Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 147

Judul: Gimai Seikatsu

Penulis: Mikawa Ghost

Ilustrator: Hitens

Gendre: Comedy, Romance, School Life, Slice of Life

Diterjemahkan Oleh: Zerokaito

Dibuat Ke PDF Oleh: Maeru Novel

Prolog
Hampir sebulan sudah berlalu sejak kami memasuki liburan musim panas.
Dengan kata lain, ini merupakan libur panjang pertama yang akan kuhabiskan
bersama adik tiriku, Ayase Saki. Ayase-san adalah sesama murid kelas 2 di SMA
Suisei, seorang gadis yang menginjak usia 17 tahun. Paras cantiknya sampai-
sampai dikenal oleh hampir semua murid di sekolah, dan meski aku
memanggilnya adik, kenyataannya, ulang tahun kami cuma berjarak satu
minggu.
Kalian pasti mengharapkan sesuatu akan terjadi dalam situasi seperti ini,
layaknya orang yang memiliki akal sehat. Orang tua kami memutuskan untuk
menikah lagi, yang mana hal itu membuatku dan Ayase-san menjadi saudara tiri,
tapi kami masih dalam masa-masa remaja, bertemu satu sama lain setiap hari
karena kami hidup di bawah satu atap yang sama.
Dan sekarang, liburan musim panas pertama kami telah dimulai. Jika kami
adalah saudara tiri yang sering kalian lihat dalam cerita fiksi, kami mungkin
sudah mengalami berbagai macam peristiwa klise khas musim panas. Misalnya
saja seperti: Mengunjungi kolam renang, jalan-jalan ke laut, dan festival musim
panas. Intinya, kami sering pergi bersama, mempererat ikatan kami berdua, dan
akan ada insiden yang membuat detak jantung kami berpacu di atas level normal.
Ini adalah peristiwa yang alami. Kejadian yang harus terjadi, karena itulah yang
para pembaca harapkan.
Akan tetapi, yang namanya kenyataan sangat berbeda jauh dari fiksi. Rasanya
selalu realistis dan tidak semenarik seperti yang kalian bayangkan. Tak peduli
sudah berapa hari berlalu, sayangnya tidak ada kejadian seperti itu yang terjadi
di antara diriku dan Ayase-san. Setidaknya, belum ada sampai sekarang, yang
waktunya sudah mendekati akhir Agustus. Belum ada kemajuan penting yang
terjadi dalam hubungan kami, dan kami hanya menghabiskan keseharian dengan
sederhana dan monoton seperti yang selalu kami lakukan. Satu-satunya hal yang
berbeda dari sebelumnya ialah jumlah waktu yang kami habiskan bersama.
Lagipula…
“Kerja bagus hari ini, Asamura-san.”
“Kamu juga, Ayase-san.”
...Kami bertegur sapa layaknya orang asing yang baru saja bertemu. Selama
sebulan penuh ini, aku dan dia bekerja sambilan di tempat dan shift yang sama.

Chapter 1 — 22 Agustus (Sabtu)


Di hari Sabtu pagi menjelang paruh akhir liburan musim panas. Dari luar
jendela, aku bisa mendengar jangkrik tengah mengadakan konser langsung
dengan meriah. Aku merenungkan kehidupan sambil menyantap telur dadar
gulung dengan sumpitku. Biasanya, selama liburan musim panas, hari akhir
pekan pada dasarnya menempatkan hari libur di atas hari liburmu, yang mana
kemudian menciptakan sensasi di mana kamu serasa melewatkan sesuatu.
Memangnya kita tidak bisa mengambil semua hari Sabtu dalam jatah liburan
musim panas 40 hari ini sebagai hari libur tambahan setelah liburan ini selesai?
Kupikir permintaan tersebut tidak terlalu muluk. Jika ada hari libur umum atau
nasional yang jatuh pada hari Minggu, kami biasanya mendapat libur pada hari
Senin, jadi secara teknis kami harus mengambil semua hari Sabtu yang terjadi
selama liburan musim panas—atau jika itu terlalu ngelunjak, setidaknya hari
Minggu—diubah menjadi hari libur setelah liburan musim panas berakhir. Pasti
dari kalian banyak yang setuju, ‘kan? Aku terus mempertimbangkan ide tersebut
sampai-sampai aku masih memikirkannya saat sarapan.
“Kamu sudah punya jatah liburan satu bulan penuh, tapi kamu masih minta lagi?
Memangnya ada sesuatu yang ingin kamu lakukan atau semacamnya? ” Ayahku
menanggapi dengan heran, jadi aku berhenti makan dan mulai berpikir.
“—Tidak terlalu juga.”
“Jadi kenapa?”
“Aku merasa seperti membuang-buang waktu saja.”
“Itulah yang dinamakan masa muda.”
“Kupikir masalah usia tidak ada hubungannya dengan ini.”
“Begitu kamu mencapai usiaku, kamu tidak bisa memikirkan apa-apa untuk
dilakukan bahkan jika kamu tiba-tiba mendapat hari libur.”
“Uwahh, kamu berani mengatakan itu di depan Akiko-san? Setidaknya buatlah
terdengar seperti kamu merasa senang menghabiskan waktu bersamanya…”
“Fufu, kamu sangat perhatian sekali, Yuuta-kun. Tidak seperti orang tertentu.”
Akiko-san berkomentar dari tempat duduknya di seberang Ayahku di meja saat
dia mengambil sepotong telur dadar gulung.
Sejak Ayahku dan dia menikah lagi dua bulan lalu, pada dasarnya dia sekarang
adalah ibu tiriku. Dia bekerja sebagai bartender di sebuah bar, jadi dia
kebanyakan bekerja di malam hari dan pulang sampai larut malam. Sedangkan
Ayahku sendiri hanya pegawai kantoran biasa, jadi Ia berangkat bekerja lebih
pagi tetapi setidaknya tidak pulang selarut itu. Meski mereka masih pengantin
baru, siklus siang dan malam mereka bertolak belakang kecuali pada akhir pekan
dan hari libur. Itu sebabnya, aku kembali diingatkan bahwa hari ini adalah akhir
pekan saat melihat Ayahku dan Akiko-san berbicara bersama di pagi hari seperti
ini.
“Tapi kamu perlu memikirkan hal-hal semacam ini, Yuuta-kun.”
“Perlu memikirkan?”
“Misalnya, hari ini mungkin hari Sabtu dan hari libur sekolah, tapi itu tidak jauh
berbeda dari hari lain yang kamu habiskan di liburan musim panas ini, kan?”
Aku mendapati diriku mengangguk terhadap argumen Akiko-san. Seperti yang
dia katakan, masa liburan yang panjang dan tidak ada sekolah membuatmu
kehilangan pemahaman tentang konsep hari, dan semuanya terasa samar dan
kabur. Terlebih lagi karena aku sudah menjalani gaya hidup seperti itu selama
sebulan penuh sejak liburan musim panas dimulai pada bulan Juli.
“Tapi hari ini adalah hari Sabtu, bukan hari biasa, ‘kan? Artinya kamu akan
bekerja sambilan nanti, Yuuta-kun.”
“Ya, aku ada shift penuh lagi hari ini, jadi aku harus pergi siang hari nanti.”
“Sungguh mengagumkan. Jadi kamu akan bekerja dengan jadwal yang sama
seperti kemarin, kan?”
“Iya.”
“Karena hari ini sebenarnya hari Sabtu, kamu akan mendapatkan bonus liburan,
dan menghasilkan bayaran lebih tinggi! Itu luar biasa!”
“Eh… eh?”
“Ini mungkin terasa seperti hari biasa, tetapi kamu sebenarnya dibayar lebih
banyak. Itu hal yang bagus. Bukannya setuju tentang itu?”
“Kurasa….begitu?”
“Jika hari ini bukan hari Sabtu, Kamu takkan mendapatkan bonus ini. Saat kamu
memikirkannya seperti itu, bukannya caramu saat ini menghabiskan liburan
musim panas merupakan cara yang terbaik?”
Setelah mendengarkannya, mau tak mau aku setidaknya merasa setuju dengan
sebagian hal itu. Meski logikanya terdengar sangat kontradiktif, tapi itu jauh
lebih mudah untuk dipercaya ketika kamu menggabungkannya dengan suara
Akiko-san yang sedikit ceroboh.
“Ya ampun. Asamura-kun, kamu itu ditipu.” Ayase-san menyela, sepertinya tidak
tahan lagi setelah cuma mendengarkan sampai sekarang.
“Benarkah?”
“Ya. Jika kamu mengikuti logika itu, maka bisa dibilang kalau kamu telah bekerja
penuh dengan gaji biasa sampai kemarin.”
“Ahh… begitu rupanya.”
Pada dasarnya, Ayase-san menyampaikan bahwa hari kerja selama liburan
musim panas bukanlah 'hari biasa', melainkan 'liburan' semua. Artinya, aku
tidak mendapatkan apa-apa dengan bekerja hari ini; yang ada justru aku
kehilangan potensi pendapatan. Alasan mengapa aku dengan mudah setuju
dengan logika Akiko-san adalah karena dia telah membutakanku dengan logika
bahwa hari Sabtu selama liburan musim panas seperti hari 'biasa' lainnya, yang
dia kemukakan pertama kali dalam percakapan, sehingga menciptakan konsep
bahwa hari ini adalah 'hari normal' dalam pikiranku. Menggiring proses
pemikiran orang memang sungguh hal yang menakutkan.
“Hati-Hati. Ibu punya bakat menjadi penjual mobil bekas.”
“Jahat sekali, Saki. Apa itu sesuatu yang harus kamu katakan kepada ibumu
sendiri?”
“Aku tahu persis bagaimana ibu benar-benar tergerak karena aku ini putrimu.
Menyesatkan orang tidak jauh berbeda seperti menyantap sarapan untukmu,
‘kan? ”
“Ahh, hal itu membuatku teringat sesuatu. Tidak peduli seberapa sedih atau
depresinya aku, Akiko-san selalu tahu bagaimana menghiburku.” Ayahku
menimpali dengan komentarnya sendiri seola-olah baru mengingat sesuatu
berkat apa yang Ayase-san katakan, tapi bukannya pada dasarnya kamu
mengaku kena tipu?
Memangnya itu sesuatu yang bisa kamu katakan dengan nada suara yang begitu
bahagia dan gembira? Lagi pula, wanita di depanku di sini dikenal sebagai
bartender berpengalaman dari seluruh distrik bisnis Shibuya, jadi dia ahli dalam
berurusan dengan pelanggan. Dia mungkin bisa membuat Ayahku dan aku
menari di telapak tangannya. Tapi itu bukan di sini atau di sana.
“Dipaksa bekerja pada hari libur adalah cara berpikir yang sedikit menyedihkan,
tapi selama aku ingat bahwa aku dibayar lebih hari ini, itu mungkin akan
berdampak lebih baik pada kondisi mentalku, jadi aku mungkin menerima cara
berpikir begitu “ ujarku. Akiko-san dengan lembut tersenyum dan menjulurkan
tangannya yang ramping ke arahku.
“Yuuta-kun, apa kamu mau nambah sup miso lagi?”
“Ya, tolong.”
“Ah, biar aku saja. Lagipula aku juga mau nambah.” Ayase-san berdiri di depan
Akiko-san dan mengambil mangkukku.
“Makasih.”
“Sama-sama.”
“Saki-chan, bisakah kamu sekalian memberiku satu porsi lagi?”
“Ah iya.” Ayase-san menerima mangkuk Ayahku dengan tangannya yang tidak
memegang sendok.
Setelah itu, dia membawa mangkuk ke panci yang ada di dapur, menyalakan
kompor, dan mengaduk sup miso. Sebelum mulai mendidih, dia mematikan api
lagi dan dengan hati-hati menuangkan sup ke dalam mangkuk.
“Terima kasih banyak, Saki-chan.”
“Ini bukan sesuatu yang istimewa, jadi jangan khawatir tentang itu. Ini,
Asamura-kun.”
“Terima kasih.”
Ayase-san meletakkan mangkukku di depanku dan duduk di kursinya sendiri
untuk melanjutkan kembali sarapannya.
“Sup miso buatan Saki-chan terasa lezat seperti biasanya.” Ujar Ayahku sembari
tersenyum cukup lebar hingga matanya terlihat setengah tertutup.
Di akhir pekan, Akiko-san dan Ayase-san sama-sama bertanggung jawab dalam
membuat sarapan, tapi sup miso adalah keahlian dari Ayase-san. Hari ini, dia
membuat sup miso standar dengan taburan daun bawang dan irisan tahu goreng.
Tahunya tercampur dalam sup dengan sempurna, membuatnya terasa lembut
dan kenyal, terlebih lagi tekstur daun bawang yang menyertai membuatnya enak
untuk dimakan.
“Yup, kamu benar. Sup miso Ayase-san memang sangat fantastis.”
“…Terima kasih, Asamura-kun.” Ayase-san terdengar seperti ragu-ragu sejenak
sebelum memberi tanggapan.
Setelah melihat ini, Akiko-san tersenyum mekar. “Fufu, kalian berdua sudah
cukup dekat.”
“Yup, kelihatannya begitu.”
Ayahku dan Akiko-san saling bertukar pandang, dan tersenyum puas. Aku
merasa lega melihat mereka seperti itu. Jika diingat-ingat kembali saat aku
masih kecil, sarapan bersama seperti ini selalu dibarengi dengan suara
kemarahan dan teriakan, atau percakapan canggung, yang mana membuat
makanan kehilangan semua rasa dan kehangatan. Dibandingkan dengan masa
itu, yang sekarang aku secara praktis dipaksa untuk menonton pasangan suami
istri yang mesra bertukar kata kasih sayang tanpa akhir.
Tentu saja, digoda dan merasa sedikit tidak nyaman tentang itu semua bagian
dari hubungan, tapi hal itu justru lebih baik daripada mereka menahan diri.
Ayase-san tampaknya sering terganggu olehnya, tapi fakta bahwa dia tidak segera
pergi menunjukkan bahwa dia merasakan hal yang sama denganku.
“Tapi kalian berdua masih memanggil satu sama lain dengan nama keluargamu,
ya?” Ujar Ayahku.
Akiko-san juga melirik Ayase-san.
“Apa kamu masih terlalu malu untuk memanggil satu sama lain dengan nama
aslimu? Kamu bisa memanggilanya dengan panggilan 'Yuuta-niisan', loh. ”
Aku mendapati diriku sepakat dengan usulan Akiko-san. Kurasa inilah yang
disebut perbedaan dalam pengalaman. Aku tidak bisa membayangkan Ayase-san
memanggilku 'Onii-chaaan~' dengan suara manis, tapi 'Yuuta-niisan' masih
terdengar masuk akal. Panggilan tersebut tidak terlalu berbeda dari 'Yuuta-san',
dan itu akan membuat kami terasa lebih seperti saudara… kurasa. Meski aku
takkan pernah bisa benar-benar mengetahuinya karena aku tidak punya dan
tidak pernah memiliki adik perempuan kandung. Tapi setidaknya, aku pikir ini
cukup masuk akal. Namun, Ayase-san menanggapi dengan tenang sembari
menggelengkan kepalanya.
“Bukannya aku merasa malu, tapi entah kenapa rasanya tidak benar.”
“Benarkah?”
“Beneran.”
“Yah, kamu benar. Panggilan 'Asamura-kun' membuatnya tidak terlalu rumit.”
“Rumit?” Aku bingung dengan tanggapan Ayahku, jadi Ia mulai menjelaskannya.
“Sebelum kami mulai berpacaran, Akiko-san memanggilku ‘Asamura-san’. Di
rumah, ada panggilan itu juga. Jadi untuk Saki-chan, 'Asamura-san' mengacu
padaku, dan 'Asamura-kun' mengacu padamu, Yuuta. Hal itu membuatnya lebih
gampang untuk diikuti, kurasa. ”
Aku bahkan tidak bisa mendengar bagian kedua dari apa yang Ayahku bicarakan.
Aku hanya tertegun, dengan mulut terbuka karena terkejut. Aku bahkan tidak
pernah memikirkannya, tapi itu benar. Justru, sangat jelas. Tak peduli seberapa
dekat hubungan mereka, masih ada tingkat kesopanan tertentu terhadap satu
sama lain. Terlebih lagi karena Ia masih menjadi pelanggan pada saat itu, dan
seorang veteran di bidang jasa tidak bisa tiba-tiba menutup jarak di antara
mereka dengan memanggil Ayahku 'Taichi-san'.
Di ruang publik, Masyarakat Jepang Modern menganggap penambahan '-
san' setelah nama cukup formal, tetapi terkadang menambahkan nama keluarga
orang pun menjadi tak terhindarkan… Eh, tunggu sebentar.
“Tunggu, jadi saat itu, Ayah memanggil Akiko-san dengan panggilan..…”
“Yup, aku memanggilnya ‘Ayase-san.’ Masuk akal, iya ‘kan?”
“Butuh waktu cukup lama baginya untuk mulai memanggil nama asliku, ya
ampun.”
“Hahaha, kamu membuatku jadi malu.” Ayahku menggaruk pipinya yang merah.
Gerakan yang hanya bisa digambarkan sebagai contoh orang yang telat puber ini
bahkan membuatku merasa malu. Ah, ya ampun, aku dipaksa untuk menonton
pasangan pengantin baru saling bermesraan di pagi hari. Tapi kurasa ini juga
bisa menjadi bukti betapa bahagianya mereka. Saat aku mengangkat kepalaku
dan melirik ke arah Ayase-san, dia membuat sedikit ekspresi bermasalah, tapi
segera melanjutkan memakan sarapannya.
Berkat itu, aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku juga. Terima kasih,
Ayase-san.
Setelah kami selesai sarapan, aku menyeduh kopi dan meletakkan cangkir di
depan semua orang. Karena sarapan sudah selesai dan aku tidak membantu
dalam urusan dapur, jadi kupikir setidaknya aku bisa melakukan sebanyak ini.
Ayahku dan Ayase-san lebih suka kopi hitam, tapi Akiko-san suka dengan sedikit
tambahan susu, jadi aku menuangkan sedikit ke dalam teko krim kecil dan
menawarkannya padanya.
“Terima kasih, Yuuta-kun.”
“Sama-sama.”
Sedangkan diriku, aku tipe orang yang meminum jenis kopi tergantung dari
suasana hati, jadi preferensiku lumayan acak. Untuk kopi, aku biasanya
bergantian meminum kopi Brazil Santos dan Blue Mountain. Ayahku pernah
mendengar di suatu tempat bahwa aromanya bisa membantumu fokus, jadi Ia
membeli banyak. Aku pikir Ia membeli banyak tepat sebelum ujian susulan
Ayase-san. Karena kami masih memiliki banyak stok, aku perlahan-lahan
menghabiskannya. Adapun bagaimana aku menyelesaikan tugas musim panasku
begitu cepat, entah karena waktu yang aku miliki di pekerjaan sambilanku atau
karena kopi.
“Tetap saja, aku tidak pernah mengira kamu akan mulai bekerja sambilan di
tempat Yuuta-kun, Saki.”
“Mau sampai berapa kali kita harus membahas itu, Bu?”
“Maksudku, aku tidak pernah membayangkan hal seperti itu.”
“Ini pertama kalinya aku bekerja sambilan, jadi kupikir jauh lebih mudah untuk
masuk ke dalamnya jika seseorang yang dekat denganku memiliki pengalaman.
Aku selalu menyukai buku, dan aku ingin membantu nilai bahasa jepang
modernku juga, jadi kesempatannya cukup sempurna, itu saja.”
Obrolan semacam ini mungkin telah terjadi setidaknya tiga atau empat kali sejak
awal liburan musim panas. Akiko-san masih agak bingung dengan itu, tapi bagi
Ayase-san, mungkin lebih mudah menjawabnya ketimbang pertanyaan di ujian
susulan yang dia dapatkan sebelum masa liburan.
Tentu saja, aku cukup terkejut melihat Ayase-san ingin bekerja sambilan di toko
buku, tempat yang menggabungkan pekerjaan fisik dengan gaji yang tidak
seberapa, mengingat betapa bersikerasnya dia ingin mencari pekerjaan dengan
bayaran tinggi. sedikit usaha dan waktu yang dihabiskan. Dia juga tampaknya
tidak terlalu menyukai buku sepertiku, meski aku bukannya mencoba menilai
hobinya atau semacamnya.
Oleh karena itu, aku sempat meragukan penglihatanku sendiri saat melihat
Ayase-san di toko buku pada hari itu. Sampai waktu itu, dia tidak pernah
mengungkit apapun mengenai rencananya maupun dia sudah memiliki tempat
bekerja dalam pikirannya. Aku lumayan penasaran dan ingin bertanya padanya
tentang hal itu segera, tapi aku tidak bisa mengabaikan pekerjaanku, jadi aku
harus menekan rasa penasaranku sampai jadwal kerjaku selesai. Tapi lagi-lagi,
semua itu cuma membuang-buang tenaga saja, karena dia langsung
memberitahuku setelah aku sampai di rumah. Ketika aku bertanya mengapa dia
tidak memberitahuku hal itu, jawaban yang dia ucapakan cukup sederhana.
“Rasanya akan memalukan jika mereka tidak menerimaku setelah aku melamar
di sana.”
Ini bukan plot twist yang menarik seperti dalam pertunjukan drama. Memang
benar kalau gagal dalam wawancara kerja itu memalukan, jadi aku memahami
niatnya. Sambil menyeruput kopi, aku mengingat kembali malam itu ketika
Ayase-san dengan santai memberitahuku 'Mulai besok, kita akan menjadi rekan
kerja, Asamura-kun'.
“Apa kalian berdua yakin ingin bekerja sepanjang liburan musim panas?”
“Jangan khawatir. Aku masih menghadiri kursus musim panasku. Aku bisa
menjaga diriku dengan baik, oke?”
Setelah duduk di bangku kelas 2 SMA, kamu harus mulai fokus pada ujian masuk
perguruan tinggi incaranmu. Terutama di sekolah kami, SMA Suisei. Sekolah
tersebut merupakan sekolah yang sangat bergengsi, jadi kebanyakan orang—
selain temanku Maru Tomokazu yang menghabiskan liburan musim panasnya
dengan kegiatan klub—umumnya fokus pada latihan ujian atau kursus musim
panas. Sebagai catatan tambahan, Ayase-san tidak menghadiri kursus musim
panas tersebut.
Karena kursus semacam itu biasanya ditawarkan oleh tempat les yang terkenal,
tentu saja mereka akan memungut biaya, dia harus meminta uang kepada
keluarganya untuk menghadirinya. Ayahku mengatakan kalau Ia tidak keberatan
membayarnya, tapi kalian sudah tahu sendiri sifat kepala batu Ayase-san.
Lagipula, dia berencana untuk memasuki universitas terkenal dengan upayanya
sendiri tanpa menerima bantuan apapun dari orang lain, dan aku menghargai
dirinya yang begitu.
“Kursus musim panas? Ahh, aku tidak terlalu peduli tentang itu.” Ujar Ayahku,
berdasarkan kepercayaan (atau begitulah yang aku yakini), dan mengabaikan
kerja kerasku.
Tapi sebaliknya, Ia menyuarakan keprihatinan ke arah yang berbeda.
“Maksudku, kamu dan Saki-chan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda
pergi ke mana-mana selama liburan musim panasmu.”
“Itu yang kamu maksud?”
Baik Ayase-san dan aku cukup sibuk setiap hari, jadi bisa berkumpul bersama
keluarga seperti ini saja sudah menjadi kejadian langka bahkan selama liburan
musim panas. Oleh karena itu, aku tidak menyangka kalau Ayahku mengabaikan
topik belajar dan tiba-tiba bersikap serius mengenai hal seperti itu.
“Ini sangat penting, tau. Begitu beranjak dewasa, kamu akan semakin kesulitan
menemukan waktu untuk benar-benar menikmati dirimu sendiri. Tidak ada
waktu seperti masa sekarang bagi kalian berdua untuk menghabiskan waktu
masa muda yang penuh cinta bersama teman-teman.”
“Mmhmm. Jadi mengapa aku merasa seperti Ayah telah mengalami banyak hal
meski sudah paruh baya begitu?”
“Dalam kasus kami, ini cinta antara orang dewasa. Tentu saja sangat berbeda.”
Atau begitulah katanya, tetapi ketika aku melihat pasangan ini, aku dibuat
penasaran di mana letak perbedaannya. Tapi itu akan menjadi pertanyaan
filosofis yang berlebihan saat ini. Mungkin semua orang di dunia hanya
berasumsi bahwa siapapun yang mengatakan sesuatu terlebih dahulu merasa
benar.
“Sebagai anak sekolahan, bukannya kamu seharusnya, kamu tahu sendiri lah,
pergi jalan-jalan, mengunjungi festival, dan membuat banyak kenangan?”
“Sebagai orang dewasa, bukannya Ayah seharusnya, itu loh, memperingatkanku
untuk tidak terlalu bersenang-senang? Lagian aku cukup bersenang-senang
menjalani jadwalku di tempat kerja, jadi semuanya tidak terlalu membosankan
dan bekerja melulu.” Aku menjawab dengan nada lelah.
Ayahku menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan. “Yang namanya kerja
tetap kerja. Kamu tidak dapat membandingkannya dengan jalan-jalan atau
sesuatu seperti itu, ‘kan? ”
“Yah, memang tidak salah sih...”
Maksudku, dari sudut pandang orang dewasa, bekerja sambilan masih dianggap
seperti bermain-main, bukan? Orang dewasa suka membicarakan sesutau
dengan nuansa seperti ini, ‘kan? Rupanya hal yang sama tidak dapat dikatakan
tentang Ayahku.
“Saat kamu sudah kelas 3 SMA, kamu akan sibuk dengan urusan ujian masuk
universitas, jadi bersenang-senang selagi bisa tidak ada ruginya, ‘kan?”
“Benar sekali. Aku khawatir Saki hanya melihat hidupnya berlalu begitu saja.”
Ayahku dan Akiko-san mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka dengan cara
yang sangat berbeda dari yang biasanya kamu harapkan dari orang tua. Sekali
lagi aku diingatkan bahwa mereka berdua sebenarnya sangat mirip satu sama
lain.
“Apalagi, temanmu mungkin merasa kesepian jika kamu tidak memberi mereka
perhatian.”
Teman, ya? Saat ayahku memberitahu itu, orang pertama yang muncul di
benakku adalah seorang pria berotot berkacamata.
“Aku tidak punya banyak teman, dan beberapa teman yang kupunya
mengabdikan hidup mereka untuk klub …” Aku tersenyum masam saat
menanggapi perkataan Ayahku.
Temanku, Maru Tomokazu adalah murid kelas 2 sama sepertiku, dan anggota
reguler klub bisbol. Bahkan selama liburan musim panas ini, tidak ada hari tanpa
latihan. Yang ada justru kamp pelatihan, latihan pertandingan di berbagai
prefektur, dan sejenisnya. Bahkan jika aku punya waktu untuk nongkrong, Ia
terlalu sibuk.
“Aku senang ada liburan panjang! Itu membuatku bisa berlatih lebih
ketimbang hari-hari sekolah biasa!” Ia memberitahuku sambil tersenyum, jadi
mungkin itulah sebabnya Ia masuk menjadi anggota reguler. Sambil memikirkan
apa yang dikatakan Maru, aku melirik ke arah Ayase-san.
“Selain diriku, aku merasa teman-teman Ayase-san mungkin mengajaknya pergi
keluar.”
“Tidak ada rencana.” Dia terus terang menyangkal semua asumsi yang
kupikirkan.
Satu-satunya teman Ayase-san yang kukenal cuma Narasaka Maaya, tapi tidak
seperti Maru, aku belum pernah mendengar apapun mengenai dirinya yang
mengikuti suatu klub. Belum lagi dia umumnya sangat peduli pada orang lain,
jadi kupikir, melihat seberapa dekat dia dengan Ayase-san, dia takkan
membiarkan liburan musim panas ini berlalu tanpa mengajaknya ke suatu
tempat. Karena Ayase-san telah menyangkal hal semacam itu, aku tidak dapat
menanyakan detailnya dan terpaksa menghentikan topik pembicaraan.
*****
Kemudian, saat aku berada di kamarku untuk bersiap-siap pergi bekerja, ada
seseorang mengetuk pintu kamarku. Ketika aku membukanya, Ayase-san tengah
berdiri di sana.
“Jika kamu penasaran tentang Maaya, maka jangan khawatir tentang itu. Kami
tidak memiliki hubungan dimana kami akan pergi keluar bersama selama
liburan musim panas. Cuma sekadar memberitahumu saja.”
Aku dibuat terdiam. Dia begitu blak-blakan tentang hal itu sampai-sampai
membuatku hening sejenak apakah aku sudah merusak suasana hatinya.
“Tunggu, Ayase-san.”
“…Apa?”
Ayase-san hendak kembali ke kamarnya sendiri, dan secara naluriah aku
memanggilnya. Tapi aku sendiri bahkan tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak
bisa mengungkapkannya dengan benar, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah,
dan sikapnya barusan terasa berbahaya. Biasanya instingku cukup bagus, jadi
jika aku membiarkan masalah ini, bisa-bisa urusan ini bakal runyam dan
menghantuiku dalam jangka panjang. Semua kesalahpahaman harus
diselesaikan secepat mungkin.
Setelah menghabiskan tiga bulan terakhir bersama Ayase-san, aku sekarang
sedikit mengerti bagaimana pola pikirnya dan bagaimana dia menghargai
waktunya, jadi aku bisa melihat bagaimana dia tidak ingin menghabiskan waktu
dengan teman-temannya di luar sekolah, terutama selama liburan. Karena itu,
dia bahkan takkan berinteraksi dengan orang asing mana pun — yang mana tidak
sepenuhnya benar. Dia mengundang Narasaka-san ke rumah, dan kami bermain
game bersama, Narasaka-san mengajarinya di sini, dan dia bahkan membantu
membuat makan malam. Bila kamu tiba-tiba melihat ada jarak di antara
keduanya, sepertinya mereka tiba-tiba berkelahi atau semacamnya.
“Maaf.”
“Hah?” Aku segera mengangkat kepalaku, jalan pikiranku terputus sebelum aku
bisa mengatakan sesuatu.
Dengan ekspresi yang agak bermasalah, Ayase-san terus berbicara.
“Aku bukannya marah atau dalam suasana hati yang buruk, oke? Maaf jika aku
membuatmu khawatir. Tapi Maaya dan aku tidak terlalu sering jalan-jalan.”
“Bukannya dia pernah mampir ke sini beberapa kali?”
“Itu karena dia tertarik untuk mencari tahu kamu itu orang seperti apa. Pada
kesempatan lainnya, aku mengundangnya karena dia pandai menjaga orang lain,
kan?”
Benar juga, Narasaka-san bilang dia punya banyak adik laki-laki. Tidak seperti
aku dan Ayase-san yang sama-sama anak tunggal, dia diajari sejak kecil
bagaimana mempedulikan orang lain dan masalah mereka.
“Pada dasarnya, jika tidak ada yang mengajak, biasanya takkan terjadi apa-apa.”
“Ahh, baiklah. Aku mengerti. Aku sendiri bukan tipe orang yang benar-benar
bergaul dengan orang lain.”
“Apa kamu lebih suka sendirian?”
“Lebih dari pergi keluar, kurasa.”
Bisa dibilang kalau aku cukup pandai menghibur diri sendiri. Aku dapat
menghabiskan waktu sendiri selama yang aku mau, dan aku tidak merasa kalau
itu membosankan atau sia-sia. Jika ada, menghabiskan waktu bersama orang
lain bisa sangat melelahkan bagiku. Saat aku kecil, ibuku selalu dalam suasana
hati yang buruk, jadi aku harus selalu berhati-hati untuk tidak membuatnya
marah saat berada di rumah. Itu selalu membuatku merasa lelah dan tegang.
Bagiku, rumah bukanlah tempat dimana aku bisa merasa nyaman. Mungkin
itulah sebabnya aku mengembangkan tipe kepribadian kutu buku yang tertutup
ini. Bukannya aku baik-baik saja sendiri. Tapi lebih seperti kesendirian hanya
membuat segalanya lebih mudah bagiku.
“Jadi kamu juga sama, ya. Kurasa itu berarti topik ini sudah selesai?”
“Ya.” Aku setuju.
“Baiklah, aku harus bersiap-siap untuk bekerja. Dan, aku akan mengambil jalan
memutar saat berangkat ke sana, jadi mungkin aku akan pergi duluan.”
“Baiklah.” Aku mengangguk, tetapi perasaan tidak nyaman di hatiku tidak mau
hilang.
Aku tidak ingin berpikir kalau dia berbohong, tapi ada sesuatu yang janggal
mengenai apa yang dikatakan Ayase-san. Setelah dia masuk ke kamarnya sendiri,
aku terus merenungkan perasaan aneh yang menggangguku ini, dan menyadari
satu hal. Kenapa Ayase-san sampai repot-repot mendatangi kamarku dan
menekankan bahwa dia tidak punya rencana untuk pergi keluar dengan
Narasaka-san selama liburan musim panas?

******
Aku keluar dari area apartemen tepat sebelum waktu tengah hari. Jadwal kerjaku
untuk hari ini akan berlangsung dari sore hingga malam hari. Setelah memarkir
sepeda di sudut tempat parkir, aku memeriksa jam. Aku menyadari bahwa aku
masih punya waktu sekitar tiga puluh menit sampai giliran kerjaku dimulai.
“Lagi pula, sudah tidak ada banyak waktu buat keluar lagi ...”
Aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di dalam toko, jadi aku masuk
melalui pintu masuk pelanggan biasa. Begitu memasuki area toko, aku melihat
rilisan baru dan buku-buku populer di rak dan pajangan depan. Ini mungkin
lokasi yang paling menarik dari seluruh toko buku, tapi karena itu, selalu ada
sedikit perjuangan untuk mendapatkan apapun di sana tergantung pada
waktunya. Saat ini, seorang pegawai yang kutaksir berusia 40-an melirik sekilas
di bagian rilisan baru sebelum berjalan menuju rak majalah olahraga.
Meski sudah tidak punya banyak waktu, selalu ada baiknya untuk melihat apa
yang baru. Karena hanya ada satu pintu masuk ke toko, bagian kasirnya dekat.
Wajar saja. Bagi orang-orang yang sudah menyelesaikan pembeliannya, hal
terpenting adalah segera pindah ke lokasi lain, dan berjalan-jalan di dalam toko
lebih dari yang diperlukan setelah menyelesaikan pembelian hanya akan
merepotkan mereka.
Jika kamu berjalan melewati sudut ini dengan barang-barang baru dan populer,
melewati beberapa rak buku, kamu akan mencapai area dengan buku-buku yang
tidak benar-benar terlaris saat ini. Semua orang tahu kalau kamu harus
meletakkan buku-buku populer di tempat di mana banyak mata menemukannya.
Di setiap toko buku, ada sistem dan pengaturan tertentu mengenai bagaimana
menampilkan buku di toko. Meski aku hanya diajari tentang itu oleh seorang
senior di tempat kerja, hal itu sangat masuk akal bagiku. Oh ya, hal itu jadi
membuatku teringat saat pertama kali mulai bekerja di sini.
…………
“Yomiuri-senpai, bukankah toko buku sering mengubah tampilan rak buku?”
Sekitar sekali atau dua kali dalam setahun, toko buku akan mengubah lokasi
bagian populer ini. Bahkan toko yang lebih besar sepertinya tidak bisa
meninggalkannya di tempat yang sama. Aku tidak bisa membayangkan
perpustakaan melakukan itu.
“Pasti rasanye merepotkan, bukan? Tidak tahu letas di mana semua buku-buku
tersebut.” Aku mengemukakan sesuatu yang harus dirasakan oleh setiap
pelanggan toko buku biasa setidaknya sekali dalam hidup mereka.
“Yup, itu sebabnya,” itulah jawaban dari Yomiuri-senpai yang masih penuh teka-
teki.
“Apa?”
“Pihak toko buku melakukan hal itu justru karena kamu ingat di mana letak
segala sesuatunya.”
“Maksudnya apa? Aku masih belum paham”
“Secara teknisnya sih, itu karena kamu berpikir kalau kamu mengingatnya.
Manusia sebenarnya tidak mengingat detail kecil meski mengingat gambaran
yang lebih besar. Apa kamu ingat buku apa yang ada di sini sebelumnya? ” Senpai
bertanya sambil mengetuk salah satu sudut rak buku tempat dia berdiri di
sebelahnya.
Tampaknya belum terjual terlalu lama, tetapi ruang itu kosong. Karena ini adalah
rak bagian novel ringan, aku cukup sering datang ke sini, namun aku masih tidak
dapat mengingat dengan jelas buku apa yang ada di lokasi ini sebelumnya.
“Ini jawabanmu.”
Dia menunjukkan sampul buku yang baru saja kami terima hari ini. Buku
tersebut cukup populer, dan berasal dari seorang penulis yang terkenal dengan
cerita pendeknya. Tentu saja, aku sudah membaca beberapa karya sebelumnya,
dan saat melihat sekeliling rak buku, aku seharusnya menyadari bahwa itu
dipenuhi dengan buku-buku dari penulis yang sama. Meski itu bukan bagian dari
seri lagi.
“Ah, jadi ini buku yang itu?”
“Tapi ketika kamu melihat rak buku, kamu tidak berpikir ada yang berbeda dari
biasanya, kan?”
“Kalau itu…. memang sih.”
“Pada dasarnya, kamu tidak ingat apa yang ada di dalam rak. Namun, otakmu
berpikir bahwa rak itu masih sama seperti sebelumnya. Manusia tidak jauh
berbeda dengan binatang, jadi jika mereka tidak berpikir ada sesuatu yang salah
atau berbeda, perhatian mereka akan menurun.”
Mau tak mau aku mengerang saat Senpai mengatakan itu. Meski dia
menggunakanku sebagai contoh, aku masih bisa mengatakan bahwa apa yang dia
katakan masuk akal. Tentu saja, aku tidak melewatkan senyum tipisnya di akhir.
Dia mungkin terlihat seperti wanita yang cantik, tapi di dalanya sangat busuk.
Setidaknya itulah yang sudah kupikirkan saat itu.
“Jadi itu sebabnya pihak toko mengubah tampilan rak buku?”
“Yup, itu sebabnya kami mengatur semua itu. Jika tidak ada perubahan, kamu
mungkin bisa berbelanja tanpa harus benar-benar melihat. Pada dasarnya kami
menghancurkan kenyataan itu, mengubah lokasi rak buku dan sejenisnya secara
berkala . Kemudian kamu harus berjalan-jalan sebentar mencoba menemukan
apa yang kamu cari, dan mau tidak mau kamu akan lebih memperhatikan
lingkungan sekitarmu. Berbeda dari perpustakaan, kami secara aktif mencoba
menjual buku. Jika kami cuma menempatkan rilisan baru dan populer di
tampilan khusus, semua buku yang tersisa di toko akan tidak berguna, karena
orang tidak melihat buku lain selain dari apa yang mereka cari. Toko buku tidak
dapat bertahan tanpa memindahkan rak dari waktu ke waktu. Aku tahu toko
buku yang menghilang seiring berjalannya waktu karena rak mereka pada
dasarnya membusuk di tempat!”
“Terima kasih banyak atas penjelasan filosofis dan mendalamnya, Senpai.”
“Aku cukup keren, iya ‘kan?”
“Kamu mirip seperti kakek tua keriputan dari game RPG.”
“Hmph, itu tidak terdengar keren sama sekali.” Balasnya sambil cemberut.
……………
Sambil mengenang apa yang Senpai katakan saat itu, aku mengalihkan
perhatianku dari deretan barang baru dan melihat ke bagian dalam toko. Toko
buku cukup banyak memamerkan pengetahuan umat manusia. Selain itu, rilisan
baru mencerminkan arus informasi dunia untuk generasi saat ini. Aku bisa
merasakannya di kulitku hanya dengan melihat judul dan sampul. Sejujurnya, ini
cara yang bagus untuk menghabiskan waktu.
Aku melewati pajangan buku dan memulai penjelajahanku di dalam toko. Aku
memeriksa terbitan baru, menelusuri jilidan buku-buku di rak. Ketika aku
melakukan ini, aku dapat memeriksa bagaimana kinerja toko, dan aku
bisa membantu pelanggan dengan lebih baik setelah giliran kerjaku benar-benar
dimulai. Setelah beberapa saat berlalu, aku mulai berpikir kalau aku mungkin
harus mengganti seragamku saat ada seseorang tiba-tiba menepuk pundakku.
“Yo, Kouhai-kun.”
Saat aku berbalik, Yomiuri-senpai berdiri di sana dengan pakaian santainya.
“Senpai, tolong jangan mengagetkanku begitu. Aku hampir terkena serangan
jantung, tau.”
“Memangnya kamu selalu memiliki hati serapuh itu?”
“Mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi aku memang punya.”
“Jika kamu mau menunjukkannya kepadaku, aku mungkin akan
mempercayaimu.”
“Jika kamu mengembalikannya ke tempatnya setelah itu, aku tidak keberatan
menunjukkannya padamu.”
Setelah mendengar jawabanku, Senpai tersenyum bahagia.
“Kamu itu siapa, Shakespeare? Bahkan aku tahu kalau kamu tidak dapat
mengambil hatimu tanpa menumpahkan darah. Kurasa aku harus
mempercayaimu tanpa bukti.”
“Aku sangat menghargainya.”
Hari ini, Yomiuri-senpai mengenakan celana jeans denim slim-fit dengan blus
tanpa lengan, rambut panjangnya diikat ke belakang dengan model kepang dua.
Pemilihan bajunya terlihat nyaman dan santai, bahkan tampak menyegarkan
untuk musim sekarang.
“Bukannya kamu datang terlalu cepat?”
“Hal yang sama berlaku padamu, Senpai.”
Bukannya dia mempunyai jadwal kerja yang sama denganku dan Ayase-san?
“Bermalas-malasan terus di rumah bikin aku bosan. Mumpung di sini juga ada
A/C, jadi kupikir aku akan melihat-lihat ke dalam toko dulu sebelum memulai
giliranku.”
“Apa kamu sebosan itu?”
“Itulah artinya menjadi seorang mahasiswa.”
“Bagaimana dengan seminarmu, UKM-mu, dan penelitianmu?” (TN: Unit
Kegiatan Mahasiswa adalah istilah ekskul di perguruan tinggi)
“Ahhhh, aku enggak dengaaaaaarrrrr, aku tidak bisa mendengarmu sama
sekaliiii.”
“Jangan bertingkah seperti anak SD. Ingat umur coba.”
“Ingat pepatah 'Lebih baik terlalu besar daripada terlalu kecil', Kouhai-kun?”
“Logika murahanmu membuatmu terdengar seperti anak SMP.”
“Tak peduli berapa usiaku bertambah, apa yang ada di dalam tidak akan
berubah.”
“Kamu mencoba terdengar pintar, tapi ini cuma upaya setengah-setengah
menghindari pertanyaanku tentang kamu yang malas, kan?”
“Kamu akan mengerti bagaimana perasaanku setelah kamu mulai kuliah,
Kouhai-kun. Mahasiswa perguruan tinggi tidak sedewasa yang kalian kira siswa
SMA.” Yomiuri-senpai mencoba berbicara sendiri sambil tersenyum.
Kredibilitasnya saat mengatakan itu jauh berbeda dari sebelumnya.
“Ngomong-ngomong, di mana adik kecilmu?”
“Entah? Apa dia belum datang? Dia meninggalkan rumah lebih dulu, jadi aku
berasumsi dia akan segera tiba di sini. ”
Selama sebulan terakhir ini, aku dan Ayase-san tidak pernah berangkat kerja
bareng. Dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana kami harus membuat batas
mirip seperti bagaimana hubungan kami di sekolah, dan aku pun setuju.
Bukannya ada hal buruk akan terjadi jika pihak toko mengetahui bahwa kami
bersaudara, dan karena Ayase-san harus menyerahkan lamaran pekerjaannya,
aku cukup yakin manajer toko sudah tahu bahwa kami bersaudara. Dia cuma
tidak menyebarkan informasi ini kepada karyawan lain dari apa yang aku tahu.
Selain itu, aku biasanya berangkat menggunakan sepeda, sedangkan Ayase-san
dengan berjalan, jadi aku harus memperlambat dan dia harus mempercepat
untuk mengimbangi satu sama lain jika kita ingin datang ke sini bersama-sama,
baik aku dan Ayase-san sama-sama menikmati bentuk pertimbangan yang
mencolok seperti ini.
“Tetap saja, aku tidak pernah menyangka kalau adikmu akan bekerja di sini~ Eh,
apa-apaan ekspresimu itu?”
“Yah ... aku sempat mendengar percakapan serupa di rumah.”
Kenapa semua orang berpikir kalau Ayase-san yang bekerja sambilan di toko
buku merupakan hal yang mengejutkan? Saat aku menanyakan pertanyaan ini
pada Yomiuri-senpai, dia memikirkannya sejenak.
“Bukan hal yang aneh melihat seseorang bekerja sambilan di toko buku. Namun,
pernyataan itu cuma berlaku untuk anak SMA yang hanya ingin sedikit bermain-
main. Adikmu itu orang yang rajin dan serius dengan pekerjaannya seperti
dirimu, Kouhai-kun.”
“Mungkin… Oh iya, Senpai, apa kamu punya rencana pergi ke suatu tempat di
musim panas ini?”
“Hmmm? Aku? Tentu saja ada. Aku akan mengenakan baju renang yang seksi
dan menunggu dirayu di pantai.”

