Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 8

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa program layanan kesehatan ODGJ berat di

Puskesmas Manyaran Kota Semarang belum optimal dan masih perlu diperbaiki.
Pengetahuan, partisipasi, dan ketaatan dari pasien, keluarga pasien, atau masyarakat masih
terbilang minim. Hal ini bisa juga disebabkan karena kurangnya kualitas interaksi yang
terjalin antara pihak puskesmas dengan masyarakat. Maka dari itu, kegiatan sosialisasi sudah
harus digencarkan lagi secara rutin. Puskesmas sudah melakukan Kerjasama yang baik
dengan rumah sakit terkait program rujukan balik, sehingga puskesmas masih bisa memantau
edukasi kepatuhan minum obat para pasien. Puskesmas sudah melakukan terobosan berupa
kunjungan rumah untuk pendataan dan wawancara psikiatri, serta melakukan rujukan jika
diperlukan. Target sasaran yang belum tercapai dimungkinkan adanya masalah pendataan
yang masih perlu diperbaiki dan pemahaman pelaksana program yang belum memiliki
professional terlatih jiwa. Pendistribusian obat juga dianggap menyulitkan pasien dan dinilai
bergantung dengan pemerintah. Namun itupun juga dipengaruhi oleh dana yang ada hanya
berasal dari satu sumber dan terbatas. Maka dari hasil penelitian untuk mencapai SPM dapat
dilakukan pelatihan penanganan kejiwaan bagi para pelaksana dan melakukan edukasi kepada
masyarakat Manyaran dalam usaha meningkatkan pemahaman, motivasi, dan komitmen
menjadi cara untuk mencapai target dari SPM dalam program pelayanan kesehatan ODGJ
berat

capaian Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota dalam memberikan pelayanan kesehatan ODGJ


berat dinilai dengan jumlah ODGJ berat (psikotik) di wilayah kabupaten/kota tersebut yang
mendapat pelayanan kesehatan jiwa promotif preventif sesuai standar dalam kurun waktu
satu tahun.

Hal ini menandakan bahwa pelayanan kesehatan ODGJ berat di Puskesmas Manyaran belum
optimal didukung dengan ditemukannya masalah salah satunya

belum adanya tim khusus yang mengurusi dan berkompetensi ahli dalam kejiwaan. Namun,

adapun kontribusi penyebab yang disumbang oleh wabah Covid-19. Fokus penanganan

Covid-19 mengalihkan perhatian masyarakat dari faktor psikososial yang akan ditanggung

individu sebagai konsekuensi terjadinya pandemi. Dilanjutkan dengan pemberlakuan

pembatasan sosial dan mobilitas masyarakat, berdampak pada kesehatan mental yang pada

akhirnya mempengaruhi pelaksanaan program ODGJ dari puskesmas.7


1. Bagi Puskesmas Pajangan Bantul
Sebagai bahan pertimbangan bagi Puskesmas Pajangan Bantul agar

selalu memperbaharui data-data pasien gangguan jiwa setiap tahunnya.

2. Bagi Petugas Kesehatan (Perawat)

Perawat hendaknya lebih memperhatikan dan menjelaskan kepada responden melalui


diadakannya acara family gathering terkait pentingnya dukungan keluarga yang
diberikan pada ODGJ agar dukungan keluarganya lebih meningkat dari kategori
sedang menjadi kategoti tinggi.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya


Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian

mengenai hubungan persepsi dengan dukungan keluarga dalam pemulihan ODGJ


dengan menggunakan metode lain seperti kualitatif sehingga sangat menggali
informasi menarik tentang persepsi dan dukungan keluarga terhadap ODGJ.

4. Bagi Keluarga Pasien


Keluarga pasien hendaknya lebih meningkatkan dukungan

terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa terutama dalam hal
dukungan penghargaan agar anggota keluarganya tersebut merasa dihargai dan
diperhatikan, karena hal tersebut juga dapat berdampak pada pemulihan psikis ODGJ.

5. Bagi Institusi Pendidikan : Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta Lebih bisa
mencontohkan implementasi yang baik mengenai persepsi dan dukungan keluarga
terhadap ODGJ melalui pegabdian kepada

masyarakat di lingkungan komunitas.

