Kelompok 3 Etika Pemerintahan

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 32

MAKALAH

“ANALISIS DILEMA ETIK DALAM DUNIA PEMERINTAHAN DAN


PERILAKU KORUPSI ”

Dosen Pengampu
Dr. Hj. Een Kurnaesih, SKM., M.Kes

DISUSUN OLEH :

Kelompok III
A1 MKES

1. NURWAHDANIAR SYAHRUL (000510152021)


2. PRATIWI YUNUS (002010152021)
3. ANDI TENRI ARUNG (004610152021)
4. MUSYARRAFAH SUKMAN (004710152021)
5. MUSTAKIM BURHAN (005110152021)

FAKULTAS MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat serta
karunia-Nya. sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Analisis Dilema Etik dalam Dunia Pemerintahan dan Perilaku Korupsi”
Allahummashollialasayyidinamuhammad Salam dan shalawat senantiasa
tercurah kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri teladan dan
memberikan kesempatan kepada umatnya untuk mengenyam nikmatnya ilmu
pengetahuan yang telah mengantarkan umatnya dari zaman jahiliyah menuju
zaman islamiyah seperti sekarang ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr.Hj. Een Kurnaesih,


SKM., M,Kes. selaku dosen etika dan hukum kesehatan. Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman, penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu,
kritik dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan
makalah selanjutnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Waasalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 26 November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Etika pemerintahan diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Etika pemerintahan terbentuk sebagai suatu bentuk tuntutan masyarakat yang
menghendaki agar jalannya pemerintahan berjalan sesuai dengan prinsip-
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Nilai-nilai yang ada dan
berkembang dalam masyarakat akan mewarnai sikap dan perilaku pemerintah,
di pandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi
pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan
merupakan upaya mengikis budaya paternalistik yang berjalan pada masa
pemerintahan orde baru.
Pelaksanaan etika pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia perlu disertai dengan sanksi bagi setiap aparat
pemerintah yang melakukan kesalahan mengingat dalam konsep etika tidak
dikenal adanya sanksi yang bersifat fisik tetapi sanksi yang bersifat sosial.
Pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang dicita-citakan
oleh seluruh masyarakat Indonesia guna mewujudkan suatu masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kegiatan membangun pemerintahan yang baik, tidak saja menjadi tugas
pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan
prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Keberhasilan mewujudkan suatu pemerintahan yang baik sangat
ditentukan oleh sejauh mana moral dan etika yang dimiliki pemerintah
sebagai pedoman bagi keberhasilan pembangunan nasional. Fenomena yang
sering terlihat saat ini adalah masih adanya penyalahgunaan wewenang oleh
aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam bentuk
tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam segala bidang.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan analisis dilema etik dalam dunia
pemerintahan?
2. Bagaimana fenomena korupsi jika ditinjau dari persfektif etik
pemerintahan?
3. Bagaimana upaya-upaya dalam menanggulangi korupsi dari sudut
pandang etik pemerintahan?
4. Bagaimana kasus korupsi bantuan sosial (BANSOS) Covid-19?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan analisis dilemma etik dalam
dunia pemerintahan.
2. Untuk mengetahui fenomena korupsi jika ditinjau dari persfektif etik
pemerintahan.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya dalam menanggulangi korupsi dari sudut
pandang etik pemerintahan.
4. Untuk mengetahui korupsi bantuan sosial (BANSOS) Covid-19
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIKA
Kata etika sering kita dengar di dalam percakapan sehari-hari seperti
dalam lingkungan tempat tinggal, kantor, sekolah, pemberitaan koran, majalah
dan sebagainya.
Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos”
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berpikir. Dalam bentuk jamak, etika berasal “ta etha” yang berarti adat
kebiasaan. Dalam perkembangan selanjutnya dari bahasa Perancis kuno, kata
etika berasal dari kata “ethique” yang berarti sejumlah prinsip moral.
Dalam Ensiklopedia Indonesia, etika disebut sebagai ilmu tentang
kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam
masyarakat, apa yang baik dan apa yang buruk. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa etika selalu dihubungkan dengan adat istiadat atau
kebiasaan manusia, baik itu merupakan kebiasaan yang baik maupun
kebiasaan yang menyimpang atau kebiasaan buruk, bagaimana manusia
seharusnya bersikap tindak di dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
Bertens (2011) memberikan tiga pengertian pada kata etika, yaitu:
Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Kedua, kata etika berarti juga kumpulan asas atau nilai
moral. Maksud kumpulan asas atau nilai moral di sini adalah kode etik yang
disepakati di antara anggota suatu kelompok atau organisasi. Ketiga, kata
etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Kata etika
disini sama artinya dengan filsafat moral.
Berdasarkan uraian tentang kata etika tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa etika adalah:
1. Nilai-nilai atau norma yang menjadi pedoman bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Norma yang disepakati oleh anggota kelompok atau organisasi untuk
menjalankan organisasinya.
3. Ilmu yang mempelajari tentang baik atau yang menyimpang.

Fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan


nilinilai moral tertentu. Hal tersebut mengingat bahwa kehidupan manusia
seperti saat ini bersifat multi dimensional yang meliputi bidang sosial,
ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya, yang kesemuanya memerlukan
etika dalam mencapai tujuannya, termasuk di dalamnya kehidupan
pemerintah.

