Professional Documents
Culture Documents
Laporan Ipd Kasus 5 Sirosis
Laporan Ipd Kasus 5 Sirosis
BAB I
PENDAHULUAN
A Sirosis Hati
A. 1 Definisi
Istilah cirrhosis berasal dari Greek kirrhos, yang berarti warna orange, dan
menunjuk warna kuning orange sirosis liver yang terlihat oleh ahli patologis atau ahli
bedah. Sirosis didefinisikan secara histologi berdasarkan 3 kriteria yaitu difusi
penyakit, keberadaan jaringan ikat/fibrosis, dan penggantian arsitektur liver normal
dengan nodul-nodul abnormal (Sease et al., 2008).
Sirosis hepatik merupakan fase lanjut penyakit hati kronis yang ditandai
proses keradangan, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan penambahan jaringan ikat
difus (fibrosis) dengan terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati
(Tjokroprawiro, dkk, 2007).
Sirosis merupakan proses akhir dari kerusakan hati yang progresif. Sirosis
dapat terjadi dalam kasus hepatitis kronis yang tidak diatasi secepatnya atau setelah
kerusakan hati akut yang berulang, seperti dalam kasus alkoholisme kronis. Pada
sirosis, hati menjadi keras, menyusut, dan terbentuk jaringan parut serta nodular dan
terjadi gangguan fungsi dan cadangan berkurang karena penurunan jumlah jaringan
hati yang fungsional. Lebih penting lagi, aliran darah mengalami perubahan
sedemikian rupa sehingga tekanan dalam vena portal meningkat. Akibatnya, aliran
darah tidak lagi menuju ke hati, melainkan dialirkan menujuke organ di sekitar hati.
Fenomena ini, disebut portal-to-systemicshunting, yang memberikan dampak besar
pada fungsi berbagai sistem organ dan terjadinya komplikasi. (Mc. Phee,et al., 2005)
2.1.2 Etiologi
Beberapa penyebab sirrosis hati antara lain :
a. Konsumsi alkohol,
1
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
Konsumsi alkohol secara kronis dapat menginduksi enzim P450, dimana enzim
ini dapat menyebabkan terjadinya konversi etanol menjadi metabolit yang
hepatotoksik. Selain itu, alkohol juga dapat menimbulkan manifestasi gangguan
metabolisme lemak yang berakibat pada terjadinya perlemakan hepar (Almani et
al., 2008).
b. Virus hepatitis (tipe B, C, D),
c. Penyakit metabolik hati (hemochromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α1
antitripsin, steatohepatitis non alkoholik),
d. Penyakit kolestatis hati :
- Sirosis bilier primer,
- Sirosis bilier sekunder (penyebab yang mungkin : gallstones, strictures, infeksi
parasit),
- Primary sclerosing cholangitis (terkait dengan kolitis ulseratif dan
cholangiocarcinoma),
- Sindrom Budd-Chiari,
- Gagal jantung kongestif yang berat dan constrictive pericarditis,
e. Obat dan herbal (isoniazid, metildopa, amiodaron, methotrexat,
phenothiazine, estrogen, steroid anabolik, black cohosh, jamaican bush tea).
(Dipiro, 2011).
