Professional Documents
Culture Documents
Konflik Agraraidi Polombangkeng
Konflik Agraraidi Polombangkeng
Konflik Agraraidi Polombangkeng
DI POLONGBANGKENG TAKALAR
Taufik Ahmad
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
E-mail: taufik_mukarrama@yahoo.com
ABSTRACT
In the early decade of the reform era, the agrarian conflicts increase dramatically and spread over various
economic sectors: plantation, forestry, mining, and even at various development projects of government and private
business. This is one of the strategic issues that the government must solve, given that the agrarian conflict has
hurt many parties and many casualties. This article aims to explain the genealogy of the agrarian conflict that
happened between farmers and PT PN XIVV, in Polongbangkeng, Takalar regency, South Sulawesi. By using
historical perspective, collecting archival sources, interviewing actors involved, this article shows that the bases
of the agrarian conflict in the reform era basically cannot be separated from political and economic developments
that in turn brought impact on political and economic polarization within local community. The presence of Barisan
Tani Indonesia, practices of land reform policy issued by government, the involvement of the noblemen (Karaeng)
in the farmer land acquisitions in terms of gaining profit for them selves, followed by the loosening of patron-client
relationship between Karaeng and farmers, all this became the genealogy of agrarian conflicts in the following
periode of time. The loosening relationship between farmers-karaeng was sharpened by new aliances of karaeng
with military and corporation during the New Order regime on the one hand. On the other hand, the farmers were
marginalized by karaeng-bureaucrats, corporation from gaining economic access such as the limitation of land
use and job opportunity in corporation. The accumulation of farmers’s grievances has found its form in violent
acts in the early decade of Reform Era, where political climate has given room for society to take protest openly.
Keywords: Agrarian conflict, economic polarization, political development, sugar factory, Polongbangkeng,
Takalar regency, South Sulawesi
ABSTRAK
Pada dekade awal reformasi, konflik agraria meningkat secara dramatis dan tersebar di berbagai sektor ekonomi:
perkebunan, kehutanan, pertambangan, bahkan pada berbagai proyek pembangunan pemerintah dan swasta. Konflik
ini adalah salah satu isu strategis yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah, mengingat bahwa konflik agraria
telah menelan banyak korban dan kerugian berbagai pihak. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan dasar dari
konflik agraria yang terjadi antara petani dan PT PN XIVV, di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar, Sulawesi
Selatan. Dengan menggunakan perspektif sejarah, mengumpulkan sumber-sumber arsip, wawancara aktor yang
terlibat, artikel ini menunjukkan bahwa dasar dari konflik agraria di era reformasi pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan politik dan ekonomi yang pada gilirannya juga berdampak pada polarisasi politik
dan ekonomi dalam masyarakat setempat. Kehadiran Barisan Tani Indonesia (BTI), praktik-praktik kebijakan land
reform yang dikeluarkan oleh pemerintah, keterlibatan para bangsawan (Karaeng) yang memperoleh keuntungan
bagi diri mereka dalam akuisisi lahan petani, diikuti dengan melonggarkan hubungan patron-klien antara Karaeng
dan petani menjadi genealogi konflik agraria pada periode-periode berikutnya. Melonggarnya hubungan antara
petani-Karaeng dipertajam oleh aliansi baru Karaeng dengan militer dan korporasi selama rezim Orde Baru di
satu sisi. Di sisi lain, petani terpinggirkan oleh peran Karaeng-birokrat dan korporasi dalam mendapatkan akses
ekonomi, seperti pembatasan penggunaan lahan dan kesempatan kerja di perusahaan. Akumulasi dari kekecewaan
petani menjadi nyata dalam bentuk tindak kekerasan pada dekade awal era reformasi ketika iklim politik telah
memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan protes secara terbuka.
Kata kunci: Konflik agraria, polarisasi ekonomi, pembangunan politik, pabrik gula, Polongbangkeng, Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan
145
PENDAHULUAN akhir. Selain itu, konflik agraria justru semakin
Sejak berakhirnya Orde Baru, konflik agraria memperlihatkan gejala akan meledak setiap saat.
