Jurnal Amos Dengan Template Jaffray

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

URL : http://journal.sttjaffrayjakarta.ac.id/index.

php/JI
p-ISSN : 2685-3477
e-ISSN : 2685-3469
Edition :
Page :

Ibadah yang Sia-Sia: Teguran Amos terhadap Praktik Peribadatan Israel


yang Mengabaikan Penegakan Keadilan (5:21-24)

Emanuel Filip Tungary


Mahasiswa Magister Filsafat Keilahian, Universitas Sanata Dharma
Email: emanuelfiliptungary@gmail.com

Bernardus Dirgaprimawan
Dosen Magister Filsafat Keilahian, Universitas Sanata Dharma
Email: dirgasj@usd.ac.id

ABSTRACT:
This article aims at investigating the connection between a perfect
worship and a call to do social justice, according to Amos 5:21-24.
During the glorious reign of King Jeroboam, the Israelites enjoy their
prosperity and thus they express their joy through worship, even
though not all of the people get the same benefits. There still exists
inequality in experiencing such a prosperity. While the rich are
getting richer, the poor suffer more. The worship they perform is
considered perfect, in the sense that they follow ritual practices
according to its correct regulation. Nonetheless, the text (vv.21-23)
says that God hates their hates their worship. This article argues that
for Amos, it does not mean that God rejects their ritual practices a
problem that God does not hate Israel's worship practices but social
inequality that makes their worship a mere futility. By using
rhetorical analysis, this article concludes that Amos' statement can
have 2 meanings. First, the Israelites needed to uphold justice and
righteousness against their fellow human beings so that a worship
could be said to be perfect. Second, justice and truth will be upheld Key Words:
for those who consider their worship "perfect" in the midst of social Perfect Worship, Justice,
inequality. Hate, social inequality,
Warning

ABSTRAK:
Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi titik temu antara ibadah
yang sempurna dengan seruan penegakan keadilan, menurut Amos
5:21-24. Pada waktu masa kejayaan Raja Yerobeam, bangsa Israel
mensyukuri kemakmuran mereka dengan peribadatan raya,
meskipun, kemakmuran tersebut tidak dirasakan oleh seluruh bangsa
Israel. Ibadah yang dilakukan oleh bangsa Israel dapat dikatakan
sempurna karena mereka telah menjalankan tata praktiknya secara
runtut dan benar. Namun rupanya di ayat 21-23 dinyatakan bahwa
Allah tidak menyukai bahkan membenci ibadah mereka. Yang Allah
kehendaki adalah penegakan keadilan dan kebenaran (ay.24). Artikel
ini berpandangan bahwa melalui Amos, Allah bukannya menolak
keberadaan praktik ibadah bangsa Israel yang sempurna itu sendiri
melainkan ingin menunjukkan kepada mereka bahwa ketimpangan
sosiallah yang menjadikan ibadah mereka menjadi sebuah hal yang
sia-sia belaka. Melalui pendekatan retoris terhadap teks Amos 5:21-
4, artikel ini berkesimpulan bahwa isi kecaman Amos sengaja
menempatkan bangsa Israel di antara dua pilihan. Pertama, bangsa
Israel sebagai subjek pelaku ditantang untuk menegakkan keadilan
terhadap mereka yang lemah agar ibadah mereka dapat dikatakan
sempurna. Ataukah yang kedua, bangsa Israel diancam bahwa
keadilan dan penghukuman Allah akan ditegakkan kepada mereka
yang meskipun rajin beribadah tetapi menutup mata terhadap Kata Kunci:
ketimpangan sosial. Harapannya adalah supaya pertobatan dalam diri Ibadah Sempurna, Seruan
mereka terjadi. Keadilan, Membenci,
Ketimpangan Sosial,
Peringatan

