Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 5

ARTIKEL

NASKAH KUNO/MANUSKRIP SEJARAH DAN BUDAYA CIREBON


DALAM PERSPEKTIF MILENIAL

Artikel Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah : Cirebonologi

Dosen Pengampu : H. Syaeful Badar, MA

Disusun Oleh:

SYIFA NUR FAUZIYYAH

(2108302131)

KELAS KPI – 1 D

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan, Sunyaragi, Kec. Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat 45132
Pengembangan Budaya Historiografi Cirebon Sebagai Naskah
Etnik Dalam Era Digitalisasi

Oleh : Syifa Nur Fauziyyah

Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Abstrak

The development of Cirebon historiographical culture as an ethnic script in this era of


digitalization is a culture that we can see from the beginning of artifacts, objects
produced by humans such as palaces, objects, manuscripts or ancient manuscripts, these
objects will affect the behavior that occurs in public life, but there are values that can be
changed and that can change due to the inclusion of influences called artifacts or objects.
Linearly that the Sultanate of the Archipelago is from the past that once existed and now
still exists. The position of handwritten manuscripts can be one of the most authoritative
and authentic representations of various local sources in providing various historical
information at any given time. In this digital era is actually commonly considered as an
era of information breadth that is no longer a matter of days but also per minute even per
second there is a lot of information that comes in so that people question the reliability
of which information is correct so that it often occurs in various things let alone politics.
Abstinence for the digital era in various matters of value and related to the ancestral
heritage of the Sultanate of the archipelago that conveys a lot of information that is
important to us today, that digital technology provides opportunities to promote anything
quickly easily and practically, and in the digital era we can communicate and synergize
with any person or party.

Kata Kunci : Era Digital, Manuskrip

A. Pendahuluan

Kisah asal-usul kota Cirebon dapat ditemukan dalam catatan historiografi tradisional
dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Diantara naskah
yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Cerita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon,
Sejarah Kesultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari ditulis oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera
Sultan Kasepuhan pada tahun 1720. Dalam naskah ini disebutkan bahwa asal mula kata
Cirebon adalah Sarumban, kemudian mengalami perubahan pelafalan menjadi Caruban. Kata
ini mengalami proses perubahan lagi menjadi Carbon, berubah menjadi kata Cerbon, dan
akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Kata Caruban mengandung makna Campuran, yang
bercampur yang bukan hanya etnis, tetapi agama yang dianut masyarkatnya juga bercampur.1

Pada abad ke-15 dan 16 masehi, Cirebon adalah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat
dibawah pimpinan Syarif Hidayatullah atau yang dikenal Sunan Gunung Jati. Pada masa itu,
Cirebon dikenal juga sebagai “Jalur Sutra”. Adanya Pelabuhan Muara Jati yang berada di lalu
lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan internasional. Pelabuhan
yang ramai dan jalur utama transportasi yang menghubungkannya dengan wilayah-wilayah
lain menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan menerima, atau paling tidak,
menjadi tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi
kawasan tersebut.2

