Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

Pemahaman tugas, fungsi, dan tanggung jawab peran supervisi pada tingkat makro ini,

diharapkan berhasil menggambarkan, memetakan, menganalisis, menyimpulkan, dan


merekomendasikan kekurangan atau kelemahan sistemik apa yang harus diperbaiki baik
menyangkut aspek kinerja akademik (academic performance), strategi supervisi dan
sebagainya, maupun aspek non-akademik (non-academic performance) sejak subaspek beban
kerja, koordinasi, fasilitas, dana, akuntabilitas, model, hingga aspek level asesmen yang
dilakukan. Implikasinya, supervisor dituntut memiliki kemampuan (supervisability) untuk
mengkritisi, menilai, atau mengukur beberapa hal.

Pertama, apakah penyelenggaraan pendidikan berjalan sesuai standar jaminan mutu yang
ditetapkan. Di sini, supervisor (aktor penyeliaan) dituntut memiliki "assessablity" kompetensi
melakukan asesmen terhadap aspek-aspek makro penyelenggaraan pendidikan secara objektif
dan komprehensif dengan mencermati diskrepansi tuntutan ideal yang sesuai standar dengan
realitas yang terjadi. Kedua, sejauh mana efektivitas penyelenggaraan pendidikan yang
dilaksanakan? Pada tahapan ini, supervisor memberikan keputusan penilaian (judgment)
tingkat efektivitas penyelenggaraan pendidikan diukur dengan standar yang ditetapkan. Ketiga,
apa kelemahan (kekurangan) dalam penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan. Pada
aspek ini, supervisor secara kritis dapat memetakan keunggulan sistemik (strength) dan
kelemahan (weakness) yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Keempat, apa
dan bagaimana cara perbaikan terhadap kelemahan penyelenggaraan pendidikan
yang berlangsung? Pada tahapan ini, supervisor berdasarkan analisis temuan dituntut mampu
menawarkan solusi efektif bagi pengembangan/ perbaikan penyelenggaraan pendidikan.

Di samping kelengkapan kebutuhan fasilitas pembelajaran yang relatif memadai dan


pengondisian suasana belajar yang kondusif, efektivitas supervisi juga merupakan instrumen
untuk keberhasilan pembelajaran. Supervisi dalam peningkatan kualitas pendidikan menjadi
strategis karena fungsi kontrol yang diperankan dalam proses maupun hasil
pendidikan/pembelajaran, apalagi di negara-negara berkembang.
A. Kualitas Pendidikan
Perkataan "mutu" atau "kualitas" (quality) memiliki pengertian jamak (equivok),
dikarenakan berbagai perspektif dan paradigma yang dipergunakan untuk
memaknainya. Secara harfiah (etimologis), "kualitas" diartikan sebagai ciri yang melekat
pada suatu subjek atau objek, sifat atau ciri yang dimiliki oleh sesuatu, atau harga yang
terdapat atau melekat pada (barang, jasa, dan lain-lain). Sebagai contoh, kepala sekolah
yang kreatif, guru yang disiplin, siswa yang bernas, meja belajar rusak; kata-kata kreatif,
disiplin, rusak adalah atribusi (penyifatan, karakterisasi) terhadap objek (barang,
manusia, sesuatu yang disebut). Dalam hal ini, kualitas merupakan hasil justifikasi
terhadap sesuatu. Kualitas dirujukan untuk menilai pada baik-buruk, bagus-jelek, atau
harga yang melekat pada sesuatu hal (barang, produk, jasa, dan lain lain). Dalam
pengertian luas, dari perspektif manajerial atau bisnis, kata kualitas dipahami sejauh
mana sesuatu (barang, atau jasa) sesuai dengan standar yang ditetapkan. Semakin
sesuatu (barang, jasa) sesuai dengan standar yang dikriteriakan maka semakin bisa
diatribusi sebagai sesuatu barang atau jasa yang baik, memadai, dan sebaliknya.

