Professional Documents
Culture Documents
Analisis Naratif Analisis Konten Dan Analisis Semiotik
Analisis Naratif Analisis Konten Dan Analisis Semiotik
Analisis Naratif Analisis Konten Dan Analisis Semiotik
net/publication/330337822
CITATIONS READS
2 38,643
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
REACE (Relating, Exploring, Applying, Cooperating and Evaluaring) Learning Model View project
All content following this page was uploaded by A.M.Irfan TAUFAN Asfar on 12 January 2019.
Abstrak
Dari sejarah tampak bahwa dokumen memegang peranan penting dalam kelangsungan
ilmu sosial. Pada awalnya, dokumen memang sekadar diperlakukan sebagai data akan
tetapi seiring dengan berjalannya waktu, perspektif ini pun mulai berubah. Perjalanan
intelektual telah bergeser dari sekadar rekonstruksi pengalaman pribadi hingga menjadi
epistemology dan produksi teks. Pergulatan analisis konten dan analisis naratif semakin
diperkaya dengan persoalan konteks atau dengan tertanamnya cerita atau teks di dalam
pengalaman individu maupun kelompok. Semiotika mempelajari tanda dan memahami
artinya sekaligus dan mengabaikan persoalan pengalaman ‘self’ dan sikap masyarakat
barat terhadap sastra dan ilmu sosial. Fokus semakin terpusat pada kode, paradigma,
dan penjelasan makna teks dan bukan pada karakter, biografi, atau maksud dari subjek
penulis yang memproduksi teks
Penelitian Kualitatif
dan ilmu politik (21,5%). Namun, analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua
penelitian sosial. Analisis isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut:
a. Data yang tersedia sebagian besar terdiri dari bahan-bahan yang
terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuscript).
b. Ada keterangan pelengkap atau kerangka teori tertentu yang
menerangkan tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data
tersebut.
c. Peneliti memiliki kemampuan teknis untuk mengolah bahan-bahan/data-
data yang dikumpulkannya karena sebagian dokumentasi tersebut bersifat
sangat khas/spesifik.
Beberapa pembedaan antara analisis isi dengan metode penelitian yang lain:
1. Analisis isi adalah sebuah metode yang tak mencolok (unobtrusive).
Pemanggilan kembali informasi, pembuatan model (modelling), pemanfaatan
catatan statistik, dan dalam kadar tertentu, etno-metodologi, punya andil
dalam teknik penelitian yang non-reaktif atau tak mencolok ini.
2. Analisis isi menerima bahan yang tidak terstruktur karena lebih leluasa
memanfaatkan bahan tersebut dan ada sedikit kebebasan untuk mengolahnya
dengan memanggil beberapa informasi.
3. Analisis isi peka konteks sehingga dapat memproses bentuk-bentuk simbolik.
4. Analisis isi dapat menghadapi sejumlah besar data.
Metode Content Analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu
komunikasi. Dalam hal ini, content analysis mencakup: klasifikasi tanda-tanda yang
dipakai dalam komunikasi, menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, dan
menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi[7]. Deskripsi yang
diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronson
(1968) yang dikutip Albert Widjaya dalam desertasinya (1982) tentang Content
Analysis menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, dengan menggunakan prosedur
serta aturan ilmiah; generalitas, dari setiap penemuan studi mempunyai relevansi
teoritis tertentu; dan sistematis, seluruh proses penelitian sistematis dalam kategorisasi
data.
Kelebihan Analisis Isi:
a. Tidak dipakainya manusia sebagai objek penelitian sehingga analisis isi
biasanya bersifat non-reaktif karena tidak ada orang yang
diwawancarai, diminta mengisi kuesioner ataupun yang diminta datang
ke laboratorium.
b. Biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan metode
penelitian yang lain dan sumber data mudah diperoleh (misal di
perpustakaan umum).
c. Analisis isi dapat digunakan ketika penelitian survey tidak dapat
dilakukan.
Kekurangan Analisis Isi
a. Kesulitan menentukan sumber data yang memuat pesan-pesan yang
relevan dengan permasalahan penelitian.
b. Analisis isi tidak dapat dipakai untuk menguji hubungan antar variabel,
tidak dapat melihat sebab akibat hanya dapat menerima kecenderungan
(harus dikombinasikan dengan metode penelitian lain jika ingin
menunjukkan hubungan sebab akibat).
Sumber data yang dapat digunakan dalam analisis isi pun beragam. Pada
prinsipnya, apapun yang tertulis dapat dijadikan sebagai data dan dapat diteliti dalam
analisis isi. Sumber data yang utama adalah media massa, dapat pula coretan-coretan
di dinding. Analisis isi juga dapat dilakukan dengan menghitung frekuensi pada level
kata atau kalimat.
Analisis isi memiliki prosedur yang spesifik, yang agak berbeda dengan metode
penelitian yang lain. Beberapa prosedur analisis isi yang biasa dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Perumusan Masalah: Analisis isi dimulai dengan rumusan masalah penelitian yang
spesifik, misalnya bagaimana kualitas pemberitaan surat kabar di Indonesia?
2. Pemilihan Media (Sumber Data): peneliti harus menentukan sumber data yang
relevan dengan masalah penelitian. Suatu observasi yang mendalam terhadap
perpustakaan dan berbagai media massa seringkali akan membantu penentuan
sumber data yang relevan. Penentuan periode waktu dan jumlah media yang diteliti
(sample), bila jumlahnya berlebihan, juga penting untuk ditentukan pada tahap ini.
3. Definisi Operasional: definisi operasional ini berkaitan dengan unit analisis.
Penentuan unit analisis dilakukan berdasarkan topik atau masalah riset yang telah
ditentukan sebelumnya.
4. Pelatihan Penyusunan Kode dan Mengecek Reliabilitas: kode dilakukan untuk
mengenali ciri-ciri utama kategori. Idealnya, dua atau lebih coder sebaiknya
meneliti secara terpisah dan reliabilitasnya dicek dengan cara membandingkan
satu demi satu kategori.
5. Analisis Data dan Penyusunan Laporan: data kuantitatif yang diperoleh dengan
analisis isi dapat dianalisis dengan teknik statistik yang baku. Penulisan laporan
dapat menggunakan format akademis yang cenderung baku dan menggunakan
prosedur yang ketat atau dengan teknik pelaporan populer versi media massa atau
buku. Data dianalisis juga dalam bentuk Coding Sheets.
Prosedur dasar pembuatan rancangan penelitian dan pelaksanaan studi analisis
isi terdiri atas 6 tahapan langkah, yaitu (1) merumuskan pertanyaan penelitian dan
hipotesisnya, (2) melakukan sampling terhadap sumber-sumber data yang telah dipilih,
(3) pembuatan kategori yang dipergunakan dalam analisis, (4) pendataan suatu sampel
dokumen yang telah dipilih dan melakukan pengkodean, (5) pembuatan skala dan item
berdasarkan kriteria tertentu untuk pengumpulan data, dan (6) interpretasi/ penafsiran
data yang diperoleh.
Urutan langkah tersebut harus tertib, tidak boleh dilompati atau dibalik.
Langkah sebelumnya merupakan prasyarat untuk menentukan langkah berikutnya.
Permulaan penelitian itu adalah adanya rumusan masalah atau pertanyaan penelitian
yang dinyatakan secara jelas, eksplisit, dan mengarah, serta dapat diukur dan untuk
dijawab dengan usaha penelitian.
Unitizing, adalah upaya untuk mengambil data yang tepat dengan kepentingan
penelitian yang mencakup teks, gambar, suara, dan data-data lain yang dapat
diobservasi lebih lanjut. Unit adalah keseluruhan yang dianggap istimewa dan menarik
oleh analis yang merupakan elemen independen. Unit adalah objek penelitian yang
dapat diukur dan dinilai dengan jelas, oleh karenanya harus memilah sesuai dengan
pertanyaan penelitian yang telah dibuat.
Sampling, adalah cara analis untuk menyederhanakan penelitian dengan
membatasi observasi yang merangkum semua jenis unit yang ada. Dengan demikian
informasi penting bagi pengguna penelitian agar mereka lebih paham atau lebih lanjut
dapat mengambil keputusan berdasarkan hasil penelitian yang ada.
3. Construct validity, yaitu derajat kesesuaian teori dan konsep yang dipakai dengan
alat pengukuran yang dipakai dalam penelitian tersebut.
