Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 35

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I

PENDAHULUAN

A Sirosis Hati
A. 1 Definisi
Istilah cirrhosis berasal dari Greek kirrhos, yang berarti warna orange, dan
menunjuk warna kuning orange sirosis liver yang terlihat oleh ahli patologis atau ahli
bedah. Sirosis didefinisikan secara histologi berdasarkan 3 kriteria yaitu difusi
penyakit, keberadaan jaringan ikat/fibrosis, dan penggantian arsitektur liver normal
dengan nodul-nodul abnormal (Sease et al., 2008).

Sirosis hepatik merupakan fase lanjut penyakit hati kronis yang ditandai
proses keradangan, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan penambahan jaringan ikat
difus (fibrosis) dengan terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati
(Tjokroprawiro, dkk, 2007).

Sirosis merupakan proses akhir dari kerusakan hati yang progresif. Sirosis
dapat terjadi dalam kasus hepatitis kronis yang tidak diatasi secepatnya atau setelah
kerusakan hati akut yang berulang, seperti dalam kasus alkoholisme kronis. Pada
sirosis, hati menjadi keras, menyusut, dan terbentuk jaringan parut serta nodular dan
terjadi gangguan fungsi dan cadangan berkurang karena penurunan jumlah jaringan
hati yang fungsional. Lebih penting lagi, aliran darah mengalami perubahan
sedemikian rupa sehingga tekanan dalam vena portal meningkat. Akibatnya, aliran
darah tidak lagi menuju ke hati, melainkan dialirkan menujuke organ di sekitar hati.
Fenomena ini, disebut portal-to-systemicshunting, yang memberikan dampak besar
pada fungsi berbagai sistem organ dan terjadinya komplikasi. (Mc. Phee,et al., 2005)

2.1.2 Etiologi
Beberapa penyebab sirrosis hati antara lain :
a. Konsumsi alkohol,
1
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Konsumsi alkohol secara kronis dapat menginduksi enzim P450, dimana enzim
ini dapat menyebabkan terjadinya konversi etanol menjadi metabolit yang
hepatotoksik. Selain itu, alkohol juga dapat menimbulkan manifestasi gangguan
metabolisme lemak yang berakibat pada terjadinya perlemakan hepar (Almani et
al., 2008).
b. Virus hepatitis (tipe B, C, D),
c. Penyakit metabolik hati (hemochromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α1
antitripsin, steatohepatitis non alkoholik),
d. Penyakit kolestatis hati :
- Sirosis bilier primer,
- Sirosis bilier sekunder (penyebab yang mungkin : gallstones, strictures, infeksi
parasit),
- Primary sclerosing cholangitis (terkait dengan kolitis ulseratif dan
cholangiocarcinoma),
- Sindrom Budd-Chiari,
- Gagal jantung kongestif yang berat dan constrictive pericarditis,
e. Obat dan herbal (isoniazid, metildopa, amiodaron, methotrexat,
phenothiazine, estrogen, steroid anabolik, black cohosh, jamaican bush tea).
(Dipiro, 2011).

 Hepatitis B
Manifestasi infeksi hepatitis B adalah peradangan kronik pada hati. Virus hepatitis B
termasuk yang paling sering ditemui. Masa inkubasi berkisar 15-180 hari (rata-rata
60-90 hari). Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah
infeksi akut. Sebagian penderita hepatitis B akan sembuh sempurna dan mempunyai
kekebalan seumur hidup, tapi sebagian lagi gagal memperoleh kekebalan. Gejala
hepatitis B dalah lemah, lesu, sakit otot, mual dan muntah, kadang-kadng timbul
gejala flu, faringitis, batuk, fotopobia, kurang nafsu makan, mata dan kulit kuning
yang didahului urin berwarna gelap. Gatal-gatal di kulit, biasanya ringan dan
sementara. Jarang ditemukan demam. Virus hepatitis B ini dapat menimbulkan
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki dengan membentuk bekas luka
dan parut kecil. Parut ini disebut “fibrosis” yang membuat hati lebih sulit melakukan
fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan, semakin banyak parut terbentuk dan mulai
menyatu, dalam tahap selanjutnya disebut “sirosis” (Muchid dkk, 2007)

2.1.3 Patofisiologi
Liver merupakan sebuah sistem untuk menyaring darah yang
menerima darah dari arteri dan vena porta yang aliran darahnya berasal dari
mesenterik, lambung, limfa, dan pankreas. Darah yang memasuki hepar
berasal dari triad portal yang merupakan percabangan dari vena dan arteri
hepatik, saluran empedu, serta jaringan limfa dan saraf yang kemudian
mengalir ke lobus hepar melalui sinusoid yang terdapat didalam hepatosit.
Pada area hepar yang mengalami kerusakan, dengan mengabaikan
penyebabnya, sel stellat hepar akan mengalami perubahan yang abnormal. Sel
stellat normalnya terletak di sinusoid (Sease, et al, 2008).
Bila terjadi kerusakan hepar, sel stellat di area yang rusak akan mulai
membentuk fibroblast, mengekspresikan protein kontraktil, dan menjadi
sumber utama matrik kolagen yang berproliferasi saat fibrosis, dan seketika
itu menyebabkan kerusakan permanen yang merupakan karakteristik dari
sirosis. Adanya deposit materi fibros didalam sinusoid akan merusak aliran
darah ke lobus hepar. Resistensi aliran darah portal meningkat sejalan dengan
akumulasi jaringan fibrosa yang menghasilkan peningkatan tekanan darah
portal yang persisten dan progresif yang disebut sebagai hipertensi portal.
Pada sirosis terjadi perubahan mediator vasodilator dan vasokonstriktor yang
mengatur aliran darah sinusoid hepatik. Penurunan produksi nitrit oksida,
yang merupakan vasodilator, dan peningkatan vasokonstriktor endogen,
seperti endotelin, akan meningkatkan resistensi aliran darah ke ruang sinusoid.
Bersamaan dengan itu, juga akan muncul peningkatan aliran darah ke
vakularisasi splanchnic melalui efek nitrit oksida pada arteriol splanchnic.
Singkatnya, sirosis akan meningkatkan tekanan darah portal karena adanya
3
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

fibrosis pada sinusoid hepatik, perubahan vasodilator dan vasokonstriktor,


serta peningkatan aliran darah ke vaskularisasi splanchnic (Sease et al, 2008).
Sirosis juga menyebabkan perubahan pada pembuluh darah
splanchnic. Terjadinya vasodilatasi splanchnic, penurunan respon terhadap
vasokonstriktor, dan adanya pembentukan pembuluh darah baru,menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran darah splanchnic, pembentukan varises
gastroesofagus, dan perdarahan varises. Semua hal tersebut merupakan bagian
dari sindrom hipertensi portal.(DiPiro, et al., 2011)

Gambar 1. Sistem Vena Porta


(DiPiro, et al., 2008)
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar 2. Lobul Hepar (DiPiro, et al., 2008)

5
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.1.4 Manifestasi
Adanya spiders nevi, palmar erythema, dan lemah otot. Juga dapat
diraba sebelah lobus kiri liver terjadi hepatomegali dan splenomegali
menunjukkan adanya sirosis liver. Diagnosa menjadi lebih mudah jika ada
tanda dekompensasi, yaitu jaundice dan asites (Grattagliano et al ., 2011).

