Professional Documents
Culture Documents
Cara Merawat Jenazah Atau Tajhizul Mayyit Lengkap
Cara Merawat Jenazah Atau Tajhizul Mayyit Lengkap
Tajhizul mayit artinya merawat atau mengurus seseorang yang telah meninggal.
Hukum tajhiz adalah fardlu kifayah bagi setiap orang mukallaf yang mengetahui atau
menyangka atas kematian seseorang.
STATUS MAYIT YANG AKAN DIRAWAT
Adapun status mayit yanga akan dirawat diperinci sebagai berikut;
1. Muslim Ghoiru Syahid Wa Ghoiru Siqti. Yaitu mayit muslim dewasa serta bukan mati
syahid. Kewajiban yang harus dilakukan terhadap mayit ini adalah :
1) Memandikan
2) Mengkafani
3) Menshalati
4) Memakamkan
2. Mayit Muslim Al Syahid (Syahid Dunia Dan Akhirat). Yaitu mayit yang mati waktu
perang dengan non muslim (orang kafir). Hal-hal yang harus dilakukan kaum
muslimin terhadap mayit seperti ini adalah :
a) Mengkafani dengan pakaian perangnya. Bila tidak cukup maka ditambah dengan
kain kafan lain sehingga bisa menutupi seluruh badannya
b) Memakamkan. Untuk mayit syahid dunia akhirat ini haram di sholati dan
dimandikan meski ia menanggung hadast besar.
3. Mayit Al-Muslim As-Siqtu (Bayi Prematur). Yaitu bayi atau janin yang lahir sebelum
mencapai usia 6 bulan. Dalam kitab-kitab salafi menangani bayi ini diperinci sebagai
berikut, Lahir dalam keadaan hidup, yang bisa diketahui dengan jeritan, gerakan atau
yang lainnya.Kewajiban terhadap bayi ini adalah sama seperti mayit muslim dewasa
yaitu: memandikan, mengkafani, menyolati, dan menguburkan. Lahir dalam bentuk
bayi sempurna, (sudah berusia 4 bulan), namun tidak diketahui tanda-tanda
kehidupan. Kewajiban terhadap bayi ini adalah : memandikan, mengkafani dan
menguburkan. Adapun hukum mensholatinya tidak diperbolehkan. Belum berbentuk
manusia (belum berusia 4 bulan). Bayi yang demikian, tidak ada kewajiban apapun,
namun disunahkan membungkusnya dengan kain dan memakamkannya[1].
Keterangan : Bayi yang lahir mencapai usia 6 bulan, maka menurut pendapat yang
kuat, harus ditahjiz seperti orang dewasa meski tidak ada tanda-tanda kehidupan.[2]
4. Kafir Dzimmi[3]. Yaitu kafir yang tidak memusuhi orang islam. Kewajiban yang harus
dilakukan hanya ada dua macam yaitu;
a) Mengkafani
b) Memandikan. Hukum memandikannya boleh (jawaz), namun haram untuk
disholati.
_______________________________________
[1] At-tarmasy juz III hal 453-461
[2] Hasyiyatul jamal juz 2 hal 191 / I’anatut tholibin juz 2 hal;123
[3] At-tarmasi juz 3 hal. 453-461
MEMANDIKAN MAYIT
Adapun batas minimal memandikan mayit adalah :
1. Menghilangkan najis yang ada pada tubuh mayyit
2. Mengguyurkan air secara merata ke seluruh tubuh mayit termasuk juga farjinya tsayyib
(kemaluan wanita yang sudah tidak perawan) yang tampak ketika duduk atau bagian
dalam alat kelamin laki-laki yang belum dikhitan (kulup)[1]
Keterangan: Kusus mengenai anak laki-laki yang belum dikhitan (berkelopak kulit) jika air
tidak bisa sampai kebawahnya maka hukumnya diperinci sebagai berikut :
1) Jika di bawah kelopak kulitnya suci, maka sebagai ganti membasuh adalah di
tayammumi
2) Jika dibawah kelopak kulitnya najis yang tidak bisa dihilangkan kecuali dipotong. Maka
haram memotongnya. Mengenai penanganan laki-laki ini terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama’ : Menurut imam romli : cukup dikafani dan dikubur tanpa disholati.
