Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 27

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Umum
Judul : Identifikasi Banjir Menggunakan Citra Radar Sentinel -1
Studi Kasus : DKI Jakarta
Studi Kasus : DKI Jakarta.
Bidang Ilmu : Sistem Informasi Geografis (SIG)
Instansi : Badan Informasi Geospasial (BIG)
Alamat : Jalan Raya Jakarta-Bogor Km.46, Cibinong Bogor 16911.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Schwab at.al (1981) banjir adalah luapan atau genangan dari
sungai atau badan air lainnya yang disebabkan oleh curah hujan yang
berlebihan atau salju yang mencair atau dapat pula karena gelombang pasang
yang membanjiri kebanyakan pada dataran banjir. Menurut Hewlet (1982)
banjir adalah aliran atau genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi
bahkan menyebabkan kehilangan jiwa. Dalam istilah teknis banjir adalah
aliran air sungai yang mengalir melampaui kapasitas tampung sungai, dan
dengan demikian, aliran air sungai tersebut akan melewati tebing sungai dan
menggenangi daerah di sekitarnya.
Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu
Kabupaten administratif, yakni: Kota administrasi Jakarta Pusat dengan luas
47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas
126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota administrasi
Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2. Di sebelah utara membentang
pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai
dan 2 buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota
Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat
dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara

1
dengan Laut Jawa. (Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Pemprov
DKI Jakarta).
Menurut data bencana alam pada situs Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), dari total 3,398 bencana yang terjadi selama tahun 2018,
terdapat 871 bencana banjir yang terjadi di Indonesia dan bencana banjir di
DKI Jakarta terjadi 14 kali. Banjir yang melanda Jakarta dipengaruhi beberapa
faktor seperti curah hujan tinggi, penduduk padat, lahan serapan air menyusut,
13 sungai aliri Jakarta, penurunan muka tanah, waduk berkurang dan perilaku
masyarakat.

Gambar 1.1 Kejadian Bencana di DKI Jakarta per Januari 2018 – Desember
2018
Data terbaru yang diterbitkan tahun 2017 dan diperbaharui pada Mei 2018
menunjukkan dari total 262 kelurahan, 82 di antaranya termasuk wilayah rawan
banjir. Kelurahan-kelurahan rawan banjir itu tersebar di seluruh kawasan di
Jakarta, 25 kelurahan di Jakarta Selatan, 23 kelurahan di Jakarta Timur, 17 di
Jakarta Barat, dan hanya 2 di Jakarta Pusat. ( BPBD DKI Jakarta ).
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah memanfaatkan
perkembangan teknologi citra satelit untuk memudahkan pengambilan keputusan
dalam bidang pemetaan. Namun, dikarenakan letak Indonesia yang berada pada
daerah dengan iklim tropis dan kondisi cuaca yang seringkali tertutup awan dan
kabut, hal ini dapat menghilangkan informasi penting dari obyek di balik area
2
yang tertutup oleh awan tersebut. Untuk mengatasi gangguan awan tersebut, dapat
menggunakan pencitraan radar dengan metode SAR (Synthetic Aperture Radar)
yang menggunakan sensor gelombang mikro sehingga dapat beroperasi siang
maupun malam dan dalam cuaca apapun. Dibalik keunggulan tersebut, metode
SAR ini memiliki kelemahan yaitu sangat sulitnya memprediksikan korelasi
antara gelombang mikro dengan karakteristik obyek di permukaan bumi termasuk
jenis tanah dan batuan, karena citra aktif tersebut hanya menampilkan warna abu-
abu dalam tampilan visualnya. Pada penelitian ini citra satelit yang digunakan
adalah citra satelit Radar Sentinel-1 yang memuat informasi lebih fleksibel dalam
perolehan data kerena tidak terhalang oleh gangguan awan dan cuaca sehingga
dapat digunakan untuk memperoleh informasi kondisi lahan dan citra Radar
Sentinel-1 ini dapat diunduh gratis di internet.
Pada penelitian tugas akhir ini penulis akan meneliti tentang identifikasi banjir
dengan menggunakan citra Radar Sentinel-1 di DKI Jakarta dengan
memanfaatkan keilmuan di bidang Sistem Informasi Geografis.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana cara kerja thresold classification pada citra radar Sentinel-1


sebelum dan sesudah banjir ?

2. Bagaimana penentuan daerah banjir di DKI Jakarta pada citra Radar


Sentinel-1 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan cara kerja thresold classification pada citra radar Sentinel-1.

2. Menentukan daerah banjir menggunakan citra Radar Sentinel-1 di DKI


Jakarta.

