang, sehingga digambarkan dalam bentuk siklus atau lonceng. Ketiga, bentuk-
bentuk konflik yang diperpanjang biasanya mengganggu sisi kemasyarakatan secara
lokal dan global (Del Felice, 2008, hal. 76).
Dari ketiga pembahasan diatas yaitu mngenai, tipe, sifat serta karaktersitik konflik
memberikan penegasan bahwa ilmu sosial memiliki keterjangkauan yang luas dan saling
memiliki ketersinambungan satu sama lainnya. Ilmu komunikasi turut menjadi satu
cabang ilmu yang mendalami konflik dari segi komunikasi. Ilmu komunikasi
memandang konflik merupakan dampak dari adanya interaksi sosial yang terjadi dala
sebuah masyarakat.

B. Teori Dialektika Relasional


Salah Satu Teori yang dapat digunakan untuk manganalisis konflik dalam
prespektik ilmu komunikasi adalah teori hubungan dialektis. Teori hubungan dialektis
menjadi salah satu bagian tradisi sosiokultural. Tradisi sosiokultural lebih condong
terhadap analisis mengenai hubungan interaksi antar individu di dalam lingkup
masyarakat (Littlejohn & Foss, 2018). Jika Teori Hubungan Dialektis dilihat melalui
pandangan awam, maka teori tersebut tampak sederhana. Pada dasarnya teori ini
mengupas lebih dalam tentang hubungan seseorang dalam bermasyarakat. Sebuah
hubungan lahir melalui dialog. Maka menurut teori ini kehidupan masyarakat erat
kaitannya dengan dialog dan dialektis. Dialektis mengacu pada sebuah tekanan antara
kekuatan-kekuatan yang berlawanan dalam sebuah sistem, sedangkan dialog dapat
diistilahkan sebagai suara-suara yang berbeda yang menyatu dalam sebuah percakapan
(Littlejohn & Foss, 2018, hal. 302)
Tentang dialektika, mengutip penjelasan Griffin pada penelitiannya tahun 2012
silam, terdapat tiga jenis dialektif yang memengaruhi hubungan antar individu, yaitu:
a) Menyatu dan terpisah (intregration and saparation) ini mengacu pada keadaan
dimana seseorang memiliki keinginan untuk terpisah dengan orang lain, di sisi
lain ia juga ingin akrab dengan orang lain (others).
b) Stabilitas dan perubahan (stability and change), keadaan yang diupayakan
untuk menjaga kenyamanan tapi juga mengharapkan adanya sebuah
perubahan.
c) Keterbukaan dan proteksi (expressions and non-expressions), dualisme antara
sikap protektif dan ekspresif. (Fahrudin, Hatjarjo, & Satyawan, 2018)

Sementara untuk Proses dialogis, proses ini digunakan untuk menentukan arah
serta aliran komunikasi dalam sebuah hubungan yang terjalin di tengah adanya
dinamika-dinamika yang membuat beberapa perubahan. Dengan dialog dapat
didefinisaikan ulang hubungan yang muncul serta bagaimana bentuknya. Menurut Mixail
Baxtin (Griffin, 2012) terdapat lima pengertian dialog dalam sebuah hubungan, yaitu
dialog sebagai unsur pokok komunikasi yang membangun dan mendasari hubungan.
Yang ke dua dialog sebagai rantai ucapan, selanjutnya dialog bersifat tidak terduga.
Dialog juga sebagai moment estis, dimana dalam tahapan orang-orang merasa saling
memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Selain itu dialog juga merupakan sarana ekspresi
sikap kritis.
Teori Dialektika relasional ini memiliki dua tipe, yaitu dialektika internal
(internal dialectical) dan dialektika eksternal (eksternal dialectical). Tipe tersebut
didasarkan pada kedudukan seorang individu dalam berkomunikasi. Pada dialektika
internal merujuk pada komunikasi dalam sebuah komunitas, sedangkan pada dialektika
eksternal merujuk pada komunikasi antar individu dalam sebuah komunitas disertai
dengan ketegangan yang terjadi dalam kelompok atau pihak lainnya. Berikut sajian
gambar tipologi dua tipe dialektika rasional (Griffin, 2012, hal. 156):

Internal Dialectic External Dialectic


(within the relationship) (between couple and
community
intregration and
Coonection-Autonomy Inclusion-seclution
saparation
stability and
Certainty-Uncertainty Conventionally-Uniquennes
change
expressions and Opennes-Closedness Revelation-Concealment
non-expressions
ITabel 2. 1
Tipologi dialektika internal dan eksternal
Teori Hubungan Dialektis sebenarnya berusaha memanfaatkan semaksimal
mungkin peranan komunikasi dalam hubungan antarmanusia untuk mengurangi
kerenggangan dan ketegangan yang muncul karena perbedaan tujuan dan pandangan,
seperti yang telah dipaparkan (Baxter & Montgomery, 1996). Konsep Teori dialektis
menafsirkan bahwa sebuah hubungan pribadi atau interaksi yang dilakukan secara terus
menerus akan memungkinkan muncul simpul kontradiksi yaitu keadaan berkebalikan
atau kecenderungan menetang (Griffin, 2012, hal. 153). Sederhanaya Teori ini
membahas tentang bagaimana perubahan dalam sebuah hubungan yang terjalin dalam
waktu yang cukup lama pada akhirnya harus dihadapkan pada beberapa pertentangan
yang berkaitan dengan perbedaan keinginan masing-masing. Dialektika relasional sendiri
mendefinisikan tentang pola komunikasi hubungan antara mitra sebagai akibat dari
endemik dialektis ketegangan. Ketegangan tersebut muncul akibat dari adanya
kebutuhan-kebutuhan emosional yang saling bertentangan yang dirasakan oleh para
pelaku komunikasi. Ketika beberapa orang berkomunikasi mereka akan selalu berusaha
untuk berdamai dengan keinginan bertolak belakang yang pasti muncul, sedangkan di
sisi lain mereka tidak bisa menghapuskan kebutuhan tersebut. Hal teersebut yang pada
akhirnya mengakibatkan munculnya beberapa perubahan secara konstan. Perubahan akan
senantiasa terjadi seiring intensitas lamanya berhubungan sebuah masyarakat. Perubahan
dalam hal ini adalah tingkat kedekatan dalam hubungan tersebut akan memengaruhi
perbedaan dalam cara mengungkapkan kebersamaan dan kemandirian (Rawlins, 1988,
hal. 27).
Kontradiski ini dimungkinkan muncul di dalam sebuah hubungan, makan dari itu
orang akan berupaya untuk mengelola ketegangan tersebut dan oposisi dalam hubungan.
Komunikasi sangat penting dalam mengelola dan menegosiasikan kontradiksi-
kontradiksi dalam hubungan. Peran komunikasi adalah untuk memberikan solusi dan
penyelesaian atas suatu masalah dalam hubungan. Masih di dalam sebuah buku yang
sama, disebutkan bahwa dalam teroi dialektika rasional ini terdapat empat elemen yang
menjadi subtansi penting dalam analisis dialektika. Empat elemen tersebut adalah
Totallity (totalitas), contradictition (Kontradiksi), motion (pergerakan), dan praxis
(Praksis) (West, 2008, pp. 191-192). Totalitas berarti bahwa dialektika mengakui adanya
saling ketergantungan dalam sebuah hubungan. Kontradiksi diasumsikan sebagau dua
oposisi dua elemen yang bertetangan. Sedangkan pergerakan (motion) adalah sebuah
proses berhubungan. Praksis adalah kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai
pembuat pilihan.
C. Komunikasi Dialogis
Dalam Tesis Ngebu tahun 2017 yang membahas tentang konflik antar masyarakat
Benteng raja, mengutip gagasan yang disampaiakn oleh Baxter yang diberi nama
generasi ke dua Komunikasi dialektis dan dialogisnya. Dalam pernyataanya Baxter dan
Grifin menyebutkan fungsi dialog dalam upaya penyelesaian konflik (Ngebu, 2017)
a. Dialog sebagai proses yang membangun (dialogue as constitutive process)
komunikasi menciptakan suatu hubungan dan pada praktiknya suatu individu berubah,
maka hubungan mereka juga ikut berubah. Dalam hal ini dialogis mempertimbangkan
bahwa perbedaan dan kesamaan pada orang menjadi sama pentingnya. Perbedaan
memusatkan pada apa arti dari perbedaan ini bagi pasnagan dan bagaiaman mereka
bertindak atas arti-arti tersebut. Sementara persamaan akan sikap-sikap, latar belakang,
dan minat dapat menyatukan bersama orang-orang secara positif.
b. Dialog sebagai aliran dilektis (dialogue as dialectical flux) Seluruh kehidupan sosial
merupakan produk dari “penyatuan yang dikuasai kontradiksi dan penuh ketegangan
dari dua hasrat yang berperang” Ini memperjelas bahwa bebrbagai bentuk kotradiksi
semakin diakui keberadaanya. Hal demikian berarti bahwa proses mengembangkan dan
mempertahankan hubungan menjadi sulit ditebak, tidak bisa terselesaikan, dan tidak bisa
dipastikan.
c. Dialog sebagai momen estetis (dialogue as an aesthetic moment) Baxter
menggambarkan sensansi timbal balik tersebut dari penyempurnaan, perlengkapan atau
keseluruhan ditengah pengalaman yang terfragmentasi tersebut tidak berlangsung lama.
Akan tetapi, kenangan saat – saat indah dapat mendukung pasangan melalui turbulensi
yang terjadi pada hubungan akrab.
d. Dialog sebagai ungkapan (dialog as utterance) Ungkapan digambarkan sebagai
penghubung ekspresif yang membentuk rantai dialog. Oleh karena itu, ungkapan yang
disetuji dipengaruhi kata-kata yang keluar sebelumnya dan kata-kata yang akan
digunakan. Baxter menekankan pada apakah ungkapan memberi kepercayaan pada
suara-suara kedua belah pihak dalam suatu hubungan atau tidak.
e. Dialog sebagai sensibilitas kritis (dialogue as a critical sensibility) Suatu kewajiban
untuk mengkritik suara yang dominan, khususnya mereka yang menekan pandangan-
pandangan yang bertentangan.
Masyarakat
D. Dukuh Pakis RT 02
dan RT 01

