Konflik Agraraidi Polombangkeng

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

GENEALOGI KONFLIK AGRARIA

DI POLONGBANGKENG TAKALAR
Taufik Ahmad
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
E-mail: taufik_mukarrama@yahoo.com

Diterima: 5-5-2014 Direvisi: 12-6-2014 Disetujui: 18-6-2014

ABSTRACT
In the early decade of the reform era, the agrarian conflicts increase dramatically and spread over various
economic sectors: plantation, forestry, mining, and even at various development projects of government and private
business. This is one of the strategic issues that the government must solve, given that the agrarian conflict has
hurt many parties and many casualties. This article aims to explain the genealogy of the agrarian conflict that
happened between farmers and PT PN XIVV, in Polongbangkeng, Takalar regency, South Sulawesi. By using
historical perspective, collecting archival sources, interviewing actors involved, this article shows that the bases
of the agrarian conflict in the reform era basically cannot be separated from political and economic developments
that in turn brought impact on political and economic polarization within local community. The presence of Barisan
Tani Indonesia, practices of land reform policy issued by government, the involvement of the noblemen (Karaeng)
in the farmer land acquisitions in terms of gaining profit for them selves, followed by the loosening of patron-client
relationship between Karaeng and farmers, all this became the genealogy of agrarian conflicts in the following
periode of time. The loosening relationship between farmers-karaeng was sharpened by new aliances of karaeng
with military and corporation during the New Order regime on the one hand. On the other hand, the farmers were
marginalized by karaeng-bureaucrats, corporation from gaining economic access such as the limitation of land
use and job opportunity in corporation. The accumulation of farmers’s grievances has found its form in violent
acts in the early decade of Reform Era, where political climate has given room for society to take protest openly.

Keywords: Agrarian conflict, economic polarization, political development, sugar factory, Polongbangkeng,
Takalar regency, South Sulawesi

ABSTRAK
Pada dekade awal reformasi, konflik agraria meningkat secara dramatis dan tersebar di berbagai sektor ekonomi:
perkebunan, kehutanan, pertambangan, bahkan pada berbagai proyek pembangunan pemerintah dan swasta. Konflik
ini adalah salah satu isu strategis yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah, mengingat bahwa konflik agraria
telah menelan banyak korban dan kerugian berbagai pihak. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan dasar dari
konflik agraria yang terjadi antara petani dan PT PN XIVV, di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar, Sulawesi
Selatan. Dengan menggunakan perspektif sejarah, mengumpulkan sumber-sumber arsip, wawancara aktor yang
terlibat, artikel ini menunjukkan bahwa dasar dari konflik agraria di era reformasi pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan politik dan ekonomi yang pada gilirannya juga berdampak pada polarisasi politik
dan ekonomi dalam masyarakat setempat. Kehadiran Barisan Tani Indonesia (BTI), praktik-praktik kebijakan land
reform yang dikeluarkan oleh pemerintah, keterlibatan para bangsawan (Karaeng) yang memperoleh keuntungan
bagi diri mereka dalam akuisisi lahan petani, diikuti dengan melonggarkan hubungan patron-klien antara Karaeng
dan petani menjadi genealogi konflik agraria pada periode-periode berikutnya. Melonggarnya hubungan antara
petani-Karaeng dipertajam oleh aliansi baru Karaeng dengan militer dan korporasi selama rezim Orde Baru di
satu sisi. Di sisi lain, petani terpinggirkan oleh peran Karaeng-birokrat dan korporasi dalam mendapatkan akses
ekonomi, seperti pembatasan penggunaan lahan dan kesempatan kerja di perusahaan. Akumulasi dari kekecewaan
petani menjadi nyata dalam bentuk tindak kekerasan pada dekade awal era reformasi ketika iklim politik telah
memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan protes secara terbuka.

Kata kunci: Konflik agraria, polarisasi ekonomi, pembangunan politik, pabrik gula, Polongbangkeng, Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan

145
PENDAHULUAN akhir. Selain itu, konflik agraria justru semakin
Sejak berakhirnya Orde Baru, konflik agraria memperlihatkan gejala akan meledak setiap saat.
memperlihatkan grafik yang terus menaik. Kon- Artikel ini mencoba menelusuri akar-akar
flik ini tampaknya bergerak dalam berbagai sektor konflik agraria dengan mengambil kasus konflik
ekonomi, baik di perkebunan, kehutanan, pertam- agraria antara petani dan Pabrik Gula Takalar
bangan maupun pada proyek-proyek pembangun- di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar, Sulawesi
an pemerintah. Konsorsium Pembaruan Agraria Selatan. Konflik agraria berhubungan erat dengan
(KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2004 struktur pemilikan tanah yang timpang serta
sampai 2013 terdapat 987 konflik agraria dengan implikasi pelaksanaan land reform dalam bidang
luas wilayah sengketa mencapai 3.680.974,58 sosial dan politik yang mengakibatkan perubahan
ha dan kecenderungan kasus serupa akan terus dan ketegangan yang berpotensi memunculkan
bermunculan. Tingginya jumlah konflik agraria konflik tanah. Sebagai sebuah studi awal, per-
ini merupakan wujud dari mandeknya pelaksa- soalan utama studi meliputi aspek-aspek sejarah
naan agenda reforma agraria. Persoalan agraria agraria di Polongbangkeng yang dilihat dari
ini merupakan isu strategis yang perlu mendapat relasi antara petani dan tuan tanah (karaeng-
perhatian karena menyangkut persoalan hidup bangsawan), kontrol dan penguasaan tanah,
rakyat Indonesia. perubahan politik, sosial dan ekonomi desa,
yang kesemuanya berkontribusi penting terhadap
Konflik agraria bukanlah fenomena baru,
munculnya konflik agraria di Polongbangkeng.
tetapi telah terjadi sejak periode kolonial. Adanya
kontrol Pemerintah Belanda atas tanah berdasarkan Dengan menggunakan perspektif sejarah
asas domain negara dan sebuah konsep legal-politik dan menempatkan fokus pada perubahan serta
yang hegemonik melayani pemerintah kolonial menelusuri akar-akar konflik agraria pada tiga
untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan rezim yang berbeda, artikel ini memaparkan dua
kapitalis Eropa dengan hak-hak penggunaan bahasan. Pertama, pembahasan tentang konteks
tanah dalam bentuk sewa (erpachtrecht) selama perkembangan konflik dengan meng amati
75 tahun (Rachman 2012) mengakibatkan rakyat beberapa proses yang terjadi dalam struktur
langsung merasakan akibat politik agraria kolo- sosial desa di Polongbangkeng sebagai akibat
nial Belanda ini, yaitu berupa kemiskinan dan dari perubahan-perubahan pola penggunaan
kesengsaraan. Setelah kemerdekaan Indonesia, dan penguasaan tanah. Kemudian konsekuensi
meskipun menjadi agenda utama yang ditandai perkembangan stratifikasi dan polarisasi ekonomi
dengan disahkannya Undang-Undang Pokok desa juga dijelaskan dengan melihat munculnya
Agraria (UUPA) Tahun 1960, program reforma garis pemisah antara petani dan tuan tanah, yang
agraria tidak terlaksana dengan baik karena memperoleh bentuk organisasi melalui struktur
administrasi agraria yang kacau dan adanya kon- kepartaian pada tahun 1950–60-an. Bagian ini
flik politik-ideologi. Pada periode Orde Baru, juga menguraikan munculnya isu/persoalan re-
persoalan agraria kemudian malah mengalami forma agraria di Polongbangkeng sebagai salah
pengendapan ketika paradigma pembangunan satu faktor yang mempertajam pertentangan
mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke antara petani dan tuan tanah. Kedua, pembahasan
dalam sistem kapitalisme melalui ekspansi tentang lahirnya Orde Baru yang mematikan
pasar dan kebijakan negara yang memfasilitasi perjuangan reforma agraria dan memunculkan
investasi. Negara juga melakukan kontrol yang program pembangunan yang menjadikan tanah
kuat terhadap semua elemen masyarakat sehingga sebagai pasar, yang ditandai dengan berdirinya
petani tidak memiliki ruang akses politik dan Pabrik Gula Takalar beserta segala prosesnya.
ekonomi untuk memperjuangkan kepentingan Studi tentang konflik agraria dari berbagai
mereka. Akibatnya, bukannya menyelesaikan per- perspektif telah banyak dilakukan. Wahyudi
soalan petani secara adil, tetapi malah melibatkan (2005) dan Mustain (2007) melakukan studi
banyaknya aktor/elite sehingga persoalan petani gerakan petani di Kalibakar Malang Selatan
hanya berujung pada janji dan debat tanpa solusi dalam menghadapi PTPN XII. Wahyudi lebih

