Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 53

.

PROFESIONAL HEALTH JOURNAL


Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan


Hospitalisasi pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun)

Vivin Fitriya Febrianti, Lilla Maria, Rahmawati Maulidia


Prodi Sarjana Keperawatan, STIKes Maharani, Malang, Indonesia

Email korespondensi: vivinfitriya@gmail.co.id

Abstract
Introduction: Pain and hospitalization create a crisis for the lives of children because in hospitals
children have to face a strange environment and meet caregivers whom they do not know. In this
process, the child can experience various events or experiences hospitalization that are traumatic and
full of anxiety. Professional nurses can play a role in reducing feelings of fear, anxiety and pain that
are felt by the children through services using therapeutic communication. The purpose of this study
determined the correlation between therapeutic communication of nurses and the anxiety levels of
hospitalized preschoolers age children. Method: The study used correlational analysis with a cross-
sectional approach. The population are 67 parents with children who experienced hospitalization with
purposive sampling as the sampling technique. Results: The results of this study were nearly half the
nurses had deficient therapeutic communication (44.8%) and almost half of the patients had severe
anxiety levels (44.8%). The results of the Spearman test showed (rcount) was -0,904 and p value of
0,000, thus it can be concluded that there was a significant correlation between nurses’ therapeutic
communication with the anxiety levels of hospitalized children. Conclusions From this study, it is
expected that nurses can their improve therapeutic communication skills in providing nursing services
through therapeutic communication training programs.

Keywords: Therapeutic Communication, Nurses, Anxiety Level, Hospitalization, Preschool Children

Abstrak
Pendahuluan: Sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis bagi kehidupan anak karena di rumah sakit
anak harus menghadapi lingkungan yang asing dan bertemu pemberi asuhan yang mereka tidak kenal.
Dalam proses tersebut anak dapat mengalami berbagai kejadian atau pengalaman hospitalisasi yang
traumatik dan penuh dengan kecemasan. Perawat professional dapat berperan dalam mengurangi
perasaan takut, cemas dan nyeri yang dirasakan oleh anak melalui pelayanan dengan menggunakan
komunikasi terapeutik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan komunikasi
terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak usia prasekolah. Metode: Desain penelitian
menggunakan analisis korelasional dengan pendekatan croos-sectional. Populasi adalah orang tua
dengan anak yang mengalami hospitalisasi sejumlah 67 responden dengan teknik sampling
menggunakan purposive sampling. Hasil: Hasil penelitian ini hampir setengah perawat memiliki
komunikasi terapeutik yang kurang baik yaitu (44.8 %) dan hampir setengah pasien anak mengalami
tingkat kecemasan berat yaitu (44.8 %). Dari hasil uji Spearman didapatkan (rhitung) sebesar -0.904 dan
nilai p 0.000. Kesimpulan: terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat
dengan tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak. Penelitian ini diharapkan agar perawat dapat

Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 50


.
PROFESIONAL HEALTH JOURNAL
Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

meningkatkan kemampuan komunikasi terapeutik dalam memberikan pelayanan keperawatan melalui


program pelatihan komunikasi terapeutik.

Kata kunci: Komunikasi Terapeutik, Perawat, Tingkat Kecemasan, Hospitalisasi, Anak Usia
Prasekolah

PENDAHULUAN Menurut penelitian yang dilakukan


oleh Hannan, Susilo, dan Suwanti (2009)
Anak merupakan individu yang
di RSUD Ambarawa menunjukkan
masih bergantung pada orang dewasa dan
pelaksanaan komunikasi terapeutik
lingkungannya, artinya membutuhkan
perawat pada anak usia prasekolah di
lingkungan yang dapat memfasilitasi
ruang perawatan anak RSUD Ambarawa
dalam pemenuhan kebutuhan anak untuk
dapat menurunkan tingkat kecemasan.
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Ditunjukkan dengan 17 dari 32 responden
(Supartini, 2012).
pasien anak usia prasekolah (53,1%)
Anak yang mengalami hospitalisasi
memiliki tingkat kecemasan ringan.
akan mengalami reaksi sedih, takut, dan
bersalah karena menghadapi sesuatu yang Komunikasi terapeutik merupakan
belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak komunikasi yang mempunyai efek
aman dan nyaman, perasaan kehilangan yang penyembuhan karena komunikasi
dialami dan sesuatu yang dirasakan terapeutik merupakan salah satu cara untuk
menyakitkan (Naviati, 2011). Berdasarkan memberikan informasi yang akurat dan
survei dari WHO pada tahun 2008, hampir membina hubungan saling percaya
80% anak mengalami perawatan di rumah terhadap klien, sehingga klien akan merasa
sakit. Sedangkan di Indonesia sendiri puas dengan pelayanan yang diterimanya.
berdasarkan survei kesehatan ibu dan anak Apabila perawat dalam berinteraksi dengan
tahun 2010 didapatkan hasil bahwa dari klien tidak memperhatikan sikap dan
1.425 anak mengalami dampak teknik dalam komunikasi terapeutik
hospitalisasi, dan 33,2% diantaranya dengan benar dan tidak berusaha untuk
mengalami dampak hospitalisasi berat, menghadirkan diri secara fisik yang dapat
41,6% mengalami dampak hospitalisasi memfasilitasi komunikasi terapeutik, maka
sedang, dan 25,2% mengalami dampak hubungan yang baik antara perawat dengan
hospitalisasi ringan (Rahma & Puspasari, klien pun akan sulit terbina (Anggraini,
2010). 2009).
Berdasarkan Survey Ekonomi Berdasarkan studi pendahuluan di
Nasional (SUSENAS) tahun 2010, jumlah Rumah Sakit Permata Bunda Malang pada
anak usia prasekolah (3-6 tahun) sebesar hari Sabtu tanggal 13 Oktober 2018,
72% dari total penduduk Indonesia. Angka dengan melakukan wawancara kepada
kesakitan anak di Indonesia yang dirawat orangtua anak yang sedang menjalani
di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 35 perawatan di Rumah Sakit Permata Bunda
per 100 anak. Hal ini ditunjukkan dengan Malang, dari 10 orang tua 4 diantaranya
selalu penuhnya ruangan anak baik rumah
mengatakan bahwa perawat berkomunikasi
sakit pemerintah ataupun rumah sakit
baik, bersikap ramah, selalu dapat
swasta dan 45% diantaranya mengalami
mengalihkan kecemasan anak ketika anak
kecemasan (Sumaryoko, 2008).
akan dilakukan tindakan invasif, selalu
tersenyum kepada anak maupun keluarga,
Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 51
.
PROFESIONAL HEALTH JOURNAL
Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

dan menanyakan keadaan atau Variabel Independen (bebas) dalam


perkembangan anak, sedangkan 6 penelitian ini adalah komunikasi
diantaranya mengatakan bahwa perawat terapeutik. Sedangkan Variabel Dependen
belum melakukan komunikasi yang baik (terikat) dalam penelitian ini adalah
kepada anak yang mengalami hospitalisasi Tingkat Kecemasan Hospitalisasi Pada
terutama sebelum melakukan prosedur Anak.
tindakan kepada anak. Dan berdasarkan Etika Penelitian ini diajukan ke
kecemasan anak, dari 10 orangtua 8 STIKes Maharani Malang dengan
diantaranya mengatakan anaknya rewel No.012/KEPK.SM-EC/V/2019 dan di
menangis terus, tidak mau berinteraksi nyatakan Layak Etik pada tanggal 24 Mei
dengan orang lain, dan terus merengek 2019.
minta pulang sedangkan 2 orangtua
mengatakan anaknya tidak rewel namun HASIL
cenderung murung. Maka peneliti tertarik Tabel 1. Tabel Karakteristik berdasarkan
untuk melakukan penelitian "Hubungan data umum
komunikasi terapeutik perawat dengan
tingkat kecemasan hospitalisasi anak usia
prasekolah (3-6 tahun) di Rumah Sakit
Permata Bunda Malang" dengan tujuan
untuk mengetahui hubungan antara
komunikasi terapeutik perawat dengan
tingkat kecemasan hospitalisasi anak usia
prasekolah (3-6 tahun) di Rumah Sakit
Permata Bunda Malang.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan yang dilaksanakan dengan
menggunakan metode analisis korelasional
dengan menggunakan pendekatan cross
sectional. Penelitian dilakukan pada orang Berdasarkan tabel diatas, dari 67
tua dengan anak yang mengalami responden didapatkan hasil bahwa seluruh
hospitalisasi di Rumah Sakit Permata responden memiliki hubungan dengan
Bunda Malang berjumlah 67 responden pasien adalah sebagai ibu (100%).
yang memenuhi kriteria inkluasi dan Sebagian besar usia pasien anak 3 tahun
eksklusi. Instrumen dalam penelitian ini sebanyak 23 pasien (34.3%), sedangkan
adalah menggunakan alat ukur kuesioner. sebagian kecil pasien anak berusia 5 tahun
Cara pengambilan sampel pada sebanyak 13 pasien (19.4%). Sebagian
penelitian ini menggunakan purposive besar pasien anak adalah anak ke 1
sampling. Purposive sampling adalah sebanyak 37 pasien (55.2%), sedangkan
suatu teknik penetapan sampel dengan cara sebagian kecil pasien anak ke 3 sebanyak 4
memilih sampel di antara populasi sesuai pasien (6,0%). Jenis Kelamin sebagian
dengan yang dikehendaki peneliti besar adalah perempuan sebanyak 35
(tujuan/masalah dalam penelitian) pasien (52.2%), sebagian kecil adalah laki
(Nursalam, 2017). laki sebanyak 32 pasien (47.8%). Hampir
seluruh pasien anak telah dirawat inap
selama 2 hari sebanyak 59 pasien (88.1%),
Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 52
.
PROFESIONAL HEALTH JOURNAL
Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

sedangkan sebagian kecil telah dirawat pasien anak mengalami kecemasan ringan
inap 1 hari sebanyak 1 pasien (1.5%). sebanyak 1 pasien (1.5%).
Sebagian besar pasien anak tidak pernah Tabel 4. Tabel Tabulasi Silang antara
dirawat di rumah sakit sebanyak 41 pasien Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan
(61.2%), sedangkan sebagian kecil pasien Tingkat Kecemasan Hospitalisasi Pada
anak sudah pernah dirawat di rumah sakit Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun)
sebanyak 26 pasien (38.8%).

Tabel 2. Tabel Karakteristik berdasarkan


Komunikasi Terapeutik Perawat
Komunikasi Prosentase
Frekuensi
Terapeutik %
Tidak Baik 11 16.4
Kurang Baik 30 44.8 Berdasarkan data tabel diatas dapat
Baik 24 35.8 diketahui bahwa 67 pasien anak sebagian
Sangat Baik 2 3.0 besar memiliki tingkat kecemasan berat
Total 67 100 sebanyak 30 pasien (44.8%) dan
komunikasi terapeutik perawat kurang
Berdasarkan data tabel diatas dapat baik. Sedangkan sebagian kecil pasien
diketahui dari 67 perawat didapatkan anak memiliki tingkat kecemasan ringan
bahwa sebagian besar perawat memiliki sebanyak 1 pasien anak (1.5%) dengan
komunikasi terapeutik yang kurang baik komunikasi terapeutik perawat tidak baik.
yaitu 30 perawat (44.8%), sedangkan
sebagian kecil perawat memiliki Tabel 5. Tabel Hasil Uji Spearmen antara
komunikasi terapeutik yang sangat baik Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan
yaitu 2 perawat (3.0%). Tingkat Kecemasan Hospitalisasi Pada Anak
Usia Prasekolah (3-6 Tahun) Di Rumah Sakit
Tabel 3. Tabel Karakterisitik Berdasarkan Permata Bunda Malang
Tingkat Kecemasan Hospitalisasi Pada Tingkat Kecemasan
Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) Komunikasi r -0.904
Terapeutik
Prosentase Perawat p 0.000
Keterangan Frekuensi
% n 67
Kecemasan 1 1.5
Ringan Berdasarkan hasil uji korelasi
Kecemasan 26 38.8 spearman pada tabel diatas didapatkan
Sedang
nilai koefisiensi korelasi spearman (r hitung)
Kecemasan 30 44.8
Berat
sebesar -0.904 dengan p-value 0.000.
Panik 10 14.9 kurang dari α= 0.05. Hal ini menunjukkan
Total 67 100 bahwa terdapat korelasi antara komunikasi
terapeutik perawat dengan tingkat
kecemasan hospitalisasi pada anak.
Berdasarkan data tabel diatas dapat Koefisien korelasi spearman yang
diketahui dari 67 pasien anak didapatkan berbentuk sebesar -0.904 yang berarti
hasil bahwa sebagian besar pasien anak hubungan antara komunikasi terapeutik
mengalami kecemasan berat sebanyak 30 perawat dengan tingkat kecemasan
pasien (44.8%), sedangkan sebagian kecil hospitalisasi anak bersifat negatif atau
Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 53
.
PROFESIONAL HEALTH JOURNAL
Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

berlawanan arah dan memiliki kekuatan 0.904 yang berarti hubungan antara
hubungan sangat kuat. Apabila komunikasi komunikasi terapeutik perawat dengan
terapeutik perawat semakin baik maka tingkat kecemasan hospitalisasi anak
tingkat kecemasan hospitalisasi pada anak bersifat negatif atau berlawanan arah dan
semakin turun, demikian pula jika memiliki kekuatan hubungan sangat kuat
sebaliknya. dan nilai p sebesar 0.000 (α < 0,005). Hal
ini menunjukan bahwa hipotesis yang
diajukan diterima, yaitu Ho ditolak dan H1
PEMBAHASAN diterima. Berdasarkan kriteria uji tersebut
Berdasarkan data tabel diatas dapat maka dapat disimpulkan terdapat
diketahui bahwa 67 pasien anak sebagian hubungan antara komunikasi terapeutik
besar memiliki tingkat kecemasan berat perawat dengan tingkat kecemasan
sebanyak 30 pasien (44.8%) dan hospitalisasi pada anak usia prasekolah (3-
komunikasi terapeutik perawat kurang 6 tahun) di rumah sakit permata bunda
baik. Sedangkan sebagian kecil pasien malang.
anak memiliki tingkat kecemasan ringan Pelaksanaan komunikasi terapeutik
sebanyak 1 pasien anak (1.5%) dengan bertujuan membantu pasien menjelaskan
komunikasi terapeutik perawat tidak baik. dan mengurangi beban pikiran, perasaan,
Hal tersebut dikarenakan anak telah mengurangi keraguan dan mempercepat
memiliki pengalaman di rawat di Rumah interaksi kedua pihak antara perawat dan
Sakit sehingga anak sudah mengenal pasien sehingga dapat membantu
lingkungan Rumah Sakit. Sedangkan dilakukannya tindakan yang efisen
kecemasan berat di dapatkan sebanyak 30 (Marfoedz, 2009). Komunikasi perawat di
pasien dengan komunikasi terapeutik rumah sakit juga bertujuan agar pelayanan
kurang baik. Kecemasan berat ini banyak keperawatan yang diberikan berjalan
dialami dalam segi psikologis seperti anak efektif.
yang takut, cemas, dan khawatir terhadap Intervensi yang penting dilakukan
tindakan di Rumah Sakit serta lingkungan perawat yang merawat pasien anak
Rumah Sakit yang tidak nyaman. dirumah sakit pada prinsipnya untuk
Hasil penelitian tersebut didukung meminimalkan stresor, mencegah perasaan
dengan teori (Ramdaniati, 2011) jika anak kehilangan, meminimalkan rasa takut
mengganggap pengalaman dilakukan terhadap perlukaan dan nyeri serta
tindakan invasif bukanlah suatu memaksimalkan manfaat perawatan di
pengalaman yang mengancam tetapi rumah sakit. Terapi komunikasi terapeutik
pengalaman yang menyenangkan, anak juga merupakan salah satu cara yang
akan lebih kooperatif pada perawat efektif dalam mengatasi kecemasan pada
maupun dokter. Jika pengalaman tersebut anak yang dirawat di rumah sakit.
merupakan pengalaman yang tidak Hubungan perawat dengan pasien yang
menyenangkan akan menyebabkan anak terapeutik dapat memberikan pengalaman
trauma dan mengembangkan koping yang perbaikan emosi bagi pasien. Hal ini
tidak adaptif. menyebabkan perawat mengaplikasikan
Berdasarkan hasil uji statistik dirinya secara terapeutik dan memakai
dengan menggunakan korelasi Spearman berbagai teknik komunikasi agar perilaku
Rank kemudian dianalisis dengan pasien berubah ke arah yang positif
menggunakan fasilitas komputer program (Dalawi, E.Rochimah, Gustina, Roselina,
SPSS versi 16 dengan nilai r sebesar - E. Banon, 2009).

Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 54


.
PROFESIONAL HEALTH JOURNAL
Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

Maka dari hasil penelitian ini dapat kecemasan hospitalisasi pada anak
disimpulkan bahwa semakin baik usia prasekolah (3-6 tahun) sehingga
komunikasi terapeutik yang dilakukan mutu pelayanan Rumah Sakit tercapai.
perawat maka semakin turun tingkat c. Bagi Pendidikan
kecemasan hospitalisasi pada anak. Penelitian ini diharapkan untuk
Sebaliknya jika komunikasi terapeutik memperbanyak khasanah ilmu
perawat dilakukan kurang baik maka akan keperawatan dan menjadi suatu bahan
menyebabkan tingginya tingkat kecemasan masukan untuk penelitian-penelitian
yang terjadi pada anak. Dukungan keluarga lebih lanjut terkait dengan komunikasi
juga berperan penting dalam tingkat perawat dengan tingkat kecemasan
kecemasan pada anak. Anak akan merasa hospitalisasi pada anak usia
aman jika berada didekat orang-orang yang prasekolah (3-6 tahun).
dia sayangi. d. Bagi Orang Tua
Memberikan masukan dan motivasi
kepada orang tua untuk dapat
KESIMPULAN mengoptimalkan dukungan sosial
a. Dari seluruh pasien anak hampir kepada anaknya yang menjalani
setengahnya sebanyak 30 pasien anak perawatan di rumah sakit sehingga
dengan tingkat kecemasan berat yaitu dapat berpartisipasi dalam merawat
(44.8 %). anak dan dapat mengurangi
b. Dari seluruh perawat hampir setengah kecemasan anak yang menjalani
perawat sebanyak 30 perawat hospitalisasi.
memiliki komunikasi terapeutik yang
kurang baik yaitu (44.8 %).
c. Adanya hubungan antara komunikasi DAFTAR PUSTAKA
terapeutik perawat dengan tingkat Adriana, Dian, 2011. Tumbuh Kembang
kecemasan hospitalisasi pada anak dan Therapy Bermain pada anak.
usia prasekolah (3-6 tahun) di rumah Jakarta: Salemba Medika
sakit permata bunda malang.
Anggraini, Silvia. (2014). Hubungan
Komunikasi Terapeutik Perawat
SARAN Dengan Tingkat Kecemasan Pasien
Pre Operasi Di Irna Bedah Rsup. Dr.
a. Bagi Perawat
M. Djamil Padang. Padang: Other
Penelitian ini dapat menjadi suatu
thesis, Andalas University. Publikasi
informasi tentang hubungan
tahun 2014
komunikasi terapeutik perawat dengan
tingkat kecemasan hospitalisasi anak Bowden, Vicky R., & Greenberg. (2010).
usia prasekolah serta meningkatkan Pediatric Nursing Procedures 3th Ed.
kemampuan komunikasi terapeutik California: Lippincott Williams &
perawat dalam memberikan pelayanan Wilkins.
keperawatan.
b. Bagi Rumah Sakit Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar
Sebagai bahan masukan bagi rumah Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
sakit dalam rangka meningkatkan volume 2. Jakarta: EGC
mutu pelayanan, khususnya tentang
komunikasi perawat dengan tingkat
Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 55
.
PROFESIONAL HEALTH JOURNAL
Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

Dahlan, Sopiyudin M. 2013. Besar Sampel Potter, P. A & Perry, A.G. (2010). Buku
dan Cara Pengambilan Sampel. Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi
Jakarta: Salemba Medika keempat, Jakarta: EGC.
Gunarsa, S. D. 2011. Psikologi Potter, P. A.,& Perry, A. G. (2010). Buku
Perkembangan Anak dan Remaja. Ajar Fundamental Keperawatan.ed.7
Jakarta: BPK. Gunung Mulia buku 3. Jakarta: Salemba Medika
Hidayat, A. A. A. (2009). Pengantar Ilmu Ramdaniati, S. 2011. Analisis determinan
Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba kejadian takut pada anak pra sekolah
Medika. dan sekolah yang mengalami
hospitalisasi di Ruang Rawat Anak
Machfoedz I, et al. 2009. Metodologi RSU Blud dr. Slamet Garut. Tesis.
Penelitian Bidang Kesehatan, Universitas Indonesia.
Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran.
Yogyakarta: Fitramaya. Rahma, F. & Puspasari, Y. N. (2010).
Upaya Meningkatkan Daya Pikir Anak
Mubarak, W I dan Chayatin N, 2012, Ilmu Melalui Permainan Edukatif. Diakses
Keperawatan Komunitas Pengantar dan dari
Teori. Jakarta: Salemba Medika http://etd.eprints.ums.ac.id/9837/1/A52
0085042.pdf.
Mulyani et al. 2008. Komunikasi dan
Hubungan Terapeutik Perawat-Klien Severo, Richard. (2009). Play Eases The
terhadap Kecemasan Pra-Bedah Fears Of Hospitalized Children.
Mayor. Yogyakarta; 2008. www.nytimes.com diakses pada
tanggal 5 maret 2009.
Mundakir, 2010, Komunikasi Keperawatan
Aplikasi Dalam Pelayanan, Edisi 1 Stuart, G.W & Sundeen, S.J, 2008. Buku
saku keperawatan jiwa edisi 3. Jakarta:
Murwani, A & Istichomah (2009).
EGC.
Komunikasi Terapeutik Panduan Bagi
Perawat Yogyakarta: Fitramaya. Survei Kesehatan Nasional (SUSENAS).
Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Perilaku (2010). Jumlah anak usia prasekolah
Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. 2012 di indonesia. Diakses dari:
http://www.rand.org/labor/bps/susenas.
Nurhasanah, Nunung. (2010). Ilmu html pada tanggal: 11 november 2015.
Komunikasi Dalam Konteks
Keperawatan. Jakarta: TIM Sugiyono. (2014) Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Nursalam. (2013). Konsep dan Penerapan Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Metodologi Penelitian Ilmu Alfabeta.
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika. Sujatmiko, Budiman. 2013. Anak – Anak
Revolusi. Jakarta: Gramedia
dengan kecemasan anak prasekolah di
RSU PKU Muhammadiyah Gubug.
Sukarmin, Subiwati. (2014). Hubungan Jurnal Ilmu Keperawatan dan
antara lama hospitalisasi dan persepsi kebidanan. Vol.8 No.2 (2017) 19-24.
keluarga tentang perilaku perawat
Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 56
.
PROFESIONAL HEALTH JOURNAL
Volume 1, No. 2, Juni 2020 (Hal. 50-57)
Available Online at https:// https://www.ojsstikesbanyuwangi.com

Sumaryoko. (2011) Hubungan Tingkat Widianti, C. R. (2011). Pengaruh senam


Pendidikan dengan Tingkat otak terhadap kecemasan akibat
Pengetahuan Perawat tentang Terapi hospitalisasi pada anak usia
Bermain pada Anak di Rumah Sakit Se prasekolah di RS Panti Rapih
Wilayah Boyolali. Skripsi. Universitas Yogyakarta. Tesis Fakultas
Muhammadiyah Surakarta. Publikasi Keperawatan Universitas Indonesia.
tahun 2012. Publikasi tahun 2012
Supartini, Y., 2012, Buku Ajar Konsep Wong, L. Donna. 2009. Buku Ajar
Keperawatan Anak, EGC, Jakarta. Keperawatan Pediatrik. Vol. 1. Edisi 6.
Jakarta: EGC.

Febrianti, F.V., dkk., Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat 57


ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN STRES


HOSPITALISASI PADA ANAK USIA SEKOLAH 6 -12 TAHUN
DI IRINA E BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU
MANADO

Nelko Rudini Henwil Tewuh


Greta J.P Wahongan
Franly Onibala

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran


Universitas Sam Ratulangi Manado
Email : nelko.tewuh@yahoo.com

Abstract: Hospitalisasi is the process for a reason that is planning or emergency, requires that
children living in the hospital undergoing therapy, treatment until repatriation back home. Nurses
are required to have good communication in children that have an effect on the healing process
in terms of minimizing the stress hospitalization in children aged 6-12 years. This research aims
to know the relationship therapeutic communication a nurse with stress hospitalisasi on school
age children 6-12 years. Research methods cross sectional. The technique of sampling that is
accidental sampling of as many as 30 respondents. Statistic tests of fisher's exact test with a level
of significance α = 0.05. Research results suggest that therapeutic communication, orientation
phase with anxious because the separation is obtained a value p = 0,014. Orientation phase with
losing control of acquired value p = 0,004. Stage work phase with anxious because the separation
is obtained a value p = 0,019. Stage work phase with losing control of acquired value p = 0.047.
Termination phase with anxious because separation is obtained a value p = 0.005. The
termination phase loss obtained value p = 0,016. Conclusion with the respective test results can
be obtained results of the relationship communication nurse’s with stress hospitalization in
school age children 6-12 years.
Keywords: Therapeutic Communication, Stress Hospitalization

Abstrak: Hospitalisasi merupakan proses karena suatu alasan yang berencana atau darurat,
mengharuskan anak tinggal di rumah sakit menjalani terapi, perawatan sampai pemulangan
kembali ke rumah. Perawat dituntut memiliki komunikasi yang baik pada anak yang berefek
pada proses penyembuhan dalam kaitannya meminimalkan stres hospitalisasi pada anak usia 6-
12 tahun. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan
stres hospitalisasi pada anak usia sekolah 6-12 tahun. Metode penelitian cross sectional. Teknik
pengambilan sampel yaitu accidental sampling sebanyak 30 responden. Uji statistik fisher exact
test dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Hasil penelitian menunjukan bahwa komunikasi
terapeutik, tahap orientasi dengan cemas karena perpisahan didapatkan nilai p = 0,014. Tahap
orientasi dengan kehilangan kendali didapatkan nilai p = 0,004. Tahap kerja dengan cemas
karena perpisahan didapatkan nilai p = 0,019. Tahap kerja dengan kehilangan kendali didapatkan
nilai p = 0,047. Tahap terminasi dengan cemas karena perpisahan didapatkan nilai p = 0,005.
Tahap terminasi dengan kehilangan didapatkan nilai p = 0,016. Kesimpulan : Diperoleh hasil
adanya hubungan komunikasi perawat dengan stres hospitalisasi pada anak usia sekolah 6-12
tahun.
Kata Kunci : Komunikasi Terapeutik, Stres Hospitalisasi

1
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

PENDAHULUAN rupa yang dapat membantu seorang


Hospitalisasi merupakan proses karena pendengar atau penerima berita mengamati
alasan yang berencana, darurat, dan menyusun kembali dalam pikirannya
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah arti dan makna yang terkandung dalam
sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pikiran komunikator (Samidah, dkk. Buku
pemulangan kembali ke rumah. Selama perawatan anak).
proses, anak dan orang tua dapat mengalami Pada anak-anak yang dirawat di rumah
berbagai kejadian yang menurut beberapa sakit karena banyaknya permasalahan yang
penelitian ditunjukkan dengan pengalaman dialaminya baik yang berhubungan dengan
yang sangat traumatik dan penuh stres. sakitnya maupun karena ketakutan dan
Berbagai perasaan yang sering muncul pada kecemasannya terhadap situasi maupun
anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan prosedur tindakan , sering komunikasi
rasa bersalah (Wong, 2004). menjadi terganggu.
Dampak hospitalisasi menyebabkan Menurut penelitian Ainusi (2008) di
kecemasan dan stres pada semua tingkat usia ruangan anak RSUD Kota Semarang
termasuk anak. Pasien anak akan merasa Prosentase sikap perawat dalam komunikasi
nyaman selama perawatan dengan adanya terapeutik adalah 55,6 % sudah Baik dan
dukungan sosial keluarga, lingkungan 44,4 % kurang. Serta penelitian Cut (2012)
perawatan yang terapeutik, dan sikap dilakukan di Rumah Sakit Anak dan Bunda
perawat serta komunikasi yang terapeutik Harapan Kita Jakarta, hasil penelitian yang
yang mempercepat proses penyembuhan dilakukan terhadap 40 orang anak usia
(Nursalam, 2005). sekolah berdasarkan jenis kelamin, usia,
Stres merupakan bagian kehidupan yang lamanya hospitalisasi, dan pengalaman
memiliki efek positif dan negatif yang rawat terhadap tingkat stres, maka
disebabkan karena perubahan lingkungan. didapatkan hasil sebagai berikut;
Secara sederhana stres itu adalah kondisi berdasarkan jenis kelamin, anak perempuan
dimana adanya respon tubuh terhadap (52,2%) mengalami stres sedang.
perubahan mencapai keadaan normal, Berdasarkan usia sekolah, usia 6-9 tahun
seperti halnya anak yang dirawat (Wartonah, (45,5%) mengalami stres sedang.
2006), karena itu perawat harus dituntut Berdasarkan lamanya hospitalisasi, lama
memiliki komunikasi yang baik pada anak rawat kurang dari 3 hari (57,1%) mengalami
yang berefek pada proses penyembuhan. stres sedang. Dan berdasarkan pengalaman
Komunikasi terapeutik itu sendiri rawat, pernah dirawat sebelumnya (47,6%)
merupakan kata sifat yang dihubungkan dari mengalami stres sedang. Rata-rata anak usia
seni penyembuhan (Damaiyanti, 2010). sekolah mengalami stres sedang (47,5%)
Dimana komunikasi terapeutik itu saat menjalani hospitalisasi.
memfasilitasi proses penyembuhan seorang Berdasarkan data awal yang saya dapat,
pasien, terutama pasien anak usia sekolah. anak yang dirawat di ruangan IRINA E Atas
Komunikasi pada anak usia sekolah BLU Prof.DR.R.D. Kandou 3 bulan terakhir
merupakan suatu proses penyampaian dan yaitu Februari 2013 sebanyak 88 pasien,
transfer informasi yang melibatkan anak Maret 2013 sebanyak 117 pasien, April
usia sekolah, baik sebagai pengirim pesan 2013 sebanyak 120 pasien sedangkan
maupun penerima pesan. Dalam proses ini ruangan IRINA E Bawah BLU
melibatkan usaha-usaha untuk Prof.DR.R.D. Kandou Manado 3 bulan
mengelompokkan, memilih dan terakhir yaitu Januari 2013 sebanyak 333
mengirimkan lambang-lambang sedemikian pasien, Februari 2013 sebanyak 175 pasien,

2
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

Maret 2013 157 sebanyak pasien. Serta pertanyaan-pertanyaan saat penelitian,


pengalaman praktik klinik keperawatan, pasien anak yang mengalami penurunan
banyak anak selama dirawat di rumah sakit kesadaran dan menjalani perawatan
merasa takut, cemas karena lingkungan yang terminal.
baru. Perawat dan Dokter merupakan faktor Instrumen pengumpulan data dalam
yang membuat anak takut karena penelitian yang dilaksanakan, adalah
menggunakan pakaian putih serta alat-alat kuesioner yang terdiri dari: tahap orientasi
medis seperti suntik, thermometer membuat komunikasi terapeutik perawat, pengukuran
anak menjadi stres. Salah satu yang menggunakan skala Likert pemberian bobot,
dilakukan perawat untuk mengurangi rasa apabila menjawab ya diberi nilai 3, apabila
takut dan cemas anak yaitu dengan menjawab kadang-kadang diberi nilai 2, dan
berkomunikasi dengan pasien. apabila menjawab tidak diberi nilai 1.
Sehingga berdasarkan uraian diatas Pertanyaan terdiri dari 9 item. Untuk
peneliti merasa tertarik untuk mengetahui menentukan skor keseluruhan diperoleh
bagaimana hubungan komunikasi terapeutik berdasarkan nilai median. Tahap kerja
perawat dengan stres hospitalisasi pada anak komunikasi terapeutik perawat. Pengukuran
usia sekolah 6-12 tahun di IRINA E BLU menggunakan skala Likert pemberian
RSUP Prof.DR.R.D. Kandou Manado. bobot, apabila menjawab ya diberi nilai 3,
apabila menjawab kadang-kadang diberi
METODE PENELITIAN nilai 2, dan apabila menjawab tidak diberi
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik nilai 1. Pertanyaan terdiri dari 10 item.
menggunakan pendekatan Cross Sectional. Untuk menentukan skor keseluruhan
Tempat penelitian di IRINA E BLU RSUP diperoleh berdasarkan nilai median. Tahap
DR.R.D Kandou Manado, waktu penelitian terminasi komunikasi terapeutik perawat.
selama bulan Juni 2013. Populasi adalah Pengukuran menggunakan skala Likert
seluruh anak usia 6-12 tahun yang sedang di pemberian bobot, apabila menjawab ya
rawat di IRINA E BLU RSUP Prof.DR. diberi nilai 3, apabila menjawab kadang-
R.D. Kandou Manado. kadang diberi nilai 2, dan apabila menjawab
Sampel penelitian ini adalah tidak diberi nilai 1. Pertanyaan terdiri dari 6
keseluruhan dari populasi. Pengambilan item. Untuk menentukan skor keseluruhan
sampel menggunakan teknik pengambilan diperoleh berdasarkan nilai median.
Accidental Sampling. Jumlah anak yang di Kuesioner Cemas karena perpisahan,
rawat di IRINA E Januari-April 2013 yaitu menggunakan skala Guttman pemberian
990 (usia 1 bulan-12 tahun). Rata-rata anak bobot, apabila menjawab ya diberi nilai 2,
yang dirawat 990: 4 = 248/bulan. Adapun dan apabila menjawab tidak diberi nilai 1.
kriteria sampel penelitian ini adalah : Pertanyaan terdiri dari 4 item. Untuk
Kriteria inklusi penelitian ini adalah : pasien menentukan skor keseluruhan diperoleh
anak yang berusia 6-12 tahun dan bersedia berdasarkan nilai median. Kehilangan
menjadi responden, pasien anak yang kendali, menggunakan skala Guttman
berusia 6-12 tahun dirawat di Irina E 1 pemberian bobot, apabila menjawab ya
sampai 3 X 24 Jam, pasien anak yang sadar diberi nilai 2, dan apabila menjawab tidak
penuh dan mampu berkomunikasi. diberi nilai 1. Pertanyaan terdiri dari 4 item.
Sedangkan kriteria ekslusi dalam penelitian Untuk menentukan skor keseluruhan
ini adalah : pasien anak yang tidak bisa diperoleh berdasarkan nilai median.
membaca ,menulis, dan tidak kooperatif, Teknik Pengumpulan data primer dan
pasien anak yang menolak menjawab sekunder. Adapun prosedur pengumpulan

