1425 6101 1 PB

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

PENYELESAIAN KORUPSI DENGAN MENGGUNAKAN


RESTORATIF JUSTICE
(Corruption Settlement Using Justice Restoratives)

Fuzi Narindrani
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta
narindranisujadi.348@gmail.com

Tulisan Diterima: 26-09-2020; Direvisi: 05-11-2020; Disetujui Diterbitkan: 05-11-2020


DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.V20.605-617

ABSTRACT
The rise in criminal acts of corruption, especially those committed by state officials, has increasingly filled
society with stigmatic stereotypes. The demand for the seriousness of the Government in tackling criminal
acts of corruption in Indonesia, seems to have been increasing recently, especially with the emergence of
reports related to several law enforcers accused of committing despicable acts, extortion and abuse of
authority. Some people still think that only repressive actions can be overcome corruption because
according to their understanding, repressive actions can provide deterrence against corrupt practices or
behaviour. The current social, economic and political conditions have provided room for massive, systematic
and structured corruption in various lines of life, including in State institutions, Government agencies, State-
Owned Enterprises or Region-Owned Enterprises, Banking and Service institutions. Finance and various
other sectors of community life. The formulation of the problem in this scientific paper is "Why doesn't the
resolution of corruption cases in Indonesia currently use restorative justice?" The method is a normative
juridical approach. The corruption eradication policy adopted through an integral-systemic policy aims to
ensure that there is an integration between the crime prevention policy and the overall system development
policy. The eradication of criminal acts of corruption that is pursued with an integral-systemic policy, the
aim is to ensure that there is an integration between the crime prevention policy and the overall system
development policy. Integration and systemic steps in eradicating corruption, both repressively and
preventively, need to be synergized, given that repressive actions alone in dealing with the characteristics
and dimensions of corruption have not yet been tested for their effectiveness.
Keywords: criminal act; corruption; justice restoratives

ABSTRAK
Maraknya tindak pidana korupsi, terutama yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, semakin membuat
masyarakat penuh dengan stereotip stigmatis. Tuntutan terhadap keseriusan Pemerintah dalam penanggulangan
tindak pidana korupsi di Indonesia, sepertinya akhir-akhir ini semakin marak, lebih-lebih dengan mencuatnya
pemberitaan terkait dengan beberapa oknum Penegak Hukum yang dituding melakukan perbuatan tercela,
melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Sebagian masyarakat, masih menganggap hanya
dengan tindakan represif korupsi dapat ditanggulangi, karena menurut pemahaman mereka tindakan represif
tersebut dapat memberikan daya tangkal terhadap praktik atau perilaku koruptif. Kondisi sosial, ekonomi
dan politik saat ini telah memberi ruang gerak korupsi secara masif, sistematis dan terstruktur di berbagai
lini kehidupan, termasuk pada lembaga-lembaga Negara, lembaga-lembaga Pemerintah, Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, lembaga Perbankan dan Jasa Keuangan serta diberbagai sektor
kehidupan masyarakat lainnya. Perumusan masalah dalam karya ilmiah ini adalah “Mengapa penyelesaian
kasus korupsi saat ini di Indonesia tidak menggunakan restoratif justice?” Metode adalah pendekatan yuridis
normatif. Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditempuh dengan kebijakan integral-sistemik,
tujuannya agar adanya keterpaduan antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan keseluruhan kebijakan
pembangunan sistem. pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditempuh dengan kebijakan integral-sistemik,

605
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

tujuannya agar adanya keterpaduan antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan keseluruhan kebijakan
pembangunan sistem. Langkah integral dan sistemik dalam pemberantasan korupsi, baik secara represif dan
preventif perlu disinergikan, mengingat tindakan represif saja dalam menghadapi karakteristik dan dimensi
korupsi belum teruji efektivitasnya.
Kata Kunci: tindak pidana; korupsi; restoratif justice

PENDAHULUAN wewenang. Seiring dengan itu muncul juga


tudingan balik bahwa hal tersebut merupakan
Bentuk penampilan kaidah hukum disebut
rekayasa atau kriminalisasi yang dilakukan oleh
aturan hukum (rechtsregel, legal rule)1. Pada
oknum penegak hukum lainnya, bekerjasama
hakikatnya, suatu kaidah hukum bermuatan
dengan salah seorang oknum masyarakat dengan
perintah atau keharusan bagi seseorang untuk dan
tujuan ingin menjatuhkan nama baik institusi
atau dalam situasi tertentu melakukan atau tidak
hukum dimaksud. Terlepas siapa yang salah atau
melakukan perbuatan (larangan) karena tuntutan
siapa yang benar dalam persoalan tersebut, tetapi
keadilan yang menghendaki atau kemanfaatan hal
yang jelas masalah penanggulangan korupsi saat
itu. Oleh karena itu, persyaratan terpenting untuk
ini semakin menambah ramainya pemberitaan
dapat dikatakan sebagai hukum yang baik adalah
media cetak maupun elektronik.
hukum harus didasarkan pada prinsip manfaat
Berbagailangkah sebenarnya telah dilakukan
(maximizing happines and minimizing pains)2.
oleh pemerintah di dalam penanggulangan korupsi,
Selain prinsip manfaat, progresif, hukum yang baik
termasuk tindakan represif. Memang sebagian
juga harus dapat dipahami dan diketahui semua
masyarakat, masih menganggap hanya dengan
orang, konsisten pelaksanaannya, sederhana dan
tindakan represif korupsi dapat ditanggulangi,
mudah ditegakkan secara konsisten. Kebalikan
karena menurut pemahaman mereka tindakan
dengan prinsip hukum yang baik tersebut, maka
represif tersebut dapat memberikan daya tangkal
hukum bersangkutan akan lebih sering menuai
terhadap praktik atau perilaku koruptif. Kondisi
kritik ketimbang pujian.
sosial, ekonomi dan politik saat ini telah memberi
Maraknya tindak pidana korupsi, terutama ruang gerak korupsi secara masif, sistematis dan
yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, terstruktur di berbagai lini kehidupan, termasuk
semakin membuat masyarakat penuh dengan pada lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga
stereotip stigmatis. Makna adagium Culpe poena pemerintah, Badan Usaha Milik Negara atau
par esto tersebut telah jauh dari esensi reformasi Badan Usaha Milik Daerah, lembaga perbankan
hukum yang menuntut para penegak hukum dan jasa keuangan serta di berbagai sektor
kembali kepada tujuan hukum, yaitu memberikan kehidupan masyarakat lainnya.
keadilan dan kebahagiaan kepada setiap orang Berpijak kepada kenyataan ini, maka
sesuai dengan prinsip equality before the law. pandangan yang demikian itu sudah harus
Tuntutan terhadap keseriusan pemerintah ditinggalkan. Kedepan selain tindakan represif,
dalam penanggulangan tindak pidana korupsi maka tindakan pencegahan harus mendapatkan
di Indonesia, sepertinya akhir-akhir ini semakin perhatian yang serius dan diharapkan menjadi
marak,lebih-lebihdenganmencuatnyapemberitaan suatu langkah yang berkesinambungan, agar
terkait dengan beberapa oknum penegak hukum dapat membawa dampak perbaikan di masa yang
yang dituding melakukan perbuatan tercela, akan datang. Oleh sebab itu penanganan kasus
melakukan pemerasan dan penyalahgunaan korupsi seiring dengan ratifikasi konvensi anti
korupsi pada tahun 2003 (Vienna Convention)
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006
1 B. Arief Sidharta, Pembentukan Hukum di Indonesia,
Makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Panitia tentang Ratifikasi Anti Korupsi maka seharusnya
Khusus DPR RI Rancangan Undang-Undang Tentang penyelesaian dengan menggunakan asas restoratif
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Rapat justice dapat diterapkan.
Dengar Pendapat Umum dengan para Pakar (Jakarta, Sebagian besar masyarakat Indonesia pada
2011).
2 Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan,
saat ini sudah memahami hak dan kewajibannya,
Prinsip-Prinsip Hukum Perdata dan Hukum Pidana, maka tuntutan akan kemudahan dan percepatan
(The Theory of Legislation), ed. oleh MA Nurhadi pelayanan diberbagai sektor publik dan
(Bandung: Nusamedia, 2010).