Perpindahan dan
atau perpecahan
Sholat Jum’at

Dialektis Dialogis

- Dialog sebagai proses


Dialektika Internal yang membangun
(Dialogue is a
constitutiy process)
- Dialog sebagai aliran
Contra Pro dialektis
- Autonomy - Connection - Dialog sebagai momen
- Uncertaint - Certainty estetis
- Closedness - Openess - Dialog sebagai
ungkapan
- Dialog sebagai
sensibilitas kritik

Kerangka berfikir

Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kualitaitif studi kasus, Bodgan dan Taylor dalam
Basrowi mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati (Basrowi,
2008 ) .Kemudian masih dalam Basrowi menurut Miles dan Huberman, metode kualitatif
adalah metode yang berusaha mengungkapkan berbagai keunikan yang terdapat dalam
individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara
menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (Basrowi, 2008).
Penelitian studi kasus bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan
sekarang dan interaksi suatu sosial, individu, kelompok, lembaga dan masyarakat ( (Husnaini
& Akbar, 2017). Metode Kualitatif deskriptif analitik yang dipakai dalam penelitian ini
adalah untuk mendapatkan data yang mendalam berupa data-data yang mengandung makna
(Sugiyono, 2010)
Peneliti belum mengetahui secara pasti bagaimana seluk beluk konflik yang terjadi
anatra warga dusun Pakis dan beberapa pihak pengusaha bawang merah. Peneliti ingin secara
menggali factor-faktor yang melekat dalam konflik tersebut. Selain kepada pihak tokoh
masyarakat dan pengusaha secara langsung, peneliti juga akan menggali informasi
mendalam melalui wawancara kepada warga sekitar yang terkena dampak atas konflik
tersebut.
Secara epistimologis fenomena ini merupakan sebuah fenomena jamak, dengan
kriteria banyak factor yang membentuk konflik tersebut sekaliapun hanya dilihat dari
prespektif komunikas. Pertimbangan segi ontologisnya adalah peneliti akan berusaha
membaur dalam suatu percakapan intens yang sering dinamakan indepht interview. Peneliti
akan terlibat secara emosional dalam melahkukan penelitian ini. Dari segi aksiologis, peneliti
berusaha mengikuti nilai yang dianut oleh responden.

- Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


Pengertian Purposive Sampling adalah: teknik mengambil sampel dengan tidak
berdasarkan random, daerah atau strata, melainkan berdasarkan atas adanya pertimbangan
yang berfokus pada tujuan tertentu (Arikunto, 2006, hal. 131). Teknik purposive sampling
menekankan pada kepemilikan informasi dari sumber tentang suatu topik tertentu yang
menjadi fokus penelitian ini. Teknik purposive juga digunakan sebagai prosedur untuk
menentukan informan yang hendak memberikan informasinya (Gerring, 2007, hal. 88).
Penelitian ini didesain dengan populasi adalah masyarakat dusun Pakis RT 02 / RW 02.
Setelah diketahui popoulasi tersebut teknik pengambilan sample digunakan teknik purposif
sample. Jenis penelitian studi kasus semacam ini akan mendapatkan hasil berupa deskripsi
peritiwa khusus yang informasinya dapat diperoleh dari beberapa narasumber dengan
kriteria tertentu.
Sample atau narasumber yang akan diwawancarai antara lain adalah beberapa tokoh
masyarakat, yang mampu menjelaskan lebih rinci bagaimana seluk beluk peristiwa yang
terjadi di masyaraktnya. Selain tokoh masyarakat, penelitian ini akan menggali data dari
beberapa tokoh agama untuk mendapatkan pertimbangan data, hingga beberapa warga dusun
itu sendiri. Dalam keberjalanan penelitian, peneliti memadukan teknook snowball sampling
guna menambah kekayaan data. Teknik cuplikan snow ball sampling. Snow ball sampling
merupakan teknik cuplikan yang mengalir bagaikan bola salju yang semakin besar. Teknik
ini mengharuskan peneliti menemukan seorang informan kunci yang dapat menunjukkan
informan-informan lain yang lebih memahami tentang peristiwa yang menjadi objek
penelitian (Pawito, 2007: 92). Namun demikian peneliti akan menutupi kekurangan pada
teknik snow ball dengan observasi untuk menangkap semua fakta dan peristiwa yang terjadi
secara insidental.

