Professional Documents
Culture Documents
Tugas Telaah 5 Jurnal Eduwisata
Tugas Telaah 5 Jurnal Eduwisata
Taib
Nim: 431421001
Judul Jurnal.
1
Dikawasan Gronggong juga memiliki sarana pendidikan baik tingkat sekolah
dasar (SD), dan madrasah. Jumlah SD di desa ini hanya satu, sedangkan kondisi
warga dengan medan berbukit berjauhan dari keterhubungan warga satu dengan
lainnya peneliti kira belum sampai pada rasio kelayakannya. Data ini peneliti
jadikan sebagai pendukung dalam rencana penerapan konsep edu-ekowisata.
Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan warga. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Bapak Dedi selaku pemuda dalam paguyuban Pemuda
Gronggong.
“rencana penerapan konsep edu-ekowistaa ini jelas akan membangun kesadaran
masyarakat terhadap pendidikan. Penerapan konsep eduekowisata diyakini
sebagai intrumen dalam meningkatkan taraf pendidikan generasi muda kawasan
ini”
Penerapan konsep edu-ekowisata diyakini sebagai intrumen dalam
meningkatkan taraf pendidikan generasi muda kawasan ini. Memang membangun
masyarakat rendah pendidikan dapat melalui alternatif wisata pendidikan
lingkungan hidup di kawasan ini, demikian asumsi H. Mulyadi salah seorang
pemilik vila di kawasan Gronggong menyatakan
“Penerapan edu-ekowisata di kawasan ini niscaya membantu masyarakat sekitar
kawasan lebih berdaya dalam kegiatan wisata, dari mulai cakrawala, kegiatan
ekonomi, perdagangan, birokrasi, sosial dan politik,”
Berdasarkan hasil penelitian Gronggong Kabupaten Cirebon mempunyai
potensi besar untuk dikembangkan sebagai salah satu tujuan edu-ekowisata. Edu-
ekowista memiliki pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dan
pemerintah melalui disain pembelajaran, sepenuhnya dapat mendukung
kelestarian kawasan Gronggong kabupaten Cirebon. Edu-ekowisata berperan
sebagai salah satu strategi pembangunan berkelanjutan, dengan cara
mengintegrasikan inovasi pendidikan dalam sistem pembelajaran lingkungan
sebagai alternatif pembangunan daerah bertaraf wisata.
2
Judul Jurnal.
3
dan kondisi persampahan yang baik hanya terdapat di 4 desa. Hal tersebut berarti
sebanyak 66,67% desa di kawasan Rawa Pening tersebut memiliki permasalahan
dalam persampahan. Sedangkan untuk fasilitas pendukung terbanyak, 70,83%
berupa toko/ warung kelontong dan 26,55% berupa masjid/ mushola
Aspek Kemasyarakatan Analisis pada aspek kemasyarakatan dilakukan
pada 4 variabel, yaitu karakter masyarakat, bentuk partisipasi masyarakat, peluang
usaha, serta kualitas wisata dan kesiapan masyarakat.
Berdasarkan perilaku atau gaya hidup, karakter masyarakat bersifat
heterogen. Masyarakat di beberapa desa cukup antusias terhadap kegiatan wisata
dan kegiatan lain yang berkaitan dengan pengembangan desanya, dan cukup
peduli terhadap lingkungannya. Tetapi masyarakat di beberapa desa lainnya
cenderung malas, pesimis, dan tidak peduli terhadap pengembangan desanya.
Karakter masyarakat yang cukup homogen adalah kecenderungannya untuk
membuang sampah ke sungai. Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan masih
kurang, ditambah dengan kurangnya prasarana persampahan di hampir seluruh
desa.
Adat istiadat di wilayah studi masih terjaga dengan baik, yang terbukti
dengan masih lestarinya merti dusun dan sedekah rawa, serta masih lestarinya
beberapa tradisi seperti kesenian daerah, gotong royong, nyadran, pengajian, merti
dusun, syukuran, wayang, sedekah rawa, padusan (berendam di Sungai Muncul),
dan larungan (ke Danau Rawa Pening). Kesenian terbanyak adalah di Desa
Tambakboyo, yang telah sering menyelenggarakan pagelaran seni di berbagai
daerah.