Hepatitis B
Manifestasi infeksi hepatitis B adalah peradangan kronik pada hati. Virus hepatitis B
termasuk yang paling sering ditemui. Masa inkubasi berkisar 15-180 hari (rata-rata
60-90 hari). Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah
infeksi akut. Sebagian penderita hepatitis B akan sembuh sempurna dan mempunyai
kekebalan seumur hidup, tapi sebagian lagi gagal memperoleh kekebalan. Gejala
hepatitis B dalah lemah, lesu, sakit otot, mual dan muntah, kadang-kadng timbul
gejala flu, faringitis, batuk, fotopobia, kurang nafsu makan, mata dan kulit kuning
yang didahului urin berwarna gelap. Gatal-gatal di kulit, biasanya ringan dan
sementara. Jarang ditemukan demam. Virus hepatitis B ini dapat menimbulkan
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki dengan membentuk bekas luka
dan parut kecil. Parut ini disebut “fibrosis” yang membuat hati lebih sulit melakukan
fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan, semakin banyak parut terbentuk dan mulai
menyatu, dalam tahap selanjutnya disebut “sirosis” (Muchid dkk, 2007)
2.1.3 Patofisiologi
Liver merupakan sebuah sistem untuk menyaring darah yang
menerima darah dari arteri dan vena porta yang aliran darahnya berasal dari
mesenterik, lambung, limfa, dan pankreas. Darah yang memasuki hepar
berasal dari triad portal yang merupakan percabangan dari vena dan arteri
hepatik, saluran empedu, serta jaringan limfa dan saraf yang kemudian
mengalir ke lobus hepar melalui sinusoid yang terdapat didalam hepatosit.
Pada area hepar yang mengalami kerusakan, dengan mengabaikan
penyebabnya, sel stellat hepar akan mengalami perubahan yang abnormal. Sel
stellat normalnya terletak di sinusoid (Sease, et al, 2008).
Bila terjadi kerusakan hepar, sel stellat di area yang rusak akan mulai
membentuk fibroblast, mengekspresikan protein kontraktil, dan menjadi
sumber utama matrik kolagen yang berproliferasi saat fibrosis, dan seketika
itu menyebabkan kerusakan permanen yang merupakan karakteristik dari
sirosis. Adanya deposit materi fibros didalam sinusoid akan merusak aliran
darah ke lobus hepar. Resistensi aliran darah portal meningkat sejalan dengan
akumulasi jaringan fibrosa yang menghasilkan peningkatan tekanan darah
portal yang persisten dan progresif yang disebut sebagai hipertensi portal.
Pada sirosis terjadi perubahan mediator vasodilator dan vasokonstriktor yang
mengatur aliran darah sinusoid hepatik. Penurunan produksi nitrit oksida,
yang merupakan vasodilator, dan peningkatan vasokonstriktor endogen,
seperti endotelin, akan meningkatkan resistensi aliran darah ke ruang sinusoid.
Bersamaan dengan itu, juga akan muncul peningkatan aliran darah ke
vakularisasi splanchnic melalui efek nitrit oksida pada arteriol splanchnic.
Singkatnya, sirosis akan meningkatkan tekanan darah portal karena adanya
3
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
5
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.1.4 Manifestasi
Adanya spiders nevi, palmar erythema, dan lemah otot. Juga dapat
diraba sebelah lobus kiri liver terjadi hepatomegali dan splenomegali
menunjukkan adanya sirosis liver. Diagnosa menjadi lebih mudah jika ada
tanda dekompensasi, yaitu jaundice dan asites (Grattagliano et al ., 2011).
Pada stadium awal, gejala klinik yang muncul bersifat non spesifik seperti
mudah lelah, pruritis atau bahkan tanpa gejala yang khas (Runyon, 2008).
Pada stadium selanjutnya dengan banyaknya jaringan parut yang
menggantikan jaringan normal pada hati dan dengan menurunnya fungsi hati
muncul berbagai macam gejala klinik. Tanda dan gejala klinis dari sirosis
hepatik yaitu : lelah/letih, pruritus, palmar erythema, hiperpigmentasi,
jaundice, hepatomegali, splenomegali, spider angiomata, gynecomasti,
ascites, edema, efusi pleura, susah bernafas, anoreksia, kehilangan berat
badan, ensefalopati (Sease et al., 2008) (DiPiro, et al., 2011).
Klasifikasi (Stragand, 2008)
Berdasarkan Derajat Keparahan
Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka
klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi : Child-
atau Child Pugh Modification.
