Professional Documents
Culture Documents
Erika Dwi Pangestu 042216269 T2 ISIP4213
Erika Dwi Pangestu 042216269 T2 ISIP4213
ilmuwan politik,baik John Locke maupun Montesquieu.Kata dari Legislatif berasal dari kata
dalam bahasa inggris “legislate” yaitu membuat undang-undang” .Menurut Arbi Sanit (1985:43-
44),keperluan masyarakat akan hukum sebagai saran untuk mengantur kehidupan bersama di
samping kebutuhan akan badan yang membuat dan memberlskuksnnys untuk penyelenggaraan
Romawi Kuno.Perkembangan selanjutnya sejarah mencatat bahwa penguasa Kerajaan Romawi
beserta para penguasa yang mendukungnya melakukan pemusutan seluruh kekuasaan sembari
melemahkan peranan lembaga legislatif sebagai lembaga undang-undang secara khusus.Jika
kekuasaan gereja mengelimminir kewenangan lembaga legislative karena hukum didasarkan
kepada ajaran agama,maka kaum feudal membutuhkan kekuasaan sentral negara yang
berakibat pada melemahnya peran lembaga legislatif sebagai bagian dari negara yang
mendukung kekuasaan sentral tersebut.Peranan lembaga legislatif sebagai pembuat undang-
undang menguat kembali sejak abad ke-11. Sejarah legislatif dapat ditelusuri sampai ke Yunani
kuno.Warga Athena yang menjadi anggota Dewan Polis (Ekklesia) mempunyai kesempatan
untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan,sekalipun jumlah kecil di antara mereka
mendominasi siding lembaga tersebut.
Lembaga legislatif dalam bentuk ini bermula di Inggris.Pada akhir abad ke-12 di Inggris
terdapat Magnum Concilium sebagai dewan kaum feodal dinamakan Parlemen sebagai wadah
para tuan tanah untuk membahas segala sesuatu termasuk mendapatkan kesepakatan untuk
meningkatkan kontribusinya bagi kerajaaan.Pada abad ke-14 barulah parlemen dimanfaatkan
oleh raja oleh raja Inggris sebagai badan konsultasi dalam pembuatan undang-undang.Pada
abad ke-15,parlemen berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang meskipun dari segi
keanggotaan lembaga belum sepenuhnya sebagai badan perwakilan rakyat.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
memiliki tiga fungsi utama, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan.Fungsi legislasi berkaitan dengan pembuatan kebijakan-kebijakan daerah, yang
dikenal dengan Peraturan Daerah (Perda).Dalam melaksanakan fungsi legislasi ini, DPRD
seharusnya memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya.Fungsi anggaran atau
keuangan berkaitan dengan wewenang DPRD untuk membahas dan memberikan persetujuan
rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).Penyusunan APBD pun harus
melibatkan masyarakat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, karena sumber-sumber
APBD pada hakikatnya berasal dari rakyat dan selayaknya masyarakat mengetahui alokasi
penggunaannya.Sedangkan fungsi pengawasan berangkat dari pemikiran bahwa DPRD adalah
pemegang mandat kekuasaan rakyat sehingga DPRD berkewajiban mengawasi implementasi
dari keputusan-keputusan yang telah dibuatnya.Sebagai pengawas, DPRD memerlukan data dan
keterangan yang memadai.Untuk melaksanakan fungsi pengawasan DPRD telah dibekali dengan
sejumlah hak, seperti hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat.
