Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

KESANTUNAN BERBAHASA BUGIS PADA MASYARAKAT BUGIS

DI KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN


Bugis Linguistic Politeness of Bugis Society in the Regency of Sinjai
the Province of North Sulawesi

Tamrin
Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah
Jalan Untad I, Bumi Roviga, Tondo, Palu 94118
Telepon (0451) 4705498; 421874, Faksimile (0451) 421843, Pos-el: thamrin21@ymail.com
(Diterima 11 September 2014; Revisi 2 Oktober 2014; Disetujui 21 November 2014)

Abstract

In the process of communication, politenes is the important aspect in life to create the good
communication among the speaker and listener. Politeness Strategy is applied to respect the others.
In other way, the politeness concept sometimes does not applied proportionally in communication.
Observing the case of politeness in using Bugis language in the society of the Regency of Sinjai, this
paper has aim to (1) describe the politeness language type in Bugis Society of the Regent of Sinjai
and (2) describe the realization of politeness linguistic strategy in Bugis Society of the Regency of
Sinjai. The applied method is pragmatics based on situation and context which is observed by social
semiotics aspect. The result of analysis shows that the type of linguistic politeness in Bugis society in
the Regency of Sinjai are using affixation proclitic morphem ta, pronominal enclitique ta, ki’, ni’,
honorific vocabulary iye, tabe, taddampenga. The realization of politeness linguistic strategy Bugis
society in the Regent of Sinjai found in the pragmatics types in some maxims that are wisdom,
humble, the acceptance of humble/sympathy and the realization and implication of siri’ culture which
is realized on the standard ethic concept and linguistic politeness, self-actualization, personal image,
courage, solidarity, and cooperation.

Keywords: linguistic politeness, Bugis ethnic, pragmatics

Abstrak

Dalam suatu proses komunikasi, kesantunan merupakan aspek penting dalam kehidupan untuk
menciptakan komunikasi yang baik antarpeserta tutur. Strategi kesantunan digunakan untuk lebih
menghargai orang lain. Meskipun demikian, konsep kesantunan tidak teraplikasi secara proporsional
dalam suatu komunikasi. Dengan mengangkat kasus kesantunan berbahasa Bugis masyarakat
Kabupaten Sinjai, penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bentuk kesantunan dalam
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai dan (2) mendeskripsikan wujud strategi kesantunan
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai. Metode yang digunakan adalah pendekatan
pragmatik berdasarkan konteks dan situasi yang ditinjau dari aspek semiotik sosial. Hasil analisis
menunjukkan bahwa bentuk kesantunan berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai, yaitu
penggunaan afikasasi morfem proklitik ta, enklitik pronomina ta, ki’, ni’, kosakata honorifik iye,
tabe, taddampengaka. Wujud strategi kesantunan berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai
ditemukan ragam pragmatik dalam beberapa maksim, yaitu maksim kebijakan, kemurahan,
penerimaan kerendahan hati/simpati dan realisasi, dan implikasi budaya siri’ yang terwujud dalam
konsepsi nilai dasar etika dan kesopanan berbahasa, aktualisasi diri, citra diri, keberanian, solidaritas,
dan kerja sama.

Kata kunci: kesantunan berbahasa, etnik Bugis, pragmatik


Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN proporsional oleh peserta tutur yang terlibat.