606
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

administratif semakin dinamis. Baik Pemerintah jabatan (knevelarij, extortion), bahkan turut serta
Pusat maupun Pemerintah Daerah telah berupaya dalam pemborongan, leveransir dan rekanan,
melakukan perbaikan di berbagai sektor, namun sedangkan pejabat yang bersangkutan terkait
praktiknya, interaksi antara masyarakat dengan dengan pekerjaan tersebut, baik sebagai Pengelola
sektor pelayanan publik dari pemerintah, masih Anggaran, Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna
memunculkan permasalahan karena belum Anggaran atau Pejabat Pembuat Komitmen.
tuntasnya reformasi birokrasi yang menyeluruh, Meskipun tidak merugikan keuangan atau
baik menyangkut kelembagaan (institution), perekonomian negara atau masyarakat atau orang
ketatalaksanaan (business process) dan sumber perorangan oleh undang-undang ini ditetapkan
daya manusia (humasn resource) seperti juga sebagai tindak pidana korupsi.
dalam masalah pelayanan publik/masyarakat Hakekatnya korupsi bukanlah sesuatu yang
(public service), prosedur untuk berinvestasi/ khas Indonesia3 dan kebanyakan negara di dunia
berbisnis (investment procedure), proses untuk pernah dilanda masalah korupsi, dan korupsi
mendapatkan keadilan (access to justice), serta merebak, baik di negara-negara industri maupun
dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintahan negara-negara berkembang.
(government good and service procurement). Begitu pula dengan Indonesia, korupsi
Sektor-sektor tersebut masih kental dengan sudah melanda negeri ini sejak lama dan hampir
penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang menyentuh semua lini kehidupan masyarakat,
sebagai dampak dari minimnya integritas, sistem sepertinya, korupsi sudah sampai pada apa yang
karier dan penggajian yang tidak berbasis kinerja. disebut oleh Robert Klitgaard sebagai “budaya
Selain itu karena belum tersusunnya manajemen korupsi”4. Tentu raja yang dimaksud Klitgaard
kinerja serta standar pelayanan minimal, disamping di sini bukan pada hakikat keberadaan “budaya”
perilaku masyarakat yang serba instan dalam setiap atau semua orang Indonesia melakukan korupsi,
urusan, turut berperan memperburuk keadaan sehingga sulit untuk diperangi dengan cara
tersebut. Kondisi yang demikian itu merupakan apapun, tetapi situasi kondusif dan sikap permisif
realita dalam sektor pelayanan publik yang perlu masyarakat terhadap tindak pidana korupsi
dicegah, dibenahi dan dicarikan jalan keluarnya. menyebabkan perilaku korupsi berkembang di
Jika tidak nantinya akan dapat mempengaruhi tengah-tengah masyarakat. Jadi yang dimaksud
persepsi publik terhadap tindak pidana korupsi, Klitgaard sebagai “budaya”, karena sudah
mengingat bidang-bidang pencegahan sangat dianggap biasa, seperti dalam kehidupan sehari-
terkait dengan pelayanan publik yang langsung hari, dimana untuk mempercepat suatu urusan,
bersentuhan dengan masyarakat dan pelaku usaha. seseorang biasa memberikan “uang pelicin” atau
Secara yuridis pengertian korupsi, baik kebiasaan memberikan uang rokok (bakshish
anti maupun jenisnya diatur di dalam 30 pasal system)5, serta memberikan fasilitas dan hadiah.
dan telah dirumuskan di dalam Undang-Undang Kondisi itu menjadi berkembang karena selama
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang ini masyarakat dalarn interaksi tersebut, mendapat
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan faedah bagi dirinya, hal ini menyebabkan
Tindak Pidana Korupsi. Secara yuridis, pengertian keengganan sebagian besar warga masyarakat
korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan untuk melaporkan oknum pejabat negara, birokrat,
yang memenuhi rumusan delik karena melawan konglomerat, dan oknum aparat hukum yang
hukum atau menyalahgunakan kewenangan melakukan korupsi.
dapat merugikan keuangan atau perekonomian Soren Davidsen dalam bukunya Curbing
negara, penggelapan uang negara dan pemalsuan Corruption in Indonesia (memerangi korupsi
dokumen dan sebagainya untuk mengalihkan uang
negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan
3 Word Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia,
yang terkait dengan perilaku menyimpang dari
Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan (Jakarta,
penyelenggara negara yang merugikan masyarakat 2004).
atau orang perseorangan, seperti penyuapan 4 Robert Klitgaard 82-85., Membasmi Korupsi
(bribery), baik yang bersifat aktif atau yang (terjemahan), Terjemahan (Jakarta: Yayasan Obor
memberi suap (actieve omkoping) maupun yang Indonesia, 2005).
5 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah
bersifat pasif atau yang menerima suap (passieve Penjelajahan demon Data Kontemporer (Jakarta:
omkoping) serta gratifikasi, pemerasan dalam LP3ES, 1982).