3
1.4 Batasan Masalah

Ruang lingkup pekerjaan penelitian ini adalah :

1. Software yang digunakan software Sentinel Application Platform (SNAP).

2. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Radar Sentinel-1 di
Tahun 2018 dan peta batas administrasi DKI Jakarta dengan format
shapefile.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu
Kabupaten administratif, yakni: Kota administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90
km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15
km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota administrasi Jakarta
Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
dengan luas 11,81 km2. Di sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km,
yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah
selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi
dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten
Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa.
Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang
terdapat pada ±50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas
lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman
sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak
tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan
alluvium. Di wilayah bagian utara baru terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin
ke selatan permukaan keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga
terdapat lapisan permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m.
Keadaan Kota Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara
maksimum berkisar 32,7°C - 34,°C pada siang hari, dan suhu udara minimum
4
berkisar 23,8°C -25,4°C pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun
237,96 mm, selama periode 2002-2006 curah hujan terendah sebesar 122,0 mm
terjadi pada tahun 2002 dan tertinggi sebesar 267,4 mm terjadi pada tahun 2005,
dengan tingkat kelembaban udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan
angin rata-rata mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik. (Sumber :www.jakata.go.ig)

2.2 Bencana Banjir

Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang


Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi Bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Di
Indonesia sering terjadi bencana salah satunya adalah banjir. Banjir adalah
peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena
volume air yang meningkat (UU 24 tahun 2007).

Definisi lain mengatakan Banjir adalah suatu proses melimpahnya air


sungai dan menggenangi daerah hingga melebihi batas tertentu serta menimbulkan
kerugian. Banjir juga terjadi bukan hanya karena bersumber dari harapan sungai,
tetapi juga dari aliran air dari daratan tinggi daratan rendah (Endarto,2008).

Pada umumnya banir terjadi pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh
intensitas air hujan yang sangat tinggi dan berlangsung pada waktu yang lama. Air
yang turun ke permukaan tanah, khususnya sungai, tidak bisa tertampung lagi dan
akhirnya menggenangi daerah permukiman atau pertanian. Banjir dapat
disebabkan oleh campur tangan manusia, seperti penebangan hutan di DAS
terutama di daerah hulu. Tidak adanya akar-akar tanaman yang menyerap air ke
dalam tanah mengakibatkan erosi tanah. Penanaman pohon-pohon atau pembuatan
bangunan-bangunan di pinggir atau bahkan di lembah sungai menjadi terhambat.
Aliran yang terhambat menyebabkan terjadinya banjir. Secara umum penyebab
terjadinya banjir dibagi menjadi tiga faktor (Nugroho, 2002):

5
1. Faktor peristiwa alam (dinamis), yang meliputi: intensitas curah hujan tinggi,
pembendungan (dari laut/pasang dan dari sungai induk), penurunan tanah (land
subsidence), dan pendangkalan sungai.

2. Faktor kondisi alam (statis), yang meliputi: kondisi geografi, topografi,


geometri sungai (kemiringan, meandering, bottleneck, sedimentasi).

3. Faktor kegiatan manusia (dinamis), seperti: pembangunan di dataran banjir, tata


ruang di dataran banjir yang tidak sesuai, tata ruang/peruntukan lahan di DAS,
permukiman di bantaran sungai, pembangunan drainase, bangunan sungai,
sampah, prasarana pengendali banjir yang terbatas, persepsi masyarakat yang
keliru terhadap banjir.

Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana


pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1992). Lebih lanjut Carter
menambahkan bahwa untuk menentukan ancaman bencana, maka diperlukan
penilaian risiko (risk) bencana dengan mengidentifikasi tingkat bahaya (hazard)
dan menduga tingkat kerentanan (vulnerability). Saat ini, penelitian dan praktek
penanggulangan bencana makin fokus pada pengurangan kerentanan sosial dari
masyarakat (Wisner 2006; Birkmann 2006; Pelling 2009 ; Bankoff et al. 2004;
Wisner et al. 2004; UNISDR 2004). Pemahaman ini datang dari kesadaran bahwa
kerentanan terhadap bencana sesungguhnya dihasilkan dari proses-proses sosial,
ekonomi dan politik yang memodifikasi cara bagaimana masyarakat mereduksi
risiko, berhadapan (coping) dan respon terhadap ancaman (hazards) secara
beragam (Wisner et al. 2004).

2.3 Banjir DKI Jakarta

Sepanjang tahun 2018, sebanyak 15.627 warga DKI Jakarta mengungsi


karne banjir. Banjir terjadi di 30 kecamatan, 63 kelurahan, dan 217 RW. Lokasi
terbanyak terjadi di Jakarta Barat dengan 78 RW. Kemudian Jakarta Selatan
dengan 64 RW, Jakarta Timur dengan 58 RW, Jakarta Utara dengan 11 RW, dan
Jakarta Pusat dengan 6 RW. Ketinggian banjir bervariasi mulai dari 5 sampai 300
sentimeter. (BPBD DKI Jakarta, 2018).
6
2.4 Sistem Informasi Geografis

