Professional Documents
Culture Documents
Gimai Seikatsu Volume 3
Gimai Seikatsu Volume 3
Ilustrator: Hitens
Prolog
Hampir sebulan sudah berlalu sejak kami memasuki liburan musim panas.
Dengan kata lain, ini merupakan libur panjang pertama yang akan kuhabiskan
bersama adik tiriku, Ayase Saki. Ayase-san adalah sesama murid kelas 2 di SMA
Suisei, seorang gadis yang menginjak usia 17 tahun. Paras cantiknya sampai-
sampai dikenal oleh hampir semua murid di sekolah, dan meski aku
memanggilnya adik, kenyataannya, ulang tahun kami cuma berjarak satu
minggu.
Kalian pasti mengharapkan sesuatu akan terjadi dalam situasi seperti ini,
layaknya orang yang memiliki akal sehat. Orang tua kami memutuskan untuk
menikah lagi, yang mana hal itu membuatku dan Ayase-san menjadi saudara tiri,
tapi kami masih dalam masa-masa remaja, bertemu satu sama lain setiap hari
karena kami hidup di bawah satu atap yang sama.
Dan sekarang, liburan musim panas pertama kami telah dimulai. Jika kami
adalah saudara tiri yang sering kalian lihat dalam cerita fiksi, kami mungkin
sudah mengalami berbagai macam peristiwa klise khas musim panas. Misalnya
saja seperti: Mengunjungi kolam renang, jalan-jalan ke laut, dan festival musim
panas. Intinya, kami sering pergi bersama, mempererat ikatan kami berdua, dan
akan ada insiden yang membuat detak jantung kami berpacu di atas level normal.
Ini adalah peristiwa yang alami. Kejadian yang harus terjadi, karena itulah yang
para pembaca harapkan.
Akan tetapi, yang namanya kenyataan sangat berbeda jauh dari fiksi. Rasanya
selalu realistis dan tidak semenarik seperti yang kalian bayangkan. Tak peduli
sudah berapa hari berlalu, sayangnya tidak ada kejadian seperti itu yang terjadi
di antara diriku dan Ayase-san. Setidaknya, belum ada sampai sekarang, yang
waktunya sudah mendekati akhir Agustus. Belum ada kemajuan penting yang
terjadi dalam hubungan kami, dan kami hanya menghabiskan keseharian dengan
sederhana dan monoton seperti yang selalu kami lakukan. Satu-satunya hal yang
berbeda dari sebelumnya ialah jumlah waktu yang kami habiskan bersama.
Lagipula…
“Kerja bagus hari ini, Asamura-san.”
“Kamu juga, Ayase-san.”
...Kami bertegur sapa layaknya orang asing yang baru saja bertemu. Selama
sebulan penuh ini, aku dan dia bekerja sambilan di tempat dan shift yang sama.
******
Aku keluar dari area apartemen tepat sebelum waktu tengah hari. Jadwal kerjaku
untuk hari ini akan berlangsung dari sore hingga malam hari. Setelah memarkir
sepeda di sudut tempat parkir, aku memeriksa jam. Aku menyadari bahwa aku
masih punya waktu sekitar tiga puluh menit sampai giliran kerjaku dimulai.
“Lagi pula, sudah tidak ada banyak waktu buat keluar lagi ...”
Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di dalam toko, jadi aku masuk
melalui pintu masuk pelanggan biasa. Begitu memasuki area toko, aku melihat
rilisan baru dan buku-buku populer di rak dan pajangan depan. Ini mungkin
lokasi yang paling menarik dari seluruh toko buku, tapi karena itu, selalu ada
sedikit perjuangan untuk mendapatkan apapun di sana tergantung pada
waktunya. Saat ini, seorang pegawai yang kutaksir berusia 40-an melirik sekilas
di bagian rilisan baru sebelum berjalan menuju rak majalah olahraga.
Meski sudah tidak punya banyak waktu, selalu ada baiknya untuk melihat apa
yang baru. Karena hanya ada satu pintu masuk ke toko, bagian kasirnya dekat.
Wajar saja. Bagi orang-orang yang sudah menyelesaikan pembeliannya, hal
terpenting adalah segera pindah ke lokasi lain, dan berjalan-jalan di dalam toko
lebih dari yang diperlukan setelah menyelesaikan pembelian hanya akan
merepotkan mereka.
Jika kamu berjalan melewati sudut ini dengan barang-barang baru dan populer,
melewati beberapa rak buku, kamu akan mencapai area dengan buku-buku yang
tidak benar-benar terlaris saat ini. Semua orang tahu kalau kamu harus
meletakkan buku-buku populer di tempat di mana banyak mata menemukannya.
Di setiap toko buku, ada sistem dan pengaturan tertentu mengenai bagaimana
menampilkan buku di toko. Meski aku hanya diajari tentang itu oleh seorang
senior di tempat kerja, hal itu sangat masuk akal bagiku. Oh ya, hal itu jadi
membuatku teringat saat pertama kali mulai bekerja di sini.
…………
“Yomiuri-senpai, bukankah toko buku sering mengubah tampilan rak buku?”
Sekitar sekali atau dua kali dalam setahun, toko buku akan mengubah lokasi
bagian populer ini. Bahkan toko yang lebih besar sepertinya tidak bisa
meninggalkannya di tempat yang sama. Aku tidak bisa membayangkan
perpustakaan melakukan itu.
“Pasti rasanye merepotkan, bukan? Tidak tahu letas di mana semua buku-buku
tersebut.” Aku mengemukakan sesuatu yang harus dirasakan oleh setiap
pelanggan toko buku biasa setidaknya sekali dalam hidup mereka.
“Yup, itu sebabnya,” itulah jawaban dari Yomiuri-senpai yang masih penuh teka-
teki.
“Apa?”
“Pihak toko buku melakukan hal itu justru karena kamu ingat di mana letak
segala sesuatunya.”
“Maksudnya apa? Aku masih belum paham”
“Secara teknisnya sih, itu karena kamu berpikir kalau kamu mengingatnya.
Manusia sebenarnya tidak mengingat detail kecil meski mengingat gambaran
yang lebih besar. Apa kamu ingat buku apa yang ada di sini sebelumnya? ” Senpai
bertanya sambil mengetuk salah satu sudut rak buku tempat dia berdiri di
sebelahnya.
Tampaknya belum terjual terlalu lama, tetapi ruang itu kosong. Karena ini adalah
rak bagian novel ringan, aku cukup sering datang ke sini, namun aku masih tidak
dapat mengingat dengan jelas buku apa yang ada di lokasi ini sebelumnya.
“Ini jawabanmu.”
Dia menunjukkan sampul buku yang baru saja kami terima hari ini. Buku
tersebut cukup populer, dan berasal dari seorang penulis yang terkenal dengan
cerita pendeknya. Tentu saja, aku sudah membaca beberapa karya sebelumnya,
dan saat melihat sekeliling rak buku, aku seharusnya menyadari bahwa itu
dipenuhi dengan buku-buku dari penulis yang sama. Meski itu bukan bagian dari
seri lagi.
“Ah, jadi ini buku yang itu?”
“Tapi ketika kamu melihat rak buku, kamu tidak berpikir ada yang berbeda dari
biasanya, kan?”
“Kalau itu…. memang sih.”
“Pada dasarnya, kamu tidak ingat apa yang ada di dalam rak. Namun, otakmu
berpikir bahwa rak itu masih sama seperti sebelumnya. Manusia tidak jauh
berbeda dengan binatang, jadi jika mereka tidak berpikir ada sesuatu yang salah
atau berbeda, perhatian mereka akan menurun.”
Mau tak mau aku mengerang saat Senpai mengatakan itu. Meski dia
menggunakanku sebagai contoh, aku masih bisa mengatakan bahwa apa yang dia
katakan masuk akal. Tentu saja, aku tidak melewatkan senyum tipisnya di akhir.
Dia mungkin terlihat seperti wanita yang cantik, tapi di dalanya sangat busuk.
Setidaknya itulah yang sudah kupikirkan saat itu.
“Jadi itu sebabnya pihak toko mengubah tampilan rak buku?”
“Yup, itu sebabnya kami mengatur semua itu. Jika tidak ada perubahan, kamu
mungkin bisa berbelanja tanpa harus benar-benar melihat. Pada dasarnya kami
menghancurkan kenyataan itu, mengubah lokasi rak buku dan sejenisnya secara
berkala . Kemudian kamu harus berjalan-jalan sebentar mencoba menemukan
apa yang kamu cari, dan mau tidak mau kamu akan lebih memperhatikan
lingkungan sekitarmu. Berbeda dari perpustakaan, kami secara aktif mencoba
menjual buku. Jika kami cuma menempatkan rilisan baru dan populer di
tampilan khusus, semua buku yang tersisa di toko akan tidak berguna, karena
orang tidak melihat buku lain selain dari apa yang mereka cari. Toko buku tidak
dapat bertahan tanpa memindahkan rak dari waktu ke waktu. Aku tahu toko
buku yang menghilang seiring berjalannya waktu karena rak mereka pada
dasarnya membusuk di tempat!”
“Terima kasih banyak atas penjelasan filosofis dan mendalamnya, Senpai.”
“Aku cukup keren, iya ‘kan?”
“Kamu mirip seperti kakek tua keriputan dari game RPG.”
“Hmph, itu tidak terdengar keren sama sekali.” Balasnya sambil cemberut.
……………
Sambil mengenang apa yang Senpai katakan saat itu, aku mengalihkan
perhatianku dari deretan barang baru dan melihat ke bagian dalam toko. Toko
buku cukup banyak memamerkan pengetahuan umat manusia. Selain itu, rilisan
baru mencerminkan arus informasi dunia untuk generasi saat ini. Aku bisa
merasakannya di kulitku hanya dengan melihat judul dan sampul. Sejujurnya, ini
cara yang bagus untuk menghabiskan waktu.
Aku melewati pajangan buku dan memulai penjelajahanku di dalam toko. Aku
memeriksa terbitan baru, menelusuri jilidan buku-buku di rak. Ketika aku
melakukan ini, aku dapat memeriksa bagaimana kinerja toko, dan aku
bisa membantu pelanggan dengan lebih baik setelah giliran kerjaku benar-benar
dimulai. Setelah beberapa saat berlalu, aku mulai berpikir kalau aku mungkin
harus mengganti seragamku saat ada seseorang tiba-tiba menepuk pundakku.
“Yo, Kouhai-kun.”
Saat aku berbalik, Yomiuri-senpai berdiri di sana dengan pakaian santainya.
“Senpai, tolong jangan mengagetkanku begitu. Aku hampir terkena serangan
jantung, tau.”
“Memangnya kamu selalu memiliki hati serapuh itu?”
“Mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi aku memang punya.”
“Jika kamu mau menunjukkannya kepadaku, aku mungkin akan
mempercayaimu.”
“Jika kamu mengembalikannya ke tempatnya setelah itu, aku tidak keberatan
menunjukkannya padamu.”
Setelah mendengar jawabanku, Senpai tersenyum bahagia.
“Kamu itu siapa, Shakespeare? Bahkan aku tahu kalau kamu tidak dapat
mengambil hatimu tanpa menumpahkan darah. Kurasa aku harus
mempercayaimu tanpa bukti.”
“Aku sangat menghargainya.”
Hari ini, Yomiuri-senpai mengenakan celana jeans denim slim-fit dengan blus
tanpa lengan, rambut panjangnya diikat ke belakang dengan model kepang dua.
Pemilihan bajunya terlihat nyaman dan santai, bahkan tampak menyegarkan
untuk musim sekarang.
“Bukannya kamu datang terlalu cepat?”
“Hal yang sama berlaku padamu, Senpai.”
Bukannya dia mempunyai jadwal kerja yang sama denganku dan Ayase-san?
“Bermalas-malasan terus di rumah bikin aku bosan. Mumpung di sini juga ada
A/C, jadi kupikir aku akan melihat-lihat ke dalam toko dulu sebelum memulai
giliranku.”
“Apa kamu sebosan itu?”
“Itulah artinya menjadi seorang mahasiswa.”
“Bagaimana dengan seminarmu, UKM-mu, dan penelitianmu?” (TN: Unit
Kegiatan Mahasiswa adalah istilah ekskul di perguruan tinggi)
“Ahhhh, aku enggak dengaaaaaarrrrr, aku tidak bisa mendengarmu sama
sekaliiii.”
“Jangan bertingkah seperti anak SD. Ingat umur coba.”
“Ingat pepatah 'Lebih baik terlalu besar daripada terlalu kecil', Kouhai-kun?”
“Logika murahanmu membuatmu terdengar seperti anak SMP.”
“Tak peduli berapa usiaku bertambah, apa yang ada di dalam tidak akan
berubah.”
“Kamu mencoba terdengar pintar, tapi ini cuma upaya setengah-setengah
menghindari pertanyaanku tentang kamu yang malas, kan?”
“Kamu akan mengerti bagaimana perasaanku setelah kamu mulai kuliah,
Kouhai-kun. Mahasiswa perguruan tinggi tidak sedewasa yang kalian kira siswa
SMA.” Yomiuri-senpai mencoba berbicara sendiri sambil tersenyum.
Kredibilitasnya saat mengatakan itu jauh berbeda dari sebelumnya.
“Ngomong-ngomong, di mana adik kecilmu?”
“Entah? Apa dia belum datang? Dia meninggalkan rumah lebih dulu, jadi aku
berasumsi dia akan segera tiba di sini. ”
Selama sebulan terakhir ini, aku dan Ayase-san tidak pernah berangkat kerja
bareng. Dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana kami harus membuat batas
mirip seperti bagaimana hubungan kami di sekolah, dan aku pun setuju.
Bukannya ada hal buruk akan terjadi jika pihak toko mengetahui bahwa kami
bersaudara, dan karena Ayase-san harus menyerahkan lamaran pekerjaannya,
aku cukup yakin manajer toko sudah tahu bahwa kami bersaudara. Dia cuma
tidak menyebarkan informasi ini kepada karyawan lain dari apa yang aku tahu.
Selain itu, aku biasanya berangkat menggunakan sepeda, sedangkan Ayase-san
dengan berjalan, jadi aku harus memperlambat dan dia harus mempercepat
untuk mengimbangi satu sama lain jika kita ingin datang ke sini bersama-sama,
baik aku dan Ayase-san sama-sama menikmati bentuk pertimbangan yang
mencolok seperti ini.
“Tetap saja, aku tidak pernah menyangka kalau adikmu akan bekerja di sini~ Eh,
apa-apaan ekspresimu itu?”
“Yah ... aku sempat mendengar percakapan serupa di rumah.”