Pada stadium awal, gejala klinik yang muncul bersifat non spesifik seperti
mudah lelah, pruritis atau bahkan tanpa gejala yang khas (Runyon, 2008).
Pada stadium selanjutnya dengan banyaknya jaringan parut yang
menggantikan jaringan normal pada hati dan dengan menurunnya fungsi hati
muncul berbagai macam gejala klinik. Tanda dan gejala klinis dari sirosis
hepatik yaitu : lelah/letih, pruritus, palmar erythema, hiperpigmentasi,
jaundice, hepatomegali, splenomegali, spider angiomata, gynecomasti,
ascites, edema, efusi pleura, susah bernafas, anoreksia, kehilangan berat
badan, ensefalopati (Sease et al., 2008) (DiPiro, et al., 2011).
Klasifikasi (Stragand, 2008)
Berdasarkan Derajat Keparahan
Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka
klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi : Child-
atau Child Pugh Modification.
KRITERIA PENYAKIT HATI KRONIK BERDASARKAN CHILD
PUGH SCORE

Skor 1 2 3

Bilirubin (mg/dl) 1–2 2–3 >3

Albumin (mg/dl) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8

Asites - Ringan Sedang

Level Ensefalopati - 1dan 2 3 dan 4

Prothrombin time (seconds


1–4 4–6 >6
prolonged)
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Keterangan :

 Klasifikasi Child A = Sirosis hati ringan = poin < 7,


 Klasifikasi Child B = Sirosis hati sedang = poin 7 – 9,
 Klasifikasi Child C = Sirosis hati berat = poin 10 – 15

Pada pasien penderita sirosis hepatik, hasil dari tes laboratorium akan
menunjukkan adanya kondisi :
 Hipoalbumin
 Peningkatan Protrombin time
 Trombositopenia
 Peningkatan alkaline phosphatase
 Peningkatan aspartate transaminase (AST), alanine transaminase
(ALT), dan γ-glutamyl transpeptidase (GGT).
 Pemeriksaan lain:Abnormalitas endoskopi dan radiographic, Biopsi
hepar.(DiPiro, et al., 2008).

2.1.5 Komplikasi Sirosis Hati


Komplikasi dari sirosis hati antara lain :
1. Hipertensi portal
2. Hematemesis melena
3. Hipoalbumin
4. Ascites
5. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
6. Hepatorenal Syndrome
7. Hepatic Encephalopathy (HE) (McPhee, 2006).

Terjadinya Komplikasi dari Sirosis Hati


1. Hipertensi portal dan varises esophagus
Hipertensi portal disebabkan karena terjadinya bentukan fibrous (jaringan
ikat yang tidak elastis) menggantikan jaringan normal hepar. Kondisi ini

7
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah pada daerah hepar (hipertensi


portal), sehingga aliran darah menuju hepar tidak dapat memasuki hepar. Akibatnya,
aliran darah tersebut akan kembali ke jaringan asalnya (limpa dan saluran
gastrointestinal) serta ke vena porta melewati pembuluh-pembuluh darah yang lebih
kecil (Lingappa, 2006; Sease et al., 2008).
Proses ini mengakibatkan terjadinya pembesaran pembuluh darah yang tidak
seharusnya dan berakhir pada bentukan caput medusa pada daerah abdomen.
Sementara darah yang kembali pada daerah gastric dan oesophageal akan
menyebabkan pembesaran pembuluh vena di daerah tersebut (varises) yang apabila
pecah dapat mengakibatkan perdarahan. Sebagian dari darah ini akan dikeluarkan
melalui mekanisme muntah (hematemesis), sementara sisanya akan masuk ke dalam
pencernaan dan dikeluarkan melalui feses (melena) (Lingappa, 2006; Sease et al.,
2008).
Pasien sirosis memiliki risiko untuk terjadi perdarahan varises ketika tekanan
vena portal 12 mmHg lebih besar dari tekanan vena cava. Perdarahan dari varises
terjadi pada 25% hingga 40% pasien sirosis dan setiap episode perdarahan membawa
risiko kematian antara 25% hingga 30%. Perdarahan ulang biasanya mengikuti dari
setiap kejadian perdarahan awal, terutama 72 jam dari perdarahan awal (Sease et. al.,
2008)
2. Ascites
Asites, ditandai dengan akumulasi protein yang kaya cairan dalam rongga
peritoneal, adalah salah satu tanda yang paling mencolok dari sirosis. Keluhan terkait
asites diantaranya semakin sesak dalam berpakaian, perubahan berat badan, perut dan
nyeri punggung bawah, refluks gastroesophageal, dan sesak napas sekunder akibat
gangguan gerakan diafragma atau efusipleura (Helms, et al., 2006).
Selain disebabkan oleh hipertensi portal, asites juga disebabkan dari kondisi
hipoalbumin pada pasien sirosis. Peningkatan tekanan pada sinusoid menyebabkan
peningkatan aliran ke pembuluh limfatik, hal ini menyebabkan terjadinya overflow ke
intercavity peritoneal dan berakhir dengan asites. Adanya penurunan aliran darah ke
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

ginjal menyebabkam stimulasi sistem RAAS, sehingga menyebabkan retensi Na yang


diikuti dengan retensi air mendukung keadaan asites (Mc. Phee, et al., 2005).
Adanya hipertensi portal berat dan kerusakan hepar menyebabkan terjadinya
vasodilatasi arteri splanchnic dan penurunan resistensi perifer. Hipotensi sistemik
yang timbul kemudian menyebabkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dan
sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang menyebabkan peningkatan retensi air dan
garam serta dihasilkannya vasokonstriktor. Meskipun resistensi vaskular ditingkatkan
pada sebagian besar daerah vaskular (ginjal, otak, kulit, dan otot) akibat peningkatan
pelepasan vasokonstriktor, tetapi vaskular splanchnic tidak menunjukkan adanya
respon yang sama. Sebaliknya, justru terjadi dilatasi arterial splanchnic dan
menyebabkan perpindahan cepat dari darah arterial menuju hati dan organ-organ
splanchnic lain. Tekanan hidrostatik yang meningkat menyebabkan terjadinya
produksi limpa splanchnic secara besar-besaran dan menimbulkan kebocoran.
Kebocoran cairan terakumulasi dalam rongga perut dan terbentuk ascites yang secara
terus-menerus ada akibat retensi air dan garam oleh ginjal (Sease et al., 2008)

Sirosis / hipertensi portal

↑ Nitrit oksida

Vasodilatasi sistemik / splanchnic

↓ Efektivitas volume darah arterial

Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron

Sirkulasi hiperdinamik Retensi air dan garam Vasokonstriksi ginjal

Ascites

Gambar 1Patogenesis ascites (Sease et al., 2008)

9
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

3. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)