Gatewood yang mengutip dari jurnal Supervision and Quality Assurance Strategies in
Education: Implication for Educational Policy Making, mencontohkan bahwa mutu yang
baik sebagai "tingkat atau kondisi di mana layanan dilakukan sesuai standar dan
tuntutan (meets standards and requirements) pengguna atau pasa (Gatewood, 2007).
Lebih khusus dalam pendidikan, banyak formulasi seperti apa kualitas pendidikan yang
baik (memadai, unggulan, dan relevan). Berdasarkan prinsip dasar pendidikan sebagai
human right for all throughout life-hak asasi manusia sepanjang hidupnya. UNESCO
memaknai pendidikan sebagai:

a means to empower children and adult alike to become active participant in the
transformation of their societies, or as means to empower learners of all the ages and
equip them with the values-sebagai alat memperkuat anak dan dewasa menjadi
partisipan aktif dalam proses transformasi masyarakat, atau alat memperkuat siswa
pada segala usia dan melengkapinya dengan nilai-nilai yang bermakna (UNESCO, 2019).
Salah satunya melalui penguatan program kualitas pengajaran atau teaching quality
improvement dan learning process and outcomes (UNESCO, 2019)
sejak profesi terapi itu sendiri. Perkembangan supervisi, karena itulah, terjadi seiring dengan
perkembangan teori dan praktik psikoterapi yang memerlukan bentuk konseling dalam
menjalankan tugasnya. British Association for Counseling and Psychotherapy (dalam Feltham,
dkk., 2007) menggambarkan:

“Supervision is a formal arrangement for therapists to discuss their work regularly with
someone who is experienced in both therapy and supervision. The task is to work together to
ensure and develop thgeir efficacy of the therapist/client relationship. The agenda will be the
therapy and feeling about that work together with the supervisor's reactions, comments and
challenges. Thus supervision is a process to maintainj adequate standars of therapy and a
method of consultancy to widen the horizon of an experienced practioners”

Melihat pentingnya supervisi dalam peningkatan pekerjaan profesional, kompleksitas kegiatan,


proses, dan hubungan supervisi dengan praktik psikoterapi dan kegiatan konseling lainnya,
dalam perkembangannya mengalami perkembangan konseptual yang beragam-tergantung
pada paradigma, fokus, dan latar belakang profesinya. Leddick dan Bernard (1980) menyatakan
bahwa konsep supervisi mengalami perkembangan teoretis dan praktiknya hampir sepanjang
profesi itu sendiri. Sementara itu, British Psychological Society (2011) menggambarkan bahwa
supervisi merupakan komponen dasar (essential components) yang sangat dibutuhkan dan
relevan dengan semua aspek kehidupan.

Supervisi merupakan kegiatan profesional dan etis yang harus didasarkan pada pengetahuan
tertentu dan riset. Kegiatan supervisi seharusnya dilakukan secara kolaboratif berdasarkan
pada prinsip hubungan yang fleksibel, saling percaya (mutual trust), dan memiliki integritas
untuk menghasilkan profesional andal dan efektivitas kerja. Hubungan profesional psikoterapi
dan praktik konseling dalam pelatihan atau program pengembangan kualitas profesional inilah,
yang pada gilirannya melahirkan konsep supervisi pengajaran atau supervisi pendidikan.

Kehadiran supervisi sebagai kegiatan formal yang dipraktikkan dalam administrasi sekolah,
diawali oleh perdebatan apakah pendidikan perlu dikelola dengan pendekatan yang lebih
manusiawi, agar meraih hasil pendidikan yang lebih efektif sesuai kebutuhan masyarakatnya.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan pengelolaan
pendidikan menjadi serius di antara ilmuwan. Paling tidak, pada akhir abad ke-19 atau awal ke-
20 terdapat dua pandangan yang kuat dan berpengaruh terhadap pendidikan.