Kenapa semua orang berpikir kalau Ayase-san yang bekerja sambilan di toko
buku merupakan hal yang mengejutkan? Saat aku menanyakan pertanyaan ini
pada Yomiuri-senpai, dia memikirkannya sejenak.
“Bukan hal yang aneh melihat seseorang bekerja sambilan di toko buku. Namun,
pernyataan itu cuma berlaku untuk anak SMA yang hanya ingin sedikit bermain-
main. Adikmu itu orang yang rajin dan serius dengan pekerjaannya seperti
dirimu, Kouhai-kun.”
“Mungkin… Oh iya, Senpai, apa kamu punya rencana pergi ke suatu tempat di
musim panas ini?”
“Hmmm? Aku? Tentu saja ada. Aku akan mengenakan baju renang yang seksi
dan menunggu dirayu di pantai.”
Kurasa itulah yang diharapkan dari kemampuan beradaptasinya yang tinggi. Dia
sepertinya sudah menguasai kemampuan untuk berkomunikasi dengan Yomiuri-
senpai. Namun, ada sesuatu yang terasa janggal di hatiku. Apa Ayase-san pernah
melakukan sesuatu seperti ini? Maksudku, bercanda tentang hubungan orang
asing yang tidak terlalu dekat dengannya?
Dengan pemikiran itu yang terus menggangguku, serta masalah ajakan ke kolam
renang, aku mempunyai segudang pertanyaan yang ingin kubicarakan dengan
Ayase-san, jadi aku memutuskan untuk membicarakannya selama bekerja.
Namun, sama seperti sebelumnya, pengunjung hari ini luar biasa ramai.
Saat aku mempunyai sedikit waktu luang, Ayase-san justru sedang sibuk di kasir,
dan ketika aku melipat beberapa sampul buku untuk nanti, Ayase-san malah
pergi untuk memeriksa kondisi rak buku. Bahkan saat jam istirahat tiba dan aku
bertanya 'Apa kamu mendapat tanggapan dari Narasaka-san?' Ayase-san cuma
menggelengkan kepalanya dan meninggalkan ruangan untuk membeli minuman
di luar. Entah kenapa rasanya dia sedang menghindariku.
Waktu pun terus berlalu sampai sudah cukup larut bagi kami untuk pergi. Aku
menyelesaikan persiapanku untuk pulang dan menunggu Ayase-san seperti
biasanya. Namun, orang yang keluar dari ruang ganti justru Yomiuri-senpai.
“Ah, Kouhai-kun. Saki-chan memintaku untuk memberitahumu sesuatu.
Rupanya, dia ingin mampir ke suatu tempat, jadi kamu bisa pulang duluan tanpa
dia.”
“Eh?” Aku mengerjap dengan kebingungan.
Tapi aku tidak mendengar kabar tentang itu, kok? Aku sedikit panik dan
memeriksa ponselku, tetapi aku belum menerima pesan atau email apa pun dari
Ayase-san. Tepat ketika aku dalam keadaan linglung, ponselku bergetar. Aku
panik dan melihat ke bawah ke layar, dan melihat satu baris kalimat di sana.
"Aku mau berbelanja sesuatu, jadi kamu bisa pulang duluan."
Itulah satu-satunya kalimat yang aku terima melalui LINE. 'Baiklah', jawabku.
Bukannya tidak ada toko yang buka setelah jam 10 malam. Mungkin dia membeli
sesuatu yang terlalu canggung untuk dibeli bersamaku? Meski begitu, semua ini
terlalu mendadak sehingga mau tidak mau aku jadi penasaran. Dan sekali lagi,
rasanya dia sedang berusaha menghindariku. Tidak, tidak, tidak. Mana mungkin
begitu, iya ‘kan?
Sambil memikirkan semua ini, aku mengayuh sepedaku dan dengan cepat
mencapai apartemen. Aku sekali lagi diingatkan seberapa cepat aku bisa pulang
ke rumah jika mengendarai sepedaku secara normal. Akan tetapi, saat aku
bertanya pada diriku sendiri apakah aku sangat ingin pulang ke rumah,
jawabannya jelas tidak. Sepertinya aku sudah terbiasa pulang bersama Ayase-san
selama beberapa minggu terakhir.
Aku memarkir sepedaku di tempat biasa dan berjalan memasuki apartemen.
Karena sekarang hari Senin, Ayahku sudah ada di rumah, dan mungkin tengah
tertidur pulas karena Ia harus bangun pagi-pagi besok. Sedangkan Akiko-san, dia
pasti sedang bekerja sekarang. Aku diam-diam menggumamkan salam 'Aku
pulang' supaya tidak membangunkan Ayahku dan menuju ke ruang tamu.
Biasanya, sekarang sudah waktunya Ayase-san akan mulai membuatkan makan
malam untuk kita, tapi... Aku tidak bisa selalu mengandalkannya, ya?
Aku membuka kulkas dan melihat beberapa salad. Selain itu, aku juga melihat
panci kecil yang ditutup dengan bungkus plastik.
“Sup miso, ya?”
Mumpung Ayase-san sebentar lagi juga pulang, aku menyiapkan dua mangkuk
untuk sup miso dan dua lagi untuk nasi, yang masing-masing untuk kami berdua.
Aku mengeluarkan salad, dan berpikir mengenai apa yang harus aku buat untuk
hidangan utama. Ketika aku memeriksa isi freezer dan kulkas lagi, aku
menemukan beberapa bungkus plastik kecil di dalam freezer.
“Apa ini?”
Ketika aku mengeluarkannya, ternyata nasi yang dimasak dengan bahan
tambahan, tetapi dibekukan. Ada nasi berwarna coklat dari kaldu sup, serta
irisan jamur shiitake, wortel, dan bahan lainnya yang tercampur di sana.
“Aku pulang.”
Aku berbalik dan melihat Ayase-san memasuki pintu depan.
“Apa? Ah, makan malam… Maaf, aku akan segera membuatnya.” Ujarnya.
“Ah, jangan khawatir tentang itu. Aku berpikir kalau aku mungkin ingin
melakukannya sendiri hari ini. Omong-omong, apa yang harus kulakukan
dengan ini?” Aku menunjukkan wadah plastik dengan nasi yang dimasak.
Karena aku sudah menjalani sebagian besar hidupku tanpa konsep memasak
nasi, aku tidak pernah tahu untuk apa memasukkan nasi ke dalam freezer.
“Ah, Yah. Aku membuatnya terlebih dahulu, jadi kamu hanya perlu
menghangatkannya di microwave. ”
“…Berapa menit aku perlu menghangatkannya?”
“Itu sudah tertulis di microwave.”
Saat Ayase-san mengatakan itu, aku sebenarnya tidak tahu apa yang dia maksud,
jadi aku memeriksa microwave. Di atasnya, ada waktu yang direkomendasikan
berbeda untuk memasak berbagai jenis makanan yang kamu inginkan.
“Ah, yang ini?”
Di sana terdapat gambar ilustrasi dengan nasi di dalam mangkuk yang di atasnya
bertuliskan 'Hangatkan'. Kami telah menggunakan microwave ini selama lima
tahun, dan aku tidak pernah melihat gambar tersebut. Aku lalu memasukkan
wadah beku ke dalam microwave dan menekan tombol mulai.
“Ah, tunggu. Buka dulu tutupnya.”
“Kenapa?” jawabku dengan nada kebingungan.
“Jika kamu tidak membuka penutupnya, es di dalamnya akan mencair, dan
nasinya akan lengket semua. Aku tidak suka nasi yang seperti itu.”
“Begitu …..ya?”
Aku sebenarnya tidak tahu apa yang dia bicarakan, tetapi jika itu akan membuat
nasinya lebih baik, aku memutuskan untuk menurutinya. Saat aku sedang
memanaskan nasi, Ayase-san menyiapkan sup miso yang dia ambil dari dalam
kulkas. Selain nasi spesial, kami juga mempunyai sup miso tahu dan salad.
Ayase-san juga mengeluarkan beberapa tomat dari kulkas, memotongnya
menjadi potongan-potongan kecil, dan meletakkannya di atas salad.
Kelihatannya cukup mewah rasanya saat melihat warna hijau selada, kol, dan
lobak potong serta warna putih salad yang bercampur dengan warna merah
tomat.
“Kelihatannya sangat sedap dipandang.”
“Saat memasak makanan bertema Jepang, hasilnya selalu terlihat agak
kecoklatan, jadi jika kamu menambahkan tomat atau paprika, warnanya akan
sedikit lebih bervariasi.”
Paprika pada dasarnya ialah buah yang berasa manis dan sedikit pedas dari suku
terong-terongan yang mempunyai warna merah, oranye, dan bahkan kuning atau
hijau. Aku pernah mencari-cari infonya di internet. Apalagi mereka tidak pahit
seperti terong, jadi dengan dicuci sedikit, kamu bahkan bisa memakannya
mentah. Sejak Ayase-san bertanggung jawab untuk bagian memasak di keluarga
kami, semakin banyak hidangan aneh dan ide untuk memasak mulai
bermunculan. Atau mungkin pengetahuan memasakku dan Ayahku sangat
ketinggalan zaman. Tapi, mengesampingkan brokoli atau kembang kol, aku rasa
kalian biasanya takkan menemukan sayur-mayur seperti romanesko[4] atau
sayuran eksotis lainnya.
“Ada banyak penemuan yang terjadi, ya?” Aku mulai merasa menyesal karena
selalu memakan semuanya dan tidak pernah memikirkannya.
“Itu tidak seberapa jika kamu bertanya padaku.”
“Tidak, tidak, aku selalu bersyukur. Sungguh. Aku sudah menyerah untuk
mencari pekerjaan sambilan bergaji tinggi itu, jadi aku merasa bersalah karena
selalu berada di pihak penerima.”
“Aku sudah bersyukur karena kamu mencari beberapa BGM yang bisa
meningkatkan efisiensi belajar. Jadi kita berdua impas.” Ayase-san tersenyum
tenang saat mengucapkan itu.
Cuma di waktu seperti ini rasanya semua suasana canggung dari beberapa hari
terakhir telah hilang. Setelah itu, Ayase-san memasukkan beberapa daun teh ke
dalam teko kecil. Aku melihatnya melakukan ini dan mengeluarkan dua cangkir
teh dari rak peralatan makan, lalu meletakkannya di depan Ayase-san. Setelah
selesai menyeduh teh, dia menuangkannya ke dalam dua cangkir sehingga kami
memiliki sesuatu untuk diminum dengan makan malam kami.
Nasi hangatnya sangat berpadu dengan kaldu sup, dan rasanya enak. Belum lagi,
seperti yang Ayase-san katakan, nasinya tidak terlalu lengket, yang membuatnya
lebih enak.
“Jika masih kurang, kamu bisa menghangatkan satu bungkus lagi dari freezer.”
“Tidak, ini sudah cukup larut. Jadi segini saja sudah cukup.”
Saat melirik jam dinding, aku melihat bahwa sekarang sudah hampir jam 11
malam. Sesudah makan, aku harus mandi dan kemudian pergi tidur. Belum lagi
Ayase-san akan selalu mandi setelah giliranku, jadi semakin lama aku mandi,
semakin lama dia harus tetap terjaga. Namun, kali ini memang makan malam
yang nyaman. Aku merasa ragu sekarang. Rasanya hampir ingin mengakhiri hari
tanpa menuntaskan semua yang telah kita lalui sore ini. Sambil menghela nafas,
aku memaksakan diri untuk berbicara lagi.
“Jadi… tentang masalah kolam renang dengan Narasaka-san.”
“Kita masih membicarakan itu?”
“Maksudku, aku masih belum mendapatkan informasi kontaknya. Jika dia
menunggu jawabanku, jadi kupikir tidak enakan rasanya membuatnya
menunggu. ”
“…Baiklah, aku akan memberitahumu.” Ayase-san terdengar agak kesal. Dia
mengambil smartphone-nya dari atas meja makan dan mulai mencari alamat
kontak Narasaka-san.
“Tunggu.” Aku mengangkat telapak tanganku, memberi isyarat padanya untuk
berhenti.
Ayase-san memasang ekspresi yang agak bingung saat melihatku menyelanya.
“Aku sebenarnya tidak peduli dengan alamat kontak Narasaka-san.”
“…Apa?”
“Atau lebih tepatnya, aku tidak begitu tertarik pergi ke kolam renang bersama
Narasaka-san.”
Ekspresi curiga Ayase-san sekarang berubah menjadi kebingungan. Pada
dasarnya wajahnya seakan menyiratkan 'Apa yang dia bicarakan?' Atau
mungkin aku hanya mengatakan sesuatu yang tidak dia duga. Dan dia tidak
salah, karena aku akan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan apapun
yang dia harapkan untuk kukatakan.
Aku tidak keberatan mengenai Ayase-san tidak ingin pergi ke kolam renang. Dan
jika aku ingin menghormati kebebasan memilihnya, aku harus menunggunya
berubah pikiran. Orang yang dengan sengaja mengabaikan pendapat orang lain
hanyalah orang egois yang diperdaya oleh cerita mereka sendiri. Realitas
bukanlah semacam cerita, itulah sebabnya tindakan semacam ini merupakan
sesuatu yang beracun, sesuatu yang hanya bisa menyakiti orang lain. Aku tahu
itu, tapi bukan berarti aku tidak boleh mengkhawatirkannya.
“Aku ingin pergi ke kolam bersamamu, Ayase-san.”
“Aku tidak paham.” Muka Ayase-san terlihat seperti seolah-olah sedang melihat
alien—atau lebih tepatnya, aku belum pernah bertemu alien, jadi aku tidak tahu
seperti apa mereka—tapi dia menatapku dengan pandangan seperti itu.
Tapi aku mengabaikan hal tersebut dan terus melanjutkan.
“Alasanku mengatakan aku ingin pergi ialah karena kupikir kamu sendiri
mungkin merasa tertarik untuk pergi. Alasanku meminta info kontak Narasaka-
san karena aku berharap kalau kamu akan merasa iri karena cuma aku satu-
satunya orang yang bersenang-senang.”
“Aku?”
“Iya, kamu.”
“Kenapa juga aku merasa iri?” Ayase-san sepertinya tak bisa mengikuti konteks
pembicaraan ini.
Kalau saja ini tumpang tindih dengan perasaan yang belum dia sadari, aku
mungkin bisa sedikit lebih lega.
“Kamu ingin pergi ke kolam, kan?”
Mulut Ayase-san tertutup, dan sepertinya dia sengaja merapatkan bibirnya
supaya tidak ada kata yang bisa keluar.
“Aku mendengarnya dari Akiko-san. kamu benci dengan panas, jadi kamu selalu
meminta es krim, atau memohon padanya untuk mengunjungi kolam renang
bersamanya ketika kamu masih kecil, bukan? Dan bahkan sekarang, kamu tidak
bisa menangani panas dengan baik, ‘kan?”