Adalah infeksi yang terjadi pada cairan ascites, merupakan komplikasi yang
biasa terjadi pada pasien dengan ascites. Insiden terjadinya SBP meningkat pada
pasien dengan kadar protein dalam cairan ascites < 1 g/dl dan kadar bilirubin serum >
2.5 mg/dl. Karena aktivitas antibakteri dari cairan ascites sebanding dengan kadar
protein cairan ascites, maka pasien dengan kadar protein dalam cairan ascites yang
rendah memiliki risiko yang lebih tinggi terserang SBP. Patogenesis dari SBP belum
diketahui dengan jelas, tapi diasumsikan bahwa cairan ascites merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri enterik (sirosis menyebabkan organisme enterik
memiliki akses langsung masuk ke dalam aliran darah melalui kolateral
portosistemik). Oleh karena itu, kebanyakan SBP disebabkan oleh gram-negatif
enterobacteriaceae, yang paling banyak diisolasi adalah Escherichia coli.
Manifestasi klinik dari SBP bisa bervariasi dari pasien dengan gejala seperti
demam, leukositosis, nyeri abdominal, dan rebound tenderness, sampai dengan
pasien yang tidak memiliki gejala sama sekali. Berdasarkan alasan tersebut,
parasentesis dengan analisis cairan ascites harus dilakukan pada semua pasien dengan
ascites atau pada pasien dengan sirosis yang semakin memburuk. SBP didiagnosis
jika jumlah leukosit polymorphonuclear (PMN) dalam cairan ascites ≥ 250 sel/mm 3,
kultur cairan ascites positif, atau pasien ascites dengan gejala infeksi (Sease et al.,
2008).
4. Hepatik Ensefalopati
Hepatik Ensefalopatidapat didefinisikan sebagai gangguan fungsi pada
sistem saraf pusat dengan gejala neuropsikiatrik yang luas akibat kerusakan hepar.
Timbulnya hepatik ensefalopati merupakan hasil dari adanya akumulasi senyawa
turunan nitrogen dari usus yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik sebagai akibat dari
penurunan fungsi hepar dan adanya shunting pembuluh darah porto-sistemik. Ketika
senyawa tersebut masuk ke dalam sistem saraf pusat, maka menyebabkan terjadinya
perubahan neurotransmisi yang dapat mempengaruhi kesadaran dan perilaku.
Ammonia merupakan zat yang paling sering dianggap menyebabkan hepatic
ensefalopati, namun glutamate, agonis reseptor benzodiazepine, dan mangan juga
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

memiliki andil dalam timbulnya kondisi hepatic ensefalopati pada pasien sirosis
(Sease et al., 2008). Gejala klinis yang ditimbulkan kondisi ini antara lain
kebingungan, perubahan kepribadian, hilang ingatan, gangguan konsentrasi,
perubahan kebiasaan tidur, sampai dengan timbulnya koma (Lingappa, 2006).
Kondisi hepatik ensefalopati dapat diakibatkan karena :
a) Fungsi normal hepar (yang diantaranya adalah untuk metabolisme amoniak
menjadi urea) menurun akibat kondisi sirosis, sehingga terjadi penumpukan
amoniak yang menyebabkan timbulnya HE.
b) Kondisi sirosis mengakibatkan peningkatan GABA-ergic dan benzodiazepin
endogen yang dapat menghambat reseptor GABA-benzodiazepin dan
menyebabkan HE.
c) Kondisi sirosis menyebabkan disfungsi hepar, sehingga terjadi ketidakseimbangan
metabolisme asam amino (jumlah asam amino aromatis menjadi lebih banyak
daripada asam amino rantai cabang). Hal ini mengakibatkan sintesis false
neurotransmitter yang berakhir pada kondisi HE. (Lingappa, 2006).

Hepatic encepalopathy dimanifestasikan sebagai perubahan status mental yang


merupakan proses berkelanjutan dari portal-to-systemic shunting.
Tabel 2.Faktor presipitasi dari hepatic encephalopathy
(Mc. Phee, et al., 2005).
Increased nitrogen load
Gastrointestinal bleeding
Excess dietary protein
Azotemia
Constipation
Electrolyte imbalance
Hypokalemia
Alkalosis
Hypoxia
Hypovolemia
Drugs
11
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Opioids, tranquilizers, sedatives


Diuretics
Miscellaneous
Infection
Surgery
Superimposed acute liver disease
Progressive liver disease

2.1.6 Penatalaksanaan Terapi


Terapi obat pada hipertensi portal dan sirosis dapat meringankan gejala dan
mencegah komplikasi tapi tidak dapat mengembalikan sirosis pada kondisi normal.
Terapi obat yang ada dapat untuk mengatasi komplikasi ascites, varises, SBP, hepatik
ensefalopati, dan abnormalitas koagulasi (Ryan, 2008).
1. Ascites
Tujuan dari pengobatan pasien dengan ascites adalah mencegah terjadinya
komplikasi yang serius (SBP) dan perbaikan dari kondisi pasien berupa peningkatan
kualitas hidup pasien termasuk mengurangi kesulitan bernafas, kehilangan nafsu
makan, ketidaknyamanan abdomen, dan pembengkakan kaki (Sease at al., 2008).
SAG (serum ascites albumin gradien) dapat membedakan penyebab dari ascites
apakah ascites tersebut merupakan hasil dari portal hipertensi (SAG > 1,1 g/dl) atau
karena proses yang lain (SAG < 1,1 g/dl). Bila pasien dengan ascites karena portal
hipertensi, pengobatannya dapat dengan cara menghindari alkohol, batasan natrium
dan dilakukan penggunaan diuretik (Sease et al., 2008).
Diuretik yang digunakan adalah kombinasi dari spironolakton dengan dosis
100 mg dan furosemid dengan dosis 40 mg, dengan penggunaan maksimum dalam
satu hari yaitu spironolakton 400 mg dan furosemid 160 mg. Rasio perbandingan
tersebut bertujuan untuk menjaga kondisi normokalemia pada pasien. Spironolakton
dapat digunakan sendiri pada awal terapi, tetapi perlu hati-hati terhadap timbulnya
kondisi hiperkalemia. Jika ascites terlihat menetap maka dapat dilakukan parasintesis
selain dilakukan terapi diuretik. Pemberian albumin setelah parasintesis masih
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

bersifat kontroversial tetapi seharusnya diberikan untuk pengambilan cairan ascites


lebih dari 5 L (Sease et al., 2008).
2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Gejala infeksi pada pasien merupakan indikasi untuk penggunaan antibiotik
empirik pada pasien dengan mengabaikan jumlah PMN pada cairan ascites, karena
keterlambatan pada penggunaan antibiotik akan menyebabkan infeksi yang parah dan
kematian. Spektum antibiotik seharusnya dapat mengkover bakteri yang umum
sebagai penyebab patogen seperti E. coli, Klebsiela pneumonia dan Streptococcus
pneumonia (Sease et al., 2008).
Cefotaxime atau antibiotika yang serupa dengan sefalosporin generasi 3
merupakan antibiotik pilihan. Cefotaxime lebih efektif daripada kombinasi ampisillin
dan tobramicin. Floroquinolon merupakan pilihan yang baik dalam mengkover
patogen SBP, karena memiliki bioavaibilitas oral yang baik dan memiliki penetrasi
yang tinggi kedalam cairan ascites. Ofloxacin 400 mg setiap 12 jam yang diberikan
secara oral ekuivalen dengan cefotaxime i.v dalam hal perbaikan infeksi. Tetapi
bagaimanapun juga penggunaan cefotaxime secara i.v digunakan pada pasien dengan
pendarahan gastrointestinal karena bioavabilitas oral akan diganggu. Antibiotik untuk
mencegah SBP seharusnya diberikan pada semua pasien dengan risiko tinggi
terhadap komplikasi termasuk pada pasien yang pernah SBP atau pendarahan viseral
dan dengan adanya protein yang rendah pada ascites (< 1 g/dl). Norfloxacin 400 mg
i.v sehari sekali atau 400 mg setiap 12 jam secara oral, ofloxacin 400 mg i.v sehari
sekali, atau kombinasi ciprofloxacin dengan asam klavulanat akan menurunkan risiko
SBP. Penggunaan antibiotika seharusnya dilanjutkan hingga semua gejala (nyeri
perut, panas, ensefalopati, gangguan ginjal, asidosis, peningkatan leukosit di perifer)
hilang dan jumlah PMN cairan ascites menurun dibawah 250 sel/mm 3 (Sease et al.,
2008).
3. Hipertensi portal dan pendarahan varises
a. Pengobatan perdarahan varises akut
Tujuan terapi pada kondisi pendarahan varises akut meliputi : (1) resusitasi
cairan yang cukup, (2) koreksi kondisi koagulopati dan trombositopenia, dan (3)
13
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