Pertama, pandangan yang dikonstruksi oleh tulisan John Dewey, salah seorang pemikir
pendidikan termashur awal abad ke-20. John Dewey melihat dan meyakini bahwa pendidikan
sebagai sarana utama untuk kemajuan manusia, harus dikelola dengan pendekatan demokratis,
bukan dengan manajemen ilmiah (scientific management). Implikasinya, sekolah harus
diorganisasi dengan cara demokratis sehingga siswa dapat membentuk warga negara yang
mampu mempraktikkan demokrasi dalam kehidupan kesehariannya. Penyelenggaraan
pendidikan harus berpusat pada siswa (student-centered) mengoneksi kelas dengan dunia
nyata (J. R. Marzano, dkk., 2011).

Kedua, pandangan yang bersumber dari karya Frederick Taylor, yakni "taking a scientific view of
management" yang meyakini bahwa pengukuran perilaku yang dipergunakan pabrik atau
industri merupakan alat paling tepat dan efektif dipergunakan untuk mengukur efektivitas
penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan, sekolah atau apa pun bentuk
pendidikan dan latihan bisa diukur dengan pendekatan manajemen ilmiah yang pada masa itu
dipergunakan sebagai prinsip-prinsip pengukuran atau penilaian dalam dunia bisnis. Dalam
konteks ini, sesuai prinsipnya, Rees (2001) meyakini bahwa:

“Our school are in a sense, factories in which the raw products (children) are to be shaped and
fashioned into products to meet the various demands of life. The specification of manufactoring
come from the demands of twentieth century civilization and it's the business of of the school
to build its pupils according to the specification laid down”

mplikasinya, supervisi merupakan pekerjaan yang diorientasikan untuk mengukur efektivitas


pembelajaran dengan menggunakan instrumen ilmiah yang reliabel. Supervisor dituntut
mampu menilai tingkat efektivitas guru. Sementara itu, guru dituntut memiliki kemampuan
memilih strategi untuk mengukur perilaku siswa, di antaranya penggunaan (1) tes sikap untuk
mengukur tingkat kemampuan siswa; (2) penetapan tujuan pembelajaran yang jelas dan
terukur; serta (3) penggunaan pengukuran yang reliabel untuk menilai keberhasilan belajar
(Cubberley, 2019)
Dalam konteks ini, supervisi diorientasikan untuk menilai sejauh mana efektivitas belajar
dengan cara demokratis, bukan dengan cara mekanis. Hingga akhir 1830-an belum terdapat
praktik atau model supervisi yang disepakati ahli pendidikan. Pada awalnya, penggunaan istilah
supervisi (supervision) disamakan dengan istilah inspeksi (inspection), atau pengawasan karena
pekerjaannya cenderung menjalankan fungsi pengawasan (control). Di beberapa negara maju,
seperti Inggris dan Amerika Serikat, pada awal abad ke-19-an tumbuh kesadaran dan perhatian
tinggi terhadap perlunya pengawasan sekolah (school inspection) sebagai lembaga yang
mengawasi kualitas pengajaran, ketimbang praktik supervisi sekolah. TROP I

Inspektorat Pendidikan Prancis, di bawah Pemerintahan Napoleon, misalnya, pada akhir abad
ke-18 mengawali pertumbuhan supervisi sekolah, yang kemudian diikuti oleh sejumlah negara
Eropa pada awal abad ke-19-an. Belanda adalah negara pertama memperkenalkan supervisi
sekolah pada 1801 yang memfungsikan supervisi untuk (1) stimulates school and educational
institution to maintain and improve the quality of education they offer, (2) assess the quality of
educational the individual educational institutes and the education system as a whole in the
Netherlands and its development; (3) communicates in an accessible way with all its target
groups and stakeholders, and report in public (Rutten, 1801). Kemudian pada 1830-an, supervisi
dipraktikkan dalam kegiatan pendidikan secara formal dalam sistem pembelajaran di sekolah di
Inggris (Gray, 2005). Pada awal pertengahan abad ke-19, seiring pertumbuhan penduduk di
kota-kota besar di Amerika Serikat yang membutuhkan sistem persekolahan (school system),
supervisi pendidikan menjadi diperlukan untuk melihat, mengontrol, menginspeksi, dan
memastikan bahwa guru bekerja dengan mengikuti kurikulum yang berlaku dan siswa mampu
menghafal pelajaran dengan baik (Learning, 2020). Danas (Kalo

