Professional Documents
Culture Documents
Yullia Putri - 2223031007
Yullia Putri - 2223031007
DISUSUN OLEH :
YULLIA PUTRI (2223031007)
Indonesia
Di Indonesia menggunakan tiga struktur sebagai wahana, jalur, dan medium untuk
menerapkan pendidikan karakter bangsa, yaitu: pertama, Struktur Program, antara
lain jenjang dan kelas, ekosistem sekolah, penguatan kapasitas guru; Kedua, Struktur
Kurikulum, antara lain kegiatan pembentukan karakter yang terintegrasi dalam
pembelajaran(intrakurikuler), kokurikuler, dan ekstrakurikuler; Ketiga, Struktur
Kegiatan, antara lain berbagai program dan kegiatan yang mampu mensinergikan
empat dimensi pengolahan karakter dari Ki Hadjar Dewantara (olah raga, olah pikir,
olah rasa, dan olah hati).
Struktur program meliputi jenjang dan kelas (SD kelas I-VI; SMP kelas VII-IX).
Pelaksanaan pendidikan karakter pada tiap jenjang melibatkan dan memanfaatkan
ekosistem pendidikan yang ada di lingkungan sekolah.
Berbagai pemangku kepentingan yang ada pada ekosistem pendidikan tersebut ikut
serta dan bersama-sama bertanggungjawab dan bersinergi untuk memperkuat
pembentukan karakter.
Pelaku kunci dalam penerapan pendidikan adalah kepala sekolah, pendidik, tenaga
kependidikan, komite sekolah, dan pemangku kepentingan lain. Masing-masing pihak
perlu memahami tugas dan fungsinya dalam rangka keberhasilan pelaksanaan
pendidikan karakter. Lebih dari itu, kehadiran orang dewasa di lingkungan pendidikan
adalah sebagai guru, yaitu mereka yang digugu (diikuti) dan ditiru (diteladani) oleh
para siswa. Ini berlaku bagi siapapun yang terlibat dalam kegiatan pendidikan.
Penerapan pendidikan karakter tidak mengubah kurikulum yang sudah ada, melainkan
optimalisasi kurikulum pada satuan pendidikan. Penerapan pendidikan karakter perlu
dilaksanakan di satuan pendidikan melalui berbagai cara sesuai dengan kerangka
kurikulum yaitu alokasi waktu minimal yang ditetapkan dalam Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum, dan kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola oleh satuan
pendidikan sesuai dengan peminatan dan karakteristik peserta didik, kearifan lokal,
daya dukung, dan kebijaksanaan satuan pendidikan masing-masing.
Pelaksanaan pendidikan karakter disesuaikan dengan kurikulum pada satuan
pendidikan masing-masing dan dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
a. Mengintegrasikan pada mata pelajaran yang ada di dalam struktur kurikulum dan
mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) melalui kegiatan intrakurikuler dan
kokurikuler.
b. Mengimplementasikan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler
yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.
c. Kegiatan pembiasaan melalui budaya sekolah dibentuk dalam proses rutin,
spontan, pengkondisian, dan keteladanan warga sekolah.
Selain struktur dalam kurikulum, penerapan pendidikan karakter juga memiliki
struktur pendukung lain seperti; ekosistem dan budaya sekolah; pendidikan keluarga
dan masyarakat
Struktur kegiatan penerapan pendidikan karakter menyeimbangkan keempat dimensi
pengolahan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, yaitu olah raga, olah pikir,
olah rasa dan olah hati. Sekolah bisa memilih struktur kegiatan yang akan mendorong
terbentuknya keunikan, kekhasan, dan keunggulan sekolah (school branding).
Kegiatan-kegiatan yang mendukung terbentuknya branding sekolah antara lain:
kegiatan akademik, non-akademik seperti olahraga, kegiatan ekstrakurikuler,
pemanfaatan perpustakaan (mengatur jadwal berkunjung, mengikuti lomba
perpustakaan, dan pemberian penghargaan kepada siswa dan guru yang secara rutin
hadir di perpustakaan), dan pemanfaatan potensi lingkungan, seperti sanggar seni dan
museum.
