Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

Proceeding VIII International Seminar on Austronesian and Non-Austronesian 2017

IBSN ; …………………………………………..

EVOLUSI MAKNA IDEOLOGIS LE TU LE,


INSTRUMEN SUNDING TONGKENG DALAM BUDAYA ETNIK
MANGGARAI
Diaspora Markus Tualaka ¹, Karolus Budiman Jama ²
Universitas Udayana
Pos-el: diaspora1212@gmail.com, Karolus1007@yahoo.com

Abstract
Le tu le is a song played with Sunding tongkeng (a vertical bamboo flute played in a vertical
position) played by the Manggarai ethnic community, on the island of Flores, East Nusa Tenggara in a
spare time. As a cultural heritage le tu le has encountered the evolution of meaning and value along with
its ecological changes. Nowadays, exposure of the time and environmental degradation put this tradition
in a critical position because it threatens its sustainability. Differences of interest and intergenerational
orientation have contributed to the degradation of the meaning and value of this tradition. The tradition of
playing a flute instrument has been rarely found today. The younger generation of ethnic Manggarai
almost no longer understand the meaning and the value behind Le tu le. The phenomenon of cultural
transition from traditional to modern has led to disconnected cultural transmission. Le tu le which keeps
local wisdom (local genius) that can be passed on to the nation's youth has been neglected.
This research analyzes the ideological meaning behind Le Tu le's song in the tradition of playing
intruments of flute music by Manggarai ethnic. Using a hermeneutic approach of interpretation in
collaboration with ecolinguistic theory, the ideological value of the le tu le tradition is expressed. By
using descriptive interpretative method. The tradition of Le tu le is interpreted differently based on the
interpretation of the listener. This song, has many meanings and meanings depending on the player intent
and the psychological condition of the listeners. Hearing a song le tu le, actually presents aspects of time
and different events at the same time. Morphologically Le tu le has meaning there / far away, past /
behind, in front / coming. The various concepts and meanings of le tu le imply the life stories of human
travel both in groups and individuals. The song le tu le on group stories is associated with the history of
the exodus or the tragic events of a community group somewhere in the past. In such events, the song le
reminds the important events experienced by the ancestors. Whether it's a story of heroism, bitterness and
happiness. A moment of listening to le tu le presenting the past tense in the present. This wealth of
meaning and value reflects the ethnic character of Manggarai which, if not revitalized, will be degradated
by the current changing times.

Key words : le tu le, evolusi of meaning, ideological, ecolinguistics , ethnic Manggarai.

1. PENDAHULUAN
Para ahli berpendapat bahwa folklor adalah gudang ilmu pengetahuan tradisional dan modern dan
merupakan timbunan budaya (Endarwasa, 2009: 34). Tradisi memainkan intrumen musik dalam suatu
masyarakat merupakan khasanah budaya yang sangat bernilai. Selain sebagai produk budaya, le tu le
merupakan kekayaan tradisi yang dihasilkan dan menjadi milik kolektif etnik Manggarai,di Pulau Flores,
Nusa Tenggara Timur. Le tu le adalah lagu yang dimainkan oleh Sunding tongkeng (suling bambu yang
dimainkan dengan posisi vertikal) yang dimainkan oleh masyarakat etnik Manggarai dalam mengisi waktu
senggang.
Musik memiliki peran penting dalam masyarakat suatu etnis. Berbagai upacara adat, tidak
sedikit melibatkan musik dalam rangkaian prosesi ritual. Musik mendorong dan membangkitkan semangat
dalam sebuah tari seperti ritual penyembuhan, memanggil hujan dan penyemangat dalam berperang atau
berburu. Alunan musik bahkan dapat meredam kemarahan dan menghentikan niat untuk berperang.
Realitas ini menunjukkan betapa musik memiliki fungsi beragam dalam sebuah budaya masyarakat.
Proceeding VIII International Seminar on Austronesian and Non-Austronesian 2017
IBSN ; …………………………………………..

