Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 13

MAKALAH

SISTEM ASURANSI KESEHATAN

OLEH:
NUSAIBAH WAFDANA
NIM: 2202070125P

PRODI S1 ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2022
SISTEM PEMBAYARAN PELAYANAN KESEHATAN DRG
(Diagnostic Related Group)

A. PENGERTIAN SISTEM PEMBAYARAN


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, bayar diartikan memberi uang
untuk membeli sesuatu. Pembayaran diartikan sebagai proses, cara, perbuatan
membayar. Sehingga dapat diuraikan bahwa sistem pembayaran pelayanan kesehatan
merupakan sistem yang mengatur tentang proses/tata cara membayar layanan kesehatan.
Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN)
pada bab 24 ayat 3 menetapkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
harus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan
sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Sistem pembayaran pelayanan kesehatan telah diatur secara tegas di Peraturan
Presiden tentang Jaminan kesehatan pasal 39 yaitu menggunakan mekanisme kapitasi
untuk pelayanan kesehatan tingkat pertama dan mekanisme INA-CBGs untuk
pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Sedangkan untuk sistem kendali mutu
pelayanan, meski pada pasal 20 ayat 1 telah menetapkan "produk" dari jaminan
kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai, namun belum ditetapkan secara tegas tentang "mutu produk" tersebut. Pasal 42
yang menjelaskan mengenai kendali mutu, menetapkan bahwa pelayanan kesehatan
kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi
pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien,
serta efisiensi biaya. Hal tersebut harus dicapai secara umum dengan memenuhi standar
mutu fasilitas kesehatan (input), memastikan proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai
standar yang ditetapkan (proses), serta pemantauan terhadap luaran kesehatan peserta
(output). Secara khusus penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan
akan diatur dengan Peraturan BPJS (pasal 42 ayat 3) dan oleh Peraturan Menteri (pasal
44).
Pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan diatur dalam Pasal 24 UU SJSN baik
mengenai cara menetapkan besarnya pembayaran, waktu pembayaran dan
pengembangan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektifitas Jaminan Kesehatan. Mengenai besarnya pembayaraan kepada Fasilitas
Kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan
asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut. UU SJSN tidak memberikan penjelasan
mengenai apa yang dimaksud dengan “wilayah”, apakah sama dengan wilayah
administratif pemerintahan atau wilayah kerja BPJS Kesehatan. Mengenai waktu
pembayaran ditentukan bahwa BPJS wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
permintaan pembayaran diterima.
Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2)UU SJSN dikemukakan “Ketentuan ini
menghendaki agar BPJS membayar Fasilitas Kesehatan secara efektif dan efisien. BPJS
dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk
melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap per kapita per bulan
(kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis,biaya perawatan, biaya
penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh
pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa
menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.” Selanjutnya UU SJSN
menentukan juga bahwa BPJS mengembangkan sistem pembayaran pelayanan
kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas Jaminan Kesehatan.
Ihwal pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan diatur secara rinci dalam
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran dan
Waktu Pembayaran Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 mengatur secara teknis
operasional mengenai besaran dan waktu pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan. Pasal
37 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menentukan bahwa besaran pembayaran
kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan
dengan asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar
tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