Tugas dan kewenangan DPRD diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004, yakni membentuk Perda yang dibahas bersama Kepala Daerah untuk mendapatkan
persetujuan bersama, membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama
dengan Kepala Daerah, dan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
peraturan. 10.
melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional daerah. Sementara itu
hak dan kewajiban DPRD diatur dalam Pasal 43-45 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.Hak
yang dimiliki DPRD adalah hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.Kewajiban
anggota DPRD diantaranya adalah memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya
selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah
pemilihannya.
hannya. Bila dibandingkan dengan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban DPRD pada
periode sebelumnya, kekuasaan DPRD pada periode diterapkannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 cenderung tidak sebesar kekuasaan DPRD pada periode diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999. Besarnya kekuasaan DPRD pada periode tahun 1999-2004
tercermin dari hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah.Dalam hubungan tersebut, DPRD
memiliki kedudukan yang lebih kuat.DPRD memiliki peranan yang besar dalam menentukan
Kepala Daerah (KDH) dan memberikan penilaian atas pertanggungjawaban KDH setiap
tahunnya.Pola hubungan DPRD dan KDH tersebut ternyata banyak diwarnai oleh money
politics. Prasodjo (2007:1.15) menyatakan bahwa penyebab terjadinya money politics dalam
tubuh DPRD adalah: Pertama, ada kesadaran kelompok kepentingan bahwa posisi DPRD yang
kuat dijadikan momentum untuk berkonspirasi dalam ”menggarap” berbagai sumber untuk
memperoleh materi. Kedua, dalam rangka survivalitas politisi bersangkutan beserta
partainya.Para politisi yang duduk di legislatif biasanya diwajibkan untuk menyetorkan sebagian
pendapatannya kepada partai asalnya.Kebiasaan tersebut cenderung terus berlanjut, termasuk
saat UU No. 32 Tahun 2004 menjadi acuan dalam implementasi pemerintahan daerah di
Indonesia.Di samping itu para politisi memiliki jaringan pendukung partainya dari kalangan
pengusaha.
Kondisi tersebut tentunya sangat memrihatinkan, karena pada akhirnya tugas dan kewajiban
sebagai wakil rakyat, khususnya sebagai penyalur aspirasi rakyat menjadi terbengkalai. Berita-
berita miring yang menyudutkan wakil rakyat banyak menghiasi media massa. Beberapa
diantaranya bahkan sampai dimejahijaukan, karena terseret kasus korupsi di DPRD.Korupsi
berjamaah sempat dituduhkan kepada lembaga tersebut. Tulisan di Kompas dalam artikel “
Memanggul Kuasa Menyandang Nista”, 24 September 2004 mencatat setidaknya terdapat 11
kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPRD pada tahun 2003-2004, termasuk kasus
yang terjadi di DPRD Kota Bogor dan Depok. Di Kota Depok, pada bulan Agustus 2004
terungkap kasus penyalahgunaan dana rutin APBD tahun 2002 sebesar Rp. 9 Milyar. Sedangkan
di Kota Bogor, pada September 2004 terungkap pula kasus dugaan korupsi biaya penunjang
kegiatan DPRD Kota Bogor tahun anggaran 2002 sebesar Rp. 5,5 milyar dan Anggaran Belanja
Tambahan sebesar Rp. 1,3 milyar.
Kinerja DPRD selaku wakil rakyat nampaknya masih dipertanyakan.Kinerja badan perwakilan
rakyat tersebut sangat penting untuk diketahui oleh konstituennya, apakah wakil rakyat yang
mewakilinya tersebut melaksanakan tugasnya sesuai harapan masyarakat. Dalam pasal 45 (huruf
g) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dikatakan bahwa anggota DPRD mempunyai kewajiban
memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai
wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Artikel ini merupakan
hasil penelitian dengan tujuan menganalisis kinerja DPRD sebagai badan perwakilan di tingkat
lokal dengan mengambil kasus di DPRD Kota Bogor dan Depok.10
Fungsi Badan Perwakilan Rakyat
Menurut Sanit (1985:42), fungsi lembaga perwakilan berkembang dalam dua tahap.
Kedua fungsi itu adalah sebagai pembuat hukum dan legislasi. Fungsi sebagai badan pembuat
hukum, sudah ditumbuhkan secara berangsur-angsur selama 20 abad, mulai dari abad ke-5 SM di
Yunani Kuno dan Romawi sampai akhir abad ke14 di Inggris. Namun fungsi legislasi badan
tersebut secara penuh baru berlangsung dalam 5 abad terakhir ini.