- Data dan Sumber Data


1) Sumber atau informan data yang berasal darinya manjadi sumber data paling penting dan
utama dalam penelitian ini, karena objek penelitian yang berupa konflik benar-benar
objek penelitian yang bersifat insidental. Sumber data menjadi penting apabila sumber
data lain berupa foto atau dokumen tidak bisa ditemukan. Penelitian ini akan berusaha
mewawancarai beberapa orang yang terkait dengan konflik yang menjadi objek
penelitian ini, Penelitian ini mewawancarai sebanyak mungkin informan dari berbagai
kalangan, mulai dari warga pada umumnya, ketua Rt, hingga tokoh masyarakat, serta
beberapa pemuka agama di dusun tersebut yang terlibat konflik. Jumlah sumber yang
akan diwawancarai tidak dapat ditentukan. Peneliti akan membatasi jumlah sumber
ketika peneliti merasa data yang diperoleh telah cukup dan menemukan data jenuh.
2) Peristiwa yang terjadi, merupakan sumber data yang dapat digunakan untuk memperkuat
pernyataan masyarakat yang berupa hasil wawancara. Namun demikian, dalam penelitian
ini peristiwa konflik dan komunikasi interpersonal untuk menyelesaikannya atau
sejenisnya tidak akan banyak membantu, karena sumber data berupa peristiwa penelitian
ini merupakan sesuatu yang sangat insidental. Terdapat kemungkinan bahwa peristiwa
yang menjadi objek penelitian ini telah terjadi atau belum terjadi. Dalam mengatasi
pemahaman terhadap masalah konflik dan komunikasi yang berlaku, maka informan
menjadi sumber data yang sangat penting untuk mendapatkan gambaran tentang konflik
dan komunikasi yang terlibat.
3) Dokumen, merupakan sumber data pendukung yang dapat digunakan untuk memperkuat
sumber data lainnya. Akan tetapi, hanya dapat menjadi sumber data apabila yang
menjadi objek penelitian benar-benar terdokumentasi. Apabila objek penelitian tersebut
telah terdokumentasi maka sumber data berupa dokumen akan dapat digunakan.
Dokumen ini bisa dalam bentuk surat menyurat, maupun gambar yang menerangkan
peristiwa tersebut.

- Teknik Pengumpulan Data


Secara metodologis, penelitian ini akan dirancang dengan teknik wawancara secara
mendalam, observasi, serta dokumentasi terhadap sampling yang terpilih melalui metode
purposive sampling Unit analisis yang diteliti adalah seluruh pihak terkait atas terjadinya
konflik, yaitu pengusaha, karyawan, tokoh masyarakat, serta beberapa warga dusun Pakis RT
02 dan Rt 01.
Untuk pengembangan atau pengujian validitas penelitian diperlukan sebuah teknik yang
mampu mengkur derajat reliabilitas dari data yang diperoleh dari lapangan. Penelitian ini
menggunakan teknik uji validitas trianggulasi. Triangulasi merupakan salah satu metode yang
tepat untuk mengukur derajat reliabilitas dari sumber data yang akan diperoleh.
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan bentuk trianggulasi sumber.
Dilakukan dengan metode menggali data yang sama melalui sumber-sumber yang berbeda.
Karena sifat dari objek penelitian ini yang bersifat insidental maka trianggulasi sumber
menjadi syarat mutlak untuk menggali data. Trianggulasi sumber yang akan diterapkan
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan tentang suatu peristiwa
yang telah terjadi kepada seorang informan, lalu mengulangi pertanyaan yang sama kepada
informan yang berbeda. Dengan demikian maka penelitian ini akan mencapai tingkat
intersubjektivitas yang lebih baik.
- Teknik Analisis Data
Proses analisis data secara sederhana dapat ditampilkan dengan tabel sebagai berikut :

Pengumpulan data Penyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi

Bagan 3. 1 Kompenen-Komponen Analisis Data


(Miles dan Hubberman, 1992: 20)
Hasil dan Diskusi
1. Komunikasi Dialektis Antara Jamaah Barat dan Jamaah Timur

