Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 17
Perencanaan Struktur Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa Berdasarkan SNI 03-2847-2002 Iswandi Imran Fajar Hendrik Penerbit ITB Bandung 1 Pendahuluan 1.1. Prinsip Dasar Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap gempa. Hal ini dapat dilihat pada berbagai kejadian gempa dalam beberapa tahun terakhir yang melanda beberapa daerah di Indonesia dan menyebabkan kerusakan berbagai sarana dan prasarana di daerah-daerah yang terkena dampak bencana tersebut Kondisi alam ini menyebabkan perlunya pemenuhan terhadap kaidah- kaidah perencanaan/pelaksanaan sistem struktur tahan gempa pada setiap struktur bangunan yang akan didirikan di wilayah Indonesia, khususnya yang dibangun di wilayah dengan kerawanan (risiko) gempa menengah hingga tinggi. Hal ini bertujuan agar pada saat terjadi gempa, struktur bangunan dapat bertahan dan melindungi penghuninya dari risiko bahaya gempa. Namun dalam kenyataannya, kaidah-kaidah perencanaan/pelaksanaan struktur bangunan tahan gempa tersebut belum sepenuhnya diterapkan pada pelaksanaan struktur bangunan di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya pada pelaksanaan struktur bangunan beton bertulang. Hal ini terlihat dari berbagai kerusakan yang terjadi pada struktur bangunan beton bertulang akibat gempa-gempa besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini (Gambar 1.1), seperti Gempa Aceh (Imran dkk., 2005), Gempa Yogya (Imran dkk., 2006), Gempa Sumbar (Imran dkk., 2007) dan Gempa Jabar (Imran dkk., 2009a). Kerusakan yang terjadi pada struktur bangunan akibat _gempa-gempa tersebut pada umumnya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut. Sistem bangunan yang digunakan tidak sesuai dengan tingkat kerawanan daerah setempat terhadap gempa. Rancangan struktur dan detail penulangan yang diaplikasikan pada dasarnya kurang memadai. Kualitas material dan praktik konstruksi pada umumnya kurang baik. Pengawasan dan kontrol pelaksanaan pembangunan kurang memadai. Pendahuluan 1 Gambar 1.1. _Kerusakan akibat Gempa (a) Gempa Sumbar (Imran dkk., 2007); (b) Gempa Aceh (Imran dkk., 2005) Agar hal yang sama tidak terjadi lagi, prinsip-prinsip dasar berikut perlu dipethatikan dalam perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan struktur bangunan beton bertulang tahan gempa, yaitu: Sistem struktur yang digunakan harus sesuai dengan tingkat kerawanan (risiko) daerah tempat struktur bangunan tersebut berada terhadap gempa. Aspek kontinuitas dan integritas struktur bangunan perlu diperhatikan. Dalam pendetailan penulangan dan sambungan-sambungan, unsur- unsur struktur bangunan harus terikat secara efektif menjadi satu kesatuan untuk meningkatkan integritas struktur secara menyeluruh. Konsistensi sistem struktur yang diasumsikan dalam desain dengan sistem struktur yang dilaksanakan harus terjaga. Material beton dan baja tulangan yang digunakan harus memenuhi persyaratan material konstruksi untuk struktur bangunan tahan gempa. Unsur-unsur arsitektural yang memiliki massa yang besar harus terikat dengan kuat pada sistem portal utama dan harus diperhitungkan pengaruhnya terhadap sistem struktur. Metode pelaksanaan, sistem quality control dan quality assurance dalam tahapan konstruksi harus dilaksanakan dengan baik dan harus sesuai dengan kaidah yang berlaku. