Professional Documents
Culture Documents
Strategi Indonesia Terhadap Melanesian Spearhead Group (MSG) Dalam Melawan Propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Strategi Indonesia Terhadap Melanesian Spearhead Group (MSG) Dalam Melawan Propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Organisasi Papua Merdeka (OPM) sekaligus secara aktual menuntut kemerdekaan dari Republik
Indonesia atas dasar diskriminasi ras dan inklusi pembangunan daerah dengan melakukan
pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah Indonesia melalui kontak fisik, seperti
penyerangan terhadap pasukan TNI penjaga pos keamanan di Irian Jaya serta pemberontakan non-
fisik, seperti; (a) pengibaran bendera Bintang Kejora; (b) penculikan dan proklamasi pemerintah
Papua Barat di Viktoria; (c) mencari dukungan rakyat Irian Jaya melalui provokasi manipulatif;
dan (d) mencari dukungan internasional, terutama terhadap negara-negara serumpun yaitu
Melanesian Spearhead Group (MSG). OPM mendirikan kantor perwakilan di Republik Vanuatu
sebagai instrumen propaganda dalam melancarkan kepentingan Papua Merdeka atas dunia
internasional. Vanuatu merupakan salah satu negara yang terletak di Pasifik Selatan yang memiliki
kedekatan geografis dan etnis dengan Papua dan merupakan bagian dari Melanesian Spearhead
Group (MSG) untuk mendukung kemerdekaan Papua. Pemerintah Vanuatu secara tegas dalam
KTT Pasifik Selatan di Kiribati untuk mendukung kemerdekaan Papua dan berkomitmen dalam
penyelenggaraan resolusi PBB mengenai penentuan nasib bagi rakyat Papua dengan dalih bahwa
Papua berada di bawah dominasi penjajah asing.
Pasifik Selatan merupakan kawasan minor yang memiliki rentanitas relatif tinggi terhadap
tindakan intervensi asing akibat kondisi geografis strategis mereka dalam aktivitas dagang dan
pengaruh relokasi pangkalan militer di era Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II, regional Pasifik
Selatan masih tetap menjadi reposisi Negara-negara besar (great powers) dan secara otomatis
mengkonfirmasi dari terbentuknya sistem Regionalisme Pasifik Selatan yang independen atas
pengaruh asing. Malenesian Spearhead Group (MSG) salah satu organisasi regional Pasifik
Selatan yang secara responsif telah menjadi promotor terdepan dalam pengadaan keseimbangan
pengaruh asing. MSG kemudian menjadi sistem Regionalisme di Pasifik Selatan yang yang terus
mengalami perkembangan melalui solidaritas afiliasi ras Malenesia, didesain untuk merespon
perihal adaptasi globalisasi dan pembangunan berkelanjutan (development goals) dengan tujuan
untuk mengatur; (1) perjanjian perdagangan preferensial; (2) pembangunan ekonomi para anggota
MSG yang meliputi Republik Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu dan Kanak and
Socialist National Liberation Front atau Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste atau
disingkat FLNKS (Cain, 2014). Afirmasi visi MSG adalah dekolonisasi dan kebebasan seluruh
negara Malenesia atas aktualisasi pembangunan identitas politik, budaya, sosial, dan ekonomi
masyarakat Malenesia yang telah digagas pada tanggal 17 Juli 1986. Para pemimpin negara-negara
Malenesia dan FLNKS secara kolektif menumbuhkan kesadaran bersama terkait solidaritas dan
kebersamaan politik identitas dalam menangani isu-isu regional sebagai kepentingan bersama.
Dan pada 23 Maret 2007, para anggota MSG sepakat untuk melakukan penandatanganan terhadap
The Agreement Establishing the Malenesian Spearhead Group dan dengan cepat MSG
mendapatkan legitimasi sebagai organisasi regional formal yang diakui di mata hukum
internasional, dan memperoleh afirmasi pendirian secretariat di Port Vila, Vanuatu pada tahun
2008 (Ramadhan, 2018). Oleh karenanya, dari pemumusan latar belakang di atas, penulis sangat
memiliki ketertarikan erat untuk mengkaji terkait “Strategi Indonesia terhadap Melanesian
Spearhead Group (MSG) dalam melawan propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM)”.
