Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Kalimah: Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam

DOI: http://dx.doi.org/10.21111/klm.v19i2.6412

Peran Perempuan dalam Politik menurut


Yusuf al-Qardhawi
Asif Trisnani
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor
asiftrisnani@unida.gontor.ac.id

Wenning Windiarti
Universitas Islam Negeri Samarinda
windiartiwenning@gmail.com

Hidayatus Sa’adah
Pondok Pesantren Darun Nafi’ Samboja
hidayatussaadah65@gmail.com

Abstract
Today women in the political stage are actually not a stranger in the world since ancient
times. The direct or indirect role of women has its own influence. The discourse of women’s
involvement in politics by providing a 30% quota, is still a controversial discourse, as well
as other gender equality issues. The famous contemporary scholar of this century Yusuf Al-
Qardhawi who has different views and opinions on the involvement of women in politics.
He sees that the above argument is not only textual, but the context must also be considered
and considers men and women to be a mukallaf, required to worship Allah, uphold religion,
carry out obligations, perform amar ma’ruf nahi munkar, have the same rights to choose and
be elected. On the contrary, social interests actually require the involvement of women. With
this, it can be said that the fatwa above emerged due to socio-political influences. In this case,
al-Qardhawi is moderate. Whereas in the matter of the president, the representative council
is not at all identical with the leadership of a caliph or amirul mu’minin who is individual
but the leadership of the president, the representative council that is currently developing
is collective, not individual.

Keyword: Role, Woman, Political, Yusuf al-Qardhawi,

Abstrak
Dewasa ini, keterlibatan perempuan dalam panggung politik sebenarnya bukanlah
hal yang asing di dunia sejak zaman dahulu. Peranan langsung maupun tidak langsung
para perempuan memiliki pengaruh tersendiri. Wacana keterlibatan perempuan dalam
dunia politik dengan memberikan kuota 30%, masih menjadi wacana kontroversi, serta
isu-isu kesetaraan gender lainnya. Yusuf Al-Qardhawi memiliki pandangan dan pendapat

Vol. 19 No. 2, September 2021


210 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

yang berbeda terhadap keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Ia melihat dalil di atas
tidak sebatas tekstual, melainkan harus diperhatikan pula konteksnya dan menganggap
laki-laki serta perempuan adalah seorang mukallaf, dituntut untuk beribadah kepada
Allah, menegakan agama, melaksanakan kewajiban, melakukan amar ma’ruf nahi munkar,
memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Pandangan al-Qardhawi tentang status
perempuan dalam sistem politik Islam dilihat sepintas nampaknya bertentangan dengan
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan ulama salaf. Mereka menetapkan salah satu syarat
untuk menjadi seorang pemimpin adalah seorang laki-laki, artinya perempuan tidak boleh
menjadi pemimpin. Al-Qardhawi membolehkan perempuan menjalankan peran sosial sebagai
hakim dengan beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan khusus. Karena menurutnya, posisi
tersebut tidaklah bertentangan dengan kepentingan sosial. Bahkan sebaliknya, kepentingan
sosial justru membutuhkan keterlibatan perempuan. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa
fatwa di atas muncul karena adanya pengaruh sosial politik. Dalam hal ini, al-Qardhawi
tergolong moderat. Sedangkan dalam masalah presiden, dewan perwakilan sama sekali
tidak identik dengan kepemimpinan seorang khalifah atau amirul mu’minin yang bersifat
individu melainkan kepemimpinan presiden, dewan perwakilan yang berkembang saat ini
bersifat kolektif tidak bersifat individu.

Kata Kunci: Peran, Wanita, Politik, Yusuf al-Qardhawi

Pendahuluan
Keterlibatan perempuan dalam panggung politik sebenarnya
bukanlah hal yang asing di dunia sejak zaman dahulu. Peranan
langsung maupun tidak langsung para perempuan memiliki pengaruh
tersendiri. Tidak heran, jika perbincangan mengenai keterlibatan
perempuan dalam wilayah politik merupakan topik hangat di masa
lalu, sekarang, dan mungkin akan terus di perbincangkan pada masa
mendatang. Wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik
dengan memberikan kuota 30%, masih menjadi wacana kontroversi,1
serta isu-isu kesetaraan gender lainnya. Sebagai bagian dari warga
negara, perempuan Indonesia secara normatif sudah diakui secarah
sah.2 Pada hakikatnya perempuan dan laki-laki memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan, seperti yang
terdapat dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945.3

1
Najlah Naqiyah, Otonomi Perempuan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005),
Cet. I, 216.
2
Landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan operasional GBHN 1978, 1983,
1988 dan 1993 mengakui perlunya meningkatkan peranan kaum perempuan dalam
pembangunan nasional.
3
Wirdawati, Hak Politik Perempuan dan Permasalahannya, Jurnal Ilmu dan Budaya,
Vol. 39, No. 46, Juli 2015, 5429.
Bunyi Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 211

Banyak kalangan perempuan yang menolak dengan membatasi


langkah perempuan. Sementara ini, pandangan yang berkembang
dalam masyarakat, masih menjadi dua kutub yang bersebrangan.
Satu pandangan menyatakan perempuan harus di dalam rumah,
mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik
dan tidak boleh berpolitik. Pandangan ini diperkuat oleh kalangan
fuqahā,4 bahwa peran perempuan dalam politik selalu mengundang
perdebatan dan perbedaan pendapat. Ini terjadi karena secara
eksplisit, al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menyebutkan dengan
tegas perintah maupun larangan bagi perempuan untuk menjadi
pemimpin. Mayoritas ulama fikih terutama dari kalangan salaf
hampir sepakat melarang perempuan menjadi pemimpin,5 dengan
landasan firman Allah SWT “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita ....”6 dan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari menyatakan bahwa “tidak akan beruntung suatu
kaum yang mana urusan mereka dipimpin oleh wanita”.7 Pandangan
lain menyatakan perempuan mempunyai kemerdekaan untuk
berperan, baik di dalam maupun di luar rumah demikian juga dalam
bidang politik.8 Fenomena-fenomena ini lah yang menghasilkan
perbincangan bagaimana kedudukan perempuan dalam Islam dan
seperti apa pandangan Islam terhadap perempuan yang berpolitik
dan bahkan menjadi pemimpin dalam lembaga pemerintahan.
Lain halnya dengan ulama kontemporer ternama abad ini Yusuf
al-Qardhawi yang memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda
terhadap keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Ia melihat
dalil di atas tidak sebatas tekstual, melainkan harus diperhatikan
pula konteksnya dan menganggap laki-laki serta perempuan
adalah seorang mukallaf,9 dituntut untuk beribadah kepada Allah,

