Professional Documents
Culture Documents
9 17 1 SM
9 17 1 SM
Tamrin
Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah
Jalan Untad I, Bumi Roviga, Tondo, Palu 94118
Telepon (0451) 4705498; 421874, Faksimile (0451) 421843, Pos-el: thamrin21@ymail.com
(Diterima 11 September 2014; Revisi 2 Oktober 2014; Disetujui 21 November 2014)
Abstract
In the process of communication, politenes is the important aspect in life to create the good
communication among the speaker and listener. Politeness Strategy is applied to respect the others.
In other way, the politeness concept sometimes does not applied proportionally in communication.
Observing the case of politeness in using Bugis language in the society of the Regency of Sinjai, this
paper has aim to (1) describe the politeness language type in Bugis Society of the Regent of Sinjai
and (2) describe the realization of politeness linguistic strategy in Bugis Society of the Regency of
Sinjai. The applied method is pragmatics based on situation and context which is observed by social
semiotics aspect. The result of analysis shows that the type of linguistic politeness in Bugis society in
the Regency of Sinjai are using affixation proclitic morphem ta, pronominal enclitique ta, ki’, ni’,
honorific vocabulary iye, tabe, taddampenga. The realization of politeness linguistic strategy Bugis
society in the Regent of Sinjai found in the pragmatics types in some maxims that are wisdom,
humble, the acceptance of humble/sympathy and the realization and implication of siri’ culture which
is realized on the standard ethic concept and linguistic politeness, self-actualization, personal image,
courage, solidarity, and cooperation.
Abstrak
Dalam suatu proses komunikasi, kesantunan merupakan aspek penting dalam kehidupan untuk
menciptakan komunikasi yang baik antarpeserta tutur. Strategi kesantunan digunakan untuk lebih
menghargai orang lain. Meskipun demikian, konsep kesantunan tidak teraplikasi secara proporsional
dalam suatu komunikasi. Dengan mengangkat kasus kesantunan berbahasa Bugis masyarakat
Kabupaten Sinjai, penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bentuk kesantunan dalam
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai dan (2) mendeskripsikan wujud strategi kesantunan
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai. Metode yang digunakan adalah pendekatan
pragmatik berdasarkan konteks dan situasi yang ditinjau dari aspek semiotik sosial. Hasil analisis
menunjukkan bahwa bentuk kesantunan berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai, yaitu
penggunaan afikasasi morfem proklitik ta, enklitik pronomina ta, ki’, ni’, kosakata honorifik iye,
tabe, taddampengaka. Wujud strategi kesantunan berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai
ditemukan ragam pragmatik dalam beberapa maksim, yaitu maksim kebijakan, kemurahan,
penerimaan kerendahan hati/simpati dan realisasi, dan implikasi budaya siri’ yang terwujud dalam
konsepsi nilai dasar etika dan kesopanan berbahasa, aktualisasi diri, citra diri, keberanian, solidaritas,
dan kerja sama.
209
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014
perilaku sopan santun dalam berbahasa, tata cara, sopan-santun. Jadi, etiket
khususnya kesantunan berbahasa pada berbahasa berkaitan dengan perilaku
masyarakat Bugis Sinjai. (behavior), bagaimana orang menggunakan
Berdasarkan latar belakang itu, bahasa dalam bertutur sehingga diterima oleh
masalah yang ditelaah dalam penelitian ini lawan tutur dengan perasaan puas,
adalah: (1) Bagaimanakah bentuk menyenangkan, dan merasa dihormati atau
kesantunan dalam berbahasa masyarakat dihargai. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Bugis di Kabupaten Sinjai? (2) (2005:309) membedakan entri etika dengan
Bagaimanakah wujud makna kesantunan etiket. Etika diartikan sebagai nilai mengenai
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten yang baik dan yang buruk, nilai mengenai
Sinjai? Sejalan dengan permasalahan itu, benar dan salah yang dianut suatu golongan
penelitian ini bertujuan untuk (1) atau masyarakat. Sedangkan, etiket berkaitan
mendeskripsikan bentuk kesantunan dengan tata cara dalam masyarakat beradab
berbahasa masyarakat Bugis di Kabupaten dalam memelihara hubungan baik antara
Sinjai dan (2) mendeskripsikan wujud sesama manusia.
