Kepatutan Tindak Tutur Dalam Berbahasa Indonesia

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

MAKALAH

KEPATUTAN TINDAK TUTUR DALAM BERBAHASA INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan Kajian Tindak Tutur


yang dibina oleh Dr. Ngusman Abdul Manaf, M.Hum.

KELOMPOK 1

ADHARA JASID 22174001


AS-SYFA RUMAISYA FADIL 22174004
SILVY FADRAINI 22174012
SITI HARDIANTI 22174013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan
kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Salawat dan
salam penulis sampaikan pada Nabi Muhammad Saw yang telah memberi pencerahan kepada
umat manusia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ngusman Abdul Manaf,
M.Hum. pengampu mata kuliah Kajian Tindak Tutur, yang telah memberikan banyak
pengetahuan, pengalaman dan bimbingan.
Makalah kelompok ini ditulis sebagai bahan presentasi dan salah satu tugas dalam mata
kuliah Kajian Tindak Tutur di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Program
Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Perkuliahan Kajian Tindak Tutur, diantaranya
mengkaji tentang Kepatutan Tindak Tutur Dalam Berbahasa Indonesia. Makalah ini merupakan
bahan pengantar diskusi di kelas, mungkin banyak hal yang perlu didiskusikan dalam makalah
ini. Untuk itu, Penulis mengundang kritik dan saran dari teman-teman dan kepada Bapak Dr.
Ngusman Abdul Manaf, M.Hum., pengampu mata kuliah Kajian Tindak Tutur sangat penulis
harapkan bimbingannya untuk “menjernihkan” pokok pembicaraan.

Padang, Oktober 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................................... i


Daftar Isi .................................................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
C. Tujuan...................................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan
A. Hakikat Kepatutan Tindak Tutur dalam Berbahasa Indonesia ...................................
3
B. Implementasi Prinsip Kerja Sama ............................................................................. 4
C. Implementasi Prinsip Kesantunan Untuk Mencapai Kepatutan Berbahasa ................
7
BAB III Penutup ...................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam masyarakat erat akan bahasa yang merupakan sebuah alat interaksi. Dengan
adanya bahasa akan memudahkan kita dalam berkomunikasi, oleh karena itu
masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain dapat berlangsungnya interaksi antar
seseorang dalam lingkup masyarakat maupun didunia pendidikan seperti sekolah dan kelas
juga pada lingkungan sekitar. Bahasa juga adalah sarana dalam berkomunikasi.
fungsinya dimana sebuah bahasa mempunyai peran penting sebab menjadi tempat untuk
menyampaikan pesan dari satu orang dengan yang lainnya. Dalam artian lain bahasa
merupakan sistem atau lambang bunyi yang digunakan pada suatu kelompok ataupun
anggota untuk masyarakat yang akan, saling berkomunikasi dan mengidentifikasi.
Menurut Didi Yulistio, bahasa itu dapat diartikan sebagai alat komunikasi sebuah suara
dan lambang bunyi yang akan di hasilkan melalui salah satu indra pada manusia yaitu
alat ucap yang sangat bermakna, artinya didalam bahasa itu terdapat unsur yang saling
berkaitan, yaitu sebuah bahasa dan makna yang sangat penting. Tindak tutur adalah
tutuan dari seseorang yang bersifat psikologis dan dilihat dari makna tindakan dalam
tuturannya itu. Tindak tutur akan membentuk suatu pristiwa tutur lalu menjadi dua gejala
yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Kesantunan juga merupakan hal yang memperhatikan sebuah derajat martabat
orang lain dalam menggunakan bahasa, pada saat menggunakan bahasa lisan, maupun
menggunakan tulisan. Kaidah tersebut dilakukan guna menjaga agar sebuah hubungan
penutur dan mitra tutur tidak terjadi kesalahan dalam berkomuikasi dan berinteraksi antara
keduanya. Komunikasi memiliki aturan agar Aturan tersebut terdapat pada prinsip
kesantunan berbahasa memiliki 6 (enam) prinsip kesantunan, yaitu: maksim kearifan,
maksim dermawan, maksim pujian, maksim kerendah hati, maksim kesepakatan, dan
maksim kesimpatipenutur dan lawan dapat menjalin komunikasi dengan baik pada keduanya.
Di dalam berkomunikasi adalah beberapa maksim aturan, maksim kearifan dimana
pada maksim ini bahwa sopan santun sering disebut Sebagai tindak yang beradab saja,
namun makna yang lebih penting yang didapatkan dari sopan santun merupakan mata
rantai yang
1
hilang antara masalah bagaimana mengaitkan daya dengan makna, maksim dermawan berarti
buatlah keuntungan diri sendiri sebesar mungkin. Aspek-aspek bilateral ilokusi-ilokus.
impositif dan komisitif, sedangkan maksim pujian dapat dikatakan seperti ini pujilah
orang lain sebanyak mungkin” maksim pujian ini biasanya juga disebut maksim rayuan atau
biasa disebut dengan pujian yang tidak tulus, maksim rendah hati merupakan tutur untuk
bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap diri sendiri, maksim
kesepakatan menekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau
kemufakatan di dalam kegiatan bertutur, dan yang terakhir maksim kesimpati merupakan
tutur memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lain. Seseorang
harus bisa melihat bagaimana jika orang tersebut menggunakan kesantunan berbahasa dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Hal tersebut ditunjukan agar
seseorang lebih baik dalam menggunakan bahasa yang lebih santun dan tidak
melanggar kesalahan.