Metodologi Penelitian
Gray menjelaskan bahwasannya adanya teori serta praktek dari strategi modern ini bertujuan untuk
mencapai kepentingan politik yang mana identik dengan peperangan pada abad ke-20. Dalam
bukunya Strategy and Defence Planning, Gray kembali menjelaskan poin penting strategi pada
perencanaan pertahanan untuk keamanan nasional yang memerlukan kontekstualisasi dengan
mengacu pada risiko, ancaman, dan bahaya yang mungkin perlu untuk dilawan. Tantangan yang
tak terhindarkan untuk kehati-hatian dalam pembuatan strategi adalah kenyataan bahwa kualitas
strategi kita sendiri sangat tergantung pada kedekatan dukungan yang sesuai dengan kualitas ujung
kebijakan kita. Cara dan sarana (ways and means) tidak dapat saling melengkapi untuk
memengaruhi tugas strategis yang muktahir, jika tidak ada tujuan bermuatan politik yang dapat
diterjemahkan ke dalam tujuan strategi. Struktur logis abadi dari fungsi strategi diekspresikan
dalam trias kategoris dari tujuan, cara, dan sarana (ways, ends and means).
Diagram I. Strategy and Defence Planning (Collin Gray).
Sumber: Colin S. Gray, Strategy and Defence Planning (Oxford: Oxford University Press 2014).
Gray mendefinisikan strategi sebagai upaya didensif ataupun ofensif oleh kekuatan militer untuk
mencapai tujuan-tujuan politik, atau secara spesifik sebagai “the theory and practice of the use,
and threat of us, of organized force for political purposes”. Teori perencanaan pertahanan untuk
kemanan nasional secara kritis membutuhkan kontektualisasi dengan mengacu pada risiko,
ancaman, dan bahaya yang akan dihadapi (Gray, 2014). Tantangan pemangku kebijakan dalam
pelaksanaan strategi adalah analisis pembuatan strategi yang bertitik tumpu pada kualitas strategi
dan kedekatan dukungan yang sesuai dengan kualutas ujung kebijakan yang telah dibentuk.
Singkatnya sebagai tujuan, cara, dan sarana (ways, ends and means), akan tergantung pada
justifikasi tingkat tinggi terhadap pembentukan kesadaran identitas dan perbedaan kategorikal.
Representasi hierarki tujuan, cara, dan sarana diterjemahkan cukup dekat ke dalam tujuan, metode,
dan instrumen (ways, ends and means).
(a) Tujuan Kebijakan (Policy Ends) sebagai dinamika pilihan politik dan preferensi (decision-
making) dengan memperhatikan cara dan sarana yang diperlukan dalam proses aktualisasi
strategi.
(b) Cara Strategis (Strategy Ways) dapat diadopsi karena panduan kebijakan lemah atau
bahkan tidak ada. Ketika para pemimpin suatu negara memutar kunci politik bagi tentara
mereka untuk pergi dan berperang, para pejuang itu akan ingin melakukan jenis perang
yang mengistimewakan apa yang mereka yakini sebagai kekuatan khusus mereka.
Kepercayaan militer tentang praktik terbaik saat ini disebut doktrin, dan terkadang gaya.
(c) Sarana (Means) merupakan aksi-reaksi hegemonic untuk mempengaruhi strategi dan
kebijakan.
Kerja sama Selatan-Selatan adalah kerangka kerja kolaborasi yang luas di antara negara-negara
Selatan dalam ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan teknis. Melibatkan dua atau
lebih negara berkembang, dapat terjadi secara bilateral, regional, intraregional atau interregional.
Negara berkembang dalam menacapai sebuah pembangunan berbagi pengetahuan, keterampilan,
keahlian dan sumber daya mereka melalui upaya bersama. Perkembangan terkini dalam kerjasama
Selatan-Selatan telah mengambil bentuk peningkatan volume perdagangan Selatan-Selatan, arus
investasi asing langsung Selatan-Selatan, pergerakan menuju integrasi regional, transfer teknologi,
berbagi solusi dan ahli, dan bentuk pertukaran lainnya.