Pada awal perkembangannya, inspeksi dan supervisi masih dipahami dan dipersepsi sama yakni
sebagai alat penting untuk mengukur tingkat efisiensi dan akuntabilitas sistem sekolah. Di era
ini, penggunaan istilah "inspeksi" dan "inspektur", dan istilah "supervisi" dan "supervisor",
masih saling tukar (interchangable). Belum ada kesepakatan terhadap pemahaman dan
penggunaan istilah-istilah tersebut. Baru pada pertengahan abad ke-19 an, berbarengan
dengan pertumbuhan penduduk di kota-kota besar Amerika Serikat, tumbuh kesadaran akan
pentingnya sistem sekolah perkotaan (city school system) yang secara administratif perlu
memformalisasi kegiatan supervisi. Kegiatan supervisi, pada waktu itu, diharapkan mampu
membantu
ikhwal urgensinya penyempurnaan kualitas supervisi di satu pihak, profesionalisasi pekerjaan
supervisi, dan masih terdapatnya kelemahan/ kekurangan dalam praktik supervisi, kemudian
melahirkan lahirnya supervisi klinis (clinical supervision).

B. Istilah Supervisi dan Pengawasan Pendidikan


Dalam keseharian terdapat kerancuan dalam mengartikan istilah pengawasan dan
supervisi. Selintas, kedua istilah tersebut tampak memiliki pengertian yang sama
sehingga dapat dipertukarkan dalam penggunaannya. Padahal, dilihat dari tujuan,
fungsi, atau sasaran kerjanya, kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda.
Istilah pengawasan (control) yang sering juga disebut inspeksi (inspection) berarti proses
melihat/membandingkan antara peraturan yang berlaku dengan pelaksanaan pekerjaan
yang sebenarnya. Dalam pendidikan, pengawasan pengajaran (instructional control,
instructional inspection) diartikan sebagai proses pengawasan tentang sejauh mana
proses pembelajaran (proses belajar mengajar) di sekolah dilakukan sesuai aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga yang berwenang. Oleh karena itu,
pengawasan pengajaran sering juga diistilahkan dengan pengawasan sekolah (school
inspection) karena merupakan mekanisme kontrol atau pengawasan proses
pembelajaran di sekolah. 00.00 www

Pengawasan pengajaran melihat sejauh mana kegiatan sekolah sesuai dengan standar
layanan dan kebijakan dan tujuan pendidikan. Pengawasan merupakan aktivitas
pengamatan terhadap penyimpangan/ pelanggaran hal-hal yang keluar dari garis yang
telah ditetapkan, dan sekaligus mengambil langkah yang diperlukan untuk
mengembalikan hal yang menyimpang tersebut kepada jalur yang seharusnya.
Pengawasan menitikberatkan pada sejauh mana sebuah pekerjaan atau tugas
dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengawasan lebih merupakan upaya
asesmen untuk menemukan kesalahan, ketidaktepatan, kekeliruan dalam pelaksanaan
tugas pekerjaan. Pengawasan bertujuan meyakinkan apakah sebuah pekerjaan atau
tanggung jawab dilakukan secara benar sesuai format, atau aturan yang berlaku.

Stephen P. Robbins dan Mary Coulter mendefinisikan pengawasan sebagai "the process
of monitoring, comparing, and correcting work performance" (Robbins dan Coulter,
2012). Dalam pengawasan terdapat proses atau kegiatan memantau, membandingkan
dan memperbaiki kinerja pegawai. Dengan demikian, tujuan pengawasan adalah
menjamin kegiatan suatu organisasi terbimbing
dan terarah kepada tujuan yang telah ditetapkan, atau memastikan keputusan dan tindakan
konsisten dengan hasil yang ditetapkan.