B. Batasan Masalah
1. Apa itu hakikat kepatutan tindak tutur dalam berbahasa
Indonesia?
2. Bagaimana implementasi prinsip kerja
sama?
3. Bagaimana implementasi prinsip kesantunan untuk mencapai kepatutan
berbahasa?

C. Tujuan
1. Mengetahui hakikat kepatutan tindak tutur dalam berbahasa
Indonesia
2. Mengetahui implementasi prinsip kerja
sama
3. Mengetahui implementasi prinsip kesantunan untuk mencapai kepatutan
berbahasa?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Kepatutan Dalam Tindak Tutur


Kepatutan merupakan suatu hal yang fundamental dalam pragmatik karena kepatutan
adalah fenomena universal dalam pemakaian bahasa pada sebuah konteks sosial (Brown dan
Levinson). Secara umum kepatutan sosial dianggap sebagai sebuah tindakan dimana
seseorang menunjukkan tingkah laku yang teratur dan menghargai orang lain sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Konsep kepatutan banyak dibicarakan oleh para pakar
dalam bidang sosiolinguistik, salah satunya menurut pendapat Lakoff (1975:53) yang
menyatakan bahwa bersikap patut dan sopan dalam bertutur adalah mengatakan suatu
hal yang berhubungan dengan masyarakat dengan benar.
Seseorang penuturakan dianggap tidak patut dalam berkomunikasi jika dia sebagai
penutur melanggar aturan yang berlaku. Konsep kepatutan berkaitan erat dengan unsure
benar dan salah sikap seseorang yang diukur dengan alat yang bernama aturan. Ada tiga
parameter dalam pragmatik menurut Brown dan Levinson (dalam Wijana, 1996:65)
yang dapat digunakan sebagai alat ukur kepatutan tindak tutur seseorang yaitu, tingkat
jarak sosial, tingkat status sosial, dan tingkat peringkat tindak tutur. Parameter tingkat jarak
sosial dilihat dari keakraban antara penutur dan lawan tutur dengan mempertimbangkan
perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar belakang kultural (Wijana, 1996:65).
Selanjutnya, tingkat sosial yang didasarkan atas kedudukan yang asimetrik antara
penutur dan lawan tutur dalam konteks pertuturan yang terjadi (Wijana, 1996:65).
Status sosial antar penutur harus diperhatikan agar komunikasi dalam tindak tutur berjalan
aktif dan lancer tanpa ada permasalahan komunikasi antara keduanya. Tingkat
selanjutnya adalah tingkat peringkat tindak tutur yang didasarkan atas kedudukan
relative tindak tutur yang satudengan tindak tutur yang lain dalam situasi pertuturan atau
yang dapat diketahui dari relavitas tingkat keburu-buruan dalam situasi pertuturan. Misalnya,
pada situasi normal meminjam mobil kepada seseorang mungkin dipandang tidak sopan.
Akan tetapi, jika berada dalam situasi yang mendesak umpamanya untuk mengantar orang
sakit keras, tindakan itu sangat wajar untuk dilakukan.