3
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

data administrasi sebelum penelitian Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan


dilakukan, peneliti meminta surat izin umur di Irina E BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
penelitian dari bagian akademik Program Kandou Manado
Studi Ilmu Keperawatan FK UNSRAT. Umur N %
Setelah itu mengajukan izin penelitian 6 tahun 5 16,7
7 tahun 4 13,3
kepada direktur BLU RSUP Prof. Dr. R. D. 8 tahun 5 16,7
Kandou Manado. Setelah mendapat surat 9 tahun 3 10,0
pengantar penelitian dari bagian diklit BLU 10 tahun 0 0
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. 11 tahun 10 33,3
Setelah itu koordinasi dengan kepala 12 tahun 3 10,0
Total 30 100,0
instalasi dan kepala ruangan untuk persiapan
pelaksanaan penelitian. Peneliti memberikan Sumber : Data Primer
penjelasan mengenai maksud dan tujuan Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan
penelitian dalam informed concent kepada komunikasi terapeutik tahap orientasi di
responden. Peneliti menyerahkan kuesioner Irina E BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
dan responden diberi kesempatan untuk Kandou Manado
Tahap Orientasi N %
memahami penelitian yang akan
Baik 23 76,7
dilaksanakan dengan membaca petunjuk
pengisian kuesioner serta pernyataan- Kurang 7 23,3
pernyataan yang ada di dalam kuesioner. Total 30 100,0
Peneliti mempersilahkan responden Sumber : Data Primer
untuk menandatangani lembar persetujuan Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan
jika responden bersedia. Responden yang komunikasi terapeutik tahap kerja di Irina E
bersedia dan sesuai dengan kriteria BLU RSUP Prof. Dr. R. D. KandouManado
penelitian, disilahkan untuk mengisi Tahap Kerja N %
kuesioner, dan apabila ada pernyataan yang Baik 25 83,3
kurang jelas dapat ditanyakan kepada Kurang 5 16,7
peneliti. Responden yang telah selesai Total 30 100,0
mengisi kuesioner, diminta untuk Sumber : Data Primer
mengumpulkan kuesionernya kepada Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan
peneliti. Pengolahan data yaitu editing, komunikasi terapeutik tahap terminasi di
koding, tabulasi data. Teknik analisa data Irina E BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
menggunakan univariat, bivariat. Etika Kandou Manado
penelitian meliputi: Informed consent, Tahap Terminasi N %
anonimity, confidentially. Baik 24 80,0
Kurang 6 20,0
HASIL dan PEMBAHASAN Total 30 100,0
Analisis Univariat Sumber : Data Primer
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan
jenis kelamin di Irina E BLU RSUP Prof.
cemas karena perpisahan di Irina E BLU
Dr. R. D. Kandou Manado RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Jenis Kelamin N %
Cemas Karena Perpisahan N %
Laki- laki 18 60,0
Cemas 9 30,0
Perempuan 12 40,0
Tidak cemas 21 70,0
Total 30 100,0
Total 30 100,0
Sumber : Data Primer Sumber : Data Primer

4
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan Berdasarkan penelitian komunikasi


kehilangan kendali di Irina E BLU RSUP terapeutik tahap kerja dengan cemas karena
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado perpisahan menunjukan terdapat hubungan
Kehilangan Kendali N % tahap kerja dengan cemas karena perpisahan
Hilang kendali 11 36,7 dengan nilai p = 0,019 dan nilai OR = 0,063
Tidak hilang kendali 19 63,3 kali peluang, serta tahap kerja baik = cemas
Total 30 100,0 sebanyak 5 orang, kurang = tidak cemas
Sumber : Data Primer sebanyak 1 orang. Penelitian ini terkait
Analisis Bivariat dengan Katinawati (2012), pada
Tabel 8. Komunikasi terapeutik tahap penelitiannya terapi bermain dengan teknik
orientasi dengan cemas karena perpisahan bercerita menurunkan kecemasan anak,
di Irina E BLU RSUP Prof. Dr. R. D. dimana terapi bermain bentuk komunikasi.
Kandou Manado Tabel 10. Komunikasi terapeutik tahap
terminasi dengan cemas karena perpisahan
Cemas Karena Perpisahan
di Irina E BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
Tahap Cemas Tidak Total P OR
Orientasi Cemas
Kandou Manado
N N N Cemas Karena Perpisahan
Baik 4 19 23 Tahap Cemas Tidak Total P OR
0,014 0,084 terminasi Cemas
Kurang 5 2 7 N N N
Total 9 21 30 Baik 4 20 24
Sumber : Data Primer 0,005 0,040
Kurang 5 1 6
Berdasarkan penelitian komunikasi Total 9 21 30
terapeutik tahap orientasi dengan cemas
karena perpisahan menunjukan menunjukan Sumber : Data Primer
terdapat hubungan tahap orientasi dengan Berdasarkan penelitian komunikasi
cemas karena perpisahan dengan nilai p = terapeutik tahap kerja dengan cemas karena
0,014 dan nilai OR 0,084 kali peluang, baik perpisahan menunjukan menunjukan
= cemas sebanyak 4 orang, kurang = tidak terdapat hubungan tahap terminasi dengan
cemas sebanyak 2 orang. Penelitian ini cemas karena perpisahan dengan nilai p =
sesuai dengan Anis (2009) adanya hubungan 0,005 dan nilai OR = 0,040 kali peluang,
komunikasi terapeutik dengan kepuasan serta tahap terminasi baik = cemas sebanyak
pasien. 4 orang, kurang = tidak cemas sebanyak 1
Tabel 9. Komunikasi terapeutik tahap kerja orang. Penelitian ini terkait dengan
dengan cemas karena perpisahan di Irina E penelitian dari Subardiah, (2009) adanya
BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pengaruh permainan terapeutik terhadap
Cemas Karena Perpisahan penurunan kecemasan perpisahan,
Tahap Cemas Tidak Total P OR kehilangan kontrol dan ketakutan anak
kerja Cemas selama hospitalisasi.
N N N
Baik 5 20 25
0,019 0,063
Kurang 4 1 5
Total 9 21 30
Sumber : Data Primer

5
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

Tabel 11. Komunikasi terapeutik tahap Berdasarkan penelitian komunikasi


orientasi dengan kehilangan kendali di Irina terapeutik tahap kerja dengan hilang kendali
E BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou menunjukan terdapat hubungan tahap kerja
Manado dengan kehilangan kendali dengan nilai p =
Kehilangan Kenda li 0,047 dan nilai OR = 0,097 kali peluang,
Tahap Hilang Tidak Total P OR serta tahap kerja baik = hilang kendali
Orienta Kendali Hilang sebanyak 7 orang, kurang = tidak hilang
si Kendali
kendali sebanyak 1 orang. Penelitian ini
N N N
terkait dengan penelitian dari Aidar (2011)
Baik 5 18 23
dimana pada penelitiannya menunjukan
0,004 0,046
adanya hubungan peran keluarga dengan
Kurang 6 1 7
tingkat kecemasan anak yang mengalami
Total 9 21 30 hospitalisasi.
Sumber : Data Primer
Berdasarkan penelitian komunikasi Tabel 13. Komunikasi terapeutik tahap
terapeutik tahap orientasi dengan kehilangan terminasi dengan kehilangan kendali di irina
kendali menunjukan terdapat hubungan E BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
tahap orientasi dengan hilang kendali Manado
dengan nilai p = 0,004 dan nilai OR = 0,046 Kehilangan Kendali
kali peluang, serta tahap orientasi baik = Tahap Hilang Tidak Total P OR
hilang kendali sebanyak 5 orang, kurang = Terminas Kendali Hilang
tidak hilang kendali sebanyak 1 orang. i Kenda li
N N N
Penelitian ini terkait dengan Evelina (2011)
pada penelitiannya peran perawat dalam Baik 6 18 24
pencegahan dampak hospitalisasi pada anak 0,016 0,067
di Rumah Sakit Umum Medan Kurang 5 1 6
menyimpulkan peran perawat berpengaruh Sumber : Data Primer
besar dalam pencegahan dampak Berdasarkan penelitian komunikasi
hospitalisasi pada anak salah satunya yaitu terapeutik tahap terminasi dengan hilang
kehilangan kendali, dimana salah satu peran kendali menunjukan komunikasi terapeutik
perawat anak yaitu pembina hubungan tahap terminasi sudah dilakukan dengan
terapeutik (Supartini, 2004). baik sebanyak 80,0 % dan hilang kendali
Tabel 12. Komunikasi terapeutik tahap kerja masih dialami oleh anak sebanyak 36,7 %,
dengan kehilangan kendali di Irina E BLU namun masih ada beberapa yang tidak
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado hilang kendali sebanyak 63,3 %. Dalam
Kehilangan Kenda li penelitian ini juga menunjukan terdapat
Tahap Hilang Tidak Total P OR hubungan tahap terminasi dengan
Kerja Kendali Hilang kehilangan kendali dengan nilai p = 0,016
Kendali dan nilai OR = 0,067 kali peluang, serta
N N N
tahap terminasi baik = hilang kendali
Baik 7 18 25
sebanyak 6 orang, kurang = tidak hilang
0,047 0,097
kendali sebanyak 1 orang. Penelitian ini
Kurang 4 1 5 terkait dengan penelitian Seila (2012) ada
Total 9 21 30 hubungan peran perawat dengan stres
Sumber : Data Primer hospitalisasi yaitu kehilangan kendali.

6
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

SIMPULAN Cut, (2012). Gambaran tingkat stres pada


Komunikasi terapeutik perawat pada anak anak usia sekolah selama
usia sekolah 6-12 tahun di IRINA E BLU hospitalisasi di Rumah Sakit Anak
RSUP Prof.DR.R.D. Kandou Manado dan Bunda Harapan Kita Jakarta,
sebagian besar baik, Stres hospitalisasi pada tahun 2012.
anak usia 6-12 tahun di IRINA E BLU http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/h
RSUP Prof.DR.R.D. Kandou Manado andle/123456789/1347 diakses
sebagian besar menunjukan tidak cemas dan tanggal 30 April 2013, jam 18.30
tidak hilang kendali, serta terdapat hubungan
komunikasi terapeutik perawat dengan stres Damaiyanti, M, (2010). Komunikasi
hospitalisasi pada anak usia sekolah 6-12 Terapeutik Dalam Praktik
tahun di IRINA E BLU RSUP Prof.DR.R.D. Keperawatan, Bandung: Refika
Kandou Manado. Aditama

DAFTAR PUSTAKA Evelina, S. (2011). Peran perawat dalam


Aidar, (2011). Hubungan Peran Keluarga pencegahan dampak hospitalisasi
dengan Tingkat Kecemasan Anak pada anak di rumah sakit umum di
Usia Sekolah (6-12 Tahun) yang medan, tahun 2011.
Mengalami Hospitalisasi Di Ruang http://repository.usu.ac.id/bitstream/1
III Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi 23456789/24631/6/Abstract.pdf
Medan, tahun 2011. diakses tanggal 30 Juni 2013, jam
http://repository.usu.ac.id/handle/123 13.00
456789/27095 diakses tanggal 04 Juli
2013, jam 09.30 Katinawati, (2012).Pengaruh Terapi
Bermain Dalam Menurunkan
Ainusi, (2008). Hubungan Pengetahuan Kecemasan Pada Anak Usia
dengan Sikap Perawat dalam Prasekolah (3-5 tahun) yang
Komunikasi Terapeutik pada Anak mengalami hospitalisasi Di RSUD
Usia Pra Sekolah Di Ruang Anak Tagurejo Semarang,tahun 2012.
RSUD Kota Semarang, tahun 2008. http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/i
http://eprints.undip.ac.id/9717/ di ndex.php/ilmukeperawatan/article/vie
akses tanggal 30 april 2013, Jam w/92 diakses tanggal 29 April 2013
18.00 2013, Jam 20.00

Anis, (2009). Hubungan Komunikasi Nursalam, S, U. (2005). Asuhan


Terapeutik Perawat Dengan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk
Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan perawat bayi dan anak). Jakarta:
Keperawatan Di Rumah Sakit Siti Salemba Medika
Khodijah Sepanjang, tahun 2009.
http://apps.um- Samidah, dkk. Buku perawatan anak
surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/um Universitas Hasanudin Makassar
surabaya-1912-anisrosiat-8-1- .
hubungan-.pdf diakses tanggal 30 Seila, (2012). Hubungan peran perawat
Juni 2013, jam 13.30 dengan stress hospitalisasi pada anak
usia sekolah 6-12 tahun di irina E
bawah RSUP Prof Kandou. Tidak
dipublikasikan online

7
ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 1. Nomor 1. Agustus 2013

Subardiah, I. (2009). Pengaruh permainan


terapeutik terhadap kecemasan,
kehilangan control, dan ketakutan
anak prasekolah selama dirawat di
RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi
Lampung. Tahun 2009.
Supartini, Y, (2004). Buku Ajar Konsep
Dasar Keperawatan Anak. Jakarta:
ECG.
Tarwotoh, W. (2006). Kebutuhan Dasar
Manusia, Jakarta: Salemba Medika
Wong. (2004). Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik, Jakarta:
Buku Kedokteran ECG

8
HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN
TINGKAT KECEMASAN ANAK USIA PRASEKOLAH YANG
DIRAWAT DI RSUD DR. SOEDARSO DAN RSU YARSI
PONTIANAK

DIVI SISWANTI
I1031131016

NASKAH PUBLIKASI

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan
Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah yang Dirawat
di RSUD Dr. Soedarso dan RSU Yarsi Pontianak
Divi Siswanti*, Ramadhaniyati**, Sukarni**
*Mahasiswa Keperawatan Studi Keperawatan Universitas Tanjungpura, **Dinas
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat

ABSTRAK

Latar Belakang :Anak prasekolah rentan terhadap penyakit, sehingga


menyebabkan anak harus dirawat di rumah sakit.Stresor utama pada anak yang
dirawat antara lain kecemasan karena perpisahan, kehilangan kontrol, perlukaan
dan nyeri. Kecemasan pada anak selama masa perawatan merupakan sebuah
fenomena yang seringkali terjadi di rumah sakit. Upaya untuk menurunkan
kecemasan anak dapat dilakukan melalui pelaksanaan teknik komunikasi
terapeutik perawat sebagai orang yang paling dekat dengan anak selama
perawatan di rumah sakit.
Tujuan:mengetahui hubungan teknik komunikasi terapeutik
perawatdengantingkat kecemasan anak usia prasekolah yang dirawat di RSUD dr.
Soedarso dan RSU Yarsi Pontianak
Metodologi:Analisa Korelasi Chi Square. Sampel berjumlah 30 responden
menggunakan teknik total samplingserta alat pengambilan data menggunakan
kuesioner.
Hasil: Didapatkan nilai p-value sebesar 0,017 (α = 0,05), dengan jenis kelamin
anak terbanyak yaitu perempuan (60,0%), lama rawat paling lama 1-3 hari
(56,7%). Pendidikan terbanyak DIII (73,3%), lama bekerja paling lama yaitu 1-3
tahun (22,9%). Data tingkat kecemasan masuk dalam kategori tinggi (56,7%), dan
komunikasi terapeutik perawat sebagian besar kurang baik (53,3%).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara teknik komunikasi terapeutik perawat
dengan tingkat kecemasan anak usia prasekolah yang dirawat di RSUD Dr.
Soedarso dan RSU Yarsi Pontianak.

Kata Kunci : Tingkat Kecemasan, Komunikasi Terapeutik Perawat


Referensi : 48 (2000-2015)

1
Therapeutic Communication Relationships Level Nurses
Anxiety of Preschoolers Preschooled atRSUD
Dr. Soedarso and RSU Yarsi Pontianak
Divi Siswanti*, Ramadhaniyati**, Sukarni**
*Nursing Student Tanjungpura University, **Departement Kalimantan Barat
Provincial Health

ABSTRACT

Background: Hospitalization forces children to stay and be hospitalized, this


condition can have an impact on preschoolers. The main stressors in treated
children include anxiety due to separation, loss of control, injury and pain.
Anxiety in children during hospitalization is a phenomenon that often occurs in
hospitals. Efforts to reduce child anxiety can be done through the therapeutic
communication of nurses as the person closest to the child during hospitalization.
Objective: to know therapeutic communication relationship of nurse with anxiety
level of preschool age children treated in dr. Soedarso and RSU Yarsi Pontianak
Methodology: Chi Square Correlation Analysis. Samples totaling 30 respondents
using total sampling technique and data collection tools using questionnaires.
Result: Obtained p-value of 0,017 (α = 0,05), with female child (60,0%), length
of stay 1-3 days (56,7%). The highest number of female sex is female (86,7%),
age 26-35 years (83,3%), education of DIII (73,3%). Data on anxiety levels fall
into the weight category (56.7%), and nurse therapeutic communication is mostly
poor (53.3%).
Conclusion: There is correlation between therapeutic communication of nurse
with anxiety level of preschool age children treated in RSUD Dr. Soedarso and
RSU Yarsi Pontianak.