Dia mengatakannya sambil membusungkan dada dengan penuh percaya diri.


Memangnya kamu benar-benar perlu bertingkah sesombong ini? Belum lagi baju
renang yang seksi? Baju renang apa? Yah, dari sudut pandang objektif, Yomiuri-
senpai cukup cantik dan bertubuh modis. Andai saja dia menutup mulutnya, dia
terlihat seperti contoh sempurna dari wanita ideal jepang, terutama dengan
rambut hitam panjangnya yang memikat. Tapi lagi-lagi, di dalam dirinya
hanyalah Om-Om tua yang suka candaan jorok.
“Laut, ya?”
“Apa-apaan dengan ekspresi terganggu itu?”
“Yah… aku hanya bisa membayangkannya sebagai gerombolan orang.”
Jika ingin berenang bebas, kamu perlu berada di pantai Honshuu untuk
menghindari keramaian. Belum lagi bagi seorang introvert seperti diriku, pergi
ke pantai yang ramai masih terlalu berat.
“Aku tidak pergi ke sana untuk berenang, jadi tidak masalah.”
“Kamu pergi ke sana cuma ingin untuk dirayu?”
“Yup, yup.”
“Memangnya ada bagusnya kena rayu?”
“Aku bisa makan gratis berkat itu.”
“Kamu bahkan tidak terlihat miskin ...”
Maksudku, aku tahu bayaran dari toko buku tidak seberapa. Pada dasarnya, toko
buku tidak mempunyai rentang keuntungan yang bagus, jadi gajinya tidak bisa
dibanggakan. Bahkan jika kamu menjadi karyawan tetap toko buku, gajinya
masih pas-pasan. Bisa dibayangkan berapa besar bayaran yang didapat jika kamu
cuma menjadi pekerja sambilan.
“Astaga, apa kamu tidak menyukai cara mendapatkan makanan gratis ini?”
“Tidak juga, aku hanya tidak suka berhutang pada orang lain. Lagian, terus-
menerus ditraktir seperti itu pada dasarnya sama saja kamu mengakui kalau
kamu tidak mendapatkan uang, yang mana masih meninggalkan perasaan getir.”
Aku suka menjalani hidupku dengan prinsip timbal balik. Jadi, selalu disuguhi
hal-hal gratis, atau hanya menerima kebaikan orang lain, tidak sejalan dengan
prinsipku. Tidak ada yang lebih mahal dari sesuatu yang gratis. Belum lagi
makanan yang aku beli dengan uang yang kuperoleh dari jerih payahku sendiri
rasanya sepuluh kali jauh lebih enak.
“Yah, itu sangat sesuai dengan sifatmu, Kouhai-kun. Tapi aku menawarkan
mereka penampilan baju renang seksi dari gadis yang cantik, jadi bukan berarti
aku sepenuhnya makan gratis, iya ‘kan?”
“Seksi…? Kamu sudah terdengar seperti Om-Om tua. Apa kamu yakin
penampilanmu itu belum layu?”
“Jadi, kamu memanggilku gadis universitas yang punya penampilan peot?”
“Aku tidak pernah mengatakan itu.”
Aku hanya memikirkannya, itu saja.
“Aku bisa tahu apa yang kamu pikirkan!”
“Aku minta maaf.”
“Ngomong-ngomong,” Senpai meletakkan jari telunjuknya di bibirnya dan
tersenyum seperti kucing yang menggoda. "Semua yang aku bilang tadi itu
bohong.”
“…Semuanya?”
“Ya, semuanya.”
“Jadi, buat apa semua kobohongan tadi?”
“Tidak ada makna yang mendalam untuk itu!” Senpai bersikeras.
Saat aku melihat ke arah Yomiuri-senpai yang sekarang mengetahui bahwa
semua perkataannya adalah bohong, aku mungkin seharusnya bisa
mengetahuinya dari awal. Aku merenungkan kesalahanku. Lagi pula, lengannya
yang terlihat dari balik blus tidak menunjukkan tanda-tanda kecokelatan atau
terbakar sinar matahari. Kulitnya masih seputih salju seperti biasanya.
“Yah, kesampingkan candaan tadi, kita mungkin harus berganti seragam
sekarang.”
Kami berjalan ke area belakang toko buku dan berpisah. Aku berganti pakaian di
ruang ganti pria yang kosong, dan mengenakan seragam aku. Begitu aku
melangkah keluar untuk menuju ke kantor, Yomiuri-senpai dan Ayase-san
melangkah keluar dari ruang ganti wanita. Sepertinya dia datang tepat waktu.
Dia mengenakan celemek yang sama seperti Senpai. Tidak seperti di sekolah atau
di rumah, dia sekarang mengikat rambut panjangnya dengan pita, mungkin
untuk membantunya bekerja lebih efisien. Rambut pirangnya yang berkilauan
tampak seperti ekor kuda yang sombong dan terkenal. Kesenjangan antara
seragam karyawan dan gaya rambut mencolok membuatnya menonjol di toko,
dan mataku kadang-kadang mengikuti sosoknya.
Rasanya tatapan mata kami bertemu sekilas. Namun, ini hanya berlangsung
sesaat, dan dia langsung mengalihkan pandangannya lagi. Ini tidak bagus. Aku
harus terbiasa dengan ini. Atau begitulah yang aku gumamkan pada diriku
sendiri saat memperbaiki postur tubuhku. Aku ragu Ayase-san menyukainya saat
aku meliriknya.
Di dalam toko sendiri sudah cukup ramai. Mungkin karena hari Sabtu, tapi
mungkin juga karena sedang liburan musim panas. Meski begitu, ada rentang
waktu singkat ketika gerombolan pelanggan mereda. Kupikir sekarang sudah
sekitar jam 3 sore. Setelah menyelesaikan pembelian di kasir, Ayase-san dengan
sopan mengucapkan "Terima kasih banyak!" kepada pelanggan saat mereka
pergi. Karena sudah tidak ada pelanggan lain yang mengantri, Ayase-san,
Yomiuri-senpai, dan diriku yang berbaris di belakang kasir, menghela nafas lega.
“Kamu melakukannya dengan hebat meski baru bekerja di sini selama satu
bulan, Ayase-san!”
“Benarkah?”
“Yup. Kupikir kita punya anak yang pintar saat Kouhai-kun melamar kerja di
sini, tapi kamu bahkan mungkin mengalahkannya.”
Nada suaranya terdengar seperti dia serius. Secara pribadi, aku pun setuju.
Semua yang dia lakukan sempurna, mulai dari berurusan dengan kasir hingga
membantu pelanggan. Aku bahkan tidak perlu turun tangan langsung dan
membantunya. Belum lagi sekitar seminggu setelah dia mulai bekerja di sini, dia
sudah mengingat semua detail kecil tentang pekerjaan ini, menyesuaikan diri
jauh lebih cepat daripada diriku saat pertama kali bekerja di sini.
Itu mengingatkanku, Yomiuri-senpai memanggil Ayase-san 'adik kecil' ketika
berada di hadapanku, tapi ketika dia berbicara langsung dengannya, terutama di
dalam toko, dia juga sering memanggilnya 'Ayase-san'. Hal-hal semacam ini
membuatnya tampak sangat dewasa. Tentu saja, secara mental. Bukan dalam
artian secara fisik.
“Terima kasih banyak.” Ayase-san membalas senyuman hangat.
Akri-akhir ini, dia bertingkah lebih acuh dan cuek kalau di rumah, jadi saat aku
melihatnya tersenyum seperti itu terasa baru. Tapi sekali lagi, senyumannya itu
mendekati senyum palsu yang pertama kali dia tunjukan padaku di restoran
keluarga.
“Tapi itu menunjukkan betapa bagusnya kamu dalam mengajariku, Senpai.”
“Tanggapan tersebut justru membuktikan betapa menakjubkannya dirimu.”
“Tidak tidak, aku sama sekali tidak bohong, kok.”
“Anoo…”
“Ah iya!”
Seorang pelanggan berbicara di sisi lain kasir, dan Ayase-san berbalik dan mulai
membantu mereka dengan senyum sempurnanya. Pelanggan tersebut ialah
wanita tua yang sepertinya sedang mencari manga.
“Gimana kalau aku saja yang mengurus mesin kasir?”
“Iya, mohon bantuannya.” Ayase-san mengangguk dan melangkah keluar ke toko
utama.
Kupikir dia akan segera kembali, tapi setelah sekitar sepuluh menit, Ayase-san
tidak menunjukkan tanda-tanda kembali. Sementara itu, ada banyak pelanggan
mengantre di depan kasir, yang mana membuatku takbisa punya kesempatan
untuk mencarinya. Selain buku, Ayase-san tidak membaca manga apapun. Dia
mungkin tersesat saat mencoba membantu pelanggan.
“Serahkan mesin kasirnya padaku. Kamu bisa pergi membantunya. ” Senpai pasti
melihat ekspresi khawatirku, karena dia menepuk punggungku.
Aku meninggalkan sisanya padanya dan melangkah keluar ke dalam area toko.
Saat aku berjalan menuju bagian rak manga, aku dengan cepat melihat Ayase-san
berjalan di sepanjang rak buku dengan pelanggan di belakangnya.
“Apa semuanya baik-baik saja, Ayase-san?”
“Asamura-san…” Ayase-san berbalik dengan ekspresi bermasalah di wajahnya,
alisnya terlihat menggantung rendah.
Dari penjelasannya, wanita tua itu sedang mencari manga untuk cucunya.
Dengan kata lain, dia sendiri tidak tahu banyak tentang manga, dan dia juga
memiliki ekspresi yang agak kebingungan. Dia bilang sedang mencari rilisan
baru dari bulan ini. Manga tersebut baru saja mendapatkan pengumuman
adaptasi anime, dan memiliki penjualan yang cukup bagus. Mengingat berapa
banyak salinan yang kami dapatkan dari seri populer, aku tidak bisa
membayangkan kalau manga yang dimaksud akan terjual habis. Tapi Ayase-san
tidak bisa menemukannya.
“Dilihat dari penerbitnya, seharusnya manga itu ada di rak sebelah sini ...”
“Apa kamu sudah memeriksanya?” Aku melirik ke mesin yang ada di sudut toko
buku.
Kami harusnya bisa mengetahui apa manga itu masih tersedia atau tidaknya
berkat fungsi pencarian mesin.
“Dari datanya kita masih memiliki lima salinan, tapi ...”
“Manga itu tidak ada di pajangan?”
“Iya, aku sudah memeriksanya.”
Setelah memastikan situasinya berkat masukan Ayase-san, aku mulai berpikir.
Sungguh aneh bila tidak bisa menemukan manga yang dimkasud meski baru saja
dirilis. Kami masih punya persedian yang tersisa meski betapa populernya seri
itu juga. Namun, karena tidak ada dalam tampilan item populer, aku terpaksa
melihat melalui sampul di rak. Rak ini dipenuhi dari ujung kepala hingga ujung
kaki dengan manga dari label penerbitan itu. Mencari nama penulis dengan
urutan huruf A i u e o, aku melihat seri yang lebih lama dari mereka, tetapi bukan
rilis terbaru. Sepertinya yang kami taruh di rak sudah habis terjual.
“Tidak ada di sini…”
“Ya. Aku tahu itu seharusnya ada di sini, tapi…”
“Itu artinya… Hmm, mungkin di sini…”
Aku memindahkan buku-buku yang ditumpuk di bawah rak. Kemudian manga
lain, dan yang sama sekali berbeda dari yang lainnya, muncul. Manga itu adalah
rilisan baru yang kami cari.
“Ah!”
“Ada. Apa benar yang ini?”
Di toko buku, para pelanggan sering mengambil buku dari rak untuk dilihat-lihat
tapi sering tidak mengembalikannya ke tempat semula. Hal ini merupakan
contoh lain dari kejadian itu. Jika buku itu disimpan secara acak di tempat lain,
buku yang ditaruh mungkin akan lebih menonjol, dan dengan demikian lebih
mudah bagi Ayase-san untuk menemukannya, tapi karena mereka menaruh
manga lain di atas manga yang kami cari, secara efektif dan tidak disengaja jadi
tersembunyi seperti itu. Jumlah salinan ada di bawah juga sama dengan jumlah
yang mesin pencari katakan bahwa kami masih memiliki stok.
“Hebat sekali…! Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Yah… insting, mungkin? Lebih penting lagi, pelanggan sedang menunggu.”
“Ah, ya. Um ... apa ini yang Anda inginkan? ” Ayase-san menoleh ke arah
pelanggan, memeriksa apa manga itu yang dia inginkan.
Ketika dia menanyakan itu, wanita tersebut membalas dengan senyuman
bahagianya.
“Ya, ya, sepertinya yang ini.”
“Syukurlah, apa hanya ini saja yang Anda butuhkan?”
Wanita itu hanya balas mengangguk, kami lalu mengantarnya ke meja kasir dan
menyelesaikan pembayaran. Wanita itu tampak sangat senang karena berhasil
dengan perjalanan belanjanya, dan dia dengan erat memeluk manga dan
mengobrol sedikit, lalu pergi. Saat dia keluar dari toko, aku dan Ayase-
san menghela nafas lega.
“Aku senang akhirnya kita bisa menemukannya. Jadi bagaimana kamu bisa tahu
untuk melihat ke sana? Rasanya sudah hampir seperti semacam kekuatan super.”
“Tidak, sama sekali bukan seperti itu.”
Di kartu yang dipajang, tertulis 'Rilis 2 Agustus!', tapi label pada buku di atas
tumpukan merupakan label yang biasanya tidak boleh dirilis pada hari itu. Pada
dasarnya, buku itu seharusnya tidak ada di tumpukan itu sejak awal, dan
keanehan tersebut sangat menonjol di mataku.
“Aku sama sekali tidak tahu…”
Aku tidak menyalahkan Ayase-san karena tidak terbiasa dengan rilis manga.
Berbeda dariku, dia tidak secara teratur memeriksa rilisan baru.
“Sulit untuk memperhatikan hal semacam itu jika kamu tidak terbiasa. Aku
hanya punya sedikit pengalaman, cuma itu saja.”
—Jika binatang tidak berpikir ada sesuatu yang salah atau berbeda, maka
perhatian mereka akan berkurang.
Ucapan yang pernah Senpai katakan padaku dulu sekarang kembali terlintas di
pikiranku. Saat otakmu berpikir 'itu tidak ada di sana', lalu matamu juga akan
mengabaikannya.
“Meski begitu, aku pikir itu sangat luar biasa.”
“Aku yakin Yomiuri-senpai akan menemukannya lebih cepat.”
Yomiuri-senpai berganti giliran dengan kami, dan sekarang tengah berpatroli di
dalam toko. Saat aku sedang memikirkannya, Ayase-san menggumamkan 'Begitu
ya' dengan nada acuh dan berdiri di belakang mesin kasir lagi. Semakin banyak
pelanggan muncul untuk membeli sesuatu, jadi semuanya kembali sibuk.
Aku bisa melihat siluet rembulan mulai terbit di antara celah bangunan. Ada
sekitar sepuluh hari tersisa di bulan Agustus, jadi hembusan angin masih terasa
hangat, dan sisa panas mulai naik dari aspal. Waktu mengalir semakin cepat
mendekati jam 10 malam, dan sebenarnya sudah lima belas menit sejak jadwal
kerjaku berakhir. Pelajar SMA hanya diperbolehkan bekerja sampai jam 10
malam, tapi pada dasarnya kami diizinkan untuk pulang pada jam 21:50. Meski
begitu, berganti pakaian dan mengucapkan selamat tinggal membutuhkan waktu
sepuluh menit penuh.
Ayase-san dan aku pulang bersama, dan berjalan berdampingan. Karena kami
berdua memilih untuk tidak terlalu perhatian satu sama lain, kami bedua sama-
sama tidak keberatan dengan berangkat kerja pada waktu yang berbeda. Namun
kami berjalan pulang bersama. Alasan untuk ini ada kaitannyanya dengan syarat
Akiko-san untuk membiarkan Ayase-san bekerja sambilan. Syaratnya yaitu, dia
meminta kami untuk berjalan pulang bersama ketika jadwal kerja kami selesai
pada malam hari. Dia tidak ingin seorang gadis berjalan pulang sendirian di kota
besar seperti Shibuya. Hal itu menunjukkan seberapa besar kasih sayangnya
sebagai ibu.
Pada awalnya Ayase-san menentang syarat tersebut. Dia berpendapat bahwa
meminta kakak laki-lakinya bertindak sebagai pengawal merupakan syarat yang
terlalu berlebihan. Menurutnya, dia sering bolak-balik sendirian ke bar tempat
Akiko-san bekerja, dan dia selalu aman. Oh ya, ada desas-desus mengenai Ayase-
san yang terlibat dalam semacam bisnis kencan berbayar yang mencurigakan,
tapi dalam kenyataannya, beberapa siswa kebetulan melihatnya saat dia sedang
dalam perjalanan untuk bertemu Akiko-san, dan mereka salah paham dengan
situasinya. Hal itu jadi bisa menjelaskan banyak hal.
Dan mungkin ada alasan lain mengapa Ayase-san awalnya mencoba menolak
syarat aku harus menemaninya. Karena aku bepergian dengan sepeda dalam
perjalanan ke tempat kerja kami, jadi aku bisa pulang lebih cepat. Jadi dia tidak
ingin merepotkanku. Jika posisi kami terbalik, aku mungkin akan merasakan hal
yang sama. Karena Ayase-san lebih suka berada di sisi memberi ketimbang
menerima, jadi dia tidak mau menerima syarat yang diajukan Akiko-san.
Meski begitu, pada akhirnya dia tetap setuju. Dia tidak ingin membuat ibunya
terlalu khawatir ketika dia sendiri sudah sibuk dengan pekerjaannya. Sejujurnya,
aku sendiri merasa lega dalam hal itu. Meski orangnya sendiri bilang kalau baik-
baik saja, aku tetap tidak tega membiarkan Ayase-san berjalan sendirian di
jalanan malam Shibuya. Mungkin sekali saja tidak masalah, tapi karena kami
bekerja hampir setiap hari, pasti ada masalah yang akan terjadi nanti.
Saat aku mengungkit kemungkinan itu, Ayase-san dengan acuh
membalas, 'Kukira perkataanmu ada benarnya juga'. Setelah menjalaninya
beberapa kali, kami sudah terbiasa berjalan pulang bersama. Aku menyeka
keringat di pipiku sembari berharap kalau suhunya akan segera dingin.
“Ini musim panas yang sangat panas, ya?”
“Jadi ini sudah memasuki musim gugur, ya…?”
“Eh?”
“Apa?”
Kami berdua sama-sama berhenti. Ayase-san menatapku dengan ekspresi
kebingungan, dan aku pun membalasnya dengan ekspresi yang sama. Setelah
Ayase-san menyelidiki wajahku dengan cermat, dia mengangguk lemah.
“Apa kamu berbicara tentang suhu?”
“Ya. Bagaimana denganmu?”
“Itu.” Ayase-san mengarahkan dagunya ke arah jendela toko... butik?
Aku bisa melihat manekin yang berdiri di balik jendela kaca.
“Itu seharusnya jadi musim gugur?”
“Itu baju musim gugur, ‘kan? Memangnya apa lagi?”
Kekecewaan Ayase-san sepertinya semakin tumbuh saat melihat bahwa aku tetap
bingung.
“Eh, apa kamu seriusan tidak tahu?”
“Maaf, aku tidak bisa melihat perbedaan antara gaya pakaian pada manekin itu
dengan apa yang kamu kenakan sekarang, Ayase-san.”
Maksudku, aku bisa mengetahui kalau itu bukan pakaian pertengahan musim
panas berkat dia yang menunjukkannya. Lengannya juga sedikit lebih panjang…
Kurasa? Tapi Ayase-san mengenakan jaket kotak-kotak di atas tanktop
rajutannya, jadi…
“Masalahnya bukan itu. Saat kamu melihat warna pakaian dan detail kecilnya,
kamu bisa mengetahui apa yang sedang tren di musim gugur ini. Ditambah lagi,
kebanyakan manekin tidak lagi mengenakan pakaian musim panas, setidaknya
bukan baju yang diletakkan di jendela depan toko. Belum lagi mereka
mengenakan pakaian yang berbeda dari kemarin, kan?”
“Benarkah?”
“Kamu pasti bercanda…”
“Ah, tidak, aku tidak meragukanmu atau apa pun. Aku yakin kalau perkataanmu
benar. Jadi tolong jangan memasang ekspresi seolah-olah kamu habis bertemu
zombie atau Santa di tengah kota.”
“Secara pribadi, aku merasa telah menemukan sesuatu yang lebih langka dari itu.
Aku bahkan takkan terkejut melihat zombie atau Santa pada saat ini.”
“Bukannya itu sedikit kejam?”
Dia memperlakukanku seperti penghuni Area 51 atau objek SCP. Mungkin
kepekaanku begitu sempit sampai-sampai aku bahkan tidak mengingat apa yang
dikenakan manekin di rute harianku. (TN : S.C.P [Secure. Contain. Protect]
Foundation adalah organisasi fiksi di internet yang dipenuhi berbagai cerita
horror bergaya ilmiah, lebih jelasnya bisa kalian cek di google)
“Asamura-kun, apa kamu tipe orang yang tidak begitu tertarik dengan mode?”
“Apa lamu pernah melihatku membaca majalah mode?”
Jika aku punya uang dibelanjakan untuk pakaian, aku lebih suka
membelanjakannya untuk buku. Lagian, aku yang penyendiri dan kutu buku,
ingin memamerkan pakaian ini pada siapa? Ayase-san mengangguk, sepertinya
memahami alasanku.
“Begitu ya. Kurasa kamu benar-benar tidak menyadarinya sama sekali jika kamu
tidak tertarik. ”
“Sepertinya begitu.”
“Yah, kurasa tidak ada masalah jika kamu tidak bekerja sambilan demi pakaian
itu…”
“… Hm? Apa maksudnya itu?”
“Jangan terlalu dipikirkan~” Ayase-san mulai berjalan di depan.
Aku tidak tahu persis apa yang baru saja dia bicarakan, tapi aku mendorong
sepedaku dan mengikutinya. Untuk beberapa alasan, sejak saat itu suasana hati
Ayase-san tampak lebih baik dibandingkan percakapan kami sebelumnya.

Chapter 2 — 23 Agustus (Minggu)


Aku terbangun dengan suhu panas yang menyesakkan. Usai berbalik, aku
melihat jam alarm yang berada di samping bantalku. Sekarang sudah jam 10
pagi, dan tiga… tidak, lebih empat menit. Meski bulan Agustus masih tersisa satu
minggu lagi, tapi panasnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
“Kamu akan terkena sengatan panas meski berada di kamarmu,” Akiko-san
pernah memperingatiku begitu, jadi aku segera menyalakan AC kamar. Karena
aku cukup berkeringat saat tidur tadi, aku berganti dengan pakaian bersih. Saat
membuka pintu menuju ruang tamu, gelombang panas yang kuat menerpaku
saat melangkah hingga membuatku sedikit kesulitan bernapas.
Saat mendongak ke atas, aku bisa melihat Ayahku sedang berdiri di tangga,
sambil mengutak-atik AC, saat Akiko-san menatapnya dengan tatapan agak
khawatir. Meski sekarang cuma hari Minggu yang biasa, rasanya aneh melihat
mereka berdua di ruang tamu bersama, tapi lagi-lagi aku menyadari bahwa
mungkin karena sekarang hari Minggu jadi bisa melihat mereka berdua bersama.
“Ah, Yuuta. Pagi.” Ayahku segera menyapaku saat melihatku.
“Yuuta-kun, selamat pagi.” Akiko-san mengucapkan salam juga.
“Selamat pagi juga. Jadi, uhh, apa itu rusak? ”
“Suhu ruang tamu terasa panas dan tidak terasa dingin sama sekali. Akiko-san
membangunkanku, dan memberitahuku kalau AC-nya mengeluarkan suara
berderak.”
“Apa aku perlu membantumu?”
“Ah, tidak usah, aku masih mencari kerusakannya. Aku juga tidak tahu apa yang
harus diperbaiki. Apalagi produk AC jaman sekarang tidak dibuat untuk
diperbaiki oleh seorang amatir lagi.”
Kurasa itu masuk akal. Ayaku sepertinya memeriksa pesan kesalahan saat
membaca manual pengguna, terkadang mematikan dan menghidupkannya lagi,
bahkan mengotak-atik melalui mode yang berbeda. Namun, AC tersebut
sepertinya tidak berniat mengeluarkan udara dingin dalam waktu dekat.
“AC yang di sini sudah cukup tua. Jika masih tidak menunjukkan tanda-tanda,
kita mungkin harus pergi dan membeli AC baru.”
“Kita juga baru saja membeli untuk kamar Saki… maafkan aku.”
“Tidak tidak. Jangan begitu. Kamar Saki-chan selalu menjadi ruang
penyimpanan, itulah sebabnya kamar itu tidak dilengkapi dengan unit A/C sejak
awal. Belajar di kamarnya tanpa AC pasti bikin pengap, iya ‘kan?”
“Terima kasih, Taichi-san.”
Saat mereka berdua mulai membicarakan Ayase-san, aku menyadari dia tidak
bersama kami di ruang tamu.
“Apa Ayase-san ada di kamarnya sekarang?”
“Ya, aku baru saja melihatnya. Tapi dengan panas dan sebagainya… Dia tidak
pandai menanganinya.”
“Benarkah?”
“Dia selalu merengek tentang hal itu saat masih kecil dulu. Begitu musim panas
tiba, dia akan terus-menerus meminta es krim kepadaku, memintaku untuk
membawanya ke kolam renang, dan lain sebagainya. Dia juga sangat gigih saat
memintanya.”
Ketika dia menyebut Ayase-san saat masih kecil, aku teringat pada foto yang
ditunjukkan Ayahku sebelum menikah. Jika aku harus menebak, dia mungkin
masih SD saat itu, dan dia tampak cukup energik. Dibandingkan dengan yang
sekarang, dia jauh lebih penyendiri dan tenang. Aku benar-benar tidak bisa
membayangkan dia sebagai seorang anak yang akan terus-menerus merengek
pada ibunya seperti itu.
“Tapi beberapa tahun belakangan ini, dia mulai menjadi lebih tenang tentang hal
itu, yang mana membuatku sedikit kesepian dengan cara yang berbeda.”
“Kurasa inilah yang akan terjadi ketika anak-anak memasuki masa remaja. Pasti
rasanya memalukan jika selalu berada di dekat orang tuamu. Yuuta juga sama.”
Saat Ayahku mengatakan itu, Akiko-san sedikit menundukkan kepalanya dan
menghela nafas.
“Dalam kasus anak itu, aku tidak berpikir kalau masalahnya hanya karena dia
tumbuh dewasa ... Saat SMP dulu, dia sudah menjadi seperti yang sekarang.”
Akiko-san memilih kata-katanya dengan hati-hati, yang membuatku bisa
menebak apa yang dia maksud.
Situasi di keluarganya tidak seharmonis seperti dulu. Ayahnya bahkan tidak mau
repot-repot pulang ke rumah, dan Akiko-san selalu bekerja. Aku pikir dia
menyebutkan pada masa-masa itu. Ayase-san pasti menyadari kondisi
keluarganya yang menyedihkan dan mulai meminta banyak hal setiap saat.
“Maaf, aku seharusnya tidak mengatakan itu.”
"Tidak apa-apa." Akiko-san tersenyum tipis.
Aku merasa Akiko-san bahkan tidak terlalu keberatan, tapi Ayahku tampak
ketakutan. Dengar, bahkan jika kamu melubangi tangga itu, kamu tidak bisa
membantu siapa pun. Jadi ketika masih kecil, Ayase-san sangat menyukai kolam
renang, ya…? Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan Ayase-san yang polos
dan kecil berenang seperti itu. Jadi, jika ada seseorang mengatakan kepadanya
bahwa dia bebas melakukan hal yang sama tanpa merasa khawatir, apa dia akan
melakukan hal yang sama?
Bagi orang yang introvert dan pasif macam diriku, hanya mendengar bergerak
dan berolahraga terdengar sangat melelahkan, apalagi bergabung dengan banyak
orang, jadi aku lebih suka tidak melakukan olahraga.
“Hmm, sepertinya aku tidak bisa memperbaikinya. Mungkin lebih baik
memanggil seseorang untuk memperbaikinya, tapi mengingat betapa sibuknya
mereka sepanjang tahun ini, aku bahkan tidak bisa menebak kapan ini bisa
diperbaiki. ”
“Begitu rupanya. Sungguh merepotkan. Ah, hati-hati saat turun, Taichi-san.”
“Yuuta, kurasa lebih baik kalau kamu tinggal di kamarmu hari ini.”
“Aku tidak keberatan.”
Hari ini aku ada kerja sambilan di malam hari, jadi aku merasa tidak keberatan.
Ketika aku bertanya kepada mereka berdua apa yang akan mereka lakukan,
Akiko-san menjawab kalau dia ingin pergi berbelanja, dan Aayahku akan
bergabung dengannya untuk membawa barang belanjaan. Ya, melakukan sesuatu
di luar juga merupakan salah satu pilihan, ya …
“Aku akan memberitahu Saki,” ujar Akiko-san seraya menuju ke arah dapur. Di
tengah-tengah jalan dia memanggilku. “Yuuta-kun, apa kamu ingin makan
sesuatu? Aku sendiri juga belum makan apa-apa. ”
“Ah, ya tolong.”
Ayahku dan Ayase-san sepertinya sudah menghabiskan sarapan mereka, jadi
Akiko-san dan aku menghangatkan sisa makanan dan menikmatinya. Ayahku
membuka pintu ke kamar tidur mereka, yang menyebabkan angin sejuk melewati
ruang tamu, tetapi tidak butuh waktu lama bagiku untuk mulai berkeringat
seperti sedang duduk di dalam sauna. Pada saat-saat seperti ini, aku benar-benar
membutuhkan yang namanya kipas tangan.
Setelah selesai makan dan membersihkan peralatab, aku mengambil satu
halaman dari buku Ayase-san dengan mengambil beberapa minuman dingin dari
kulkas dan bersembunyi dari hawa panas di kamarku. Sekarang, apa yang harus
kulakukan hari ini? Aku penasaran, apa yang Ayase-san lakukan di kamarnya?
Pemikiran ini terbesit di benakku saat membolak-balik halaman buku yang
sedang kubaca, tapi aku terganggu oleh panggilan telepon mendadak Maru.
Ia bertanya apa aku sedang sibuk atau tidak siang ini, dan ketika aku
memberitahunya kalau aku pada dasarnya lagi senggang, Ia memintaku untuk
ikut berbelanja dengannya. Pada awalnya, aku hampir menolak karena aku tidak
mau repot-repot keluar di panas ini, tapi aku teringat kalau aku sendiri sedang
berada di penjara panas di apartemenku, jadi aku langsung menerima ajakannya.
Area di depan stasiun kereta Shibuya bahkan lebih bising dan dipenuhi orang
ketimbang hari-hari biasa lainnya, padahal waktunya baru menjelang siang hari.
Ketika aku melihat kerumunan ini, rasanya seperti hawa panas semakin
meningkat.
Aku memarkir sepedaku di tempat parkir biasa. Karena sore ini aku ada kerja
sambilan, memarkirkannya sekarang akan membuat pulang jauh lebih mudah
nanti. Maru mengajakku ke toko yang menjual barang-barang yang berhubungan
dengan anime. Karena tempat itu juga menjual manga dan novel ringan, toko
tersebuut adalah pesaing langsung dari toko tempatku bekerja. Yah, terus-
menerus mengkhawatirkan hal semacam itu takkan menguntungkanku sama
sekali, dan toko buku tempatku bekerja juga tidak menjual merchandise anime.
Setelah berjalan dari depan stasiun kereta di jalan Jingu-dori utara, aku berbelok
ke arah Barat setelah memasuki jalan Inokashira-dori. Jalan kemudian
bercabang, dan aku menuju ke jalan Udagawa-dori. Itu mungkin penjelasan
yang agak mudah untuk diikuti. Bagi orang yang tidak tahu tata letak Shibuya,
jarak ini mungkin tampak seperti jarak yang cukup jauh, tapi dengan kota yang
tidak pernah tidur dan selalu penuh hiruk pikuk, jarak segini sangat mudah
dicapai dengan berjalan kaki.
Ada jus jenis baru di mesin penjual otomasi yang berada di pinggir jalan, dan
wanita muda menjajakan produk populer di depan toko. Kamu dapat
menemukan dirimu dengan cepat mencapai tujuan bila melihat area sekeliling.
Sekitar lima menit sebelum waktu yang ditentukan, aku sudah sampai di toko
yang dimaksud.
“Yo, maaf sudah memanggilmu jauh-jauh ke sini.” Temanku Maru Tomokazu
datang menghampiriku, wajahnya sedikit lebih cokelat dari sebelumnya.
“Lama tidak ketemu. Jadi kamu tidak ada latihan hari ini, ya?”
“Ya. Hari ini kami cuma ada latihan pagi. Jaman sekarang, latihan tanpa akhir
sudah ketinggalan jaman dan tidak keren. Apalagi dalam cuaca panas begini,
yang ada malah para pemain akan kelelahan atau bahkan terluka, jadi kami juga
perlu mengambil istirahat yang tepat. Begitulah cara kami melakukannya. ”
“Jadi begitu rupanya.”
Yah, aku masih menganggapnya sebagai pelatihan yang cukup keras, tapi aku
yakin mereka ingin menghindari cedera atau masalah terkait kesehatan lainnya.
“Ngomong-ngomong, aku minta maaf karena sudah repot-repot memanggilmu
ke sini.”
“Yah, tentang itu…”
Aku memberitahu Maru tentang kerusakan AC di ruang tamu, dan bagaimana
kupikir setidaknya akan bersenang-senang jika aku dipaksa untuk menahan
panas. Bukannya aku sangat ingin memberitahunya tentang situasi kehidupanku,
tapi kupikir Ia takkan terlalu merasa bersalah jika aku memberinya inti umum.
“Kedengarannya sulit. Jadi aku ingin menyelesaikan tujuan utamaku dulu.
Bakalan gawat jika mereka terjual habis sebelum aku mendapatkannya. ”
“Tentu.”
Biasanya, Maru bukanlah tipe orang yang memaksakan minatnya pada orang
lain, tapi saat Ia benar-benar meminta bantuan, dia selalu punya alasan bagus.
Seperti ketika suatu produk dibatasi pembeliannya untuk satu orang saja. Kecuali
kamu memeriksa beberapa toko, kamu sering tidak bisa mendapatkan apa yang
kamu inginkan. Di saat seperti ini, Maru bisa sangat kejam. Lagi pula, karena
rilisnya pada hari Jumat, Ia pasti khawatir kalau barang yang diincarnya akan
terjual habis.
Karena aku sudah berjanji untuk membantunya, aku siap untuk membantu
sampai akhir yang pahit ... Oh ya, aku bahkan tidak menanyakan barang apa
yang kami incar.
“Setelah kita menyelesaikan misi, ayo pesan sesuatu untuk dimakan.”
“Siap.”
Meski aku sering mampir ke rak bagian manga dan novel ringan berkali-kali
sebelumnya, karena aku tidak terlalu tertarik dengan barang yang sebenarnya,
aku meminta Maru mengajakku berkeliling.
“Jadi, kita mau membeli apa?”
Maru menjawab saat kami terus berjalan. Sepertinya kita mencari barang untuk
anime yang tayang pada musim semi. Musim sudah berakhir beberapa bulan
yang lalu, tapi tergantung pada bagaimana penjualan berjalan, mereka mulai
menjual barang bahkan setelah musim tayangnya berakhir. Aku ingat nama
anime ketika Maru menyebutkannya. Anime yang bertema kehidupan sehari-hari
dan mempunyai 5 karakter cewek.
“Dan ada robot.”
“Apa?”
Sejenak, aku gagal memahami apa yang Ia katakan. Jika ingatanku benar,
latarnya berada di kota pedesaan, dan itu seperti cerita remaja biasa lainnya…
‘kan?
“Novel ringan yang dibaca protagonis di episode 5 adalah karya fiksi ilmiah,
‘kan?”
“Ya…”
Aku baru ingat sekarang. Akhir-akhir ini keberadaan otaku dan minatnya sudah
mulai bergeser menjadi pengetahuan umum, bahkan protagonis dan karakter
sampingan normie tertarik dengan dunia otaku, tapi… Oh ya, aku pikir Maru
lumayan menyukai hal-hal fiksi ilmiah, tapi tidak pernah benar-benar
menggeluti genre tersebut.
“Jadi tunggu, apa jangan-jangan kamu ...?”
“Ya, aku kepincut dengan robot yang sangat disukai protagonis.”
“Apa hubungannya dengan anime itu?!”
“Apa boleh buat. Robot itu luar biasa.” ujar Maru. Ia memberitahuku nama
ilustrator yang bertanggung jawab untuk menggambar robot tersebut, tapi
maafkan aku, aku sama sekali tidak mengenali mereka.
Ketika aku memberitahunya dengan jujur, Maru menatapku dengan kaget dan
jijik lalu mulai memberitahuku tentang betapa terkenalnya ilustrator itu.
“Jadi pada dasarnya kamu menginginkan versi mainan dari robot ini, ‘kan?”
“Secara ringkasnya sih begitu.”
Begitu kami sampai di tempat penjualan, untungnya mereka masih memiliki
beberapa mainan robot yang diincar Maru. Jumlahnya sudah cukup untuk Maru
dan aku, tapi kupikir itu stok terkahir, jadi kami cukup beruntung. Kami berdua
masing-masing membawa satu saat berjalan ke kasir. Ada banyak pelanggan
meski itu hari Minggu, jadi antreannya cukup panjang. Kami terus berbicara saat
menunggu giliran.
“Begitu yaa. Robot ini sangat luar biasa.”
“Iya ‘kan?”
Aku benar-benar tidak terbiasa dengan barang semacam ini, tapi penampilannya
cukup keren. Robot itu berada di dalam sebuah kotak dengan tinggi sekitar
50cm. Sepertinya itu semacam robot tempur udara yang takkan pernah ada di
dunia nyata. Logo anime digambar di salah satu sudut kotak dengan font kecil,
yang benar-benar membuatku sulit untuk menebak genre apa series itu. Robot
ini benar-benar terlihat seperti langsung dari anime mecha.
“Robot ini juga memiliki banyak bagian yang dapat digerakkan. Jadi kamu bisa
bermain-main dengan ini. ”
“Bermain-main dengan itu…?”
“Oh? Ayolah. Bukannya kamu pernah bermain-main dengan robot atau mainan
monster saat masih kecil, Asamura?”
“Mungkin pernah, tapi yang jelas tidak terlalu sering.”
Aku memahami mengumpulkan barang-barang begini sebagai semacam hobi,
tapi aku tidak mengerti apa gunanya bermain-main dengan mainan ini. Lagipula,
aku selalu lebih fokus pada manga dan novel ketimbang anime. Ketika aku masih
kecil, Ayahku mempunyai hobi membeli model plastik kapal perang, tapi ibuku
kandungku memarahinya karena benda-benda tersebut selalu menghalangi,
itulah sebabnya Ayahku memutuskan untuk tidak pernah meneruskan hobi itu
lagi. Aku merasa itu akan menjadi hobi yang menyenangkan jika keluarga dan
gaya hidupmu mengizinkannya.
Dengan manga dan novel, aku bisa mengisi kamarku, dan takkan pernah
menghalangi jikakKamu meletakkannya di rak.
“Oh ya, Asamura, Narasaka, dan Ayase mengajakmu ke kolam renang, ‘kan?”
Maru tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
Otakku seketika membeku usai mendengarnya. Siapa yang pergi ke kolam renang
dengan siapa? Tapi Maru bahkan tidak menyadari kebingunganku.
“Seriusan, kamu sudah berubah menjadi playboy yang hebat saat aku tidak
melihatmu beberapa hari.”
“Apa yang sedang kamu bicarakan?”
“Hah…? Aku sedang membicarakanmu dan Ayase yang pergi ke kolam renang
bersama Narasaka.”
“Aku baru pertama kali mendengarnya.”
Maru lagi ngomongin apaan sih? Karena aku tidak menunjukkan tanda-tanda
memahami apa yang dimaksud Maru, Ia memberitahuku apa yang didengarnya
melalui koneksinya di klub bisbol. Menurut rumor yang beredar, Narasaka-san
sedang mengumpulkan sekelompok cewek dan cowok untuk bertemu di kolam
renang, dan anggota dari kelompok tersebut sepertinya termasuk Ayase Saki dan
Asamura Yuuta.
“Apa kamu tidak diundang?”
“Tidak sama sekali. Aku justru belum berbicara dengan Narasaka-san sejak
liburan musim panas dimulai.”
“Hmm, kalau begitu kamu mungkin akan segera diajak nanti.”
“Bulan Agustus sudah hampir berakhir, tau?”
“Tapi sekarang masih panas seperti biasa, jadi tidak ada masalah.”
“Yah… kurasa begitu.”
Jadi rencana seperti ini dijalankan tanpa sepengetahuanku, ya? Memangnya aku
sedekat itu dengan Narasaka-san sampai-sampai dia akan mengundangku ke
acara seperti itu? Aku masih bisa menghitung dengan beberapa jari jumlah kami
berdua berbicara satu sama lain. Aku tahu bahwa Narasaka Maaya sangat kuat
dalam hal hubungan dan bagaimana dia memperlakukan orang lain, tapi ini jauh
lebih dari yang kuharapkan. Yah, kurasa rencana itu belum tentu ada benarnya
juga. Lagi pula, sumber informasinya masih berstatus gosip belaka.
Saat kami berbicara tentang itu, tibalah giliran kami di depan meja kasir. Kami
selesai membayar, kembali ke stasiun kereta dengan cara yang sama ketika aku
datang, dan memasuki kafe di dekat toko buku tempatku bekerja sambilan.
Kami berdua memesan es kopi, dan Maru menambahkan menu sandwich ke
dalam pesanannya. Anggota klub memang berbeda. Nafsu makannya cukup
besar. Dibandingkan dengan kopi dari restoran keluarga, kopi dari tempat ini
sekitar dua kali lebih mahal, tapi setidaknya tempat ini menyediakan fasilitas
tempat duduk yang nyaman dan kalem. Meski aku menyebutnya kafe, tapi
tempat ini sedikit lebih bergaya daripada restoran keluarga biasa.
Meski ini adalah tempat di mana para pelanggan tetap memberi pesanan yang
cukup rumit sampai-sampai terdengar seperti mereka sedang merapalkan ajian
mantra, tapi untungnya kami berhasil memesan sesuatu yang normal. Yah, bila
dibandingkan dengan kedai kopi kelas atas, tempat yang satu ini jauh lebih cocok
bagi kalangan siswa SMA. Pernah suatu ketika aku tak sengaja memasuki
restoran tertentu di dekat stasiun kereta Shibuya tanpa melihat menunya terlebih
dahulu, dan langsung pergi setelah melihat betapa mahal harganya. Secangkir
kopi senilai angka 4 digit pasti terlalu muluk bagi anak SMA.
Maru dan aku meletakkan nampan makanan di atas meja dan menghela nafas.
“Jadi, cepat mengaku. Kenapa kamu sampai membutuhkan dua barang ini? ”
tanyaku, melirik kantong plastik yang ada di dekat kami.
“Tentu saja, yang satunya untuk penggunaan pribadi dan satunya lagi untuk
cadangan.”
“Begitu ya. Jadi bukan karena motif lain ya.”
“……Padahal kamu sudah tahu dan masih bertanya padaku? Itu sifat yang tidak
bagus, bung.”
“Sebenarnya aku cuma ingin bertanya. Kamu pernah menyebutkan kalau kamu
ingin memberikan hadiah kepada seseorang, jadi aku menebak kalau ini ada
kaitannya dengan itu. ”
Aku tahu ada beberapa orang yang membeli beberapa barang yang sama dari
sesuatu yang mereka sukai. Akan tetapi, saat aku berpikir kalau Maru mungkin
membeli ini untuk orang lain, dan membutuhkan bantuanku untuk
mengamankannya, entah kenapa kedengarannya tidak terlalu realistis.
“Aku sebenarnya diminta untuk melakukan ini.”
“Ssesorang memintamu?”
“Ya, teman daring. Dia sangat menginginkannya, tapi situasi saat ini tidak
mengizinkannya. Jadi aku yang pergi dan membelinya. Aku akan
mengirimkannya kepadanya nanti.”
“Hah.”
Aku tidak tahu Maru punya teman seperti itu. Saat aku menanyakan detailnya,
mereka tampaknya mengenal satu sama lain di forum online ketika
membicarakan anime favorit mereka. Selera mereka cukup serasi, dan mereka
cukup dekat untuk saling mengirim barang. Oleh karena itu, mereka mungkin
tahu alamat satu sama lain juga. Meski begitu, mereka hanya mengenal satu
sama lain dengan nama akun mereka, tapi mereka tampaknya berteman baik.
Maru tahu bahwa mereka tinggal di kota yang sama, tapi Ia belum pernah
bertemu dengan teman daringnya ini.
“Tapi jika kalian berteman baik, kalian mungkin juga bertemu di kehidupan
nyata, kan? Apalagi aku merasa kalau kamu adalah tipe orang yang mengaturnya
sendiri.”
Meski secara teknis mereka bisa bertemu secara daring kapan saja, manusia lebih
menyukai bertemu orang lain secara tatap muka. Karena Maru tahu bagaimana
mengatur dan memiliki kemampuan untuk menyusun rencana, aku masih sedikit
bingung mengapa Ia belum melakukannya. Tapi, Ia selalu sibuk dengan kegiatan
klubnya, jadi mungkin peluang mereka bisa bertemu sangat terbatas.
“Itu sih takkan mungkin berhasil.”
“Hmm, memangnya kenapa?”
“Tentu saja, tidak semua orang seperti itu, tapi ada sekelompok kecil cowok yang
akan menggunakan ini sebagai kesempatan untuk menggoda cewek. Jika tidak
ada banyak kepercayaan yang terlibat, semuanya hanya akan berakhir buruk.
Setidaknya, itulah yang kupikirkan.”
“Ya, bersikap hati-hati ini sangat mirip dengan sifatmu… Hm? Menggoda cewek?
Apa orang yang dimaksud itu perempuan?”
“Dari apa yang dia katakan padaku, ya. Bahkan seorang mahasiswi.”
“Mahasiswi… jadi dia lebih tua darimu, ya?”
Sekilas, wajah Yomiuri-senpai muncul di benakku. Dia satu-satunya mahasiswi
yang kukenal dan yang kutahu. Biasanya itu akan menjadi hal yang langka bagi
anak SMA semacam kami untuk berpapasan dengan mahasiswa, jadi jarang-
jarang Maru dan aku memiliki pengalaman seperti ini. Yah, kurasa untuk
pertemanan daring akan lebih jarang jika mereka seumuran.
“Dilihat dari pesannya, dia cukup cerdas. Dia punya pengetahuan luas dan sifat
yang baik, dan tidak memiliki prasangka terhadapku. Percakapan yang kami
lakukan sebenarnya cukup bermakna. Tapi sekali lagi, fakta bahwa dia sangat
positif pasti sangat membantu, kurasa.”
“Huh, ya, dia memang terdengar seperti seseorang yang bisa kamu ajak bergaul.
Aku yakin ada banyak orang lain yang merasakan hal yang sama denganmu…
Ahh, jadi itu penyebabnya, ya.”
“Ya, dia cukup populer di forum obrolan.”
Begitu rupanya. Jadi pertemuan offline akan mendatangkan orang-orang yang
akan mencoba untuk merayunya.
“Aku terkejut kamu cukup dekat dengannya sampai bisa saling mengirim barang
seperti ini.”
“Yup, itu kebetulan yang gila. Aku akan menceritakan keseluruhan cerita kapan-
kapan jika ada kesempatan. ”
“Aku ingin sekali mendengarnya. Jadi, apa kamu jatuh cinta padanya?”
Maru tampaknya tidak menyangka aku menanyakan pertanyaan ini, dan Ia
tampak panik sejenak.
“Tidak, aku benar-benar tidak jatuh cinta... atau semacamnya.”
Oh, reaksi yang langka. Yah, biasanya Ia akan bertindak tegas, jadi aku kadang-
kadang harus membalasnya.
“Hee..masa?”