Pihak Puskesmas Halmahera Kota Semarang diharapkan aktif dalam:

1. Mencari orang-orang yang kontak dengan pasien TBC sehingga proses pelacakan

orang-orang yang beresiko terkena TBC menjadi lebih mudah


akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai gejala dan tanda dari Gangguan Jiwa ,
sehingga membuat orang tidak menyadari keluhannya saat dilakukan pemeriksaan

Suatu keberhasilan ataupun kegagalan atas pemenuhan pelayanan kesehatan jiwa bagi ODGJ
tidak terlepas dari peran pemerintah daerah dan lingkungan sekitar. Secara umum
Notoatmodjo menyebutkan bahwasanya pelayanan kesehatan jiwa dilaksanakan demi
terwujudnya pemerataan kesehatan masyarakat yang tujuan utamanya adalah pelayanan
preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat.
Masyarakat dalam hal ini termasuk pula masyarakat yang tergolong orang dengan gangguan
jiwa terlantar dan ditelantarkan.Orang Dengan Gangguan Jiwa pada dasarnya dapat
disembuhkan jika mereka melakukan perawatan secara rutin baik dalam minum obat – obatan
maupun motivasi dukungan dari keluarganya. Pelayanan kesehatan jiwa adalah bentuk
perhatian pemerintah yang tujuan utamanya memberikan pemerataan kesehatan masyarakat.
Sasaran pelayanan kesehatan jiwa ialah masyarakat itu sendiri. Namun Dinas Kesehatan
Kabupaten Tulungagung dalam masalah pemerataan kesehatan jiwa belum mampu
memberikan secara optimal. Kurangnya pemerataan pelayanan kesehatan jiwa akan
berdampak buruk dimasa mendatang. Karena kebutuhan pelayanan kesehatan dirasa sangat
diperlukan untuk mencapai kualitas hidup sehat seseorang. Penulis menyimpulkan bahwa
dalam pemenuhan ODGJ hak kesehatan jiwa dimasukan dalam konteks pelayanan kesehatan
jiwa berbasis masyarakat, dalam hal ini pemerintah wajib memelihara ODGJ dan
menyalurkan ODGJ ke RSJ untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang maksimal.
Namun pada kenyataannya pelayanan terhadap ODGJ terlantar masih jauh dari yang
diharapkan dengan ditandainya masih banyaknya ODGJ kurang mendapat perhatian dari
Pemerintah.

Stigma terhadap penderita kesehatan mental adalah masalah yang serius di Indonesia karena
tingginya angka prevalensi masalah kesehatan mental. Menurut data Riskesdas, prevalensi
gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7%
pada tahun 2013 dan mengalami peningkatan proporsi yang cukup signifikan pada tahun
2018 jika menjadi 7% (Kemenkes, 2018). Kegiatan promosi dan prevensi sebagai salah satu
pendekatan psikososial, sangat dibutuhkan pada tiap tahapan proses pemulihan Orang
Dengan Skizofrenia (ODS), sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa, yang salah satunya memiliki tujuan untuk menghilangkan stigma,
diskriminasi, pelanggaran hak asasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai bagian dari
masyarakat. Hal yang tampak sederhana tapi sangat bermakna dalam keberhasilan sebuah
proses recovery adalah adanya stigma. Stigma mengakibatkan hambatan dalam pelayanan
kesehatan gangguan jiwa secara maksimal, diantaranya mengakibatkan hambatan dalam
deteksi dini, ketidaktepatan dalam diagnosis, pengabaian terhadap keluhan-keluhan secara
fisik dan mental, yang berakibat pada tatalaksana yang tidak tepat dan kondisi akhir dari
penyakit yang semakin buruk (Soebiantoro, J. 2017). Dalam hal ini penting adanya upaya
intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma pada penderita gangguan jiwa
khususnya Skizofrenia. Terdapat beberapa intervensi dan membutuhkan upaya bersama dari
berbagai pihak dalam mengurangi stigma terhadap penderita skizofrenia.