Masyarakat Dukuh Pakis merupakan msyarakat tradisonal yang tinggal berdampingan


dalam kurun waktu yang cukup lama. mereka membentuk komunitas yang terdiri dari dua
RT, yaitu RT 01 (Pakis Selatan) dan RT 02 (Pakis Timur). Masyarakatnya hidup
berdampingan dengan gotong royong dan melaukan kegiatan bersama meskipun secara
administratif terpisah menjadi dua RT. Beberapa warga yang mengadakan hajatan atau
tertimpa musibah secara guyub rukun akan melibatkan para warga lainnya. Melihat fakta
demikian warga dukuh Pakis menjalin interaksi sosial yang cukup intens, baik secara
asosiatif (Kerja sama ) maupun disaositif (persaingan). Komunikasipun menjadi kompenen
yang sangat lekat dalam menjalin berbagai interaksi sosial tersebut.
Komunikasi berperan besar dalam hal menjaga keterikatan anggota masyarakat sama
lain, sehingga menentukan terbentuknya harmonisasi dan tingkat solidaritas individu di
dalamnya. Masyarakat Dukuh Pakis bukanlah hidup dalam masyarakat yang statis, beberapa
perubahan sosial dan perkembangan zaman membuatnya turut menjadi masyarakat yang
dinamis dalam mengikuti alur perubahan. Dalam knsep Teori dialektis menjelaskan bahwa
sebuah hubungan pribadi atau interaksi yang dilakukan secara terus menerus akan
memungkinkan muncul simpul kontradiksi yaitu keadaan berkebalikan atau kecenderungan
menetang (Griffin, 2012, hal. 153). Hal Serupa juga dialami oleh masyarakat dukuh Pakis
pada beberapa bulan terakhir ini. Masyarakat dukuh Pakis mengalami beberapa selisih
pendapat yang mengakibatkan saat ini masyarakat terbagi atau terpecah menjadi dua kubu,
yaitu kubu jamaah barat dan jamaah timur. Jamaah barat merupakan sekelompok orang yang
melaksanakan jumatan dan ibadah sholat idul adha di masjid barat, sementara jamaah timur
merupakan sekelompok kecil masyarakat yang secara tiba-tiba pindah jumatan dan ibadah
lainnya ke masjid Timur. Hal tersebut menjadi permsalahan karena jumlah minimum
makmum dalam pelaksanaan sholat jumat kurang memenuhi syarat rukun jika masyarakat
dukuh pakis yang jumlahnya sedikit ini terdapat dua jamaah sholat. Selain itu dalam literatur
lainnya dijelaskan bahwa dalam dialektika relasional akan muncul beberapa tekanan.
Bermula dari permasalahan tersebut akhirnya terjadi beberapa kontradiksi yang muncul
antara e dua belah pihak. Pihak timur meyakini alasan perpindahannya adalah demi menjaga
dan melestarikan peninggalan nenek moyang berupa masjid Timur yang 11 tahun lalu sempat
ditinggalkan jamaahnya termasuk dirinya dan kelompoknya. Sementara masyarakat barat
meyakini bahwa masyarakat timur memiliki alasan dan tujuan lain dalam rangka
perpindahannya tersebut. Beberapa indikasi perpbedaan yamg muncul khirnya berdampak
pada kelangsungan bermasyarakat warga dukuh Pakis. Saat ini keberadaan dua kubu tersebut
makin terlihat jelas termasuk dalam hal kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Dialetika
relationship muncul dalam hubungan masyarakat Dukuh Pakis.
Berdasarkan siapa saja yang terlibat dalam konflik serta bagaimana Kedudukan
individu di sana, terjadi Dialektika internal. Pada dialektika internal analisis melihat
komunikasi yang terjadi dalam sebuah komunitas. Konflik yang terjadi dalam masyarakat
Dukuh Pakis melihat seorang individu sebagai sebuah komunitas, yaitu sebagai masayarakat
dukuh Pakis Baik itu jamaah barat maupun jamaah timur. Konflik ini juga tidak melibatkan
pihak lain sebagai pihak ketiga di luar masyarakat dukuh Pakis. Berbeda dengan kejadian 11
tahun silam yang melibatkan beberapa tokoh dari kecamatan dan Kantor Ursan Agama
(KUA) sebagai mediator, konflik ini murni menjadi permasalahan masyaraat Dukuh Pakis.
Meskipun telah ada upaya melibatkan pihak ke tiga namun upaya tersebut belum terealisasi.
Secara teori dalam dialektika Internal semacam ini tergolong dalam internal dialectic.
Kontradiksi hadir di tengah sebuah komunitas yaitu masyarakat dukuh Pakis RT 01 dan RT
02. Dalam tipologi dialektika relaionship yang dikemukakan oleh Griffin yang membagi
dialektika relasional menjadi dua kategori yaitu internal dan eksternal dialectic. Dua hal
tersebut kemudian dianalisis berdasarkan pada dialektif yang memengaruhi hubungan antar
individu, yaitu intregration and saparation, stability and change expressions and non-
expressions. Dalam iinternal dialectic, menurut tipologi yang disampaiakn oleh griffin
terdapat setidaknya tiga hal diperhatikan yaitu perasaan Terhubung dan tidak terhubung
(Coonection-Autonomy), kemudian berkaitan dengan keyakinan dan keraguan (Certainty-
Uncertainty) jamaah dalam menentukan pilihan tempat beribadah, serta cara mengungkapkan
pendapat yang terbuka atau tertutup (Opennes-Closedness).
a) Perasaan terhubung dan tidak terhubung (Coonection-Autonomy) antar jamaah
Pihak yang memisahkan diri dari jamaah barat adalah pihak-pihak yang menganggap
dirinya sebagai pihak yang sadar dan peduli terhadap peninggalan nenek moyang
masyarakat Dukuh Pakis. Sementara pihak barat atau jamaah barat merupakan masyarakat
yang berfikiran maju serta lebih open minded dengan memberikan pengertian yang lebih
luas perihal melesetarikan budaya nenek moyang itu sendiri. Pihak barat sekaligus adalah
pihak yang memegang teguh prinsip musyawarah serta mempertanggungjawabkan hasil
musyawarah. Sementara di pihak lain, yaitu pihak jamaah timur merupakan pihak yang
lebih mengedepankan keputusan dalam lingkup kecilkeluarganya. Mereka beranggapan
bahwa sudah menjadi resiko akan di tolak beberapa pihak jika mengambil keputusan
secara tiba-tiba, maka dari itu sebisa mungkin pihak jamaah timur bersikap diam dan
berusaha saling menguatkan antara anggota jamaah lain.
Menurut pihak barat, hal tersebut bukanlah hal yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat. Keputusan yang diambil pihak jamaah timur minceiderai prinsip
kesepakatan yang telah di bangun sebelas tahun silam. masyarakat jamaah barat menggap
kejadian ini merupakan bentuk dari pengkhianatan. sementara Pihak timur justru
menganggap hal demikian merupakan urusan sederhana, yaitu masalah keyakinan semata,
yang seharusnya tidak perlu dikaitkan dengan permasalahan bermasyarakat.
Pertentangan yang demikian merupakan salah satu identifikasi bentuk pertentangan
antara Coonecctivity-autonomy. Menurut baxter sendiri, (Littlejohn & Foss, 2018)
kontradiksi Coonecctivity-autonomy merupakan bentuk kontradiksi yang paling inti yang
tumbuh dalam sebuah hubungan yang terjalin. Pihak di dalamnya merupakan beberapa
individu yang memiliki sifat otonom. Dimana seorang individu mash memiliki kebebasan
untuk menentukan arah hidupnya, termasuk dalam kasus perpecahan jamaah yang terjadi
di Dukuh Pakis ini. Jamaah timur menganggap ini merupakan bentuk autonomy atas
dirinya sebagai seorang individu. Baxter menambahkan bahwa jika dalam sebuah
hubungan masih terdapat individu atau kelompok yang memiliki perasaan sebagai
individu yang autonom maka dapat dimungkinkan bahwa hubungan tersebut berada dalam
tahap akan rusak atau perbaikan.
b) Keyakinan dan Keraguan (Certainty-Uncertainty) jamaah
Bentuk keyakinan yang diiringi keraguan muncul pada perasaan masing-masing pihak
yang terlibat. Pihak yang pada mulanya yakin atas keputusannya yang kontra terhadap
pihak lain mengalami tekanan tertentu yang mengakibatkan muncul keraguan. Pihak
jamaah timur yang tegas memilih pindah jumatan ke masjid timur dan berusaha membuat
dirinya exlusive mengalami keraguan ketika pihak barat kemudian berlaku berbeda dan
membentuk jarak setelah tidak berhasilnya ajakan bermusyawarah. Sementara hal yang
terjadi pada pihak barat yang yakin untuk tetap menjadi bagian jamaah barat kemudian
mengalami keraguan ketika beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan
kesempatan untuk keperluan pribadinya dengan mengintimidasi pihak yang masih jumatan
di masjid barat. Beberapa pernyataan kemudian muncul dan menimbulkan
kesalahfahaman antar pihak.
Perasaan yakin dan percaya diri menjadi hal yang penting dalam keberlanjutan
keputusan yang diambil oleh seseorang. Ketika pihak timur mendapat dukungan dari
keluarga besar dalam hal materiil berupa masjid, serta moril berupa saran dan masukan,
maka keyakinan tumbuh di tengah jamaah timur untuk berdiri sendiri. Adanya perubahan
sikap beberapa pihak utamanya pihak barat menjadikan beban tersendiri bagi pihak
jamaah timur. Akan tetapi pihak timur misalnya saja Pak Kusnon telah mengantisipasi hal
tersebut dan tetap membangun keyakinan di tengah keluarga besarnya.
Pihak barat menindaklanjuti dengan hal berbeda, saat ini beberapa tokoh mencoba
membangun keyakinan atas alasan perpindahan sholat jumat yang dilakukan oleh pihak
timur untuk melestarikan warisan nenek moyang. Hal demikian sesuai dengan yang
disampaiakan langsung pihak timur, akan tetapi munculnya tokoh lain yang datang dari
pengusaha bawang merah RT 01 yang mencoba memberikan dukungan fasilitas lain agar
makin banyak jamaah yang pindah, membuat warga jamaah barat merasa ragu atas alasan
tersebut. Mereka meragukan alasan awal yang mereka terima. Hal tersebut membuat
asumsi-asumsi yang salah memperkeruh suasana. Beberapa hal di atas merupakan bentuk
bentuk perasaan yakin dan ragu atas perpecahan jumatan yang timbul.
c) Metode menyampaikan pendapat terbuka dan tertutup (Opennes-Closedness)
Dalam mengungkapkan pendapat, pihak jamaah barat dan pihak jamaah timur
memilikimetodenya masing-masing. Pihak barat merupakan pihak mayoritas, yang artinya
jumlahnya lebih dominan atau lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jamaat timur.
Bahkan prosentasnya 75% lebih dari keselurhan warga RT 01 dan 02 warga dukuh pakis.
Dalam posisinya sebagai mayoritas, pihak barat memiliki lebih banyak tokoh yang
bertindak sebagai opinion leader. Dalam menyampaiakn pendapatnya pihak barat lebih
nampak terbuka. Pihak barat secara terbuka menolak secara baik-baik keputusan beberapa
orang yang mendirikan sholat jumat di masjid timur atau secara tidak langsung memecah
jamaah.
Rasa keberatan dan penolakan tersebut disampaiakn dalam beberapa kesempatan, baik
yang melibatkan pihak jamaah timur secara lansgung maupun beberapa kesempatan yang
tidak dihadiri langsung oleh jamaah timur. Forumnya pun juga dalam formal maupun
informal. Informasi yang disampaiakan pihak barat kurang lebih berkenaan dengan
kesepakatan sebelas tahun silam yang juga melibatkan jamaah timur saat ini. Pihak barat
secara terbuka mengatakan bahwa jika pihak timur masih bersikukuh untuk mendirikan
jumatan di masjid timur atau membentuk jamaah baru, itu artinya mereka telah
menghianati kesepakatan yang melibatkannya dalam sebelas tahun silam.
Sementara dalam forum atau kesempatan tersebut, pihak timur lebih memilih diam
dan minimberpendapat. Pihak timur belum berkesempatan mengikuti forum yang lebih
luas yang melibatkan seluruh masyarakat mayoritas dukuh Pakis. Sejauh ini mereka hanya
terlibat dalam acara jamaah yasinan rutin dulu sebelum mereka kemudian memilih keluar
dari jamaah dan membentuk jamaah yasinan sendiri. Saat itu beberapa tokoh keagamaan
dan takmir masjid secara terbuka menawarkan untuk diadakan acara keagamaan di masjid
timur guna memenuhi kehendak jamaah timur untuk melestarikan masjid. Akan tetapi
jamaah timur tidak memberikan jawaban iya dan tidak. Mereka terkesan memilih diam
untuk mencari posisi yang aman. Hal tersebut berlangsung sampai saat ini. Akan tetapi
setelah peneliti menanyakan secara detail orientasi kedepan jamaah timur, dirinya
mengaku tetap ada keinginan untuk menyatukan kembali jamaah, Pak Wito dan Pak
Kusnonberharap warga sadar secara sendirinya akan pentingnya jumatan di masjid
peninggalan ennek moyang warga Pakis. Sayangnya niatan tersebut belum
dikomunikasikan secara detail dan terbuka, khususnya kepada warga RT 02 jamaah barat.
Maksud dan tujuan itu justru secara jelas dan detai disampaiakan langsung dalam sebuah
forum di RT 01 tanpa mengundang RT 02.
Sikap individu dalam perpendapat seringkali dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
tertentu. Dalam Griffin (2011) mengungkapkan bahwa dalam dialektika relasional hal ini
termasuk pada bagian keterbukaan dan proteksi (expressions and non-expressions), yang
merupakan dualisme antara sikap protektif dan ekspresif dalam berpendapat. Dalam
dialektika internal diistilahkan sebagai closedness dan openess fase ini dikatakan sebagai
fase pasang surutnya keinginan masyarakat atau individu. Dalam masyarakat ini juga
terjadi hal serupa, ke dua pihak ada keenderungan bersikap terbuka atau terus terang dan
terkadang tertutup dalam menyampaikan keinginannya.
Semakin seseorang tersebut bersikap terbuka atau terus terang atas ketidaksetujuan dan
keyakinannya dalam mengambil sebuah keputusan maka identifikasi terhadap konflik
yang terjadi lebih mudah untuk dilakukan. Sebaliknya, ketika beberapa individu terkesan
ragu dan kurang terbuka, maka akan menyulitkan untuk dilakukan identifikasi konflik.
Konflik justru bersifat meluas karena munculnya asumsi-asumsi dari pihak lawan yang
diragukan kebenarannya. Asumsi tersebut kemungkinan akan menimbulkan pihak lawan
menyimpulkan atas presepsi mereka sendiri. Pihak jamaah timur dalam memberikan
informasi seringkali tidak lengkap kepada pihak barat. Pihak barat menginginkan
informasi lebih yang mengarah pada penyelesaian konflik, akan tetapi sejaih ini pihak
timur masih bersikap tertutup dan membatasi informasi.
Tekanan expression dan non-expression yang di alami jamaah timur membuatnya gagal
menyampaikan pesan dengan cara yang bagus dan dapat diterima oleh jamaah barat.
Misalnya alasan melestarikan warisan nenek moyang yang kemudian di tanggapi baik
warga jamaah barat dengan tawaran mengadakan kegiatan lain guna melestarikan masjid
kecuali jumatan. Warag jamaah timur tidak berkeinginan melanjutkan diskusi dan justru
tetap pada pendiriannya. Alasan lain seperti status dan sayarat bangunan masjid, waqaf
pemilik lahan yang di bangun masjid belum disampaiakan masyarakat jamaah timur. Hal
itu membuat pihak jamaah barat belum memahami sepenuhnya alasan perpindahan
tersebut.
Sementara pihak timur saat itu terlanjur menganggap dirinya terkucilkan. Dirinya tidak
dilibatkan secara langsung dalam acara keagamaan. Dirinya juga tidak mendapat
penjelasan mengenai status masjid barat ke depannya, serta maksud dan tujuan jamaah
barat tidak ingin mengikuti langkahnya. Dari sini pihak timur berasumsi pihak barat
bersikap lalai dan terkesan membiarkan darinya dan kelompoknya hendak berbuat apapun.
Padahal pihak barat beberapa kali melakukan diskusi untuk menyatukan kembali jamaah
ini.
Keterusterangan dan intensitas pertentangan menjadi dimensi konflik yang relefan
dalamkonteks budaya. Sementara konteks budaya sendiri dapat memengaruhi dinamika
konflik dalam 3 cara (1) bagaimanan seseorang memilih untuk mengekpresikan
pertentangan (2) bagaimana orang melihat kemudian berekspresi atas pertentangan
tersebut (3) kemudahan orang-orang bersengketa untuk menyelesaiakan konflik (Ngebu J.
F., 2019, hal. 63)
Desain komunikasi yang dibentuk antar tokoh sebgai masyarakat tradisional adalah
dimana para tokoh membiasakan diri dengan keadaan yang demikian ini. Para tokoh
memberikan saran kepada wargamasyrakat agar tetap bersilaturahmi dengan baik
meskipun di tengah perbedaan dan perpecahan ini. Sehingga permasalahan utama dalam
konflik ini kemudian tidak pernah muncul ke perpukaan untuk dilakukan pembahasan
lanjutan. Di suasana semacam ini warga masih dibingungkan dengan alasan-alasan yang
sebenarnya dan kenyataan yang dihadapi masing-masing anggota. Akbat dari
ketidakjelasan informasi mengenai konflik membuat pihak-pihak terkait tdak memahami
secara utuh apa yang menjadi keinginan masng-masing pihak. Kondisi ini mencirikan
tekanan openess dan closedness dalam dinamika expression non espression.