Saat aku terus mendesaknya, Maru sepertinya benar-benar dibuat kelagapan,


dan menjadi pendiam. Akhirnya, Ia mengucapkan, “Aku mau ke kamar kecil
dulu” dan bangkit dari tempat duduknya.
Sungguh mengejutkan bahwa Maru sampai bertingkah seperti ini... Oh ya, orang
yang menerima hadiah Maru, dan orang yang menerima barang darinya... Apa
mereka orang yang sama? Itulah sisi lain dari Maru yang belum pernah kulihat,
dan hal itu membuatku tersadar kalau aku masih belum tahu segalanya tentang
dirinya, yang tentu saja sangat masuk akal. Walau harus kuakui kalau aku tidak
menyangka Ia mengalami perasaan romantis seperti ini. Kurasa kita sangat
berbeda.
Sejauh mengenai perasaan romantis, aku cukup menyukai novel romansa, tetapi
aku tidak benar-benar membayangkan diriku dalam situasi seperti dalam novel.
Aku lebih suka menonton peristiwa semacam ini yang melibatkan orang lain. Aku
takkan pernah berharap untuk mengalami sendiri kejadian yang mirip
seperti rom-com. Lagipula, ini adalah kenyataan. Sesuatu seperti mengenal
seorang gadis cantik dan akhirnya berpacaran…
Yah, aku akhirnya tinggal bersama seorang gadis seumuran karena pernikahan
kembali Ayahku, tapi bukannya berarti dia — Sebenarnya, dia imut. Secara
objektif, dia sangat cantik dan imut. Sial, kenapa aku bahkan membayangkannya
sambil memikirkan hal ini? Memang benar kalau Ayase-san itu imut, tapi dia
ituadik perempuanku.
“Asamura-kun?”
Benar sekali, bahkan suaranya seimut ini, tapi yang namanya adik tetaplah adik
... Tunggu, apa? Saat membalikkan badan, aku disambut dengan seorang gadis
berambut pirang yang melihat wajahku tepat dari jalan di sebelah tempat
dudukku. Tentu saja, itu bukan halusinasi, melainkan Ayase-san yang asli.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
“Ini kafe terdekat dengan tempat kerja kita.”
“Ah… Itu masuk akal.”
Tidak ada yang aneh mengenai hal ini. Karena pekerjaan dan bahkan shift kami
hampir sama, tidak aneh rasanya jika dia menghabiskan waktunya dengan cara
yang sama, terutama mengingat situasi di rumah yang sekarang. Karena itu
alasan utama mengapa aku merekomendasikan kafe ini kepada Maru. Ini lebih
dari kebetulan, itu cukup jelas untuk diharapkan secara praktis. Namun, bukan
berarti aku tidak terkejut bertemu dengannya di sini, dan karenanya aku bahkan
tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan.
“Pokoknya, aku akan pergi sekarang.”
“Eh?”
Semua pemikiran dan ide topik pembicaran segera lenyap. Tanpa kusadari, aku
sudah melihat punggung Ayase-san saat dia berjalan pergi. Dia mengenakan
atasan dengan satu bahu terbuka yang cocok untuk cuaca panas begini, bersama
dengan celana pendek biru. Dia memiliki pinggul yang tinggi, hampir seperti
model. Ah, dia bahkan memakai sepatu kets hari ini, mungkin untuk
menyesuaikan pakaiannya saat ini. Saat dia berjalan dengan langkah ringan,
pintu toko terbuka dan tertutup.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
“Eh? Oh, Maru.”
“Aku ingat kalau waktunya sudah mepet, jadi aku bergegas kembali, tapi…
Asamura, kamu barusan berbicara dengan Ayase, ‘kan?”
Waktu? Aku melihat jam yang terpajang di dalam toko, dan menyadari bahwa
sudah hampir waktunya bagiku untuk berangkat kerja. Kurasa itu sebabnya
Ayase-san pergi begitu cepat.
“Ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Ayase, ‘kan?”
“Tidak, itu tidak…”
Benar—itulah yang ingin aku katakan, tapi pernyataan tersebut akan membuatku
menjadi pembohong. Aku merasa akan jauh lebih efisien jika aku memberitahu
Maru tentang segalanya. Membeberkan kalau kami menjadi saudara tiri karena
pernikahan kembali orang tua kami, dan apapun yang Maru bayangkan tidak
terjadi sama sekali… Tapi apa yang akan Ia pikirkan?
Namun, dengan mempertimbangkan waktu yang sudah mendesak, aku tidak bisa
masuk lebih dalam ke percakapan ini, jadi aku berpisah dengan Maru hampir
seperti aku sedang melarikan diri. Sekarang aku benar-benar kehilangan hak
untuk mengkritik orang dewasa yang hidup dengan pola pikir 'apapun yang
terjadi biarlah terjadi'. Namun, aku masih hampir sampai ke kantor tepat waktu
untuk bekerja. Aku berganti seragam, memakai celemek dan papan nama, dan
meninggalkan ruang ganti. Secara kebetulan, Ayase-san dan Yomiuri-senpai
keluar dari ruang ganti wanita.
“Yo, Kouhai-kun! Mohon kerja samanya juga hari ini!”
“Mohon kerja samanya juga, Yomiuri-senpai.”
“Tolong perlakukan aku dengan baik hari ini, Asamura-san.”
“Y-Ya, mohon bantuannya juga, Ayase-san.” Aku tersandung kata-kataku.
Pengaruh pertemuan mendadak di kafe itu rupanya masih membuatku
terguncang.
“Sepertinya cuma ada kita yang bekerja di jadwal malam ini.” Kata Yomiuri-
senpai.
Pada dasarnya, hanya kita bertiga, ya?
“Aku merasa kalau tempat kita masih kekurangan orang.”
“Benar. Yah, itu sih bakalan baik-baik saja. Karena Saki-chan bisa dihitung untuk
dua orang.”
“Pujianmu terlalu berlebihan, Senpai.” Ayase-san tetap bersikap merendah, tapi
begitu pekerjaan dimulai, gerak-gerik dan etos kerjanya yang efisien benar-benar
membuatnya tampak seperti ada beberapa orang yang melakukannya.
Dia benar-benar rajin, dan cepat beradaptasi. Karena dia bisa mengingat
semuanya saat ada yang mengajarinya sekali, dia bisa bekerja secara mandiri
dengan cepat. Belum lagi dia orangnya sangat teliti. Dia masih berambut pirang
dan mencolok yang menjadi ciri khasnya, tapi dia melepas tindikan di telinganya
saat bekerja.
Untungnya, tidak ada pengunjung yang terlalu memeriksanya hanya karena
penampilannya, tapi saat bekerja di toko yang dikunjungi orang-orang dari
segala usia, kamu tidak pernah tahu kapan ada seseorang yang akan mengajukan
keluhan kepada pihak manajemen. Aku yakin dia bahkan tidak peduli apa yang
orang lain pikirkan mengenai dirinya, tapi bila dilihat dari sifat Ayase-san,
merepotkan pihak toko merupakan sesuatu yang ingin dia hindari.
Dia bahkan menjaga kukunya tetap rapi, dan tidak dihias sama sekali. Lagipula,
kuku yang dihias akan mudah dilihat saat kamu meletakkan sampul di buku saat
bekerja di kasir. Aku ragu siapa pun akan mengeluh jika dia melakukan semua
pekerjaannya dengan sempurna, tapi ketika Ayase-san pertama kali mulai
bekerja di sini, dia mengalami sedikit kesulitan saat melepas plastik vinil. Bila
kamu berpenampilan mencolok meski masih pegawai baru yang belum bisa
melakukan pekerjaannya dengan sempurna, pasti akan lebih mudah mendapat
keluhan dari para pelanggan.
Penilaiannya yang hati-hati dan manajemen risikonya yang melampaui apa pun
yang bisa aku bayangkan. Dan dia sendiri cukup rajin sampai-sampai
membuatnya mulai sedikit berkeringat karena kerja kerasnya, padahal AC di
dalam toko buku berfungsi dengan baik. Saat bekerja sambilan, kamu biasanya
mengambil jeda istirahat bergiliran dengan pekrja lain. Apalagi kalau di dalam
toko cuma ada kami bertiga, karena jika kami bertiga istirahat pada saat yang
sama, maka tidak ada yang akan membantu pelanggan.
Setelah sekitar dua jam berlalu, Ayase-san mulai beristirahat. Tentu saja, bukan
istirahat yang sangat panjang, tapi sekitar sepuluh menit. Jika kamu pekerja
tetap, kamu mendapatkan sekitar satu jam. Namun, karena kami pada dasarnya
bekerja empat jam dari jam 6 sore sampai jam 10 malam, waktu istirahatnya
dibuat singkat.
“Kalau begitu aku akan segera kembali.”
“Ya ya. Selamat beristirahat, Saki-chan.”
“Aku akan kembali dalam sepuluh menit.” Setelah memberikan tanggapan
singkat kepada Yomiuri-senpai, Ayase-san menuju ke area karyawan.
“Hmmm…”
“Apa ada yang salah?”
Saat melihat Ayase-san melangkah pergi, Yomiuri-senpai sepertinya sedang
memikirkan sesuatu. Seorang pekerja tetap sedang mengurus daftar sekarang,
dan jumlah pelanggan sudah sedikit sepi. Semua orang mungkin sedang makan
malam sekarang. Jadi Yomiuri-senpai memberi isyarat padaku.
“Iya?” Kami pindah ke tempat di belakang mesin kasir dan mulai saling berbisik.
“Ini mengenai Sakicchi.”
“Julukan macam apa itu?”
“Oh, keluhan langsung dari kakak laki-lakinya?”
“Panggilan Saki-chan, lalu nama Ayase-san di tempat umum, dan sekarang
julukan aneh ini. Cara memanggilmu terlalu bervariasi, Senpai. ”
“Aku masih punya banyak. Saki-chan, Sakisuke, Sacchan… mana yang kamu
pilih?”
“Kamu tidak perlu bertanya padaku. Panggil saja dengan Ayase-san.”
“Kalau begitu Saki-chan.”
Pada akhirnya, cara panggilannya kembali ke titik awal. Yah, bukannya aku
terlalu peduli dengan cara penyebutannya saat memanggil Ayase-san. Aku tidak
punya hak untuk menghakimi atau mengeluh.
“Jadi, bagaimana dengan Ayase-san?”
“Cih.”
“Kenapa kamu malah mendecakkan lidahmu?”
“Ngomong-ngomong, ayo bicara yang lebih serius.”
“Jadi kamu tidak serius sebelumnya.”
“Adik kecilmu. Dia itu terlalu rajin, ‘kan. ”
“Hah?”
Bagaimana itu menjadi masalah?
“Ah, jangan salah paham dulu. Aku berbicara tentang etos kerjanya. Dia
mengingat semuanya dengan cepat, dan melakukannya dengan sempurna.
Sebagai sesama karyawan yang sangat baik di sini, aku dapat mengatakan kalau
dia melakukan pekerjaan dengan baik.”
“Sebagai pekerja sambilan.”
“Jangan terlalu mempermasalahkan hal yang sepele! Ngomong-ngomong, aku
merasa dia terlalu menyalahkan dirinya sendiri untuk bagian yang tidak bisa dia
lakukan.”
Aku masih kebingungan dengan apa yang ingin dia katakan. Namun, Yomiuri-
senpai terus menjelaskan apa yang dia rasakan seperti yang dia lihat. Misalnya,
sikap mencela diri Ayase-san yang dia ambil setiap kali dia pergi. Meski ini
perilaku terpuji yang dimiliki banyak orang berbakat dan luar biasa, Ayase-san
adalah seseorang yang tidak pernah mengambil istirahat secara sukarela, jadi
jika ada waktu yang memaksanya untuk berhenti, hatinya akan hancur— atau
semacam itu. Yomiuri-senpai menyebutkan teman perempuannya yang
memaksakan dirinya bekerja terus menerus sampai membuatnya sakit, dan
Ayase-san tampaknya mirip dengannya.
“Gadis itu juga luar biasa. Dia selalu menjadi yang pertama dalam hampir semua
hal di SD. Tentu saja, dia tidak cuma berbakat saka. Dia juga berusaha keras
untuk mencapai semua itu. Dan di universitas, dia mengalami kegagalan untuk
pertama kalinya.”
Hal itu mungkin sesuatu yang sering terjadi. Itulah yang mungkin dipikirkan
orang-orang di sekitarnya.
“Setiap manusia memiliki satu atau dua hal yang tidak dapat mereka lakukan.
Lagipula, itulah artinya menjadi manusia. Namun, dia tidak setuju dengan
pernyataan itu. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa
melakukan segalanya. Dia tidak percaya ada sesuatu yang tidak bisa dia lakukan.
Dan kemudian dia menyalahkan dirinya sendiri untuk itu, meyakinkan dirinya
sendiri bahwa karena dia cuma malas.”
“Jadi… apa yang terjadi padanya…?”
“Dia pulang ke kampung halamannya. Aku pikir dia dari Shikkoku. Aku tidak
tahu apa yang sedang dia lakukan, tapi aku berharap kalau dia merasa bahagia.”
Yomiuri-senpai benar-benar perhatian karena mengkhawatirkan seseorang yang
cuma sebatas teman sekelas. Tapi entah kenapa aku tidak bisa mengatakan ini
padanya karena suatu alasan. Dan dari apa yang dia katakan padaku, orang-
orang dengan kecenderungan yang kuat seperti Ayase-san terus-menerus
menumpuk stres ketika mencoba untuk meningkatkan, dan tidak beristirahat
sama sekali.
Pada dasarnya, ini adlaah proses berpikir yang berbunyi 'Aku tidak bisa berhenti
sendiri'. Akhirnya, kamu merasa kelelahan, dan hatimu ikut merasa lelah. Ketika
orang memiliki pola pikir 'Jika aku tidak berhenti berlari, aku akan mati', untuk
benar-benar menghentikan mereka, ada kalanya kamu harus menyela dan
menghalangi apa pun yang mereka coba lakukan. Mungkin ada saatnya di mana
kamu ingin menghormati orang lain, tapi tidak ada pilihan lain selain
mengabaikan kebebasan dan pendapat mereka sendiri.
Setelah mendengar semua ini dari Yomiuri-senpai, aku jadi teringat sesuatu. Ada
suatu waktu saat proses berpikir Ayase-san telah melewati ambang batas aman,
dan dia tidak mau mendengarkan apa yang kukatakan padanya. Pada saat itu,
aku menghentikannya dengan paksa sehingga dia mau mendengarkanku. Meski
aku tidak benar-benar menyadari apa yang kulakukan karena
suasana. 'Memberikan segalanya pada saat tertentu' mungkin hal yang paling
mendekati untuk menggambarkan perilakunya.
“Mengatakan bahwa semuanya itu penting pada dasarnya kamu berarti tidak
menghargai apapun sama sekali.”
“Hal tersebut tidak sepenuhnya sama, Yomiuri-senpai.”
“Memang ada orang yang benar-benar menghargai segalanya, dan berhasil.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki bakat. Tetapi bagi kebanyakan orang,
bagi orang biasa, konsep seperti itu takkan berhasil. Terkadang ada beberapa hal
yang tidak bisa kita capai. Itulah yang aku yakini. Tidak ada yang
menyalahkanmu bila kamu tidak bisa menjadi ahli dalam segala hal.”
“Begitu ya. Itu pemikiran yang menarik.”
“Itulah sebabnya kamu perlu mempertahankan tekad ini untuk hal-hal yang
benar-benar penting bagimu. Menahan diri juga penting, paham? ”
“Ya. Pada dasarnya, jika orang tidak bisa berjalan dengan benar, kamu harus
memberitahu mereka, bukan? ”
“Tepat sekali! Kouhai-kun memang hebat! Oleh karena itu, kamu akan
memberiku waktu istirahatmu, ‘kan? ” Senpai menyatukan kedua tangannya
seperti dia memohon padaku.
Aku tidak percaya dia bisa selihai itu dari mengubah topik serius menjadi
candaan sedetik kemudian.
“Kenapa Senpai meminta itu, huh? Memangnya ada urusan yang perlu dihadiri?

“Jika aku menunggu sampai shift aku selesai, tokonya akan tutup. Jaraknya
cuma memakan waktu sekitar 15 menit, kok!”
Aku menghela nafas tidak percaya. Orang ini benar-benar…
“Aku mengerti. Aku akan memberi mu waktu istirahatku, jadi belilah apa pun
yang perlu Senpau beli. ”
“Yay, Kouhai-kun!”
“Aku tidak mau bersorak denganmu.”
“Reaksi yang membosankan.”
“Aku hanya tidak bisa mengikuti tempomu, oke?”
Aku sebenarnya sedikit mengagumi Yomiuri-senpai karena menanam benih
untuk rangkaian pemikiran ini di dalam pikiranku, tapi dia harus pergi dan
mengatakan itu tanpa membuang-buang kesempatan.
“Yah, jika kamu benar-benar menghargai adikmu, kamu mungkin perlu
melangkah lebih dalam ke wilayah pribadinya.” ujar Yomiuri-senpai dan menuju
kasir.
“Jika aku menghargainya, aku harus melangkah lebih dalam ke wilayah
pribadinya, ya?”
Jadi dia bahkan tidak terlalu bercanda, ya. Senpai benar-benar seseorang yang
takkan pernah kupahami.
Bahkan setelah jadwal kerja kami berakhir, suhu panasnya tidak berkurang sama
sekali. Dalam perjalanan pulang, aku mendorong sepedaku seperti biasa,
bersama Ayase-san yang berjalan di sampingku. Aku ingat apa yang Yomiuri-
senpai katakan padaku. Selama sebulan terakhir ini, Ayase-san benar-benar
mengabdikan dirinya untuk pekerjaannya. Jika aku harus menebak, ini mungkin
demi tujuannya untuk bisa mandiri secepat mungkin. Salah satu alasan untuk ini
kemungkinan besar karena aku gagal menemukan cara yang menguntungkan
tapi tidak menghabiskan banyak waktu baginya untuk mendapatkan uang.
Alasan lainnya mungkin karena pengetahuanku tentang bagaimana toko buku
beroperasi yang bisa dia gunakan untuk dirinya sendiri. Alasan itu masuk akal.
Namun, seperti yang dikatakan Ayahku, aku belum pernah melihat Ayase-san
bersantai atau bertingkah seperti kebanyakan pelajar selama liburan musim
panas dalam sebulan terakhir ini. Ada juga sesuatu yang dikatakan Maru yang
masih terngiang di kepalaku …
—Jika orang tidak beristirahat dengan baik, kamu harus memberi tahu
mereka.
Mungkin aku harus bertanya sekarang…
“Ayase-san, apa Narasaka-san mengajakmu ke kolam renang? … Ajakan yang
diberikan kepadaku juga?”
“…Apa Maaya menghubungimu?” Ayase-san bertanya sambil mengernyitkan
alisnya.
Sepertinya dia memang mendapat ajakan.
“Tidak. Lagipula dia tidak punya cara untuk menghubungiku.”
“Lalu bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”
Ya ampun, dia benar-benar curiga sekarang.
“Aku mendengarnya dari orang lain. Aku juga tidak tahu tentang itu.”
Aku menjelaskan tentang bagaimana ada pembicaraan tentang Narasaka-san
yang mengajak teman-temannya ke kolam renang.
“Apa kamu ingin pergi, Asamura-kun?”
Sekilas, pertanyaannya tersebut terdengar seperti dia bertanya apa aku ingin
pergi bersamanya. Tapi itu tidak mungkin. Dia cuma bertanya apa aku tertarik
pergi ke kolam renang. Itulah satu-satunya cara Ayase-san mengajukan
pertanyaan ini. Dia benci disalahpahami. Dia bersikap acuh seperti biasa, hanya
menanyakan apakah aku ingin pergi atau tidak, itulah sebabnya aku
memutuskan untuk menjawab dengan kalimat pertama yang muncul di
pikiranku saat pertanyaan itu diungkapkan dalam konteks itu.
“Sejujurnya, pergi ke kolam renang dengan gerombolan yang suka bergaul itu
terdengar menyebalkan.” Aku tersenyum masam saat menjawabnya.
Untuk sesaat, aku merasa seperti melihat ekspresi sedih muncul di wajah Ayase-
san di bawah lampu jalan, tapi ekspresinya yang biasa kembali seperti semula.
“Begitu ya. Kalau begitu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi, kan? ”
Ada sesuatu yang aneh dari cara dia menyampaikan kalimat itu, rasanya hampir
seolah-olah dia terganggu oleh jawabanku. Aku tidak bisa menebak apa yang
sebenarnya dia rasakan. Aku merasakan sedikit kemarahan, sedikit kesedihan,
tetapi juga sedikit rasa lega.
“Apa kamu tidak pergi ke kolam renang?” tanyaku.
“Aku tidak pergi.” balas Ayase-san.
“Kenapa tidak?”
“………”
Aku bertindak jauh dan melangkah lebih dalam ke wilayahnya, tapi Ayase-san
tetap diam dan tidak memberiku jawaban. Sebuah mobil melewati kami pada
saat yang tepat. Aku pikir mungkin dia tidak bisa mendengarnya, tapi jika dia
memang tidak mendengarnya, aku tidak ingin mengganggunya lebih jauh dengan
terus menerus memberinya pertanyaan. Namun, ada sesuatu yang terasa janggal
dihatiku.
—Aku tidak pergi
Aku ingin tahu, emosi macam apa yang Ayase-san rasakan saat mengatakan itu?
Saat kami berjalan pulang, aku melihat lampu bersinar dari apartemen kami.
Aku memarkir sepedaku di tempat parkir dan membiarkan Ayase-san pergi
mendahuluiku. Tapi sampai aku membuka pintu apartemen, aku terus
memikirkan Ayase-san.

Chapter 3 — 24 Agustus (Senin)