“Itu…”
“Itu benar, kan? Maksudku, ketika AC ruang tamu rusak, kamu langsung
berdiam diri di kamarmu. Mengetahui bahwa kamu seperti itu, kamu setidaknya
akan sedikit tertarik untuk mengunjungi kolam renang bersama teman-
temanmu, bukan? ”
“Kenapa kamu begitu mati-matian membuatku pergi ke kolam renang?"
“Ingat apa yang dikatakan Ayahku? Setelah kita menjadi anak kelas 3, kita harus
fokus pada ujian masuk universitas, jadi kita perlu bersenang-senang sekarang
selagi bisa.”
“Ya, Ia memang bilang begitu ...”
“Aku paham kalau kamu ingin menjadi mandiri secepat mungkin. Tetapi jika
kamu terus menekan dan memaksakan diri seperti ini setiap hari, kamu akan
pingsan bahkan sebelum mencapai tujuanmu. Aku khawatir tentang itu, oke?”
“Kamu khawatir…?”
“Benar. Aku ingin kamu berhenti sejenak, Ayase-san. Aku pikir akan lebih baik
bila kamu beristirahat sebentar. ”
Aku telah mengatakan semua yang aku ingin kukatakan, jadi yang bisa aku
lakukan hanyalah menunggu tanggapan Ayase-san.
“Kamu tidak bisa ... mengatakan itu dengan pasti.” Tatapan Ayase-san mengarah
ke atas meja, alisnya menyempit ke bawah. “Aku tidak punya waktu untuk pergi
ke kolam renang. Seriusan tidak bisa.”
“Ayase-san…”
Dengan bibir yang terkatup rapat, dia meraih catatan tempel di atas meja, lalu
menuliskan sesuatu yang dia baca dari teleponnya, dan meletakkannya di
depanku dengan kekuatan sedemikian rupa seolah-olah membantingnya di atas
meja.
“Aku mau belajar sekarang.” ujarnya. Dia meletakkan piringnya di wastafel dan
pergi ke kamarnya sendiri.
“Gagal, ya…?” Aku menghela nafas dan menjatuhkan pandanganku ke catatan
yang tergeletak di atas meja.
Di sana tertulis rangkaian nomer yang ditulis tangan, meskipun tidak terlalu
rapi, dengan nama 'Maaya' di bawahnya, jadi ini pasti nomor telepon Narasaka-
san.
“Buat apa aku pergi ke sana sendirian…?” Aku menjatuhkan bahuku dengan
lemas dan kembali ke kamarku setelah selesai mencuci piring.
“Apa kamu ingin sekalian ham juga? Aku merasa kamu selalu menambahkan itu
di roti panggangmu.”
“Aku suka seperti itu, ya.”
“Kamu juga suka yang agak renyah, ‘kan?”
“…Aku suka seperti itu, ya.”
“Aku mengerti. Memang terasa enak seperti itu. ”
Karena kami sudah sepakat, aku mengeluarkan wajan, lalu menuangkan sedikit
minyak di atasnya, dan menyalakan api untuk menggoreng ham dengan lembut.
Suara mendesis terdengar, dan itu membuatku merasa semakin lapar. Mengapa
suara penggorengan yang mendesis membuat perun keroncongan, ya? Aku
meletakkan roti yang berwarna cokelat keemasan di atas piring dan
membawanya ke meja makan. Aku melakukan hal yang sama dengan ham yang
sudah jadi, yang sedikit gosong di sudut-sudutnya, dan menambahkan sedikit
lada hitam di atasnya. Inilah yang selalu dilakukan Ayase-san. Hah? Apa dia
melakukan itu sebelum memanggangnya? Aku tidak tahu. Lalu ada sesuatu yang
terbesit di benakku, dan aku membuka kulkas. Kami masih punya sisa susu.
“Apa kamu ingin susu hangat?”
“Susu hangat dalam cuaca panas begini ...?”
“A/C berfungsi, jadi cukup sejuk di ruangan ini, ‘kan? Jika kamu mau tidur siang
lagi, minum sesuatu yang hangat akan membantu nanti. ” tuturku, dan Ayase-san
hanya terdiam.
“…Kalau begitu, aku akan menanggapi tawaranmu.”
“Oke.”
Aku menuangkan susu ke dalam cangkir, menghangatkannya di microwave, dan
menaruh di depannya. Aku membuat teh untuk diriku sendiri dan
meletakkannya di dekatku. Aku lalu menyatukan kedua tanganku.
“Kalau begitu, ayo makan. Beberapa sayuran yang ditambahkan ke menu
mungkin lebih baik.”
“Ini lebih dari cukup... Terima kasih untuk makanannya.” Gumam Ayase-san.
Dia mengoleskan mentega ke rotinya, dan menambahkan ham di atasnya, lalu
menggigitnya.
Aku pun melakukan hal yang sama. Untuk sementara, kami berdua hanya fokus
menghabiskan sarapan, tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, sepotong
roti itu dimakan dengan cukup cepat, jadi Ayase-san selanjutnya fokus pada
cangkir susu panasnya. Aku melihat cangkirku sendiri yang kosong dan
mempertimbangkan untuk menambah isinya. Sementara aku memikirkan itu,
halaan nafas keluar dari bibir Ayase-san. Dia meletakkan cangkir, yang membuat
suara denting pelan.
“Aku sudah memikirkannya ...” Ungkapnya, dan menyesap susu panasnya lagi,
hampir seolah-olah itu adalah barang istimewa yang dia butuhkan untuk
mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara.
“…Aku tidak keberatan pergi ke kolam renang.” Aku yang sedang mengulurkan
tangan untuk menuangkan segelas teh lagi, tapi tanganku tiba-tiba berhenti di
tengah jalan.
Karena sedikit terkejut, aku menoleh ke arah Ayase-san lagi.
“Kamu tiba-tiba ingin pergi?”
“Baru sekarang. Sebelum tidur, aku sangat menentang ide untuk pergi, tapi…
Tidak, itu tidak benar. Aku jadi goyah.”
“Sampai jam 6 pagi?”
“Sampai jam 6 pagi.”
"Tapi sekarang kamu ingin pergi?”
Ayase-san mengangguk.
“Saat aku bangun pagi ini… aku pikir mungkin tidak ada ruginya juga. Tapi aku
benar-benar tidak bisa mengatakannya.”
Saat mendengarkan penjelasan Ayase-san, aku merasakan semua tenaga
menghilang dari tubuhku. Aku hampir berubah menjadi ubur-ubur di kursiku.
Lagipula aku tidak membutuhkan perkembangan dramatis. Pada akhirnya,
Ayase-san cuma tertidur selama satu malam dan berubah pikiran. Cuma itu saja.
Kurasa ... yang begini jauh lebih realistis. Setidaknya ini masuk akal bagiku. Apa
yang kamu butuhkan pada kenyataan bukanlah seorang pria yang akan
memindahkan gunung, tapi hanya sebuah kejadian kecil seperti itu. Aku pernah
membaca di sebuah buku kalau pemicu terkecil dapat mengubah proses berpikir
mendasar seseorang.
“Tapi ada satu masalah.”
Hah?
“Dan ini masalah sangat penting yang juga melibatkanmu, Asamura-kun.”
“Kamu tidak bisa berenang? Kurasa aku tidak cukup baik untuk mengajarimu.”
“Tidak, aku bisa berenang, oke?”
“Sudah kuduga~”
Aku setengah berharap itu bukan alasannya. Kenyataannya, masalah sebenarnya
jauh lebih serius daripada yang aku perkirakan, dan pasti melibatkanku.
“Karena aku tidak berencana pergi ke kolam pada hari itu, aku jadi punya shift.
Aku pikir kamu juga sama ‘kan, Asamura-kun. ”
“Memangnya tanggal berapa untuk perjalanan kolam renang?”
“Lusa, tanggal 27.”
“Wah… seriusan?”
“Yup, super serius.”
Besok, pada tangggal 26, kami mendapat jatah libur dan shift kami berikutnya
ada pada tanggal 27. Hal ini agak merepotkan. Tepat ketika aku membuat Ayase-
san setuju, kami bahkan tidak bisa pergi ke kolam renang sejak awal. Setelah aku
merenungkannya sebentar, aku mengajukan kepada Ayase-san beberapa cara
untuk mengatasi masalah ini.
“Karena kamu benar-benar ingin pergi, ayo lakukan sesuatu.”
“Apa bisa?”
“Yah, situasi begini sering terjadi, jadi kurasa kita mungkin baik-baik saja.”
“Jadi ini sering terjadi…”
“Ya, kita tinggal meminta perubahan shift. Gampang, ‘kan?” balasku dengan cara
yang seharusnya membuatku terdengar percaya diri.
Meski itu adalah ide yang sederhana, tapi nyatanya sangat sulit untuk
mewujudkannya di kenyataan, dan aku sepenuhnya menyadari hal tersebut.
Waktu terus mengalir hingga berkembang ke titik di mana panas yang mendidih
dan mendesis mulai sedikit mendingin. Lebih tepatnya, sekarang sudah jam 4
sore di Shibuya. Uap panas melayang ke atas dari aspal, Ayase-san dan aku
berjalan bersebelahan saat menuju ke tempat kerja. Kami memutuskan untuk
berangkat kerja lebih awal supaya kami bisa meminta pergantian shift kepada
manajer.
Aku sudah mengungkit hal ini sebelumnya, tapi saat kami bepergian bersama,
kami harus menyesuaikan kecepatan satu sama lain baik dengan sepeda atau
dengan berjalan kaki. Tentu saja, baik Ayase-san maupun aku tidak senang
menunjukkan pertimbangan seperti itu, tapi sekarang kami punya alasan yang
tepat mengenai hal tersebut. Meski aku tidak pernah menyangka kalau kami
akan berangkat bekerja bersama karena alasan seperti itu.
“Langitnya semakin berawan, ya? Untunglah.” Ayase-san mendongak ke atas
langit saat bergumam pada dirinya sendiri.
Seperti yang dia katakan, sebagian langit ditutupi awan tebal. Lagian, masih ada
langit biru yang terlihat, jadi belum menjadi lebih gelap atau apa, tapi setidaknya
suhunya sedikit mendingin. Rasanya jadi sedikit lebih nyaman berada di luar
berkat awan itu. Setelah Ayase-san mendongak ke langit sambil menutupi
setengah wajahnya dengan tangan, dia menyesuaikan tas yang ada di bahunya.
Tas yang dibawanya cukup besar, tapi itu berisi seragam yang dia bawa pulang
setiap hari.
Hari ini, Ayase-san menunjukkan kesan yang berbeda dari biasanya. Dia
mengenakan atasan berwarna cerah yang berlengan sedang dan berkerah, model
baju yang tidak menunjukkan banyak kulit sama sekali. Tempat yang biasanya
mengenakan dasi, diganti dengan sesuatu seperti pita kecil. Menurut Ayase-san,
cara berpakaian seperti ini tidak memiliki banyak kerusakan serangan, tapi
setidaknya bisa meningkatkan pertahanan. Jagalah sopan santunmu saat
mencoba negosiasi. Mungkin karena apa yang kukatakan membuatnya memakai
pakaian ini.
Yah, dia memang memberi kesan bahwa dia bisa diandalkan dan pekerja keras.
Namun, dia masih memasang tindikan di telinganya, hampir seperti sengat lebah
madu yang berusaha memperingatkan siapa saja yang berani menyerang, yang
mana hal tersebut sangat menggambarkan kepribadian Ayase-san. Ditambah,
aku merasa pakaiannya akan menjadi sangat panas sekarang.
“Apa kamu tidak merasa panas berpakaian seperti itu? Kamu takkan terkena
sengatan panas, kan? ”
“Cuacanya jadi makin berawan, jadi aku baik-baik saja.”
“Apa kamu sudah tidur?”
“Tentu saja. Dua jam penuh.”
Aku merasa itu masih belum cukup, tetapi mengorek masalah itu lebih jauh
takkan memberikan manfaat sama sekali, dan itu akan membuatnya tampak
seperti aku memperlakukan Ayase-san seperti anak kecil. Bukannya aku ingin dia
kembali menjadi anak kecil. Saat aku memikirkan itu, percakapan kami berakhir,
dan tidak ada lagi yang benar-benar perlu dibicarakan, jadi kami berdua berjalan
berdampingan dalam keheningan.
Kebisingan dari mobil-mobil yang terjebak macet, dan truk-truk yang berkeliling
kota memutar iklan dengan volume yang cukup keras untuk mengganggu
lingkungan sekitar, aku sekali lagi menyadari bahwa ini memang daerah Shibuya.
Seakan menunggu perubahan suasana, Ayase-san tiba-tiba angkat bicara.
“Maaf soal kemarin.”
“Mengenai masalah kolam renang?”
“Ada itu juga, tapi ini mengenai hal lain. Saat kamu datang bekerja dengan
Yomiuri-senpai, aku mungkin mengatakan sesuatu yang kasar.”
“Ah…”
Percakapan mereka waktu itu memang terasa agak aneh, sih. Dia menyebutkan,
sebagai sebuah keluarga, dia merasa lega jika aku sedekat itu dengan Yomiuri-
senpai, dan meskipun orang tersebut menertawakannya sebagai lelucon, aku
memang merasa kalau perkataannya ini bukan gaya Ayase-san yang biasa. . Saat
sepasang pria dan wanita berjalan-jalan di luar bersama, mereka biasanya
dianggap sebagai orang pacaran. Stereotip semacam ini mungkin muncul di
kepalamu, tetapi sebenarnya bukan sesuatu untuk diarahkan pada orang lain,
yang mungkin merupakan proses berpikirnya.
“Ini bertentangan dengan janji kita untuk menyembunyikan perasaan ini, kan?
Tidak apa-apa, aku bisa mengungkapkan itu, pasti. ” Ayase-san hampir terdengar
seolah-olah ingin mengatakan kalimat itu pada dirinya sendiri, dan melanjutkan
dengan nada gelisah. “Jikapun ada, aku ingin kamu jujur jika kamu memang
berpacaran dengannya.”
“Begitu ya. Kenapa?”
“Aku tidak tahu ... Biarkan aku berhenti di situ.”
Aku pikir itu terdengar aneh. Rasanya dia tahu, tapi tidak bisa menjawab.
Pertama, dia mengorek hubunganku dengan Yomiuri-senpai, dan sekarang dia
bahkan tidak mau menatap mataku. Kedua, hal ini mempunyai makna tersirat
sampai-sampai membuat jantungku berdetak lebih keras seolah-olah aku
mengharapkan sesuatu.