di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.”
4
Fuqahā adalah orang-orang yang mendalami ilmu fikih, bentuk jama’ dari kata
faqīh.
5
M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh, Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam
(Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi), Mimbar Jurnal, Vol. XXI, No. 2,
April-Juni 2005, 178.
6
QS. An-Nisā: 34.
7
Imam Bukhari, S{ah}īh} al-Bukhārī, Vol. 5, No. 4425, Terj. Mahmoud Matraji, (Beirut:
Dār al-Fikr), 588-589.
8
Istibsyaroh, Perempuan Berpolitik: Argumen Kesetaraan Hak Politik Perempuan dalam
Islam, Cet. I, (Malang: Kalimetro Intelegensia, 2016), 1.
9
Mukallaf yaitu orang muslim yang dikenai kewajiban untuk menjalankan syariat
Islam dan menjauhi larangan-larangan agama karena ia telah dewasa dan berakal (baligh)

Vol. 19 No. 2, September 2021


212 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

menegakan agama, melaksanakan kewajiban, melakukan amar ma’ruf


nahi munkar, memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih,
sehingga tidak ada dalil yang kuat atas larangan perempuan untuk
berpolitik. Maka, melalui tulisan ini akan diuraikan bagaimana
pandangan Yusuf al-Qardhawi mengenai politik bagi perempuan.

Biografi Yusuf al-Qardhawi


Yusuf al-Qardhawi nama lengkapnya adalah Yusuf bin
Abdullah bin Yusuf bin Ali al-Qardhawi. Lahir pada tanggal 9
September 192610 di sebuah desa bernama Shafat Turab dan kota al-
Mahallah al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling
terkenal di provinsi al-Gharbiyyah,11 salah satu provinsi yang berada
di tepi laut Republik Arab Mesir. Beliau dibesarkan dalam keluarga
agamis yang hidup sederhana.
Ketika berumur dua tahun, ayahnya meninggal dunia.
Sepeninggal ayahnya, ia diasuh dan dibesarkan oleh pamannya.
Ia mendapatkan perhatian yang besar dari pamannya, sehingga
ia menganggap pamannya seperti orang tua sendiri. Keluarga
pamannya pun juga taat dalam menjalankan agama, tak heran jika
al-Qardhawi menjadi orang yang kuat dalam menjalankan agama.
Pada usia lima tahun, ia disekolahkan oleh pamannya untuk
belajar dan menghapal al-Qur’an. Kemudian pada usia tujuh tahun,
ia masuk sekolah al-Ilzamiyyah.12 Ia tercatat sebagai murid yang
berprestasi tinggi, sehingga sebelum usianya genap sepuluh tahun
telah berhasil menghapal al-Qur’an. Setelah selesai dari al-Ilzamiyyah,
ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Ibtidaiyyah Thantha
dan menyelesaikannya hanya dalam kurun waktu empat tahun.
Kemudian dilanjutkan ke Tsanawiyah dan dapat menyelesaikan
sebelum waktunya.13
Selanjutnya al-Qardhawi melanjutkan studinya pada Fakultas
Ushuluddin di Universitas Al-Ahzar dan lulus sebagai sarjana S1
pada tahun 1952 sebagai ranking pertama dari seratus delapan

serta telah mendengar seruan agama.


10
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qad}āyā al-Mar’ah fī Fiqh al-Qard}āwī, Terj. Muhyiddin
Mas Rida, Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), 3.
11
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I, terj. Cecep Taufikurrahman dan.
Nandang Burhanuddin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), 9-10.
12
Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I…, 133.
13
M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh, Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam…, 186.

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 213

puluh mahasiswa.14 Kemudian melanjutkan S2 pada jurusan Bahasa


Arab dengan konsentrasi pada pendidikan dan pengajaran. Setelah
itu, ia masuk ke Lembaga kajian dan Pengembangan Bahasa Arab
Internasional dan berhasil memperoleh gelar diploma pada jurusan
Bahasa dan Adab. Pada tahun yang sama, beliau masuk pendidikan
tinggi S3 qismud dirasah bidang al-Qur’an dan Sunnah di Fakultas
Ushuluddin dan menyelesaikannya pada tahun 1960. Dan akhirnya
pada tahun 1973, kecermelangan al-Qardhawi kembali terlihat saat
berhasil meraih gelar Doktor dengan gelar Summa Cumlaude dengan
disertasi berjudul; al-Zakāh wa Atsaruhā fi al-Masykil Al-Ijtimaiyyah
(Zakat dan pengaruhnya dalam memecahkan masalah-masalah
sosial kemasyarakatan).15
Pada tahun 1961, al-Qardhawi ditugaskan ke Negara Qatar
sebagai direktur Lembaga Pendidikan Agama Tingkat Menengah.
Pada tahun 1973, berdirilah fakultas Tarbiyah yang merupakan cikal
bakal Universitas Qatar dan ia sebagai pendiri jurusan Studi Islam
sekaligus menjadi ketuanya. Pada tahun 1977, ia merintis pendirian
dan sekaligus menjadi dekan pertama Fakultas Syari’ah dan Studi
Islam di Universitas Qatar hingga akhir tahun ajaran 1989-1990.
Sebagai ulama terkemuka zaman ini, Yusuf al-Qardhawi telah
mimiliki berbagai karya. Ia banyak menekuni bidang disiplin ilmu,
di antaranya pemikiran, dakwah, pendidikan, pergerakan, fikih dan
usul fikih, al-Qur’an dan Sunnah, dan lain sebagainya. Pengabdiannya
terhadap Islam tidak terbatas hanya pada satu sisi saja, hingga saat
ini konribusinya sangat dirasakan umat di seluruh dunia.