Karakteristik
Adapun karakteristik khas dari metode analisi isi adalah:
1. Penelitian analisis isi menggunakan media sehingga praktis hanya terjalin dalam
hubungan antara peneliti dan objek non manusia yang ditelitinya. Peneliti tidak
dapat mengintervensi objek yang diteliti. Ini berbeda dengan metode riset yang
lain, misalnya wawancara dan observasi.
2. Penelitian dengan metode analisis isi bisa dilakukan oleh peneliti di tempat
kerjanya berada. Peneliti tidak harus turun ke lapangan karena semua bahan
penelitian dapat dihadirkan atau dikumpulkan di tempat peneliti. Dengan
pertimbangan tempat yang demikian, penelitian dengan metode analisis isi
memiliki keleluasaan waktu dalam pengerjaannya.
3. Penelitian metode analisis isi hanya berkait dengan data terdokumentasi yang
secara eksplisit terekam indera manusia. Data yang demikian cenderung tidak akan
berubah dan imun terhadap intervensi peneliti.
4. Riset analisis isi berbiaya lebih murah dibanding dengan metode penelitian yang
lain dan sumber data lebih mudah diperoleh.
5. Analisis isi dapat digunakan ketika penelitian survey tidak dapat dilakukan.
B. Analisis Naratif
Menurut Webster dan Metrova, narasi (narrative) adalah suatu metode penelitian
di dalam ilmu-ilmu sosial. Inti dari metode ini adalah kemampuannya untuk memahami
identitas dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita (narasi)
yang didengarkan ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari.[7]
Penelitian naratif adalah studi tentang cerita. Dalam beberapa hal cerita dapat
muncul sebagai catatan sejarah, sebagai novel fiksi, seperti dongeng, sebagai autobi-
ographies, dan genre lainnya. Cerita ditulis melelu proses mendengarkan dari orang
lain atau bertemu secara langsung dengan pelaku melelui wawancara. Studi tentang
cerita dilakukan dalam berbagai disiplin keilmuan, termasuk sastra kritik, sejarah,
filsafat, teori organisasi, dan sosial ilmu pengetahuan. Dalam ilmu sosial, cerita
dipelajari oleh para antropolog, SOCI-ologists, psikolog, dan pendidik.[8]
Beberapa bentuk analitis didalam analisis naratif yang berkaitan erat dengan
perspektif formalistik. Perspektif formalistik menganggap bahwa teks memiliki
koherensi internal yang disatukan dengan dasar kode, sintaksis, gramatika, dan bentuk.
Formalisme Rusia, yang dipelopori oleh karya-karya Jakobson, Skhlovskij, Bakhtin,
Uspensky, Propp, dan tentu saja Todorov (penulis keturunan Rumania-Perancis) yang
menekankan teorinya pada peran bentuk dalam mengemban makna di dalam naratif
(simak jameson, 1972). Formalisme yang paling terkenal adalah Vladimir Propp
(1968), menganalisis dongeng-dongeng Rusia dengan teknik analisis kuasi-aljabar.
Propp berpendapat bahwa semua dongeng Rusia dapat dipahami dengan empat prinsip
dasar yaitu:
a. Fungsi karakter merupakan elemen dongeng yang stabil
b. Fungsi-fungsi di dalam dongeng amatlah terbatas.
c. Sekuen-sekuen fungsi tersebut selalu identik.
d. Dongeng hampir selalu berpegang pada struktur.
Levi Strauss (1963), menganalisis mitos dengan dasar oposisi biner (analisis ini
meminjam konsep linguistik Roman Jakobson), sistem relasi tertutup, model sinkronis,
dan satuan-satuan baku. Menurut Strauss cerita (mitos) bersifat paradigmatis dengan
dasar oposisi dan bukan dengan fungsi-fungsi yang bersifat linear (sintagmatis).
Tokoh-tokoh strukturalisme (semiotik) lain, Lotman (1990) dan Greimas (1966),
mengembangkan penelitiannya dari dasar oposisi dan kontradiksi, dasar tersebut
kemudian digunakan untuk menganalisis struktur kemasyarakatan (simak Jakson,
1986).
Gaya naratif merupakan kekuatan dari riset kualitatif, tekniknya sama dengan
bentuk story telling dimana cara penguraian yang menghablurkan batas-batas fiksi,
jurnalisme dan laporan akademis, “narratives in story telling modes blur the lines
between fiction, jurnalism and scholarly studies. Bentuk penelitian naratif antara lain;
memakai pendekatan kronologis sepersis menguraikan peristiwa demi peristiwa di
bentangkan secara perlahan mengikuti proses waktu (slowly over time), seperti ketika
menjelaskan subyek studi mengenai budaya saling-berbagi di dalam kelompok (a
ulture-sharingg group), narasi kehidupan seseorang (the narrative of the life of on
individual) atau evolusi sebuah program atau sebuah organisaasi (evolution of a
program or an organization). Teknik lainnya ialah seperti menyempitkan dan
memfokuskan pembahasan. Laporan juga bisa seperti pendeskripsian berbagai
kejadian, berdasarkan tema-tema atau persepektif tertentu. Gaya naratif, dari studi
kualitatif bisa juga menerangkan sosial tipikal keseharian hidup seseorang (a typical
day in the life) dari sosok individu atau kelompok.[5]
Unsur pokok yang ada disetiap bentuk naratif dalam sastra adalah plot (alur erita),
yang meliputi beginng (awal), middel (tenggah) dan ending (akhir). Bagian awal yang
memperkenalkan tokoh-tokoh, serta tempat dan waktu terjadinya peristiwa, bagian
tengah adalah perkembagan lebih lanjut konflik awal sampai ke puncak konflik yaitu
klimaks, bagian akhir ditandai dengan penyelesaian konflik (resolution)[6].
Bentuk pendekatan dalam analisis naratif yakni pendekatan atas bawah (Top-
down) dan pendekatan bawah atas (Bottom-up) membuat perbedaan asumsi tentang
organisasi makna kognitif. Pendekatan atas-bawah sangat berpengaruh pada bidang
pendidikan dan psikologi kognitif (Rumelhart, 1977: Rumelhart dan Norman, 1981).
Peneliti dibekali dengan serangkaian peraturan dan prinsip, pencarian makna, teks
dilakukan dengan menggunakan aturan dan prinsip tersebut (simak Boje, 1991; Heise
1992). Misalnya, ketika menggunakan etnograf, sebuah program di dalam analisis
naratif haruslah direduksi atau disederhanakan kedalam serangkaian proposisi.
Peristiwa memerlukan prasyarat atau sebab (pra kondisi yang menjadi sebab terjadinya
peristiwa tersebut. Pendekatan ini bannyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif dan
ilmu computer. Pendekatan bawah-atas (Bottom-up) dapat ditemukan pada hampir
semua penelitian etnografis. Pendekatan bawah-atas menggunakan satuan-satuan
menyebutkan dalam tulisannya beberapa aplikasi penelitian naratif dalam ilmu sosial,
menguraikan proses pengumpulan catatan-catatan naratif dan mendiskusikan struktur
atau kerangka penelitian dan penulisan laporan penelitian naratif. Tren atau
kecenderungan mempengaruhi perkembangan penelitian naratif dalam bidang
pendidikan. Cortazzi dalam Creswell mengemukakan tiga faktor. Pertama, sekarang ini
ada peningkatan perhatian pada refleksi guru. Kedua, perhatian lebih ditekankan pada
pengetahuan guru (apa yang mereka tahu, bagaimana mereka berpikir, bagaimana
mereka menjadi profesional, dan bagaimana mereka membuat tindakan dalam kelas).
Ketiga, pendidik mencoba membawa suara guru ke permukaan dengan
memberdayakan guru untuk melaporkan tentang pengalaman mereka.[9]
Jenis-Jenis Penelitian Naratif
Jenis narasi dapat dilihat dengan mengetahui pendekatan apa yang digunakan.
Menurut Polkinghorne (1995) ada dua pendekatan yang bisa diambi yaitu pendekatan
dengan membedakan antara analisis narasi dan analisis naratif dapat di pahami juga
degan narasi sebagai data: data sebagai narasi.[10]
1. Analisi narasi
Analisis narasi adalah sebuah paradigma dengan cara berpikir untuk membuat
deskripsi tema yang tertulis dalam cerita atau taksonomi[11] jenis
2. Analisis naratif,
Analisis naratif adalah sebuah paradigma dengan mengumpulkan deskripsi
peristiwa atau kejadian dan kemudian menyusunya menjadi cerita dengan
menggunakan alur cerita.