Parlemen dalam bentuknya sekarang, bermula di Inggris di penghujung abad ke-12 di mana
Magnum Councilium sebagai dewan kaum feodal dinamakan Parlemen, sebagai wadah para
baron atau tuan tanah untuk membahas segala sesuatu termasuk mendapatkan kesempatan untuk
meningkatkan kontribusinya bagi kerajaan. Parlemen baru dimanfaatkan oleh raja Inggris
sebagai badan konsultasi dalam pembuatan undang-undang di penghujung abad ke-14.Baru pada
abad ke15, Parlemen berfungsi sebagai badan pembuat hukum, tetapi keanggotaannya belum
mencerminkan perwakilan rakyat. Parlemen yang sekaligus sebagai badan pembuat hukum dan
badan perwakilan melalui pemilihan baru terjadi dalam abad ke-18 di Inggris
Dalam tulisannya mengenai Teori Perwakilan Politik, Alfred de Gracia seperti dikutip
oleh Sanit (1985:82) dikemukakan bahwa perwakilan politik diartikan sebagai hubungan di
antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil di mana wakil memegang kewenangan untuk
melakukan berbagai tindakan yang berkenan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan
terwakil. Pola hubungan antara anggota badan legislatif dengan masyarakat dapat dilihat dari
orientasi wakil, yang dikategorikan menjadi 4 (empat) tipe hubungan antara si wakil dengan
wakilnya, yaitu: 1) si wakil sebagai wali (trustee); 2) si wakil sebagai utusan (delegate); 3) si
wakil sebagai politico; dan 4) si wakil sebagai partisan.
10
Pada tipe wali (trustee), anggota DPRD cenderung bertindak bebas atas nama kepentingan
mereka sendiri. Oleh karena itu, pada tipe wali dalam proses memutuskan kebijaksanaan
memperkenankan anggota DPRD untuk mempergunakan pertimbangan sendiri dalam
memberikan persetujuan terhadap pilihan-pilihan yang ada. Pada tipe utusan atau delegasi,
mengharuskan anggota DPRD mengadakan konsultasi secara kontinu kepada pihak yang
diwakilinya.Dalam tipe ini, wakil bertindak sebagai penyalur dari tuntutan atau kehendak pihak
yang diwakili. Dengan kata lain, orientasi anggota DPRD ialah kepada anggota masyarakat yang
diwakili.
b. Fungsi keuangan. Fungsi ini terkait dengan kewenangan badan perwakilan dalam
menentukan pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakikatnya adalah uang
rakyat.Baik pembelanjaan negara yang diambil dari pajak sebagai sumbernya, maupun yang
berasal dari bantuan atau pinjaman dari luar negeri, semuanya tentunya menjadi beban
rakyat.Fungsi pemasukkan dan pengeluaran tidak dapat dipisahkan.Keduanya harus dilihat
sebagai kembaran.
Pengawasan politis dapat dilakukan dengan memanfaatkan hak-hak yang dimiliki oleh
anggota dewan.Hak anggota parlemen meliputi hak bertanya, interpelasi, angket dan mosi.Hak
interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakanya di
sesuatu bidang.Dalam hal ini badan ekskutif wajib memberikan penjelasan dalam sidang pleno,
di mana penjelasan tersebut kemudian dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan
pemungutan suara, apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak.Hak angket adalah hak
anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri.Untuk keperluan ini dapat
dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan
legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai soal ini, dengan harapan
agar diperhatikan oleh pemerintah. Sedang mosi pada hakikatnya merupakan pernyataan
lembaga ini akan ketidakpercayaan atau kepercayaannya terhadap kebijaksanaan pejabat
eksekutif.