Politik

1. Pengertian Politik
Mengenai politik sering dikaitkan dengan bermacam-macam
kegiatan dalam sistem politik ataupun negara yang menyangkut proses
penentuan tujuan maupun dalam melaksanakan tujuan. Ilmu politik
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-
negara itu dengan melakukan tugas-tugasnya.16 Jadi, dalam hal ini
14
Rashda Diana, Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan Yusuf Qardhawi,
Jurnal Tsaqafah, Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430, 291.
15
Rashda Diana, Partisipasi Politik Muslimah…, 291.
16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1998), 9.

Vol. 19 No. 2, September 2021


214 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

dinyatakan bahwa politik digunakan untuk merujuk kepada ilmu


pemerintahan, partisipasi dalam urusan pemerintahan, metode
memengaruhi kebijakan negara, dan prinsip-prinsip berkaitan dengan
bagaimana suatu masyarakat perlu diatur dan ditata.
Politik dalam literasi Islam dikenal dengan istilah siyasah
yang merupakan bentuk masdar atau kata benda dari kata sāsa,
memiliki banyak makna yaitu
mengemudi, mengendalikan, pengendali, cara pengendalian,
mengatur (relegen), mengurus (besturen), dan memerintah (sturen),
seperti para penguasa mengatur dan mengurus rakyat untuk
mewujudkan kemaslahatan, dan juga mengatur urusan kehidupan
masyarakat.17 Pengertian secara kebahasaan ini mengisyaratkan
bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus dan membuat
kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai
sesuatu.18 Secara istilah politik islam adalah pengurusan kemaslahatan
umat manusia sesuai dengan syara’.19
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan bahwa siyasah adalah
pengaturan perundangan yang diciptakan untuk memelihara
ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.20 Selain itu,
Al-Bahasnawi memberikan definisi lebih terfokus pada tujuan syari’at
yaitu kemaslahatan umat: “politik ialah cara dan upaya menangani
masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk
mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan
bagi kepentingan manusia”.21
Sedangkan Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah
hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh
Ibnu Agil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati
kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun
tidak digariskan Rasulullah saw. atau dibawa oleh wahyu Allah SWT.22
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa siyasah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang

17
Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, Cet. I, (Yogyakarta:
FH UII Press, 2007), 74-75.
18
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik Islam, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2014), 3.
19
Abdullah Zawawi, “Politik dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ummul Qura,
Vol. V, No 1, Maret 2015, 88.
20
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah…, 4.
21
Salim Ali al-Bahasnawi, Ash-Shar’iyah Al-Muftara ‘Alayhā, Terj. Mustolah Maufur,
Wawasan Sistem Politik Islam, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), 23.
22
Salim Ali al-Bahasnawi, Al-Shar’iyah al-Muftara ‘Alayhā…, 23.

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 215

membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia


dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu
sendiri.

2. Tujuan Politik Islam


Tujuan sistem politik Islam adalah untuk membangun
sebuah sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak untuk
melaksanakan seluruh hukum syariat Islam. Tujuan utamanya ialah
menegakkan sebuah negara Islam atau Darul Islam. Dengan adanya
pemerintahan yang mendukung syari’ah, maka akan tertegaklah ad-
Din dan segala urusan manusia menurut tuntutan-tuntutan al-Dīn
tersebut. Para fuqahā telah menggariskan sepuluh perkara penting
sebagai tujuan sistem politik dan pemerintahan Islam:23
Pertama, memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang
telah disepakati oleh ulama salaf daripada kalangan umat Islam.
Kedua, melaksanakan proses pengadilan dikalangan rakyat dan
menyelesaikan masalah di kalangan orang-orang yang berselisih.
Ketiga, menjaga keamanan daerah-daerah Islam agar manusia dapat
hidup dalam keadaan aman dan damai. Keempat, melaksanakan
hukum-hukum yang telah ditetapkan syara’ demi melindungi hak-
hak manusia. Kelima, menjaga perbatasan negara dengan pelbagai
persenjataan bagi menghadapi kemungkinan serangan daripada
pihak luar. Keenam, melancarkan jihad terhadap golongan yang
menentang Islam. Ketujuh, mengendalikan urusan pengutipan
cukai, zakat dan sedekah sebagai mana yang ditetapkan oleh syara’.
Kedelapan, mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan daripada
perbendaharaan negara agar tidak digunakan secara boros ataupun
secara kikir. Kesembilan, mengangkat pegawai-pegawai yang cekap
dan jujur bagi mengawal kekayaan negara dan menguruskan hal
ihwal pentadbiran negara. Kesepuluh, menjalankan pengaulan
dan pemeriksaan yang rapi di dalam hal ihwal amam demi untuk
memimpin negara dan melindungi agama.

Pandangan Ulama Terhadap Peran Perempuan dalam Politik


Perempuan dan politiknya dapat digambarkan yaitu segala hal
yang bisa dilakoni dan dapat diperankan perempuan dalam kegiatan,
baik menyangkut tentang kegiatan sosial kemasyarakatan maupun

Abdullah Zawawi, “Politik dalam Perspektif Islam”…, 98.