Dilihat dari perspektif pemerintahan, salah satu makna yang terpenting


tentang etika adalah bahwa etika sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.

Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan yang baik, tata
cara hidup yang baik, baik bagi dirinya sendiri, baik bagi orang lain, dan baik
bagi masyarakat. Nilai-nilai dalam etika di sini dipahami sebagai nilai yang
dipergunakan sebagai pedoman, petunjuk, orientasi, arah bagaimana manusia
harus hidup baik sebagai manusia, di mana etika berisi perintah yang harus
dipatuhi dan larangan yang tidak dapat dilanggar, tentang salah atau benar,
tentang baik dan buruk perilaku manusia.

Dengan demikian, etika dapat dipandang sebagai suatu sistem nilai


yang dipahami sebagai nilai-nilai dan normanorma moral yang dipergunakan
sebagai pedoman, petunjuk, orientasi, arah bagaimana seseorang atau suatu
kelompok manusia harus bertindak, berperilaku dalam menjalin hubungan
dengan manusia lainnya dalam suatu kelompok.

B. ETIKA PEMERINTAHAN
1. PENGERTIAN ETIKA PEMERINTAHAN
Etika pemerintahan merupakan ajaran untuk berperilaku yang baik
dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan
hakikat manusia. Sumaryadi (2010) menyatakan bahwa etika
pemerintahan mengacu pada kode etik profesional khusus bagi mereka
yang bekerja dan untuk pemerintahan. Etika pemerintahan melibatkan
aturan dan pedoman tentang panduan bersikap dan berperilaku untuk
sejumlah kelompok yang berbeda dalam lembaga pemerintahan, termasuk
para pemimpin terpilih (seperti presiden dan kabinet menteri), DPR
(seperti anggota parlemen), staf politik dan pelayan publik.
Kelompok-kelompok ini dihadapkan dengan berbagai pertanyaan
etika yang sulit dan sangat unik. Bolehkah seorang pejabat publik dapat
menyewa perusahaannya sendiri untuk bekerja bagi pemerintah? Bolehkah
wakil-wakil terpilih diizinkan untuk menerima hadiah mahal dari
kelompok-kelompok lobi? Bagaimana seharusnya pegawai negeri
memperlakukan rekan sekerja atau bawahan? Etika pemerintahan
mengidentifikasi sikap dan tingkah laku yang tepat dalam setiap situasi
dan menetapkan aturan-aturan perilaku bagi para pejabat publik untuk
mengikutinya.
Etika pemerintahan merupakan etika terapan yang berperan dalam
urusan pengaturan tata kelola pemerintah. Etika pemerintahan merupakan
bagian dari yurisprudensi praktis (practical jurisprudence) atau filosofi
hukum (philosophy of law) yang mengatur urusan pemerintah dalam
hubungannya dengan orang-orang yang mengatur dan mengelola lembaga
pemerintahan.
Etika pemerintahan mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi
dalam pemerintahan, yang pada gilirannya berurusan dengan hal-hal
seperti; penyuapan (bribery); korupsi politik (political corruption); korupsi
polisi (police corruption); etika legislatif (legislatif ethics); etika peraturan
(regulatory ethics); konflik kepentingan (conflict of interest);
pemerintahan yang terbuka (open of government); etika hukum (legal
ethics).
2. SUMBER-SUMBER ETIKA PEMERINTAHAN
1) Pancasila Sebagai Sumber Etika Pemerintahan
Supardi dan Romli (2003) menyatakan bahwa Pancasila adalah
moral, baik bagi perorangan maupun bagi masyarakat, serta juga moral
bagi para pemimpin mulai tingkatan yang paling atas sampai yang
paling bawah. Dengan perkataan lain bahwa etika hidup bagi para
pemimpin, perorangan maupun masyarakat dalam kehidupannya,
perilaku, ucapannya, dan sebagainya adalah berdasarkan Pancasila.
Falsafah Pancasila yang digali dari bumi Indonesia, dari kehidupan
masyarakat Indonesia, yang merupakan kepribadiannya, merupakan
pandangan hidup bangsa.
Pancasila yang digali oleh para pendiri negara menjadi
pandangan hidup bangsa dan dasar negara memuat nilai-nilai luhur
dan mendalam dari pribadi bangsa Indonesia. Pancasila digali dari
bumi Indonesia sebagai nilai moral yang sudah berlaku semenjak
nenek moyang menduduki tanah Indonesia, sudah merupakan etika
perilaku hidup bangsa-bangsa. Pancasila yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia
serta merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah
dapat mengatasi berbagai percobaan dan ujian sejarah, telah
meyakinkan kita akan kebenaran dan keampuhannya.
Bagi bangsa Indonesia Pancasila adalah merupakan dasar
negara, merupakan landasan idiil negara. Atas dasar itulah pemerintah
Indonesia menjalankan kehidupan bernegara. Semua ketentuan yang
mengatur kehidupan bernegara didasari oleh Pancasila.
Negara dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya
dilaksanakan oleh pemerintah, lebih tegas lagi oleh aparatur
pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya itulah maka aparatur
pemerintah selalu berpegang teguh kepada Pancasila sebagai kode etik
pemerintahan secara bulat dan utuh. Pancasila merupakan pedoman
pelaksanaan kerja aparatur pemerintah dalam kehidupan bernegara.
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia memiliki
peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam
berbagai hal. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mencerminkan
kehidupan berbudaya dan berakhlak masyarakat Indonesia. Silasila
Pancasila memiliki makna tersendiri dalam setiap kehidupan
masyarakat dan menjadi pedoman kehidupan.
Sebagai dasar falsafah negara Pancasila tidak hanya merupakan
sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan
legitimasi kekuasaan, hokum, serta sebagai kebijakan dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Pancasila bukanlah
merupakan pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis
melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan
sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum,
yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma
etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan
maupun kebangsaan.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar
tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik
menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik,
pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral
religius (sila 1) serta moral kemanusiaan (sila 2). Negara Indonesia
adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila 5, adalah
merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan,
kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus
berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan
kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila 4). Oleh
karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh
karena itu pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala
kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada
rakyat sebagai pendukung pokok negara.
Pada pelaksanaan pemerintahan sangat diperlukan sikap yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Seorang pemimpin harus mampu
menjadi pemimpin yang berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila
agar dapat mengarahkan rakyat ke arah yang lebih baik.
Sikap takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
persatuan bangsa, adil, bijaksana dan mampu mengayomi rakyat
merupakan kunci menjadi seorang pemimpin yang baik agar mampu
menjadi pemimpin yang dapat menunjukkan etika pemerintahan
dengan baik.
Etika pemerintahan harus direalisasikan oleh setiap individu
yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan
negara. Para pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, para pelaksana dan
penegak hukum harus menyadari bahwa legitimasi hukum dan
legitimasi demokratis juga harus berdasarkan pada legitimasi moral.
Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang
berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai
penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak
pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan,
terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan
dikalangan elit politik yang menjadi persoalan dalam pemerintahan.
2) Nilai Agama sebagai Sumber Etika Pemerintahan
Agama mengajarkan hal yang baik dan benar, mengajarkan
hakikat kebaikan dan kebenaran serta mengajarkan manusia untuk
menghindari perbuatan salah, jahat dan buruk, yang bersumber kepada
wahyu Tuhan. Objek dan sasaran etika adalah juga perbuatan yang
baik buruk yang menjadi perilaku manusia, yang antara lain bersumber
pada agama. Sehingga dari segi etika maka agama menjadi sumber
utamanya.
Al-Ghazali merupakan seorang penulis dan filsuf muslim abad
pertengahan yang memiliki corak pemikiran dan pemahaman yang
sinergis dan relevan dengan agama sebagai sumber etika
pemerintahan. Pemikiran al-Ghazali tentang etika pemerintahan
(politik) seperti dalam teorinya bagaimana cara menjalankan sebuah
sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk
kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas
tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang memenuhi beberapa
kriteria yang al-Ghazali idealkan. Masih dimungkinkan sebagai
referensi dalam menata sebuah negara pada masa sekarang dari
beberapa teori tentang filsafat politik khususnya dalam tradisi filsafat
Islam.
Konsepsi etika pemerintahan al-Ghazali adalah suatu teori
sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan aparatur negara
yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama
sebagai dasar negara. Seorang pemimpin yang ideal menurut al-
Ghazali adalah seorang yang mengerti tentang budi luhur atau moral
agama dan kebijaksanaan yang harus diterapkan dalam menjalankan
sistem pemerintahan.
3) Nilai Budaya Indonesia sebagai Sumber Etika
Pengertian budaya menurut Edward Burnett Tylor dalam
Ndraha (2003) yaitu:
“culture or civilization, taken in its wide the no graphic sense,
it that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals,
law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a
member of society”
(Budaya adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan lain yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat).
Sejalan dengan pengertian budaya menurut Tylor, Soekanto
(2001) mengatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang
dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup
segala cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak. Beranjak
dari pengertian budaya yang dapat juga disebut kebudayaan, tampak
bahwa budaya memiliki unsur-unsur pokok sebagai ciri dari budaya.
Herskovits dalam Soekanto (2001) merumuskan pokok dari
kebudayaan yaitu:
1. Alat-alat teknologi
2. Sistem ekonomi
3. Keluarga
4. Kekuasaan politik
Selain Herskovits, Malinowski dalam Soekanto (2001) juga
menyebutkan unsur-unsur pokok kebudayaan adalah :

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota


masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
2. Organisasi ekonomi
3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan. Perlu diingat bahwa
keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama.
4. Organisasi kekuatan

Beranjak dari pemikiran tersebut, tampak satu unsur budaya


yang sangat menentukan pembentukan budaya yaitu unsur kekuasaan
politik atau kekuatan. Mengingat pemerintah sebagai salah satu
organisasi politik atau kekuasaan yang paling kompleks di zaman
modern ini, secara teoritis memiliki kontribusi yang tinggi untuk
membentuk suatu budaya.