Kualitas wisata dinilai dengan indikator kunjungan yang
berkesinambungan di wilayah tersebut, dan kesiapan masyarakat dinilai dengan
menganalisis seberapa siap masyarakat jika wilayahnya dijadikan kawasan
ekowisata.
Sebagian besar kegiatan wisata yang telah berjalan di kawasan Rawa
Pening dikelola oleh swasta, dengan kurang melibatkan masyarakat, sehingga
masyarakat kurang merasakan manfaatnya. Hanya sedikit kegiatan wisata yang
memiliki sistem pendistribusian keuntungan terhadap wilayahnya. Pengelolaan
4
kegiatan wisata akan sangat baik jika melibatkan masyarakat di sekitar daerah
wisata tersebut. Dengan memberdayakan masyarakat sekitar, keuntungan yang
diperoleh tidak hanya dirasakan oleh pengelola kegiatan wisata, namun juga
masyarakat di sekitarnya, sehingga dapat membantu meningkatkan ekonomi
wilayah pedesaan di lokasi wisata tersebut.
Analisis aspek pengelolaan wisata dilakukan dalam 3 variabel, yaitu
partisipasi masyarakat, transparansi, serta kebijakan dan program pemerintah.
Kelompok masyarakat yang paling banyak terlibat dalam kegiatan wisata di
kawasan Rawa Pening adalah kelompok nelayan, yang dinyatakan oleh sebanyak
38,81% responden. Kelompok nelayan tidak hanya mengambil ikan saja, namun
juga berperan dalam mengurangi eceng gondok di danau Rawa Pening. Banyak
nelayan yang memotong eceng gondok untuk kemudian dijual, baik langsung
dijual maupun dijual sebagai bahan setengah jadi untuk kerajinan eceng gondok.
Terdapat pula kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di dua desa di wilayah studi,
yaitu Desa Kebondowo dan Desa Rowoboni, yang berperan aktif dalam
pengelolaan kegiatan wisata di kedua desa tersebut. Pengusaha warung juga
dinyatakan berperan dalam kegiatan wisata oleh 14,93% responden, dengan
menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan, terutama kuliner.
Aspek penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam penelitian ini
dinilai dengan 3 indikator, yaitu badan, peran, dan bentuk kegiatan
penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat. Terdapat beberapa badan yang
pernah menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan Rawa
Pening, antara lain Dinas Sosial, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), PNPM
Mandiri, serta Dinas Peternakan dan Dinas Perikanan.
Beberapa desa memiliki kelompok sadar wisata (Pokdarwis), seperti Desa
Kebondowo dan Desa Rowoboni, yang berperan dalam usaha memajukan
kegiatan wisata yang sudah ada di beberapa desa serta mengembangkan potensi
wisatanya. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan kegiatan wisata, mencetuskan gagasan pelatihan pemandu wisata,
mengembangkan promosi wisata, membuka lapangan pekerjaan dengan
melibatkan masyarakat dalam kegiatan wisata, menampung gagasan
5
pengembangan wisata, dan sebagainya. Sementara hanya dua desa tersebut yang
memiliki Pokdarwis, karena hanya dua desa tersebut yang telah memiliki objek
wisata yang sudah cukup berkembang
Hasil overlay dari skoring aspek ODTW dan aspek kemasyarakatan
digunakan untuk memetakan potensi ekowisata di kawasan Rawa Pening secara
spasial, yaitu dengan kategori desa dengan potensi ekowisata tertinggi pada Desa
Asinan, Banyubiru, Kebondowo, Rowoboni, Tuntang, dan Lopait.