3
B. Implementasi Prinsip Kerjasama untuk Mencapai Kepatutan Berbahasa
Sebuah tuturan, akan terlibat interaksi antara penutur dan petutur/mitra tutur. Faktor
utama dalam keberhasilan sebuah interaksi tutur adalah faktor kerjasama. Dari faktor
kerjasama inilah akan tercipta sebuah interaksi tutur yang koheren, karena antara penutur
dan mitra tutur akan terjalin sebuah kesinambungan tuturan/pemikiran. Kerjasama
merupakan bentuk yang sederhana dimana orang-orang yang sedang terlibat dalam tindak
tutur umumnya tidak berusaha untuk membingungkan, mempermainkan, atau
menyembunyikan informasi antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam banyak peristiwa
tutur, kerjasama merupakan titik awal untuk menjelaskan apa yang dituturkan.
Contohnya dalam sebuah percakapan antara seorang montir dan seorang anak laki-
laki. Anak laki-laki : “Apakah ban itu?”
Montir : “Ban ya
ban”
Dari jawaban montir tersebut, tampak tidak memiliki nilai komunikatif, sebab tidak
memiliki nilai komunikatif yang jelas. Hal ini disebut tautology (pengulangan kata
tanpa menambah kejelasan). Jika ungkapan-ungkapan itu dipakai dalam percakapan, dengan
jelas penutur bermaksud meminta informasi yang lebih banyak daripada yang dikatakan.
Jika seorang pendengar mendengar 'Ban ya ban', pertama-tama dia harus berasumsi bahwa
penutur sedang melaksanakan kerjasama dan bermaksud menyampaikan informasi.
Informasi tersebut tentunya memiliki makna yang lebih banyak daripada sekedar kata 'ban
ya ban'. Makna ini merupakan makna tambahan atau disebut juga implikatur. Dengan
mengatakan
'ban ya ban' penutur berharap bahwa mitra tutur dapat menentukan implikatur yang
dimaksud berdasarkan tonteks, berdasarkan apa yang sudah diketahui.
Setelah penutur diberi kesempatan menilai Ban, penutur menganggapi tanpa penilaian,
jadi dia tidak memiliki implikatur untuk dikatakan pada mitra tuturnya. Padahal jika
disimpulkan akan muncul implikatur tambahan, misalnya bahwa ban adalah salah satu
komponen kendaran bermotor, berbentuk bulat, dan lain-lain.Implikatur adalah contoh
utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan.
Dalam berinteraksi sosial antar individu kehidupan sehari-hari,dengan menggunaan
bahasa Indonesia dalam bentuk verbal, selalu terdapat prinsip kerja sama. Grice dalam

4
Wijana (1996: 46) mengemukakan bahwa di dalam prinsip kerja sama itu, setiap penutur
mematuhi

5
empat maksim percakapan, yakni maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi,
dan maksim pelaksanaan.
1. Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih (1) dibandingkan
dengan (2).
2. Maksim Kualitas
Maksim ini mewajibkan setiap peserta pecakapan mengatakan hal yang sebenarnya.
Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti bukti yang
memadai. Misalnya seorang harus mengatakan bahwa ibu kota Indonesia Jakarta
bukan kota-kota yang lain, kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila
terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alas an-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.
3. Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi
yang relevan dengan masalah pembicaraan.
4. Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut.
Kesantunan dalam bertutur dimaknai sebagai suatu kondisi menciptakan komunikasi
yang efektif antara penutur dan mitra tutur.
Contoh ujaran :
Pada suatu siang seorang salesman alat penghisap debu menuju sebuah rumah di
sebuah perumahan yang baru di huni beberapa keluarga. Diketuknya pintu depan
rumah baru tersebut. Sebelum sempat nyonya rumah itu berkata sepatah kata pun ia
menghamburkan segala macam kotoran ke karpet ruang tamu untuk demo alat yang
ditawarkan.
Sales : "
nyonya"
Sales : "saya yakin akan kemampuan mesin ini. Karpet ini akan bersih kembali dalam
sekejap. Jika nanti masih ada kotoran yang tertinggal saya bersedia
memakannya".