Ketika aku bangun pagi-pagi, di ruang tamu tidak ada siapa-siapa. Aku tahu
kalau Ayahku dan Akiko-san takkan ada di sana. Ayahku pergi bekerja, dan
Akiko-san belum pulang dari tempat kerjanya. Dia menghubungi kami
mengatakan bahwa dia akan pulang terlambat (atau pagi-pagi sekali dalam
kasus ini?).
Namun, bahkan Ayase-san, yang biasanya sudah bangun di jam segini, tidak ada
di ruang tamu. Mungkin dia ada di kamarnya? Sepertinya tidak ada alasan untuk
melakukan begitu, karena ruang tamu mempunyai suhu yang sangat nyaman...
Tunggu, suhu yang nyaman? Aku kemudian baru menyadari kalau AC di ruang
tamu mengeluarkan udara sejuk. Sudah diperbaiki, ya? Karena aku pulang larut
malam, dan mendekam di kamarku tanpa makan malam, aku bahkan tidak
menyadarinya. Kurasa Ayahku menghubungi seseorang yang bisa
memperbaikinya. Mungkin Ia memprioritaskan itu daripada acara belanja
mereka.
Karena sudah diperbaiki, Ayahku mungkin tahu kalau akan bangun tidak lama
setelah Ia pergi. Aku melihat ke meja makan dan melihat sarapan yang sudah
disiapkan untukku. Tiba-tiba aku mendapat firasat dan memeriksa pesanku, dan
aku menemukan pesan LINE dari Ayase-san.
'Aku sudah menyiapkan sarapan, jadi kamu bisa memakannya kapan saja. Aku
sudah menyelesaikan sarapanku.
Kurasa Ayase-san sudah bangun. Mungkin dia sedang duduk di kamarnya,
belajar atau bersih-bersih atau semacamnya. Aku mengiriminya ucapan terima
kasih melalui LINE dan duduk di meja makan.
“Hari ini menu bergaya Jepang, ya?”
Di atas piring biru pucat ada salmon panggang, bersama dengan lobak yang
dipotong menjadi gunung kecil di pinggirnya, dan plum Jepang kecil. Di piring
sebelahnya ada sejumput rumput laut yang dibumbui, dan salad di piring besar
lainnya. Menu ini mirip seperti sarapan yang biasa kamu lihat di penginapan.
Sepertinya ada banyak upaya yang dilakukan untuk ini.
Setelah mengkonfirmasi makanan yang aku hadapi, aku mengambil mangkuk
nasi dan mangkuk sup misku yang kosong dan berdiri. Sambil memanaskan sup
miso, aku memasukkan nasi ke dalam mangkuk, dan setelah mengisinya dengan
sup miso, aku kembali ke tempat dudukku.
“Ittadakimasu.” Setelah menyatukan kedua tanganku untuk berterima kasih atas
makanannya, aku mulai memakan sarapan berharga yang disiapkan Ayase-san
untukku.
Aku menuangkan kecap ke lobak untuk membiarkannya meresap dan
meletakkannya di atas salmon, dan memakan potongan salmon bersama dengan
lobak. Manisnya ikan dan pahitnya lobak bercampur di dalam mulutku. Ikannya
juga terasa enak, rasa yang berbeda dari daging. Berkat lobak, sisa rasanya tidak
ada, dan aku mendapati diriku bisa makan beberapa suap nasi.
Sambil mengagumi fakta bahwa sarapan sederhana ini masih bisa begitu lezat,
aku mulai mencicipi sup miso. Bahan dasar sup miso pagi ini adalah jamur
nameko. Kaldu supnya mudah diminum, dan langsung turun ke tenggorokan.
Seperti biasa, sup miso buatan Ayase-san selalu terasa lezat. Aku benar-benar
ingin mengiriminya pesan LINE lagi dan menyampaikan pujianku, tapi aku tidak
ingin mengganggunya. Jadi aku hanya mengiriminya pesan imajiner terima kasih
sebagai gantinya. Terima kasih untuk sup miso yang terasa lezat seperti biasa,
Ayase-san.
Setelah menghabiskan sarapanku, aku mencuci piring dan membersihkan
semuanya sedikit lebih santai, karena aku punya banyak waktu luang sampai
jadawal pekerjaanku dimulai. Sambil memikirkan apa yang harus dilakukan
sampai saat itu, aku memutuskan untuk membersihkan ruang tamu sedikit. Meja
makan memiliki taplak meja tipis di atasnya sehingga tidak akan berdebu.
Kupikir mungkin aku harus membersihkan kulkas, dan karena Akiko-san akan
segera pulang, kupikir dia mungkin lebih suka jika ikan bakarnya tidak terlalu
dingin. Jika dia tidak ingin memakannya, aku selalu bisa memasukkannya ke
dalam kulkas nanti.
Aku membersihkan dari atas ke bawah, karena debunya akan jatuh ke lapisan
paling bawah. Aku menyeka semua yang aku bisa, dan setelah menyapu lantai,
aku juga mengepelnya. Setiap kali aku melakukan sesuatu yang biasa aku
lakukan, itu benar-benar memberiku waktu untuk memikirkan hal lain di saat
yang sama. Misalnya, tentang bagaimana Ayase-san bertingkah aneh belakangan
ini. Kupikir semua itu dimulai dua hari yang lalu.
“Jika kamu penasaran tentang Maaya, maka tidak usah mengkhawatirkan
masalah itu. Kami tidak mempunyai hubungan di mana kami akan pergi
keluar bersama selama liburan musim panas. Cuma sekadar memberitahumu
saja.”
Tidak peduli seberapa banyak aku memikirkannya, aku gagal melihat alasan
dibalik mengapa dia datang ke kamarku hanya untuk mengatakan itu. Terlebih
lagi jika itu dari Ayase-san, mengingat bagaimana ini sangat berbeda dari tingkah
laku dia yang biasanya.
“Hmmm…”
Tanganku berhenti membersihkan, dan aku menghela nafas saat meletakkan
daguku di pegangan kayu pel. Oh ya, aku jadi teringat sesuatu yang lain. Menurut
Maru, seluruh rencana kolam yang disusun Narasaka-san seharusnya
menyertakanku juga. Tapi aku belum mendengar apa-apa mengenai rencana itu.
Tentu saja, itu sangat masuk akal, karena Narasaka-san tidak tahu kontak LINE-
ku atau cara lain untuk menghubungiku.
Jika memang begitu, apa yang akan Narasaka-san lakukan? Dia kemungkinan
besar akan meminta Ayase-san untuk menyampaikan ajakannya kepadaku.
Tentu saja, jika Ayase-san sendiri tidak ingin pergi, maka itu adalah
keputusannya sendiri. Akan tetapi, rasanya masih tidak wajar dan sulit dijelaskan
mengapa dia tetap diam dan tidak memberitahu mengenai ajakan yang
ditujukkan padaku.
Apa yang akan aku lakukan jika berada di posisi Ayase-san? Misalnya, bagaimana
jika Maru membuat rencana kolam serupa, dan menyuruhku mengajak Ayase-
san? Yah, aku mungkin akan memberitahu Ayase-san, bahkan jika aku tidak
berencana untuk pergi. Sesuatu seperti 'Maru menyuruhku untuk
mengajakmu'. Jika tidak, pada dasarnya aku akan mencuri kesempatan baginya
untuk menikmati dirinya sendiri. Karena kami sangat jelas tentang bersikap adil
dalam hubungan kami, dan itu akan melanggar aturan.
Jadi kenapa Ayase-san tetap merahasiakan itu? Ada sesuatu yang tidak beres.
Tapi, saat proses pemikiranku mencapai titik itu, aku menyadari kalau tanganku
berhenti melakukan bersih-bersih.
“Tidak bagus, tidak bagus.”
Aku meningkatkan upaya bersih-bersihku di ruang tamu, tapi perilaku aneh
Ayase-san masih membekas di dalam pikiranku. Aku selesai mengepel lantai
ketika pintu depan terbuka dan Akiko-san datang terhuyung-huyung ke arahku
dengan cara yang goyah dan wajah mengantuk.
“Ahhh… Yuuta-kun… pagi…”
“Selamat datang kembali, dan selamat pagi. Apa kamu ingin sesuatu untuk
dimakan, Akiko-san?”
“Ya… aku mau makan es krim lalu tidur.” Dia berbicara dengan mata setengah
tertutup.
Aku membuka pintu kulkas dan mengeluarkan es krim (yang merupakan favorit
Akiko-san, jadi Ayahku selalu menyetok persediaan). Es krim yang dimintanya
adalah stik es krim rasa strawberry.
“Oh iya, A/C-nya baru diperbaiki kemarin, ‘kan?”
“Mmm… Ahh, benar. Taichi-san memanggil teknisi…” Dia pasti sangat
mengantuk. Cara bicaranya terdengar pelan dan patah-patah.
Dari apa yang aku pahami setelah Akiko-san duduk di kursi dan mulai menjilati
es krimnya, alasan A/C kami tidak berfungsi karena ada kotoran di filter, dan
Ayahku yang mencoba memperbaiki sendiri tampaknya cuma memperburuk
kerusakan. Tapi sekali lagi, aku bisa membayangkan kalau Ia benar-benar cuma
ingin pamer ke Akiko-san.
“Padahal semuanya berjalan baik-baik saja dengan lancar sampai kemarin, dan
kemudian tiba-tiba rusak. Mesin benar-benar aneh, ya. ” kata Akiko-san.
Usai mendengar perkataan ini, jantungku berdetak kencang karena terkejut.
Berjalan baik-baik saja dengan lancar ... dan kemudian tiba-tiba rusak. Perkataan
tersebut mengingatkanku pada sesuatu yang Yomiuri-senpai katakan kepadaku
mengenai orang rajin yang tiba-tiba rusak karena stres dan tekanan. Mungkin
manusia cukup mirip dengan mesin dalam hal itu.
—Terlalu rajin membuat mereka tidak bisa berhenti.
Suatu saat nanti, hati mereka mungkin bisa hancur. Jika aku melihat seseorang
perlu berhenti, aku harus memaksa mereka dengan memberitahu mereka ...
Akan tetapi, apa dia sanggup menerima ini?
“Anu, apa Ayase-san membenci orang yang memaksa orang lain untuk jujur
dengan keinginan mereka sendiri?”
Sebagai permulaan, aku perlu memahami kepribadian Ayase-san lebih jauh.
Dengan pemikiran ini, aku memutuskan untuk bertanya kepada Akiko-san,
selaku ibu Ayase-san, tentang hal itu. Setelah mendengar pertanyaanku, Akiko-
san berhenti menjilati es krimnya dan menatap langit-langit.
“Hmmm? Apa kamu ingin menanyakan apa dia membenci orang yang
memaksakan sesuatu pada dirinya?
“Me-Memaksa ...”
Yah, kurasa mirip sesuatu seperti itu. Namun, entah kenapa aku merasa kalau
nuansa yang keluar dari perkataan Akiko-san sedikit berbeda dari apa yang aku
bicarakan pada awalnya.
“Aku sedang berpikir untuk membuat rencana dan membuatnya ikut.”
“Jadi, kamu ingin bertanya apa dia akan membenci seseorang yang terlalu
memaksa saat berkencan? Biar kupikir dulu... Dilihat dari kepribadiannya, dia
mungkin tidak akan menyukainya. Tapi segalanya akan berbeda jika kamu
benar-benar membuat rencana tersebut bersama dengannya. ”
“Jadi dia takkan menyukainya …… yah, sudah ketebak, sih.”
Bahkan sejauh yang aku tahu, kepribadian Ayase-san cukup mendekati
penjelasan Akiko-san. Jika memang begitu, tindakan apa yang bisa dilakukan
untuk menghentikannya…?
“Hm, apa kamu ingin mengajaknya kencan? Yuuta-kun… Jangan bilang kalau
kamu jatuh cinta padanya?”
Komentar mendadak Akiko-san benar-benar mengganggu proses berpikirku.
Apa? Um, apa yang barusan dia katakan? Aku dengan panik mencoba mengingat
percakapan yang mengarah ke titik ini. Apa Akiko-san sebenarnya memikirkan
kesalahpahaman yang mengerikan?
“T-Tidak, tentu saja tidak! Aku bukan membicarakannya dengan cara seperti itu.
Aku hanya merasa kalau Ayase-san yang memiliki kepribadian ini terkadang
bertindak terlalu jauh.”
Aku perlu menjelaskan situasinya dengan benar, jadi aku memberi tahu Akiko-
san tentang percakapanku dengan Yomiuri-senpai kemarin. Alhasil, Akiko-san
tersenyum seolah-olah dia akhirnya mengerti apa yang aku bicarakan, dan
membuatku bisa menghela nafas lega.
“Jadi itu yang kamu maksud. Aku benar-benar mengira kamu menyukai Saki
sebagai seorang gadis.”
“Itu sama sekali tak—”
—kan pernah terjadi. Bagaimanapun juga, Ayase-san adalah adik perempuanku.
Itu mustahil. Perasaan semacam itu tidak diperbolehkan terjadi.
“Kamu benar, Saki benar-benar bisa seperti itu.” Ketika Akiko-san mengatakan
begitu, aku merasa lebih tegang. “Kira-kira sekitaran dia baru masuk sekolah
SMP, dan aku akhirnya menjadi sibuk dengan pekerjaanku, Saki mulai tumbuh
sangat cepat, dan dia mencoba yang terbaik untuk mempertimbangkanku dan
tidak menambah beban kerjaku. Dia jauh lebih dewasa daripada teman-
temannya.”
“Itu… aku bisa membayangkannya.”
“Memang. Dan itu mungkin tampak seperti hal yang baik, tapi mengingat semua
itu terjadi karena aku tidak ada untuknya.... Aku jadi merenungkannya, dan
mengingat bahwa aku tidak bisa memanjakannya sepantas yang dia dapatkan.
Aku ingin dia bisa tetap sedikit lebih egois, dan membiarkan dia menjadi anak
kecil sedikit lebih lama lagi.” Perkataan Akiko-san sangat tepat menusuk hatiku.
Aku jadi ingat foto Ayase-san kecil yang ditunjukkan padaku. Ayase-san yang
akan meminta es krim atau memohon untuk pergi ke kolam renang yang pernah
Akiko-san ceritakan padaku. Namun, Ayase-san memaksa dirinya untuk berhenti
bertingkah seperti anak kecil dan memutuskan untuk hidup mandiri. Pada
awalnya, dia mungkin ingin mencoba meringankan sebagian beban dari pundak
ibunya, tapi sekarang itu mungkin bukan satu-satunya alasan lagi.
“Yuuta-kun.” Akiko-san memanggilku. Aku mengangkat kepalaku dan mendapati
dia menatapku dengan serius. “Aku tahu ini bukan sesuatu yang harus aku minta
kepada putra tiriku, tapi aku ingin kamu membantunya dan memastikan kalau
dia tidak terlalu memaksakan diri. Jika dia mengatakan bahwa dia tidak mau,
maka aku pikir kamu harus lebih memaksa tentang hal itu, sama seperti yang
kamu tanyakan kepadaku tadi.”
Sejenak, aku merasa ragu, tapi akhirnya tetap mengangguk menuruti permintaan
Akiko-san. Sejauh ini, aku menjalani hidup tanpa mencoba melangkahi
batasan orang lain. Aku tidak bertanggung jawab atas bagaimana orang lain
menjalani hidup mereka, aku pun tak mau. Lagi pula, aku sendiri tidak suka saat
ada orang lain yang memasuki wilayah privasiku. Mencoba memikul beban satu
sama lain kedengarannya sangat merepotkan sampai-sampai aku tidak mau
diganggu. Aku ingat apa yang Ayase-san katakan padaku saat pertama kali kita
bertemu...
“Aku tidak terlalu banyak berharap padamu, jadi aku ingin kamu melakukan
hal yang sama untukku.”
Ucapannya tersebut memberiku rasa lega dan kepastian. Hubungan ini jelas
merupakan cara terbaik untuk melakukan berbagai hal untuk membentuk
hubungan yang tidak terlalu mengganggu. Namun, aku juga tidak bisa
mengabaikan Ayase-san yang mungkin akan hancur dalam waktu dekat... Bahkan
jika dia membenciku karenanya.
“Tidak apa-apa. Bahkan jika dia mulai tidak menyukaimu karena itu, aku akan
memberitahumu sesuatu yang sangat dia sukai.”
“Sesuatu yang dia suka, ya? Maksudmu sesuatu yang akan menghiburnya?”
“Tentu saja!” Akiko-san menatapku dengan senyum cerah.
Aku sedikit ragu kalau sesuatu segampang seperti itu bakalan ada, tapi aku masih
meminta Akiko-san untuk membantu aku jika membutuhkannya. Aku benar-
benar tidak ingin Ayase-san membenciku. Bagaimanapun juga, kami tinggal
bersama, dan dia adalah adik perempuanku.
Suara dengung samar-samar dari AC memenuhi ruang tamu.
“Terima kasih untuk itu.” ujar Akiko-san, melemparkan tongkat es loli ke sudut
segitiga wastafel.
Dia pasti sangat kelelahan, karena dia berjalan terhuyung-huyung kembali ke
kamarnya. Aku hanya berharap dia tidak jatuh. Kerja bagus hari ini, dan
selamat malam, Akiko-san. Sekarang, untuk giliranku… Aku memasukkan ikan
bakar kembali ke dalam kulkas dan berjalan ke kamar Ayase-san, lalu mengetuk
pintunya.
“Apa?”
Pintu terbuka sedikit, dan aku bisa melihat meja belajar Ayase-san. Di atasnya
terdapat buku pelajaran dan catatan, dan dia sedang memegang headphone-nya
yang biasa. Kali ini, dia memakai headphone ketimbang earphone. Mungkin dia
sedang belajar sambil mendengarkan musik lofi. A/C dikamarnya menyala, dan
menciptakan suasana yang lebih sejuk di dalam ruangan. Aku pikir Akiko-san
menyebutkan bahwa Ayase-san lemah terhadap panas.
“Aku ingin menanyakan tentang masalah ajakan kolam renang dari Narasaka-
san.”
“Aku tidak pergi.”
Aku tidak diberi waktu untuk menyelesaikan kalimatku. Ayase-san pasti
melihatku bingung, karena dia langsung cepat-cepat membuat alasan.
“Lagipula, aku tidak punya waktu untuk membuang-buang waktu di kolam
renang.”
Itulah yang aku cemaskan. Bukannya Ayase-san mencoba membuatku marah
atau semacamnya. Dia masih memiliki pola pikir bahwa setiap waktu yang
dihabiskan untuk bermain atau bersenang-senang harus dihindari seperti
penyakit. Dia tidak berpikir kalau dia perlu waktu untuk bersantai dan fokus
pada hal lain. Hatinya seperti bambu hijau, tumbuh tanpa henti teapi hanya
tegak lurus ke atas. Ada pepatah jadul yang samar-samar aku ingat mengatakan
sesuatu seperti itu. Jadi aku mulai memikirkan seseuatu. Bila aku mencoba
mengikuti kemauannya, dia akan semakin keras kepala.
“Baiklah, itu tidak masalah. Aku cuma berpikir kalau aku mungkin ingin pergi.
Jadi bisa tidak kamu memberitahuku informasi kontak Narasaka-san? ”
Untuk saat ini, aku mulai bertindak seakan-akan tertarik pada ajakan Narasaka-
san, jadi aku memberi Ayase-san kesempatan untuk menurunkan
kewaspadaannya dan mungkin memikirkan kembali pilihannya. Ayase-san
akhirnya menatap mataku.
“Gak mau.”
“Eh? … Um, apa?” Aku terkejut saat mendengar penolakannya.
Lagi pula, aku tidak menyangka akan mendapat penolakan secara langsung dan
blak-blakan begitu. Ayase-san tidak suka bertindak berdasarkan emosi tanpa
didasari logika. Aku tidak pernah menyangka bahwa Ayase-san membalas
dengan nada yang begitu marah hanya karena aku meminta informasi kontak
Narasaka-san. Belum lagi Narasaka-san mungkin berencana menghubungiku
sejak awal. Apalagi, meski dia sendiri yang mengatakannya, Ayase-san tampak
terkejut dengan balasan yang keluar dari mulutnya.
“Eh, tunggu, bukan begitu maksudku. Memberikan informasi kontak seseorang
kepada orang lain tanpa izin…merupakan perilaku tidak sopan.”
“Ahhh…”
Memang masuk akal. Alasan itu akan menjelaskan reaksinya tadi. Bagaimanapun
juga, kamu harus melindungi info privasi orang lain. Tindakan tersebut sangat
mirip dengan sikap Ayase-san. Yup, aku mempercayai alasan tersebut.
“Biar aku tanyakan dulu ke Maaya. Aku nanti akan memberitahumu jika sudah
mendapat tanggapan darinya.”
“Oke.”
Dia pasti menggunakan media LINE atau email. Jika memang begitu, kupikir hal
itu takkan membutuhkan waktu lama. Dan karena dia bilang masih ingin belajar
lagi, aku segera meninggalkan kamarnya. Karena kita akan bertemu nanti untuk
shift kerja sambilan kita, aku bisa menunggu. Aku menutup pintu dan kembali ke
kamarku sendiri. Masalah saat ini ialah aku tak bisa memikirkan sesuatu yang
dapat membuat Ayase-san menerima ajakan ke kolam. Saat ini, Ayase-san seperti
gunung yang tak tergoyahkan yang hanya fokus pada belajar dan pekerjaan
sambilannya. Dilihat dari keadaannya, dia pasti berada di bawah banyak tekanan
mental.
Bukan masalah untuk membuatnya pergi ke kolam renang. Aku hanya ingin dia
beristirahat sejenak dari rutinitasnya sebelum dia benar-benar hancur. Hanya itu
yang kupikirkan, dan kuharapkan. Jadi aku memutuskan untuk menanyakannya
nanti selama jadwal kerja sambilan kami.
Aku meninggalkan apartemen saat menjelang siang. Setelah mengayuh sepeda
menerobos suhu panas mengepul yang naik dari beton yang mendidih, Aku
sempat beristirahat beberapa kali di jalan turunan bukit, dan sudah menyiapkan
beberapa botol air ke dalam tas di keranjang sepedaku supaya terlindungi dari
kemungkinan sengatan panas. Aku bisa merasakan kalau butiran keringat mulai
menumpuk di tubuhku, tapi menekan keinginanku untuk berhenti dan
menyekanya. Bukannya aku membenci berkeringat begini, sih.
Di tengah Omotesando di mana kamu bisa melihat mahasiswa yang sibuk, aku
menemukan satu bangunan formal yang sepertinya tidak cocok untuk lokasi
tersebut. Bangunan tersebut merupakan tempat les terkenal yang ditargetkan
untuk orang-orang yang mencoba lulus ujian masuk Todai.[1] Setiap kali aku
menghentikan sepedaku dan memasuki gedung ini, aku merasa lega. Daripada
semua tempat yang penuh dengan para riajuu di Shibuya, tempat yang dipenuhi
siswa rajin ini membuatku merasa jauh lebih damai. Di dekat tempat les ini juga
terdapat butik populer dan toko kue panekuk yang populer di media Insta, yang
menarik banyak mahasiswi.
Aku memasuki ruang kelas dan duduk di pojok ruangan. Berbeda seperti di
sekolah, kursi duduk di tempat les tidak ditetapkan atau sejenisnya, tapi kurasa
itu sudah menjadi sifatku untuk mencari tempat terbuka. Omong-omong, aku
bukan murid dari tempat les ini, aku di sini cuma untuk menghadiri kursus
khusus musim panas. Ada banyak pelajar di sekitarku yang sama dalam hal itu.
Mereka bahkan tidak banyak berbicara satu sama lain, dan hanya fokus pada
buku pelajaran mereka saat menjawab soal-soal yang ada.
Meski SMA Suisei dikenal sebagai sekolah elit, bukan berarti semua murid di
dalamnya adalah siswa yang rajin, jadi perbedaan suasana antara kaku dan
santai tidak datang dari nilai atau kepribadian, melainkan hanya hubungan
manusia yang terjadi di dalam kelas. Ngomong-ngomong tentang masalah
murid, pelajar yang mengikuti les ini umumnya memiliki rambut hitam, tidak
memakai aksesoris atau riasan mencolok, dan tidak berusaha menonjol dengan
cara yang aneh. Di sini, semua orang yang akan dianggap rajin dari sudut
pandang umum. Mereka berbeda dari siswa di sekolah, terutama dalam cara
mereka terus-menerus melihat buku pelajaran mereka.
Mereka lebih mirip seperti Ayase-san, setidaknya menurut pendapat pribadiku.
Baik mode, warna rambut, dan penampilan luarnya benar-benar bertentangan
dengan ini, tapi sifat rajin dan keseriusan niatnya sangat mirip. Dia menjalani
hidup dengan kekuatan penuh, yang seakan-akan tidak punya waktu untuk
bersantai. Dia berbeda dari orang sepertiku yang hanya berusaha mendapatkan
nilai yang lumayan untuk masuk ke universitas yang menurutku lumayan.
Pandangan matanya mirip seperti seseorang yang sedang bertarung.
Namun, cara Ayase-san memaksakan dirinya sendiri sangat berbeda ketimbang
orang-orang di sini. Lagi pula, dia menginginkan kesuksesan finansial dan
berdiri di atas kakinya sendiri, itulah sebabnya dia bahkan tidak berpartisipasi
dalam kursus musim panas ini, karena dia ingin membayarnya sendiri. Jika rata-
rata peserta ujian mencoba untuk puas dengan belajar mandiri, mereka hanya
akan diejek dan terlihat sombong serta dianggap sebagai seseorang yang
mencoba melawan tren, tetapi saat kamu melihat Ayase-san mendapatkan nilai
tinggi di hampir semua mata pelajaran dan menghafal semua yang berkaitan
dengan pelajaran tersebut, mau tak mau kamu cuma akan dibuat tersenyum
masam.
Bahkan kelemahannya dalam Bahasa Jepang Modern entah bagaimana telah
berkurang sejak bulan lalu, dan dia perlahan berubah menjadi murid yang
sempurna… Yah, untuk seseorang sepertiku yang bukan orang gila yang
berkembang dengan usaha, perlahan tapi pasti meningkatkan pengetahuanku
merupakan satu-satunya hal yang bisa aku harapkan. Lagipula, penting untuk
mengetahui sampai sebatas mana keterampilanmu sendiri.
“Um…”
“Eh? Ah iya?”
Ada suara samar yang tiba-tiba memanggilku, dan aku memberikan respon yang
terlambat. Karena ini adalah pertama kalinya ada murid lain yang mencoba
berbicara denganku selama kursus musim panas ini, aku perlu beberapa detik
untuk menyadarinya. Suara tersebut berasal dari seorang gadis yang duduk di
sebelahku. Tidak setiap saat, tapi aku merasa seperti pernah melihatnya duduk di
sebelahku beberapa kali sebelumnya. Penampilan dan fashionnya tidak terlalu
membuatnya menonjol, dan bahkan mungkin bisa dibilang polos, tapi ada satu
bagian yang benar-benar membuatnya menonjol—tinggi badannya.
Aku berasumsi kalau tingginya sekitar 180cm. Seorang gadis yang lebih tinggi
dariku sedang berbicara kepada aku, dan entah kenapa aku merasakan tekanan
aneh untuk beberapa alasan. Namun suaranya tidak memiliki kepercayaan diri.
“Kamu menjatuhkan sesuatu.”
“A-Ah, terima kasih banyak.” Aku pasti menjatuhkan bookmark-ku saat
membuka buku pelajaran tadi.
Aku berterima kasih kepada gadis itu dan mengambilnya, lalu pandanganku
bertemu dengan tatapannya lagi.
“Itu bookmark dari pameran musim panas, ‘kan? Yang bisa kamu dapatkan dari
toko buku dekat stasiun kereta.”
“Y-Ya, itu benar.”
Aku tidak bisa memberitahunya kalau aku bekerja sambilan di sana. Sesuatu di
dalam diriku mencegahku untuk memberi tahu orang asing mengenai informasi
pribadiku.
“Aku cukup sering mampir ke sana. Sungguh kebetulan sekali.”
“Lagipula, Cuma itu satu-satunya tempat dimana kamu bisa membeli buku.”
“Kamu benar, hahaha.” Gadis jangkung membalas seraya tertawa ringan.
Di situlah percakapan kami berakhir. Bukannya dia ingin berbicara denganku
atau semacamnya, tetapi dia berbicara kepadaku karena bookmark, dan
menemukan topik percakapan yang umum untuk sesaat. Jenis percakapan biasa
tanpa makna khusus di baliknya. Aku melirik gadis itu, yang sudah berbalik ke
mejanya sendiri, tapi kemudian merasa ada yang tidak beres.
...Apa dia pernah datang ke toko buku? Karena kami berdua sama-sama pelajar
SMA, kehidupan sehari-hari kami saat ini seharusnya hampir sama, tapi aku
belum pernah melihat wajahnya saat aku bekerja sambilan. Aku tidak berpikir
kalau aku akan melupakan seseorang yang memiliki perawakan model seperti
dirinya. Yah, aku juga tidak bekerja di sana 24/7, dan dia mungkin bukan
pelanggan tetap. Kita mungkin tidak pernah saling berpapasan. Dengan
pemikiran seperti itu, aku berbalik ke arah mejaku sendiri.
Hanya itu satu-satunya peristiwa penting dibandingkan dengan keseharian
kursus musim panasku yang biasa. Aku juga tidak mengobrol lagi dengan gadis
itu. Aku hanya menghabiskan waktuku sama seperti sebelumnya.
Dari siang sampai sore, aku fokus pada materi belajarku. Setelah blok waktu
terakhir berakhir dan aku memeriksa waktu, aku masih punya waktu sekitar 40
menit sampai jadwal kerjaku dimulai. Toko buku berjarak sekitar sepuluh menit
dari sini dengan sepeda aku. Tentu, itu adalah sesuatu yang aku ingat saat
memilih tempat les ini.
Aku memasukkan buku pelajaranku ke dalam tas dan dengan cepat melangkah
keluar dari gedung tempat les. Aku meraih sepedaku dan hendak pergi. Karena
alur tindakan ini telah berulang selama liburan musim panas, dan menjadi
sesuatu yang seperti rutinitas, otakku menjalankan tindakan ini secara otomatis.
Namun, ada sesuatu yang berbeda terjadi hari ini.
“Hah?”
Aku tanpa sadar berkedip terkejut. Saat aku sedang asyik dengan sepedaku, aku
melihat seseorang duduk di kursi dekat jendela toko panekuk tepat di depan
tempat les. Rambut hitam panjangnya tetap rapi dengan ikat kepala katyusha,
dan dia mengenakan model rok yang tampak seperti rok flare yang bergaya.
Tentu saja, orang yang memberikan kesan seorang Ojou-sama ini tidak lain
adalah seniorku di tempat kerja, Yomiuri-senpai.
Orang-orang yang sedang bersamanya pasti teman dari kampusnya. Mereka
duduk di kursi untuk empat orang di dalam toko, dan berdiskusi serius sambil
memakan kue panekuk mereka. Karena jarakku cukup dekat, dan mereka
berbicara dengan suara yang cukup keras, aku dapat menangkap potongan
percakapan mereka. Dua dari mereka tampaknya seummuran dengan Yomiuri-
senpai, dan mungkin mahasiswa, tapi wanita ketiga memiliki aura yang jauh
berbeda tentang dirinya.
Lagi pula, dibandingkan dengan gadis-gadis lain yang mengenakan pakaian yang
sesuai dengan cuaca musim panas, dia mengenakan kardigan lengan panjang,
dan mengamati wajah Yomiuri-senpai serta dua wanita lainnya.
“Sekarang, siapa lagi yang tidak setuju? Penelitian humaniora[2] kita sedang
dibandingkan dengan bidang keilmuan lainnya dan disebut soft science karena
tidak dapat memberikan berkontribusi pada masyarakat. Kita bahkan
mempertanyakan keberadaan kita sendiri. Jika terus begini, semua penelitian
kalian dan validitasnya akan dibatalkan. ”
Para mahasiswa tersebut tampaknya tidak dapat mengatakan apa-apa dalam
menghadapi pernyataan keras ini. Mereka hanya menyusut di tempat sambil
bertukar tatapan tak berdaya. Pada saat yang sama, wanita berpengetahuan itu
tersenyum tanpa peduli, mengambil sepotong pancake lagi dan memasukkan ke
mulutnya. Tidak peduli bagaimana kamu melihatnya, diskusi semacam itu
bukanlah diskusi yang sepantasnya dilakukan di toko panekuk populer, tapi
pelanggan lain di sekitar mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan dan tidak
mau campur tangan, atau hanya mengabaikannya dan menganggap sebagai
obrolan pelanggan lain. Di tengah suasana yang berat ini, satu orang akhirnya
membuka mulut. Orang tersebut adalah Yomiuri-senpai.
“Jika kita mendefinisikan hard sains[3] dengan tindakan membuktikan
reproduktifitas hukum melalui eksperimen, sejauh penemuan yang diperoleh
dari hard sains berjalan, mereka jelas memiliki kontribusi yang lebih tinggi
terhadap masyarakat. Selama ini fakta yang diterima secara umum, tidak ada
ruang bagi kita untuk menyangkal ilmu-ilmu sains dari sudut pandang kita.”
“Cerdik. Sepertinya kamu sudah menerima kenyataan bahwa memutarbalikkan
kebenaran untuk tidak setuju dengan sebuah pernyataan hanyalah permainan
kotor. ”
“Ya, dan Saya ingin mengatakan bahwa ada makna di balik penelitian
humaniora.”
“Contohnya? Meneliti literasi atau fakta sejarah hanyalah tugas sederhana. Aku
tidak setuju dengan gagasan keluarga kerajaan yang menawarkan sumber daya
untuk penelitian yang tidak memberi kita manfaat apapun.”
“Menemukan kebenaran di balik sejarah yang dialami nenek moyang kita adalah
pertanyaan primitif dan esensial tentang bagaimana manusia harus berperilaku.”
“Apa benar begitu? Sastra dan sejarah tidak lebih dari kenangan yang diwariskan
hingga sekarang dari orang-orang di masa lalu. Meski kamu memahami konsep
ini, tak bisa dipungkiri bila kamu tak mampu memahami kecenderungan
manusia modern dan rata-rata.”
“‘Pelajarilah masa lalu, maka kamu akan mengetahui masa depan.’ Bukankah
seharusnya kita mencari masa lalu untuk menemukan petunjuk bagaimana
memecahkan masalah modern?”
“Maksudmu sejarah akan terulang kembali?”
“Ya. Kita dapat melihat bahwa ada penyebab konflik sosial yang berulang di masa
lalu. Jadi, bukannya adil untuk mengatakan bahwa belajar dari masa lalu akan
membuka jalan untuk menemukan jawaban yang memadai di masa sekarang?”
“Ahh, kalau itu sangat tidak logis, Yomiuri-kun.”
“Hah?”
“Pepatah yang mengatakan kalau sejarah akan terulang kembali tidak lain
hanyalah kesan dari seseorang di masa lalu. Tanpa data substansial yang konkrit
dari masa lalu, mana mungkin bisa membuktikan reproduktifitas apa pun tidak
peduli seberapa banyak kamu menelitinya. ”
“Urhk…”
Yomiuri-senpai tak bisa berkutik, dan kehilangan kemampuannya untuk
membuat bantahan. Sedangkan wanita berpengetahuan itu, mulai memegang
sepotong kue panekuk di garpunya dan memutar-mutarnya.
“Zaman sekarang telah memungkinkan untuk mengamati data dari peristiwa apa
pun yang dapat kamu bayangkan. Penghimpunan dan pengumpulan data
sekarang cukup mudah didapatkan, dan hal ini membawa kebenaran dari orang-
orang yang dianggap tidak dapat dibuktikan ke depan. Apa orang-orang di masa
depan dapat belajar banyak dari masa lalu atau tidak, bagi kita inilah masa
sekarang. Jika seseorang ingin mendapatkan petunjuk dari masa lalu untuk
memecahkan masalah, itulah yang harus menjadi prioritas pertamamu untuk
melakukannya dengan bantuan ilmu alam, benar? Apa ada yang keberatan?”
Wanita itu menyentakkan dagunya saat menanyakan ini, dan Yomiuri-senpai
segera menjawab.
“Ya. Nilai-nilai manusia di zaman kita saat ini tetap tidak terputus dan ada di
atas budaya kita. Dengan belajar tentang sastra, kita bisa mempelajari masa lalu,
belajar tentang agama mereka, belajar tentang sopan santun mereka, yang
kemudian memungkinkanmu untuk mendapatkan pengamatan yang dapat
disesuaikan dan akurat tentang bagaimana kita berakhir seperti sekarang ini.
Misalnya, seorang artis di suatu negara membuat video musik yang
merendahkan agama negara lain, yang kemudian menimbulkan kemarahan
warga negara tersebut. Apa ada cara ilmiah untuk membuktikan alasan
kemarahan ini? Bisakah kita memberikan perkiraan atau rencana untuk
meredakan kemarahan mereka? Seorang peneliti humaniora pasti akan
memunculkan beberapa teori tentatif yang berbeda.”
“Hmm, argumen yang cukup agresif, tapi alasanmu tidak salah.”
Faktanya, tindakan Shiori-senpai menunjukkan bahwa itu pasti argumen yang
cukup kuat. Untuk pertama kalinya, wanita itu berhenti memainkan garpunya
dan mulai memikirkan apa yang Yomiuri-senpai katakan. Namun, dia cuma
butuh beberapa detik untuk mulai berbicara lagi.
“Bagaimana kamu bisa membuktikan kausalitas bahwa kemarahan tersebut
terkait dan berasal dari sejarah dan agama negara itu?”
“Eh?”
“Apa kemarahan ini muncul semata-mata karena budaya mereka dipandang
rendah? Mungkin musiknya membuat para penduduk tidak nyaman, dan format
videonya membantu memperkuat kemarahan ini?”
“Keterkaitan itu dapat terungkap dengan penyelidikan menyeluruh dan
eksperimen sosial dengan orang-orang yang terlibat.”
“Skakmat.”
“Eh? …Ah.”
Yomiuri-senpai terdiam, dan wanita itu mencuri sepotong kue panekuk sambil
tersenyum. Tidak sesuai dengan usianya yang dewasa dan berpengetahuan,
wanita itu mulai mengunyah irisan yang dia curi seperti anak kecil yang tidak
bersalah.
“Kamu tidak bisa membantah itu. Pada dasarnya, kamu baru saja mengakui
kalau membaca literatur masa lalu sama sekali tidak ada artinya, dan bahwa kita
harus fokus pada penelitian tentang apa yang terjadi di masa sekarang. Sayang
sekali, lain kali tolong siapkan logika yang lebih baik, Yomiuri-kun.”
“Urk…” Yomiuri-senpai memegangi kepalanya dengan frustasi dan menerima
kekalahan.
Setelah itu, dia menusukkan garpunya ke kue panekuk dan memasukkannya ke
dalam mulutnya. Melihatnya mengunyahnya dengan agresif sambil masih
cemberut membuatnya tampak jauh lebih kekanak-kanakan, yang sejujurnya
mengejutkanku. Seluruh diskusi pertanyaan dan jawaban, dan bahkan tingkah
lakunya sekarang, benar-benar berbeda dari bagaimana aku mengenalnya di
tempat kerja. Karena dia selalu menunjukkan apa-apa selain muka santai dan
superioritas terhadapku. Melihatnya kehilangan kata-kata dan merasa terpojok
anehnya terasa menyegarkan di mataku.
“Kudou-sensei, kenapa Anda terus-terusan membuat bantahan? Anda juga
bagian dari fakultas humaniora.” Tanya Yomiuri-senpai.
Sepertinya wanita berpengetahuan ini bernama Kudou. Bila dilihat dari cara
Yomiuri-senpai memanggilnya 'Sensei', dia pasti seorang profesor, atau lebih
tepatnya lektor. Aku pernah membaca di sebuah buku bahwa seseorang tidak
bisa menjadi profesor tanpa mencapai usia tertentu, dan wanita ini tidak terlihat
setua itu.
“Sebenarnya ini sederhana. Aku mengerti bahwa perasaan yang sebenarnya dan
ucapan manis di bibir adalah dua hal yang berbeda.”
“Begitu… Lantas, argumen apa yang akan kamu buat, Sensei?”
“Aku akan mulai dengan bertanya 'Apa yang salah dengan menjadi soft sains'?.”
“…Eh?”
“Memang benar bahwa humaniora dikategorikan sebagai soft sains, tapi kamu
masih bisa membantah premis bahwa humaniora tidak memberikan kontribusi
apa pun kepada masyarakat. Memang benar bahwa penelitian dan kemajuan
ilmu pengetahuan alam akan secara langsung berdampak dan mempengaruhi
kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan, tetapi sayangnya kebahagiaan
umat manusia bukanlah sesuatu yang memiliki nilai langsung yang terkait
dengannya. Kebenaran dan kebahagiaan sayangnya tidak memiliki
kecenderungan yang sama di seluruh umat manusia. Misalnya saja, secara
pribadi aku merasa kalau makan panekuk manis dan lezat ini sebagai
kebahagiaan terbesar, tapi berapa persentase orang di dunia ini yang akan setuju
dengan pendapatku?”
“Bukankah mempunyai anak di dunia ini umumnya dilihat sebagai kebahagiaan
bersama di antara manusia?”
“Jadi maksudmu mereka yang tidak ingin punya anak takkan pernah bisa benar-
benar bahagia?”
“… Poin yang valid. Ada lebih banyak orang di zaman sekarang yang tidak
menginginkan anak.”
“Tepat sekali. Seperti yang terjadi, tesis kebahagiaan umat manusia—atau
bagaimana umat manusia harus terus ada—masih samar-samar. Bahkan hasil
dan penemuan sains hanya dapat mencapai hal-hal yang bersifat dangkal. Justru
karena kita adalah bagian dari soft sains, dan ilmu praktis, kamu harus
menerima penelitian kami jika kamu tidak ingin masyarakat dan dunia ini
runtuh. Itulah mungkin jawaban yang akan kuberikan.”
“Ahh, saat Anda mengatakannya dengan cara begitu …”
“Membawa perhatian pada komunikasi dengan negara lain bukanlah upaya yang
buruk. Jika kamu sudah menerima kenyataan kalau kita merupakan soft sains,
dan kemudian menunjukkan nilai yang kita tawarkan, hal itu mungkin bisa
menjadi upaya yang lebih baik. ”
“Sangat menarik… Terima kasih banyak, Kudou-sensei.” Yomiuri-senpai
menundukkan kepalanya ke arah wanita itu dan menghela nafas. “Ya ampun, aku
benar-benar tidak bisa mengalahkan anda, Sensei.”
“Tidak. Kamu masih luar biasa, Yomiuri-san, aku tidak bisa mengikuti sama
sekali sejak awal.”
“Benar, benar ~”
“Hei, kalian berdua. Jangan bertingkah seolah-olah tidak ada kaitannya dengan
kalian. Aku mentraktirmu panekuk mahal, jadi kamu harus menghiburku.
Sekarang, untuk topik debat kita selanjutnya…”
“Ehh, mana mungkin kita bisa menang melawan Yomiuri-san!”
Mahasiswi tersebut menyuarakan keengganan mereka. Adapun Yomiuri-senpai,
tepat ketika topik pembicaraan baru muncul, dia mengalihkan pandangannya
dari teman-temannya, mungkin untuk menyembunyikan rasa frustrasinya. Saat
memalingkan tatapannya, dia secara kebetulan melihat ke arahku... atau
mungkin tidak secara kebetulan, dilihat dari situasinya. Tatatapannya kemudian
berpapasan dengan mataku ketika aku berdiri di samping jalan. Gawat, pikirku.
Aku mungkin secara tak sengaja mendengar sebagian dari percakapan mereka,
tetapi jika dilihat secara objektif, aku taka da bedanya dengan menguping. Aku
tak bisa benar-benar mengatakan aku melakukan sesuatu yang terpuji . Namun,
Yomiuri-senpai segera berpaling dariku dan melirik jam tangannya.
“Maaf, Kudou-sensei, sudah waktunya saya harus pergi untuk pekerjaan
sambilan saya.”
“Ya, silahkan saja. Jangan khawatir tentang pembayarannya.”
“Terima kasih banyak telah mentraktir saya.” Yomiuri-senpai membungkuk
sopan, meletakkan tas di atas bahunya, dan meninggalkan toko.
Saat melewatiku, dia melirik sekilas ke arahku yang seolah-olah ingin
menyampaikan pesan, jadi aku mengikutinya. Beberapa menit kemudian, ketika
toko panekuk tidak terlihat lagi, aku berbicara dengan Yomiuri-senpai.
“Aku minta maaf tentang apa yang terjadi tadi.”
“Karena kamu sudah meminta maaf, itu berarti kamu mengakui kesalahanmu,
‘kan?”
“Oke, tunggu sebentar. Itu salah paham. Aku tidak melakukannya dengan
sengaja.”
“Jadi kamu ini penjahat yang tidak tahu kapan harus menyerah, huh…Yah,
kurasa kamu tidak menguntitku atau semacamnya.”
“Aku sangat berterima kasih atas pengertian dan itikad baikmu.”
“Karena kamu cukup pintar, kamu mungkin akan menggunakan metode yang
lebih gila jika kamu ingin menguntit seseorang.”
“Aku benar-benar tidak membutuhkan pengertian semacam itu, oke?” Demi
menghadapi kritik keras seperti itu, aku membuka tasku dan menunjukkan buku
pelajaranku. “Aku baru saja dari kursus musim panasku. Aku membawanya ke
tempat les di dekat toko panekuk tadi.”
“Ahh. Begitu rupanya, sohib.”
“Waah, sangat percaya dan yakin dengan pilihan kata-katamu yang aneh.”
“Pada dasarnya, kamu tidak hanya menungguku, tapi juga mendengarkan
percakapan kita?”
“Itu…”
Dia menjebakku. Aku meloncat ke lubang jebakan yang sudah disiapkannya
melalui pertanyaan yang dipandu, yang mana membuatku tidak bisa mengatakan
apa-apa. Melihatku tak bisa membalasnya, Yomiuri-senpai tertawa terbahak-
bahak.
“Aku cuma bercanda doang, kok. Cuma ingin membalasmu sedikit karena kamu
sudah melihatku dalam situasi yang memalukan. Ayo pergi.”
“Ah iya.”
Aku buru-buru turun dari sepedaku dan mulai berjalan di sebelah Yomiuri-
senpai, sembari menuntun sepedaku. Aku melirik sekilas ke arahnya. Rambut
hitamnya yang indah, cara berpakaian yang sopan dan pantas, dia memancarkan
aura seorang wanita bangsawan saat berada di bawah pancaran sinar matahari
putih. Walaupun hari sudah menjelang malam, namun sinar matahari masih
tampak cerah dan terang seperti siang hari. Waktunya sudah malam hari saat
kami pergi menonton bioskop bulan lalu, tapi pakaian ini membuatnya tampak
lebih rapi dan berkilau dari biasanya.
“Aku tidak menyangka kamu akan berada di sana untuk melihat logikaku
dihancurkan berkeping-keping dan frustrasi seperti itu. Kebanggaanku sebagai
Senpai sangat terluka. ”
“Tidak juga,…”
Karena sejak awal aku tidak pernah menghormatimu —aku memaksa diriku
untuk berhenti sebelum mengucapkan kalimat ini. Namun, nuansa dalam apa
yang hendak aku katakan tadi sepertinya telah tersampaikan, saat Yomiuri-
senpai menatap tajam ke arahku. Karena merasa seperti ditusuk oleh jutaan
jarum, aku segera mengganti topik pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, siapa orang itu barusan?”
“Apa kamu bertanya tentang Kudou-sensei?”
“Ya, beliau.”
“Kouhai-kun memang beda. Padahal ada tiga mahasiswi muda dan cantik, tapi
kamu malah melihat wanita yang matang itu. ”
“Bukannya omongan Senpai sedikit kasar karena berbicara tentang usianya?”
“Hal-hal semacam itu diperbolehkan jika sesama wanita, Kouhai-kun.”
Aku ingin tahu apa dia belajar tentang itu dari Kudou-sensei juga. Tentu saja, aku
bahkan tidak berani bertanya. Aku tidak ingin menambah masalah yang sudah
kualami hari ini.
“Kudou-sensei adalah seorang lektor di universitasku. Kurasa kamu pasti sudah
bisa menebak sebanyak itu dari usianya, ‘kan? ”
“Ya, samar-samar. Tapi bukannya kamu sedang liburan musim panas?
Memangnya Senpai biasanya makan panekuk bersama lektormu seperti itu?”
“Beliau kadang-kadang mengundang kita keluar seperti itu. Yah, meski tidak
banyak orang yang benar-benar bergabung dengannya.”
“Jadi Senpai berbeda dengan yang lain. Apa itu yang ingin kamu katakan, Tuan
Sadar diri?”
“50 poin untuk komentar itu.”
“Apa kamu tidak senang sekarang? Biasanya kamu selalu menggodaku seperti
itu.”
“Setidaknya panggil aku Nyonya Sadar diri. Lagipula aku ini perempuan. ”
“Itulah yang membuatmu tidak senang?”
Rupanya, dia tidak memiliki keluhan tentang disebut sadar diri.
“Di kampus, aku sebenarnya termasuk dalam kelompok orang yang rajin. Aku
ragu kamu bahkan dapat membayangkan bagaimana perilakuku di kampus
karena aku bertingkah sangat berbeda di sekitarmu. ”
“Aku tahu kalau Senpai orang yang pintar, jadi itu tidak terlalu merusak citra…
Aku cuma terkesan bahwa di atas langit masih ada langit lain, ya.”
“Yeah, Kudou-sensei sepertinya dia hidup di dunia yang berbeda.”
“Aku tidak terlalu bisa memahami hanya dengan satu adegan yang aku lihat.”
“Dia selalu seperti itu. Rasanya seperti tak punya batas, dan seringkali sulit untuk
mengetahui apa yang dia pikirkan~”
“Yah, kamu juga seperti itu, Yomiuri-senpai.”
Dia merupakan gadis lebih tua dariku yang sepertinya selalu memiliki semacam
trik di tangannya, dan tidak mengizinkanku untuk memahami apa pun
tentangnya. Dengan pengetahuan yang luas dan kepala yang cerdas, rasanya dia
selalu membuatku menari di atas telapak tangannya. Mungkin perbedaan usia di
antara kami adalah sesuatu yang secara tidak sadar aku sadari, yang kemudian
menyebabkanku bereaksi seperti itu. Mungkin ini adalah sesuatu yang sangat
umum. Jika aku berdiri di panggung yang sama dengan Yomiuri-senpai, apa aku
bisa memahaminya sepenuhnya? Selagi aku memikirkan itu, Yomiuri-senpai
membuat ekspresi blak-blakan.
“Eh, aku tidak mau.”
“Tidak mau apa?”
“Kamu berpikir tentang bagaimana kamu akan mengalahkanku suatu hari nanti,
kan?”
“Hah?”
Karena tidak dapat melanjutkan apa yang baru saja diberitahukan, aku
mengeluarkan suara tercengang.
“Ini membuat frustrasi jika kamu kurang pengetahuan dan kecerdasan, oke?
Suatu hari aku akan memberitahumu.”
“Memangnya edukasi selalu menjadi pertempuran seperti ini?”
“Begitulah caraku menikmatinya. Apa kamu tidak menduganya?”
“Tidak, itu sangat masuk akal.”
Jika dilihat dari penampilan luarnya saja, dia tampak seperti pembaca buku yang
sopan dan rapi, seorang gadis sastra yang mencoba untuk mendapatkan
pengetahuan melalui membaca buku. Namun, dia juga memiliki hati
pemberontak layaknya seorang gadis remaja. Begitulah sosok dari Yomiuri
Shiori.
“Tapi mengadakan debat yang panjang dan serius seperti itu pasti melelahkan,
iya, ‘kan?”
“Tentu saja. Kamu harus selalu waspada supaya logikamu tidak kontradiksi, dan
kamu juga tidak bisa santai. Belum lagi Kudou-sensei adalah tipe orang yang
segera membongkar segala celah atau kontradiksi dengan logikamu. Debat
semacam itu sangat menegangkan dan melelahkan sehingga aku benar-benar
tidak ingin melalui hal semacam itu sebelum jam kerja sambilanku.”
“Meski begitu, Senpai terlihat cukup proaktif.”
“Jika aku melakukan sesuatu, aku akan melakukannya dengan sekuat tenaga.
Meskipun itu menjengkelkan. Yah, jika aku lelah, aku bisa mengisi ulang
energiku dengan cara yang berbeda. ”
“Dengan cara apa?”
“Dengan menggodamu. Aku mendapatkan banyak energi dan HP kembali. Ahh,
berbicara denganmu bisa membuatku rileks, Kouhai-kun.”
“Bukannya kamu cuma memangsa kepolosan orang lain?"
“Terima kasih telah menjadi sandaran kursiku, Nak~” Dia terdengar seperti
nenek-nenek, sambil meletakkan satu tangan di keranjang sepedaku dan
berpura-pura terhuyung.
“Um.” Aku hendak memintanya untuk berhenti menggunakanku seperti tongkat
berjalan, tapi aku menghentikan diriku sendiri.
Jadi begitu rupanya. Inilah perbedaan terbesar antara Ayase-san dan Yomiuri-
senpai. Setelah kami melewati gang kecil dan mencapai jalan utama, toko buku
berada tepat di depan kami, dengan kami berdua berjalan bersebelahan bersama-
sama. Yomiuri-senpai tidak dapat menolak undangan Kudou-sensei untuk
makan di luar tidak peduli seberapa menyusahkannya itu, dan dia masih
berpartisipasi dalam diskusi. Tentu saja, dia mungkin menyadari manfaat
bila melakukan semua kegiatan diskusi, tetapi biasanya kamu ingin menghindari
kelelahan fisik dan mental sebisa mungkin. Meski begitu, dia berhasil menjaga
keseimbangan kedua sisi, yang mana hal itu sangat menakjubkan.
Sedangkan aku, hal itu membuatku ingin memaafkannya atas papaun yang dia
lakukan demi kepuasannya sendiri Bahkan jika dia kadang-kadang muncul
dengan logika yang tidak masuk akal, percakapannya sendiri cukup
menyenangkan bagi u untuk mengabaikannya. Saat kamu mempunyai seseorang
yang membuatmu bersikap santai dan nyaman, kamu dapat menyeimbangkan
sisi rajinmu dengan sisi yang tidak terlalu rajin. Mungkin semuanya akan
terselesaikan jika Ayase-san memiliki seseorang seperti itu?
“Ah…”
Tepat saat aku memikirkan hal itu, Yomiuri-senpai dan aku yang sedang berjalan
ke toko buku, bertemu dengan Ayase-san yang sepertinya baru saja tiba. Rasanya
seperti kebetulan lain yang terjadi hari ini, tapi sekali lagi, kami berada di jadwal
kerja yang sama jadi tidak terlalu aneh bila berpapasan satu sama lain.
“Yaho, Saki-chan!”
“Mm. Ah, ya, halo. Kalian berdua datang bersama?”
Tampaknya perjumpaan ini cukup tak terduga untuk Ayase-san, dan dia
menunjukkan reaksi dingin yang mirip dengan bagaimana dia akan bertindak di
rumah, tapi dia dengan cepat menunjukkan senyum ramah. Satu-satunya orang
yang tidak menyadari ada yang salah hanya Yomiuri-senpai.
“Kami kebetulan bertemu di dekat tempat les yang Ia ikuti, iya ‘kan~ Kouhai-
kun?”
“Um ... ya, itu benar.” Balasanku agak sedikit telat.
Entah kebetulan atau tidak, aku mulai merasa canggung di depan Ayase-san.
Mungkin karena aku terus memikirkannya. Aku merasa menyedihkan, meski aku
tidak melakukan kesalahan apa-apa.
“Kebetulan? Begitu ya.” Ayase-san perlahan mengulangi apa yang Yomiuri-
senpai katakan seperti sedang mengunyah kata-kata, lalu dia tersenyum lagi.
“Yah, bahkan jika kalian berdua cukup dekat untuk bertemu di luar jam kerja,
aku, sebagai keluarganya, merasa lega bahwa Asamura-kun bersama seseorang
yang sehebat Yomiuri-san.”
“Ehh? Kamu penggoda yang bagus, Saki-chan.”
“Aku cuma diberkati karena mendapat bimbingan yang baik darimu Senpai,
fufu.” Bahu Ayase-san dengan lembut bergerak ke atas dan ke bawah saat tertawa
terkikik.