2. Komunikasi Dialogis Antara Jamaah Barat dan Jamaah Timur


Dijelaskan bahwa dialog merupakan sarana yang efisien untuk membangun sebuah
hubungan di tengah konflik.Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dialog juga tidak
jarang menimbulkan ketegangan akibat tekanan dialektis yang muncul saat berinteraksi
tersebut. Pihak jamaah barat berusaha memberikan kesempatan berdialog dengan pihak
jamaah timur, meskipun pada akhirnya tidak sepenuhnya usulan dari jamaah timur untuk
kemudian diterima jamaah barat. Pihak jamah timur memanfaatkan dialog sebagai
saranan untuk meminimalisir dampak konflik, dengan misalnya tetap menjalin dialog
dalam topik lain di luar konflik untuk menciptakan suasana harmonis. Tidak dipungkiri
ketegangan tetap muncul meskipun di tempuh cara yang demikian.
Beberapa faktor membuat dialog yang seharusnya menjadi hal utama dalam
penyelesaian konflik dan mencapai moment estetis, justru dialog pada akhirnya dihindari
untuk meminimalisir munculnya tekanan dialektik antara masing-masing pihak. Para
tokoh barat dan timur mengungkpan bahwa dirinya memilih pasrah saja. Keinginan
untuk membuka diri masyarakat timur menjadi kendala dalammenjalin sebuah dialog
yang diharapkan mampu mencapai moment estetis. Menurut hasil penelitian dapat
ditemukan bahwa hanya beberapa peran dari 5 peran dialog yang diekmukakan oleh
baxter yang terealisasi dalam dinamika masyarakat dukuh pakis, berikut pembahasannya
a. Berdialog bertujuan untuk memberikan pengaruh satu sama lain

