Professional Documents
Culture Documents
85 ArticleText 249 1 10 20180429
85 ArticleText 249 1 10 20180429
net/publication/325104464
CITATIONS READS
0 18,528
1 author:
Sudarto Murtaufiq
Islamic University of Lamongan
3 PUBLICATIONS 1 CITATION
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Sudarto Murtaufiq on 05 March 2019.
Sudarto Murtaufiq
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan
Email : murtaufiq@gmail.com
Pendahuluan
Fungsi penting filsafat pendidikan adalah untuk memberikan prinsip dan pijakan
bagaimana mengaktualisasikan tujuan pendidikan. Filsafat tersebut tentu harus memberikan
prinsip-prinsip dasar untuk memberikan jawaban atas pertanyaan filosofis, "pokok persoalan
apa; pengalaman dan kegiatan yang bermanfaat seperti apa yang harus direalisasikan oleh
sekolah atau lembaga pendidikan raison d'etre?"1
Kurikulum dianggap merupakan aspek penting dari ilmu pendidikan. Kurikulum adalah
isi pendidikan. Kurikulum adalah media di mana filsafat kehidupan berubah menjadi
kenyataan. Suatu kurikulum yang mengkonversi potensi menjadi tindakan, yang
mencerminkan kebijaksanaan sekaligus temuan dari para pemikir, pendidik, dan peneliti di
bidang pendidikan. Kurikulum dibutuhkan karena mencerminkan nilai-nilai masyarakat dan
media di mana nilai-nilai itu ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kurikulum mencakup semua pengalaman dari peserta didik yang menjadi bagian dari
tanggung jawab sekolah. Dalam arti luas, kurikulum dapat didefinisikan sebagai pengalaman
terorganisir bahwa seorang siswa senantiasa berada dalam bimbingan dan pengawasan
sekolah. Dalam arti yang lebih tepat dan terbatas, kurikulum adalah urutan sistematis mata
pelajaran yang menjadi payung bagi proses belajar mengajar di sekolah.2
Dalam pandangan filsafat tradisional, tujuan utama pendidikan adalah transmisi dan
pelestarian warisan budaya. Materi pelajaran disusun dalam hirarki, dengan memprioritaskan
1
Griese, A.A, Your Philosopby of Education: What is it? (Santa Monica, CA: Goodyear Publishing, 1981), 2.
Lihat juga Brightman E.S., Introduction to Philosophy (New York: Henery Holt&Co., 1925), 9; Ducasse, C.J.,
Philosophy of Art (New York: Dial Press, 1929), 3.
2
Hargreaves, A., Changing Teachers, Changing Times: Teachers Work and Culture in the Postmodern Age
(NewYork: Teachers College Press, 1994), 10.
materi pelajaran yang dianggap lebih umum dan signifikan. Filsafat pendidikan yang muncul
belakangan ini lebih menekankan pada proses pembelajaran. Kurikulum yang mengikuti ide
ini memanfaatkan kegiatan dan proyek, pola eksperimental dan pemecahan masalah yang
ditentukan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan peserta didik.3
Sengaja penulis paparkan sekilas tentang kurikulum lebih awal, karena ia adalah pintu
gerbang utama untuk mengetahui dan memahami aliran filsafat pendidikan sebagai dasar bagi
pengembangan kurikulum. Selain itu, tulisan ini juga mengajak para pembaca untuk
mengetahui dan memahami filosofi utama dan teori pendidikan; menganalisis filsafat dan
teori-teori pendidikan utama dalam tiga aspek: tujuan, kurikulum, dan metode pengajaran;
menjelaskan hubungan antara landasan filosofis pendidikan dan kurikulum.4
Arti Filsafat
Filsafat dalam arti harfiah berarti cinta kebijaksanaan. Dalam arti luas, filsafat adalah
upaya manusia untuk berpikir secara spekulatif, reflektif, dan sistematis tentang alam semesta
di mana dia hidup dan hubungannya dengan alam semesta. Tampilannya yang luar biasa
adalah upaya untuk mengevaluasi keseluruhan pengalaman manusia. Filsafat tidak
menambahkan fakta-fakta baru untuk pengetahuan yang ada. Filsafat mengkaji fakta-fakta
yang diberikan oleh para ilmuwan dan menganalisis makna, interpretasi, signifikansi dan nilai
dari fakta-fakta tersebut. Kebanyakan akan menerima ide bahwa filsafat adalah penyelidikan
yang sistematis dan logis akan kehidupan sehingga mampu membingkai gugusan ide-ide di