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah besarnya gaya gempa yang diterima struktur bangunan pada dasarnya dipengaruhi oleh karakteristik gempa yang terjadi, karakteristik tanah tempat bangunan berada dan karakteristik struktur bangunan. Karakteristik struktur bangunan yang 2 Iswandi Imran & Fajar Hendrik, Perencanaan Struktur Gedung Beton... berpengaruh diantaranya bentuk bangunan, massa bangunan, beban gravitasi yang bekerja, kekakuan, dan lain-lain, Bentuk denah bangunan yang terbaik untuk menahan gempa adalah bentuk yang sederhana, simetris, dan tidak terlalu panjang. Rancangan bentuk massa bangunan yang memiliki tekukan yang besar idealnya harus dihindari. Apabila bentuk denah bangunan tidak dapat dibuat simetris, maka bagian yang menonjol_konstruksinya sebaiknya dipisahkan dari bangunan utama, Selanjutnya, distribusi kekakuan arah vertikal bangunan sedapat mungkin dibuat seragam dan menerus, tanpa loncatan, Perubahan kekakuan yang drastis harus dihindari. Selain itu, semakin besar massa yang ada pada bangunan semakin besar pula beban inersia yang timbul pada saat terjadi gempa, Oleh karena itu, massa bangunan sebaiknya dibuat seringan mungkin, Dalam hal ini, penggunaan unsur-unsur arsitektural yang memiliki massa yang besar harus dihindari. Berbagai aspek material dan perencanaan yang diuraikan di atas akan dibahas di dalam buku ini. Acuan yang digunakan adalah SNI Gempa atau SNI 03-1726-2002 (BSN, 2002a) untuk perhitungan beban gempa dan SNI Beton atau SNI 03-2847-2002 (BSN, 2002b) untuk persyaratan detailing struktur bangunan beton bertulang tahan gempa. Kedua dokumen tersebut masing-masing mengacu pada UBC (1997) dan ACI 318 (2002). 1.2 Konsep Desain Terhadap Beban Gempa Kriteria desain untuk struktur bangunan tahan gempa mensyaratkan bahwa bangunan harus didesain agar mampu menahan beban gempa 500 tahunan, sestiai dengan SNI Gempa yang berlaku, yaitu SNI 03-1726-2002 (BSN, 2002a). SNI gempa Indonesia ini mendasarkan beban gempa untuk desain sebagai gempa kuat. Dalam prosedur perencanaan berdasarkan SNI Gempa, struktur bangunan tahan gempa pada prinsipnya boleh direncanakan terhadap beban gempa yang direduksi dengan suatu faktor modifikasi respons struktur (faktor R), yang merupakan representasi tingkat daktilitas yang dimiliki struktur. Dengan penerapan konsep ini, pada saat gempa kuat terjadi, elemen-elemen struktur bangunan tertentu yang dipilih diperbolehkan mengalami plastifikasi (kerusakan) sebagai sarana untuk pendisipasian energi gempa yang diterima struktur. Elemen-elemen tertentu tersebut pada umumnya adalah elemen-elemen struktur yang perilaku plastifikasinya bersifat dakti] dan tidak mudah runtuh. Elemen- elemen struktur lain yang tidak diharapkan mengalami plastifikasi harus tetap berperilaku elastis selama gempa kuat terjadi, Pendahuluan 3 Selain itu, hierarki atau urutan plastifikasi yang terjadi harus sesuai dengan yang direncanakan. Salah satu cara untuk menjamin agar hierarki plastifikasi yang diinginkan dapat terjadi adalah dengan menggunakan konsep desain kapasitas. Pada konsep desain kapasitas, tidak semua elemen struktur dibuat sama kuat terhadap gaya dalam yang direncanakan, tetapi ada elemen-elemen struktur atau titik pada struktur yang dibuat lebih lemah dibandingkan dengan yang lain. Hal ini dibuat demikian agar hanya pada elemen-elemen atau titik tersebut kerusakan struktur akan terjadi pada saat beban maksimum bekerja pada struktur. Untuk menjamin agar proses plastifikasi hanya terjadi pada elemen-elemen struktur yang terpilih maka elemen-elemen struktur yang diharapkan tetap clastis pada saat gempa kuat terjadi harus didesain lebih kuat daripada elemen-elemen terpilih tersebut. Untuk mencapai hal ini, maka pada perencanaan elemen struktur yang diharapkan tetap elastis_perlu diaplikasikan faktor overstrength (kuat lebih). Hierarki plastifikasi yang terjadi kemudian harus diperiksa melalui suatu analisis pushover; dalam hal ini, hierarki atau urutan plastifikasi yang