Taiwan
Pendidikan moral dan karakter di Taiwan tidak hanya sekedar refleksi moralitas
tradisional atau terbatas pada pengajaran pendidikan karakter langsung. Para pendidik
memberikan pendidikan moral dan karakter modern melalui berbagai kurikulum,
seperti kurikulum inti dan kegiatan sekolah
Program yang disusun pada akhir 2004 dan diubah pada tahun 2006 ini, menawarkan
pedoman dan panduan untuk rencana kurikulum bersama implementasi pendidikan
moral dan karakter di sekolah dasar dan menengah, serta pendidikan sekolah
menengah atas dan dilaksanakan pada bulan Agustus 2004
Tujuan utama program (Ministry of Education, Taiwan, 2006) adalah untuk
memfasilitasi pengembangan pemikiran moral siswa dan kemampuan mereka untuk
memilih, merenungkan, menghargai dan mengidentifikasi nilai-nilai etika inti dan
kode etik; untuk mengembangkan budaya moral berbasis karakter di sekolah-sekolah.
Melibatkan guru, siswa, administrator, orang tua dan pemimpin masyarakat;
Memperkuat peran orang tua dan tokoh masyarakat dalam pendidikan moral dan
karakter sekolah;
Memberikan kesempatan organisasi non-politik, yayasan budaya dan pendidikan,
serta media massa untuk terlibat dalam mendukung pembentukan moral dan karakter
siswa di sekolah.
Fokus Penerapan Pendidikan Karakter di Indonesia dan Taiwan
SOAL NOMOR 3
Analisis tingkat nilai moral dan karakter dgn beberapa kasus2 yg mendukung temuan sdr
secara teoritis!
Banyak kasus yang menujukkan semakin meningkatnya tindakan kekerasan yang terjadi
pada pendidikan di sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh CPMH (Center for Public
Mental Health) Fakultas Biologi UGM, menunjukkan bahwa kasus kekerasan meningkat.
(Martono Nanang : 2012: 2). Kekerasan di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari
kepala sekolah, guru, pembina sekolah, karyawan sampai antar siswa. Kekerasan pada siswa
belakangan ini terjadi dengan dalih mendisiplinkan siswa dan tidak jarang budaya dijadikan
alasan sebagai bentuk kekerasan terhadap siswa bersangkutan. Bentuk-bentuk kekerasan yang
dilakukan kepala sekolah, guru, pembina sekolah, karyawan antara lain memukul dengan
tangan kosong, atau benda tumpul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar,
mencekik, menyundut rokok, memarahai dengan ancaman kekerasan.
Kekerasan di sekolah tidak semata-mata kekerasan fisik saja tetapi juga kekerasan psikis,
seperti diskriminasi terhadap murid yang mengakibatkan murid mengalami kerugian, baik
secara moril maupun materil. Diskriminasi yang dimaksud dapat berupa diskriminasi
terhadap suku, agama, kepercayaan, golongan, ras ataupun status sosial murid. Kekerasan
antar siswa juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku agresif dan
menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih lemah, di mana
seorang siswa atau lebih secara terus-menerus melakukan tindakan yang menyebabkan siswa
lain menderita. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik seperti memukul,
menendang, menjambak dan lain-lain. Selain bullying, kekerasan antar siswa yang sering
terjadi adalah tawuran. Tawuran mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang
mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan dan mengakibatkan perubahan aspek
hubungan sosial dalam masyarakat.
Selain kekerasan psikis juga terjadi kekerasan verbal seperti mengejek, menghina atau
mengucapkan kata-kata yang menyinggung atau membuat cerita bohong yang menyebabkan
siswa yang menjadi sasaran menjadi terkucilkan atau menjadi bahan olok-olok sehingga
siswa yang bersangkutan menjadi rendah diri, takut dan sebagainya. Melihat dari kasus-kasus
tersebut diperlukan pencegahan dan penanganan lebih lanjut mengenai kekerasan anak di
sekolah yang dikhawatirkan keberadaannya semakin sering terjadi di lingkungan sekolah.