Bentuk hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah (KDH) memengaruhi implementasi
fungsi-fungsi DPRD. Menurut Prasodjo (2007:2.15), untuk mengawali bangunan teoritik
hubungan DPRD (council) dan KDH (local executive), sangat baik digambarkan terlebih dahulu
apa yang dikembangkan di Amerika Serikat, karena di Amerika Serikat terdapat variasi yang
cukup kompleks. Menurut Pinch, sebagaimana dikutip oleh Prasodjo (2007:2.16) terdapat empat
sistem bentuk hubungan DPRD dan KDH, yaitu:
3. Weak Major, jika dinas/lembaga birokrasi daerah diisi melalui pemilihan langsung dari
warga, sedangkan KDH-nya oleh DPRD yang terpilih;
4. Strong Majors, di mana KDH dipilih oleh publik, kemudian menentukan dan mengelola
dinas/lembaga birokrasi di daerahnya.
Muthalib dan Khan (1981:53) mengatakan bahwa bentuk alamiah dewan lokal di dunia
saat ini adalah satu kamar (one chamber), yang pengisiannya dilakukan dengan mekanisme
pemilihan umum yang di Indonesia dikenal sebagai pemilihan anggota legislatif (Pilcaleg).
Salah satu variabel yang digunakan oleh Muthalib dan Khan (1981:53), untuk melihat kinerja
badan legislatif adalah hubungan antara legislatif dan Kepala Daerah (KDH). Hubungan antara
legislatif dan KDH dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok yang
menempatkan DPRD sebagai sumber otoritas birokrasi lokal, yang dalam hal ini dapat bersama-
sama dengan KDH atau tanpa KDH, seperti yang diterapkan di Inggris; Kedua, kelompok yang
menempatkan DPRD sebagai lembaga yang tidak berperan sebagai sumber otoritas birokrasi,
karena dipegang oleh KDH. Pola tersebut memengaruhi hubungan kerja antara DPRD dan KDH,
hak dan kewajiban DPRD dalam pemerintahan.
Hal ini tidak berbeda dengan yang terjadi di DPRD Kota Depok. Dari Perda-perda yang ada
separuh lebih Perda yang dihasilkan adalah tentang pajak dan retribusi, Organisasi Tata
Kelembagaan (OTK) dan Perda yang dikategorikan lain-lain, yang antara lain meliputi Perda
tentang pengesahan APBD dan revisinya, serta perijinan. Uraian tentang produk legislasi di
DPRD Kota Bogor dan Depok dapat dilihat pada Tabel 1.
Hal ini menjadi indikasi bahwa peran dan fungsi pemerintahan daerah cenderung
didominasi oleh eksekutif (KDH).Pola tersebut memperkuat teori yang dikemukakan oleh
Muthalib dan Khan (1981:53), yakni bahwa DPRD sebagai lembaga yang tidak berperan sebagai
sumber otoritas birokrasi karena dipegang oleh KDH.Pola strong major menjadi lebih kentara
ketika kemudian KDH dipilih secara langsung oleh rakyat.Pola strong major tersebut setidaknya
memengaruhi kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi.
Produk-produk legislasi tersebut menunjukkan bahwa orientasi anggota DPRD tidak termasuk
dalam salah satu kategori de Gracia. Namun demikian, orientasi anggota DPRD lebih tepat
dikategorikan sebagai berorientasi pada eksekutif, seperti yang dikemukakan oleh Sanit
(1985:85), karena dalam mengambil keputusan anggota DPRD cenderung mengikuti skenario
eksekutif, di mana DPRD tinggal mengesahkannya saja.
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang terkumpul maka dapat disimpulkan
bahwa pada era reformasi, penyebab produk-produk yang dihasilkan DPRD lebih berorientasi
pada kepentingan eksekutif adalah karena DPRD merupakan lembaga yang tidak memiliki peran
pada otoritas birokrasi, karena otoritas birokrasi sepenuhnya berada di tangan Kepala Daerah
(KDH). Pelaksanaan Pilkada semakin memperkuat posisi KDH. Oleh karena itu, sebagai
lembaga yang mewakili rakyat di tingkat lokal, peran dan fungsi DPRD perlu ditingkatkan, di
samping juga perlunya peningkatan kualitas anggota DPRD, sehingga diharapkan lembaga
tersebut mampu menunjukkan taringnya ketika kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif tidak
lagi berpihak kepada rakyat.