23

Vol. 19 No. 2, September 2021


216 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

kegiatan yang terkait dengan kepentingan-kepentingan perempuan


itu sendiri.24 Dan secara khusus terkait dengan keterlibatan kaum
perempuan dalam kiprah politiknya dilihat dari sudut pandang
hukum Islam.
Pembicaraan tentang politik perempuan terutama dalam
konteks kepemimpinan haruslah beranjak dari visi Islam yang
kehadirannya sebagai rahmat untuk seluruh alam, termasuk manusia,
baik laki-laki maupun perempuan. 25 Dari visi ini terkandung
pengakuan keutuhan manusia sebagai pribadi yang bermartabat
karena status kemanusiannya.
Prinsip umum yang sudah menjadi konsensus26 umat adalah
bahwa semua kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan
memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum-hukum syariat,
kecuali ada keterangan nash atau ijma’ yang mengkhususkannya.27
Seperti yang dikutip oleh Ali Muhammad al-Shallabi dalam
kitab Fī al-Fiqh al-Siyāsi karangan Farid Abdul Khaliq, al-Syathibi
mengatakan, “Laki-laki dan perempuan secara garis besar memiliki
posisi yang sama dalam hal taklīf (beban hukum). Kemudian ada taklīf
yang memang hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan dan ada
taklīf yang hanya diperuntukkan bagi laki-laki.”28
Namun, kebanyakan ulama lebih memilih penafsiran yang
memerintahkan kaum perempuan untuk berada di rumah dan tidak
ikut campur dalam kehidupan publik. Mereka berargumen bahwa
kaum perempuan itu tidak mampu mengendalikan urusan-urusan
publik; oleh karena itu, yang lebih baik bagi perempuan adalah
melakukan pekerjaan yang memang mereka kuasai dengan baik –
yaitu, menjadi ibu dan istri saja29 dan perempuan haram menduduki
jabatatan kekhalifahan.30
24
Baharuddin, “Eksistensi Politik Perempuan dalam Pandangan Ulama Tafsir”,
dalam Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. III, No. 1, 2010, 5.
25
Ridwan, “Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Literatur Islam Klasik”,
dalam Jurnal Yin Yang, Vol. 3, No. 1, Jan-Jun 2008, 3.
26
Kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian,
dan sebagainya) yang dicapai melalui kebulatan suara.
27
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī al-Daulah al-H{adiṡiyyah al-Muslimah,
Terj. Masturi Irham & Malik Supar, Parlemen di Negara Islam Modern, Cet. I, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2016), 283.
28
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī al-Daulah al-H{ a diṡiyyah al-
Muslimah…, 283.
29
Haifaa A. Jewad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraan
Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 281.
30
Khalifah  adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 217

Ayat-ayat al-Qur’an yang sering menjadi landasan tentang hal


di atas adalah sebagai berikut:
ِ ۤ ِ
‫ض َّوِبَآ اَنـَْف ُق ْوا ِم ْن اَْم َوالِِ ْم‬
ٍ ‫ض ُه ْم َع ٰلى بـَْع‬ ‫ع‬ ‫ـ‬ ‫ب‬ ٰ
‫الل‬ ‫َّل‬ ‫ض‬ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ب‬ِ
َ َْ ُّ َ َ َ ‫ال قـََّو ُام ْو َن َعلَى النّ َس‬
‫ء‬ ‫ا‬ ُ ‫اَ ِّلر َج‬
‫اللُ َۗوا ٰلِّ ْت َتَافـُْو َن نُ ُش ْوَزُه َّن فَعِظُْوُه َّن‬ ِ ِ ِ ‫الصلِ ٰحت ٰقنِتٰت ٰح ِف ٰظت لِّْلغي‬
ّٰ ‫ب بَا َحف َظ‬ َْ ٌ ٌ ُ ّٰ َ‫ۗ ف‬
ِ ِ ِ ‫واهجروه َّن ِف الْم‬
ّٰ ‫اض ِربـُْوُه َّن ۚ فَا ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَ َل تـَبـْغُ ْوا َعلَْي ِه َّن َسبِْي ًل ۗا َّن‬
َ‫الل‬ ْ ‫ضاج ِع َو‬
َ َ ُ ُْ ُ ْ َ
‫َكا َن َعلِيًّا َكبِيـًْرا‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka ….”31
Dalam surah lain disebutkan laki-laki mempunyai derajat yang
lebih tinggi dari perempuan
ٌ َ َ َ َّ ْ َ َ َ ِّ َ
ࣖ ‫كيْ ٌم‬ َ ْ َ ُ
ِ ‫ال علي ِهن درجة ۗ َوالل ّٰ ع ِزي ٌز ح‬ ِ ‫ولِلرج‬
Artinya: “…. Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat
dari perempuan (istrinya)….”32
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jāmi’ li Ah}kām al-Qur’ān
(Juz 1: 270), menyatakan bahwa: “Khalifah haruslah seorang laki-laki
dan mereka (para fakih) telah bersepakat bahwa perempuan tidak
boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang
bolehnya perempuan menjadi qadhi berdasarkan diterimanya
kesaksian perempuan dalam pengadilan.”
Hujjat al-Islam Muhammad Abu Hamid al-Ghazali pun
mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan itu tidak sah,
meskipun ia menyandang segala sifat kesempurnaan dan dapat
mengambil tindakan mandiri.33
Beberapa ulama menjadikan dalil-dalil berikut sebagai dalil
tentang dibolehkannya seorang perempuan mencalonkan diri untuk
menempati jabatan-jabatan publik (al-wilāyah al-‘āmmah) kecuali
imāmah uzhma (kekuasaan dan kepemimpinan tertinggi).34 Al-Qur’an

wafatnya Rasulullah saw.


31
QS. An-Nisā: 34.
32
QS. Al-Baqarah: 228.
33
Istibsyaroh, Perempuan Berpolitik…, 19.
34
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī al-Daulah al-H{ a diṡiyyah al-
Muslimah…, 283.