—Mengharapkan sesuatu? Sadar diri, Asamura Yuuta.
Aku memaksa hatiku yang berdebar kencang untuk tenang dan dengan hati-hati
menunggu apa yang akan dikatakan Ayase-san selanjutnya.
“Setelah bekerja sama dengannya, aku menyadari betapa baiknya dia.”
“Ya kamu benar.”
“Dia baik, perhatian, dan cantik. Dia pintar dan tahu segalanya, kita bahkan tidak
akan bosan berbicara dengannya karena humornya yang unik.”
“Meski dia sedikit pemalas. Dan kamu tidak bisa melupakan candaan joroknya.”
“Itu bukan kekurangan, kamu bisa menyebutnya pesona, oke? …Yah, mungkin
aku hanya belum terlalu akrab dengannya. Lagi pula, kamu sendiri sudah bekerja
dengannya lebih lama daripada aku. Kenapa juga aku mengadakan presentasi
tentang Yomiuri-san?” Ayase-san membuat senyum masam.
Aku ingin menanyakan hal yang sama. Apa yang ingin dia coba katakan?
“Aku hanya berpikir kalau dia tidak terlalu buruk sebagai ‘Nee-san’, tahu. Aku
seharusnya tidak mengatakan sesuatu yang akan membatasi kebebasanmu, jadi
aku minta maaf.” Ayase-san menjelaskan reaksi anehnya dari kemarin.
Rasannya seperti dia sudah menyiapkan catatan sebelumnya dari apa yang ingin
dia bicarakan, dan baru saja membacanya kata demi kata dari memori di dalam
otaknya. Hei, apa itu perasaanmu yang sebenarnya? Keraguan semacam itu
memenuhi kepalaku, tapi aku mengabaikannya. Dia mengatakan bahwa dia akan
menjelaskan dengan tepat perasaan tidak yakin dan samar-samar yang dia miliki,
dan telah mengungkapkannya dengan gamblang. Jika aku meragukan bagian
mana pun dari itu dan menganggap bahwa ada kebohongan yang tercampur di
dalam ucapannya, hal itu akan menghancurkan seluruh premis hubungan kami.
Jadi, satu-satunya tanggapanku yang seharusnya ialah mengangguk.
“Oke, tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf lagi.”
“Baiklah.”
Masalah ini sudah tuntas. Kami akan melupakan kejadian ini dan
membiarkannya berlalu. Inilah hubungan kami, hubungan yang paling nyaman
bagi Ayase-san dan diriku. Namun, untuk beberapa alasan yang tidak bisa
kujelaskan, rasanya seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku,
meninggalkan rasa pahit dan tidak nyaman yang tidak bisa dijelaskan dengan
pasti.
Saat kami mendekati stasiun kereta, jumlah orang di sekitar kami makin
bertambah. Meski belum waktunya bagi pegawai untuk keluar dari kantor
mereka, ada pria yang mengenakan dasi dan jas, dan suara sepatu hak tinggi di
mana-mana. Bahkan ada beberapa siswa yang bercampur dalam kerumunan
tersebut. Aku menyadari sesuatu saat memarkirkan sepedaku di tempat parkir.
Aku mendecakkan lidahku, dan Ayase-san menatapku dengan kaget.
“Apa ada yang salah?”
“Katakan, Ayase-san.”
“Apa?”
“Kalau kita pulang bersama juga, kenapa aku malah membawa sepedaku?”
Kenapa aku tidak meninggalkannya di rumah jika kami pulang pergi bersama?
“Eh?” Ayase-san menatapku seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang
aneh. "Karena kamu punya alasan untuk melakukannya, kan?"
“Tidak, tidak sama sekali. Ini cuma karena kebiasaan.”
“Y-Yah, itu sering terjadi dari waktu ke waktu… Pfft.”
“Kebiasaan memang hal yang menakutkan, ya?”
“Aku akan membiarkannya begitu saja.”
Wajahnya tersenyum riang. Dia menertawakan keteledoranku. Yah ... belakangan
ini, dia selalu sedikit tegang, jadi aku lebih suka dia tersenyum melihat
keteledoranku ketimbang tidak sama sekali. Pokoknya, aku memarkir sepedaku
di tempat parker biasa, lalu berjalan kembali ke tempat Ayase-san menungguku,
dan memasuki area karyawan. Di sana, kami bertemu dengan senior kami dan
bertanya keberadaan manajer toko. Ketika kami membuka pintu kantor, manajer
toko sedang duduk di sisi jendela ruangan, di sejumlah meja yang membentuk
sebuah pulau.
“Oh… Asamura-kun dan Asamura-san… Ah, bukan, Ayase-san, ‘kan? Halo, kalian
berdua.”
Aku tidak bisa menyalahkannya karena menyebut nama yang salah. Di daftar
keluarga kami dan di atas kertas, nama asli Ayase-san sekarang adalah Asamura
Saki. Orang tua kami menikah secara legal, dan hanya memasukkan nama
mereka di daftar keluarga, itulah sebabnya seluruh keluarga kami bernama
Asamura sekarang. Namun, di sekolah maupun di tempat kerja, di mana
kenyamanan menuntutnya, Ayase-san menggunakan nama keluarga lamanya. Ini
juga bukannya keluarga kami adalah sesuatu yang istimewa. Dalam pernikahan
kembali zaman sekarang , baik daftar nama, nama keluarga, dan bahkan akun
email orang dewasa yang digunakan tetap sama demi kenyamanan dan
kepraktisan, atau begitulah yang pernah aku dengar.
Bagi Ayase-san, pekerjaan ini adalah tempat dengan hubungan baru untuk
terbentuk, jadi dia mempertimbangkan untuk menyebut dirinya 'Asamura Saki,'
tapi dia tampaknya tidak ingin menerima perlakuan khusus apapun karena dia
adalah adik perempuanku, atau semacamnya. . Pada akhirnya, dia mulai bekerja
dengan nama 'Ayase.' Karena aku selalu memanggilnya 'Ayase-san,' tidak ada
karyawan lain yang mengetahui hal ini.
“Selamat sore, pak. Saya minta maaf karena sudah mengganggu waktu anda
sebentar ...”
“Hm?”
Menyadari bahwa kami tidak mengakhiri percakapan hanya dengan salam,
manajer toko mengangkat kepalanya. Meski beliau baru berusia akhir tiga
puluhan, Ia berhasil menitih karir menjadi manajer toko, yang menunjukkan
keahliannya yang tersembunyi di balik kebaikannya.
“Ada apa?”
“Maafkan saya karena mendadak memberitahu anda hal ini… Sebenarnya kami
berdua, Saya dan Ayase-san, mempunyai hari libur besok tanggal 26, dan
memiliki giliran kerja lusa pada tanggal 27, tapi kami ingin bertanya apakah kami
bisa mengganti shift tersebut.”
“Mengganti shift…? Itu memang mendadak. Apa ada sesuatu terjadi?”
“Um.”
Jika kami menyampaikan kebohongan yang setengah-setengah, itu hanya akan
mempertaruhkan segalanya, dan aku benar-benar tidak ingin kehilangan
pekerjaan ini. Hal yang terpenting adalah kami tidak berbohong, tetapi kami juga
tidak menjelaskan semuanya. Itu sebabnya aku mengatakannya dengan kalimat
ini.
“Ada teman yang mendadak mengajak kami ke suatu tempat.”
Manajer toko tahu bahwa aku dan Ayase-san berasal dari sekolah yang sama. Itu
sebabnya kami memberi tahu beliau kalau ada teman yang mengundang kami.
Narasaka-san mungkin lebih dekat dengan Ayase-san, tapi dia juga
memperlakukanku seperti temannya, atau itulah setidaknya kesan yang aku
dapatkan dari interaksi kami. Ayase-san lalu menimpali.
“Kemarin, dia baru kembali dari perjalanan.”
Pernyataan itu juga bukan bohong. Narasaka-san memang baru saja kembali dari
perjalanan kemarin. Itu sebabnya mengapa dia tidak mencoba menghubungiku
sampai sekarang. Masuk akal. Dia takkan menghubungi sembarang cowok
seperti aku ketika dia sedang menikmati liburannya. Tapi dia memang
memberitahu Ayase-san tentang itu. Namun, kenyataan kalau
itu “mendadak” tidak sepenuhnya benar. Ayase-san sudah tahu tentang ini untuk
sementara waktu, tapi tidak dengaku. Itu sebabnya aku menyebutkan itu,
sedangkan Ayase-san mengomentari seluruh perjalanan.
Bahkan tanpa berbohong, Kamu dapat menyembunyikan kebenaran dengan cara
tertentu. Meski rasanya tidak nyaman menggunakan metode negosiasi semacam
ini. Di sinilah hal-hal penting, jadi kita harus mengerahkan semua yang kita
miliki.
“Saya memahami bahwa ini permintaan egois, tapi apa ada kemungkinan bahwa
kami bisa berganti shift?” Aku membungkuk dalam-dalam, dan Ayase-san
mengikuti gerakanku.
“Hmm, beri aku waktu sebentar.” ujar manajer toko, mengetik di komputernya.
Dia pasti sedang melihat jadwal shift sekarang.
“Kalian berdua, ya…?”
Saat Ia menggumamkan itu, aku melirik ke ekspresi Ayase-san yang penuh
dengan kekhawatiran. Sekarang, bagaimana hasilnya? Jika Ia menolak
permintaan kami, maka kami harus memikirkan sesuatu yang lain. Tentu saja,
kami tidak bisa begitu saja tidak setuju atau bolos kerja, tapi aku juga tidak ingin
memaksakan negosiasi dan merusak hubungan baik yang sudah terjalin.
“Tanggal 27 adalah hari Kamis, ‘kan?” tanya manajer toko. Ia lalu mengangkat
telepon dan menelepon seseorang.
Pasti ada karyawan lain yang menjadi kandidat untuk menukar shift mereka
dengan kami. Setelah bertukar beberapa kata, Ia menutup telepon. Kejadian
tersebut terjadi dua kali.
“Seharusnya baik-baik saja. Kedua orang yang bekerja besok adalah veteran yang
tidak keberatan dengan pergantian shift, jadi mengganti shift dengan kalian
berdua harusnya tidak masalah. ”
“Benarkah!?”
“Ya.” Manajer toko melanjutkan sambil tersenyum. “Oleh karena itu, aku
berharap kalian bekerja penuh semangat besok.”
Hal ini merupakan contoh sempurna dari permen dan cambuk*. Yah, mana
mungkin anak SMA bisa menang melawan orang dewasa. Mungkin dia langsung
mengetahui alasan kami. Namun, hal itu tidak masalah selama kami berdua bisa
pergi ke kolam renang hari itu. Negosiasi ini sudah cukup sukses bagi kami.
Untuk saat ini, kami berterima kasih kepada manajer toko. (TN : Perumpaan
untuk menggambarkan hadiah dan hukuman)
“Ya, kami akan melakukan yang terbaik!”
“Y-Ya, kami akan melakukan terbaik!”
Kami berdua menundukkan kepala dalam-dalam dan melangkah keluar dari
kantor. Setelah menutup pintu, Ayase-san menghela nafas.
“Syukurlah.”
“Senang karena semuanya berhasil, ‘kan?”
“Kurasa kejadian tadi merupakan momen yang paling menggugupkan sepanjang
hidupku.”
“Aku benar-benar meragukan itu.”
Kami berganti seragam dan memulai pekerjaan kami. Hari ini, tugas kami hanya
meletakkan buku-buku yang baru dikirim ke dalam rak buku. Sembari membawa
troli, kami berjalan di sekitar deretan rak buku.
“Ayase-san, selanjutnya… Di sana. Ini buku teknis.”
“Dimengerti, Asamura-san.” balasnya, dia lalu mengambil beberapa buku dari
kotak kardus di troli dan berjalan ke depan ke rak berikutnya, karena mendorong
troli ke sana hanya akan membuang-buang waktu.
Dia meletakkan buku-buku itu ke dalam ruang kosong rak buku dan aku
menarik troli setelahnya beberapa saat kemudian. Setelah itu, aku
membantunya.
“Menghemat waktu seperti ini sangat bagus.”
“Kamu bahkan lebih menakjubkan, Asamura-san. Mengetahui lokasi rak sangat
membantu efisiensi kita secara keseluruhan.”
“Aku tidak ingat di mana semuanya atau semacamnya.”
Kebetulan buku yang baru tiba hari ini merupakan genre yang aku minati, itulah
sebabnya aku tahu sekilas dari rak mana mereka berasal. Ini cuma kebetulan
semata, tidak lebih. Pada akhirnya, isi kotak kardus akhirnya kosong 15 menit
lebih cepat dari yang kami perkirakan.
“Baiklah, kalau begitu mari beristirahat.”
“Ya.”
Kami mengembalikan troli ke penyimpanan belakang dan kemudian menuju ke
ruang istirahat bersama. Kami menuangkan teh dingin ke dalam dua gelas plastik
dan duduk.
“Nee, Asamura-kun.” Ayase-san tiba-tiba membuka bibirnya.
Karena cuma ada kami berdua di ruang istirahat, dia kembali memanggilku
dengan panggilan biasa. Setelah meneguk isi cangkirnya, dia berdiri untuk
mengisi lagi. Dia menghela nafas, dan melanjutkan.
“Ini bukannya kamu tidak punya teman, tapi melainkan kamu tidak mencoba
untuk berteman, ‘kan?”
“Aku tidak secara aktif menghindarinya atau semacamnya.”
“Tapi apa kamu menyadari hal itu? Iya, ‘kan?”
“Ya, aku cuma tidak terlalu peduli saja.”
“Jadi begitu ya.”
“Yah, kamu tidak salah. Bukannya aku putus asa mencari teman.”
Bukannya aku tidak menginginkannya, aku cuma tidak secara aktif mencarinya.
“Jujur saja, aku tidak pernah menyangka kalau kita bisa mengganti shift dengan
begitu mudah… Tidak, bukan itu. Aku hanya takut bernegosiasi untuk itu. Karena
aku tidak mau, aku secara tidak sadar membuat diriku berpikir bahwa itu
mustahil.”
“Aku hanya terbiasa. Aku sudah berganti shift beberapa kali sebelumnya. ”
“Bukannya itu menunjukkan kalau kamu mempunyai lebih banyak pengalaman
dalam komunikasi daripada diriku?”
Aku tidak pernah berpikir seperti itu.
“…Kurasa ada benarnya juga.”