Dalam kaitan dengan makna kebiasaan dalam pembentukan


budaya, Ferdinand Tonies dalam Soekanto (2001) memberi makna
kebiasaan dalam tiga arti yaitu:

1. Dalam arti menunjuk pada suatu kenyataan yang bersifat objektif.


Misalnya, kebiasaan untuk bangun pagi, minum teh dan lain
sebagainya. Artinya adalah, bahwa seseorang biasa melakukan
perbuatan-perbuatan tadi dalam tata cara hidupnya,
2. Dalam arti bahwa kebiasaan tersebut dijadikan kaidah bagi
seseorang, norma mana diciptakannya untuk dirinya sendiri. Dalam
hal ini, orang yang bersangkutanlah yang menciptakan sesuatu
perilaku bagi dirinya sendiri.
3. Sebagai perwujudan kemauan seseorang untuk berbuat sesuatu.
Pola perilaku hasil interaksi yang turun-temurun menjadi suatu
kebiasaan baik secara individu maupun kelompok dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan masyarakat banyak,
telah menjadi suatu norma kehidupan dalam berpemerintahan yang
terinternalisasi menjadi bentuk suatu etika dalam pemerintahan. Oleh
sebab itu, unsur budaya juga merupakan salah satu sumber etika
pemerintahan.

3. PENERAPAN ETIKA PEMERINTAHAN


Berbicara etika pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari
peraturan kepegawaian yang mengatur para aparatur. Aparatur
pemerintah merupakan sebuah kumpulan atau organisasi penyelenggara
pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai ke daerah dan
memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Etika
pemerintahan sangat terkait dengan tingkah laku para aparatur atau
birokrasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparatur
pemerintah secara konkrit di negara kita adalah pegawai negeri baik
sipil maupun militer, yang secara organisatoris dan hirarkis
melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing sesuai aturan yang
telah ditetapkan.
Etika pemerintahan merupakan bagian dari aturan main
organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang kita kenal sebagai kode
etik pegawai negeri, diatur dalam undang-undang kepegawaian. Kode
etik yang berlaku bagi pegawai negeri sipil disebut Sapta Prasetya
Korps Pegawai Republik Indonesia, dan untuk kelompok tentara
nasional Indonesia disebut Sapta Marga. Kode etik tersebut sering
diingatkan kepada mereka dengan maksud untuk menciptakan kondisi-
kondisi moril yang menguntungkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan menumbuhkan sikap mental dan moral yang baik.
Tindak lanjut atau perwujudan dari etika pemerintahan adalah
kode etik yang lebih mengikat atau mengatur pemerintah agar lebih
beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang sering kita mendengar
belum diketahui sampai sejauhmana dan belum dapat dilihat secara
jelas apakah perbuatan seseorang melanggar etika atau kode etik karena
belum jelas batasannya dan sanksinya.
Kode etik aparatur pemerintah disusun dengan maksud untuk
membentuk atau terciptanya aparatur pemerintah yang lebih jujur, lebih
bertanggung jawab, lebih berdisiplin, lebih rajin serta memiliki moral
yang baik serta terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme.
Untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang lebih beretika,
maka diperlukan usaha dan latihan ke arah tersebut serta penegakkan
sanksi yang jelas dan tegas kepada mereka yang melanggar kode etik
atau aturan yang telah ditetapkan. Adapun aturan-aturan pokok yang
mengikat aparatur pemerintah guna menjadi acuan kode etik aparatur
pemerintah adalah sebagai berikut:
1. Aturan mengenai pembinaan pegawai negeri sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan
secara berdaya guna dan berhasilguna dalam rangka mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik material maupun
spiritual, diperlukan adanya aparatur yang penuh kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, bersih,
berwibawa, bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggung
jawabnya, maka UndangUndang Nomor 43 tahun 1999 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian telah menggariskan dasar yang kuat
untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang baik melalui
pengaturan kedudukan dan kewajiban aparatur.
2. Aturan mengenai kedudukan pegawai negeri sipil
Pegawai negeri sipil merupakan unsur aparatur negara, abdi negara
dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada
Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada
masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat.
Kesetiaan dan ketaatan tersebut mengandung makna bahwa
pegawai negeri sipil berada sepenuhnya di bawah peraturan yang
berlaku.
3. Penghargaan pegawai negeri sipil
Kepada pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah
menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja
yang baik, maka dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat.
Bentuk penghargaan yang diberikan berupa tanda jasa, kenaikan
pangkat istimewa yang diiringi dengan kenaikan gaji sesuai
pangkatnya. Tujuan pemberian penghargaan ini adalah agar mereka
dapat menjadi contoh bagi yang lain dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
4. Keanggotaan pegawai negeri dalam partai politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
agar lebih beretika dan bermoral dan agar terhindar dari
kepentingan partai politik, maka pegawai negeri tidak dianjurkan
masuk dalam politik praktis demi menjaga moralitas yang
merupakan etika aparatur.
5. Peraturan disiplin pegawai negeri sipil
Ketentuan tentang disiplin pegawai negeri sipil diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin
pegawai negeri sipil yang mengatur tentang kewajiban, larangan,
sanksi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan
terhadap hukuman disiplin, dsb.

Dari aturan-aturan tersebut di atas, permasalahannya adalah


kepada penegakkan sanksi atas pelanggaran etika tersebut, betul-betul
dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau
hanya sebatas retorika ataupun sanksi sosial saja. Sanksi sosial hanya
efektif apabila aparatur berada di tengah-tengah masyarakat, sedangkan
dalam organisasi birokrasi harus tegas sanksi hukumannya sesuai
aturan yang berlaku.

Jadi selain etika yang berlaku di masyarakat, aparatur


pemerintah memiliki aturan tertentu yang mengaturnya dalam
melaksanakan tugas dan fungsi aparatur agar lebih beretika dan
bermoral.