Dari kedua pendekatan tersebut Pendekatan kedua adalah untuk menekankan
berbagai bentuk yang ditemukan pada praktek penelitian naratif. Misalnya: sebuh
otobiografi, biografi, dokumen pribadi, riwayat hidup, personal accounts, etnobiografi,
otoetnografi. Untuk memperjelas mengenai analisis naratif tersebut akan di bahas
sebagai berikut;
a. Autobiografi bentuk studi naratif dimana individu atau orang lain yang ditulis
subyek penelitian bagi tulisanya sendiri.
b. Biografi adalah bentuk studi naratif dimana peneliti menulis dan mencatat
pengalaman orang lain. Naratif otobiografi individu yang menjadi subjek studi
yang menulis laporannya. Degan menaganlisis biografi kita dapat menentukan
siapa yang menulis dan mencatat cerita individu.
c. Riwayat hidup adalah suatu naratif dari keseluruhan pengalaman hidup
seseorang. Fokusnya sering meliputi titik balik atau peristiwa penting dalam
kehidupan individu. Dalam pendidikan, studi naratif secara khusus tidak
meliputi laporan dari suatu keseluruhan kehidupan tetapi malah berfokus pada
suatu bagian atau peristiwa tunggal dalam kehidupan individu. Dengan
riwayat hidup kita dapat melihat berapa banyak dari suatu kehidupan yang
dapat dicatat dan disajikan oleh penulis
d. Personal account adalah suatu naratif mengenai seseorang Sebagai contoh,
naratif guru tentang pengalamannya di dalam kelas. Studi naratif yang lain
berfokus pada siswa di dalam kelas. Beberapa individu yang lain dalam latar
pendidikan dapat memberikan cerita, misalnya tenaga administrasi,
pramusaji, tukang kebun dan tenaga kependidikan yang lain. Dengan ini kita
dapat melihat siapa yang memberikan cerita.
e. Etnografi adalah deskripsi tentantang kebudayaan suku-suku bangsa yang
hidup; ilmu tentangt pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup
tersebar di muka bumi. Misalnya. Pandangan teoretis untuk Amerika latin
menggunakan pandangan “testimonios”, untuk cerita tentang wanita
menggunakan perspektif “feminist”. Suatu pandangan teoretis dalam
penelitian naratif adalah pedoman perspektif atau ideologi yang memberikan
kerangka untuk menyokong dan menulis laporan Apakah suatu pandangan
teoretis digunakan?
Jikapeneliti merencanakan melakukan studi naratif, maka perlu
mempertimbangkan jenis studi naratif apa yang akan dilakukan. Dalam studi naratif,
untuk mengetahui jenis naratif apa yang akan digunakan memang penting, tetapi yang
lebih penting adalah mengetahui karakteristik esensial dari tiap-tiap jenis.
partisipan. Latar atau setting dalam penelitian naratif boleh jadi teman-teman, keluarga,
tempat kerja, rumah dan organisasi sosial atau sekolah.
g) Kolaborasi.
Peneliti dan partisipan berkolaborasi sepanjang proses penelitian. Kolaborasi
dalam penelitian naratif yaitu peneliti secara aktif meliput partisipannya dalam
memeriksa cerita yang dibukakan atau dikembangkan. Kolaborasi bisa meliputi
beberapa tahap dalam proses penelitian dari merumuskan pusat fenomena sampai
menentukan jenis field texts yang akan menghasilkan informasi yang berguna untuk
menulis laporan cerita pengalaman individu. Kolaborasi meliputi negoisasi hubungan
antara peneliti dan partisipan untuk mengurangi potensi gap atau celah antara
penyampai naratif dan pelapor naratif.bKolaborasi juga termasuk menjelaskan tujuan
dari penelitian kepada partisipan, negoisasi transisi dari mengumpulkan data sampai
menulis cerita dan menyusun langkah-langkah untuk berbaur dengan partisipan dalam
penelitian.
Prosedur untuk Melaksanakan Penelitian
Prosedur untuk melakukan riset narasi menggunakan pendekatan yang diambil
oleh Clandinin dan Connelly (2000) sebagai umum Panduan prosedural, metode
melakukan studi narasi tidak mengikuti pendekatan kunci-langkah, melainkan
merupakan koleksi informal topik.
1. Tentukan apakah masalah penelitian atau pertanyaan paling cocok narasi penelitian.
Penelitian Narasi yang terbaik untuk menangkap cerita rinci atau kehidupan
pengalaman hidup tunggal atau kehidupan sejumlah kecil individu.
2. Pilih satu atau lebih individu yang memiliki cerita atau pengalaman hidup
memberitahu, dan menghabiskan banyak waktu dengan mereka mengumpulkan
cerita mereka melalui kelipatan jenis informasi cerita tentang individu dari anggota
keluarga, mengumpulkan dokumen tersebut sebagai memo atau korespondensi
resmi tentang individu, atau memperoleh pho-tographs, kotak memori (koleksi item
yang memicu kenangan), dan lainnya pribadi-keluarga sosial artefak. Setelah
memeriksa sumber-sumber, peneliti mencatat pengalaman hidup individu.
C. Analisis Semiotik
Semiotika atau ilmu tanda mengandaikan serangkaian asumsi dan konsep yang
memungkinkan kita untuk menganalisis sistem simbolik dengan cara sistematis. Kata
semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda (Sudjiman
dan Van Zoest, 1996), atau seme yang berarti penafsir tanda (Cobley dan Jansz, 1999),
atau apa yang lazim dipahami sebagai a sign by which something in known atau suatu
tanda dimana sesuatu dapat diketahui (John Lock, 1960). Semiotika berakar dari studi
klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Kurniawan, 2001). “Tanda”
pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal yang lain,
sebagai contoh, asap menandai adanya api (Sobur, 2004: 17). Menurut Preminger
(2001), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan
itu merupakan tanda-tanda. Semiotic mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Analisis
semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di
balik sebuah tanda (teks, iklan, berita).
Linguis asal Swiss, Ferdinand De Saussure (1857-1913) merupakan pelopor ilmu
semiotika (Culler: 1977). Karya-karya Saussure (1915-1966), karya-karya Charles
Peirce (1931), seorang ahli pragmatik asal Amerika ditambah karya-karya Charles
Morris, merupakan sumber-sumber utama di dalam teori semiotika. Ilmu semiotika
antara lain: Kode morse, Etiket, Matematika, Musik, dan Rambu-rambu lalu lintas.
Semiotika atau tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan atau
menggambarkan sesuatu yang lain (di dalam benak seseorang yang memikirkannya).
Tanda terdiri atas dua materi dasar yakni ekspresi (seperti kata, suara, atau simbol dan
sebagainya) dan konten atau isi (makna atau isi), (Hjemlev, 1961). Sebagai contoh,
bunga bakung biasanya dikenal sebagai simbol kematian, hari Paskah, atau
kebangkitan sedangkan asap dihubungkan dengan rokok dan dengan kanker. Yang
lebih ekstrem lagi, Marilyn Monroe dengan seks. Keterkaitan antara ekspresi dan
konten dari tiga contoh tersebut bersifat sosial dan arbiter.
semakin bertambah pesat, terlebih ilmu-ilmu yang mengambil dasar pemikiran dari
perspektif strukturalisme, post-strukturalisme, dan post-modernisme (Borgmann,
1975; denzin, 1986; Guiraud, 1975; Hawkes, 1977; Kurzweil, 1980; Rosenau , 1992;
Sturrock, 1979).
Dalam perkembangannya, kajian semiotika berkembang kepada dua klasifikasi
utama, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (Eco, 1979; dan Hoed,
2001). Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang
salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi
(pengirim, penerima, pesan, saluran dan acuan). Sedangkan semiotika signifikasi
memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu
(Sobur, 2004). Di sinilah munculnya berbagai cabang kajian semiotika seperti
semiotika binatang (zoomsemiotics), semiotika medis (medicals semiotics) dan lain-
lain, yang mana menurut Eco (1979) mencapai 19 bidang kajian (Sobur, 2004: 109).