“Saat kita memasuki toko buku hari ini, kamu langsung bertanya kepada senior
di mana keberadaan manajer toko, dan bahkan saat sedang bernegosiasi
dengannya, kamu selalu tegas dan percaya diri, serta mengatakan dengan tepat
apa yang kamu inginkan dan butuhkan… Jadi kupikir kamu tidak terlihat seperti
seseorang yang kurang dalam kemampuan berkomunikasi.”
“Kamu cuma melebih-lebihkanku.”
Aku bukannya terampil atau semacamnya. Kebetulan saja aku bekerja di sini
cukup lama sehingga aku bisa berbicara dengan semua orang dengan cukup
mudah.
“Saat ada yang mengharapkan ketulusan darimu, itu jauh lebih mudah. Itulah
alasan kenapa kamu berpikir kalau itu semacam keterampilan komunikasi yang
hebat. ”
“Aku tidak bisa melakukan itu.”
“Kamu bisa. Setelah terbiasa dengan pekerjaan semacam ini, kamu pasti bisa.
Ditambah lagi, kamu sudah melakukan banyak hal. Dari sudut pandangku, jauh
lebih sulit untuk dapat menikmati persahabatan di mana tidak ada aturan
konkret dan bersama. Aku… aku tidak pandaii dalam hal itu sama sekali. Jadi
bagiku, kamu jauh lebih terampil dalam berkomunikasi ketimbang diriku, Ayase-
san. ”
“…Itu tidak benar…”
Tapi itu benar. Dia mungkin tidak mengatakannya dengan keras, tapi alasan dia
menemukan tempatnya dengan mudah di keluarga karena dia menetapkan
aturan denganku sejak awal. Sekarang dia akhirnya merasa termotivasi untuk
pergi ke kolam renang, aku pasti tidak bisa mengatakan ini padanya, tapi akulah
yang jauh lebih cemas sekarang. Lagipula, kita pergi ke kolam renang. Bersama-
sama. Sejujurnya, aku mungkin bisa melakukan percakapan yang baik dengan
Ayase-san, dan mungkin Narasaka-san, tapi aku tidak memiliki kepercayaan diri
bahwa aku bisa bersenang-senang dengan teman sekelas kami yang lain. Meski
hari dimana aku akan melakukannya semakin dekat.
“…Hah?”
Saat aku melihatnya, rasanya seperti aku mendadak terbangun dari sesuatu. Aku
tidah tahu kenapa. Rasanya benar-benar alami, namun juga terlalu mendadak.
Emosi tertentu mulai memenuhi isi hatiku.
Ah, Aku menyukainya.
Aku membentuk perkataan ini secara mental, dan baru setelah itu aku
menemukan diriku terkejut dengan emosi yang tiba-tiba muncul di dalam diriku.
Meski ada banyak kesempatan dan situasi bagiku untuk menyadari perasaan ini,
itu terjadi karena gerakan sepele yang sudah kulihat berkali-kali sebelumnya. Dia
hanya meletakkan tangannya di atas kepalanya dan meregangkan. Cuma itu
saja. (TN : Dasar fetish ketek :’v liat ketek aja hatinya langsung luluh)
Aku tidak sedang ditembak, dan kami tidak melalui situasi mengancam yang
akan menyebabkan efek jembatan gantung. Selama ini, aku hanya mendengar
dan mengalami cerita tentang jatuh cinta dengan seseorang atau menembak
seseorang dari sudut pandang orang luar, tetapi sekarang aku telah menemukan
diriku berada dalam situasi seperti itu.
Sejujurnya, aku buruk dalam berurusan dengan lawan jenis. Setelah melihat
Ayah dan Ibuku berinteraksi sejak aku masih kecil, aku mulai berpikir bahwa
pernikahan takkan pernah membawa kebahagiaan sama sekali, dan tidak
menyukai hubungan yang seperti itu. Jika kamu tetap diam tanpa membuat
asumsi, lamu akan mendapat keluhan, dan jika kamu tidak bersikap jujur seperti
pria jantan, kamu akan dianggap tidak berguna. Tapi jika kamu mencoba
mempertimbangkan perasaan orang lain, kamu takkan dianggap jantan, dan itu
juga akan membuat mereka merasa tidak senang. Pada akhirnya, pacarmu akan
selingkuh dengan pria lain yang memiliki lebih banyak uang dan lebih jantan
darimu.
Semua ini aku tafsirkan sebagai awal dan akhir dari hubungan antara pria dan
wanita, itulah sebabnya aku tidak pernah memiliki pengalaman dengan cinta,
dan juga tidak berusaha untuk merasakannya. Jadi, untuk alasan apa harus
orang ini? Kenapa? Penjelasan macam apa yang ada?
Perubahan yang terjadi di dalam diriku terjadi terlalu cepat, terlalu nyata, dan
membuatku bingung. Aku tidak mengerti. Sejujurnya, emosi semacam ini adalah
sesuatu yang luar biasa dan mengagumkan, pastinya. Aku tidak pernah berpikir
akan sesederhana ini, sesuatu yang akan memberiku kelegaan dalam satu saat,
namun sesuatu yang begitu sementara. Begitu melihat Ayase-san pergi, saat air
di tubuhnya berkilau lebih dari sebelumnya, aku berpikir dalam hati.
Dia adik perempuanku. Tapi dia Ayase-san. Dia itu adik tiriku.
*****
Setelah jam 4 sore, kami mulai bersiap-siap untuk pulang. Saat berganti pakaian
di ruang ganti pria, aku menyadari betapa letihnya badanku ini. Rasanya panas,
seperti terbakar dan berat. Tipe kelesuan yang biasa aku rasakan setelah
pelajaran renang di sekolah.
Grup cowok lebih cepat berkumpul di pintu keluar kolam. Yah, secara logis,
gadis-gadis biasanya akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengeringkan
rambut dan berganti pakaian, jadi aku tidak bisa komplain. Sekitar jam 5 sore
ketika bus tiba, kami mengucapkan selamat tinggal pada kolam renang. Sama
seperti perjalanan kami ke sini, kami membutuhkan waktu 30 menit
menggunakan bus untuk pulang, dan 30 menit lagi dengan kereta api. Kami
berbicara lebih banyak dibandingkan saat awal keberangkatan, mungkin karena
kami sudah lebih akrab sepanjang hari. Kami berhasil kembali ke Shinjuku
sekitar pukul 6 sore.
Setelah melewati gerbang tiket, kami bisa melihat langit senja yang merona.
Meski masih berwarna merah terang, matahari sudah mulai tenggelam ke arah
Barat. Melihat gedung-gedung tinggi yang diwarnai oleh langit malam benar-
benar mengingatkanku bahwa kami sudah kembali ke kota besar.
“Ahhh, rasanya menyenangkan!”
“Kamu sepertinya masih punya banyak tenaga lebih, Maaya.”
"Aku terlalu lapar untuk melakukan hal lain!” Narasaka-san dengan lembut
mengusap perutnya sebagai tanggapan atas jawaban gadis itu, dan semua orang
mulai tertawa.
Setelah itu, orang-orang berpencar untuk naik bus, Japan Railways, kereta api
swasta, bahkan sepeda. Ayase-san dan aku harus naik kereta kembali ke stasiun
Shibuya dan kemudian berjalan pulang dengan diriku yang menuntun sepeda.
Karena kami pulang ke tempat yang sama, kami memutuskan untuk pergi
bersama. Tidak ada yang akan curiga jika kami pergi bersama ke stasiun kereta
Shibuya.
“Kalau begitu sampai jumpa di sekolah!”
Kami akan berpisah, lalu…
“Ah, Asamura-kun! Tungghyu shebentar!”
“Bahasa macam apa itu?”
Narasaka-san memberi isyarat padaku, berlari mendekatiku.
“Aku hanya ingin tahu apa kita bisa bertukar kontak LINE. Apa itu tidak apa
apa?”
Ketika aku mendengar pertanyaan itu, aku melirik Ayase-san. Dia segera
memalingkan tatapannya, tapi dia tidak memelototiku atau semacamnya. Yah,
karena kita berada di angkatan yang sama, kurasa baik-baik saja.
“Tentu.”
Kami bertukar kontak LINE, dan aku merasa ingin mengatakan sesuatu yang
sudah menggangguku sedari tadi.
“Ngomong-ngomong, Narasaka-san, kerja bagus untuk seluruh rencana hari ini.”
"Hmmm? Ayolah, kamu boleh memanggilku 'Maaya-chan', oke!”
“Kita tidak sedekat itu.”
“Kita tidak dekat?! Padahal kita berdua adalah teman baik yang pergi ke kolam
renang bersama!”
Logika nyeleneh macam itu sangat tidak masuk akal.
“Oh, ngomong-ngomong, kamu melakukan tugas yang luar biasa dengan seluruh
rencana hari ini. Berkat kamu yang memamerkan semua wahana terlebih dahulu,
kita mempunyai sesuatu untuk dibicarakan saat makan malam. Meski rasanya
sangat disayangkan kita tidak bisa melakukan semua minigame yang kamu
pikirkan.”
“Ahhh,” Narasaka-san menggaruk bagian belakang kepalanya, dan menunjukkan
senyum malu-malu. “Mm. Yah, karena waktunya sudah mepet, jadi mau
bagaimana lagi.”
“Tapi berkat itu, aku bersenang-senang, jadi terima kasih banyak.”
“Ya ampun, meski kamu memujiku seperti itu, kamu tidak mendapatkan apa-
apa, oke?"
“Aku tidak melakukan ini demi mendapatkan imbalan, aku cuma ingin berterima
kasih padamu. Cuma itu saja.”
“Yah, aku senang~ Ahaha, aku tidak menyangka kamu merasa seperti itu, tapi
aku senang kamu tahu dan menyadarinya.”
“Ya, aku mengerti.”
Kamu menjadi senang jika ada orang melihat perbuatanmu dan memahami niat
baikmu di balik perbuatan tersebut. Aku memiliki pengalaman serupa belum
lama ini.
“Kalau begitu sampai jumpa lagi! Kamu juga, Saki! Aku akan mengirimimu
LINE nanti!”
“Ya, ya.”
Mereka berdua saling melambaikan tangan, dan Narasaka-san secara berkala
berbalik untuk tersenyum pada kami.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
“Ya, aku tidak menunggu lama.”
Kami melewati gerbang tiket dan mensiki kerets untuk pulang ke Shibuya. Pada
akhirnya, Ayase-san dan aku tetap diam selama hampir seluruh perjalanan
kereta. Setelah meninggalkan stasiun kereta di Shibuya, kami berjalan pulang
menuju apartemen kami. Aku menuntun sepedaku seperti biasa, yang sudah aku
ambil dari tempat parkir, seraya berjalan di sebelah Ayase-san. Saat itulah langit
jingga perlahan mulai berubah menjadi biru tua. Meski lingkungan sekitar kami
mulai berubah menjadi lebih gelap, lampu-lampu gedung membuat semuanya
tetap terang. Rasanya seperti senja atau fajar.
Di zaman modern, menggunakan istilah 'senja' atau 'temaram' mungkin akan
menjadi lebih umum. Akan tetapi, secara pribadi aku lebih menyukai 'fajar', dan
gagasan tentang makhluk hidup yang bukan makhluk hidup berjalan di jalanan
lebih dari itu. Aku pikir cara lain untuk menggambarkannya ialah “Jam Setan”—
saat-saat dimana ada kemungkinan besar kamu akan bertemu dengan hal-hal
supranatural. Hal ini merupakan jenis ungkapan yang membuatmu khawatir jika
orang di sebelahmu benar-benar orang yang asli atau bukan, dan kamu mulai
kehilangan sensasi pada kenyataan—
“Kamu jadi lumayan dekat dengan Maaya, ya?” Ayase-san tiba-tiba angkat bicara,
menarik pikiranku kembali ke kenyataan.
“Ahh, yah. Lagipula aku ingin berterima kasih padanya karena sudah
mengundangku.”
“Makasih.”
“Eh?”
“Kami berteman, jadi aku senang kamu memujinya seperti itu.”
Tentu saja, dia pasti sudah mendengar apa yang kukatakan saat itu. Bukannya itu
sesuatu yang merepotkan, tapi hal itu membuatku merasa sedikit berkonflik di
dalam batinku.
“Tapi, yang lebih penting, apa kamu bersenang-senang?”
“Berkat kamu, yeah.” kata Ayase-san. Dia dengan lembut menundukkan
kepalanya ke arahku, lalu diam-diam melanjutkan. “Berenang di kolam terasa
menyenangkan.” Dia menatapku. “Sekarang aku jadi merasa segar setelah
berenang sepuasnya. Aku senang aku melakukan apa yang kamu katakan. ”
Senyum tipis muncul di wajahnya.
Saat melihat ekspresinya itu, aku jadi teringat emosi yang mulai tumbuh di
dalam diriku, perasaan yang tidak bisa aku katakan dengan lantang. Perasaan
yang mungkin bisa kamu definisikan sebagai kasih sayang romantis telah
tertanam jauh di dalam hatiku seperti sebuah benih… setidaknya, aku mulai
menyadari pesonanya sebagai seorang wanita, yang sekarang membuatku
tersiksa tentang apa yang harus dilakukan atau kukatakan selanjutnya.
Menatap Ayase-san dalam pandangan romantis seperti itu sama saja dengan
merusak kepercayaannya, jadi jika aku berterus terang dengan emosi ini, aku
pasti cuma merepotkannya. Namun, di saat yang sama, rasanya Ayase-san juga
memikirkanku dengan cara yang sama. Apa pilihan yang tepat di sini?
Saat aku mulai tersesat dalam labirin perasaanku sendiri, aku mulai berbicara
lebih sedikit dalam percakapanku dengan Ayase-san, dan keheningan ini juga
menyelimutinya, dan dia berhenti berbicara sama sekali. Suara derit roda
sepedaku yang berputar dan suara langkah kaki kami yang berirama merupakan
satu-satunya suara yang terdengar.
Aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku hanya bisa melihat ke permukaan tanah.
Aku bahkan tidak tahu ke arah mana Ayase-san melihat. Aku merasa jantungku
berdetak lebih cepat dan lebih keras. Maksudku, itu masuk akal. Aku sedang
berjalan pulang bersama seorang gadis cantik seperti dirinya di senja hari begini.
Tidak, bukan itu. Bulan lalu aku pergi menonton film bersama Yomiuri-
senpai. Saat itu, aku juga merasa gugup, tapi aku dapat menyebutnya berbeda
dari apa yang aku rasakan sekarang. Karena kejadiannya terjadi tidak terlalu
lama, aku dapat membedakan perasaanku dalam dua peristiwa tersebut. Namun,
jika seseorang bertanya kepadaku apanya yang berbeda… dan aku tahu bahwa ini
adalah kisah menyedihkan sampai-sampai membuatku ingin menutupi
wajahku… tapi aku tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata.