Etika aparatur pemerintah diperlukan dalam penyelenggaraan


pemerintahan. Etika pemerintahan terbentuk sebagai tuntutan
masyarakat yang menghendaki agar jalannya pemerintahan dapat
berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan
yang baik.

Etika aparatur Pemerintah dalam pelaksanaan tugas dan


pergaulan seharihari berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2004, antara lain meliputi:

1. Etika dalam bernegara.


2. Etika dalam berorganisasi.
3. Etika dalam bermasyarakat.
4. Etika terhadap diri sendiri.
5. Etika terhadap sesama aparatur

Aparatur pemerintah wajib melaksanakan dan menerapkan


kode etik aparatur pemerintah, dimana apabila aparatur pemerintah
terbukti melakukan pelanggaran kode etik, akan dikenakan sanksi
moral, juga dapat dikenakan tindakan administratif atas rekomendasi
Majelis Kode Etik.

Aparatur Pemerintah juga wajib menjunjung tinggi nilai-nilai


dasar yang terkandung dalam pembinaan jiwa korps dan Kode Etik
Aparatur Pemerintah, mengingat nilai-nilai dasar dimaksud merupakan
nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa,
negara dan pemerintah.

Etika Aparatur Pemerintah mewujudkan aparatur yang


berdisiplin, aparatur yang menaati peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam pelaksanaan tugas, termasuk di dalamnya menaati
peraturan disiplin aparatur pemerintah/pegawai negeri sipil, di mana
aparatur pemerintah yang beretika tidak akan melanggar peraturan
disiplin dan tidak akan dijatuhi hukuman disiplin.

4. KENDALA PENERAPAN ETIKA


Meskipun dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran
paradigma etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, tidak berarti
bahwa paradigma etika mudah diimplementasikan. Hal ini terjadi
karena dalam praktek kehidupan seharihari masih banyak terdapat
dilema atau konflik pragmatis yang cenderung menyangkut pandangan
absolutis versus relativis dan adanya hierarki etika.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, dikenal norma-norma
yang bersifat absolut dan relatif diterima orang. Norma-norma yang
bersifat absolut cenderung diterima dimana-mana atau dapat dianggap
sebagai universal rules. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai
saat ini di semua atau hampir di semua masyarakat di dunia yang
berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standar pembuatan
keputusan.
Kaum deontologis sebagai salah satu pendekatan dalam etika
menilai bahwa norma-norma ini memang ada hanya saja manusia
belum sepenuhnya memahami, atau masih dalam proses pemahaman.
Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran agama dan filsafat
hidup, dan perlu dipertahankan karena memiliki pertimbangan atau
alasan logis untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Misalnya
dalam pelayanan publik atau pelayanan kepada masyarakat diperlukan
norma tentang kebenaran, bukan kebohongan, pemenuhan janji kepada
publik/masyarakat, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan, dsb.,
merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat di
mana-mana. Melalui proses konsensus tertentu, normanorma tersebut
biasanya dimuat dalam konstitusi kenegaraan yang daya berlakunya
relatif lama. Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat
digolongkan sebagai kaum absolutis.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan
normanorma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum relativis.
Kaum teleologist sebagai salah satu aliran pendekatan dalam etika
relativis mengemukakan bahwa tidak ada “universal moral”. Suatu
norma dapat dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau out come
yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan pada kenyataan.
Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai yang
bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila
diuji dengan kondisi atau situasi tertentu.
Implikasi dari adanya dilema di atas, maka sulit memberi
penilaian apakah aparatur pemerintah telah melanggar nilai moral
yang ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah
tergolong absolutis atau relativis. Hal ini telah menumbuhkan suasana
korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, dikenal 4 (empat)
tingkatan etika, yaitu:
1. Etika atau moral pribadi, yaitu yang memberikan teguran tentang
baik atau buruk yang sangat tergantung kepada beberapa faktor
antara lain, pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat
istiadat, dan pengalaman masa lalu.
2. Etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun
perilaku kalangan profesi tertentu.
3. Etika organisasi, yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat
formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan
anggota organisasi yang bersangkutan.
4. Etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan
tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota
masyarakat selalu terjaga dan terpelihara. (Shafritz & Russell,
1997).

Dengan adanya empat hirarki etika ini, cenderung


membingungkan aparatur pemerintah seperti ketika menempatkan
orang dalam posisi atau jabatan tertentu, sangat tergantung kepada
etika yang dianut oleh pejabat yang berkuasa. Bila ia dipengaruhi oleh
etika sosial, maka ia akan mendahulukan orang yang berasal dari
daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya kegiatan
kolusi, korupsi dan nepotisme. Bila ia dipengaruhi oleh etika
organisasi, maka ia akan melihat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku
dalam organisasi seperti menggunakan sistem senioritas yang
mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau
mungkin didominasi oleh sistem merit yang berarti ia akan
mendahulukan orang yang paling berprestasi.

Melihat persoalan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan


tersebut, maka pada akhirnya kita sering melihat aparatur pemerintah
tergantung kepada seorang aktor kunci aparatur dan kadangkadang
mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain yang
mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh
kharismatik, orang pintar, dsb.