Vol. 19 No. 2, September 2021


218 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

membebankan kepada laki-laki dan perempuan tanggung jawab


menegakkan masyarakat dan membenahinya, yang dalam Islam
lazim disebut amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman,

َ ْ َََْ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ َُْ ْ َ ُ َ َْ ْ ُ ُ ْ َ ُ ٰ ْ ُْ َ َ ْ ُ ْ ُْ َ
‫ض يأمرون بِالمعرو ِف وينهون‬ ۘ ٍ ‫والمؤمِنون والمؤمِنت بعضهم او ِلاۤء بع‬
َ ٰ ُ ٗ َ ْ ُ َ َ َ ّٰ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ٰ َّ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ٰ َّ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ْ َ
ۤ ‫ع ِن المنك ِر ويقِيمون الصلوة ويؤتون الزكوة وي ِطيعون الل ورسول ۗا‬
‫ول ِٕىك‬
َ ّٰ ‫الل ۗا َِّن‬
‫الل َع ِزيْ ٌز َحكِيْ ٌم‬ َُ‫ي‬
ُ ّٰ ‫ح ُه ُم‬ ْ َ ‫َس‬
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”35
Dalam hal ini al-Qur’an juga menyebutkan beberapa ciri orang-
orang yang beriman, setelah menyebutkan beberapa ciri orang-orang
munafik sebagai berikut,
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian
yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang
berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya mereka telah
lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”36
Jika perempuan-perempuan munafik berdiri di samping kaum
laki-laki munafik memainkan peranan untuk merusak masyarakat,
maka wanita-wanita mukminah harus memainkan peranan untuk
membenahi masyarakat di samping kaum laki-laki muslimin. Allal
al-Fasi melihat bahwa ayat ini menetapkan al-wilāyah al-mut}laqah
(kewenangan, kompetensi, otoritas mutlak) bagi kaum perempuan
mukminah sama halnya dengan kaum laki-laki. Kemudian Allal
al-Fasi juga menambahkan bahwa al-Qur’an menyatakan tentang
musyawarah antara suami dan istrinya dalam urusan perkawinan,37
“….Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya….”38

QS. At-Taubah: 71.


35

QS. At-Taubah: 67.


36

37
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī al-Daulah al-H{adiṡiyyah al-
Muslimah…, 284.
38
QS. Al-Baqarah: 233.

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 219

Jika musyawarah dikehendaki sampai sedemikian rupa dalam


urusan rumah tangga dan keluarga, maka apalagi dalam urusan yang
lebih besar, yaitu bangsa dan Negara.39
Dari pemaparan tersebut perlu kita ketahui bahwa tidak bisa
dipungkiri keterlibatan perempuan di politik itu merupakan hak
perempuan itu sendiri. Islam memberikan kesempatan kepada
kaum perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan politik, ini
bisa terlihat pada banyak ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan
amar ma’ruf nahi munkar.40 Ini berlaku untuk segala macam kegiatan,
tidak terkecuali dalam bidang politik dan kenegaraan. Perempuan
juga turut bertanggungjawab dalam hal ini.41

Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi


Berpolitik adalah sebuah kewajiban hukum yang harus dilakoni
oleh setiap manusia; apakah berupa kewajiban utama (fard} ‘ayn) atau
kewajiban tambahan (fard} kifāyah). Berpolitik bukanlah pekerjaan
yang dianjurkan, atau dianggap baik mengerjakannya, atau tidak
mengapa meninggalkannya. Akan tetapi, berpolitik adalah wajib
hukumnya berdasarkan pemahaman pengambilalihan kekuasaan,
yang mana pengambilalihan kekuasaan adalah sebuah kelaziman
yang diwajibkan dan dipaksakan kepada setiap muslim laki-laki
dan perempuan.42

1. Perempuan Menjadi Kepala Negara


Di kalangan fuqaha hampir sepakat bahwa seorang perempuan
tidak diperbolehkan atau dilarang menjadi seorang kepala negara,
karena identik dengan seorang imam atau khalifah.43 Menurut al-
Qardhawi, ada tiga bentuk argumentasi yang sering dikemukakan
oleh ulama dalam melarang perempuan menduduki jabatan presiden

39
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī al-Daulah al-H{ a diṡiyyah al-
Muslimah…, 285.
40
QS. At-Taubah: 71.
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
41
Sri Warjiyati, “Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam”, dalam
Jurnal Ad-Daulah, Vol. 6, No.1, April 2016, 23.
42
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qad}āyā al-Mar’ah…, 238.
43
M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh, Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam…, 189.

Vol. 19 No. 2, September 2021


220 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

(khalīfah) atau jabatan kepala negara dan sejenisnya.44


Pertama, QS. An-Nisā ayat 34. 45 Ayat ini menyebutkan
kepemimpinan laki-laki atas perempuan.46 Kemudian kepemimpinan
itulah derajat yang diberikan kepada laki-laki sebagaimana dalam
firman Allah.47
Kedua, hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu
Bakrah, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mana urusan mereka
dipimpin oleh wanita,”48 artinya pemimpin atas seluruh penduduk
sebuah negeri, atau jabatan kepala negara, sebagaimana yang dapat
dipahami dari kata-kata “amrahum” (urusan mereka), maksudnya
adalah urusan kepemimpinannya mencakup semua urusan
penduduk, yakni urusan kekuasaan dan kepemimpinan umum.
Jika kepemimpinannya terdapat sebagian urusan penduduk, maka
tidak mengapa perempuan menerima jabatan dimaksud, seperti
jabatan memberi fatwa dan berijtihad, pendidikan, periwayatan dan
pengajaran hadits, administrasi, dan sebagainya.49
Ketiga, dikarenakan umumnya kemampuan fisik perempuan
tidak sanggup untuk menanggung beban tersebut. Kata “umumnya”,
sebab ada beberapa perempuan yang mempunyai kemampuan lebih
dari laki-laki, seperti ratu Saba’ yang kisahnya disebutkan di dalam
al-Qur’an pada surat al-Naml. Ratu Saba’ telah sukses memimpin
kaumnya meraih keuntungan dunia dan akhirat, dengan memeluk
Islam dan bersama Nabi Sulaiman tunduk kepada Allah. Akan tetapi,
hukum dilahirkan dari kejadian yang umum dan banyak berlaku