Dalam Teori yang dikemukakan Baxter dan Griffin, dialog sebagai sensibilitas kritis
(dialogue as a critical sensibility). Menjadi bagian dari uatu kewajiban untuk mengkritik
suara yang dominan, khususnya mereka yang menekan pandangan-pandangan yang
bertentangan. Dialog yang dimaksud adalah dialog yang bertujuan untuk
menyampaiakan keinginan beberapa masyarakat minoritas dalam hal ini adalah jamaah
timur yang berasal dari RT 02, dan jamaah barat yang berasal dari RT 01. Fungsi ini
belum terealisasi dan berdampak baik dalam konflik. Beberapa dialog yang membahas
tetntang keinginan masing-masing pihak belum pernah terjadi dalam forum yang
melibatkan duabelah pihak. Dialog semacam ini hanya dilakukan secara sepihak oleh
masing-masing pihak. Beberapa individu yang merasa terbebani untuk menympaikan
hasil diskusi seperti misalnya tokoh masyarakat, menyampaikan hanya secara general
saja karena minimnya informasi yang mereka dapatkan juga. Akan tetapi pihak timur
pada dasarnya telah menyadari bahwa pihak barat menginginkan bersatunya kembali
jamaah mengingat beberapa kali mencoba mengajaknya diskusi. Dirinya merasa bahwa
jika dalam bentuk diskusi demikian dan merasa telah mengutarakan dengan jelas maksud
dan tujuan perpindahan mereka.
Di lain pihak pak samsuri kemudian memberikan keterangan bahwa dialog yang
diutarakan untuk mengetahui maskud yang sebenanrnya sampai saat ini belum
mendapatkan respon yang positif. Ketidakpuasan atas jawaban yang disampaiakan pihak
timur membuat pihak barat mengalamai sedikit kekesalan dan menganggap jawaban
tersebuthanyalah sebatas jawaban dalamrangka mencarijalan aman saja sebagai
minoritas. Jadi fungsi dialog ini belum terealisasi dalam konflikmasyarakat dukuh Pakis.
b. Kesadaran berdialog yang minim menghambat momen estetis
Pada dasarnya Baxter menggambarkan sensansi timbal balik tersebut dari
penyempurnaan, perlengkapan atau keseluruhan ditengah pengalaman yang
terfragmentasi tersebut tidak berlangsung lama. Akan ada masa di mana dialog
mengembalikan beberapa memori kebersamaan yang akhirnya timbul perasaan saling
membutuhkan kembali. Di desa Pakis masayrakat yang masih tradisional memiliki
inisiatif yang rendah untuk bersikap saling terbuka dan memberanikan diri berbisacara
terlebih dahulu. Keberanian berpendapat hanya dimiliki beberapa tokoh saja. Dalam
sikap manusiawinya beberapa tokoh memiliki kberpihakan tertentu sehingga akan sulit
untuk berdialog secara netral dan penuh keternbukaan. Dalam hal ini adalah dialog yang
mgningatkan kembali masyarakat dukuh pakis atas kesepakatan 11 tahun silam yang
membutuhkan proses dan kerja keras yang cukup panjang.
Masyarakat jamaah barat hanya mengatakan bahwa masyarakat jamaah timur
menghianai kesepakatan. Cara berdialog dengan kalimat tersebut cenderung membuat
jamaah timur merasa perlu melakukan pembelaan. Padahal secara ideal dialog
seharusnya bertujuan untuk mencapai moment estetis. Di mana masyarakat jamaah timur
kembali mengingat perjuangan sebelas tahun silam dan kembali merenungi
keputusannya untuk pindah jamaah. tujuan dialog ini belum bisa teralsiasi dalam konflik
ini. Dalam sesi wawancara yang di lakukan oleh peniliti, peneliti menemukan ungkapan
pengkhianatan muncul dari pihak jamaah barat ditujukan kepada pihak timur. Pihak barat
mengakui pihak timur pada dasarnya telah mengetahui hal tersebut dan maksuda
tersebut. Pihak timur memang telah mengetahui beberapa dialog tersebut dan pihaknya
tidak ambil pusing dengan pernyataan sebelas tahun silam tersebut.
c. Dialog tidak mengungkap permasalahan konflik
Dialog sebagai ungkapan (dialog as utterance) Ungkapan digambarkan sebagai
penghubung ekspresif yang membentuk rantai dialog. Oleh karena itu, ungkapan yang
disetuji dipengaruhi kata-kata yang keluar sebelumnya dan kata-kata yang akan
digunakan. Baxter menekankan pada apakah ungkapan memberi kepercayaan pada
suara-suara kedua belah pihak dalam suatu hubungan atau tidak. Kenyataan yang muncul
adalah pihak barat dan pihak timur tidak pernah membawa topik ini dalam dialog sehari-
hari mereka. Mereka beranggapan jika membawa topik ini ke ranah masayarakat dengan
dialog sama saja mereka mengungkit-ungkit konflik dan memperparah kondisi konflik.
Masayarakat dari dua belah pihak memilih tetap berdialog dengan sesama dan membahas
hal-hal di luar konflik. Mereka mengaku mereka ingin memperbaiki keadaan akan tetapi
bukan dengan jalan saling meributkan perpecahan sholat jumat. Padahal penyebab
kesenjangan konflik tidak lain dan tidak bukan adalah perpecahan sholat jumat itu
sendiri. Pihak tokoh masyarakat merasa sudah pasrah dan mengembalikan keputusan
kepada masing-masing pribadi dengan syarat masyarakat dilarang melakukan ajakan
yang bersifat profokatif dan memaksa kehendak individu.
Sampai pada penelitian berlangsung, dialog antar masyarakat masih terjadi dengan
intensitas yang cukup rendah, khusunya antar masing-masing pihak yang berbeda
pendapat yaitu antar pihak jamaah timur dan jamaah barat. Hal tersebut semakin terlihat
lebih jelas perbedaannya pada masing-masng tokoh jamaah barat dan timur. Mereka
mengaku sudah tidak pernah berdialog lagi. Akan tetapi mereka masing-masing berpesan
kepada jamaah yang lain untuk senantiasa berdialog tanpa menyinggung masalah jamaah
agar keteganagan tidak semakin memuncak.
d. Dialog membangun masyarakat melalui interaksi
Dialog sebagai proses yang membangun (dialogue as constitutive process) pada
prinsipnya komunikasi menciptakan suatu hubungan individu berubah. Pada prakteknya
komunikasi justru menjadi salah satu dampak dari adanya konflikmasyarakat ini.
Komunikasi yang terjadi antara warga masyarakat dukuh pakis mengalami beberapa
berubahan dan kemudian berlanjut pada proses interaksi lainnya. Dapat diindikasikan
bahwa masyarakat dukuh pakis melakukan komunikasi dan dialog sebagai sarana untuk
menjaga hubungan baik di tengahkonflik. Dalam kasus semacam ini dapat diketahui
bahwa terjadi dialog yang berperan sebagai sebuah proses membagun hubungan.
Terlepas dari dialog formalitas yang mereka uayakan, hubungan mereka juga ikut
berubah. Dalam teori dikatakan bahwa hubungan dialogis mempertimbangkan
perbedaan dan kesamaan pada orang menjadi sama pentingnya. Kenyataan yang timbul
dalam masyarakat Dukuh Pakis sedikit berbeda, dalam hal ini terjadi proses interaksi
yang berusaha menutup-nutupi keadaan konflik yang sebenarnya tengah terjadi. Dalam
artian warga meminimalisir pembahasan mengenai kontradiksi-kontradiksi yang ada di
tengah masyarakatnya. Seharusnya perbedaan memusatkan pada apa arti dari perbedaan
ini bagi pasnagan dan bagaiaman mereka bertindak atas arti-arti tersebut. Sementara
persamaan akan sikap-sikap, latar belakang, dan minat dapat menyatukan bersama orang-
orang secara positif.
Melihat jenis topikyang sering mereka diskusikan dalam keadaan formal dan non-formal
yang melibatkan ke dua belah pihak, atau antar personal dari masing-masing pihak, hal
tersebut di atas tidak terjadi dalam masyarakat dukuh pakis. Pada akhirnya harapan yang
muncul darimasing-masing pihak adalah kebebasan mengambil keputusan tanpa ada
paksaan satu sama lain sehingga hal semacam ini bisa dikategorikan bukan konflik,
melainkan output dari kebebasan individu.
e. Dialog masyarakat mengandung topik kesamaan
dalam sebuah konflik akan muncul kontradiksi-kontradiksi antara beberapa pihak yang
terlibat. Pada dasarnya seharusnya dialog hadir sebagai aliran dilektis (dialogue as
dialectical flux) yang artinya dialog menjadi sebuah sarana untuk mempertemukan jenis-
jenis dilaektis dalam sebuah hubungan tanpa terkecuali. Kemudian perlu diingat bahwa
kehidupan sosial merupakan produk dari “penyatuan yang dikuasai kontradiksi dan
penuh ketegangan dari dua hasrat yang berperang” maka menjadi sebuahkewajran jika
kontradisi seringkali menjadi hal yang diakui keberadaanya dan dimaklumi. Dampak
yang kemudian muncl adalah proses mengembangkan dan mempertahankan hubungan
menjadi sulit ditebak, tidak bisa terselesaikan, dan tidak bisa dipastikan.