PENDAHULUAN
Pada tahun ke-8 SM, Raja Yerobeam menjadi seorang raja bagi bangsa Israel. Pada
masa itu bangsa Israel sedang tidak dirundung dalam kelaparan, perbudakan, penyiksaan atau
penderitaan karena mereka sedang berada di masa kejayaan dimana kehidupan mereka dalam
taraf yang makmur. Itulah sebabnya secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka
dengan meriah karena mereka sedang bersyukur atas kelimpahan yang mereka dapatkan.1
Ibadah yang mereka jalankan dapat dikatakan sempurna karena mereka melakukannya
secara baik dan benar. Mereka melakukan perkumpulan raya (ay.21), dengan
mempersembahkan korban bakaran, korban sajian dan korban keselamatan berupa ternak
yang tambun (ay.22), serta nyanyian-nyanyian lagu gambus (ay.23). Rupanya meskipun
sudah dilakukan secara baik dan benar, Allah justru membenci perayaan bangsa Israel dan
mengutus Amos untuk menyatakan penegakan keadilan.
Ternyata penegakkan keadilan diperlukan karena kemakmuran tersebut tidak
dirasakan bagi sebagian bangsa Israel. Hal ini disebabkan karena adanya ketimpangan sosial,
dimana yang kaya semakin bertambah kaya dan yang miskin semakin bertambah miskin.
Tidak adanya keadilan dan kebenaran disana dikarenakan yang kaya memeras orang miskin
sedangkan para hakim/penegak keadilan seolah-olah “tutup mata” asalkan mereka tetap dapat
hidup makmur/mewah.2 Namun mengapa Allah membenci ibadah bangsa Israel dan
menegaskan keadilan atas ketimpangan sosial? Apa hubungan ibadah dengan keadilan?
Rupanya hubungan antara ibadah dengan keadilan adalah perihal mencerminkan
Allah. Ibadah yang dilakukan bangsa Israel hanya sia-sia sebab tidak mencerminkan sifat
Allah dimana Allah adalah Sang Maha Adil itu sendiri. Adil adalah berpihak kepada yang
benar dan tidak sewenang-wenang. Sangat berbeda jauh dengan bangsa Israel dalam intensi
ibadah mereka yang secara tidak langsung dapat dikatakan syukur atas kemakmuran (sepihak)
di tengah-tengah ketimpangan sosial (sewenang-wenang terhadap orang miskin). Jadi masuk
akal jika Allah membenci ibadah bangsa Israel karena hal yang mereka lakukan tidak
menujukan mereka pengikut Allah karena Allah tidak demikian. Seharusnya mereka sebagai
umat Allah bersyukur atas kemakmuran bersama bukan sepihak.
Namun yang menjadi permasalahan disini adalah kebanyakan penulis yang membahas
Amos 5:21-24 menganalisis penegakkan keadilan bermakna himbauan atau kecaman sebagai
1
John Barton, “The Theology of Amos” dalam Prophecy and Prophets in Ancient Israel: Proceedings of the
Oxford Old Testament Seminar. Library of Hebrew Bible/Old Testament Studies 531, ed. John Day, New York
dan London: T & T Clark, 2010, 62
2
Berquist, “Dangerous Waters of Justice and Rigtheousness,” 54; dengan judul buku Ernst Sellin, Das
Zwölfprophetenbuch übersetzt und erklärt. Kommentar zum Alten Testament 12, Leipzig, Germany: A.
Deichert, 1922, 77
kata kerja aktif yakni menegakkan keadilan. Makna himbauan yang dimaksud adalah Allah
menghimbau bangsa Israel supaya mereka menegakkan keadilan terhadap sesama seperti
yang ditulis oleh Joni Tapingku.3 Sama halnya makna kecaman yang dimaksud adalah Allah
mengecam bangsa Israel supaya mereka menegakkan keadilan terhadap sesama seperti yang
ditulis oleh Aseng Samongilailai.4 Analisa kedua penulis itu juga mewakili penulis-penulis
lain yang hanya membahas penegakkan keadilan sebagai himbauan atau kecaman saja. 5
Penulis setuju dengan analisa bahwa penegakkan keadilan dapat bermakna himbauan
dengan kata kerja aktif yang sudah dibahas dalam banyak tulisan-tulisan penulis lain. Namun
penulis sendiri berpendapat bahwa penegakkan keadilan yang dimaksud adalah kata kerja
Passive Voice Simple Future yakni keadilan akan ditegakkan kepada bangsa Israel. Tidak
hanya itu, penulis juga berpendapat bahwa penegakkan keadilan bukan sebagai himbauan atau
kecaman saja melainkan himbauan dan juga kecaman.
Dengan menggunakan metode retoris, penulis berpendapat bahwa penegakkan
keadilan memiliki dua makna. Pertama, bangsa Israel sebagai subjek pelaku ditantang untuk
menegakkan keadilan terhadap mereka yang lemah agar ibadah mereka dapat dikatakan
sempurna. Ataukah yang kedua, bangsa Israel diancam bahwa keadilan dan penghukuman
Allah akan ditegakkan kepada mereka yang meskipun rajin beribadah tetapi menutup mata
terhadap ketimpangan sosial. Harapannya adalah supaya pertobatan dalam diri mereka terjadi

METODE
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penulis
menempatkan diri sebagai subjek peneliti yang mengalisa perikop Amos 5:21-24 melalui
pendekatan semantik. Penulis mengkaji pemaknaan dan penggunaan frase “ibadah yang
sempurna” di dalam teks tersebut.
Penulis mencermati nuansa-nuansa yang menyertai frase tersebut ketika frase tersebut
dijumpai di teks dan dikaitkan dengan tema penegakkan keadilan-kebenaran. Tafsir semantik
ini memampukan penulis untuk memandang secara jernih bagaimana frase “ibadah yang
sempurna” dapat dimengerti oleh para pembaca. Untuk itu penulis pertama-tama akan
menganalisis struktur Amos 5:21-24