mana pengalaman manusia dapat dievaluasi. 5
Jika pendidikan adalah untuk mempromosikan perubahan yang lebih baik, maka
filsafat menentukan apa yang "baik" bagi sebagian masyarakat tertentu atau masyarakat
secara keseluruhan. Filsafat pendidikan, dengan demikian, adalah aplikasi filsafat untuk
mempelajari semua faktor yang mempengaruhi tujuan dan sasaran pendidikan, metode, isi dan
organisasi dalam hal nilai-nilai manusia yang bisa mempengaruhi sifat dan tujuan mereka
serta masyarakat secara luas.6
Ranah Filsafat
Metafisika berkaitan dengan hakikat realitas dan eksistensi. Para idealis melihat
kenyataan dalam terma nirmateri atau spiritual; para realis melihat kenyataan dalam suatu
urutan objektif dalam filsafat pendidikan; metafisika mengkaitkan realitas dengan isi,
pengalaman dan keterampilan dalam kurikulum. Ilmu-ilmu sosial dan alam adalah tempat
yang baik untuk mengajarkan realitas kepada peserta didik.7
Epistemologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan mengetahui dan berkaitan erat
dengan metode pengajaran dan pembelajaran. Para idealis melihat mengetahui atau
pembelajaran kognitif sebagai penyingkapan dari ide-ide yang laten dalam pikiran. Metode
yang paling tepat adalah metode Socratik di mana guru merangsang siswa dengan
mengajukan pertanyaan yang bertolak dari ide-ide yang tersembunyi dalam pikiran peserta
3
Ibid., 15.
4
Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles (London, Edward Arnold, 1923)
5
Sellers, R.W., The Principles and Problems of Philosophy (New York: The Macmillan Co., 1926), 3.
6
Dewey, J., Democracy and Education (New York: Simon & Brown, 2011), 386.
7
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy (New Delhi: Kanishka Publishers, 2002), 72-4, 78.
didik. Seorang guru yang menggunakan formula realis tentang sensasi dan abstraksi akan
mengembangkan kegiatan kelas yang memanfaatkan rangsangan sensorik. Para pragmatis
percaya bahwa orang belajar dengan berinteraksi dengan lingkungan; karenanya, pemecahan
masalah adalah metode belajar-mengajar yang sangat tepat.8
Aksiologi berkaitan dengan nilai-nilai. Aksiologi terbagi ke dalam etika dan estetika.
Etika bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan aturan perilaku yang tepat. Estetika
bersinggungan dengan nilai-nilai, dalam keindahan dan seni, guru dan masyarakat
memberikan reward terhadap perilaku tertentu yang lebih disukai dan menghukum perilaku
yang menyimpang dari konsep apa yang baik, benar dan indah. Para idealis dan realis sepakat
bahwa baik, indah dan benar berlaku secara universal di semua tempat sepanjang masa
sementara para pragmatis percaya bahwa nilai-nilai itu relatif dan bervariasi dalam waktu dan
tempat.9
8
Amélie Oksenberg Rorty, Philosophers of Education: Historical Perspectives (London & New York:
Routledge, 1998), 13. Lihat juga Muirnead, J.H., The Elements of Ethics (London: John Murray, 1895), 33.
9
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 41-2. Lihat juga Whitehead, A.N., Science and the
Modern World (New York: The Macmillan Co., 1926), 126-27. Bandingkan pula John Dewey, Philosophy and
Civilization (New York: G.P. Putnam's Sons, 1921), 6.
10
Ross, J.S., Ground Work of Educational Theory (London: George G. Harrap&Co., 1949). Lihat juga Ram
Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 87-88.
11
Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles (London, Edward Arnold, 1923), 221.
disarankan adalah dengan (mengajukan) pertanyaaan dan diskusi, kuliah dan tentu saja,
proyek, baik yang dilakukan secara individu atau kelompok.12
Hubungan guru - peserta didik. Guru harus baik secara mental dan moral dalam perilaku
dan keyakinan. Guru harus melatih keterampilan kreatif dan memberikan kesempatan bagi
pikiran peserta didik untuk menganalisis, menemukan, mensintesis dan menciptakan. Pesrta
didik dianggap belum matang dan perlu mencari perspektif dalam kepribadiannya sendiri.