Peraturan Perundangan-undangan :
Sumber :
Lebih lanjut Ranney(1958:398-399)menyatakan bahwa ada tiga tipe tipe prinsip dari lembaga
ekskutif sebagai kepala negara.Pertama,hereditary monarchs atau monarki berdasarkan
keturunan.Artinya seorang yang menawarisi posisinya dari orang tuannya yang memiliki
sebelumnya dan yang menjalankan fungsi baik langsung maupun tidak langsung.Kedua
elected”monarchs” .Ketiga,Kepala pemerintahan terpilih.Pertama,fungsi simbolik dan
seremonial,tujuan pembentukan bangsa adalah mempertahankan sebuah masyarakat dan
sebuah pemerintahan kelompok kepentingan dapat dengan bebas mengejar tujuan khusus
mereka dan keberlanjutan hidup bersama sebagai sebuah bangsa di bawah satu
pemerintahan.Kedua,fungsi reigning.Fungsi ini berarti bahwa lembaga eksekutif menyediakan
saluran formal di mana kekuasaan pemerintah dilalui dengan damai dan berjalan dari satu orang
atau sejumlah orang kepada orang lain.
Perlibatan militer terjadi sejak awal orde baru tahun 1996 ketika soeharto membentuk staf
pribadi(Spri) yang terdiri dari para perwira Angkatan Darat yang berkembang dari 6 menjadi
12 anggota pada tahun 1968.Spri dipimpin oleh Mayjen Alamsyah dengan anggota yang dibagi
dalam berbagai bidang urusan,seperti misalnya : keuangan,politik,intelijen luar negeri,intelejen
dalam negeri,kesejahteran sosial,dan pemilihan umum.Pada tahun 1967 pra anggota Spri
bersama-sama dengan beberapa jenderal lainnya yang dekat dengan Soeharto (yaitu: Panglima
AD Letjen Panggabean,Mendagri Mayjen Basuki Rachmat,dan Direktur Pertamina Mayjen Ibnu
Sutowo)menjalankan pengaruh yang menentukan atas politik pemerintah(Crouch,1986:346).
Keterlibatan ABRI,menjadi TNI disebut mliter,dalam politik tidak dapat dilepaskan dari
perwujudan Dwifungsi ABRI.Sebagai pelaksanaaan Dwifungsi ABRI maka pemerintah
Soeharto menugaskan prajurit ABRI dalam lembaga/instansi/badan/organisasi di luar jajaran
ABRI .Tujuan penugasan tersebut adalah untuk pengamanan politis ideologis terutma pada saat
awal Orde Baru dan selanjutnya berkembang untuk menyukseskan pembangunan nasional
sertaaaaaaa menjamin tercapainya sasaran program-program pembangunan yang temaktub dalam
Repelita-repelita(Soebijono,et.al.,1992,134). Sosok Soeharto memimpin lembaga eksekutif
dengan menggunakan kekuasaan secara otoriter,represif,tertutup,dan personal.Sumber
kekuasaan politik dan ekonomi berada di tangan negara,dan setiap individu maupun kelompok
dapat memperoleh sumber kekuasaan itu apabila mendekatkan diri pada negara(Tim LIP FISIP
UI,1998:12).Citra lain yang ditangkap oleh responden terhadap sosok Soeharto adalah kesalahan
dalam hal kurang pembangunan perekonomian rakyat dan mengekang kehidupan
politik.Keberlangsungan Orde Baru selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto
menunjukkan pentingnya factor kepemimpinan Soeharto.Masih menurut Liddle ,sosok soeharto
sebagai sebagai pemimpin lembaga eksekutif,memimpin dengan gaya kepemimpinan
personal(Liddle dalam Fatah,2000:188).