Naluriku mengatakan kalau ada yang berbeda, tapi bagian mana dari prosesnya
yang berbeda adalah pertanyaan yang terlalu sulit untuk kujawab. Rasanya
hampir seperti perasaanku berada di dalam kotak hitam, mustahil untuk dibuka.
Terlepas dari kenyataan kalau ini perasaanku sendiri, aku justru gagal untuk
memahaminya.
Sambil melamun, aku menatap ban sepeda yang bergerak di sepanjang aspal
dengan ritme yang stabil, dan bayangan yang mereka tinggalkan tumbuh lebih
panjang dan lebih tebal. Sat mendongak ke atas langit, malam telah tiba. Tepat
ketika aku memikirkan betapa singkatnya waktu senja, kalimat lain muncul di
benakku—Ahh, bulan malam ini terlihat indah. (TN : Tsuki ga kirei desu ne,
Ada yang bilang kalau kalimat itu merupakan cara puitis untuk menyatakan
“Aku mencintaimu” , awal mulanya berasal dari novel sastra karangan
penulis terkenal Osamu Dazai. Tapi ada juga yang bilang bukan. CMIIW)
“Asamura-kun, kamu benar-benar pandai menemukan sisi baik dari orang.”
“Eh?”
Ketika Ayase-san tiba-tiba angkat bicara, aku menoleh ke arahnya. Dia menatap
ke atas langit, mungkin ke arah bulan yang menggantung di sana. Dia
mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Tentang Maya. Kamu tadi memujinya, ‘kan? ”
“Ah, itu.”
“Kamu selalu melihat orang-orang di sekitarmu dengan sangat detail. Mau tidak
mau aku jadi mengaguminya. ”
“Aku …..bukan orang yang seperti itu.”
“Setidaknya menurutku begitu. Kamu bisa melihat kerja keras mereka. Aku
mengatakan ini sebelumnya di kolam renang, tapi aku pikir itu sesuatu yang
sangat mengagumkan. Aku pikir kalau itu bagian luar biasa darimu—”
Setelah menerima begitu banyak pujian, jantungku mulai berdetak lebih cepat
dan lebih keras. Namun, setelah mendengar kata-kata selanjutnya, aku langsung
kehilangan akal sehatku.
“—Nii-san.”
Aku menahan napasku sejenak. Tatapanku mengarah ke wajah Ayase-san,
dan membeku di tempat. Meski aku seharusnya sudah akrab dengan Ayase-san
dan ekspresi wajahnya, dia tiba-tiba terlihat seperti orang asing.
Nii-san.
Nii-san.
Nii-san.
Meski aku tahu bahwa mengulangi kata itu berulang-ulang di kepalaku takkan
membantu aku memahami maknanya dengan lebih mudah, tapi otakku justru
berpikir sebaliknya.
Nii-san. Pada dasarnya, kakak. Aku tidak tahu mengapa Ayase-san tiba-tiba
memanggilku seperti itu meski sebelumnya dia sangat menentangnya. Namun,
apa yang begitu mengejutkan tentang hal itu? Ayase-san adalah satu-satunya
orang di seluruh dunia ini yang memiliki hak untuk memanggilku seperti itu.
“Um, apa aku terlalu mengejutkanmu? Aku hanya berpikir bahwa, dengan
bagaimana kamu peduli tentangku dan melakukan semua ini demi aku, Kamu
terlihat seperti kakak yang dapat diandalkan ... tahu? Apa aneh kalau aku
berpikiran seperti itu? ”
Ketika melihat Ayase-san dengan lembut memiringkan kepalanya sambil
tersenyum, aku tidak bisa menahan apa yang sebenarnya aku rasakan.
“Tidak… aku senang, Ayase-san.”
“…Ahaha. Tetap saja, rasanya tidak benar.”
Sejujurnya, pernyataan itu menyelamatkanku. Karena dia tiba-tiba
memanggilku 'Nii-san', akhirnya aku berhasil kembali ke jalur semula. Apa sih
yang sudah kupikirkan? Kasih sayang yang ditunjukkan Ayase-san kepadaku,
dan pujiannya, semuanya itu cuma demi 'Kakak'-nya. Dia menaruh kepercayaan
ini padaku karena dia percaya kalau aku merupakan seseorang yang bisa
menjalin hubungan yang datar dan nyaman dengannya. Dia tidak ingin orang
yang tinggal bersamanya memiliki harapan aneh atau nafsu terhadapnya, dia
hanya menginginkan hubungan yang nyaman untuk kedua belah pihak. Namun,
aku yang sebagai seorang pria, hampir melanggar aturan itu.
“Aku sedikit lelah hari ini, jadi bisakah aku membuat makan malam yang simpel
aja?”
“…Ya, tentu.”
Bahkan percakapan sepele ini membuatku takut. Apa aku bisa mengadakan
percakapan yang rasional dengannya lagi? Tak lama setelah percakapan ini, kami
mencapai apartemen. Aku memberitahunya kalau aku akan memarkir sepedaku
di tempat parkir, jadi aku berpisah dengan Ayase-san di depan pintu masuk.
Setelah memarkirkan sepeda, dan menguncinya dengan kunci sepeda, aku
menatap langit malam.
Bulan yang menggantung di sana tertutup oleh siluet apartemen. Aku menarik
napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Ayase-san tidak
bersamaku. Jika itu cuma karena hormonku yang menjadi liar, maka tubuhku
akan menjadi tenang, dan jantungku bisa berdetak normal sekarang karena dia
tidak ada di sini. Jika memang demikian, aku bisa melupakan perasaan yang
menyerupai kasih sayang romantis ini dan melanjutkan hidupku.
“Ini tidak bagus…”
Aku tahu kalau ini buruk. Aku tahu bahwa seharusnya aku tidak boleh
menyimpan perasaan semacam itu di dalam diriku, tapi tak peduli berapa lama
aku menunggu, emosi menggebu-gebu ini tidak mau hilang seperti yang aku
inginkan.
“Bagaimana aku harus berbicara dengannya saat kembali nanti?”
Tidak ada orang lain yang menjawab ocehanku. Untungnya demikian, karena
pertanyaan ini merupakan kalimat yang tidak boleh didengar oleh orang lain.
*****
Apa yang harus kulakukan?
Aku terus melamun sembari menatap langit-langit kamar.
Sekarang… sudah jam 4:36 pagi.
Karena waktunya hampir jam 5 pagi di akhir Agustus, suasana di luar masih
gelap gulita.
Aku mungkin masih bisa tidur selama satu setengah jam lagi jika mau. Karena
aku tertidur dengan cepat karena sedang lelah, aku bangun lebih awal dari
biasanya.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat tirai di depan jendela berjumbai. Aku
menyalakan AC supaya tidak kepanasan saat aku tidur, dan aku dapat menaikkan
atau menurunkannya tergantung pada suhu panasnya.
Dari sela-sela tirai, aku bisa melihat langit malam Shibuya yang putih dari dekat
tepat sebelum waktu malam hampir berakhir.
Setelah langiit tersbut berubah cerah, pasti suhunya akan panas lagi.
Aku mulai berpikir.
Selama satu bulan—Selama sebulan penuh, entah bagaimana aku berhasil
menahannya, meski dengan susah payah.
Aku merasa frustrasi hanya memikirkan dirinya menciptakan kenangan di
tempat lain tanpa adanya aku. Aku merasa kesal dengan pemikiran bahwa ada
seseorang yang mungkin mengetahui lebih banyak tentang dirinya daripada
ketimbang diriku.
Tidak, aku bahkan tidak menyadari rasa frustrasiku sendiri. Yang aku rasakan
hanyalah perasaan suram dan samar di dadaku, tapi hanya itu saja.
Perasaan apa ini?
Aku menyadari emosi misterius ini, dan memberinya nama, sekitar sebulan yang
lalu.
—Kecemburuan.
Aku menulis kata itu di buku harianku.
Setelah menulisnya, aku pun menyadari sesuatu.
Ia selalu datar dan jujur dengan orang lain.
Itu sebabnya Ia bersedia menyesuaikan diri denganku, yang memiliki
kepribadian yang menyusahkan. Ia menatapku tanpa prasangka. Ia menerima
dan memuji kerja keras dan usaha u yang tidak pernah aku tunjukkan kepada
orang lain. Ia memahami diriku.
Aku ingin belajar lebih banyak mengenai dirinya. Aku ingin lebih memahami
tentang dirinya.
Asamura Yuuta.
Aku tertarik padanya.
Tapi saat melihat Ibu dan Ayah terlihat begitu bahagia bersama, aku tidak bisa
mengambil risiko menghancurkan kebahagiaan itu, dan aku yakin Asamura-kun
akan kesulitan mengetahui perasaanku ini.
Aku yakin begitu.
Itulah yang aku pikirkan, itulah sebabnya aku memutuskan untuk
memperlakukannya seperti orang asing di tempat kerja.
“Asamura-san.”
Setiap kali aku memanggilnya seperti orang asing yang baru kutemui, rasanya
seperti jarak di antara kami semakin menjauh, tapi jika bukan karena itu, aku
mungkin lama-lama akan menjadi lebih serakah.
Aku berhasil melewati satu bulan penuh seperti itu.
*****
Aku pikir semuanya mulai runtuh sejak waktu itu.
Hari itu sama seperti waktu pagi lainnya, dan Asamura-kun menerima semacam
bujukan aneh dari Ibu. Dia mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi Ibu benar-
benar pandai membingungkan dan menyesatkan orang.
Yah, kalau cuma itu sih baik-baik saja. Bukannya berarti Asamura-kun bisa selalu
berada di masa jayanya. Meski kupikir Ia biasanya akan sedikit lebih rasional.
Tapi perkataan Ayah setelah itu benar-benar kejutan tak terduga. Belum lagi Ibu
bergabung, berbicara tentang bagaimana kami masih memanggil satu sama lain
dengan nama keluarga masing-masing. Apa maksudmu dengan 'Yuuta-niisan',?
Tunggu sebentar.
Mana mungkin aku bisa memanggilnya 'Yuuta'. Itu mustahil. Tapi memangnya
itu normal dilakukan antar saudara? Serius? Apa semua adik perempuan di
dunia ini memanggil kakak laki-laki mereka dengan nama aslinya? Jujur saja, itu
sulit dipercaya.
Ayah juga ikut menimpali. Ia mengatakan kalau Ia memanggil Ibu dengan
panggilan 'Ayase-san' sebelum mereka mulai berpacaran. Kenapa Ia harus
mengatakan itu, sih?
Mulai sekarang, setiap kali Asamura-kun memanggilku 'Ayase-san', aku akan
selalu diingatkan akan hal itu. 'Sebelum mereka mulai berpacaran,' tahu.
Berpacaran. Kencan… di mana kamu pergi keluar dan bermain bersama, ‘kan?
Tepat saat aku memikirkan itu, Asamura-kun bertanya padaku tentang
rencanaku untuk musim panas.
Dengan cara berbelit-beli, Ia bertanya apa aku punya rencana sesuatu dengan
temanku.
Aku langsung membalas 'Tidak' karena refleks, tapi kenyataannya, Maaya telah
mengundangku ke kolam renang. Belum lagi dia menyuruhku untuk 'Ajak
Asamura-kun bersamamu'. Kolam renang terdengar bagus. Dan jauh lebih baik
lagi jika Asamura-kun bersamaku. Itulah yang kupikirkan.
Sejak Maaya mengajakku, aku terlalu sibuk memikirkannya untuk membuat
kemajuan dengan studi ujianku. Aku bahkan tidak menyelesaikan setengah dari
apa yang sudah kurencanakan.
Ada satu hal lain yang kusadari. Begitu aku mulai memikirkan Asamura-kun, aku
tidak bisa berhenti memikirkannya. Hal itulah yang membuat belajarku berhenti
total.
Aku selalu ingin menjadi mandiri secepat mungkin supaya tidak membebani Ibu
lagi. Demi mewujudkan itu, menjaga nilaiku setinggi mungkin sangat diperlukan.
Karena aku tidak secerdas Asamura-kun, aku harus berusaha keras.
Itu sebabnya aku awalnya memutuskan untuk menolak ajakan Maaya.
Aku bahkan pergi ke kamar Asamura-kun cuma demi mengatakan itu.
Aku meyakinkannya bahwa Maaya dan aku tidak begitu dekat sehingga kami
akan bertemu selama liburan musim panas. Aku senang Ia mempercayaiku. Aku
tidak yakin apa yang akan aku lakukan jika Ia terus menanyakan masalah ini.
Tapi aku masih khawatir kalau Ia mungkin mengetahuinya. Aku takut kalau dia
tahu bahwa aku sedang panik. Lagipula, Asamura-kun sangat peka. Ia bisa cepat
menyadari hal-hal semacam ini.
Lagi pula, Ia berhasil menemukan buku yang telah aku cari selama sepuluh menit
dalam beberapa detik.
Ia sungguh luar biasa. Ia membuat pelanggan wanita itu benar-benar bahagia di
hari itu.
Tetapi orang lain mungkin menemukannya lebih cepat, setidaknya itulah yang
Ia katakan padaku.
Orang yang dimaksud—adalah Yomiuri Shiori-san.
Aku benar-benar membenci diriku sendiri karena begitu picik, karena aku tidak
ingin mendengar pujian lagi mengenai dirinya.
Tapi dalam perjalanan pulang, aku menyadari bahwa bahkan Asamura-kun bisa
memiliki beberapa hal yang tidak Ia sadari.
Mengetahui sisi dirinya yang begitu cukup menyenangkan.
*****
Keesokan harinya, AC di ruang tamu kami rusak.
Karena aku buruk dengan panas, aku terus berdiam diri di kamarku hampir
sepanjang hari, setidaknya sampai aku harus pergi bekerja.
Aku membiarkan AC di kamarku menyala, menyetel musik hip-hop lofi favoritku
sambil memakai headphone, dan mencoba mengejar ketertinggalanku untuk
belajar.
Tapi aku tidak bisa membuat kemajuan sama sekali.
Ketika suhu panas mencapai puncaknya, aku meninggalkan rumah dan menuju
ke kafe terdekat sebelum tiba waktunya giliran kerjaku.
Aku punya kupon diskon setengah harga untuk frappuccino yang populer, jadi
aku memutuskan untuk membelinya dan membaca beberapa buku. Atau lebih
tepatnya, buku yang direkomendasikan Asamura-kun kepadaku. Setelah
beberapa waktu berlalu, aku memutuskan kalau sudah waktunya untuk
berangkat kerja, dan kebetulan melihat Asamura-kun tengah duduk di kafe yang
sama.
Secara spontan, aku langsung memanggilnya.