Menurut imam ibnu hajar : ditayammumi kemudian disholati dan dikubur. Pendapat
ibnu hajar ini mendapat dukungan dari syeikh al fadani, sebab mengubur mayit dengan
tanpa disholati menandakan kurang adanya penghormatan.[2] Sedangkan cara
mentayammumi mayit yang praktis sebagai berikut :
a) Kedua tangan orang yang tayammum diletakkan pada debu
b) Tangan kanannya diusapkan pada wajah mayit, seraya niat :
، َةŠ َ الن بن فُالن َ ُ اَي ف:لŠْ Š مُث َّ ِل َي ُق، فَلْ َي ُق ْم َأ َحدُ مُك ْ عَىَل َرْأ ِس قَرْب ِ ِه، فَ َس َّويْمُت ِ الرُّت َ َاب عَىَل قَرْب ِ ِه، ْ ات َأ َح ٌد ِم ْن خ َْوا ِنمُك َ َذا َم
ُ Šه ي َ ُقŠَُّ فَ ن،الن بن فُالن َ َة ُ مُث َّ ي َ ُق، فَ ن َّ ُه ي َْس َت ِوي قَا ِعدً ا،الن بن فُالن َ َة ُ مُث َّ ي َ ُق،يب ِإ ِإ
:ولŠ َ ُ اَي ف:ول َ ُ اَي ف:ول ُ ِ ه ي َْس َم ُع ُه َوال جُيŠَُّ فَ ن
َوَأ َّن، ُ هَا َد َة َأ ْن ال هَل َ الِإ اهَّللŠ ِه ِم َن ادلُّ نْ َيا َشŠر ْج َت عَلَ ْيŠََ ا خŠ ْاذ ُك ْرِإ َم: فَلْ َي ُق ْل،ون ِإ
َ َولَ ِك ْن ال ت َ ْش ُع ُر، ُ َأ ْر ِشدْ اَن َرمِح َ َك اهَّلل
ِإ ِإ
راŠً Š َّن ُم ْن َكŠ َ ف،اŠŠ َواِب لْ ُق ْرآ ِن َما ًم، َو ِب ُم َح َّم ٍد ن َ ِبيًّا،اŠŠًال ِم ِدينŠ َواِب ْس، يت اِب هَّلل ِ َراًّب َ Š َوَأن ََّك َر ِض،ُ وهُلŠ دُ ُه َو َر ُسŠŠُم َح َّمدً ا َع ْب
ِإ
ُهŠون اهَّلل ُِإ َحجِ ي َجŠ ِإل ُ َوي َ ُق،َونَ ِك ًريا يَْأخ ُُذ َوا ِح ٌد ِمهْن ُ ْما ِب َي ِد َصا ِح ِب ِه
ُ Š فَ َي ُك،ُهŠدْ لُقِّ َن ُح َّج َتŠŠَدَ َم ْن قŠŠ ان َْط ِل ْق بنا َما ن َ ْق ُعدُ ِع ْن:ول
رواه.و َاءŠَّ Šالن بن َح َ ُ اَي ف،و َاءŠَّ Š”فَ َين ْ ُس ُب ُه ىَل َح:ا َلŠŠَ ِر ْف ُأ َّمهُ؟ قŠ ْن ل َ ْم ي َ ْعŠَ ف، ِ و َل اهَّللŠ اَي َر ُس: ٌلŠا َل َر ُجŠŠ فَ َق،”ُدوهَن ُ َما
ِإ ِإ الطرباين
“Jika salah satu diantara kalian mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah).