Guru harus melihat perannya dalam membantu peserta didik untuk mewujudkan kepenuhan
kepribadiannya sendiri.13
2. Realisme
Realisme dapat didefinisikan sebagai posisi filosofis yang menegaskan 1) adanya tujuan
dunia dan permulaan-permulaan di dalamnya; 2) kemampuan mengetahui objek sebagaimana
ia ada dalam dirinya sendiri; 3 kebutuhan akan kesesuaian dengan realitas obyektif dalam
perilaku manusia.14
Kaum realis mengacu unsur-unsur universal manusia yang tidak berubah terlepas dari
waktu, tempat dan keadaan. Ini adalah watak universal yang membentuk unsur-unsur dalam
pendidikan manusia. Menurut kaum realis, pendidikan mengandaikan pengajaran, pengajaran
mengandaikan pengetahuan, pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah sama di
mana-mana. Oleh karena itu, pendidikan di mana-mana harus sama.15
12
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 99-100.
13
Ibid. Lihat juga Ross, James S. Groundwork of Educational Theory, 121.
14
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 106.
15
Ibid., 107-110.
16
Ibid., 112-3.
penting, memanfaatkan ukuran objektif. Motivasi bisa dalam bentuk imbalan untuk
memperkuat apa yang telah dipelajari.17
Hubungan guru - peserta didik. Guru adalah orang yang memiliki tubuh pengetahuan
dan yang harus mampu mentransmisikannya kepada siswa. Ini semacam hubungan yang
ditekankan dalam realisme. Pengajaran tidak harus mengindoktrinasi dan proses belajar
mengajar harus berlangsung interaktif. Guru mengoptimalkan minat siswa dengan
mengkaitkan materi pelajaran dengan pengalaman mereka. Guru menjalankan disiplin dengan
memberikan imbalan (reward), dan mengontrol siswa dengan pelbagai aktivitas.18
3. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma, artinya 'sesuatu yang dilakukan, sebuah
fakta yang dipraktekkan'. Doktrin ini menyatakan bahwa arti proposisi atau ide terletak pada
konsekuensi praktisnya. Filsafat ini menekankan bahwa pendidikan telah sia-sia jika tidak
melakukan fungsi sosial yang ditugaskan untuk itu.19
Kaum pragmatis mengklaim bahwa masyarakat tidak dapat memenuhi tugas pendidikan
tanpa sebuah lembaga yang dirancang untuk tujuan tersebut. Sekolah harus menjaga
hubungan intim dengan masyarakat jika ingin memainkan perannya dengan baik. Mereka juga
menegaskan bahwa sekolah harus bertujuan untuk institusi khusus dengan tiga sasaran: (1)
dirancang untuk mewakili masyarakat untuk anak dalam bentuk yang disederhanakan; (2)
selektif secara kualitatif, jika tidak etis, mengingat ia merepresentasikan masyarakat untuk
kaum muda; dan (3) bertanggung jawab dalam memberikan anak pemahaman yang seimbang
dan benar-benar representatif dengan masyarakat.20
17
Ibid., 115-6
18
Lihat Mackenzie, J.S., A Manual of Ethics (London: London University Tutorial Press Ltd., 1929)
19
John Dewey, Reconstruction in Philosophy (London: University of London Press Ltd., 1921), 38.
20
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Oxford University Press, 1960),
Introduction. Lihat juga Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 155-158.
21
Ibid.
22
Ibid., 160-1.
23
Ibid., 163.
pendidikan. Perenialisme adalah teori pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh prinsip-
prinsip realisme. Perenialisme memiliki pandangan yang konservatif / tradisional akan hakikat
manusia dan pendidikan. Kaum perenialis berpendapat bahwa kebenaran bersifat universal
dan tidak berubah, dan, karena itu, pendidikan yang baik juga universal dan konstan. 24
Tujuan Pendidikan - Bagi kaum perenialis, tujuan pendidikan adalah untuk memastikan
bahwa siswa memperoleh pemahaman tentang ide-ide besar dari peradaban Barat. Ide-ide ini
memiliki potensi untuk memecahkan masalah di era apapun.
Kaum perenialis memandang tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan
kekuatan pikiran. Mereka melihat tujuan universal pendidikan sebagai pencarian dan
penyebaran kebenaran. Mereka menganggap sekolah sebagai lembaga yang dirancang untuk
mengembangkan kecerdasan manusia.25
Robert Hutchins, juru bicara perenialisme yang paling artikulatif berpendapat bahwa
pendidikan harus menumbuhkan kecerdasan serta pengembangan harmoni dari semua daya
manusia. Tujuan utama pendidikan harus mengembangkan kekuatan pikiran. Dia juga
menggambarkan pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mengembangkan daya
intelektual.