Bahasa dalam kehidupan manusia Untuk itu, kesantunan memiliki beberapa
merupakan suatu kebutuhan dasar, fungsi sosial dalam suatu interaksi
sebagaimana halnya dengan bernafas, antarindividu, antara lain menciptakan
makan, minum, dan kegiatan lainnya yang interaksi yang harmonis, menunjukkan rasa
bersifat alamiah. Bahasa tidak dapat hormat, dan lain sebagainya. Dengan
dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahasa demikian, kesantunan merupakan suatu
bersama manusia di mana saja, kapan saja, strategi dalam berkomunikasi yang efektif
dan dalam keadaan apa saja. Hjelmslev demi menghindari terjadinya konflik
(1943) menyatakan bahwa bahasa manusia antarindividu dalam suatu komunikasi.
adalah kekayaan manusia yang tidak terbatas Untuk menciptakan komunikasi yang
nilainya. Oleh karena itu, Al Gazali baik antarpeserta tutur, kesantunan
menempatkan ilmu bahasa (linguistik) merupakan aspek sangat penting. Strategi
dalam peringkat tertinggi sesudah ilmu alam kesantunan digunakan untuk lebih
di atas peringkat ilmu-ilmu yang lain. menghargai orang lain. Akan tetapi, kadang-
Fungsi utama bahasa adalah alat kadang konsep kesantunan tidak teraplikasi
komunikasi, sarana pergaulan, dan secara proporsional dalam suatu komunikasi.
perhubungan antarsesama manusia. Bahasa Hal itu yang menyebabkan perasaan lawan
juga merupakan sarana yang mempertalikan tutur kurang nyaman atau merasa
manusia dalam sistem-sistem tersinggung sehingga dapat mengancam
kemasyarakatan dan sebagai pendukung muka lawan tutur. Kondisi itu popular
kebudayaan. Di samping sebagai alat disebut face threatening acts (FTA) oleh
pembudayaan, bahasa sekaligus sebagai Brown dan Levinson (1978).
cermin perilaku kesopanan dan budaya Bangsa Indonesia yang terdiri atas
manusia. berbagai etnik yang akan warisan budaya
Perilaku kesopanan sangat erat bahasa. Warisan budaya itu mengandung
kaitannya dengan budaya dan bahasa suatu nilai-nilai luhur yang merupakan cermin
etnik. Kedua hal tersebut tidak dapat keperibadian bangsa. Akumulasi nilai-nilai
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. luhur tersebut dan memperkokoh jati diri
Bahasa merupakan cerminan budaya. bangsa Indonesia sebagai negara yang
Sebaliknya, budaya adalah nilai, prinsip yang multibahasa dan sebagai negara yang
dapat diyakini kebenarannya dalam suatu memiliki masyarakat yang sopan serta
masyarakat penutur suatu bahasa, dan dapat berperadaban tinggi. Namun, pada era
dijadikan panduan dalam berinteraksi dan keterbukaan dan reformasi sekarang ini,
berkomunikasi, termasuk budaya masyarakat kesopanan berbahasa masyarakat Indonesia
Bugis di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi cenderung menurun. Hal itu dirasakan dalam
Selatan. masyarakat Bugis yang ada di Kabupaten
Konsep kesantunan dalam komunikasi Sinjai. Bertolak dari realitas itu, wujud
sosial merupakan suatu hal yang mutlak kesopanan berbahasa ini perlu dikaji lebih
dimiliki oleh peserta tutur. Salah satu mendalam dan komprehensif agar dapat
variabel yang sangat menentukan suksesnya menjadi bahan pembentukan karakter
suatu komunikasi adalah sejauh mana konsep berbasis kearifan lokal. Usaha itu diharapkan
tersebut dapat diaplikasikan secara dapat menguatkan kembali jati diri dan

209
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014

perilaku sopan santun dalam berbahasa, tata cara, sopan-santun. Jadi, etiket
khususnya kesantunan berbahasa pada berbahasa berkaitan dengan perilaku
masyarakat Bugis Sinjai. (behavior), bagaimana orang menggunakan
Berdasarkan latar belakang itu, bahasa dalam bertutur sehingga diterima oleh
masalah yang ditelaah dalam penelitian ini lawan tutur dengan perasaan puas,
adalah: (1) Bagaimanakah bentuk menyenangkan, dan merasa dihormati atau
kesantunan dalam berbahasa masyarakat dihargai. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Bugis di Kabupaten Sinjai? (2) (2005:309) membedakan entri etika dengan
Bagaimanakah wujud makna kesantunan etiket. Etika diartikan sebagai nilai mengenai
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten yang baik dan yang buruk, nilai mengenai
Sinjai? Sejalan dengan permasalahan itu, benar dan salah yang dianut suatu golongan
penelitian ini bertujuan untuk (1) atau masyarakat. Sedangkan, etiket berkaitan
mendeskripsikan bentuk kesantunan dengan tata cara dalam masyarakat beradab
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten dalam memelihara hubungan baik antara
Sinjai dan (2) mendeskripsikan wujud sesama manusia.
strategi makna kesantunan berbahasa Chaer (2010) tidak membedakan istilah
masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai. etika dan etiket berbahasa. Chaer mengikuti
Setelah diperoleh simpulan yang pengertian etika berbahasa seperti yang
ilmiah mengenai etika kesantunan berbahasa dikemukakan oleh Geertz (1976). Dalam
Bugis di Kabupaten Sinjai dalam penelitian pemaparannya, kedua istilah itu digunakan
ini, diharapkan secara teoritis bermanfaat silih berganti dengan pengertian yang sama
dan memberikan sumbangan yang berharga atau hampir sama. Lakof (1978)
bagi pengembangan khazanah keilmuan memperkenalkan Teori Kesantunan yang
dalam kajian pragmatik, khususnya dalam sama sekali berbeda dan diklaim memiliki
bidang pembentukan kearifan lokal dalam sifat universal. Teori itu berfokus pada dua
masyrakat di Kabupaten Sinjai. Secara aspek, yakni aspek rasionalitas dan muka
praktis, penelitian ini diharapkan dapat (face) yang terdiri atas dua keinginan yakni
dijadikan sebagai bahan masukan dalam muka positif dan muka negatif. Muka positif
membina perilaku atau karakter bangsa dan mengacu kepada citra diri seseorang
kepribadian generasi pelanjut pada etnik sehingga segala yang dilakukannya
Bugis yang berbasis kearifan lokal (local mendapat penghargaan dari kumunitasnya.
wisdom). Leech (1983) lebih fokus merumuskan
kesopanan berbahasa ke arah pragmatik. Dia
LANDASAN TEORI mengusulkan dua sistem pragmatik, yaitu
Istilah etiket bahasa (linguistic retorika teks dan retorika interpersonal.
etiquette) dan kesantunan berbahasa Retorika teks mengacu pada prinsip
(linguistic politeness) sudah sering kali kejelasan (clearity principle), prinsip
dibahas dalam kajian Sosiolinguistik atau ekonomi (economy principle), dan prinsip
Sosiologi Bahasa. Dalam kepustakaan ekspresif (expressivity principle). Retorika
Sosiolinguistik, jarang digunakan perkataan interpersonal mengacu pada hubungan
etika berbahasa. Etika (ethics) berkaitan interpersonal antaranggota peserta tutur.
dengan aturan atau kaidah moral, Dalam kaitan itu, Leech merumuskan
pengetahuan tentang yang benar dan salah, maksim yang tertuju pada mitra tutur, yakni
sedangkan etiket (etiquette) berkaitan dengan maksim kearifan, kedermawanan,