607
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

di Indonesia)6 menyatakan bahwa ... “Rather mengatakan bahwa korupsi dapat muncul akibat
than being an abbreration, corruption has been perubahan politik yang sistematik, sehingga
a core norm of Indonesia’s political economy memperlemah atau menghancurkan tidak saja
for decades”... (Korupsi bukan hanya sebagai lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum7.
suatu penyimpangan, tampaknya telah menjadi Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern
suatu norma utama dalam politik ekonomi menyatakan bahwa korupsi merupakan bagian dari
Indonesia berdekade-dekade)....”Corruption, of tingkah laku yang dilakukan oleh oknum aparatur
course, existed before the new orde regime; but pemerintahan maupun orang lain dengan alasan
hierarchial, systemic corruption became one yang berbeda-beda tetapi mempunyai tujuan
of the central feature of the new order political yang sama yaitu suatu perbuatan tidak etis yang
economy”... (Korupsi tentu saja telah ada sebelum merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik8.
orde baru namun korupsi menjadi sistemik Hingga saat ini masih terdapat
dan hierarkis adalah ciri utama dalam politik kecenderungan bahwa segala permasalahan
ekonomi orde baru). Dengan jatuhnya orde baru hanya dapat diselesaikan dengan undang-
dalam tahun 1998, pengenalan sistem pemilihan undang, padahal hukum baru bermakna apabila
umum yang baru di tahun 1999 dan implementasi dijalankan dan ditegakkan dalam praktik secara
desentralisasi di tahun 2001 memang pola nyata9. Jika penerapan suatu peraturan perundang-
hierarkis dan pengorganisasian korupsi menyusut, undangan (penindakan) tidak dilakukan secara
tetapi berubah dalam bentuk lain. Menurut integral dan tidak diikuti dengan upaya sistemik
Soren Davidsen mengutip pendapat World Bank lainnya, terutama tindakan penindakan, maka
(Bank Dunia) bahwa transisi politik (Indonesia) tindakan yang merupakan bagian integral dari
telah membuat kompetisi di antara partai politik pembangunan hukum akan menjadi berkurang
begitu meluas sehingga memaksa mereka untuk maknanya di dalam upaya pemberantasan tindak
bergantung pada kaum elit senior (lama) untuk pidana korupsi.
mendapat dana berkampanye yang efektif di Oleh karena itu, perlu dicermati pendapat
wilayah (Indonesia) yang luas ini. Disamping itu Barda Nawawi Arief yang mengatakan bahwa
sistem desentralisasi telah membuka jalan raya strategi dalam pemberantasan korupsi, bukan
yang baru bagi para elit daerah untuk melakukan pada pemberantasan korupsi itu sendiri melainkan
korupsi, karena sebelumnya mungkin mereka pemberantasan “kausa dan kondisi yang
tidak mendapat bagian yang “pantas” dari kue menimbulkan terjadinya korupsi”, pemberantasan
pembangunan di era sistem Indonesia yang korupsi lewat penegakan hukum pidana hanya
sentralistik. Setelah jatuhnya orde baru terlihat, merupakan pemberantasan simptomatik,
bahwa para koruptor kelas kakap telah menyusut, sedangkan pemberantasan kausa dan kondisi
tapi banyak pengamat berpendapat justru korupsi yang menimbulkan terjadinya korupsi merupakan
dalam skala kecil meningkat karena makin pemberantasan kausatif10.
banyak pemain baru yang masuk ke gelanggang Kalau kita mau jujur, sebenarnya pemerintah
disebabkan absennya sang pemain lama. Pada selama ini melalui institusi penegak hukum sudah
saat korupsi kecil-kecilan sering dipandang masih
relatif jinak, diluar dugaan ternyata telah membuat 7 Lihat Kimberly Ann Elliot, Corruption and The
suatu budaya yang dapat memaklumi pola; dan Global Economy, ed. oleh Yayasan Obor Indonesia,
tidak lagi hanya sekedar mencari “pemodal” Terjemahan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999).
8 David T. Austern Sheldon S. Steinberg, Government,
atau mencari “patron”, namun juga memaklumi Ethics, and Managers, Penyelewengan Aparat
keikutsertaan dalam penyalahgunaan, kolusi dan Pemerintahan, Terjemahan (Bandung: Remaja
pengabaian hukum. Rosdakarya, 1999).
Sejalan dengan pandangan itu, Patrick 9 Didin S. Damanhuri, “Jimly Asshiddiqie dalam
Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim kata pengantar buku Didin S. Damanhuri, Korupsi,
Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi
Indonesia,” in Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa
6 Sorer Davidsen et al., Curbing Corruption in Depan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Lembaga Penerbit
Indonesia 2004 - 2006 A Survey of National Policies Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006), hal.
and Approaches (Menapaki Korupsi di Indonesia XI.
2004 - 2006; Suatu Survei Kebijakan dan Pendekatan 10 Barda Nawawi, Strategi Kebijakan Nasional dalam
Nasional, 1, 1 ed. (Yogyakarta: Kanisius Printing Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Analisis
House, 2006). terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, 1998.

608
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

berbuat banyak, melakukan tindakan penindakan tugas mengembangkan dan mengakumulasi


(represif). Sebagai indikator hampir semua rumah pengetahuan tentang pemberantasan korupsi,
tahanan atau lembaga pemasyarakatan di tanah air memfasilitasi pertukaran informasi, pengumpulan,
terisi tahanan yang diduga melakukan perbuatan penyebaran dan mempromosikan best practices
korupsi atau narapidana korupsi. (praktik terbaik) dalam mencegah korupsi.
Meskipun demikian, timbul pertanyaan Tindakan pencegahan yang telah dilakukan,
mengapa tindakan represif tersebut belum terlihat selama ini antara lain dengan meningkatkan
mampu menurunkan crime rate korupsi di kualitas pelayanan publik, seperti pembentukan
Indonesia, dan memunculkan daya tangkal (pre- one stop sevice (pelayanan satu atap), tetapi
entive effect) dan efek jera (deterrent effoct)? dalam tataran implementasinya pelayanan satu
Justru akhir-akhir ini sepertinya makin atap, masih terdapat kelemahan. Kelemahan
menunjukkan korupsi di Indonesia trendnya tersebut karena belum tuntas dan terintegrasinya
makin meningkat dan semakin tumbuh subur, program Single Identification Number (SIN),
bahkan sudah merasuk keseluruh lini kehidupan, sehingga masih terbuka celah penyimpangan dan
baik dilakukan secara terang-terangan maupun penyalahgunaan dari pihak yang berwewenang
sembunyi-sembunyi. dan yang berkuasa.
Fenomena ini, oleh Prof. Sudarto telah Ironisnya kini, semakin gencar para pelaku
diprediksi 38 tahun yang lalu di depan para dosen tindak pidana korupsi kepengadilan, maka
yang mengikuti Refresher Course Kriminologi semakin marak juga korupsi muncul di berbagai
yang diselenggarakan oleh Lembaga Kriminologi sektor kehidupan, bagaikan patah tumbuh hilangan
Universitas Diponegoro, tanggal 7 s/d 15 Oktober berganti, sehingga memunculkan ungkapan
1971, mengutarakan bahwa “clean government, “Corruption: it is easy to talk, but it is not easy to
dimana tidak terdapat atau setidak-tidaknya tidak eradicate” Berpijak kepada kondisi yang objektif
banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak yang demikian, maka perlu dipikirkan bahwa
bisa diwujudkan hanya dengan peraturanperaturan yang akan datang penanggulangan korupsi tidak
hukum, meskipun itu hukum pidana dengan semata-mata hanya mengedepankan instrumen
sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana pidana, tetapi juga harus memberdayakan
adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara instrumen lainnya, secara lintas sektoral, terutama
tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakan- terkait dengan pengawasan dan regulasi, selain
tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan membenahi seluruh sektor yang selama ini
dan sebagainya”11. menstimulus terjadinya korupsi. Pengawasan
Mengacu kepada hasil Kongres PBB struktural maupun fungsional harus dilakukan
mengenai Pencegahan Kejahatan dan Peradilan secara berkesinambungan efektif, efisien dan
Pidana (United Nations Congress on Crime terstruktur, sehingga tidak memberi peluang
Prevention and Criminal Justice) sejak Kongres terjadinya korupsi, sedangkan regulasi terkait
ke-5 Tahun 1975 di Jenewa s/d Kongres ke-11 di dengan peraturan perundang-undangannya
Bangkok 18-25 April 2005, merekomendasikan menghambat ruang gerak tindakan represif dan
bahwa penanggulangan korupsi harus ditempuh juga memberi ruang yang multitafsir, sehingga
dengan pendekatan secara integral (komprehensif), menjadi kendala dan dapat dimanfaatkan didalam
baik preventif, represif dan edukatif12. melegalisasi terjadinya korupsi13, begitu juga
Resolusi Tindakan Pencegahan faktor-faktor yang selama ini menstimulus
mengamanatkan pembentukan interim open ended terjadinya korupsi harus lebih diprioritaskan
working on prevention (kelompok kerja tidak pembenahannya.
tetap mengenai pencegahan) yang mempunyai Menurut G.P. Hoefnagels korupsi saat ini
bukan lagi merupakan kejahatan domestik, karena
sudah menjadi kejahatan trans-nasional, maka
11 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Tulisan ce
(Bandung: Alumni, 1986).
12 Deklarasi Bangkok, ““We recognize thatcomprehensive 13 “Polemik sekitar pembahasan undang-undang tentang
and effective crime prevention strategies can Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 3
significantly reduce crime and victimization. We urge yang menyatakan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
that such strategies address the root causes and risk berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang
factors of crime and victimization and that they be daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan
further develope” (Bangkok), hal. Butir 10. nege.”