B. JENIS-JENIS SISTEM PEMBAYARAN


1. Diagnostic Related Group (DRG)
DRG merupakan cara pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis, bukan
biaya satuan per jenis pelayanan medis maupun non medis yang diberikan kepada
seorang pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh, jika
seorang pasien menderita demam berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama
besarnya untuk setiap kasus demam berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien
dirawat di sebuah rumah sakit dan jenis rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan
berdasarkan diagnosis keluar pasien. Konsep DRG sederhana saja yaitu rumah sakit
mendapat pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah
sakit untuk suatu diagnosis.
Jika di Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di tahun 2017
dan dari hasil analisis biaya diperolah rata-rata biaya per kasus adalah Rp 2 juta, maka
setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah akan dibayar Rp 2
juta untuk setiap pasien. Sistem pembayaran DRG digunakan oleh pemerintah Amerika
Serikat dalam program Medicare tanggal 1 Oktober 1983. Program Medicare adalah
program asuransi kesehatan social di Amerika yang dananya dikumpulkan dari iuran
wajib pekerja sebesar 1,45% gaji/penghasilannya ditambah 1,45% lagi dari majikan
pekerja. Namun dana yang terkumpul tersebut hanya digunakan untuk membiayai
perawatan rumah sakit dan perawatan jangka panjang bagi penduduk berusia 65 tahun
ke atas dan penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit yang tidak bisa lagi
disembuhkan) seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare merupakan program anak
membiayai orang tua yang dikelola secara nasional oleh pemerintah Amerika.
Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi
merinci tagihan pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada pasien, akan tetapi
hanya menyampaikan diagnosis pasien pulang dan memasukan kode DRG untuk
diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis tersebut sudah disepakati oleh
seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak pembayar misalnya badan
asuransi/jaminan social atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah
sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan.
Besaran pembayaran DRG per diagnosis baru dapat dilaksanakan jika system
informasi di RS sudah berjalan dengan baik, sehingga tiap-tiap catatan medis sudah
mencantumkan kode diagnosis yang akurat dan seluruh biaya yang harus dikeluarkan
pasien/pembayar (termasuk obat-obatan) sudah terakam. Penggantian biaya per
diagnosis menggunakan dasar rata-rata biaya yang dihabiskan untuk
pengobatan/perawatan pasien dengan suatu diagnosis dari berbagai rumah sakit di suatu
wilayah., bukan dari rata-rata biaya di suatu rumah sakit saja. Oleh karenanya, system
informasi seluruh rumah sakit harus tertata terlebih dahulu, barulah besaran pembayaran
DRG dapat dihitung dan diberlakukan dengan efek yang diharapkan. Pembayaran
dengan cara DRG mempunyai keutamaan sebagai berikut :
 Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar
 Menudahkan pasien memahami besaran biaya yang harus dibayarnya
 Memudahkan penghitungan pendapatan (revenue) rumah sakit
 Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk menggunakan
sumberdaya seefisien mungkin
 Memudahkan pemahaman klien dalam melakukan sosialisasi/pemasaran pelayanan
rumah sakit Memberikan surplus atau laba yang lebih besar kepada rumah sakit
yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian bagi rumah sakit yang tidak efisien.

Iritnya cara pembayaran DRG akan mendorong rumah sakit menjadi lebih
professional dan lebih efisien. Selain memberikan keutamaan. Pembayaran DRG juga
mempunyai kelemahan sebagai berikut :
 Penerapannya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup dominan, misalnya
dengan system asuransi kesehatan nasional atau pemerintah yang membayar
pelayanan medis bagi rakyatnya.
 Penerapannya membutuhkan system informasi kesehatan, khususnya pencatatan
rekam medis yang akurat dan komprehensif.
 System pembayaran DRG di dalam lingkungan rumah sakit yang mayoritas
pasiennya membayar dari kantong sendiri sulit dilaksanakan kecuali jika ada
komitmen kuat pemerintah yang diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan
pelaksanaannya.
 Pasien yang tidak memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya
pelayanan medis untuk kasus-kasus katastrofik (yang biaya pengobatan atau
perawatannya besar)
DAFTAR PUSTAKA

Indawati Laela, dkk (2018) Sistem Klaim dan Asuransi Pelayanan Kesehatan. Kementrian
Keseahtan Republik Indonesia

Permenkes RI No. 76 Tahun 2016 tentang Pedoman INA-CBGs pada Pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional.

Permenkes RI No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base
Groups (INA CBG’s).

Petunjuk Teknis E-Klaim INA-CBG 5.2, Kementerian Kesehatan, Pusat Pembiayaan dan
Jaminan Kesehatan, National Casemix Center, 2017.

Naga, dr. Mayang Anggraini. (2013). Buku Kerja Praktik Pengkodean Klinis Berdasarkan
Rules dan Konvensi ICD-10, WHO.