wo, Rowoboni, Tuntang, dan Lopait. Dalam konsep “berbasis masyarakat”
atau “community-based”, aspek pengelolaan dan aspek penyelenggaraan
pemberdayaan masyarakat menjadi pertimbangan utama, karena konsep tersebut
menekankan pada kon- trol masyarakat yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis,
untuk aspek pengelolaan, masyarakat masih banyak mengeluh mengenai
kurangnya pelibatan masyarakat dalam kegiatan wisata, serta masih belum ada
mekanisme pendistribusian keuntungan yang jelas terhadap desa dan masyarakat
di sekitar objek wisata. Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wisata di
kawasan Rawa Pening hanya sebagai pelengkap saja, seperti pengusaha warung,
pekerja, petugas parkir, dan beberapa pekerjaan lain yang sifatnya hanya sebagai
pelengkap.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa kawasan Rawa
Pening yang diwakili oleh 12 desa yang mengelilingi Danau Rawa Pening
memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai kawasan
ekowisata berbasis masyarakat, karena tidak hanya memiliki sumberdaya wisata
berupa wisata alam dan budaya, namun juga memiliki sumberdaya masyarakat
yang potensial untuk diberdayakan dalam kegiatan wisata tersebut, serta juga
sudah terdapat beberapa program dan kebijakan pemerintah untuk
mengembangkan ekowisata di kawasan tersebut. Adanya potensi pemandangan
alam, pemancingan, wisata religi, kerajinan, kesenian daerah, wisata budaya,
kuliner, serta area rekreasi menjadikan kawasan tersebut memiliki keragaman
sumber daya wisata yang dapat dikembangkan, serta berkontribusi terhadap
livelihood pedesaan di kawasan tersebut secara inklusif, meskipun belum
maksimal.
6
Judul Jurnal.
7
Kegiatan ekowisata pantai di Pantai Pasir Panjang tidak terlalu
terpengaruh oleh dampak sedimentaasi atau pengendapan lumpur di dasar
perairan. Hal ini dikarenakan lokasi Pantai Pasir Panjang memiliki pemandangan
alam yang bagus (Gambar 1), seperti posisi pantai yang berhadapan langsung ke
posisi matahari terbenam sehingga pengunjung dapat menikmati suasana matahari
terbenam (Sun Set). Selain itu Pantai Pasir Panjang termasuk pantai yang aman
dengan kecepatan arus tidak terlalu kuat dan tidak ada biota berbahaya di
sekitaran pantai. Selain ekowisata pantai, di Pantai Pasir Panjang juga terdapat
kapal nelayan serta beberapa aktivitas masyarakat dan bahkan terkadang
dilaksanakannya festival-festival tertentu seperti Festival Kapal layar.
Kesediaan air tawar juga merupakan penunjang pariwisata khusus
ekowisata pantai karena biasanya pengunjung ada yang berenang, sehingga
membutuhkan air tawar untuk membersihkan badan. Air tawar di sekitar Pantai
Pasir Panjang cukup mudah didapatkan di wc umum, wc masjid dan bisa
menumpang di rumahrumah masyarakat
Potensi ekowisata bahari ini sangat cocok di kembangkan pada wilayah
kepulauan seperti daerah Pulau Tulang yang termasuk dalam Pemerintahan Desa
Tulang, Kabuten Karimun yang terdiri dari banyak pulaupulau. Pantai-pantai dan
pulau-pulau kecil di Indonesia merupakan harta yang tidak ternilai dalam konteks
ekowisata bahari
Potensi Ekowisata Mangrove Vegetasi mangrove yang merupakan
tumbuhan pesisir di Pulau Tulang sangat beragam. Vegetasi yang bergam ini
mndukung untuk menjadi ekowisata bahari dari segi ekowisata mangrove di
kawasan Pulau Tulang. Wardhani, (2011) Potensi ekonomi mangrove diperoleh
dari beberapa sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuari dan pantai serta
wisata alam. Potensi ekowisata mangrove Pulau Tulang dapat menunjang potensi
ekowisata bahari lainnya seperti potensi ekowisata Pantai Pasir Panjang, karena
wisata bahari tidak hanya sebatas wisata pantai saja. Ekowisata bahari atau sering
disebut marine ekotourisem memiliki daya tarik utama dari permukaan laut
maupun isi dalam laut serta kawasan sekitar lautan (Sugiarto, 2018).
8
Vegetasi mangrove yang ada di Pulau Tulang yang membentuk ekosistem
mangrove dapat menjadi potensi ekowisata dengan beranekaragam flora dan fauna
yang hidup didalamnya. Rachman dan Arianti (2020) ekosistem mangrove
merupaka salah ekosistem pesisir yang mudah dijumpai. Selain itu ekosistem
mangrove juga menjadi rumah untuk makhluk hidup lainnya. Kelompok hewan
yang ditemukan berasal dari kelompok burung (aves), ikan (pisces), hewan
menyusui (mamalia), hewan melata (reptil), dan hewan tidak bertulang belakang
(avertebrata/invertebrata).