Sebagai suatu metode ilmiah, analisis semiotika bukan hanya relatif baru,
melainkan memiliki bidang kajian yang begitu luas, karena itu Eco (1979) memberikan
tiga batasan penelitian semiotika yakni “ranah budaya”, “ranah alam”, dan “ranah
epistemologis”. Luasnya kajian ini meliputi proses komunikasi yang tampak lebih
alamiah dan spontan hingga sistem budaya yang kompleks. Karena itu menurutnya,
tidak kurang 19 bidang yang dipertimbangkan sebagai bahan kajian semiotika, yaitu:
Semiotika binatang (zoomsemiotics), tanda-tanda bauan (olfactory sign), komunikasi
rabaan (tactile communication), kode-kode cecapan (code of taste), paralinguistik
(paralinguistics), semiotika medis (medical semiotics), kinesik dan proksemik
(kinesics and proxemics), kode-kode music (musical codes), bahasa yang diformalkan
(formalized languages), bahasa tertulis, alphabet tak dikenal, kode rahasia (written
languages, unknown alfhabets, secret codes), bahasa alam (natural languages),
komunikasi visual (visual communication), sistem objek (system of objects), struktur
alur (plot structure), teori teks (text theory), kode-kode budaya (cultural codes), teks
estetik (aesthetic texts), komunikasi massa (mass communication) dan retorika
(rhetoric).
Dalam semua bentuk penerapan ini, lambang yang menjadi pokok analisis (unit
of analysis) menurut Pierce (dalam Pawito, 2007: 158-159) terbagi kepada tiga
katagori, yakni ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).
Ikon adalah suatu lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh objek
yang dinamis karena sifat-sifat internal yang ada (a sign which is determined by is
dynamic object by virtue of ist own internal nature), meskipun biasanya objek yang
menjadi acuannya tidak hadir. Hal-hal seperti kemiripan (resemblance), kesesuaian,
tiruan, dan kesan-kesan atau citra menjadi kata kunci untuk memberikan makna-makna
terhadap lambang-lambang yang bersifat ikonik. Dengan kata lain, Ikon merupakan
satu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikan
(mirip-kemiripan). Misalnya foto Megawati adalah ikon Megawati, gambar Amin Rais
adalah ikon Amin Rais (Sobur, 2004: 158). Menurut Zoest (Sobur, 2004), ikon dapat
dijelaskan dalam tiga bentuk; 1). Ikon spasial atau topologis, yang ditandai dengan
adanya kemiripan antara ruang/profil dan bentuk teks dengan apa yang dijadikan
acuannya; 2). Ikon relasional atau diagramatik dimana terjadi kemiripan antara
hubungan dua unsur tekstual dengan hubungan dua unsur acuan; 3). Ikon metapora,
dimana hubungan dilihat bukan lagi karena adanya kemiripan antara tanda dan acuan,
melainkan antara dua acuan, yang mana kedua-dua diacu dengan tanda yang sama,
yang bersifat langsung dan tidak langsung. Dalam konteks seni, ikon metapora
biasanya muncul dalam bentuk parabel, alegori atau kisah metafisis[5].
Sementara indeks menunjuk pada lambang yang cara pemaknaannya lebih
ditentukan oleh objek dinamis dengan cara being in a real relation to it (keterkaitan
yang nyata dengannya). Proses pemaknaannya tidak bersifat langsung, melainkan
dengan mengkait-kaitkan maknanya. Contoh alasan selalu dikaitkan dengan api, nangis
dikaitkan dengan kesedihan, dsb. Indeks juga dapat dilihat dalam contoh lain misalnya
kata rokok yang memiliki indek asap, dimana hubungan indeksional antara rokok
dengan asap terjadi karena terdapatnya hubungan ciri yang bersifat tetap antara rokok
dan asap. Kata-kata yang memiliki hubungan indeksional masing-masing memiliki ciri
utama secara individual yang saling berbeda dan tidak dapat saling menggantikan
sebagai rokok dengan asap mempunyai ciri utama yang saling berbeda (Sobur, 2004:
159).
Simbol sendiri dalam semiotika biasanya dipahami sebagai a sign which is
determined by its dynamic object only in the sense that it will be so interpreted (suatu
lambang yang ditentukan oleh objek dinamisnya dalam arti ia harus benar-benar
diinterpretasi). Interpretasi yang dimaksudkan adalah satu upaya pemaknaan terhadap
lambang-lambang simbolik dengan melibatkan unsur dari proses belajar, berdasarkan
pengalaman sosial dan kesepakatan dalam masyarakat tentang makna lambang
tersebut. Contoh, bendera disepakati sebagai lambang yang bersifat simbolik dari suatu
bangsa yang karenanya segenap warga bangsa melakukan penghormatan terhadapnya.
Dalam banyak kasus, sering menganggap simbol dengan tanda itu sebagai
sama. Padahal keduanya berbeda. Dimana tanda berkaitan langsung dengan objek,
sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah
menghubungkan dia dengan objek. Dengan kata lain simbol lebih substantif daripada
tanda. Dalam konteks tanda, salib yang dipajang di gereja menjadi identitas sebagai
rumah ibadah umat Kristen. Sementara sebagai simbol, salib tersebut merupakan
lambang penghormatan atas pengorbanan jiwa dan raga Kristus demi umat manusia
(Liliweri, 2001).
Analisis Semiotika pada Media Massa
Pada dasarnya, studi media masa mencakup pencarian pesan dan makna dalam
materi (isi teks), karena sesungguhnya semiotika komunikasi seperti halnya basis studi
komunikasi, adalah proses komunikasi yang intinya adalah mencari makna. Dengan
kata lain, mempelajari media adalah untuk mempelajari makna - dari mana asalnya,
seperti apa, apa tujuannya, bagaimana disampaikan, dan bagaimana (pembaca)
memberikan (menafsirkan) maknanya (Sobur, 2004: 110).
Dalam media cetak, kajian semiotika juga kebanyakan mengusut ideologi yang
melatar-belakangi pemberitaan media. Karena itu pertanyaan yang dikemukakan antara
lain bagaimana pers membicarakan kelompok ini dan itu? bagaimana kelompok
tersebut digambarkan oleh media/pers? Bagaimana perlakuan media/pers terhadap
masalah ini dan itu? semua persoalan ini dalam kajian semiotika komunikasi dapat
dilakukan dengan teknik analisis kuantitatif dan kualitatif, tentunya dengan segala
kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Pertanyaan utama ketika akan mengaplikasi pendekatan semiotika komunikasi
dalam mengkaji media adalah bagaimana isi media harus dijelaskan? Atau, ketika
media memberitakan suatu peristiwa dengan orientasi tertentu, bagaimana
menjelaskannya? Disinilah McNeir (1994) dalam Sudibyo (2001) menawarkan tiga
pendekatan utama, yakni pendekatan politik-ekonomi (the political-economiy
approach), pendekatan organisasi (organizational approach) dan pendekatan budaya
(culturalist approach).
Pendekatan politik-ekonomi berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media (faktor eksternal).
Kekuatan tersebut antaranya adalah pemilik media, pemodal, dan pendapatan media.
Faktor inilah yang dipercayai lebih menentukan mengenai berita/peritiwa apa yang bisa
dan tidak bisa ditampilkan/diberitakan dalam media.
Pendekatan organisasi berpendapat kebalikan dari politik ekonomi di atas.
Pendekatan ini berpandangan bahwa organisasi pengelola medialah yang menentukan
proses pembentukan dan produksi berita melalui praktek kerja, professionalisme, tata
aturan organisasi dan mekanisme yang ada di ruang redaksi (paktor internal). Ideologi
media merupakan bagian dari paktor ini, dimana ia akan tercermin dalam keseluruhan
nilai yang dijadikan landasan kerja organisasi pengelola media. Ideologi media itu
pulalah pada akhirnya akan menjadi acuan dan nilai dasar bagi semua pengelola
(organisasi media) dalam menentukan (memilih) berita mana yang layak dan tidak
layak diterbitkan, dalam bentuk apa dan cara yang bagaimana sebuah berita harus
dipublikasikan, dst. Di sinilah media lebih banyak tampil sebagai “perumus realitas”
(definer of reality) sebagaimana ideologi yang melandasinya, ketimbang menjadi
“cermin realitas” (mirror of reality) (lihat Sobur, 2004)
Pendekatan budaya berpendapat bahwa pemberitaan media ditentukan oleh
kedua-dua faktor di atas (eksternal dan internal) secara bersamaan. Media pada
dasarnya mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi
dengan berbagai pola tersebut dalam memaknai peristiwa tidak dapat dilepaskan dari
kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar media.