Aronaff (1989), SIG adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja
computer yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data
serta memberi uraian. Sedangkan menurut Gistut(1994), SIG adalah sistem yang
dapat mendukung pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan
deskripsi-deskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang
ditemukan di lokasi tersebut. SIG yang lengkap mencakup metodologi dan
teknologi yang diperlukan, yaitu data spasial perangkat keras, perangkat lunak dan
struktur organisasi. Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa
Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem
informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial
(bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit adalah sistem
komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola
dan menampilkan informasi berefrensi geografis atau data geospasial untuk
mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan suatu
wilayah, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah
database.(Adam, 2012)

Gambar 2.1 Konsep SIG (konsepgeografi.net)

SIG Merupakan pengolahan data geografis yang didasarkan pada kerja


Komputer. Dalam analisis tingkat kerawanan banjir digunakan beberapa
parameter yang menggambarkan kondisi lahan. Gambaran mengenai kondisi
lahan tersebut pada yang dasarnya memiliki distribusi keruangan (spasial), atau
dengan kata lain kondisi lahan antara satu tempat tidak sama dengan tempat yang
lain. Media yang paling sesuai untuk menggambarkan distribusi spasial ini adalah
7
peta. Dengan demikian parameter tumpang tindih harus dipresentasikan kedalam
bentuk peta.

2.5 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh sebagai ilmu, teknologi dan seni untuk mendeteksi


dan/atau mengukur obyek atau fenomena di bumi tanpa menyentuh obyek itu
sendiri memerlukan kamera untuk menangkap pantulan sinar dari obyek tersebut.
Untuk itu digunakan kamera yang terpasang pada wahana ruang angkasa yang
diluncurkan ke angkasa luar dan sering disebut sebagai satelit. Dalam system
penginderaan jauh terdapat 4 komponen utama yaitu: (1) sumber energi, (2)
interaksi energi dengan atmosfer, (3) sensor sebagai alat mendeteksi informasi
dan (4) obyek yang menjadi sasaran pengamatan. Penginderaan jauh sangat
tergantung dari energi gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik
dapat berasal dari banyak hal, akan tetapi gelombang elektromagnetik yang
terpenting pada penginderaan jauh adalah sinar matahari. Banyak sensor
menggunakan energi pantulan sinar matahari sebagai sumber gelombang
elektromagnetik, akan tetapi ada beberapa sensor penginderaan jauh yang
menggunakan energi yang dipancarkan oleh bumi dan yang dipancarkan oleh
sensor itu sendiri. Sensor yang memanfaatkan energi dari pantulan cahaya
matahari atau energi bumi dinamakan sensor pasif, sedangkan yang
memanfaatkan energi dari sensor itu sendiri dinamakan sensor aktif (Syah, 2010).

Salah satu metode yang digunakan untuk mengklasifikasi penggunaan


lahan ini adalah dengan memanfaatkan citra satelit yang biasa disebut dengan
penginderaan jauh (remote sensing). Penggunaan citra satelit untuk mendeteksi
penggunaan lahan cukup banyak digunakan karena memiliki resolusi temporal
yang baik dan cakupan wilayahnya yang luas. Penginderaan jauh dapat mencakup
suatu areal yang luas dalam waktu bersamaan.

8
Gambar 2.2 Elemen Sistem Penginderaan Jauh

(Canada Centre’s for Remote Sensing, Fundamental of Remote Sensing)

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu untuk memperoleh


informasi terhadap objek, daerah atau fenomena melalui analisis dan interpretasi
tanpa menyentuh langsung objek. Penginderaan jauh telah berkembang pesat
seiring dengan peningkatan kebutuhan akan informasi. Perkembangan ini dapat
dilihat dari semakin pentingnya penggunaan penginderaan jauh bagi penyediaan
informasi sumberdaya alam dan dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat
pengelolaannya. Kemudian hasil penginderaan jauh ini di buat dalam bentuk
pemetaan sehingga menjadi suatu sistem informasi geografis (SIG). Sistem
informasi geografis (SIG) adalah bagian dari pada sistem informasi yang
diaplikasikan untuk data geografi atau alat database untuk analisis dan pemetaan
sesuatu yang terdapat dan terjadi di bumi. (Wirandha et al., 2015).

2.6 RADAR (Radio Detection and Ranging)

Radar merupakan sistem penginderaan jauh sensor aktif gelombang mikro


yang dapat dipakai pada hampir semua kondisi cuaca. Teknologi Radar sudah
berkembang sejak perang dunia kedua, yaitu untuk mengetahui posisi suatu obyek
(musuh) dengan melakukan pengukuran jarak dari sensor Radar ke obyek
tersebut. Prinsip sistem Radar adalah pengiriman sinyal dari antena ke suatu
obyek dan sinyal pantulnya diterima kembali oleh antena yang sama, sistem ini
juga sering disebut dengan sensor aktif.