Tujuan dasar dari kolaborasi Selatan-Selatan, menurut Buenos Aires Plan of Action (BAPA) for
Promoting and Implementing Technical Cooperation antar Negara Berkembang yang disahkan
oleh Sidang Umum pada tahun 1978 (resolusi 33/134), adalah untuk:
(a) memupuk kemandirian negara berkembang dengan meningkatkan kapasitas kreatif mereka
untuk menemukan solusi atas masalah pembangunan mereka sesuai dengan aspirasi, nilai
dan kebutuhan spesifik mereka sendiri;
(b) mempromosikan dan memperkuat kemandirian kolektif di antara negara-negara
berkembang melalui pertukaran pengalaman; pengumpulan, pembagian, dan penggunaan
sumber daya teknis dan lainnya; dan pengembangan kapasitas pelengkap mereka;
(c) memperkuat kapasitas negara berkembang untuk mengidentifikasi dan menganalisis
bersama masalah pembangunan utama mereka dan merumuskan strategi yang diperlukan
untuk mengatasinya;
(d) meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja sama pembangunan internasional melalui
pengumpulan kapasitas untuk meningkatkan efektivitas sumber daya yang dikhususkan
untuk kerja sama tersebut;
(e) menciptakan dan memperkuat kapasitas teknologi yang ada di negara berkembang untuk
meningkatkan efektivitas penggunaan kapasitas tersebut dan untuk meningkatkan
kapasitas negara berkembang dalam menyerap dan mengadaptasi teknologi dan
keterampilan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan khusus mereka;
(f) meningkatkan dan meningkatkan komunikasi di antara negara-negara berkembang, yang
mengarah pada kesadaran yang lebih besar tentang masalah bersama dan akses yang lebih
luas ke pengetahuan dan pengalaman yang tersedia serta penciptaan pengetahuan baru
dalam menangani masalah pembangunan;
(g) mengenali dan menanggapi masalah dan persyaratan dari negara kurang berkembang,
negara berkembang terkurung daratan, negara berkembang kepulauan kecil dan negara
yang paling parah terkena dampak, misalnya, bencana alam dan krisis lainnya; dan
(h) memungkinkan negara berkembang untuk mencapai tingkat partisipasi yang lebih besar
dalam kegiatan ekonomi internasional dan memperluas kerjasama internasional untuk
pembangunan.
Reabilitas Melanesian Spearhead Group (MSG)
Pada 1993, fokus organisasi regional MSG mengalami pergeseran dari isu politik hingga berlanjut
pada isu yang lebih komprehensif, seperti; ekonomi, sosial, dan pembangunan. Tentu MSG
sebagai solidaritas Pasifik Selatan yang merupakan kumpulan negara berkembang (developing
countries) dan kurang berkembang (least developed countries) dalam inklusi kerja sama
internasional memerlukan kepanjangan tangan dari negara-negara tetangga lintas kawasan atas
pengadaan adaptasi kapasitas kolektif regional untuk mengatasi berbagai problematika krusial.
Indonesia secara terkhusus telah terlibat jauh dalam skema Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS)
bersama Negara-negara MSG di Pasifik Selatan, melalui pendekatan kesamaan identitas kultural
dan geografis (kepulauan) dan sedang berkembang untuk mencapai inklusi kemajuan
pembangunan kolektif bersama. Indonesia diuntungkan dengan persamaan kultural masyarakat
bersama Negara Malenesia dikarenakan letak geografis Indonesia yang terletak di persimpangan
dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Hasilnya, Indonesia bagian
timur memiliki tingkat kecendrungan terhadap Australia dibandingkan dengan Asia, yang dihinu
oleh 11 juta orang dengan latar belakang budaya Malenisia dan tersebar di lima provinsi; Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Maluku Utara, Papua Barat dan Papua. Oleh sebab itu, Indonesia
dalam kerja sama pembangunan bersama Negara-negara Malenesia adalah penting dan telah
terjalin sebenarnya jauh lebih awal sebelum MSG dibentuk. Dan menjadikan Indonesia sebagai
salah satu negara donor bantuan luar negeri di kawasan Pasifik Selatan.