146 | Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (2), Desember 2014


memfokuskan pada formasi dan struktur gerakan saat yang sama terlihat semangat reforma agraria
serta jaringan-jaringan pendukung gerakan petani. cenderung dipolitisasi oleh partai politik dan
Sementara Mustain lebih melihat bahwa gejolak organisasi petani berhaluan kiri demi kepentingan
dan resistensi yang dilakukan oleh petani dipicu politik mereka sendiri.
oleh faktor ekonomi dan ketimpangan kepemi- Studi-studi yang disebutkan sebelumnya
likan tanah. Namun, dibalik faktor ekonomi terse- berguna untuk mempertajam analisis mengenai
but, secara politik resistensi petani muncul untuk genealogi konflik agraria di pedesaan Polongbang-
menolak kebijakan negara mengenai masalah pe- keng, Takalar. Konflik yang terjadi di Polobang-
nguasaan pertanahan yang cenderung eksploitatif keng antara petani dan Pabrik Gula Takalar tidak
dan mengutamakan pemodal. Lain halnya dengan dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan agraria
persoalan agraria di Sulawesi Selatan yang dapat yang telah lama mengakar yang seharusnya dili-
dilihat dari studi Heddy Shri Ahimsa Putra (1993) hat dari perubahan-perubahan yang terjadi dari
yang menjelaskan politik agraria di Bantaeng Su- pola hubungan petani-bangsawan, negara, militer
lawesi Selatan pada tahun 1833–1990. Studi ini dalam perkembangan politik lokal dan nasional.
memperlihatkan transformasi hubungan patron- Belajar dari monografi. Lyon (2008) yang mene-
client dan perubahan politik agraria yang terjadi laah dasar-dasar konflik di pedesaan Jawa, studi
seiring dengan perubahan-perubahan politik dan ini juga memberi ruang yang cukup banyak untuk
pergantian rezim dari periode ke periode. menganalisis kondisi pedesaan Polongbangkeng
Pada tahun 1950–60-an program reforma yang bersifat ekploratif; maksudnya menemukan
agraria di Sulawesi Selatan memperlihatkan genealogi konflik yang menjurus pada tindak ke-
daya tariknya. Tampaknya, persoalan agraria pada kerasan di era reformasi yang melibatkan petani
tahun 1950–60-an telah menjadi agenda nasional Polongbangkeng, aparat keamanan dan Pabrik
dan selalu menjadi isu yang menarik bagi partai- Gula Takalar. Dengan menggunakan perspektif
partai politik di daerah, utamanya yang berbasis sejarah yang menekankan pada proses dan waktu,
petani. Reforma agraria sebagai suatu gerakan studi ini diharapkan akan memberi sumbangan
populis tidak lepas dari upaya partai politik dalam yang signifikan terhadap pemahaman utuh,
mencari dukungan. Reforma agraria tidak hanya menyeluruh mengurai sumber-sumber konflik
mengandung tujuan memperbaiki ketimpangan agraria di Indonesia. Dengan demikian, resolusi
agrarian, tetapi juga menjadi magnet bagi partai- konflik agraria yang selama ini cenderung instan,
partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia menggunakan kekerasan fisik, perlu ditinjau
(PKI) yang paling antusias memperjuangkan kembali. Kasus konflik agraria di Polobangkeng
tanah untuk petani. Bukan hanya dari kalangan menjadi jendela untuk melihat hubungan sosial
partai, isu reforma agraria juga mendapat per- antarmasyarakat dan pemimpinnya yang timpang
hatian dari kalangan militer. Hasil penelitian dan semakin dipertajam dengan pemimpinnya
Bigalke (2005: 241) menjelaskan secara detail (karaeng) yang mencari posisi baru, aliansi
mengenai dukungan militer, Batalyon Dipone- baru untuk kepentingan dirinya, seiring dengan
goro yang sedang bertugas dalam penumpasan perubahan kebijakan pemerintah dan rezim.
DI/TII Kahar Muzakkar pada pengembangan
Barisan Tani Indonesia dalam program reforma
agraria. Polarisasi Tanah, Politik, dan
Kemudian, studi Ahmad (2009) mengung-
Ekonomi Desa
kapkan berbagai aspek tentang struktur dan Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, ber-
ketimpangan agraria sebagai salah satu persoalan dasarkan domain yang diatur dalam Agrarische
yang mengakar dan menjadi salah satu sumber Recht 1870, pemilik perkebunan swasta memiliki
konflik. Penguasaan tanah oleh golongan bang- kesempatan untuk mendapatkan hak milik (ei-
sawan dan dominasi militer di dalamnya menjadi gendom) dan hak sewa tanah (erfpacht) dalam
kendala utama pelaksanaan reforma agraria. Studi jangka waktu panjang dengan biaya murah.
Ahmad memberikan pemahaman awal tentang Akibatnya, eksploitasi tanah secara besar-besaran
kerapuhan struktur agraria tahun 1960-an. Pada menggeser sebagian tanah masyarakat menjadi

Taufik Ahmad | Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar ... | 147


tanah eigendom dan erfpacht dan mempercepat Kepemilikan dan kontrol atas tanah oleh
proses pengepingan tanah, yang pada gilirannya karaeng di Polongbangkeng ibarat pisau bermata
mengakibatkan adanya ketimpangan pemilikan dua, keduanya dapat berfungsi secara bersamaan.
tanah dalam masyarakat (Syarief 2002: 104). Kepemilikan berkenaan dengan penguasaan
Domain tersebut kemudian pada masa Pemerin- secara de facto atas tanah, sedangkan kontrol
tahan Belanda menjadi dasar pelaksanaan Hak atas tanah mencakup derajat pengendalian yang
Guna Usaha yang menciptakan sejumlah masalah diperoleh melalui berbagai transaksi (Lyon 2008).
pertanahan, terutama pada sektor perusahaan per- Di Polongbangkeng, pengendalian tanah dapat
kebunan, termasuk di Polongbangkeng ketika diperoleh melalui kontrak, pegadaian atau biasa
proyek pengembangan perkebunan tebu digiatkan. disebut tesang. Biasanya, karaeng mengontrol
Di Polongbangkeng, berdasarkan sistem adat tanah petani meskipun tanah tersebut bukan hak
tradisional, terdapat tanah-tanah yang dikuasai oleh miliknya. Kontrol ini biasanya berjalan melalui
raja atau karaeng, dikenal sebagai tana ongko dan proses utang, baik berupa barang/finansial mau-
tana kajangangan yang hasil produksinya diper- pun budi/perlindungan. Seorang petani mungkin
untukkan sebagai tunjangan jabatan atau sebagai terpaksa mengontrakkan atau menggadaikan
penghargaan/pemberian tanda jasa. Kemudian tanahnya ataupun menjual hasil pertaniannya se-
tanah yang dikelola secara individu itu dikuasai belum panen karena berbagai alasan; di antaranya
secara sementara dengan sistem bagi hasil kepada kemampuan yang rendah dari bidang tanahnya
pejabat lokal. (Hamid dkk. 1989). Jenis tanah seperti untuk menopang hidupnya atau kebutuhan akan
ini dapat dikategorikan sebagai tana totongang uang tunai sebagai modal kerja sehingga petani
atau sura’ gau. Selain itu, terdapat juga istilah harus menggadaikan tanahnya kepada karaeng.
tana kalompoang atau arajang dan tana wanua Kondisi tersebut semakin mengakibatkan
(tanah milik kampung di mana pengelolaannya terjadinya ketidakseimbangan antara luas tanah
diserahkan kepada individu dengan kewajiban milik petani dengan tanah milik karaeng. Tanah-
menyerahkan sepuluh persen kepada kas daerah). tanah yang dikelola petani sebagian besar milik
Hak pengelolaan jenis tanah ini diserahkan secara para bangsawan yang diperoleh dari warisan sistem
turun-temurun. Tampaknya sistem tanah ini tidak tanah pada zaman kerajaan. Warisan tradisi tana
menempatkan rakyat sebagai pemilik tanah, tetapi ongko, tana kalompoang, tana kajanangang (di-
hanya sebagai pemegang hak pakai/garap, dan kuasi oleh karaeng) mungkin berhektare-hektare
hak garap ini diwariskan secara turun-temurun. luasnya daripada luas milik rata-rata penduduk.
Setelah Indonesia merdeka, melalui UUPA Jenis tana kalompoang merupakan yang paling
1960, pemerintah berusaha memberi ruang ke- luas di Polongbangkeng. Tana kalompoang ini
pada petani untuk mendapatkan hak milik tanah. sebagian besar berupa daerah perkebunan yang
Namun, upaya tersebut mendapat tantangan dikelola oleh masyarakat setempat. Masyarakat
besar, terutama dari elite lokal yang telah mapan umumnya memanfaatkan tana kalompoang
secara sosial ekonomi. Di Polongbangkeng, sebagai salah satu sumber kehidupan mereka
sistem pemilikan tanah secara tradisional masih meskipun secara adat tana kalompoang yang luas
menjadi referensi utama bagi karaeng dalam ini milik para karaeng.
mengontrol kepemilikan tanah sehingga mereka Pada tahun 1950-an petani di Sulawesi Selatan
memiliki tanah yang sangat luas. Sementara rata-rata memiliki tanah pertanian seluas 0,8 ha
ekspektasi petani semakin besar dengan adanya (Faryadi 2008). Angka yang lebih memprihatin-
program “tanah untuk tani”, sebagaimana diisu- kan lagi berdasarkan hasil studi Chabot (1984)
kan oleh partai-partai politik, utamanya PKI, dan bahwa pada tahun 1949 kelompok kerabat petani
lebih nyata setelah disahkan UUPA. Keadaan di Desa Bontoramba Kabupaten Gowa, Sulawesi
inilah yang mengakibatkan tanah sebagai sumber Selatan hanya memiliki lahan pertanian seluas
produksi petani juga menjadi sumber polarisasi 0,17 ha1. Kemudian, pada tahun 1950–52, sektor
ekonomi yang dapat mengarah pada munculnya
1 Desa Bontoramba dapat menjadi perbandingan untuk
konflik-konflik agraria antara petani dan karaeng. melihat desa-desa di Polobangkeng karena memiliki
karakteristik dan kedekatan geografis, bahkan dapat