609
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

tindakan penanggulangannya tdak cukup hanya Stephan dari Columbia University sebagai yang
dengan menerapkan hukum pidana (stipulation paling masif di dunia – semakin membuka peluang
of criminal law) saja, tetapi juga melalui upaya bagi menjamurnya korupsi15. Dengan kata lain,
pencegahan tanpa pidana (prevention without pemberantasan korupsi berjalan seperti deret
conviction), dan jika ada upaya mempengaruhi hitung sedangkan “produksi” korupsi berjalan
pandangan masyarakat mengenai kejahatan seperti deret ukur. Terdapat gap yang semakin
dan pemidanaan lewat media massa (effort in lama semakin lebar.
influencing public point of view on crime and Adanya gap tersebut dapat diartikan banyak
punishment through mass media)14. kasus korupsi tidak tertangani. Koruptor tetap
Tindakan represif adalah merupakan upaya saja melakukan aksinya karena menyadari bahwa
semaksimal mungkin yang dilakukan aparat peluang untuk tertangkap dan dihukum relatif
penegak hukum memproses tindak pidana korupsi rendah. Sebagai konsekuensi, secara perlahan
yang telah diidentifikasi menurut ketentuan hukum korupsi semakin menjalar hampir di seluruh sendi
secara cepat, tepat dengan tingkat kepastian tinggi kehidupan. Dengan berjalannya waktu tripping
dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan point tertentu tercapai dan kita disadarkan oleh
sampai ke proses pemeriksaan di persidangan atau berbagai hasil survei yang selama empat dekade
putusan oleh hakim dengan tetap mengindahkan membuat dunia peradilan di Indonesia terjerembab
hak asasi tersangka atau terdakwa. pada posisi terkorup dari 14 negara Asia versi
Dalam upaya mengungkap tindak pidana PERG tahun 2009.
korupsi melalui tindakan represif, Kejaksaan Beberapa faktor menyebabkan sistem
masih dipercaya dan diberi kewenangan peradilan Indonesia menjadi jawara, korupsi,
melakukan penyidikan, di samping kewenangan yaitu rendahnya moralitas aparat penegak hukum,
untuk melakukan penuntutan dan eksekusi. budaya politik yang korup, apatisme masyarakat,
Dasar hukum dari kewenangan penyidikan ini kriteria dan proses rekrutmen aparat penegak
diatur pada Pasal 281 ayat (2) KUHAP jo. Pasal hukum yang belum sepenuhnya transparan,
26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. serta rendahnya political will Negara dalam
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberantas mafia peradilan.
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor Upaya pemberantasan korupsi jika ditinjau
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak dari sisi instrumen hukum sebenarnya sudah
Pidana Korupsi jo. Pasal 44 ayat (4) atau Pasal (50) cukup memadai. Paramaternya bisa diukur dari
UU Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan keberadaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
Tindak Pidana Korupsi (KPK) jo. Pasal (1), (12), 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
(17), (18), (20), (21) dan (22) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, ironisnya
Kolusi dan Nepotisme. Kemudian kewenangan korupsi masih tetap saja marak. Mencermati uraian
tersebut diatur secara khusus di dalam Undang- diatas, maka penulis merasa perlu merumuskan
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan masalah dalam karya ilmiah ini adalah “Mengapa
RI, pada Pasal 30 Ayat (1) huruf d. penyelesaian kasus korupsi saat ini di Indonesia
Sejauh ini, upaya pemberantasan tersebut tidak menggunakan restoratif justice?”
terus berjalan walaupun sangat lamban akibat
berbagai faktor teknis, munculnya berbagai METODE PENELITIAN
konflik kepentingan, dan kurangnya komitmen Metode yang dipergunakan dalam penelitian
politik pemerintah. Pada saat yang bersamaan ini adalah metode deskriptif analitis dengan
proses penciptaan korupsi baru berjalan sangat pendekatan utamanya yuridis normatif. Deskriptif
cepat dengan metode yang semakin kompleks analitis berarti menggambarkan dan melukiskan
dan dilakukan secara sistemik. Masa transisi sesuatu yang menjadi obyek penelitian secara
politik pasca turunnya Presiden Soeharto serta kritis melalui analisis yang bersifat kualitatif.
desentralisasi daerah–yang menurut Prof. Alfred Oleh karena yang ingin dikaji berada dalam ruang

14 G.P. Hoefnagels, The Other Side of Criminology 15 Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi
(Holland: Cluwer Deventer, 1973). Indonesia (Jakarta: Gramedia).