HASIL DAN PEMBAHASAN/ISI (KAPITAL, BOLD, FONT 12)


1. Struktur Teks
a) Ketidaksukaan Allah
Ayat 21: “"Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang
kepada perkumpulan rayamu”.
i. Korban Persembahan
Ayat 22: “Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban
bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu
berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang”.
ii. Puji-Pujian
Ayat 23: “Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu
gambusmu s tidak mau Aku dengar”.
b) Kesukaan Allah

3
Joni Tapingkur, “Ibadah yang disukai Tuhan dalam agama Kristen menurut teks Amos 5:21-24”, ReligiL
Jurnal Studi Agama-Agama, Desember (2020): 132
4
Aseng Samongilailai, “Ibadah dan Keadilan-Kebenaran
5
Ayat 24, Ayat ini dapat menujukan dua makna akan kehendak Allah terhadap
bangsa Israel. Perumpamaan yang dinyatakan dapat berupa himbauan agar bangsa Israel
menegakkan keadilan bagi kaum miskin atau dapat berupa kecaman bahwa keadilan akan
ditegakkan bagi bangsa Israel itu sendiri.

A. Analisis Teks
1. Kaitan Kitab Amos dan Kitab 1 Raja-Raja
a) Raja Yerobeam yang Serakah
Kita perlu menarik benang lebih jauh ke belakang untuk menemukan aspek-
aspek yang berhubungan dengan kedatangan nabi Amos kepada bangsa Israel. Hal
tersebut dapat dimulai dengan 1 Raja-raja untuk mengurutkannya. Hal ini diawali
dengan terpisahnya kerajaan Israel yang terpecah dua menjadi kerajaan Yehuda dan
kerajaan Israel. Kerajaan Yehuda mempunyai ibu kota Yerusalem, sedangkan Israel
dengan memiliki ibu kota Samaria (1Raj. 16:24).
Kemudian keturunan Daud, yaitu Rehabeam yang menjadi raja di Yehuda,
sedangkan Yerobeam menjadi raja di Israel. Yerobeam otomatis menjadi Raja karena
sudah menjadi pergantian menjadi Saul yang memberontak digantikan oleh Daud,
Daud yang kemudian digantikan oleh Salomo, dan Salomo yang karena tidak setia
dengan Allah digantikan oleh Yerobeam.6
Tetapi Yerobeam sama halnya dengan Salomo maupun raja-raja lain yang
jatuh ke dalam sifat haus kekuasaan. Ketidakpuasan Yerobeam untuk menjadi
seorang raja menambah keinginannya untuk menjadi pemimpin agama dari Israel.
Namun ia melihat begitu banyaknya bangsa Israel yang harus pergi ke Yerusalem
untuk sekedar beribadah. Yerobeam pada akhirnya perlu membangun suatu tempat
ibadah yang diperuntukkan untuk menjadi tempat peribadahan bangsa Israel. Hal ini
bisa dikatakan menjadi akar dari permulaan bagaimana peribadahan bangsa Israel
dipengaruhi oleh kepemimpinan Raja Yerobeam.7