strategi makna kesantunan berbahasa Chaer (2010) tidak membedakan istilah
masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai. etika dan etiket berbahasa. Chaer mengikuti
Setelah diperoleh simpulan yang pengertian etika berbahasa seperti yang
ilmiah mengenai etika kesantunan berbahasa dikemukakan oleh Geertz (1976). Dalam
Bugis di Kabupaten Sinjai dalam penelitian pemaparannya, kedua istilah itu digunakan
ini, diharapkan secara teoritis bermanfaat silih berganti dengan pengertian yang sama
dan memberikan sumbangan yang berharga atau hampir sama. Lakof (1978)
bagi pengembangan khazanah keilmuan memperkenalkan Teori Kesantunan yang
dalam kajian pragmatik, khususnya dalam sama sekali berbeda dan diklaim memiliki
bidang pembentukan kearifan lokal dalam sifat universal. Teori itu berfokus pada dua
masyrakat di Kabupaten Sinjai. Secara aspek, yakni aspek rasionalitas dan muka
praktis, penelitian ini diharapkan dapat (face) yang terdiri atas dua keinginan yakni
dijadikan sebagai bahan masukan dalam muka positif dan muka negatif. Muka positif
membina perilaku atau karakter bangsa dan mengacu kepada citra diri seseorang
kepribadian generasi pelanjut pada etnik sehingga segala yang dilakukannya
Bugis yang berbasis kearifan lokal (local mendapat penghargaan dari kumunitasnya.
wisdom). Leech (1983) lebih fokus merumuskan
kesopanan berbahasa ke arah pragmatik. Dia
LANDASAN TEORI mengusulkan dua sistem pragmatik, yaitu
Istilah etiket bahasa (linguistic retorika teks dan retorika interpersonal.
etiquette) dan kesantunan berbahasa Retorika teks mengacu pada prinsip
(linguistic politeness) sudah sering kali kejelasan (clearity principle), prinsip
dibahas dalam kajian Sosiolinguistik atau ekonomi (economy principle), dan prinsip
Sosiologi Bahasa. Dalam kepustakaan ekspresif (expressivity principle). Retorika
Sosiolinguistik, jarang digunakan perkataan interpersonal mengacu pada hubungan
etika berbahasa. Etika (ethics) berkaitan interpersonal antaranggota peserta tutur.
dengan aturan atau kaidah moral, Dalam kaitan itu, Leech merumuskan
pengetahuan tentang yang benar dan salah, maksim yang tertuju pada mitra tutur, yakni
sedangkan etiket (etiquette) berkaitan dengan maksim kearifan, kedermawanan,
210
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan
211
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014
2. Ala-ni utti-mu engka utaro di bola-e 5. Iye, narekko de’ saba’ engka mua tu matu
'Ambillah ''kamu' 'mobil''kamu' ' ada saya pole.
simpan di rumah “kita”. 'Iya'' kalau tidak ada halangan ada juga nanti
(Ambillah pisang kamu yang saya simpan di saya datang.
rumahku) (Iya, kalau tidak ada halangan saya akan
datang.)
3. Ta-re-ka dolo doi-ta dua pulo sebbu.
'Kasih' 'saya''dulu''uang'' kita'' dua puluh ribu’. 6. Iyo narekko de’ saba’ engka mua tu matu
(Beri saya dulu uang Anda dua puluh ribu pole.
rupiah) ‘Kalau tidak ada halangan ada juga nanti saya
datang’.
4. Are-ka dolo doi-mu dua pulo sebbu. (Kalau tidak ada halangan saya akan datang.)
'Kasih' 'saya''dulu''uang'' mu'' dua puluh ribu’.
(Beri saya dulu uang Anda dua puluh ribu 7. Tabe taddepengeng-ka, talaka ssaka surek
rupiah) motorokku di bolana puang Asis-ku.
‘Permisi maafkan saya, kamu ambilkan saya
Kata talani pada kalimat nomor 1 dan surat motorku di rumahnya Puang Asis saya.’
kata alani pada kalimat nomor 2 memiliki (Mohon maaf, tolong ambilkan surat motorku
makna yang sama, yaitu ’ambillah’. di rumahnya Puang Asis.)
Perbedaannya adalah kata talani diawali
8. Alassaka surek motorokku di bolana puang
dengan morfem /ta-/ kamu, yaitu Asis.
menyuratkan pronoun /ta/ pada kata yang ‘Ambilkan saya surat motorku di rumahnya
sifatnya imperatif sebagai suatu formula Puang Asis.’
linguistik kesopanan dalam bahasa Bugis (Ambilkan surat motorku di rumahnya Puang
Sinjai. Sebaliknya, apabila tidak Asis.)