Kurikulum. Fokusnya adalah untuk mengajarkan ide-ide yang kekal, untuk mencari
kebenaran abadi yang konstan, yang tidak berubah, sebagaimana dunia alam dan manusia
sebagai yang paling penting, yang tidak berubah. Mengajar prinsip-prinsip yang tidak berubah
ini adalah penting. Manusia adalah makhluk rasional, dan pikiran mereka perlu
dikembangkan. Dengan demikian, Pengembangan intelek adalah prioritas tertinggi dalam
pendidikan. Kurikulum berfokus pada pencapaian melek budaya, menekankan pertumbuhan
siswa dalam disiplin abadi. Prestasi paling mulia dari manusia harus ditekankan - karya besar
sastra dan seni, hukum atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Kaum perennialis memandang pendidikan sebagai proses berulang berdasarkan
kebenaran abadi; dengan demikian, kurikulum sekolah harus menekankan tema-tema
berulang kehidupan manusia. Kurikulum harus memuat pelajaran kognitif yang
menumbuhkan rasionalitas dan studi moral, estetika, dan prinsip-prinsip agama untuk
mengembangkan dimensi sikap. Kaum perenialis lebih memilih kurikulum materi pelajaran
yang meliputi sejarah, bahasa, matematika, logika, sastra, humaniora, dan ilmu pengetahuan. 26
Filsafat pendidikan Robert Hutchins didasarkan pada premis bahwa hakikat manusia
adalah rasional, dan pengetahuan menduduki kebenaran yang tidak berubah, mutlak, dan
universal. Dia menekankan bahwa pendidikan harus bersifat universal karena rasionalitas
hakikat manusia adalah universal. Hutchins menganjurkan kurikulum yang terdiri dari
muatan-muatan yang permanen dan abadi. Dia sangat menganjurkan studi pada warisan-
warisan klasik, atau karya-karya besar Peradaban Barat. Dia percaya bahwa membaca dan
mendiskusikan buku besar berguna dalam mengembangkan intelek dan menyiapkan siswa
untuk berpikir hati-hati dan kritis. Selain itu, ia juga menganjurkan studi tentang tata bahasa,
retorika, logika, matematika, dan filsafat.
24
William Edwin Segall, Anna Victoria Wilson, Introduction to Education: Teaching in a Diverse Society (New
York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004), 156.
25
Ibid.
26
Rosalinda A.San Mateo and Maura G. Tangco, Foundation of Education II: Historical, Philosophical, and
Legal Foundation of Education (Quezon City: Katha Publishing Co., Inc., 2013), 78-9.
Pendek kata, perenialisme mewakili pandangan teoritis konservatif yang berpusat pada
otoritas tradisi dan warisan-warisan klasik. Di antara prinsip-prinsip utama pendidikan adalah:
1. Kebenaran adalah universal dan tidak tergantung pada keadaan tempat, waktu, atau orang;
2. Pendidikan yang baik melibatkan pencarian dan pemahaman tentang kebenaran;
3. Kebenaran dapat ditemukan dalam karya besar peradaban; dan
4. Pendidikan adalah latihan liberal yang mengembangkan intelek.27
Metode. Kurikulum pendidikan perenialis berpusat pada materi, menggambarkan
pentingnya pada disiplin sastra, matematika, bahasa, sejarah dan humaniora. Kaum perenialis
menunjukkan bahwa cara terbaik untuk mencapai pengetahuan abadi adalah melalui studi
tentang karya-karya besar Peradaban Barat. Metode bisa dengan membaca dan mendiskusikan
karya-karya besar yang, pada gilirannya, disiplin, disiplin pikiran. Guru, dengan demikian,
harus menjadi orang yang sudah menguasai disiplin/materi, yang adalah seorang guru master
dalam hal mengarahkan pada kebenaran dan tidak memiliki karakter tercela. Guru harus
dilihat sebagai otoritas dan keahliannya tidak lagi dipertanyakan. Peran sekolah adalah
melatih pribadi-pribadi intelektual yang suatu hari akan menjadi pelita harapan di masanya
mendatang.
Para pendukung filsafat pendidikan ini adalah Robert Maynard Hutchins yang
mengembangkan program Karya Besar tahun 1963 dan Mortimer Adler, yang selanjutnya
mengembangkan kurikulum ini didasarkan pada 100 buku besar peradaban barat.