KRITERIA PENYAKIT HATI KRONIK BERDASARKAN CHILD
PUGH SCORE
Skor 1 2 3
Keterangan :
Pada pasien penderita sirosis hepatik, hasil dari tes laboratorium akan
menunjukkan adanya kondisi :
Hipoalbumin
Peningkatan Protrombin time
Trombositopenia
Peningkatan alkaline phosphatase
Peningkatan aspartate transaminase (AST), alanine transaminase
(ALT), dan γ-glutamyl transpeptidase (GGT).
Pemeriksaan lain:Abnormalitas endoskopi dan radiographic, Biopsi
hepar.(DiPiro, et al., 2008).
7
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
↑ Nitrit oksida
Ascites
9
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
memiliki andil dalam timbulnya kondisi hepatic ensefalopati pada pasien sirosis
(Sease et al., 2008). Gejala klinis yang ditimbulkan kondisi ini antara lain
kebingungan, perubahan kepribadian, hilang ingatan, gangguan konsentrasi,
perubahan kebiasaan tidur, sampai dengan timbulnya koma (Lingappa, 2006).
Kondisi hepatik ensefalopati dapat diakibatkan karena :
a) Fungsi normal hepar (yang diantaranya adalah untuk metabolisme amoniak
menjadi urea) menurun akibat kondisi sirosis, sehingga terjadi penumpukan
amoniak yang menyebabkan timbulnya HE.
b) Kondisi sirosis mengakibatkan peningkatan GABA-ergic dan benzodiazepin
endogen yang dapat menghambat reseptor GABA-benzodiazepin dan
menyebabkan HE.
c) Kondisi sirosis menyebabkan disfungsi hepar, sehingga terjadi ketidakseimbangan
metabolisme asam amino (jumlah asam amino aromatis menjadi lebih banyak
daripada asam amino rantai cabang). Hal ini mengakibatkan sintesis false
neurotransmitter yang berakhir pada kondisi HE. (Lingappa, 2006).
mengontrol pendarahan. Untuk resusitasi cairan dapat digunakan Packed Red Cells
(PRC), Fresh Frozen Plasma, platelet, dan cairan-cairan lain yang dapat berfungsi
sebagai plasma expanders. Untuk koreksi koagulopati dan trombositopenia dapat
digunakan infus trombosit, vitamin K sebagai kofaktor pembentuk faktor koagulan.
Sedangkan untuk mengontrol perdarahan dapat digunakan somatostatin, octeotrid,
dan vasopressin (Sease et al., 2008).
b. Profilaksis primer
Profilaksis primer merupakan upaya untuk mencegah terjadinya perdarahan
awal pada pasien akibat adanya hipertensi portal dan varises. Pada pasien diberikan
β-blocker non selektif karena β-blocker non selektif mengurangi tekanan vena portal
dengan mengurangi aliran pada vena portal melalui dua mekanisme yaitu mengurangi
cardiac output melalui blokade β1 adrenergik dan mengurangi aliran darah pada
splanchnic melalui blokade β2 adrenergik. β-blocker non selektif yang dapat
digunakan yaitu propanolol (10 mg 3 kali sehari) atau nadolol (20 mg sehari sekali).
Golongan nitrat diberikan apabila pasien kontraindikasi atau intoleran terhadap β-
blocker (Sease et al., 2008).
c. Profilaksis sekunder
Profilaksis sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya perdarahan
kembali (rebleeding). Pada pasien diberikan β-blocker seperti propanolol (20 mg 3
kali sehari) atau nadolol (20-40 mg sehari sekali). Adapun penanganan untuk
perdarahan varises yaitu dapat dengan pemberian octreotid. Octreotid diberikan i.v
bolus 50-100 mcg dan diikuti dengan infus kontinyu 25 mcg/jam dan maksimum
pemberian 50 mcg/jam. Vasopressin merupakan first line therapy untuk mengatasi
perdarahan varises. Untuk pengontrol perdarahan maka pada pasien dapat dilakukan
prosedur endoskopi (Sease et al.,2008).
d. Penatalaksanaan pendarahan varises akut:
Penatalaksanaan umum dan resusitasi
Pilihan cairan untuk resusitasi yakni cairan kristaloid.