6
Nyonya : "kalau begitu mulailah makan sampah itu, rumah kami belum punya
listrik" kata nyonya rumah itu. (kapanlagi.com).

7
ANALISIS
Dari cuplikan humor tersebut jelas sekali terlihat bagaimana sang penutur (sales)
menyampaikan maksudnya yang menginginkan agar barang yang dijualnya dapat di beli
oleh pembeli yaitu mitra tuturnya (Nyonya). Dengan berbagai bujuk rayu sales tersebut
mencoba menawarkan alat penghisap debu tersebut. Pada penggalan berikut "jika nanti
masih ada kotoran yang tertinggal saya bersedia memakannya" kata sang sales berlagak.
Ini membuktikan bahwa ujaran tersebut masuk ke dalam kategori prinsip kerja sama yaitu
melanggar maksim kuantitas, karena seperti kita tahu, maksim kuantitas mengharuskan
penuturnya untuk memberikan informasi seinformatif mungkin, tidak melebihi apa yang
diinginkan mitra tuturnya. Berikut adalah contoh tuturan yang masuk kedalam pelanggaran
maksim kuantitas. "saya yakin akan kemampuan mesin ini. Karpet ini akan bersih kembali
dalam sekejap. Jika nanti masih ada kotoran yang tertinggal saya bersedia memakannya"
Karena dalam ujaran terlalu di lebih lebihkan (hyper) sehingga menimbulkan anggapan
bahwa alat penghisap debu itu benar-benar bagus sehingga tidak mungkin ada debu yang
masih tertinggal.
Selain melanggar maksim kuantitas, ternyata tuturan di atas juga mempunyai
kecenderungan untuk masuk ke dalam klasifikasi tuturan yang melanggar maksim kualitas.
Poin utama yang harus ditaati dalam maksim kualitas adalah, jangan menuturkan tuturan
yang kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan, dalam arti tuturan itu harus sesuai
dengan faktanya. Contoh tuturan yang melanggar maksim kualitas adalah sebagai ber
ikut. "Saya bersedia memakannya." Tuturan itu sangat jelas melenceng dari asas
kelaziman, karena sangat tidak mungkin ada manusia yang bersedia memakan sampah, atau
boleh dikatakan tuturan itu memuat "kebohongan besar".
Tetapi ada yang lebih unik lagi yang menggelitik penulis yaitu maksud
yang disampaikan oleh penutur ternyata tidak diterima sama oleh mitra tuturnya. Dapat
dilihat dalam penggalan berikut "kalau begitu, mulailah makan sampah itu. Rumah kami
belum punya listrik" kata nyonya. Terlihat jelas ternyata maksud penutur tidak diterima
dengan baik oleh mitra tuturnya yaitu pembeli. Sesuai konteks, yakni tuturan humor, adalah
hal yang wajar apabila banyak tuturan-tuturan yang tidak selaras, atau tidak sesuai dengan
asas kelaziman. Seperti kita lihat, berbagai pelanggaran (maksim kualitas dan kuantitas)
yang dituturkan oleh penutur ternyata dilakukan juga oleh mitra tutur, yaitu melanggar
maksim relevansi. Terlihat
8
dari contoh berikut:. "kalau begitu mulailah makan sampah itu, rumah kami belum
punya listrik" kata nyonya rumah itu.
Dari percakapan tersebut bisa kita lihat tidak adanya kerja sama yang dilakukan oleh
penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya. Sehingga menimbulkan berbagai pelanggaran,
khususnya relevansi. Bila dalam konteks konvensional, berbagai pelanggaran terhadap
maksim kerja sama itu akan berimplikasi kepada tidak harmonisnya sebuah transaksi
komunikasi. Namun demikian, bila pelanggaran itu berjalan dalam konteks humor
maka kelucuanlah yang akan didapatkan.
Jika sebuah bahsa kita teliti dengan baik maka dalam percakapan kita sehari-hari
mungkin akan banyak sekali deretn pelanggaran maksim-maksim dari prinsip kerjasama
tersebut. Ini juga dapat kita simpulkan bahwa ujaran manusia memang cukup unik
dan ternyata dalam sebuah ujaran bisa terdapat adanya berbagai interpretasi dari mitra tutur,
dan jika terjadi kesalahpahaman atau misinterpretasi ini bisa di sebabkan karena mitra tutur
tidak mempunyai pengetahuan yang smaa atau juga tidak mempunyai kesesuaian maksud
seperti yang petnutur inginkan.

