Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

Nama : Anisa Yuniawati

NIM : 1706621064
Kelas : S1 Akuntansi A

1. Kasus Philip Morris


Philip Morris International Inc., perusahaan rokok terbesar di dunia asal Amerika Serikat,
Philip Morris dan perusahaan rokok juga sudah sejak lama menargetkan anak muda
sebagai salah satu basis konsumen terloyal. Tak heran jika yang ditekankan dalam iklan,
dari dulu hingga sekarang, adalah perkara "keren". Aktivis anti-rokok menuduh bahwa
manuver perusahaan rokok adalah menyusup ke alam bawah sadar generasi muda untuk
menanamkan ide bahwa merokok itu keren. Poin ini di luar kelebihan utama rokok itu
sendiri alias yang membuat penjualannya tak tertandingi produk lain: ia punya efek
candu. Philip Morris pun melalui laman resminya menyatakan dengan jelas: rokok
memang bikin kecanduan karena mengandung nikotin.

Penyelesain agar tetap dapat bertahan :


merek rokok Philip Morris Bold (PMB) yang merupakan brand baru di pasar Indonsia
belum sepenuhnya menjadi top of mind di benak pelanggan. Diperlukan perushaan
mengikuti aturan pemerintah. Pelanggan masih dalam tahap pengenalan. Bentuk
komunikasi pemasaran merek rokok PMB belum mampu membentuk Brand Awareness
di benak konsumen sebab pendekatan komunikasi pemasaran terpadu yang terdiri dari:
advertising (iklan), publisitas, public relation (PR), direct marketing (pemasaran
langsung), interactif marketing (pemasaran interaktif), packaging (kemasan), sales
promotion, tanggapan langsung, dan pengaturan sistem pembelian belum secara
maksimal digunakan oleh perusahaan.

Strategi pemasaran melalui perencanaan dan penyampaian pesan komunikasi yang


efektif, Philip Morris Bold (PMB) akan menjangkau konsumen dan mendapat
keuntungan yang maksimal di masa mendatang. Dengan harga yang murah, tampilan
yang elegan, logo yang mendunia, dan image yang eksklusif yang selalu dipromosikan
pada waktu mendatang, PMB akan laku di pasar Indonesia dan menjangkau brand
awareness audience.

Hasan, A. H. 2017. “Skandal Philip Morris: Merokoklah Maka Kau Akan Keren".
Retrieved May 8, 2019, from https://tirto.id/skandal-philip-morris-merokoklah-maka-
kau-

2. Kasus Tylenol
Pada hari kamis tgl 30 September 1982, laporan mulai diterima oleh kantor pusat Johnson
& Johnson bahwa adanya korban meninggal dunia di Chicago setelah meminum kapsul
obat Extra Strength  Tylenol. Kasus kematian ini menjadi awal penyebab rangkaian crisis
management yang telah dilakukan oleh Johnson & Johnson. Tylenol adalah obat rasa
nyeri yang di produksi oleh McNeil Consumer Product Company yang kemudian
menjadi bagian anak perusahaan Johnson & Johnson. Tingkat penjualan Tylenol sangat
mengagumkan dengan pangsa pasar 35% di pasar obat analgetika peredam nyeri, atau
setara dengan 7% dari total penjualan grup Johnson & Johnson dan kira-kira 15 hingga
20% dari laba perusahaan itu.
Penyelidikan terhadap kasus kematian itu menyatakan bahwa terkandung sianida didalam
kemasan Tylenol. Sianida adalah bahan kimia yang digunakan untuk melakukan test
bahan baku di pabrik. Jika dikonsumsi oleh masusia maka akan menyebabakan kematian
mendadak. Awalnya temuan ini dibantah oleh perusahaan akibat salah komunikasi
namun kesookan harinya diumumkan langsung kepada mass media. Dugaan semntara
adalah ada sekolompok orang yang membeli Tylenol dalam jumlah besar kemudian
membubuhi sianida kedalamnya lalu menjual kembali Tylenol ke pasar. Menjelang sore
hari, perusahaan meyakini bahwa pembubuhan sianida bukan terjadi di pabrik Fort
Washington, Pennsylvania, namun perusaahn tidak mau menannggung resiko dan
memutuskan untuk menarik kembali peredaran semua 93.000 botol dari batch itu yang
dibubuhi racun. Semua kegiatan promosi Tylenol pun dibatalkan.
Keesokan harinya, pimpinan perusahaan menerima laporan lagi mengenai terdapatnya
korban keenam yang meminum kapsul Tylenol yang diproduksi di Round Rock, texas.
Hal ini tambah meyakinkan pimpinan perusahaan bahwa pembunuhan racun terjadi di
Chicago dan bukan dii pabrik Johnson & Johnson, sebab sangat mustahil untuk
melakukan pembubuhan racun pada dua pabrik pembuat Tylenol sekaligus.