148 | Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (2), Desember 2014


pertanian memburuk di hampir semua wilayah bandit itu bukan hanya sebagai bagian dari
di Sulawesi Selatan. Di Jeneponto dan Takalar, ekspresi protes terhadap tekanan sosial ekonomi,
karena kemarau panjang, sawah yang produktif melainkan juga sebuah kebanggaan mendapatkan
hanya mencapai 5.130 ha dari luas lahan 12.766 kehormatan (Napsar 2008, Kadir 1984). Akti-
ha (Kemenpen RI 1952). Tanah-tanah produktif vitas perampokan ini kembali memperlihatkan
tersebut dan hasil panennya pun di bawah kontrol dinamikanya antara tahun 1950 sampai 1990-an.
para karaeng. Petani benar-benar menjadi subjek Di tengah disparitas pemilikan tanah, ekonomi
penderita. Keadaan ini diperparah ketika situasi petani yang memburuk, dan naiknya aktivitas per-
keamanan regional belum stabil sebagai akibat ampokan menjelang pemilu tahun 1955, partai-
munculnya pergolakan daerah (DI/TII dan Per- partai politik mulai masuk di Polongbangkeng
mesta) yang berdampak pada tidak maksimalnya beserta segala propagandanya. Hal ini sebenarnya
petani menggarap tanahnya. Kondisi ini pada konstruktif bagi perkembangan demokrasi,
gilirannya memengaruhi perekonomian desa. tetapi juga dapat menjadi titik awal munculnya
Semakin memburuknya keadaan ekonomi pemahaman-pemahaman baru bagi masyarakat
pedesaan, meningkatnya utang, memicu kebu- Polongbangkeng tentang pemilikan tanah yang
tuhan akan uang sebagai alat tukar sehingga pada akhirnya menimbulkan jarak renggang an-
ketergantungan petani semakin meningkat pula. tara petani dan karaeng. Meminjam istilah Geertz
Tanah-tanah sebagai modal utama mereka ter- (1963) bahwa periode demikian memperlihatkan
kadang harus berpindah tangan sehingga semakin politisasi desa yang menjurus pada perpecahan
memperlihatkan ketimpangan pemilikan tanah. dalam masyarakat pedesaan itu sendiri, juga pada
Tuan tanah dalam hal ini karaeng semakin mem- akhirnya dapat memperkeruh disparitas ekonomi
perlihatkan dominasinya dalam mengakses tanah, desa. Petani merupakan kelompok marginal
sedangkan petani semakin lemah dalam meng- dalam bidang ekonomi, berpenghasilan rendah,
akses tanah sehingga kemiskinan merupakan tidak memiliki akses tanah, sementara karaeng
gambaran nyata masyarakat petani di Polong- memiliki akses tanah dan ekonomi yang jauh
bangkeng. Beberapa wawancara menyebutkan lebih mapan serta terus merasa sebagai kelompok
bahwa kemiskinan di Polobangkeng mendorong yang paling memiliki hak atas tanah berdasarkan
penduduk makan biji mangga dicampur batang warisan kultural. Kondisi demikian menjadi lahan
pisang sebagai makanan sehari-hari (Daeng subur munculnya propaganda dan politisasi desa
Nuhung, wawancara 16 Juni 2012; Bambang dalam tingkat yang lebih masif.
2011). Keadaan ini berlangsung cukup lama dan Pada tahun 1960, pemerintah mengesahkan
menimbulkan tekanan sosial yang tinggi. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA
Tekanan sosial ekonomi mengakibatkan memandang tanah sebagai social asset dan capi-
munculnya gerakan-gerakan perampokan dan tal asset, bertujuan untuk menghindari monopoli
pencurian di wilayah Polongbangkeng (Ahmad kepemilikan tanah oleh segelintir orang (Limbong
2013). Daerah ini kemudian dikenal sebagai 2012: 283). Tampak filosofi dasar UUPA ini telah
daerah rawan tindakan kekerasan/perampokan. bertentangan dengan realitas kepemilikan tanah
Para perampok malah menggunakan tokoh le- di Polongbangkeng. Karaeng yang memiliki
genda perampok Polongbangkeng pada periode tanah yang luas serta dapat mengakses tanah
kolonial, yang dikenal sebagai kelompok pagora menjadi kelompok yang tidak diuntungkan
patampuloa (perampok 40). Tampaknya, para dalam pelaksanaan reforma agraria. Sementara
perampok yang pada umumnya adalah petani Barisan Tani Indonesia (BTI) telah menyentuh
yang kehilangan akses tanah tersebut berusaha masyarakat petani Polongbangkeng secara aktif
membangkitkan memori bahwa mereka adalah dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang
bagian dari gerakan perampok periode kolonial, berhubungan dengan pertanian. BTI memberi
sebagai strategi mempertahankan eksistensi ge- bantuan alat-alat pertanian kepada petani (Jufri,
rakannya. Dalam sejarah Polobangkeng, gerakan wawancara, 17 Juni 2012). Belajar dari kegagalan
mencerminkan keadaan di pedesaan daerah Bugis- PKI pada pemilu 1955 di tingkat lokal Sulawesi
Makassar pada umumnya. Selatan, UUPA menjadi momentum bagi PKI