Hendaklah salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata :
“wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang
yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa menjawabnya. Kemudian
berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan
ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan duduk. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan
(sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati,
pent)” sebab dia akan berkata : “berilah kami petunjuk –semoga Allah merahmatimu-“ dan
kalian tidak akan merasakannya. Kemudian hendaklah berkata : “ sebutlah sesuatu yang
kamu bawa keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah SWT,
Muhammad hamba dan utusan Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo Allah menjadi
Tuhanmu, Muhammad menjadi Nabimu, dan Al Quran menjadi imammu”, sebab
Mungkar dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata : “mari kita pergi. Kita tidak
akan duduk (menanyakan) di sisi orang yang telah ditalqini (dituntun) hujjahnya
(jawabannya), maka Allah menjadi hajiij (yang mengalahkan dengan menampakkan hujjah)
baginya bukan Mungkar dan Nakir”. Kemudian seorang sahabat laki-laki bertanya : wahai
Rasulullah ! Jika dia tidak tahu ibu si mayit ?Maka Rasulullah menjawab : nisbatkan kepada
Hawa, wahai fulan bin Hawa”(H.R. Thabrani) (2).
Berdasarkan hadits ini ulama Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan
sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa mentalqini mayit adalah
mustahab (sunah)(3).
Hadits ini memang termasuk hadist yang dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat
bahwa hadits dhaif masih bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadloilul
a`mal dan anjuran untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih
kuat (hadits shohih dan hadits hasan lidzatih) dan juga tidak termasuk hadits yang matruk
(ditinggalkan)(4). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya. Selain itu, hadist ini juga
diperkuat oleh hadist-hadits shohih seperti :
ُ ْاس َت ْغ ِف ُروا ؛ َأِل ِخيمُك ْ َو ْاسَألُوا هَل: ول اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ إ َذا فَ َر َغ ِم ْن َدفْ ِن الْ َم ِّي ِت َوقَ َف عَلَ ْي ِه َوقَا َلُ اَك َن َر ُس
. ُ َوحَص َّ َح ُه الْ َحامِك، َر َوا ُه َأبُو د َُاود. فَ ن َّ ُه اآْل َن ي ُْسَأ ُل، ِيت َ التَّثْب
ِإ
“Apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekat kuburan dan
berkata : mintalah kalian ampunan untuk saudara kalian dan mintalah untuknya keteguhan
(dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir) karena sesungguhnya dia sekarang
sedang ditanya” (H.R. Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)(5).
Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim r.a :
، ز ٌورŠُ Šر َجŠُ Šا تُ ْن َحŠŠدْ َر َمŠŠَ فَأ ِقميُوا َح ْو َل قَرْب ِ ي ق، َذا َدفَ ْن ُت ُمويِن: قَا َل، – وعن معرو بن العاص – ريض هللا عنه
ِإ
رواه مسمل. َوأ ْعمَل َ َما َذا ُأ َر ِاج ُع ِب ِه ُر ُس َل َريِّب، ْ َوي ُ َق َّس ُم لَح ُمهَا َحىَّت َأ ْس َتأ ِن َس ِبمُك
Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata : Apabila kalian menguburkanku,
maka hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelihnya unta dan
dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang
akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir(6).
Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga
menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan pentalqin dan merasa
terhibur dengannya. Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah
SWT :
]55/َو َذكِّ ْر فَ َّن ا ِّذل ْك َرى تَ ْن َف ُع الْ ُمْؤ ِم ِن َني [اذلارايت
ِإ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman. “
Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa
mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan
pentalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu
tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan
malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan
tersebut (7). Jadi ucapan pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk
peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang mukmin. Wallohu a’lam.
Referensi :
(1)219 / 6( – (رشح النووي عىل حصيح مسمل
(2)286 ص/ 7 (املعجم الكبري للطرباين – (ج
167 ص1 املقاصد احلسنة للسخاوي ج
(3)162 ص1 األذاكر ج
2 ج2اجلوهرة النرية ص
226 ص5 فتاوى ابن جحر الهيمثي ج
447 ص1 مغين احملتاج إىل معرفة معاين ألفاظ املهناج ج
155 ص/ 3 (سبل السالم – (ج
(4)225 ص6 أضواء البيان ج
226 ص5 اجملموع رشح املهذب ج
(5))151 ص/ 3 سبل السالم – (ج
(6))477 ص/ 1 رايض الصاحلني – (ج
التاج واإللكيل خملترص خليل ج 3ص (7)3
لسان العرب
.تفسري تنوير األذهان ص 125ج 3
أنوار املساكل رشح معدة الساكل ص 135