210
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan

penerimaan, kerendahan hati, maksim yakni sipatangngari, sipakaraja, dan


kemufakatan, dan simpati. sipakatau (Mattulada, 1997).
Teori Lakoff dan Leech tersebut
disempurnakan oleh Brown dan Levinson METODE PENELITIAN
(1987) dengan Teori Konsep Wajah (face Lokasi penelitian ini di Kabupaten
want). Teori itu menekankan pada strategi Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Fokus
kesopanan berbahasa dengan memanfaatkan pengamatannya adalah mengenai
Teori Sosial dari Goffman. Inti teori itu karakteristik bahasa masyarakat Bugis Sinjai
menyelamatkan muka (face threthening act) dalam berinteraksi komunikasi sehari-hari.
mitra tutur, yakni penutur meyeleksi tuturan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
berdasarkan tiga faktor sosial, yaitu deskriptif, yakni penelitian yang dilakukan
hubungan sosial, kekuatan hubungan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena
simetris, dan skala penilaian tingkat yang secara empiris hidup pada penuturnya
penekanan. Hal itu disampaikan dalam face (Sudaryanto, 1988:62). Hasil yang diperoleh
threathening act (FTA). dalam penelitian berupa perian bahasa. Miles
Berdasarkan uraian tersebut, teori yang dan Huberman (dalam Sugiyono, 2009)
digunakan dalam penelitian ini adalah teori menyatakan bahwa aktivitas dalam analisis
yang diadopsi dari Lakoff dan Leech yang data kualitatif dilakukan secara terus-
mengategorikan korpus tuturan kesopanan menerus pada setiap tahapan penelitian
berbahasa dalam empat strategi, yaitu sehingga sampai tuntas dan datanya sampai
strategi bald on record, strategi kesopanan jenuh.
positif, startegi kesopanan negatif, dan Jenis data penelitian ini berupa data
startegi kesopanan off record. Strategi bald kualitatif. Data tersebut diperoleh melalui
on record terjadi ketika penutur mengujarkan studi kepustakaan (library research), tuturan
sesuatu yang sifatnya langsung, terang- bahasa masyarakat setempat, dan wawancara
terangan, apa adanya yang diakibatkan oleh dengan mempertimbangkan pemarkah
suatu situasi, misalnya dalam situasi darurat. kesopanan yang multidimensional. Oleh
Strategi kesopanan positif indikasinya, yaitu karena itu, penjaringan data digunakan
ujaran menghargai positif lawan tutur atau strategi sampel bertujuan (purposive
ujaran kesetiakawanan. Strategi kesopanan sampling) dan snow ball dengan metode
negativf, yaitu ujaran yang menunjukkan simak yang dikembangkan dengan teknik
rasa hormat, tidak melakukan penekanan bebas libat cakap, teknik rekaman dan
pada mitra tutur. Strategi kesopanan off dokumentasi, serta teknik elisitasi dan
record, yaitu suatu bentuk ujaran yang wawancara (Maksum, 2005). Analisis yang
sifatnya menyelamatkan muka mitra tutur digunakan ialah compenencialutterance
melalui ilokusi yang dinyatakan secara tidak (Brown dan Yule, 1983), yaitu mengkaji
langsung. makna interpretatif (pragmatik) dan nilai
Dalam budaya etnik Bugis, fenomena kalimat berdasarkan konteks dan situasi
kesopanan berbahasa yang telah diulas di ditinjau dari aspek semiotik sosial.
atas dapat dicermati dengan komprehensif
melalui makna nilai budaya siri’ yang
dielaborasi dalam tiga subsistem budaya,

211
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014

HASIL DAN PEMBAHASAN sedangkan morfem enklitika /mu/ pada kata


Bentuk dan ciri-ciri Linguistik uttimu dalam kalimat nomor 2 di atas
Dalam tataran morfologi dapat terkesan tidak sopan. Dengan demikian,
dicermati pada cuplikan tuturan dengan topik kedua morfem itu dapat menjadi penunjuk
tuturan‘menyuruh’. formula kesopanan berbahasa (linguistic
politeness).
1. Ta-la-ni utti-ta engka utaro di bola-e Ciri lain pemarkah kesopanan
'Kamu''ambil''lah'' pisang'' kita' ' ada saya
berbahasa adalah penggunaan iye, tabe, dan
simpan di rumah “kita”.
(Ambillah pisang kamu yang saya simpan di idi’, mengawali kalimat contoh seperti
rumahku) berikut ini.