Taufik Ahmad | Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar ... | 149


untuk mengangkat citra partai di level petani. UUPA 1960 memberi jaminan hak milik
Secara berangsur petani Polongbangkeng ke- untuk para petani melalui distribusi tanah ke-
mudian mulai tertarik menjadi anggota BTI. pada petani yang tidak memiliki tanah (pasal 7
Berikutnya, polarisasi dalam bidang pemilikan dan 17 UUPA). UUPA membatasi kepemilikan
tanah dan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya lahan berdasarkan kepadatan penduduk. Undang-
merembes pula pada polarisasi golongan politik. undang ini juga menjanjikan bahwa setiap petani
Karaeng dan elite desa lainnya lebih tertarik pada akan mendapatkan tanah seluas dua hektare
partai-partai antikomunis, sementara petani lebih pertanian. Batas maksimum penguasaan tanah
tertarik pada program pembaruan agraria yang yang diatur dalam UUPA mencakup tanah yang
digerakkan melalui organisasi BTI dan partai dikuasai seseorang berdasarkan perjanjian gadai
sosialis. dan sewa. Perjanjian-perjanjian gadai tanah yang
Gerakan petani di Polongbangkeng Takalar sangat umum dilakukan di Polongbangkeng yang
sangat menarik karena dipimpin oleh tokoh biasa disebut tesang. Peraturan ini juga mene-
bangsawan, yaitu Karaeng Emba, diikuti oleh tapkan bahwa orang yang memiliki tanah yang
putranya Abd. Rauf Emba, dan beberapa tokoh luasnya melampaui batas maksimum diharuskan
yang disegani lainnya. Kondisi ini sedikit mem- melaporkannya pada Dinas Agraria di Kabupaten/
beri keberanian bagi BTI untuk melakukan per- Kota yang bersangkutan, dan orang yang me-
temuan berkala di Polongbangkeng, kendatipun miliki tanah berlebihan dilarang memindahkan
harus berhadapan dengan elite-elite karaeng yang kelebihan tanahnya itu pada pihak lain tanpa izin
tidak berpihak kepada petani dan telah mapan dari Departemen Agraria.
secara sosial ekonomi. Polongbangkeng kemu- Akan tetapi, program reforma agraria menim-
dian menjadi salah satu basis utama gerakan BTI. bulkan masalah dalam penerapannya, terutama
Daerah ini dianggap strategis karena berada di an- karena tidak adanya kontrol yang kuat sehingga
tara Kota Makassar dengan Kota Takalar. Selain membuka kemungkinan adanya manipulasi ad-
itu, faktor sejarah dan mentalitas masyarakat ministrasi tanah. Manipulasi dapat terjadi dalam
Polongbangkeng yang terus bergolak dari waktu proses distribusi hak milik kepada saudara/orang
ke waktu dapat mempermudah pembentukan lain yang telah diatur untuk menghindari pemi-
kerangka gerakan petani. likan tanah melebih batas maksimum. Dengan
Melalui BTI petani Polongbangkeng mulai demikian, reforma agraria yang bertujuan mem-
merasa ada harapan untuk memiliki tana kalom- batasi kepemilikan tanah tidak hanya menim-
poang yang selama ini mereka kelola. Hukum bulkan masalah dalam hubungan sosial petani,
agraria nasional sebagaimana diatur dalam tetapi juga memunculkan transaksi-transaksi yang
UUPA 1960 memberi ruang kepada petani untuk tidak resmi untuk kepentingan pribadi. Meskipun
hal tersebut. Sementara pihak karaeng masih UUPA memberi ruang kepada petani Polongbang-
mempertahankan tradisi kepemilikan secara keng untuk mendapatkan hak atas lahan yang
tradisional. Keadaan ini memunculkan dualisme digarapnya, tetapi kontrol terhadap lahan terse-
hukum, yaitu hukum negara dan hukum adat but masih berada di tangan karaeng, yang juga
yang masing-masing mempunyai dasar klaim biasanya menjabat sebagai kepala desa. Sebagian
kebenaran dengan logikanya sendiri-sendiri. besar kepala desa di Polongbangkeng termasuk
Negara, menempatkan hukum sebagai determi- dalam satu kelompok kerabat, dan mereka se-
nan struktur yang terekonstruksi dari wujudnya lalu mewariskan kepemimpinan kepada sanak
yang bersifat substantif ke wujud yang lebih keluarganya. Biasanya kepala desa juga masih
menekankan bentuknya yang formal. Sementara memiliki hubungan kekerabatan dengan beberapa
hukum adat berdasarkan basis kultural yang telah kepala desa lain sehingga dapat dikatakan bahwa
lama berlaku dalam masyarakat. Dualisme hukum “kontrol atas tanah di Polongbangkeng bertumpu
ini mulai terlihat lebih nyata pada masyarakat pada satu kekerabatan besar dalam satu jaringan
Polongbangkeng sejak tahun 1960-an. keluarga karaeng”.

150 | Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (2), Desember 2014


Pabrik Gula Takalar: Membangun 1971. Martono terkesan dengan perjuangan ke-
Warisan Konflik merdekaan rakyat Polongbangkeng pada periode
revolusi fisik. Namun, ia juga prihatin ketika
Setelah 30 September 1965 terjadi pergeseran melihat kemiskinan rakyat Polongbangkeng.
politik yang memengaruhi perjuangan agraria di Rendahnya akses pangan mengakibatkan para
seluruh negeri. Negara melakukan kontrol yang petani di Polongbangkeng makan biji mangga
begitu kuat kepada mereka yang dianggap ang- dicampur batang pisang. Sebuah gambaran
gota atau simpatisan PKI yang selama ini aktif kehidupan rakyat yang begitu menyedihkan,
memperjuangkan reforma agraria. Tokoh-tokoh berbanding terbalik dengan jasa-jasa besar
PKI di Takalar seperti Paiso, Karaeng Ngemba, mereka dalam mempertahankan kemerdekaan.
Abd. Rauf Emba dan beberapa anggota BTI lain- Menurut Martono, pembangunan industri gula
nya ditangkap dan diasingkan di Moncongloe. dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di
Keadaan ini mematikan harapan petani untuk Polobangkeng, bahkan menjadi pemasok kas
mendapatkan hak tanah sebagaimana amanat daerah (Sulistiyo 2011).
UUPA. Sejak itu, kebijakan pertanahan lebih
Gagasan Martono disambut oleh Pemerintah
dititikberatkan pada upaya mendukung pertum-
Daerah Takalar dan direalisasikan oleh Menteri
buhan ekonomi yang ditujukan untuk pemenuhan
Pertanian, Soedarsono Hadisaputro. Pada tahun
kepentingan dan kebutuhan sektoral. Terutama
1972 didirikanlah Proyek Pengembangan Industri
tahun 1980, faktor kebijakan pertanahan lebih
Gula (PPIG) di bawah pembinaan Direktorat
ditujukan untuk memecahkan persoalan-persoal-
Jenderal Perkebunan. PPIG bertugas melakukan
an yang menghambat pelaksanaan kebijakan
uji coba penanaman tebu. Pemerintah Daerah
pembangunan (Limbong 2012: 335).
Takalar kemudian memberi izin kepada PPIG un-
Tampaknya, Orde Baru lebih mementingkan tuk melakukan percobaan menanam tebu di tanah
peningkatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan negara seluas 151 hektare (di areal itu ada tanah
pelaksanaan reforma agraria sebagai instrumen yang digarap petani) di desa-desa Parappoang,
utama untuk mencapai keadilan sosial. Paradigma Bonto Rannu, Mattompodalle, Parapunganta,
pembangunan Orde Baru bukan didasarkan pada dan Parappoang. Percobaan tersebut meliputi
penguasaan teknologi, melainkan pada tanah pelatihan bagi penduduk untuk menanam tebu.
dan buruh murah sebagai alat produksi. Petani Apabila selama tiga tahun tidak berhasil, tanah
kemudian dihadapkan dengan kekuatan modal petani akan dikembalikan. Sebaliknya, jika ber-
secara besar-besaran yang memerlukan keterse- hasil, dilakukan kontrak atas penggunaan lahan
diaan tanah. Akibatnya, tanah menjadi komoditas selama 25 tahun atau Hak Guna Usaha (HGU)
pasar. Proses ini mengintegrasikan petani dengan oleh pihak pabrik gula setelah pembebasan lahan
tanahnya ke dalam sistem kapitalisme melalui petani dibayarkan.
ekspansi pasar dan fasilitas investasi kebijakan
Selama masa percobaan penanaman tebu,
negara. Instrumen pembangunan Orde Baru ini
pihak pabrik Gula Takalar melibatkan petani
sampai juga di Polongbangkeng ketika pemerin-
pemilik tanah sebagai petani tebu dengan
tah hendak membangun Pabrik Gula Takalar. Se-
memperkenalkan dan mengembangkan sistem
perti halnya domain negara para periode kolonial,
usaha Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Petani
Orde Baru juga menerapkan konsep Hak Guna
menggarap tanah dan menanam tebu di tanah
Usaha (HGU) yang memfasilitasi pembangunan
sendiri. Dalam program TRI, tebu ditanam dan
Pabrik Gula Takalar dengan mengakusisi tanah
dipanen petani dan hasil panennya diserahkan
petani Polongbangkeng. Dalam proses ini petani
kepada pabrik gula. Pelatihan dan percobaan-
memahami bahwa Pabrik Gula Takalar hanya
percobaan kelayakan tanaman tebu terus ber-
mengontrak tanah-tanah mereka selama 25 tahun
lanjut sampai musim tanam tahun 1977–1978.
(Daeng Bani, wawancara 18 Juni 2012).
Selain melaksanakan uji coba penanaman tebu,
Pada dasarnya, pembangunan industri gula PPIG melakukan persiapan dan menyediakan
Takalar berawal dari kunjungan Martono, seorang lahan dengan pembentukan Panitia Pembebasan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun Tanah. Panitia ini bertugas menyelidiki pemilikan