terjadi haruslah sesuai dengan yang direncanakan. Perlu diperhatikan bahwa struktur bangunan diharapkan tidak runtuh pada saat terjadi gempa kuat. Untuk menjamin hal ini, elemen-elemen struktur bangunan yang diharapkan mengalami plastifikasi harus diberi detailing penulangan yang memadai agar perilakunya tetap stabil walaupun telah mengalami deformasi inelastis yang besar. Ketentuan detailing yang ditetapkan dalam SNI 03-2847-02 (BSN, 2002b) untuk struktur beton bertulang, pada dasarnya dibedakan berdasarkan tingkat risiko kegempaan di daerah tempat struktur berada. Semakin tinggi risiko kegempaan suatu daerah, semakin ketat persyaratan detailing penulangan yang harus dipenuhi pada struktur bangunan yang berada di daerah tersebut. 1.3. Persyaratan Material Konstruksi Karakteristik material beton dan baja tulangan yang digunakan pada struktur beton bertulang tahan gempa akan sangat mempengaruhi perilaku plastifikasi struktur yang dihasilkan. Parameter material beton yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah nilai kuat tekan. Berdasarkan SNI 03- 2847-02, kuat tekan, f.’, untuk material beton yang digunakan pada struktur bangunan tahan gempa sebaiknya tidak kurang daripada 20 MPa (BSN, 2002b). Dengan kekuatan sebesar itu maka bangunan akan memiliki ketahanan yang baik terhadap lingkungan sehingga kinerjanya tidak akan mudah berubah seiring dengan bertambahnya umur bangunan 4 Iswandi Imran & Fajar Hendrik, Perencanaan Struktur Gedung Beton... Untuk baja tulangan, salah satu parameter yang paling berpengaruh terhadap perilaku plastifikasi yang dihasilkan pada elemen struktur tahan gempa adalah kondisi permukaan baja tulangan yang digunakan. Berdasarkan kondisi permukaannya, baja tulangan dapat dibagi dalam 2 jenis, yaitu baja tulangan polos dan baja tulangan ulir. Penggunaan tulangan polos sebagai baja tulangan elemen struktur dapat memberi dampak yang negatif terhadap kinerja plastifikasi yang dihasilkan. Kuat lekatan baja tulangan polos pada beton, yang pada dasarnya hanya terdiri atas mekanisme adhesi dan friksi, diketahui hanyalah sekitar 10% kuat lekatan tulangan ulir. Selain itu, degradasi lekatan akibat beban bolak-balik di saat terjadi gempa pada tulangan polos sangatlah drastis dibandingkan dengan degradasi lekatan pada tulangan ulir (Imran dkk., 2009b). SNI Beton yang berlaku saat ini, yakni SNI 03-2847-2002, hanya mengizinkan penggunaan baja tulangan polos pada tulangan spiral. Sedangkan untuk penulangan lainnya, disyaratkan untuk menggunakan baja tulangan ulir. Sebagai tambahan, parameter baja tulangan yang juga ikut berpengaruh terhadap perilaku plastifikasi elemen struktur yang dihasilkan adalah nilai kuat leleh, nilai faktor kuat lebih, dan nilai rasio kuat ultimit. Nilai-nilai parameter baja tulangan tersebut sebaiknya selalu berada dalam batas-batas yang diizinkan peraturan yang berlaku untuk mencegah terjadinya keruntuhan prematur pada sistem struktur yang direncanakan (SNI 03- 2847-02 Pasal 23 (BSN, 2002b)). SNI Beton (BSN, 2002b) membatasi nilai kuat leleh yang disyaratkan untuk bahan baja tulangan sebesar 400 MPa. Penggunaan baja tulangan dengan spesifikasi mutu yang lebih tinggi pada dasarnya dilarang. Pembatasan ini disebabkan oleh penggunaan bahan baja tulangan yang mutunya tinggi dapat menyebabkan timbulnya tegangan lekatan yang, tinggi antara baja tulangan dan beton. Hal ini pada akhimya dapat memicu kegagalan mekanisme lekatan pada elemen struktur beton bertulang, khususnya pada saat elemen struktur mengalami beban gempa yang sifatnya bolak-balik (siklik). Beberapa persyaratan geometri untuk elemen struktur SRPMK (Gistem Rangka Pemikul Momen Khusus) pada dasarnya