C. Implementasi Prinsip Kesantunan Untuk Mencapai Kepatutan Berbahasa


Chaer (2010:vii) berpendapat ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi,
yaitu kesantunan berbahasa, kesopanan berbahasa, dan etika dalam berbahasa. Kesantunan
berbahasa mengacu pada unsur-unsur bahasa; sedangkan kesopanan berbahasa mengacu pada
pantas tidaknya suatu tuturan disampaikan pada lawan tutur. Menurut Tarigan (2009: 41),
kesantunan berbahasa adalah menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan-santun.
Kesantunan (politiness), sopan santun, atau etiket adalah tata cara, adat atau kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan
disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi
prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa ini
juga disebut “tata krama” berbahasa (Muslich, 2007).
Berbahasa bukan hanya sebatas dapat menyampaikan apa yang ada dalam
pikiran, namun juga harus memperhatikan wujud bahasa yang digunakan untuk
menyampaikan maksud tersebut. Ada prinsip sopan santun yang harus menjadi patokan
dalam wujud bahasa

9
yang digunakan agar mampu menyampaikan maksud dengan baik. Kesatunan
berbahasa memiliki parameter sebagai patokan perwujudannya.
Robin Lakoff (dalam Rahardi, 2009:27) menyatakan bahwa melihat kesantunan tuturan
juga dapat dicermati dari tiga hal, yakni sisi keformalannya, ketidaktegasannya, dan
peringkat kesejajaran atau kesekawanannya. Selain itu, kesantunan sebuah tuturan juga dapat
diukur dengan mempertimbangkan jauh dekatnya jarak sosial, jauh dekatnya peringkat status
sosial antara penutur dan mitra tutur, dan tinggi rendahnya peringkat tindak tutur
(Brown dan Levinson dalam Rahardi, 2009: 27). Penggunaan bahasa tidak terlepas dari
implementasi norma dan budaya. Seringkali dalam budaya tertentu terdapat norma-norma
yang secara tidak tertulis mengatur bagaimana sebaiknya seseorang berbicara.
Menurut Leech (1993:162) jenis dan derajat kesopanan ditentukan oleh situasi
dan tujuan tuturan. Kesopanan hanya menyangkut tuturan yang berjenis kompetitif
(memerintah, meminta atau menuntut) dan tuturan yang berjenis convivial (seperti
menawarkan, mengajak, mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih atau
mengucapkan selamat). Untuk tuturan yang bersifat kolaboratif (menyatakan,
mengumumkan, dan mengajarkan) kesopanan tidak begitu relevan, dan untuk tuturan yang
bersifat konfliktif (seperti mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi) kesopanan
tidak relevan sama sekali
Leech (1993: 126-127), menganggap kesantunan sebagai sesuatu yang tidak bisa
diremehkan, karena menurut Leech kesantunan menyangkut hubungan antara peserta
komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Hendaknya dalam bertutur memerhatikan prinsip
kesantunan agar tuturan yang diucapkan dapat diterima dengan baik dan dianggap
santun. Pada akhirnya, hubungan baik antara penutur dan lawan tutur akan berdampak
pada terciptanya komunikasi yang efektif.
Wijana (1996: 55) mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik
membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Kesopanan dalam berbahasa
menyangkut dua pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa tutur, yakni penutur dan lawan
tutur (dapat pula berupa orang ketiga). Rahardi (2005: 60-66) mengatakan, agar pesan dapat
disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu
mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa.