Kurasa itulah yang diharapkan dari kemampuan beradaptasinya yang tinggi. Dia
sepertinya sudah menguasai kemampuan untuk berkomunikasi dengan Yomiuri-
senpai. Namun, ada sesuatu yang terasa janggal di hatiku. Apa Ayase-san pernah
melakukan sesuatu seperti ini? Maksudku, bercanda tentang hubungan orang
asing yang tidak terlalu dekat dengannya?
Dengan pemikiran itu yang terus menggangguku, serta masalah ajakan ke kolam
renang, aku mempunyai segudang pertanyaan yang ingin kubicarakan dengan
Ayase-san, jadi aku memutuskan untuk membicarakannya selama bekerja.
Namun, sama seperti sebelumnya, pengunjung hari ini luar biasa ramai.
Saat aku mempunyai sedikit waktu luang, Ayase-san justru sedang sibuk di kasir,
dan ketika aku melipat beberapa sampul buku untuk nanti, Ayase-san malah
pergi untuk memeriksa kondisi rak buku. Bahkan saat jam istirahat tiba dan aku
bertanya 'Apa kamu mendapat tanggapan dari Narasaka-san?' Ayase-san cuma
menggelengkan kepalanya dan meninggalkan ruangan untuk membeli minuman
di luar. Entah kenapa rasanya dia sedang menghindariku.
Waktu pun terus berlalu sampai sudah cukup larut bagi kami untuk pergi. Aku
menyelesaikan persiapanku untuk pulang dan menunggu Ayase-san seperti
biasanya. Namun, orang yang keluar dari ruang ganti justru Yomiuri-senpai.
“Ah, Kouhai-kun. Saki-chan memintaku untuk memberitahumu sesuatu.
Rupanya, dia ingin mampir ke suatu tempat, jadi kamu bisa pulang duluan tanpa
dia.”
“Eh?” Aku mengerjap dengan kebingungan.
Tapi aku tidak mendengar kabar tentang itu, kok? Aku sedikit panik dan
memeriksa ponselku, tetapi aku belum menerima pesan atau email apa pun dari
Ayase-san. Tepat ketika aku dalam keadaan linglung, ponselku bergetar. Aku
panik dan melihat ke bawah ke layar, dan melihat satu baris kalimat di sana.
"Aku mau berbelanja sesuatu, jadi kamu bisa pulang duluan."
Itulah satu-satunya kalimat yang aku terima melalui LINE. 'Baiklah', jawabku.
Bukannya tidak ada toko yang buka setelah jam 10 malam. Mungkin dia membeli
sesuatu yang terlalu canggung untuk dibeli bersamaku? Meski begitu, semua ini
terlalu mendadak sehingga mau tidak mau aku jadi penasaran. Dan sekali lagi,
rasanya dia sedang berusaha menghindariku. Tidak, tidak, tidak. Mana mungkin
begitu, iya ‘kan?
Sambil memikirkan semua ini, aku mengayuh sepedaku dan dengan cepat
mencapai apartemen. Aku sekali lagi diingatkan seberapa cepat aku bisa pulang
ke rumah jika mengendarai sepedaku secara normal. Akan tetapi, saat aku
bertanya pada diriku sendiri apakah aku sangat ingin pulang ke rumah,
jawabannya jelas tidak. Sepertinya aku sudah terbiasa pulang bersama Ayase-san
selama beberapa minggu terakhir.
Aku memarkir sepedaku di tempat biasa dan berjalan memasuki apartemen.
Karena sekarang hari Senin, Ayahku sudah ada di rumah, dan mungkin tengah
tertidur pulas karena Ia harus bangun pagi-pagi besok. Sedangkan Akiko-san, dia
pasti sedang bekerja sekarang. Aku diam-diam menggumamkan salam 'Aku
pulang' supaya tidak membangunkan Ayahku dan menuju ke ruang tamu.
Biasanya, sekarang sudah waktunya Ayase-san akan mulai membuatkan makan
malam untuk kita, tapi... Aku tidak bisa selalu mengandalkannya, ya?
Aku membuka kulkas dan melihat beberapa salad. Selain itu, aku juga melihat
panci kecil yang ditutup dengan bungkus plastik.
“Sup miso, ya?”
Mumpung Ayase-san sebentar lagi juga pulang, aku menyiapkan dua mangkuk
untuk sup miso dan dua lagi untuk nasi, yang masing-masing untuk kami berdua.
Aku mengeluarkan salad, dan berpikir mengenai apa yang harus aku buat untuk
hidangan utama. Ketika aku memeriksa isi freezer dan kulkas lagi, aku
menemukan beberapa bungkus plastik kecil di dalam freezer.
“Apa ini?”
Ketika aku mengeluarkannya, ternyata nasi yang dimasak dengan bahan
tambahan, tetapi dibekukan. Ada nasi berwarna coklat dari kaldu sup, serta
irisan jamur shiitake, wortel, dan bahan lainnya yang tercampur di sana.
“Aku pulang.”
Aku berbalik dan melihat Ayase-san memasuki pintu depan.
“Apa? Ah, makan malam… Maaf, aku akan segera membuatnya.” Ujarnya.
“Ah, jangan khawatir tentang itu. Aku berpikir kalau aku mungkin ingin
melakukannya sendiri hari ini. Omong-omong, apa yang harus kulakukan
dengan ini?” Aku menunjukkan wadah plastik dengan nasi yang dimasak.
Karena aku sudah menjalani sebagian besar hidupku tanpa konsep memasak
nasi, aku tidak pernah tahu untuk apa memasukkan nasi ke dalam freezer.
“Ah, Yah. Aku membuatnya terlebih dahulu, jadi kamu hanya perlu
menghangatkannya di microwave. ”
“…Berapa menit aku perlu menghangatkannya?”
“Itu sudah tertulis di microwave.”
Saat Ayase-san mengatakan itu, aku sebenarnya tidak tahu apa yang dia maksud,
jadi aku memeriksa microwave. Di atasnya, ada waktu yang direkomendasikan
berbeda untuk memasak berbagai jenis makanan yang kamu inginkan.
“Ah, yang ini?”
Di sana terdapat gambar ilustrasi dengan nasi di dalam mangkuk yang di atasnya
bertuliskan 'Hangatkan'. Kami telah menggunakan microwave ini selama lima
tahun, dan aku tidak pernah melihat gambar tersebut. Aku lalu memasukkan
wadah beku ke dalam microwave dan menekan tombol mulai.
“Ah, tunggu. Buka dulu tutupnya.”
“Kenapa?” jawabku dengan nada kebingungan.
“Jika kamu tidak membuka penutupnya, es di dalamnya akan mencair, dan
nasinya akan lengket semua. Aku tidak suka nasi yang seperti itu.”
“Begitu …..ya?”
Aku sebenarnya tidak tahu apa yang dia bicarakan, tetapi jika itu akan membuat
nasinya lebih baik, aku memutuskan untuk menurutinya. Saat aku sedang
memanaskan nasi, Ayase-san menyiapkan sup miso yang dia ambil dari dalam
kulkas. Selain nasi spesial, kami juga mempunyai sup miso tahu dan salad.
Ayase-san juga mengeluarkan beberapa tomat dari kulkas, memotongnya
menjadi potongan-potongan kecil, dan meletakkannya di atas salad.
Kelihatannya cukup mewah rasanya saat melihat warna hijau selada, kol, dan
lobak potong serta warna putih salad yang bercampur dengan warna merah
tomat.
“Kelihatannya sangat sedap dipandang.”
“Saat memasak makanan bertema Jepang, hasilnya selalu terlihat agak
kecoklatan, jadi jika kamu menambahkan tomat atau paprika, warnanya akan
sedikit lebih bervariasi.”
Paprika pada dasarnya ialah buah yang berasa manis dan sedikit pedas dari suku
terong-terongan yang mempunyai warna merah, oranye, dan bahkan kuning atau
hijau. Aku pernah mencari-cari infonya di internet. Apalagi mereka tidak pahit
seperti terong, jadi dengan dicuci sedikit, kamu bahkan bisa memakannya
mentah. Sejak Ayase-san bertanggung jawab untuk bagian memasak di keluarga
kami, semakin banyak hidangan aneh dan ide untuk memasak mulai
bermunculan. Atau mungkin pengetahuan memasakku dan Ayahku sangat
ketinggalan zaman. Tapi, mengesampingkan brokoli atau kembang kol, aku rasa
kalian biasanya takkan menemukan sayur-mayur seperti romanesko[4] atau
sayuran eksotis lainnya.
“Ada banyak penemuan yang terjadi, ya?” Aku mulai merasa menyesal karena
selalu memakan semuanya dan tidak pernah memikirkannya.
“Itu tidak seberapa jika kamu bertanya padaku.”
“Tidak, tidak, aku selalu bersyukur. Sungguh. Aku sudah menyerah untuk
mencari pekerjaan sambilan bergaji tinggi itu, jadi aku merasa bersalah karena
selalu berada di pihak penerima.”
“Aku sudah bersyukur karena kamu mencari beberapa BGM yang bisa
meningkatkan efisiensi belajar. Jadi kita berdua impas.” Ayase-san tersenyum
tenang saat mengucapkan itu.
Cuma di waktu seperti ini rasanya semua suasana canggung dari beberapa hari
terakhir telah hilang. Setelah itu, Ayase-san memasukkan beberapa daun teh ke
dalam teko kecil. Aku melihatnya melakukan ini dan mengeluarkan dua cangkir
teh dari rak peralatan makan, lalu meletakkannya di depan Ayase-san. Setelah
selesai menyeduh teh, dia menuangkannya ke dalam dua cangkir sehingga kami
memiliki sesuatu untuk diminum dengan makan malam kami.
Nasi hangatnya sangat berpadu dengan kaldu sup, dan rasanya enak. Belum lagi,
seperti yang Ayase-san katakan, nasinya tidak terlalu lengket, yang membuatnya
lebih enak.
“Jika masih kurang, kamu bisa menghangatkan satu bungkus lagi dari freezer.”
“Tidak, ini sudah cukup larut. Jadi segini saja sudah cukup.”
Saat melirik jam dinding, aku melihat bahwa sekarang sudah hampir jam 11
malam. Sesudah makan, aku harus mandi dan kemudian pergi tidur. Belum lagi
Ayase-san akan selalu mandi setelah giliranku, jadi semakin lama aku mandi,
semakin lama dia harus tetap terjaga. Namun, kali ini memang makan malam
yang nyaman. Aku merasa ragu sekarang. Rasanya hampir ingin mengakhiri hari
tanpa menuntaskan semua yang telah kita lalui sore ini. Sambil menghela nafas,
aku memaksakan diri untuk berbicara lagi.
“Jadi… tentang masalah kolam renang dengan Narasaka-san.”
“Kita masih membicarakan itu?”
“Maksudku, aku masih belum mendapatkan informasi kontaknya. Jika dia
menunggu jawabanku, jadi kupikir tidak enakan rasanya membuatnya
menunggu. ”
“…Baiklah, aku akan memberitahumu.” Ayase-san terdengar agak kesal. Dia
mengambil smartphone-nya dari atas meja makan dan mulai mencari alamat
kontak Narasaka-san.
“Tunggu.” Aku mengangkat telapak tanganku, memberi isyarat padanya untuk
berhenti.
Ayase-san memasang ekspresi yang agak bingung saat melihatku menyelanya.
“Aku sebenarnya tidak peduli dengan alamat kontak Narasaka-san.”
“…Apa?”
“Atau lebih tepatnya, aku tidak begitu tertarik pergi ke kolam renang bersama
Narasaka-san.”
Ekspresi curiga Ayase-san sekarang berubah menjadi kebingungan. Pada
dasarnya wajahnya seakan menyiratkan 'Apa yang dia bicarakan?' Atau
mungkin aku hanya mengatakan sesuatu yang tidak dia duga. Dan dia tidak
salah, karena aku akan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan apapun
yang dia harapkan untuk kukatakan.
Aku tidak keberatan mengenai Ayase-san tidak ingin pergi ke kolam renang. Dan
jika aku ingin menghormati kebebasan memilihnya, aku harus menunggunya
berubah pikiran. Orang yang dengan sengaja mengabaikan pendapat orang lain
hanyalah orang egois yang diperdaya oleh cerita mereka sendiri. Realitas
bukanlah semacam cerita, itulah sebabnya tindakan semacam ini merupakan
sesuatu yang beracun, sesuatu yang hanya bisa menyakiti orang lain. Aku tahu
itu, tapi bukan berarti aku tidak boleh mengkhawatirkannya.
“Aku ingin pergi ke kolam bersamamu, Ayase-san.”
“Aku tidak paham.” Muka Ayase-san terlihat seperti seolah-olah sedang melihat
alien—atau lebih tepatnya, aku belum pernah bertemu alien, jadi aku tidak tahu
seperti apa mereka—tapi dia menatapku dengan pandangan seperti itu.
Tapi aku mengabaikan hal tersebut dan terus melanjutkan.
“Alasanku mengatakan aku ingin pergi ialah karena kupikir kamu sendiri
mungkin merasa tertarik untuk pergi. Alasanku meminta info kontak Narasaka-
san karena aku berharap kalau kamu akan merasa iri karena cuma aku satu-
satunya orang yang bersenang-senang.”
“Aku?”
“Iya, kamu.”
“Kenapa juga aku merasa iri?” Ayase-san sepertinya tak bisa mengikuti konteks
pembicaraan ini.
Kalau saja ini tumpang tindih dengan perasaan yang belum dia sadari, aku
mungkin bisa sedikit lebih lega.
“Kamu ingin pergi ke kolam, kan?”
Mulut Ayase-san tertutup, dan sepertinya dia sengaja merapatkan bibirnya
supaya tidak ada kata yang bisa keluar.
“Aku mendengarnya dari Akiko-san. kamu benci dengan panas, jadi kamu selalu
meminta es krim, atau memohon padanya untuk mengunjungi kolam renang
bersamanya ketika kamu masih kecil, bukan? Dan bahkan sekarang, kamu tidak
bisa menangani panas dengan baik, ‘kan?”
“Itu…”
“Itu benar, kan? Maksudku, ketika AC ruang tamu rusak, kamu langsung
berdiam diri di kamarmu. Mengetahui bahwa kamu seperti itu, kamu setidaknya
akan sedikit tertarik untuk mengunjungi kolam renang bersama teman-
temanmu, bukan? ”
“Kenapa kamu begitu mati-matian membuatku pergi ke kolam renang?"
“Ingat apa yang dikatakan Ayahku? Setelah kita menjadi anak kelas 3, kita harus
fokus pada ujian masuk universitas, jadi kita perlu bersenang-senang sekarang
selagi bisa.”
“Ya, Ia memang bilang begitu ...”
“Aku paham kalau kamu ingin menjadi mandiri secepat mungkin. Tetapi jika
kamu terus menekan dan memaksakan diri seperti ini setiap hari, kamu akan
pingsan bahkan sebelum mencapai tujuanmu. Aku khawatir tentang itu, oke?”
“Kamu khawatir…?”
“Benar. Aku ingin kamu berhenti sejenak, Ayase-san. Aku pikir akan lebih baik
bila kamu beristirahat sebentar. ”
Aku telah mengatakan semua yang aku ingin kukatakan, jadi yang bisa aku
lakukan hanyalah menunggu tanggapan Ayase-san.
“Kamu tidak bisa ... mengatakan itu dengan pasti.” Tatapan Ayase-san mengarah
ke atas meja, alisnya menyempit ke bawah. “Aku tidak punya waktu untuk pergi
ke kolam renang. Seriusan tidak bisa.”
“Ayase-san…”
Dengan bibir yang terkatup rapat, dia meraih catatan tempel di atas meja, lalu
menuliskan sesuatu yang dia baca dari teleponnya, dan meletakkannya di
depanku dengan kekuatan sedemikian rupa seolah-olah membantingnya di atas
meja.
“Aku mau belajar sekarang.” ujarnya. Dia meletakkan piringnya di wastafel dan
pergi ke kamarnya sendiri.
“Gagal, ya…?” Aku menghela nafas dan menjatuhkan pandanganku ke catatan
yang tergeletak di atas meja.
Di sana tertulis rangkaian nomer yang ditulis tangan, meskipun tidak terlalu
rapi, dengan nama 'Maaya' di bawahnya, jadi ini pasti nomor telepon Narasaka-
san.
“Buat apa aku pergi ke sana sendirian…?” Aku menjatuhkan bahuku dengan
lemas dan kembali ke kamarku setelah selesai mencuci piring.

Chapter 4 — 25 Agustus (Selasa)


Usai terbangun, aku tetap rebahan di atas tempat tidur, dan memikirkan sesuatu.
Apa kemarin aku mengacaukannya?
“Aku mungkin mengacaukannya, ya?”
Suara yang aku ceploskan ke langit-langit kamarku tidak mencapai telinga
siapapun, dan memantul kembali ke arahku lagi. Aku menoleh ke samping dan
memeriksa waktu. Sekarang sudah siang, tapi mataku masih terasa mengantuk.
Karena semua kejadian kemarin, yang membuatku merenung sepanjang malam,
aku tidak bisa tidur nyenyak. Bagaimana aku bisa menerobos sifat kaku dan
kepala batu Ayase-san? Bagaimanapun, mentalitas Ayase-san lumayan tajam dan
kokoh di saat yang bersamaan. Namun tetap saja masih terlihat rapuh.
Setelah tinggal bersama Ayase-san selama dua bulan terakhir, setidaknya aku
belajar banyak mengenai dirinya. Terlebih lagi karena kami sudah bekerja
bersama setiap hari di kerja sambilan kamu. Jika aku boleh menebak, proses
berpikir Ayase-san mungkin berjalan seperti begini:
Menjadi anak kecil artinya kamu mendapatkan sesuatu yang diberikan
kepadamu secara gratis. Pada dasarnya, kamu menjadi sisi penerima daripada
sisi memberi. Ketika dia masih kecil, dia masih normal seperti kebanyakan anak
lain, meminta es krim kepada ibunya, atau memintanya untuk membawanya ke
kolam renang. Dia selalu meminta. Tentu saja, itu masuk akal, dan begitulah
sewajarnya. Namun, Ayase-san tidak merasa seperti itu. Itulah yang sangat
penting dalam faktor ini.
Karena keadaan keluarganya, Ayase-san menghentikan sikap kekanak-
kanakannya di akhir masa SD. Dia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi anak
kecil terus. Dunia bekerja pada hubungan timbal balik, tapi dia memilih untuk
hidup menjadi sisi pemberi. Ini mungkin caranya sendiri untuk menebus hari-
harinya sebagai anak kecil yang terus menjadi sisi penerima, di bawah kesan
yang salah kaprah bahwa dia sudah menyusahkan ibunya dengan perilakunya
itu.
Dia ingin tumbuh secepat mungkin dan meringankan beban ibunya. Diberi
sesuatu secara gratis mungkin mengingatkannya akan masa lalunya yang kelam
saat dia masih kecil. Dia mungkin berpikir kalau dia bertingkah sedikit egois, dia
hanya akan menambah beban ibunya. Sungguh ironis. Lagipula, Akiko-san
sendiri yang memberitahuku sebaliknya.
“Aku ingin dia menjadi anak kecil sedikit lebih lama”
Aku merasa dadaku bertambah sesak saat mengingat perkataan Akiko-san.
Walaupun mereka berdua saling peduli satu sama lain, tapi keinginan mereka
saling bertentangan. Sang ibu ingin putrinya menjadi anak kecil lebih lama,
sedangkan si anak ingin menjadi dewasa secepat mungkin. Membuat kedua
belah pihak bahagia itu tidak mungkin. Lagipula keinginan mereka saling
bertentangan. Bahkan penyesuaian pun tidak berhasil. Bagaimanapun juga,
Ayase-san masih anak-anak.
Mungkin Ayase-san yang sekarang bisa berdamai dengan Akiko-san jika mereka
membicarakannya baik-baik dan mencoba menyesuaikan diri satu sama lain.
Namun, Ayase-san menyimpan semua itu sendirian dan menaiki tangga hingga
dewasa. Dia mencoba memikul bebannya sendiri sedini mungkin, yang
mengakibatkan proses pemikiran mencela diri sendiri yang aneh ini. Itu
sebabnya dia tidak bisa tenang, tidak bisa bermain-main dengan hati yang polos.
Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas keinginan jujurnya untuk pergi ke
kolam renang.
‘Aku tidak punya waktu untuk pergi ke kolam renang. Seriusan tidak bisa.’
Ekspresi Ayase-san sedatar biasanya ketika mengucapkan kalimat tersebut, akan
tetapi suaranya terdengar seperti dia sedang berakting. Tapi akulah yang
bersalah karena tidak bisa mengatakan apa-apa. Seandainya saja aku semacam
protagonis dari sebuah cerita dan memilih urutan kejadian yang lebih dramatis
untuk mencoba membujuk Ayase-san, mungkin dia akan mengubah proses
pemikirannya tentang ini…
Tidak, itu salah. Aku seharusnya tidak lari dari kenyataan seperti ini. Jika aku
ingin menyelamatkannya, maka aku perlu membuat rencana yang lebih matang.
Saat sedang memikirkan itu, alarmku berbunyi. Ini benar-benar sudah waktunya
bagiku untuk bangun. Jadi, setelah mematikan alarm, aku perlahan-lahan
bangkit dari tempat tidur.
Aku bangun sekitaran antara waktu sarapan dan makan siang. Aku berdiri di
ruang tamu, kebingungan apa yang harus kubuat. Apa yang harus kumakan?
Atau haruskah aku menunggu sampai jam makan siang tiba? Biasanya, Ayase-
san akan bangun untuk membuat sarapan bahkan sebelum Ayahku berangkat
kerja, tapi sepertinya dia masih tertidur. Buktinya di atas meja makan masih
kosong. Saat-saat seperti ini kadang terjadi. Lagipula kita tidak bisa selalu
mengandalkan Ayase-san untuk membuatkan sarapan untuk kita. Bahkan saat
kami berada di masa ujian akhir semester, baik aYAHku dan Akiko-san tidak
membiarkan Ayase-san membuat sarapan.
Pokoknya, aku perlu mengurus sendiri perut laparku ini. Mungkin aku harus
memanggang roti. Tepat ketika aku sedang mempertimbangkan apa yang harus
dilakukan, pintu ruang tamu terbuka.
“…Ah.”
“Selamat pagi, Ayase-san.”
“…Pagi.”
Dia terlihat sangat mengantuk. Kelopak matanya bahkan tidak terlihat terbuka
penuh. Bahkan suasana bermartabat yang biasa dia pertahankan di rumah telah
menghilang tanpa jejak. Dia bahkan mengenakan pakaiannya tidak serapi
biasanya. Kekuatan serangan dan pertahanannya telah turun drastis.
“Apa kamu kekurangan tidur?”
“Aku tidur sebntar… setelah jam 6 pagi.”
Aku tidak berpikir kalau hal itu bisa disebut 'tidur'. Karena pada jam segitu
sudah terang di luar. Itu wilayah bago para begadang.
“Kenapa tidak tidur lebih lama lagi? Mumpung kita tidak punya pekerjaan
sampai sore nanti.”
“Aku baik-baik saja. … Jam berapa sekarang?” Dia bertanya seraya memutar
kepalanya untuk melihat jam dinding.
Matanya yang sayup-sayup, seketika terbuka lebar karena terkejut.
“Eh…? Sudah sesiang ini…?” Usai mengatakan ini, dia melihat ke meja makan.
Tentu saja, di sana tidak ada apa-apa.
“Ah gawat, apa Ayah sempat sarapan?”
“Jangan khawatir, sepertinya Ia sarapan roti.”
Piring dengan bekas remah roti tergeletak di wastafel, meski sepertinya Ia tidak
punya waktu untuk memasukkannya ke dalam mesin pencuci piring. Setidaknya
Ia menyimpan mentega atau selai atau apa pun yang sudah Ia gunakan kembali
ke dalam kulkas. Nah, sebelum Ayase-san dan Akiko-san datang untuk tinggal di
sini, menu sarapan kami biasanya seperti ini. Bahkan jika kami memakan
sesuatu, cuma itu saja yang ada. Jadi tidak ada alasan bagi Ayase-san untuk
merasa bersalah.
Aku mencoba meyakinkan Ayase-san, tapi dia sepertinya tidak mendengar
apapun yang kukatakan. Dia menggigit bibirnya dengan frustrasi atas
kesalahannya sendiri.
“Ini pertama kalinya aku bangun kesiangan seperti ini.”
“Mungkin kelelahan yang menumpuk? Kamu bisa lebih banyak istirahat, jangan
khawatir. ”
“Itu… aku benar-benar minta maaf! Kamu belum makan apa-apa, Asamura-kun.
Aku akan segera membuat sesuatu.”
Ayase-san jelas-jelas sedang kelelahan. Belum lagi ada kantung besar di bawah
matanya.
“Ayase-san.” Aku memanggilnya dengan nada suara yang kuat.
“I-Iy… a…?”
“Aku ingin kamu mendengarkanku tanpa melarikan diri."
“Eh… um, ada apa?”
“Tolong dengarkan baik-baik. Saat pertama kali pindah ke sini, apa kamu masih
mengingat tentang apa yang kamu katakan padaku?”
Dia mengeluarkan suara terkejut. Kurasa dia masih mengingatnya.
“…Aku terbantu jika kita bisa ‘menyesuaikan’ dengan mudah…?”
Aku mengangguk. Persis seperti yang dia katakan. Itulah pertama kalinya kami
menunjukkan kartu kami satu sama lain. Kami bertukar informasi dan
memutuskan untuk menyesuaikan keinginan dan kehendak masing-masing. Itu
sebabnya aku terus berbicara.
“Saat ini, aku sudah menilai bahwa kamu jelas-jelas kurang tidur, Ayase-san.
Kamu boleh mencoba dan membantahnya, membuat argumen kontra terhadap
pernyataanku, tapi lihat saja dirimu di cermin. Aku tidak ingin kamu membuat
makanan dalam keadaan seperti itu. Aku khawatir kalau kamu benar-benar akan
menyakiti diri sendiri. Kamu dapat duduk di kursi, tetapi aku akan membuat
makanan. Sekian, itu saja dariku.”
“Urk... Tapi aku sudah bilang kalau aku yang akan membuat makanannya.”
“Menepati kesepakatan kita memang bagus. Tapi kamu harus menyesuaikan diri
dengan situasi dan hidup dengan pendekatan fleksibel. Hari ini, misimu bukan
untuk membuat makanan, tetapi untuk mendapatkan istirahat yang layak.”
“Ta-Tapi…”
“Aku biasanya juga takkan mengatakan ini padamu, Ayase-san. Kamu sendiri
yang bilang, ‘kan? Kalaua kamu belum pernah bangun kesiangan seperti ini
sebelumnya.”
“……Tidak.”
“Jadi ini adalah situasi yang khusus. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk
melakukan hal yang sama seperti biasanya. Ayo, duduk saja. Tentu saja, kamu
juga bisa kembali dan tidur lagi.” Ujarku. Aku menarik kursi yang selalu diduduki
Ayase-san.
Lantai membuat suara melengking samar sebagai tanggapan.
“Aku cuma kurang tidur, oke?”
“Aku tahu, tapi Ayase-san yang kurang tidur berhak duduk di kursi ini, jadi ayo
duduk.”
“…Oke.” Ayase-san sepertinya sudah pasrah dengan nasibnya. Dia kemudian
duduk di kursi meja makan.
Ini mungkin pertama kalinya aku melihat Ayase-san bertingkah lemah seperti
ini. Tapi yang lebih penting…
“Apa kamu ingin sepotong roti panggang?”
Dia menjawab dengan menganggukan kepalanya, jadi aku mengambil sepotong
roti untuknya dan satunya lagu untukku, lalu memasukkannya ke dalam
pemanggang roti. Aku juga mengeluarkan mentega dan selai dari kulkas dan
meletakkannya di depan Ayase-san. Tentu saja bersama dengan pisau mentega
dan sendok,. Aku juga melihat beberapa sisa daging ham dan mengeluarkannya
dari dalam kulkas juga.

“Apa kamu ingin sekalian ham juga? Aku merasa kamu selalu menambahkan itu
di roti panggangmu.”
“Aku suka seperti itu, ya.”
“Kamu juga suka yang agak renyah, ‘kan?”
“…Aku suka seperti itu, ya.”
“Aku mengerti. Memang terasa enak seperti itu. ”
Karena kami sudah sepakat, aku mengeluarkan wajan, lalu menuangkan sedikit
minyak di atasnya, dan menyalakan api untuk menggoreng ham dengan lembut.
Suara mendesis terdengar, dan itu membuatku merasa semakin lapar. Mengapa
suara penggorengan yang mendesis membuat perun keroncongan, ya? Aku
meletakkan roti yang berwarna cokelat keemasan di atas piring dan
membawanya ke meja makan. Aku melakukan hal yang sama dengan ham yang
sudah jadi, yang sedikit gosong di sudut-sudutnya, dan menambahkan sedikit
lada hitam di atasnya. Inilah yang selalu dilakukan Ayase-san. Hah? Apa dia
melakukan itu sebelum memanggangnya? Aku tidak tahu. Lalu ada sesuatu yang
terbesit di benakku, dan aku membuka kulkas. Kami masih punya sisa susu.
“Apa kamu ingin susu hangat?”
“Susu hangat dalam cuaca panas begini ...?”
“A/C berfungsi, jadi cukup sejuk di ruangan ini, ‘kan? Jika kamu mau tidur siang
lagi, minum sesuatu yang hangat akan membantu nanti. ” tuturku, dan Ayase-san
hanya terdiam.
“…Kalau begitu, aku akan menanggapi tawaranmu.”
“Oke.”
Aku menuangkan susu ke dalam cangkir, menghangatkannya di microwave, dan
menaruh di depannya. Aku membuat teh untuk diriku sendiri dan
meletakkannya di dekatku. Aku lalu menyatukan kedua tanganku.
“Kalau begitu, ayo makan. Beberapa sayuran yang ditambahkan ke menu
mungkin lebih baik.”
“Ini lebih dari cukup... Terima kasih untuk makanannya.” Gumam Ayase-san.
Dia mengoleskan mentega ke rotinya, dan menambahkan ham di atasnya, lalu
menggigitnya.
Aku pun melakukan hal yang sama. Untuk sementara, kami berdua hanya fokus
menghabiskan sarapan, tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun, sepotong
roti itu dimakan dengan cukup cepat, jadi Ayase-san selanjutnya fokus pada
cangkir susu panasnya. Aku melihat cangkirku sendiri yang kosong dan
mempertimbangkan untuk menambah isinya. Sementara aku memikirkan itu,
halaan nafas keluar dari bibir Ayase-san. Dia meletakkan cangkir, yang membuat
suara denting pelan.
“Aku sudah memikirkannya ...” Ungkapnya, dan menyesap susu panasnya lagi,
hampir seolah-olah itu adalah barang istimewa yang dia butuhkan untuk
mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara.
“…Aku tidak keberatan pergi ke kolam renang.” Aku yang sedang mengulurkan
tangan untuk menuangkan segelas teh lagi, tapi tanganku tiba-tiba berhenti di
tengah jalan.
Karena sedikit terkejut, aku menoleh ke arah Ayase-san lagi.
“Kamu tiba-tiba ingin pergi?”
“Baru sekarang. Sebelum tidur, aku sangat menentang ide untuk pergi, tapi…
Tidak, itu tidak benar. Aku jadi goyah.”
“Sampai jam 6 pagi?”
“Sampai jam 6 pagi.”
"Tapi sekarang kamu ingin pergi?”
Ayase-san mengangguk.
“Saat aku bangun pagi ini… aku pikir mungkin tidak ada ruginya juga. Tapi aku
benar-benar tidak bisa mengatakannya.”
Saat mendengarkan penjelasan Ayase-san, aku merasakan semua tenaga
menghilang dari tubuhku. Aku hampir berubah menjadi ubur-ubur di kursiku.
Lagipula aku tidak membutuhkan perkembangan dramatis. Pada akhirnya,
Ayase-san cuma tertidur selama satu malam dan berubah pikiran. Cuma itu saja.
Kurasa ... yang begini jauh lebih realistis. Setidaknya ini masuk akal bagiku. Apa
yang kamu butuhkan pada kenyataan bukanlah seorang pria yang akan
memindahkan gunung, tapi hanya sebuah kejadian kecil seperti itu. Aku pernah
membaca di sebuah buku kalau pemicu terkecil dapat mengubah proses berpikir
mendasar seseorang.
“Tapi ada satu masalah.”
Hah?
“Dan ini masalah sangat penting yang juga melibatkanmu, Asamura-kun.”
“Kamu tidak bisa berenang? Kurasa aku tidak cukup baik untuk mengajarimu.”
“Tidak, aku bisa berenang, oke?”
“Sudah kuduga~”
Aku setengah berharap itu bukan alasannya. Kenyataannya, masalah sebenarnya
jauh lebih serius daripada yang aku perkirakan, dan pasti melibatkanku.
“Karena aku tidak berencana pergi ke kolam pada hari itu, aku jadi punya shift.
Aku pikir kamu juga sama ‘kan, Asamura-kun. ”
“Memangnya tanggal berapa untuk perjalanan kolam renang?”
“Lusa, tanggal 27.”
“Wah… seriusan?”
“Yup, super serius.”
Besok, pada tangggal 26, kami mendapat jatah libur dan shift kami berikutnya
ada pada tanggal 27. Hal ini agak merepotkan. Tepat ketika aku membuat Ayase-
san setuju, kami bahkan tidak bisa pergi ke kolam renang sejak awal. Setelah aku
merenungkannya sebentar, aku mengajukan kepada Ayase-san beberapa cara
untuk mengatasi masalah ini.
“Karena kamu benar-benar ingin pergi, ayo lakukan sesuatu.”
“Apa bisa?”
“Yah, situasi begini sering terjadi, jadi kurasa kita mungkin baik-baik saja.”
“Jadi ini sering terjadi…”
“Ya, kita tinggal meminta perubahan shift. Gampang, ‘kan?” balasku dengan cara
yang seharusnya membuatku terdengar percaya diri.
Meski itu adalah ide yang sederhana, tapi nyatanya sangat sulit untuk
mewujudkannya di kenyataan, dan aku sepenuhnya menyadari hal tersebut.
Waktu terus mengalir hingga berkembang ke titik di mana panas yang mendidih
dan mendesis mulai sedikit mendingin. Lebih tepatnya, sekarang sudah jam 4
sore di Shibuya. Uap panas melayang ke atas dari aspal, Ayase-san dan aku
berjalan bersebelahan saat menuju ke tempat kerja. Kami memutuskan untuk
berangkat kerja lebih awal supaya kami bisa meminta pergantian shift kepada
manajer.
Aku sudah mengungkit hal ini sebelumnya, tapi saat kami bepergian bersama,
kami harus menyesuaikan kecepatan satu sama lain baik dengan sepeda atau
dengan berjalan kaki. Tentu saja, baik Ayase-san maupun aku tidak senang
menunjukkan pertimbangan seperti itu, tapi sekarang kami punya alasan yang
tepat mengenai hal tersebut. Meski aku tidak pernah menyangka kalau kami
akan berangkat bekerja bersama karena alasan seperti itu.
“Langitnya semakin berawan, ya? Untunglah.” Ayase-san mendongak ke atas
langit saat bergumam pada dirinya sendiri.
Seperti yang dia katakan, sebagian langit ditutupi awan tebal. Lagian, masih ada
langit biru yang terlihat, jadi belum menjadi lebih gelap atau apa, tapi setidaknya
suhunya sedikit mendingin. Rasanya jadi sedikit lebih nyaman berada di luar
berkat awan itu. Setelah Ayase-san mendongak ke langit sambil menutupi
setengah wajahnya dengan tangan, dia menyesuaikan tas yang ada di bahunya.
Tas yang dibawanya cukup besar, tapi itu berisi seragam yang dia bawa pulang
setiap hari.
Hari ini, Ayase-san menunjukkan kesan yang berbeda dari biasanya. Dia
mengenakan atasan berwarna cerah yang berlengan sedang dan berkerah, model
baju yang tidak menunjukkan banyak kulit sama sekali. Tempat yang biasanya
mengenakan dasi, diganti dengan sesuatu seperti pita kecil. Menurut Ayase-san,
cara berpakaian seperti ini tidak memiliki banyak kerusakan serangan, tapi
setidaknya bisa meningkatkan pertahanan. Jagalah sopan santunmu saat
mencoba negosiasi. Mungkin karena apa yang kukatakan membuatnya memakai
pakaian ini.
Yah, dia memang memberi kesan bahwa dia bisa diandalkan dan pekerja keras.
Namun, dia masih memasang tindikan di telinganya, hampir seperti sengat lebah
madu yang berusaha memperingatkan siapa saja yang berani menyerang, yang
mana hal tersebut sangat menggambarkan kepribadian Ayase-san. Ditambah,
aku merasa pakaiannya akan menjadi sangat panas sekarang.
“Apa kamu tidak merasa panas berpakaian seperti itu? Kamu takkan terkena
sengatan panas, kan? ”
“Cuacanya jadi makin berawan, jadi aku baik-baik saja.”
“Apa kamu sudah tidur?”
“Tentu saja. Dua jam penuh.”
Aku merasa itu masih belum cukup, tetapi mengorek masalah itu lebih jauh
takkan memberikan manfaat sama sekali, dan itu akan membuatnya tampak
seperti aku memperlakukan Ayase-san seperti anak kecil. Bukannya aku ingin dia
kembali menjadi anak kecil. Saat aku memikirkan itu, percakapan kami berakhir,
dan tidak ada lagi yang benar-benar perlu dibicarakan, jadi kami berdua berjalan
berdampingan dalam keheningan.
Kebisingan dari mobil-mobil yang terjebak macet, dan truk-truk yang berkeliling
kota memutar iklan dengan volume yang cukup keras untuk mengganggu
lingkungan sekitar, aku sekali lagi menyadari bahwa ini memang daerah Shibuya.
Seakan menunggu perubahan suasana, Ayase-san tiba-tiba angkat bicara.
“Maaf soal kemarin.”
“Mengenai masalah kolam renang?”
“Ada itu juga, tapi ini mengenai hal lain. Saat kamu datang bekerja dengan
Yomiuri-senpai, aku mungkin mengatakan sesuatu yang kasar.”
“Ah…”
Percakapan mereka waktu itu memang terasa agak aneh, sih. Dia menyebutkan,
sebagai sebuah keluarga, dia merasa lega jika aku sedekat itu dengan Yomiuri-
senpai, dan meskipun orang tersebut menertawakannya sebagai lelucon, aku
memang merasa kalau perkataannya ini bukan gaya Ayase-san yang biasa. . Saat
sepasang pria dan wanita berjalan-jalan di luar bersama, mereka biasanya
dianggap sebagai orang pacaran. Stereotip semacam ini mungkin muncul di
kepalamu, tetapi sebenarnya bukan sesuatu untuk diarahkan pada orang lain,
yang mungkin merupakan proses berpikirnya.
“Ini bertentangan dengan janji kita untuk menyembunyikan perasaan ini, kan?
Tidak apa-apa, aku bisa mengungkapkan itu, pasti. ” Ayase-san hampir terdengar
seolah-olah ingin mengatakan kalimat itu pada dirinya sendiri, dan melanjutkan
dengan nada gelisah. “Jikapun ada, aku ingin kamu jujur jika kamu memang
berpacaran dengannya.”
“Begitu ya. Kenapa?”
“Aku tidak tahu ... Biarkan aku berhenti di situ.”
Aku pikir itu terdengar aneh. Rasanya dia tahu, tapi tidak bisa menjawab.
Pertama, dia mengorek hubunganku dengan Yomiuri-senpai, dan sekarang dia
bahkan tidak mau menatap mataku. Kedua, hal ini mempunyai makna tersirat
sampai-sampai membuat jantungku berdetak lebih keras seolah-olah aku
mengharapkan sesuatu.
—Mengharapkan sesuatu? Sadar diri, Asamura Yuuta.
Aku memaksa hatiku yang berdebar kencang untuk tenang dan dengan hati-hati
menunggu apa yang akan dikatakan Ayase-san selanjutnya.
“Setelah bekerja sama dengannya, aku menyadari betapa baiknya dia.”
“Ya kamu benar.”
“Dia baik, perhatian, dan cantik. Dia pintar dan tahu segalanya, kita bahkan tidak
akan bosan berbicara dengannya karena humornya yang unik.”
“Meski dia sedikit pemalas. Dan kamu tidak bisa melupakan candaan joroknya.”
“Itu bukan kekurangan, kamu bisa menyebutnya pesona, oke? …Yah, mungkin
aku hanya belum terlalu akrab dengannya. Lagi pula, kamu sendiri sudah bekerja
dengannya lebih lama daripada aku. Kenapa juga aku mengadakan presentasi
tentang Yomiuri-san?” Ayase-san membuat senyum masam.
Aku ingin menanyakan hal yang sama. Apa yang ingin dia coba katakan?
“Aku hanya berpikir kalau dia tidak terlalu buruk sebagai ‘Nee-san’, tahu. Aku
seharusnya tidak mengatakan sesuatu yang akan membatasi kebebasanmu, jadi
aku minta maaf.” Ayase-san menjelaskan reaksi anehnya dari kemarin.
Rasannya seperti dia sudah menyiapkan catatan sebelumnya dari apa yang ingin
dia bicarakan, dan baru saja membacanya kata demi kata dari memori di dalam
otaknya. Hei, apa itu perasaanmu yang sebenarnya? Keraguan semacam itu
memenuhi kepalaku, tapi aku mengabaikannya. Dia mengatakan bahwa dia akan
menjelaskan dengan tepat perasaan tidak yakin dan samar-samar yang dia miliki,
dan telah mengungkapkannya dengan gamblang. Jika aku meragukan bagian
mana pun dari itu dan menganggap bahwa ada kebohongan yang tercampur di
dalam ucapannya, hal itu akan menghancurkan seluruh premis hubungan kami.
Jadi, satu-satunya tanggapanku yang seharusnya ialah mengangguk.
“Oke, tidak apa-apa. Tidak perlu meminta maaf lagi.”
“Baiklah.”
Masalah ini sudah tuntas. Kami akan melupakan kejadian ini dan
membiarkannya berlalu. Inilah hubungan kami, hubungan yang paling nyaman
bagi Ayase-san dan diriku. Namun, untuk beberapa alasan yang tidak bisa
kujelaskan, rasanya seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku,
meninggalkan rasa pahit dan tidak nyaman yang tidak bisa dijelaskan dengan
pasti.
Saat kami mendekati stasiun kereta, jumlah orang di sekitar kami makin
bertambah. Meski belum waktunya bagi pegawai untuk keluar dari kantor
mereka, ada pria yang mengenakan dasi dan jas, dan suara sepatu hak tinggi di
mana-mana. Bahkan ada beberapa siswa yang bercampur dalam kerumunan
tersebut. Aku menyadari sesuatu saat memarkirkan sepedaku di tempat parkir.
Aku mendecakkan lidahku, dan Ayase-san menatapku dengan kaget.
“Apa ada yang salah?”
“Katakan, Ayase-san.”
“Apa?”
“Kalau kita pulang bersama juga, kenapa aku malah membawa sepedaku?”
Kenapa aku tidak meninggalkannya di rumah jika kami pulang pergi bersama?
“Eh?” Ayase-san menatapku seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang
aneh. "Karena kamu punya alasan untuk melakukannya, kan?"
“Tidak, tidak sama sekali. Ini cuma karena kebiasaan.”
“Y-Yah, itu sering terjadi dari waktu ke waktu… Pfft.”
“Kebiasaan memang hal yang menakutkan, ya?”
“Aku akan membiarkannya begitu saja.”
Wajahnya tersenyum riang. Dia menertawakan keteledoranku. Yah ... belakangan
ini, dia selalu sedikit tegang, jadi aku lebih suka dia tersenyum melihat
keteledoranku ketimbang tidak sama sekali. Pokoknya, aku memarkir sepedaku
di tempat parker biasa, lalu berjalan kembali ke tempat Ayase-san menungguku,
dan memasuki area karyawan. Di sana, kami bertemu dengan senior kami dan
bertanya keberadaan manajer toko. Ketika kami membuka pintu kantor, manajer
toko sedang duduk di sisi jendela ruangan, di sejumlah meja yang membentuk
sebuah pulau.
“Oh… Asamura-kun dan Asamura-san… Ah, bukan, Ayase-san, ‘kan? Halo, kalian
berdua.”
Aku tidak bisa menyalahkannya karena menyebut nama yang salah. Di daftar
keluarga kami dan di atas kertas, nama asli Ayase-san sekarang adalah Asamura
Saki. Orang tua kami menikah secara legal, dan hanya memasukkan nama
mereka di daftar keluarga, itulah sebabnya seluruh keluarga kami bernama
Asamura sekarang. Namun, di sekolah maupun di tempat kerja, di mana
kenyamanan menuntutnya, Ayase-san menggunakan nama keluarga lamanya. Ini
juga bukannya keluarga kami adalah sesuatu yang istimewa. Dalam pernikahan
kembali zaman sekarang , baik daftar nama, nama keluarga, dan bahkan akun
email orang dewasa yang digunakan tetap sama demi kenyamanan dan
kepraktisan, atau begitulah yang pernah aku dengar.
Bagi Ayase-san, pekerjaan ini adalah tempat dengan hubungan baru untuk
terbentuk, jadi dia mempertimbangkan untuk menyebut dirinya 'Asamura Saki,'
tapi dia tampaknya tidak ingin menerima perlakuan khusus apapun karena dia
adalah adik perempuanku, atau semacamnya. . Pada akhirnya, dia mulai bekerja
dengan nama 'Ayase.' Karena aku selalu memanggilnya 'Ayase-san,' tidak ada
karyawan lain yang mengetahui hal ini.
“Selamat sore, pak. Saya minta maaf karena sudah mengganggu waktu anda
sebentar ...”
“Hm?”
Menyadari bahwa kami tidak mengakhiri percakapan hanya dengan salam,
manajer toko mengangkat kepalanya. Meski beliau baru berusia akhir tiga
puluhan, Ia berhasil menitih karir menjadi manajer toko, yang menunjukkan
keahliannya yang tersembunyi di balik kebaikannya.
“Ada apa?”
“Maafkan saya karena mendadak memberitahu anda hal ini… Sebenarnya kami
berdua, Saya dan Ayase-san, mempunyai hari libur besok tanggal 26, dan
memiliki giliran kerja lusa pada tanggal 27, tapi kami ingin bertanya apakah kami
bisa mengganti shift tersebut.”
“Mengganti shift…? Itu memang mendadak. Apa ada sesuatu terjadi?”
“Um.”
Jika kami menyampaikan kebohongan yang setengah-setengah, itu hanya akan
mempertaruhkan segalanya, dan aku benar-benar tidak ingin kehilangan
pekerjaan ini. Hal yang terpenting adalah kami tidak berbohong, tetapi kami juga
tidak menjelaskan semuanya. Itu sebabnya aku mengatakannya dengan kalimat
ini.
“Ada teman yang mendadak mengajak kami ke suatu tempat.”
Manajer toko tahu bahwa aku dan Ayase-san berasal dari sekolah yang sama. Itu
sebabnya kami memberi tahu beliau kalau ada teman yang mengundang kami.
Narasaka-san mungkin lebih dekat dengan Ayase-san, tapi dia juga
memperlakukanku seperti temannya, atau itulah setidaknya kesan yang aku
dapatkan dari interaksi kami. Ayase-san lalu menimpali.
“Kemarin, dia baru kembali dari perjalanan.”
Pernyataan itu juga bukan bohong. Narasaka-san memang baru saja kembali dari
perjalanan kemarin. Itu sebabnya mengapa dia tidak mencoba menghubungiku
sampai sekarang. Masuk akal. Dia takkan menghubungi sembarang cowok
seperti aku ketika dia sedang menikmati liburannya. Tapi dia memang
memberitahu Ayase-san tentang itu. Namun, kenyataan kalau
itu “mendadak” tidak sepenuhnya benar. Ayase-san sudah tahu tentang ini untuk
sementara waktu, tapi tidak dengaku. Itu sebabnya aku menyebutkan itu,
sedangkan Ayase-san mengomentari seluruh perjalanan.
Bahkan tanpa berbohong, Kamu dapat menyembunyikan kebenaran dengan cara
tertentu. Meski rasanya tidak nyaman menggunakan metode negosiasi semacam
ini. Di sinilah hal-hal penting, jadi kita harus mengerahkan semua yang kita
miliki.
“Saya memahami bahwa ini permintaan egois, tapi apa ada kemungkinan bahwa
kami bisa berganti shift?” Aku membungkuk dalam-dalam, dan Ayase-san
mengikuti gerakanku.
“Hmm, beri aku waktu sebentar.” ujar manajer toko, mengetik di komputernya.
Dia pasti sedang melihat jadwal shift sekarang.
“Kalian berdua, ya…?”
Saat Ia menggumamkan itu, aku melirik ke ekspresi Ayase-san yang penuh
dengan kekhawatiran. Sekarang, bagaimana hasilnya? Jika Ia menolak
permintaan kami, maka kami harus memikirkan sesuatu yang lain. Tentu saja,
kami tidak bisa begitu saja tidak setuju atau bolos kerja, tapi aku juga tidak ingin
memaksakan negosiasi dan merusak hubungan baik yang sudah terjalin.
“Tanggal 27 adalah hari Kamis, ‘kan?” tanya manajer toko. Ia lalu mengangkat
telepon dan menelepon seseorang.
Pasti ada karyawan lain yang menjadi kandidat untuk menukar shift mereka
dengan kami. Setelah bertukar beberapa kata, Ia menutup telepon. Kejadian
tersebut terjadi dua kali.
“Seharusnya baik-baik saja. Kedua orang yang bekerja besok adalah veteran yang
tidak keberatan dengan pergantian shift, jadi mengganti shift dengan kalian
berdua harusnya tidak masalah. ”
“Benarkah!?”
“Ya.” Manajer toko melanjutkan sambil tersenyum. “Oleh karena itu, aku
berharap kalian bekerja penuh semangat besok.”
Hal ini merupakan contoh sempurna dari permen dan cambuk*. Yah, mana
mungkin anak SMA bisa menang melawan orang dewasa. Mungkin dia langsung
mengetahui alasan kami. Namun, hal itu tidak masalah selama kami berdua bisa
pergi ke kolam renang hari itu. Negosiasi ini sudah cukup sukses bagi kami.
Untuk saat ini, kami berterima kasih kepada manajer toko. (TN : Perumpaan
untuk menggambarkan hadiah dan hukuman)
“Ya, kami akan melakukan yang terbaik!”
“Y-Ya, kami akan melakukan terbaik!”
Kami berdua menundukkan kepala dalam-dalam dan melangkah keluar dari
kantor. Setelah menutup pintu, Ayase-san menghela nafas.
“Syukurlah.”
“Senang karena semuanya berhasil, ‘kan?”
“Kurasa kejadian tadi merupakan momen yang paling menggugupkan sepanjang
hidupku.”
“Aku benar-benar meragukan itu.”
Kami berganti seragam dan memulai pekerjaan kami. Hari ini, tugas kami hanya
meletakkan buku-buku yang baru dikirim ke dalam rak buku. Sembari membawa
troli, kami berjalan di sekitar deretan rak buku.
“Ayase-san, selanjutnya… Di sana. Ini buku teknis.”
“Dimengerti, Asamura-san.” balasnya, dia lalu mengambil beberapa buku dari
kotak kardus di troli dan berjalan ke depan ke rak berikutnya, karena mendorong
troli ke sana hanya akan membuang-buang waktu.
Dia meletakkan buku-buku itu ke dalam ruang kosong rak buku dan aku
menarik troli setelahnya beberapa saat kemudian. Setelah itu, aku
membantunya.
“Menghemat waktu seperti ini sangat bagus.”
“Kamu bahkan lebih menakjubkan, Asamura-san. Mengetahui lokasi rak sangat
membantu efisiensi kita secara keseluruhan.”
“Aku tidak ingat di mana semuanya atau semacamnya.”
Kebetulan buku yang baru tiba hari ini merupakan genre yang aku minati, itulah
sebabnya aku tahu sekilas dari rak mana mereka berasal. Ini cuma kebetulan
semata, tidak lebih. Pada akhirnya, isi kotak kardus akhirnya kosong 15 menit
lebih cepat dari yang kami perkirakan.
“Baiklah, kalau begitu mari beristirahat.”
“Ya.”
Kami mengembalikan troli ke penyimpanan belakang dan kemudian menuju ke
ruang istirahat bersama. Kami menuangkan teh dingin ke dalam dua gelas plastik
dan duduk.
“Nee, Asamura-kun.” Ayase-san tiba-tiba membuka bibirnya.
Karena cuma ada kami berdua di ruang istirahat, dia kembali memanggilku
dengan panggilan biasa. Setelah meneguk isi cangkirnya, dia berdiri untuk
mengisi lagi. Dia menghela nafas, dan melanjutkan.
“Ini bukannya kamu tidak punya teman, tapi melainkan kamu tidak mencoba
untuk berteman, ‘kan?”
“Aku tidak secara aktif menghindarinya atau semacamnya.”
“Tapi apa kamu menyadari hal itu? Iya, ‘kan?”
“Ya, aku cuma tidak terlalu peduli saja.”
“Jadi begitu ya.”
“Yah, kamu tidak salah. Bukannya aku putus asa mencari teman.”
Bukannya aku tidak menginginkannya, aku cuma tidak secara aktif mencarinya.
“Jujur saja, aku tidak pernah menyangka kalau kita bisa mengganti shift dengan
begitu mudah… Tidak, bukan itu. Aku hanya takut bernegosiasi untuk itu. Karena
aku tidak mau, aku secara tidak sadar membuat diriku berpikir bahwa itu
mustahil.”
“Aku hanya terbiasa. Aku sudah berganti shift beberapa kali sebelumnya. ”
“Bukannya itu menunjukkan kalau kamu mempunyai lebih banyak pengalaman
dalam komunikasi daripada diriku?”
Aku tidak pernah berpikir seperti itu.
“…Kurasa ada benarnya juga.”
“Saat kita memasuki toko buku hari ini, kamu langsung bertanya kepada senior
di mana keberadaan manajer toko, dan bahkan saat sedang bernegosiasi
dengannya, kamu selalu tegas dan percaya diri, serta mengatakan dengan tepat
apa yang kamu inginkan dan butuhkan… Jadi kupikir kamu tidak terlihat seperti
seseorang yang kurang dalam kemampuan berkomunikasi.”
“Kamu cuma melebih-lebihkanku.”
Aku bukannya terampil atau semacamnya. Kebetulan saja aku bekerja di sini
cukup lama sehingga aku bisa berbicara dengan semua orang dengan cukup
mudah.
“Saat ada yang mengharapkan ketulusan darimu, itu jauh lebih mudah. Itulah
alasan kenapa kamu berpikir kalau itu semacam keterampilan komunikasi yang
hebat. ”
“Aku tidak bisa melakukan itu.”
“Kamu bisa. Setelah terbiasa dengan pekerjaan semacam ini, kamu pasti bisa.
Ditambah lagi, kamu sudah melakukan banyak hal. Dari sudut pandangku, jauh
lebih sulit untuk dapat menikmati persahabatan di mana tidak ada aturan
konkret dan bersama. Aku… aku tidak pandaii dalam hal itu sama sekali. Jadi
bagiku, kamu jauh lebih terampil dalam berkomunikasi ketimbang diriku, Ayase-
san. ”
“…Itu tidak benar…”
Tapi itu benar. Dia mungkin tidak mengatakannya dengan keras, tapi alasan dia
menemukan tempatnya dengan mudah di keluarga karena dia menetapkan
aturan denganku sejak awal. Sekarang dia akhirnya merasa termotivasi untuk
pergi ke kolam renang, aku pasti tidak bisa mengatakan ini padanya, tapi akulah
yang jauh lebih cemas sekarang. Lagipula, kita pergi ke kolam renang. Bersama-
sama. Sejujurnya, aku mungkin bisa melakukan percakapan yang baik dengan
Ayase-san, dan mungkin Narasaka-san, tapi aku tidak memiliki kepercayaan diri
bahwa aku bisa bersenang-senang dengan teman sekelas kami yang lain. Meski
hari dimana aku akan melakukannya semakin dekat.