44
Ummi Kulsum, Peran Sosial Perempuan Perspektif Yusuf Al-Qardhawi, Tesis,
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011), 59.
45
Teks ayatnya
ۤ
‫ت‬ ِ
ٌ ‫ٰت ٰحف ٰظ‬
ِ ‫الصلِ ٰح‬
ٌ ‫ت ٰقنت‬
ِِ ِ
ُ ّٰ َ‫ض َّوِبَآ اَنـَْف ُق ْوا م ْن اَْم َوال ْم ۗ ف‬ ٍ ‫ض ُه ْم َع ٰلى بـَْع‬ ّٰ ‫َّل‬
َ ‫اللُ بـَْع‬ َ ‫ال قـََّو ُام ْو َن َعلَى النِّ َسا ِء ِبَا فَض‬ ُ ‫اَ ِّلر َج‬
ِ ِ ِ ٰ ِ ِ ِ ‫لِّْلغَْي‬
‫اض ِربـُْوُه َّن ۚ فَا ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَ َل تـَبـْغُ ْوا‬
ْ ‫ضاج ِع َو‬َ ‫اللُ َۗوالِّ ْت َتَافـُْو َن نُ ُش ْوَزُه َّن فَعظُْوُه َّن َو ْاه ُجُرْوُه َّن ِف الْ َم‬
ّٰ ‫ب بَا َحف َظ‬
‫اللَ َكا َن َعلِيًّا َكبِيـًْرا‬ ِ
ّٰ ‫َعلَْي ِه َّن َسبِْي ًل ۗا َّن‬
Artinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,
46
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām Fatāwī Mu’ās}irah, Terj. As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa
Kontemporer, Jilid 2, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 528.
47
QS. Al-Baqarah: 228.
Artinya: “…Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan
(istrinya)…”
48
Teks haditsnya
‫لَ ْن يـُْفلِ َح قـَْوٌم َولَّْوا ْأمَرُه ُم ْامَرأًَة‬
49
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām…, 529.

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 221

dan bukan kejadian yang jarang berlaku.50


Dengan demikian, ulama melahirkan kaidah: Sesuatu yang
jarang tidak mempunyai hukumnya.51 Dalam menyikapi polemik
ini, al-Qardhawi berlandaskan pada empat argumentasi:
Pertama, QS. Al-Ahzāb ayat 33.52 Menurut al-Qardhawi ayat
ini khusus ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagaimana tampak
jelas dalam konteks kalimatnya. Para istri Nabi saw. terkenai aturan
dan beban kewajiban yang berat, tidak seperti perempuan yang
lainnya, mereka akan mendapatkan azab yang berlipat ganda bila
mana melakukan keburukan, tetapi akan mendapatkan pahala yang
berlipat ganda bila mereka melakukan amal saleh.53 Meskipun sudah
ada ayat ini, Aisyah masih keluar dari rumah, dan turut serta dalam
Perang Jamal, demi memenuhi kewajiban agama, yaitu melaksanakan
hukum qis}as}54 terhadap orang-orang yang membunuh Utsman.
Kedua, mengenai hadits “tidak beruntung suatu kaum yang
menguasakan urusan mereka kepada perempuan”, apakah hadits ini
diberlakukan atas keumumannya ataukah terbatas pada sebab
wurudnya ?
Disini Rasulullah ingin memberitahukan ketidakberuntungan
bangsa Persia yang harus menerima sistem kerajaan turun-temurun
harus mengangkat putri Kisra, walaupun di kalangan mereka ada
orang yang jauh lebih mampu dan pantas. Ini menunjukkan bahwa
sebab turunnya ayat atau hadits, harus dijadikan acuan dan rujukan
dalam memahami teks, sementara keumuman lafal tidak dapat
dijadikan sebagai kaidah yang baku.55 Apabila hadits ini hanya
dipahami menurut keumuman lafalnya saja, tentu berlawanan
dengan ayat al-Qur’an yang menceritakan kisah seorang perempuan
(Ratu Balqis) yang memimpin kaumnya dengan kepemimpinan yang
bijaksana, adil, serta bertindak baik dan tepat.
Ketiga, bahwa perempuan sebenarnya sudah biasa keluar dari
rumahnya. Mereka pergi ke sekolah atau ke kampus, bekerja di

50
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qad}āyā al-Mar’ah…, 242.
51
Yusuf al-Qardhawi, Markaz al-Mar’ah fī al-Hayāh al-Islamiyyah, (Kairo; Maktabah
Wahbah, 1996), 32.
52
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu ….”
53
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām …., hlm. 525.
54
Qishash adalah istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan (memberi
hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”. Dalam
kasus pembunuhan, hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk
meminta hukuman mati kepada pembunuh.
55
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām …., hlm. 544.

Vol. 19 No. 2, September 2021


222 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

berbagai sektor kehidupan, baik sebagai dokter, guru dosen, maupun


sebagai tenaga administrasi di suatu kantor dan sebagainya, tanpa
ada seorangpun yang mengingkarinya. Sehingga seolah-olah sudah
menjadi semacam ijma’ tentang bolehnya perempuan bekerja di luar
rumah dengan syarat-syarat tertentu.56
Keempat, bahwa masyarakat modern di bawah sistem
demokrasi, ketika mengangkat perempuan sebagai menteri atau
jabatan lainnya, tidak berarti bahwa masyarakat itu menugaskan
seorang perempan menjadi pemimpin dan menyerahkan segala
persoalan kepadanya.57
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa pemerintahan seperti
Margaret Thatcher di Inggris, Indira Gandhi di India bukanlah
pemerintahan seorang perempuan terhadap suatu bangsa, tetapi
merupakan pemerintahan suatu lembaga dan hukum, meskipun
yang duduk di puncak kepemimpinannya seorang perempuan,
tapi yang berkuasa sebenarnya adalah kabinet secara kolektif, tidak
bersifat individu.

2. Perempuan Sebagai Dewan Perwakilan


Yusuf al-Qardhawi menyejajarkan kedudukan perempuan
dengan laki-laki dalam perannya sebagai anggota dewan (DPR
atau MPR). Artinya, baik perempuan maupun laki-laki sepenuhnya
memiliki hak memilih dan hak dipilih. Ia mengatakan:58
“Perempuan adalah makhluk yang menerima perintah syariat
sebagaimana laki-laki, di diperintahkan untuk menyembah
Allah, menegakkan agamanya, menjalankan yang wajib dan
meninggalkan yang diharamkan, menjaga batasan-batasan syariat
dan mendakwahkannya, mengajak manusia kepada kebaikan dan
mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar.”