Melalui tanda (sign), analisis semiotika pada media juga melihat bagaimana
huhungan pemilik media dengan konstruk sosial (realitas) yang dibangun memalui
pemberitaan media. Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi
dengan benar secara efektif dan efisien. Akan tetapi pada prakteknya, seringkali apa
yang disebut sebagai kebenaran itu ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan
survival media itu sendiri, baik dalam pengertian bisnis maupun politis. Bahkan
menurut Budi Susanto (1992) sebagaimana dikutif dalam Sobur (2004), “kebenaran
sesungguhnya adalah milik perusahaan”. Atas nama kebenaran itulah menurut Leksono
(1998) realitas ditampilkan oleh media, yang bukan hanya realitas tertunda, namun juga
realitas tersunting[6].
Analisis Semiotika pada Film
Penelitian terhadap film atau bentuk-bentuk narative story lain yang bersifat
audio-visual dapat dilakukan dengan memilih salah satu model analisis semiotika
tertentu (Pawito, 2007: 155-156). Bagaimana analisis semiotika diterapkan pada
sebuah film, penelitian Aditia S. Hapsari (2005) yang mengkaji film Biola tak
Berdawai produksi Kalyana Shira Film (bekerjasama dengan Cinekom) dapat dijadikan
contoh dalam kajian ini (Pawito, 2007). Dengan menggunakan analisis semiotika
Roland Barthes, Hapsari mengkaji makna lambang yang terdapat dalam film tersebut.
Kesannya dengan kajian tersebut adalah Film yang disutradarai oleh Sekar Ayu
Asmara (sekaligus penulis skenario) ini sarat dengan pesan-pesan moral, terutama cinta
kasih dengan konteks yang bervariasi, seperi cinta kasih terhadap sesama, cinta kasih
antara dua insan yang berbeda jenis kelamin, cinta kasih dalam konteks ibu dan anak,
serta cinta kasih terhadap seluruh makhluk ciptaan Tuhan berupa binatang dan
tumbuhan.
Analisis semiotika pada film tersebut memperlihat nilai kecintaan terhadap
sesama manusia yang disimbolkan dengan adegan tokoh-tokoh sentral (Bhisma,
Renjani dan Mbak Wid) yang mau merawat Dewa dan anak-anak cacat lainnya di Panti
Asuhan Ibu Sejati dengan tulus penuh kasih sayang kendati orang tua anak-anak
bersangkutan telah membuang mereka.
Kemudian cinta kasih dalam pengertian umum antara seorang lelaki dengan
seorang perempuan dapat dipahami dari simbol romantisme jalinan hubungan asmara
antara Bhisma (yang diperankan oleh Nocholas Saputra) dan Renjani (yang diperankan
oleh Ria Irawan). Cinta kasih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan dapat dipahami
dari simbol lakonan Renjani yang berusaha menangkap seekor kupu-kupu tampa
melukai atau menyakitkannya.
Selain itu, film yang berdurasi 90 menit itu juga membawa pesan moral lain,
yakni ketegaran dan kejujuran. Hal ini disimbolkan (signed) lewat tokoh Renjani yang
begitu tegar menjalani hidup dengan tindakan terpuji-mendirikan panti Asuhan untuk
menampung anak-anak cacat dan terbuang dari orang tuanya-meskipun dirinya sendiri
adalah perempuan korban pemerkosaan dan melakukan aborsi.
Contoh di atas memberikan satu bentuk pemaknaan pesan pada sebuah film
melalui tanda-tanda (signs). Film (menurut van Zoest, 1993) umumnya dibangun
dengan banyak tanda, dimana tanda-tanda tersebut (termasuk berbagai sistem
tandanya) bekerjasama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan,
terutama dalam bentuk gambar dan suara (Sobur, 2004).
Analisis Semiotika pada Musik
Apa yang dapat dikaji pada musik yang menganut sistem tanda auditif[7]. Aart
van Zoest (1993) memberikan tiga kemungkinan cara dalam melalukan analisis
semiotika pada musik (Sobur, 2004).
Pertama, untuk menganggap unsur-unsur struktur musik sebagai ikonis bagi
gejala-gejala neurofisiologis pendengar. Dengan demikian, irama musik dapat
dihubungkan dengan ritme biologis. Kedua, untuk menganggap gejala-gejala struktural
dalam musik sebagai ikonis bagi gejala-gejala struktural dunia penghayatan yang
dikenal. Ketiga, untuk mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan
yang dimunculkan musik lewat indeksikal.
Bagi Zoest, sifat indeksikal tanda musik ini merupakan kemungkinan yang
paling penting, sebab simbolitas juga wujud dalam musik, baik menyangkut jenis,
historisitas, maupun gaya senantiasa menjadi bagian yang kompleks yang
diekspresikan dalam musik. Melalui tanda (sintak, semantic dan ekspressif), bukan
hanya dapat mengenali pesan/makna yang disampaikan dalam musik, akan tetapi juga
dapat mengenali perasaan seseorang (kebahagian, kesedihan, dan sebagainya) melalui
musik. Lihat contoh analisis Zoest dalam Sylado (1977) yang menafsirkan tanda-tanda
kesedihan lewat lagu pop Amerika tahun 60 –an yang berjudul Crying in the Rain, hit
besar Everly Brothers (Sobur, 2004: 146)[8].
Sebagai satu proses simbolik, Alan P. Marriam melalui bukunya Anthropology
of Music menekankan pentingnya studi tentang fungsi musik dalam masyarakat.
Menurutnya, simbolisme musik dan fungsinya dapat dikaji melalui aspek
instrumentation, word of songs, native typology and classification of music, role and
status of musicians, function of music in relation to other aspect of culture and music
as creative activity[9] (Bandem, 1981, dalam Sobur, 2004: 147).
Musik juga sesungguhnya menjadi refresentasi dari kehidupan masyarakat,
sebab musik merupakan ekspresi dari perasaan dan hati seseorang. Memahami
masyarakat dan perasaannya antara lain dapat dilakukan melalui kajian musiknya,
sebagaimana mengkaji musik juga dapat memberikan gambaran tentang masyarakat
dan perasaan orang-orang di sekitarnya. Itulah kepercayaan dalam analisis semiotika
komunikasi pada musik.
D. Strukturalisme
Dalam konten ilmu sosial, strukturalisme merupakan perspektif teoretis
sekaligus pendekatan metodoligis. Strukturslisme mewarisi tradisi formalistik
Matematika, Ekonomi dan psikologi mengadopsi pendekatan analitis yang
dikembangkan oleh semiotika. Sturkturalisme mengembangkan model analisis
formalistik dari linguistik Sassurian; di dalam linguistik, realitas sosial dianggap
cenderung mencari ‘perbedaan’ yang ada di dalam konten atau lebih. Setiap satuan,
bagaian, atau elemen mesti dipisah-pisahkan terlebih dahulu untuk kemudian
dikombinasikan dan direkomendasikan kembali dan ditransformasikan ke dalam model
lain yang berbeda.
Strukturalisme berusaha mengidentifikasi dan memetakan setiap bagian
didalam sebuah sistem; satu peristiwa atau satu rangkaian peristiwa dianggap memiliki
‘pola’ tertentu dan pola ini hanya dapat ditemukan ketika menggunakan perspektif
strukturalisme sebagai dasar pemikiran. Tujuan akhir dari strukturalisme adalah
menemukan aturan, prinsip, atau konvensi yang membentuk pola tersebut; ketika pola
tersebut (makna ‘dalam’) ditemukan maka ‘makna luar’ tau ‘makna permukaan’ akan
dapat dijelaskan. Sturkturalisme berpegang pada penjelasan tautologis dan bukan
kausal. Analisis strukturalisme cenderung bersifat sinkronis atau mengabaikan aspek
kesejarahan (terkecuali sejarah sebagai ‘penanda’ dari suatu ‘petanda’). Secara
struktural, sistem makna selalu bersifat tertutup; setiap elemen di dalam sistem tersebut
patuh kepada aturan atau prinsip tertentu- meski demikian, keajekan tersebut juga
mengandaikan berbagai kemungkinan dan alternatif (Ricouer via Culler, 1975, hlm.
26). ‘Menjelaskan’ adalah proses semantik yang berkembang dari pernyataan tertentu:
suatu yang ‘memaknai’ suatu nilai yang sudah bermakna (Lemert, 1979a, hlm. 944).