Penyelesain
Ketua Dewan Direksi & CEO Johnson & Johnson, James E Burke, memutuskan untuk
mengambil alih masalah krisis Tylenol itu. Pada hari senin, 4 Oktober Burke berangkat
ke Washington untuk menemui FBI & FDA (Badan POMnya Amerika). Ia menyatakan
keinginannya untuk menarik pulang semua kapsul Tylenol Extra Strength. Namun kedua
lembaga tadi menyarankan untuk tidak melakukan penarikan total karena akan memberi
kesan kemenanagan kepada si pelaku betapa ia telah mampu menaklukkan sebuah
korporasi raksasa dengan perbuatannya itu. FDA juga kuatir, bahwa penarikan total bakal
menyebarkan rasa cemas berkelibahan di masyarakat terhadap unsur keselamatan obat-
obatan di Amerika. Namun, ketika keseokan harinya terdapat lagi peristiwa
meninggalnya korban Tylenol, dan kali ini racunnya adalah Strychnine, FDA menyetujui
rencana Burke untuk menarik semua kapsul Tylenol.
Dalam pelaksanaannya, penarikan tersebut meliputi 32 juta botol kapsul Tylenol dari
seluuruh tempat di Amerika. Pelaksanaan penarikan itu juga dilakukan melalui iklan
untuk menukar kapsul dengan tablet baru Tylenol. Ribuan surat penawaran dikirimkan
kepada para penjual obat dengan pernyataan pernyataan yang sama dikirimkan lewat
mass media, karena tylenol merupakan obat bebas yang bisa dibeli tanpa resep dokter.
Program Penarikan serta penukaran kapsul dengan tablet pun diprogramkan melalui
televisi.
Kasus Johnson & Johnson ini berbeda dengan kasus lainnya, oleh karena pelanggaran
dilakukan setelah prooduk keluar dari pabrik. Johnson & Johnson pun tidak terkait
dengan pelanggaran itu, maupun dengan pelakunya. Namun, Tylenol merupakan produk
Johnson & Johnson sehingga perusahaan terjepit diantara kewajiban (baik hukum, moral
atau kedua-duanya) dengan obat yang menyandang namanya telah mengambil korban
jiwa manusia dan di pihak lain kerugian keuangan jika Johnson & Johnson mengambil
tindakan penyelamatan jiwa manusia dengan menarik puluhan juta botol kapsul Tylenol
dari peredaran.
Dari segi biaya, dampak yang dialami oleh Johnson & Johnson sangat besar dalam jangka
pendek. Sebelum insiden Tylenol terjadi, harga saham Johnson & Johnson adalah $46.12
yang langsung turun dengan 7% sebelum menjadi stabil pada tingkat $45-an. Johnson &
Johnson pun terpaksa  menghapus $50 juta dari laba triwulan ketiganya, yang pada waktu
itu merupakan jumlah yang besar. Dari segi keuangan, jumlah tersebut merupaan 26%
pengurangan laba perusahaan. Pada triwulan keempat, laba Johnson & Johnson kemabali
turun dengan $25 juta lagi.
Perubahan kemasan dengan kemasan baru menyerap biaya tambahan sebesar $ 2,4 sen
per botol karena lebih canggih dan tidak bisa dibuka paksa (tamper proof). Biaya
Kampanye penarikan stok lama termasuk biaya diskon untuk para dealer pun cukup
besar, sekitar $40 juta. Keseluruhan biaya extra ini akhirnya menjadi $ 140 juta.
Tambahan pula, Johnson & Johnson mengahadapi tiga tuntutan hukum, sehubungan
dengan kasus kematian  di Chicago, walaupun akhirnya berhasil memenangkan gugatan
karena memang tidak ada kaitan kematian para korban bisa dibuktikan terjadi akibat
kelalaian Johnson & Johnson.
Namun keberhasilan strategi Johnson & Johnson terbukti ketika masyarakat Amerika
termasuk media massa yang biasanya amat kritis, memuji langkah-langkah yang dimabil
Johnson & Johnson itu. Bahkan konsumen mendukung kembalinya Tylenol dengan
kemasan baru. Ada awal 1986, Tylenol kembali tampil menjadi pemimpin pasar obat
peredam nyeri dengan 35% pangsa pasar obat peredam nyeri senilai $1,5 milyar. Tylenol
menjadi merek yang paling besar sumbangannya terhadap laba perusahaan, dengan
pendapatan tahunan sebesar $ 525 juta dengan Tylenol menyumbang sepertiga dari
jumlah itu. Johnson & Johnson telah berhasil mengemabalikan citra perusahaan maupun
penjualan Tylenol sehabis dilanda krisis besar akibat keberpihakaan kepada praktek
bisins yang penuh tanggung jawab terhadap keselamatan konsumennya.
Sukses Johnson & Johnson mengatasi krisis Tylenol membuktikan kesetiaannya kepada
budaya perusahaan (seperti disebutkan di bawah) yang diungkapkan melalui credo yang
ditulis langsung oleh Robert Wood Johnson, salah seorang pendiri perusahaan pada tahun
1940an dan telah direvisi pada tahun 1970an.

https://akuntansiterapan.com/2010/06/16/johnson-johnson%E2%80%99s-tylenol-scare/

3. Kasus mc’donald
Dilansir Today (13/10), ada seorang wanita yang mengalami kejadian menyeramkan saat
memesan menu kopi dari McDonald's di Dothan, Alabama, Amerika Serikat. Wanita
bernama Sherry Head mengaku kalau di dalam kopi pesanannya terdapat bahan kimia
cair. Menurut laporan, Sherry dan pengacaranya meminta ganti rugi dengan total
kompensasi total $13 juta (Rp 200
miliar)dddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd

Penyelesain
Pihak McDonald's Dothan, Gerry Murphy mengatakan, "Kesehatan dan keselamatan
pelanggan dan karyawan kami selalu menjadi prioritas utama. Segera setelah mengetahui
kejadian ini, kami melakukan penyelidikan menyeluruh untuk memahami fakta. Kami
mengetahui keluhan yang diajukan di pengadilan wilayah Houston County, Alabama."
Selain itu McDonald's harus mengusut tuntas masalah ini dan memantu korban
menjalankan perawatan kesembuhan tenggorokannya.

Artikel detikfood, "Wanita Ini Gugat McD Rp 200 Milliar, Karena Ada Bahan Kimia
dalam Kopi" selengkapnya https://food.detik.com/info-kuliner/d-6348088/wanita-ini-
gugat-mcd-rp-200-milliar-karena-ada-bahan-kimia-dalam-kopi.

You might also like