Titik awal pembentukan Malenesian Spearhead Group merupakan sebatas aspirasi persaudaraan
Malenesia yang berfokus pada isu politik sebagai upaya solidaritas bersama dalam
memperjuangkan kemerdakaan bersama bagi bangsa Malenesia yang masih terjajah, terutama di
Kaledonia Baru pada saat itu. Prinsip utama MSG berdasarkan pada prinsip keselarasan dan saling
menghargai serta untuk mengembangkan kebudayaan dan nilai-nilai tradisi Malenesia, dan sebagai
jembatan aspirasi bahwa kemerdekaan adalah hak mutlak bagi rakyat Malenesia. MSG sangat
berperan sebagai kelompok “lobby” di badan-badan regional, seperti South Pasific Forum (SPF)
untuk meraih kepentingan kolektif bersama, terutama terhadap Kaledonia Baru (Somare, 2015).
Kerja sama politik antar anggota MSG mengalami pergeseran dari setiap periode dan dengan cepat
mereka dapat melakukan adaptasi terhadap isu-isu globalisasi seperti imigrasi, bea cukai dan
keamanan, perdagangan. Terbentuknya Malenesian Spearhead Group Forum Trade Agreement
(MSG-FTA) merupakan jawaban aktual dari respon yang diberikan MSG terhadap kemajuan kerja
sama perdagangan antar anggota. Pasca lahirnya MSG-FTA pada KTT-MSG di Port Vila, Vanuatu
pada tahun 1992, dinamika kerja sama badan sub-regionalisme MSG mengalami perluasan ke
sektor ekonomi. Adapun menurut perjanjian free-trade agreement tersebut tujuan pembentukan
Malenesian Spearhead Group adalah:
a. untuk memajukan dan memperkuat perdagangan, pertukaran budaya, tradisi, nilai-nilai dan
kesetaraan kedaulatan negara-negara Malenesia;
b. untuk mendorong kerjasama ekonomi dan teknik antar anggota; dan
c. untuk menyelaraskan kebijakan-kebijakan dan tujuan MSG mengenai pertumbuhan
ekonomi, pembangunan berkelanjutan, good governance dan keamanan (Kementrian
Industri & Pariwisata Fiji, 2011).
Tabel 1. Anggota Malenesian Spearhead Group Pasca KTT-MSG ke-20
Negara Kepala Pemerintahan Status
Papua Nugini Perdana Menteri Peter O’Neill Negara Berdaulat
Fiji Perdana Menteri Josaia Voreqe Negara Berdaulat
Vanuatu Perdana Menteri Sato Negara Berdaulat
Kepulauan Solomon Perdana Menteri Manasseh Negara Berdaulat
Front de Liberation Kepala Perwakilan FLNKS Partai
Nationale Kanak et Socialiste Victor Tutugoro
(FLNKS)
Indonesia (Diwakili 5 dari 35 Presiden Joko Widodo Associate Member
Provinsi)
Timor Leste Presiden Fransisco Guterres Observer
The United Liberation Sekretaris Umum ULMWP Observer
Movement for West Papua Octavianus Mote
(ULMWP)
Sumber: Sekretariat Melanesian Spearhead Group. 2011. Brief about MSG. diakses dari
http://msgec.info/index.php/members/brief-about-msg pada tanggal 17 April 2021.