2. Ala-ni utti-mu engka utaro di bola-e 5. Iye, narekko de’ saba’ engka mua tu matu
'Ambillah ''kamu' 'mobil''kamu' ' ada saya pole.
simpan di rumah “kita”. 'Iya'' kalau tidak ada halangan ada juga nanti
(Ambillah pisang kamu yang saya simpan di saya datang.
rumahku) (Iya, kalau tidak ada halangan saya akan
datang.)
3. Ta-re-ka dolo doi-ta dua pulo sebbu.
'Kasih' 'saya''dulu''uang'' kita'' dua puluh ribu’. 6. Iyo narekko de’ saba’ engka mua tu matu
(Beri saya dulu uang Anda dua puluh ribu pole.
rupiah) ‘Kalau tidak ada halangan ada juga nanti saya
datang’.
4. Are-ka dolo doi-mu dua pulo sebbu. (Kalau tidak ada halangan saya akan datang.)
'Kasih' 'saya''dulu''uang'' mu'' dua puluh ribu’.
(Beri saya dulu uang Anda dua puluh ribu 7. Tabe taddepengeng-ka, talaka ssaka surek
rupiah) motorokku di bolana puang Asis-ku.
‘Permisi maafkan saya, kamu ambilkan saya
Kata talani pada kalimat nomor 1 dan surat motorku di rumahnya Puang Asis saya.’
kata alani pada kalimat nomor 2 memiliki (Mohon maaf, tolong ambilkan surat motorku
makna yang sama, yaitu ’ambillah’. di rumahnya Puang Asis.)
Perbedaannya adalah kata talani diawali
8. Alassaka surek motorokku di bolana puang
dengan morfem /ta-/ kamu, yaitu Asis.
menyuratkan pronoun /ta/ pada kata yang ‘Ambilkan saya surat motorku di rumahnya
sifatnya imperatif sebagai suatu formula Puang Asis.’
linguistik kesopanan dalam bahasa Bugis (Ambilkan surat motorku di rumahnya Puang
Sinjai. Sebaliknya, apabila tidak Asis.)
menyebutkan morfem /’ta’/ pada kata Penggunaan morfem iye ‘iya’ seperti
imperatif, seperti kata alani menunjukkan pada tuturan nomor 5 merupakan wujud
suatu formula linguistik yang kurang sopan realisasi nilai budaya mappasikaraja ’saling
atau tidak sopan karena mengandung makna menghargai’ atau sipakalebbi ‘saling
suruhan yang sifatnya langsung, tanpa memuliakan’. Kata iye merupakan sistem
pelembut pronomina /ta/. Sama dengan yang leksikal yang memiliki makna sosial
terdapat pada tuturan nomor 3 dan 4. Hal kesantunan. Kata ‘iye’ dalam masyarakat
yang serupa dapat dicermati pada Bugis di Kabupaten Sinjai merupakan kata
penggunaan morfem enklitika /ta-/ pada kata yang memiliki makna sosial kesantunan.
uttitta ’pisang kamu’ pada kalimat nomor 1 Kata itu digunakan untuk mengiyakan atau
yang merupakan penanda kesopanan,