B. Pembahasan

Kesultanan Nusantara berhadapan atau saling bertolak belakang dengan kesultanan


Nusantara kebudayaan era digital, kesultanan Nusantara disatu sisi berhadapan dengan
perubahan kebudayaan, bahwa kebudayaan itu adalah salah satu sifat yang selalu mengalami
dinamika perubahan-perubahan keniscayaan yang pasti tidak akan bisa ditolak dan tidak bisa
menghentikan waktu dan menghentikan perubahan. Oleh karena itu Kesultanan Nusantara
berhadapan dan menyoroti, beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi saat ini.
Kebudayaan itu wujud yang bisa dilihat dari mulai artefak, benda-benda yang dihasilkan oleh
manusia seperti Keraton kemudian benda-benda seperti manuskrip atau naskah kuno dan
seterusnya, atau gadget seperti sekarang ini dan benda-benda itu akan mempengaruhi perilaku
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, ada ide dan ada gagasan jadi masuknya
handphone, masuknya laptop, masuknya berbagai perangkat dari luar itu bukan hanya
sekedar masuknya benda tetapi ada nilai-nilai yang bisa diubah dan yang bisa berubah karena
masuknya pengaruh yang namanya artefak atau benda tersebut. Secara linear bahwa
Kesultanan Nusantara itu berasal dari masa lalu yang dulu pernah eksis dan sekarang masih
ada. Ketika seorang Sultan atau seorang raja menggunakan pakaian kebesarannya yang
disebut dengan artefak yang berupa pakaian dan aksesoris, tentu saja ketika seorang Sultan
atau seorang raja menggunakan artefaknya perilakunya secara pribadi juga akan berubah,
karena langsung menyadari bahwa seorang raja itu mempunyai nilai yang harus dilakukan
seperti apa, harus bersikap seperti apa, warga orang-orang yang berhadapan dengan raja atau
Sultan tersebut perilakunya juga berubah karena ada ide dan ada nilai-nilai yang berkaitan
dengan artefak yang digunakan dan seterusnya.

1
Happy Indira Dewi, “Akulturasi Budaya Pada Perkembangan,” in Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi,
Sastra, Arsitektur & Sipil), vol. 3 (Depok: Universitas Gunadarma, 2009), D55–66.
2
Mahrus El-mawa, “Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah
(1479-1568),” Jumantara 3, no. 1 (2012): 100–127.
Manuskrip naskah kuno dalam penjelasan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
pasal 1 ayat 4 didefiniskan sebagai :

“Semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik
yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan
ilmu pengetahuan”.

Kedudukan naskah-naskah tulisan tangan (manuscript) dapat menjadi salah satu representasi
dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan
berbagai informasi sejarah pada masa tertentu.3

Koran Republika dalam laman digitalnya 25 Maret 2012 pernah mengangkat tema berita
‘Ratusan Naskah Kuno Cirebon Memprihatinkan’.Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan
Cirebon, PRA Arief Natadiningrat menuturkan “sedikitnya 150 naskah kuno yang ada di
Keraton Kasepuhan kondisinya hampir rusak, sehingga harus segera dilakukan upaya
pengamanan, untuk itu pihak Keraton tengah mengupayakan proses digitalisasi. Naskah-
naskah tersebut bertuliskan huruf Arab pegon dan berbahasa Cirebon”. Naskah-naskah itu
berbicara tentang sejarah, baik sejarah Cirebon maupun sejarah nasional, tafsir-tafsir
Alquran, obat-obatan, maupun berbagai macam pengetahuan lainnya.4