610
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

lingkup ilmu hukum, maka pendekatan normatif yang mungkin diterapkan apabila bentuk kontrol
tersebut, meliputi: asas-asas hukum, sinkronisasi sosial lainnya tidak efektif18.
peraturan perundang-undangan, termasuk usaha Sebelum menguraikan mengenai
penemuan hukum inconcreto16. penyelesaian dengan menggunakan restoratif
Di dalam suatu penelitian yuridis normatif, justice maka terlebih dahulu penulis menjelaskan
maka penggunaan pendekatan perundang- pengertian restoratif justice secara keseluruhan.
undangan (statute approach) adalah suatu hal Mediasi pidana menurut Martin Wright
yang pasti. Dikatakan pasti, karena secara logika adalah19: “a process in which victim(s) and
hukum, penelitian hukum normatif didasarkan offender(s) communicate with the help of an
pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan impartial third party, either directly (face-to face)
hukum yang ada. Meskipun misalnya penelitian or indirectly via the third party, enabling victim(s)
dilakukan karena melihat adanya kekosongan to express their needs and feelings and offender(s)
hukum, namun kekosongan hukum tersebut dapat to accept and act on their responsibilities.” (“Suatu
diketahui, karena sudah adanya norma-norma proses di mana korban dan pelaku kejahatan saling
hukum yang mensyaratkan pengaturan lebih lanjut bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan
dalam hukum positif17. pihak ketiga baik secara langsung atau secara
Dalam konteks penelitian ini, maka tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga
pendekatan dilakukan terhadap norma hukum sebagai penghubung, memudahkan korban untuk
yang terdapat di dalam beberapa Undang-Undang mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan
seperti halnya dalam Undang-Undang Nomor dan perasaannya dan juga memungkinkan
1 Tahun 1946 tentang perlindungan hukum pelaku menerima dan bertanggung jawab atas
pidana, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- perbuatannya”.)
undang Nomor 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Mediasi pidana dalam Explanatory
Perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Memorandum to the Council of Europe
Pidana (KUHP); Peraturan Mahkamah Agung Recommendation tentang Mediation in Penal
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Beberapa Perubahan Matters sebagaimana tertuang dalam Mediation
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana in Penal Matters, Recommendation No. R (99)
(KUHP). 19 adopted by the Committee of Ministers
of the Council of Frolic oil September 1999,
PEMBAHASAN DAN ANALISIS mendefinisikan mediasi pidana sebagai proses di
Salah satu fungsi hukum pidana adalah mana korban dan pelaku kejahatan dimungkinkan
membatasi dan mengumumkan perbuatan yang secara sukarela, untuk berpartisipasi secara aktif
dilarang. Ini disebut sebagai aturan perilaku, yang dalam penyelesaian masalah mereka akibat dari
sebelumnya telah ditetapkan dan ditujukan kepada perbuatan pidana yang dilakukan pelaku tindak
warga masyarakat sebagai perbuatan yang harus pidana dengan melibatkan pihak ketiga atau
dihindari di bawah ancaman sanksi pidana. Selain mediator.
itu, hukum memelihara keadaan tetap (statusquo) Mediasi pidana menjadi perhatian yang luas
sekaligus secara fleksibel mengawal perubahan. sebagaimana tampak dalam rekomendasi yang
Hukum, khususnya hukum pidana, dirancang disampaikan dalam kongres Perserikatan Bangsa-
untuk memelihara ketertiban, sama halnya Bangsa tentang The Prevention of Crime and The
melindungi kepentingan publik dan pribadi. Tretment of Offenders dan konferensi Internasional.
Masyarakat menentukan beberapa kepentingan
yang sangat penting perlu dijaga dengan suatu
18 Muhaimin, “Restoratif Justice Dalam Penyelesaian
sistem kontrol secara formal. Oleh karena itu, Tindak Pidana Ringan,” Jurnal Penelitian Hukum De
hukum harus secara sah memberikan kepada Jure, 19.2 (2019), 190 <https://doi.org/http://dx.doi.
kekuasaan negara untuk menegakkannya. Hukum org/10.30641/dejure.2019.V19.185-206>.
adalah suatu sistem kontrol sosial secara resmi, 19 Martin Wright sebagaimana dikutip oleh Marc
Groenhuijsen hal. 1., “Victim-Offender¬-Mediation:
Lagal And Procedural Safeguards Experiments And
16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Legislation In Some European Jurisdictions,” in
Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali, 1985). Victim-Offender¬-Mediation: Lagal And Procedural
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Safeguards Experiments And Legislation In Some
Kencana Prenada Media Group, 2006). European Jurisdictions (Leuven, 1999), hal. 1.

611
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

Dokumen penunjang Kongres Perserikatan antar bangsa. Jasa-jasa baik tidak mengikat.
Bangsa-Bangsa ke-9 Tahun 1995 yang berkaitan Artibrage, bons offices.
dengan manajemen peradilan pidana. Negara- Mediasi menurut Hendry Campbell Black’s
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa MA menyatakan bahwa:24 “mediation, private,
perlu memper-timbangkan privatizing some law informal dispute resolution process in which a
enforcement and justice functions dan alternative neutral third person, the mediator, helps disputing
dispute resolution. Anjuran ini dikemukakan parties to reach an agreement. The mediator has
untuk mengatasi problem kelebihan muatan atau no power to impose a decision on the parties. See
penumpukan perkara di pengadilan. also alternative dispute resolution: Arbitation
Deklarasi Wina yang dihasilkan Kongres Consoliation.
Perserikatan Bangsa Bangsa ke-10 Tahun 2000 Adapun pengertian konflik dan penyelesaian
khusus tentang upaya perlindungan kepada konflik dalam hukum pidana adalah konflik adalah
korban kejahatan, perlu diupayakan pengaturan pertentangan atau percekcokan25. Achmad Ali
prosedur mediasi dan peradilan restoratif. Ecosoc yang mungutip pandangan Schuyt menyatakan
telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai konflik adalah26: “Setiap situasi di mana dua atau
Basic Principles on the Use Restorative Justice lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan
Programmes in Criminal Matters pada tanggal pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling
24 Juli 2002, didalamnya juga mencakup masalah memberikan tekanan dan satu sama lain gagal
mediasi20. mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak
Komisi para Menteri Dewan Eropa, The saling berusaha untuk memperjuangkan secara
Committee of Ministers of The Council of Europe, sadar tujuan-tujuan pokok mereka.”
telah menerima Recommendation No. R (99) 19 Selanjutnya Chris Mitchell mengartikan
tentang Mediation in Penal Matters, pada tanggal konflik sebagai “hubungan antara dua pihak atau
15 September 1999 yang selanjutnya dikeluarkan lebih (individu atau kelompok) yang memiliki
The EU Council Framework Decision tentang atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak
kedudukan korban di dalam proses pidana, EU sejalan”27. Mediasi pidana adalah suatu proses
2001/220/JBZ, yang mengatur pula tentang di mana korban dan pelaku kejahatan saling
mediasi, pada 15 Maret 200121. bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan
International Penal Reform Conference pihak ketiga baik secara langsung atau secara
yang diselenggarakan di Royal Holloway tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga
College, University of London, pada 13-17 April sebagai penghubung, memudahkan korban untuk
1999 mengemukakan salah satu dari agenda mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan
baru pembaharuan hukum pidana ialah perlunya dan perasaannya dan juga memungkinkan
memperkaya sistem peradilan formal dengan pelaku menerima dan bertanggung jawab atas
sistem mekanisme informal dalam penyelesaian perbuatannya.
sengketa yang sesuai dengan standar Hak Asasi
Manusia22. PENYELESAIAN KASUS KORUPSI di
Mediasi menurut Kamus Istilah Hukum INDONESIA TIDAK MENGGUNAKAN
Belanda Indonesia Fockema Andreae menyatakan RESTORATIF JUSTICE
sebagai berikut:23 Mediatie adalah jasa-jasa baik,
Restorative Justice menekankan pengertian
mediasi, perantaraan didalam pergaulan hukum
kejahatan sebagai tindakan yang melawan
individu atau masyarakat bukan sebagai bentuk
20 Barda Nawawi Arief, “‘Mediasi Pidana (Penal pelanggaran kepada negara.
Mediation) dalam Penyelesaian Sengketa/Masalah
Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan,’” in
Kapita Selekta Hukum: Menyambut Dies Natalis Ke-50 24 Hendry Campbell, Black’s Low Dictionary (New York:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Minn West Publishing Co, 1990).
(Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 25 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
2007), hal. 17. Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).
21 Arief. 26 Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris
22 Arief. Terhadap Pengadilan (Jakarta: BPIBLAM, 1998).
23 St. Batoeta N.E. Algra; H.R.W. Gokkel; Saleh 27 Chris Mitchell, dalam Simon Fisher et. al., Mengelola
Adiwinata, DH; A. Teloeki; H. Burhanoeddin, Kamus Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak
Istilah Hukum Fockema Andreae, 1972. (Jakarta: The British Council Indonesia, 1998).