5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendekatan tradisional pada pendidikan yang sering disebut
sebagai "Kembali ke Dasar". Pada dasarnya, kaum esensialis berkepentingan dengan
kebangkitan upaya dengan mengajarkan alat pembelajaran sebagai jenis yang paling tak
terpisahkan dari pendidikan. Kaum esentialis percaya bahwa ada inti pengetahuan umum yang
perlu ditransmisikan kepada siswa secara sistematis, disiplin. Penekanan dalam perspektif
konservatif ini adalah pada standar intelektual dan moral yang harus diajarkan oleh sekolah. 28
Tujuan Pendidikan. Kaum esensialis menganggap tujuan pendidikan harus
mengarahkan manusia pada terbentuknya lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri
yang adil, terampil dan murah hati. Pembelajaran informal membantu, tapi ini seharusnya
hanya pelengkap dan sekunder. Kaum esentialis percaya bahwa keterampilan, pengetahuan
dan sikap yang dibutuhkan oleh individu yang bersesuaian dengan realitas kehidupan harus
direncanakan secara sistematis. Mereka menekankan otoritas guru dan nilai kurikulum materi
pelajaran.29
Kaum essensialis menyemaikan benih-benih program pendidikan mereka demi
terbentuknya 1) sebuah kurikulum yang baik; 2) penekanan pada sastra, matematika, sejarah,
dll; 3. nilai-nilai pendidikan prasangka; dan 4) pendidikan sebagai adaptasi individu pada
pengetahuan mutlak yang ada secara independen dari individu. 30
Kurikulum. Inti dari kurikulum adalah pengetahuan and keterampilan esensial serta
kekakuan akademis. Meskipun, filsafat pendidikan ini mirip dalam beberapa cara dengan
27
Ibid.
28
William Edwin Segall and Anna Victoria Wilson, Introduction to Education, 156.
29
Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education: A Reference Handbook (California: ABC-
CLIO, Inc., 2005), 46.
30
Lihat M.L. Dhawan, Philosophy of Education (New Delhi: Isha Books, 2005), 72-3.
perenialism. Kaum esentialis menerima gagasan bahwa kurikulum inti mungkin dapat
berubah. Sekolah harus praktis, mempersiapkan siswa untuk menjadi anggota yang berharga
dari masyarakat. Sekolah harus fokus pada fakta - realitas objektif di luar sana - dan yang
"mendasar", melatih siswa untuk membaca, menulis, berbicara, dan menghitung dengan jelas
dan logis. Sekolah seharusnya tidak mengatur atau mempengaruhi kebijakan. Siswa harus
diajarkan kerja keras, menghormati otoritas, dan disiplin.31
Kurikulum esensialis termasuk disiplin tradisional mulai dari matematika, sejarah, ilmu
pengetahuan alam, bahasa asing dan sastra. Pendidikan kejuruan dan filsafat dianggap tidak
perlu. Kurikulum esensialis menekankan pentingnya nilai-nilai moral tradisional yang bisa
mengantarkan siswa menjadi warga negara terhormat. Program akademik esensialis cukup
ketat.
Kaum esensialis percaya bahwa disiplin intelektual adalah fondasi penting kehidupan
modern. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk menyalurkan akumulasi pengalaman
manusia menjadi disiplin yang terorganisir, koheren dan tersendiri. Menguasai disiplin ilmu
dasar ini akan memungkinkan siswa dalam memecahkan masalah pribadi, sosial dan
kemasyarakatan.32
Di antara tema-tema umum ditemukan dalam sudut pandang kaum esensialis adalah: (1)
kurikulum SD harus bertujuan untuk menumbuhkan keterampilan alat dasar yang
berkontribusi terhadap literasi dan penguasaan perhitungan aritmatika; (2) kurikulum
sekunder harus mengembangkan kompetensi dalam materi sejarah, matematika, ilmu
pengetahuan, bahasa Inggris dan bahasa asing; (3) sekolah membutuhkan disiplin dan
menghormati otoritas yang sah; dan (4) belajar membutuhkan kerja keras dan perhatian yang
penuh disiplin.33
Metode. Ruang kelas tidak lebih dioreientasikan bagi guru dalam perhatiannya pada
kepentingan siswa. Nilai tes prestasi didasarkan sebagai sarana mengevaluasi kemajuan.
Maksud dari kurikulum esensialis adalah untuk membentuk siswa yang setelah lulus, akan
memiliki keterampilan dasar, memiliki pengetahuan tentang berbagai mata pelajaran dan siap
untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari ke dunia nyata.