World Health Organization. (2014). ICD-10. World Health Organization, ICD-10, Volume 2 :
Instruction Manual, Geneva.
FRAUD PELAYANAN KESEHATAN DAN PENYELENGGARAAN JKN

A. DEFINISI FRAUD
Saat ini, Indonesia telah memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini
berimbas pada perubahan metode pembayaran pelayanan kesehatan. Mulanya, pembayaran
pelayanan kesehatan sebagian besar dilakukan dengan metode pembayaran retrospektif yang
berarti pembayaran dilakukan oleh pasien setelah pelayanan selesai diberikan. Pembayaran
seperti ini sering dilakukan oleh pasien yang tidak memiliki kepesertaan asuransi atau badan
penjamin pembiayaan kesehatan lain. Selanjutnya, dengan diberlakukannya JKN oleh
pemerintah yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan,
masyarakat secara bertahap mulai mengenal metode pembayaran prospektif yang berarti
pembayaran kesehatan dilakukan di awal sebelum pelayanan diberikan. Karena pembayaran
diterima dan dikelola di awal sebelum pelayanan kesehatan diberikan, hal ini memberikan
peluang terciptanya kecurangan dan penyalahgunaan sumber daya kesehatan yang ada. Sejak
beroperasi mulai dari 1 Januari 2014 sampai sekarang,
BPJS Kesehatan telah mengalami banyak tantangan dalam melaksanakan program
jaminan kesehatan nasional (JKN). Salah satunya adalah terjadinya tindak kecurangan
(fraud). Pencegahan kecurangan (fraud) menjadi salah satu bagian penting dalam pelaksanaan
program Jaminan Kesehatan Nasional/Kartu Indonesia Sehat (JKN/KIS) yang
diselenggarakan BPJS Kesehatan. Salah satu dampak kecurangan itu adalah terganggunya
sistem pengelolaan keuangan BPJS Kesehatan karena dana yang dibayar untuk memberikan
manfaat kepada peserta menjadi sangat besar. Jika hal ini terus terjadi maka pengelolaan
Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan akan terganggu. Bahkan, sustainabilitas program
JKN/KIS yang tengah berjalan menjadi terancam.
Sebenarnya, istilah fraud secara umum sudah sejak lama dikenal sebagai bentuk
kecurangan. Akan tetapi, arti secara spesifiknya masih belum begitu jelas. Oleh karena itu,
beberapa ahli mencoba untuk mendefinisikan arti dari fraud. The Institute of Internal Auditor
(2005) mendefinisikan fraud sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan
oleh individu, baik di dalam maupun di luar organisasi, dengan adanya niat kesengajaan, yang
bertujuan untuk menguntungkan individu atau organisasi tertentu dan mengakibatkan adanya
kerugian pihak lain. Selanjutnya, The Institute of Internal Auditor bersama-sama dengan The
American Institute of Certified Public Accountants dan Association of Certified Fraud
Examiners (2008), mendefinisikan fraud berupa setiap tindakan yang disengaja atau
perbuatan yang salah yang dirancang untuk memperdaya orang lain sehingga korban
menderita kerugian dan pelaku memperoleh keuntungan.
Fraud juga dapat berarti penipuan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak yang
lain yang dengan sengaja menyembunyikan keadaan sebenarnya dan menyebabkan pihak lain
menderita kerugian (Hall, 2011).
Dari beberapa pengertian tersebut, tindakan kecurangan yang dapat dikategorikan
sebagai fraud mempunyai beberapa elemen di antaranya:
1. adanya pernyataan atau data baik tertulis maupun tidak tertulis yang menunjukkan
adanya penyimpangan;
2. pengelabuan atau penipuan dengan memanfaatkan ketidaktahuan dan/atau kelalaian
korban sehingga korban bertindak sesuai kehendak pelaku;
3. adanya niat sengaja untuk melakukan tindakan kecurangan untuk mencapai tujuan
pelaku;
4. adanya unsur penyembunyian fakta yang sebenarnya dan pelanggaran hukum atau
aturan yang berlaku; dan
5. adanya keuntungan yang diperoleh pelaku dan kerugian yang diderita oleh korban.