Keywords: Anxiety Level, Therapeutic Communication Nurse


Reference: 48 (2000-2015)

2
PENDAHULUAN hidup mandiri (Hidayat, 2008).
Anak adalah individu yang masih Perkembangan anak usia prasekolah
memiliki ketergantungan pada orang sebagian besar sudah memiliki
dewasa dan lingkungan sekitarnya. keterampilan verbal dan mampu
Anak memerlukan lingkungan yang beradaptasi dengan berbagai situasi.
dapat memfasilitasi dalam kebutuhan Pada usia ini, anak membutuhkan
dasar serta belajar mandiri. Periode lingkungan yang nyaman untuk
usia perkembangan anak meliputi proses tumbuh kembangnya, seperti
periode pranatal dimulai dari lingkungan bermain dan teman
konsepsi sampai lahir, masa bayi sepermainan yang menyenangkan.
dimulai dari lahir sampai 1 tahun, Anak belum mampu membangun
masa kanak-kanak awal 1 sampai 6 suatu gambaran mental terhadap
tahun, pada periode ini dibagi pengalaman kehidupan sebelumnya
menjadi dua, yaitu Toodler dan sehingga dengan demikian harus
Prasekolah (3 sampai 6 tahun). menciptakan pengalamannya sendiri
Periode ini berasal dari waktu anak- (Soetjiningsih, 2013).
anak dapat bergerak sambil berdiri Anak usia prasekolah
sampai mereka masuk sekolah, merupakan populasi yang sangat
ditandai dengan aktivitas yang tinggi. rentan terhadap penyakit karena di
Periode ini merupakan usia ini, anak aktif untuk bermain
perkembangan fisik dan kepribadian dan rasa ingin tahunya tinggi, anak
yang besar. Perkembangan motorik cenderung mencoba apapun untuk
berlangsung terus-menerus. Masa dilakukan, sehingga dapat
kanak-kanak pertengahan 6 sampai menyebabkan anak terpapar
12 tahun. Masa kanak-kanak akhir lingkungan dan menyebabkan anak
11 sampai 19 tahun (wong, 2008). mudah terserang penyakit. sebagian
Anak usia prasekolah 3-6 besar anak usia prasekolah sudah
tahun sudah mampu menjalani toilet training, sehingga
mengembangkan kreativitas dan anak rentan terkontaminasi
sosialnya untuk berinteraksi dengan lingkungan oleh urine dan feses yang
orang lain dan akan mulai belajar akan menyebabkan terserang

3
penyakit. Penyakit yang sering banyak mengalami masalah yang
menyerang anak prasekolah yaitu lebih serius dan kompleks
cacar air (varisela), campak (rubela), dibandingkan kejadian hospitalisasi
diare, Hepatitis A, meningitis otitis pada tahun-tahun sebelumnya.
media, infeksi saluran pernapasan Timbul tantangan-tantangan yang
(Wong, 2009). Selain itu, anak harus dihadapi anak, seperti
prasekolah merupakan populasi yang mengatasi suatu perpisahan,
sangat rentan terutama ketika penyesuaian dengan lingkungan yang
menghadapi situasi yang membuat asing baginya, penyesuaian dengan
cemas dan stress, yaitu salah satunya banyak orang yang mengurusnya,
lingkungan yang baru seperti harus berhubungan dan bergaul
lingkungan rumah sakit dengan anak-anak lain yang sakit
(hospitalisasi). Hal ini dikarenakan serta harus menerima terapi yang
kemampuan koping yang digunakan menyakitkan.
oleh orang dewasa berbeda, pada Penelitian membuktikan
anak-anak koping belum bahwa hospitalisasi anak dapat
berkembang dengan sempurna (Kyle menjadi suatu permasalahan yang
& Carman, 2015). menimbulkan trauma baik bagi anak
Sakit pada anak usia maupun orang tua sehingga
prasekolah, merupakan sesuatu yang menimbulkan reaksi tertentu yang
menakutkan. Selain itu, perawatan di akan sangat berdampak pada
rumah sakit dapat menimbulkan kerjasama anak dan orang tua dalam
cemas karena anak merasa perawatan anak selama di rumah
kehilangan lingkungan yang sakit (Supartini, 2004). Berdasarkan
dirasakanya aman, penuh kasih survei dari WHO pada tahun 2008,
sayang, dan menyenangkan. Anak hampir 80% anak mengalami
juga harus meninggalkan lingkungan perawatan di rumah sakit. Sedangkan
rumah yang dikenalnya, permainan, di Indonesia sendiri berdasarkan
dan teman sepermainannya survei kesehatan ibu dan anak tahun
(Supartini, 2004). Kondisi anak yang 2010 didapatkan hasil bahwa dari
dirawat di rumah sakit saat ini 1.425 anak mengalami dampak

4
hospitalisasi, dan 33,2% diantaranya Hospitalisasi merupakan
mengalami dampak hospitalisasi proses karena suatu alasan bencana
berat, 41,6% mengalami dampak atau darurat yang mengharuskan
hospitalisasi sedang, dan 25,2% anak untuk tinggal di rumah sakit,
mengalami dampak hospitalisasi menjalani terapi dan perawatan
ringan (Rahma & Puspasari, 2010). sampai pemulangannya kembali ke
Berdasarkan studi rumah. Meskipun demikian dirawat
pendahuluan di ruang anak RSUD di rumah sakit merupakan masalah
Dr. Soedarso Pontianak, tahun 2016 besar yang menimbulkan ketakutan
terdapat 707 anak yang mengalami dan cemas bagi anak. Hospitalisasi
perawatan di rumah sakit, 80% anak juga dapat diartikan adanya beberapa
yang dirawat menunjukkan tanda perubahan psikis yang dapat menjadi
kecemasan, seperti wajah menjadi sebab anak di rawat dirumah sakit.
kemerahan, keringat dingin, gelisah, Ada beberapa dampak hospitalisasi
ketegangan fisik, gemetar, dan pada anak, salah satunya adalah
menghindar. Ruang anak RSUD dr. kecemasan (Supartini, 2012).
Soedarso Pontianak sudah diterapkan Kecemasan merupakan
komunikasi terapeutik antara perawat kondisi emosional yang tidak
dan anak. Belum ada upaya menyenangkan yang ditandai oleh
penerapan komunikasi terapeutik perasaan-perasaan subjektif atau
yang baik pada anak usia prasekolah perasaan yang tidak diketahui jelas
selama dirawat di rumah sakit, sebabnya atau sumbernya seperti
sehingga memungkinkan kecemasan ketegangan, ketakutan, dan
anak lebih panjang masanya. Hal ini kekhawatiran. Respon anak terhadap
merupakan hal yang penting bagi kecemasan bervariasi, dipengaruhi
rumah sakit yang berupaya oleh berbagai faktor seperti usia
memberikan pelayanan keperawatan perkembangan anak, jenis kelamin,
terbaik bagi masyarakat, sehingga lama perawatan, dan pengalaman
mampu mencegah gangguan sebelumnya terhadap sakit (Widianti,
perkembangan pada anak. 2011).

5
Anak usia prasekolah respon fisiologis, biasanya anak juga
biasanya mengalami separation akan menampakkan respon perilaku,
anxiety atau kecemasan perpisahan seperti gelisah, ketegangan fisik,
karena anak harus berpisah dengan tremor atau gemetar, reaksi kaget,
lingkungan yang dirasakannya aman, bicara cepat, menghindar, hingga
nyaman, penuh kasih sayang, dan menarik diri dari hubungan
menyenangkan seperti lingkungan interpersonal. Respon kognitif yang
rumah, permainan, dan teman mungkin muncul adalah perhatian
sepermainannya (Ardiningsih S, dkk, terganggu, pelupa, salah dalam
2006). Berdasarkan hasil penelitian memberikan penilaian, hambatan
yang dilakukan Januarsih (2014) berpikir, tidak mampu
menunjukkan dari 20 responden berkonsentrasi, dan ketakutan.
frekuensi tertinggi anak dengan Sedangkan respon afektif yang biasa
tingkat kecemasan berat, yaitu muncul adalah tidak sabar, tegang,
sebanyak 14 responden (70%), dan waspada (Stuart & Sundeen,
frekuensi terendah anak dengan 2007).
tingkat kecemasan sedang, yaitu Perasaan cemas merupakan
sebanyak 6 responden (30%). dampak dari hospitalisasi yang
Anak yang mengalami dialami oleh anak karena
kecemasan akan memunculkan menghadapi stressor (hal yang dapat
respon fisologis, seperti perubahan menimbulkan stress) yang ada
pada sistem kardiovaskuler, dilingkungan rumah sakit
perubahan pola nafas yang semakin (Sujatmiko, 2013). Dampak dari
cepat atau terengah-engah. Selain itu, kecemasan pada anak yang
dapat pula terjadi perubahan pada menjalani perawatan, apabila tidak
sistem pencernaan dan segera ditangani akan membuat anak
neuromuscular seperti nafsu makan melakukan penolakan terhadap
menurun, gugup, tremor, hingga tindakan perawatan dan pengobatan
pusing dan insomnia. Kulit yang diberikan sehingga akan
mengeluarkan keringat dingin dan berpengaruh terhadap lamanya hari
wajah menjadi kemerahan. Selain rawat anak dan dapat memperberat

6
kondisi penyakit yang diderita anak dengan anak selama perawatan di
(Widianti, 2011). rumah sakit. Sekalipun anak menolak
Untuk mengurangi dampak orang asing (perawat), namun
akibat hospitalisasi yang dialami perawat harus tetap memberikan
anak selama menjalani perawatan, dukungan dengan meluangkan waktu
diperlukan suatu media yang dapat secara fisik dekat dengan anak
mengungkapkan rasa cemasnya yaitu menggunakan komunikasi yang baik
dengan terapi bermain (Sujatmiko, yaitu suara bernada tenang, pilihan
2013). kata yang tepat, kontak mata dan
Upaya untuk mengatasi sentuhan secara empati (Wong,
kecemasan pada anak antara lain 2008).
yang pertama melibatkan orang tua Komunikasi terapeutik
anak, agar orang tua berperan aktif merupakan komunikasi yang
dalam perawatan anak dengan cara direncanakan secara sadar, yang
membolehkan mereka untuk tinggal bertujuan dan kegiatannya
bersama anak selama 24 jam. Jika dipusatkan untuk kesembuhan pasien
tidak mungkin, beri kesempatan (Indrawati, 2003). Komunikasi
orang tua untuk melihat anak setiap terapeutik merupakan komunikasi
saat dengan maksud untuk yang mempunyai efek penyembuhan
mempertahankan kontak antara karena komunikasi terapeutik
mereka. Yang kedua melakukan merupakan salah satu cara untuk
modifikasi lingkungan rumah sakit, memberikan informasi yang akurat
agar anak tetap merasa nyaman dan dan membina hubungan saling
tidak asing dengan lingkungan baru. percaya terhadap klien, sehingga
Upaya yang ketiga adalah peran dari klien akan merasa puas dengan
petugas kesehatan rumah sakit pelayanan yang diterimanya. Apabila
(dokter, perawat), dimana diharapkan perawat dalam berinteraksi dengan
petugas kesehatan khususnya klien tidak memperhatikan sikap dan
perawat harus menghargai sikap teknik dalam komunikasi terapeutik
anak karena selain orang tua perawat dengan benar dan tidak berusaha
adalah orang yang paling dekat untuk menghadirkan diri secara fisik

7
yang dapat memfasilitasi komunikasi komunikasi terapeutik perawat
terapeutik, maka hubungan yang baik dengan tingkat kecemasan pada anak
antara perawat dengan klienpun akan prasekolah di ruang perawatan anak
sulit terbina (Anggraini, 2009). RSUD ambarawa, hasil dari
Komunikasi terapeutik antara penelitian ini menunjukan adanya
perawat dan anak adalah hubungan hubungan pelaksanaan komunikasi
kerjasama yang ditandai dengan terapeutik perawat dengan tingkat
tukar-menukar perilaku, perasaan, kecemasan pada anak prasekolah di
pikiran, pengalaman dalam membina ruang perawatan anak RSUD
hubungan intim yang terapeutik. ambarawa.
Dalam proses membina hubungan Berdasarkan hasil penelitian
terapeutik perawat harus yang dilakukan oleh Santoso, dkk
menyesuaikan dengan tingkat (2013) dengan penelitian yang
perkembangan anak dalam berjudul pengaruh penerapan
menyadari dan mengidentifikasi komunikasi terapeutik perawat
masalah dan membantu dalam terhadap tingkat kecemasan anak
pemecahan masalah (Stuart & usia prasekolah yang menjalani
Sudden, 2007). hospitalisasi di RSUD Tugurejo
Cara berkomunikasi pada Semarang. Hasil dari penelitian ini
anak berbeda dengan komimikasi menunjukkan adanya pengaruh
terapeutik pada orang dewasa. penerapan komunikasi terapeutik
Komunikasi terapeutik pada anak perawat terhadap tingkat kecemasan
hendaknya selalu memperhatikan anak usia prasekolah yang menjalani
nada suara, jarak interaksi dengan hospitalisasi di RSUD Tugurejo
anak, sentuhan yang diberikan Semarang.
kepada anak harus atas persetujuan Berdasarkan hasil penelitian
anak (Mundakir, 2006). yang dilakukan oleh Winokan, dkk
Pada penelitian terkait (2015) dengan penelitian yang
komunikasi terapeutik perawat yang berjudul hubungan komunikasi
dilakukan oleh Hannan, dkk (2013) terapeutik perawat dengan tingkat
dengan judul hubungan pelaksanaan kecemasan anak usia 5-12 tahun

8
dalam pelaksanaan pemasangan infus variabel bebas maupun variabel
diruang perawatan anak RSUD terikat dilakukan pada suatu saat atau
lapangan sawang Kabupaten satu periode tertentu pada waktu
Kepulauan Sitaro. Hasil dari yang bersamaan (Dharma, 2011).
penelitian ini menunjukkan adanya Populasi pada penelitian ini
hubungan komunikasi terapeutik yaitu semua perawat yang ada di
perawat dengan tingkat kecemasan ruang anak RSUD Dr. Soedarso dan
anak usia 5-12 tahun dalam RSU Yarsi Pontianak dan anak-anak
pelaksanaan pemasangan infus yang menjalani hospitalisasi di
diruang perawatan anak RSUD RSUD Dr. Soedarso dan RSU Yarsi
lapangan sawang Kabupaten Pontianak Tahun 2017.Teknik
Kepulauan Sitaro. pengambilan sampel yaitu
METODE menggunakan total sampling yaitu
Penelitian ini merupakan jenis perawat yang bekerja di ruang anak
penelitian kuantitatif non eksperimen dan anak usia prasekolah yang di
dengan menggunakan desain rawat di ruang perawatan anak
penelitian Observasional Analitik RSUD Dr. Soedarso Pontianak
karena penelitian ini hanya dalam bulan Juli 2017, sebanyak 20
mengamati tanpa memberikan perawat dan 20 anak. Perawat yang
perlakuan yang bertujuan untuk bekerja di ruang anak dan anak usia
mengungkapkan hubungan korelatif prasekolah yang dirawat di RSU
antar variabel yaitu penelitian untuk Yarsi Pontianak dalam bulan Juli
mengetahui hubungan komunikasi 2017, sebanyak 10 perawat dan 10
terapeutik perawat terhadap tingkat anak. Total sampel dalam penelitian
kecemasan anak usia prasekolah ini, sebanyak 30 perawat dan 30
yang menjalani hospitalisasi di anak.
RSUD Dr. Soedarso dan RSU Yarsi Instrumen dalam penelitian ini
Pontianak dengan pendekatan Cross berupa kuesioner/angket, observasi
Sectional. Penelitian ini dan wawancara. Dimana peneliti
menggunakan pendekatan Cross akan melakukan wawancara kepada
Sectional karena pengumpulan data orangtua anak usia prasekolah yang

9
menjalani hospitalisasi di RSUD Dr. karakteristik dari responden anak
Soedarso dan RSU Yarsi Pontianak, berupa jenis kelamin dan lama rawat.
selanjutnya memberikan kuesioner Karakteristik dari responden perawat
yang berisi pernyataan untuk berupa pendidikan dan lama bekerja.
mengetahui tingkat kecemasan anak Sedangkan analisa bivariat
serta peneliti melakukan observasi menggunakan uji Statistik Uji
secara langsung kepada responden. Analisa korelasi Chi Square
Kemudian peneliti mengobservasi dilakukan untuk mengetahui
perawat terhadap teknik komunikasi hubungan komunikasi terapeutik
perawat anak untuk mengisi lembar perawat dengan tingkat kecemasan
kuesioner teknik komunikasi perawat anak usia prasekolah yang dirawat di
anak. ruang anak RSUD Dr. Soedarso dan
Pada penelitian ini, analisa RSU Yarsi Pontianak.
univariatemenjelaskan tentang

HASIL PENELITIAN
Analisis univariat dalam berupa pendidikan dan lama bekerja.
penelitian ini menjelaskan tentang Adapun karakteristik responden yang
karakteristik dari responden anak diperoleh dari kuesioner
berupa jenis kelamin dan lama rawat. sebagaimana terdapat dalam tabel
Karakteristik dari responden perawat berikut.

Tabel 1. Karakteristik Responden Anak (n=30)

Variabel f %

Jenis Kelamin 12 40,0


Laki-laki 18 60,0
Perempuan
Lama Rawat 17 56,7
1-3 hari 11 36,7
4-6 hari 2 6,7
7-10 hari
Sumber : data primer yang telah dilah 2017

10
Berdasarkan table 1 perempuan sebanyak 18 orang
menunjukkan bahwa sebagian besar (60,0%), dan dengan lama rawat
pasien anak di dua Rumah Sakit paling lama yaitu 1-3 hari sebanyak
Pontianak memiliki jenis kelamin 17 orang (36,7%)

Tabel 2. Karakteristik Responden Perawat (n=30)


Variabel f %
Pendidikan
S1 8 26,7
DIII 22 73,3
Lama Bekerja
< 1 tahun 1 1,4
1-3 tahun 16 22,9
4-5 tahun 13 16,8

Sumber : data primer yang telah diolah 2017

Berdasarkan tabel DIII sebanyak 22 orang (73,3%) dan


2dengan UjiBerdasarkan tabel 4.2 dengan rentang lama bekerja terlama
menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 1-3 tahun sebanyak 16 orang
perawat dengan tingkat pendidikan (22,9%).

Tabel 3 Data Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan di RSUD


Dr. Soedarso dan RSU Yarsi Pontianak (n=30)
Variabel f %
Tingkat Kecemasan
Rendah 11 36,7
Tinggi 19 63,3
Komunikasi Terapeutik Perawat
Kurang Baik 16 53,3
Baik 14 46,7
Sumber: data primer yang telah diolah 2017

Tabel 3 menunjukkan bahwa yaitu sebanyak 19 orang (63,3%).


kecemasan pada anak usia Komunikasi terapeutik perawat
prasekolah yang menjalani sebagian besar dalam kategori
hospitalisasi di RSUD Dr. Soedarso kurang baik yaitu sebanyak 16 orang
dan RSU Yarsi Pontianak sebagian (53,3%)
besar masuk dalam kategori tinggi

11
Analisa korelasi Chi Square anak usia prasekolah yang dirawat di
dilakukan untuk mengetahui ruang anak RSUD Dr. Soedarso dan
hubungan komunikasi terapeutik RSU Yarsi Pontianak. Adapun
perawat dengan tingkat kecemasan hasilnya dapat dilihat di baawah ini :

Tabel 4 Hasil Analisa kolerasi Chi Square Hubungan Komunikasi Terapeutik


Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Anak UsiaPrasekolah Yang Dirawat di
RSUD Dr. Soedarso dan RSU Yarsi Pontianak
Komunikasi Terapeutik Perawat
Total P value
Keemasan
Kurang Baik Baik
f % f % F %
Rendah 9 30,0 2 6,7 11 36,7
Tinggi 7 23,3 12 40,0 19 63,3 0,017
Total 16 53,3 14 46,7 30 100
Sumber : data primer yang telah diolah 2017

Data pada tabel 4 Hasil uji statistik didapatkan


menunjukkan bahwa sebagian besar nilai p = 0,017, sehingga artinya ada
responden tingkat kecemasannya hubungan antara komunikasi
tinggi (63,3%). Dari 30 responden terapeutik perawat dengan tingkat
tersebut, sebagian besar perawat kecemasan anak usia prasekolah
melakukan komunikasi terapeutik yang dirawat di RSUD Dr. Soedarso
yang baik 14 orang (46,7%) dan 16 dan RSU Yarsi Pontianak.
responden (53,3%) melakukan
komunikasi terapeutik yang kurang
baik.