Salah satu siasat para peneliti naskah Nusantara atau manuskrip itu memanfaatkan era
digital dengan melakukan digitalisasi naskah sebagai upaya penyelamatan naskah-naskah
nusantara, ketersediaan naskah digital tentu sangat membantu penelitian apalagi para peneliti
atau juga dosen di kampus-kampus dapat merasakan manfaat adanya data pasca digital
terutama yang sudah dipublikasikan dalam portal atau website yang bisa diakses saat ini. Era
digital ini sebenarnya biasa dianggap sebagai era luasnya informasi yang bukan hanya lagi
hitungan hari tapi juga per menit bahkan perdetik ada banyak informasi yang masuk sehingga
orang mempersoalkan keandalan informasi mana yang benar sehingga kemudian seringkali
terjadi dalam berbagai hal apalagi politik. Generasi kita saat ini banyak yang ingin tahu
dengan instan, satu sisi sangat berbahaya juga bagi diri kita contohnya jika ada konten isinya
tidak bisa diandalkan informasinya, dapat kita lihat bahwa saat ini banyak sekali YouTuber
atau anak dunia maya menyebar konten-konten yang kurang berfaedah, misalnya membuat
konten-konten populer seperti saat ini yang tersebar di social media. Ini menjadi pantangan
bagi era digital dalam berbagai hal-hal yang bernilai dan terkait dengan warisan leluhur dari
Kesultanan nusantara yang banyak sekali menyampaikan informasi yang penting bagi kita
saat ini, bahwa teknologi digital itu memberikan peluang untuk mempromosikan apapun
dengan cepat dengan mudah dan praktis, dan di era digital kita dapat berkomunikasi dan
bersinergi dengan orang atau pihak manapun. Selain itu juga kesempatan untuk belajar hal-
hal baru untuk memperluas pengetahuan, oleh karena itu kita harus menciptakan karya kreatif
untuk mengembangkan identitas kultural Nusantara. Peluangnya teknologi digital
3
Oman Faturahman, “Khazanah Naskah-Naskah Islam Nusantara,” melayuonline.com, 2007,
http://melayuonline.com/ind/opinion/read/103/khazanah-naskahnaskah-islam-nusantara
4
Republika.co.id, “Ratusan Naskah Kuno Cirebon Memprihatinkan,” republika.co.id, 2012,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/25/m1fora-ratusan-naskahkuno-cirebon-
memprihatinkan.
memberikan peluang untuk mempromosikan apapun dengan cepat, murah, dan praktis. Di era
digital, kita dapat berkomunikasi dan bersinergi dengan orang atau pihak mana pun dengan
cepat dan murah. Kesempatan untuk belajar hal-hal baru untuk memperkaya pengetahuan
lebih mudah dan banyak. Menciptakan karya-karya kreatif untuk mengembangkan identitas
kultural kesultanan nusantara. Pantangannya ada banyak, yang pertama soal keterbukaan
terhadap hal-hal baru khususnya teknologi digital, yang kedua soal kesediaan untuk berbagi
pengetahuan terhadap pihak lain, misalnya ke berbagai daerah yang memiliki naskah atau
manuskrip koleksi koleksi pribadi atau koleksi kelompok-kelompok tertentu, yang ketiga
kemauan untuk belajar hal-hal baru, yang keempat membuat program-program kreatif untuk
menarik minat bakat yang khalayak luas, terutama generasi milenial, yang kelima
berkolaborasi dengan lembaga atau pihak lain.

C. Kesimpulan

Ketika seorang Sultan atau seorang raja menggunakan pakaian kebesarannya yang disebut
dengan artefak yang berupa pakaian dan aksesoris, tentu saja ketika seorang Sultan atau
seorang raja menggunakan artefaknya perilakunya secara pribadi juga akan berubah, karena
langsung menyadari bahwa seorang raja itu mempunyai nilai yang harus dilakukan seperti
apa, harus bersikap seperti apa, warga orang-orang yang berhadapan dengan raja atau Sultan
tersebut perilakunya juga berubah karena ada ide dan ada nilai-nilai yang berkaitan dengan
artefak yang digunakan dan seterusnya.

Sumber

Happy Indira Dewi, “Akulturasi Budaya Pada Perkembangan,” in Proceeding PESAT


(Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil), vol. 3 (Depok: Universitas Gunadarma,
2009), D55–66.

Mahrus El-mawa, “Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif
Hidayatullah (1479-1568),” Jumantara 3, no. 1 (2012): 100–127.

Oman Faturahman, “Khazanah Naskah-Naskah Islam Nusantara,” melayuonline.com, 2007,


http://melayuonline.com/ind/opinion/read/103/khazanah-naskahnaskah-islam-nusantara.

Republika.co.id, “Ratusan Naskah Kuno Cirebon Memprihatinkan,” republika.co.id, 2012,


http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/25/m1fora-ratusan-naskahkuno-
cirebon-memprihatinkan.

DIALOG BUDAYA KEAGAMAAN “Kesultanan Nusantara dan Moderasi Beragama”


https://www.youtube.com/watch?v=SRS8kWqeGqc&t=2264s.

You might also like