B. PERKEMBANGAN TEORI FRAUD


Teori tentang fraud terus dikembangkan oleh para ahli untuk mendefinisikan
faktorfaktor apa saja yang mendorong terjadinya fraud. Berikut diuraikan beberapa teori
fraud.
1. Teori Fraud Triangle
Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Donald Cressey pada tahun 1953. Teori ini
menjelaskan alasan seseorang melakukan fraud atau kecurangan. Menurutnya, seseorang
yang melakukan fraud dipengaruhi oleh tiga hal, antara lain:
a.Pressure (Tekanan)
Seseorang melakukan fraud karena adanya tekanan. Tekanan terbagi menjadi tekanan
finansial, tekanan akan kebiasaan buruk, dan tekanan yang berhubungan dengan
pekerjaan. Tekanan finansial muncul karena adanya sifat serakah, standar hidup yang
terlalu tinggi, gaji yang rendah, banyaknya tagihan dan hutang, dan kebutuhan hidup
yang tidak terduga. Tekanan akan kebiasaan buruk merupakan dorongan untuk
melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti melakukan judi, minum alkohol, dan obat-
obatan terlarang. Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan bisa terjadi karena
ketidakadilan dalam perusahaan, kurangnya perhatian pimpinan, dan suasana kerja yang
tidak kondusif.
b. Opportunity (Kesempatan)
Fraud terjadi karena seseorang memiliki kesempatan untuk melakukannya. Hal ini terjadi
karena lemahnya pengendalian internal pada perusahaan, kurangnya pengawasan,
dan/atau penyalahgunaan wewenang.
c. Rasionalization (Rasionalisasi)
Rasionalisasi yang dimaksud adalah seseorang mencari pembenaran atas tindakan
kecurangannya. Pada umumnya, seseorang yang melakukan kecurangan beranggapan
bahwa ia merasa tindakannya bukan termasuk kecurangan melainkan hal itu merupakan
haknya. Selain itu, seseorang biasanya melakukan fraud karena mengikuti tindakan
serupa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya.