Kaum esensialis tidak percaya dalam membangun generalisasi dengan metode induksi
yang lambat, melainkan dengan membimbing siswa dalam beberapa jam atau hari dalam
penguasaan hukum dan prinsip-prinsip umum kemudian menggunakan hukum dan prinsip-
prinsip tersebut dalam pemecahan masalah yang segera dan mendesak. Kaum esensialis
mengupayakan metode yang paling efektif dalam membentuk kebiasaan dan mengembangkan
keterampilan; dengan demikian, latihan menyelesaikan soal-soal memiliki kedudukan yang
penting di dalam kelas.
Kaum esensialis menekankan perlunya mengajar siswa bagaimana berpikir sistematis
dan efektif. Mereka percaya bahwa pemikiran yang efektif tidak dapat berlangsung dengan
melihat dunia secara massal atau dengan mengangkat pengetahuan sedikit demi sedikit.
Metode analisis yang sistematis dan sintesis sistematis harus digunakan; elemen penting
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Earle F. Zeigler and Harold J. Vanderzwaang, Physical Education: Progressivism or Essentialism (Campaign:
Stipes Publishing Company, 1968), 67-71.
34
Ibid.
35
Lihat John Dewey, Reconstruction in Philosophy, 38.
36
Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education, 46.
37
Ibid., 47.
sehingga menolak hambatan baik kelas, ras, atau keyakinan. Guru bertugas sebagai fasilitator
sedangkan siswa bekerja pada proyek-proyek mereka dan menyarankan cara lain untuk
melakukan proyek tersebut.38
Pendidikan progresif meninggalkan warisan yang ditandai dengan:
1. Penekanan pada anak sebagai peserta didik, bukan pada materi pelajaran;
2. Penekanan pada anak sebagai pesrta didik, bukan pada ketergantungan buku teks dan
hafalan;
3. Pembelajaran kooperatif, bukan pemblajaran kompetitif;
4. Tidak adanya rasa takut dan hukuman untuk tujuan disiplin.
Metode. Kaum progresif percaya bahwa pendidikan harus fokus pada seluruh anak,
bukan pada konten lain atau guru. Filsafat pendidikan ini menekankan bahwa siswa harus
menguji ide dengan percobaan aktif. Belajar berakar pada pertanyaan peserta didik yang
muncul melalui pengalaman. Belajar bersifat aktif, tidak pasif. Pesrta didik adalah pemecah
masalah dan pemikir yang membuat makna melalui pengalaman individualnya dalam konteks
fisik dan budaya. Guru yang efektif memberikan pengalaman sehingga siswa dapat belajar
dengan melakukan.39
7. Rekonstruktionisme
Sementara kaum progresif menekankan individualitas anak, maka kaum
rekonstruktionis lebih peduli dengan perubahan sosial. Mereka percaya bahwa sekolah harus
menghasilkan kebijakan dan kemajuan yang akan membawa reformasi tatanan sosial, dan
guru harus menggunakan kekuasaan mereka untuk memimpin yang muda dalam program
reformasi sosial. Kaum rekonstruktionis setuju filsafat pendidikan yang berbasis pada budaya
dan tumbuh dari pola budaya tertentu terkondisikan oleh kehidupan pada waktu tertentu di
tempat tertentu. Mereka percaya bahwa budaya adalah dinamis, bahwa manusia dapat
membentuk kembali budaya-nya sehingga ia membuka kemungkinan optimal untuk
pembangunan.40
Kaum rekonstruktionis mengatakan bahwa umat manusia dalam keadaan krisis budaya.
Jika sekolah merefleksikan budaya mereka, maka pendidikan hanya akan menularkan
penyakit sosial.41
Masyarakat harus merekonstruksi nilai-nilainya, dan pendidikan memiliki peran besar
dalam menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai budaya dan teknologi. Adalah tugas
sekolah untuk mendorong penyelidikan kritis terhadap warisan budaya dan menemukan
unsur-unsur yang akan dibuang dan unsur-unsur yang harus diubah.42
Tujuan Pendidikan. Pendidikan, bagi kaum rekonstruktionis bertujuan membangkitkan
kesadaran siswa tentang masalah sosial dan untuk secara aktif terlibat dalam pemecahan
masalah. Guru dan sekolah harus memulai penyelidikan kritis terhadap budaya mereka
sendiri. Sekolah-sekolah harus mengidentifikasi kontroversi dan inkonsistensi yang ada dan
mencoba memecahkan masalah-masalah kehidupan nyata. Kaum rekonstruktionis percaya
38
H. Rohrs and V. Lenhart (Eds), Progressive Education Across the Continents (Frankfurt am Main: Peter Lang,
1995)
39
Wilfred Carr, The Routledge Falmer Reader in Philosophy of Education (London: RoutledgeFalmer, 2005)
40
Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education, 48.