Taufik Ahmad | Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar ... | 151


tanah dan menentukan jumlah ganti rugi. Untuk Pembebasan lahan petani Polongbangkeng
melancarkan proses penyelidikan atas tanah di melibatkan berbagai pihak, antara lain, elite lokal
Polongbangkeng, PPIG melibatkan karaeng (karaeng), kepala desa setempat, pemerintah
(Sulistiyo 2011). daerah, dan PT Madu Baru (cabang dari PT Madu
Berdasarkan penelitian PPIG melalui uji Kismo di Yogyakarta, sebuah perusahaan milik
coba penanaman tebu selama tiga tahun, disim- Sultan Hamengku Buwono IX yang beroperasi
pulkan bahwa Takalar cocok untuk perkebunan di Takalar). PT Madu Baru yang memiliki hak
tebu dan pihak PPIG diharuskan membayar ganti melakukan eksploitasi industri gula di Takalar
rugi pembebasan tanah sebesar Rp12.500.000. mengusulkan areal perkebunan diperluas menca-
Dimulailah proses pembangunan Pabrik Gula pai 5.000 ha, termasuk tanah pertanian produktif
Takalar dan pembebasan lahan petani. Akan milik petani di Polongbangkeng. PT Madu Baru
tetapi, penyelidikan yang dilakukan PPIG memandang bahwa keterikatan pemimpin lokal
hanya menelusuri kelayakan tanah, luas tanah dan dalam hal ini karaeng dengan petani di Polong-
jumlah ganti rugi pembebasan tanah. Sementara bangkeng masih sangat kuat, bahkan menjadi
aspek-aspek hubungan sosial kultural petani tidak salah satu kunci untuk mengontrol petani. Oleh
mendapat perhatian. PPIG tidak meneliti hubung- karena itu, PT Madu Baru melibatkan pemimpin-
an patron-klien, peran karaeng dalam struktur pemimpin lokal dalam rangka pembebasan lahan
tradisional, fungsi tanah bagi petani secara sosio- milik petani. Langkah ini diambil untuk meredam
logis, kultural dan filosofis, ataupun keberlakuan kemungkinan gejolak yang akan timbul dari
hukum adat menyangkut sistem sewa tanah yang petani Polongbangkeng. Namun, langkah ini
berlaku dalam masyarakat. Akibatnya, terdapat juga sebenarnya membuka ruang eksploitasi dan
kekeliruan di dalam mengambil keputusan di manipulasi oleh aktor/elite lokal terhadap petani
bidang agraria yang pada akhirnya memunculkan- Polongbangkeng. PT Madu Baru tidak melihat
nya persoalan-persoalan politis, ekonomis, dan dasar-dasar konflik yang telah mengakar sejak
yuridis. Keadaan ini bertambah parah ketika ber- 1950-an di Polongbangkeng yang berkaitan
bagai aktor (petani, kepala desa, pemerintah, dan dengan akses terhadap tanah.
militer) yang terlibat memunculkan kontradiksi Keterlibatan dalam pembebasan lahan oleh
kepentingan. Pembangunan Pabrik Gula Takalar aparat pemerintahan kecamatan dan desa juga
di tengah disparitas ekonomi desa, kepemilikan pada umumnya adalah karaeng, seperti Camat
tanah yang timpang, penguasaan atas tanah oleh Polongbangkeng Utara, yaitu Abdul Bahar
karaeng, menambah pernak-pernik persoalan Nyonri, B.A., Kepala Desa Parappunganta, yaitu
petani di Polongbankeng. Nanrang Daeng Nai, Kepala Desa Moncong-
komba, yaitu Ranggong Dang Nai’ dan beberapa
elite lokal lainnya, seperti Karaeng Palli, Karaeng
Pagar Makan Tanaman: Pembebasan Ngemba, Karaeng Temba, dan lain sebagainya.
Lahan dan Permainan Aktor Mereka umumnya berkerabat sehingga memiliki
Konflik agraria di Polongbangkeng mencapai jaringan keluarga karaeng yang kuat. Para aktor
tingkat lebih lanjut ketika terjadi pembebasan lokal ini menggunakan masjid desa untuk me-
lahan untuk pembangunan Pabrik Gula Takalar. nyampaikan rencana pemerintah membuka perke-
Dalam proses itu, petani yang menolak pembe- bunan tebu. Mereka kemudian memungut biaya
basan lahan mendapat tekanan, teror, tuduhan bayaran uang tunai dari petani sebesar Rp5.000
sebagai komunis, dan kekerasan fisik. Petani per hektare tanah negara yang telah diokupasinya.
kehilangan hak atas tanah tanpa menerima kom- Kepada petani, aktor lokal ini menjelaskan tujuan
pensasi yang memadai. Dari sinilah persoalan- pembayaran tersebut. Pertama, bagi petani yang
persoalan agraria di Polongbangkeng Takalar benar-benar memiliki tanah garapan negara dan
memperlihatkan gejalanya, untuk selanjutnya membayar Rp5.000 per hektare, uang itu akan
mengendap, dan kemudian lebih nyata di era dijadikan ongkos ukur untuk menjadi tanah hak
reformasi. milik. Kedua, bagi petani yang tidak mempunyai
tanah garapan, tetapi membayar tunai Rp5.000 per

152 | Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (2), Desember 2014


hektare, ia akan diberikan ganti rugi seharga satu membawa dampak pada kekurangan bahan pan-
hektare tanah negara okupasi (P2), dan ketiga, gan. Namun, mereka lebih cemas lagi jika tidak
bagi petani yang memiliki tanah garapan negara memiliki tanah. Keberadaan pabrik gula di atas
dan tidak bayar Rp5.000 maka ia hanya diberikan tanah garapan mereka memang memberi harapan
ganti rugi sebagai tanah milik negara (P2) (Arsip dalam meningkatkan kesejahteraan ketika mereka
Takalar Reg. 402). Petani menyambut baik upaya diberdayakan, namun bayangan kehilangan tanah
pengukuran tanah tersebut. Di antara mereka ada juga masih menjadi ketakutan mereka.
yang menjual kerbau, sepeda, dan lain-lain untuk Pada tanggal 3 Oktober 1978, para petani
biaya pengukuran. Ini memperlihatkan betapa menyampaikan langsung keluhan kepada Bupati
besar ekspektasi petani Polongbangkeng untuk Takalar, namun tidak ditanggapi. Pada tanggal 9
mendapatkan pengakuan hukum atas tanah yang Oktober 1978, sekitar 83 petani dari Desa Parap-
mereka garap secara turun-temurun. punganta Polongbangkeng Utara mengajukan
Tanda-tanda ekspektasi petani tersebut tidak protes karena belum mendapatkan hak ganti
dapat terwujud ketika keterlibatan aktor lokal rugi, sementara lahan mereka telah digarap oleh
dalam pembebasan lahan justru mengeksploitasi PT Madu (Arsip Takalar Reg. 402). Mereka juga
petani itu sendiri. Aktor-aktor lokal memanipulasi mempertanyakan pembayaran mereka sebesar
laporan penyelidikan atas tanah petani, seperti Rp5.000 per hektare kepada kepala desa pada
menambah jumlah material yang akan dibayar- saat pengukuran tanah. Sementara itu, para
kan, meliputi jenis tanaman dan fungsi lahan. pejabat pemerintah sehubungan dengan kasus
Modus kerjanya adalah merekayasa jenis-jenis ini menyatakan bahwa uang yang telah diterima
tanaman yang ada dalam lokasi pembebasan lahan dari PPIG sebagai uang pembayar pajak. Sebuah
agar mendapatkan ganti rugi lebih banyak dan pandangan yang sama sekali berbeda dari janji
mendaftarkan tanah yang tidak produktif sebagai kepada petani sebelumnya ketika pengukuran
tanah produktif sehingga nilai ganti ruginya lebih tanah mereka.
tinggi. Keuntungan dari manipulasi ini jatuh Persoalan petani bertambah rumit ketika
ke tangan para aktor tersebut. Bahkan sebagian terjadi penggantian Bupati Takalar ketika pejabat
besar dana ganti rugi tidak sampai kepada petani baru tidak memahami persoalan petani secara
(Safaruddin, wawancara 18 Juni 2012). utuh dan lebih memihak kepada PPIG. Bahkan
Di tengah eksploitasi petani tersebut, proyek dalam keputusannya, Bupati menyatakan bahwa
pembangunan Pabrik Gula Takalar terus berlan- PPIG telah membayar ganti rugi atas tanah seluas
jut. Pada bulan Juni 1978 Kolonel M. Suaib 151 ha di Desa Parapunganta melalui pemerin-
Pasang, Bupati Takalar, memberi izin PT Madu tah, sebaliknya Bupati menuntut petani untuk
Baru untuk mengelola lahan perkebunan tebu membayar pajak penggunaan tanah negara yang
di Polongbangkeng Utara dan Selatan. Bupati masih dipergunakan sebagai perkebunan rakyat.
membayar ganti rugi atas tanah petani sebesar Petani di Parapunganta, melalui Karaeng Daeng
Rp60 untuk tiap meter persegi. Namun, petani Nai mengajukan tuntutan kepada Bupati dengan
melakukan protes dengan tetap bercocok tanam dasar bahwa mereka telah membayar pajak tanah
untuk mempertahankan tanahnya. Bagi petani, ta- negara sebesar Rp5.000 per hektare yang diserah-
nah merupakan sumber kehidupan, eksistensi dan kan kepada kepala desa sehingga mereka berhak
martabat diri, bahkan jaminan hidup masa depan. memiliki tanah seluas satu hektare (Arsip Takalar
Bertani merupakan satu-satunya keterampilan Reg. 402). Namun, upaya petani Parappunganta
yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup menuai kegagalan. Sementara di tempat berbeda,
yang diwariskan secara turun-temurun dari gen- di Desa Bontokadatto Polongbangkeng Selatan
erasi ke generasi. Petani Polongbangkeng masih terdapat 31 orang yang telah mendapatkan hak
sangat bergantung pada alam, baik dalam kesu- milik tanah melalui Surat Keputusan Gubernur
buran tanah maupun curah hujan. Mereka cemas Sulawesi Selatan (Arsip Takalar 402). Kebijakan
dengan kemarau panjang ataupun hujan lebat, pemerintah yang tidak adil bagi petani mengaki-
keduanya berakibat pada berkurangnya hasil batkan kekuatan petani terpecah dan bergerak
panen atau gagalnya panen yang pada gilirannya berdasarkan kepentingan sendiri-sendiri.