Etnis Manggarai di Flores memiliki ritual-ritual tertentu yang melibatkan musik di dalam aktivitas
budaya mereka. Salah satu instrumen musik yang memiliki peran dalam perkembangan peradaban etnis
Manggarai di Flores adalah Sunding Tongkeng. Alat musik tiup yang terbuat dari bambu ini sudah ada
sejak etnis Manggarai hidup di alam geografis Flores Barat. Hal ini ditunjang oleh ekologi alam yang
ditumbuh banyak bambu. Sebagai anugerah alam, bambu dimanfatkan oleh etnik Manggarai untuk
berbagai keperluan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan papan (rumah) hingga hiburan.
Fungsi alat musik ini bagi masyarakat etnis Manggarai cukup bervariasi. Selain sebagai pengisi
waktu senggang (sifatnya profan) dan media ritual penyembuhan, sunding tongkeng Manggarai juga
memiliki dimensi penanda waktu. Penanda waktu bagi orang Manggarai tidak tampak hanya pada hal
yang terjadi pada pagi, siang sore dan malam. Selain fungsi tersebut diatas, memainkan musik suling
bambo juga memiliki fungsi entertain atau hiburan yang tidak saja dapat dinikmati oleh pemain suling itu
sendiri melainkan orang yang mendengarnya.
Praktek memainkan sunding tongkeng saat ini jarang ditemukan. Hal ini terjadi karena kuatnya
arus globalisasi dan teknologi dalam bidang musik itu sendiri. Minimnya pewarisan dan kesulitan dalam
memainkan alat ini menjadi faktor penentu kurangnya minat generasi muda dalam memainkannya.
Cerita tentang sunding tongkeng saat ini ibarat sebuah legenda mitologis. Alatnya sulit ditemukan lagi,
generasi muda hanya mengetahui sunding tongkeng dari ceritera orang tua. Diceritakan bahwa orang
Manggarai memiliki sebuah alat musik yang mengalami masa kejayaan. Dahulu musik sunding tongkeng
dimainkan pada pagi hari dan sore menjelang malam atau pada saat upacara ritual penyembuhan orang
sakit. Seiring berjalannya waktu budaya ini mulai mengalami perubahan makan secara perlahan dan
terindikasi mulai terancam punah/hilang, mengapa hal ini terjadi menjadi pokok persoalan yang menarik
untuk diungkapkan.

1.1 Rumusan Masalah


Dalam tulisan ini memaparkan dua persoalan penting mengenai makna ideologis yang bagaimana
perubahannya terkait pengaruh arus jaman modern yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan berikut.
1) Apa makna ideologis yang terkandung dalam lagu le tu le yang dimainkan dengan instumen
musik sunding tongkeng oleh etnik Manggarai?
2) Faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya evolusi makna ideologis dalam lagu le tu le ?

1. 2 Konsep dan Landasan Teori


1.2.1 Konsep
Beberapa konsep yang dipakai dalam artikel ini memberikan batasan makna dalam memaknai lagu le tu le
dengan instrument sunding tongkeng yakni sebagai berikut.

Evolusi
Evolusi berasal dari bahasa latin evovere ‘membuka lipatan’ dari ex-‘keluar’ + volvere ‘menggulung’
(1614) yang berarti membuka lipatan, keluar, berkembang’. Evolusi adalah proses perubahan
secara berangsur-angsur (bertingkat) dimana suatu bentuk berubah menjadi lebih kompleks/rumit
ataupun berubah menjadi bentuk yang lebih baik. Evolusi adalah perubahan (pertumbuhan,
perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit); (KBBI offline v1.3.
Diakses tanggal 27 Agustus 2017 dari wibsite http://ebsoft.web.id) Dalam tulisan ini yang dimaksud
dengan evolusi adalah perubahan makna yang terjadi pada lagu le tu le.

Makna Ideologis
Makna (pikiran atau referensi) adalah hubungan antara lambang (simbol) dan acuan atau referen.
Hubungan antara lambang dan acuan bersifat tidak langsung sedangkan hubungan antara lambang
dengan referensi dan referensi dengan acuan bersifat langsung (Ogden dan Richards dalam Sudaryat,
2009: 13). Batasan makna ini sama dengan istilah pikiran, referensi yaitu hubungan antara lambang
dengan acuan atau referen (Ogden dan Richards dalam Sudaryat, 2009: 13) atau konsep (Lyons dalam
Sudaryat, 2009: 13). Secara linguistik makna dipahami sebagai apa-apa yang diartikan atau
dimaksudkan oleh kita (Hornby dalam Sudaryat, 2009:13).
Jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang, berarti orang tersebut memikirkan
Proceeding VIII International Seminar on Austronesian and Non-Austronesian 2017
IBSN ; …………………………………………..

sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni sesuatu keinginan untuk menghasilkan jawaban
tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu (Stevenson dalam Pateda 2001: 82). Makna menurut Palmer
(1978: 30) hanya menyangkut intrabahasa (Palmer dalam Djajasudarma, 1999: 5). Ada garis hubung
antara makna-ungkapan-makna. Berpikir tentang bahasa bahwa sekaligus melibatkan makna (Wallace
dan Chafe dalam Djajasudarma, 1999: 5). Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa
itu sendiri (Dajasudarma, 1999: 5). Dalam KBBI makna mengandung tiga hal yaitu, (1) arti, (2) maksud
pembicara atau penulis, dan (3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.
Inti dari apa yang diungkapkan atau diuraikan oleh Oden dan Richard, makna adalah hubungan
antara kata dan benda yang bersifat instrinsik yang berada dalam suatu sistem dan diproyeksikan dalam
bentuk lambang. Dari pengertian-pengertian makna yang disampaikan oleh para pakar di atas dapat
disimpulkan bahwa makna adalah hubungan antara kata (leksem) dengan konsep (referens), serta benda
atau hal yang dirujuk (referen).
Thompson (2003:17) mendefenisikan ideology sebagai sistem berpikir, system kepercayaan,
praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Hal ini secara mendasar
mempengaruhi pikiran, selera, perasaan dan menuntut tindakan kebudayaan serta tindakan sosial
seseorang atau kelompok. Makna yang dibahas terkait dengan budaya sosial etnik, bagaimana suatu
komunitas sosial memaknai simbol dan tanda yang ada disekeliling mereka.
Memahami makna ideologis dalam lagu tersebut akan dipaparkan dalam bagian selanjutnya
memberikan nilai rasa berbeda dalam menikmati alunan music suling bamboo yang dimaikan oleh
pemain suling dan membuat pendengar memahami jalan pikiran dan konsep-konsep nilai kehidupan yang
dimiliki oleh etnik ini.

1.2.2 Kerangka Teori


Penelitian ini menggunakan metode analisis yang mengaplikasikan teori ekolinguistik Bang and Door (2000)
untuk menelaah makna ideology dibalik lagu le tu le yang dimainkan dengan instumen musik sunding
tongkeng oleh etnik Manggarai. Disamping itu, teori hermeneutik Ricouer (2006) yang menggunakan
langkah metodologis melalui dialektika dalam dua arah, yaitu (1) dialektika yang bergerak dari pemahaman
menuju penjelasan, dan (2) dialektika yang bergerak dari penjelasan menuju pemahaman diaplikasikan untuk
menemukan penjelasan bagaimana makna itu berevolusi dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya evolusi makna ideologis dalam lagu tersebut.

Teori Ekolinguistik
Ekolinguistik  merupakan sebuah teori yang mengaitkan linguistik dengan ekologi. Ekologi dalam ilmu
linguistik memainkan peran yang sangat penting. Pentingnya ekologi dalam ilmu linguistik terutama untuk
kebertahanan bahasa. Karena ada suatu asumsi bahwa keerosian bahasa terjadi disebabkan oleh kererosian
lingkungan. Berangkat dari pemikiran filosofis tersebut maka lingkungan menjadi salah satu kajian
penting dalam ilmu linguistik. Sebaliknya, fakta telah menunjukkan bahwa lingkungan tanpa bahasa
adalah mati. Tanpa bahasa, seseorang tidak mungkin bisa mengungkapkan kerahasiaan alam tersebut
kepada orang lain. Segala sesuatu yang akan dilakukan harus menggunakan bahasa. Melalui bahasa, kita
dapat mengonstruksikan pengalaman atau mengekspresikan atau mengklasifikasikan dunia nyata yang ada
di sekitar kita.  Bagaimanapun bahasa merupakan hasil konfigurasi pikiran manusia dengan ekologinya.
Melalui bahasa akan tergambar cara berpikir seseorang tentang sesuatu yang ada dalam dunia
nyata termasuk budaya. Pengkodean masing-masing budaya tentu mengalami perbedaan atau bervariasi.
Bentuk pengkodeannya bisa terjadi melalui lexicalize, gramaticalize, textualize, dan culturalize.
Perbedaan pengkodean dapat dilihat pada tingkat kekayaan leksikon, gramatikal, dan
keberagaman/kebervariasian (diversity). Bentuk interaksi antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial 
atau bahasa dan kebudayaan dapat dilihat pada level interrelasi leksikon. Sedangkan bentuk keberagaman
(diversity) dapat dilihat pada tatanan kebervariasian leksikon yang dihasilkan oleh suatu bahasa tersebut.
Apakah kebervariasian leksikon terjadi dalam pikiran manusia (human mind), dalam komunitas yang
realitas, sistem bahasa, ataupun  interrelasi antara pembicara. Karena menurut Mühlhüsler, (2001:6)
kebervariasian terjadi karena faktor adaptasi terhadap lingkungan, sedangkan Glausiusz dalam
Mühlhüsler, (2001:6) kebervariasian bahasa (leksikon) terjadi karena proses evolusi
Proceeding VIII International Seminar on Austronesian and Non-Austronesian 2017
IBSN ; …………………………………………..