Ekosistem mangrove yang tebal dapat menjadi daya tarik wisata karena
memberikan kesempatan untuk menjelajahinya, namun jika mangrove yang ada
memiliki kerapatan yang tinggi maupun terlalu longgar/jarang hal ini juga dapat
mengurangi daya tarik dari potensi ekowisata mangrove (Yulius et al., 2018).
Mangrove juga dapat dimanfaatkan sebagai wisata alam yang menampilkan
keindahan pantai dengan beragam keanekaragaman hewan yang ada didalamnya.
Selain itu mangrove juga menjadi tempat pendidikan, konservasi dan penelitian
yang menjadi daya tarik lain selain tempat wisata (Arief, 2003).
Potensi Ekowisata Pancing Ekowisata pancing merupakan salah satu
wisata yang bersifat rekreasi menangkap ikan yang diselingi dengan kegiatan
wisata lainnya. Menurut Yulius et al. (2018) Wisata pancing merupakan salah satu
wisata yang memanfaatkan sumber daya perikanan untuk kesenangan dan
kegiatan olahraga. Untuk mendukung kegiatan ekowisata pancing maka
diperlukan data seberapa banyak jenis ikan yang ada dan seberapa melimpahnya
ikan yang ada di suatu perairan yang akan dijadikan ekowisata pancing, oleh
karena itu perlu adanya pendataan jenis ikan di Pulau Tulang
2 dapat dilihat bahwa jenis ikan yang ada di perairan sekitar Pulau Tulang
sangat beragam. Untuk kelimpahan ikan di perairan Pulau Tulang ada yang di
pengaruhi oleh musim pembiakan ikan dan ada juga yang tidak terpengaruh oleh
musim pembiakan/kawin. Beragamnya jenis ikan ini merupakan modal untuk
dikembangkannya ekowisata pancing di Pulau Tulang yang dapat saling berkaitan
dengan potensi ekowisata lainnya. Untuk aktivitas ekowisata memancing ini dapat
9
dilakukan bersama nelayan lokal yang tinggal di Pulau Tulang yang biasanya
memancing maupun menjaring ikan.
Potensi ekowisata pancing ini dapat dikembangkan secara luas dan
berkelanjutan karena dapat menunjang perekonomian masyarakat lokal jika ada
pengunjung yang menyewa kapal. Kegiatan memancing ikan juga ramah
lingkungan karena sumberdaya alam perairan yang di ambil tergantung dari minat
ikan terhadap umpan yang digunakan dan tidak bersifat mengangkat ikan dengan
jumlah besar serperti jarring maupun rawai. Potensi pekowisata pancing dapat
dikembangkan bersamaan dengan potensi ekowisata pantai dan mangrove di
Pulau Tulang. Ali (2015) menyatakan bahwa kegiatan wisata bahari dapat
digolongkan pada beberapa jenis yaitu wisata alam, pemancingan, berenang,
selancar, berlayar, rekreasi pantai dan wisata pesiar.
10
Judul Jurnal.
12
Adapun yang menjadi keunggulan pada warga Desa Olele adalah
masyarakat yang telah sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan. Hal ini
menurut KaProdi Pariwisata UNG merupakan unsur yang sangat penting. Banyak
terjadi di beberapa destinasi wisata adalah, wisata yang mulai ramai oleh
pengunjung sementara kesadaran masyarakat untuk melestarikan objek wisata
masih minim. Sehingga dalam hal ini dialami kesulitan untuk menanamkan lagi
kesadaran akan pelestarian lingkungan. Akibatnya objek wisata tidak dapat
bertahan lama kelestariannya atau harus mendapat intervensi pemerintah maupun
swasta dalam pengelolaannya.