Taufik Ahmad | Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar ... | 153


Kebijakan pemerintah di bidang agraria Daeng Sembang ditemukan mati tertembak. Bu-
yang tidak konsisten tersebut mengakibatkan dhi Daeng Sembang merupakan seorang warga
kekecewaan petani yang tidak mendapatkan Polongbangkeng yang aktif menuntut hak ganti
hak milik tanah. Di tengah upaya petani mem- rugi atas tanahnya (Sulistyo 2011).
perjuangkan haknya, pengelolaan industri gula Persoalan petani akhirnya ditangani oleh
tetap dilanjutkan oleh PT Madu Baru yang masih Koordinator Operasi Tertib Pusat (Opstibpus)
mempertahankan pengelolaan tanah berseng- Jakarta (Sulistiyo 2011). Seminggu berikutnya
keta, termasuk lahan seluas 1.500 ha di Desa petugas Opstibpus dari Jakarta melakukan penye-
Parappunganta sebagaimana yang dipersoalkan lidikan di Polongbangkeng. Hasil penyelidikan
petani sebelumnya. Dalam proses yang begitu menyimpulkan bahwa terjadi manipulasi dan ko-
rumit, pejabat pemerintah bukannya membantu rupsi yang dilakukan beberapa pejabat. Akhirnya,
menyelesaikan persoalan petani, tetapi justru beberapa elite desa ditangkap, antara lain Nan-
melakukan manipulasi dan korupsi. Sejumlah rang Daeng Nai, Kepala Desa Parapunganta, yaitu
kasus bermunculan kemudian, antara lain petani Kalle Daeng Gassing, Kepala desa Longko, yaitu
dipanggil untuk menandatangani tanda terima Rajab Daeng Sikki, Kepala Desa Bontomarannu
ganti rugi, tetapi uang ganti rugi diminta kembali dan Rahmad Daeng Ropu Pembantu Kepala Desa
dengan alasan ada kesalahan administrasi. Ke- Parapunganta. Penyelidikan Opstibpus berlanjut
mudian, petani penggarap tanah didatangi secara kepada pejabat pemerintah daerah, namun per-
tidak resmi oleh aparat desa yang menyerahkan soalan kasus ini kemudian menjadi samar atau
sejumlah uang ganti rugi dengan jumlah kurang tidak tertuntaskan.
dari yang disepakati oleh pihak perusahaan. Sehubungan dengan penangkapan sejumlah
Terdapat 232 petani yang meliputi lahan seluas karaeng (elite desa) tersebut semakin menim-
257 ha yang tidak mendapat ganti rugi, sementara bulkan ketidakpercayaan petani terhadap proses
dalam dokumen perusahaan sudah terbayarkan pembebasan lahan mereka. Petani Polobangkeng
(Arsip Takalar Reg. 402). kemudian mengajukan tuntutan kepada peme-
Untuk mencegah protes petani, aparat peme- rintah dan PT Madu Baru, meliputi pertama,
rintah yang terlibat dalam manipulasi tersebut melakukan pengukuran kembali tanah yang
melakukan intimidasi bahkan kekerasan. Berbagai telah dibebaskan sesuai dengan ukuran tanah dan
kasus kekerasan bermunculan, di antaranya, pada batas-batasnya yang terdapat dalam surat pendaf-
13 Oktober 1978, Baco Dandang Bontosunggu taran sementara tanah (rinci); kedua, menentukan
mendapat tindak kekerasan dari Bundu Daeng kembali jumlah ganti rugi berdasarkan kelas
Rurung dan Burhan Daeng Nyampa (aparat desa), tanah dan luasnya, ketiga, menuntut pengukuran
karena membeberkan bahwa ia menerima uang mengikuti prosedur yang dapat diketahui pemilik
ganti rugi, tetapi diminta kembali oleh petugas tanah, dan keempat, menuntut penangkapan dan
aparat pemerintah. Dua hari berikutnya, 15 Okto- mengadili aparat pemerintah yang korup dan
ber Baco Daeng Ngawing diminta dengan paksa memanipulasi data (Arsip Takalar Reg. 402)
menyerahkan kembali uang ganti rugi Rp15.000 Permintaan petani untuk melakukan peng-
kepada Bundu Daeng Rurung dan Daeng Long- ukuran ulang tanah dipenuhi oleh pemerintah
gang, karena memberi tahu orang lain bahwa ia dan PT Madu Baru. Namun ketika pengukuran
diminta oleh Kepala Desa Nanrang Daeng Nai dilakukan, terjadi perbedaan pandangan mengenai
untuk menerima uang atas nama orang lain den- batas-batas tanah mereka sehingga suasana justru
gan imbalan 10%. Pada hari yang sama Mando menjadi tegang dan sangat emosional. Masing-
Daeng Maling dipukul Daeng Sikki, Kepala Desa masing tidak bersedia mengalah bahkan rela mati
Bontomarannu karena mengeluhkan bahwa ia untuk mempertahankan haknya (Tamudji 1986:
tidak pernah menerima ganti rugi yang diberikan 55) Penentuan batas tanah telah mengguncang
PT Madu Baru. Tindak kekerasan meningkat komunitas petani yang pada awalnya meng-
pada 5 November 1978, Lawa Daeng Rowa utamakan kebersamaan lalu berubah menjadi
tewas terbunuh oleh keluarga Nanrang Daeng individualistis. Keretakan hubungan antara petani
Nai. Kemudian pada tanggal 4 Juni 1979, Budhi kemudian melemahkan semangat perlawanan
mereka sendiri (Sulistyo 2011).