212
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan

menyetujui sesuatu hal yang disampaikan (Dik, dimana rumahnya Petta Nasse?.)
oleh lawan tutur yang lebih tua atau lawan
P2: Oh iyye, Puang, engkai ri attang, ri
tutur yang dihormati. Di samping itu,
seddena po cemmpa loppoe.
penggunaan morfem iyo juga bermakna ‘iya’ ‘Oh iya, Puang, ada di sebelah timur, di
pada kalimat nomor 6 tidak lebih santun dekatnya pohon asam yang besar’.
dibandingkan dengan kalimat nomor 5. Kata (Oh iya Puang, rumahnya ada di sebelah
iyo ‘iya’ biasanya digunakan untuk timur dekat pohon asam besar.)
mengiyakan atau menyetujui pernyataan
Percakapan nomor 9(P2) menunjukkan
lawan bicara yang sebaya atau menyetujui
bahwa tuturan tersebut bersifat formal yang
pernyataan lawan tutur yang lebih muda.
mengindikasikan kesopanan, yakni memiliki
Selain itu, realisasi nilai budaya
formula linguistik yang baik dan teratur. Di
mappasikaraja ‘saling menghargai’, atau
samping itu, penggunaan morfem /iyye/ dan
sipakalebbi ‘saling memuliakan’ ditandai
leksem /puang/ merupakan realisasi
pula dengan penggunaan morfem tabe
implikasi nilai makna budaya sipakaraja dan
‘permisi’, penggunaan morfem
sipakatau terhadap mitra bicara. Sapaan
tadampengenga ‘maafkan saya’. Contoh
’puang’ pada masyarakat Bugis di
dalam kalimat nomor 7 tabe taddempenga-ka
Kabupaten Sinjai adalah sebutan dan sapaan
talassaka surek motorokku ri bolana Puang
hormat secara umum, tetapi dalam konteks
Asis-ku, ‘permisi maafkan saya mohon
ini, mitra bicara tetap menggunakan sebutan
ambilkan surat motorku di rumahnya Puang
itu pada orang yang belum dikenal statusnya.
Asis-ku’ merupakan contoh sebuah
Hal tersebut dipicu oleh faktor karakter
permohonan atau permintaan yang bernuansa
psikologis untuk berlaku sopan pada orang
kesantunan dalam bertutur. Kata Puang Asis-
lain yang disebut mappakalebbi
ku ‘Puang Asis saya’ menandakan bahwa
’memuliakan’ atau mappakaraja
posisi lawan tutur berada dalam posisi lebih
menghargai’.
tinggi (power). Berbeda dengan kalimat
Selanjutnya, terlihat pula pada contoh
nomor 8, kalimat tersebut tidak
percakapan antara kakak dengan adik dalam
menggunakan kata tabe, taddempenga-ka,
situasi akrab berkerabat. Dalam hal ini dapat
hal tersebut menandakan bahwa posisi lawan
dikatakan bentuk hubungan peserta tutur
tutur lebih bersifat simetri (tidak setara) atau
yang lebih bersifat asimetri (tidak setara),
penutur mempunyai kekuasaan (power)
bukan simetri (setara) seperti umumnya
dibandingkan dengan lawan tutur.
dimiliki oleh interaksi akrab/intim. Contoh
Masyarakat etnik Bugis di Kabupaten
percakapannya sebagai berikut.
Sinjai pada umumnya mempunyai karakter
berlaku sopan pada orang lain yang disebut 10. P1: Oh Ndi engka elo’ upuada-ko.
sebagai mappakalebbi ’memuliakan’ atau ‘Oh Adik ada yang mau saya beri tahu
mappakaraja ’menghargai’ meskipun kamu.’
interlokutornya tidak saling mengenal. (Oh, Dik, ada yang ingin kusampaikan
padamu.)
Berikut adalah contoh percakapannya.
P2: Iye, aga ro Daeng.
9. P1: Elo-ka makkutana Ndi, digaro bolana (Apa itu Kak.)
Petta Nasse?
‘Mau saya bertanya Dik, dimana P1: Mellao tulu-ka mabbicara-ko dolo lao ri
rumahnya Petta Nasse’? Bapak.

213
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014

‘Minta tolong saya berbicara kamu dulu di 12. P1:Tabe taddampengi-ka Karaeng, idi-mi
Bapak.’ uduppa, naelora-ki Puang Parenrengi
(Saya minta tolong kepada kamu agar lao tudang ri gauna henninna Kammisi
kamu memberitahukan Bapak.) tette pitu re hennie.
‘Permisi maafkan saya Karaeng, kita- saja
P2: Aga elo u-pau Daeng?, maga-ki kah? saya jemput (panggil) dikehendaki Puang
‘Apa mau saya bilang Daeng?, kenapa kita Parenrengi pergi duduk di pesta malam
kah?’ Kamis jam 7 malam.’
(Apa yang akan saya katakana Daeng?, (Permisi,mohon maaf Karaeng, kami
Kenapakah Daeng? jempuk Karaeng berkunjung ke rumahnya
Puang Parenrengi pukul 7 malam guna
Pola strategi kesantunan yang menghadiri pesta pernikahan anaknya.)
ditunjukkan oleh kedua peserta tutur masih
P2:Iyo, isyaAllah, sellekku lao ri Puang
terlihat simetri. P1 pada umumnya Parenrengi.
menggunakan pola sapaan yang lebih kasual ‘Iya, isyaAllah, salamku pergi ke Puang
atau kurang sopan, seperti ‘-ko’ (kamu). Parenrengi’.
Sebaliknya, P2 cenderung memilih pola (Iya, isyaAllah, salam buat Puan
bentuk sapaan yang lebih sopan, seperti ‘-ki’ Parenrengi.)
(kamu) dan ‘iyye’ (iya). Bila diamati secara
Berdasarkan wacana nomor 11 dan 12
saksama dialog tersebut dengan jelas
diketahui bahwa P2 memiliki status yang
menunjukkan bahwa aspek senioritas juga
lebih tinggi daripada P1. Apabila dicermati
memiliki peran yang krusial terhadap pola
tuturan P1, ternyata tuturan itu menggunakan
strategi kesantunan yang dipilih oleh peserta
kalimat-kalimat tak langsung, seperti pada
tutur dalam situasi interaksi. Senior lebih
tuturan nomor 11. Begitu juga pada tuturan
cenderung memilih pola sapaan yang lebih
nomor 12, tuturan itu menggunakan kalimat
kasual sehingga tampil kurang sopan, seperti
tak langsung atau strategi sangat resmi
pilihan P1 sebagai kakak pada dialog nomor
dengan menggunakan off record strategy
10, sedangkan P2 tetap memilih pola sapaan
atau tidak langsung, dan menggunakan pula
yang lebih sopan karena dia lebih yunior,
leksem yang menunjukkan kesopanan
yakni adik dari P1.
berbahasa yang berterima, seperti kata tabe
Selanjutnya, pola strategi kesantunan
‘permisi’ tadampengenga ‘maafkan saya,’
skala status dengan posisi sosial interlokutor
attata puang ‘suruhan puang’ dalam tuturan
berjarak (distance), kuasa versus nonkuasa
nomor 11 dan tuturan 12. Selain itu, formula
(power vs powerless) seperti percakapan
linguistik tuturan P2 menggunakan kalimat-
berikut ini.
kalimat langsung, seperti pada tuturan nomor
11. P1: Tabe ta-ddampengi atta-ta 11. Begitu juga pada tuturan nomor 12,
Karaeng,hedding muka maccoe ri idi lao sifatnya kalimat langsung atau strategi apa
gau-e? adanya bald on-record strategy. Jadi, P2
‘Permisi, maafkan suruhan kamu (status tinggi) cenderung menggunakan
Karaeng, bisa saya ikut sama kita pergi ke
kalimat langsung atau strategi bald on record
acara?’
(Permisi mohon maaf Karaeng, apakah bila berinteraksi dengan peserta tutur yang
saya boleh ikut sama Karaeng ke acara?) lebih rendah status sosialnya, sedangkan P1
(status rendah) cenderung menggunakan
P2: Iyo, coe bahang-no! kalimat-kalimat resmi sebagai wujud
‘Iya, ikut saja kamu.’
mapakalebbi ‘memuliakan’ mitra tuturnya.
(Iya, silahkan kamu ikut.)