Dalam kondisi masyarakat dukuh pakis sendiri, peran dialog untuk mewadahi aliran
kontradiksibelum begitu nampak. Dikatakan demikian karena masyarakat pihak tmur
cenderung mengalah dan memilih diam untuk tidak menyampaiakan pendapat yang
bertetangan dengan masyarakat barat. Tanggapan masyarakat barat kemudian
membiarkan semuanya berlalu dengan begitu saja. Beberapa tokoh yang berusaha
menjalin dialog tidak begitu menghasilkan hasil yang signifikan. Seharusnya dalam hal
ini di bahas pandangan masing-masing yang melandasi perpecahan shlat jumat terjadi.
Masyarakat biasa cenderung menyembunyikan perasaan mereka ketika saling bertemu
antar pihak lain. Akan tetapi dalam lingkup pihaknya pembicaraan dan dialog sering
terjadai. Dialog yang muncul justru dialog yang memperuncing kontradiktif. Jadi
pernyataan bahwa seharusnya dialog menjadi aliran berkomunikasi masalah kontradiktif
yang muncul belum aplikatif dalam kasus konflik masyarakat tradisonla didukuh Pakis.
Alassan mendasarnya adalah rasa tidak enakan dan usaha kerasa untuk terlihat rukun.
Kesimpuan
- Kesimpulan
1. Konflik yang terjadi dalammasyarakat dukuh Pakis RT 01 dan RT 02 adalah tentang
perpecahan jamaah masjid yang disebabkan oleh perbedaan pandangan, alasan
perpecahan, serta kesalahfahaman yang berlarut-larut karena antara kedua belah pihak
yang saling berasumsi dan masih belum memaksimalkan upaya dalam mengelola
konflik secara komunikasi dialektis maupun dialogis.
2. Dalam komunikasi dialektis, pihak masng-masing jamaah menyampaikan perbedaan
pandangan yang telah mereka hasilkan dalam masing-masing kelompoknya. Mereka
berperan sebagai komunikan dan komunikator. Komunikasi yang terjalin cenderung
komunikasi interpersonal. Konflik ini merupakan konflik internal. Konflik ini terjadi
antar beberapa individu dalam kelompok jamaah barat dan jamaah timur yang masih
berada dalam suatu wilayah tanpa melibatkan individu atau kelompok lain dari luar.
3. internal dialectic yang terjadi adalah: masyarakat Dukuh Pakis memilih memanfaatkan
kebebasanya sebagai individu yang bebas untuk menentukan di mana dirinya harus
beribadah dan melakukan cara beribadahnya sendiri akan tetapi di sisi lain keputusan dan
keyakinan tersebut datang berirngan dengankeraguan akibat dampak dari keputusan yang
mereka ambil. Beberapa masyarakat meragukan akan keputusannya setelah mereka
mendapatkan dampak sosial di tengahmasyarakat yang sedang mengalami perpecahan.
Dalam kondisi yang demikian komunikas sangat diharapkan mampu menemukan titik
temu, masyarakat Dukuh Pakis mengalami ketimpangan komunikasi dimana hanya
tokoh-tokoh penting saja yang mereka anggap mampu mengomunikaskan endapat
dengan baik, sementara pihak jamaah timur yang terdiri dari kelompok minoritas
dmemilih diam dan lebih tertutup untuk bebrpendapat bahkancenderung menghindari
forum musyawarah.
4. Komunikasi dialogis antara masyarakat jamaah barat dan jamaah timur terhadap
keputusan perpecahan sholat jumat yang kenudian diikuti dengan kegiatan keagamaan
lainnya sangat minim terjadi. Hal demikian membuat arah resolusi konflik menuju
masalah inti penyebab masalah, melainkan lebih kepada unsur yang bertujuan untuk
meningkatkan intensitas kesadaran saling membutuhkan dalam sebuah kehidupan
berkomunitas. Masyarakat Pakis lebih sering melakukan dialog membahas permasalahan
sehari-hari daripada berdialog mengenai perpecahan jamaah yang saat ini tengah terjadi.
Berdasarkan tiga kesimpulan di atas dapat diketahui bahwa masih ada sikap ingin bersatu
yang timbul dalam masyarakat. Di sisi lain keinginan bersatu bagi masyarakat masing-
masing pihak memiliki definisi yang berbeda bahkan bertolak belakang. Pihak jamaah
timur bersikeras menginginkan bahwa jika sebuah keputusan untuk bersatu kemabli,
maka tempat yang paling layak dan tepat adalah masjid timur yang tidak lainmerupakan
masjid peninggalan nenek moyang yang telah ditinggalkan belasan tahun lamanya. Di
pihak lain, jamaah barat justru tetap mempertahankan membentuk jamaah barat di masjid
barat, dengan alasan bahwa sebuah keputusan besar yang disepakati sebelas tahun silam
tidak bisa dengan mudah dipermainkan apalagi dihiananti. Ke dua belah pihak sama-
sama memiliki sisi egosime dan menjunjung hak otonomi yang melekat atas dirinya
masing-masing.