mengontrol pendarahan. Untuk resusitasi cairan dapat digunakan Packed Red Cells
(PRC), Fresh Frozen Plasma, platelet, dan cairan-cairan lain yang dapat berfungsi
sebagai plasma expanders. Untuk koreksi koagulopati dan trombositopenia dapat
digunakan infus trombosit, vitamin K sebagai kofaktor pembentuk faktor koagulan.
Sedangkan untuk mengontrol perdarahan dapat digunakan somatostatin, octeotrid,
dan vasopressin (Sease et al., 2008).
b. Profilaksis primer
Profilaksis primer merupakan upaya untuk mencegah terjadinya perdarahan
awal pada pasien akibat adanya hipertensi portal dan varises. Pada pasien diberikan
β-blocker non selektif karena β-blocker non selektif mengurangi tekanan vena portal
dengan mengurangi aliran pada vena portal melalui dua mekanisme yaitu mengurangi
cardiac output melalui blokade β1 adrenergik dan mengurangi aliran darah pada
splanchnic melalui blokade β2 adrenergik. β-blocker non selektif yang dapat
digunakan yaitu propanolol (10 mg 3 kali sehari) atau nadolol (20 mg sehari sekali).
Golongan nitrat diberikan apabila pasien kontraindikasi atau intoleran terhadap β-
blocker (Sease et al., 2008).
c. Profilaksis sekunder
Profilaksis sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya perdarahan
kembali (rebleeding). Pada pasien diberikan β-blocker seperti propanolol (20 mg 3
kali sehari) atau nadolol (20-40 mg sehari sekali). Adapun penanganan untuk
perdarahan varises yaitu dapat dengan pemberian octreotid. Octreotid diberikan i.v
bolus 50-100 mcg dan diikuti dengan infus kontinyu 25 mcg/jam dan maksimum
pemberian 50 mcg/jam. Vasopressin merupakan first line therapy untuk mengatasi
perdarahan varises. Untuk pengontrol perdarahan maka pada pasien dapat dilakukan
prosedur endoskopi (Sease et al.,2008).
d. Penatalaksanaan pendarahan varises akut:
Penatalaksanaan umum dan resusitasi
 Pilihan cairan untuk resusitasi yakni cairan kristaloid.
 Bila transfusi diperlukan, berikan jangan terlalu cepat
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

 Hindari ensefalopati dengan cara pemberian laktulosa dan klisma tinggi.


 Pemasangan nasogastric tube berguna untuk memonitor adanya pendarahan baru
atau untuk persiapan endoskopi. Dapat pula dilakukan lavas lambung.
 Pemberian antibiotik jangka pendek (misalnya, ciprofloxacin) terbukti dapat
mencegah terjadinya SBP.
 Vitamin K diberikan bila ada gangguan faal koagulasi.

Usaha penghentian pendarahan varises


 Pemberian obat-obatan vasoaktif (misalnya, vasopressin, somatostatin, octreotide).
Pencegahan pendarahan ulang
Terapi propanolol, STE dan LVE berulang dan serial ataupun bedah shunting.
(Setiawan, et al, 2007).

4. Ensefalopati hepatik
Terapi pada ensefalopati hepatik dapat meliputi pengukuran konsentrasi
amoniak darah, terapi diet, laktulosa, antibiotika, dan replacement zink pada pasien
dengan defisiensi zink (Sease et al., 2008).
Pada pasien dengan HE akut, intake protein dikurangi hingga sampai terjadi
perbaikan klinis. Titrasi protein tergantung pada toleransi pasien. Peningkatan intake
dilakukan 10-20 g/hari setiap 3-5 hari hingga total 0,8-1 g/kg per hari. Untuk pasien
dengan kronik HE batasan protein yaitu hingga 40 g/hari (Sease et al., 2008). Pada
HE akut, laktulosa awalnya diberikan dengan dosis 45 mL secara oral setiap jam
hingga katarsis dimulai. Kemudian dosis diturunkan hingga 15-45 mL setiap 8-12
jam secara oral hingga pasien dapat BAB 2-4 kali dengan konsistensi lembek (Sease
et al., 2008).
Terapi antibiotik bisa dengan menggunakan metronidazole atau neomycin.
Antibiotik diberikan pada pasien bila tidak merespon terhadap diet dan sirup
laktulosa. Antibiotik neomycin, metronidazole, atau vancomycin akan menghambat
aktivitas bakteri yang memproduksi urease sehingga terjadi penurunan produksi

15
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

amoniak (Sease et al., 2008). Terapi lainnya yang dapat diberikan pada pasien dengan
HE yaitu dengan menggunakan L-ornithine L-aspartate secara per oral atau
menggunakan flumazenil 0,2-15 mg secara intravena. Pemberian suplemen zink pada
pasien HE dengan defisiensi zink dapat dilakukan dengan dosis 220 mg sebanyak dua
kali sehari (Sease et al., 2008).
Pendarahan akut

Resusitasi cairan tubuh dan faktor


pembekuan darah

Somatostatin, octreotide
antibiotik
Pendarahan berlanjut

Pemeriksaan endoskopi dan


terapi endoskopi
Penyebab

Bukan karena Hipertensi portal gastropati Varises pada Varises


hipertensi portal lambung esofagus

Pengobatan lain Somatostatin Balon Tamponade Octreotid selama


octreotide Octreotid 5 hari disertai EBL
TIPSS atau EIS
Pendarahan berlanjut

TIPSS
Pendarahan Pendarahan
(pembedahan)
berhenti

TIPSS Endoskopi
(pembedahan) lanjutan dan
β-bloker

Gambar 1.1 Skema manajemen terapi perdarahan varises akut (Sease, 2008)
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.2 HEMATEMESIS MELENA