Dengan kata lain, semua perintah syariat di dalamnya meliputi


perempuan, kecuali jika ada dalil tertentu yang mengkhususkan
untuk laki-laki. Apabila Allah berfirman: “Wahai manusia” atau
“Wahai orang-orang yang beriman”, maka perempuan juga tercakup
di dalamnya.59 Karena itu ketika Ummu Salamah ra. mendengar

56
Yusuf al-Qardhawi, Min Fiqhi al-Daulah fī al-Islām, (Kairo: Dār al-Shurūq, 1997),
hlm. 167.
57
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām…, 545.
58
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qad}āyā al-Mar’ah…, 247.
59
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām…, 521-522.

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 223

Rasulullah bersabda “Wahai manusia” padahal waktu itu Ummu


Salamah sedang sibuk dengan pekerjaannya, ia bergegas menyambut
panggilan tersebut. Sehingga sebagian orang merasa heran
dengannya menyambut panggilan itu, lantas ia berkata kepada
mereka, “Aku juga manusia.”60
Kesejajaran perempuan dan laki-laki dalam hal menyuarakan
haknya di lembaga adalah sesuatu yang sangat biasa dan wajar,
bahkan dalam hal-hal tertentu yang menyangkut persoalan
perempuan, merekalah yang lebih paham mengenai persoalan-
persoalan tersebut.
Dalam memahami ayat al-Qur’an pada surat An-Nisā ayat 34,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka….”

Al-Qardhawi menegaskan, yang dimaksud dalam ayat


tersebut bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita
berkaitan dengan kehidupan suami-isteri, bukan dalam urusan
pemerintahan.61 Lebih jauh lagi ia mengakatan, tidak ada satu dalil
pun dari syara’ yang menghalangi keanggotaan perempuan di DPR
atau MPR, karena pada dasarnya segala persoalan (keduniaan) itu
diperbolehkan, kecuali ada teks yang tegas melarangnya.

3. Perempuan Menjadi Hakim


Menurut al-Qardhawi masalah perempuan menjadi hakim
adalah masalah yang telah lama diperbincangkan ulama fikih.
Mayoritas ulama melarang jabatan hakim bagi perempuan. Bahkan
mereka menetapkan dalam kitab-kitab fikih syarat-syarat menjadi
hakim.62 Mereka memasukkan jabatan hakim ke dalam bagian dari
jabatan pemerintahan. Mereka berkata, Jabatan hakim menghendaki
akal yang sempurna, dan wanita lemah akalnya. Jabatan hakim

60
Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām…, 522.
61
M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh, Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam…, 190.
62
Para ahli fiqh menetapkan syarat menjadi seorang hakim, yakni a) Islam, b)
baligh, c) berakal, d) adil, e) sehat rohani, f) tidak tuli, g) tidak buta, h) tidak bisu, i) laki-laki.
Syarat laki-laki mereka tetapkan berdasarkan hadits Rasulullah saw
ً‫لَ ْن يـُْفلِ َح قـَْوٌم َولَّْوا ْامَرُه ُم ْامَرأَة‬
Artinya: Tidak akan beruntung suatu kaum yang mana urusan mereka dipimpin oleh
wanita

Vol. 19 No. 2, September 2021


224 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

menginginkan sifat tega, sedangkan perempuan adalah makhluk


pengasih yang mudah merasa kasihan.63 Hal ini tidak terlepas dari
adanya perbedaan dalam memahami hadits riwayat Imam Bukhari.
Dalam hal ini Imam Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menolak
keabsahan perempuan dalam jabatan ini di semua kategori hukum,
baik perdata, maupun pidana. Abu Hanifah dan Ibnu Hazm membatasi
hanya pada bidang perdata. Sementara itu Ibnu Jarir Ath-Thabari
membolehkan perempuan menjadi hakim dalam segala urusan, dan
pendapat ini ditolak oleh al-Mawardi.64 Dengan demikian, masalah
ini adalah masalah khilafiyah di antara ulama fikih.
Dalam hal ini al-Qardhawi menyatakan:
“Pada dasarnya saya membenarkan hak perempuan dalam hal ini,
tetapi harus dengan ketentuan, batasan, dan syarat yang mengikat.
Dan saya tidak melihat adanya nash yang tegas melarang wanita
menduduki jabatan hakim”65 sebagaimana firman Allah”.66

Adapun ketentuan, batasan, dan syarat-syarat yang ditetapkan


al-Qardhawi bagi perempuan yang menduduki jabatan hakim
adalah:
Pertama: mencapai usia pantas untuk menduduki jabatan
berat ini, tidak dalam keadaan hamil ketika menjalankan tugasnya,
tidak dalam masa siklus bulanannya, tidak dalam masa training,
berengalaman, sehat jasmani, anak-anaknya sudah dewasa, yakni
tidak disibukkan dengan urusan anak-anak dan suaminya. Dengan
demikian, usia pantas yang dimaksud adalah usia matang.

63
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qad}āyā al-Mar’ah…, 243.
64
Imam al-Mawardi, al-Ah}kām al-Sult}āniyyah, Cet. I, (Dār al-Fikr, 1960), 65.
65
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qad}āyā al-Mar’ah…, 244.
66
QS. Ali-Imran: 195.
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
“Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain….”*
*Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka
demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua-duanya
sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman
dan amalnya.
QS. At-Taubah: 71.
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 225

Kedua: ahli, dalam arti memiliki kemampuan diri, kemampuan


keilmuan dan berakhlak baik. Sebab, para sahabat dan ulama
setelahnya menghindarkan diri dari jabatan ini.67
Ketiga: keberadaan wanita sebagai hakim tersebut memang atas
dasar permintaan masyarakat, yakni demi kemajuan masyarakat itu
sendiri dan bukan untuk kepentingan pribadi perempuan. Dengan
kata lain tidak boleh perempuan menjadi hakim pada sebuah
masyarakat yang tidak memperbolehkan perempuannya menyetir
mobil.68
Selain itu al-Qardhawi juga menyatakan:
“Pada masyarakat yang berperadaban kita bisa berfatwa
diperbolehkannya perempuan menjadi hakim, sebab masyarakat
memang membutuhkannya. Bahkan kebutuhan inilah yang
mewajibkannya. Apalagi jika tidak ada laki-laki yang mampu
mengambil peran ini. Dalam keadaan demikian, dan kepada
masyarakat yang berperadaban, saya mengatakan tidak ada hukum
yang melarang perempuan menjadi hakim. Lagi pula tidak semua
orang bahkan perempuan mempunyai kemampuan sebagai hakim.
Syarat-syarat, ketentuan dan batasan tersebut tidaklah ringan, dan
hanya yang mampu saja dapat melakukannya.”69