Bila transfusi diperlukan, berikan jangan terlalu cepat
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
4. Ensefalopati hepatik
Terapi pada ensefalopati hepatik dapat meliputi pengukuran konsentrasi
amoniak darah, terapi diet, laktulosa, antibiotika, dan replacement zink pada pasien
dengan defisiensi zink (Sease et al., 2008).
Pada pasien dengan HE akut, intake protein dikurangi hingga sampai terjadi
perbaikan klinis. Titrasi protein tergantung pada toleransi pasien. Peningkatan intake
dilakukan 10-20 g/hari setiap 3-5 hari hingga total 0,8-1 g/kg per hari. Untuk pasien
dengan kronik HE batasan protein yaitu hingga 40 g/hari (Sease et al., 2008). Pada
HE akut, laktulosa awalnya diberikan dengan dosis 45 mL secara oral setiap jam
hingga katarsis dimulai. Kemudian dosis diturunkan hingga 15-45 mL setiap 8-12
jam secara oral hingga pasien dapat BAB 2-4 kali dengan konsistensi lembek (Sease
et al., 2008).
Terapi antibiotik bisa dengan menggunakan metronidazole atau neomycin.
Antibiotik diberikan pada pasien bila tidak merespon terhadap diet dan sirup
laktulosa. Antibiotik neomycin, metronidazole, atau vancomycin akan menghambat
aktivitas bakteri yang memproduksi urease sehingga terjadi penurunan produksi
15
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
amoniak (Sease et al., 2008). Terapi lainnya yang dapat diberikan pada pasien dengan
HE yaitu dengan menggunakan L-ornithine L-aspartate secara per oral atau
menggunakan flumazenil 0,2-15 mg secara intravena. Pemberian suplemen zink pada
pasien HE dengan defisiensi zink dapat dilakukan dengan dosis 220 mg sebanyak dua
kali sehari (Sease et al., 2008).
Pendarahan akut
Somatostatin, octreotide
antibiotik
Pendarahan berlanjut
TIPSS
Pendarahan Pendarahan
(pembedahan)
berhenti
TIPSS Endoskopi
(pembedahan) lanjutan dan
β-bloker
Gambar 1.1 Skema manajemen terapi perdarahan varises akut (Sease, 2008)
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
17
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
dengan waktu paruh 1-2 jam dan diekskresikan lewat urine dalam bentuk
unchanged. Dosis secara infus disarankan 25-50mg/kg BB sehari.
6. Mencegah pendarahan berulang
Untuk mencegah terjadinya pendarahan berulang diberikan β-blocker non selektif
yaitu propanolol 3x10 mgatau nadolol 1x20 mg untuk menurunkan cardiac output
sehingga mencegah rebleeding (Sease, 2008)
BAB III
PROFIL PASIEN
3.1 Profil Pasien
19
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
21
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB III
PROFIL TERAPI
K
Metoclopramide IV 3 x 10 mg ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Futrolit : NS 0,9 --
R
2:1 IV 20 tpm ✔ ✔
Tranfusi PRC PO 1 labu/hari ✔
S
Lactulosa PO 3 x C II ✔ ✔ ✔ ✔ ✔ ✔
Propranolol PO 2 x 10 mg ✔ ✔ ✔
Spirolaktone PO 2 x 100 mg ✔ ✔ 0-100mg-0
Furosemide SC 40 mg - 0 – 0 ✔
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB IV
ANALISIS DRP DAN MONITORING
d. Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
e. Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
antasida.
f. Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi.
g. Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi.
4. Rekomendasi
Pemilihan Terapi Utama dan Terapi Pendukung.
5. Konseling
a. Tanda-tanda alergi/hipersensitivitas terapi yang di beri.
b. Penghentian terapi bila dijumpai tanda hipersensitivitas.
c. Kontinuitas terapi sampai dengan antibiotika habis untuk meminimalkan risiko
resistensi.
d. Langkah-langkah penanganan ROB, agar pasien tidak begitu saja menstop terapi
setelah mengalami ROB.