PEMBAHASAN

Dari hasil uji statistik korelasi anak usia prasekolah. Hasil


Chi Square didapat nilai koefisien penelitian ini sejalan dengan teori
korelasi sebesar 0,017 atau lebih yang dikemukakan oleh Supartini
kecil dari p < 0,05 yang bermakna (2004) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan reaksi anak saat dirawat di rumah
antara teknik komunikasi terapeutik sakit adalah kecemasan karena
perawat dengan tingkat kecemasan perlukaan tubuh, dan rasa nyeri

12
reaksi anak yang menunjukkan pasien memecahkan masalah yang
perilaku antara lain menolak makan, dihadapi. Komunikasi terapeutik
sering bertanya, tidak kooperatif defenisikan sebagai komunikasi yang
terhadap petugas kesehatan bahkan direncanakan secara sadar, bertujuan
menunjukkan reaksi agresif, marah, dan kegiatan di pusatkan untuk
berontak, tidak mau bekerja sama kesembuhan pasien, sehingga
dengan perawat. mempengaruhi tingkat kecemasan
Hasil analisis hubungan pasien selama menjalani masa
teknik komunikasi terapeutik perawatan. Pelaksanaan komunikasi
perawat dengan tingkat kecemasan terapeutik bertujuan membantu
pada anak prasekolah di ruang anak pasien menjelaskan dan mengurangi
diperoleh hasil bahwa responden beban pikiran, perasaan, mengurangi
yang menyatakan pelaksanaan teknik keraguan dan mempercepat interaksi
komunikasi terapeutik perawat dalam kedua pihak antara perawat dan
kategori kurang dengan kecemasan pasein sehingga dapat membantu
pada anak prasekolah kategori tinggi dilakukannya tindakan yang efisien
sebanyak 19 dari 30 orang (63,3%). (Machfoedz, 2009).
Teknik komunikasi terapeutik Komunikasi perawat di
berfungsi untuk mengembangkan rumah sakit juga bertujuan agar
pribadi pasien kearah yang lebih pelayanan keperawatan yang
positif atau adaptif dan diarahkan diberikan berjalan efektif. Intervensi
pada pertumbuhan pasien. yang penting dilakukan petugas yang
Komunikasi terapeutik juga merawat anak di rumah sakit pada
memberikan kontribusi dalam prinsipnya untuk meminimalkan
menggunakan pelayanan kesehatan stressor, mencegah perasaan
atau perawatan kepada anak dan kehilangan, meminimalkan rasa takut
sebagai sarana untuk mempercepat terhadap perlukaan dan nyeri serta
proses penyembuhan. memaksimalkan manfaat perawatan
Komunikasi terapeutik di rumah sakit. Terapi komunikasi
memegang peranan penting dalam terapeutik juga merupakan salah satu
membantu pasien dalam membantu cara yang efektif dalam mengatasi

13
kecemasan pada anak yang dirawat Menurut Wong (2008)
di rumah sakit. Hubungan perawat lingkungan yang asing, sikap protes
dengan pasien yang terapeutik dapat dan menolak makan akan semakin di
memberikan pengalaman perbaikan dukung saat menghadapi petugas
emosi bagi pasien. Hal ini kesehatan (perawat atau dokter),
menyebabkan perawat kebiasaan yang berbeda dan prosedur
mengaplikasikan dirinya secara penyembuhan. Anak harus
terapeutik dan memakai berbagai menjalani prosedur yang tidak
teknik komunikasi agar perilaku menyenangkan dan menimbulkan
pasien berubah ke arah yang positif nyeri (disuntik, diinfus, dan
(Dalawi, E., Rochimah, Gustina, sebagainya). Penyakit dan
Roselina, E., Banon, E., 2009). hospitalisasi menjadi masalah utama
Cara berkomunikasi pada yang harus di hadapi anak.
anak berbeda dengan orang dewasa. Faktor lain yang
Komunikasi terapeutik pada anak menyebabkan kecemasan yaitu
hendaknya selalu memperhatikan teknik komunikasi terapeutik
nada suara, jarak interaksi dengan perawat. Semakin baik komunikasi
anak, sentuhan yang diberikan yang dilakukan perawat dengan
kepada anak harus atas persetujuan pasien maka angka kecemasan pada
anak (Munandar, 2006). Apabila anak akan semakin berkurang.
perawat dalam berinteraksi dengan Sebaliknya jika komunikasi
pasien tidak memperhatikan sikap terapeutik perawat dilakukan kurang
dan teknik dalam komunikasi baik maka akan menyebabkan
terapeutik dengan benar dan tidak tingginya tingkat kecemasan yang
berusaha untuk menghadirkan diri terjadi pada anak. Dukungan
secara fisik yang dapat memfasilitasi keluarga juga berperan penting
komunikasi terapeutik, maka dalam tingkat kecemasan pada anak.
hubungan yang baik antara perawat Anak akan merasa aman jika berada
dengan pasein pun akan sulit terbina didekat orang-orang yang dia
(Anggraini, 2009). sayangi.

14
KESIMPULAN Keperawatan. Jakarta: Trans
Info Media.
Berdasarkan hasil dan
Hastono, S. P. & Sabri (2010).
analisis penelitian, secara umum Statistik Kesehatan. Jakarta:
dapat disimpulkan bahwa Terdapat PT. Raya Grafindo Persada.
hubungan yang bermakna antara Hannan, dkk(2012). Hubungan
Pelaksanaan Komunikasi
komunikasi terapeutik perawat
Terapeutik Perawat dengan
dengan tingkat kecemasan pada anak Tingkat Kecemasan pada
usia prasekolah yang dirawat di Anak Usia Prasekolah di
Ruang Perawatan Anak
RSUD Dr. Soedarso dan RSU Yarsi
RSUD Ambarawa.Jurnal
Pontianak. Keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA Hidayat. (2008). Metode Penelitian


Keperawatan dan Teknik
Adriana, D. (2011). Tumbuh Analisa Data. Jakarta:
Kembang dan Therapy Salemba Medika.
Bermain Pada Anak. Jakarta: Hidayat, A.(2010). Metode
Salemba Medika. Penelitian Kesehatan :
Apriany, D. (2013). Hubungan Paradigma Kuantitatif.
Antara Hospitalisasi Anak Surabaya: Health Books
Dengan Tingkat Kecemasan Publishing.
Pada Orang Tua. Jurnal Hurlock, E. B. (2010). Psikologi
Keperawatan Soedirman Perkembangan : Suatu
(The Soedirman Journal of Pendekatan Sepanjang
Nursing), Volume 8, Hal. 92- Rentang Kehidupan. Jakarta:
104. Erlangga.
Asmayanty. (2009). Hubungan Lama Hurlock, E. B. (2011). Psikologi
Hospitalisasi Dengan Tingkat Perkembangan : Suatu
Kecemasan Perpisahan Pendekatan Sepanjang
Akibat Hospitalisasi pada Rentang Kehidupan. Jakarta:
Anak Usia Prasekolah di Erlangga.
RSU PKU Muhammadiyah
Bantul. Jurnal Keperawatan. Keliat B, dkk. (2006). Proses
Keperawatan JiwaEdisi II.
Bezt, C. & Sowden, L. (2009). Buku Jakarta: EGC.
Saku Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC. Kyle, T. & Susan, C. (2015). Buku
Ajar Keperawatan Pediatri
Dharma, Kelana K. (2015). (Volume 1). Jakarta: EGC.
Metodologi Penelitian

15
Lumiu, Stella Engel, dkk (2013). Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi
Hubungan Dukungan Penelitian Kesehatan.
Keluarga dengan Tingkat Jakarta: Rineka Cipta.
Kecemasan Akibat
Nursalam, dkk. (2005). Asuhan
Hospitalisasi pada Anak di
Keperawatan Bayi dan Anak.
Usia Prasekolah di IRINA E
Jakarta: Salemba Medika.
BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Ejournal Patmonodewo, S (2008). Pendidikan
Keperawatan. Volume I. Anak Usia Prasekolah.
Jakarta : Rineka Cipta.
Margono. (2013). Metodologi
Penelitian Pendidikan. Putra, Ardia. (2013). Hubungan
Jakarta: Rineka Cipta. Komunikasi Terapeutik
Perawat dengan Tingkat
Montolalu. (2008). Bermain
Kepuasan Pasien di Ruang
Permainan Anak . Jakarta:
Rawat Inap RSUD Dr.
Universitas Terbuka.
Zainoel Abidin.Jurnal Ilmu
Mubin, M. F & Dessy M. H. (2010). Keperawatan.
Faktor-Faktor yang
Sabri, H. D. (2012). Statistik
Berhubungan dengan
Kesehatan. Jakarta: Rajawali
Kecemasan pada Anak Usia
Pers.
Prasekolah di Bangsal Melati
RSUD Tugurejo Santoso, S. (2010). Teori-Teori
Semarang.FIKKes.Jurnal Psikologi Sosial. Bandung:
Keperawatan.Volume 3 Refika Aditama.
Marfuedz, (2005). Metodologi Santoso, Dwi A, dkk. (2012).
Penelitian Bidang Kesehatan, Pengaruh Penerapan
Keperewatan, Kebidanan, Komunikasi Terapeutik
Kedokteran. Yogya: Perawat Terhadap Perilaku
Fitramaya. Kooperatif Anak Usia
Toodler di RSUD Tugurejo
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan
Semarang: Jurnal
dan Perilaku Kesehatan.
Keperawatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Soetjiningsih, Gde Ranuh IGN
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi
(2013). Tumbuh Kembang
Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Anak. Jakarta: EGC.
Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta. Stuart, G. (2007). Buku Saku
Keperawatan JiwaEdisi V.
Notoatmodjo, S. (2010). Metode
Jakarta: EGC.
Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.

16
Stuart & Sudden. (2007). Buku Saku Manusia (KDM).
Keperawatan Jiwa (4 ed.). Yogyakarta: Nuha Medika.
Jakarta: EGC.
Wong, D. L. (2009). Buku Ajar
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Keperawatan Pediatrik (Vol.
Kuantitatif, Kualitatif Dan R Volume 2). Jakarta:
& D. Bandung: Alfabeta. EGC.(Naskah Publikasi).

Suliswati. (2005). Konsep Dasar Riset Kesehatan Dasar Provinsi


Keperawatan Kesehatan Kalimantan Barat, 2013,
JIwa. Jakarta: EGC. Pedoman Pewawancara
Petugas Pengumpul Data.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar
Konsep Dasar Keperawatan Wong, D. L. (2008). Buku Ajar
Anak. Jakarta: EGC. Keperawatan Pediatrik (Vol.
Supartini, Y. (2012). Buku Ajar Volume 2). Jakarta: EGC.
Konsep Dasar Keperawatan Yulianty I, R. (2011). Permainan
Anak. Jakarta: EGC. Yang Meningkatkan
Suriadi & Yuliani, R. (2010). Asuhan Kecerdasan Anak. Jakarta:
Keperawatan Pada Anak. Laskar Aksara.
Jakarta: CV. SAGUNG Zuhdataini, M. (2015). Hubungan
SETO. Dukungan Keluarga dengan
Wahyuni, A. A. (2016). Tingkat Tingkat Kecemasan Akibat
Kecemasan Pada Anak Hospitalisasi pada Anak Usia
Prasekolah. GASTER, Prasekolah (3-6 tahun) di
Volume XIV, 100-111. Ruang Anak RSUD
Balung.Jurnal Ilmu
Widianti, S. &. (2011). Catatan Keperawatan.
Kuliah Kebutuhan Dasar

17
Jurnal VoxPop
Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Volume 1/Nomor 1/September 2019

KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN PASIEN


ANAK DENGAN PENDAMPINGAN ORANG TUA DI RUMAH
SAKIT SITI KHODIJAH SIDOARJO
Primatyasta Kiffani Rachmadya
Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Email : noemail.voxpop@gmail.com

Abstrak. Komunikasi merupakan hal yang penting dan digunakan dalam setiap aspek
kehidupan, salah satunya adalah komunikasi di bidang kesehatan. Dari sekian banyak level
komunikasi, komunikasi interpersonal sering digunakan dalam komunikasi kesehatan, terlebih
dalam menjalin komunikasi antara perawat dengan pasien. Komunikasi interpersonal yang
digunakan dalam dunia kesehatan dan memiliki tujuan utama untuk kesembuhan pasien disebut
komunikasi terapeutik. Kualitas komunikasi terapeutik perawat dinilai dari aspek rasa hormat,
kesungguhan, empati, kepercayaan, kerahasiaan dan konkret. Komunikasi terapeutik yang
dilakukan perawat dalam setiap aspek berupa komunikasi verbal maupun non verbal.
Komunikasi terapeutik perawat yang dijalin dengan pasien akan menumbuhkan motivasi
pasien untuk sembuh dilihat dari motif sadar dan motif tidak sadar dalam melakukan tindakan
atau membuat keputusan terkait proses penyembuhan pasien selama di rumah sakit.
Komunikasi terapeutik perawat yang dilakukan perawat pada pasien anak sangat
berbeda,dengan komunikasi terapeutik biasa, selain berkomunikasi dengan anak perawat akan
melakukan komunikasi dengan orang tua pasien agar anak lebih percaya dan lebih nyaman
dengan perawat.
Kata Kunci: komunikasi terapeutik, pasien anak, orang tua

Abstract. Communication is important and is used in every aspect of life, one of which is
communication in the healthcare field. Of the many levels of communication, interpersonal
communication is often used in health communication, especially in establishing
communication between nurses and patients. Interpersonal communication is used in the world
of health and the ultimate goal is to cure the patient is called therapeutic communication. The
quality of communication therapeutic nurse assessed on the aspects of respect, sincerity,
empathy, trust, confidentiality and concrete. Therapeutic communication nurse performed in
every aspect in the form of verbal and non-verbal communication. Therapeutic nurse
communication established with the patient will motivate the patient to recover views from
unconscious motives and unconscious motives for taking actions or making decisions related
to the healing process of patients while in hospital. Therapeutic communication nurse who
carried a nurse in pediatric patients is very different, with the usual therapeutic
communication, in addition to communicating with the child's nurse will communicate with the
patient's parents that the child more confident and more comfortable with the nurse.
Keywords: therapeutic communication, pediatric patients, parents

PENDAHULUAN
Komunikasi merupakan komponen yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Manusia bersosialisasi antara satu dengan yang lain melalui proses komunikasi. Ada beberapa
definisi komunikasi, Komunikasi adalah suatu proses dimana ada dua orang atau lebih

82
Jurnal VoxPop
Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Volume 1/Nomor 1/September 2019

membentuk dan melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada
gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2004 : 19).
Komunikasi juga dapat didefinisikan sebagai penyampaian informasi antara dua orang
atau lebih. Komunikasi interpersonal merupakan penerimaan pesan anatara dua orang atau
lebih. Hal ini dapat mencaku semua aspek komunikasi seperti mendengarkan, membujuk,
menegaskan, komuniiikasi nonverbal, dan banyak lagi. Mulyana (2011) menyatakan
“komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-
orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal”.
Komunikasi interpersonal juga menyangkut aspek-aspek isi pesan dan hubunagn antar
pribadi, melibatkan dengan siapa kita berkomunikasi dan bagaimana hubungan dengan partner.
Proses psikologis merupakan bagian terpenting dalam komunikasi interpersonal karena dalam
komunikasi interpersonal individu mencoba mengunterpretasikan makna yang menyangkut
diri sendiri, diri orang lain, dan hubungan yang terjadi. (Nasir, 2011:38)
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar komunikasi ini
adalah saling membutuhkan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikatagorikan ke dalam
komunikasi pribadi antara perawat dengan pasien. Perawat memberikan bantuan dan pasien
menerima bantuan (Indrawati, 2004 : 50). Hubungan terapeutik antara perawat dengan pasien
adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar mnukar perilaku, perasaan, dan
pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik (Keliat, 1996:8).
Ada 3 fase yang perlu dilakukan perawat saat melakukan komunkasi terapeutik dengan
pasien anak dan orang tua. Ketiga fase tersebut adalah fase orientasi, fase kerja, dan fase
terminasi, yang dalam penerapan ketiga fase tersebut masih sangat rendah terhadap pasien
anak. Menurut Uripni (2002:56), tahap-tahap kamunikasi terapeutik yakni:
• Fase Orientasi
Fase ini merupakan fase pengenalan dengan pasien serta untuk dapat menntukan
program orientasi yang akan perawat berikan kepada pasien. Program orientasi tersebut
meliputi penentuan batas hubungan, mengindentifikasi masalah, menkaji tingkat
kecemasan diri sendiri dan pasien, serta mengkaji apa yang diharapkan dari komunikasi
yang telah di lakukan oleh perawat terhadap pasien.
• Fase Kerja atau Lanjutan
Pada fase ini perawat perlu meningkatkan interaksi dan mengembangkan faktor
fungsional dari komunikasi terapeutik yang telah dilaksanakan. Perawat memfokuskan
arah pembicaraan pada masalah khusus yaitu keadaan pasien, dan keluhan-keluhan
pasien.
• Fase Terminasi
Pada fase ini merupakan fase persiapan mental untuk membuat perencanaan
kesimpulan pengobatan yang telah didapatkan dan mempertahankan batas hubungan
yang telah ditentukan. Perawat harus mengantisipasi masalah yang akan timbul pada
fase ini karna pasien mungkin akan menjadi tergantung dengan perawat. Pada fase
terminasi,
Dalam menjalankan komunikasi dengan pasien, perawat memiliki cara tersendiri
karena setiap pasiennya memiliki latar belakang dan masalah yang beragam. Demikian juga
cara perawat berkomunikasi dengan pasien anak-anak. Komunikasi yang diterapkan dengan
pasien anak-anak berbeda dengan komunikasi yang diterapkan kepada pasien dewasa.
Komunikasi terapeutik dilakukan di Paviliun Ismail RS Siti Khodijah Sepanjang, tetapi
penerapan komuniksi terapeutik secara umum belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai tahap
perkembangan anak oleh perawat. Pada prakteknya perawat hanya akan melakukan
komunikasi dengan pasien pada saat melakukan injeksi, pemasangan infus atau saat melakukan