Strukturalisme kerap dianggap sebagai praktik intelektual yang ‘dehumanis’.
Strukturalisme menolak pendapat subjektivisme yang ‘homosentris’; misalnya,
premis-premis dasar teori eksistensialisme dan pragmatic. Manusia bukanlah
sekumpulan ‘rasa’ manusia tidak bisa diamati dengan mempertimbangkan rasa
subjektif dan makna kultural sekaligus (Lemert, 1979, hlm. 100). Di dalam setiap
sistem, seperti sistem kekerabatan, sistem hukum, atau sistem pendidikan, pengalaman
selalu dinomor duakan. Manusia hanyalah objek yang ‘bertutur’; artikulasi individual
manusia hanyalah praktik seleksi kode atau symbol particular yang patuh pada tata
gramatika atau tata gramatika simbol dasar yang telah terlebih dahulu ada. Disini,
struktur berperan sebagai pusat yang mengorganisasikan setiap tidakan sosial yang
dilakukan oleh manusia; ini bukan berarti bahwa pada setiap tataran, manusia tercipta
pembangun karya sastra.Makna sebuah karya sastra hanya dapat diungkapkan atas
jalinan atau keterpaduan antar unsur.
b. Strukturalisme Dinamik
Secara Etimologis struktur berasal dari kata Structure, bahasa latin yang
berarti bentuk atau bangunan. Struktur berasal dari kata Structura (Latin) = bentuk,
bangunan (kata benda). System (Latin)= cara (kata kerja). asal usul strukturalis dapat
dilacak dengan Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi
dalam pembicaraannya mengenai plot. Plot memiliki ciri-ciri: kesatuan, keseluruhan,
kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134).
Menurut Mukarovsky dalam (Rene Wellek, 1970), sejarah Strukturalisme
mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di
satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode
berarti prosedur ilmiah yang relativ baik. Sebagai sudut pandang epistimologi,
sebagian sistem tertentu dengan mekanisme antarhubungannya.
c. Strukrutalisme Genetik
Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori
semiotik .Hampir sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks)
tetapi penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda,
dan realitas. Tokoh-tokohnya: Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme
Prancis)
E. Post-strukturalisme
Sebagaimana digambarkan di dalam karya-karya Lacan, Kristeva, Foucault,
Bourdieu, Touranie, Ricoeur, Guattari, dan Deleuze, post-strukturalisme sebenarnya
merupakan upaya pengembangan terhadap strukturalisme. Jacques ‘Derrida misalnya,
mengembangkan premis dekonstruksi Martin Heidegger; hasilnya adalah teori post-
strukturalisme yang melintang dari dari satu perspektif strukturallain (Lemert, 1981,
1990). Meski berembel-embel ‘post’ post-strukturalisme tetap berpegang pada
beberapa elemen dasar yang dicetuskan oleh Saussure dan menggabungkannya dengan
elemen-elemen dari beberapa teori lain.
Barthes, (1975; Foucault, 1978). Subjek ‘pinggiran’ pun memperlihatkan diri
(Lemert, 1979b) sebagai ‘objek’ tindakan yang kosong dan tanpa kuasa, sesuatu yang
dijadikan sasaran tindakan (Milovanovic, 1993). Tema pasivitas dan objektivitas ini
menjadi pokok bahasan utama di dalam karya-karya Baudrllard, tetapi kadang kala
juga muncul di dalam karya Derrida maupun Foucault.
Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka
Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak
teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya
sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga
sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks
yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya
sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut
pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil
bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik
masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem
berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan
seterusnya).[4]
Para penganut perspektif post-strukturalisme sangat berhati-hati dalam
menyikapi teks; mulai dari formulasi, konstitusi, hingga interpretasinya. Interpretasi
dominanan cenderung mengedepankan nilai-nilai yang dominan saja (dan penulis yang
memiliki reputasi dominan pula) sehingga karakteristik dan keunggulan setiap penulis
dan gagasan, perspektif, dan nilai-nilai yang dianggap ‘marjianl’ pun tidak diberi
perhatian selayaknya. Post-strukturalisme memusatkan perhatian ke aspek-aspek
‘marjinal’ tersebut dan menolak aspek-aspek yang dominan.
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan.
Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik
yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme
menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner
(hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu
tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks
tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti
pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia
yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.[5]
Setiap teks menyimpan makna; hanya saja, makna tersebut selalu ‘tidak pasti’
atau ‘tidak definitif’. Makna sebuah teks bisa berubah seiring dengan pergeseran
konteks yang melatarinya; makna tidak bersifat reduktif. Post-strukturalisme
mengaggap tindak tutur dan teks sebagai ungkapan yang sulit untuk dimaknai; kita
tidak akan menemukan makna ‘final’ di dalam tuturan dan teks. Sebuah konstruk tidak
akan pernah bisa direduksi atau disederhanakan ke dalam premis-premis dasari/oposisi
biner. Dalam konteks Barthesian misalnya; pusat tidak selalu memegang peranan
penting didalam sebuah teks, kita perlu memperhitungkan keberadaan ‘pusat-pusat’
lain seperti kenikmatan, seksualitas, dan emosi. Dalam pandangan Barthes, aspek
‘irasional’ penting dalam analisis mitos politik (Barthes, 1972) dan seksualitas.
Post-Strukturalisme memulai dengan etika perhatian untuk memasukkan semua
yang telah diabaikan atau disisihkan oleh mainstream dalam Hubungan Internasional
(David, 2007). Mereka fokus dengan mengartikulasi kritik meta-theoritical pada realis
dan neorealis untuk mendemonstrasikan bagaimana asumsi teoritikal dari perspektif
tradisional tentang politik internasional. Mereka tidak setuju dengan realisme dan neo-
relisme yang hanya berfokus pada power dan negara. Realisme dan neo-realisme
dianggap telah memarginalisasikan hal-hal penting seperti aktor-aktor transnasional,
isu dan hubungan, serta tidak mendengarkan suara-suara yang berasa dari luar orang-
orang realis dan perspektif mereka. Namun tidak berarti bahwa post-strukturalis
menolak negara, mereka juga mengkaji aspek-aspek historisis negara, formasi politik,
ekonomi, dan sosial.
Post-Srtukuralisme hadir setelah adanya strukturalisme. Dapat dikatakan
bahwa post-strukturalisme hadir sebagai dekonstruksi dari Strukturalisme (David,
dalam peta ekonomi politik. Label ini diberikan oleh negara-negara utara. Mereka
menyebut negara dunia ketiga sebagai underdeveloped, former colonized, political
powerless ness, economic property, social marginalization, dan political space antara
negara dunia pertama dan negara dunia ketiga (Wardhani, 2013).
Sastra dunia ketiga, sastra pengarang kulit berwarna, dan sastra non-Eropa
dipahami dan dimengerti dalam konteks masing-masing dan bukan dari perspektif,
Eropa Barat atau Greko-Roman. Dalam peristilahan post-strukturalisme, teks bukanlah
objek atau benda. Teks merupakan peristiwa tukar-menukar kode dan perspektif.
Untuk memahami teks, seseorang perlu terlebih dahulu menyarikkan dan memahami
operasi dan sarana itulah yang menyebabkan teks dapat di maknai (simak Derrida,
1976; Kristeva, 1980, hlm. 37). Membaca novel sama saja dengan mempraktikkan
semotika; kita berusaha mencari keragaman pola tutur dan membacanya (parafrasa dari
Kristeva, 1980, hlm 37). Setiap tulisan mengandaikan berbagai macam kode dan
waktu; setiap tulisan bahkan bisa mengandung tulisan lain (simak Barthes, 1975b).
Dari sudut pandang post-strukturalisme, wilayah penelitian adalah teks itu
sendiri. Dengan demikian, istilah ‘fakta’ dan ‘data’ yang biasa dipakai di dalam
penelitian antropologi dan sosiologi tidak berlaku lagi. Pengarang diperkenankan
menspekulasi apa saja, mulai dari epistemologi penelitian (Tyler, 1987), bentuk sastra
dan genre (Atkinson, 1990, 1992; Geertz, 1988), hingga penutur individualnya yang
lenyap kedalam pola wacana (Moerman, 1988).
masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan
pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang
pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang
yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu
kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa.
Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang
dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus
memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu
dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya
dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan mengeluarkan kredit
pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa “tinggal gesek” dimaknai
secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar. Post-strukturalis melihatnya
bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai
sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan
masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda
pemaknaannya oleh pemakai kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau
karena ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak
dijalankan, maka ada sanksi tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun
sanksi hukum, bila tidak sanggup membayar.
Bila dilihat dari sudut pandang pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang
mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan “menguasai” kartu tersebut,
dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban
bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya
bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus
membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut
pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu
memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu tersebut bermanfaat) namun bila
tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).
membaca, proses refleksi dan menilik mutu tulisan sesuai dengan konvensi rasa dan
genre. Tugas seorang kritisi adalah menempatkan proses menulis, teks, dan proses
membaca ke dalam konteks lain atau dengan kata lain, berupaya merekodifikasi teks.
Seorang kritisi yang baik hendaknya mampu membantu pembaca memahami maksud
sang penulis, memahami runag dan waktu kapan teks tersebut ditulis, memahami gaya
tulisan sang penulis, dan memahami makna teks yang ‘sebenarnya’. Upaya ini
memungkinkan mengeksplorasi beberapa tataran realitas social layaknya sebuah
ekspedisi arkeologi yang berhasil menyusup kesitus tertentu.
2. Model Strukturlis
Para strukturalis mengupayahkan beberapa gerakan untuk mengubah asumsi-
asumsi dasar ilmu sosial positivistik dan post-positivistik, termasuk di antaranya adalah
kritik sastra. Hubungan tidak terpisahkan antara pesona, tubuh ‘selves’; hidup,
pengalaman, dan cerita dibuat menjadi problematis. Realitas dikonstruksikan secara
sosial, sebagaiamana tanda-tanda yang mengemban, mengindikasikan, atau
mempresentasikannya. Strukturalisme berasumsi bahwa ekspresi bisa bersifat relative
(termasuk di referen). Makna sangat bergantung pada konteks; makna merupakan salah
satu fungsi tindak pengkodean (Barthes, 1975b). ada kerenggangan antara sisi
permukaan naratif dengan kode-kode yang digunakan untuk menerjemahkan teks.
Ironisnya, meski selalu senjang dengan dunia cerita selalu mengacu pada peristiwa
nyata peniadaan bentuk di dalam model naratif dapat membuat penilaian terhadap
makna ‘cerita’ menjadi problematis. Teks selalu dapat diubah kedalam kode-kode lain;
dengan demikian, ada suara-suara yang akan terdengar dan ada pokok-pokok lain yang
tampak (Clifford, 1988; Tyler, 1987; Van Maanen, 1988).
Setiap teks menuturkan suara-suaranya secara metaforis. Dengan demikian,
teks bisa dibaca dengan berbagai macam cara. Di dalam cerita mana pun, alur naratif
selalu dapat dibedakan dengan subjek cerita. Membaca adalah aktivitas yang
memungkinkan adanya representasi dalam bentuk lain dan cenderung menggeser
wilayah teks. Kesatuan Antara self-pengarang-teks-khalayak menjadi terpecah-belah.
Bahkan wacana ilmu pengetahuan dan sejarah pun dianggap sebagai wacana yang
problematis (H. White, 1978). Akan tetapi, reposisi makna sebagai fungsi kode ini
mengandaikan varian yang jauh lebih radikal.
Strukturalisme dan semiotik sedikit banyak berperan pada persoalan ‘krisis
representasi’, contoh: Saat ini kerap melihat bentuk jurnalisme yang mereka-reka
(sepenuhnya) pendapat, pesona, adegan, dialog, dan bahkan peristiwa. Sarana tersebut
diperlukan sebagai alat untuk mendramatisasi dan mengintegrasi kenyataan dengan
fiksi. Jurnalisme ini dipelopori oleh Tm Wolfe dan ditampilkan lewat The Right Stuff
(1979). ‘jurnalisme baru’ ini mampu menciptakan kehidupan yang hanya dapat ditemui
di dunia fiksi; di dalamnya terdapat tokoh-tokoh nyata, mereka melakukan tindakan
nyata, di dunia yang nyata pula. (simak Agar, 1990) konsekuensi dari model jurnalisme
seperti ini dapat dilihat pada pengadilan Masson-Malcolm pada Mei 1993; pernyataan
yang semula dianggap sebagai pernyataan Masson dan digunakan oleh Malcolm yang
digugat balik oleh Masson.
Media cenderung mengaburkan bentuk dan membaurkan kenyataan dengan
segala yang bersifat artifisial. Fiksi, berita, dan peristiwa diaduk-aduk dan ditayangkan
melalui berbagai macam cara seperti Top Cops, Cops, dan Rescue 911. Acara-acara ini
memproduksi realitas, tetapi dalam versi-versi tertentu. Altheide (1993) bahkan
mencatat bahwa kendali sosial semakin dikerdilkan oleh media, terutama oleh acara-
acara hiburan. Acara Case Closed misalnya; acara ini mengguakan jasa detektif swasta
untuk menyelidiki dan memeriksa kasus-kasus yang diabaikan oleh ihak kepolisisan.
Penyatuan iklan dengan berita dan dengan drama bahkan dapat dilihat jelas
perkembangannya. Kejadian nyata (seperti peristiwa Sekte Ranting David di Waco,
Texas atau ledakan jet Pan Am di atas Lockerbie, Skotlandia) difunsikan sebagai
‘berita’ sekaligus ‘iklan’ untuk acara-acara film yang akan muncul selanjutnya.
Media turut berperan dalam penyebaran fragmen-fragmen citra ynag bersifat
atemporal, surreal dan hidup; gambar tersebut diasosiasikan dengan berbagai video
music, disisipkan kedalam berita melodrama, dan iklan. Model yang dapat dilihat
dengan jelas adalah MTV (Kaplan, 1987). Fragmen-fragmen suara dan distorsi
geometris tubuh dan wajah ini hampir bisa dikatakan ‘menggeser’ konvensi filmis,
menampilkan progresi logis, alur cerita, dan struktur naratif dengn sempurna (awal,
tengah, dan akhir atau pembukaan, krisis, resolusi dan penutup).
Manifestasi pengaruh strukturalisme ini cukup berbeda dengan model
pembacaan dan pemaknaan interaksiononsme klasik. Perubahaan bentuk ini terjadi
Karena relasi-relasi sosial memproduksi bentuk-bentuk pengalaman dan analisis
pengalaman yang serupa, baik kepada media, kepada khalayak, maupun kepada
kalangan ilmiah. Masyaraakat yang berpikir adalah masyarakat yang mampu
merenungkan dan menganalisis pengaruh yang merasukinya dengan penuh
penghayatan.
demografis seperti gender, ras, dan kelas dan aspek-aspek personal sperti ‘self’ relasi
perann dan keanggotaan kelompok (Bluer, 1969. Contoh di bawah setidaknya bisa
menggambarkan jalur metode semiotic (analisis kode yang mengorganisiskan menu)
dan analisis wacana semiotic. Kedua metode ini komplementer atau saling melengkapi.
Hasilnya tentu akan layak Karena kita tidak hanya dapat memahhami wilayah budaya
di mana peristiwa tersebut terjadi sehingga interpretasi terhadap tanda pun akan
berjalan maksimal.
1. Menu: Sudut Pandang Struktural
McDonald mungkin adalah waralaba makanan cepat saji yang paling berhasil
dan dikenal di seanteri dunia (Peters dan Waterman, 1982). Keberhasilan warabala ini
tentu tidak lepas dari kemampuannya untuk bersesuaian dengan gaya hidup urban
(perkotaan). Seperti yang diungkapkan oleh Ritzer (1993), gaya hidup urban
mengandaikan kecepatan, keefisiensi, kemudahan, standarisasi (pembekuan), rutinitas,
dan kerapian. Cara berpikir ini tampak implisit pada cara McDonald menyususn
kategori, klarifikasi, kerangka, asosiasi, dan pembagian dari menu yang yang ia
sajikan. Mungkin, sudah ada dua generasi yang paham betul tentang bagaimana menu
di McDonald diatur; menu ini tampaknya sudah tidak asing dan tidak perlu dijelaskan
lagi kepada bocah-bocah belia Amerika (mereka dapat mengasosiasikan gambar atau
tampilan menu dengan makanan yang sebenarnya). Di sini, terdapat konvensi yang
dapat mengatur hubungan antara ekspresi dengan konten; sistem tanda McDonald
terstandarisasi dengan tertib sesuai dengan persyaratan usaha waralaba ini; kita hanya
dapat menemukan variasi atau perbedaan dalam konteks lokal saja. Kita akan
menjelaskan makna tanda-tanda tersebut ketika diletakkan dalam konteks-konteks
tertentu.