Kesimpulan
Melalui uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Yusuf al-
Qardhawi memandang kedudukan perempuan dalam sistem politik
sama halnya dengan laki-laki. Ia menyejajarkan kaum perempuan
dan kaum laki-laki, karena dalam masalah politik keduanya memiliki
hak yang sama. Menurut al-Qardhawi, perempuan dewasa adalah
seorang mukallaf secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada
Allah, menegakkan agama-Nya, dan berkewajiban melakukan amar
ma’ruf nahi munkar, seperti halnya kaum laki-laki, demikian pula
dalam hal kenegaraan.
Pandangan al-Qardhawi tentang status perempuan dalam
sistem politik Islam dilihat sepintas nampaknya bertentangan
dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan ulama salaf.
Mereka menetapkan salah satu syarat untuk menjadi seorang

67
Yusuf al-Qardhawi, Min Fiqh al-Dawlah…, 161.
68
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qad}āyā al-Mar’ah…, 246.
69
Eep Khunaefi, Bolehkah Perempuan Menjaadi Hakim? dalam http://www.muslimah.
co.id, diakses pada 07 Juni 2021, Pukul 15:23 WIB.

Vol. 19 No. 2, September 2021


226 Asif Trisnani, Wenning Windiarti, Hidayatus Sa’adah

pemimpin adalah seorang laki-laki, artinya perempuan tidak boleh


menjadi pemimpin.
Al-Qardhawi membolehkan perempuan menjalankan peran
sosial sebagai hakim dengan beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan
khusus. Karena menurutnya, posisi tersebut tidaklah bertentangan
dengan kepentingan sosial. Bahkan sebaliknya, kepentingan sosial
justru membutuhkan keterlibatan perempuan. Dengan ini, dapat
dikatakan bahwa fatwa di atas muncul karena adanya pengaruh
sosial politik. Dalam hal ini, al-Qardhawi tergolong moderat.
Sedangkan dalam masalah presiden, dewan perwakilan sama sekali
tidak identik dengan kepemimpinan seorang khalifah atau amirul
mu’minin yang bersifat individu melainkan kepemimpinan presiden,
dewan perwakilan yang berkembang saat ini bersifat kolektif tidak
bersifat individu.

Daftar Pustaka
Al-Bahasnawi, Salim Ali. 1996. al-Syar’iyah al-Muftara ‘alayhā. Terj.
Mustolah Maufur. Wawasan Sistem Politik Islam. Cet. I. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Al-Mawardi, Imam. 1960. al-Ah}kām al-Sult}āniyyh. Cet. I. Dār al-Fikr.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1995. Hadyu al-Islām Fatāwī Mu’ās}irah. Terj.
As’ad Yasin. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid 2. Cet. I. Jakarta:
Gema Insani Press.
Nandang Burhanuddin. 2003. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2016. Al-Barlamān fī al-Dawlah al-H}adītsiyyah
al-Muslimah. Terj. Masturi Irham & Malik Supar. Parlemen di
Negara Islam Modern. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Baharuddin. 2010. “Eksistensi Politik Perempuan dalam Pandangan
Ulama Tafsir”. Jurnal Studi Gender dan Islam. Vol. III. No. 1.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bukhari, Imam. Sah}īh} al-Bukhārī. Vol. 5. No. 4425. Terj. Mahmoud
Matraji. Beirut: Dār al-Fikr.
Diana, Rashda. 1430. “Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan
Yusuf Qardhawi”. Jurnal Tsaqafah. Vol. 5. No. 2. Dhulqa’dah.
HR, Ridwan. 2007. Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan. Cet.

Journal KALIMAH
Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf al-Qardhawi 227

I. Yogyakarta: FH UII Press.


Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik
Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
Istibsyaroh. 2016. .Perempuan Berpolitik: Argumen Kesetaraan Hak Politik
Perempuan dalam Islam. Cet. I. Malang: Kalimetro Intelegensia.
Jewad, Haifaa A. 2002. Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam
atas Kesetaraann Jender. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Kulsum, Ummi. 2011. Peran Sosial Perempuan Perspektif Yusuf Al-
Qardhawi. Tesis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Cet. I. Malang: Bayumedia
Publishing.
Ridwan. 2008. “Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Literatur
Islam Klasik”, dalam Jurnal Yin Yang. Vol. 3. No. 1. Jan-Jun.
Sa’dawi, 2009. Amru Abdul Karim. Qad}āyā al-Mar’ah fī Fiqh al-Qard}āwī.
Terj. Muhyiddin Mas Rida. Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi.
Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Warjiyati, Sri. 2016. “Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum
Islam”, dalam Jurnal Ad-Daulah. Vol. 6. No.1. April
Wirdawati. 2015. “Hak Politik Perempuan dan Permasalahannya”,
dalam Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 39. No. 46. Juli
Zainuddin, M. dan Ismail Maisaroh. 2005. “Posisi Wanita dalam
Sistem Politik Islam (Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf
Al-Qardhawi)”, dalam Mimbar Jurnal. Vol. XXI. No. 2. April-
Juni
Zawawi, Abdullah. 2015. “Politik dalam Perspektif Islam”, dalam
Jurnal Ummul Qura. Vol V. No. 1 Maret.
http://www.muslimah.co.id/fiqih/2016/01/22/bolehkah-perempuan-
menjadi-hakim, diakses pada 75 juni 2021, Pukul 15:23 WIB.

Vol. 19 No. 2, September 2021

You might also like