menyebutkan morfem /’ta’/ pada kata Penggunaan morfem iye ‘iya’ seperti
imperatif, seperti kata alani menunjukkan pada tuturan nomor 5 merupakan wujud
suatu formula linguistik yang kurang sopan realisasi nilai budaya mappasikaraja ’saling
atau tidak sopan karena mengandung makna menghargai’ atau sipakalebbi ‘saling
suruhan yang sifatnya langsung, tanpa memuliakan’. Kata iye merupakan sistem
pelembut pronomina /ta/. Sama dengan yang leksikal yang memiliki makna sosial
terdapat pada tuturan nomor 3 dan 4. Hal kesantunan. Kata ‘iye’ dalam masyarakat
yang serupa dapat dicermati pada Bugis di Kabupaten Sinjai merupakan kata
penggunaan morfem enklitika /ta-/ pada kata yang memiliki makna sosial kesantunan.
uttitta ’pisang kamu’ pada kalimat nomor 1 Kata itu digunakan untuk mengiyakan atau
yang merupakan penanda kesopanan,
212
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan
menyetujui sesuatu hal yang disampaikan (Dik, dimana rumahnya Petta Nasse?.)
oleh lawan tutur yang lebih tua atau lawan
P2: Oh iyye, Puang, engkai ri attang, ri
tutur yang dihormati. Di samping itu,
seddena po cemmpa loppoe.
penggunaan morfem iyo juga bermakna ‘iya’ ‘Oh iya, Puang, ada di sebelah timur, di
pada kalimat nomor 6 tidak lebih santun dekatnya pohon asam yang besar’.
dibandingkan dengan kalimat nomor 5. Kata (Oh iya Puang, rumahnya ada di sebelah
iyo ‘iya’ biasanya digunakan untuk timur dekat pohon asam besar.)
mengiyakan atau menyetujui pernyataan
Percakapan nomor 9(P2) menunjukkan
lawan bicara yang sebaya atau menyetujui
bahwa tuturan tersebut bersifat formal yang
pernyataan lawan tutur yang lebih muda.
mengindikasikan kesopanan, yakni memiliki
Selain itu, realisasi nilai budaya
formula linguistik yang baik dan teratur. Di
mappasikaraja ‘saling menghargai’, atau
samping itu, penggunaan morfem /iyye/ dan
sipakalebbi ‘saling memuliakan’ ditandai
leksem /puang/ merupakan realisasi
pula dengan penggunaan morfem tabe
implikasi nilai makna budaya sipakaraja dan
‘permisi’, penggunaan morfem
sipakatau terhadap mitra bicara. Sapaan
tadampengenga ‘maafkan saya’. Contoh
’puang’ pada masyarakat Bugis di
dalam kalimat nomor 7 tabe taddempenga-ka
Kabupaten Sinjai adalah sebutan dan sapaan
talassaka surek motorokku ri bolana Puang
hormat secara umum, tetapi dalam konteks
Asis-ku, ‘permisi maafkan saya mohon
ini, mitra bicara tetap menggunakan sebutan
ambilkan surat motorku di rumahnya Puang
itu pada orang yang belum dikenal statusnya.
Asis-ku’ merupakan contoh sebuah
Hal tersebut dipicu oleh faktor karakter
permohonan atau permintaan yang bernuansa
psikologis untuk berlaku sopan pada orang
kesantunan dalam bertutur. Kata Puang Asis-
lain yang disebut mappakalebbi
ku ‘Puang Asis saya’ menandakan bahwa
’memuliakan’ atau mappakaraja
posisi lawan tutur berada dalam posisi lebih
menghargai’.
tinggi (power). Berbeda dengan kalimat
Selanjutnya, terlihat pula pada contoh
nomor 8, kalimat tersebut tidak
percakapan antara kakak dengan adik dalam
menggunakan kata tabe, taddempenga-ka,
situasi akrab berkerabat. Dalam hal ini dapat
hal tersebut menandakan bahwa posisi lawan
dikatakan bentuk hubungan peserta tutur
tutur lebih bersifat simetri (tidak setara) atau
yang lebih bersifat asimetri (tidak setara),
penutur mempunyai kekuasaan (power)
bukan simetri (setara) seperti umumnya
dibandingkan dengan lawan tutur.
dimiliki oleh interaksi akrab/intim. Contoh
Masyarakat etnik Bugis di Kabupaten
percakapannya sebagai berikut.
Sinjai pada umumnya mempunyai karakter
berlaku sopan pada orang lain yang disebut 10. P1: Oh Ndi engka elo’ upuada-ko.
sebagai mappakalebbi ’memuliakan’ atau ‘Oh Adik ada yang mau saya beri tahu
mappakaraja ’menghargai’ meskipun kamu.’
interlokutornya tidak saling mengenal. (Oh, Dik, ada yang ingin kusampaikan
padamu.)
Berikut adalah contoh percakapannya.