83
Jurnal VoxPop
Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Volume 1/Nomor 1/September 2019

observasi klinis. Kurangnya komunikasi perawat dengan pasien dirasakan juga pada saat pasien
di ruangan sedang penuh. Komunikasi antara perawat dengan pasien yang kurang maksimal
menyebabkan pasien anak sering mengalami trauma pada perawat.
Anak usia antara 8 sampai 12 tahun adalah usia sekolah. Anak mulai belajar pada hal-
hal yang bersangkutan dengan perilaku sosial.anak sudah mulai memiliki banyak
perbendaharaan kata yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain sebagai
kehidupan sosial dari anak. (Supartini, 2004 : 81). Pada saat pertama anak masuk ke rumah
sakit, anak akan merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru dan bertemu dengan orang-
orang baru atau disebut juga dengan Hospitalisasi anak. Maka dari itu diperlukan komunikasi
terapeutik yang baik antara perawat dengan pasien anak. Apabila anak memperoleh
kesenangan melalui interaksi sosial dengan orang lain maka anak akan mengulangi kegiatan
sosial tersebut sebagai salah satu kegiatan yang menyenangkan hatinya.
Pada masa ini anak sudah mulai dapat berfikir secara konkret, maka dari itu akan lebih
mudah bagi perawat melakukan interaksi terhadap anak. Selain itu komunikasi terapeutik yang
dilakukan perawat kepada anak dengan dampingan orang tua juga bertujuan untuk
mempercepat proses penyembuhan anak dan memudahkan pasien anak untuk menerima
tindakan keperawatan. Dalam meningkatkan efektivitas komunikasi terapeutik secara efektif
komunikasi terapeutik pada anak maka perlu dilakukan tahap pra interaksi dan interaksi yaitu
tahap sebelum bertemu dengan klien dan perkenalan dengan klien untuk mempermudah sikap
perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak prasekolah agar patuh saat dilakukan tindakan
keperawatan.
Kondisi pasien anak yang mengalami hospitalisasi menyebabkan perawat
menggunakan komunikasi terapeutik dalam melakukan tindakan keperawatan. Dalam
menghadapi pasien anak, perawat akan melakukan pendekatan kepada pasien menggunakan
metode permainan, menggambar dan mengungkapkan keinginan. Model komunikasi tersebut
dikenal sebagai komunikasi transaksional model permainan.
Model ini berasal dari psikiater Eric Berne yang kemudian analisisnya dikenal sebagai
analisis transaksional. Kata transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu
hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi. Yang dipertukarkan adalah
pesan-pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan untuk
mengkaji secara mendalam proses transaksi, siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan
apa yang dipertukarkan. (Rakhmat, 2011 : 121)
Dalam model ini, orang-orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan.
Mendasari permainan ini adalah tiga kepribadian manusia yaitu, Orang Tua, Orang Dewasa,
dan Anak (Parent, Adult, Child). Orang Tua adalah aspek kepribadian yang merupakan asumsi
dan perilaku yang kita terima dari orang tua kita atau orang yang kita anggap orang tua kita.
Orang Dewasa adalah bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional, sesuai
dengan situasi, dan biasannya berkenaan dengan masalah-masalah penting yang memerlukan
pengambilan keputusan secara sadar. Anak adalah unsur kepribadian yang diambil dari
perasaan dan pengalaman kanak-kanak dan mengandung potensi intuisi, spontanitas,
kreativitas, dan kesenangan.
Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namunn harus
direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan professional. Akan tetapi, jangan sampai
karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam
atar lebakang dan maslahanya. (Arwani, 2003 : 50).

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus
kualitatif. Menurut Moleong (2009), penelitian kualitatif adalah penelitain yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya

84
Jurnal VoxPop
Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Volume 1/Nomor 1/September 2019

perilaku, persepsi, motivasi, dantindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan Bahasa, pada suatu konteks khusus yng alamiah dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah
Teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan sumber data utama adalah
wawancara mendalam (depth interview) yang merupakan suatu cara mengumpulkan data atau
informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data
lengkap dan mendalam.
Teknik ini dinilai paling sesuai, karena memungkinkan pihak yang diwawancarai dapat
mendefinisikan dirinya serta lingkungannya sendiri, untuk menggunakan istilah-istilah mereka
sendiri mengenai fenomena yang diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan (Mulyana, 2004 :
183).
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, peneliti berusaha memberikan gambaran,
memaparkan serta menginterpretasikan objek yang diteliti dengan kata-kata secara sistematis
dan faktual. Pada tahap analisa data, penelitian dilakukan bersama dengan proses pengambilan
data. Analisis data penelitian berupa proses pengajian hasil wawancara, pengamatan dan
dokumentasi yang telah terkumpul. Selanjutnya penulis menarik kesimpulan dengan
manganalisis hasil wawancara dan menyajikannya dalam bentuk kata-kata berdasarkan teori
yang digunakan untuk selanjutnya menarik kesimpulan atas semua temuan yang diteliti.
Setelah itu akan diperoleh gambaran hasil mengenani komunikasi terapeutik perawat dengan
pasien anak dan orang tua di ruang anak pavilion Ismail RS Siti Khodijah Sepanjang, Sidoarjo.

HASIL PENELITIAN
Komunikasi antara perawat dengan pasien disebut juga dengan komunikasi terapeutik
yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien dengan maksud dapat merubah perilaku
pasien menuju kesembuhan (Mundakir, 2006:116). Komunikasi terapeutik adalah suatu
pengalaman bersama antara perawat klien yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien
yang mempengaruhi perilaku pasien. Hubungan perawat klien yang terapeutik adalah
pengalaman belajar bersama dan pengalaman dengan menggunakan berbagai tekhnik
komunikasi agar perilaku klien berubah ke arah positif seoptimal mungkin. Untuk
melaksanakan komunikasi terapeutik yang efektif perawat harus mempunyai keterampilan
yang cukup dan memahami tentang dirinya.
Teori komunikasi sangat sesuai dalam praktek keperawatan (Stuart dan Sundeen, 1987,
hal. 111) karena : komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik.
Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran.
Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain. Berarti, keberhasilan intervensi
keperawatan bergantung pada komunikasi karena proses keperawatan ditujukan untuk
merubah perilaku dalam mencapai tingkat kesehatan yang normal.
Komunikasi adalah berhubungan. Hubungan perawat dan klien yang terapeutik tidak
mungkin dicapai tanpa komunikasi. Dalam membina hubungan terpeutik dengan klien, perawat
perlu mengetahui proses komunikasi dan keterampilan berkomunikasi dalam membantu klien
memecahkan masalahnya.
Elemen yang harus ada pada proses komunikasi adalah pengirim pesan, penerima
pesan, media dan umpan balik. Semua perilaku individu pengirim dan penerima adalah
komunikasi yang akan member efek pada perilaku. Pesan yang disampaikan dapat berupa
verbal dan nonverbal. Bermain merupakan cara berkomunikasi dan berhubungan yang baik
dengan klien anak. (Oggie : 2013)
Pengetahuan perawat mengenai komunikasi terapeutik. Tujuan dari dilakukannya
komunikasi terapeutik guna menuju kesembuhan pada pasien dengan melakukan motivasi
terhadap pasien. perawat melakukan motivasi sesuai dengan karakter pasien anak, jika terlalu
pendiam perawat meminta bantuan kepada orangtua pasien. Teknik dan cara komunikasi

85
Jurnal VoxPop
Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Volume 1/Nomor 1/September 2019

perawat dengan pasien anak. Teknik yng dipakai perawat ruang anak Paviliun Ismail RS Siti
Khodijah yakni menanyakan apa keinginan pasien, melalui orang ketiga arau orang tua dan
teknik bermain karena dianggap paling efektif.

KESIMPULAN
Komunikasi perawat dengan orang tua pasien. perawat mendorong orang tua pasien
untuk bercerita dengan membuat suasana yang nyaman, mendengarkan secara efektif dan
menunjukkan sikap empati terhadap orang tua pasien. selain itu perawat mencoba untuk
meyakinkan dan memberikan pengarahan pada orang tua pasien anak.
Dengan perawat melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien. Pasien anak mau
menerima tindakan keperawatan yang akan diberikan oleh perawat. Selain itu komunikasi
terapeutik yang dilakukan oleh perawat dengan orang membatu memberi edukasi kepada orang
tua pasien tentang tindakan keperawatan yang akan diberikan sehingga orang tua pasien
menjadi mengerti dan mau menyetujui tindakan keperawatan yang akan diberikan kepada
pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arwani, (2002). Komunikasi dalam Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Bungin, Burhan. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofi dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Endraswara, Suwardi. (2006). Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan.


PustakaWidyatama: Tangerang

Gulo, W. (2000). Metode Penelitian. Grasindo: Jakarta

Huraerah, Abu. (2006). Kekerasan Terhadap Anak, Penerbit Nuansa: Bandung.

Indrawati, (2003). Komunikasi Untuk Perawat, penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Rakhmat, Jallaludin, (2011). Psikologi Komunikasi, Rosda: Bandung

Machfoedz, Machmud, (2009). Komunikasi Keperawatan (KomunikasiTerapeutik),


Yogyakarta: Ganbika.

Mulyana, Deddy, (2011). Ilmu Komunikasi Suatu Pengatar¸ Rosda : Bandung

Manurung, Santa, (2011). Keperawatan Profesional, TIM: Jakarta

Mundzakir, (2006). Komunikasi Keperawatan, Yogyakarta : Graha Ilmu

Nasir, Abdullah, (2011). Komunikasi Dalam Keperawatam (Teori dan Aplikasi). Salemba
Medika: Jakarta

86
Jurnal VoxPop
Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jawa Timur Volume 1/Nomor 1/September 2019

Sheldon, Lisa Kennedy. (2009). Komunikasi Untuk Keperawatan (Berbicara dengan Pasien),
EMS: Jakarta

Supartini, Yupi. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak, EGC: Jakarta.

Wright, H.N. (1991) Menjadi Orang Tua Yang Bijaksana Penerjemah: Christine Sujanah,
Yayasan Abdi : Yogyakarta.

Website
Redian, Ilya Putri. (2011) Summary Penelitian Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien
Anak dan Orang Tua. Diakses pada 28 Maret 2016

Setianti, Yanti. (2007) Makalah Ilmiah Komunikasi Terapeutik antara Perawat dengan Pasien.
Diakses pada 28 Maret 2016

Data jumlah Sakit di Sidoarjo http://sirs.buk.depkes.go.id/rsonline/Peta_list.php . Diakses pada


tanggal 31 Maret 2016

87
Volume 30, Nomor 1
Juni 2019
P-ISSN: 1412-0348
E-ISSN: 2654-3877

DOI: 10.24014/jdr.v30i1.6999

PENERAPAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA ANAK PENYANDANG


DOWN SYNDROME MELALUI PELAYANAN TERAPI WICARA
DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto2


1,2
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Email: resyanurintanputri@gmail.com

Kata kunci Abstrak


Komunikasi Terapetik, Penelitian ini berbicara mengenai proses komunikasi terapeutik yang
Terapi, Down dilakukan tenaga medis yaitu terapis wicara dengan pasien anak
Syndrome berkebutuhan khusus yang dispesifikan pada penyandang down syndrome
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui proses ataupun cara dalam melakukan
komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh terapis wicara dengan pasien
anak penyandang down syndrome di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif eksploratif. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa untuk
melakukan sebuah komunikasi terapeutik dengan pasien anak dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode dalam terapi bahasa,
misalnya metode modeling dan self talk-paralel talk. Selanjutnya, terdapat
proses komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh terapis yang terdiri
dari tahap pra-interaksi, perkenalan, orientasi, kerja dan terminasi.
Dalam komunikasi terapeutik yang terjalin, juga terjadi pertukaran pesan
serta hambatan-hambatan yang dialami oleh terapis dalam melakukan
proses tersebut.

Keywords Abstract
Therapeutic This study talks about the therapeutic communication process carried out
Communication, by medical personnel (speech therapists) with patients with special needs
Therapy, Down who are specified in persons with Down syndrome at Prof. RSUD. Dr.
Syndrome. Margono Soekarjo Purwokerto. This study aims to determine the process
or method of conducting therapeutic communication by speech therapists
with pediatric patients with Down syndrome in Prof. RSUD. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto. The method used in this study is an explorative
qualitative method. The results of this study indicate that to conduct a
therapeutic communication with pediatric patients can be done using
several methods in language therapy, for example such as modeling and
self talk-parallel talk methods. Furthermore, there is a therapeutic
communication process carried out by a therapist consisting of the stages
of pre-interaction, introduction, orientation, work, and termination. In
therapeutic communication that is interwoven there is also the exchange
of messages and obstacles experienced by therapists in carrying out the
process.

Pendahuluan
Masa anak-anak merupakan salah satu fase perkembangan dalam kehidupan manusia.
Pada fase ini manusia akan mengalami tumbuh kembang dalam berbagai hal dengan lebih
cepat dibandingkan fase lain seperti fase remaja ataupun dewasa. Pada fase anak-anak,

35
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

manusia akan mengalami tahap awal pekembangan secara fisik dan emosional yang sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh Hidayat (2005:15) bahwa
faktor lingkungan sesungguhnya memegang peranan esensial dalam menentukan tercapai atau
tidaknya potensi yang telah dimiliki. Maka dari itu, tumbuh kembang anak menjadi sebuah
hal yang patut diperhatikan orang tua secara terus-menerus, untuk mencegah terjadinya
masalah atau hambatan yang tidak bisa diduga.
Hambatan dalam perkembangan anak dapat terjadi dalam berbagai aspek. Menurut
Wardaya (2015) aspek tumbuh kembang anak terdiri atas kemampuan kognitif, bahasa,
motorik, sosio-emosional, agama dan moral. Menyoal proses tumbuh kembang anak, maka
biasanya tak lepas dari gangguan atau hambatan dari proses tersebut. Salah satu gangguan
atau hambatan yang kerap dialami oleh anak-anak adalah gangguan bicara dan bahasa.
Hidayat (2005: 22-24) mengungkapkan bahwa kemampuan berbahasa ditandai dengan
berbagai aspek, seperti kemampuan bersuara, tersenyum, berceloteh, berteriak, tertawa,
menjerit, menoleh ke arah sumber bunyi, menggunakan vokalisasi semakin banyak, memiliki
banyak perbendaharaan kata, mengombinasikan kata-kata, menunjukan lambaian anggota
badan, mengenal dan responsif terhadap orang lain dan lain-lain. Kemampuan berbahasa
semacam itulah yang akan berhubungan langsung dengan kemampuan berkomunikasi di masa
yang akan datang.
Sebagai contoh kasus pada rubrik Konsultasi Perilaku Anak di Majalah Selaras
Volume 54 edisi September 2015. Seorang ibu mengeluhkan akan keterlambatan
perkembangan bicara anaknya yang berusia dua tahun. Selama ini orang tua anak tersebut
lebih sering memberikan tayangan video anak agar orang tua tenang, sehingga orang tua anak
tersebut bisa mengerjakan pekerjaan lain. Namun seiring waktu berjalan, orang tua baru
menyadari bahwa kemampuan bicara anak mereka ternyata masih jauh dibanding teman
sebayanya. Dalam kasus ini terkadang orang tua terlambat menyadari terjadinya sebuah
keterlambatan perkembangan pada anak-anaknya dan bila hal ini sudah terlanjur terjadi maka
sangat diperlukan pencarian solusi penyembuhannya secepat mungkin. Hal tersebut tentunya
merupakan sebuah langkah yang sangat penting untuk diperhatikan oleh orang tua, yang mana
para orang tua juga diharapkan untuk selalu memantau perkembangan buah hatinya.
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan yang sangat penting bagi manusia.
Karena kemampuan berbicara berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi dan
berkomunikasi merupakan sebuah hal yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh manusia di
muka bumi ini, terutama ketika bersinggungan dengan orang lain. Manusia juga bukan
makhluk yang statis, melainkan ia senantiasa berproses dengan segala aspek kehidupannya
termasuk dalam hubungan dan interaksinya dengan orang lain atau biasa disebut dengan
komunikasi antarpribadi. Secara sederhana komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai
sebuah bentuk komunikasi seorang individu dengan individu lain dalam berbagai bentuk
hubungan (Istiyanto, 2015). Bentuk komunikasi antarpribadi juga dapat berbentuk hubungan
sebuah profesi dengan kliennya, sebagai contoh misalnya hubungan tenaga kesehatan dengan
pasiennya. Dalam kaitannya dengan profesi tenaga kesehatan, maka terdapat istilah
komunikasi terapeutik. Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari
penyembuhan (As Hornby dalam Nasir, 2009). 00
Penelitian mengenai komunikasi terapeutik sudah diteliti oleh banyak orang, namun
yang berkaitan dengan penelitian ini seperti yang dilakukan oleh Ernia Ayu Karnia (2013)
dengan judul Komunikasi Terapeutik Hypnodontia dalam Pengobatan Gigi dan Mulut
berbicara mengenai proses dari komunikasi terapeutik menggunakan metode Hypnodontia
pada pasien. Dari hasil penelitian, dijelaskan bahwa terdapat empat tahapan dalam proses
komunikasi terapeutik yang dilakukan dokter gigi dengan menggunakan metode Hypnodontia