Definisi
Hematemesis melena adalah terjadinya muntah darah dan feses disertai
darah pada pasien sirrosis hati. Pada pasien sirrosis hati terjadi hipertensi portal
karena peningkatan tekanan intrahepatik akibat terbentuknya nodul. Akibat hipertensi
portal terjadi peningkatan aliran darah ke pembuluh darah di sekitar esophagus yang
menyebabkan terjadinya varises. Varises yang terbentuk mudah pecah sehingga
terjadi hematemesis melena (Tierney, 2006).
Manajemen Terapi Hematemesis Melena
1. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan dengan memberikan cairan pengganti elektrolit dilanjutkan
transfusi darah.
2. Koreksi koagulopati dan trombositopeni
Pada pasien sirrosis mengalami penurunan absorbsi vitamin K untuk aktivasi
faktor pembekuan II, VII IX, dan X sehingga terjadi koagulopati. Untuk mengatasi
koagulopathi dan trombositopeni diberikan injeksi vitamin K 2,5-10mg atau
transfusi trombosit. Penggunaan secara infus tidak lebih dari 1mg/menit.
3. Menghentikan pendarahan
Untuk menghentikan pendarahan diberikan vasokonstriktor, vasopressin, dan
octreotide secara infus dengan dosis 50-100 µg/jam.
4. PRC
Satu unit PRC mengandung butir-butir sel darah merah, satu unit darah utuh dan
sejumlah kecil plasma yang mengandung antikoagulan. PRC disediakan dari darah
utuh yang tidak lebih dari 14 hari penyimpanan dan penderita hanya diberi
komponen darah yang spesifik yang benar-benar dibutuhkan. Indikasinya untuk
anemia dan hematemesis melena.
5. Asam Traneksamat
Merupakan inhibitor kuat aktivitas plasminogen (konversi plasminogen 
plasmin) pada sistem fibrinolisis. Asam traneksamat diabsorbsi cepat di GIT

17
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

dengan waktu paruh 1-2 jam dan diekskresikan lewat urine dalam bentuk
unchanged. Dosis secara infus disarankan 25-50mg/kg BB sehari.
6. Mencegah pendarahan berulang
Untuk mencegah terjadinya pendarahan berulang diberikan β-blocker non selektif
yaitu propanolol 3x10 mgatau nadolol 1x20 mg untuk menurunkan cardiac output
sehingga mencegah rebleeding (Sease, 2008)

BAB III
PROFIL PASIEN
3.1 Profil Pasien

Med record/Reg Number 12.74.xx.xx


Tanggal MRS / KRS 30 Maret 2019 / 5 April 2019
Nama TN. PE
Usia 30 th
Jenis kelamin Laki-laki
Tinggi badan/ Berat badan -
Past Medical History BAB Hitam 1 hari SMRS, 1 x kurang lebih 2
gelas, muntah (-), nyeri kepala (+), pusing (+),
sehari sebelumnya KRS di rawat ruang 24
dengan kasus yang sama
Social History -
Family history -
Allergic/ADR history -
Past Medication History -
Status Pasien JKN
Keluhan Utama BAB Hitam
Anamnesa dokter BAB Hitam 1 hari SMRS, 1 x krang lebih 2
gelas, muntah (-), nyeri kepala (+), pusing (+),
sehari sebelumnya KRS di rawat ruang 24
dengan kasus yang sama
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Diagnosa dokter  Post shock hipovolemik dt blood loss


 Melena
 Cirrhosis Hepatic child pugh B post
necrotic Hepatitis B
 Anemia Hipokalemia dt chronic blood
loss dancirrhosis hepatitis

3.2 Catatan Perkembangan

Tanggal Perkembangan pasien


30/03 MRS UGD - keluhan melena, Mual, Pusing, Lemas
31/03 belum BAB lagi, mual, pusing, lemas dan pucat Hb 7,7 g/dL dan agak
sesak
1/04 belum BAB lagi hari ke -3 , lemas dan hb 8,6 g/dL setelag transfusi 1
labu PRC
2/04 Lemas, BAB  Melena ( - ) negatif dan tidak hitam. Pasien persipan
endoscopy tgl 4 jan 2016
3/04 Besok endoscopy maka mulai nanti malam jam 22:00 mulai puasa
4/04 Hasil endoscopy : Oesofagus Ringan, Varices Oesofagus gr II - III,
Varices Finding, Portal Hipertensi gastrophaty
5/4 KRS

3.3 Data dan Tanda Klinis

Data Nilai Normal DATA KLINIS

30/03 31/03 1/04 2/04 3/04 4/04 5/04


H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7
TD 120/80 mmHg 110/60 90/50 100/60 100/70 100/60 100/90
Nadi 80-55 /menit 68 80 80 90 51 80
RR 20 /menit 18 18 21 20 20 20

Suhu 36-37 oC 37 35,6 36 36,5 36,2 36,2 36,2

19
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

PARAMETER Tanda Klinis Pasien


30/03 31/03 1/04 2/04 3/04 4/04 5/04
IRD H1 H2 H3 H4 H5 H6
GCS 465 465 465 465 465 465 465
Mual ✚✚ ✚ - - - - -
Muntah ✚ - - - - - -
Pusing ✚✚ ✚✚ ✚ - - - -
Lemas ✚✚ ✚✚ ✚✚ ✚✚ ✚ ✚ -
Melena ✚ - - - - -
Sesak - - - - - - -

3.4 Data Laboratorium

Data Nilai Satuan 30/03 31/03 1/04 2/04 3/04


normal 30/03 31/03 1/04 2/04 3/04
HEMATOLOGI
Hemoglobin(HGB) 13,4-17,8 g/dL 9,3 7,7 8,6 8,1
Eritrosit (RBC) 4,0-5,5 106 /μL 4,16 3,39 3,68 3,48
Leukosit (WBC) 4,3-10,3 103 /μL 6,8 3,08 2,87 2,76
Hematokrit 40-47 % 31,10 25,65 28,70 26,90
Trombosit (PLT) 142-424 10 /μL
3
128 115 113 90
MCV 80-93 fL 74,80 75,50 78,00 77,30
MCH 27-31 pg 22,40 22,70 23,40 23,30
MCHC 32-36 g/dL 29,90 30,10 30,00 30,10
Eosinofil 0-4 % 4,1 5,6 5,4
Basofil 0-1 % 0,1 0,3 0,0
Neutrofil 51-67 % 73,9 62,7 55,9
Limfosit 25-33 % 12,9 22,3 25,7
Monosit 2-6 % 9,0 9,1 13,0
FAAL HATI
AST/SGOT 0-41 U/L 46
ALT/SGPT 0-41 U/L 35
Albumin 3,5-5,5 g/dL 2,66 3,1
Globulin 2,5 - 3,5 g/dL 2,59
Protein Total 6,8 - 8,7 g/dL 5,25
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Bilirubin Total < 1,0 mg/dL 0,83


Bilirubin Direk < 0,25 mg/dL 0,39
Bilirubin Indirek < 0,75 mg/dL 0,44
FAAL GINJAL
Ureum / BUN 16,6-48,6 mg/dL 15,8
Kreatinin < 1,2 mg/dL 0,57
Asam Urat 2,4 - 5,7 μg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 136-145 mmol/L 134
Kalium (K) 3,5-5,0 mmol/L 4,83
Klorida (Cl) 98-106 mmol/L 113
METAB KARBOH
Glucose fasting 60-110 mg/dL
2 PP < 130 mg/dL
random < 200 mg/dL 101
Data Lab
Bacteria < 23 103 /ml 21,2
Besi (FE/Iron) 53 - 167 μg/dL 14

21
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB III
PROFIL TERAPI

PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MASUK RUMAH SAKIT


Tanggal Pemberian Obat (mulai MRS)
OBAT RUTE Dosis 30/03 31/03 1/04 2/04 3/04 4/04 5/04
IRD H1 H2 H3 H4 H5 H6
NaCl 0,9% IV 20 tpm ✔   1000cc/jam ✔ ✔
drip Octreotide IV 50 μg/jam ✔     
Ceftriaxone IV 1 x 1 gr ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Lanzoprasole IV 2`x 30 mg ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ 1 x 30mg