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB V
PEMBAHASAN
Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang ditandai dengan fibrosis dan
perubahan arsitektur hati normal menjadi nodul-nodul abnormal. Hasil akhirnya
adalah kerusakan sel hepatosit dan diganti dengan jaringan fibros .Penyakit ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu obat dan toksin, virus, infeksi, penyakit genetik,
dan penyebab (Ryan, 2008). Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan Buang Air
Besar (BAB) Hitam 1 hari SMRS, 1 x kurang lebih 2 gelas, muntah (-), nyeri kepala
(+), pusing (+), 2 hari sebelumnya KRS di rawat ruang 24 dengan kasus yang sama
bahkan lebih parah sampai muntah darah.
Pasien sebelum masuk RSUD Dr. Soetomo sebelumnya kurang lebih 2
minggu lalu pasien di rawat di RSUD Soewandi selama kurang lebih 8 hari karena
muntah darah dan BAB hitam, sampai mendapatkan transfusi 4 labu darah dan
Albumin. Pasien juga mempunya sakit Kuning positif 7 tahun yang lalu dengan BAB
hitam dengan muntah darah lalu pernah endoskopi dengan hasil positif pendarahan di
lambung dan tidak pernah kontrol dan berobat rutin. Telah di ketahui juga pasien
menderita Hepatitis B. Pada kasus sirosis Hati dan melena tujuan terapi untuk
mencegah terjadinya pendarah dan menghentikan pendarahan yang terjadi pada
pencernaan atas, yang bisa sampai terjadi Hematemesis Melena muntah darah dan
feses disertai darah pada pasien sirrosis hati dan juga agar sirosis hati yang terjadi
saat ini tidak jadi lebih parah kerusakannya.
Untuk lebih memastikan penyakit dan gejala yang ada pasien di minta untuk
endoscopy yang akhirnya dilakukan pada hari ke enam yang dimana kesimpulan dari
hasil endoskopy nya : Oesofagus Ringan, Varices Oesofagus gr II - III, Varices
Finding, Portal Hipertensi gastrophaty. Pada awal MRS pasien mendapatkan terapi
NaCl 0,9% dan di kombinasi dengan futrolit 2:1 sebagai penanganan awal untuk
menjaga hemodinamik, keseimbangan cairan dan elektrolit. Pasien di drip octreotide
50 μg/jam untuk penanganan untuk perdarahan varises yaitu dapat dengan pemberian
octreotid. Octreotid diberikan i.v bolus 50-100 mcg dan diikuti dengan infus kontinyu
25
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
NICE, 2014
Pasien juga mendapat terapi dengan Laktosa dengan dosis 3 x CII (2 sendok
the) yg berarti dosis 3 x 30 gr dimana per setiap satu sendok teh mengandung
3,335g/5ml. setelah hari ke empat pasien BABA dan melena (-) bersih atau normal
BAB nya. Laktulosa yang di dalamnya terdiri dari galaktosa dan fruktosa dan
dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi asam asetat dan asam laktat yang
kemudian dapat menurunkan pH kolon yang menyebabkan perubahan merubah
amoniak (NH3) dalam usus menjadi amonium (NH4+). Kondisi asam dapat
menurunkan absorpsi ammonia sehingga konsentrasi ammonia dalam darah menurun.
