Professional Documents
Culture Documents
Artikel Cirebonologi - Syifa Nur F - Kpi 1 D
Artikel Cirebonologi - Syifa Nur F - Kpi 1 D
Disusun Oleh:
(2108302131)
KELAS KPI – 1 D
Abstrak
A. Pendahuluan
Kisah asal-usul kota Cirebon dapat ditemukan dalam catatan historiografi tradisional
dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Diantara naskah
yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Cerita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon,
Sejarah Kesultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari ditulis oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera
Sultan Kasepuhan pada tahun 1720. Dalam naskah ini disebutkan bahwa asal mula kata
Cirebon adalah Sarumban, kemudian mengalami perubahan pelafalan menjadi Caruban. Kata
ini mengalami proses perubahan lagi menjadi Carbon, berubah menjadi kata Cerbon, dan
akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Kata Caruban mengandung makna Campuran, yang
bercampur yang bukan hanya etnis, tetapi agama yang dianut masyarkatnya juga bercampur.1
Pada abad ke-15 dan 16 masehi, Cirebon adalah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat
dibawah pimpinan Syarif Hidayatullah atau yang dikenal Sunan Gunung Jati. Pada masa itu,
Cirebon dikenal juga sebagai “Jalur Sutra”. Adanya Pelabuhan Muara Jati yang berada di lalu
lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan internasional. Pelabuhan
yang ramai dan jalur utama transportasi yang menghubungkannya dengan wilayah-wilayah
lain menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan menerima, atau paling tidak,
menjadi tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi
kawasan tersebut.2
B. Pembahasan
1
Happy Indira Dewi, “Akulturasi Budaya Pada Perkembangan,” in Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi,
Sastra, Arsitektur & Sipil), vol. 3 (Depok: Universitas Gunadarma, 2009), D55–66.
2
Mahrus El-mawa, “Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah
(1479-1568),” Jumantara 3, no. 1 (2012): 100–127.
Manuskrip naskah kuno dalam penjelasan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
pasal 1 ayat 4 didefiniskan sebagai :
“Semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik
yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah dan
ilmu pengetahuan”.
Kedudukan naskah-naskah tulisan tangan (manuscript) dapat menjadi salah satu representasi
dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan
berbagai informasi sejarah pada masa tertentu.3
Koran Republika dalam laman digitalnya 25 Maret 2012 pernah mengangkat tema berita
‘Ratusan Naskah Kuno Cirebon Memprihatinkan’.Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan
Cirebon, PRA Arief Natadiningrat menuturkan “sedikitnya 150 naskah kuno yang ada di
Keraton Kasepuhan kondisinya hampir rusak, sehingga harus segera dilakukan upaya
pengamanan, untuk itu pihak Keraton tengah mengupayakan proses digitalisasi. Naskah-
naskah tersebut bertuliskan huruf Arab pegon dan berbahasa Cirebon”. Naskah-naskah itu
berbicara tentang sejarah, baik sejarah Cirebon maupun sejarah nasional, tafsir-tafsir
Alquran, obat-obatan, maupun berbagai macam pengetahuan lainnya.4
Salah satu siasat para peneliti naskah Nusantara atau manuskrip itu memanfaatkan era
digital dengan melakukan digitalisasi naskah sebagai upaya penyelamatan naskah-naskah
nusantara, ketersediaan naskah digital tentu sangat membantu penelitian apalagi para peneliti
atau juga dosen di kampus-kampus dapat merasakan manfaat adanya data pasca digital
terutama yang sudah dipublikasikan dalam portal atau website yang bisa diakses saat ini. Era
digital ini sebenarnya biasa dianggap sebagai era luasnya informasi yang bukan hanya lagi
hitungan hari tapi juga per menit bahkan perdetik ada banyak informasi yang masuk sehingga
orang mempersoalkan keandalan informasi mana yang benar sehingga kemudian seringkali
terjadi dalam berbagai hal apalagi politik. Generasi kita saat ini banyak yang ingin tahu
dengan instan, satu sisi sangat berbahaya juga bagi diri kita contohnya jika ada konten isinya
tidak bisa diandalkan informasinya, dapat kita lihat bahwa saat ini banyak sekali YouTuber
atau anak dunia maya menyebar konten-konten yang kurang berfaedah, misalnya membuat
konten-konten populer seperti saat ini yang tersebar di social media. Ini menjadi pantangan
bagi era digital dalam berbagai hal-hal yang bernilai dan terkait dengan warisan leluhur dari
Kesultanan nusantara yang banyak sekali menyampaikan informasi yang penting bagi kita
saat ini, bahwa teknologi digital itu memberikan peluang untuk mempromosikan apapun
dengan cepat dengan mudah dan praktis, dan di era digital kita dapat berkomunikasi dan
bersinergi dengan orang atau pihak manapun. Selain itu juga kesempatan untuk belajar hal-
hal baru untuk memperluas pengetahuan, oleh karena itu kita harus menciptakan karya kreatif
untuk mengembangkan identitas kultural Nusantara. Peluangnya teknologi digital
3
Oman Faturahman, “Khazanah Naskah-Naskah Islam Nusantara,” melayuonline.com, 2007,
http://melayuonline.com/ind/opinion/read/103/khazanah-naskahnaskah-islam-nusantara
4
Republika.co.id, “Ratusan Naskah Kuno Cirebon Memprihatinkan,” republika.co.id, 2012,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/03/25/m1fora-ratusan-naskahkuno-cirebon-
memprihatinkan.
memberikan peluang untuk mempromosikan apapun dengan cepat, murah, dan praktis. Di era
digital, kita dapat berkomunikasi dan bersinergi dengan orang atau pihak mana pun dengan
cepat dan murah. Kesempatan untuk belajar hal-hal baru untuk memperkaya pengetahuan
lebih mudah dan banyak. Menciptakan karya-karya kreatif untuk mengembangkan identitas
kultural kesultanan nusantara. Pantangannya ada banyak, yang pertama soal keterbukaan
terhadap hal-hal baru khususnya teknologi digital, yang kedua soal kesediaan untuk berbagi
pengetahuan terhadap pihak lain, misalnya ke berbagai daerah yang memiliki naskah atau
manuskrip koleksi koleksi pribadi atau koleksi kelompok-kelompok tertentu, yang ketiga
kemauan untuk belajar hal-hal baru, yang keempat membuat program-program kreatif untuk
menarik minat bakat yang khalayak luas, terutama generasi milenial, yang kelima
berkolaborasi dengan lembaga atau pihak lain.
C. Kesimpulan
Ketika seorang Sultan atau seorang raja menggunakan pakaian kebesarannya yang disebut
dengan artefak yang berupa pakaian dan aksesoris, tentu saja ketika seorang Sultan atau
seorang raja menggunakan artefaknya perilakunya secara pribadi juga akan berubah, karena
langsung menyadari bahwa seorang raja itu mempunyai nilai yang harus dilakukan seperti
apa, harus bersikap seperti apa, warga orang-orang yang berhadapan dengan raja atau Sultan
tersebut perilakunya juga berubah karena ada ide dan ada nilai-nilai yang berkaitan dengan
artefak yang digunakan dan seterusnya.
Sumber
Mahrus El-mawa, “Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif
Hidayatullah (1479-1568),” Jumantara 3, no. 1 (2012): 100–127.