214
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan

Contoh pada kalimat nomor 11 dan 12 itu kearifan atau kebijakan. Daya ilokusi lain
sebagai wujud kesopanan berbahasa dalam terkait dengan maksim kebijakan, antara lain
budaya etnik Bugis di Kabupaten Sinjai. (1) memerintah dan memohon, (2) menuntut
dan memberi nasehat, (3) menjanjikan, dan
Wujud Strategi Kesopanan Berbahasa (4) menawarkan. Faktor lain yang
Masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai ditunjukkan oleh kedua interaksi tersebut,
(Ragam Makna Pragmatik) yaitu terjadinya respon antara P1 dan P2.
Berkaitan dengan pragmatik, Pada interaksi P1, pertanyaan polar yang
kesopanan berbahasa masyarakat Bugis di diajukan oleh P1 dilakukan secara tidak
Kabupaten Sinjai ditemukan empat maksim, langsung agar P1 terhindar dari kesan
yakni (1) maksim kebijakan; (2) maksim memerintah. Demikian juga P2 menjawab
kemurahan; (3) maksim penerimaan; (4) secara tidak langsung dengan menggunakan
maksim kerendahan hati. Selain itu, juga kata iye bukan iyo agar terhindar dari kesan
ditemukan daya ilokusi merendahkan diri. angkuh atau sombong.
Berikut ini merupakan contoh tuturan
keempat maksim tersebut. Maksim Kemurahan
Indikasi maksim ini memiliki ciri-ciri
Maksim Kebijakan ekspresif dan asertif. Tuturan ekspresif
Maksim kebijakan menggariskan mempunyai fungsi mengekspresikan,
bahwa setiap peserta tutur memaksimalkan mengungkapkan, atau memberitahukan sikap
keuntungan orang lain. psikologis seseorang, berwujud pernyataan
Contoh: ilokusi seperti mengucapkan terima kasih,
memuji, dan menyatakan belasungkawa.
13. P1:Hedding mua Etta ua-ppikatuang Tuturan asertif melibatkan pembicara pada
pakkamaja sikola-na ata-tta nakko
lao-ki ri Bone? kebenaran proposisi yang diekspresikan,
'Bisakah saja saya kirimkan pembayaran misalnya menyatakan, mengeluh,
sekolahnya suruhan kita kalau pergi menyarankan, dan melaporkan. Hal itu dapat
kita ke Bone?’ dilihat pada cuplikan wacana berikut dengan
(Bolehkah saya kirimkan pembayaran topik menyatakan terima kasih.
sekolahnya anak saya kalau Etta (sapaan
bangsawan Bugis) pergi ke Bone?)
14. P1 : Sukkuru ladde-ka Ndi engka mu-ki
P2: Iye, alani mai pakkamaja-na paitang-i laleng anaureta na lulusu
‘Iya, kasih kemari pembayaran-nya.’ mancaji guru.
(Iya, mari saja pembayarannya.) ‘Syukur sangat saya adik ada kamu
juga tunjukkan dia jalan kemenakan
Tuturan nomor 13 mengandung makna kamu sehingga lulus menjadi guru.’
(Saya sangat bersukur adik, karena
ilokusi, yakni untuk meminta bantuan atau kamu telah menunjukkan jalan kepada
bernilai suruhan, tetapi diperhalus dengan kemenakanmu, sehingga dia lulus
formulasi kalimat interogatif, seperti tuturan menjadi guru.)
P1 yang diawali aspek hadge strategy, yaitu
hedding mua ... ? ‘apakah boleh ... ?’. P2 : Iye, terima kasih Daeng!
'Iya terima kasih Kak'
Konteks itu merupakan inti Teori Kesopanan (terima kasih Kak.)
dalam bentuk strategi negatif (negative
politeness). Hal itu tercakup dalam maksim