b) Bangunan dan Patung berhala


Bukankah hal ini menjadi kesalahan Raja Yerobeam karena keserakahannya
dalam menjadi raja? Memang betul Yerobeam mempunyai peran dalam
ketidaksempurnaan ibadah ini namun dalam porsi yang kecil karena Allah sendiri
melarang bangsa Israel mempersembahkan korban di sembarang tempat jika tempat
ibadah yang Allah tentukan telah ditunjukkan-Nya (Ul. 12:8-11). Yerobeam takut
apabila bangsa Israel berpindah atau memihak Yehuda karena memiliki Bait Suci.
Ketakutan Yerobeam inilah yang membuat dia melakukan larangan Tuhan,
yaitu mengambil keputusan sendiri tentang yang dipandangnya benar sebagai tempat
mempersembahkan korban (Ul. 12:8). Yerobeam membuat suatu tempat ibadah
dengan meletakkan dua buah patung anak lembu emas. Mengapa lembu layaknya
zaman Musa (Keluaran 32:22-24) ? Hal ini disebabkan pengaruh bangsa kafir yang
percaya bahwa dewa-dewa akan berwujud lembu apabila mereka datang ke bumi.
Begitu pula dengan orang Mesir yang percaya kepada Dewa Lembu bernama Apis.
Mereka percaya bahwa lembu sebagai sebuah perwujudan dewa.8
2. Konteks Amos Bab 5: Gagasan mengenai Allah yang disalahpersepsikan
Meskipun kita telah membahas motivasi raja Yerobeam dalam mengambil alih
sebagai pemimpin agama, ditambah dengan pembuatan bangunan dan patuh berhala.
6
McFall, Leslie (1991), "Translation Guide to the Chronological Data in Kings and Chronicles" (PDF),
Bibliotheca Sacra, 148
7
McFall, Leslie, Translation Guide to the Chronological Data in Kings and Chronicles, Bibliotheca Sacra, 165
8
Karel Van Der Toorn, Dictionary of Deities and Demons in the Bible, Grand Rapids, Michigan: Wm B.
Eerdmans, 68-72.
Namun hal tersebut bukanlah murni kesalahan raja Yerobeam saja melainkan porsi
terbesar dan terberat adalah bangsa Israel itu sendiri. Dalam pendahuluan telah dibahas
bahwa kondisi bangsa Israel pada waktu itu sedang dalam masa kejayaan/kemakmuran.
Sebelum kita masuk dalam konteks umum perikop ini, kita perlu terlebih dahulu sepakat
bahwa Allah memilih bangsa Israel atau sebaliknya bangsa Israel merupakan bangsa
pilihan Allah dan hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang baru/hal yang perlu dijelaskan
secara terperinci.
Konteks yang hendak dibahas disini adalah konsep pemikiran bangsa Israel.
Mereka berpikir bahwa mereka merupakan bangsa pilihan Allah, otomatis pemikiran
mereka juga merasa bahwa mereka bukan musuh Allah. Dengan merasa sebagai umat
pilihan notabene merasa “spesial” di mata Allah. Oleh karena itu, ketika mereka sudah
menjalankan ibadah mereka yang mereka anggap “sempurna”, mereka akan merasa sudah
menjalankan tugas mereka.
Bangsa Israel terlena oleh situasi kemakmuran mereka dengan masih memegang
konsep sederhana bahwa mereka pilihan Allah notabene Allah bukan musuh mereka,
Allah berada di sisi mereka, Allah tidak akan menghukum mereka karena mereka sudah
menjalankan ibadah mereka dengan “sempurna”. bangsa Israel tidak merasa diri mereka
lawan Allah karena mereka masih beribadah kepada-Nya karena meskipun mereka
beribadah kepada Allah (YHWH) tetapi konsep ibadah mereka pada waktu itu masih
mengikuti konsep populer ibadah kepada dewa-dewa dimana penyembahan dewa-dewa
kuno dulu ada pemisahan/dikotomi antara altar/mezbah korban persembahan dengan
kehidupan sehari-hari.
Para dewa tidak mengurusi kehidupan pribadi para pemujanya, selama umat aktif
beribadah, memberi persembahan, selama para dewa “dilayani”, maka tidak ada
malapetaka yang akan menimpa mereka. Dewa akan tutup mata terhadap apapun yang
terjadi. Konsep ini membuat bangsa Israel gagal melihat bahwa mereka lawan Allah.9
Tata cara persembahan korban adalah bagian dari upaya Allah untuk menciptakan
suatu bangsa untuk mendengar dan mengikuti Allah. Sifat ibadah yang pribadi dan batin
ini dapat terlihat dalam fakta bahwa pengampunan dapat diperoleh dengan hanya berseru
kepada Tuhan (Kej.18,Kel.32:30-34). Bentuk-bentuk ibadah itu dimaksudkan untuk
mengungkapkan suatu kenyataan batiniah yaitu pertobatan dan iman. Watak batin ini
dicerminkan dalam perlunya manifestasi nyata disertai oleh pertobatan dan pengakuan
dengan kata lain bahwa bentuk sesungguhnya dari ibadah adalah soal hati.10
Hal ini yang merupakan kaitan dengan sub-bab konsep hari Allah di Amos 5:18-
20. Sebagian dari kepercayaan pada kekuatan aktif Yahweh atas bangsa-bangsa ternyata
adalah sesuatu yang bisa kita sebut eskatologi populer. Suatu hari akan datang, “hari
Tuhan”, ketika Allah Israel akan campur tangan dengan tegas atas namanya untuk
menetapkannya sebagai bangsa yang dominan di lingkungan sekitarnya. Apakah ini akan
terjadi pada festival keagamaan atau sebagai bagian dari perang, hari Tuhan akan
membawa bencana bagi bangsa-bangsa asing dan pembenaran bagi Israel.
Pada zaman Amos, Israel telah terlibat selama beberapa waktu dalam pertempuran
dengan orang Aram, dan tampaknya mungkin bahwa orang-orang pada umumnya
percaya bahwa hari Yahweh akan membawa kemenangan yang menentukan dalam
konflik ini. Kemenangan-kemenangan yang lebih terbatas baru-baru ini, di mana Israel
telah merebut kembali wilayah di Gilead, memberikan dasar untuk harapan bahwa hari
ini akan segera datang (6.13). Itu akan menjadi hari kemenangan bagi bangsa Allah
sendiri melawan bangsa-bangsa lain di mana dia menjalankan kekuasaan.11