diturunkan berdasarkan perilaku lekatan antara baja tulangan dan beton akibat beban balok-kolom, yang berdasarkan SNI-Beton ditetapKan Sebesar 20 kali hubungan balok-kolom tersebut. Persyaratan dimensi minimum kolom tersebut pads dasariya Tay bert untuk baja tulangan dengan mutu spesifikasi maksimum 400 MPa. Baja tulangan dengan spesifikasi mutu Pendahuluan 5 yang lebih tinggi tentunya akan membutuhkan persyaratan dimensi minimum kolom yang lebih besar. Nilai faktor kuat lebih (oversirength) material baja tulangan adalah rasio nilai kuat leleh aktual terhadap kuat leleh spesifikasi (yang disyaratkan). Parameter nilai kuat lebih diperlukan untuk perencanaan struktur yang berbasis pada konsep desain kapasitas dan digunakan untuk merencanakan elemen struktur yang diharapkan tetap elastik pada saat sendi plastis terbentuk di elemen struktur yang langsung berhubungan dengannya. Prinsip ini sebagai contoh digunakan pada perencanaan geser di lokasi yang berpotensi membentuk sendi plastis, seperti di daerah hubungan balok-kolom dan di daerah ujung-ujung elemen balok atau kolom. Berdasarkan SNI-03-2847-02 (BSN, 2002b), gaya geser rencana pada lokasi sendi plastis harus dihitung berdasarkan nilai kuat momen ujung terbesar yang mungkin terjadi di lokasi tersebut. Dalam penerapannya, momen- momen ujung tersebut, yaitu M,,, dihitung dengan menggunakan nilai kuat leleh baja tulangan yang diperbesar 1,25 kali, Perbesaran ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kuat lebih yang dimiliki oleh baja tulangan lentur yang digunakan. Prinsip yang sama juga diterapkan pada perencanaan daerah pertemuan balok kolom, yang berdasarkan peraturan yang berlaku harus memenuhi persyaratan "kolom kuat-balok lemah”, Dalam memenuhi persyaratan ini, elemen-elemen kolom yang merangka pada suatu hubungan balok-kolom harus memiliki kuat lentur yang 1,2 kali lebih besar dibandingkan dengan kuat lentur elemen-elemen balok yang merangka pada hubungan balok- kolom yang sama. Nilai perbesaran 1,2 tersebut pada dasamnya digunakan untuk mengakomodasi nilai overstrength yang dimiliki oleh baja tulangan Ientur balok. Panjang sendi plastis yang terbentuk pada ujung-ujung elemen struktur yang diharapkan mendisipasi energi gempa pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh nilai rasio kuat ultimit baja tulangan yang digunakan, yaitu nilai rasio kuat tarik aktual terhadap kuat leleh aktual baja tulangan, yang pada dasarnya merupakan cerminan sifat hardening material baja. Sifat hardening ini diperlukan agar dapat terjadi perambatan_ kelelehan (redistribusi) ke arah tengah bentang setelah tercapainya momen leleh pada penampang di dekat muka tumpuan (Gambar 1.2). Dengan terjadinya perambatan kelelehan ke arah tengah bentang, panjang sendi plastis yang dihasilkan akan bertambah panjang. Panjang pendeknya daerah sendi plastis tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kapasitas rotasi inelastis yang dapat diberikan elemen struktur sehingga daktilitas perpindahan 6 —_Iswandi Imran & Fajar Hendrik, Perencanaan Struktur Gedung Beton... (a) i i i aye SV Rosi send pasts 1 1 | 0 Gambar 1.2. _Sendi Plastis pada Sistem Kantilever: (a) Pembebanan; (b) Diagram Momen; (c) Rotasi Sendi Plastis struktur juga akan dipengaruhi. Jika baja tulangan yang digunakan memiliki nilai rasio kuat ultimit yang rendah, maka daktilitas struktur yang dihasilkan juga akan rendah. Dengan rendahnya tingkat daktilitas struktur, kinerja struktur dalam memikul gaya gempa akan menjadi berkurang. Berdasarkan SNI 03-2847-2002 Pasal 23 (BSN, 2002b), untuk desain elemen. struktur yang diharapkan memikul beban gempa, baja tulangan yang digunakan harus memenuhi