Pengawasan memiliki fungsi khusus dari keseluruhan manajemen, yaitu: (1) pengukuran dan
penilaian, (2) pemantauan dan pengendalian, serta (3) perbaikan dan pengembangan kinerja
organisasi. Fungsi pengukuran dan penilaian berkenaan dengan pengumpulan informasi dan
penaksiran keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan. Fungsi pemantauan dan
pengendalian merupakan pengamatan yang terus menerus terhadap jalannya organisasi dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, disertai dengan upaya pengarahan dan pemantapan
pola kegiatan serta pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi. Sementara itu, fungsi
perbaikan dan pengembangan yang sering disebut fungsi khusus berkenaan dengan
peningkatan kemampuan dan semangat, perbaikan suasana, sarana dan lingkungan kerja, serta
melakukan peningkatan karier pegawai sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang
tersedia. Dalam operasionalnya pengawasan dilakukan agar tetap terpeliharanya "maintaining
controlling function".

Dalam pelaksanaannya, pengawasan dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) sistem
pengawasan tradisional (traditional control system), yaitu suatu sistem untuk mempertahankan
fungsi pengawasan melalui prosedur dan kegiatan penentuan standar dan berbagai upaya
untuk mencapai standar tersebut; (2) sistem pengawasan berdasarkan komitmen (commitment
based control system), yang lebih menekankan pada sisi internal kesadaran setiap individu
untuk menunjukkan hal terbaik dalam setiap melakukan pekerjaan. Selain itu, pendekatan
pengawasan juga dapat dilihat dari: (1) perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kegiatan
utama organisasi, (2) evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dengan cara
menentukan standar atau ukuran baku, melakukan pengukuran dan/atau penilaian terhadap
pekerjaan yang telah dan sedang berlangsung, membandingkan pelaksanaan pekerjaan dengan
ukuran baku yang telah ditentukan. Dilihat dari peranan pimpinan, kegiatan pengawasan
berfungsi meningkatkan mutu organisasi, hal ini dapat dilihat dari kegiatan berikut: (

1) manajemen strategis untuk kualitas, (2) lingkaran umpan balik dalam pengendalian kualitas,
(3) pengendalian, (4) perencanaan untuk pengendalian, (5) subjek pengendalian, (6) tanggung
jawab untuk pengendalian, (7) bagaimana mengevaluasi kinerja , (8) interpretasi data statistik
dan ekonomi untuk signifikansi, (9) keputusan
pembuatan, (10) tindakan korektif, (11) audit penjaminan mutu, dan (12) 16.00-1 alat kontrol
(Goetsch dan Stanley, 2000).

Untuk mengetahui efektivitas sebuah pengawasan, dapat dilihat dari beberapa karakteristik, di
antaranya: (1) understandable, (2) timely, (3) suitable and economical, (4) indicational, dan (5)
flexible. Selain itu, efektivitas pengawasan juga dapat dilihat dari ruang lingkup kegiatan
pengawasan dalam organisasi yang mencakup: (1) penyeleksian dan penempatan pegawai, (2)
inspeksi terhadap material, (3) evaluasi penampilan kerja pegawai, (4) analisis keuangan, (5)
dan teknik-teknik pengelolaan lainnya dalam organisasi.

20 Dalam sejarah perkembangannya, istilah, konsep, atau praktik supervisi menjadi


perdebatan. Kurangnya studi supervisi yang komprehensif menjadi salah satu faktor penyebab
mengapa definisi supervisi menjadi sangat beragam dan tidak memperoleh kesepakatan
universal (Alfonso, dkk., 1981). Ahli pendidikan, manajemen/ administrasi, dan psikologi kerap
memiliki pandangan yang beragam karena perbedaan paradigma yang dipergunakannya.
Pertanyaan dasar, "apakah supervisi termasuk aspek atau fungsi adminitrasi, kurikulum,
pengembangan staf, sumber daya manusia, atau merupakan bentuk klinis kinerja?" Hal ini
menjadi perdebatan tanpa henti hingga kini.