41
Ibid.
42
Ibid.
bahwa sekarang ada kebutuhan untuk kemerdekaan internasional. Perang polusi dan nuklir
tidak terbatas pada satu tempat tetapi dalam lingkup internasional.
Kurikulum. Kurikulum rekonstruksionis harus mencakup unsur-unsur pembelajaran
untuk hidup dalam lingkungan global. Dengan demikian, kaum rekonstruktionis mengusulkan
kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan masalah nasional dan internasional sebagai alat
untuk mengurangi konflik dunia.
Sekolah, oleh karena itu, menjadi pusat kontroversi di mana siswa dan guru
menekankan dan mendorong diskusi tentang isu-isu kontroversial dalam agama, ekonomi,
politik dan pendidikan; diskusi ini tidak hanya latihan intelektual.
Metode. Kaum rekonstruksionis umumnya akan berusaha untuk
menginternasionalisasikan kurikulum sehingga peserta didik akan belajar bahwa mereka
hidup di sebuah desa global. Sekolah dan guru menjadi insinyur sosial yang merencanakan
tindakan untuk sampai pada tujuan yang ditetapkan. Metode kelas akan berorientasi pada
masalah - siswa diminta untuk menyelidiki secara kritis warisan budaya. Guru serta siswa
membahas isu-isu kontroversial dan mereka didorong untuk berkomitmen dan aktif dalam
perubahan sosial. Siswa dan guru berpartisipasi dalam program perubahan sosial, pendidikan,
politik dan ekonomi sebagai sarana pembaharuan budaya secara keseluruhan. Kelas menjadi
laboratorium percobaan pada praktek sekolah yang akan memungkinkan manusia untuk
menangani masalah krisis budaya akut dan disintegrasi sosial.
8. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah cara melihat dan berpikir tentang kehidupan di dunia sehingga
lebih memprioritaskan pada individualisme dan subjektivitas. Kaum eksistensialis percaya
bahwa manusia adalah pencipta esensinya sendiri; ia menciptakan nilai sendiri melalui
kebebasan memilih atau preferensi individual. Pengetahuan yang paling penting bagi manusia
adalah pengetahuannya tentang realitas kehidupan berikut pilihan-pilihan hidup yang harus ia
ambil. Pendidikan adalah proses manusia dalam mengembangkan kesadaran akan kebebasan
memilih dan makna serta tanggung jawab.43
Tujuan Pendidikan. Pendidikan harus menumbuhkan intensitas kesadaran peserta didik.
Mereka harus belajar untuk mengakui bahwa sebagai individu mereka secara terus-menerus,
bebas, tanpa dasar, dan kreatif menentukan kebebasannya untuk memilih. Pendidikan harus
peduli dengan pengalaman yang efektif, dengan unsur-unsur pengalaman yang subjektif dan
personal. Tujuan pendidikan tidak dapat ditentukan di muka ataupun dipaksakan oleh guru
melalui sistem sekolah. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menentukan
pendidikannya sendiri.44
Kurikulum. Mata pelajaran hanyalah alat bagi realisasi subjektivitas. Belajar tidak
ditemukan dalam struktur pengetahuan maupun dalam disiplin yang terorganisir, tetapi dalam
kesediaan siswa untuk memilih dan memberi makna terhadap subjek/mata pelajaran.45
Kesimpulan
43
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 169.
44
Ibid., 176.
45
Ibid., 177.
itu universal dan tidak tergantung pada keadaan tempat, waktu, atau orang; (2) pendidikan
yang baik melibatkan pencarian dan pemahaman tentang kebenaran; (3) kebenaran dapat
ditemukan dalam karya-karya agung peradaban; dan (4) pendidikan adalah latihan liberal
yang mengembangkan intelek.
Esensialisme berfokus pada pengajaran pengetahuan akademik dan moral apapun yang
diperlukan untuk anak-anak untuk menjadi warga negara yang produktif. Esensialisme adalah
teori pendidikan konservatif dan muncul bertentangan dengan pendidikan progresif. Kaum
essentialis mendesak agar sekolah kembali ke dasar-dasar. Mereka percaya pada kurikulum
inti yang kuat dan standar akademik yang tinggi.