Kesehatan jiwa di definisikan sebagai suatu keadaan individu bisa tumbuh optimal secara
raga, jiwa, rohani dan serta sosial, sehingga orang tersebut sadar akan kemampuan diri
dalam menanggulangi tekanan, berkegiatan secara produktif dan sanggup berkontribusi
untuk komunitas. Sebaliknya gangguan jiwa ialah suatu keadaan dimana seseorang
menghadapi kendala dalam pikiran, sikap, serta emosi yang perwujudannya berupa
perubahan perilaku yang dapat menimbulkan penderitaan serta hambatan dalam menjalankan
fungsi orang sebagai manusia.

World Health Organization (WHO) melaporkan sebanyak 792 juta orang di berbagai
belahan dunia pada saat ini mengidap gangguan jiwa, setidaknya 7% orang di
dunia mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa terbanyak di dunia pada tahun 2017
ialah depresi dengan jumlah 264 juta jiwa, gangguan bipolar sebanyak 45 juta jiwa,
skizofrenia sebanyak 20 juta jiwa, demensia sebanyak 50 juta jiwa, anxiety disorders
sebanyak 284 juta jiwa, gangguan penggunaan alkohol sebanyak 107 juta jiwa
dan gangguan makan sebanyak 16 juta jiwa
Total orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat di Indonesia diperkirakan sebanyak
400.000 orang atau sekitar 1,7 per 1000 penduduk. Lima wilayah dengan pengidap
gangguan jiwa paling banyak adalah DI Yogyakarta, DI Aceh, Sulawesi Selatan, Bali
dan Jawa Tengah.

Program kesehatan jiwa berbasis masyarakat ini berawal dari masih tingginya stigma negatif
yang ditujukan kepada ODGJ dari masyarakat. Mereka pun masih belum mengakses fasilitasi
kesehatan setempat (Puskesmas) karena belum adanya sistem rujukan yang efektif untuk
kasus kesehatan jiwa di dalam masyarakat. Peningkatan kualitas hidup ODGJ juga semakin
sulit dilakukan karena masih rendahnya pengetahuan ODGJ, keluarga dan masyarakat
mengenai isu kesehatan jiwa. Antar stakeholder pun belum ada koordinasi dalam penanganan
kasus gangguan jiwa.

Melalui program kesehatan jiwa berbasis masyarakat, kami berusaha untuk mencapai tujuan-
tujuan berikut ini:

 Mengingkatnya kualitas hidup ODGJ


 Terwujudnya masyarakat yang berkontribusi secara pro-aktif kepada berbagai
usaha kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang menyeluruh dan berbasis hak
asasi

Secara umum, kami melakukan pendampingan kepada ODGJ dan keluarganya, masyarakat
dan pemerintah terkait melalui:

 Kunjungan rumah
 Terapi Aktivitas Kelompok bagi ODGJ
 Support Help Group atau kelompok swabantu bagi keluarga atau pendamping
ODGJ
 Pendampingan kepada ODGJ untuk mengakses layanan kesehatan,
meningkatkan keterampilan dan aktivitas produktif
 Edukasi kepada keluarga atau pendamping ODGJ mengenai kesehatan jiwa
 Sosialisasi isu kesehatan jiwa kepada masyarakat
 Peningkatan kapasitas kader kesehatan jiwa dan petugas kesehatan di
Puskesmas
 Pembentukan sistem untuk pemberian layanan kepada ODGJ dari beberapa
Puskesmas)

d. Untuk mengatasi berbagai hambatan pelaksanaan kegiatan Puskesmas.

Faktor-Faktor Hambatan Penerapan SIMPUS


Pengembangan SIMPUS di beberapa daerah masih banyak menemui hambatan. Ada
beberapa isu aktual terkait dengan integrasi data, yaitu :
1. 1)  Data yang tersedia belum terintegrasi dan sulit memperoleh data yang bermutu dan

terkini.
Integrasi data dan informasi dari berbagai unit pelayanan yang ada di Puskesmas baik
pelayanan dalam gedung maupun luar gedung belum dapat dilakukan sepenuhnya
karena berbagai keterbatasan. Data dan informasi dari Puskesmas pembantu dan
Ponkesdes belum dapat diintegrasikan dengan cepat dan tepat waktu. Integritas data
yang tersedia secara real time merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kualitas data. Disamping itu proses entri data juga sangat berpengaruh terhadap
kualitas data.
Petugas entri data di Puskesmas biasanya adalah staf yang juga bertugas dalam
pelayanan sehingga terjadi rangkap pekerjaan. Apabila jumlah pasien sedikit, entri
data dapat dilakukan dengan segera, tetapi apabila jumlah pasien cukup banyak maka
proses entri data masih dirasakan merepotkan. Kedua faktor di atas sangat
berpengaruh terhadap kualitas data dan informasi yang dihasilkan. Data dan informasi
perlu tersedia dengan segera, cepat dan tepat waktu agar dapat dimanfaatkan secara
optimal.