memperlihatkan grafik yang terus menaik. Kon- Artikel ini mencoba menelusuri akar-akar
flik ini tampaknya bergerak dalam berbagai sektor konflik agraria dengan mengambil kasus konflik
ekonomi, baik di perkebunan, kehutanan, pertam- agraria antara petani dan Pabrik Gula Takalar
bangan maupun pada proyek-proyek pembangun- di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar, Sulawesi
an pemerintah. Konsorsium Pembaruan Agraria Selatan. Konflik agraria berhubungan erat dengan
(KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2004 struktur pemilikan tanah yang timpang serta
sampai 2013 terdapat 987 konflik agraria dengan implikasi pelaksanaan land reform dalam bidang
luas wilayah sengketa mencapai 3.680.974,58 sosial dan politik yang mengakibatkan perubahan
ha dan kecenderungan kasus serupa akan terus dan ketegangan yang berpotensi memunculkan
bermunculan. Tingginya jumlah konflik agraria konflik tanah. Sebagai sebuah studi awal, per-
ini merupakan wujud dari mandeknya pelaksa- soalan utama studi meliputi aspek-aspek sejarah
naan agenda reforma agraria. Persoalan agraria agraria di Polongbangkeng yang dilihat dari
ini merupakan isu strategis yang perlu mendapat relasi antara petani dan tuan tanah (karaeng-
perhatian karena menyangkut persoalan hidup bangsawan), kontrol dan penguasaan tanah,
rakyat Indonesia. perubahan politik, sosial dan ekonomi desa,
yang kesemuanya berkontribusi penting terhadap
Konflik agraria bukanlah fenomena baru,
munculnya konflik agraria di Polongbangkeng.
tetapi telah terjadi sejak periode kolonial. Adanya
kontrol Pemerintah Belanda atas tanah berdasarkan Dengan menggunakan perspektif sejarah
asas domain negara dan sebuah konsep legal-politik dan menempatkan fokus pada perubahan serta
yang hegemonik melayani pemerintah kolonial menelusuri akar-akar konflik agraria pada tiga
untuk memfasilitasi perusahaan-perusahaan rezim yang berbeda, artikel ini memaparkan dua
kapitalis Eropa dengan hak-hak penggunaan bahasan. Pertama, pembahasan tentang konteks
tanah dalam bentuk sewa (erpachtrecht) selama perkembangan konflik dengan meng amati
75 tahun (Rachman 2012) mengakibatkan rakyat beberapa proses yang terjadi dalam struktur
langsung merasakan akibat politik agraria kolo- sosial desa di Polongbangkeng sebagai akibat
nial Belanda ini, yaitu berupa kemiskinan dan dari perubahan-perubahan pola penggunaan
kesengsaraan. Setelah kemerdekaan Indonesia, dan penguasaan tanah. Kemudian konsekuensi
meskipun menjadi agenda utama yang ditandai perkembangan stratifikasi dan polarisasi ekonomi
dengan disahkannya Undang-Undang Pokok desa juga dijelaskan dengan melihat munculnya
Agraria (UUPA) Tahun 1960, program reforma garis pemisah antara petani dan tuan tanah, yang
agraria tidak terlaksana dengan baik karena memperoleh bentuk organisasi melalui struktur
administrasi agraria yang kacau dan adanya kon- kepartaian pada tahun 1950–60-an. Bagian ini
flik politik-ideologi. Pada periode Orde Baru, juga menguraikan munculnya isu/persoalan re-
persoalan agraria kemudian malah mengalami forma agraria di Polongbangkeng sebagai salah
pengendapan ketika paradigma pembangunan satu faktor yang mempertajam pertentangan
mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke antara petani dan tuan tanah. Kedua, pembahasan
dalam sistem kapitalisme melalui ekspansi tentang lahirnya Orde Baru yang mematikan
pasar dan kebijakan negara yang memfasilitasi perjuangan reforma agraria dan memunculkan
investasi. Negara juga melakukan kontrol yang program pembangunan yang menjadikan tanah
kuat terhadap semua elemen masyarakat sehingga sebagai pasar, yang ditandai dengan berdirinya
petani tidak memiliki ruang akses politik dan Pabrik Gula Takalar beserta segala prosesnya.
ekonomi untuk memperjuangkan kepentingan Studi tentang konflik agraria dari berbagai
mereka. Akibatnya, bukannya menyelesaikan per- perspektif telah banyak dilakukan. Wahyudi
soalan petani secara adil, tetapi malah melibatkan (2005) dan Mustain (2007) melakukan studi
banyaknya aktor/elite sehingga persoalan petani gerakan petani di Kalibakar Malang Selatan
hanya berujung pada janji dan debat tanpa solusi dalam menghadapi PTPN XII. Wahyudi lebih