P2: Iye, aga ro Daeng.
9. P1: Elo-ka makkutana Ndi, digaro bolana (Apa itu Kak.)
Petta Nasse?
‘Mau saya bertanya Dik, dimana P1: Mellao tulu-ka mabbicara-ko dolo lao ri
rumahnya Petta Nasse’? Bapak.
213
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014
‘Minta tolong saya berbicara kamu dulu di 12. P1:Tabe taddampengi-ka Karaeng, idi-mi
Bapak.’ uduppa, naelora-ki Puang Parenrengi
(Saya minta tolong kepada kamu agar lao tudang ri gauna henninna Kammisi
kamu memberitahukan Bapak.) tette pitu re hennie.
‘Permisi maafkan saya Karaeng, kita- saja
P2: Aga elo u-pau Daeng?, maga-ki kah? saya jemput (panggil) dikehendaki Puang
‘Apa mau saya bilang Daeng?, kenapa kita Parenrengi pergi duduk di pesta malam
kah?’ Kamis jam 7 malam.’
(Apa yang akan saya katakana Daeng?, (Permisi,mohon maaf Karaeng, kami
Kenapakah Daeng? jempuk Karaeng berkunjung ke rumahnya
Puang Parenrengi pukul 7 malam guna
Pola strategi kesantunan yang menghadiri pesta pernikahan anaknya.)
ditunjukkan oleh kedua peserta tutur masih
P2:Iyo, isyaAllah, sellekku lao ri Puang
terlihat simetri. P1 pada umumnya Parenrengi.
menggunakan pola sapaan yang lebih kasual ‘Iya, isyaAllah, salamku pergi ke Puang
atau kurang sopan, seperti ‘-ko’ (kamu). Parenrengi’.
Sebaliknya, P2 cenderung memilih pola (Iya, isyaAllah, salam buat Puan
bentuk sapaan yang lebih sopan, seperti ‘-ki’ Parenrengi.)
(kamu) dan ‘iyye’ (iya). Bila diamati secara
Berdasarkan wacana nomor 11 dan 12
saksama dialog tersebut dengan jelas
diketahui bahwa P2 memiliki status yang
menunjukkan bahwa aspek senioritas juga
lebih tinggi daripada P1. Apabila dicermati
memiliki peran yang krusial terhadap pola
tuturan P1, ternyata tuturan itu menggunakan
strategi kesantunan yang dipilih oleh peserta
kalimat-kalimat tak langsung, seperti pada
tutur dalam situasi interaksi. Senior lebih
tuturan nomor 11. Begitu juga pada tuturan
cenderung memilih pola sapaan yang lebih
nomor 12, tuturan itu menggunakan kalimat
kasual sehingga tampil kurang sopan, seperti
tak langsung atau strategi sangat resmi
pilihan P1 sebagai kakak pada dialog nomor
dengan menggunakan off record strategy
10, sedangkan P2 tetap memilih pola sapaan
atau tidak langsung, dan menggunakan pula
yang lebih sopan karena dia lebih yunior,
leksem yang menunjukkan kesopanan
yakni adik dari P1.
berbahasa yang berterima, seperti kata tabe
Selanjutnya, pola strategi kesantunan
‘permisi’ tadampengenga ‘maafkan saya,’
skala status dengan posisi sosial interlokutor
attata puang ‘suruhan puang’ dalam tuturan
berjarak (distance), kuasa versus nonkuasa
nomor 11 dan tuturan 12. Selain itu, formula
(power vs powerless) seperti percakapan
linguistik tuturan P2 menggunakan kalimat-
berikut ini.
kalimat langsung, seperti pada tuturan nomor
11. P1: Tabe ta-ddampengi atta-ta 11. Begitu juga pada tuturan nomor 12,
Karaeng,hedding muka maccoe ri idi lao sifatnya kalimat langsung atau strategi apa
gau-e? adanya bald on-record strategy. Jadi, P2
‘Permisi, maafkan suruhan kamu (status tinggi) cenderung menggunakan
Karaeng, bisa saya ikut sama kita pergi ke
kalimat langsung atau strategi bald on record
acara?’
(Permisi mohon maaf Karaeng, apakah bila berinteraksi dengan peserta tutur yang
saya boleh ikut sama Karaeng ke acara?) lebih rendah status sosialnya, sedangkan P1
(status rendah) cenderung menggunakan
P2: Iyo, coe bahang-no! kalimat-kalimat resmi sebagai wujud
‘Iya, ikut saja kamu.’
mapakalebbi ‘memuliakan’ mitra tuturnya.
(Iya, silahkan kamu ikut.)