Chapter 5 — 26 Agustus (Rabu)


Hari ini masih sama seperti Rabu pagi biasanya, dengan liburan musim panas
yang perlahan-lahan tapi pasti mendekati akhir. Aku mencocokkan jam alarmku
dengan waktu biasanya Ayase-san bangun, dan berhasil bangun tepat waktu.
Waktunya hampir pukul 6:30 pagi, dan badanku masih terasa letih.
Saat memasuki ke ruang tamu, Ayase-san sudah menyiapkan sarapan. Setelah
melihat Ayase-san bekerja seperti itu, aku terpesona sesaat.
“Selamat pagi. Ayase-san.”
“Asamura-kun. Kamu bangun pagi hari ini, ya?” Dia berbalik sejenak dan
memberiku tanggapan singkat.
“Aku pikir hari ini bakalan sibuk.” Ujarku dan duduk di kursi meja makan.
Tak, tak ... takk. Tangan Ayase-san yang memotong wortel tiba-tiba berhenti,
dan berbalik dengan nada suara yang agak khawatir.
“Sibuk? Kita cuma bertukar shift, ‘kan? Atau kamu punya rencana lain hari ini,
Asamura-kun?”
“Ah. Tidak, tidak, tidak.”
Dia pasti khawatir bahwa aku sebenarnya memiliki rencana yang berbeda hari ini
tapi mengabaikan semuanya demi bisa pergi ke kolam bersamanya, kurasa.
“Benarkah?”
“Aku bersumpah. Aku tidak punya rencana apapun hari ini. Jika aku belum
menyelesaikan tugas musim panasku, ini akan menjadi hari diama aku
mengerjakannya, tapi aku sudah menyelesaikan semuanya. ”
“Jadi…”
Apa yang kamu bicarakan?—Dia mungkin bermaksud bertanya sambil
menatapku dengan bingung. Yah, masuk akal jika dia tidak tahu. Ini adalah
masalah yang hanya dimiliki oleh pria penyendiri macam diriku.
“Aku tidak punya baju renang.”
“…Bagaimana dengan yang untuk pelajaran olahraga?”
“Aku memilih bisbol daripada renang, karena temanku lebih suka itu.”
“Ah, begitu rupanya.”
“Ia terus-menerus mengoceh tentang semacam moral bahwa akan sia-sia jika kita
selalu setuju satu sama lain.” Aku jadi teringat wajah yang dibuat Maru saat itu
dan menghela nafas.
Plajaran olahraga musim panas merupakan mata pelajaran pilihan, dan aku
harus memilih antara pelajaran berenang di kolam renang atau permainan bola.
Tetap saja, bahkan jika aku memilih pelajaran renang dan membeli baju renang
untuk itu, akan sangat payah untuk memakainya di luar sekolah. Kamu mungkin
berpikir aku agak terlalu pilih-pilih, tetapi harus ada semacam aturan berpakaian
ketika pergi ke kolam renang dengan orang-orang populer di kelasku, ‘kan?
“Ahaha, kamu terlalu melebih-lebihkan. Jadi kamu berencana membelinya nanti,
ya? ”
“Ya, aku perlu membeli yang baru. Untungnya, giliran kerja kita selesai sampai
jam 6 sore, jadi aku punya banyak waktu untuk membelinya nanti.”
Biasanya aku mempunyai jadwal shift penuh yang baru selesai pada malam hari,
tapi hari ini hanya setengah dari shift biasa, karena ini akan menjadi shift aku
besok.
“Jadi kamu akan pergi setelah bekerja?”
“Iya. Saat memeriksanya, aku melihat bahwa ada toko yang menjual pakaian
renang yang hanya buka pada jam 11 pagi, dan itu yang paling awal. ”
“Begitu… jadi kamu tidak bisa memilih waktu yang pas.”
“Waktunya terlalu mepet, dan aku ingin menghindarinya.”
Manajer toko memberitahu kami untuk melakukan pekerjaan dengan benar hari
ini, jadi aku pasti tidak ingin datang terlambat hari ini. Jika aku mengunjungi
toko pada jam 11 pagi, bisa-bisa aku baru keluar pada jam 12 jika aku tidak ragu-
ragu atau tersesat… yang mana hal itu senditi membuatku tidak yakin.
“Memangnya terlalu membingungkan untuk membeli baju renang? …Oh ya,
kamu tidak terlalu tertarik dengan fashion, ‘kan?”
Aku mengangguk dengan ekspresi masam. Itu benar sekali. Fashion dan
sejenisnya tidak terlalu cocok denganku. Aku tidak tahu dasar-dasar tentang
bagaimana memilih pakaian. Mengapa mereka memiliki begitu banyak jenis yang
berbeda? Apa yang membuat mereka berbeda? Apakah mereka menyukai genre
buku? Aku sudah bisa melihat diriku benar-benar tersesat dengan pengaturan
lebar di depanku. Bagaimana aku bisa meminta bantuan?
Aku meyakini kalau aku cuma akan membuang-buang waktuku dengan tersesat
atau ragu-ragu, jadi aku setidaknya ingin meluangkan waktu daripada terburu-
buru agar tidak terlambat. Belum lagi aku juga harus mempersiapkan diri untuk
besok. Pergi dengan teman sekelas ke kolam renang selama liburan musim panas
mungkin tidak terlihat seperti masalah besar, tapi akan merepotkan jika aku
menyadari bahwa aku melewatkan banyak hal begitu aku berada di sana.
Ditambah lagi, meski aku memberitahu Ayase-san kalau aku tidak punya rencana
untuk hari ini, tapi karena aku tidak menyangka akan memiliki shift hari ini, aku
juga perlu mencuci pakaian di pagi hari.
“Begitu ya, mengerti. Ah, aku baru ingat. Aku mendapat jadwal untuk besok dari
Maaya. ”
“Baiklah.”
“Aku akan mengirimkannya padamu nanti.”
“Oke, makasih.”
Tentu saja, Narasaka-san sudah menghubungiku dan mengundangku kemarin.
Aku cuma menunggu untuk memastikannya karena kemungkinan seluruh
pergantian shift tidak akan berhasil. Aku tidak bisa langsung menolak ajakannya
setelah setuju. Tepat setelah kami mendapat izin dari manajer toko, Ayase-san
segera menghubunginya, dan butuh sekitar satu menit untuk mendapatkan
tanggapan. Narasaka-san memang beda.
Saat kami mengobrol santai seperti itu, Ayahku bangun sekitar jam 7 pagi. Ia
mengambil jalan memutar ke kamar mandi dan kemudian datang untuk
menyambut kami di ruang tamu.
“Pagi, Saki-chan. Oh, ada Yuuta juga? Tumben sekali.”
“Pagi.”
“Ya, pagi.”
Ia berjalan menuju tempat duduknya. Aku berdiri dan menyiapkan semangkuk
nasi dan menyajikan nasi untuknya, tetapi Ayahku membuat ekspresi sedih. Ya,
ya. Kamu pasti ingin Ayase-san menyajikan nasi untukmu. Aku paham. Dia
sedang mengurus sup miso, jadi bersabarlah untuk saat ini.
“Ini dia.”
“Terima kasih banyak, Saki-chan.”
“Sama-sama.”
Biasanya, menu pagi Ayase-san adalah resep sederhana yang tidak
membutuhkan banyak waktu untuk membuatnya. Hari ini menunya tahu dengan
bayam dan sayuran rebus. Tahu yang diletakkan di atas, dengan jahe dan bonito
yang dipipihkan di bawahnya dan beberapa irisan bawang merah ditaburkan di
atasnya. Jadi dia menambahkan kecap untuk itu, ya? Aku tidak tahu mengenai
ini sampai baru-baru ini, tapi ternyata ada banyak varietas bawang untuk
membumbui tahu. Ayase-san bilang ini namanya bawang hijau.
Ketika aku melihat-lihat bawang yang biasa dipakai untuk tahu di internet, aku
menemukan ada banyak jenis bawang, termasuk bawang hijau, bawang bombay,
bawang kecil, daun bawang, dan bahkan daun bawang tipis. Aku jadi bingung apa
yang akan kugunakan jika aku membuat tahu sendiri. Bagaimanapun juga, hari
ini sepertinya bawang hijau. Bersamaan dengan menu itu ada tiga kentang
panggang, yang dia taruh di piring biru dan diletakkan di depan Ayahku.
“Aku akan menyelesaikan porsimu sebentar lagi, Asamura-kun.”
“Tidak perlu terburu-buru. Lagipula Ayahku harus segera pergi.”
Jika hari ini ada jam sekolah, Ayase-san dan aku harus bersiap-siap untuk segera
pergi juga, tapi untungnya kami sedang libur musim panas.
“Maaf soal itu.” Ayahku berkomentar sambil mengunyah makanan. Ia segera
menghabiskan sarapannya.
Sekitar setengah tujuh pagi, Ia pergi bekerja, dan aku memasukkan piringnya ke
mesin pencuci piring. Hampir seolah-olah mereka sengaja bergantian, Akiko-san
pulang sekitar jam 8 pagi. Karena dia sudah sarapan sebelum pulang, dia
langsung pergi ke kamar tidur. Itulah rutinitas pagi yang sama sejak Akiko-san
dan Ayase-san pindah bersama kami. Hal tersebut mengingatkanku pada
rutinitas kami sebelum memasuki masa liburan musim panas.
Karena liburan musim panas akan segera berakhir, aku harus mulai kembali ke
alur yang aku jalani sebelumnya. Setelah membantu membersihkan ruang
makan, aku kembali ke kamarku dan memeriksa rencana kami untuk besok,
yaitu pesan LINE Narasaka-san yang disampaikan Ayase-san kepadaku.
Pesannya berisi satu paragraf besar dengan rencana terperinci, hampir seperti d
seorang guru SD yang memastikan supaya anak-anak mengetahui programnya.
Mungkin dia menulis semua ini saat sedang dalam perjalanan yang Ayase-san
sebutkan? Kurasa Narasaka-san masih totalitas bahkan saat bermain-main, ya
'Karena Maaya berusaha keras untuk merencanakan semua ini, pastikan untuk
membacanya dengan cermat.'
Itulah pesan yang Ayase-san tambahkan di bagian paling akhir. Meski pada
awalnya tidak ingin pergi, sekarang setelah dia memutuskan untuk ikut, dia jadi
lebih positif . Persis seperti yang Akiko-san katakan.
—Dia anak yang merepotkan. Minta es krim, mau ke kolam renang, dan
mengeluh kalau tidak dituruti…
Merasa bahwasanya Ayase-san akhirnya mendapatkan kembali sebagian dari
keinginan lamanya untuk bersenang-senang, aku mendapati diriku ikut bahagia
juga.
Beberapa saat sebelum tengah hari, kami keluar dari rumah dan tiba di tempat
kerja dengan sisa waktu yang cukup sebelum jadwal shift dimulai.
“Baiklah! Ayo berjuang hari ini, Ayase-san.”
“Ya, ayo lakukan yang terbaik, Asamura-san.”
Saat kami berjalan masuk, Ayase-san mengubah cara memanggilku. Sepertinya
dia bahkan lebih termotivasi sekarang untuk tidak mengkhianati kepercayaan
manajer toko. Tepat setelah memulai shift kami, Ayase-san dan aku ditugaskan
di bagian kasir. Bagian ini mungkin pekerjaan yang paling menegangkan saat
bekerja di toko buku. Terutama bagi orang-orang macam diriku yang lebih
menyukai sisi asosial, dan tidak terlalu nyaman berbicara dengan sembarang
orang. Tapi karena ini pekerjaanku, jadi aku harus melakukannya.
Begitu ada sedikit waktu luang dari kasir, aku menggunakannya untuk melipat
beberapa sampul buku. Aku menggunakan karton sebagai kertas pendukung
untuk memotongnya, melipatnya dari atas ke bawah, dan meninggalkan lubang
untuk buku. Karena setiap buku memiliki ketebalan yang berbeda, aku harus
berhati-hati supaya masih bisa muat di dalamnya tergantung bagaimana aku
melipatnya. Selain itu, aku tidak dapat memberikan pelanggan buku dengan
sampul buku yang harus kuulangi.
Ada kalanya saat aku melipat kedua sisi kanan dan kiri, dan karena bukunya
terbatas, aku harus menggunakan banyak sampul, dan itu memakan banyak
waktu. Pada akhirnya aku dimarahi. Ayase-san tidak pernah mengalami itu.
Seperti yang Yomiuri-senpai katakan, dia jauh lebih berbakat dariku.
Hari itu, kami juga harus membersihkan kantor dan ruang ganti. Dan anehnya,
hari ini ada banyak sekali pekerjaan, Yomiuri-senpai mengambil cuti. Dia tidak
melakukan ini dengan sengaja, ‘kan? Maksudku, aku awalnya juga libur hari ini,
jadi aku tidak bisa mengeluh.
“Kurasa yang tersisa hanyalah membuang sampah.”
“Biar aku saja yang melakukannya.”
“Tidak, aku ada sampah lain yang harus dibuar, jadi aku saja yang
melakukannya.”
Seketika aku mencoba keluar dari kantor, manajer masuk.
“Ohh, semuanya bersih sekarang. Yup, kerja bagus hari ini, kalian berdua. ” Ia
memuji kami saat melihat sekeliling ruang kantor.
Aku tahu kalau ini hanyalah bagian sopan santun darinya, tapi bukan berarti aku
tidak menikmatinya. Ini hanya “permen” dari “cambuk” dari sebelumnya. Seperti
yang kuduga, manajer toko ini tahu cara menggerakkan orang.
“Terima kasih banyak.” Ayase-san menunjukkan senyum.
Tepat pukul 6 sore, aku dan Ayase-san keluar dari toko buku.
“Baiklah, aku akan membeli baju renang sekarang. Sayangnya, aku tidak bisa
mengantarmu pulang hari ini.”
“Ini masih jam 6 sore, jadi tidak perlu untuk itu.”
“Baiklah, kalau begitu kamu bisa pulang duluan.”
“Asamura-kun, kamu berencana membeli baju renangmu di mana?”
Aku memberitahu nama department store yang rencananya akan kukunjungi.
“Di sana, ya? Aku juga akan pergi bersamamu.” ujarnya, yang membuatku jadi
kebingungan.
“Kenapa?”
“Tempat itu juga menjual pakaian untuk wanita, jadi aku mau sekalian
membelinya. Aku mencoba punyaku kemarin, tapi itu ukurannya sudah tidak
cocok lagi, jadi kupikir sudah saatnya untuk membeli yang baru. ” tuturnya dan
mulai berjalan di depan.
Aku bergegas mengejarnya dan mengikutinya. Apa kita akan membeli baju
renang bersama? Imajinasiku yang jomblo ini membuatku hanya bisa
membayangkan kalau seorang pria dan wanita baru bisa berbelanja pakaian
renang bersama jika mereka benar-benar berpacaran. Aku tahu kalau ini tidak
lain hanyalah prasangkaku sendiri, tapi apa ada alasan lain untuk pergi ke sana
bersama? Aku tidak bisa memikirkan alasan lainnya.
Kami akan merasa tegang saat berbicara satu sama lain tentang pakaian renang
dan semacamnya di seberang bilik, lalu menjadi korban masalah nyeleneh yang
cuma bisa ditemukan di novel atau manga. Yah, mana mungkin peristiwa
semacam itu bisa terjadi. Namun, bagaimana jika aku salah informasi, dan hal itu
benar-benar normal dan diterima bahwa saudara kandung seperti kita akan
berbelanja pakaian renang bersama? Saat aku melirik sosok Ayase-san, yang
terlihat setenang biasanya, aku merasa kesimpulan itu mungkin tidak terlalu
jauh dari kebenaran.
Jika kita benar-benar pergi berbelanja baju renang bersama, ekspresi seperti apa
yang harus aku buat, dan sikap seperti apa yang harus aku pertahankan? Kami
tidak terlalu jauh dari department store, jadi aku tidak yakin apakah aku benar-
benar dapat mempersiapkan hati dan pikiranku sebelum itu…
Pada akhirnya, semua yang kupikirkan tadi menjadi sia-sia. Seperti kebanyakan
department store lainnya, area untuk pakaian wanita berada di lantai bawah, dan
area untuk pakaian pria berada di atas. Di dekat eskalator, Ayase-san
menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.
“Kalau begitu, mari berpisah di sini. Jika kita selesai berbelanja pada saat yang
sama, kita bisa bertemu di pintu masuk. Tapi jika tidak, kita akan pulang sendiri-
sendiri.”
“…Baiklah.”
Yeah, masuk akal. Memang begitulah cara kerja di dunia nyata. Biar kunyatakan
di sini. Seorang kakak laki-laki tidak perlu ikut menemani belanja baju renang
adik perempuannya ... itulah pendapatku. Dan, tentu saja, aku butuh lebih dari
satu jam untuk memilih baju renangku. Seperti yang kuduga, pergi ke sini setelah
bekerja merupakan pilihan yang tepat.

Chapter 6 — 27 Agustus (Kamis)


Aku menatap langit biru cerah di tengah pemandangan asing di sekitarku saat
kereta yang bergerak mengguncangku ke kiri dan ke kanan. Kapan terakhir kali
aku naik kereta seperti ini? Sejak aku lahir dan besar di Shibuya, dan aku
menjalani kehidupan indoor, aku jarang naik kereta ke mana pun. Karena aku
memiliki mentalitas 'selama aku memiliki manga dan buku, aku dapat terus
hidup', Shibuya terasa seperti surga bagiku. Sekarang jalan-jalan kecil telah
menghilang ke kejauhan, dan toko buku mereka yang lebih kecil, sekarang hanya
bangunan yang menjulang tinggi yang tersisa.
Pada akhir pekan maupun hari libur, aku selalu menghabiskan waktu berjalan
kaki dari toko buku ke toko buku lainnya, jadi aku tidak perlu bepergian terlalu
jauh. Aku tidak pernah menyangka akan tiba hari dimana aku akan
menggunakan kereta api untuk bepergian ke kolam renang untuk bersenang-
senang dengan orang lain. Penumpang di dalam kereta tidak terlalu ramai.
Karena masih ada sekitar lima hari liburan musim panas yang tersisa, dihitung
hari ini. Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk mengakhiri sebagian besar
kegiatan musim panas, dan orang-orang mulai panik karena liburan musim
panas mereka akan segera berakhir.
Aku mengeluarkan ponselku dan memeriksa waktu. Saat ini sudah jam 09:18.
Karena kami seharusnya bertemu di gerbang tiket di depan stasiun kereta
Shinjuku pada pukul 09:30, aku masih punya banyak waktu sebelum waktu
pertemuan. Namun, setelah kami berkumpul, masih ada 30 menit lagi untuk
naik kereta api, dan kemudian 30 menit menggunakan bus. Kolam yang kami
tuju secara tak terduga letaknya lumayan jauh. Jadi, tak butuh waktu lama
bagiku untuk mulai berpikir dua kali.
Tidak. Aku tidak bisa goyah. Aku tidak bisa pulang begitu saja setelah melakukan
yang terbaik untuk mengajak Ayase-san ikut. Ngomong-ngomong tentang Ayase-
san, kami memutuskan untuk berangkat sendiri-sendiri sampai kami bertemu di
titik pertemuan, jadi dia meninggalkan rumah 15 menit duluan. Karena akan ada
orang lain yang dari seangkatan bersama kami hari ini, kami tidak dapat
mengambil risiko apapun yang akan membuat mereka mengetahuinya.
Meski aku bilang begitu, nyatanya Narasaka-san sudah tahu. Kurasa itu bukan
masalah besar bahkan jika orang tahu, jadi kami tidak mencoba memberitahunya
untuk tetap merahasiakan hal itu atau semacamnya. Jika orang lain tahu, kami
tinggal menjelaskannya saja. Lagipula, kami tidak melakukan sesuatu yang ilegal.
Aku sedang menikmati pemandangan di luar jendela ketika sebuah
pengumuman tersiar melalui pengeras suara kereta, yang menyebutkan nama
stasiun berikutnya.
Angin sepoi-sepoi menerpaku saat pintu terbuka dan aku turun dari kereta.
Setelah melewati gerbang tiket, aku melihat sekelompok sekitar sepuluh orang.
Jumlah cowok dan cewek dalam kelompok ini hampir sama, dan mereka semua
mengenakan seragam SMA Suisei. Karena mereka semua membawa tas juga,
sepertinya mereka sedang dalam perjalanan sekolah.
“Aneh.” gumamku.
Aku juga memakai seragam SMA Suisei. Benar juga, Narasaka-san menyebutkan
dalam pesan yang dia kirim kalau aku wajib mengenakan seragam sekolahku,
dan membawa tas siswa serta kartu pelajar. Rupanya hal itu perlu dilakukan
supaya bisa mendapat diskon pelajar, tapi biasanya kamu tinggal menunjukkan
kartu pelajarmu saja? Aku mempunyai beberapa keraguan, tepi jika semua orang
mengenakan seragam, kurasa itu bukan masalah besar. Aku pandai mengikuti
petunjuk.
Saat melihat semua orang yang berkumpul, aku melihat beberapa wajah yang
aku kenal di antara mereka.
“Lagi, ya…?”
Aku mendapati Ayase-san menjaga jarak aman dari mereka. Dia juga
mengenakan seragamnya. Saat melirik ke arahku dan melihatku, dia menghela
nafas lega. Yah, kurasa Narasaka-san adalah satu-satunya teman sejatinya di
grup ini. Dan Narasaka-san sendiri sedang berada di tengah-tengah kelompok,
dan berbicara dengan beberapa orang. Julukan monster komunikasi nomor 1
SMA Suisei memang bukan isapan jempol belaka (pendapat pribadiku). Saat
menyadari keberadaanku, dia langsung melambaikan tangannya, dan
meregangkan tubuhnya layaknya anak anjing melihat pemiliknya. Mengingat
betapa imutnya dia, aku benar-benar bisa memahami alasan kepopulerannya di
kalangan cowok.
“Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, Asamura-kun!”
“Selamat pa-... Tunggu, bukannya salam 'Pagi' yang simpel saja sudah cukup?”
“Kami melakukannya seperti itu di industri ini.”
“Industri apa?”
“Industri SMA Suisei.”
“Begitu ya?”
Jadi sekolah kita merupakan industri, ya. Kedengarannya tidak masuk akal jika
kamu bertanya kepadaku. Omong-omong, beberapa orang SMA Suisei perlahan-
lahan masuk dari gerbang tiket dan bergabung dengan grup kami, dan kami
mulai saling memperkenalkan diri. Biasanya perkenalan singkat tidak akan
terlalu menjadi masalah, tapi setiap kali seseorang menyebut nama mereka,
Narasaka-san menambahkan semacam perkenalan aneh, yang membuat
durasinya memakan waktu lebih lama.
“Namaku Asamura Yuuta… Senang bisa bertemu dengan kalian semua.”
“Baiklah, dan ini Asamura-kun! Ia mungkin terlihat memiliki suasana yang
kalem, tapi Ia diam-diam pria yang sangat populer!”
“Pilih antara diam-diam dan populer!” Salah satu cowok menimpalinya.
“Pada dasarnya, sekarang satu-satunya kesempatanmu untuk bergaul
dengannya!” Narasaka-san membalas dan tertawa.
Aku kira ini adalah caranya sendiri untuk memecahkan suasana canggung, yaitu
dengan membuat candaan yang menarik.
“Iya, ‘kan, Asamura-kun!”
“Aku merasa kalau kamu salah tentang banyak hal, tapi… Kita bisa berhenti di
situ.”
“Senang bertemu denganmu, Asamura!”
Tiba-tiba, seorang pria kekar dan kecokelatan, mungkin anggota dari klub rugby,
datang untuk meminta jabat tangan. Aku tertegun sejenak karena terkejut, tidak
mengharapkan perkembangan yang begitu tiba-tiba dari orang yang baru saja
kutemui. Mungkin itu berkat atmosfer yang diciptakan Narasaka-san.
“Sama-sama…”
Karena tidak punya pilihan lain, aku jadi menerima jabat tangan itu. Padahal Ia
sudah sangat dekat. Ia benar-benar tampak seperti tipe riajuu yang akan
memenangkan hadiah di setiap festival olahraga. Tapi entah bagaimana aku
berhasil melewati pertemuan pertama ini. Meski suasananya merupakan sesuatu
yang benar-benar tidak bisa terbiasa buatku. Namun, tujuanku hari ini adalah
membuat Ayase-san menikmati dirinya sendiri, jadi aku tidak bisa menyerah
secepat ini.
Sesi perkenalan diri terus berlanjut. Sama seperti sebelumnya, Narasaka-san
terus-menerus menambahkan beberapa komentar sampingan dengan setiap
orang yang memperkenalkan diri, atau bahkan membuat lelucon dengan nama
mereka. Perbuatannya itu berdampak dengan sangat baik sehingga bahkan aku,
yang tidak berniat mengingat siapa pun dari sini, mendapati diriku setidaknya
bertukar salam ke beberapa orang, dan bahkan mungkin mengingat beberapa
nama mereka. Begitu rupanya. Jadi itu sebabnya dia melakukan semua ini.
Narasaka Maaya memang monster komunikasi yang hebat.
“Ayase Saki.”
“Aku yakin kalian semua sudah tahu Saki, tapi… tidak apa-apa. Dia mungkin
terlihat sedikit menakutkan, tapi dia tidak menggigit, kok.”
“Sesuatu seperti itu.”
“Panggil saja dia Ayasshii!”
Karakter komedi macam apa itu?
“Panggil Ayase saja tidak masalah.” Ayase-san bahkan tidak mencoba mengikuti
momentum percakapan.
Meski begitu, mungkin karena dia menunjukkan senyum masam tanpa benar-
benar marah, beberapa gadis memberinya tatapan tak terduga. Begitu. Jadi
mereka benar-benar berpikir kalau Ayase-san adalah orang yang menakutkan.
“Jadi, Narasaka, kenapa kita perlu memakai seragam segala?” Tanya salah satu
dari mereka mengenai topik yang selama ini ingin kutanyakan.
“Bukankah aku sudah memberitahumu di pesan? Ini demi diskon pelajar~”
“Bukannya pakai kartu pelajar saja sudah cukup untuk itu?”
“Itu cuma satu dari alasan lainnya. Jika kamu memakai seragam, orang tuamu
takkan terlalu ketat saat kamu keluar rumah, ‘kan?”
“Itu tidak masuk akal!”
“Jangan meributkan masalah sepele! Kita bisa bersenang-senang sepuasnya
dengan seragam kita, jadi kita harus memanfaat waktu kita sebanyak mungkin~”
Sepertinya pertanyaan orang tersebut tidak dijawab dengan benar, tetapi cowok
itu juga tidak menunjukkan niat untuk mencoba mengoreknya lebih jauh.
Namun, ketika aku mendengar tanggapannya, aku mendapati diriku sedikit lebih
mengerti. Sepertinya Narasaka-san bahkan lebih perhatian dari yang kuduga. Dia
mungkin mengira bahwa beberapa orang tua peserta akan sangat ketat tentang
hal ini, dan memberi mereka semacam alasan yang bisa mereka gunakan
sehingga mereka bisa keluar untuk bermain bersama orang lain.
Misalnya saja alasan seperti ada kegiatan komite di sekolah, membantu
persiapan semester baru, atau semacamnya. Karena dia mungkin tahu tentang
masalah ini, dia mencoba yang terbaik untuk tidak membuat siapa pun menonjol
secara negatif karena mereka tidak dapat berpartisipasi ... Yah, itu semua cuma
sekadar asumsiku belaka.
Ketika melihat sekeliling, aku tidak tahu siapa yang mengenakan seragam karena
kami disuruh, dan siapa yang memakainya untuk kenyamanan. Cuma Narasaka-
san yang tahu, dan dia mungkin mencoba merahasiakannya. Selain itu, karena
orang-orang tahu dia punya sifat begitu, segala jenis kondisi tidak masuk akal
yang dia sebabkan akan dimaafkan, dan itu tidak merusak suasana sama sekali.
Narasaka Maaya bahkan lebih merupakan monster komunikasi daripada yang
aku duga sebelumnya, ya?
“Baiklah, kalau begitu ayo pergi!”
Dengan suaranya yang penuh semangat, Narasaka-san melangkah di depan kami
dan berjalan ke gerbang tiket. Dan begitulah, acara besar terakhirku untuk
membuat kenangan selama liburan musim panas ini dimulai.
Setelah naik kereta, kami melanjutkan perjalanan ke barat dari Shinjuku. Sekitar
setengah jalan di sana, gedung-gedung besar di sekitar kami mulai menghilang,
dan langit biru yang lebar terbuka, terlihat dari jendela kereta. Bergerak ke barat
dari pusat kota pada dasarnya berarti kami bergerak lebih jauh dari Teluk Tokyo,
dan juga menjauh dari laut. Rasanya sedikit aneh untuk menjauh dari air untuk
bermain di air. Mungkin itu sebabnya tidak ada rekreasi kolam renang di dekat
Shibuya, karena kamu bisa langsung pergi ke laut.
Kelompok kami terdiri dari sepuluh orang termasuk Ayase-san, Narasaka-san,
dan aku. Kami terbagi antara lima cowok dan lima cewek. Dengan kata lain, ini
adalah pertama kalinya aku bertemu tujuh dari mereka. Saat kami bepergian,
kami mengobrol sedikit, dan aku menyadari bahwa aku tidak lelah seperti yang
kuharapkan. Aku takut tidak dapat mengikuti percakapan, dan tertinggal
mencoba berkontribusi pada subjek tertentu, tapi ternyata tidak begitu. Kurasa
monster komunikasi sejati tahu bagaimana menangani diri mereka sendiri tanpa
meninggalkan penyendiri dan orang buangan, ya?
“Jadi kamu bekerja sambilan di toko buku, Asamura?”
“Ya.”
“Apa itu benar-benar menguntungkan?"
“Entah... Aku sendiri tidak pernah bekerja di tempat lain, jadi aku tidak pernah
tahu.”
“Tapi kamu pergi bekerja dan menghadiri kursus musim panas pada saat yang
sama? Itu sangat mengagumkan!”
“Yup yup, aku justru cuma tidur-tiduran selama liburan musim panas!”
“Aku tidak berpikir semenakjubkan itu ...”
Terlepas dari semua itu, aku masih bukan yang terbaik dalam melakukan
percakapan seperti ini. Saat menyangkut buku, aku dapat membicarakannya
selama berjam-jam, tapi kemudian aku menyadari bahwa hanya memberitahu
mereka tentang buku bukanlah apa yang bisa disebut sebagai percakapan. Meski
aku berpikir bahwa percakapan tanpa tema umum terlalu sulit untuk diikuti
bagiku. Pokoknya, saat kami mengobrol basa-basi, waktu 30 menit berlalu, dan
setelah itu, kami berdesak-desakan di dalam bus selama 30 menit lagi.
Dan akhirnya, kami berhasil sampai di tempat kolam yang dimaksud. Di luar,
cuaca sangat panas seperti yang diharapkan dengan matahari pertengahan
musim panas yang menyengat, jadi aku sedikit pusing ketika turun dari bus.
Dibandingkan dengan udara sejuk di dalam kendaraan, berada di luar terasa
seperti disiksa. Garis putih yang digambar di aspal hampir menyilaukan dengan
sinar matahari yang menyinarinya.
“Jadi ini kolamnya?” Gumamku saat melihat ke gedung raksasa yang ada di
depanku.
Ketika mendengar kata 'kolam', aku membayangkan sesuatu seperti kolam
renang di sekolah, atau mungkin kolam renang umum setempat, tapi ini lebih
mirip penginapan mata air panas.
“Ini pintu masuknya. Di sisi ini ada kolam renang dalam ruangan, dan mereka
juga memiliki atap transparan. Di luar itu adalah kolam renang luar ruangan.
Lihat, kamu bisa melihat beberapa atraksi di sana, kan?” Narasaka-san
menjelaskan dan aku menggumamkan nama objek yang kulihat.
“Ahh ... perosotan, ya?”
“Setidaknya sebut saja seluncuran air! Asamura-kun, mana semangatmu?!”
“Apa hubungannya semangatku dengan sesuatu?”
“Itu akan mengubah suasana hatimu. Menyebutnya seluncuran air akan
membuatmu semakin bersemangat. Bagaimana menurutmu jika kita
mengatakan kalau anak SMA sedang bermain di perosotan?”
“Aku hanya ingin tahu mengapa kamu bermain di perosotan.”
“…Saki, Yumi, kalian berdua coba katakan sesuatu, dong!” Narasaka-san
menoleh ke arah Ayase-san dan gadis yang berdiri di sampingnya.
“Ini terlalu besar untuk seluncuran biasa, jadi jika kamu benar-benar ingin
merasakannya, Kamu harus menyebutnya seluncuran air raksasa.”
Ayase-san, kamu baru saja memparafrasekannya, kan? Orang di sebelah Ayase-
san, Tabata Yumi (aku pikir itu namanya. Narasaka-san menyebutkan bahwa
dia memiliki nama yang sama dengan stasiun kereta di Jalur Yamanote),
menatapnya dengan heran.
“Jadi Ayase-san tahu bagaimana membuat lelucon, ya?”
“Lelucon… Ah, ya.”
Tentu saja, Ayase-san tidak sedang bercanda. Dia baru saja mengatakan hal
pertama yang terlintas dalam pikirannya.
“Mereka bahkan memiliki taman hiburan di belakang. Apa ini pertama kalinya
kamu datang ke tempat seperti ini, Asamura-kun?”
“Yah, begitulah.”
Bukannya aku tidak suka taman hiburan atau kebun binatang atau tempat
rekreasi sejenisnya. Yang ada justru aku suka mereka. Aku cuma buruk dalam
berjalan di sekitar mereka dengan orang lain dan melihat wahana. Aku lebih suka
berjalan-jalan sendiri. Meski itu mungkin hanya membuatku terdengar seperti
cowok penyendiri jika mengatakan itu. Aku hanya berharap beberapa orang
memahami dan menerima preferensi orang lain. Mengapa semua orang gampang
sekali menilai orang lain?
“Kolam renang dalam ruangan merupakan acara utama dari operasi kita hari
ini!”
“Oh ya.”
Itulah yang dia sampaikan dalam rencana yang dia kirimkan melalui LINE.
Masing-masing dari kami membeli tiket 1 hari dan berjalan masuk. Setelah itu,
aku selesai berganti pakaian di ruang ganti pria dan memeriksa celana renang
yang baru aku beli kemarin. Itu hampir sama dengan mengganti pakaian
olahragaku di sekolah, dan tidak terlalu memalukan, tetapi aku merasa sedikit
cemas ketika harus meletakkan barang-barangku di loker. Maksudku, aku harus
membawa kunci yang melekat pada gelang ke kolam, jadi jika hanyut, apa yang
harus aku lakukan? Terus, kenapa semua orang bisa begitu tenang tentang hal
itu? Apa cuma aku saja yang terlalu memikirkannya?
Aku lalu berjalan ke area kolam setelah selesai berganti pakaian. Begitu aku
melangkah ke gedung yang sebenarnya, aku dibuat terkejut. Tempat ini seperti
rumah kaca raksasa. Tentu saja, sisi-sisinya tidak terbuat dari lembaran vinil.
Tampaknya bahannya seperti dari kaca atau akrilik. Aku bahkan tidak tahu
berapa banyak orang yang akan muat di sini, dan bagian dalam fasilitas seperti
pantai raksasa dengan kolam dangkal, memenuhi seluruh area. Di sana terdapat
perosotan biasa… bukan, perosotan air, serta wahana lain yang bahkan aku tidak
tahu cara menggunakannya.
Bersamaan dengan itu, ada aroma air yang melayang di udara, berbeda dari
aroma laut yang aneh. Adapun jumlah pengunjung, tidak seramai yang kukira,
yang mana membuatmu berpikir bahwa liburan musim panas akan segera
berakhir dan kehidupan sehari-hari yang normal akan kembali. Setidaknya itu
tidak sepadat yang kutakutkan.
Akhirnya, kami berkumpul kembali dengan kelompok gadis. Mereka berlima
mengenakan pakaian renang yang jelas-jelas terlihat baru, yang mengingatkanku
pada apa yang Ayase-san katakan sehari sebelumnya, dan ini menjelaskan
mengapa dia membeli baju renang baru. Sebagai seorang gadis, kamu benar-
benar perlu memperhatikan mengenai banyak hal. Aku cuma berpikir untuk
membeli baju baru jika aku kehabisan.
Narasaka-san mengenakan bikini yang lumayan terbuka. Warna kuning lemon
tersebut sangat cocok dengan kepribadiannya. Namun, mungkin karena tinggi
badan atau porsi tubuhnya yang kecil, bikini itu tidak terlihat seerotis yang
dikira. Justru sebaliknya, kata 'imut' sangat menggambarkan sosok dirinya yang
sekarang.
Sedangkan Ayase-san malah kebalikannya: dia memakai bikini yang tidak terlalu
memamerkan banyak kulit. Bikini tersebut memperlihatkan bahunya, dan ada
juga celah di antara bagian atas dan bawah baju renangnya. Mungkin itu cuma
karena panasnya musim panas, tapi sepertinya dia lebih suka mengenakan
pakaian yang memperlihatkan bahunya. Dia tampaknya memakai model baju
yang sama seperti itu hampir setiap hari. Meski begitu, melihat Ayase-san dalam
balutan baju renang membuat jantungku berdetak kencang. Aku mungkin sudah
terbiasa dengannya, tapi penampilan yang berbeda benar-benar membuatku
merasa lebih memperhatikan dirinya.
Usai melihat gadis-gadis dengan segala kemegahan mereka, kelompok cowok
menyuarakan sorakan sejenak, tapi bahkan aku yang biasanya tidak memiliki
perasaan tentang hal semacam ini bisa mengatakan bahwa sebagian besar
tatapan mereka diarahkan pada Ayase-san yang berdiri di tengah sekelompok
gadis, hampir seolah-olah dia mencoba bersembunyi di belakang mereka. Dia
hanya memiliki fisik dan gaya yang berbeda dari yang lain. Dia memiliki pinggul
yang lebar dan tinggi, dengan kaki yang panjang dan ramping. Bahkan tanpa
mengenakan pakaian renang yang terbuka, pesonanya masih terlihat jelas. Aku
bahkan bisa mendengar siulan samar dari kelompok cowok, tapi entah kenapa,
hal itu membuatku merasakan emosi yang rumit.
“Fyuu, Ayase memang cantik banget! Hei, kamu setuju ‘kan, Asamura!”
“Maksudku, yah, kurasa sampai… bersiul begitu… sangat tidak bagus…” aku
mendapati diriku merespons.
Di zaman sekarang di mana satu kalimat saja dapat dianggap sebagai pelecehan
seksual, kamu perlu menjaga mulutmu baik-baik. Tentu saja, bukan cuma itu
saja alasannya. Beberapa jenis emosi tidak nyaman mulai menumpuk di dalam
diriku, dan itulah alasan terbesarnya. Namun, sentimen itu tampaknya tidak
sampai ke orang-orang ini.
“Tidak, tidak tidak, jika kamu cowok, tentu kamu harus melihatnya, ‘kan?! ‘kan!”
“Mau bagaimana lagi, oke?”
Mereka mulai berbisik satu sama lain. Secara pribadi aku tidak tahu apakah aku
bisa menyembunyikan ekspresi tidak senangku atau tidak. Namun, tepat ketika
aku hendak menyela keluhan ke dalam percakapan mereka, Narasaka-san
menyuarakannya sendiri. Dia meletakkan tangan kirinya di pinggangnya,
mengangkat tangan kanannya, dan menunjukkan jarinya ke arah kami.
“Baiklah baiklah, kalian di sana! Asamura-kun benar! Setiap mata yang menatap
akan aku colok dengan jari-jariku! ” Saat dia mengatakan ini, Narasaka-san
melakukan gerakan dengan telunjuk dan jari tengahnya ke arah kami.
Sungguh kejam dan agresif sekali, Narasaka-san. Berkat itu, para cowok berhenti
berbisik dan sedikit tenang. Mereka pasti telah menyadari tatapan dingin yang
berasal dari gadis-gadis. Yah, aku juga anak SMA yang sehat, jadi aku mengerti
perasaan mereka. Aku sangat memahaminya, tetapi aku menyarankan mereka
untuk sedikit peka mengenai apa yang boleh dikatakan dan yang tidak boleh
dikatakan di depan gadis yang bersangkutan. Tappi, perkataanku juga sudah
keluar dari mulutku, jadi aku tidak tahu kesan seperti apa yang aku berikan.
Tepat ketika aku merasakan tatapan diarahkan padaku, aku juga melirik Ayase-
san yang mengalihkan pandangannya pada saat yang sama. Apa dia ...
menatapku barusan? Aku tidak mendapat jawaban apapun atas pertanyaanku,
dan Ayase-san segera bergabung dengan gerombolan gadis-gadis.
“Sekarang, ayo kita mulai pesta ini!” Narasaka-san membawa kembali
kegembiraan terhadap suasana canggung tadi. “Mari kita semua melihat wahana
sampai tiba waktunya makan siang! Sebagai permulaan, ayo kita naik
perosotan itu!” ujarnya dengan nada ceria dan menunjuk ke arah seluncuran air.
Tapi kamu marah padaku karena menyebutnya perosotan?
Menurut rencana yang dibuat Narasaka-san, yang diberi nama 'Membuat
banyak kenangan musim panas', dia menyuruh kami untuk melihat berbagai
wahana di sekitar kolam renang. Pertama-tama, tentu saja, wahana seluncuran
air. Meski itu sedikit lebih kecil dari perosotan besar yang kita lihat dari luar,
seluncuran itu masih lumayan tinggi, jadi itu sangat mendebarkan. Setelah itu,
kami melewati sesuatu seperti air terjun, berjalan-jalan di dalam labirin karena
suatu alasan, dan pergi ke banyak wahana lain yang membuat kami terkesiap
kaget.
Sambil bermain-main seperti itu, aku ingat jadwal yang tertulis dalam rencana
yang dikirim Narasaka-san, dan sekali lagi merasa ingin memuji semua
pertimbangan dan perencanaan Naraka-san yang cermat. Dia memamerkan
semua atraksi yang ditawarkan tempat ini dengan cukup baik, dan membuatnya
sangat menarik. Tidak peduli siapa yang berpartisipasi, masing-masing dari
kamu memperoleh sesuatu untuk didapat.
Kamu perlu mengingat bahwa kali ini, kami semua bukanlah teman dekat satu
sama lain. Metode Narasaka-san untuk menghindari terjadinya kelompok kecil
ialah memastikan bahwa ini pertama kalinya semua orang bertemu. Lagi pula,
Ayase-san dan aku sudah saling kenal sebelumnya. Namun, meski kami semua
bersekolah di sekolah yang sama, dan bahkan jika kami berada angkatan yang
sama, selama kami berada di kelas yang berbeda dan memiliki kepribadian yang
berbeda, mana mungkin kami bisa cepat akur. Yang perlu kamu butuhkan adalah
seseorang yang berpikiran terbuka seperti Narasaka-san yang mempunyai
banyak kenalan dan juga sangat pandai bergaul, supaya bisa bertindak sebagai
penghubung.
Ada orang-orang dari klub olahraga, klub sastra, dan bahkan semacam komite,
klub langsung pulang ke rumah, dan lain-lain. Itulah sebabnya, sangat masuk
akal mengadakan percakapan yang melampaui kehidupan sehari-hari akan sulit
dicapai. Tidak ada topik umum atau bersama yang bisa menjadi obrolan. Di
situlah peran Narasaka-san masuk.
Pertama, dia menghampiri berbagai wahan dengan semua orang dan
memamerkannya. Dengan begini, semua orang bisa bersenang-senang, dan
semua orang bisa lebih terbiasa satu sama lain di pagi hari, menemukan
ketertarikan yang sama, dan sebagainya. Hal ini akan membuat percakapan
muncul selama waktu makan siang. Itu sebabnya dia mengabaikan usulan kami
untuk pergi sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil, dan sebaliknya meminta
semua orang bergerak bersama. Meski aku pikir dia juga mengatur beberapa
acara campuran di sore hari.
Sekilas, hal ini terlihat mudah, tapi kenyataannya tidak segampang yang dikira.
Lagi pula, acara yang kamu sendiri ingin lakukan selalu jauh lebih menarik
daripada bermain-main dengan orang lain. Tapi dia bisa mengabaikan itu dan
bergerak maju. Dengan begitu, jika suasananya menjadi terlalu bersemangat,
atau sampai lupa waktu, kamu dapat mengabaikan jadwal dan bersenang-senang
(atau begitulah rencana yang dikirim Narasaka-san). Jika kamu tidak
memprioritaskan preferensi orang lain daripada dirimu sendiri, kamu tidak
dapat mencapai sesuatu seperti ini.
Waktu tengah hari berlalu, dan karena kami melihat beberapa kursi kosong di
area food court, kami memutuskan untuk makan siang. Melihat semua orang
mendiskusikan kejadian pagi tadi dengan senyum menghias wajah mereka
menunjukkan kepadaku bahwa rencana Narasaka-san berhasil. Secara pribadi,
aku senang melihat Ayase-san tersenyum dan berbincang-bincang dengan gadis-
gadis lain. Dan begitu, waktu makan siang kami berakhir, jadi kami memutuskan
untuk bermain di kolam yang dangkal.
Kolam ombak terkadang membuat ombak mirip seperti lautan yang sebenarnya,
tapi karena sekarang sudah mendekati akhir liburan musim panas, hampir tidak
ada orang di sana, yang mana hal itu memungkinkan kami untuk bersenang-
senang sepuasnya tanpa mengganggu siapa pun. Tidak seperti di pantai asli,
kamu tidak bisa bermain voli pantai atau bermain pasir saat mengunjungi kolam
renang. Jadi kami agak terbatas dalam kegiatan apa yang bisa kami lakukan.
Walau begitu, Narasaka-san mengusulkan beberapa ide dalam rencana yang dia
kirimkan kepada kami.
“Jadi dengan begitu, ayo bermain Othello papan luncur!”
“Oooooooo!”
Kami semua bersorak serempak layaknya anak SD. Meski samar-samar, aku
bahkan bisa mendengar suara Ayase-san yang membuatku tersenyum.
Daripada 'Ya', rasanya lebih seperti respons 'Oke ~'. Narasaka-san menyebutnya
Othello papan luncur, tapi aku tidak tahu nama resminya. Game ini mungkin
berasal dari Narasaka Maaya sendiri, tapi itu game dengan aturan sederhana.
Setiap orang membawa papan luncur mereka sendiri, lebih bagus lagi yang
memiliki dua sisi yang dapat dibedakan dengan jelas. Untungnya, papan luncur
yang tersedia untuk dipinjam di sini persis seperti itu. Setelah itu, kami
membaginya sehingga ada jumlah yang sama untuk bagian depan dan belakang,
dibagi menjadi dua kelompok, dan mulai membalik papan. (TN : Permainan
Othello adalah permainan papan yang berukuran 8x8, cara bermainnya
dengan membalikkan bidak hitam dan putih, selengkapnya bisa cari sendiri)
“Kita akan membagi kelompok dengan batu dan kertas! kelompok batu sebelah
sini, dan kelompok kertas sebelah sana.”
Permainan ini merupakan kegiatan lima lawan lima. Kelompok kertas
merupakan kelompok depan, dan kelompok batu adalah kelompok belakang.
Ayase-san dan aku secara kebetulan masuk di kelompok yang sama, dengan
Narasaka-san melawan kami.
“Aku akan menyetel waktunya sekarang. Batas waktunya tiga menit. Kelompok
yang mempunyai lebih banyak papan luncur yang dibalik, merekalah yang
menang.”
“Ya.”
“Oke!”
“Tidak boleh menyambar atau mencuri papan luncur, oke. Mereka harus
melayang, dan kamu cuma boleh membaliknya dengan menepak pinggirnya.
Kamu diperbolehkan untuk menghalangi kelompok lain untuk membalik papan
luncurmu selama kamu mengikuti aturan. Apa semuanya paham?” teriak
Narasaka-san, sambil menunjukkan apa yang baru saja dia jelaskan.
“Paham!”
“Yang cowok, jangan tarik-menarik atau melakukan kekerasan, oke?!” Ujar
Tabata-san.
“Kamu tidak percaya pada kami, kan ?!” Myoujin, aku pikir itu namanya,
mengeluh dengan nada protes.
Narasaka-san menyetel pengatur waktu di smartphone-nya, yang dilindungi tas
anti air, dan menyatakan dimulainya pertandingan. Dalam sekejap kami semua
beraksi. Ternyata permainan ini jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Apalagi,
memangnya ini sesuatu yang akan dimainkan di kolam tanpa ombak? Bahkan
jika kamu tidak melakukan apa-apa, papan luncurnya akan hanyut sendiri, dan
karena kamu tidak dapat mengambilnya karena aturan, kami harus
mengambilnya dan memulihkan papan luncurnya secara berkala.
Pada akhirnya, aturan antara pemburu dan pembalik dibagi antara kelompok. Ini
merupakan contoh lain dari pendekatan yang indah. Akhirnya, sebuah melodi
dimainkan dari ponsel Narasaka-san, yang menandakan kalau waktu tiga menit
telah usai.
“Oke, berhenti! Tidak ada lagi yang membalik!”
Ketika Narasaka-san memberi perintah, semua orang berhenti bergerak. Skor
akhir adalah 4 vs 6, dimana kelompokku dan Ayasen yang menang. Para
pemenang bersorak, dan yang kalah mengungkapkan kekesalan mereka dengan
memukul permukaan air. Sepertinya semua orang bertarung dengan sungguh-
sungguh. Termasuk diriku. Aku sampai kehabisan napas.
“Oke, oke. Satu pertandingan lagi!” Narasaka-san mengatur waktunya lagi.
Masing-masing kelompok memulai permainan dengan penuh motivasi. Aku juga
tiba-tiba menyadari kalau melodi yang Narasaka-san gunakan sebagai alarm...
itu pembukaan anime, ‘kan? Satu-satunya alasan kenapa aku bisa tahu karena
Maru memaksaku untuk menonton satu musim anime itu. Sepertinya Narasaka-
san tahu beberapa hal tentang anime, ya? Dia benar-benar memiliki banyak
minat.
Timku kalah di babak kedua. Karena aku maupun Ayase-san bukanlah tipe yang
aktif berolahraga, kami tidak mempunyai tenaga untuk melanjutkan seperti yang
kami lakukan di ronde pertama. Karena kami berdua akhirnya menjadi tidak
berguna dalam kelompok beranggotakan lima orang, kami tidak memiliki
harapan untuk menang melawan anggota klub olahraga, atau orang-orang yang
selalu bermain-main seperti ini.
“Baiklah, kita sudahi acara hari ini! Setelah istirahat sejenak, ada waktu bebas
untuk semua orang. Kita akan pulang jam 4 sore, jadi kembalilah ke sini saat itu
juga!” tutur Narasaka-san. Aku lalu duduk di tepi kolam renang untuk
beristirahat .
Aku bahkan tidak bisa bergerak lagi, mungkin karena terlalu banyak
menggunakan otot yang biasanya tidak pernah aku gunakan sama sekali. Aku
hanya ingin tidur. Karena tidak dapat mengerahkan tenaga untuk bergabung
dengan orang-orang yang melakukan berenang di kolam renang atau bermain di
tempat lain, aku memutuskan untuk istirahat sendiri ketika Ayase-san
mendekatiku. Sebagai tanggapan, aku buru-buru duduk tegak, karena takut
terlihat menyedihkan. Ayase-san mendekatkan wajahnya dan memandangku
dengan tatapan yang agak khawatir.
“Apa kamu baik-baik saja?”
“Ya. Meski sedikit lelah, tapi semuanya baik-baik saja. Tetap saja, mereka semua
luar biasa. Masih punya banyak stamina, dan juga memiliki indra atletik yang
hebat.”
Saat kami memeriksa wahana yang berbeda, dan memainkan minigame, orang
yang paling banyak melakukan kegiatan adalah cowok dan cewek riajuu. Karena
aku cenderung lebih ke tipe indoor, aku jadi tidak menonjol sama sekali.
Bukannya aku ingin menonjol atau semacamnya, sih.
“Tapi, tadi kamu cukup keren, kok.”
“Hah?” Aku terkejut mendengar pujian tak terduga dari Ayase-san.
“Selama permainan tadi. Asamura-kun, kamu membawa kembali semua papan
luncur yang mengambang keluar dari area bermain, ‘kan?”
“Ahhh.”
Yah, jika tidak ada orang lain yang melakukannya, itu bahkan bukan permainan
yang layak. Begitu orang lain menyadari hal tersebut, mereka mulai melakukan
hal yang sama sepertiku. Saat aku menunjukkan itu, Ayase-san menggelengkan
kepalanya.
“Tapi kamu yang pertama melakukannya, Asamura-kun. Belum lagi begitu kamu
mengembalikan papan, Kamu membiarkan orang lain membaliknya,
meski seharusnya bagian itulah yang paling menghibur dari permainan.”
Aku dibuat terkejut lagi. Aku tidak menduga dia akan menyadarinya. Setiap kali
aku mengembalikan papan ke tim kami, dan jika papan itu ternyata
menunjukkan sisi depan, aku akan meninggalkannya seperti itu. Jika terbalik di
sisi belakang, aku harus membaliknya, karena itulah inti dari permainan.
Namun, ketimbang melakukannya, aku justru mendorong papan ke anggota tim
lain, mengatakan 'Urusi ini', dan mencari papan luncur berikutnya. Sementara
itu, anggota tim itu membalik papannya. Kamu ingin bertanya kenapa? Seperti
yang dibilang Ayase-san. Aksi membalik papan adalah bagian paling menghibur
dari permainan. Aku tidak berpikir itu akan menyenangkan jika aku hanya
membalik semua papan yang aku bawa kembali. Lagipula, permainan itu
seharusnya menjadi upaya tim.
“Ahh, yah, aku cuma tidak ingin mengambil risiko mengacaukan saat menjadi
pusat perhatian.”
Aku sama sekali tidak berbohong mengenai itu.
“Benarkah? Yah, apapun alasannya, aku hanya ingin memujimu, secara subjektif.
Aku pikir kamu cukup keren untuk melakukan itu. Mirip seperti asisten yang
bekerja keras dan mendukung orang-orang di balik layar.”
“Apa itu benar-benar sesuatu yang keren?”
“Setiap orang memiliki pendapatnya sendiri tentang berbagai hal, kan?”
“Yah… tidak salah, sih. Tapi rasanya sedikit memalukan ketika kamu
mengatakannya seperti itu.” Saat aku mengatakan ini, Ayase-san tersenyum
simpul.
Ekspresinya itu bukan jenis ekspresi datar dan dipaksakan yang akan dia buat di
rumah terhadap Ayahku, melainkan ... Bagaimana cara menggambarkannya, ya?
Senyumnya tersebut tampak mirip dengan senyum polos dan baik hati dari
Ayase-san kecil yang pernah kulihat pada foto yang ditunjukkan padaku. Ketika
aku melihat ini, aku berpikir dalam hati Ah, aku sangat senang aku mengambil
keputusan itu dan melangkahi wilayah pribadinya.
Tentu saja, ini bukan karena aku merasa congkak mengenai hal itu, yang seakan-
akan membuatku berpikir kalau aku menyelamatkan Ayase-san atau
semacamnya. Aku bahkan punya bukti bahwa bukan begitu masalahnya. Hanya
saja, jika aku tetap menjaga jarak seperti sebelumnya, aku takkan bisa
melihatnya membuat ekspresi seperti itu. Saat aku berpikir bahwa senyumnya ini
cuma milikku, dan hanya ditujukan padaku, perasaan superioritas yang
menjengkelkan memenuhi dadaku, seolah-olah ingin memberitahu bahwa
mungkin aku benar-benar melakukan semuanya demi diriku sendiri.
“Yah, cuma itu saja yang ingin kukatakan.” Usai mengatakan ini, Ayase-san
berdiri.
Layaknya ikan yang tertangkap di jaringnya, pandangan mataku melayang ke
arah wajahnya.
“Kalau begitu...”
Baju renangnya masih basah kuyup oleh air, warnanya tampak lebih cerah dari
sebelumnya. Aku melihat butiran air di sedikit kulitnya yang terbuka, dan
berkilauan dalam cahaya yang menyinarinya. Tetesan air yang berceceran
membasahi seluruh rambutnya.
“Kurasa aku akan berenang lagi!” Dia mengangkat kedua tangannya di atas
kepalanya, lalu melakukan beberapa peregangan ringan.