9
William Dyrness, Tema –tema dalam teologi Perjanjian Lama, Malang : Gandum mas, 2004, 125
10
William Dyrness, Tema –tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Malang : Gandum mas, 2004, 135
Dalam pikiran bangsa Israel, hubungan mereka dengan Allah baik-baik saja,
karena mereka merasa sudah beribadah dengan baik dan benar. Jadi sebagai umat pilihan
mereka merasa “aman” sebab mereka merasa sudah menjalankan tugas/kewajiban
mereka. Konsep inilah yang perlu diubah oleh bangsa Israel karena pemilihan Allah
bukan sekedar mengambil suatu umat saja melainkan ada begitu banyak rahmat, janji dan
pengharapan yang diberikan sehingga perlu adanya berbagai cara pula merespon sesuai
kehendak Allah.
Tujuannya pada titik ini bukanlah untuk mencoba memilah dewa mana yang
mungkin dia singgung dalam bagian-bagian ini. Hal ini untuk menggarisbawahi bahwa
dari sudut pandang nabi, pandangan teologis dan praktik keagamaan terdistorsi dan
pandangan religius ini. Bagaimanapun kita memahaminya, hal ini membuat bangsa yang
tidak dapat diterima ini menjadi mungkin dan mengkomunikasikan bahwa itu normal dan
disucikan oleh Tuhan.

3. Ayat 21-23: Bukan Kesalahan Ritual Ibadah.


Apabila kita melihat ibadah bangsa Israel, tidak ada kekeliruan ritual dalam
ibadah komunal bangsa Israel karena hal tersebut yang diinginkan oleh Allah notabene
dari segi prakteknya saja seperti Im 1-4, Kel 12:14, 17,13:6, Mzm 92, 95, 96, 98, 100,
dsb). Khususnya kita lihat di ayat 22 “korban keselamatanmu berupa ternak yang
tambun”. ternak yang tambun ini berarti mereka bukan sekedar asal memberikan ternak.
Bangsa Israel mengetahui apa yang Allah sukai yakni binatang ternak yang tambun.
Kalau melihat konsep dulu juga, lemak itu adalah bagian yang terbaik (Im 7:31-34).
Memang benar Allah melihat ritual dalam ibadah bangsa Israel secara semua
dilakukan dengan syarat-syarat yang terbaik. Namun yang salah adalah ibadah yang tidak
membawa pengaruh terhadap seluruh kehidupan secara utuh. Allah tidak mengabaikan
kesalahan ibadah bangsa Israel karena hal ini memang penting karena hal ini merupakan
perlawanan dengan hati Allah yang sifat kasih.
Ibadah yang dipisahkan dari moral merupakan praktek yang tidak rasional karena
bagaimana mungkin seseorang memuji sifat-sifat Allah khususnya keadilan dan
kebenaran yang dibahas disini tetapi dalam kehidupan sehari-hari membenci/berlawanan
dengan sifat-sifat itu? Bagaimana mungkin seseorang mematuhi perintah Allah untuk
melakukan ibadah komunal tetapi melanggar perintah-perintah-Nya yang lain?
Mempersembahkan korban penghapus dosa tetapi tanpa mengakui dosa-dosanya? Dan
bagaimana umat-Nya dengan antusias mengingat semua karya Allah yang baik tetapi
melupakan kehendak-Nya bagi diri mereka? Jadi secara rasional dapat dipikirkan
ketidaksambungan poin-poin ini.

4. Ayat 24: Menegakkan dan Ditegakkan


Pembahasan di atas telah menjelaskan bahwa Allah bukan membenci praktek
ibadah bangsa Israel melainkan kesia-siaan dari ibadah tersebut karena tidak mempunyai
sebuah buah/nilai khususnya keadilan dan kebenaran. Keadilan dan kebenaran apa yang
dimaksudkan dari ayat tersebut perlu ditinjau lebih dari teks Ibraninya.
Kata “weyigal” berasal dari kata “golel” yang didefinisikan sebagai gulungan dan
secara metafora berguling (mengarah) kepada Tuhan.12 Kemudian, kata ּ”mayim”
didefinisikan sebagai air yang mengarah kepada hujan deras di laut yang memiliki
kekuatan yang berbahaya.13 Selanjutnya, kata “nahal” didefinisikan sebagai wadi atau