154 | Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (2), Desember 2014


PT Madu Baru tampaknya menyadari pen- posisi sebagai keamanan. Marginalisasi atau
tingnya penggunaan aparat keamanan, dalam eksklusivitas penduduk setempat dari proyek
hal ini anggota TNI dan Kepolisian, yang sejak pembangunan perkebunan Orde Baru ini mem-
lama telah memegang kendali masyarakat Polong- pertajam jarak sosial yang cukup lebar antara
bangkeng. Aparat keamanan tersebut memiliki perusahaan dan petani yang berada di luar pagar
kedekatan emosional dengan pejuang-pejuang perusahaan.
kemerdekaan sehingga konteks ini dapat memperkuat Sampai pada tahun 1980, PT Madu Baru
posisi PT Madu Baru. Namun, keterlibatan tidak mengalami perkembangan berarti. Keadaan
TNI dan Kepolisian menimbulkan intimidasi, ini bertambah parah dengan adanya kekurangan
penangkapan, dan bahkan penembakan kepada modal serta ketidakharmonisan dengan petani
petani dengan dalih melanggar hukum karena yang mengakar sejak proses pembebasan tanah.
menghalangi program pemerintah. Aparat ke- Ketidakharmonisan ini menimbulkan resistensi
amanan memberi ultimatum kepada petani bahwa petani, seperti pencurian tebu dan pembiaran
upaya mencari kesalahan, mengkritisi pemerintah, ternak-ternak mereka memasuki wilayah perke-
mengumpulkan massa, berbagai unjuk rasa, dan bunan. Akumulasi dari berbagai persoalan terse-
bahkan melakukan perlawanan adalah tindakan but mengakibatkan PT Madu Baru menarik diri
komunis. Petani diminta menandatangani per- dari kegiatan eksploitasi industri gula di Takalar
nyataan menerima kesepakatan dan jika menolak meskipun Bupati mendukung penyediaan lahan
menyerahkan tanahnya akan dituduh sebagai PKI. dengan menerbitkan Surat Keputusan tahun 1980
Tampaknya, tuduhan komunis menjadi senjata yang memberi Hak Guna Usaha (HGU) yang
ampuh pihak aparat untuk melemahkan semangat berlaku selama 25 tahun atas sebidang lahan
perlawanan petani. seluas 6.500 m2. Di antara lahan itu seluas 4.000
Hubungan antara masyarakat Polong- m2 tersebar di 12 desa di Kecamatan Polongbang-
bangkeng dan PT Madu Baru semakin tidak keng Utara dan Polongbangkeng Selatan.
harmonis ketika petani Polongbangkeng tidak Pada tanggal 11 Agustus 1981 Menteri
memiliki akses terhadap eksploitasi perkebunan Pertanian mengalihkan kegiatan eksploitasi
dibandingkan para pendatang yang didatangkan dari PT Madu Baru kepada PTPN XIV Takalar.
dari Jawa sebagai tenaga kerja di perkebunan. (Arsip Takalar Reg. 402). Gubernur mendukung
Keadaan ini memunculkan pandangan negatif kebijakan Menteri dengan memberi wewenang
masyarakat bahwa pembangunan industri gula pengolahan lahan seluas 11.500 ha yang tersebar
merupakan bagian dari upaya eksploitasi Jawa di Kabupaten Takalar (6.000 ha), Gowa (3.500
terhadap Makassar. Paradigma Jawa dan non- ha), Jeneponto (2.000 ha). Peletakan batu per-
Jawa menyelimuti pikiran masyarakat, terutama tama pada pembangunan pabrik pada tanggal
tempat tinggal mereka yang berbatasan langsung 19 November 1982 dilakukan oleh Gubernur
dengan perusahaan perkebunan. Pagar perusa- Sulawesi Selatan dan selesai pada bulan Agustus
haan tampaknya telah menjadi pemisah yang jelas 1984 dengan menghabiskan dana sebesar Rp63.5
antara Jawa dan Masyarakat setempat. miliar. Pada tahun 1985 Pabrik Gula Takalar telah
Pihak PT Madu Baru mendatangkan tenaga mampu menghasilkan gula kualitas superior high
kerja dari Jawa dengan alasan profesionalisme super (SHS 1). Pelimpahan eksploitasi ini bukan-
kerja. Sementara penduduk sekitar perusahaan nya menyentuh perubahan-perubahan mendasar
umumnya buta huruf, tidak memiliki keterampil- terhadap persoalan petani Polongbangkeng malah
an, berwatak keras, tidak disiplin, dan memiliki semakin mempertajam jarak sosial.
kebiasaan meminum minuman keras (ballo’),
suatu stereotipe yang dibawa oleh pemerintahan PT PN XXIV: Manajemen Baru dan
Orde Baru yang sejalan dengan jawanisasi di
Upaya Meredam Konflik
berbagai daerah di luar Jawa. Akibatnya, pem-
bangunan perkebunan tidak membuka peluang Setelah mengambil alih eksploitasi perkebunan
kerja bagi penduduk setempat, kecuali beberapa tebu dari PPIG dan PT Madu Baru, PT PN
dari penduduk Polongbangkeng yang menduduki XXIV–XXV harus mewarisi sejumlah persoalan

Taufik Ahmad | Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar ... | 155


yang berhubungan dengan petani di Polongbang- di Desa Moncongkomba, Polongbangkeng. Ganti
keng. Perhatian pertama adalah menyelesaikan rugi sebesar Rp56.000.000,- telah diserahkan
masalah ganti rugi di tingkat kabupaten, keca- Karaeng Palli yang dianggap pemilik sah karena
matan, dan desa. Bupati Takalar, sebagai ketua memiliki sertifikat dari Kantor Agraria bertahun
Panitia Pembebasan Tanah, bertanggung jawab 1962. Namun, ketika tanah itu akan dijadikan
atas korupsi dan manipulasi yang dilakukan lahan perkebunan, para petani di Moncongkomba
para aparatnya sehingga ia meminta pinjaman melakukan aksinya. Sekitar 2.000 orang bersenja-
uang tunai Rp52.000.000 kepada PT PN XXIV– ta tombak dan lain-lain mengepung para operator.
XXV. Pada tahun berikutnya ternyata jumlah Petani menjaga kebun dengan mendirikan kemah.
itu belum mencukupi sehingga Pemda Takalar Para petani baru mau membuka kepungannya
harus menambah pinjaman sampai berjumlah setelah dibujuk para pejabat pemerintahan yang
Rp75.000.000, dan pada tahun 1983 pinjaman berjanji bahwa pihak perusahaan akan membayar
Pemda Takalar mencapai Rp200.000.000. Utang ganti sebesar Rp12.000.000 (Sulistyo 2011).
ini akan dibayarkan dari pajak iuran Pembangun- Persoalan di atas memperlihatkan adanya pe-
an Daerah. Walaupun demikian, masih terdapat milikan tanah yang berlapis, yakni tuan tanah dan
petani yang belum mendapatkan pembayaran penggarap tanah. Kareang secara tradisional adalah
ganti rugi sampai sekarang. pemimpin dan tuan tanah sekaligus pemilik akses
Untuk melancarkan proses produksi perke- untuk mendapatkan sertifikat tanah, sedangkan
bunan, PT PN XXIV–XXV mencoba membangun petani adalah penggarap tanah yang menguasai
keyakinan masyarakat bahwa pihak perusahaan tanah secara turun-temurun. Pada tahun 1983,
sangat memperhatikan nasib petani. Usaha ini terdapat 1.011 petani yang menuntut Pemerin-
direalisasikan dengan memberikan dana pem- tah Daerah Tingkat II dan PT P XXIV–XXV
bangunan perumahan petani yang diserahkan agar menaikkan jumlah ganti rugi yang telah
kepada pemerintah daerah sebagai imbalan petani diterima petani (tuntutan meliputi juga tanah yang
merelakan tanah untuk perkebunan. Selain itu, diserahkan pada PPIG sebelum tahun 1981). Di
pihak perusahaan juga mencoba membangun antara mereka terdapat 418 orang, yang tuntutan-
citra bahwa Pabrik Gula Takalar adalah milik nya berjumlah Rp.1.128.067.000,- untuk areal
dan dibangun oleh orang Takalar itu sendiri. perkebunan seluas 191,32 ha. Jumlah tersebut
Untuk mencapai tujuan tersebut, pada tanggal sangat besar sehingga sukar dipenuhi oleh pihak
19 November 1982 diadakan perubahan nama perusahaan.
dari PT PN XXIV–XXV menjadi Pabrik Gula Untuk mengatasi persoalan tersebut, per-
Takalar PTPN XIV. usahaan memenuhi permintaan petani secara
Persoalan klasik yang kembali mengemuka selektif. Selain itu, pihak perusahaan memberi
adalah ketika Pabrik Gula Takalar merekrut tenaga bantuan kepada pemerintah daerah sebesar
kerja jasa subkontraktor yang didatangkan dari Rp171.000.000 untuk pembangunan rumah pe-
Jawa dan memicu sentimen etnisitas. Pandangan tani. Pihak perusahaan juga mengangkat Daeng
negatif terhadap perusahaan kembali muncul. Sibali dan Kareang Temba sebagai penasihat
Sementara itu, buruh subkontraktor yang meng- dan penanggung jawab keamanan perusahaan.
alami kesulitan komunikasi dengan penduduk Pihak perusahaan menggunakan pengaruh tokoh
setempat sering menjadi sasaran balas dendam se- lokal sebagai patron dalam masyarakat selama
hingga banyak yang menjadi korban pembunuhan ini untuk mengatasi gejolak petani. Kedua bang-
(Sulistiyo 2011). Situasi yang tidak harmonis ini sawan yang direkrut adalah tokoh yang paling
mendorong munculnya kembali persoalan-per- disegani di Takalar dan merupakan pejuang pada
soalan pembebasan lahan yang sejak awal belum masa revolusi fisik. Akhirnya, gerakan petani be-
terselesaikan. Petani kembali mempersoalkan rangsur surut. Petani bersedia bergabung dengan
pembebasan tanah mereka. Kasus yang paling Pabrik Gula. Hasilnya, Sekretaris Dewan Gula
mendapat perhatian adalah kasus pembebasan Indonesia-Jakarta dalam Temu Lapang Proyek
tanah negara yang dikuasai rakyat seluas 56 ha Pabrik Gula Takalar 1984, melaporkan bahwa di