Adapun di Olele sendiri, kesadaran masyarakat telah lebih dahulu
terbangun sebelum Taman Laut Olele menjadi destinasi wisata yang ramai
pengunjung. Hal ini tentunya berimplikasi positif dimana walaupun dibuka untuk
umum, masyarakat sendiri yang akan berupaya untuk menjaga kelestarian
lingkungan wisata disekitar mereka. Hal ini juga tentunya menjadi modal utama
dalam pengembangan eduwisata bahari berbasis pemberdayaan masyarakat
Pada dasarnya wisata yang ditawarkan oleh Taman Laut Olele masih
kurang familiar di kalangan wisatawan lokal. Dimana pada umumnya wisata
bahari yang paling mengemuka adalah pantai dengan pasir putihnya. Wisata
bawah laut baik snorkling maupun diving belum begitu dikenal, terutama
dikalangan wisatawan lokal, dan terlebih lagi karena diperlukan kemampuan
khusus dan menghabiskan biaya yang cukup tinggi. Hal ini tentunya menjadi
tantangan dalam pengembangan wisata, dimana setiap elemen harus bekerjasama
dalam pengembangan sektor wisata.
Dalam hal pengembangan sektor wisata sendiri, diakui bahwa tidak mudah
untuk memberikan layanan wisata yang diinginkan oleh para wisatawan, dimana
wisatawan pada dasarnya mencari destinasi wisata yang tidak hanya menawarkan
keindahan tetapi juga mampu memberikan kenyamanan. Dalam hal ini Desa Olele
sendiri masih terkendala dalam banyak aspek
Kendala yang dihadapi selanjutnya adalah tidak adanya sinkronisasi antara
pengembangan Taman Laut Olele dan Desa Olele. Hal ini dikarenakan wisatawan
sendiri lebih memilih jalur laut untuk sampai di Taman Laut Olele. Kondisi
13
insfrastruktur jalan yang masih kurang memadai menyebabkan wisatawan
berangkat dari pelabuhan kota Gorontalo menuju Taman Laut Olele.
Di samping itu, Desa Olele sendiri tidak memiliki nilai jual dan tidak
memiliki atraksi wisata sehingga tidak mampu untuk menarik wisatawan untuk
berkunjung. Hal ini juga disadari oleh pemerintah desa. Bahwa dalam hal menarik
wisatawan desa harus memiliki daya tarik. Akan tetapi pengembangan desa
sendiri masih terkendala biaya. Dibutuhkan pembiayaan besar dalam membangun
dan mengembangkan desa menjadi sebuah desa wisata.
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan Olele selanjutnya adalah
masih tidak sinergisnya peran pemerintah baik dari pemerintah desa, kecamatan,
kabupaten hingga provinsi. Masalah pendanaan menjadi masalah klasik yang
dihadapi dalam pengembangan Desa Olele. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan
dalam pengelolaan Olele sebagai Pusat Konservasi
Dari proses diskusi yang dilakukan dengan warga dan pihak-pihak terkait
dirumuskan beberapa rekomedasi dalam rangka pengembangan wisata edukatif di
Taman Laut Olele. Pertama, perlunya kejelasan dalam hal pengelolaan Taman
Konservasi Laut Olele. Hal ini penting untuk menyusun rencana strategis
pengembangan wisata berikut beban penganggarannya.
Program pariwisata yang baik adalah pariwisata yang memberdayakan
masyarakat di sekitar lokasi wisata, sehingga majunya sektor pariwisata juga akan
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Rekomendasi kedua adalah menyusun
kerangka strategis pengembangan Desa Wisata dengan menerapkan konsep
eduwisata bahari.
Di samping peningkatan kapasitas warga desa dalam pelestarian
lingkungan, diperlukan juga pelatihan terkait dengan pengembangan sektor
ekonomi. Penting untuk memberikan pelatihan dan pembinaan keterampilan
kepada warga khususnya pemuda desa. Pemuda akan diberi pengenalan mengenai
usaha-usaha kreatif yang diikuti dengan pembentukan komunitas kreatif.
Pengembangan sektor wisata tentunya bukan hal mudah. Pengembangan
diperlukan dalam hal pengelolaan, sumber daya manusia dan infrastruktur. Untuk
itu diperlukan partisipasi dan kolaborasi dari semua pihak baik pemerintah, swasta
14
terutama masyarakat dalam membangun pariwisata bahari berbasis pemberdayaan
masyarakat yang berkelanjutan.
Judul Jurnal.
16