612
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

Nomor 15 Tahun 2020 Pasal 1 Ayat 1 dijelaskan


Berdasarkan data-data mengenai jumlah bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana korupsi selama 2009-2014, perkara tindak pidana dengan melibatkan
penyelamatan keuangan negara dan total biaya pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban,
penanganan perkara tipikor sejak penyelidikan dan pihak yang terkait untuk secara bersama-
sampai penuntutan, dan biaya negara untuk makan sama mencari penyelesaian yang adil dengan
narapidana dapat disimpulkan: menekankan pemulihan kembali pada keadaan
1. Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi semula, dan bukan pembalasan. Lebih lanjut, pada
yang dicanangkan pemerintah baik melalui Pasal 5 disebutkan bahwa ada beberapa syarat
UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dihentikannya penuntutan perkara tindak pidana
dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang berdasarkan keadilan restorative. Yakni, tersangka
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan
maupun melalui Instruksi Presiden RI telah hanya diancam dengan pidana denda atau pidana
gagal karena tidak berhasil memberikan penjara tidak lebih dari 5 tahun, dan nilai barang
efek jera yang signifikan dan merata bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat
kepada semua narapidana, bahkan telah tindak pidana tidak lebih dari Rp2,5 juta28.
menambah kuantitas dan kualitas residivis. Perbandingan antara hasil penyelematan
Selain itu, juga tidak berkontribusi terhadap kerugian keuangan negara yang berasal dari
penerimaan negara melalui penyitaan dan korupsi dan besaran dana APBN untuk KPK
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. terlihat tidak sebanding dan menimbulkan
Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut pertanyaan mengenai efektivitas dan efisiensi
dapat disimpulkan pula bahwa negara telah kinerja KPK selama 5 (lima) tahun.
sangat boros membelanjakan dana APBN Laporan Kejaksaan Agung RI dan justru
untuk pemberantasan korupsi mulai dari hulu jauh lebih besar, yaitu Rp. 3.02 triliun Komisi
ke hilir, hingga mengerus penerimaan negara Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menunjukkan
dari pajak dan sumber lainnya estimasi angka kerugian keuangan negara yang
2. Asumsi bahwa korupsi merupakan sumber diselamatkan, tetapi laporan angka total kerugian
penyebab kemiskinan bangsa-bangsa negara selama periode tersebut menunjukkan
sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan angka sebesar Rp. 20 triliun. Patut pula dicatat
(preambule) Konvensi PBB Anti Korupsi bahwa selama periode 6 tahun, total nilai kerugian
2003 (telah diratifikasi Indonesia dengan negara yang diselamatkan KPK secara nominal
UU RI Nomor 7 Tahun 2006) terbukti tidak adalah sebesar Rp. 728,445 miliar dan besaran
sepenuhnya benar dalam konteks Indonesia, alokasi APBN yang terealisasi oleh KPK.29
sehingga fakta tersebut meyakinkan kita Selain dari besarnya angka kerugian negara
bahwa pola dan strategi pemberantasan yang tidak terselamatkan, ternyata kerugian akibat
korupsi selama hampir 5 (lima) tahun telah eksploitasi ilegal terhadap kekayaan sumber alam
tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia Indonesia juga tidak kalah penting, data yang
dan kondisi objektif ekonomi nasional. disampaikan Indonesian Corruption Watch (ICW)
sebagaimana dipaparkan yaitu,30 Berdasarkan
Upaya keadilan restoratif dilakukan
dengan menggelar pertemuan antara korban dan
terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan 28 CNN Indonesia, “Calon Kajati Singgung
para perwakilan masyarakat secara umum. Keadilan Restoratif untuk Korupsi Kecil,”
Konsep pendekatan restorative justice lebih 2020 <https://www.cnnindonesia.com/
nasional/20201104191211-12-565995/calon-kajati-
menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan singgung-keadilan-restoratif-untuk-korupsi-kecil>.
dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta 29 Andrian Pratama Tahe, “Kejagung Klaim 5 Tahun Ini
korbannya sendiri ketimbang proses hukum. Selamatkan Uang Negara Triliunan Rupiah,” https://
Tujuannya agar penanganan perkara tindak pidana tirto.id/kejagung-klaim-5-tahun-ini-selamatkan-uang-
negara-triliunan-rupiah-egrQ, 2019.
dapat lebih mengedepankan keadilan restoratif
30 Angga Yuniar, “Data ICW: Kerugian Negara Rp39,2
atau damai, terutama berkaitan dengan kasus-kasus Triliun, Uang Pengganti dari Koruptor Hanya Rp2,3
relatif ringan dan beraspek kemanusiaan. Dalam T,” https://www.merdeka.com/peristiwa/data-icw-
ketentuan umum Peraturan Kejaksaan (Perja) kerugian-negara-rp392-triliun-uang-pengganti-dari-
koruptor-hanya-rp23-t.html, 2020 <https://www.