menurunnya kadar amonia untuk mengatasi hepatik ensefalopati (HE) dan
komplikasi HE juga sebagai laksatif. Selain itu, kondisi tersebut juga akan
meningkatkan perpindahan ammonia dari dalam darah ke saluran cerna. Amonium
merupakan ion yang tidak dapat kembali masuk ke sirkulasi sistemik dan langsung di
eliminasi lewat feses.. meningkatkan suplai karbohidrat ke dalam usus sehingga
menurunkan pemecahan asam amino, serta merubah metabolisme bakteri dalam usus
sehingga menurunkan degradasi protein. Selain itu pH yang asam akan
meningkatkan perpindahan amoniak dari darah ke dalam kolon. Adanya efek katartik
yang dimiliki oleh laktulosa akan membantu melunakkan feses sehingga mudah
27
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
untuk dikeluarkan. Dosis yang disarankan sebagai laxansia 20-30 g tiap 3-4 kali
sehari.3,14 Dosis yang disarankan sebagai laxansia 20-30 g tiap 3-4 kali sehari
(McEvoy,2011)
Pasien pada Hari ke dua mendapat tranfusi PRC di sebabkan hasil data
laboratorium Hematologi menunjukan penurunan atau nilai di bawah normal antara
lain Hemoglobin (Hb) 7,7 g/dL Hal ini disebabkan oleh terjadinya perdarahan varises
sehingga pasien mengalami kondisi hematemesis melena. Pada pasien yang
kehilangan > 30% sampai 50% volume darah diberikan terapi cairan elektrolit dan
tranfusi PRC hingga gejala-gejala oxygen need (rasa sesak, mata, palpitasi, pusing,
gelisah dan Hb < 6 g/dl) hilang, biasanya hingga Hb 8-10 g/dl. Kecepatan pemberian
tranfusi PRC adalah 1 cc/kgBB/jam. 20
Pasien dari awal MRS juga di kasih terapi antibiotik dimana antibiotik yang
di kasih adalah ceftriaxon 1x 1 gr secara IV. Perdarahan varises akut sering disertai
dengan infeksi bakteri akibat translokasi usus dan gangguan motilitas. Pasien sirosis
dengan melena memiliki resiko yang tinggi dalam perkembangan infeksi bakteri
yang berat, terutama pada pasien sirosis hepar dalam kelompok Child pugh B dan C
sehingga digunakan antibiotik profilaksis jangka pendek. Antibiotik yang
direkomendasikan dapat berupa golongan kuinolon yang efektif untuk eradikasi
bakteri gram negatif di usus.3,17 Pasien diberikan tambahan antibiotic profilaksis dari
golongan kuinolon (Norfloxacin, Ciprofloxacin) atau sefalosporin (Ceftriakson). 17
Keadaan pasien ini jika dikategorikan dengan sistem Child pugh score termasuk
dalam kelas B. Ceftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi
ketiga yang lebih sensitif pada infeksi akibat bakteri gram negatif, sehingga sesuai
diberikan sebagai profilaksis SBP. Regimen dosis Ceftriakson untuk SBP adalah 1-2
g tiap 12-24 jam.14 Ceftriaxone terapi pilihan untuk mengatasi SBP karena dibutuhkan
antibiotik spektrum luas yang mampu meng-cover bakteri patogen (umumnya E.
Coli, Klebsiella pneumonia, dan Streptococcus pneumoniae) pada pasien SBP
maupun suspect SBP. Antibiotik terapi untuk profilaksis SBP sebaiknya diberikan
pada pasien yang beresiko tinggi dengan komplikasi perdarahan varises dan protein
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
asites rendah (<1 g/dl) serta pasien yang muncul gejala infeksi seperti nyeri perut,
demam meskipun belum terjadi peningkatan nilai PMN pada cairan asites.3
Ada Terapi yang telah di siapakan adalah Spirolaktone dan Propanolol tapi
oleh dokter diberikan setelah pasien BAB dan tidak melena, pasien mendapat
tambahan terapi tersebut pada hari ke 4. Dokter pertimbangan pemberian ini karena
pasien awalnya Post Shock Hipovolemik dt Blood Lost dan juga permtibangan
Hipotensi yang dimana tekanan darah pasien sekitar 100/60 mmHg.