Secara umum, dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang


menjadi kendala atau hambatan dalam menerapkan etika aparatur
yaitu:

1. Jumlah aparatur yang dianggap terlalu banyak secara kuantitas.


2. Aparatur kurang memiliki responsiveness dan responsibilitas.
3. Rendahnya kemampuan empati aparatur.
4. Intensitas komunikasi antara aparatur yang rendah dan lemah.
5. Pola pikir dan tujuan serta kesalahan persepsi dalam memahami
fungsi sebagai aparatur.
6. Kemahiran aparatur membuat strategi bertahan untuk
melanggengkan keberadaan dirinya pada jabatan tertentu.
7. Adanya tindakan penyimpangan yang terakumulasi secara
sistematis.
8. Adanya kekhawatiran akan terjebak dalam lingkaran yang tidak
berujung pangkal.
C. FENOMENA KORUPSI JIKA DITINJAU DARI PERSPEKTIF ETIKA
PEMERINTAHAN.
Pada saat ini banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan
permasalahan etika dalam organisasi pemerintahan. Salah satu contoh nyata
yang masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi pemerintah yaitu
KKN. Adapun definisi dari KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan
negara, yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau
perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok,
banyak ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan
negara.
Praktek KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi
masalah berkaitan dengan etika organisasi pemerintah Karena ini merupakan
penyelewengan dari apa yangseharusnya dilakukan dan dimiliki oleh seorang
individu dalam organisasi pemerintah, yakni melayani rakyat dengan baik dan
berusaha memberikan yang terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan adanya
peraktek KKN jelas merugikan bangsa dan negara.
Korupsi biasanya yang tergambarkan ialah adanya seorang pejabat
tinggi yang dengan rakus menggelapkan uang pajak, mengumpulkan komisi,
atau menggunakan uang negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Korupsi
sebagian besar dikaitkan dengan penggelapansejumlah uang atau hal-hal yang
bersifat material. Dalam pembendarahan kata bahasa ndonesia, korupsi
diartikan sebagai suatu perbuatan busuk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang, sogok dan sebagainya (Poerwadarminta, 1976).
Untuk pertama kalinya korupsi menjadi istilah yuridis dalam peraturan
penguasa militer PRT/PM/06/1957 tentang pemberantasan korupsi. Di dalam
peraturan ini, korupsi diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan pula tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi,
yaitu:
1. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga untuk kepentingan diri
sendiri,untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan
yang langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian
negara.
2. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji
atau upah dari keuangan negara ataupun dari suatu badan yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan
kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh
jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan atau material
baginya.

Akan tetapi dapat dilihat bahwa istilah korupsi mengandung makna dan
pengertian yang begitu luas. Luasnya pengertian ini didukung oleh kenyataan
bahwa korupsi selalu dilakukan oleh manusia yang punya itikad kurang baik, dan
manausia sebagai subyek tidak pernah kehabisan cara untuk mencapai tujuan-
tujuan yang tidak baik tersebut. Selama kegiatan administratif dilaksanakan oleh
manusia dan pengambilan keputusan dilakukan oleh manusia,maka akan selalu
terdapat peluang akan terjadinya korupsi.

Korupsi terjadi bila seorang pegawai negeri menyalahgunakan wewenang


yang ada padanya untuk memperoleh penghasilan tambahan bagi dirinya dari
masyarakat. Seorang pejabat dikatakan melakukan tindak korupsi apabila
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia
mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Hadiah yang diberikan oleh seseorang mungkin sesungguhnya tidak mengandung
potensi apa-apa. Namun efek buruk dari penerimaan hadiah tersebut akan muncul
bila keputusan seorang tokoh atau pejabat ternyata tergantung kepada ada atau
tidaknya hadiah tadi. Dan sejak itulah sebenarnya seorang pejabat telah
melakukan korupsi. Imbalan atau balasan dari pihak ketiga yang diterima atau
diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya, partainya
maupun orang-orang yang punya hubungan pribadi dengannya, juga dapat
dianggap sebagai korupsi walaupun dia tidak menerima uang ataukeuntungan lain
secara langsung.

Nepotisme juga punya kaitan erat dengan korupsi. Nepotisme adalah


usaha-usaha yang disengaja oleh seorang pejabat dengan memanfaatkan
kedudukan dan jabatannya untuk menguntungkan posisi, pangkat, dan karier diri
sendiri, famili, atau kawandekatnya dengan cara-cara yang tidak adil (unfair).
Pemilihan atau pengangkatan orang pada jabatan tertentu terkadang tidak melalui
cara-cara yang rasional dan seleksi yang terbukamelainkan hanya tergantung rasa
suka atau tidak suka. Keuntungan yang dinikmati untuk dirisendiri, kelompok,
maupun keluarga ini dapat berupa kewenangan, pangkat, kesempatan,atau
keuntungan material. Sepintas lalu nepotisme tidak membawa banyak kerugian
bagi masyarakat, tetapi kita akan melihat bahwa jika dibiarkan berlarut-larut ia
akan sangat berbahaya bagi kewibawaan admiistrasi pemerintahan. Nepotisme
dapat terjadi sejak tingkatmanajemen operasional sampai pada keputusan-
keputusan penting tingkat nasional yang melibatkan urusan-urusan politis.

Sisi lain dari nepotisme dapat menjelma sebagai korupsi jabatan.