ketentuan-ketentuan Kkhusus baja tulangan dengan mutu maksimum 400 MPa (BJTD40), sesuai ASTM A 706M-1993 (Tabel 1.1) atau ASTM A 615M-1993 (Tabel 1.2). Berdasarkan persyaratan ini, nilai kuat leleh aktual maksimum untuk baja tulangan ulir BJTD40 dibatasi 540 MPa. Kuat leleh aktual yang terlalu tinggi pada dasarnya sangat berbahaya bagi rancangan struktur bangunan tahan gempa. Oleh karena itu, spesifikasi produksi baja tulangan harus mencantumkan nilai batas atas kuat leleh yang diizinkan. Selain itu, nilai faktor kuat lebih individu baja tulangan, yaitu rasio antara kuat leleh aktual terhadap kuat leleh spesifikasi, dibatasi maksimum sebesar 540/400 = 1,35. Sedangkan rasio kuat tarik aktual terhadap kuat leleh aktual baja tulangan dipersyaratkan tidak boleh lebih kecil dari 1,25. Tidak semua baja tulangan yang tersedia di pasaran di Indonesia memenuhi persyaratan spesifikasi di atas. Berdasarkan hasil kajian Imran dkk. (2006), baja tulangan yang tersedia di pasaran pada kenyataannya lebih banyak yang bersifat non-compliance terhadap persyaratan di atas. Pendahuluan 7 Tabel 1.1. Spesifikasi Baja Tulangan Paduan Rendah (ASTM A 706M, 1993) Kuat tarik minimum, MPa 550% Kuat leleh minimum, MPa 400 | Kuat leleh maksimum, MPa 540 Perpanjangan minimal dalam 200 mm, % Ukuran diameter tulangan: = 10, 15, dan 20 14 + 25, 30, dan 35 12 + 45 dan 55 10 ‘ Kuat tarik tidak boleh Kurang dari 1,25 kali kuat leleh aktual Nllal kuat lebih maksimum batang individu = 1,35 Tabel 1.2. Persyaratan Baja Tulangan Karbon (ASTM A 615M, 1993) Mutu | Mutu | Mutu 300 Err Er) Kuat tarik minimum, MPa 500 600 700 Kuat leleh minimum, MPa 300 400 500 Perpanjangan minimal dalam 200 mm, % Ukuran diameter tulangan: + 10 ii 9 +15, 20 12 9 +25 8 +30 e a +35, 45, 55 7 6 Gambar 13a dan 1.3b memperlihatkan perbedaan perilaku_histeresis komponen struktur lentur yang ditulangi dengan baja tulangan yang memenuhi dan tidak memenuhi persyaratan SNI Beton Pasal 23. Kedua komponen struktur direncanakan dengan asumsi bahan baja tulangan yang, digunakan memenuhi persyaratan SNI Beton. Berdasarkan kurva histeresis yang dihasilkan dapat disimpulkan bahwa komponen struktur dengan baja tulangan yang tidak memenuhi persyaratan SNI Beton memperlihatkan perilaku histeresis yang tidak stabil (Gambar 1.3b). Terlihat adanya degradasi kekakuan dan kekuatan yang cukup signifikan seiring dengan peningkatan deformasi yang diberikan. Perilaku histeresis yang jauh lebih baik diperlihatkan oleh komponen struktur yang diberi baja tulangan yang memenuhi persyaratan SNI Beton (Gambar 1.3a). 1.4 Sistem Struktur Beton Bertulang Penahan Beban Gempa Acuan dalam perencanaan bangunan beton bertulang tahan gempa di Indonesia adalah Standard Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 1726-2002) dan Tata Cara Perhitungan Struktur 8 Iswandi Imran & Fajar Hendrik, Perencanaan Struktur Gedung Beton... (a) (b) Gambar 1.3. _ Kurva Histeresis (a) SNI Compliance; (b) SNI Non- Compliance (Imran dkk., 2008) Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002) Bab 23. Aturan detailing pada dasamya diatur dalam SNI 03-2847-2002 (BSN, 2002b). Berdasarkan aturan ini, detailing dibedakan berdasarkan tingkat kerawanan daerah tethadap gempa. Pada peta zonasi gempa dalam peraturan gempa yang berlaku (SNI 03-1726-2002), Indonesia dibagi atas 6 zona kegempaan, yaitu zona gempa 1 dan 2 (wilayah dengan risiko (kerawanan) gempa rendah}, zona gempa 3 dan 4 (wilayah dengan risiko gempa menengah) dan zona gempa 5 dan zona gempa 6 (wilayah dengan risiko gempa tinggi). Tabel 1.3 memperlihatkan korelasi terminologi kegempaan dalam beberapa aturan yang ada. Tabel 1.3. Korelasi Terminologi Kegempaan