K
Metoclopramide IV 3 x 10 mg ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Futrolit : NS 0,9 --

R
2:1 IV 20 tpm  ✔ ✔   
Tranfusi PRC PO 1 labu/hari  ✔    

S
Lactulosa PO 3 x C II ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Propranolol PO 2 x 10 mg    ✔ ✔ ✔
Spirolaktone PO 2 x 100 mg    ✔ ✔ 0-100mg-0
Furosemide SC 40 mg - 0 – 0 ✔
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB IV
ANALISIS DRP DAN MONITORING

Masalah Terkait Obat (DRP)


Problem medis Terapi DRP
Hipoalbumin Albumin 20 % 100 ml Karena pasien JKN maka pasien
tidak mendapatkan albumin jika
kadar serum Albumin nya tidak
kurang atau sama dengan 2,5 g/dL.
Pasien juka tidak mampu membeli,
krn keterbatsan ekonomi.
Karena penurunan albumin, tekanan
onkotik plasma menurun dan
memperparah kondisi asites (Mc.
Phee, et al., 2005).

Hepatitis B Lamivudin 100 mg Tidak diberinya terapi Hepatitis B


1 x sehari dimana sebelumnya pada ruangan
24B pasien pernah mendapatkan
terapi Lamivudin. Dimana
pengobatan jangka panjang.

1. Monitoring efektivitas terapi


Monitoring terapi obat pada kasus sirosis hati dan melena, dilakukan dengan
memantau tanda vital seperti temperatur khususnya pada infeksi yang disertai
kenaikan temperatur. Terapi yang efektif tentunya akan menurunkan temperatur.
Selain itu parameter klinik dapat dijadikan tanda kesuksesan terapi seperti tidak
Melena yang dimana buang air besar (BAB) tidak hitam dan menandakan tidak ada
pendarahan pada pencernaan bagian atas; frekuensi mual dan muntah yang menurun;
mudah buang air besar (BAB); .
2. Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek samping obat,
alergi, interaksi obat.
3. Assessmen:
a. Menilai ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan.
b. Mengkaji ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan
c. Mengkaji kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien.
23
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

d. Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
e. Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
antasida.
f. Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi.
g. Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi.
4. Rekomendasi
Pemilihan Terapi Utama dan Terapi Pendukung.
5. Konseling
a. Tanda-tanda alergi/hipersensitivitas terapi yang di beri.
b. Penghentian terapi bila dijumpai tanda hipersensitivitas.
c. Kontinuitas terapi sampai dengan antibiotika habis untuk meminimalkan risiko
resistensi.
d. Langkah-langkah penanganan ROB, agar pasien tidak begitu saja menstop terapi
setelah mengalami ROB.
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB V
PEMBAHASAN

Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan fibrosis dan
perubahan arsitektur hati normal menjadi nodul-nodul abnormal. Hasil akhirnya
adalah kerusakan sel hepatosit dan diganti dengan jaringan fibros .Penyakit ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu obat dan toksin, virus, infeksi, penyakit genetik,
dan penyebab (Ryan, 2008). Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan Buang Air
Besar (BAB) Hitam 1 hari SMRS, 1 x kurang lebih 2 gelas, muntah (-), nyeri kepala
(+), pusing (+), 2 hari sebelumnya KRS di rawat ruang 24 dengan kasus yang sama
bahkan lebih parah sampai muntah darah.
Pasien sebelum masuk RSUD Dr. Soetomo sebelumnya kurang lebih 2
minggu lalu pasien di rawat di RSUD Soewandi selama kurang lebih 8 hari karena
muntah darah dan BAB hitam, sampai mendapatkan transfusi 4 labu darah dan
Albumin. Pasien juga mempunya sakit Kuning positif 7 tahun yang lalu dengan BAB
hitam dengan muntah darah lalu pernah endoskopi dengan hasil positif pendarahan di
lambung dan tidak pernah kontrol dan berobat rutin. Telah di ketahui juga pasien
menderita Hepatitis B. Pada kasus sirosis Hati dan melena tujuan terapi untuk
mencegah terjadinya pendarah dan menghentikan pendarahan yang terjadi pada
pencernaan atas, yang bisa sampai terjadi Hematemesis Melena muntah darah dan
feses disertai darah pada pasien sirrosis hati dan juga agar sirosis hati yang terjadi
saat ini tidak jadi lebih parah kerusakannya.
Untuk lebih memastikan penyakit dan gejala yang ada pasien di minta untuk
endoscopy yang akhirnya dilakukan pada hari ke enam yang dimana kesimpulan dari
hasil endoskopy nya : Oesofagus Ringan, Varices Oesofagus gr II - III, Varices
Finding, Portal Hipertensi gastrophaty. Pada awal MRS pasien mendapatkan terapi
NaCl 0,9% dan di kombinasi dengan futrolit 2:1 sebagai penanganan awal untuk
menjaga hemodinamik, keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien di drip octreotide
50 μg/jam untuk penanganan untuk perdarahan varises yaitu dapat dengan pemberian
octreotid. Octreotid diberikan i.v bolus 50-100 mcg dan diikuti dengan infus kontinyu
25
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

25 mcg/jam dan maksimum pemberian 50 mcg/jam. Vasopressin merupakan first line


therapy untuk mengatasi perdarahan varises. Untuk pengontrol perdarahan maka pada
pasien dapat dilakukan prosedur endoskopi atau di lihat pada NGT pasien untuk
sementara jika masih ada darah pada NGT berarti masih ada pendarahan.6,18
Kemudian pasien mendapatkan Metokloperamide dengan dosis 3 x 10mg
secara intravena (IV) karena pasien mengeluh mual dan muntah sebelumnya, maka
obat ini digunakan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Terapi
Metokloeramide sebagai antiemetik dengan mekanisme kerja meningkatkan respon
asetilkolin pada jaringan saluran cerna atas menyebabkan peningkatan motilitas dan
mempercepat pengosongan lambung tanpa sekresi gastric, empedu dan pankreas,
selain itu juga meningkatkan tonus sfingter esofagus.14
Pasien mendapat terapi Obat golongan Proton Pump Inhibitor (PPI)
Lansoprasol dengan dosis 2 x 30mg secara IV awalnya setelah terapi hari hari ke
enam dosis di turunkan 1 x 30 mg secara IV dan hari ke tujuh pasien KRS. Dimana
pada hari ke dua pasien pasien di perkirankan udah tidak ada pendarahan pada
pencernaan bagian atas dengan melihat NGT bersih tidak ada bercak darah tapi
dokter masih menunggu dari BAB apa masih melena tapi untuk menjaga akan terus di
kasih sampai pasien KRS. Kenapa mendapatkan obat golongan PPI dibanding
golongan H2 Antagonis. PPI yang bekerja pada sel parietal dalam kondisi asam
dengan mekanisme menghambat enzim H+/K+-ATPase (pompa proton) secara
irreversible sehingga menghambat sekresi asam lambung. Golangan PPI merupakan
obat yang bekerja dengan menekan sekresi asam lambung dengan penghambatan
spesifik dari H+/K+- ATPase dalam sel parietal di lambung. Hal ini mengakibatkan
penghambatan dari sekresi asam, yang diikuti dengan peningkatan pH intragastrik,
PPI merupakan prodrug yang aktif pada kondisi asam, PPI yang aktif akan berikatan
secara kovalen dengan gastrik H + , K + -ATPase melalui ikatan disulfida.14,19
Golongan H2 antagonis dengan penggunaan i.v sering kali tidak dapat menjaga pH
lambung diatas 6 (target terapi antisekretori asam lambung), sehingga lebih efektif
digunakan golongan PPI.19
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