- Saran
1. Perlu adanya kegiatan mengidentifikasi konflik yang dapat dilakukan oleh beberapa
tokoh perangkat desa terkait asal-usul konflik dan jenis konflik serta individu atau
kelompok yang terlibat secara aktif dalam konflik. hal tersebut seharusnya ditempuh
untuk menentukan strategi yang efektif dan efisien penyusunan dan penyampaian
pesan dalam upaya meredakan konflik yang terjadi antara dua belah pihak jamaah.
setelah ditemukan hasil identifikasi konflik secara keseluruhan dan dilakukan secara
obyektif, implementasi dalam sebuah forum musyawarah menjadi strategi yang
efektif untuk menyampaikan hasil identifikasi tersebut.
2. Ketegangan yang terjadi dalam sebuah komunitas tanpa melibatkan pihak luar
seharusnya memberlakukan fungsi dan peran gatekeeper ata seseorang yang mampu
mengelola informasi yang baik dan memiliki sikap tidak memihak, menurut penulis
dengan adanya peran tersebut, akan meminimalisir adanya disinformasi atau jenis
kesalahan penerimaan pesan yang sering terjadi dalam keadaan masyarakat yang
sedang berkonflik.
3. Pengadaan kegiatan-kegiatan dan forum diskusi seharusnya dimaksimalkan untuk
membiasakan masyarakat bernai berpendapat dan bersifat terbuka satu sama lainnya.
Masyarakat yang terbiasa dengan ikllim berdiskusi sehat diharapkan juga mampu
menyesuaikan diri dengan baik saat terjadi kontradiski-kontradiksi yang pasti hadir
dalam sebuah masyarakat. Hal ini bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknlogi
komunikasi yang efektif dan efisien. Selain itu masyarakat seharusnya
memaksimalkan peran remaja dukuh untuk berpartisipasi secara aktif dalam
menyusun kegiatan-kegiatan dukuh demi memperbanyak frekuensi kebersamaan antar
masyarakat.
4. Hingga penelitian ini dilakukan belum ada upaya musyawarah yang melibatkan
seluruh pihak dalam konflik, menurut peneliti forum musyawarah yang bisa
mempertemukan pendapat-pendapat masng-masng pihak perlu diadakan untuk saling
menemukan jalan tengah agar konflik ini tidak meluas menuju aspek kehidupan
bermasyarakat lainnya.

Daftar Pustaka

Amin, A. S. (2017). Komunikasi Sebagai Penyebab dan Solusi Konflik Sosial. Jurnal
Common, 01, 101-109.
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. : PT. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Arumsari, N., Paradita, W. D., & Wijayanti, T. (2020). Strategi Komunikasi dalam Upaya
Penyelesaian Konflik Nelayan Pantai Utara di Kabupaten Batang. Integralistik, 31(1),
22-29.
Astrid. (1999). omunikasi dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Bina Cipta.
Barzam. (2018, Januari). Psikologi Komunikasi. Retrieved from Pakarkomunikasi.com:
https://pakarkomunikasi.com/perbedaan-4-konsep-karakteristik-komunikan-dalam-
psikologi-komunikasi
Basrowi. (2008 ). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Baxter, L., & Montgomery, B. (1996). . Relating: Dialogues and dialectics. The Guilford
communication series.
Beebe, S. J. (2001). Communication, Principles for A Lifetime. . Allyn and Bacon: Neddham
Heights.
Berger, C. R. (2003). Message Production Skill in Social Interaction. In J. O. Burlesson,
Handbook of Communication and Sosial Interaction Skill (pp. 257-289). New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates.
BPS. (2018). Statistika Kriminal 2018. Jakarta: BPS.
Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Muda.
Bungin, H. M. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell, J. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five
Tradition. London: Sage Publication.
Crossman, A. (2019, Juli 3). Social Science. Retrieved from ToughtCo.:
https://www.thoughtco.com/conflict-theory-3026622
Del Felice, C. (2008). Youth Criminality and Urban Social Conflict in the city of Rosario,
Argentina: Analiysis and Proposal for Conflict Transformation. International journal
Of Conflict and Violance, 3(1), 72-91.
Fahrudin, N., Hatjarjo, S., & Satyawan, A. (2018, Juni). Komunikasi Dialektis Masyarakat
Beda Agama di Bojonegoro. Jurnal Komunikasi Islam, 08(01), 67-76.
Gerring, J. (2007). Case Study Research, Principles and Practices. Cambridge: Cambridge
University Press.
Griffin, E. (2012). Relational Dialectis. In E. Griffin, First Look At Communication Theory
(p. 153). New York: MC Graw Hill.
Hasenclever, A., & Rittberger, V. (2000). Does Religion Make a Difference? Millennium:
Millenium: Journal of International Studies ISSN 0305-8298 No. 3., 29, 641-674.
Husnaini, U., & Akbar, P. S. (2017). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jamaludin, A. N. (2015). Sosiologi Perdesaan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: RinekaCipta.
Larry A. Samavor, e. a. (2007). Communication between Cultures. Belmont: Wadsworth.
Liliweri, A. (1994). Perspektif Teoritis Komunikasi Antarpribadi Suatu Pendekatan Kearah
Psikologi. Bnadung: Citra Adi Bakti.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2018). Teori Komunikasi edisi 9. Jakarta: Salemba.
Milles, M. B. (1992). Analisis Data Kualitatif (Terjemahan). Jakarta: UI Press.
Mulyana, D. (2012). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bndung: CV Remaja Rosda Karya.
Ngebu, J. F. (2017). Dialektika Internal Dalam Dinamika Budaya Pesta Sekolah. Surakarta:
FISIP UNS.
Ngebu, J. F. (2019). Thesis (Dialektika Internal dalam Dinamika Budaya Sekolah).
Surakarta: Universitas Sebalas Maret.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Jakarta .
Nurhadi, Z. F. (2017). Kajian Tentang Efektifitas Pesan dalam Komunikasi. Jurnal
Komunikasi Hasil Pemikiran dan Penelitian Volume. 3 No. 1, 90-96.
Poloma, M. (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Grafindo Persada.
Puntmant, L. (2009). Conflict Management and Mediation. In W. F, Century Communication,
Refference Handbook (pp. 211-219). Thousand Oak: Sage Publication.
Rakhmat, J. (1985). Psikologi Komunikasi. Bandung: Radja Karya.
Rawlins, W. K. (1988). Adolescents Interactions with Parents and Friends: Dialectics of
Temporal Perspective and Evaluation. Journal of Social and Personal Relationships,,
5, Page 27-46.
Sinaga., D. (1988 ). Sosiologi dan Antropologi. Klaten: PT. Intan Pariwara. .
Stephen P. Robbins. (1996). Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi danAplikasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif,.
Bandung: Alfabeta.
Sumpeno, W. (2011). Perencanaan Desa Terpadu Edisi Kedua, Read (Reinforcament Action
and Development. Yogyakarta: Read Indonesia.
Sutopo, H. B. (2006). Metodologi Penelitian Kulaitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Uchjana, E. (2007). LMU KOMUNIKASI – Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Waluya, B. (2012, Maret 08). Rural Community. Retrieved from Direktori File UPI:
http://file.upi.edu
West, R. d. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba
Humanika.

You might also like