dalam Beberapa Aturan yang Ada Rendah Menengah Tinggi SNI Pasal 23.2.1.2. | SNI Pasal 23.2.1.3_| SNI Pasal 23.2.1.4 IBC 2003, 2006; NFPA 5000, 2003; ASCE 7- 02, 7.05, NEHRP SDC A,B SDCC SDCD, E, F 1997, 2000 Unio sulting Cote | sermic zone 0,1 | SesmieZone2 | Sesmic zone 3,4 SNI 1726-2002 Seismic Zone 1, 2 Seismic Zone 3, 4 Seismic Zone 5, 6 Note: SDC* = Seismic Design Category Menurut SNI 03-2847-2002 (Purwono dkk., 2007), bangunan yang berada pada zona dengan risiko gempa tinggi (yaitu zona 5 dan 6) harus direncanakan dengan menggunakan sistem struktur penahan beban lateral yang memenuhi persyaratan detailing yang khusus atau memiliki tingkat Pendahuluan 9 daktilitas penuh. Sedangkan bangunan yang berada di zona gempa 3 dan 4 (yaitu zona dengan resiko gempa menengah) harus direncanakan minimum dengan menggunakan sistem struktur yang memenuhi persyaratan detailing menengah. Jadi, sistem struktur bangunan penahan beban lateral di zona dengan risiko gempa menengah harus direncanakan agar memiliki paling tidak tingkat daktilitas sedang. Berdasarkan SNI 03-2847-02, sistem struktur dasar penahan beban lateral secara umum dapat dibedakan atas: (1 Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) 1 Sistem Dinding Struktural (SDS) Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) adalah sistem rangka ruang di mana komponen-komponen struktur balok, kolom, dan join-joinnya menahan gaya-gaya yang bekerja melalui aksi lentur, geser, dan aksial. SRPM dapat dikelompokkan sebagai berikut (Tabel 1.4): © Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB): Suatu sistem rangka yang memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 3 hingga pasal 20 SNI 03- 2847-2002, Sistem rangka ini pada dasarnya memiliki tingkat daktilitas terbatas dan hanya cocok digunakan di daerah dengan risiko gempa yang rendah (Zona 1 dan 2). © Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM): Suatu sistem rangka yang selain memenuhi ketentuan-ketentuan untuk rangka pemikul momen biasa juga memenuhi ketentuan-ketentuan detailing Pasal 23.2(2(3)) dan 23.10. Sistem ini pada dasarnya memiliki tingkat daktilitas sedang dan dapat digunakan di zona 1 hingga zona 4. © Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK): Suatu sistem rangka yang selain memenuhi ketentuan-ketentuan untuk rangka pemikul momen biasa juga memenuhi ketentuan-ketentuan 23.2 sampai dengan 23.5, Sistem ini memiliki tingkat daktilitas penuh dan wajib digunakan di zona 5 dan 6. Sistem Dinding Struktural (SDS) adalah dinding yang diproporsikan untuk menahan kombinasi gaya geser, momen, dan gaya aksial yang ditimbulkan gempa. Suatu “dinding geser” (shearwall) pada dasarnya_merupakan dinding struktural. Dinding. struktural dapat dikelompokkan sebagai berikut. + Dinding Struktural Beton Biasa (SDSB): Suatu dinding struktural yang memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 3 hingga pasal 20 SNI 03-2847- 10 Iswandi Imran & Fajar Hendrik, Perencanaan Struktur Gedung Beton... 2002. Sistem dinding ini memiliki tingkat daktilitas terbatas dan boleh digunakan di zona 1 hingga zona 4. + Dinding Struktural Beton Khusus (SDSK): Suatu dinding struktural yang selain memenuhi ketentuan untuk dinding struktural beton biasa juga memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 23.2 dan 23.6. Sistem ini pada prinsipnya memiliki tingkat daktilitas penuh dan harus digunakan di zona 5 dan 6. Tabel 1.4, Ketentuan Pasal 23.2 SNI 03-2847-2002 Peetu Roel Cours Sistem Rangka Pemikul Momen = SRPMB (Bab 3 - Bab 20) 3635 = SRPMM (Pasal 23.10) 5655 = SRPMK (Pasal 23.3 - 23.5) 8~8,5 Sistem Dinding Struktural = SDSB (Bab 3 ~ Bab 20) 4045 = _SDSK (Pasal 23.6) 