C. FRAUD DI ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)


Di Indonesia, Pemerintah – melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia – telah
menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2015
tentang Pencegahan Kecurangan (fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan
pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Di dalamnya, fraud diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi
pelayanan kesehatan baik fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP) maupun fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL), serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk
mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam SJSN melalui
perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan. Tindakan kecurangan yang
dilakukan oleh masing-masing pihak diuraikan sebagai berikut.
1. Kecurangan yang dilakukan oleh peserta:
a. membuat pernyataan yang tidak benar dalam hal eligibilitas (memalsukan status
kepesertaan) untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
b. memanfaatkan haknya untuk pelayanan yang tidak perlu (unneccesary services)
dengan cara memalsukan kondisi kesehatan;
c. memberikan gratifikasi (gratification) kepada pemberi pelayanan agar bersedia
memberi pelayanan yang tidak sesuai/tidak ditanggung;
d. memanipulasi penghasilan agar tidak perlu membayar iuran terlalu besar;
e. melakukan kerja sama dengan pemberi pelayanan untuk mengajukan klaim palsu;
f. memperoleh obat dan/atau alat kesehatan yang diresepkan untuk dijual kembali,
dan lain-lain.
2. Kecurangan yang dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan:
a. melakukan kerja sama dengan peserta dan/atau fasilitas kesehatan untuk mengajukan
klaim yang palsu;
b. memanipulasi manfaat yang seharusnya tidak dijamin agar dapat dijamin;
c. menahan pembayaran ke fasilitas kesehatan/rekanan dengan tujuan memperoleh
keuntungan pribadi;
d. membayarkan dana kapitasi tidak sesuai dengan ketentuan; dan lain-lain.
3. Kecurangan yang dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan
Tindakan kecurangan dikelompokkan menjadi dua, yaitu kecurangan yang dilakukan oleh
fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut
(FKRTL).
1. Kecurangan yang dilakukan oleh FKTP: 1) memanfaatkan dana kapitasi tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 2) memanipulasi klaim pada
pelayanan yang dibayar secara nonkapitasi; 3) menerima komisi atas rujukan ke
FKRTL; 4) menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam biaya
kapitasi dan/atau nonkapitasi sesuai dengan standar tarif yang ditetapkan; 5)
melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan tertentu; dan lain-lain.
2. Kecurangan yang dilakukan oleh FKRTL:
1) penulisan kode diagnosis yang berlebihan dengan cara mengubah kode diagnosis
dan/atau prosedur menjadi kode yang mempunyai tarif lebih tinggi dari yang
seharusnya (upcoding);
2) penjiplakan klaim dari pasien lain yang dilakukan dengan cara menyalin klaim
seorang pasien dari klaim pasien lain yang sudah ada dan biasanya klaim yang
disalin mempunyai nilai yang lebih tinggi (cloning);
3) klaim palsu yang dilakukan dengan cara mengajukan klaim atas layanan yang tidak
pernah diberikan (phantom billing);
4) penggelembungan tagihan obat dan alat kesehatan yang dilakukan dengan cara
mengajukan klaim atas biaya obat dan/atau alat kesehatan yang lebih tinggi dari
biaya yang seharusnya (inflated bills);
5) pemecahan episode pelayanan yang dilakukan dengan cara mengajukan klaim atas
dua atau lebih diagnosis dan/atau prosedur yang seharusnya menjadi satu paket
pelayanan pada satu episode perawatan yang sama atau menagihkan beberapa
prosedur secara terpisah padahal seharusnya dapat ditagihkan bersama dalam
bentuk suatu paket pelayanan untuk mendapatkan nilai klaim yang lebih besar pada
satu episode perawatan pasien (services unbundling or fragmentation); rujukan
semu yang merupakan klaim atas biaya pelayanan akibat rujukan ke dokter yang
sama di fasilitas kesehatan yang lain kecuali dengan alasan fasilitas (self referals);
6) tagihan berulang yang dilakukan dengan cara mengajukan klaim berulang-ulang
untuk kasus yang sama secara sengaja (repeat billing);
7) memperpanjang lama perawatan yang dilakukan dengan cara mengajukan klaim
atas biaya pelayanan kesehatan yang lebih besar akibat perubahan lama hari
perawatan khususnya kasus rawat inap (prolonged length of stay);
8) memanipulasi kelas perawatan yang dilakukan dengan cara mengubah kelas
perawatan menjadi kelas yang lebih tinggi sehingga tagihan klaim pelayanan
kesehatan semakin besar (type of room charges);
9) membatalkan tindakan yang wajib dilakukan yang dilakukan dengan cara tetap
mengajukan klaim pelayanan kesehatan meskipun diagnosis dan/atau prosedur
medis tidak jadi dilaksanakan (cancelled services);
10) melakukan tindakan yang tidak perlu yang dilakukan dengan cara mengajukan
klaim atas tindakan yang tidak berdasarkan atas kebutuhan atau indikasi medis (no
medical value);
11) penyimpangan terhadap standar pelayanan yang dilakukan dengan cara mengajukan
klaim atas diagnosis dan/atau prosedur yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
yang semestinya (standard of care);
12) melakukan tindakan pengobatan yang tidak perlu yang dilakukan dengan cara
mengajukan klaim atas tindakan kesehatan yang seharusnya tidak diperlukan
(unnecessary treatment);
13) menambah panjang waktu penggunaan ventilator sehingga klaim yang diajukan
semakin besar;
14) tidak melakukan visitasi yang seharusnya yang merupakan pengajuan klaim atas
kunjungan pasien palsu (phantom visit);
15) tidak melakukan prosedur yang seharusnya yang dilakukan dengan cara
mengajukan klaim atas tindakan yang tidak pernah dilakukan (phantom
procedures);
16) admisi yang berulang yang dilakukan dengan cara mengajukan klaim atas diagnosis
dan/atau prosedur dari satu episode perawatan pasien yang ditagihkan berkali-kali
sehingga seolah-olah pasien tersebut dirawat lebih dari satu kali episode perawatan
(readmission);
17) melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai standar dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan tertentu;
18) meminta cost-sharing dengan pihak lain (BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat
kesehatan) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan lain-lain.
4. Kecurangan yang dilakukan oleh penyedia obat dan alat kesehatan:
a. tidak memenuhi kebutuhan obat dan/atau alat kesehatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. melakukan kerja sama dengan pihak lain mengubah obat dan/atau alat kesehatan yang
tercantum dalam e-catalog dengan harga tidak sesuai dengan e-catalog; dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Indawati Laela, dkk (2018) Sistem Klaim dan Asuransi Pelayanan Kesehatan. Kementrian
Keseahtan Republik Indonesia

Permenkes RI No. 76 Tahun 2016 tentang Pedoman INA-CBGs pada Pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional.

Permenkes RI No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base
Groups (INA CBG’s).

Petunjuk Teknis E-Klaim INA-CBG 5.2, Kementerian Kesehatan, Pusat Pembiayaan dan
Jaminan Kesehatan, National Casemix Center, 2017.

Naga, dr. Mayang Anggraini. (2013). Buku Kerja Praktik Pengkodean Klinis Berdasarkan
Rules dan Konvensi ICD-10, WHO.

World Health Organization. (2014). ICD-10. World Health Organization, ICD-10, Volume 2 :
Instruction Manual, Geneva.

You might also like