Agenda pertama adalah mengidentifikasi wilayah politik social; rangkaian
tekanan objektif aatau subjektif yang memberi makna pada stuktur dan kode yang
sedang diamati. Untuk selanjutnya, kita akan menyebutnya ‘wilayah makanan cepat
saji’. Tanda dan ‘tanda pengemban’ (tanda yang mengemban tanda abstrak)
mengandaikan satu makna; ‘kecepatan transaksi’ atau jual beli (di setiap kedai
McDonald, kasir dan counter ditempatkan pada satu tempat sekaligus).
Model pelayanan McDonald mengimplikasikan ‘kecepatan transaksi’ misalnya
drive through, take out, dan eat in. Tiga model transaksi ini memiliki kadar kecepatan
beragam, mulai dari ‘cepat’, ‘lebih cepat’, dan ‘paling cepat’. Dalam konteks ini, menu
dianggap sebagai simbol utama atau representasi kolektif. Pertanyaan selanjutnya, tata
apakah yang mengatur menu di McDonald hingga bisa menjadi sedemikian rupa?
Bagaimana cara menu mengakomodasi atau membatasi pilihan? Seperti yang kerap
kita saksikan, menu di McDonald selalu terbagi ke dalam panel-panel, setiap panel itu
memiliki warna-warna khusus. Setiap panel menu tersebut selalu mengacu pada pilihan
makanan tertentu.
Di sini dapat dipahami bahwa warna berperan sebagai kode, simbol, atau tata
yang mengatur susunan menu (Eco, 1997). Tergantung di atas, tepat di depan para
calon pembeli, dan melintang dari arah kiri ke kanan; di sana kita akan menemukan
tiga belas kotak plastic atau panel. Makanan dan minuman ditunjukkan di panel satu
sampai delapan. Dan lima panel sisanya hanya gambar saja. Lima gambar tersebut
sangat kontras dan cenderung mendramatisasi informasi di dalamnya. Panel-panel
tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:
itu, orang Amerika menu tersebu juga berhasil mengorganisasikan ruang dan visualitas
secara sempurna; organisasi ruang dan visualitas itulah yang membuat pesan jadi
mudah terlihat, mudah dipahami, dan jelas maksudnya (Jakobson, 1960). Sebagai
ringkasan, telah dipahami bahwa ada beberapa kode yang berperan dalam menu
Mcdonald; yang terpenting adalah kode warna/makanan, kemudian disusul oleh kode-
kode menu inti/menu tambahan, kode anak-anak/dewas, dank ode satu menu/menu
kombinasi. Adapun kode sekunder yakni penempatan panel pada posisi vertikal, daftar
menu yang metonimis. Penempatan ini merefleksikan strategi penjualan dan
popularitas dari tiap menu yang terpampang di dalamnya- menu yang paling atas adlah
menu yang paling kerap dipesan.
Analisis diatas membuktikan bahwasanya selain sebagai pengemban pesan,
sistem tanda turut mempermudah pemilihan menu, meningkatkan laba penjualan,
memepercepat pelayanan, dan sebagainya. Warna, panel, pengelompokan tanda, dan
nama nama menu yang sederhana, ringkas, dan membangkitkan rasa ingin tahu, dan
penempatan kasir dan loket pada tempat yang sama memperkuat sugesti efektivitas,
efisiensi, dan rutinitas, yang ditawarkan oleh waralaba makanan cepat saji
bersangkutan.
2. Pendekatan Wacana Semiotik Pada Pengalaman McDonald
Pada bagian ini kita akan mencoba mengurai makna yang tersenbunyi di balik
wawancara terkait pengalaman terhadap McDonald. Wawancara seperti ini akan
semiotik. Wawancara tersebut mampu membantu menguak pengalaman manusia
ketika mngunjungi Mcdonalds dan mengasosiasikan pengalaman tersebut dengan
kunjungan mereka. Sebagai entitas,’self’ berkembang waktu demi waktu dan mampu
merefleksikan berbagai endapan pengalaman yang telah lalu. Asosiasi yang timbul
tidak hanya bersifat personal dan menyejarah, namun juga organisasional. Asosiasi-
asosiasi tersebut mengekplorasi makna eksperiensial individu ketika yang
bersangkutan mengunjungi Mcdonald. Asosiasi-asosiasi tersebut bukan sekadar
pengetahuan budaya yang ditempelkan dan ditampilkan begitu saja.
Asosiasi Biografis
karyawan yang mengelap meja, dan melihat beberapa orang tercenung sendirian di
sudut ruangan, seolah-olah kesepian tanpa ada orang yang bisa diajak mengobrol.
Mcdonald membuat bingung; waralaba ini mengklaim diri sebagai perusahaan
terbesar yang mampu mendaur ulang sampah dan kertas, padahal, kenyataannya
perusahaan ini jugalah yang mengakibatkan sampah menumpuk begitu banyak.
Terkadang dijumpai pamphlet-pamflet yang menyebutkan bahwa Mcdonald
menyajikan makanan kaya nutrisi. Pada hal, menu yang disajikan tidak semuanya baik
untuk kesehatan. Pada kasus pamphlet ‘ramah lingkungan’ tahun 1990 misalnya;
pamphlet ini hanya berfungsi sebagai ritual bagi Mcdonald yang sudah terlanjur
memproklamasikan diri sebagai perusahaan yang peduli akan kesehatan (buktinya;
pada 1991, perusahaan ini gagal mendaur ulang semua sampahnya). Diluar segala
konflik kesan dan makna yang mungkin diserap, setidaknya kita tahu bahwa Mcdonald
menyajikan makanan murah, mengandalkan pelayanan cepat, dan instrumental bak
mesin.
Mcdonald cenderung meritualisasi setiap pengalaman orang-orang yang
singgah. Ritual tersebut bahkan tampak pada saat baru saja masuk; misalnya pada
pramusaji menyapa “selamat datang di Mcdonald”. Mau pesan apa… “seolah-olah
berada di rumah sendiri dan bukan di restoran. Ironisnya, pilihan menu dan kebebasan
bertingkah sangat terbatas di sini. Pernahkah anda memesan Big mac tanpa saus? Jika
sudah pernah, maka anda harus menunggu agak sedikit lama.
Molornya waktu penyajian dan pelayanan tersebut berfungsi sebagai hukuman
karena tidak patuh pada sistem yang berlaku. Atau lebih parah lagi, anda harus terpaksa
memesan seperti apa adanya. Pelayanan seperti ini sama sekali tidak tampak seperti
pelayanan seorang ibu yang sedang memasak untuk seluruh keluarga; setiap anggota
keluarga bisa memesan makanan sesuai dengan selera masing-masing tanpa harus
merasa sungkan atau terganggu. Di Mcdonald, memang bisa mengasosiasikan
makanan, kenyamanan, dan cinta meski sebenarnya makanan tersebut tidak disajikan
oleh orang-orang yang keibuan (kebanyakan dari mereka adalah remaja).
Mcdonald adalah salah satu contoh budaya organisasi yang secara strategis
berhasil memfasilitasi target manajemen yakni mengeruk keuntungan dan memuaskan
pelanggan (Peters dan Waterman, 1982). Sebagaimana diuraikan diatas, Mcdonald
merupakan produksi dramatis yang sengaja dirancang begitu rupa untuk membuat
konsumen bingung. Mcdonald berhasil memanipulasi wilayah, ruang publik dan
pribadi, rumah dan bisnis, instrumentalitas dan ekspresivitas dari makanan dan
menikmati makanan sekaligus menciptakan dan memasarkan pengalaman dengan cara
yang cerdik dan unik. Seperti yang dicontohkan oleh Disneyland, tujuan utama
manajemen adalah memasarkan pengalaman untuk mengeruk keuntungan sebesar-
besarnya (Van Maanen, 1992). Simbol-simbol yang dipakai oleh Mcdonald sengaja
dirancang untuk menghimpit dan menunda makna riil yang diserap oleh individu
maupun kelompok agar makna riil yang diserap oleh individu maupun kelompok agar
makna konotasi ‘makan dengan penuh kegembiraan mengemuka. Semua dilakukan
agar target dan tujuan perusahaan tercapai.
SIMPULAN