Professional Documents
Culture Documents
Takhrij Hadits
Takhrij Hadits
KELOMPOK 2 :
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikanrahmat,
hidayah serta inayah- Nya. Sehingga, kami dapat menyelesaikan tugas makalah Takhrij Hadits
dengan judul “ Sejarah dan Perkembangan Takhrij Al-Hadits”. Sholawat serta salam tak lupa
juga kita limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.Dengan rasa kesungguhan, penyusunan
makalah ini dihadapkan pada pengetahuan dan kemampuan serta waktu terbatas, sehingga kami
sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.Berhasilnya penyusunan ini
tentunya berkat kerja sama.Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
darisempurna, untuk itu kami dengan senang hati menerima segala saran dan masukkan yang
bersifat membangun. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah ilmu
pengetahuan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
A. Asal muasal pertumbuhan dan perkembangan ilmu takhrij al-hadit......................................3
B. Periodeisasi perkembangan ilmu takhrij al-hadist sampai sekarang......................................8
BAB III..........................................................................................................................................10
PENUTUP.....................................................................................................................................10
A. Kesimpulan..........................................................................................................................10
B. Saran.....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Langkah awal dalam melakukan kegiatan penelitian hadist adalah kegiatan Takhrij al-
hadist. Kegiatan ini sangat penting, karena tanpa kegiatan ini terlebih dahulu maka akan sulit di
ketahui asal usul riwayat hadist yang akan di teliti. Kegiatan penelitian hadist, baik dari segi
sanad maupun dari segi matan sangat penting.1 Upaya penelitian terhadap hadist-hadist yang
tertuang dalam beberapa kitab hadist merupakan sebuah keharusan. Karena kitab-kitab hadist
yang disussun oleh para mukharrij-nya masing-masing memliki riwayat hadistbaik sanadnya
maupun matannya. Artinya , para mukahrrij bersikap terbuka dengan mempersihlakan para ahli
berminat untuk meneliti hadist yang terhimpun dalam kitab hadist yan mereka susun.2
Sebagaimana halnya al-Qur’an, al-Hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan
dapat dikatakan penelitian terhadap al-Hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan
penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini dikarenakan perbedaan dari segi datangnya al-Qur’an dan
hadits. Kedatangan (wurud), atau turun (nuzul)nya al-Qur’an diyakini secara mutawatir berasal
dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari
Allah Swt. Sedangkan Hadits dari segi datang (al-wurud)nya tidak seluruhnya diyakini berasal
dari Nabi Saw, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari
lafadz-lafadz hadits yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian tarhadap penulisan
hadits pada zaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya dan juga karena
sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya.
Takhrij hadits merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian hadits. Pada masa
awalnya penelitian hadits ini telah dilakukan oleh para ulama salaf yang kemudian hasilnya telah
dikodifikasikan dalam berbagai buku hadits. Mengetahui masalah takhrij, kaidah dan metodenya
adalah sesuatu yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i, agar mampu
melacak suatu hadits sampai pada sumbernya.
Takhrij hadits merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan, karena orang yang mempelajari
ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadits atau tidak dapat
1
M.Syuhudi Ismail, kaidah kesahihan sanad hadits, telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan sejarah ( Cet. II;
jakarta; bulan bintang, 1955, hlm. 85-86
2
M. Syuhudi Ismail, Metodologi….,Op.Cit.., hlm. 5
1
meriwayatkannya kecuali setelah para ulama meriwayatkan hadits tersebut dalam kitabnya
lengkap dengan sanadnya, karena itu, masalah takhrij ini sangat dibutuhkan setiap orang
yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan dengannya.
Takhrij hadits bertujuan untuk mengetahui sumber asal hadits yang di takhrij. Tujuan lainnya
adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadits-hadits tersebut. Dengan cara ini, kita akan
mengetahui hadits-hadits yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadits
yang berlaku sehingga hadits tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
B. Rumusan Masalah
1. Asal muasal pertumbuhan dan perkembangan ilmu takhrij al-hadit
2. Periodeisasi perkembangan ilmu takhrij al-hadist sampai sekarang.
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui asal muasal pertumbuhan dan perkembangan ilmu takhrij al-hadist
2. Untuk mengetahui periodeisasi perkembangan ilmu takhrij al-hadist sampai sekarang.
BAB II
2
PEMBAHASAN
Pada abad-abad awal perkembangan ilmu dalam Islam, termasuk ilmu hadits, apa yang
sekarang disebut ‘ilm ushul at-takhrij belum diperlukan. Dikatakan oleh Mahmud at-Thahhan
bahwa para peminat hadits saat itu dengan mudah merujuk kepada kitab-kitab aslinya, karena
kontak mereka dengan kitab-kitab itu sangat kuat. Keadaan ini berubah pada abad-abad
berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber
aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui letak hadits pada kitab sumbernya,
jika mereka mendapati hadits-hadits itu dipergunakan sebagai argument penguat dalam disiplin
ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu hadits-hadits Nabi dikutib
tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena itu bangkitlah kemudian para ulama
untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut.