Dosis yang diberikan Propranolol diberikan dengan dosis 2 x 10 mg secara
oral di mana bertujuan untuk mencegah terjadinya rebleeding, menurunkan tekanan
vena portal. Propanolol merupakan suatu β-blocker non kardio selektif yang
diberikan dengan tujuan menurunkan tekanan vena porta melalui dua mekanisme
yaitu penurunan cardiac output melalui pengeblokan β1 adrenergik dan penurunan
aliran darah pada splanchnic melalui blokade β2 adrenergik. B adrenergik bloker
digunakan sebagai terapi hipertensi portal jangka panjang.3,21 Dosis propanolol sangat
individual, namun target terapi yang harus dicapai adalah penurunan nadi 25% dari
nadi awal atau mencapai sekitar 55-60 x/menit.21
Sedangkan untuk terapi dengan Spirolaktone di berikan dengan dosis2 x
100mg secara oral. Sirosis dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah
portal akibat perubahan fibrotik dalam sinusoid hepatik. Selain itu, adanya
insufisiensi hepatik menyebabkan vasodilatasi arterial splanchnic yang dapat
menimbulkan kondisi ascites akibat kebocoran pada pembuluh limfa karena besarnya
tekanan hidrostatis dan penurunan resistensi periferal. Hal tersebut menyebabkan
terjadi hipotensi sistemik sehingga terjadi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik
dan peningkatan sistem renin-angiotensin-aldosteron yang menimbulkan peningkatan
retensi air dan natrium serta terjadi produksi vasokonstriktor. Maka, diperlukan terapi
antagonis aldosteron untuk menghilangkan efek aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron.3 Spironolactone merupakan diuretik hemat kalium dan antagonis
aldosterone yang dapat digunakan untuk mengatasi ascites yang terjadi pada pasien.
Spironolactone memiliki mekanisme kerja yaitu bersaing dengan aldosterone untuk
menduduki reseptor di tubulus distal dan meningkatkan ekskresi natrium dan air
29
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
dengan tetap menjaga kadar kalium.14 Namun, efek samping yang umum terjadi dari
spironolakton yaitu hiperkalemia, makan spironolakton sebaiknya digunakan
kombinasi dengan furosemide untuk mencapai kondisi normokalemia.6
Pada hari ke enam dosis Spirolaktone di turunkan dengan menjadi 1 x
100mg (0-100-0) dan di tambahan terapi dengan Furosemide injeksi dengan dosis 1 x
40 mg secara IV. Pada umuumnya pada kasus ini furosemide di gunakan untuk
mengatasi ascites dan premedikasi tranfusi PRC. Dan kombinasi dengan spirolaktone
udah dengan perbandingan yang tepat. Furosemide merupakan diuretik yang bekerja di
loop of henle, bersifat diuretik kuat sehingga efek diuresis lebih cepat dan cairan ascites cepat
berkurang.14 Penggunaan kombinasi furosemide dan spironolactone dengan perbandingan
dosis 40 mg : 100 mg dapat menjaga kondisi normokalemia pada pasien. Selain itu
furosemid juga digunakan sebagai premedikasi sebelum pemberian tranfusi PRC
untuk mencegah terjadinya overload cairan karena pada pasien telah terjadi
komplikasi ascites.3,14
Selama pasien di rawat di RS tanda-tanda vital seperti suhu, nadi, RR dan
tekanan darah smua masih dalam batas” yang nowar sesuai data di atas. Tanda-tanda
klinis atau Keluhan awal yang di rasakan pasien mulai menghilang di hari kedua dan
hari ke empat udah hamper semua tidak ada.
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Secara keseluruhan terapi yang diterima Tn. PE sudah tepat dan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi oleh pasien, selain itu dilakukan monitoring secara
berkala efektivitas dan efek samping obat untuk mencapai keberhasilan terapi.
5.2 Saran
Diperlukan kerjasama antar profesi kesehatan (dokter, farmasis, perawat) dalam
melakukan terapi pada pasien. Kerjasama ini diperlukan untuk mencapai terapi yang
maksimal pada pasien.