9
Pencitraan Radar mempunyai kelebihan, yaitu mampu menembus awan,
kabut ataupun hujan. Karena sifatnya aktif, maka teknik ini tidak tergantung pada
matahari, dan dapat dioperasikan baik siang maupun malam. Adanya satelit yang
membawa sensor Radar seperti ERS, RADARSAT, JERS ataupun ENVISAT,
membuka peluang untuk diolah secara interferometri dengan mengolah fasa dari
sinyal balik yang diterima sistim radar pada satelit tersebut (Ismullah, 2004).

Citra Radar hanya memiliki dua band yakni layer VH dan VV sehingga
untuk interpretasi perlu menambahkan satu band sintetis untuk mendapatkan band
RGB dari suatu citra. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan Radar
berupa gelombang radio dan gelombang mikro. Pantulan dari gelombang yang
dipancarkan tadi digunakan untuk mendeteksi objek. Penggunaan Radar sebagai
sensor untuk melakukan penginderaan jauh kemudian semakin berkembang, Real
Aperture Radar (RAR) yang disebut juga Side Looking Airborne Radar (SLAR)
muncul. Tidak berhenti disitu, pada tahun 1970 Jet Propulsion Laboratory
melakukan penelitian untuk mengembangkan RAR menjadi SAR (Synthetic
Aperture Radar) (Haniah dan Prasetyo, 2011).

Gambar 2.3 Geometri citra radar (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004)

2.7 SAR (Synthetic Apperture Radar)

Data SAR (Synthetic Apperture Radar) telah banyak digunakan untuk


observasi bumi dalam berbagai aplikasinya seperti pemantauan vegetasi,
pemantauan pergerakan lempeng es, pemantauan geomorfologi, pemantauan
kondisi perairan dan lain lain. Data SAR banyak digunakan karena SAR juga
memiliki kelebihan, seperti SAR mampu menembus awan dimana sensor pasif
10
pada umumnya tidak mampu menembus awan, SAR juga merupakan sensor aktif
yang berarti tidak dipengaruhi oleh keadaan siang atau malam, akusisi data SAR
yang cepat dan ini bisa diaplikasikan untuk pemantauan yang memerlukan
temporal yang cepat, mampu menghasilkan tampilan sinoptik. Pengambilan data
SAR yang membentuk sudut memberikan perspektif yang berbeda dengan citra
vertikal pada umumnya (Septiana et al., 2017).

Klasifikasi penutup lahan menggunakan citra satelit sudah banyak digunakan


di Indonesia akan tetapi ketersediaan data citra satelit optis sering terganggu oleh
tutupan awan mengingat Indeonesia beriklim tropis. Pemetaan penutup lahan
menggunakan data satelit optis sangat bergantung dengan kondisi cuaca dan
atmosfer. Data satelit sistem radar merupakan data yang dapat mengambil
informasi spasial di bumi dan tidak dipengaruhi oleh keadaan cuaca karena
Syntetic Aperture Radar (SAR) merupakan penginderaan jauh sistem aktif yang
menggunakan gelombang mikro. Gelombang mikro lebih panjang dari gelombang
cahaya yang digunakan satelit sistem optis pada umumnya. Semakin panjang
gelombang maka kemampuan untuk menembus awan semakin besar (Sutanto et
al., 2014).

Gambar 2.4 SAR viewing geometry.

(Image taken from www.asf.alaska.edu)

11
2.8 Pengolahan Citra Digital

Salah satu analisis spasial yang terkenal di bidang SIG dan juga pengolahan
citra digital adalah klasifikasi;istilah yang merujuk pada proses interpretasi citra-
citra digital hasil penginderaan jauh. Analisis ini merupakan proses
penyusunan,pengurutan, atau pengelompokan setiap piksel citra digital multi-
spektral (multi-band) ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria/kategori objek
hingga dapat menghasilkan sebuah “peta tematik” (raster). Pada analisis ini, setiap
piksel didalam suatu kelas diasumsikan berkarakteristik homogen. Tujuan analisis
ini adalah untuk mengekstrak pola-pola respon spektral (yang dominan) yang
terdapat pada citranya;kelaskelas penutup lahan (landcover) (Prahasta, 2014).

1. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya


sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor
gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer
menyebabkan nilai pantulan objek dipermukaan bumi yang terekam oleh
sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh
karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan. Metode-
metode yang sering digunakan untuk menghilangkan efek atmosfer antara
lain metode pergeseran histogram (histogram adjustment), metode regresi
dan metode kalibrasi bayangan (Projo Danoedoro, 1996). Koreksi radiometrik
perlu dilakukan pada data citra dengan berbagai alasan :

a. Stripping atau banding seringkali terjadi pada data citra yang diakibatkan oleh
ketidakstabilan detektor. Striping atau banding merupakan fenomena ketidak
konsistenan perekaman detektor untuk band dan areal perekaman yang sama.

b. Line dropout kadang terjadi sebagai akibat dari detektor yang gagal berfungsi
dengan tiba-tiba. Jangka waktu kerusakan pada kasus ini biasanya bersifat
sementara.

c. Efek atmosferik merupakan fenomena yang disebabkan oleh debu, kabut, atau
asap seringkali menyebabkan efek bias dan pantul pada detektor, sehingga
fenomena yang berada di bawahnya tidak dapat terekam secara normal.