Para ulama salaf tidak pernah kesulitan untuk melacak hadits, karena mayoritas hadits sudah
mereka hafal. Tidak terbatas matan dan sanadnya namun juga sumber tempat hadits tersebut
diriwayatkan dan juga kualitas tiap-tiap hadits dengan penguasaan yang begitu rinci. 3 Mereka
tidak lagi membutuhkan buku untuk menemukan hadits, cukup dengan kembali pada hafalan-
hafalan mereka yang begitu kuat. Sejalan dengan berlalunya waktu, hafalan generasi berikutnya
mulai memudar hingga dibutuhkan sumber-sumber tertulis untuk memudahkan pelacakan
informasi yang dibutuhkan.
Dari sinilah kemudian dengan melihat kebutuhan yang begitu mendesak banyak ditulis buku-
buku yang berkaitan dengan takhrij hadits untuk mempermudah menemukan hadits pada
sumbernya dan dengan menjelaskan metodenya, serta menerangkan hukumnya
dari shahih hingga yang dha’if.4
3
Zeid B. Smeer, ulumul hadits, h 171
4
Ibidh,h. 172
3
saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab yang berupaya
mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai ilmu agama.
Pada mulanya, ilmu takhrij tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadits karena
pengetahuan mereka tentang sumber hadits ketika itu sangat luas dan baik. Hubungan mereka
dengan sumber hadits juga kuat sekali, sehingga apabila mereka menjelaskan sumber hadits
tersebut dalam berbagai kitab hadits, yang mana metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab
tersebut mereka ketahui. Dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dengan mudah dapat
menggunakan dan mencari sumber dalam rangka men-takhrij hadits. Bahkan, apabila di hadapan
seorang sumber aslinya, ulama tersebut dengan mudah dapat menjelaskan sumber aslinya.5
Ketika para ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadits, yaitu
setelah berjalan beberapa periode tertentu dan setelah berkembangnya karya-karya ulama dalam
bidang fikih, tafsir dan sejarah yang memuat hadits-hadits Nabi Saw, yang kadang-kadang tidak
menyebutkan sumbernya, maka ulama hadits terdorong untuk melakukan takhrij terhadap karya-
karya tersebut. Pada saat itu muncullah kitab-kitab takhrij. Kitab yang pertama muncul adalah
karya Al-Kathib Al-Baghdadi, namun yang terkenal adalah Takhrij Al-Fawaid Al-Muntakhabah
Al-Shihah wa Al-Ghara’ib karya Syarif Abi Al-Qasim Al-Husaini, Takhrij Al-Fawaid Al-
Muntakhabah Al-Shihah wa al-Ghara’ib karya Syarif Abi Al-Qasim Al-Muhammad ibn Musa
Al-Hazimi Al-Syafi’i. Kitab Al-Muhdzdzab sendiri adalah kitab fikih mazhab Syafi’i yang yang
disusun oleh Abu Ishaq Al-Syirazi.6
Usaha para ulama hadits pada akhirnya menghasilkan berbagai macam tentang prinsip-
prinsip dan tata aturan takhrij, yang secara generatif melahirkan berbagai macam karya tulis
yang kelak dinamai “Kutub al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil mengembalikan
matan pada transmisinya, tetapi pula menjelaskan aspek orisinalitas dan kualitas redaksional,
bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas transmisinya.
Secara kronologinya proses Takhrijul al-Hadits dalam perkembangannya melalui fase-fase
berikut:
5
Sohari Sahlan, ulumul hadits, ( Bogor; Ghalia Indonesia, 2010), h. 188
6
Ibidh, h. 189
4
2. Penyebutan hadits-hadits dengan sanad milik sendiri yang berbeda dengan suatu kitab
terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah kekuatan hukum tentang sanad
kitab pertama dan dapat menambah redaksi matan.
