Professional Documents
Culture Documents
Tuton 1 Tindak Pidana Korupsi
Tuton 1 Tindak Pidana Korupsi
Masyarakat mau membayar uang semir (pelicin) yang jumlahnya tidak besar dengan
senang hati, misalnya untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi, KTP dan lain-lain. Hal
ini tidak berarti bahwa mereka menyetujui tindakannya, sebab bagi mereka uang semir
dipandang sebagai cara yang paling praktis untuk memperoleh apa yang mereka inginkan
dan butuhkan.
a. Perilaku lain apa saja yang potensi mendorong terjadinya korupsi?
Jawab:
Korupsi adalah semua perbuatan atau tindakan yang diancam dengan sanksi
sebagaimana diatur di dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindakan yang dimaksud adalah:
1. Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan
keuangan/perekonomian negara (Pasal 2)
2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan / kedudukan yang dapat merugikan
keuangan / kedudukan yang dapat merugikan keuangan / perekonomian Negara
( Pasal 3 )
3. Penyuapan (Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 11)
4. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10)
5. Pemerasan dalam jabatan (Pasal 12)
6. Berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7 )
7. Gratifikasi (Pasal 12B dan Pasal 12C) Dalam ukuran umum, korupsi adalah semua
tindakan tidak jujur dengan memanfaatkan jabatan atau kuasa yang dimiliki untuk
mendapatkan keuntungan bagi pribadi atau orang lain.
Dari penegertian di atas contoh Perilaku lain yang potensi mendorong terjadinya
korupsi adalah memberikan hadiah untuk seorang guru agar anak kita selalu
mendapatkan perhatian lebih. Memberikan uang tambahan kepada seorang petugas
administrasi, untuk mempercepat pengurusannya. Membayar uang damai kepada Polisi
saat terkena tilang. Memberikan hadiah pada atasan, menerima hadiah dari bawahan.
Dengan demikian, bahwa pandangan sifat melawan hukum formil mengatakan bahwa
setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari
pelanggaran tersebut. Berbeda dengan pandangan sifat melawan hukum materil yang
menyatakan bahwa “melawan hukum” merupakan unsur mutlak dalam perbuatan
pidanaserta melekat pada delik-delik yang dirumuskan secara materil sehingga
membawa konsekuensi harus dibuktikan oleh penuntut umum.
Pada dasarnya menurut ajaran sifat melawan hukum formil, sesuatu perbuatan dinyatakan
bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan Undang -
Undang itu dapat hapus sifat melawan hukumnya dikarenakan adanya alasan - alasan yang
dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan disebut sebagai alasan
pembenar. Penerapan pada ajaran sifat melawan hukum formil dapat kami ilustrasikan pada
contoh berikut :
1. "Regu tembak melaksanakan tugas eksekusi terhadap terpidana mati. Perbuatan anggota
regu tembak tersebut jelas memenuhi ketentuan - ketentuan dalam Pasal 340 KUHP. Namun
karena perbuatannya itu tidak dapat dikatakan bersifat melawan hukum karena mereka sedang
menjalankan perintah jabatan yang sah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 51 Ayat 1
KUHP."
2. "Polisi menahan seseorang yang diduga telah melaksanakan suatu perbuatan pidana.
Perbuatan polisi ini sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Pasal 333 KUHP. Tetapi karena
perbuatan itu tidak dapat dikatakan bersifat melawan hukum karena polisi menjalankan
kewajibannya berdasarkan Undang - Undang hukum acara pidana. Dan oleh sebab itu sifat
melawan hukumnya hapus karena ketentuan Pasal 50 KUHP."
Dari uraian contoh diatas sekali lagi dapat kita simpulkan bahwa menurut sifat melawan hukum
formil, suatu perbuatan tersebut yang telah memenuhi rumusan undang - undang tidak secara
serta merta merupakan perbuatan pidana, dikarenakan adanya hal - hal yang telah ditentutkan
oleh undang - undang sebagai alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan
perbuatan hukum tersebut.
Berbeda halnya dengan sifat melawan Hukum Materiil yang menyatakan bahwa suatu
perbuatan bersifat melawan hukum atau tidak hanya karena undang - undang telah
menentukan, Namun karena adanya ketentuan - ketentuan diluar undang - undang ( Hukum
tidak tertulis ). Sebagai contoh klasik saja sobat " Keputusan Mahkamah Agung Belanda )
tanggal 20 Februari 1933, penggunaan ajaran sifat melawan hukum materiil ini yaitu :
" Seorang dokter hewan dikota Huizen dengan sengaja memasukan sapi - sapi yang sehat ke
dalam kandang yang berisi sapi - sapi yang sudah terjangkit penyakit mulut dam kuku
,sehingga membahayakan sapi - sapi yang sehat tersebut. Perbuatan dokter hewan itu tegas -
tegas melanggar pasal 28 Undang - Undang ternak, Yaiti " dengan sengaja menempatkan
ternak dalam keadaan membahayakan. " ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan bahwa
apa yang dilakukannya itu untuk kepentingan peternakan. Putusan Mahkamah Agung Belanda :
Pasal 82 Undang - Undang Ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu, dengan
pertimbangan bahwa :
Tidak dapat dikatakan bahwa seorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu
mesti di pidana, apabila undang - undang sendiri tidak dengan tegas - tegas menyebut adanya
alasan - alasan penghapus pidana. Karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan
tidak ada,sehingga oleh karena pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan
yang secara tegas memenuhi unsur delik."
Dari ajaran tersebut dapat kita simpulkan bahwa , sekalipun suatu perbuatan telah memenuhi
rumusan delik, akan tetapi tidam secara serta merta perbuatan itu dapat dinyatakan sebagai
perbuatan yang dapat dipidana karena adanya alasan pembenar . Alasan pembenar tersebut
dapat berasal dari luar undang - undang, dalam kasus ini adalah untuk kepentingan kesehatan
peternakan itu sendiri. Berikut ini beberapa contoh kasus lain yang dapat kami sajikan terkait
dengan ajaran sifat melawan Hukum Materiil :