214
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan
Contoh pada kalimat nomor 11 dan 12 itu kearifan atau kebijakan. Daya ilokusi lain
sebagai wujud kesopanan berbahasa dalam terkait dengan maksim kebijakan, antara lain
budaya etnik Bugis di Kabupaten Sinjai. (1) memerintah dan memohon, (2) menuntut
dan memberi nasehat, (3) menjanjikan, dan
Wujud Strategi Kesopanan Berbahasa (4) menawarkan. Faktor lain yang
Masyarakat Bugis di Kabupaten Sinjai ditunjukkan oleh kedua interaksi tersebut,
(Ragam Makna Pragmatik) yaitu terjadinya respon antara P1 dan P2.
Berkaitan dengan pragmatik, Pada interaksi P1, pertanyaan polar yang
kesopanan berbahasa masyarakat Bugis di diajukan oleh P1 dilakukan secara tidak
Kabupaten Sinjai ditemukan empat maksim, langsung agar P1 terhindar dari kesan
yakni (1) maksim kebijakan; (2) maksim memerintah. Demikian juga P2 menjawab
kemurahan; (3) maksim penerimaan; (4) secara tidak langsung dengan menggunakan
maksim kerendahan hati. Selain itu, juga kata iye bukan iyo agar terhindar dari kesan
ditemukan daya ilokusi merendahkan diri. angkuh atau sombong.
Berikut ini merupakan contoh tuturan
keempat maksim tersebut. Maksim Kemurahan
Indikasi maksim ini memiliki ciri-ciri
Maksim Kebijakan ekspresif dan asertif. Tuturan ekspresif
Maksim kebijakan menggariskan mempunyai fungsi mengekspresikan,
bahwa setiap peserta tutur memaksimalkan mengungkapkan, atau memberitahukan sikap
keuntungan orang lain. psikologis seseorang, berwujud pernyataan
Contoh: ilokusi seperti mengucapkan terima kasih,
memuji, dan menyatakan belasungkawa.
13. P1:Hedding mua Etta ua-ppikatuang Tuturan asertif melibatkan pembicara pada
pakkamaja sikola-na ata-tta nakko
lao-ki ri Bone? kebenaran proposisi yang diekspresikan,
'Bisakah saja saya kirimkan pembayaran misalnya menyatakan, mengeluh,
sekolahnya suruhan kita kalau pergi menyarankan, dan melaporkan. Hal itu dapat
kita ke Bone?’ dilihat pada cuplikan wacana berikut dengan
(Bolehkah saya kirimkan pembayaran topik menyatakan terima kasih.
sekolahnya anak saya kalau Etta (sapaan
bangsawan Bugis) pergi ke Bone?)
14. P1 : Sukkuru ladde-ka Ndi engka mu-ki
P2: Iye, alani mai pakkamaja-na paitang-i laleng anaureta na lulusu
‘Iya, kasih kemari pembayaran-nya.’ mancaji guru.
(Iya, mari saja pembayarannya.) ‘Syukur sangat saya adik ada kamu
juga tunjukkan dia jalan kemenakan
Tuturan nomor 13 mengandung makna kamu sehingga lulus menjadi guru.’
(Saya sangat bersukur adik, karena
ilokusi, yakni untuk meminta bantuan atau kamu telah menunjukkan jalan kepada
bernilai suruhan, tetapi diperhalus dengan kemenakanmu, sehingga dia lulus
formulasi kalimat interogatif, seperti tuturan menjadi guru.)
P1 yang diawali aspek hadge strategy, yaitu
hedding mua ... ? ‘apakah boleh ... ?’. P2 : Iye, terima kasih Daeng!
'Iya terima kasih Kak'
Konteks itu merupakan inti Teori Kesopanan (terima kasih Kak.)
dalam bentuk strategi negatif (negative
politeness). Hal itu tercakup dalam maksim
215
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014
216
Tamrin: Kesantunan Berbahasa Bugis pada Masyarakat Bugis di
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan
217
Multilingual, Volume XIII, No. 2, Tahun 2014
DAFTAR PUSTAKA
Alwasila, A. Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit Angkasa.
Geertz, Clifford. 1972. “Linguistic Etiquette” dalam Joshua A. Fishman (ed). Reading in The
Sociology of Language. The Hague; Mouton & Co. 282—295.
Lakoff, R. (1977). “What you can do with words: Politeness, Pragmatics and performatives.”
in Rogers, P. (ed). Proceedings of Texas Conferences and Performatives, Airlinton.
VA: Center of Applied of Linguistics.PP. 79—105.
Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi. Metode dan Tekniknya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Press.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik (Bagian pertama). Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
218