Teori Hermeneutika
Menurut Ricouer (2006:57-58) hermeneutik adalah teori tentang bekerjasamanya pemahaman dalam
menafsirkan teks. Ide utamanya adalah relasi diskursus sebagai teks, sementara pendalaman mengenai kategori
teks menjadi objek pembahasan kajian selanjutnya. Menurutnya ada tiga langkah pemahaman, yakni berlangsung
dari penghayatan ke simbol-simbol ke gagasan tentang berpikir dari simbo-simbol. Atau dengan kata lain
prapemahaman(pre-under-standing),penjelasan(explanation), dan pemahaman
(comprehension/fullunderstanding). Langkah metodologis ini dapat dijelaskan melalui dialektika dalam dua arah,
yaitu (1) dialektika yang bergerak dari pemahaman menuju penjelasan, dan (2) dialektika yang bergerak dari
penjelasan menuju pemahaman.
Dalam memaknai lagu le tu le, teori ini memungkinkan dideskripsikan simbol-simbol penanda waktu
yang ada dalam konsep berpikir komunitas etnik Manggarai dalam memaknai seluruh perjalanan hidup mereka.
Pengalaman hidup dan pemahaman akan hidup ini diteropong melalui dialektika pemahaman yang bergerak dari
penjelasan menuju pemahaman.

1.3 Metode Penelitian


Data dalam penelitian ini bersumber dari data lapangan. metode yang digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian yaitu metode observasi dengan teknik simak dan catat. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif
interpretatif. Penelitian ini menggunakan kaidah dialectika pemahaman yang bergerak dari penghayatan akan ke
symbol-simbol menuju ke gagasan tentang berpikir dari symbol-simbol atau yang dapat dijelaskan melalui
prapemahaman mengenai symbol yang hadir dalam lagu le tu le menuju ke tahapan menjelaskan makna symbol
itu selanjutnya menuja ke tingkat pemahaman akan symbol tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ricouer (2006). Selain itu untuk melihat perubahan makna yan terjadi diaplikasikan teori ekolinguistik dengan
tiga parameter relasi antara lingkungan, keberagaman dan interelasi daninterdependensi yang dikemukakan oleh
Bang dan Door (2000).

2. PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis interpretasi terhadap lagu le tu le dapat dipaparkan makna ideologis dan perubahan
makna yang terjadi (evolusi) dalam interpretasinya serta faktor-faktor yang meyebabkan terjadinya evolusi
makna tersebut. Berikut penjelasannya.
2.1 Makna ideologis le tu le
Sunding tongkeng bagai satelit dalam menangkap memori akan peristiwa dan harapan manusia Manggarai
masa lalu dan akan datang. Tradisi lisan musik dalam lagu le tu le mampu memanggil kembali waktu
lampau dan memimpikan waktu yang akan datang. Bagi etnik Manggarai sunding tongkeng merupakan
ciri khas yang membedakan mereka dengan etnik lain yang sama-sam mendiami pulau Flores, NTT.
Sunding tongkeng secara harafiah berarti suling tegak, penamaan ini berdasarkan kecaraan alat ini
digunakan, yakni memainkannya dengan posisi tegak atau vertikal. Lubang nada pada sunding tongkeng
berjumlah empat dan satu lubang tiup. Nada yang dihasilkan terdiri dari lima nada dengan beberapa
variasi ornamen nada. Pola nada yang dihasilkan oleh instrumen suling ini tercipta berbagai lagu dengan
nuansa pentatonis khas etnis Manggarai.
Salah satu dari sekian jumlah lagu yang dihasilkan adalah lagu le tu le. Lagu le tu le, memiliki
banyak arti dan makna tergantung pada maksud pemain dan kondisi psikologis pendengarnya. Mendengar
lagu le tu le, sesungguhnya menghadirkan aspek waktu dan peristiwa berbeda dalam saat yang bersamaan.
Secara morfologis Le tu le memiliki arti di sana/yang jauh, yang dulu/belakang, di depan/yang
akan datang. Berbagai konsep dan makna le tu le menyiratkan kisah-kisah hidup perjalanan manusia baik
secara kelompok maupun individu. Lagu le tu le pada cerita kelompok dikaitkan dengan sejarah eksodus
atau peristiwa tragis suatu kelompok masyarakat di suatu tempat pada masa lalu. Dalam peristiwa
semacam ini, lagu le tu le mengingatkan kembali peristiwa penting yang dialami oleh leluhur. Baik itu
cerita kepahlawan, kepahitan dan kebahagiaan.
Lagu le tu le pada cerita kelompok dikaitkan dengan sejarah eksodus atau peristiwa tragis suatu
kelompok masyarakat di suatu tempat pada masa lalu. Dalam peristiwa semacam ini, lagu le tu le
Proceeding VIII International Seminar on Austronesian and Non-Austronesian 2017
IBSN ; …………………………………………..

mengingatkan kembali peristiwa penting yang dialami oleh leluhur. Baik itu cerita kepahlawan, kepahitan
dan kebahagiaan. Moment mendengarkan lagu le tu le menghadirkan waktu lampau pada masa kini.
Mendengar atau memainkan lagu le tu le disadari secara pribadi sebagai impian dan harapan
menggapai kesuksesan dimasa depan. Tema menceritakan harapan dan impian dimaksud adalah impian si
pemain instrumen itu sendiri. Pemain instrumen lewat lagu le tu le menghadirkan gambaran dan cakrawala
berpikir. Kuatnya dorongan ini memberi semangat dalam upaya mewujudkan kesuksesan di masa yang
akan datang. Pada konteks lain, lagu le tu le memiliki dimensi refleksif.
Tema waktu kekinian yang dihadirkan melalui lagu le tu le menggambarkan situasi sosial bagi
masyarakat Manggarai. Persoalan sosial merupakan persoalan harian yang selalu dialami dan sering
terjadi. Peristiwa sosial kemudian digambarkan melalui permainan sunding tongkeng, tujuan memainkan
lagu ini untuk menggugah kesadaran masyarakat kampung, agar peka terhadap kejadian-kejadian sekitar
lingkungan. Hal inilah membuktikan terjadinya evolusi makna dalam lagu le tu le. Peralihan makna
kekinian dengan tema-tema sosial telah menjadikan pendengar lagu le tu le mengalihkan perhatian mereka
dari hal-hal yang bersifat personal menjadi bersifat komunal.
Dimensi waktu etnis Manggarai melibatkan manusia secara aktif di dalamnya. Dimensi waktu
menjadi makna aktif dan pasif. Penghargaan terhadap waktu dengan melakukan aktivitas merupakan hal
yang perlu dilakukan. Penghargaan terhadap waktu ini dalam permainan sunding tongkeng terjadi pada
momen pagi dan sore hari. Pada pagi hari sunding tongkeng dimainkan sambil memasak makanan ternak
(babi). Suara sunding tongkeng menggema pada pagi hari sekaligus sebagai penanda waktu pagi sekaligus
menyadarkan masyarakat kampung untuk bangun dari tidur dan segera memulai aktivitas. Pada sore hari
setelah pulang dari sawah/kebun bahkan pada saat senggang di tengah sawah saat mengaso sebentar
sebelum melanjutkan pekerjaan.
Sunding tongkeng pada masa dahulu memiliki fungsi untuk memanggil angin saat panen padi.
Proses panen padi ada satu bagian memisahkan padi dari sekam. Karena sistem pertaniannya masih sangat
terbatas, ayakan padi membutuhkan angin untuk membantu mempermudah petani memisahkan padi dan
sekamnya. Dipercayai bahwa apabila ada suara suling maka angin akan bertiup kencang. Selain fungsi
tersebut, sunding tongkeng oleh masyarakat manggarai digunakan sekaligus untuk menghibur saat lelah.
Moment mendengarkan lagu le tu le menghadirkan waktu lampau pada masa kini sebagai
apresiasi terhadap waktu yang dianugerahkan sang pemberi waktu, wujud Tertinggi yang disebut Mori
Kraeng, Mori agu Ngaran, Jari agu Dedek (sang Tertinggi). Makna ini merepresentasikan kesadaran
etnik Manggarai terhadap relasi mereka dengan sang pemberi waktu, yang tidak lain menunjukan relasi
mereka dengan Tuhan, antara individu (pemain sunding tongkeng) dengan masyarak kampung (relasi
sosialnya) dan juga relasinya dengan alam (sawah/kebun/kampung) tempat tinggalnya.
Sebelum hadirnya dunia medis, penyebuhan orang sakit di manggarai menggunakan praktek
pengobatan tradisional dan supranatural. Penderitaan yang terjadi dipercayai akibat marahnya alam atau
leluhur. Untuk memulihkan kondisi yang terjadi, maka sunding tongkeng dimainkan yang berfungsi untuk
memanggil roh untuk mengetahui penyebab sakit sekaligus memberitahu cara menyembuhkannya.
Menyampaikan rasa simpatik terhadap seseorang bagi pemain sunding tongkeng dapat disalurkan
melalui musik. Seorang pemuda atau pemudi bahkan yang sudah memiliki pasangan, kerap menggunakan
instrumen sunding tongkeng untuk memikat hati wanita atau laki-laki. Pihak yang dituju ketika
mendengarkan musik ini menangkap maksud permainanannya. Apabila maksudnya disetujui maka
hubungan yang spesial akan terjalin.