12
2. Koreksi Geometrik

Menurut Mather (1987), koreksi geometrik adalah transformasi citra hasil


penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam
bentuk, skala dan proyeksi. Koreksi geometrik dilakukan sesuai dengan jenis atau
penyebab kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan random, dengan
sifat distorsi geometrik pada citra. Koreksi geometrik mempunyai tiga tujuan,
yaitu:

a. Melakukan rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar


koordinat citra sesuai dengan koordinat geografis.

b. Meregistrasi (mencocokan) posisi citra dengan citra lain yang sudah terkoreksi
(image to image rectification) atau mentransformasikan sistem koordinat citra
multispectral dan multi temporal.

c. Meregistrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke koordinat


peta (image to map rectification), sehingga menghasilkan citra dengan sistem
proyeksi tertentu.

2.9 Citra Sentinel-1

Citra satelit Sentinel-1 adalah citra yang dihasilkan oleh satelit Sentinel-1
yang dirancang dan dikembangkan oleh ESA dan didanai oleh Komisi Eropa
(European Commission). Citra satelit sentinel-1 terdiri dari konstelasi dua satelit,
Sentinel - 1A dan Sentinel - 1B yang berbagi bidang orbit yang sama dengan
perbedaan 180° pada pentahapan orbital. Misi dari citra ini adalah menyediakan
kemampuan operasional independen untuk pemetaan radar terus menerus dari
bumi dengan frekuensi, cakupan, ketepatan waktu dan keandalan ditingkatkan
untuk layanan operasional dan aplikasi yang memerlukan seri lama (ESA, 2013).
Dilengkapi Syntetic Aperture Radar (SAR), Sentinel-1 memuat informasi yang
lebih fleksibel dalam perolehan data karena tidak terhalang oleh gangguan awan
dan cuaca sehingga dapat digunakan untuk memperoleh informasi kondisi lahan.
Pada penelitian ini dilakukan identifikasi penggunaan lahan menggunakan data
radar Sentinel-1 dual polarisasi VV dan VH (Fathoni et al., 2017).

13
Satelit Sentinel 1 bekerja pada frekuensi C-Band pada panjang gelombang5.4 cm,
Right Sight yang memiliki kemampuan polarisasi tunggal dan polarisasi ganda
dan juga memiliki empat mode observasi yaitu:

1.Wave Mode: resolusi 5 meter, area cakupan 20 x 20 km

2.Extra Width Swath: resolusi 20 meter, area cakupan 400 x 400 km

3.Interferometric Wide Swath: resolusi 20 meter

Citra satelit Sentinel-1 adalah citra yang dihasilkan oleh satelit Sentinel-1 yang
dirancang dan dikembangkan oleh ESA dan didanai oleh Komisi Eropa (European
Commission). Citra satelit sentinel-1 terdiri dari konstelasi dua satelit, Sentinel-
1A dan Sentinel-1B yang berbagi bidang orbit yang sama dengan perbedaan 180°
pada pentahapan orbital.

Gambar 2.1 Sentinel-1 Mission Facts

Misi dari citra ini adalah menyediakan kemampuan operasional independen untuk
pemetaan radar terus menerus dari bumi dengan frekuensi, cakupan, ketepatan
waktu dan keandalan ditingkatkan untuk layanan operasional dan aplikasi yang
memerlukan seri lama (Bona, 2017).

14
Tabel 2.2 Jurnal-jurnal Penelitian

15
Nama
No. Judul Tujuan Kesimpulan
Pengarang

Membuat peta rawan bencana banjir Kabupaten Tuban diklasifikasikan menjadi


4 kelas tingkat kerawanan bahaya banjir,
untuk mitigasi bencana banjir di
meliputi: Aman, Tidak Rawan, Rawan dan
Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban Sangat Rawan. Dengan rincian kelas
ditinjau dari parameter parameter Rawan sebesar 52% dengan luas 102,582
curah hujan, daerah aliran sungai, data Ha, kelas Sangat Rawan sebesar 44%
Analisis Banjir dengan dengan luas 86,288 Ha, kelas Tidak Rawan
jenis tanah, dan data digital elevation sebesar 4% dengan luas 8,326 Ha dan kelas
Menggunakan Citra Satelit
1. Diah Agustin model, peta tutupan lahan yang sudah Aman sebesar 0%.  Kecamatan Rengel
Multilevel di Kecamatan Rengel diklasifikasikan menjadi 4 kelas tingkat
diolah dari citra Landsat 8 untuk skala
Kabupaten Tuban. kerawanan bahaya banjir, meliputi: Aman,
1:25.000 dan dari citra Quickbird
Tidak Rawan, Rawan dan Sangat Rawan.
untuk tutupan lahan dengan skala Dengan rincian kelas Sangat Rawan
1:5000. Melakukan Analisis daerah sebesar 67% dengan luas 8,693 Ha, kelas
Rawan sebesar 17% dengan luas 2,133 Ha,
rawan Banjir di Kecamatan Rengel
kelas Tidak Aman sebesar 16% dengan
Kabupaten Tuban. luas 2,150 Ha dan kelas Aman sebesar 0%.