Hasil amandemen UUD 1945 di tahun 1999-2002 menunjukkan bahwa sosok presiden
tidak bias sekuat dan seberkuasa’sebelumnya.Setelah itu,tidak dapat mencalonkan diri
kembali.Lembaga eksekutif juga dihafrapkan seimbang dan sejajar dengan lembaga legislatif.Di
antara kekuasan presiden yang dibatasi dan dikontrol adalah hal-hal yang berkaitan dengan
kekuasaan legislatif dan yudikatif.Pasal 5 UUD 1945 bahwa :”Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.Setelah di amandemennya UUD
1945,proses pemberian grasi dan rehabilitasi harus memperhatikan peryimbangan Mahkamah
Agung(MA) dan proses pemberian harus pertimbangan DPR.
Ada tiga varian model integrasi ini yang membahas tentang struktur kekuasaan eksekutif sebagai
organisasi penyelenggara pemerintahan, yaitu:
Model ini bersifat otoritas yang terpusat dan dipilih oleh pimpinan eksekutif departemen
tanpa adanya persetujuan dari legeslatif.Otoritas ini mempunyai pola dari bawah ke atas dan ke
dalam “bottom upward and inward” dan terpusat pada pemerintahan.Pegawai pemerintahan
bertanggung jawab atas pengaturan administrasi atas pimpinan yang terpilih dan bertanggung
jawab pada setiap aktivitas politis.Dengan adanya penggabungan tanggung jawab ini, model ini
bertujuan membawa seorang pemimpin lebih kuat. Sistem pengawasan dalam model ini
difokuskan pada satu tangan dengan maksud menghindari adanya overlap dalam
administrasi.Model ini bersifat otoritas yang terpusat dan dipilih oleh pimpinan eksekutif
departemen tanpa adanya persetujuan dari legeslatif.Otoritas ini mempunyai pola dari bawah ke
atas dan ke dalam “bottom upward and inward” dan terpusat pada pemerintahan.
Jika berbicara tentang sistem pemerintahan sesungguhnya berbicara tentang relasi antara
parlemen (legislatif) dengan eksekutif.Apabila dominasi dan konsentrasi kekuasaan terletak pada
legislatif, maka model sistem pemerintahan adalah parlemen.Sistem pemerintahan ini dalam
tinjauan model integrasi organisasi merupakan model strong political atau weak executive
model.Sedangkan apabila konsentrasi kekuasaan terpusat pada eksekutif, maka model ini
menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dalam tinjauan model
integrasi organisasi dapat dikatakan sebagai model weak political atau strong executive model
Dengan kata lain berdasarkan pada pola kekuasaan dan kepemimpinan, kekuasaan eksekutif
dibedakan atas sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.
1.Sistem Pemerintahan Parlementer10
Dalam sistem parlementer, pimpinan eksekutif atau administrator publik (kepala pemerintahan)
yang biasa dijabat oleh Perdana Menteri (PM), presiden, dan lainnya bergantung pada mosi atau
kepercayaan parlemen dan dapat turun dari jabatannya melalui mosi tidak percaya dari parlemen.
Dalam sistem ini, PM dipilih oleh parlemen, yang kemudian diikuti dengan pengangkatan resmi
oleh kepala negara. Biasanya PM berasal dari partai mayoritas, namun apabila tidak mencapai
mayoritas, untuk membentuk pemerintahan dibentuk pemerintahan koalisi. PM merupakan
pimpinan kabinet. Pemerintah bersifat kolegial atau kolektif, di mana PM dalammenerapkan
kepemimpinannya bersifat kolektif melalui kekuasaan koordinasi terhadap menteri-menteri.
Menteri-menteri merupakan kolega PM. Masingmasing menteri bertanggung jawab kepada
parlemen (Lijphart, 1995). Adapun ciri atau karakteristik dari sistem parlementer ini adalah
sebagai berikut:
a. Raja, ratu atau presiden sebagai kepala negara tidak memiliki kekuasan pemerintahan.
b. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri
c. Parlemen adalah satu-satunya lembaga yang anggotanya dipilih langsung rakyat melalui
pemilihan Umum.
d. Eksekutif adalah kabinet bertanggung jawab kepada legislatif atau parlemen.