Seseorangmemanfaatkan kedudukan dan wewenangnya untuk menggunakan
fasilitas-fasilitas istimewa yang disediakan oleh negara sehingga sampai-sampai
mengurus sumber daya yang dimiliki negara. Selain itu terdapat pula istilah-
istilah yang merujuk kepada modus operan di tindakan korupsi. Istilah
penyogokan (graft) merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud
mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan
sebagai tindakan korupsi. Kecuali itu ada istilah penggelapan (fraud), untuk
menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka
urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh
masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan mengkaji berbagai pengertian dan definisi di seputas istilah
korupsi ini, maka dapat diuraikan unsur-unsur dominan yang melekat pada
tindakan korupsi, antara lain:

1. Setiap korupsi bersumber pada kekuaasaan yang didelegasikan, Pelaku-pelaku


korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuatan atau wewenang dari
perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-
kepentingan lain.
2. Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontrakdiktif dari pejabat-pejabat yang
melakukannya.
3. Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Oleh karena itu korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan
organisasi,kepentingan negara atau kepentingan umum.
4. Orang-orang yang mempraktekkan korupsi biasanya berusaha untuk
menrahasiakan perbuatannya. Mungkin saja korupsi sudah begitu menjarah
sehingga banyak sekali orang yang terlibat korupsi.
5. Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya. Dalam hal
ini tidak ada keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas rasional
pelakunya.

Maka dapat dikemukakan secara singkat bahwa korupsi mempunyai


katakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan
melibatkan unsur-unsur tipu muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu
kenyataan. Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara, secara langsung
maupun tidak langsung. Ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi
merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Norma sosial,norma hukum,
maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai
tindakan yang buruk. Hanya saja sering terjadi bahwa korupsi mengambil bentuk-
bentuk tindakan yang licik, membudaya, dan sulit dideteksi, sehingga kadang-
kadang masyarakat tidak menyadari bahwa lingkungan mereka telah dijangkiti
penyakit korupsi.

D. UPAYA PENCEGAHAN DALAM PENANGGULANGAN KORUPSI


Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi,
merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi
para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.

2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan


mewujudkan good governance.

3. Membangun kepercayaan masyarakat

4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.

5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak


korupsi di Indone-sia, antara lain sebagai berikut :

a. Upaya pencegahan (preventif).


1. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal,
informal dan agama.
2. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan
teknis.
3. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan
memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
4. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masatua.
5. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang
tinggi.
6. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung
jawab etis tinggidan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
7. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang
mencolok.
8. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi
pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta
jawatan di bawahnya

b. Upaya penindakan (kuratif).


Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti
melanggar dengandibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak
terhormat dan dihukum pidana.

c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa


1. Terkaitdengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hinggake tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan
aktif dalamsetiap pengambilan keputusan untuk kepentingan
masyarakat luas.
d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
1. Indonesia Corruption Watch(ICW) adalah organisasi non-pemerintah
yang mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di
Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen
untuk memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk
terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir diJakarta pd tgl 21 Juni
1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki
pemerintahan pasca Soeharto yg bebas korupsi.
2. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang
bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai
organisasi nirlaba sekarang menjadi organisasi non-pemerintah yang
bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh
TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia
yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004
menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disusul
Surabaya,Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada
2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK
Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia,
Irak, Libya dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya,
Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti
&Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi

E. KASUS KORUPSI BANTUAN SOSIAL (BANSOS) COVID-19

Dalam persidangan, terungkap sejumlah fakta tentang geliat tindakan


korupsi yang dilakukan Juliari serta beberapa orang lainnya dalam pengadaan
bansos Covid-19. Berawal dari pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia
sejak awal Maret 2020, lalu Kemensos membuat program pemberian bansos.
Anggaran pengadaan bansos Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian
Sosial tahun 2020 sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan
dilaksanakan dalam dua periode. Juliari menunjuk dua orang secara langsung
sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Mereka adalah Matheus Joko
Santoso dan Adi Wahyono. Mereka mengatur agar perusahaan swasta yang
menjadi rekanan Kemensos menyetorkan Rp10 ribu dari setiap paket bansos
kepada mereka. Paket bansos sendiri senilai Rp300 ribu. Pada Mei-November
2020, Matheus dan Adi yang telah ditunjuk Juliari mengurus program bansos,
mendapatkan rekanan yaitu Ardian I M dan Harry Van Sidabuke (swasta)
serta PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus. Juliari
tahu proses itu semua. Kemudian, pengadaan paket bansos tahap pertama
mulai berjalan bersama rekanan yang telah ditunjuk. Juliari, Matheu dan Adi
menerima Rp12 miliar. Khusus Juliari menerima sekitar Rp8,2 miliar.
Dilanjut dengan pengadaan paket bansos tahap kedua pada Oktober-Desember
2020. Kali ini, Juliari menerima sekitar Rp8,8 miliar. KPK lantas bergerak.
Operasi tangkap tangan dilakukan pada 4 Desember 2020. Matheus dan Adi,
yang ditunjuk Juliari mengurus program bansos, ditangkap. KPK
mengamankan uang sekitar Rp14,5 miliar saat itu. Sehari setelahnya, Juliari
masih sempat mengaku tidak tahu kasus yang membelit dua anak buahnya itu.
Padahal, Ketua KPK Firli Bahuri sudah menerangkan bahwa penangkapan
terkait dengan korupsi bansos Covid-19.
Dalam persidangan, Juliari dituntut 11 tahun penjara oleh Jaksa
Penuntut Umum dari KPK. Jaksa itu tidak mengenakan ancaman pidana
maksimal yakni penjara seumur hidup atau paling banyak 20 tahun
sebagaimana Pasal 12 huruf b UU Tipikor yang disematkan ke Juliari. Selama
menjalani proses hukum di KPK ataupun pengadilan, Juliari sama sekali tidak
meminta maaf kepada rakyat yang menjadi korban korupsi bansos.
Ia hanya memohon maaf kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua
Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Itu sebagaimana tertuang dalam nota
pembelaannya di persidangan.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat lalu memberikan
vonis 12 tahun penjara kepada Juliari pada 24 Agustus 2021. Hukuman
penjara yang diberikan lebih berat satu tahun dari tuntutan jaksa. Alasan
hakim yang tidak memberikan hukuman maksimal yakni 20 tahun penjara
karena menganggap Juliari sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina
oleh masyarakat. Kritik mengalir dari berbagai pihak. Peneliti Indonesia
Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menganggap putusan majelis
hakim melengkapi kebobrokan penegakan hukum kasus korupsi bansos
Covid-19. Dia bahkan menganggap seharusnya Juliari divonis penjara seumur
hidup karena korupsi yang dilakukan sudah sangat melukai masyarakat.
Sebelumnya, jumlah kasus korupsi dana bencana juga pernah
mengemuka di beberapa daerah yang mengalami bencana alam, seperti
masyarakat Aceh korban tsunami diPulau Nias, Donggala, dan Sukabumi;
juga korban gempa bumi di Lombok. Menurut catatan Indonesia Corruption
Watch (ICW), dalam sepuluh tahun terakhir sedikitnya terdapat 87 kasus
korupsi dana bencana yang telah ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, atau
KPK. Titik rawan korupsi dana bencana mulai dari tahap tanggap darurat,
rehabilitasi, dan pemulihan/rekonstruksi lokasi bencana. Nilai kerugian negara
akibat korupsi dana0 bencana ini juga cukup besar, mencapai angka ratusan
miliar rupiah (Yuntho, 2020).
Tahun 2005, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan
indikasi korupsi dana bencana tsunami di Aceh dan Nias mencapai angka Rp
150 miliar. Para pelaku terdiri dari kepala daerah, pegawai dinas atau
kementerian, pejabat pemerintah di badan penanggulangan bencana daerah,
serta pihak swasta. Sementara menurut catatan FITRA, ada indikasi
penyelewengan dana hibah di Provinsi Banten tahun anggaran 2014-2015
sebesar 114,76 milyar (FITRA, 2016).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Etika pemerintahan meliputi etika aparatur pemerintah dalam
bernegara, dalam berorganisasi, bermasyarakat, terhadap diri sendiri, dan
terhadap sesama aparatur yang wajib dilaksanakan oleh aparatur
pemerintah.
Aparatur pemerintah wajib melaksanakan dan menerapkan kode
etik aparatur pemerintah, dimana apabila aparatur pemerintah terbukti
melakukan pelanggaran kode etik, akan dikenakan sanksi moral, juga
dapat dikenakan tindakan administratif atas rekomendasi Majelis Kode
Etik.
Aparatur Pemerintah juga wajib menjunjung tinggi nilai-nilai dasar
yang terkandung dalam pembinaan jiwa korps dan Kode Etik Aparatur
Pemerintah, mengingat nilai-nilai dasar dimaksud merupakan nilai-nilai
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, negara dan
pemerintah.
Etika Aparatur Pemerintah mewujudkan aparatur yang berdisiplin,
aparatur yang menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
pelaksanaan tugas, termasuk di dalamnya menaati peraturan disiplin
aparatur pemerintah/pegawai negeri sipil, di mana aparatur pemerintah
yang beretika tidak akan melanggar peraturan disiplin dan tidak akan
dijatuhi hukuman disiplin.
DAFTAR PUSTAKA

Ismail. 2017. Etika Pemerintahan (Norma, Konsep, dan Praktik, Etika Pemerintahan).
Yogyakarta : Lintang Rasi Aksara Books.
http://eprints.ipdn.ac.id/42/13/ebook%20BUKU%20ETIKA
%20PEMERINTAHAN.pdf (di akses tanggal 26 November 2021).

Sufianto Dadang. 2016. Etika Pemerintahan di Indonesia. Bandung: Alfabeta CV


http://fisip.unjani.ac.id/wp-content/uploads/2020/06/Buku-Etpem-2016-
cetakan-ke-1.pdf (di akses tanggal 26 November 2021).

Soni Gunawan Somali. 2012. Etika Pemerintahan. Sosiohumanitas, XIV (2)


https://lemlit.unla.ac.id/wp-content/uploads/2019/12/8.-Soni-Gunawan-S.-
Etika-Pemerintahan.pdf (di akses tanggal 26 November 2021).

https://www.academia.edu/7159413/
Tugas_Etika_Administrasi_Perilaku_Korupsi_dalam_Perspektif_Etika_Pemer
intahan (di akses tanggal 27 November 2021).

You might also like