Professional Documents
Culture Documents
Penyelesaian Hukum Lingkungan Dengan Instrumen
Penyelesaian Hukum Lingkungan Dengan Instrumen
2018
Penyelesaian Hukum Lingkungan Dengan Instrumen Pidana
Penyelesaian hukum lingkungan tidak hanya dapat diselesaikan dengan instrumen hukum
perdata maupun hukum administrasi saja, melainkan dapat pula menggunakan instrumen hukum
pidana yang pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum remidium (obat terakhir). Artinya
instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara pidana dalam penyelesaian sengketa
hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang dipakai dalam suatu kasus kejahatan
maupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan tetapi dapat pula langsung menggunakan
instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu kejahatan yang
berdampak besar atau extraordinary crime. Dengan demikian instrumen hukum pidana ikut pula
dalam ruang lingkup penyelesaian sengketa hukum lingkungan.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai cara penyelesaian sengketa hukum lingkungan
dengan instrumen hukum pidana maka lebih dahulu membahas mengenai alasan mengapa
instrumen hukum pidana dengan hukum lingkungan. Alasan yang paling mendasar adalah
khusus perbuatan pidana menurut Hermin Hadiati Koeswadji dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang dibuat oleh seseorang, barang sesuatu yang dilakukan, kalimat mana menunjuk
baik kepada akibatnya (yaitu berupa kejadian tertentu) maupun kepada yang menimbulkan akibat
(tingkah laku seseorang)[1], dengan demikian menurut pendapat dari Hermin Hadiati Koeswadji
menunjukkan bahwa instrumen hukum pidana melihat akan adanya suatu kasus bukan hanya
akibat perbuatan akan tetapi juga melihat kepada orang yang melakukan akibat dari perbuatan
tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan pertama mengenai hukum lingkungan dengan
hukum pidana ialah dalam hukum lingkunga tidak hanya mengatur mengenai
pertanggungjawaban lingkungan akan tetapi juga mengenai pertanggungjawaban sosial, sehingga
hukum pidana juga ikut berperan dalam mengatur pertanggungjawan di hukum lingkungan
terutama yang berkaitan dengan pertanggungjawaban sosial.
Adapun pihak pemerintah yang berhak mengajukan gugatan apabila terjadi pelanggaran
atau kejahatan terhadap lingkungan diatur dalam pasal 90 ayat 1 dan 2 undang – undang no. 32
tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup. Menurut pasal tersebut
secara garis besar pemerintah maupun pemerintah daerah dapat meminta ganti rugi dan tindakan
tertentu terhada usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup.
Sedangkan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian yang dimaksud dalam pasal 90 diatur
lebih dalam dengan Peraturan Menteri.
Adapun pihak lain yang berhak mengajukan gugatan adalah masyarakat yang pada
dasarnya seperti yang tercantum dalam pasal 91 undang – undang no. 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup memiliki hak untuk mewakili kelompok untuk
kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan masyarkat apabila mengalami kerugian. Terdapat
hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan yang mengatasnamakan pihak
masyarakat yaitu harus terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar huku, serta jenis tuntutan di
antara wakil kelompok dan anggota kelompok.
Selanjutnya pihak organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup, akan tetapi ia tidak berhak meminta ganti rugi kecuali
biaya atau pengeluaran riil. Adapun sebelum mengajukan gugatan, organisasi lingkungan hidup
harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut;
Kemudian dalam hal penyidikan yang pada dasarnya menentukan apakah suatu peristiwa
merupakan tindak pidana hukum lingkungan sangat erat kaitannya dengan pembuktian, yaitu alat
bukti. Alat bukti merupakan alat yang digunakan untuk menjerat tersangka atau pihak tertentu
untuk mendapatkan sanksi maupun hukuman. Adapun alat bukti terdiri dari ;
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
6. Alat bukti alain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang – undangan.
Mengenai penyidikan dan pembuktian, hal lain yang perlu diperhatikan adalah
terdapat ketentuan pidana dalam undang – undang no. 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup mulai dari pasal 97 hingga pasal 120.
Isi dari ketentuan pidana secara garis besar menjerat orang yang sengaja melakukan
tindak pidana lingkungan hidup, orang yang lalai sehingga mengakibatkan kerugian
lingkungan hidup, orang yang melanggar ketentuan lingkungan hidup, orang yang
mengedarkan rekayasa genetik, dan orang yang menghasilkan limbah B3 tanpa
melakukan pertanggung jawaban. Akan tetapi tidak hanya orang saja yang dapat
dikenakan ketentuan pidana melainkan pihak pemberi ijin atau dalam hal ini pejabat
pemberi ijin lingkungan hidup, serta penanggung jawab usaha dapat pula dikenakan
ketentuan pidana.