613
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

catatan ICW sepanjang semester I tahun 2020, total sosiologis, dan yuridis pembentukan suatu norma
kerugian keuangan negara sebesar Rp 39,2 triliun. dalam undang-undang. Hanya dengan pandangan
Sedangkan pidana tambahan uang pengganti bahwa hukum merupakan sistem nilai, praktisi
hanya Rp 2,3 triliun. Peneliti ICW Kurnia hukum dapat mengambil tindakan hukum yang
Ramadhana mengatakan, jumlah uang pengganti tepat dan bijaksana dalam mengelola setiap
yang diterima negara Rp 2,3 triliun memang peristiwa sosial dalam masyarakat. Satu-satunya
terlihat besar, namun tak sebanding dengan pedoman dasar dalam sistem hukum Indonesia
total kerugian keuangan negara. Praktis kurang adalah Pancasila, yang merupakan filsafat hidup
dari lima persen kerugian negara yang mampu bangsa Indonesia31.
dipulihkan melalui instrumen Undang-Undang Seiring dengan ratifikasi Konvensi Anti
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18. Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 7
Perbedaan pemulihan kerugian keuangan negara Tahun 2006, hukum pidana internasional tidak
ini pun tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. ketinggalan pula telah mengadopsi pendekatan
Pada semester pertama tahun 2019 total kerugian restoratif sebagai berikut:
keuangan negara akibat praktik korupsi sebesar Rp 1. Statuta Roma yang telah disetujui akhir-
2,13 triliun, sedangkan pengenaan uang pengganti akhir ini untuk suatu Mahkamah Pidana
hanya sekitar Rp 183 miliar. Internasional (International Criminal
Penyelesaian kerugian negara dalam kaitan Court) berisikan sejumlah ketentuan
UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan restoratif, termasuk pembentukan suatu unit
UU RI Nomor 20 Tahun 2001 telah dijadikan korban dan saksi, pemberian otoritas bagi
unsur tindak pidana korupsi eks Pasal 2 dan Mahkamah untuk proses hearing dan untuk
Pasal 3 diperkuat dengan Pasal 4 sehingga tidak mempertimbangkan kepentingan-kepentingan
memberikan celah hukum penyelesaian melalui pribadi korban manakala sesuai, suatu mandat
keadilan restoratif, yaitu pengembalian senilai untuk menetapkan prinsip-prinsip yang
uang yang merugikan negara seharusnya dimaknai berkenaan dengan restitusi (penggantian
sebagai pintu masuk pemulihan kerugian negara kerugian dan pemulihan perbaikan lainnya
(korban) oleh pelaku korupsi sehingga pelaku (reparation) kepada korban, dan suatu mandat
korupsi cukup dijatuhi pidana bersyarat. Wujud untuk menetapkan suatu dana perwalian
pencapaian keadilan restoratif telah dianut untuk memberikan kemanfaatan-kemanfaatan
dalam Foreign Corruption Practices Act (FCPA) terhadap para korban tindak pidana dan
(1997) di mana korporasi yang terlibat dalam keluarga-keluarga mereka.
tindak pidana suap (seperti kasus Monsanto dan 2. Konvensi United Nations Convention
Innospec) menurut FCPA cukup dijatuhi denda Againts Corruption (UNCAC) Tahun 2003
administratif yang ditentukan oleh Departemen atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kehakiman AS dan Badan Pengawas Pasar Modal Anti Korupsi 2003. Pendekatan restoratif
AS (securities Exchange Commission) dan tidak juga diadopsi dalam Konvensi UNCAC
perlu dijatuhi hukuman penjara; proses ini dikenal 2003 ini sebagaimana diatur dalam salah
sebagai “injunction”. satu pasalnya yaitu Pasal 37 tentang kerja
Berdasarkan pada perubahan mendasar cara sama dengan otoritas penegak hukum. Pasal
pandang masyarakat terhadap suatu perbuatan 37 Ayat (1) mewajibkan kepada tiap negara
yang dilarang dan diancam pidana, serta bagaimana yang menjadi pihak dalam konvensi UNCAC
hukum pidana bekerja sebagai solusi dari keadaan 2003 untuk mengambil tindakan-tindakan
tersebut, hukum sudah bukan lagi sistem norma yang sesuai untuk mendorong mereka yang
dan logika (system of norms and logics) atau sistem turut serta atau yang telah turut serta dalam
perilaku (system of behaviour) semata, akan tetapi suatu perbuatan pidana yang ditetapkan
hukum seharusnya dipandang sebagai sistem nilai dalam konvensi (korupsi), agar memberikan
(value system), sehingga praktisi hukum dapat informasi yang berguna untuk penyidikan
menjelaskan arah dan tujuan serta alasan filosofis,

31 RUU KUHP (2015) tercantum dalam Pasal 16 berbunyi


merdeka.com/peristiwa/data-icw-kerugian-negara- “Dalam mempertimbangkan hukum yang akan
rp392-triliun-uang-pengganti-dari-koruptor-hanya- diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan
rp23-t.html>. keadilan di atas kepastian hukum”. (Jakarta, 2015).

614
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

dan pembuktian dan untuk menyediakan KESIMPULAN


bantuan nyata dan khusus kepada para pejabat
Konsep pendekatan restorative justice lebih
yang berwenang, yang dapat memberikan
menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan
kontribusi menjauhkan para pe laku dari
dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta
proses tindak pidana dan untuk memulihkan
korbannya sendiri ketimbang proses hukum.
proses-proses seperti itu. Menurut ketentuan
Tujuannya agar penanganan perkara tindak pidana
ayat (2) dari Pasal 37 UNCAC ini, negara
dapat lebih mengedepankan keadilan restoratif atau
peserta konvensi UNCAC dalam kasus-kasus
damai. Kebijakan pemberantasan tindak pidana
yang sesuai wajib mempertimbangkan atas
korupsi yang ditempuh dengan kebijakan integral-
kemungkinan pengurangan hukuman dari
sistemik, tujuannyaagar adanya keterpaduan antara
seorang tersangka pelaku yang memberikan
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
kerja sama yang bersifat material di dalam
keseluruhan kebijakan pembangunan sistem,
penyidikan atau penuntutan kasus tindak
tidak hanya adanya “treatment of offenders”
pidana korupsi. Dalam Pasal 37 Ayat (3),
yaitu dengan pemberian sanksi pidana terhadap
UNCAC mengatur bahwa tiap negara peserta
para pelanggar, tetapi juga harus ada treatment
wajib mempertimbangkan untuk menyediakan
of society yaitu perlakuan yang sedemikian rupa
atas kemungkinan pemberian kekebalan
kepada masyarakat dengan membangun suatu
hukum atas penuntutan terhadap seseorang
kondisi yang dapat menjauhkan faktor-faktor
yang memberikan kerja sama yang bersifat
kriminogen yaitu faktor yang dapat membuat
material untuk keperluan penyidikan dan
seseorang seseorang untuk berbuat korupsi
penuntutan tindak pidana korupsi. Tentunya
dengan mencari akar permasalahan kemudian
dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan
berusaha mengeliminirnya. Agar perpaduan kedua
prinsip-prinsip dasar dari hukum nasional
kebijakan tersebut dapat memenuhi harapan, maka
negara peserta yang bersangkutan. Sementara
segenap komponen bangsa harus menyadari arti
itu Pasal 37 Ayat (4)-nya mengatur bahwa
penting dari peranan dan keikutsertaannya masing-
perlindungan terhadap pelaku tersebut di atas
masing secara lintas sektoral dalam pembangunan
harus tunduk atas ketentuan Pasal 32 konvensi
hukum khusus didalam penegakan hukum terkait
UNCAC beserta segala perubahannya.
dengan pemberantasan korupsi, termasuk lembaga
negara dan lembaga pemerintah, baik departemen
atau lembaga non departemen, harus berusaha
Dari beberapa materi rujukan yang
meniadakan faktor-faktor yang menstimulus
dikeluarkan oleh PBB dan Dewan Eropa (Council
terjadinya korupsi tersebut secara optimal sesuai
of Europe) sebagaimana dijelaskan di atas
dengan tugas dan wewenangnya.
memperlihatkan bahwa aspek pemulihan masih
lebih diutamakan daripada proses penuntutan
dan pemenjaraan. Pemulihan harus dimaknai SARAN
sebagai pengembalian hak-hak korban melalui Perlu dilakukan langkah dalam terbaik dalam
ganti rugi oleh pelaku dan pemberian hak bagi sistem peradilan di Indonesia, dan pemerintah
pelaku untuk dapat diterima kembali ke dalam mempunyai kewajiban tersebut agar di masa yang
masyarakat. Proses tersebut dilakukan melalui akan datang, kedinamisan dalam dunia peradilan
suatu kesepakatan yang ditempuh secara terbuka, terus berkembang menuju kemajuan berbanding
jujur, adil, seimbang, menyeluruh dan mengikat lurus dengan kemutkahiran dan kecepatan
serta dapat memberi efek jera tanpa melalui suatu zaman. Langkah integral dan sistemik dalam
proses penuntutan dan pemenjaraan. Pendekatan pemberantasan korupsi, baik secara represif dan
restoratif memiliki efek pemulihan dan preventif perlu disinergikan, mengingat tindakan
pencegahan. Pendekatan tersebut dapat dilakukan represif saja dalam menghadapi karakteristik
melalui proses yang cepat dan murah sehingga dan dimensi korupsi belum teruji efektifitasnya,
akan mengurangi tunggakan perkara tindak pidana karena hukum pidana bukan sarana yang efektif
di pengadilan umum. didalam upaya menanggulangi korupsi disebabkan
jangkauan hukum pidana memiliki keterbatasan.