36
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

yaitu: tahap prainduksi yang merupakan tahap dalam membangun relasi dengan pasien, yang
kedua adalah tahap induksi yang membawa pasien menuju pikiran bawah sadar, kemudian
deepening yang membawa pasien pada fase yang lebih dalam, dan yang terakhir adalah
terminasi yang merupakan tahap terakhir dari metode ini yang ditandai dengan cara dokter
mengembalikan keadaan dan pikiran bawah sadar pasien seperti semula. Jacklin Elisabet
Monica Fisher (2011) juga melakukan penelitian dengan judul The Therapeutic Role of The
Mental Health Nurse: Implications for The Practice Of Psychological Therapies. Dalam
penelitian ini Jacklin menjelaskan bahwa adanya faktor intrinsik dan ekstrinsik dari diri
seorang perawat sesungguhnya dapat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan serta
dapat memberikan kontribusi pada peraturan MHN di jangka panjang.
Maka dari itu, sebuah proses komunikasi terapeutik sesungguhnya merupakan proses
yang sangat penting dalam kaitannya dengan pemulihan pasien akan suatu keluhan tertentu,
tak terkecuali untuk pasien anak-anak yang memiliki gangguan dalam aspek perkembangan.
Dalam melakukan proses komunikasi terapeutik untuk anak, tentunya memiliki tingkat
kesulitan yang lebih tinggi, apalagi bagi pasien yang mengalami hambatan dalam masalah
berkomunikasi atau kemampuan reseptif dan ekspresif. Salah satu solusi penyembuhan dari
timbulnya hambatan tersebut, adalah dengan melakukan sebuah terapi wicara.
Terapi wicara merupakan sebuah proses penyembuhan yang diperuntukan untuk
menangani gangguan berbicara, bahasa dan motorik. Orang yang melakukan proses terapi
wicara tersebut disebut sebagai terapis wicara. Peran seorang terapis sangatlah besar, selain
harus mampu memahami kekurangan pasien terlebih dahulu, mereka juga harus memberikan
sebuah terapi kepada pasien dengan cara-cara khusus demi meningkatkan proses kesembuhan
pasien. Apalagi dalam menangani pasien anak-anak diperlukan kemampuan berkomunikasi
dan kesabaran yang lebih, karena anak-anak lebih dinamis dan kadang terdapat keadaan yang
tidak dapat diprediksi dan sulit diatur. Oleh karena itu, bagaimana proses komunikasi yang
dilakukan oleh terapis dengan pasien anak dalam penyembuhan dalam pelayanan terapi
wicara merupakan hal menarik untuk diketahui dan diteliti lebih lanjut.
Penelitian ini dilakukan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto merupakan Rumah Sakit kelas B pendidikan milik
Provinsi Jawa Tengah yang menjadi pusat rujukan dari wilayah Jawa Tengah bagian barat dan
selatan, termasuk rujukan pelayanan terapi wicara di wilayah eks karesidenan Banyumas.
Berdasarkan data dari Instalasi Rehabilitasi Medik menunjukan bahwa tindakan yang
dilakukan dalam pelayanan terapi wicara dalam bentuk terapi bicara dan bahasa menunjukan
angka yang fluktuatif ditahun 2015 termasuk tindakan yang dilakukan bagi pasien anak down
syndrome. Berdasarkan data dari RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada
periode Januari-Desember 2015, diperoleh 7 pasien anak. Dalam penelitian ini jumlah yang
digunakan hanya berjumlah tiga orang, mereka adalah daftar pasien yang rutin melakukan
terapi wicara di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana dan seperti apa proses dari komunikasi
terapeutik yang terjadi dalam hubungan terapis wicara dengan pasien anak penderita down
syndrome di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwkerto.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif. Fokusnya
adalah penggambaran secara menyeluruh tentang bentuk, fungsi dan makna ungkapan.
Menurut Sukandarrumidi (2012:103), penelitian eksploratori adalah penelitian yang memiliki
tujuan untuk mengenal serta mendapatkan pandangan baru akan suatu gejala yang sering kali
mampu merumuskan masalah penelitian dengan lebih tepat. Penelitian ini dilakukan di

37
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

Instalasi Rehabilitasi Medis bagian Terapi Wicara Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr.
Margono Soekarjo (RSMS) Purwokerto, yang berlokasi di Jl. Dr. Gumbreg Purwokerto,
dengan teknik pengumpulan datanya menggunakan wawancara, obervasi dan dokumentasi.
Pertama, wawancara dilakukan dalam bentuk semi-terstruktur yang sifatnya terbuka dan
mendalam. Wawancara dilakukan kepada informan yang sudah dipilih melalui teknik
purposive sampling. Menurut Sugiyono (2007:52), purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan tertentu. Informan utama
dalam penelitian ini adalah terapis wicara RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
yang berjumlah dua orang yaitu Zaki Mubarok dan Rina Triana serta orang tua pasien yang
berjumlah tiga orang. Informan pendukungnya adalah dokter spesialis keterapian fisik dan
rehabilitasi yaitu Massita Dwi Yuliani untuk memberikan keterangan mengenai kondisi secara
medis anak penyandang down syndrome. Kedua, observasi dilakukan dengan melihat ekspresi
dan sikap informan saat dilakukan wawancara mendalam. Hal tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui pemaknaan kejadian terkait pada bentuk perilaku yang ditunjukan. Menurut
Herdiansyah (2010:136) behavioral checklist memiliki arti bahwa metode ini dapat
memberikan keterangan tentang perilaku yang diobservasi dengan memberikan tanda
checklist jika perilaku yang diobservasi muncul. Ketiga, dokumentasi dilakukan dengan
pengumpulan buku-buku referensi. Satori dan Komariyah (2009: 149) menyebutkan bahwa
studi dokumentasi dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen dan data-data yang
diperlukan dan kemudian ditelaah secara lebih intens dalam rangka menambah kepercayaan
sekaligus menjadi bukti akan sebuah kejadian.

Hasil dan Pembahasan


Jenis Metode Terapi Bahasa dan Bicara
Metode modeling, self talk dan parallel talk digunakan dalam terapi bahasa. Dalam
metode modeling, terapis menempatkan dirinya sebagai model yang kemudian pasien disuruh
mencontohkan apa yang dilakukan terapis. Sementara itu, untuk metode self talk dan parallel
talk merupakan metode yang juga bisa dipraktekan bagi orang tua. Self talk dilakukan dengan
cara terapis akan berbicara apapun kepada anak, meskipun di sini jenis komunikasinya masih
satu arah dan anak belum memberikan respon. Sementara itu, untuk parallel talk dilakukan
dengan cara menanamkan konsep tertentu sehingga anak paham terhadap hal yang diajarkan,
yang kemudian harapannya anak bisa menunjuk, menyamakan dan menamai sesuatu (Sahabat
Sehat, 2013: 10).
Terapi bicara menggunakan menggunakan metode motokinestetik yang dapat
diterapkan pada semua partisipan. Pada metode ini terapis melakukan teknik manipulasi
langsung pada otot organ bicara atau organ perilaku komunikasi yang dianggap perlu. Metode
yang kedua adalah metode stimulasi integral yang dilakukan berdasarkan rangsangan prinsip
pengamatan terhadap suatu rangsangan secara terpadu melalui modalitas sensoris yang
dimiliki seseorang yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki komunikasi yang salah.
Metode stimulasi integral ini bisa diterapkan kepada dua pasien, karena pada dasarnya mereka
sudah lebih banyak mengucapkan kata-kata meskipun belum jelas. Metode terapi bicara yang
digunakan terhadap pasien yang satunya lagi adalah metode modifikasi antara motokinestetik
dan fonetic placement. Metode fonetic placement merupakan metode yang mengharuskan
pasien untuk memperhatikan gerakan dan posisi organ bicara, sehingga pasien dapat
mengendalikan pergerakan organ tersebut untuk menghasilkan perilaku komunikasi yang
benar (Setyono, 2000: 115). Sementara ini program terapi yang dijalani oleh pasien adalah
masih seputar pada terapi bahasa, belum kepada terapi bicara. Hal ini dikarenakan belum

38
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

semua pasien mampu menunjukan respon bicara, dengan begitu program terapi yang
dijalankan belum bisa masuk kepada program terapi bicara.
Dengan digunakannya metode-metode tersebut, maka hal ini sesuai dengan salah satu
prinsip dari komunikasi terapeutik, bahwa komunikasi terapeutik merupakan proses
komunikasi yang berorientasi pada proses percepatan kesembuhan (Nasir dkk, 2009: 167-
169), meskipun sebenarnya kondisi semacam down syndrome tidak dapat disembuhkan,
namun minimal dapat dikembangkan melalui terapi yang dijalani pasien.

Proses Komunikasi Terapeutik


Jenis komunikasi terapeutik yang dibahas dalam penelitian ini adalah komunikasi
terapeutik yang bertujuan untuk mencapai tingkat kesehatan klien semaksimal mungkin yang
mana hal ini dicapai dengan cara memberikan perawatan secara komprehensif melalui
pertukaran informasi yang mampu meningkatkan koordinasi dan kesinambungan pelayananan
kesehatan terhadap klien (Priyanto, 2009:9). Tindakan terapi yang biasa dilakukannya pada
pasien down syndrome merupakan jenis tindakan yang sifatnya meningkatkan atau
mengembangkan kemampuan. Secara umum, memang biasanya anak-anak down syndrome
memiliki kekurangan atau keterbelakangan dalam berbagai aspek, misalnya kemampuan
motorik kasar, motorik halus serta bahasa, jadi sifat tindakannya lebih mengarah pada
tindakan promotif yang sifatnya meningkatkan dan mengembangkan kemampuan perilaku
komunikasi. Awal mula rehabilitasi medik diperuntukan bagi orang-orang dalam kondisi
cacat, namun kini lebih luas termasuk gangguan tumbuh kembang juga. secara khusus
gangguan tumbuh kembang pada down syndrome untuk terapi wicara lebih kepada membantu
kemampuan bahasa dan bicaranya namun sifatnya bukanlah menyembuhkan karena kondisi
down syndrome memang tidak dapat sembuh.
Tujuan dilakukannya terapi wicara di sini tidak hanya untuk melatih kemampuan
berbicara, namun juga untuk memberikan pemahaman akan pentingnya berhubungan sosial
dengan orang lain. Maka, komunikasi terapeutik yang dilakukan terapis wicara dengan pasien
anak penyandang down syndrome di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS)
memiliki beberapa proses dan tahapan yang berkesinambungan. Tahap-tahap tersebut di
antaranya adalah tahap pra interaksi, perkenalan, orientasi, kerja, dan terminasi (Nasir dkk,
2009:170). Dalam prosesnya banyak dilakukan komunikasi verbal yang juga ditegaskan atau
diiringi dengan komunikasi non-verbal, karena komunikasi non-verbal memang ditujukan
untuk melengkapi dan menegaskan makna dari komunikasi verbal yang dilakukan oleh
seseorang.

Tahap Pra Interaksi


Merupakan tahap awal yang mana terapis mulai menggali kemampuan yang dimiliki
sebelum melakukan kontak dengan pasien. Terapis harus memahami dulu kondisi pasien yang
akan ditangani termasuk kebiasaan sehari-harinya yang mungkin masih terbawa ke Rumah
Sakit. Dalam proses terapi wicara, biasanya observasi awal dengan cara melihat dari kondisi
awal si anak, apakah anak tersebut mampu langsung diajak interaksi atau tidak. Menurut
penuturan beliau, pada tahap awal jika dilihat anaknya kooperatif langsung dapat dilakukan
interaksi, namun jika tidak maka akan dibiarkan terlebih dahulu mengikuti kemauan dan
prilaku sang anak. Jika si anak menangis, langkah yang dilakukan juga akan didiamkan
terlebih dahulu agar anak dapat meluapkan emosinya.

39
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

Tahap Perkenalan
Merupakan tahap yang mana terapis mulai memperkenalkan diri pada klien ataupun
keluarganya. Dalam tahap ini diharapkan adanya keterbukaan dari klien agar proses
komunikasi terapeutik yang akan dilakukan dapat berjalan dengan lancar. Tahapan ini masih
berkaitan dengan tahap pra interaksi. Terapis harus berusaha membangun interaksi dengan
pasien. Pada tahapan ini biasanya terapi akan berusaha mengajak berkenalan dengan anak
dengan cara mengajak sang anak untuk berjabat tangan. Terkadang ada yang menurut ada
juga yang tidak menurut atau masih malu-malu, kemudian dilanjutkan komunikasi dengan
orang tua pasien yang dalam hal ini telah masuk pada tahap orientasi. Selanjutnya, terapis
akan tetap menyesuaikan dengan prilaku anak terlebih dahulu atau dengan kata lain terapis
tidak langsung melakukan proses terapi. Jadi pada tahap ini hampir sama mekanismenya
dengan tahap pra interaksi. Terapis harus mampu menyesuaikan diri dan lingkungan dengan
kondisi anak. Ada tipe anak yang interaktif, yang tentunya akan memudahkan untuk
dimulainya terapi, namun hal itu jarang terjadi karena anak-anak lebih sering menangis
ataupun diam.

Tahap Orientasi
Pasien bertemu dengan dokter dahulu untuk diketahui diagnosanya, barulah dilakukan
tindakan terapi berdasarkan petunjuk dokter. Dalam tahap ini terapis mencari tahu masalah
dan keluhan yang dialami pasien yang akan menentukan rencana tindakan yang harus
dilakukan. Biasanya terapis akan melihat kondisi pasien secara fisik yang kemudian
dilanjutkan dengan bertanya langsung pada orang tua pasien tentang kondisi sang anak,
sekaligus menyusun rencana tindakan. Hal ini dikarenakan orang tua yang mengerti tentang
kondisi anak.

Tahap Kerja
Tahapan ini merupakan pengimplementasian dari rencana kegiatan yang telah dibuat.
Pada tahap ini langsung dimulai proses terapi serta proses komunikasi terapeutik. Proses
komunikasi terapeutik yang dilakukan pada dasarnya sama dengan proses komunikasi pada
umumnya, yaitu dengan adanya unsur komunikator, komunikan, pesan, media serta feedback
atau umpan balik. Hanya saja konteks komunikasi yang dilakukan dalam hal ini adalah
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dari pasien yang pada akhirnya lebih
mengarah pada proses perbaikan menuju keadaan yang lebih baik.

Tahap Terminasi
Tahap terminasi merupakan tahap terakhir dalam proses terapi. Dapat dikatakan bahwa
dalam tahap ini dapat dilakukan proses evaluasi untuk merumuskan tindakan yang akan
dilakukan dalam sesi terapi selanjutnya. Pada program terapi wicara pada anak biasanya
terapis akan melakukan penutup dengan cara mengucapkan ucapan terima kasih dan salam.
Terapis tetap membatasi waktu terapi agar anak juga terbiasa disiplin. Seusai terapi, terapis
juga membiasakan untuk mengajarkan tata krama jika melakukan perpisahan dengan cara
cium tangan. Dan jika masih ada yang berusaha bermain, maka sebisa mungkin permainannya
harus disingkirkan agar anak mengerti bahwa sesinya telah usai.

Berdasarkan hal tersebut proses tersebut, salah satu prinsip dari komunikasi terapeutik,
bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terstruktur dan direncanakan
(Nasir dkk, 2009: 167-169). Tindakan yang terstruktur dan direncanakan tersebut jelas
tercermin dari aspek perencanaan yang diterapkan terapis pada awal terapi hingga pada tahap

40
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

diakhirinya proses terapi. Penyusunan tindakan tersebut juga bukanlah tanpa dasar, terapis
mampu melihat kondisi anak sehingga mereka bisa menentukan tindakan yang dilakukan.
Penyusunan komunikasi yang terstruktur dan direncanakan juga menimbulkan hasil timbal
balik yang sesuai dengan harapan.

Komunikasi Non-Verbal untuk anak Down Syndrome Selama Terapi


Bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dalam konteks ini lebih mengarah pada ciri khas
dari masing-masing terapis. Salah satu prinsip dari komunkasi terapeutik adalah bahwa
komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang memperhatikan konteks topik, ruang dan
waktu (Nasir dkk, 2009: 167-169). Dalam menangani pasien setiap terapis memiliki cara
sendiri yang mungkin berbeda dengan terapis lain dan semua cara tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam bentuk komunikasi nonverbal yang sesungguhnya terdapat makna-
makna tertentu.

Sentuhan
Dalam proses terapi, ada satu jenis komunikasi non-verbal yang tidak dapat dihindari
dan tidak mungkin tidak dilakukan, yaitu sentuhan (haptika). Selama terapi, terapis kerap kali
melakukan sentuhan yang terbilang beragam bentuknya. (1) Menggelitik. Menggelitik
merupakan cara yang dilakukan oleh terapis dalam kesehariannya menangani pasien anak
down syndrome. Misalnya terhadap pasien yang masuk dalam kategori anak yang aktif dan
terkadang menjadi hiperaktif. Ia seringkali bergerak ke sana ke mari maka dari itu, terapis
seringkali melakukan bentuk komunikasi non-verbal dengan cara menggelitik. Selain itu,
menggelitik juga dilakukan ketika anak tidak memberikan respon, ataupun ketika anak mulai
ngambek dan tidak mau menuruti perintah dari terapis. Biasanya anak akan memberikan
respon jika dilakukan tindakan menggelitik ini berupa reaksi tertawa ataupun menangis.
Selain itu, tujuan dari menggeletik ini adalah agar anak kembali fokus terhadap materi bukan
terhadap hal-hal lain yang mungkin kerap mengalihkan fokus perhatiannya dalam proses
terapi. (2) Memegang atau Menggenggam tangan. Terapis kerap kali memegang atau
menggenggam tangan pasien, hal ini dimaksudkan agar pasien bisa dikendalikan. Berdasarkan
hasil observasi peneliti, dalam situasi tertentu pasien berada dalam kondisi yang agak sulit
diatur dan mulai menunjukan sikap semaunya sendiri, misalnya ia berusaha melempar mainan
yang ada di depannya. Bila dalam kondisi seperti itu terapis lansung memegang tangannya
dan terkadang juga disertai sedikit tekanan pada tangan pasien. Hal ini dilakukan selain untuk
mengendalikan perilaku pasien, juga bertujuan untuk memberikan pemahaman agar si anak
merasakan perbedaan penekanan pada tangannya yang artinya memberi pemahaman bahwa
bila kondisi tangannya agak ditekan seperti itu tandanya ada sesuatu yang dilarang. Terapis
juga kerap memegang tangan pasien ketika beliau mengajarkan kata-kata untuk ditiru
ucapannya oleh pasien. Contohnya saat terapis menyuruh pasien untuk mengucapkan “oke”
beliau memegang tangan pasien dan mengarahkan tangannya berputar di depan mulut terapis
yang berucap “oke”. Hal ini dimaksudkan agar pasien tertarik untuk meniru dan ini juga
merupakan gaya khas dari terapis. (3) Berjabat Tangan. Berjabat tangan adalah hal yang pasti
dilakukan oleh terapis ketika proses terapi baru dimulai. Tujuannya untuk membiasakan anak
agar mengenal orang yang ada di depannya. Kemudian, berjabat tangan juga dilakukan ketika
proses terapi telah selesai. Berjabat tangan juga merupakan salah satu hal yang wajib
dilakukan untuk mengajarkan tata krama dan kebiasaan baik kepada anak, sehingga anak akan
terus mengingat apa yang sudah menjadi kebiasaan dalam proses terapi dan harapannya bisa
diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. (4) Sentuhan Langsung. Bentuk dari gerakan
menyentuh lainnya biasanya dengan dilakukannya sentuhan secara langsung yang bermaksud

41
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

untuk menunjukan hal-hal yang lebih spesifik, seperti untuk mengajarkan pasien dalam
mengenal anggota tubuh, menenangkan kondisi serta memberikan rangsangan untuk
melakukan hal yang diperintahkan. Bentuk komunikasi non-verbal melaluui sentuhan
memang lebih diarahkan untuk memberikan stimulus dalam materi. Misalnya materi untuk
menunjuk anggota tubuh seperti mata ataupun hidung. Atau bisa juga terapis menyentuh sang
anak dengan tujuan menenangkan ketika anak memberikan reaksi berlebihan.