NICE, 2014

Pasien juga mendapat terapi dengan Laktosa dengan dosis 3 x CII (2 sendok
the) yg berarti dosis 3 x 30 gr dimana per setiap satu sendok teh mengandung
3,335g/5ml. setelah hari ke empat pasien BABA dan melena (-) bersih atau normal
BAB nya. Laktulosa yang di dalamnya terdiri dari galaktosa dan fruktosa dan
dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi asam asetat dan asam laktat yang
kemudian dapat menurunkan pH kolon yang menyebabkan perubahan merubah
amoniak (NH3) dalam usus menjadi amonium (NH4+). Kondisi asam dapat
menurunkan absorpsi ammonia sehingga konsentrasi ammonia dalam darah menurun.
menurunnya kadar amonia untuk mengatasi hepatik ensefalopati (HE) dan
komplikasi HE juga sebagai laksatif. Selain itu, kondisi tersebut juga akan
meningkatkan perpindahan ammonia dari dalam darah ke saluran cerna. Amonium
merupakan ion yang tidak dapat kembali masuk ke sirkulasi sistemik dan langsung di
eliminasi lewat feses.. meningkatkan suplai karbohidrat ke dalam usus sehingga
menurunkan pemecahan asam amino, serta merubah metabolisme bakteri dalam usus
sehingga menurunkan degradasi protein. Selain itu pH yang asam akan
meningkatkan perpindahan amoniak dari darah ke dalam kolon. Adanya efek katartik
yang dimiliki oleh laktulosa akan membantu melunakkan feses sehingga mudah

27
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

untuk dikeluarkan. Dosis yang disarankan sebagai laxansia 20-30 g tiap 3-4 kali
sehari.3,14 Dosis yang disarankan sebagai laxansia 20-30 g tiap 3-4 kali sehari
(McEvoy,2011)
Pasien pada Hari ke dua mendapat tranfusi PRC di sebabkan hasil data
laboratorium Hematologi menunjukan penurunan atau nilai di bawah normal antara
lain Hemoglobin (Hb) 7,7 g/dL Hal ini disebabkan oleh terjadinya perdarahan varises
sehingga pasien mengalami kondisi hematemesis melena. Pada pasien yang
kehilangan > 30% sampai 50% volume darah diberikan terapi cairan elektrolit dan
tranfusi PRC hingga gejala-gejala oxygen need (rasa sesak, mata, palpitasi, pusing,
gelisah dan Hb < 6 g/dl) hilang, biasanya hingga Hb 8-10 g/dl. Kecepatan pemberian
tranfusi PRC adalah 1 cc/kgBB/jam. 20
Pasien dari awal MRS juga di kasih terapi antibiotik dimana antibiotik yang
di kasih adalah ceftriaxon 1x 1 gr secara IV. Perdarahan varises akut sering disertai
dengan infeksi bakteri akibat translokasi usus dan gangguan motilitas. Pasien sirosis
dengan melena memiliki resiko yang tinggi dalam perkembangan infeksi bakteri
yang berat, terutama pada pasien sirosis hepar dalam kelompok Child pugh B dan C
sehingga digunakan antibiotik profilaksis jangka pendek. Antibiotik yang
direkomendasikan dapat berupa golongan kuinolon yang efektif untuk eradikasi
bakteri gram negatif di usus.3,17 Pasien diberikan tambahan antibiotic profilaksis dari
golongan kuinolon (Norfloxacin, Ciprofloxacin) atau sefalosporin (Ceftriakson). 17
Keadaan pasien ini jika dikategorikan dengan sistem Child pugh score termasuk
dalam kelas B. Ceftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga yang lebih sensitif pada infeksi akibat bakteri gram negatif, sehingga sesuai
diberikan sebagai profilaksis SBP. Regimen dosis Ceftriakson untuk SBP adalah 1-2
g tiap 12-24 jam.14 Ceftriaxone terapi pilihan untuk mengatasi SBP karena dibutuhkan
antibiotik spektrum luas yang mampu meng-cover bakteri patogen (umumnya E.
Coli, Klebsiella pneumonia, dan Streptococcus pneumoniae) pada pasien SBP
maupun suspect SBP. Antibiotik terapi untuk profilaksis SBP sebaiknya diberikan
pada pasien yang beresiko tinggi dengan komplikasi perdarahan varises dan protein
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

asites rendah (<1 g/dl) serta pasien yang muncul gejala infeksi seperti nyeri perut,
demam meskipun belum terjadi peningkatan nilai PMN pada cairan asites.3
Ada Terapi yang telah di siapakan adalah Spirolaktone dan Propanolol tapi
oleh dokter diberikan setelah pasien BAB dan tidak melena, pasien mendapat
tambahan terapi tersebut pada hari ke 4. Dokter pertimbangan pemberian ini karena
pasien awalnya Post Shock Hipovolemik dt Blood Lost dan juga permtibangan
Hipotensi yang dimana tekanan darah pasien sekitar 100/60 mmHg.
Dosis yang diberikan Propranolol diberikan dengan dosis 2 x 10 mg secara
oral di mana bertujuan untuk mencegah terjadinya rebleeding, menurunkan tekanan
vena portal. Propanolol merupakan suatu β-blocker non kardio selektif yang
diberikan dengan tujuan menurunkan tekanan vena porta melalui dua mekanisme
yaitu penurunan cardiac output melalui pengeblokan β1 adrenergik dan penurunan
aliran darah pada splanchnic melalui blokade β2 adrenergik. B adrenergik bloker
digunakan sebagai terapi hipertensi portal jangka panjang.3,21 Dosis propanolol sangat
individual, namun target terapi yang harus dicapai adalah penurunan nadi 25% dari
nadi awal atau mencapai sekitar 55-60 x/menit.21
Sedangkan untuk terapi dengan Spirolaktone di berikan dengan dosis2 x
100mg secara oral. Sirosis dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah
portal akibat perubahan fibrotik dalam sinusoid hepatik. Selain itu, adanya
insufisiensi hepatik menyebabkan vasodilatasi arterial splanchnic yang dapat
menimbulkan kondisi ascites akibat kebocoran pada pembuluh limfa karena besarnya
tekanan hidrostatis dan penurunan resistensi periferal. Hal tersebut menyebabkan
terjadi hipotensi sistemik sehingga terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik
dan peningkatan sistem renin-angiotensin-aldosteron yang menimbulkan peningkatan
retensi air dan natrium serta terjadi produksi vasokonstriktor. Maka, diperlukan terapi
antagonis aldosteron untuk menghilangkan efek aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron.3 Spironolactone merupakan diuretik hemat kalium dan antagonis
aldosterone yang dapat digunakan untuk mengatasi ascites yang terjadi pada pasien.
Spironolactone memiliki mekanisme kerja yaitu bersaing dengan aldosterone untuk
menduduki reseptor di tubulus distal dan meningkatkan ekskresi natrium dan air
29
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