11
Barton, John. Prophecy and The Prophets in Ancient Israel. In The Theology of Amos, New York; London:
T&T Clark, 2010, 188–201
12
William Gesensius. Hebrew and English Lexicon of The Old Testament. Oxford: Clarendon Press, 1951
13
William Gesensius. Hebrew and English Lexicon of The Old Testament. Oxford: Clarendon Press, 1951
sungai kecil yang airnya selalu penuh air (mata air).14 Yang terakhir adalah kata “etan”
yang didefinisikan sebagai air yang selalu mengalir secara permanen dari wadi, secara
metafora diartikan air laut yang mengalir secara konstan.15

a) Dari Segi Etimologi


Melihat definisi dari bahasa Ibrani di atas, penulis memiliki terjemahan sendiri sebagai
berikut: “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak dan kebenaran seperti
sungai kecil yang selalu mengalir”. Perihal terjemahan penulis memang tidak jauh berbeda
dengan terjemahan Alkitab LBI karena secara kosakata sudah benar namun penulis mengganti
kata “air” dengan “ombak” karena melihat definisi kata ּ”mayim” atau kata “air” dimana
dijelaskan sebagai hujan di lautan yang memiliki kekuatan yang berbahaya, apalagi dengan
kata kerja “bergulung-gulung” yang lebih tepat dengan gambaran ombak dibandingkan air
yang biasa saja. Sedangkan kata “sungai” yang diganti dengan “sungai kecil”.

b) Dari Segi Pemaknaan


Keadilan yang dimaksudkan oleh Allah perlu dibayangkan sebagai ombak di lautan
yang akan melibas semua yang menghalanginya karena kekuatannya yang besar bukan hanya
air yang bergulung kecil seperti di pinggir pantai akibat pasang naik-surut atau gulungan
ombak yang dapat “ditaklukkan” oleh para peselancar. Sedangkan kebenaran meskipun
digambarkan sebagai sungai kecil namun memiliki sumber (mata air) yang selalu terus-
menerus yang merupakan kekonsistenan untuk mengeluarkan air dimana tidak pernah
berhenti atau tiada habisnya. Makna dari definisi-definisi ini akan membantu pembaca
melihat pernyataan Amos yang lebih mendalam dibandingkan hanya membaca teks secara
literal.
Ayat ini dapat menjadi himbauan untuk bangsa Israel agar mereka disadarkan
bahwa ibadah mereka itu belum sempurna karena ibadah tidak dilihat dari hal-hal praktik
apabila tidak ada aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Amos yang dipanggil Allah
untuk menjadi nabi-Nya menghimbau umat ini untuk membenarkan ibadah yang
dikehendaki Allah. Pujian yang berkenan bagi Allah bukanlah perkumpulan meriah
penuh persembahan banyak yang diiringi notasi dan irama yang meriah saja melainkan
hati yang sungguh-sungguh memuji Allah yang diterapkan juga dalam kehidupan sehari-
hari.
Meskipun bangsa Israel tetap beribadah kepada Allah tapi Allah menolak ibadah
mereka karena adanya ketidakpedulian mereka terhadap orang-orang yang tidak
seberuntung mereka. Tidak hanya itu, mereka memuji Allah tanpa kasih yang tulus,
sebab terlihat dalam praktik hidup mereka yang jauh dari kebenaran dan keadilan yakni
menindas hak-hak orang miskin. Oleh karena itu ibadah mereka meskipun terlihat
“sempurna” sebenarnya adalah ibadah yang palsu. Allah menginginkan keadilan dan
kebenaran bagi semua orang, seharusnya mereka yang taat dalam beribadah
menghasilkan perilaku baik di masyarakat.16
Ayat ini juga dapat bermakna kecaman bagi umat Israel. Umat Israel adalah umat
yang dipilih Allah sebagai perpanjangan tangan Allah untuk melanjutkan misi Allah
notabene khususnya dalam konteks ini kebenaran dan keadilan keseluruhan alam
semesta. Tetapi mereka gagal, dalam kegagalan ini terlihat dari ketimpangan sosial yang
masih terjadi. Namun tidak ada seorang pun yang dapat membendung keadilan dan
kebenaran Allah yang terus-menerus akan berjalan. Dari sikap dan perilaku bangsa Israel
14
William Gesensius. Hebrew and English Lexicon of The Old Testament. Oxford: Clarendon Press, 1951
15
William Gesensius. Hebrew and English Lexicon of The Old Testament. Oxford: Clarendon Press, 1951
16
Botterweck, G. Johannes, Theological Dictionary of the Old Testament Volume IV. Grand Rapids: Eerdmans,
1980
pada zaman itu mereka sudah menghalangi keadilan dan kebenaran Allah yang
berlaku/terjadi atas semua orang.
Mereka menjadi penghalang bagi keadilan dan kebenaran Allah. Bila bangsa
Israel telah gagal melaksanakan tugas mereka tetapi Allah tidak pernah gagal keadilan
dan kebenaran akan bergulung-gulung dan mengalir terus-menerus, bekerja mencapai
tujuannya, menghancurkan penghalang yang mencoba menghalangi keadilan dan
kebenaran. Jika mereka terus dalam ibadah yang palsu yang tidak ada keadilan dan
kebenaran di masyarakat terhadap semua orang. maka bisa dikatakan bangsa Israel yang
akan mendapat hukuman/keadilan dan kebenaran akan ditegakkan kepada mereka karena
Allah selalu berlaku adil.17