Gerakan Anggota Tubuh


Dalam proses terapi, gerakan tos, bertepuk tangan dan mengatakan “yes” menjadi
sebuah gerakan yang sering dilakukan berulang-ulang, terutama ketika pasien berhasil
melakukan suatu perintah yang diberikan. Hal ini dilakukan untuk menciptakan sebuah
interaksi yang bersahabat serta suasana yang menyenangkan, karena anak-anak adalah tipe
yang sangat senang bermain, maka diperlukan penghargaan ketika mereka mampu atau
berhasil melakukan suatu perintah, dengan begitu mereka tentunya akan merasa dihargai dan
tercipta makna di dalam pikiran mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar karena
bisa mendapatkan pujian dari orang lain.

Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi


Dalam proses terapi terdapat orientasi ruang dan jarak pribadi yang diciptakan terapis.
Terapi yang dilakukan biasanya selalu menggunakan meja dan kursi di antara terapis dan
pasien, hal ini dimaksudkan agar pasien mampu memahami bahwa mereka datang ke tempat
terapi adalah untuk belajar, sehingga mereka harus duduk di kursi dan sudah disediakan meja
untuk melakukan aktivitasnya.
Kursi yang disusun pun harus menempel tembok, jangan sampai jarak antara kursi
dengan tembok terlalu jauh. Hal ini dimaksudkan agar pasien bisa tenang ketika belajar dan
tidak mudah keluar dari kursi. Terapi mungkin saja dilakukan tanpa menggunakan kursi,
namun hal itu diperuntukan bagi anak-anak yang memiliki postur tubuh yang kecil yang
dikhawatirkan nantinya justru akan menyulitkan proses terapi ketika mereka dipaksa tetap
dalam kursi. Bila dalam kondisi seperti ini, terapis akan memangku sang anak dan mereka
akan duduk menghadap ke cermin. Di sini cermin berperan sebagai media untuk mndapatkan
feedback atau umpan balik dari pasien selama proses terapi. Selain itu, ruangan dari terapi
juga didesain sedemikian rupa dengan tujuan membuat anak senyaman mungkin dalam proses
terapi. Hal ini terlihat dari ruangan terapi wicara yang dicat warna-warni, dilengkapi berbagai
aksesoris serta peralatan atau media yang memadai.

Vokalika/ Parabahasa
Parabahasa atau vokalika merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat
dipahami, misalnya kecepatan bicara, nada, intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vokal,
warna suara, dialek, suara serak, suara sengau, suara putus-putus, suara yang gemetar, suitan,
siulan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan dan lain-lain (Mulyana, 2011:
387). Dalam hal vokalika, aspek yang sering ditunjukan oleh terapis adalah (1) Nada dan
Intonasi. Untuk masalah nada, tergantung dari gaya masing-masing terapis. Misalnya
menggunakan nada yang pelan, tinggi dan tegas bila dalam kondisi anak sedang sulit diatur
kemudian didukung dengan menyentuh bagian tubuh anak dan diarahkan untuk melakukan
sesuatu. Dalam proses terapi jarang sekali dilakukan tindakan secara tegas seperti membentak,
sehingga instruksi lebih banyak dilakukan melalui proses komunikasi non-verbal. Penggunaan
nada yang sedikit meninggi biasanya dilakukan kala pasien mulai malas dan tidak mau
mengikuti instuksi terapis didukung dengan raut ekspresi yang menunjukan seseorang marah,

42
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

namun tidak sampai mengeluarkan nada keras. (2) Kualitas vokal (kejelasan). Untuk aspek
kualitas vokal, merujuk pada kejelasan dari suara yang disampaikan terapis. Suara yang
dikeluarkan oleh terapis selama proses terapis terdengar sangat jelas dan cukup keras karena
terkadang bisa terdengar hingga ke luar ruangan. Hal ini tentunya dimaksudkan agar anak
dapat mendengar yang harapannya juga sekaligus memahami tentang kalimat yang diucapkan
oleh terapis. Hal ini juga berkaitan dengan metode dari terapi bahasa yang digunakan dalam
proses terapi ini, yaitu metode modelling. Kualitaas vokal juga sangat diperhatikan karena ini
merupakan bagian dari pembelajaran pasien. Sebagai contoh, untuk mengajarkan pasien agar
dapat berbicara dengan jelas, maka terapis juga mengajarinya dengan menunjukan kualitas
vokal sejelas mungkin agar mudah dipahami dan ditiru oleh pasien.

Kontak Mata
Kontak mata merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam proses komunikasi
terutama ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara langsung atau tatap muka.
Liliweri (2015: 470) mengatakan bahwa kontak mata merupakan hal yang penting, karena
mampu menjaga aliran percakapan sekaligus mengukur respon dari orang lain. Kontak mata
merupakan hal yang paling utama dilakukan dalam interaksi, melalui kontak mata bahkan
terapis dapat merasa dan menebak apa yang sedang dirasakan oleh pasien. Sehingga hal ini
menjadi sebuah komponen interaksi yang paling penting dalam proses terapi. Dalam proses
terapi, terlihat jelas bahwa terapis selalu melakukan kontak mata dengan pasien sepanjang
durasi. Hal ini juga dimaksudkan agar pasien mampu fokus tehadap materi yang diberikan.

Konsep Waktu
Kronemika merupakan studi dan interpretasi waktu sebagai sebuah pesan, yang
berkaitan dengan bagaimana kita mempersepsi dan memperlakukan waktu secara simbolik
dapat menunjukan sebagian dari jati diri kita, misalnya mengenai siapa diri kita dan
bagaimana kesadaran kita akan lingkungan. Penganut waktu monokronik cenderung
mempersepsi waktu dengan berjalan lurus dari masa silam ke masa depan sehingga
menekankan penjadwalan dan kesegaran waktu (Mulyana, 2011: 416-417). Terapis
memperhatikan ketepatan waktu dan durasi selama berlangsungnya terapi. Hal tersebut
terlihat dari intensitas terapis melihat jam tangannya dari awal terapi dimulai dan selama
proses terapi berlangsung. Durasi memang menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam proses
terapi dan pembatasan waktu selama 30 menit pada setiap proses terapi menjadi hal yang
mutlak.

Warna
Warna menjadi hal juga mampu mempengaruhi kondisi ruangan terapi. Ruangan terapi
wicara memiliki warna dinding yang cerah yaitu perpaduan antara warna hijau, kuning, biru
dan merah. Hal tersebut memang sengaja dilakukan. Pewarnaan yang bervariasi dengan
tujuan untuk memberikan rasa nyaman, ceria dan senang bagi pasien, terutama pasien anak-
anak. Perlu juga dihindari pewarnaan yang terlalu gelap yang nantinya bisa membuat keadaan
di lingkungan terapi menjadi kurang nyaman karena bagaimanapun warna dapat
mempengaruhi keadaan psikologis seseorang.

Hambatan Selama Proses Terapi


Dalam melakukan prosesi terapi wicara, terdapat hambatan-hambatan dialami oleh
terapis yang tentunya bisa mempengaruhi proses dari jalannya terapi tersebut. Hambatan
tersebut berasal dari dalam maupun dari luar.

43
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

Hambatan Internal
Hambatan internal merupakan hambatan yang berasal dari dalam diri terapis. Terdapat
hambatan yang sifatnya berkaitan dengan diri terapis yang juga berhubungan institusi itu
sendiri, di antaranya adalah kurangnya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses
terapi dan skill atau kemampuan dari terapis yang masih perlu ditingkatkan demi memberikan
pelayanan yang lebih baik lagi.

Hambatan Eksternal
Hambatan eksternal terdiri dari (1) Durasi Terapi. Durasi terapi di Rumah Sakit
sangatlah terbatas hanya berkisar 30 menit untuk setiap terapinya, hal ini menjadi sebuah
hambatan bagi terapis yang mengakibatkan terapis harus benar-benar memperhatikan waktu
terapi dengan penyampaian materi yang semaksimal mungkin. (2) Orang tua pasien yang
kurang kooperatif. Terkadang ada tipe orang tua yang hanya membawa anaknya untuk terapi
di Rumah Sakit saja tanpa pernah mengulangi materi terapi yang dianjurkan di rumah. Hal ini
bisa memperlambat proses terapi yang dilakukan sehingga kemampuan anak untuk
berkembang juga bisa semakin lama. Hal ini perlu menjadi perhatian karena waktu pasien
akan lebih banyak dilalui ketika mereka bersama keluarganya. Jika keluarga pasien terutama
orang tua mampu memantau perkembangan anak mereka dengan maksimal, maka semakin
tinggi presentase peningkatan kemampuan pasien

Analisis Teori Transaksional


Terapi dilakukan hanya kepada individu yang memiliki masalah atau ada hal-hal yang
tidak sebagaimana mestinya dalam hidupnya. Hal tersebut tercermin dari adanya
penyelenggaraaan terapi bagi anak-anak dengan kondisi down syndrome yang memiliki
masalah perkembangan dalam hal bahasa dan bicara. Berne dalam Santoso dan Setiansah
(2010) mengatakan beberapa asumsi, yaitu: (1) Manusia pada dasarnya dalam keadaan oke
dan masing-masing manusia selalu memiliki nilai, berguna, serta memiliki kemampuan
tertentu sehingga patut diperlakukan dengan layak. (2) Semua orang memiliki kapasitas untuk
berpikir dan (3) Manusia dapat memutuskan sendiri jalan hidup mereka meskipun keputusan
tersebut dapat diubah.
Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat dikatakan bahwa masing-masing anak
penyandang down syndrome meskipun ia memiliki kekurangan, namun pada dasarnya mereka
tetap memiliki nilai, berguna dan kemampuan tertentu yang mungkin belum tentu dimiliki
oleh anak-anak dengan kondisi normal. Anak-anak penyandang down syndrome patut
diperlakukan dengan layak. Peran terapi di sini adalah mencoba untuk meningkatkan taraf
hidup mereka ke arah yang lebih baik, hingga suatu saat nanti mereka dapat memutuskan
sendiri jalan hidup yang akan mereka tempuh.
Terapis menggunakan dua ego state selama proses terapi yaitu ego state dewasa (Adult).
Digolongkan ke dalam ego sate dewasa karena terapis mampu menilai fakta yang diperoleh
melalui panca inderanya dan menghasilkan solusi yang masuk akal. Hal ini tercermin dari
bagaimana terapis memulai observasi pasien pada awal terapi hingga memutuskan jenis
tindakan terapi yang harus dilakukan sekaligus dengan metode yang dipilihnya. Terapis juga
melakukan penalaran, tidak dikuasai oleh emosi dan berkomunikasi secara dua arah, baik itu
dengan pasien maupun dengan orang tua pasien. Kata-kata yang diucapkan juga jelas dan
hati-hati dengan ekspresi wajah yang tenang.
Dalam sudut pandang pasien anak, mereka terlihat jelas menggunakan ego state anak-
anak dalam kategori Adapted Child. Ada yang masuk pada kategori anak penurut yang mau
melakukan apa yang diperintahkan dan anak pemberontak yang menolak apa yang

44
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

diperintahkan. Setiap anak akan selalu menjadi golongan anak yang penurut dan pemberontak
sekaligus. Hal tersebut terlihat saat ada pasien yang tidak mau menuruti perintah terapis,
namun ada juga yang menurut. Memang hal tersebut hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu
saja dalam proses terapi dan lebih terlihat pada perilaku non-verbalnya, tidak secara verbal.
Dalam konteks transaksi yang terjadi terjadi di antara diri pasien dan terapis ketika
mereka berkomunikasi secara non-verbal merupakan jenis transaksi komplementer dan bentuk
komunikasi verbal yang terjadi masuk dalam kategori transaksi silang. Transaksi
komplementer (complementary transaction) artinya terjadi timbal balik yang setimpal dan
hubungan komunikasi dapat tetap dilanjutkan karena makna yang diharapkan dapat diterima
oleh lawan bicara. Sementara itu, untuk bentuk komunikasi verbal dapat dikatakan dalam
transaksi silang (crossed transaction) yang artinya pesan yang dikirimkan terapis tidak selalu
mendapat respon yang sesuai dengan yang diharapkan (Solomon, 2003: 18).
Pada konteks hubungan antar pasien dan terapis sifatnya juga tergolong cukup intens,
sehingga mereka memiliki kedekatan personal meski harus melalui beberapa kali pertemuan.
Seorang anak yang menderita kondisi down syndrome dalam usia ini sudah bisa memahami
dan mengenal orang yang kerap bertemu dengannya. Peneliti menilai dalam proses terapi
terjadi sebuah proses komunikasi dengan feedback meski tidak selalu sesuai dengan yang
diharapkan.

Simpulan
Berdasarkan hasil uraiandi atas, maka dapat diambil simpulan bahwa metode terapi
bahasa yang dipakai terapis dalam menangani pasien anak down syndrome di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto terhadap tiga pasien adalah metode modelling dan self talk dan
parallel talk. Dalam metode modelling, terapis menempatkan dirinya sebagai model yang
kemudian pasien disuruh mencontohkan apa yang dilakukan terapis. Sementara itu, untuk
metode self talk dan parallel talk dilakukan dengan cara berbicara pada anak dengan keras
dengan tujuan agar anak mendengar setiap ucapan atau kata yang diucapkan oleh terapis
ataupun orang tua. Selanjutnya, anak diajak berbicara dengan terapis atau orang tuanya.
Proses komunikasi terapeutik dalam terapi dilakukan dengan beberapa tahapan, (1) Tahap pra
interaksi, yakni terapis berusaha untuk membangun interaksi dengan anak. (2) Tahap
perkenalan, yaitu terapis harus berkenalan dulu dengan sang anak serta orangtuanya termasuk
mulai merencanakan proses terapi yang akan dilaksanakan. (3) Tahap orientasi, yaitu terapis
akan mencari tahu masalah dan keluhan yang dialami pasien yang akan menentukan rencana
tindakan yang harus dilakukan. (4) Tahapan kerja merupakan tahap pengimplementasian dari
rencana kegiatan yang telah dibuat. Pada tahap ini akan langsung dimulai proses terapi serta
proses komunikasi terapeutik. (5) Tahap terminasi, yang merupakan tahap terakhir dalam
proses terapi. Dalam tahap ini dapat dilakukan proses evaluasi untuk merumuskan tindakan
yang akan dilakukan dalam sesi terapi selanjutnya.
Dalam proses komunikasi terapeutik, terapis juga kerap menggunakan bentuk
komunikasi verbal dan non-verbal. Bentuk komunikasi verbal banyak dilakukan ketika terapis
memberikan perintah-perintah tertentu kepada pasien, sementara komunikasi non-verbal dapat
berupa sentuhan, gerakan tos, bertepuk tangan, dan mengatakan “yes”, Orientasi ruang dan
jarak pribadi, dan vokalika/ parabahasa.
Dalam proses terapi, juga terdapat hambatan-hambatan yang kerap dialami terapis, di
antaranya adalah sarana dan prasarana yang perlu dilengkapi dalam proses terapi, skill atau
kemampuan terapis yang masih perlu ditingkatkan, durasi terapi yang relatif singkat, serta
orang tua pasien yang kurang kooperatif.

45
Resya Nur Intan Putri1, S. Bekti Istiyanto Jurnal Dakwah Risalah
Penerapan Komunikasi Terapeutik Pada Anak Penyandang Vol.30 No.1. Juni 2019: Hal 35-46
Down Syndrome Melalui Pelayanan Terapi Wicara...

Referensi
Anonim. (2015). Perkembangan Bicara Anak Jauh dari Teman Sebayanya. Semarang:
Selaras.
Ernia, A. K. (2013). Komunikasi Terapeutik Hypnodontia dalam Pengobatan Gigi dan
Mulut. Universitas Padjajaran, Bandung, Indonesia.
Fisher, J. E. M. (2011). The therapeutic role of the mental health nurse: implications for
the practice of psychological therapies. Lismore, NSW: Southern Cross University,
Australia.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika
Hidayat, A. A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba
Istiyanto, S. B. (2015). Komunikasi Antarpribadi. Purwokerto: Literasi Bangsa
Liliweri, A. (2015). Komunikasi Antarpersonal. Jakarta: Kencana Medika.
Mulyana, D. (2011). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nasir, A. dkk. (2009). Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Priyanto, A. 2009. Komunikasi dan Konseling, Aplikasi dalam Sarana Pelayanan Kesehatan
untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika
Sahabat, Sehat. Edisi Juli-September 2013. Majalah Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk
Santoso, E., Setiansah, M. (2010). Teori Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu
Satori, D., Komariah, A. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Selaras Media. (2015, September, Volume 54). Rubrik Konsultasi Prilaku Anak. Semarang
Setyono, B. (2000). Terapi Wicara Untuk Praktisi Pendidikan & Kesehatan. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Solomon, C. (2003). Transactional Analysis Theory: The Basic. Volume 33, No. 1, Januari
2003. (Online). Tersedia dari: http://www.carolsolomonphd.com/ web_pdfs/Transact.
pdf, diakses pada 24 Januari 2016. California.
Sugiyono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Sukandarrumidi. (2012). Metodologi Penelitian; Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula.
Yogyakarta.
Wardaya, C, U. (2015). Identifikasi Potensi Kemampuan Anak Usia Dini. Artikel PPPPTK
DAN PLB. (Online). Tersedia dari: http://www.tkplb.org/index.php/11-warta/70-
identifikasi-potensi-kemampuan-anak-usia-dini diakses pada 29 September 2015

46

You might also like