e. Bila parlemen mengeluarkan mosi tak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri
maka kabinet harus menyerahkan mandatnya kepada kepala negara.
f. Dalam sistem dua partai yang ditunjuk membentuk kabinet segali gus sebagai perdana menteri
adalah ketua partai politik pemenang pemilu.
g. Dalam sistem banyak partai formatur kabinet membentuk kabinet secara koalisi dan mendapat
kepercayaan parlemen.
h. Bila terjadi perselisihan antara kabinet dengan parlemen maka kepala negara menganggap
kabinet yang benar maka parlemen dibubarkan oleh kepala negara (Verney, 1995) Presiden
dalam sistem pemerintahan parlementer, (kecuali negara yang menganut sistem monarki
konstitusional seperti Inggris dengan negaranegara commonwealth-nya), dipilih dan diangkat
oleh atau menyertakan badan perwakilan rakyat. Dalam pemilihan ini terdapat berbagai model,
seperti di India dipilih oleh electoral college yang terdiri dari parlemen dan senat dan Presiden
Italia dipilih dalam suatu rapat gabungan parlemen danutusan daerah (regional delegates).
Meskipun dia dipilih oleh parlemen, tapi dia tidak bertanggung jawab kepada parlemen.Presiden
juga tidak bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan.Tanggung jawab
pemerintahan ada pada kabinet.Presiden semata-mata sebagai kepala negara (chiep of state) yang
merupakan simbol negara dan seremonial.Ia tidak bisa diganggu gugat (can do no wrong)
(Ranney, 1990).
Terdapat berbagai variasi negara-negara yang menerapkan sistem parlementer.Ada
negara yang bebentuk republik dan ada yang berbetuk kerajaan.Negara-negara seperti India,
Singapura, Pakistan, Banglades, dan Israel adalah negera-negara republik yang menerapkan
sistem pemerintahan parlementer.Indonesia pada masa demokrasi liberal (1945-1959) adalah
negara republik yang menerapkan sistem parlementer.Sedangkan negara kerajaan yang
menerapkan sistem parlementer antara lain Inggris, Malaysia, Jepang, Belanda, Belgia, dan
Swedia.Dalam menerapkan sistem parlementer ini, ada menteri-menterinya yang dilarang
merangkap jabatan sebagai anggota parlemen, seperti Belanda, tetapi ada juga yang
menterimenterinya merangkap jabatan sebagai anggota parlemen, seperti Inggris.(Romli, 2002).
Berdasarkan uraian tentang konsep sistem pemerintahan parlementer di atas, maka dapat
dikatakan bahwa struktur kekuasaan eksekutif dibandingkan parlemen atau legislator sangat
lemah dan wewenangnya sangat terbatas.Sementara kekuasaan parlemen (legislator) sangat
kuat.Dia memiliki wewenang yang sangat luas, mengangkat dan memberhentikan kepala
pemerintahan dan menteri-menteri.Jabatan pimpinan eksekutif (PM) rentan terhadap tindakan
pemberhentian dari jabatannya hanya berdasarkan mosi tidak percaya dari parlemen.Wewenang
pimpinan eksekutif terhadap menteri-menterinya juga hanya sebatas koordinasi.Oleh karena itu
dia tidak memiliki wewenang untuk mengganti apalagi memberhentikan menterimenteri di
bawah koordinasinya.
Dalam sistem ini, selain presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus juga sebagai
kepala negara.Presiden dipilih baik secara langsung oleh rakyat maupun oleh suatu badan
tertentu untuk masa jabatan tertentu, dan dalam keadaan normal tidak dapat dipaksa untuk
mengundurkan diri.Pada sistem presidensial, eksekutif (pemerintah) non-kolegial.Presiden
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas para menterinya.Semua pejabat di bawah presiden
adalah pembantunya.Jadi kepemimpinan dan kekuasaannya bersifat hirarkis, dan tanggung jawab
sepenuhnya ada pada presiden. Dengan kata lain, presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif
tunggal. Tidak seperti di sistem parlementer.Pertanggungjawaban presiden bukan kepada
parlemen, karena itu tidak ada mosi tidak percaya, tetapi pertanggungjawabannya kepada
konstitusi.Namun demikian, presiden dapat diberhentikan dari jabatannya melalui mekanisme
impeacment apabila melakukan pengkhianatan, menerima suap, dan melakukan kejahatan serius.