5,565 ~ | Sistem Rangka Pemikul Momen - SRPMM 5655 = SRPMK 8~ 8,5 __| Sistem Dinding Struktural _|- spsB 4645 @-| -_ SDSK 5,5 ~ 6,5 Sistem Rangka Pemikul Momen — SRPMK a~ BS Sistem Dinding Struktural = SDSK 55~65 Tabel 1.5 memperlihatkan pasal-pasal SNI Beton yang terkait dengan perencanaan berbagai elemen struktur beton bertulang penahan beban lateral. Perlu dicatat bahwa SNI 03-2847-2002 Pasal 23 tidak berlaku untuk daerah dengan risiko (kerawanan) gempa yang rendah. Dalam hal ini, ketentuan mengenai desain atau detail khusus tidak perlu dipenuhi dalam perencanaan sistem struktur di daerah tersebut. Ketentuan SNI Beton di pasal-pasal lain pada dasarnya telah cukup untuk memberikan tingkat ketahanan yang diperlukan struktur SRPMB dan SDSB pada kondisi intensitas gempa rendah. Pendahuluan 11 pe Ee eee Tabel 1.5. _ Pasal-pasal pada SNI Beton Pasal 23 yang Harus Dipenuhi untuk Rancangan Tahan Gempa Pouca cur! Race a Pour arte dinyatakan Rene n Cur ‘Sedang Tinggi (23.2.1.3) Elemen rangka portal - 23.10 23.2; 23. 23.4; 23.5 Dinding struktural dan balok coupling (perangkai) - . 23.2; 23.6 Diafragma dan rangka 2 o 5 batang struktural 23.2; 23.7 Pondasi - - 23.2; 23.8 Komponen yang tidak didesain untuk menahan 23.9 gaya yang ditimbulkan " oleh gerakan gempa 4.10.1 Beton tanpa tulangan 24.4 24.4 24. CGiian esa vara lsh Hwa mens jue person prsersan SAT O2-2007-03 Fs Gambar 1.4 memperlihatkan contoh bangunan gedung yang didesain sebagai Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM). Perilaku SRPM dalam memikul beban lateral akibat gempa pada dasarnya berbeda dengan perilakunya dalam menahan beban gravitasi (Gambar 1.5). Akibat beban lateral, pola deformasi pada balok dan kolom cenderung membentuk titik belok di daerah tengah bentang balok dan kolom (Gambar 1.6). Mata ce erties occ AA ah ah ah eh Hal MMR ™® es Gambar 1. Contoh Gedung yang Didesain sebagai jistem Rangka Pemikul Momen 12. Iswandi Imran & Fajar Hendrik, Perencanaan Struktur Gedung Beton... enbebaran dan dfomasi Nomen strat (b) Gambar 1.5. _Respons SRPM (a) Terhadap beban gravitasi; (b) Terhadap beban lateral (beban gempa) Denah ‘Tampak Gambar 1.6. Portal Balok-Kolom Penahan Beban Lateral Gambar 1.7 memperlihatkan contoh bangunan gedung dengan dinding struktural sebagai bagian dari sistem penahan beban lateral. Pola deformasi sistem dinding struktural pada dasarnya memperlihatkan pola deformasi elemen kantilever (Gambar 1.8), Untuk mengakomodasi adanya bukaan yang terkadang difungsikan sebagai koridor bangunan, sistem dinding struktural dapat dibuat dengan menggunakan sistem dinding, berangkai, yaitu dua buah dinding struktural yang disatukan dengan balok perangkai (Gambar 19). Pendahuluan 13 bap bd il DA aS eal tol OLA Gambar 1.7. Sistem Rangka Dinding Penahan o jeban Lateral Deformasi goser Kolom tap una meet gravity frames baie Denah Tampak Gambar 1.8, Sistem Dinding Geser (Shearwall) Pada praktiknya, sistem struktur penahan beban lateral dapat dibuat sebagai sistem ganda, yaitu kombinasi dari sistem rangka penahan momen dan sistem dinding struktural (Gambar 1.10). Berdasarkan SNI 03-1726- 2002, sistem rangka penahan momen pada sistem ganda harus mampu menahan minimum 25% beban lateral total yang bekerja pada struktur bangunan. 14 Iswandi Imran & Fajar Hendrik, Perencanaan Struktur Gedung Beton... . + Hole shearwall | » —e—_ = Denah Gambar 1.9. Denah Gedung »#—__#__s __»—__»—__ —_+— +—__+—_ Hole shearwall +—+ Denah Gambar 1.10. —|— Gravity frames Coupling beams (balok perangkei) dengan Sistem Dinding Berangkai 4 4 4} 4 Lateral frames - 25% of lateral load, minimum ‘Shearwall Sistem Ganda Dinding-Portal Pendahuluan

You might also like