“…Hah?”
Saat aku melihatnya, rasanya seperti aku mendadak terbangun dari sesuatu. Aku
tidah tahu kenapa. Rasanya benar-benar alami, namun juga terlalu mendadak.
Emosi tertentu mulai memenuhi isi hatiku.
Ah, Aku menyukainya.
Aku membentuk perkataan ini secara mental, dan baru setelah itu aku
menemukan diriku terkejut dengan emosi yang tiba-tiba muncul di dalam diriku.
Meski ada banyak kesempatan dan situasi bagiku untuk menyadari perasaan ini,
itu terjadi karena gerakan sepele yang sudah kulihat berkali-kali sebelumnya. Dia
hanya meletakkan tangannya di atas kepalanya dan meregangkan. Cuma itu
saja. (TN : Dasar fetish ketek :’v liat ketek aja hatinya langsung luluh)
Aku tidak sedang ditembak, dan kami tidak melalui situasi mengancam yang
akan menyebabkan efek jembatan gantung. Selama ini, aku hanya mendengar
dan mengalami cerita tentang jatuh cinta dengan seseorang atau menembak
seseorang dari sudut pandang orang luar, tetapi sekarang aku telah menemukan
diriku berada dalam situasi seperti itu.
Sejujurnya, aku buruk dalam berurusan dengan lawan jenis. Setelah melihat
Ayah dan Ibuku berinteraksi sejak aku masih kecil, aku mulai berpikir bahwa
pernikahan takkan pernah membawa kebahagiaan sama sekali, dan tidak
menyukai hubungan yang seperti itu. Jika kamu tetap diam tanpa membuat
asumsi, lamu akan mendapat keluhan, dan jika kamu tidak bersikap jujur seperti
pria jantan, kamu akan dianggap tidak berguna. Tapi jika kamu mencoba
mempertimbangkan perasaan orang lain, kamu takkan dianggap jantan, dan itu
juga akan membuat mereka merasa tidak senang. Pada akhirnya, pacarmu akan
selingkuh dengan pria lain yang memiliki lebih banyak uang dan lebih jantan
darimu.
Semua ini aku tafsirkan sebagai awal dan akhir dari hubungan antara pria dan
wanita, itulah sebabnya aku tidak pernah memiliki pengalaman dengan cinta,
dan juga tidak berusaha untuk merasakannya. Jadi, untuk alasan apa harus
orang ini? Kenapa? Penjelasan macam apa yang ada?
Perubahan yang terjadi di dalam diriku terjadi terlalu cepat, terlalu nyata, dan
membuatku bingung. Aku tidak mengerti. Sejujurnya, emosi semacam ini adalah
sesuatu yang luar biasa dan mengagumkan, pastinya. Aku tidak pernah berpikir
akan sesederhana ini, sesuatu yang akan memberiku kelegaan dalam satu saat,
namun sesuatu yang begitu sementara. Begitu melihat Ayase-san pergi, saat air
di tubuhnya berkilau lebih dari sebelumnya, aku berpikir dalam hati.
Dia adik perempuanku. Tapi dia Ayase-san. Dia itu adik tiriku.

*****
Setelah jam 4 sore, kami mulai bersiap-siap untuk pulang. Saat berganti pakaian
di ruang ganti pria, aku menyadari betapa letihnya badanku ini. Rasanya panas,
seperti terbakar dan berat. Tipe kelesuan yang biasa aku rasakan setelah
pelajaran renang di sekolah.
Grup cowok lebih cepat berkumpul di pintu keluar kolam. Yah, secara logis,
gadis-gadis biasanya akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengeringkan
rambut dan berganti pakaian, jadi aku tidak bisa komplain. Sekitar jam 5 sore
ketika bus tiba, kami mengucapkan selamat tinggal pada kolam renang. Sama
seperti perjalanan kami ke sini, kami membutuhkan waktu 30 menit
menggunakan bus untuk pulang, dan 30 menit lagi dengan kereta api. Kami
berbicara lebih banyak dibandingkan saat awal keberangkatan, mungkin karena
kami sudah lebih akrab sepanjang hari. Kami berhasil kembali ke Shinjuku
sekitar pukul 6 sore.
Setelah melewati gerbang tiket, kami bisa melihat langit senja yang merona.
Meski masih berwarna merah terang, matahari sudah mulai tenggelam ke arah
Barat. Melihat gedung-gedung tinggi yang diwarnai oleh langit malam benar-
benar mengingatkanku bahwa kami sudah kembali ke kota besar.
“Ahhh, rasanya menyenangkan!”
“Kamu sepertinya masih punya banyak tenaga lebih, Maaya.”
"Aku terlalu lapar untuk melakukan hal lain!” Narasaka-san dengan lembut
mengusap perutnya sebagai tanggapan atas jawaban gadis itu, dan semua orang
mulai tertawa.
Setelah itu, orang-orang berpencar untuk naik bus, Japan Railways, kereta api
swasta, bahkan sepeda. Ayase-san dan aku harus naik kereta kembali ke stasiun
Shibuya dan kemudian berjalan pulang dengan diriku yang menuntun sepeda.
Karena kami pulang ke tempat yang sama, kami memutuskan untuk pergi
bersama. Tidak ada yang akan curiga jika kami pergi bersama ke stasiun kereta
Shibuya.
“Kalau begitu sampai jumpa di sekolah!”
Kami akan berpisah, lalu…
“Ah, Asamura-kun! Tungghyu shebentar!”
“Bahasa macam apa itu?”
Narasaka-san memberi isyarat padaku, berlari mendekatiku.
“Aku hanya ingin tahu apa kita bisa bertukar kontak LINE. Apa itu tidak apa
apa?”
Ketika aku mendengar pertanyaan itu, aku melirik Ayase-san. Dia segera
memalingkan tatapannya, tapi dia tidak memelototiku atau semacamnya. Yah,
karena kita berada di angkatan yang sama, kurasa baik-baik saja.
“Tentu.”
Kami bertukar kontak LINE, dan aku merasa ingin mengatakan sesuatu yang
sudah menggangguku sedari tadi.
“Ngomong-ngomong, Narasaka-san, kerja bagus untuk seluruh rencana hari ini.”
"Hmmm? Ayolah, kamu boleh memanggilku 'Maaya-chan', oke!”
“Kita tidak sedekat itu.”
“Kita tidak dekat?! Padahal kita berdua adalah teman baik yang pergi ke kolam
renang bersama!”
Logika nyeleneh macam itu sangat tidak masuk akal.
“Oh, ngomong-ngomong, kamu melakukan tugas yang luar biasa dengan seluruh
rencana hari ini. Berkat kamu yang memamerkan semua wahana terlebih dahulu,
kita mempunyai sesuatu untuk dibicarakan saat makan malam. Meski rasanya
sangat disayangkan kita tidak bisa melakukan semua minigame yang kamu
pikirkan.”
“Ahhh,” Narasaka-san menggaruk bagian belakang kepalanya, dan menunjukkan
senyum malu-malu. “Mm. Yah, karena waktunya sudah mepet, jadi mau
bagaimana lagi.”
“Tapi berkat itu, aku bersenang-senang, jadi terima kasih banyak.”
“Ya ampun, meski kamu memujiku seperti itu, kamu tidak mendapatkan apa-
apa, oke?"
“Aku tidak melakukan ini demi mendapatkan imbalan, aku cuma ingin berterima
kasih padamu. Cuma itu saja.”
“Yah, aku senang~ Ahaha, aku tidak menyangka kamu merasa seperti itu, tapi
aku senang kamu tahu dan menyadarinya.”
“Ya, aku mengerti.”
Kamu menjadi senang jika ada orang melihat perbuatanmu dan memahami niat
baikmu di balik perbuatan tersebut. Aku memiliki pengalaman serupa belum
lama ini.
“Kalau begitu sampai jumpa lagi! Kamu juga, Saki! Aku akan mengirimimu
LINE nanti!”
“Ya, ya.”
Mereka berdua saling melambaikan tangan, dan Narasaka-san secara berkala
berbalik untuk tersenyum pada kami.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.”
“Ya, aku tidak menunggu lama.”
Kami melewati gerbang tiket dan mensiki kerets untuk pulang ke Shibuya. Pada
akhirnya, Ayase-san dan aku tetap diam selama hampir seluruh perjalanan
kereta. Setelah meninggalkan stasiun kereta di Shibuya, kami berjalan pulang
menuju apartemen kami. Aku menuntun sepedaku seperti biasa, yang sudah aku
ambil dari tempat parkir, seraya berjalan di sebelah Ayase-san. Saat itulah langit
jingga perlahan mulai berubah menjadi biru tua. Meski lingkungan sekitar kami
mulai berubah menjadi lebih gelap, lampu-lampu gedung membuat semuanya
tetap terang. Rasanya seperti senja atau fajar.
Di zaman modern, menggunakan istilah 'senja' atau 'temaram' mungkin akan
menjadi lebih umum. Akan tetapi, secara pribadi aku lebih menyukai 'fajar', dan
gagasan tentang makhluk hidup yang bukan makhluk hidup berjalan di jalanan
lebih dari itu. Aku pikir cara lain untuk menggambarkannya ialah “Jam Setan”—
saat-saat dimana ada kemungkinan besar kamu akan bertemu dengan hal-hal
supranatural. Hal ini merupakan jenis ungkapan yang membuatmu khawatir jika
orang di sebelahmu benar-benar orang yang asli atau bukan, dan kamu mulai
kehilangan sensasi pada kenyataan—
“Kamu jadi lumayan dekat dengan Maaya, ya?” Ayase-san tiba-tiba angkat bicara,
menarik pikiranku kembali ke kenyataan.
“Ahh, yah. Lagipula aku ingin berterima kasih padanya karena sudah
mengundangku.”
“Makasih.”
“Eh?”
“Kami berteman, jadi aku senang kamu memujinya seperti itu.”
Tentu saja, dia pasti sudah mendengar apa yang kukatakan saat itu. Bukannya itu
sesuatu yang merepotkan, tapi hal itu membuatku merasa sedikit berkonflik di
dalam batinku.
“Tapi, yang lebih penting, apa kamu bersenang-senang?”
“Berkat kamu, yeah.” kata Ayase-san. Dia dengan lembut menundukkan
kepalanya ke arahku, lalu diam-diam melanjutkan. “Berenang di kolam terasa
menyenangkan.” Dia menatapku. “Sekarang aku jadi merasa segar setelah
berenang sepuasnya. Aku senang aku melakukan apa yang kamu katakan. ”
Senyum tipis muncul di wajahnya.
Saat melihat ekspresinya itu, aku jadi teringat emosi yang mulai tumbuh di
dalam diriku, perasaan yang tidak bisa aku katakan dengan lantang. Perasaan
yang mungkin bisa kamu definisikan sebagai kasih sayang romantis telah
tertanam jauh di dalam hatiku seperti sebuah benih… setidaknya, aku mulai
menyadari pesonanya sebagai seorang wanita, yang sekarang membuatku
tersiksa tentang apa yang harus dilakukan atau kukatakan selanjutnya.
Menatap Ayase-san dalam pandangan romantis seperti itu sama saja dengan
merusak kepercayaannya, jadi jika aku berterus terang dengan emosi ini, aku
pasti cuma merepotkannya. Namun, di saat yang sama, rasanya Ayase-san juga
memikirkanku dengan cara yang sama. Apa pilihan yang tepat di sini?
Saat aku mulai tersesat dalam labirin perasaanku sendiri, aku mulai berbicara
lebih sedikit dalam percakapanku dengan Ayase-san, dan keheningan ini juga
menyelimutinya, dan dia berhenti berbicara sama sekali. Suara derit roda
sepedaku yang berputar dan suara langkah kaki kami yang berirama merupakan
satu-satunya suara yang terdengar.
Aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku hanya bisa melihat ke permukaan tanah.
Aku bahkan tidak tahu ke arah mana Ayase-san melihat. Aku merasa jantungku
berdetak lebih cepat dan lebih keras. Maksudku, itu masuk akal. Aku sedang
berjalan pulang bersama seorang gadis cantik seperti dirinya di senja hari begini.
Tidak, bukan itu. Bulan lalu aku pergi menonton film bersama Yomiuri-
senpai. Saat itu, aku juga merasa gugup, tapi aku dapat menyebutnya berbeda
dari apa yang aku rasakan sekarang. Karena kejadiannya terjadi tidak terlalu
lama, aku dapat membedakan perasaanku dalam dua peristiwa tersebut. Namun,
jika seseorang bertanya kepadaku apanya yang berbeda… dan aku tahu bahwa ini
adalah kisah menyedihkan sampai-sampai membuatku ingin menutupi
wajahku… tapi aku tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata.
Naluriku mengatakan kalau ada yang berbeda, tapi bagian mana dari prosesnya
yang berbeda adalah pertanyaan yang terlalu sulit untuk kujawab. Rasanya
hampir seperti perasaanku berada di dalam kotak hitam, mustahil untuk dibuka.
Terlepas dari kenyataan kalau ini perasaanku sendiri, aku justru gagal untuk
memahaminya.
Sambil melamun, aku menatap ban sepeda yang bergerak di sepanjang aspal
dengan ritme yang stabil, dan bayangan yang mereka tinggalkan tumbuh lebih
panjang dan lebih tebal. Sat mendongak ke atas langit, malam telah tiba. Tepat
ketika aku memikirkan betapa singkatnya waktu senja, kalimat lain muncul di
benakku—Ahh, bulan malam ini terlihat indah. (TN : Tsuki ga kirei desu ne,
Ada yang bilang kalau kalimat itu merupakan cara puitis untuk menyatakan
“Aku mencintaimu” , awal mulanya berasal dari novel sastra karangan
penulis terkenal Osamu Dazai. Tapi ada juga yang bilang bukan. CMIIW)
“Asamura-kun, kamu benar-benar pandai menemukan sisi baik dari orang.”
“Eh?”
Ketika Ayase-san tiba-tiba angkat bicara, aku menoleh ke arahnya. Dia menatap
ke atas langit, mungkin ke arah bulan yang menggantung di sana. Dia
mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Tentang Maya. Kamu tadi memujinya, ‘kan? ”
“Ah, itu.”
“Kamu selalu melihat orang-orang di sekitarmu dengan sangat detail. Mau tidak
mau aku jadi mengaguminya. ”
“Aku …..bukan orang yang seperti itu.”
“Setidaknya menurutku begitu. Kamu bisa melihat kerja keras mereka. Aku
mengatakan ini sebelumnya di kolam renang, tapi aku pikir itu sesuatu yang
sangat mengagumkan. Aku pikir kalau itu bagian luar biasa darimu—”
Setelah menerima begitu banyak pujian, jantungku mulai berdetak lebih cepat
dan lebih keras. Namun, setelah mendengar kata-kata selanjutnya, aku langsung
kehilangan akal sehatku.
“—Nii-san.”
Aku menahan napasku sejenak. Tatapanku mengarah ke wajah Ayase-san,
dan membeku di tempat. Meski aku seharusnya sudah akrab dengan Ayase-san
dan ekspresi wajahnya, dia tiba-tiba terlihat seperti orang asing.
Nii-san.
Nii-san.
Nii-san.
Meski aku tahu bahwa mengulangi kata itu berulang-ulang di kepalaku takkan
membantu aku memahami maknanya dengan lebih mudah, tapi otakku justru
berpikir sebaliknya.
Nii-san. Pada dasarnya, kakak. Aku tidak tahu mengapa Ayase-san tiba-tiba
memanggilku seperti itu meski sebelumnya dia sangat menentangnya. Namun,
apa yang begitu mengejutkan tentang hal itu? Ayase-san adalah satu-satunya
orang di seluruh dunia ini yang memiliki hak untuk memanggilku seperti itu.
“Um, apa aku terlalu mengejutkanmu? Aku hanya berpikir bahwa, dengan
bagaimana kamu peduli tentangku dan melakukan semua ini demi aku, Kamu
terlihat seperti kakak yang dapat diandalkan ... tahu? Apa aneh kalau aku
berpikiran seperti itu? ”
Ketika melihat Ayase-san dengan lembut memiringkan kepalanya sambil
tersenyum, aku tidak bisa menahan apa yang sebenarnya aku rasakan.
“Tidak… aku senang, Ayase-san.”
“…Ahaha. Tetap saja, rasanya tidak benar.”
Sejujurnya, pernyataan itu menyelamatkanku. Karena dia tiba-tiba
memanggilku 'Nii-san', akhirnya aku berhasil kembali ke jalur semula. Apa sih
yang sudah kupikirkan? Kasih sayang yang ditunjukkan Ayase-san kepadaku,
dan pujiannya, semuanya itu cuma demi 'Kakak'-nya. Dia menaruh kepercayaan
ini padaku karena dia percaya kalau aku merupakan seseorang yang bisa
menjalin hubungan yang datar dan nyaman dengannya. Dia tidak ingin orang
yang tinggal bersamanya memiliki harapan aneh atau nafsu terhadapnya, dia
hanya menginginkan hubungan yang nyaman untuk kedua belah pihak. Namun,
aku yang sebagai seorang pria, hampir melanggar aturan itu.
“Aku sedikit lelah hari ini, jadi bisakah aku membuat makan malam yang simpel
aja?”
“…Ya, tentu.”
Bahkan percakapan sepele ini membuatku takut. Apa aku bisa mengadakan
percakapan yang rasional dengannya lagi? Tak lama setelah percakapan ini, kami
mencapai apartemen. Aku memberitahunya kalau aku akan memarkir sepedaku
di tempat parkir, jadi aku berpisah dengan Ayase-san di depan pintu masuk.
Setelah memarkirkan sepeda, dan menguncinya dengan kunci sepeda, aku
menatap langit malam.
Bulan yang menggantung di sana tertutup oleh siluet apartemen. Aku menarik
napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Ayase-san tidak
bersamaku. Jika itu cuma karena hormonku yang menjadi liar, maka tubuhku
akan menjadi tenang, dan jantungku bisa berdetak normal sekarang karena dia
tidak ada di sini. Jika memang demikian, aku bisa melupakan perasaan yang
menyerupai kasih sayang romantis ini dan melanjutkan hidupku.
“Ini tidak bagus…”
Aku tahu kalau ini buruk. Aku tahu bahwa seharusnya aku tidak boleh
menyimpan perasaan semacam itu di dalam diriku, tapi tak peduli berapa lama
aku menunggu, emosi menggebu-gebu ini tidak mau hilang seperti yang aku
inginkan.
“Bagaimana aku harus berbicara dengannya saat kembali nanti?”
Tidak ada orang lain yang menjawab ocehanku. Untungnya demikian, karena
pertanyaan ini merupakan kalimat yang tidak boleh didengar oleh orang lain.