615
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

UCAPAN TERIMAKASIH Didin S. Damanhuri, “Jimly Asshiddiqie dalam


kata pengantar buku Didin S. Damanhuri,
Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan
Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa
untuk para pembimbing dalam penulisan Karya
Depan Ekonomi Indonesia,” in Korupsi,
Tulis ini sehingga dapat maksimal dalam metode
Reformasi Birokrasi dan Masa Depan
maupun substansi, antara lain Bapak Syprianus
Ekonomi Indonesia (Jakarta: Lembaga
Aristeus dan Bapak Muhaimin serta rekan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
peneliti lain yang memberikan masukan dan saran
Indonesia, 2006), hal. XI
dalam proses penulisan, serta instansi Badan
Elliot, Lihat Kimberly Ann, Corruption and The
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM,
Global Economy, ed. oleh Yayasan Obor
Kementerian Hukum dan HAM tempat Peneliti
Indonesia, Terjemahan (Jakarta: Yayasan
melaksanakan tugas sebagai Peneliti Bidang
Obor Indonesia, 1999)
Hukum.
G.P. Hoefnagels, The Other Side of Criminology
(Holland: Cluwer Deventer, 1973)
DAFTAR KEPUSTAKAAN Hendry Campbell, Black’s Low Dictionary (New
York: Minn West Publishing Co, 1990)
Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi, Sebuah
Indonesia, CNN, “Calon Kajati Singgung
Penjelajahan demon Data Kontemporer
Keadilan Restoratif untuk Korupsi Kecil,”
(Jakarta: LP3ES, 1982)
2020 <https://www.cnnindonesia.com/
Ali, Achmad, Sosiologi Hukum Kajian Empiris
nasional/20201104191211-12-565995/
Terhadap Pengadilan (Jakarta: BPIBLAM,
calon-kajati-singgung-keadilan-restoratif-
1998)
untuk-korupsi-kecil>
Arief, Barda Nawawi, “‘Mediasi Pidana (Penal
Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan,
Mediation) dalam Penyelesaian Sengketa/
Prinsip-Prinsip Hukum Perdata dan Hukum
Masalah Perbankan Beraspek Pidana di Luar
Pidana, (The Theory of Legislation), ed. oleh
Pengadilan,’” in Kapita Selekta Hukum:
MA Nurhadi (Bandung: Nusamedia, 2010)
Menyambut Dies Natalis Ke-50 Fakultas
Martin Wright sebagaimana dikutip oleh Marc
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Groenhuijsen hal. 1., “Victim-Offender¬-
(Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Mediation: Lagal And Procedural
Diponegoro, 2007), hal. 17
Safeguards Experiments And Legislation
B. Arief Sidharta, Pembentukan Hukum di
In Some European Jurisdictions,” in
Indonesia, Makalah disampaikan dalam
Victim-Offender¬-Mediation: Lagal And
Rapat Kerja Panitia Khusus DPR RI
Procedural Safeguards Experiments And
Rancangan Undang-Undang Tentang
Legislation In Some European Jurisdictions
Pembentukan Peraturan Perundang-
(Leuven, 1999), hal. 1
undangan, Rapat Dengar Pendapat Umum
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum
dengan para Pakar (Jakarta, 2011)
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Bank, Word, Memerangi Korupsi di Indonesia,
2006)
Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan
Muhaimin, “Restoratif Justice Dalam
(Jakarta, 2004)
Penyelesaian Tindak Pidana Ringan,” Jurnal
Chris Mitchell, dalam Simon Fisher et. al.,
Penelitian Hukum De Jure, 19.2 (2019), 190
Mengelola Konflik: Keterampilan dan
<https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/
Strategi untuk Bertindak (Jakarta: The
dejure.2019.V19.185-206>
British Council Indonesia, 1998)
N.E. Algra; H.R.W. Gokkel; Saleh Adiwinata, DH;
Deklarasi Bangkok, ““We recognize that
A. Teloeki; H. Burhanoeddin, St. Batoeta,
comprehensive and effective crime
Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae,
prevention strategies can significantly
1972
reduce crime and victimization. We urge that
Nawawi, Barda, Strategi Kebijakan Nasional
such strategies address the root causes and
dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
risk factors of crime and victimization and
dan Analisis terhadap Undang-Undang
that they be further develope” (Bangkok),
Nomor 3 Tahun 1971, 1998
hal. Butir 10

616
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 4, Desember 2020

“Polemik sekitar pembahasan undang-undang


tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
khususnya pasal 3 yang menyatakan
“Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/
kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
hukum pengadilan nege”
Robert Klitgaard 82-85., Membasmi Korupsi
(terjemahan), Terjemahan (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005)
RUU KUHP (2015) tercantum dalam Pasal
16 berbunyi “Dalam mempertimbangkan
hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh
mungkin mengutamakan keadilan di atas
kepastian hukum”. (Jakarta, 2015)
Sheldon S. Steinberg, David T. Austern,
Government, Ethics, and Managers,
Penyelewengan Aparat Pemerintahan,
Terjemahan (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali, 1985)
Sorer Davidsen et al., Curbing Corruption in
Indonesia 2004 - 2006 A Survey of National
Policies and Approaches (Menapaki Korupsi
di Indonesia 2004 - 2006; Suatu Survei
Kebijakan dan Pendekatan Nasional, 1, 1
ed. (Yogyakarta: Kanisius Printing House,
2006)
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Tulisan ce
(Bandung: Alumni, 1986)
Tahe, Andrian Pratama, “Kejagung Klaim 5 Tahun
Ini Selamatkan Uang Negara Triliunan
Rupiah,” https://tirto.id/kejagung-klaim-
5-tahun-ini-selamatkan-uang-negara-
triliunan-rupiah-egrQ, 2019
Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi
Mengorupsi Indonesia (Jakarta: Gramedia)
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1976)
Yuniar, Angga, “Data ICW: Kerugian Negara
Rp39,2 Triliun, Uang Pengganti dari
Koruptor Hanya Rp2,3 T,” https://www.
merdeka.com/peristiwa/data-icw-kerugian-
negara-rp392-triliun-uang-pengganti-
dari-koruptor-hanya-rp23-t.html, 2020
<https://www.merdeka.com/peristiwa/data-
icw-kerugian-negara-rp392-triliun-uang-
pengganti-dari-koruptor-hanya-rp23-t.html>

617

You might also like