Penggunaan Citra Radar Untuk mengidentifikasi tutupan lahan Hasil penelitian ini belum menunjukkan adanya
Yusnizar
Sentinel-1 Untuk Identifikasi menggunakan citra Radar Sentinel-1 di pola yang jelas antara rataan backscatter dengan
2. Veronica
Tutupan Lahan di Kabupaten Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi tipe tutupan lahan. Nilai hamburan balik
Damaik (backscatter) untuk polarisasi VV dan VH yang
Pakpak Bharat. Sumatera Utara.
tertinggi secara berurutan adalah tutupan lahan

16
pemukiman sebesar 3,772 dB dan 3,260 dB
serta hutan sebesar 3,676 dB dan 3,189 dB,
sedangkan nilai hamburan balik (backscatter)
terendah adalah tutupan lahan badan air sebesar
2,564 dB dan 2,242 dB serta lahan terbuka
sebesar 2,514 dB dan 2,223 dB

Penginderaan jauh merupakan teknologi


yang dapat digunakan untuk pemetaan
daerah yang rentan dan memiliki risiko
terhadap banjir. Kelebihan teknologi ini
yaitu dapat menampilkan data yang
memiliki cakupan wilayah kajian yang luas
Pemanfaatan Teknik sehingga analisis daerah yang rentan
Penginderaan Jauh Untuk Memanfaatkan tekonologi Penginderaan terhadap banjir lebih mudah. Selain itu,
3. Lili Somantri jauh untuk pemetaan daerah yang memiliki dengan teknologi penginderaan jauh dapat
Mengidentifikasi Kerentanan Dan resiko terhadap banjir. menghemat biaya, waktu dan tenaga untuk
Risiko Banjir menghasilkan data yang akurat. Pemetaan
daerah yang rentan terhadap banjir dapat
menggunakan pendeketan geomorfologi
(bentuk lahan). Adapun bentuk lahan yang
merupakan indikator sering dilanda banjir
adalah dataran banjir, teras marin, rawa,
dan rawa belakang.

4. Muhamd Analisis Data Spasial Untuk Membuat peta sebaran tingkat Dari peta kerentanan banjir yang dibuat
kerawanan banjir di Kabupaten berdasarkan peta – peta faktor penentu

17
banjir didapat bahwa Kabupaten Banyumas
terdiri dari empat kelas kerentanan banjir
Identifikasi Kawasan Rawan yaitu: kelas aman (10427,22 Ha/7,505%),
Banyumas.
Mahfuz Banjir Di Kabupaten Banyumas kelas tidak rawan (121167,48
Provinsi Jawa Tengah Ha/87,213%), kelas rawan (7335,66
Ha/5,280%), dan kelas sangat rawan (2,30
Ha/0,002%).

5. Dini Ramanda Analisis Kombinasi Citra Penelitian ini bertujuan untuk melihat Hasil proses fusi citra antara Sentinel-1A
Putri*), Abdi Sentinel-1a Dan Citra Sentinel-2a hasil fusi citra optis Sentinel-2A dengan Sentinel-2A dari metode PCA, Brovey

Sukmono, Untuk Klasifikasi Tutupan Lahan dengan citra radar Sentinel-1A dan IHS memiliki tampilan visual yang hampir
sama yakni memperlihatkan karakteristik yang
Bambang (Studi Kasus: Kabupaten Demak, menggunakan metode trasnformasi
unik dari hasil penggabungan kedua citra
Sudarsono Jawa Tengah) IHS (Intensity Hue Saturation),
tersebut. Keunikan ini terlihat dari segi
transformasi Color Normalized
pewarnaan, mengadopsi warna dari citra
(transformasi Brovey) dan Principal
Sentinel-2A, tetapi dengan perentangan kontras
Component Analysis yang berbeda, sedangkan dari segi kualitas
(PCA).Penelitianinidilaksanakan juga piksel terintegrasi oleh citra Sentinel-1A
bertujuan untuk melihat hasil
klasifikasi tutupan lahan pada studi
kasus penelitian. Klasifikasi tutupan
lahan ini menggunakan hasil
pengolahan klasifikasi supervised dari
citra Sentinel-2A, citra hasil fusi

18
(PCA, IHS dan Brovey) serta citra
hasil kombinasi nilai indeks (NDVI,
NDBI dan NDWI).