2. 2)  Pemanfaatan data belum optimal.


Data dan informasi yang tersedia sebenarnya masih dapat digunakan untuk tujuan
yang lebih luas sesuai dengan peran data dan informasi sebagai health intelligence,
misalnya melihat sebaran penyakit berdasarkan peta dan waktu, pemeriksaan
kehamilan dan imunisasi balita, pengenalan terhadap potensi Kejadian Luar Biasa,
kenaikan pangkat bagi pegawai dan masih banyak aplikasi yang dapat digunakan
berdasarkan data dan informasi yang tersedia.
3. 3)  Keterbatasan Sumber Daya Manusia ( SDM )
Aspek SDM merupakan aspek penting yang sangat menentukan perkembangan
SIMPUS, juga terhadap kualitas data yang dihasilkan. Pengembangan SIMPUS
seringkali dihadapkan kepada keterbatasan SDM berupa keterbatasan pemahaman staf
terhadap teknologi komputer dan sistem informasi, tidak adanya staf yang mempunyai
latar belakang pendidikan komputer dan tidak ada staf khusus untuk entri data.
Keterbatasan SDM juga akan sangat mempengaruhi kualitas data yang dihasilkan
SIMPUS.
Kepuasan Pemakai
Dalam penelitian ini pengguna merasa puas menggunakan sistem informasi tersebut
karena memudahkan mereka dalam hal administrasi.Dulunya mereka menulis ke
dalam buku atau kartu pasien,sekarang tinggal membuka sistem dan mengetikkannya
ke dalam sistem.Dalam hal pencarian nama pasien juga dapat dimudahkan dalam
pelayanan ini,tinggal mengetik nama lengkap pasien ke dalam kotak nama maka akan
keluar data yang sudah pernah dimasukkan sebelumnya.Staff puskesmas juga sangat
berharap bisa dengan cepat menguasai sistem tersebut agar pekerjaan mereka tidak
memakan waktu dan mereka juga bisa melayani dengan tepat dan cepat.

Staff puskesmas juga sangat berharap kepada dinas kesehatan agar memberikan lebih
lagi pelatihan untuk menggunakan simpus terutama untuk puskesmas daerah.Karena
puskesmas tiganderket juga ingin lebih aktif lagi dalam penggunaannya dan mampu
melihat lebih jelas lagi apakah manajemen yang mereka terapkan sudah membantu
dalam memajukan pelayanan puskesmas.

Keuntungan bagi organisasi


Dalam keuntungan ini merupakan dampak dari informasi terhadap organisasi seperti
profit bagi perusahaan,memangkas biaya operasional.Dari hasil penelitian di atas
sudah jelas simpus memangkas biaya pengeluaran organisasi,karena selama ini buku
atau kartu yang dipakai untuk mengisi data peserta memakan biaya,karena buku
hanya sedikit daya tampung yang dapat diisi jadi memerlukan jumlah buku yang
banyak dan memerlukan alat tulis untuk menuliskan nama-nama pasien.

Penyuluhan mengenai pentingnya tidak menstigmatisasi Orang Dengan Gangguan Jiwa


(ODGJ) sebagai langkah untuk mengurangi stigma negatif yang berdampak pada kurangnya
dukungan yang diberikan sehingga keluarga melakukan tindak pemasungan pada ODGJ dan
mencegah keparahan gangguan tersebut.

Namun, mereka juga bakal diajari berkegiatan produktif. Mulai dari senam, menyanyi
bersama, hingga mengasah keterampilan wirausaha. Seperti merajut kerajinan atau
kursus mencuci motor.

You might also like