B. Pesan/Makna Teologis
Di jaman sekarang ini, ibadah yang tidak sempurna masih banyak kita temui dalam
kehidupan kita sehari-hari. Bukan hanya dari segi praktisnya saja seperti tidak memberi
persembahan/kolekte, audio/visual yang bermasalah, khotbah tidak dipersiapkan dengan baik.
Namun perubahan dalam diri seseorang ketika selesai beribadah yang tidak membuahkan
hasil yang konstan. Banyak umat yang sekedar datang ke gereja mendengarkan khotbah dan
mengambil sisi motivasi, kegembiraan, kebahagiaan, semangat namun tidak tersentuh untuk
merasa berdosa terhadap dosa-dosa yang telah mereka perbuat khususnya dosa-dosa yang
telah mereka akui dalam sakramen tobat.
Secara lugas, ibadah menyemangati umat untuk menjalani hidup namun umat
melakukan dosa terus-menerus. Apakah ibadah menyemangati umat untuk terus berbuat dosa?
Maka dari itu, jangan sampai umat merusak definisi maupun esensi dari ibadah itu sendiri
dengan tingkah laku hidup mereka sehari-hari. Kita perlu bertanya kepada diri kita apakah ada
yang salah dengan ibadahnya/diri kita.
Ibadah itu bukan sebuah pertunjukan keindahan liturgi yang terpisah dari motivasi
hati. Liturgi seharusnya melayani relasi karena ibadah yang sembarangan bukan hanya tidak
berguna tetapi mendatangkan murka Allah atas kita. Kita memiliki elemen-elemen liturgi
yang indah dari bacaan sabda, Injil, pengakuan dosa, konsekrasi dll. Kita perlu menjaga
keindahan liturgi kita karena seharusnya melihat keindahan liturgi di dalam ibadah
mencerminkan keindahan dan kerapian hidup kita di luar ibadah. Namun liturgi berkaitan
dengan motivasi hidup kita. Bukannya berhenti di gereja saja.
Sebenarnya Amos 5:21-24 merupakan sebuah masalah yang telah dibenarkan dan
dijawab oleh Allah namun sampai zaman sekarang ini pun masih banyak orang yang tidak
dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun mereka telah sadar bahwa
ibadah mereka belum sempurna. Hal tersebut banyak kerap terjadi karena ibadah hanya
dijadikan sebagai sebuah kegiatan formalitas bahkan ada yang menjadikannya sebagai sebuah
pencitraan diri agar dianggap baik/“suci”.
Allah sendiri telah membenarkan ibadah bangsa Israel agar kedepannya orang dapat
mengerti arti dari ibadah yang sempurna adalah bukan sekedar praktik ucapan syukur antara
hubungan Allah dan diri seseorang lewat doa, persembahan dan puji-pujian saja melainkan
praktik hubungan Allah dan diri yang tersalurkan kepada sesama karena sebagai umat yang
dipilih Allah, kita merupakan perpanjangan tangan Allah yakni rencana Allah.
Konsep Alkitab itu tidak ada pemisahan terhadap altar dan kehidupan dengan kata lain
tidak ada pemisahan antara ibadah komunal dan kehidupan moral. Ibadah yang benar
melampaui batasan bangunan dan aturan ritual. Maka dari itu ibadah bukan cuma hari minggu
yang sekedar kurang lebih 2 jam, apalagi di masa pandemi ini umat sudah dibatasi dengan
misa online, tidak berkumpul bersama dalam gereja. Meskipun ibadah dalam gereja secara
17
Botterweck, G. Johannes, Theological Dictionary of the Old Testament. Volume XI. Grand Rapids: Eerdmans,
2001
bersama-sama tapi ibadah bukan hanya itu tapi ibadah itu keseluruhan hidup kita. Jadi jika
ibadah kita bagus secara komunal tapi kehidupan kita benar, Allah tidak berkenan seperti
halnya bangsa Israel yang bisa kita lihat peribadahannya “sempurna”.
Kita diberi tanggung jawab untuk menyalurkan/berbagi kasih dan tidak hanya
berjuang secara pribadi melainkan berjuang bersama-sama sebagai ciptaannya yang percaya
kepada-Nya. Oleh karena itu, sebuah ibadah yang sempurna dapat diwujudkan dari hal yang
terkecil yakni sedekah. Sedekah sekecil apapun merupakan persembahan yang dipandang
Allah apabila diberikan secara ikhlas sebagai wujud terimakasih/syukur kepada Allah atas
berkat/harta yang melimpah atas diri seseorang yang dapat dibagikan kepada orang lain untuk
merasakan berkat Allah. Apabila kita hanya bersyukur secara pribadi atas berkat/harta yang
melimpah atas diri kita namun kita mengesampingkan orang-orang yang miskin dan
kekurangan, kita tidak lain hanyalah sebuah pribadi yang rakus akan
mengumpulkan/menumpuk harta karena tidak serupa dengan Allah yang berbagi kelimpahan.