156 | Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (2), Desember 2014


Takalar terdapat 5.090 keluarga atau 18,05% dari PENUTUP
penduduknya menggantungkan kehidupan pada Konflik agraria di Polongbangkeng mulai
Pabrik Gula Takalar sebagai buruh tani (Daeng memperlihatkan gejalanya sejak tahun 1950-an,
Bani, Wawancara 8 Juli 2012). ketika ekonomi yang memburuk mengakibatkan
Konflik antara petani dan pihak Pabrik Gula meningkatnya polarisasi dan eksploitasi ekonomi
Takalar mengalami pengendapan. Memang, desa. Polarisasi ekonomi berkenaan dengan hak
sepanjang periode Orde Baru tidak muncul gejo- milik dan penguasaan tanah yang terlihat dari
lak petani. Tahun-tahun yang sepi dari konflik ini karaeng dan petani. Karaeng mengendalikan
tidak berarti bahwa persoalan petani telah selesai. akses terhadap tanah yang luas dan petani hanya
Memang, keberadaan Pabrik Gula Takalar telah memiliki hak garap. Menjelang pemilu 1955,
mendorong perkembangan ekonomi masyarakat ketika kampanye partai politik mulai masuk di
di sekitarnya, namun perkembangan ini tidak Polongbangkeng, polarisasi dalam bidang tanah
merata sehingga tetap menimbulkan kekecewaan dan ekonomi tersebut mulai merembes dalam
sebagian petani. Bahkan limbah pabrik merusak politik. Elite lokal yang telah mapan, dalam
ekologi desa. Sungai yang membentang daerah hal ini sebagian besar karaeng, lebih menjadi
Polobangkeng tercemar dan saat musim hujan pendukung partai-partai antikomunis, sementara
jalan-jalan desa tergenang akibat bendungan petani lebih tertarik pada partai-partai sosialis
perusahaan. Di bidang sosial, Pabrik Gula Takalar yang menjanjikan “tanah untuk petani”. Situasi
cenderung tidak memperhatikan pembangunan ini memberi pengaruh pada longgarnya sistem
infrastruktur desa. Jalan desa yang rusak akibat patronasi yang selama ini terpelihara.
aktivitas perkebunan tidak mendapat perhatian. Pembukaan lahan perkebunan tebu di
Hubungan-hubungan yang tidak harmonis hanya Takalar yang diawali dengan pembebasan lahan
tersembunyi dari aktivitas perkebunan. Apabila petani melibatkan karaeng sebagai elite lokal.
ditelaah lebih jauh dan dilihat dari perspektif Terjadi manipulasi laporan pembebasan lahan
Scottian, terdapat resistensi petani dilihat dari yang dilakukan oleh karaeng (elite desa) yang
kehidupan mereka sehari-hari. Mencuri tebu merugikan petani. Walaupun tidak memengaruhi
dari perkebunan untuk konsumsi sehari-hari, proses pembebasan lahan, setidaknya protes-
melepaskan ternak di areal perkebunan dan protes petani muncul menimbulkan dampak yang
memperlambat proses pemupukan adalah politik lebih jauh menyangkut hubungan petani dengan
tersamar petani Polongbangkeng yang dapat perusahaan yang semakin tidak harmonis. Dengan
dikategorikan sebagai resistensi petani. Keadaan demikian, pembukaan Pabrik Gula Takalar telah
ini merupakan endapan-endapan emosional yang melahirkan distorsi yang tajam antara petani dan
kelak dapat meledak setiap saat. perusahaan perkebunan.
Setelah Orde Baru berakhir dan era refor- Aktor yang memainkan peran dalam konflik
masi berawal, seiring dengan perubahan iklim agraria di Polongbangkeng sejak periode awal
demokrasi dan semakin longgarnya hubungan pa- adalah kareang (elite desa) sebagai kelompok
tronase petani dengan karaeng, ruang perlawanan yang diuntungkan (selain pihak perusahaan)
ke arah yang lebih praktis dan frontal semakin dalam pembukaan Pabrik Gula Takalar. Re-
terbuka. Petani mempersoalkan kembali proses sistensi petani terhadap Pabrik Gula Takalar
pembebasan lahan mereka pada awal pembangun- pada periode Orde Baru hanya memperlihatkan
an Pabrik Gula Takalar. Petani menggugat pihak gejala perlawanan yang bersifat terselubung.
Pabrik Gula Takalar untuk mengembalikan lahan Ini disebabkan oleh ruang protes yang hampir
mereka karena kontrak 25 tahun telah berakhir tidak ada akibat sikap represif negara di era
atau melakukan negosiasi atas lahan mereka. Orde Baru. Namun, sikap-sikap petani di luar
Gerakan petani Polongbangkeng selama satu pagar perusahaan memperlihatkan kekecewaan
dekade reformasi telah melahirkan konflik ke- terhadap perusahaan menyangkut masalah ke-
kerasan yang sampai kini belum terselesaikan. tenagakerjaan, perhatian sarana pedesaan yang
tidak mendapat dukungan perusahaan, limbah

Taufik Ahmad | Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar ... | 157


perusahaan dan lain sebagainya. Ketika semua Syarief, Elza. 2002. Menuntaskan Sengketa Tanah
harapan petani tidak terpenuhi, maka persoalan Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan,
lama mulai muncul kembali, antara lain proses Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
pembebasan lahan dan kontrak tanah HGU yang Wahyudi. 2005. Formasi dan Struktur Gerakan Sosial
Petani: Studi Kasus Reklaiming Atas Tanah
dipahami sepihak oleh petani. Akibat lebih jauh,
PT.PN XII Kalibakar Malang Selatan, Malang:
kekerasan yang terjadi sepanjang satu dekade Universitas Muhammadiyah Malang Press.
reformasi adalah cermin dari gagalnya penataan
agraria di Polongbangkeng, dan bukan tidak
Jurnal/Majalah/Artikel
mungkin akan terjadi pula di tempat-tempat lain
Buletin Pabrik Gula Takalar, Informasi dari dan untuk
di Indonesia. Karyawan. Takalar: 25 Maret 1994.
Bulletin Pabrik Gula Takalar. Informasi dari dan untuk
PUSTAKA ACUAN Karyawan. Takalar No.002 Thn. 1 s.d. April
1994.
Buku Bulletin Pabrik Gula Takalar. Informasi dari dan
Ahmad, Taufik. 2009. Kamp Pengasingan Mongcong- untuk Karyawan. Takalar No.002 Thn. 1 s.d.
loe, Jakarta: Desantara. Mei 1994.
Bigaleke, Terence William. 2005. Tana Toraja: A Sosial Faryadi, Erfan. 2008. “Sebab-sebab yang Melatarbe-
History of an Indonesian People, Singapore: lakangi Keterlibatan Kaum Tani dalam Politic
Singapore University Press. Land Reform” Makalah disampaikan pada
Chabot, Hendrik Th. 1984. “Bontoramba, sebuah Konferensi INFID ke-15 tanggal 27–28 Okto-
desa Goa, Sulawesi Selatan”, dalam Koentja- ber 2006.
raningrat, (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia,
Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Laporan Penelitian
Geertz, Clifford. 1963. The Social History of an Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1993. “The Politics of
Indonesia Town, Cambridge: The MIT Press. Agrarian Change and Clientelism in Indone-
Hamid, Pananrangi, dkk. 1989. Pola Penguasaan Pemi- sia: Bantaeng, South Sulawesi, 1833 to 1990”
likan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisio- Disertasi, Columbia University
nal di Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta: Ahmad, Taufik. 2013. Bandit dan Pejuang: Sejarah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sosial Politik Masyarakat Polobangkeng, Taka-
Kadir, Harun dkk. 1984. Sejarah Perjuangan Kemer- lar, 1905–1960 Laporan Penelitian, Makassar:
dekaan di Sulawesi Selatan 1945–1950. Ujung Balai Pelestarian Nilia Budaya Makassar.
Padang, Pemda Provinsi Sulawesi Selatan dan Bactiar, Ridsari. 1997. “Dampak Lingkungan Budaya
Unhas. akibat Berdirinya Pabrik Gula di Takalar”
Kemenpen RI. 1952. Provinsi Sulawesi 1952 Jakarta: dalam Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai
Kementerian Penerangan RI. Tradisional Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:
Limbong, Berhard. 2012. Reforma Agraria, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direk-
Pustaka Margaretha. torat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
Lyon, Margo L. 2008. “Dasar-dasar Konflik di Pede-
saan Jawa” dalam Soediono dan Gunawan
Wiradi (ed.) Dua Abad Penguasaan Tanah, Arsip
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Almanak Pertanian tahun 1954
Mustain. 2007. Petani Vs Negara: Gerakan Sosial Arsip Pribadi Muhammad Saleh
Petani Melawan Hegemoni Negara Yogya-
Arsip Takalar Reg.402
karta: Ar-Ruzz Media.
Napsar. 2008. Bandit Sosial di Makassar: Jejak
Perlawanan I Tolok Dg. Gassing, Makassar: Wawancara
Rayhan Intermedia. Daeng Nuhung, Wawancara, Polongbangkeng, 16 Juni
Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa 2012
ke Masa, Yogyakarta: Indonesia Tanah Air Beta. Daeng Bani, Wawancara, Polongbangkeng, 18 Juni 2012
Sulistyo, Bambang 2011. Konflik-konflik Tanah di Jufri, Wawancara, Takalar, 17 Juni 2012
Perkebunan Tebu Pabrik Gula Takalar (tidak Safaruddin, Wawancara, Polongbangkeng, 18 Juni 2012
diterbitkan)

158 | Masyarakat Indonesia, Vol. 40 (2), Desember 2014

You might also like