dengan tetap menjaga kadar kalium.14 Namun, efek samping yang umum terjadi dari
spironolakton yaitu hiperkalemia, makan spironolakton sebaiknya digunakan
kombinasi dengan furosemide untuk mencapai kondisi normokalemia.6
Pada hari ke enam dosis Spirolaktone di turunkan dengan menjadi 1 x
100mg (0-100-0) dan di tambahan terapi dengan Furosemide injeksi dengan dosis 1 x
40 mg secara IV. Pada umuumnya pada kasus ini furosemide di gunakan untuk
mengatasi ascites dan premedikasi tranfusi PRC. Dan kombinasi dengan spirolaktone
udah dengan perbandingan yang tepat. Furosemide merupakan diuretik yang bekerja di
loop of henle, bersifat diuretik kuat sehingga efek diuresis lebih cepat dan cairan ascites cepat
berkurang.14 Penggunaan kombinasi furosemide dan spironolactone dengan perbandingan
dosis 40 mg : 100 mg dapat menjaga kondisi normokalemia pada pasien. Selain itu
furosemid juga digunakan sebagai premedikasi sebelum pemberian tranfusi PRC
untuk mencegah terjadinya overload cairan karena pada pasien telah terjadi
komplikasi ascites.3,14
Selama pasien di rawat di RS tanda-tanda vital seperti suhu, nadi, RR dan
tekanan darah smua masih dalam batas” yang nowar sesuai data di atas. Tanda-tanda
klinis atau Keluhan awal yang di rasakan pasien mulai menghilang di hari kedua dan
hari ke empat udah hamper semua tidak ada.
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Secara keseluruhan terapi yang diterima Tn. PE sudah tepat dan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi oleh pasien, selain itu dilakukan monitoring secara
berkala efektivitas dan efek samping obat untuk mencapai keberhasilan terapi.
5.2 Saran
Diperlukan kerjasama antar profesi kesehatan (dokter, farmasis, perawat) dalam
melakukan terapi pada pasien. Kerjasama ini diperlukan untuk mencapai terapi yang
maksimal pada pasien.

31
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR PUSTAKA
1. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti 1973 - 2003. 2003;
2. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et
al. Infectious Diseases Society of America / American Thoracic Society
Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia
in Adults. 2007;44(Suppl 2).
3. Lacy, et al. Drug Information Handbook 17th edition. 2009.
4. Asadi L, Sligl WI, Eurich DT, Colmers IN, Tjosvold L, Marrie TJ, et al.
Macrolide-Based Regimens and Mortality in Hospitalized Patients With
Community- Acquired Pneumonia : A Systematic Review and Meta-analysis.
2012;1–10.
5. Caballero J, Rello J. Combination antibiotic therapy for community-acquired
pneumonia. Ann Intensive Care [Internet]. Springer Open Ltd; 2011;1(1) :48.
Available from: http:// www. annalsofintensivecare.com/ content/1/1/48.
6. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di indonesia. 2006
7. ESH/ESC Guidelines for The Management Arterial Hypertension. The Task for
The Management of Arterial Hypertension of The European society of
Hypertension (ESH) and Of the Europian Society of Cardiology (ESC). 2013.
1281-1357
8. Dipiro, J.T et al. Pharmacoterapy Handbook. 7th ed. McGrawHill. USA. 2009.
124-129
9. Alawneh JA, Stroke Management. BMJ Publishing Group. 2010.
10. Fagan, S.C., and Hess, D.C., 2008. Stroke. In: Triplitt, J.T., Talbert, L., Yee,
G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: a
pathophysiologic approach, Ed. 7th, United States of America: The McGraw-Hill
Companies, Inc., p. 415-427.
11. PERDOSSI, 2004. Guideline Stroke. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia.
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

12. Adams, H.P., Zoppo, G.D., Alberts, M.J., Bhatt, D.L, Brass, L., Furlan, A.,
Grubb, R.L., Higashida, R.T., Jauch, E.C., Kidwell, C., Lyden, P.D.,
Morgenstern, L.B., Quresh, A.I., Rosenwasser, R.H., Scott, P.A., Wijdicks,
E.F.M., 2007. Guidelines for the Early Management of Adults With Ischemic
Stroke: Guideline From the American Heart Association/ American Stroke
Association Stroke Council, Clinical Cardiology Council, Cardiovascular
Radiology and Intervention Council, and the Atherosclerotic Peripheral Vascular
Disease and Quality of Care Outcomes in Research Interdisciplinary Working
Groups: The American Academy of Neurology affirms the value of this guideline
as an educational tool for neurologists Stroke, Vol. 38, pp. 1115-1140. 1655-
1711.
13. Geeganage C, Bath PM. Vasoactive drugs for acute stroke. In: The Cochranev
Library, Issue 3, 2010. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. Search date
2009.
14. National Stroke Foundation. Clinical Guidelines for Stroke management. 2010.
Melbourne Australia
15. Southwick, F., 2007. Pulmonary Infections. In : Southwick, F. Infectious
Diseases A Clinical Short Course, Second Edition. United States of America :
McGraw-Hill, p. 104-105.
16. Saseen, J.J and Maclaughlin E.J., 2008. Hypertension. In: Triplitt, J.T., Talbert,
L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: a
pathophysiologic approach, Ed. 7th, United States of America: The McGraw-Hill
Companies, Inc., p. 139-171.
17. Fagan, S. C., dan Hess, D. C., 2008. Stroke. Dalam: Joseph T. DiPiro, Robert L.
Talbert, Gary C. Yee, Gry R. Matzkee, Barbara G. Wells, L. Michael Polsey
(Eds.). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Edisi ke-7, New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division, hal. 373-382.
18. Ruuskanen, O; Lahti, E; Jennings, LC; Murdoch, DR (2011-04-09). "Viral
pneumonia.". Lancet 377 (9773): 1264–75. doi:10.1016/S0140-6736(10)61459-6.
PMID 21435708.
33
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

19. Kabra SK; Lodha R; Pandey RM (2010). "Antibiotics for community-acquired


pneumonia in children". Cochrane Database Syst Rev 3 (3): CD004874.
doi:10.1002/14651858.CD004874.pub3. PMID 20238334.
20. Gelone & Jaresko. Respiratory Tract Infections. Applied Therapeutics.Lippincot
Williams. Philadelphia, 2001. 58-1 – 58-24.
21. Thornsberry C et al. International surveillance of resistance among pathogens in
the United States, 1997-1998.38th Interscience Conference on Antimicrobial
Agents and Chemotherapy, San Diego, September 24,1998. Abstract E-22.
22. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.2013.
Kementerian Kesehatan RI
23. Shin MJ. Kim N. Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of the Proton Pump
Inhibitors. J Neurogastroenterol Motil, Vol. 19 No. 1 January, 2013
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

KASUS 5

POST SHOCK HIPOVOLEMIK DT


BLOOD LOSS + MELENA + CIRRHOSIS
HEPATIC CHILD PUGH B POST
NECROTIC HEPATITIS B + ANEMIA
HIPOKALEMIA DT CHRONIC BLOOD
LOSS DANCIRRHOSIS HEPATITIS

35

You might also like