7
Ibidh
8
Ibidh
9
Ibidh
5
Hafidh Ibnu Hajar juga. Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya ‘Abdurrauf Ali
Al-Manawi (wafat 1031 H).
Hasbi Ash-Shidiqy mengatakan bahwa kegiatan Takhrij hadits telah muncul sejak abad ke-8 H.
Namun pembukuan ilmu ini sebagai ilmu baru yang terkodifikasi baru pada akhir abad ke-14 H
atau pada abad 20 M.10
Para sejarawan Islam secara berjamaah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan
pengembangan hadits terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan
periode mutaakhirin.
Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa turunnya wahyu,
masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa
pembukuan hadits (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadits (awal-akhir
abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal
dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H). Kalau para
ulama mutaqaddimin menghimpun hadits dengan menemui sendiri para penghafalnya maka
ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin. Masa inilah para
ulama mempergunakan sistem istidrak dan istikhraj. Sehingga bermunculan kitab-
kitab mustadrak dan mustakhraj.
Pada abad kelima dan abad ke tujuh para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki
susunan kitab, mengumpulkan hadits Bukhari dan Muslim dalam satu kitab, mempermudah jalan
pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-Jami’ al-Jawami dan al-Takhrij.11
Ilmu hadits baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa al-Qadhi Ibnu Muhammad al-
Ramahurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H), Abu
Bakr al-Baghdadi (463 H). Para ulama mutaqaddimin menyebutnya dengan ulumul hadits dan
ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu musthalahul hadits. Jadi kalau menganalisa kedua uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadits sebagai bagian
dari ilmu hadits.
Pada mulanya pencarian hadits tidak didukung oleh metode tertentu karena memang
tidak dibutuhkan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para ahli hadits mempunyai
kemampuan menghafal ()ضابط dan itu yang menjadi alat dan sekaligus metode pencarian
hadits bagi mereka. Ketika mereka membutuhkan hadits sebagai penguat dalam waktu singkat
10
Octoberrinsyah, Al-Hadits, h.132-133
11
Musyrifah Susanto,Sejarah islam klasik perkembangan islam, ( Jakarta: Prenada Media, 2003), h.36
6
mereka dapat menemukan tempatnya dalam kitab-kitab hadits bahkan jilidnya atau setidaknya
mereka dapat mengetahuinya dalam kitab-kitab hadits dengan dugaan kuat.
7
B. Periodeisasi perkembangan ilmu takhrij al-hadist sampai sekarang
Takhrij hadits telah mengalami perkembangan seiring dengan perhatian ulama terhadap
pemeliharaan hadits. Pekerjaan ini pada awalnya berupa pencarian dengan mengeluarkan hadits
dari ulama syarat sebagai periwayat hadits.
Takhrij hadits yang dilakukan pada tahap pertama tersebut menggunakan cara sensus, yaitu
menelusuri satu persatu ulama pemiliki hadits dari berbagai tempat. Metode ini ditempuh oleh
Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam al-Sittah.
Sedangkan takhrij hadits yang sedang dikembangkan di masa sekarang identik dengan
penelitian kepustakaan, yaitu mencari hadits dari berbagai kitab hadits. Setelah itu, dilanjutkan
dengan meneliti kualitas keasliannya berdasarkan isi hadits di dalam kitab tersebut.
Kegiatan takhrij hadits seperti itu semakin diminati oleh para pengkaji hadist, dengan beberapa
alasan sebagai berikut:
1. Kesungguhan untuk memperoleh hadist yang utuh sehingga mereka dapat mengambil
kesimpulan tentang kualitas suatu hadits.
2. Tersedianya alat untuk tugas tersebut. Selain menggunakan kamus dalam bentuk kitab,
disediakan juga program takhrij hadist yang dapat diakses melalui komputer. Hal ini merupakan
perkembangan baru dalam penelitian hadits yang menjadikan prosesnya lebih mudah dilakukan.
Para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan
pengembangan hadits terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan
periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa
yaitu, masa turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in
(40 H – akhir abad I H), masa pembukuan hadits (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan
penyaringan hadits (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari
menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim
(w.261 H). Kalau para ulama mutaqaddimin menghimpun hadits dengan menemui sendiri para
penghafalnya maka ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin.