Penginderaan jauh aktif seperti SAR yang


memiliki keunggulan dapat menembus
awan dan juga merekam siang maupun
Identifikasi Genangan Air Dapat teridentifikasinya genangan air malam hari, dapat bermanfaat dalam
Menggunakan Citra Sentinel-1 dengan menggunakan citra Sentinel-1 keperluan penangan maupun pencegahan
Bernat Simson
6. (Studi Kasus: Kecamatan di Kecamatan Baleendah, Kecamatan bencana banjir yangterjadidiIndonesia.
Fernandes
Baleendah, Dayeuhkolot dan Dayeuhkolot dan Kecamatan Dengan dilakukannya validasi dengan peta
Bojongsoang pada tahun 2017. resiko rawan banjir dan survey lapangan di
Bojongsoang, Jawa Barat)
5 titik sampel yang teridentifikasi genangan
air, bahwa hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini cukup baik

19
3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan Penelitian

Alat analisis data yang digunakan adalah software Sentinel Application Platform
(SNAP) (Sentinel-1 Toolbox). Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra
radar Sentinel-1 tanggal perekaman 26 April 2018 dan 30 April 2018 dan
beberapa data lain seperti peta administrasi di wilayah DKI. Jakarta.

3.2 Tahapan Penelitian

Persiapan

Studi Literatur dan

Penentuan Lokasi Penelitian

Pengumpulan Data

Data Citra
Sentinel-1

Subset Image

Apply Orbit File

Thermal Noise Removal

Kalibrasi

Speckle Filtering

20
A

Koreksi Geometrik

Shapefile
Batas
Konversi Data Administrasi

Masking

Thresholding Pixel Terendam

Analisis Hasil
Pengolahan Data

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan sesuai diagram alir pada gambar 3.1 dapat
dijelaskan sebagai berikut :

1. Persiapan

Persiapan berupa meliputi persiapan bahan – bahan yang mendukung


dalam pembuatan laporan, berupa jurnal, data dan beberapa tahapan dalam
penyusunan laporan.

2. Studi Literatur dan Penentuan Lokasi Penelitian

Studi literatur dan Penentuan Lokasi Penelitian yaitu mencari beberapa


jurnal yang terkait dengan judul serta menentukan lokasi yang akan
dilakukan penelitian.

21
3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan proses pengambilan data yang digunakan


untuk penelitian berupa :

1. Data citra satelit Radar Sentinel-1

Citra satelit Radar Sentinel-1 adalah citra yang dihasilkan oleh satelit
Sentinel-1 yang dirancang dan dikembangkan oleh ESA dan didanai
oleh Komisi Eropa (European Commission). Citra satelit sentinel-1
terdiri dari konstelasi dua satelit, Sentinel-1A dan Sentinel-1B yang
berbagi bidang orbit yang sama dengan perbedaan 180° pada
pentahapan orbital. Portal web untuk mendapatkan data citra satelit
Sentinel-1, dengan mengakses alamat internet
https://scihub.copernicus.eu/

2. Data Shapefile Batas Administrasi

Data shapefile Batas Administrasi yang digunakan adalah wilayah


DKI Jakarta. Shapefile batas administrasi ini digunakan untuk
membatasi area sesuai yang akan dilakukan penelitian.

4. Subset Image

Citra Sentinel-1 yang akan diolah hanya meliputi daerah penelitian,


meliputi band dual polarisasi (VV dan VH) yang masing-masing akan
diolah dan dianalisis. Oleh karena itu, terlebih dahulu dilakukan
pembuatan band sintetik selanjutnya melakukan subset atau pemotongan
citra sesuai liputan daerah penelitian. Pemotongan citra menjadi liputan
yang lebih sempit akan meringankan jalannya proses pengolahan data pada
komputer sehingga tidak berlangusng sangat lama

5. Apply Orbit File


Proses ini diperlukan untuk update orbit metadata pada Citra Sentinel-1.
Vektor status orbit yang disediakan dalam metadata produk Sentinel-1
umumnya tidak akurat dan dapat disempurnakan dengan file orbit yang
tersedia, juga file orbit menyediakan informasi posisi dan kecepatan satelit
yang akurat.

22
6. Thermal Noise Removal

Koreksi thermal noise dapat diterapkan untuk produk Sentinel-1 yang


belum dikoreksi.

7. Kalibrasi

Hal ini dilakukan dengan melihat polarisasi dari citra sendiri yaitu VH
(vertical vorizontal) dan VV (vertical vertical) untuk menghasilkan output
sigma_0 band.

8. Speckle Filtering

Operasi filtering dilakukan untuk menghilangkan speckle pada citra


dengan operator LEE sebagai filter (Arief et al., 2017). Gangguan pada
citra Radar pada umumnya berupa bercak- bercak hitam putih (speckle).
Peningkatan kualitas visual citra dapat dilakukan dengan metode filter
dalam penelitian ini menggunakan filter Lee yang didasarkan pada
Minimum Mean Square Error (MMSE) serta aspek geometrik. Filter LEE
merupakan statistical filter yang dirancang untuk menghilangkan noise,
namun tetap menjaga kualitas titik piksel dan batas tepi pada citra.

9. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik dilakukan karena Citra Sentinel-1 masih dalam


geometri radar, dikarenakan variasi topografi dari suatu scene dan
kemiringan dari sensor satelit, jarak dapat terdistorsi dalam citra, oleh
karena itu perlu dilakukan koreksi geometrik. Koreksi geometrik yang
dilakukan menggunakan metode Range Doppler Terrain Correction.

10. Konversi Data

Selanjutnya nilai sigma nought (σ°) akan dikonversi ke nilai DN (Digital


Number) untuk menjadi satuan desibel (dB) yang merupakan koefisien
hamburan balik (backscatter).

23
11. Masking

12. Thresholding Pixel Terendam

Berikut dibawah ini merupakan rumus yang dibuat oleh Long dkk, pada
tahun 2014. Untuk menentukan threshold ideal sehingga dapat mengetahui
apakah pixel terendam/tergenang air :

𝑃𝐹 <{ 𝜇 [𝐷] − 𝑓 𝑐 ∗ {𝜎 [𝐷]}}

𝑃𝐹 merupakan piksel yang teridentifikasi sebagai banjir,

μ dan σ merupakan nilai mean dan standar deviasi dari D, yaitu citra
tersebut

𝑓 𝑐 merupakan nilai koefisien.

Nilai optimal koefisien 𝑓 𝑐 didapat sebesar 1.5dari penelitian yang


dilakukan oleh Long dkk.

13. Analisis Hasil Pengolahan Data

Tahapan ini menganalisis hasil pengolahan pada citra Sentinel-1 untuk


mengidentifikasi Banjir di DKI Jakarta.

24
3.3 Lokasi dan Jadwal Penelitian

Lokasi data penelitian ini terletak di wilayah DKI Jakarta.

Gambar 3.2 Peta Wilayah DKI Jakarta. (www.big.go.id)

Penelitian dilakukan di Badan Informasi Geospasial (BIG). Adapun jadwal


penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut:
NOVEMBER DESEMBER JANUARI
NO KEGIATAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan Proposal                        
2 Persiapan Data                        
3 Pengolahan Data                        
4 Bimbingan                        
5 Pembuatan Laporan                        

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian


25
3.4 Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dan penyajian laporan kerja praktek ini


maka sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini membahas secara umum mengenai latar belakang, rumusan
masalah, maksud dan tujuan penelitian, batasan masalah, metodologi studi, serta
sistematika penulisan laporan tugas akhir.

Bab II : Dasar Teori


Pada bab ini akan menguraikan tentang teori yang berhubungan dengan
pelaksanaan penelitian yang meliputi tentang DKI Jakarta, Bencana Banjir, Banjir
di DKI Jakarta, Sistem Informasi Geografis, Peinginderaan Jauh, Pengolahan citra
satelit Sentinel-1.

Bab III : Pelaksanaan Pekerjaan


Pada bab ini membahas mengenai tahapan yang dilakukan dalam
pelaksanaan penelitian, menguraikan proses pekerjaan yang dimulai dari
persiapan penelitian, pengolahan data, analisa data hingga penyajian data.

Bab IV : Analisa dan Pembahasan


Pada bab ini diuraikan tentang hasil analisis identifikasi banjir
menggunakan citra satelit Sentinel-1.

Bab V : Kesimpulan dan Saran


Bab ini memuat kesimpulan yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian
dan saran yang membangun untuk pengembangan lebih lanjut.

Daftar Pustaka

Lampiran

26
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Diah. 2017. Analisis Banjir dengan Menggunakan Citra Satelit


Multilevel di Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban. Tugas Akhir.
Undergraduate thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
repository.its.ac.id

Damanik, Yusnizar Veronica. 2018. Penggunaan Citra Radar Sentinel-1 Untuk


Identifikasi Tutupan Lahan di Kabupaten Pakpak Bharat. Skripsi.
Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. repositori.usu.ac.id

Somantri, Lili. 2008. Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh Untuk


Mengidentifikasi Kerentanan Dan Risiko Banjir. Jurnal.
Ejournal.upi.edu

Mahfuz, Muhamad. 2016. Analisis Data Spasial Untuk Identifikasi Kawasan


Rawan Banjir Di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Jurnal.
Fakultas Teknik, Universitas Pakuan. Jom.unpak.ac.id

Putri, Dina Ramanda., Sukmono, Abdi., & Bambang Sudarsono. 2018. Analisis
Kombinasi Citra Sentinel-1a Dan Citra Sentinel-2a Untuk Klasifikasi
Tutupan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Demak, Jawa Tengah).
Jurnal Geodesi UNDIP. Volume 7, Nomor 2, Tahun 2018

Simson Fernandes, Bernat. 2017. Identifikasi Genangan Air Menggunakan Citra


Sentinel-1 (Studi Kasus: Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot dan
Bojongsoang, Jawa Barat). Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan,
Institut Teknologi Nasional- Bandung. Sinasinderaja.lapan.go.id.

27

You might also like