Strategi ways kelima, aktualisasi Development Cooperation Agreement (DCA) dalam skema
Kerjasama Selatan-Selatan. Pasca KTT-MSG ke-18 yang menghasilkan status observer Indonesia
dalam Melanesian Spearhead Group dan KTT-MSG ke-20 yang menghasilkan peningkatan
keanggotan penuh (associate member) Indonesia, inklusi hubungan kerja sama selatan-selatan
secara signifikan mengalami kemajuan di kedua belah pihak. Misalnya adalah Fiji, pada tahun
2011 Indonesia-Fiji telah melakukan penandatanganan perjanjian Development Cooperation
Agreement (DCA) pada tanggal 27 Mei 2011 yang sekaligus merupakan bargaining politics
Indonesia-Fiji dalam permasalahan Papua Barat. Pola yang sama ditunjukkan dari revitalisasi
hubungan Indonesia-Vanuatu yang ditandai dengan penandatanganan Development Cooperation
Agreement (DCA) pada 20 Desember tahun 2011 di Jakarta. Kesepakatan tersebut menghasilkan
kerja sama di bidang politik dan ekonomi serta memberikan kerangka hukum sebagai bargaining
politics Indonesia terhadap Vanuatu untuk saling menghormati kedaulatan, kesatuan dan integritas
teritorial serta prinsip-prinsip interferensi dalam urusan internal masing- masing negara.
Dalam Melanesian Spearhead Group Summit, Indonesia menegaskan atas komitmen serius
Pemerintah Indonesia untuk memajukan kerjasama kongkrit bersama negara-negara anggota
MSG. Indonesia tercatat sebagai negara donor terhadap negara-negara MSG melalui bantuan
teknis, capacity buildings, dan beasiswa pendidikan untuk negara-negara MSG. Indonesia secara
inklusif melakukan inisiasi terhadap Training on Fisheries for the MSG Countries di Sidoarjo,
Jawa Timur pada bulan Mei tahun 2012. Dilanjutkan dengan perluasaan kerjasama di bidang
kepolisian, kebudayaan, penangulangan dan adaptasi terhadap climate change, disaster
management, dan people to people contact (Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, 2012).
Disisi lain, peningkatan kerja sama Indonesia dan Papua Nugini pada tahun 2013 telah
memberikan posisi kemitraan strategis dalam hubungan kerjasama bilateral di sektor ekonomi dan
pembangunan melalui penandatanganan kesepahaman kemitraan komprehensif dengan 11 nota
kesepahaman yang meliputi bidang hukum ekstradisi, batas wilayah, pemuda dan olahraga, energy
dan pariwisata.
Pada tahun yang sama 2013, terjadi penurunan inklusi kerjasama Indonesia dan Vanuatu akibat
dari pergantian Perdana Menteri Sato Kilman yang relatif drekat dengan pemerintah Indonesia ke
Perdana Menteri Moana Carcasses Kalosi pada 21 Maret 2013 yang mengakibatkan pergeseran
kebijakan Pemrintah Vanuatu dalam bargaining politics bersama Indonesia. Dalam Agenda
Rencana Aksi Prioritas 100 hari Pemerintah Vanuatu di bawah kepemimpinan Perdana Menteri
Moana Carcasses pada 10 April 2013, telah memberikan dukungan terhadap keanggotaan WPNCL
di Malenesian Spearhead Group (MSG) dan penghentian Development Cooperation Agreement
(DCA) antara Indonesia dan Vanuatu. Sikap yang relatif sama ditunjukkan oleh Kepulauan
Solomon pasca kunjungan perwakilan dari West Papua National Coalition for Liberation
(WPNCL) pada bulan April 2013 ke Kepulauan Solomon. Perdanan Menteri Kepulauan Solomon,
Darcy Lilo menekankan akan memberikan dukungan penuh terhadap saudara Melanesia (Papua
Barat) untuk kemerdakaan. Akan tetapi di tahun yang sama, pandangan Kepulauan Solomon
terhadap Indonesia mengalami pergeseran pasca kunjungan Perdana Menteri Lilo ke Jakarta pada
bulan Agustus 2013 akibat dari bargaining politics Indonesia dalam inklusi kerjasama
pembangunan bersama Kepulauan Solomon.