215
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014

Wacana 14 menunjukkan kerja sama. Maksim Kerendahan Hati


Selain menggunakan leksem seperti /iye/, ndi Maksim kerendahan hati adalah
dan eklitika pronomina /-ki/ yang melekat maksim yang mengharuskan penutur
pada nomina engka mu-ki ’ada kamu’, memaksimalkan rasa simpati pada mitra
wacana itu juga menggunakan kata anaure- tutur dan meminimalkan rasa antipati.
ta ’kemenakanmu’ sebagai pemarkah Berikut dikemukan contoh tuturan yang
kesopanan. Tuturan tersebut menunjukkan termasuk maksim kerendahan hati.
pola strategi kesantunan yang lebih konsisten
yang dipilih oleh kedua penutur tersebut. P2 16. P1: Iye, macca memeng anak-ta.
merespon pernyataan P1 dengan mengatakan 'Iya pintar memang anaknya kita '
iye. (Ya memang pintar anakmu)

Maksim Penerimaan P2: Ah de to, kebetulan-mi ro, biasa- biasa


Maksim penerimaan mempunyai ciri mi.
meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri, 'Ah tidak juga kebetulan hanya begitu
biasa-biasa saja.'
sebagaimana terungkap pada korpus data
(Ah tidak, hanya kebetulan, biasa-biasa
berikut ini.
saja.)
15. P1: Idi-mi uwa-kattai u-appisengi, u-elorak-
ki lao tudang sipulung ri bola-e abaca Tuturan nomor 16, P1 memaksimalkan
doanganna hakika-na anak-ku, essona rasa hormat pada lawan bicara atas suatu
Araba tette seppulo. keberhasilan. Namun, tuturan nomor P2
‘Kamu saja saya kunjungi memanggil,
berupaya meminimalkan rasa tidak hormat
saya mau kita pergi duduk bersama di
rumah kita membaca doa akikanya pada diri sendiri. Artinya, tuturan simpati itu
anakku.’ menunjukkan tingkat sopan yang tinggi.
(Saya mengundang kamu datang ke Bentuk dan ciri linguistik pemarkah
rumah guna menghadiri acara akikah kesopanan berbahasa Bugis masyarakat
anak saya.)
Kabupaten Sinjai terdapat dua tataran, yakni
P2: Iye, tarima kasi isyaAllah ele’ muka itu tataran morfologi dan sintaksis. Dalam
lao ri gaut-ta. tataran morfologi terdapat (1) enklitika –ta (-
‘Iya, terima kasih, isyaAllah pagi saya mu tidak sopan) yang menunjukkan
pergi ke acara kita’. possesivepronoun, (2) proklitika ta- dan
(Iya, terima kasih, isyaAllah agak pagi
morfofonemik t- kombinasi kata kerja, dan
saya akan ke acaramu.)
(3) enklitika -ki (ko tidak sopan) dan
Berdasarkan tuturan nomor 15, enklitika ni (-no tidak sopan) dalam kata.
ekspresi tuturan menggunakan formula Dalam tataran sintaksis terdapat: (1) Kosa
linguistik yang baik dan sopan, serta situasi kata pemarkah kesopanan iye ‘ya’ tabe,
tutur sangat formal, leksem iye ’ya’, leksem ‘permisi’ taddampengengnga ‘maafkan
idimi ’hanya engkau’, dan u-akattai ’saya saya’, tatolonga ‘kau bantu saya’,
sengaja’ dan enklitika pronomina -ki pada upuminasai ‘bermaksud’. Kata-kata khusus
kata uelora(ki) ’mengundang kamu’ itu diperuntukkan pada peserta tutur yang
berperan sebagai pemarkah kesopanan untuk memiliki status sosial yang tinggi dalam
mewujudkan budaya sipakatau situasi resmi (2) Penggunaan kata honorifik,
‘memuliakan’. misalnya: puang’ petta, amure, daeng, dan