Saat melirik mejanya, aku melihat ada dua minuman terpisah, jadi aku pikir dia
ada di sini bersama orang lain, tapi ...
Setelah percakapan singkat, aku melihat seorang anak laki-laki berkacamata
berjalan ke arah kami dari sudut mataku. Karena Ia mengenakan seragam Suisei,
dan karena aku tahu bahwa Ia cukup dekat dengan Asamura-kun, aku
memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengannya dan segera pergi.
Karena kami bertingkah seperti orang asing di sekolah, tidak lucu juga jika kami
ditemukan di sana.
Tapi aku melihat bahwa orang yang bersamanya di sana adalah cowok lain.
Aku merasa lega.
Adapun giliran kerja setelah itu, cuma ada Asamura-kun, Yomiuri-san, dan aku...
serta karyawan tetap toko buku.
Setiap kali aku melihat Yomiuri-san, dia akan memujiku. Tentang seberapa cepat
aku mempelajari pekerjaanku, tentang bagaimana aku memiliki bakat. Ini
merepotkan karena aku tahu dia serius. Lagipula, dia senior yang baik.
Dia sangat dewasa, punya paras cantik, mudah diajak bicara, dan dia tahu
bagaimana merawat orang lain.
Saat aku memikirkan bahwa dia selalu bersama Asamura-kun…
Malam itu, dalam perjalanan pulang, Asamura-kun bertanya padaku.
Dia bertanya apa Maaya mengundang kami ke kolam renang.
Jantungku berhenti berdetak karena syok.
Bagaimana Asamura-kun bisa mengetahui tentang itu?
Aku benar-benar tidak ingat balasan yang aku berikan saat itu.
Jelas-jelas aku jadi curiga padanya.
Sejenak, aku berpikir kalau Maaya sudah menghubungi Asamura-kun secara
langsung, meski kemungkinan itu sangat mustahil karena mereka tidak memiliki
minat yang sama sama sekali, jika kamu berhent memikirkannya secara rasional.
Apa Ia ingin pergi ke kolam renang?
Ia mungkin akan marah padaku jika Ia tahu aku menolak bahkan tanpa bertanya
pendapatnya. Maksudku, aku ingin pergi ke kolam sendiri. Aku belum
mengunjungi kolam selama bertahun-tahun.
Tapi... karena aku tidak membuat kemajuan apa pun dengan belajarku, aku tidak
bisa membiarkan diriku pergi.
“Begitu ya. Kalau begitu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi,
‘kan?” (Karena aku tidak bisa keluar untuk bermain-main).
“Aku tidak pergi.” (Aku tidak bisa pergi)
Aku tahu betul kalau suaraku terdengar sangat dingin, tapi apa yang aku pikir
benar-benar berbeda.
Aku pikir hatiku sudah mencapai batas.
Keesokan paginya, karena aku tidak ingin melihat Asamura-kun, jadi aku bangun
pagi-pagi. Aku membuat sarapan sebelum Ia bangun, dan segera mengunci diri
di kamarku. Selama aku memberitahunya kalau sarapan sudah siap, seharusnya
tidak ada masalah.
Ia sempat berterima kasih kepadaku melalui LINE. Tanpa menambahkan emoji
apapun, karena aku juga tidak menggunakannya. Ia menyesuaikan diri
denganku, bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil.
Tapi aku penasaran apa yang sebenarnya ingin Ia lakukan? Mungkin Ia benar-
benar mengirim banyak emoji dengan orang lain? Jika memang begitu, Ia
mungkin tidak perlu repot-repot melakukannya denganku?
Dengan orang lain… Mungkin Yomiuri Shiori-san?
Mungkin karena aku sedang melamun, aku butuh beberapa detik untuk
mendengarnya mengetuk pintuku.
Aku melepas headphone-ku dengan panik dan membukanya dengan hati-hati.
Seperti yang diharapkan, Asamura-kun berdiri di sisi lain pintu, dan sekali lagi Ia
bertanya padaku tentang ajakan kolam renang.
Alasan kenapa aku selalu waspada dan menghindarinya karena aku tidak ingin
mendengar lebih banyak tentang itu. Dan meski begitu, untuk beberapa alasan,
Asamura-kun anehnya sedikit memaksa mengenai masalah itu.
Ia bertanya padaku mengenai informasi kontak Maaya.
Mengapa aku menanggapi seperti itu?
Mengapa aku mengatakan sesuatu yang begitu dingin dan sulit dipercaya
kepadanya?
Aku tidak mau.
Aku mengatakannya seperti anak kecil.
Saat aku melihat ekspresi terkejut Asamura-kun, aku merasakan darah mengalir
dari tubuhku. Aku menyadari bahwa aku tidak berhak untuk bertindak seperti
yang aku lakukan.
Aku mencoba menenangkan diri dengan susah payah.
Tidak ada salahnya juga Ia bertanya padaku untuk meminta kontak Maaya.
Lagipula, Maaya juga mengundangnya. Bukannya aku bisa menolaknya begitu
saja. Karena itu, aku juga merasa tidak nyaman memberinya info kontak
temanku tanpa persetujuannya. Itulah yang aku katakan kepadanya, dan
Asamura-kun menerima alasan tersebut.
Aku perlu bertanya kepada Maaya apa aku boleh memberikan info kontaknya
kepada Asamura-kun.
Tapi dia masih dalam perjalanan liburannya.
Kurasa aku cuma akan mengganggunya jika mengiriminya pesan di tengah
kesenangannya sendiri.
Tentu saja, aku membuat membuat alasan pada saat itu.
*****
Hari itu benar-benar yang terburuk. Aku yakin Asamura-kun tidak
melakukannya dengan sengaja, tapi Ia terus-menerus membuat hatiku gemetar
ketakutan dan bimbang. Lagipula, Ia datang bekerja bersama Yomiuri-senpai.
Aku benci cuma memikirkannya, dan mulai membenci diriku sendiri karena
mulai memikirkan itu.
Meski itu harusnya kebebasannya sendiri dengan siapa Ia bertemu dan apa yang
Ia lakukan.
Yomiuri Shiori-san mempunyai rambut coklat-hitam panjang yang indah, dan
berkat suasana kalem dan dewasanya, bahkan aku sendiri mau tidak mau jadi
mengaguminya juga, dan menerima kenyataan bahwa dia sangat cocok untuk
Asamura-kun.
Mungkin Asamura-kun suka rambut panjang dan indah?
Maksudku, aku sendiri memiliki rambut yang cukup panjang.
…Apa sih yang aku pikirkan? Aku merasa seperti orang bodoh saja.
Aku mulai merasa takut bertemu dengan Asamura-kun, jadi aku bilang aku ingin
membeli sesuatu setelah bekerja, dan memintanya pulang duluan tanpa
menungguku.
Setelah menyelesaikan perjalanan belanjaku dan sampai di rumah, Asamura-kun
sedang berdiri di dapur.
Aku menyadari kalau aku pergi tanpa menyiapkan makan malam.
Dari belakang, Ia tampak agak sedih karena suatu alasan. Saat berbalik, untuk
beberapa alasan Ia memegang nasi beku di tangannya, dan menatapku dengan
ekspresi bingung.
Aku tidak tahu mengapa, tapi wajahnya bingungnya itu membuatku terkikik.
Asamura-kun memiliki begitu sedikit pengetahuan tentang makanan yang
terkadang sulit dipercaya.
Ini mungkin karena ibu kandungnya.
Dari apa yang aku dengar dari Asamura-kun, setelah ayahnya menjadi Duda, Ia
menyerah pada masakan rumahan sama sekali. Lebih dari tidak mengingat apa-
apa, atau tidak bisa memasak, Ia menghindari semua hal yang berhubungan
memasak. Di zaman sekarang ini, kamu bisa bertahan tanpa harus memasak.
Namun saat ini, Asamura-kun sedang berusaha keras untuk belajar. Membuat
makan malam bersama memang menyenangkan. Adanya Asamura-kun
membantuku itu menyenangkan. Hal itu membuatku merasa seperti kami
sedang memasak bersama.
Tapi begitu makan malam selesai, Ia bertanya lagi padaku.
Setelah menghela nafas, Ia bertanya tentang kolam.
Apa-apaan dengan helaan nafas itu? Aku merasa diriku jadi semakin gelisah.
Aku tidak bisa menahan diri lagi, dan mengeluarkan smartphoneku untuk
mencari nomor Maaya.
Meski aku belum meminta izin dari Maaya langsung.
Tapi Asamura-kun segera menghentikanku. Ia mengatakan kalau sebenarnya Ia
tidak peduli dengan Maaya sama sekali.
Yang ada justru Ia ingin aku bersenang-senang di kolam renang.
Itu tidak masuk akal.
Kenapa Ia melakukan itu?
Itulah yang aku tanyakan padanya.
Ia lalu mengatakan kalau Ia mengkhawatirkanku. Ia bilang kalau aku harus
sedikit bersantai, dan sesekali bersenang-senang.
Tapi aku harus belajar. Aku tidak bisa bermain-main terus.
Jika tidak… Aku akan berakhir sebagai orang yang gagal.
Hari itu, bahkan setelah jam 1 pagi berlalu, dan jam 2 pagi berlalu, aku tidak bisa
membuat kemajuan apa pun dengan belajarku. Aku terus memikirkan Asamura-
kun dan ucapannya bahkan setelah berbaring di tempat tidur.
Aku penasaran mengapa Asamura-kun mengatakan hal seperti itu.
Sudah dua bulan sejak aku pindah ke sini bersama Ibu. Aku ingat semua yang
terjadi, merenungkannya, dan mengingat apa yang Ia katakan sekali lagi.
Setelah aku mematikan lampu di kamar, semua pikiran dan perasaanku
menguap di udara seperti fatamorgana.
Ketika langit di balik tirai mulai cerah, akhirnya aku tertidur.
Apa yang muncul di balik kelopak mataku adalah penampilan Asamura-kun yang
menghela nafas.
Kemudian wajah ibuku sendiri tumpang tindih dengan wajahnya.
Ah. Aku tahu wajah itu. Suatu ketika ketika aku masih SMP, Ibu mengajakku ke
pantai. Memikirkan tentang situasi keuangan yang kami alami saat itu,
sepertinya kami tidak mampu menanggung biasayanya, dan aku tidak ingin dia
menyia-nyiakan waktu luangnya yang berharga, jadi aku menolak, dan
memberitahu kalau aku harus belajar.
Ekspresi yang dia buat saat itu tampak seperti dia bermasalah.
Aku mencoba menahan diri demi Ibu, namun rasanya seolah-olah aku malah
menyakitinya, meski tidak tahu maksud di balik eksprsinya saat itu.
Badanku cukup kelelahan sampai aku hilang kesadaran.
*****
Kelopak mataku terbuka, dan aku benar-benar terbangun.
Aku berganti pakaian dengan agak linglung, dan menyadari bahwa pikiranku
telah berhenti sepenuhnya.
Tunggu, apa yang tadi aku pikirkan?
Ahh… yah, terserahlah.
Tanpa memikirkan apapun, aku selesai berganti pakaian, dan saat aku memasuki
ruang tamu, Asamura-kun sudah bangun. Tumben sekali melihatnya bangun
sepagi ini, pikirku, tetapi ketika aku memeriksa jam, waktunya sudah sangat
terlambat.
Aku ingin cepat-cepat membuat sarapan, tapi Asamura-kun menghentikanku,
dan melarangku membuat makanan.
Aku tidak bisa membiarkan Ia yang membuatnya.
Ini kesalahanku. Aku tidak bisa menepati janji yang kita buat karena aku
ketiduran.
Namun, Asamura-kun mulai berdebat denganku seperti aku masih kecil.
Karena aku masih mengantuk dan banyak melamun, aku tidak bisa membantah
dengan baik, jadi aku hanya melakukan apa yang diperintahkan, dan duduk di
kursi.
Ia memberiku roti panggang dengan mentega dan ham goreng.
Saat mencium aroma roti dan daging, perutku mengeluarkan suara gemuruh
samar. Aku panik dan cemas kalau Ia mungkin mendengarnya. Baru kemudian
aku menyadari bahwa aku benar-benar lapar.
Saat aku sedang menunggu Asamura-kun untuk duduk di kursinya, Ia tiba-tiba
bertanya padaku.
Ia bertanya apa aku ingin susu panas. Sungguh pertanyaan yang aneh.
Ia bertanya kepadaku di musim panas begini apa aku ingin minum susu panas.
Ia memberitahu kalau meminum itu akan membantuku tidur lebih cepat. Begitu
rupanya.
Jadi Ia menghangatkan susu ini hanya demi diriku.
Sementara aku mengunyah roti panggang, tubuhku perlahan-lahan mulai
bangun sepenuhnya.
Setelah selesai makan, aku melihat susu panas yang dibuat Asamura-kun
untukku dan menyesapnya.
Ah, hangat sekali.
Udara dari AC memang sejuk, tapi susunya membuatku merasa hangat dari
dalam.
Aku menghela nafas, dan merasa bahwa segalanya menjadi lebih ringan. Baik
tubuhku maupun kepalaku.
“Aku sudah memikirkannya…”
Yah, terserahlah.
“…Aku tidak keberatan pergi ke kolam renang.”
Ketika aku mengatakan apa yang ada di pikiranku, rasanya seperti beban berat
mulai diangkat dari dadaku.
Tapi ada satu masalah.
Hari kunjungan kolam renang yang Maaya rencanakan bertepatan dengan hari
dimana Asamura-kun dan aku mendapat giliran kerja.
Setelah aku tidur sekitar dua jam, kami berdua berangkat kerja.
Asamura-kun ingin bernegosiasi dengan manajer toko dengan harapan supaya
kami bisa berganti shift, dan tentu saja aku ingin ikut bergabung dengannya.
Oleh karena itu, Asamura-kun menyarankan agar kita berjalan bersama untuk
bekerja, jadi Ia berjalan di sampingku sambil menuntun sepedanya.
Satu-satunya pengalaman sosial yang kumiliki cuma membantu Ibu di rumah,
jadi wajar saja aku merasa cemas apa kami benar-benar bisa meminta pergantian
shift dengan mudah.
Asamura-kun mengajariku beberapa tips dan trik untuk itu.
Mungkin itu sebabnya semuanya berjalan cukup baik. Manajer toko menerima
permintaan kami, dan Asamura-kun dan aku berterima kasih padanya.
Sekali lagi, aku menyadari betapa menakjubkannya Asamura-kun.
Jika itu aku, aku tidak pernah bisa melakukannya.
Ia mungkin lebih ahli dalam melakukan percakapan daripada yang Ia duga.