Chapter 7 — 28 Agustus (Jumat)


“Aku mengacaukannya…”
Sudah berapa lama sejak aku ketiduran seperti ini? Saat bangun, waktunya sudah
lewat tengah hari, dan aku bahkan melewatkan kursus musim panas. Mengetahui
bahwa Ayahku sudah berusaha keras untuk membayar biaya untuk kursus ini,
melewatkannya seperti ini membuatku merasa kalau aku sudah mengkhianati
kepercayaannya, dan meninggalkan rasa getir di mulutku.
Aku tidak bisa tidur nyenyak tadi malam. Meski kemarin Ayase-san dan aku
makan malam bersama di meja makan, tapi suasanya agak canggung, dan ada
banyak keheningan di antara selingan percakapan kami. Bahkan setelah aku
menyelinap ke tempat tidurku, kejadian hari ini dan kenangan tentang Ayase-san
terus terlintas di benakku, sampai-sampai membuatku gelisah. Serius, apa yang
harus kulakukan?
Tenggorokanku terasa kering, jadi aku memutuskan untuk minum. Aku mencoba
memperbaiki rambut acak-acakanku yang menyedihkan dengan satu tangan,
merasa terlalu repot bahkan untuk mencuci muka. Aku berjalan ke ruang tamu di
mana aku mendengar suara ceria 'Oh' yang berasal dari seorang waniya.
“Yuuta-kun, selamat pagi.”
“Eh, Akiko-san? …Dan Ayah juga?”
“Yo, tukang tidur.”
Ayahku sepertinya sedang membaca beberapa berita di tabletnya. Ia mengangkat
kepalanya untuk menyapaku dengan sedikit lambaian tangannya. Ia dan Akiko-
san sedang duduk di meja makan saling berhadapan,beserta cangkir es kopi di
depan mereka. TV dinyalakan, memutar drama populer dari luar negeri. Itu
adalah pemandangan damai yang tidak aku duga.
“Yuuta-kun?”
“Ah… maafkan aku. Selamat pagi.” Akiko-san menatapku khawatir saat aku
melamun sejenak, jadi aku buru-buru membalas salamnya.
Seakan-akan mencoba melarikan diri dari situasi, aku memasuki dapur dan
mengambil beberapa teh barley dingin dari dalam kulkas. Aku menuangkannya
ke dalam cangkir dan meneguknya seperti seseorang yang menemukan setetes
air di padang pasir. Udara sejuk di dalam ruangan dan minuman dingin yang
memenuhi tubuhku membuatku mulai sedikit tenang. Kepalaku mulai merasa
sedikit lebih jernih.
“Kenapa kalian berdua di rumah?"
“Aku sudah membicarakannya dengan Akiko-san, dan kami berdua memutuskan
untuk mengambil liburan kecil pada hari Jumat, Senin, dan Selasa.”
“Ahh, begitu rupanya. Aku belum mendengar apa-apa tentang itu."
“Jika aku mengambil terlalu banyak waktu istirahat, atasanku akan kebakaran
jenggot, dan biasanya aku takkan mengambil cuti kali ini, tetapi aku tidak punya
pilihan lain.”
“Maaf karena sudah terlalu egois seperti itu, Taichi-san. Aku merasa kita bisa
menghabiskan waktu bersama dengan kita berempat hari ini.”
“Kita berempat…”
“Aku mendengarnya dari Saki. Kemarin kamu tidak bekerja, dan hari ini juga
tidak, ‘kan?”
Itu benar. Sehari setelah perjalanan kami ke kolam renang, hari ini, awalnya
merupakan hari di mana kami berdua tidak bekerja. Jumat adalah hari tersibuk
bagi toko buku, jadi mencoba menantang itu dalam keadaan letih sama saja
dengan bunuh diri. Selain diriku sendiri, aku benar-benar tidak ingin Ayase-san
memaksakan dirinya lagi setelah menghabiskan seluruh energinya untuk
menikmati kolam renang.
“Kalau sudah jam segini, kamu mungkin melewatkan kursus musim panasmu,
ya? Ha ha.”
“Apa Ayah menyadarinya dan sengaja tidak membangunkanku?”
“Kamu terlalu rajin dengan bidang akademismu, jadi melewatkan beberapa
kursus takkan merugikan siapa pun, ‘kan?”
“Yah, aku akan memberimu itu ...”
“Fufu. Aku senang kamu baik-baik saja dengan sedikit keegoisan di pihak kami. ”
Bukan hanya Ayahku saja yang tampaknya tidak peduli, tapi bahkan Akiko-san
membuat komentar santai begitu.
“Aku akan membuatkan sarapan untukmu.” ucap Akiko-san dan menuju ke
dapur.
Aku mendengar suara minyak mendesis di penggorengan, dan Akiko-san tiba-
tiba menoleh ke arahku.
“Terima kasih, Yuuta-kun.”
“Eh?”
“Kamu membawa Saki ke tempat rekreasi, ‘kan?”
“Ahh… Tidak, orang yang mengundangnya justru temannya.”
“Tapi jika kamu tidak meyakinkannya, dia mungkin tidak mau pergi, ‘kan?”
“…Memang.”
“Oleh karena itu, aku ingin berterima kasih padamu. Aku jadi yakin memilikimu
sebagai Onii-chan-nya.”
Aku tertegun setelah mendengar perkatannya. Aku yakin Akiko-san tidak
bermaksud melintasi batas ini, tapi kalimat 'sebagai Onii-chan-nya' hampir
terdengar seperti dia mencelaku atas perasaan terlarang yang kurasakan ini.
“Lagipula, kamu bahkan tidak punya waktu dua tahun sampai kelulusanmu…Dua
tahun lagi sampai dia akan pindah. Saat aku berpikir kalau kami takkan memiliki
lebih banyak kesempatan untuk benar-benar menjadi keluarga bersama, aku
mulai merasa sedih dan kesepian.” Akiko-san tersenyum samar, yang
membuatku menelan nafasku.
'Menjdai keluarga bersama', katanya. Hal itu merupakan keinginan yang sepele
jika kamu memikirkannya, tapi aku tahu betapa penting dan krusialnya itu bagi
Akiko-san. Dan hal yang sama mungkin berlaku untuk Ayahku. Mereka berdua
menjalani kehidupan pernikahan yang tidak harmonis dan tidak mendapatkan
kesempatan untuk menjadi sangat bahagia. Sekarang, mereka telah menemukan
pernikahan lain untuk dipertahankan, bahkan hari-hari biasa seperti ini seperti
harta karun bagi mereka.
Jika mereka mengetahui bahwa aku memiliki perasaan romantis pada Ayase-san,
dan melihatnya sebagai lawan jenis, apa yang akan mereka pikirkan? Setelah
semua pengalaman yang mereka lalui, serta penderitaan yang mereka alami,
mereka akhirnya mencapai tempat kebahagiaan yang kecil. Bisakah aku benar-
benar mengganggu kedamaian ini demi perasaan egoisku sendiri yang tidak
normal?
—Ya, mana mungkin aku bisa melakukan itu.
Wajah ibu kandungku muncul di benakku. Sementara Ayahku bekerja siang dan
malam untuk mendapatkan uang yang diperlukan bagi kami untuk hidup, dia
akan terus-menerus membombardirnya dengan keinginan egoisnya sendiri, dan
pada akhirnya menemukan pria lain untuk melarikan diri. Dulu, aku mencemooh
wanita itu sebagai kera yang tidak tahu apa itu alasan dan akal sehat.
Bukannya aku memiliki cinta dan rasa hormat yang tak ada habisnya kepada
Ayahku, tetapi Ia tidak pernah pantas mendapatkan perlakuan itu. Ia tidak
melakukan apapun yang akan menjaminnya terus-menerus didorong ke samping
demi keinginan orang lain.
Bila kamu ingin bertanya apa aku bisa segera memendam perasaan yang tumbuh
di dalam diriku ini, bohong rasanya jika aku bilang bisa. Namun, jika aku
mengunci emosi ini jauh di dalam hatiku dan membiarkannya terpendam untuk
waktu yang lama, perasaan tersebut mungkin akan hilang ...... Apa itu benar-
benar mungkin? Apa aku benar-benar bisa melupakan perasaanku
padanya? Seseorang yang begitu menawan, dan luar biasa seperti
dirinya?
“Oh ya, dimana Ayase-san? Apa dia masih di kamarnya?”
“Kurasa dia pasti segera kembali.”
“Dia pergi keluar? Tumbe sekali.”
“Memang. Kira-kira sudah berapa bulan, ya ...? Ah, baru saja diomongin.”
Aku mendengar suara pintu depan terbuka, beserta suara langkah kaki
mendekat.
“Berapa bulan? Apa yang sedang…”
Anda bicarakan—itulah yang ingin aku tanyakan, tapi aku berhenti di tengah
kalimat. Lagi pula, jawabannya muncul tepat di depanku tanpa harus
menanyakannya.
“Aku kembali, Ibu, Ayah.” Sebuah suara sejernih air melewati ruang tamu.
Suara ini tentu saja milik Ayase Saki—atau memang seharusnya begitu. Alasan
aku tidak bisa mengatakannya dengan percaya diri karena ini bukan Ayase Saki
yang kukenal.
“Selamat datang kembali, Saki. Astaga, penampilanmu terlihat berbeda~”
“Saki-chan! Ohh, sekarang jadi pengubah suasana, oke. ”
Kedua orang tua kami memuji Ayase-san secara bersamaan. Dan memang, dia
pastinya sudah berubah.
Simbol persenjataan Ayase Saki, rambut pirang panjangnya yang
bersinar seperti ladang gandum, telah dipotong pendek. Dimana yang
tadinya panjang rambutnya sampai mencapai punggungnya, tapi
sekarang cuma sebatas bahu. Itu seperti potongan rambut berukuran
sedang.
Sekarang setelah rambutnya berhenti menyembunyikan tindikannya, tindikan itu
lebih menonjol dari sebelumnya, menyerupai ular yang memamerkan taringnya
yang berbahaya namun pada yang sama, terlihat memikat. Aku diingatkan bahwa
kami sudah saling kenal selama hampir tiga bulan. Saat kamu menjalani
kehidupan normal, wajar-wajar saja kamu akhirnya memotong rambut, atau
bahkan mengalami perubahan lain seperti fisik atau penggunaan make-up.
Namun, seseorang seperti diriku, yang hanya melihat satu jenis penampilan,
tidak mampu menghadapi perubahan ini.
Dalam semua kisah yang sudah aku baca, keputusan besar atau perubahan
penampilan seperti itu biasanya merupakan hasil dari peristiwa besar dalam
kehidupan seseorang, itulah sebabnya aku tidak bisa menahan
perasaan 'Mengapa baru sekarang?' saat melihat perubahannya ini. Aku yakin
tidak ada makna khusus di balik keputusan ini, namun meskipun begitu, aku
merasa ada sesuatu yang salah, dan aku kewalahan dalam prosesnya. Dan di
akhir semua keraguan dan pemikiranku, hal terbaik yang bisa aku utarakan
hanyalah kalimat normal yang selalu aku gunakan.
“Selamat datang… kembali, Ayase-san.”
“Aku pulang, Nii-san.”
Tanpa ragu sedikit pun, dia memanggilku 'Nii-san' di depan orang tua kami.
“Saki… kamu baru saja…?”
“Saki-chan…!”
Suara senang kedua orang tuaku tumpang tindih, tapi suara mereka terdengar
jauh dan sangat asing di telingaku. Mereka khawatir melihat kita tetap berada
pada jarak yang konsisten, menjaga hubungan yang datar satu sama lain dan
tidak bergantung satu sama lain, jadi satu kata dari Ayase-san ini mungkin
membuat mereka merasa seperti kita semua telah melangkah maju.
Kenapa dia tiba-tiba memotong rambutnya? Kenapa dia tiba-tiba
memanggilku 'Nii-san'? Tanpa adanya petunjuk, aku hanya bisa membuat
kesimpulan dan asumsiku sendiri tentang perubahan perilaku yang tiba-tiba
ini. Jika aku harus menebak, dia sedang memperingatkanku, seakan-akan
ingin mengatakan bahwa kita adalah saudara, dan kita takkan pernah
bisa lebih dari saudara.
Sungguh kisah yang sangat ironis. Ketika muncul masalah yang seperti ini,
rasanya sangat memudahkan jika kita bisa saling menunjukkan kartu andalan
kita, dan menyesuaikan diri dengan orang lain seperti biasanya. Namun aku
mendapati diriku merasa lega karena menyadari kalau aku bisa menghadapi
seluruh situasi ini dengan tidak mengungkapkan apa yang aku rasakan, dan
justru merahasiakannya.
Sekarang, aku hanya perlu waktu untuk memikirkan bagaimana aku menangani
perasaanku. Aku ingin menaruh paku di peti mati perasaan romantis ini, yang
akan memungkinkan kami untuk mempertahankan hubungan yang sehat di
mana kami cuma akan menjadi saudara. Sementara Ayase-san tidak tahu
bagaimana perasaanku, aku perlu menemukan cara untuk menghapus emosi ini.
Aku diam-diam menguatkan tekadku seraya menekan emosiku yang terpesona
oleh gaya rambut barunya.

Epilog — Buku Harian Ayase Saki?


—Ini semua kenangan dari minggu lalu.

*****
Apa yang harus kulakukan?
Aku terus melamun sembari menatap langit-langit kamar.
Sekarang… sudah jam 4:36 pagi.
Karena waktunya hampir jam 5 pagi di akhir Agustus, suasana di luar masih
gelap gulita.
Aku mungkin masih bisa tidur selama satu setengah jam lagi jika mau. Karena
aku tertidur dengan cepat karena sedang lelah, aku bangun lebih awal dari
biasanya.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat tirai di depan jendela berjumbai. Aku
menyalakan AC supaya tidak kepanasan saat aku tidur, dan aku dapat menaikkan
atau menurunkannya tergantung pada suhu panasnya.
Dari sela-sela tirai, aku bisa melihat langit malam Shibuya yang putih dari dekat
tepat sebelum waktu malam hampir berakhir.
Setelah langiit tersbut berubah cerah, pasti suhunya akan panas lagi.
Aku mulai berpikir.
Selama satu bulan—Selama sebulan penuh, entah bagaimana aku berhasil
menahannya, meski dengan susah payah.
Aku merasa frustrasi hanya memikirkan dirinya menciptakan kenangan di
tempat lain tanpa adanya aku. Aku merasa kesal dengan pemikiran bahwa ada
seseorang yang mungkin mengetahui lebih banyak tentang dirinya daripada
ketimbang diriku.
Tidak, aku bahkan tidak menyadari rasa frustrasiku sendiri. Yang aku rasakan
hanyalah perasaan suram dan samar di dadaku, tapi hanya itu saja.
Perasaan apa ini?
Aku menyadari emosi misterius ini, dan memberinya nama, sekitar sebulan yang
lalu.

—Kecemburuan.
Aku menulis kata itu di buku harianku.
Setelah menulisnya, aku pun menyadari sesuatu.
Ia selalu datar dan jujur dengan orang lain.
Itu sebabnya Ia bersedia menyesuaikan diri denganku, yang memiliki
kepribadian yang menyusahkan. Ia menatapku tanpa prasangka. Ia menerima
dan memuji kerja keras dan usaha u yang tidak pernah aku tunjukkan kepada
orang lain. Ia memahami diriku.
Aku ingin belajar lebih banyak mengenai dirinya. Aku ingin lebih memahami
tentang dirinya.
Asamura Yuuta.
Aku tertarik padanya.
Tapi saat melihat Ibu dan Ayah terlihat begitu bahagia bersama, aku tidak bisa
mengambil risiko menghancurkan kebahagiaan itu, dan aku yakin Asamura-kun
akan kesulitan mengetahui perasaanku ini.
Aku yakin begitu.
Itulah yang aku pikirkan, itulah sebabnya aku memutuskan untuk
memperlakukannya seperti orang asing di tempat kerja.
“Asamura-san.”
Setiap kali aku memanggilnya seperti orang asing yang baru kutemui, rasanya
seperti jarak di antara kami semakin menjauh, tapi jika bukan karena itu, aku
mungkin lama-lama akan menjadi lebih serakah.
Aku berhasil melewati satu bulan penuh seperti itu.

*****
Aku pikir semuanya mulai runtuh sejak waktu itu.
Hari itu sama seperti waktu pagi lainnya, dan Asamura-kun menerima semacam
bujukan aneh dari Ibu. Dia mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi Ibu benar-
benar pandai membingungkan dan menyesatkan orang.
Yah, kalau cuma itu sih baik-baik saja. Bukannya berarti Asamura-kun bisa selalu
berada di masa jayanya. Meski kupikir Ia biasanya akan sedikit lebih rasional.
Tapi perkataan Ayah setelah itu benar-benar kejutan tak terduga. Belum lagi Ibu
bergabung, berbicara tentang bagaimana kami masih memanggil satu sama lain
dengan nama keluarga masing-masing. Apa maksudmu dengan 'Yuuta-niisan',?
Tunggu sebentar.
Mana mungkin aku bisa memanggilnya 'Yuuta'. Itu mustahil. Tapi memangnya
itu normal dilakukan antar saudara? Serius? Apa semua adik perempuan di
dunia ini memanggil kakak laki-laki mereka dengan nama aslinya? Jujur saja, itu
sulit dipercaya.
Ayah juga ikut menimpali. Ia mengatakan kalau Ia memanggil Ibu dengan
panggilan 'Ayase-san' sebelum mereka mulai berpacaran. Kenapa Ia harus
mengatakan itu, sih?
Mulai sekarang, setiap kali Asamura-kun memanggilku 'Ayase-san', aku akan
selalu diingatkan akan hal itu. 'Sebelum mereka mulai berpacaran,' tahu.
Berpacaran. Kencan… di mana kamu pergi keluar dan bermain bersama, ‘kan?
Tepat saat aku memikirkan itu, Asamura-kun bertanya padaku tentang
rencanaku untuk musim panas.
Dengan cara berbelit-beli, Ia bertanya apa aku punya rencana sesuatu dengan
temanku.
Aku langsung membalas 'Tidak' karena refleks, tapi kenyataannya, Maaya telah
mengundangku ke kolam renang. Belum lagi dia menyuruhku untuk 'Ajak
Asamura-kun bersamamu'. Kolam renang terdengar bagus. Dan jauh lebih baik
lagi jika Asamura-kun bersamaku. Itulah yang kupikirkan.
Sejak Maaya mengajakku, aku terlalu sibuk memikirkannya untuk membuat
kemajuan dengan studi ujianku. Aku bahkan tidak menyelesaikan setengah dari
apa yang sudah kurencanakan.
Ada satu hal lain yang kusadari. Begitu aku mulai memikirkan Asamura-kun, aku
tidak bisa berhenti memikirkannya. Hal itulah yang membuat belajarku berhenti
total.
Aku selalu ingin menjadi mandiri secepat mungkin supaya tidak membebani Ibu
lagi. Demi mewujudkan itu, menjaga nilaiku setinggi mungkin sangat diperlukan.
Karena aku tidak secerdas Asamura-kun, aku harus berusaha keras.
Itu sebabnya aku awalnya memutuskan untuk menolak ajakan Maaya.
Aku bahkan pergi ke kamar Asamura-kun cuma demi mengatakan itu.
Aku meyakinkannya bahwa Maaya dan aku tidak begitu dekat sehingga kami
akan bertemu selama liburan musim panas. Aku senang Ia mempercayaiku. Aku
tidak yakin apa yang akan aku lakukan jika Ia terus menanyakan masalah ini.
Tapi aku masih khawatir kalau Ia mungkin mengetahuinya. Aku takut kalau dia
tahu bahwa aku sedang panik. Lagipula, Asamura-kun sangat peka. Ia bisa cepat
menyadari hal-hal semacam ini.
Lagi pula, Ia berhasil menemukan buku yang telah aku cari selama sepuluh menit
dalam beberapa detik.
Ia sungguh luar biasa. Ia membuat pelanggan wanita itu benar-benar bahagia di
hari itu.
Tetapi orang lain mungkin menemukannya lebih cepat, setidaknya itulah yang
Ia katakan padaku.
Orang yang dimaksud—adalah Yomiuri Shiori-san.
Aku benar-benar membenci diriku sendiri karena begitu picik, karena aku tidak
ingin mendengar pujian lagi mengenai dirinya.
Tapi dalam perjalanan pulang, aku menyadari bahwa bahkan Asamura-kun bisa
memiliki beberapa hal yang tidak Ia sadari.
Mengetahui sisi dirinya yang begitu cukup menyenangkan.

*****
Keesokan harinya, AC di ruang tamu kami rusak.
Karena aku buruk dengan panas, aku terus berdiam diri di kamarku hampir
sepanjang hari, setidaknya sampai aku harus pergi bekerja.
Aku membiarkan AC di kamarku menyala, menyetel musik hip-hop lofi favoritku
sambil memakai headphone, dan mencoba mengejar ketertinggalanku untuk
belajar.
Tapi aku tidak bisa membuat kemajuan sama sekali.
Ketika suhu panas mencapai puncaknya, aku meninggalkan rumah dan menuju
ke kafe terdekat sebelum tiba waktunya giliran kerjaku.
Aku punya kupon diskon setengah harga untuk frappuccino yang populer, jadi
aku memutuskan untuk membelinya dan membaca beberapa buku. Atau lebih
tepatnya, buku yang direkomendasikan Asamura-kun kepadaku. Setelah
beberapa waktu berlalu, aku memutuskan kalau sudah waktunya untuk
berangkat kerja, dan kebetulan melihat Asamura-kun tengah duduk di kafe yang
sama.
Secara spontan, aku langsung memanggilnya.
Saat melirik mejanya, aku melihat ada dua minuman terpisah, jadi aku pikir dia
ada di sini bersama orang lain, tapi ...
Setelah percakapan singkat, aku melihat seorang anak laki-laki berkacamata
berjalan ke arah kami dari sudut mataku. Karena Ia mengenakan seragam Suisei,
dan karena aku tahu bahwa Ia cukup dekat dengan Asamura-kun, aku
memutuskan untuk mengakhiri percakapan dengannya dan segera pergi.
Karena kami bertingkah seperti orang asing di sekolah, tidak lucu juga jika kami
ditemukan di sana.
Tapi aku melihat bahwa orang yang bersamanya di sana adalah cowok lain.
Aku merasa lega.
Adapun giliran kerja setelah itu, cuma ada Asamura-kun, Yomiuri-san, dan aku...
serta karyawan tetap toko buku.
Setiap kali aku melihat Yomiuri-san, dia akan memujiku. Tentang seberapa cepat
aku mempelajari pekerjaanku, tentang bagaimana aku memiliki bakat. Ini
merepotkan karena aku tahu dia serius. Lagipula, dia senior yang baik.
Dia sangat dewasa, punya paras cantik, mudah diajak bicara, dan dia tahu
bagaimana merawat orang lain.
Saat aku memikirkan bahwa dia selalu bersama Asamura-kun…
Malam itu, dalam perjalanan pulang, Asamura-kun bertanya padaku.
Dia bertanya apa Maaya mengundang kami ke kolam renang.
Jantungku berhenti berdetak karena syok.
Bagaimana Asamura-kun bisa mengetahui tentang itu?
Aku benar-benar tidak ingat balasan yang aku berikan saat itu.
Jelas-jelas aku jadi curiga padanya.
Sejenak, aku berpikir kalau Maaya sudah menghubungi Asamura-kun secara
langsung, meski kemungkinan itu sangat mustahil karena mereka tidak memiliki
minat yang sama sama sekali, jika kamu berhent memikirkannya secara rasional.
Apa Ia ingin pergi ke kolam renang?
Ia mungkin akan marah padaku jika Ia tahu aku menolak bahkan tanpa bertanya
pendapatnya. Maksudku, aku ingin pergi ke kolam sendiri. Aku belum
mengunjungi kolam selama bertahun-tahun.
Tapi... karena aku tidak membuat kemajuan apa pun dengan belajarku, aku tidak
bisa membiarkan diriku pergi.
“Begitu ya. Kalau begitu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi,
‘kan?” (Karena aku tidak bisa keluar untuk bermain-main).
“Aku tidak pergi.” (Aku tidak bisa pergi)
Aku tahu betul kalau suaraku terdengar sangat dingin, tapi apa yang aku pikir
benar-benar berbeda.
Aku pikir hatiku sudah mencapai batas.
Keesokan paginya, karena aku tidak ingin melihat Asamura-kun, jadi aku bangun
pagi-pagi. Aku membuat sarapan sebelum Ia bangun, dan segera mengunci diri
di kamarku. Selama aku memberitahunya kalau sarapan sudah siap, seharusnya
tidak ada masalah.
Ia sempat berterima kasih kepadaku melalui LINE. Tanpa menambahkan emoji
apapun, karena aku juga tidak menggunakannya. Ia menyesuaikan diri
denganku, bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil.
Tapi aku penasaran apa yang sebenarnya ingin Ia lakukan? Mungkin Ia benar-
benar mengirim banyak emoji dengan orang lain? Jika memang begitu, Ia
mungkin tidak perlu repot-repot melakukannya denganku?
Dengan orang lain… Mungkin Yomiuri Shiori-san?
Mungkin karena aku sedang melamun, aku butuh beberapa detik untuk
mendengarnya mengetuk pintuku.
Aku melepas headphone-ku dengan panik dan membukanya dengan hati-hati.
Seperti yang diharapkan, Asamura-kun berdiri di sisi lain pintu, dan sekali lagi Ia
bertanya padaku tentang ajakan kolam renang.
Alasan kenapa aku selalu waspada dan menghindarinya karena aku tidak ingin
mendengar lebih banyak tentang itu. Dan meski begitu, untuk beberapa alasan,
Asamura-kun anehnya sedikit memaksa mengenai masalah itu.
Ia bertanya padaku mengenai informasi kontak Maaya.
Mengapa aku menanggapi seperti itu?
Mengapa aku mengatakan sesuatu yang begitu dingin dan sulit dipercaya
kepadanya?
Aku tidak mau.
Aku mengatakannya seperti anak kecil.
Saat aku melihat ekspresi terkejut Asamura-kun, aku merasakan darah mengalir
dari tubuhku. Aku menyadari bahwa aku tidak berhak untuk bertindak seperti
yang aku lakukan.
Aku mencoba menenangkan diri dengan susah payah.
Tidak ada salahnya juga Ia bertanya padaku untuk meminta kontak Maaya.
Lagipula, Maaya juga mengundangnya. Bukannya aku bisa menolaknya begitu
saja. Karena itu, aku juga merasa tidak nyaman memberinya info kontak
temanku tanpa persetujuannya. Itulah yang aku katakan kepadanya, dan
Asamura-kun menerima alasan tersebut.
Aku perlu bertanya kepada Maaya apa aku boleh memberikan info kontaknya
kepada Asamura-kun.
Tapi dia masih dalam perjalanan liburannya.
Kurasa aku cuma akan mengganggunya jika mengiriminya pesan di tengah
kesenangannya sendiri.
Tentu saja, aku membuat membuat alasan pada saat itu.

*****
Hari itu benar-benar yang terburuk. Aku yakin Asamura-kun tidak
melakukannya dengan sengaja, tapi Ia terus-menerus membuat hatiku gemetar
ketakutan dan bimbang. Lagipula, Ia datang bekerja bersama Yomiuri-senpai.
Aku benci cuma memikirkannya, dan mulai membenci diriku sendiri karena
mulai memikirkan itu.
Meski itu harusnya kebebasannya sendiri dengan siapa Ia bertemu dan apa yang
Ia lakukan.
Yomiuri Shiori-san mempunyai rambut coklat-hitam panjang yang indah, dan
berkat suasana kalem dan dewasanya, bahkan aku sendiri mau tidak mau jadi
mengaguminya juga, dan menerima kenyataan bahwa dia sangat cocok untuk
Asamura-kun.
Mungkin Asamura-kun suka rambut panjang dan indah?
Maksudku, aku sendiri memiliki rambut yang cukup panjang.
…Apa sih yang aku pikirkan? Aku merasa seperti orang bodoh saja.
Aku mulai merasa takut bertemu dengan Asamura-kun, jadi aku bilang aku ingin
membeli sesuatu setelah bekerja, dan memintanya pulang duluan tanpa
menungguku.
Setelah menyelesaikan perjalanan belanjaku dan sampai di rumah, Asamura-kun
sedang berdiri di dapur.
Aku menyadari kalau aku pergi tanpa menyiapkan makan malam.
Dari belakang, Ia tampak agak sedih karena suatu alasan. Saat berbalik, untuk
beberapa alasan Ia memegang nasi beku di tangannya, dan menatapku dengan
ekspresi bingung.
Aku tidak tahu mengapa, tapi wajahnya bingungnya itu membuatku terkikik.
Asamura-kun memiliki begitu sedikit pengetahuan tentang makanan yang
terkadang sulit dipercaya.
Ini mungkin karena ibu kandungnya.
Dari apa yang aku dengar dari Asamura-kun, setelah ayahnya menjadi Duda, Ia
menyerah pada masakan rumahan sama sekali. Lebih dari tidak mengingat apa-
apa, atau tidak bisa memasak, Ia menghindari semua hal yang berhubungan
memasak. Di zaman sekarang ini, kamu bisa bertahan tanpa harus memasak.
Namun saat ini, Asamura-kun sedang berusaha keras untuk belajar. Membuat
makan malam bersama memang menyenangkan. Adanya Asamura-kun
membantuku itu menyenangkan. Hal itu membuatku merasa seperti kami
sedang memasak bersama.
Tapi begitu makan malam selesai, Ia bertanya lagi padaku.
Setelah menghela nafas, Ia bertanya tentang kolam.
Apa-apaan dengan helaan nafas itu? Aku merasa diriku jadi semakin gelisah.
Aku tidak bisa menahan diri lagi, dan mengeluarkan smartphoneku untuk
mencari nomor Maaya.
Meski aku belum meminta izin dari Maaya langsung.
Tapi Asamura-kun segera menghentikanku. Ia mengatakan kalau sebenarnya Ia
tidak peduli dengan Maaya sama sekali.
Yang ada justru Ia ingin aku bersenang-senang di kolam renang.
Itu tidak masuk akal.
Kenapa Ia melakukan itu?
Itulah yang aku tanyakan padanya.
Ia lalu mengatakan kalau Ia mengkhawatirkanku. Ia bilang kalau aku harus
sedikit bersantai, dan sesekali bersenang-senang.
Tapi aku harus belajar. Aku tidak bisa bermain-main terus.
Jika tidak… Aku akan berakhir sebagai orang yang gagal.
Hari itu, bahkan setelah jam 1 pagi berlalu, dan jam 2 pagi berlalu, aku tidak bisa
membuat kemajuan apa pun dengan belajarku. Aku terus memikirkan Asamura-
kun dan ucapannya bahkan setelah berbaring di tempat tidur.
Aku penasaran mengapa Asamura-kun mengatakan hal seperti itu.
Sudah dua bulan sejak aku pindah ke sini bersama Ibu. Aku ingat semua yang
terjadi, merenungkannya, dan mengingat apa yang Ia katakan sekali lagi.
Setelah aku mematikan lampu di kamar, semua pikiran dan perasaanku
menguap di udara seperti fatamorgana.
Ketika langit di balik tirai mulai cerah, akhirnya aku tertidur.
Apa yang muncul di balik kelopak mataku adalah penampilan Asamura-kun yang
menghela nafas.
Kemudian wajah ibuku sendiri tumpang tindih dengan wajahnya.
Ah. Aku tahu wajah itu. Suatu ketika ketika aku masih SMP, Ibu mengajakku ke
pantai. Memikirkan tentang situasi keuangan yang kami alami saat itu,
sepertinya kami tidak mampu menanggung biasayanya, dan aku tidak ingin dia
menyia-nyiakan waktu luangnya yang berharga, jadi aku menolak, dan
memberitahu kalau aku harus belajar.
Ekspresi yang dia buat saat itu tampak seperti dia bermasalah.
Aku mencoba menahan diri demi Ibu, namun rasanya seolah-olah aku malah
menyakitinya, meski tidak tahu maksud di balik eksprsinya saat itu.
Badanku cukup kelelahan sampai aku hilang kesadaran.

*****
Kelopak mataku terbuka, dan aku benar-benar terbangun.
Aku berganti pakaian dengan agak linglung, dan menyadari bahwa pikiranku
telah berhenti sepenuhnya.
Tunggu, apa yang tadi aku pikirkan?
Ahh… yah, terserahlah.
Tanpa memikirkan apapun, aku selesai berganti pakaian, dan saat aku memasuki
ruang tamu, Asamura-kun sudah bangun. Tumben sekali melihatnya bangun
sepagi ini, pikirku, tetapi ketika aku memeriksa jam, waktunya sudah sangat
terlambat.
Aku ingin cepat-cepat membuat sarapan, tapi Asamura-kun menghentikanku,
dan melarangku membuat makanan.
Aku tidak bisa membiarkan Ia yang membuatnya.
Ini kesalahanku. Aku tidak bisa menepati janji yang kita buat karena aku
ketiduran.
Namun, Asamura-kun mulai berdebat denganku seperti aku masih kecil.
Karena aku masih mengantuk dan banyak melamun, aku tidak bisa membantah
dengan baik, jadi aku hanya melakukan apa yang diperintahkan, dan duduk di
kursi.
Ia memberiku roti panggang dengan mentega dan ham goreng.
Saat mencium aroma roti dan daging, perutku mengeluarkan suara gemuruh
samar. Aku panik dan cemas kalau Ia mungkin mendengarnya. Baru kemudian
aku menyadari bahwa aku benar-benar lapar.
Saat aku sedang menunggu Asamura-kun untuk duduk di kursinya, Ia tiba-tiba
bertanya padaku.
Ia bertanya apa aku ingin susu panas. Sungguh pertanyaan yang aneh.
Ia bertanya kepadaku di musim panas begini apa aku ingin minum susu panas.
Ia memberitahu kalau meminum itu akan membantuku tidur lebih cepat. Begitu
rupanya.
Jadi Ia menghangatkan susu ini hanya demi diriku.
Sementara aku mengunyah roti panggang, tubuhku perlahan-lahan mulai
bangun sepenuhnya.
Setelah selesai makan, aku melihat susu panas yang dibuat Asamura-kun
untukku dan menyesapnya.
Ah, hangat sekali.
Udara dari AC memang sejuk, tapi susunya membuatku merasa hangat dari
dalam.
Aku menghela nafas, dan merasa bahwa segalanya menjadi lebih ringan. Baik
tubuhku maupun kepalaku.
“Aku sudah memikirkannya…”
Yah, terserahlah.
“…Aku tidak keberatan pergi ke kolam renang.”
Ketika aku mengatakan apa yang ada di pikiranku, rasanya seperti beban berat
mulai diangkat dari dadaku.
Tapi ada satu masalah.
Hari kunjungan kolam renang yang Maaya rencanakan bertepatan dengan hari
dimana Asamura-kun dan aku mendapat giliran kerja.
Setelah aku tidur sekitar dua jam, kami berdua berangkat kerja.
Asamura-kun ingin bernegosiasi dengan manajer toko dengan harapan supaya
kami bisa berganti shift, dan tentu saja aku ingin ikut bergabung dengannya.
Oleh karena itu, Asamura-kun menyarankan agar kita berjalan bersama untuk
bekerja, jadi Ia berjalan di sampingku sambil menuntun sepedanya.
Satu-satunya pengalaman sosial yang kumiliki cuma membantu Ibu di rumah,
jadi wajar saja aku merasa cemas apa kami benar-benar bisa meminta pergantian
shift dengan mudah.
Asamura-kun mengajariku beberapa tips dan trik untuk itu.
Mungkin itu sebabnya semuanya berjalan cukup baik. Manajer toko menerima
permintaan kami, dan Asamura-kun dan aku berterima kasih padanya.
Sekali lagi, aku menyadari betapa menakjubkannya Asamura-kun.
Jika itu aku, aku tidak pernah bisa melakukannya.
Ia mungkin lebih ahli dalam melakukan percakapan daripada yang Ia duga.
Saat aku mengatakan itu kepadanya, Ia membalas kalau aku terlalu melebih-
lebihkannya. Ia berpendapat bahwa mereka mengharapkan sikap tulus, yang
mana membuatnya lebih mudah. Itu sebabnya komunikasi ini mudah dilakukan.
Ketika Ia memberitahuku hal itu, semuanya jadi masuk akal.
Hal ini merupakan cara lain untuk 'menyesuaikan'.
Begitu pemikiran itu muncul di benakku, aku merasa lega. Negosiasi bukanlah
memaksakan keinginanmu sendiri pada orang lain. Sebaliknya, kamu harus
mempertimbangkan keadaan kedua belah pihak dan menyesuaikan diri dengan
orang lain.
Jika kamu ingin melakukan sesuatu demi kenyamananmu sendiri, kamu perlu
mendengarkan apa yang diinginkan orang lain. Hal ini mirip seperti
menyesuaikan bobot pada timbangan, dimana kamu perlu mencoba menemukan
titik keseimbangannya.
Karena aku memiliki kebiasaan memberi orang lain lebih banyak, aku tidak
pernah punya masalah dengan itu.
Aku selalu condong ke sisi pemberi dalam hubungan timbal balik. Itulah yang
selalu kupikirkan. Pada dasarnya, aku merasa tidak masalah dengan memberi
orang lain lebih banyak.
Jika cuma itu yang diperlukan, aku mungkin bisa melakukan hal seperti
Asamura-kun juga.
Ketika permintaan perubahan shift kami diterima, manajer toko menyuruh kami
bekerja sebaik mungkin pada hari itu.
Jika cuma itu yang beliau inginkan, maka aku yakin kalau aku bisa
menyanggupinya.
Tepat setelah mendapatkan hasil ini, aku langsung menghubungi Maaya, dan
memberitahunya kalau aku dan Asamura-kun bisa ikut berpartisipasi.
Tidak butuh waktu lama bagi Maaya untuk mengirim pesan balasan 'Yay!',
dengan emote kucing lucu yang mengepalkan tinjunya ke udara. Aku tersenyum
masam, dan kemudian pesan panjang lainnya masuk.
Judulnya kira-kira seperti ini:
'Menciptakan banyak kenangan musim panas’
Maaya membuat sesuatu seperti ini saat sedang bepergian? Yah, terserahlah.
Keesokan paginya… atau lebih tepatnya, kemarin pagi.
Asamura-kun bilang kalau Ia cuma memiliki baju renang dari pelajaran olahraga,
jadi Ia ragu untuk memakainya. Jadi Ia mengatakan ingin membeli yang baru
setelah giliran kerja kami selesai.
Apa yang harus kulakukan? Aku sebenarnya sudah punya baju renang. Saat
membelinya demi bisa digunakan untuk pelajaran renang di sekolah, aku
menemukan model baju renang yang lucu, jadi aku membelinya.
Saat aku mendaftar ke SMA Suisei, situasi keuangan kami agak stabil (jika tidak,
aku mungkin bahkan tidak bisa mendaftar ke SMA Suisei), tetapi aku tidak
ingin terlalu boros juga.
Karena aku membelinya di musim panas saat masih kelas satu, waktunya sudah
lewat setahun penuh.
Tapi… aku tidak pernah memakainya sekali pun sejak itu.
Aku mencobanya pada hari sebelumnya ketika aku menerima pesan Maaya,
tetapi ukurannya sedikit ketat, dan modelnya tidak terlalu cocok dengan gayaku
yang sekarang.
Jadi aku mencari pakaian renang online sampai tiba waktunya untuk bekerja.
Karena aku memperoleh uang dari kerja sambilan, aku bisa membeli sepasang
baju renang.
Setelah shift kami berakhir, aku bertanya pada Asamura-kun dimana Ia
berencana membeli baju renang.
Karena department store yang ingin Ia kunjungi menjual model baju renang yang
akan aku beli, aku memutuskan untuk ikut bersamanya.
Begitu kami sampai di lokasi yang dimaksud, aku tiba-tiba jadi penasaran
dengan baju renang apa yang mungkin dibeli Asamura-kun, tapi aku segera
menggelengkan kepalaku, menghilangkan pemikiran seperti itu dari dalam
kepalaku.
Apa gunanya memikirkan hal itu? Bukannya aku akan ikut selama kegiatan
belanjanya.
Mana mungkin aku bisa melakukan itu.
Jadi aku menyarankan untuk berpisah di sana. Meski aku ragu kalau Ia
menyadari bahwa aku sedikit panik. Aku pikir tidak adil rasanya karena cuma
aku saja yang merasa sangat gugup, sedangkan Ia tetap terlihat tenang terlepas
dari segalanya.

*****
Akhirnya, hari yang direncanakan pun tiba.
Rasanya sungguh menyenangkan! Sangat menyenangkan! Asyik sekali!
Sudah lama sekali sejak aku pergi ke kolam renang sampai-sampai aku hampir
lupa seperti apa rasanya!
Ada begitu banyak wahana untuk dikunjungi, dan aku terus-menerus berenang!
Aku bahkan berbicara sedikit dengan orang lain di sana, dan mengingat beberapa
nama mereka, tapi aku kurang pandai dalam berteman seperti itu.
Yang ada justru aku buruk dalam membaca suasana hati, dan aku tidak suka
berusaha memeriahkan suasana.
Tapi semuanya berjalan tanpa masalah hari ini.
Kupikir itu juga berkat Asamura-kun yang bersamaku.
Sama seperti diriku, Ia tidak menanggapi lelucon Maaya yang tidak masuk akal,
tapi Ia jauh lebih baik daripada diriku dalam berurusan dengan orang lain. Jika
dia ingin melakukan sesuatu, Ia bisa melakukannya dengan baik.
Tapi Ia juga dengan jelas menyatakan apa yang tidak disukainya.
Itulah salah satu bagian dari dirinya yang membuatku tertarik padanya.
Kami berpisah di stasiun kereta Shinjuku.
Tepat saat kami hendak pergi, Maaya memanggilnya.
Ia ingin bertukar alamat kontak LINE, dan untuk beberapa alasan, Asamura-kun
melirikku.
Aku tanpa sadar mengalihkan pandanganku.
Kenapa Ia menatapku? Ia bebas melakukan apapun yang Ia mau.
Bagaimanapun juga, itu haknya sendiri.
Saat aku menoleh lagi, mereka sudah selesai saling tukar kontak, dan Asamura-
kun berterima kasih kepada Maaya.
Ketika aku mendengar Ia mengatakan itu, aku juga menyadari betapa matangnya
rencana Maaya hari ini.
Narasaka Maaya benar-benar orang yang mempunya hati yang besar untuk
orang-orang di sekitarnya, meski orangnya sendiri mempunyai badan kecil.
Sekali lagi harus kuakui bahwa dia menyukai orang.
Dia mempunyai banyak teman dan disukai banyak orang.
Aku sendiri tidak cukup baik. Aku sangat ketat dalam memilih suka atau
ketidaksukaanku. Jika aku berpikir 'Aku tidak menginginkan ini', aku hanya
menekan tombol dan memutuskan segala bentuk komunikasi.
Selain itu, ketika aku berpikir untuk bermain dengan orang-orang itu lagi, aku
sangat membenci diriku sendiri karena tidak terlalu tertarik. Jujur saja, aku
terlalu intoleran.
Belum lagi aku merasa takut kalau mereka akan mengetahui kalau aku
sebenarnya tidak suka diajak kemana-mana.
Aku tidak ingin merusak suasana hati orang lain. Itu tidak adil sama sekali.
Bukannya orang lain melakukan kesalahan. Aku cuma tidak bisa menerimanya
saja.
Itu sebabnya, aku mengagumi Asamura-kun.
Saat bermain di minigame yang disiapkan Maaya, Ia lebih fokus pada orang lain
yang bersenang-senang lebih ketimbang membuat dirinya menonjol. Ia
memahami kerja keras yang dilakukan orang lain.
Ia sangat keren.
Meskipun sepertinya tidak ada yang menyadari fakta itu.
Apa cuma aku satu-satunya yang menyadarinya? Sekarang aku merasa sedikit
bangga tentang itu.
Tapi aku takut.
Dalam perjalanan pulang, Asamura-kun dan aku berjalan berdampingam.
Matahari sudah mulai terbenam, dan semakin sulit untuk melihat ekspresinya.
Aku yakin Ia juga tidak melihat wajahku.
Sekarang waktunya aku mengatakan itu, pikirku.
Bagiku, Ia terlihat sangat mempesona, keren, dan mengagumkan.
Jadi…
Nii-san.
Tuturku dengan suara sejelas mungkin.
Jantungku berpacu kencang.
Aku berharap Ia tidak menyadari bagaimana ujung jariku tampak bergetar.
Itu benar, aku harus mengatakan pada diriku sendiri. Kami berdua bersaudara.
Namun, jika aku meninggalkan semacam jarak tipis di antara kami, Ia mungkin
akan terluka. Ia sudah berusaha menjadi kakak yang dapat diandalkan, jadi ini
adalah keputusanku sendiri untuk membantu menjaga jarak yang sepantasnya di
antara kami berdua.

******
Kami berdua sampai di apartemen dan memasuki ruang tamu.
Saat aku melihat Asamura-kun menyantap makan malam yang aku buat, aku
menyadari kenapa Ibu selalu senang membuatkan makanan untukku.
Apa aku membuat ekspresi semacam itu saat dia menyiapkan susu panas
untukku?
Tapi ini hanyalah kebahagiaan sebagai saudara tirinya. Itulah yang kukatakan
pada diriku sendiri. Aku memilih kata-kataku dengan hati-hati supaya Ia tidak
menyadari gejolak hatiku.
“Apa kamu ingin nambah satu porsi sup miso lagi?”
Menanggapi itu, Asamura-kun membalas..
“Tidak, terima kasih. Rasanya seenak biasanya… Terima kasih, Ayase-san.”
Ketika Ia mengatakan ini, aku merasakan tatapan kuat datang darinya, yang
mana membuatku tersipu sejenak, dan berpikir apa kegelisahanku diketahui
olehnya.
Ia tidak berbicara tentang rasa sup miso.
Aku mungkin agak terlalu sadar diri. Atau mungkin sebuah hasrat yang
membuatku melalui ini.
Namun, dalam tatapan Asamura-kun, aku merasa seperti melihat emosi yang
aneh, hampir seperti Ia menatapku seakan-akan aku ini bukan adik
perempuannya, tapi seorang gadis pada umumnya.
...Maaf, Asamura-kun. Ini pasti hanya halusinasi yang dibuat-buat di dalam
kepalaku, dan kamu sebenarnya bukan tipe orang yang akan membuat kesalahan
seperti itu.
Akan tetapi, bagaimana jika?
Bagaimana jika Asamura-kun benar-benar menyukaiku dalam artian romantis,
dan jika Ia memberitahuku tentang perasaannya, apa yang akan terjadi padaku?
Apa aku bisa tetap teguh, dan menolaknya?
Aku merasa takut.
Jika cuma aku saja yang hancur secara sepihak, aku bisa menelan pahit-pahit
perasaan suram ini dan bertingkah seolah-olah perasaan tersebut tidak pernah
ada sampai perasaan itu menghilang.
Namun, jika Asamura-kun mengambil langkah pertama, aku mungkin takkan
sanggup menanggungnya.
Aku benar-benar akan hancur di bawah tekanan.

*****
Keesokan harinya, alarm ponselku berdering dari samping bantal.
Sudah waktunya bagiku untuk bangun.
Ayah dan Ibu sudah berada di ruang tamu.
Sepertinya mereka berdua mengambil cuti hari ini supaya kita bisa
menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga, atau semacamnya.
Ketika aku melihat Ibu tersenyum sambil mengatakan itu, aku menyadari bahwa
saat ini mungkin waktu yang paling membahagiakan yang pernah dia alami
setelah sekian lama.
Syukurlah. Aku tidak ingin dia mengalami hal seperti itu lagi. Aku ingin dia
mengalami semua kebahagiaan yang tidak bisa dia rasakan sebelumnya.
Itulah ... sebabnya…..
Aku akan—memendam dalam-dalam perasaanku sendiri.
Aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaan yang mereka miliki saat ini. Aku
juga tidak ingin merepotkan Asamura-kun.
Aku hanya bisa berdoa supaya perasaanku ini tidak pernah ketahuan.
Aku harus memotong rambutku.
Dengan keputusan itu, aku segera memutuskan untuk bertindak.
Rambut panjang dan indah Yomiuri Shiori-san merupakan salah satu bagian
penting dari pesonanya, dan aku yakin Asamura-kun pasti tertarik padanya.
Aku tahu bahwa tidak ada yang bisa diselesaikan hanya dengan tindakan ini. Tapi
jika perbuatan kecil ini bisa membantu sedikit untuk mengamankan
keharmonisan hubungan kami, aku perlu melakukan segala upaya
demi melakukannya.
Sejujurnya, ini sungguh menggelikan.
Semua yang berkaitan kefeminiman yang selama ini aku bantah, sekarang justru
berbalik menyerangku seperti kejadian klise.
Aku selesai memotong rambutku dan pulang.
Aku mengeluarkan buku harianku dari laci dan membaca ulang semuanya.
Aku menyadari kalau aku menuliskan semua yang selama ini kurasakan dengan
sangat jujur.
Setiap kata, setiap kalimat.
Ini hanya…
Perasaanku yang tertarik padanya sangat jelas tertuang ke dalam semua tulisan
ini.
Tapi, semua kenanganku selama seminggu terakhir ini tidak tertulis sedikitpun.
Itu benar, ini adalah buku harian yang hanya ada di kepalaku.
Mengapa? Alasannya sangat simpel.
Karena aku tidak mau mengambil risiko Asamura-kun membaca apapun yang
aku rasakan selama seminggu terakhir.
Aku menyadari bahaya besar dalam menulis buku harian dengan perasaan jujur
ku. Jika aku meninggalkan bukti tertulis, Ia mungkin menemukannya.
Aku harus menyingkirkannya, dan memastikan bahwa aku tidak pernah
meninggalkan bukti tertulis mengenai perasaanku sendiri. Aku hanya akan
mengenangnya di dalam kepalaku.
Aku perlu menyembunyikan perasaanku sebagai seorang gadis yang hatinya
telah luluh terhadap seorang cowok. Apa yang seharusnya aku lakukan,
kehidupan apa yang harus aku jalani, ialah bukan untuk bertindak sebagai
seorang gadis, melainkan sebagai seorang adik perempuan. Aku perlu
berinteraksi dengannya sebagai saudari tirinya.
Oleh karena itu, Keseharian sebagai saudari tiri* tidak membutuhkan buku
harian lagi. (TN : Gimai Seikatsu)

You might also like