Elemen Means, dalam melakukan strategi sebagai pendekatan (ways), Pemerintahan Indonesia
membutuhkan sarana dan prasarana dalam mencapai tujuan (ends). Sarana prasarana yang
dilakukan Pemerintah Indonesia adalah desk Otsus yang melibatkan Kementrian Pertahanan,
Kementrian Luar Negeri, Kementrian Komunikasi dan Informasi, BIN, BAIS, dan TNI/POLRI.
Indonesia menunjukkan komitmen penuh atas pembangunan Papua sebagai Provinsi tertinggal di
Indonesia melalui program kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Pemerintah Indonesia
bersama Kodam melakukan pengadaan aktivitas seperti menyediakan sarana olahraga, kendaraan,
kemudahan birokrasi dan perumahan penduduk miskin guna memenangkan dan menangkal
propaganda OPM. Selain itu, Indonesia juga melakukan upaya untuk meluruskan ketimpangan
informasi dan persepsi yang dikembangkan oleh Vanuatu dalam beberapa forum internasional,
yakni melalui berbagai publikasi di berbagai media milik pemerintah dan swasta, termasuk
diantaranya dengan merilis laporan tentang kondisi nyata Papua yang berjudul “No Genocide in
West Papua” pada tahun 2016.
Pelaksanaan Otsus di Papua dan Papua Barat berjalan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Regulasi itu kemudian diubah
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang
sekaligus menjadi payung hukum bagi otsus itu. Dalam UU tersebut, disebutkan, dana otonomi
khusus Papua dan dihitung sebesar 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) yang berlaku
selama 20 tahun.
Dana Otsus dianggarkan guna mendukung pelaksanaan otonomi khusus di bidang pendidikan dan
kesehatan dan sekaligus untuk pendanaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur,
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan.
Walikota Jayapura Benhur Tommy Mano mengatakan bahwa dana Otsus telah membantu
penyelenggaraan pemerintah daerah terutama di sektor sektor yang berkaitan dengan peningkatan
sumber daya manusia. Berkat dana Otsus, pembangunan Jayapura juga lebih bergerak dengan
ditandai perbaikan infrastruktur, juga kenaikan capaian indeks pembangunan manusia dan angka
harapan hidup yang terus membaik, dari tahun ke tahun (SindoNews, 2016). Walaupun begitu,
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa realisasi dana Otonomi Khusus
(Otsus) Papua dan Papua Barat yang bergulir sejak 20 tahun lalu masih banyak yang tersisa karena
kelemahan tata kelola, termasuk perencanaan belum optimal dari pemerintah daerah (AntaraNews,
2021). Rata-rata sisa dana Otsus di Papua mencapai Rp. 528,6 miliar per tahun dan dana transfer
infrastruktur (DTI) sebesar Rp. 389,2 miliar dalam tujuh tahun terakhir. Terdapat sisa dana Otsus
sebesar Rp. 1.7 triliun. Dengan belanja Pendidikan yang hanya 13,8 persen dan kesehatan 8,7
persen. Dan di Papua Barat rata-rata sisa dana Otsus dalam tujuh tahun terakhir adalah Rp. 257,2
miliar per tahun dan DTI Rp. 109,1 miliar. Tersisa Rp. 307 miliar dengan belanja pendidikan 14,3
persen dan kesehatan 7,6 persen saja (AnataraNews, 2021).
Kesimpulan
Indonesia memiliki kepentingan nasional dalam mempertahankan integritas teritorial Papua dan
kedaulatan bangsa dan negara dari segala bentuk ancaman asing, salah satu yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia adalah dengan melakukan Kontra Propaganda atas Propaganda yang telah
dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Propaganda yang dilakukan oleh OPM kepada
publik internasional adalah mencakup empat isu non-tradisional, yaitu HAM, Demokrasi,
Kerusakan lingkungan, dan kesamaan ras. Propaganda OPM dilakukan melalui media online,
diskusi, dan kampanye politik, serta pendekatan secara personal kepada tokoh-tokoh strategis
dalam keanggotaan Melanesian Spearhead Group (MSG). Strategi Perencanaan Pertahanan oleh
Collin Gray secara aplikatif terlihat oleh strategi Indonesia dalam upaya Kontra Propaganda,
seperti; policy ends. (1) untuk membantah segala tuduhan dan fitnah OPM yang telah diamanatkan
kepada Indonesia terhadap negara-negara MSG dan publik internasional. Sehingga dapat
tercapainya kepentingan politik Indonesia atas upaya pemeliharaan citra baik dan integrasi wilayah
Papua akibat dari dukungan publik internasional. Strategi Ways. (1) penguatan pembinaan
teritorial oleh TNI-AD di Papua; (2) melakukan penyeimbangan (counter) terhadap propaganda
OPM melalui dukungan teknologi dan infromasi, dan melalui jalur diplomasi; (3) aktualisasi
program pembangunan dalam skema Development Cooperation Agreement (DCA). Means. (1)
Indonesia melakukan program pembangunan melalui fasilitas desk otsus atas kolaborasi berbagai
instansi pemerintahan.