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Evolusi Makna le tu le


Dalam perjalanan sejarah tradisi memainkan alat musik sunding tongkeng mulai terjadi perubahan makna
seperti yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu. Hal in terjadi karena pengaruh faktor interen, yakni
hal-hal yang berasal dari dalam komnitas etnik Manggarai sendiri dan faktor eksteren, yakni hal-hal yang
berasal dari luar komnitas mereka.
Pada faktor interen, yakni minat generasi muda untuk menekuni alat musik tradisional sangat
rendah bahkan dapat dikatakan langka. Pada saat ini, tradisi memainkan lagu le tu le mulai ditinggalkan
oleh generasi muda, telah terjadi kelangkaan dalam menemukan pemain sunding tongkeng. Generasi muda
lebih tertarik mempelajari alat musik moderen, seperti gitar, dram, biola, piano dan alat-alat musik
moderen lainnya yang berasal dari luar etnik Manggarai sendiri. Hal ini pun dipengaruhi oleh kurangnya
Proceeding VIII International Seminar on Austronesian and Non-Austronesian 2017
IBSN ; …………………………………………..

pemahaman mereka tentang makna ideologis yang terdapat dalam lagu le tu le. Generasi muda etnik
Manggarai kurang dapat mengapresiasi makna ideologis yang dijadikan pandangan hidup dan arah
berperilaku dalam menjalani hidup dari waktu ke waktu.
Selain bergesernya minat generasi muda dalam menekuni tradisi ini adalah terputusnya transmisi
tradisi antar generasi. Tidak adanya proses regenerasi dalam memainkan alat musik tradisional sunding
tongkeng ini. Hal ini pula mengakibatkan terjadinya tergesernya pemahaman generasi muda akan makna
dan nilai-nilai luhur yang selama ini terkristal dalam lagu le tu le.
Faktor eksteren yakni hal-hal dari luar komunitas yang menyebabkan tradisi memainkan lagu le tu
le dengan sunding tongkeng mulai ditinggalkan adalah hilangnya lingkungan alam tempat hidupnya
tradisi memainkan instrument ini. Hal ini terjadi karena telah beralih fungsinya lahan persawahan tempat
orang memainkan sunding tongkeng. Areal persawahan yang dialih fungsikan menjadi tempat pemkiman,
bangunan hotel dan perkantoran telah turut mendukng hilangnya tradisi ini. Secara tidak langsung hal ini
telah menggerus makna ideologis dalam lagu le tu le. Demikian pula kemajuan teknologi dibidang
kedokteran telah menggantikan pengobatan tradisional sehingga tradisi memainkan sunding tongkeng
untuk pengobatan mulai ditinggalkan. Hal-hal inilah yang menyebakan berevolusinya tradisi memainkan
lagu le tu le dengan sunding tongkeng oleh etnik Manggarai.

SIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, memainkan sunding tongkeng dengan melantunkan lagu le tu le memliki makna
ideologis yang dalam yakni menghadirkan dimensi waktu dan ruang dalam kehidupan etnik Manggarai
sebagai wujud kesadaran akan pentingnya mengapresiasi waktu yang dianugerahkan sang pemilik hidup
yang tercermin dalam relasi antar sesama dan alam ciptaan.
Kedua, faktor yang menyebabkan terjadinya evolusi makna ideologis dalam lagu le tu le adalah
faktor minat generasi muda dan terputusnya trasmisi budaya antar generasi, pengaruh kemajuan iptek dan
hilangnya lngkungan tempat tradsi memainkan sunding tongkeng hidup.

DAFTAR PUSTAKA
Bustan, Faransiskus, 2014. Etnografi Budaya Manggarai Selayang Pandang, Publikasi Khusus LSM
Agricola, Kupang, NTT
Erom, Kletus, 2011. How to See the Past, the Present, and the Future of Manggaraian Speech
Community: cultural Linguistic Perspectives (Artikel) dalam REFERENCE, journal of language
and language of teaching. Vol. 1 no.4, November 2011, 151-151. Kupang: Widya Mandira
Chatoloc university
Erom, Kletus, 2016. How to say place in manggaraian languge: cultural linguistic perspectives (Artikel)
dalam Jurnal Tutur, Cakrawala KajiN Bahasa-bahasa Nusantara. Vo. 02, no.01, Februari 2016,
23-35. Denpasar: Asosiasi Penelitian bahasa-bahasa lokal (APBL)
KBBI offline v1.3. Diakses tanggal 27 Agustus 2017 dari wibsite http://ebsoft.web.id
Mbete, Aron Meko. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik : Perspektif Kelinguistikan Yang
Prospektif”. Bahan untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan dalam Matrikulasi Program
Magister Linguistik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009
Moleong, Lexi J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nggoro, Adi M, 2006, Budaya Manggarai, Selayang Pandang. Ende: Penerbit Nusa Indah, Cetakan I
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta
Ricouer, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Jogyakarta: Kreasi Wacana
Sudaryat, Yayat, 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: CV Yrama Widya
Thompson, J.B. 2003. Analsis Ideologi: Kritikwacana Ideologi-ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD
Proceeding VIII International Seminar on Austronesian and Non-Austronesian 2017
IBSN ; …………………………………………..

BIOGRAFI

Diaspora Markus, S.Pd, M.Hum, menyelesaikan pendidikan S1- Pendidikan Bahasa Inggris dari
Universitas Nusa Cendana Kupang, tahun 2002. Menyelesaikan S2- Linguistik juga dari Universitas yang
sama pada tahun 2011 dan saat ini menempuh pendidikan lanjutan pada program Doktor Linguistik
Udayana. Memiliki minat penelitian dalam bidang linguistik, khususnya ekolinguistik, pendidikan dan
pengajaran bahasa, sosiolingistik dan kebudayaan.

Karolus Budiman Jama, S,Pd, M.Pd, menamatkan pendidikan S1 – Prodi Sendratasik Universitas
Katolik Widya Mandira - Kupang, tahun 2004, S2 Prodi Pendidikan Seni SPS UPI - Bandung, tahun 2013
dan Saat ini sedang menempuh pendidikan pada program Doktor Kajian Budaya di Universitas Udayana.
Minat penelitian pada bidang musik, sosial dan budaya.

You might also like