Lebih lanjut mengenai penegakkan lingkungan hidup seperti yang telah terjadi
dibeberapa kasus yang ada, setiap kali terjadi kejahatan terhadap tindak pidana maka hal
yang paling erat ialah berkaitan dengan kejahatan korporasi. Korporasi dalam hal bagian
dari kegiatan ekonomi dapat pula dikenakan ketentuan pidana lingkungan hidup apabila
dalam melakukan kegiatannya disinyalir telah melakukan kegiatan merusak,
mengurangi, maupun mengubah sesuai batas – batas yang telah ditentukan. Apabila suatu
korporasi ternyata telah melakukan suatu kejahatan lingkungan yang serius maka yang
perlu diperhatikan sebaiknya aturan dari ketentuan hukum pidana lingkungan itu sendiri,
namun apabila tindakan korporasi tersebut lebih mengarah ke pertanggungjawaban
lainnya maka dapat dipakai instrumen hukum perdata maupun instrumen hukum
administrasi.
Adapun mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam kejahatan lingkungan yang dilakukan
oleh pihak korporasi maka dapat diketahui dalam pasal 55 KUHP buku ke I yang memberikan
ancaman terhadap orang yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doen
pleger), yang turut melakukan (medepleger), dan yang membujuk (uitlokker). Dengan demikian
apabila mengaju pada pasal 55 maka yang dapat dikenakan sanksi dapat dimulai dari pemimpin
suatu korporasi, kemudian pemberi perintah dari kegiatan tersebut hingga orang – orang yang
melakukan kegiatan yang pada hakekatnya melakukan kejahatan lingkungan hidup.
Perlu dipahami bahwa dalam ketentuan instrumen hukum pidana sangat dipengaruhi
dengan kemampuan bertanggungjawaban dan unsur kesalahan, sehingga dalam strafbaar feit
menunjuk pada kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang – undang, yang melawan
hukum, dan oleh karenanya patut dipidana. Menurut pendapat ahli pompe dan vost yang
menganut pengertian melawan hukum identik dengan “in strijd met het recht” atau dapat
dikatakan bertentangan dengan hukum.[2] Bertentangan dengan hukum bukan hanya dinilai
sebagai hal – hal yang bertentangan dengan undang – undang melainkan dengan kepatutan.
Selanjutnya apabila melihat pengertian strafbaar feit maka dapat dipertanyakan apa
hubungannya dengan dengan hukum lingkungan. Menjawab pertanyaan berkaitan hubungan
antara strafbaar feit dengan hukum lingkungan maka pada pokoknya menurut Hermin Hadiati
Koeswadji mengatakan bahwa terdapat dua pokok unsur penting, yaitu;
1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti hendeling, kelakuan, tingkah laku yag berada
dalam dunia nyata yang dapat dirasakan oleh panca indera.
2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yag menimbulkan
kelakuan tadi, yaitu berada dalam lubuk batin atau tidak dirasakan dengan pancaindra.
Kedua unsur penting tersebut mudah untuk dibuktikan karena pabila kita melihat
dari unsur yang pertama jelas bentuknya seperti pengerusakan hutan, pencemaran air, dan
segala tindakan yang dapat dirasa merupakan kejahatan lingkungan. Sedangakan
mengenai unsur kedua, keksalahan seeorang diakitkan suasana dalam batin seseorang
yaitu orang tersebut mengetahui dan merasa perbuatan tersebut bertentangan dengan
batinnya.
Pengaruh lain dari tindak pidana adalah unsur mampu bertanggungjawab, unsur
ini merupakan suatu bukti sah dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam kaitannya dengan
mamp bertanggungjawab maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa terdapat tiga sistem
pertanggungjawaban pidana, pertama yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dikenakan pertanggug jaawaban adalah orang, kedua adalah badan huku, dan yang ketiga
orang dan badan hukum. Dengan demikian dalam suatu kejahatan yang dilakuakn oleh
korporasi tidak hanya orangnya saja yang dapat dikenakan sanksi pidana melainkan bdan
hukumnya dapa dikenakan sanksi pidana.
Selain dari pada itu kemampuan bertanggung jawab adalah normalitas psikis dan
kematangan yang membawa tiga kemampuan, yaitu
1. Mampu mengerti nilai – nilai dan akibat perbuatannya sendiri.
2. Mampu menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakt tidak boleh.
3. Mampu menentukan kehendaknya atas perbuatan – perbuatan yang dilakukannya itu.
Dengan adanya pesyaratan diatas maka para sarjana hukum menyepakati bahwa
hukum pidana harus dipandang sebagai ultimatum remidium. Sedangkan maksud dari
ultimatum remidium daat dilihat dari pandangan A. Hamzah yang menggolongkan tiga
pengertian ultimatum remidium, yaitu hukum pidana itu hanya diterapkanterhadap
perbuatan – perbuatan yang sangat tidak bear secara etis, kemudian dianggap sebagai
obat terakhir atau alat terakhir yang diterapkan dalam hukum lingkungan, dn pejabat
administrasilah yang harus bertanggung jawab pertama kalinya.
PERTANYAAN DOSEN
JAWABAN
1. Hukum lingkungan adalah aturan yang menangani masalah lingkungan contoh mengenai
pembakaran hutan, pencemaran libah sampah, dan masalah- masalah yang sangat
merugikan masyarakat atau berdampak pada masyarakat.
2. Kelaian perusahaan tentang limbah dapat di kenankan sanggsi hukum pidadana kepada
pemilik perusahaan, karna sudah melanggar hukum lingkungan yang berdampak kepada
masyarakat dan dapat merugikan masyarakat atau dapat merengang nyawa.
Daftar pustaka