Saat aku mengatakan itu kepadanya, Ia membalas kalau aku terlalu melebih-
lebihkannya. Ia berpendapat bahwa mereka mengharapkan sikap tulus, yang
mana membuatnya lebih mudah. Itu sebabnya komunikasi ini mudah dilakukan.
Ketika Ia memberitahuku hal itu, semuanya jadi masuk akal.
Hal ini merupakan cara lain untuk 'menyesuaikan'.
Begitu pemikiran itu muncul di benakku, aku merasa lega. Negosiasi bukanlah
memaksakan keinginanmu sendiri pada orang lain. Sebaliknya, kamu harus
mempertimbangkan keadaan kedua belah pihak dan menyesuaikan diri dengan
orang lain.
Jika kamu ingin melakukan sesuatu demi kenyamananmu sendiri, kamu perlu
mendengarkan apa yang diinginkan orang lain. Hal ini mirip seperti
menyesuaikan bobot pada timbangan, dimana kamu perlu mencoba menemukan
titik keseimbangannya.
Karena aku memiliki kebiasaan memberi orang lain lebih banyak, aku tidak
pernah punya masalah dengan itu.
Aku selalu condong ke sisi pemberi dalam hubungan timbal balik. Itulah yang
selalu kupikirkan. Pada dasarnya, aku merasa tidak masalah dengan memberi
orang lain lebih banyak.
Jika cuma itu yang diperlukan, aku mungkin bisa melakukan hal seperti
Asamura-kun juga.
Ketika permintaan perubahan shift kami diterima, manajer toko menyuruh kami
bekerja sebaik mungkin pada hari itu.
Jika cuma itu yang beliau inginkan, maka aku yakin kalau aku bisa
menyanggupinya.
Tepat setelah mendapatkan hasil ini, aku langsung menghubungi Maaya, dan
memberitahunya kalau aku dan Asamura-kun bisa ikut berpartisipasi.
Tidak butuh waktu lama bagi Maaya untuk mengirim pesan balasan 'Yay!',
dengan emote kucing lucu yang mengepalkan tinjunya ke udara. Aku tersenyum
masam, dan kemudian pesan panjang lainnya masuk.
Judulnya kira-kira seperti ini:
'Menciptakan banyak kenangan musim panas’
Maaya membuat sesuatu seperti ini saat sedang bepergian? Yah, terserahlah.
Keesokan paginya… atau lebih tepatnya, kemarin pagi.
Asamura-kun bilang kalau Ia cuma memiliki baju renang dari pelajaran olahraga,
jadi Ia ragu untuk memakainya. Jadi Ia mengatakan ingin membeli yang baru
setelah giliran kerja kami selesai.
Apa yang harus kulakukan? Aku sebenarnya sudah punya baju renang. Saat
membelinya demi bisa digunakan untuk pelajaran renang di sekolah, aku
menemukan model baju renang yang lucu, jadi aku membelinya.
Saat aku mendaftar ke SMA Suisei, situasi keuangan kami agak stabil (jika tidak,
aku mungkin bahkan tidak bisa mendaftar ke SMA Suisei), tetapi aku tidak
ingin terlalu boros juga.
Karena aku membelinya di musim panas saat masih kelas satu, waktunya sudah
lewat setahun penuh.
Tapi… aku tidak pernah memakainya sekali pun sejak itu.
Aku mencobanya pada hari sebelumnya ketika aku menerima pesan Maaya,
tetapi ukurannya sedikit ketat, dan modelnya tidak terlalu cocok dengan gayaku
yang sekarang.
Jadi aku mencari pakaian renang online sampai tiba waktunya untuk bekerja.
Karena aku memperoleh uang dari kerja sambilan, aku bisa membeli sepasang
baju renang.
Setelah shift kami berakhir, aku bertanya pada Asamura-kun dimana Ia
berencana membeli baju renang.
Karena department store yang ingin Ia kunjungi menjual model baju renang yang
akan aku beli, aku memutuskan untuk ikut bersamanya.
Begitu kami sampai di lokasi yang dimaksud, aku tiba-tiba jadi penasaran
dengan baju renang apa yang mungkin dibeli Asamura-kun, tapi aku segera
menggelengkan kepalaku, menghilangkan pemikiran seperti itu dari dalam
kepalaku.
Apa gunanya memikirkan hal itu? Bukannya aku akan ikut selama kegiatan
belanjanya.
Mana mungkin aku bisa melakukan itu.
Jadi aku menyarankan untuk berpisah di sana. Meski aku ragu kalau Ia
menyadari bahwa aku sedikit panik. Aku pikir tidak adil rasanya karena cuma
aku saja yang merasa sangat gugup, sedangkan Ia tetap terlihat tenang terlepas
dari segalanya.
*****
Akhirnya, hari yang direncanakan pun tiba.
Rasanya sungguh menyenangkan! Sangat menyenangkan! Asyik sekali!
Sudah lama sekali sejak aku pergi ke kolam renang sampai-sampai aku hampir
lupa seperti apa rasanya!
Ada begitu banyak wahana untuk dikunjungi, dan aku terus-menerus berenang!
Aku bahkan berbicara sedikit dengan orang lain di sana, dan mengingat beberapa
nama mereka, tapi aku kurang pandai dalam berteman seperti itu.
Yang ada justru aku buruk dalam membaca suasana hati, dan aku tidak suka
berusaha memeriahkan suasana.
Tapi semuanya berjalan tanpa masalah hari ini.
Kupikir itu juga berkat Asamura-kun yang bersamaku.
Sama seperti diriku, Ia tidak menanggapi lelucon Maaya yang tidak masuk akal,
tapi Ia jauh lebih baik daripada diriku dalam berurusan dengan orang lain. Jika
dia ingin melakukan sesuatu, Ia bisa melakukannya dengan baik.
Tapi Ia juga dengan jelas menyatakan apa yang tidak disukainya.
Itulah salah satu bagian dari dirinya yang membuatku tertarik padanya.
Kami berpisah di stasiun kereta Shinjuku.
Tepat saat kami hendak pergi, Maaya memanggilnya.
Ia ingin bertukar alamat kontak LINE, dan untuk beberapa alasan, Asamura-kun
melirikku.
Aku tanpa sadar mengalihkan pandanganku.
Kenapa Ia menatapku? Ia bebas melakukan apapun yang Ia mau.
Bagaimanapun juga, itu haknya sendiri.
Saat aku menoleh lagi, mereka sudah selesai saling tukar kontak, dan Asamura-
kun berterima kasih kepada Maaya.
Ketika aku mendengar Ia mengatakan itu, aku juga menyadari betapa matangnya
rencana Maaya hari ini.
Narasaka Maaya benar-benar orang yang mempunya hati yang besar untuk
orang-orang di sekitarnya, meski orangnya sendiri mempunyai badan kecil.
Sekali lagi harus kuakui bahwa dia menyukai orang.
Dia mempunyai banyak teman dan disukai banyak orang.
Aku sendiri tidak cukup baik. Aku sangat ketat dalam memilih suka atau
ketidaksukaanku. Jika aku berpikir 'Aku tidak menginginkan ini', aku hanya
menekan tombol dan memutuskan segala bentuk komunikasi.
Selain itu, ketika aku berpikir untuk bermain dengan orang-orang itu lagi, aku
sangat membenci diriku sendiri karena tidak terlalu tertarik. Jujur saja, aku
terlalu intoleran.
Belum lagi aku merasa takut kalau mereka akan mengetahui kalau aku
sebenarnya tidak suka diajak kemana-mana.
Aku tidak ingin merusak suasana hati orang lain. Itu tidak adil sama sekali.
Bukannya orang lain melakukan kesalahan. Aku cuma tidak bisa menerimanya
saja.
Itu sebabnya, aku mengagumi Asamura-kun.
Saat bermain di minigame yang disiapkan Maaya, Ia lebih fokus pada orang lain
yang bersenang-senang lebih ketimbang membuat dirinya menonjol. Ia
memahami kerja keras yang dilakukan orang lain.
Ia sangat keren.
Meskipun sepertinya tidak ada yang menyadari fakta itu.
Apa cuma aku satu-satunya yang menyadarinya? Sekarang aku merasa sedikit
bangga tentang itu.
Tapi aku takut.
Dalam perjalanan pulang, Asamura-kun dan aku berjalan berdampingam.
Matahari sudah mulai terbenam, dan semakin sulit untuk melihat ekspresinya.
Aku yakin Ia juga tidak melihat wajahku.
Sekarang waktunya aku mengatakan itu, pikirku.
Bagiku, Ia terlihat sangat mempesona, keren, dan mengagumkan.
Jadi…
Nii-san.
Tuturku dengan suara sejelas mungkin.
Jantungku berpacu kencang.
Aku berharap Ia tidak menyadari bagaimana ujung jariku tampak bergetar.
Itu benar, aku harus mengatakan pada diriku sendiri. Kami berdua bersaudara.
Namun, jika aku meninggalkan semacam jarak tipis di antara kami, Ia mungkin
akan terluka. Ia sudah berusaha menjadi kakak yang dapat diandalkan, jadi ini
adalah keputusanku sendiri untuk membantu menjaga jarak yang sepantasnya di
antara kami berdua.
******
Kami berdua sampai di apartemen dan memasuki ruang tamu.
Saat aku melihat Asamura-kun menyantap makan malam yang aku buat, aku
menyadari kenapa Ibu selalu senang membuatkan makanan untukku.
Apa aku membuat ekspresi semacam itu saat dia menyiapkan susu panas
untukku?
Tapi ini hanyalah kebahagiaan sebagai saudara tirinya. Itulah yang kukatakan
pada diriku sendiri. Aku memilih kata-kataku dengan hati-hati supaya Ia tidak
menyadari gejolak hatiku.
“Apa kamu ingin nambah satu porsi sup miso lagi?”
Menanggapi itu, Asamura-kun membalas..
“Tidak, terima kasih. Rasanya seenak biasanya… Terima kasih, Ayase-san.”
Ketika Ia mengatakan ini, aku merasakan tatapan kuat datang darinya, yang
mana membuatku tersipu sejenak, dan berpikir apa kegelisahanku diketahui
olehnya.
Ia tidak berbicara tentang rasa sup miso.
Aku mungkin agak terlalu sadar diri. Atau mungkin sebuah hasrat yang
membuatku melalui ini.
Namun, dalam tatapan Asamura-kun, aku merasa seperti melihat emosi yang
aneh, hampir seperti Ia menatapku seakan-akan aku ini bukan adik
perempuannya, tapi seorang gadis pada umumnya.
...Maaf, Asamura-kun. Ini pasti hanya halusinasi yang dibuat-buat di dalam
kepalaku, dan kamu sebenarnya bukan tipe orang yang akan membuat kesalahan
seperti itu.
Akan tetapi, bagaimana jika?
Bagaimana jika Asamura-kun benar-benar menyukaiku dalam artian romantis,
dan jika Ia memberitahuku tentang perasaannya, apa yang akan terjadi padaku?
Apa aku bisa tetap teguh, dan menolaknya?
Aku merasa takut.
Jika cuma aku saja yang hancur secara sepihak, aku bisa menelan pahit-pahit
perasaan suram ini dan bertingkah seolah-olah perasaan tersebut tidak pernah
ada sampai perasaan itu menghilang.
Namun, jika Asamura-kun mengambil langkah pertama, aku mungkin takkan
sanggup menanggungnya.
Aku benar-benar akan hancur di bawah tekanan.
*****
Keesokan harinya, alarm ponselku berdering dari samping bantal.
Sudah waktunya bagiku untuk bangun.
Ayah dan Ibu sudah berada di ruang tamu.
Sepertinya mereka berdua mengambil cuti hari ini supaya kita bisa
menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga, atau semacamnya.
Ketika aku melihat Ibu tersenyum sambil mengatakan itu, aku menyadari bahwa
saat ini mungkin waktu yang paling membahagiakan yang pernah dia alami
setelah sekian lama.
Syukurlah. Aku tidak ingin dia mengalami hal seperti itu lagi. Aku ingin dia
mengalami semua kebahagiaan yang tidak bisa dia rasakan sebelumnya.
Itulah ... sebabnya…..
Aku akan—memendam dalam-dalam perasaanku sendiri.
Aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang mereka miliki saat ini. Aku
juga tidak ingin merepotkan Asamura-kun.
Aku hanya bisa berdoa supaya perasaanku ini tidak pernah ketahuan.
Aku harus memotong rambutku.
Dengan keputusan itu, aku segera memutuskan untuk bertindak.
Rambut panjang dan indah Yomiuri Shiori-san merupakan salah satu bagian
penting dari pesonanya, dan aku yakin Asamura-kun pasti tertarik padanya.
Aku tahu bahwa tidak ada yang bisa diselesaikan hanya dengan tindakan ini. Tapi
jika perbuatan kecil ini bisa membantu sedikit untuk mengamankan
keharmonisan hubungan kami, aku perlu melakukan segala upaya
demi melakukannya.
Sejujurnya, ini sungguh menggelikan.
Semua yang berkaitan kefeminiman yang selama ini aku bantah, sekarang justru
berbalik menyerangku seperti kejadian klise.
Aku selesai memotong rambutku dan pulang.
Aku mengeluarkan buku harianku dari laci dan membaca ulang semuanya.
Aku menyadari kalau aku menuliskan semua yang selama ini kurasakan dengan
sangat jujur.
Setiap kata, setiap kalimat.
Ini hanya…
Perasaanku yang tertarik padanya sangat jelas tertuang ke dalam semua tulisan
ini.
Tapi, semua kenanganku selama seminggu terakhir ini tidak tertulis sedikitpun.
Itu benar, ini adalah buku harian yang hanya ada di kepalaku.
Mengapa? Alasannya sangat simpel.
Karena aku tidak mau mengambil risiko Asamura-kun membaca apapun yang
aku rasakan selama seminggu terakhir.
Aku menyadari bahaya besar dalam menulis buku harian dengan perasaan jujur
ku. Jika aku meninggalkan bukti tertulis, Ia mungkin menemukannya.
Aku harus menyingkirkannya, dan memastikan bahwa aku tidak pernah
meninggalkan bukti tertulis mengenai perasaanku sendiri. Aku hanya akan
mengenangnya di dalam kepalaku.
Aku perlu menyembunyikan perasaanku sebagai seorang gadis yang hatinya
telah luluh terhadap seorang cowok. Apa yang seharusnya aku lakukan,
kehidupan apa yang harus aku jalani, ialah bukan untuk bertindak sebagai
seorang gadis, melainkan sebagai seorang adik perempuan. Aku perlu
berinteraksi dengannya sebagai saudari tirinya.
Oleh karena itu, Keseharian sebagai saudari tiri* tidak membutuhkan buku
harian lagi. (TN : Gimai Seikatsu)