31
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR PUSTAKA
1. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komuniti 1973 - 2003. 2003;
2. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et
al. Infectious Diseases Society of America / American Thoracic Society
Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia
in Adults. 2007;44(Suppl 2).
3. Lacy, et al. Drug Information Handbook 17th edition. 2009.
4. Asadi L, Sligl WI, Eurich DT, Colmers IN, Tjosvold L, Marrie TJ, et al.
Macrolide-Based Regimens and Mortality in Hospitalized Patients With
Community- Acquired Pneumonia : A Systematic Review and Meta-analysis.
2012;1–10.
5. Caballero J, Rello J. Combination antibiotic therapy for community-acquired
pneumonia. Ann Intensive Care [Internet]. Springer Open Ltd; 2011;1(1) :48.
Available from: http:// www. annalsofintensivecare.com/ content/1/1/48.
6. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di indonesia. 2006
7. ESH/ESC Guidelines for The Management Arterial Hypertension. The Task for
The Management of Arterial Hypertension of The European society of
Hypertension (ESH) and Of the Europian Society of Cardiology (ESC). 2013.
1281-1357
8. Dipiro, J.T et al. Pharmacoterapy Handbook. 7th ed. McGrawHill. USA. 2009.
124-129
9. Alawneh JA, Stroke Management. BMJ Publishing Group. 2010.
10. Fagan, S.C., and Hess, D.C., 2008. Stroke. In: Triplitt, J.T., Talbert, L., Yee,
G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: a
pathophysiologic approach, Ed. 7th, United States of America: The McGraw-Hill
Companies, Inc., p. 415-427.
11. PERDOSSI, 2004. Guideline Stroke. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia.
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
12. Adams, H.P., Zoppo, G.D., Alberts, M.J., Bhatt, D.L, Brass, L., Furlan, A.,
Grubb, R.L., Higashida, R.T., Jauch, E.C., Kidwell, C., Lyden, P.D.,
Morgenstern, L.B., Quresh, A.I., Rosenwasser, R.H., Scott, P.A., Wijdicks,
E.F.M., 2007. Guidelines for the Early Management of Adults With Ischemic
Stroke: Guideline From the American Heart Association/ American Stroke
Association Stroke Council, Clinical Cardiology Council, Cardiovascular
Radiology and Intervention Council, and the Atherosclerotic Peripheral Vascular
Disease and Quality of Care Outcomes in Research Interdisciplinary Working
Groups: The American Academy of Neurology affirms the value of this guideline
as an educational tool for neurologists Stroke, Vol. 38, pp. 1115-1140. 1655-
1711.
13. Geeganage C, Bath PM. Vasoactive drugs for acute stroke. In: The Cochranev
Library, Issue 3, 2010. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. Search date
2009.
14. National Stroke Foundation. Clinical Guidelines for Stroke management. 2010.
Melbourne Australia
15. Southwick, F., 2007. Pulmonary Infections. In : Southwick, F. Infectious
Diseases A Clinical Short Course, Second Edition. United States of America :
McGraw-Hill, p. 104-105.
16. Saseen, J.J and Maclaughlin E.J., 2008. Hypertension. In: Triplitt, J.T., Talbert,
L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: a
pathophysiologic approach, Ed. 7th, United States of America: The McGraw-Hill
Companies, Inc., p. 139-171.
17. Fagan, S. C., dan Hess, D. C., 2008. Stroke. Dalam: Joseph T. DiPiro, Robert L.
Talbert, Gary C. Yee, Gry R. Matzkee, Barbara G. Wells, L. Michael Polsey
(Eds.). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Edisi ke-7, New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division, hal. 373-382.
18. Ruuskanen, O; Lahti, E; Jennings, LC; Murdoch, DR (2011-04-09). "Viral
pneumonia.". Lancet 377 (9773): 1264–75. doi:10.1016/S0140-6736(10)61459-6.
PMID 21435708.
33
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK 2018/2019
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
KASUS 5
35