KESIMPULAN
Ketika menelusuri sejarah Alkitab, akan ada berbagai macam kejadian yang dapat
membuat kita menyusun dan menata ulang dari kemungkinan sebab-akibatnya suatu kejadian,
khususnya dalam pembahasan kali yang dimulai dengan sejarah Raja Yerobeam hingga
perutusan Amos. Motivasi dan pembangunan raja Yerobeam bisa dikatakan sebuah
permulaan “wadah yang buruk” bagi bangsa Israel, namun “isi” itu sendiri yakni bangsa Israel
tetap menjadi porsi terbesar dan masalah utama dari kebencian Allah. Tujuan Allah bukan hal
yang berhubungan dengan Raja Yerobeam dan hal praktis, namun kesia-siaan bangsa Israel
dalam beribadah yang membuat Allah murka kepada mereka.
Kehadiran Nabi Amos untuk menyampaikan kehendak Allah dapat menjadi sebuah
himbauan bagi bangsa Israel untuk membenahi ibadah yang mereka dianggap “sempurna”
padahal nyatanya tidak, khususnya yang ia tekankan disini adalah perihal kebenaran dan
keadilan terhadap sesama. Namun himbauan ini dapat menjadi kecaman apabila bangsa Israel
tidak mendengarkan/menjalankan kehendak Allah maka kebenaran dan keadilan tersebut
bukan lagi menjadi tanggung jawab mereka untuk menerapkannya melainkan kebenaran dan
keadilan tersebut dapat berbalik menimpa/diterapkan kepada mereka.
Pesan Allah melalui Amos tentu saja tidak terlepas bagi kita di zaman sekarang ini
karena di zaman ini masih banyak orang yang berlagak “suci” dengan ibadahnya namun tidak
memperhatikan sekitar. Oleh karena itu penulis mengambil kesimpulan bahwa pesan yang
disampaikan oleh nabi Amos dapat menjadi sebuah himbauan apabila kita sadar bahwa Allah
murka dengan kesia-siaan kita dalam beribadah.
Akan tetapi apabila kita hanya menganggap hal tersebut sebagai himbauan belaka saja
dengan ekspektasi kita akan diingatkan terus-menerus, hal tersebut tentunya bukan lagi
menjadi sebuah himbauan namun dapat menjadi sebuah kecaman terakhir yang dapat diiringi
dengan hukuman. Sebab menghalangi keadilan dan kebenaran terhadap sesama sama halnya
menghalangi kehendak Allah dimana Allah adalah Sang Keadilan dan Kebenaran itu sendiri.

DAFTAR RUJUKAN
Alkitab. Jakarta: Lembaga Bibilika Indonesia. 2007.
Barton, John. The Theology of the Book of Amos. University of Oxford: Cambridge University
Press, 2012.
Berquist, Jon L. Dangerous Waters of Justice and Righteousness: Amos. Boston: Brill, 1993.
Biblical Theology Bulletin: Journal of Bible and Culture 23(2):54–63. doi:
10.1177/014610799302300203.
Botterweck, G. Johannes. Theological Dictionary of the Old Testament Volume IV. Grand
Rapids: Eerdmans, 1980.
Botterweck, G. Johannes. Theological Dictionary of the Old Testament. Volume XI. Grand
Rapids: Eerdmans, 2001.
Carroll, M. Daniel. Visions Of Horror, Visions Of Hope: An Orientation For Urban
Ministry From The Boor Of Amos. Canada: Atlas, 2013.
Conroy, C. 1-2 Samuel, 1-2 King’s. Old Testament Message Vol.6. Wilmington, Delaware.
1983
Dyrness, William. Tema –tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang : Gandum
mas, 2004
Gesensius, William. Edited by Francis Brown. Translated by Edward Robinson, Hebrew and
English Lexicon of The Ol d Testament. Oxford: Clarendon Press, 1951
Glenny, William Edward. Amos: A Commentary Based on Amos in Codex Vaticanus. Boston:
Brill, 2013.
Gray, J. I + II Kings, Old Testament Library. London. 1970
H. H. Rowley. Ibadat Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.
James Luther Mays. Amos: A Commentary (Old Testament Library). Philadelphia:
Westminster John Knox, 1969.
Karel Van Der Toorn et.all. Dictionary of Deities and Demons in the Bible. Grand Rapids,
Michigan: Wm B. Eerdmans. 1999.
McFall, Leslie. Translation Guide to the Chronological Data in Kings and Chronicles.
Bibliotheca Sacra. 1991.
Rick W Byargeon, Amos: The Man and His Times. Southwestern Journal of Theology 38,
1995.
Santoso, Agus. Satu Iota Tak Akan Ditiadakan: Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama.
Vriezen, Theodorus C. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2015

You might also like