216
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan

ndi. (3) Penggunaan kata-kata menggantung


(hedging strategy) atau tidak memaksa SIMPULAN
seperti naulle ‘mungkin’, narekko ‘kalau’. Kesopanan berbahasa pada masyarakat
Kekuatan tuturan yang bermakna Bugis di Kabupaten Sinjai mereflesikan
pragmatik dan semiotic, misalnya dalam hal pengimplementasian nilai-nilai budaya “siri”
melarang: malessi laddei becata daeng sebagai nilai sentral. Berlandasan nilai-nilai
‘terlalu kencang becak kamu kak’. Larangan itu masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai
itu termasuk kategori yang sopan karena menciptakan ragam atau variasi tuturan
menggunakan kalimat deklaratif yang sebagai strategi kesopanan berbahasa. Selain
sebenarnya bermaksud melarang. Temuan itu, kesopanan berbahasa juga dipengaruhi
penelitian ini memiliki kesejajaran dengan oleh faktor status peserta tutur dan situasi.
temuan Achmad (2012), yakni keduanya Berkaitan dengan formula linguistik, bentuk
memiliki keuniversalan formula linguistik, kesantunan berbahasa masyarakat Bugis di
seperti penggunaan morfem, partikel, dan Kabupaten Sinjai sangat bervariatif, yaitu
kosa kata tertentu, serta sapaan yang tepat, terdiri atas penggunaan pronomina sebagai
panjang pendeknya tuturan, dan kinesik, proklitika dan enklitika, penggunaan kosa
serta fitur-fitur pragmatik. kata khusus, seperti tabe, taddampengenga
Berkaitan dengan pragmatik, dan kosa kata honorifik berupa sapaan
kesopanan berbahasa masyarakat Bugis di seperti ‘puang’, ‘iye’, ‘daeng’, ndi, sappo,
Kabupaten Sinjai ditemukan empat maksim, amure, dan sebagainya. Pada tataran
yakni (1) maksim kebijakan, (2) maksim sintaksis, kesopanan berbahasa juga
kemurahan, (3) maksim penerimaan, dan (4) dilakukan dengan penggunaan kalimat tak
maksim kerendahan hati. Dalam maksim langsung (hint strategy) sebagai
Grice dengan keempat maksimnya itu pengejawantahan nilai makna budaya “siri”
menyatakan bahwa hal yang harus dilakukan dan perangkat nilai makna budaya
peserta tutur agar mereka dapat berbicara sipatangngari, sipakaraja dan sipakalebi.
secara efisien, rasional, dan dilandasi kerja Wujud kesopanan berbahasa Bugis
sama. Artinya, pembicara harus berkata masyarakat di Kabupaten Sinjai dikaitkan
jujur, relevan, jelas, dengan memberikan dengan pragmatik ditemukan dalam
informasi secukupnya. Bila dalam beberapa maksim, yaitu maksim kebijakan,
percakapan, jika penutur atau mitra tutur kemurahan, penerimaan, dan kerendahan
melanggar prinsip kerja sama dari Grice, hati. Di samping itu, strategi ekspresi tuturan
tidaklah berarti mereka gagal dalam terdapat empat strategi kesopanan berbahasa,
menggunaakan bahasa karena pada dasarnya yaitu bald on record, kesopanan positif,
mereka menyadari penyimpangan itu. Di kesopanan negatif, kesopanan off record
sinilah peranan makna pragmatik dalam yang wujudnya merupakan pengejawantahan
mengatasi masalah yang mungkin timbul bila nilai realisasi budaya “siri”. Keempatnya itu
memberlakukan prinsip kerja sama dari berimplikasi pada kecermatan berbahasa
Grice dengan keempat maksimnya itu. Oleh (language awarness), solidaritas, perilaku
sebab itu, Leech (1983) menyatakan bahwa kesopanan berbahasa atau etiket, dan etika
pragmatik sebagai media pemecah masalah berbahasa pada masyarakat Bugis di
dalam interaksi komunikasi. Kabupaten Sinjai

217
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014

DAFTAR PUSTAKA
Alwasila, A. Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit Angkasa.

Brown, G. dan Yule, G. 1983.Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Brown, P. And S. C. Levinson, 1987. Politeness: Some Universal in Language Usage.


Cambridge: Cambridge University Press.

Cummings, L. 2005. Pragmatics: A Multidisciplinary Perspective. Edinburgh University


Press Ltd.

Geertz, Clifford. 1972. “Linguistic Etiquette” dalam Joshua A. Fishman (ed). Reading in The
Sociology of Language. The Hague; Mouton & Co. 282—295.

Hjelmslev, Los. 1943. Progelomena to a Theory of Language. Mediso: The University of


Wisconsin Press.

Lakoff, R. (1977). “What you can do with words: Politeness, Pragmatics and performatives.”
in Rogers, P. (ed). Proceedings of Texas Conferences and Performatives, Airlinton.
VA: Center of Applied of Linguistics.PP. 79—105.

Leech, Geoffery N. 1983. Principle of Pragmatic. N.Y. : Longman.

Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi. Metode dan Tekniknya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Press.

Mattulada. 1997. “Kebudayaan Bugis Makassar.” Dalam Manusia dan Kebudayaan di


Indonesia. Koentjaraningrat. Djembatan. Jakarta.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik (Bagian pertama). Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kulaitatif. Bandung: Alfabeta.

218

You might also like