Tujuan esensialisme adalah untuk mentransmisikan warisan budaya dan
mengembangkan warga negara yang baik. Sekolah adalah tempat di mana anak-anak bisa
mempelajari apa yang mereka perlu tahu, dan guru adalah orang yang dapat mengajarkan
kepada siswa dalam hal-hal penting.
Progresivisme sebagian besar didasarkan pada keyakinan bahwa pelajaran harus tampak
relevan dengan minat dan kebutuhan siswa. Sehingga kurikulum sekolah progresif tersusun
berdasarkan pengalaman personal, minat, dan kebutuhan para siswa. Guru adalah “guide on
the side”, bukan “sage on the stage.” Kaum progresif mendukung strategi pembelajaran
seperti pembelajaran kooperatif dan rangsangan di mana siswa menjadi aktor utama.
Rekonstruksionisme adalah teori pendidikan yang menyerukan sekolah untuk
mengajarkan orang untuk mengontrol lembaga dan harus diatur sesuai dengan cita-cita
demokrasi. Kaum rekonstruksionist kontemporer memandang sekolah sebagai kendaraan
untuk perubahan sosial. Siswa harus diajarkan menganalisis peristiwa dunia, mengeksplorasi
isu-isu kontroversial, dan mengembangkan visi untuk dunia baru dan yang lebih baik.
Eksistensialisme. Kaum eksistensialis percaya bahwa manusia adalah pencipta
esensinya sendiri; ia menciptakan nilai-nilainya sendiri melalui kebebasan memilih atau
preferensi individual. Jenis pengetahuan yang paling penting adalah tentang realitas
kehidupan manusia dan pilihan yang setiap orang harus ambil.
Pendidikan adalah proses mengembangkan kesadaran tentang kebebasan memilih dan
makna serta tanggung jawab untuk pilihan seseorang. Subyek hanyalah alat bagi realisasi
subjektivitas. Belajar tidak ditemukan dalam struktur pengetahuan maupun dalam disiplin
yang terorganisir, tetapi dalam kesediaan siswa untuk memilih dan memberi makna terhadap
subjek materi.
Daftar Rujukan
A.N., Whitehead, Science and the Modern World. New York: The Macmillan Co., 1926.
Amélie Oksenberg Rorty, Philosophers of Education: Historical Perspectives (London &
New York: Routledge, 1998.
Brightman E.S., Introduction to Philosophy. New York,Henery Holt&Co., 1925.
Carr, Wilfred, The Routledge Falmer Reader in Philosophy of Education. London:
RoutledgeFalmer, 2005.
Dewey, J., Democracy and Education. New York: Simon & Brown, 2011.
Dhawan, M. L. Philosophy of Education. New Delhi: Isha Books, 2005.
Ducasse, C.J., Philosophy of Art. New York: Dial Press, 1929.
Griese, A.A, Your Philosopby of Education: What is it?. Santa Monica, CA: Goodyear
Publishing, 1981.
Hargreaves, A., Changing Teachers, Changing Times: Teachers Work and Culture in the
Postmodern Age. NewYork:Teachers College Press, 1994.
Harmon, Deborah A. & Jones, Toni Stokes. Elementary Education: A Reference Handbook.
California: ABC-CLIO, Inc., 2005.
Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding. London: Oxford University Press,
1960.
Mackenzie, J.S., A Manual of Ethics. London: London University Tutorial Press Ltd., 1929.
Mateo, Rosalinda A.San. and Tangco, Maura G. Foundation of Education II: Historical,
Philosophical, and Legal Foundation of Education. Quezon City: Katha Publishing Co.,
Inc., 2013.
Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles. London, Edward Arnold, 1923/
--------Reconstruction in Philosophy. London, University of London Press Ltd., 1921.
Rohrs H. and Lenhart, V. (Eds), Progressive Education Across the Continents. Frankfurt am
Main: Peter Lang, 1995.
Ross, J.S., Ground Work of Educational Theory. London: George G. Harrap&Co., 1949.
Rusk, Robert R. Philosophical Bases of Education. London: University of London Press,
1956.
Segall, William Edwin and Wilson, Anna Victoria. Introduction to Education: Teaching in a
Diverse Society. New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004.
Sellers, R.W., The Principles and Problems of Philosophy. New York: The Macmillan Co.,
1926.
Sharma, Ram Nath. Textbook of Educational Philosophy. New Delhi: Kanishka Publishers,
2002.
Zeigler, Earle F. and Vanderzwaang, Harold J., Physical Education: Progressivism or
Essentialism (Campaign: Stipes Publishing Company, 1968.