Masa inilah para ulama mempergunakan system istidrak dan istikhraj. Sehingga bermunculan
kitab-kitab mustadrak dan mustakhraj. Sampai pada abad kelima dan abad ke tujuh para ulama
8
hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadits Bukhari dan Muslim
dalam satu kitab, mempermudah jalan pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-
Jami’ al-Jawami dan al-Takhrij.12
Ilmu hadits baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa al-Qadhi Ibnu Muhammad al-
Ramahurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H), Abu
Bakr al-Baghdadi (463 H). Para ulama mutaqaddimin menyebutnya dengan ulumul hadits dan
ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu musthalahul hadits.13 Jadi kalau menganalisa kedua uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadits sebagai bagian
dari ilmu hadits.
12
Musyrifah sunanto, sejarah islam perkembangan ilmu pengetahuan islam, 2003, jakarta: prenada media
13
Noor Sulaiman PL, 2008, antalogi ilmu hadits, jakarta: GP Press
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada abad-abad awal perkembangan ilmu dalam Islam, termasuk ilmu hadits, apa yang
sekarang disebut ‘ilm ushul at-takhrij belum diperlukan. Dikatakan oleh Mahmud at-Thahhan
bahwa para peminat hadits saat itu dengan mudah merujuk kepada kitab-kitab aslinya, karena
kontak mereka dengan kitab-kitab itu sangat kuat. Keadaan ini berubah pada abad-abad
berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber
aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui letak hadits pada kitab sumbernya,
jika mereka mendapati hadits-hadits itu dipergunakan sebagai argument penguat dalam disiplin
ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu hadits-hadits Nabi dikutib
tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena itu bangkitlah kemudian para ulama
untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut.
Para ulama salaf tidak pernah kesulitan untuk melacak hadits, karena mayoritas hadits
sudah mereka hafal. Tidak terbatas matan dan sanadnya namun juga sumber tempat hadits
tersebut diriwayatkan dan juga kualitas tiap-tiap hadits dengan penguasaan yang begitu rinci.
Mereka tidak lagi membutuhkan buku untuk menemukan hadits, cukup dengan kembali pada
hafalan-hafalan mereka yang begitu kuat. Sejalan dengan berlalunya waktu, hafalan generasi
berikutnya mulai memudar hingga dibutuhkan sumber-sumber tertulis untuk memudahkan
pelacakan informasi yang dibutuhkan.
Dari sinilah kemudian dengan melihat kebutuhan yang begitu mendesak banyak ditulis
buku-buku yang berkaitan dengan takhrij hadits untuk mempermudah menemukan hadits pada
sumbernya dan dengan menjelaskan metodenya, serta menerangkan hukumnya
dari shahih hingga yang dha’if.
Takhrij hadits telah mengalami perkembangan seiring dengan perhatian ulama terhadap
pemeliharaan hadits. Pekerjaan ini pada awalnya berupa pencarian dengan mengeluarkan hadits
dari ulama syarat sebagai periwayat hadits.
10
Takhrij hadits yang dilakukan pada tahap pertama tersebut menggunakan cara sensus, yaitu
menelusuri satu persatu ulama pemiliki hadits dari berbagai tempat. Metode ini ditempuh oleh
Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam al-Sittah.
Sedangkan takhrij hadits yang sedang dikembangkan di masa sekarang identik dengan
penelitian kepustakaan, yaitu mencari hadits dari berbagai kitab hadits. Setelah itu, dilanjutkan
dengan meneliti kualitas keasliannya berdasarkan isi hadits di dalam kitab tersebut.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya untuk penyusun. Dan
penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan.Oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan sarannya agar makalah yang kami
susunkedepannya jauh lebih baik lagi
11
DAFTAR PUSTAKA
M.Syuhudi Ismail, kaidah kesahihan sanad hadits, telaah kritis dan tinjauan dengan
pendekatan sejarah ( Cet. II; jakarta; bulan bintang, 1955, hlm. 85-86
M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Zeid B. Smeer, ulumul hadits, h 171
Ibidh,h. 172
Sohari Sahlan, ulumul hadits, ( Bogor; Ghalia Indonesia, 2010), h. 188
Ibidh, h. 189
Ibidh
Ibidh
Ibidh
Octoberrinsyah, Al-Hadits, h.132-133
Musyrifah Susanto,Sejarah islam klasik perkembangan islam, ( Jakarta: Prenada Media,
2003), h.36
Musyrifah sunanto, sejarah islam perkembangan ilmu pengetahuan islam, 2003, jakarta:
prenada media
Noor Sulaiman PL, 2008, antalogi ilmu hadits, jakarta: GP Press
12