(Romli, 2002). Beberapa ciri dari sistem presidensial ini adalah sebagai berikut:
a. Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
b. Kabinet atau dewan menteri dibentuk oleh presiden.
c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen
d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen
e. Menteri tidak boleh merangkap anggota parlemen
f. Menteri bertanggung jawab kepada presiden
g. Masa jabatan mebteri tergantung pada keprcayaan presiden.
h. Peran eksekutif dan legislatif dibuat seimbang dengan sistem check and balances (Verney,
1995) Sistem presidensial dianggap dapat menciptakan stabilitas eksekutif karena didasarkan
pada masa jabatan presiden yang telah ditentukan dimana selama menjabat tidak ada yang
mengganggu gugat kecuali ada situasi yang tidak normal atau melanggar UUD yang telah
ditentukan. Ini berbeda dengan sistem parlementer, di mana pemerintah (kabinet) suatu waktu
dapat jatuh karena mosi tidak percaya. Apalagi kabinet terbentuk dari koalisi sderhana maka
akan rawan dari ancaman mosi tidak percaya. Meskipun dapat menciptakan stabilitas eksekutif,
namun bila terjadi konflik antara eksekutif dengan legislatif akan menemui jalan buntu dan
mandeg. Konflik menjadi tidak tersekesaikan dan akan berlarut-larut. Ini terjadi karena masing-
masing bertahan pada legitimasi yang dimiliki karena keduanya dipilih rakyat. Konflik ini akan
menjadi rumit manakala eksekutif dan legislatif berasal dari kekuatan politik (partai politik) yang
berbeda. Karena itu sistem presidensial dianggap kaku, Berbeda dengan sistem parlementer yang
dianggap pleksibel, karena apabila ada konflik antara parlemen dengan kabinet dengan mudah
diselesaikan, yaitu melalui mosi tidak percaya.Melalui mosi tidak percaya ini pemerintah dapat
diganti kapan saja (Lijphart, 1995).
Ketika era reformasi, di mana ada kebebasan sehingga tumbuh begitu banyak partai
politik, ternyata sistem presidensial tidak dapat menciptakan stabilitas.Mestinya, sesuai dengan
penjelasan UUD 1945 bahwa “Concentration of power in the hand of the president”, seharusnya
DPR (melalui MPR) tidak dapat menjatuhkan presiden.Artinya, berdasarkan UUD ini merupakan
sistem pemerintahan adalah presidensial sehingga dalam tinjauan model integrasi adalah Strong
Executive Model.Namun yang terjadi sebaliknya, DPR melalui MPR dapat menjatuhkan
presiden.Oleh karena itu yang dipraktikkan adalah sistem parlementer.Bila sistem parlementer,
seharusnya presiden dapat membubarkan DPR.Jadi ada ketidakjelasan pembagian kekuasaan
antara eksekutif dan legisltaive disini, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-
beda.Contoh aktualnya dari korban ketidakjelasan pembagian kekuasaan dalam 15 sistem
pemerintahan Indonesia adalah pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diturnkan di
tengah jalan oleh MPR.Meskipun presiden diberi kekuasaan yang besar (sebagai kepala
pemerintahan, kepala negara, fungsi legislative, dan fungsi yudikatif), tetapi kekuasaannya itu
suatu saat bisa dicabut oleh MPR.Inilah beberapa kasus struktur kekuasaan eksekutif dalam dua
varian sistem pemerintahan yang pernah diberlakukan di Indonesia.
Lembaga Yudikatif dalam bahasa Inggris sering di pakai judicial institution atau the
judiciary.file:///C:/Users/ACER/Downloads/241-Article%20Text-409-2-10-20200402.pdf