Kasus perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama, kategori ringan,
langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan susulan atau aksi balas dendam
oleh si korban. Untuk kekerasan dalam klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah
kasusnya selesai secara intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa ataukah tidak
selesai dan diekspos oleh media massa. Kedua, kategori sedang namun tetap diselesaikan
oleh pihak sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga, kategori berat yang terjadi di luar
sekolah dan mengarah pada tindak kriminal serta ditangani oleh aparat kepolisian atau
pengadilan. Umumnya kasus perilaku kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di
lingkup sekolah, masih berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah.
Sumber dan faktor penyebab adanya kekerasan yang terjadi pada dunia pendidikan
dimungkinkan karena adanya berbagai faktor diantaranya yaitu :
- Sebagai alasan untuk menegakkan kedisiplinan disekolah, contoh seorang anak yang
terlambat datang kesekolah hari disuruh lari keliling lapangan sebanyak yang di
inginkan oleh yang dihukum.
- Anak yang mempunyai latar belakang pendidikan keras dirumah (di didik dengan
kekerasan seperti apabila melakukan kesalahan dipukul oleh oreng tuanya) apabila
merasa tidak terima dilampiaskan kepada temannya saat di sekolah.
- Motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemunginan
adanya gangguan psikologis dalam diri siswa maupun guru. Misalnya tawuran antar
pelajar dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang
“membela teman” atau “membela sekolahnya” jadi menimbulkan kekerasan antar
siswa/tawuran antar siswa.
- Maraknya berbagai tayagan di media khususnya elektronik yang memperlihatkan
adegan kekerasan yang sangat mudah untuk diakses kemudian dicontoh ataupun ditiru
oleh anak sekolah.
Ditinjau dari segi Sosiologi Pendidikan, ada beberapa alternatif solusi penyelesaian dan
pencegahan terhadap permasalahan kekerasan dalam dunia pendidikan, yaitu :
Kurikulum apapun yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan
pernah efektif mencapai tujuannya apabila sistem hukuman fisik masih diimplementasikan
dalam dunia pendidikan sekolah. Untuk itu ada solusi yang akan ditawarkan. Yakni adanya
reposisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga dan guru dalam mendidik murid di
sekolah. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat yang masih
sering menggunakan hukuman fisik dalam mendidik. Selain itu juga perubahan untuk mulai
menempatkan guru ataupun orang tua dalan posisi setara dengan pribadi seorang anak.
Dengan membiarkan anak melakukan ekspresi dan melakukan keunikan-keunikannya sendiri
maka akan membentuk mental yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak disini tidak harus
dipahami sebagai suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu sendiri.
Kesadaran anak juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan
komunikasi yang hangat, dan bukan memberikan perintah-perintah dan larangan. Yang
terpenting adalah membangun kepribadian untuk sering berpendapat dan mendengarkan
pendapat-pendapat mereka. Dan sadarilah masa depan negeri ini ada ditangan anak-anak kita
dan oleh karena itu peran orang tua dan guru sangat besar dalam menciptakan kepribadian
seorang anak.
2. Humanisasi Pendidikan
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah
menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara atau
proses yang baik pula serta dalam konteks positif. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam
pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa kegiatan pendidikan kita
masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Disinilah urgensi humanisasi pendidikan.
Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas
nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu
yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi.
Selain menjadi seorang pengajar, seorang guru juga berperan sebagai pendidik dan motivator
bagi siswa-siswinya. Sebagai seorang pengajar, guru dituntut berkerja cerdas dan kreatif
dalam mentranformasikan ilmu atau materi kepada siswa. Dan berupaya sebaik mungkin
dalam menjelaskan suatu materi sehingga materi tersebut bisa diaplikasikan dalam keseharian
siswa itu sendiri.
Tugas sebagai pendidik adalah tugas yang sangat berat bagi seorang guru. Guru dituntut
mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban sesuai
dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah masing-masing. Dengan demikian,
diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin. Dan sebagai
motivator, guru harus mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih
prestasi. Dari penjelasan di atas, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik
bullying di sekolah adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada
segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
Rekomendasi
SUMBER
Martono Nanang. (2012). Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan
Pierre Bourdieu. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Suyanto Bagong. (2017). Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana Media Group