Psikologi konseling, terutama para psikoterapis melihat supervisi merupakan fungsi klinis yang
menerapi, menyembuhkan dan mengembangkan perilaku manusia. Supervisi bertujuan
memperbaiki "mental health". Secara etimologis, istilah supervisi diambil dari bahasa Inggris
yaitu supervision, yang berasal dari kata bahasa Latin supervideo super berarti atas (over,
above), sedangkan vision (Latin video) berarti melihat (to see). Jadi, supervisi secara etimologis,
berarti melihat dari atas (to see from above, atau to oversee). Secara umum, supervisi
merupakan pandangan dari orang yang lebih ahli kepada orang yang memiliki keahlian di
bawahnya. Dengan demikian, supervisor hendaknya adalah orang-orang yang memiliki
kelebihan dalam banyak hal seperti penglihatan, pandangan, pendidikan, pengalaman,
kedudukan, pangkat, jabatan, dan sebagainya untuk melakukan tugas pengawasan dengan baik
sesuai standar dan fungsi kerja yang telah ditetapkan.

Selanjutnya, supervisi mengandung makna sebagai proses melihat, mengetahui, dan menilai
pekerjaan yang sudah dilaksanakan, serta apabila perlu mengoreksi kesesuaian pelaksanaan
pekerjaan dengan
rencana yang telah ditetapkan. Supervisi juga dapat diartikan sebagai suatu aktivitas
pengarahan langsung terhadap aktivitas-aktivitas bawahan, mengamati dan mengontrol dalam
arti menjaga peraturan tetap ditegakkan agar aktivitas yang dilakukan efisien dan efektif. Oleh
karena itu, tugas dan fungsi supervisor sangat luas karena juga merambah pada fungsi
manajerial, seperti planning, organizing, dan controlling. Namun demikian, untuk memahami
paran supervisor, terlebih dahulu haruslah secara kritis mampu memahami perbedaan tugas
supervisor dari tugas manajer, agar tidak terjadi tumpang tindih yang berakibat terjadinya
inefisiensi dan high cost productivity.

Menurut R.C. Davis, dalam buku berjudul Studies XII: Meaning of Supervision, supervisi pada
hakikatnya merupakan fungsi untuk memberikan jaminan bahwa pekerjaan dilakukan sesuai
rencana dan instruksi/perintah. Tujuan hakiki supervisi adalah untuk meningkatkan efektivitas
kerja. Sebagai pengarahan dan bimbingan langsung, serta pengawasan terhadap kinerja dan
tanggung jawab bawahan (subordinat), paling tidak supervisi menjalankan tiga fungsi penting.
Menurut Toft Hartley Act, Vitiates Davis, dan G.R.Terry dalam Supervision: Definitions
Propounded, menyebutkan tiga fungsi/tugas supervise: (1) melihat sejauh mana supervisi
menjalankan tugasnya sesuai rencana, kebijakan, program, perintah (instruksi) dan jadwal yang
ditetapkan; (2) memberikan bimbingan pada supervisee dalam pelaksanaan pekerjaan agar
sesuai dan konsisten dengan arahan/pedoman yang diberikan, serta membantunya untuk
menyelesaikan tugasnya sesuai tugas dan tanggung jawabnya; (3) memberi bimbingan dan
arahan (direction) agar menjalankan tugas dengan baik.

Supervisor merencanakan tujuan (objective) yang jelas, terukur, dan implementable. Kemudian,
merencanakan langkah-langkah (steps) yang sesuai kebutuhan dalam rangka pencapaian tujuan
yang ditetapkan atau pencapaian. Supervisor mengorganisasi proses kerja dan pembentukan
kelompok kerja untuk pemudahan terwujudnya kemajuan produktif dan evaluasi tingkat
keberhasilannya. Supervisor bertugas memimpin kegiatan dengan cara menyediakan dan
memperkuat motivasi, etos, semangat, dan inspirasi untuk bekerja secara efektif meraih tujuan
yang ditetapkan. Sementara itu, pada tugas ranah controlling, seorang supervisor dituntut
melakukan pengontrolan (pengawasan) dengan cara: (1) memahami proses kerja perusahaan
yang menjadi tanggung jawab pegawai; serta (2) memberikan jaminan keyakinan bahwa
seluruh

You might also like