Strategi Kontra Propaganda Indonesia memang sudah berjalan baik, namun hal ini masih belum
mencapai titik inklusi maksimal dalam indeksasi keberhasilan strategis. Indikasi Organisasi Papua
Merdeka (OPM) masih terus melakukan perlawanan terhadap integritasi ketahanan wilayah NKRI.
Dilanjutkan dengan Republik Vanuatu yang selalu konsisten mendukung Papua Merdeka, dan
membantu OPM melakukan lobi-lobi ke dunia internasional, salah satunya adalah
mempertemukan Benny Wenda dengan Komisi HAM PBB. Analisis penulis menggarisbawahi
bahwa Pemerintah Indonesia dalam melakukan kontra propaganda terhadap propaganda OPM
selalu menggunakan kekuatan state actor, dan kurang menjadikan non-state actor sebagai pemain
utama dalam proses strategi kontra propaganda terhadap OPM.
Referensi
Adriana Elisabeth. 2006. Dimensi Internasional Kasus Papua. Jurnal Penelitian Politik, Vol.3,
No.1.
Ahmad Sabir. 2018. Diplomasi Publik Indonesia terhadap Vanuatu dalam Upaya Membendung
Gerakan Separatisme Papua. Jurnal Hubungan Internasional, Tahun XI, No. 1.
CNN Indonesia. Gerakan Pembebasan Papua Juga Akan Dirikan Kantor di Jayapura. Februari 16,
2016. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160216122252-20- 111231/gerakan-
pembebasan-papua-juga-akan-dirikan-kantor-di-jayapura/. Diakses pada 17 April 2021.
Colin S. Gray, The Grammar of Strategy II: Terrestrial Action, dalam Modern Strategy
(Oxford: Oxford University Press 1999).
Colin S. Gray, Strategy and Defence Planning (Oxford: Oxford University Press 2014).
Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, dan Direktorat
Jenderal Multilateral. 2011. Indonesia & Kerjasama Selatan-Selatan. Jakarta: Kementrian
Luar Negeri Indonesia.
Djopari, John RG. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1993.
Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, dan Direktorat
Jenderal Multilateral. 2019. Kerja Sama Regional Melanesian Spearhead Group (MSG).
Jakarta: Kementrian Luar Negeri Indonesia.
George, Junus Aditjondro. 2000. Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat Dalam Kajian Sejarah,
Budaya, Ekonomi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.
Howart. Clausewitz. 1991. Mahaguru Strategi Perang Modern. Jakarta: Pustaka Utama Grafis.
Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Bandung: Penerbit Remaja Rosda Karya.
Hamid, Zulkifli. 1996. Politik di Melanesia. Jakarta: Pt Dunia Pustaka Jaya.
Nusa Bhakti, Ikrar. 2000. Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Pasifik:: Upaya Mencegah
Separatisme. Jakarta:Deplu.
Sekretariat Melanesian Spearhead Group. 2011. Brief about MSG. diakses dari
http://msgec.info/index.php/members/brief-about-msg pada tanggal 26 Juni 2021.
Shoelhi, Mohammad. 2012. Propaganda Dalam Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Tim Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga. 2003. Final Report: Kebijakan RI di
Pasifik. Jakarta: Deplu.