1
Sementara itu, Rahayu (2020) menyatakan, dalam komunikasi tiga pihak
dilibatkan, yaitu penutur (O1), lawan tutur (O2), dan pihak di luar garis dua arah
tut uran (O3).

1
Promonina berfungsi menggantikan nomina yang dimaksud dalam tuturan. Prononima O1,
antara lain saya, kami, pengganti O2, antara lain kamu, Anda, kalian, pengganti O3
adalah dia, ia, mereka. Pronomina tersebut tidak hanya berwujud kata ganti, tet api dapat
berwujud nama diri, nama panggilan, nama kedudukan, nama gelar, dan sebagainya.
Penggunaan hororifik juga sudah jarang dipergunakan dalam percakapan, misalnya
penyebutan untuk para pejabat tinggi atau orang yang lebih tua tidak memakai kata
penyebutan. Presenter dan masyarakat sudah terbiasa menyebut nama tanpa kata sapaan,
antara lain SBY, Anas Urbaningrum, Megawati, dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan
generasi muda tidak dapat menerapkan sapaan dengan baik.
Leech (1993: 206-219) mengemukakan adanya kajian prinsip kesantunan dalam
pragmatik yang terdiri dari enam maksim, yaitu (a) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim);
(b) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim): (c) Maksim Penghargaan
(Approbation Maxim); (d) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim); (e) Maksim
Permufakatan (Agreement Maxim); (f) Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim).
Prinsip dasar maksim kebijaksanaan mewajibkan peserta tutur mengurangi
kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Jika pembicara
memaksimalkan keuntungan orang lain, lawan bicara wajib memaksimalkan diri sendiri.
Tuturan pada maksim kebijaksanaan berpusat pada orang lain. Seseorang dapat terhindar
dari sikap iri hati, jika melaksanakan maksim kebijaksanaan. Perlakuan menguntungkan
pihak lain dilakukan agar dianggap sopan dan menjaga perasaan lawan tutur (Chaer, 2010:
57).
Maksim kedermawaan disebut juga dengan maksim kemurahan hati. Prinsip
utama dalam maksim kedermawanan ini mengharapkan peserta tutur mengurangi
keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian atau pengorbanan diri sendiri. Apabila
maskim kebijaksanaan berpusat pada orang lain, maka maksim kedermawanan berpusat
pada diri sendiri. Maksim Kedermawanan menuntut penutur untuk meminimilkan
keuntungan pada diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri.
Menurut maksim penghargaan, orang dapat dianggap santun jika menghargai orang
lain. Dengan adanya maksim penghargaan, diharapkan peserta tutur tidak saling
merendahkan atau mencaci. Karena tindakan mengejek merupakan tindakan yang tidak
sopan dan harus dihindari dalam pergaulan. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur
memaksimalkan rasa
1
hormat kepada orang lain, atau dengan kata lain mengurangi cacian kepada orang lain
dan memaksimalkan pujian kepada orang lain.
Maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan menuntut peserta tutur bersikap
rendah hati dengan mengurangi pujian terhadap diri sendiri dan memaksimalkan cacian pada
diri sendiri, dengan begitu peserta tutur tidak dikatakan sombong. Penutur diharapkan
bersikap rendah hati, sehingga pusat perhatian yang paling utama terletak pada diri sendiri
(Tarigan, 1986:87-88). Maksim kesederhanaan menuntut penutur untuk meminimalkan
pujian terhadap diri sendiri dan memaksimalkan kecaman terhadap diri sendiri.
Maksim pemufakatan atau maksim kecocokan, menekankan kecocokan antara penutur
dan lawan tuturnya. Diharapkan peserta dan mitra tutur bersikap santun jika sudah terjadi
pemufakatan. Seseorang tidak boleh memenggal dan membantah secara langsung orang
yang sedang bertutur. Banyak fakor yang dapat dijadikan pertimbangan seperti faktor usia,
jabatan, atau bahkan status sosial. Dengan kata lain, peserta tutur memaksimalkan
kecocokan dan meminimalkan ketidakcocokan antara penutur (Rahardi, 2005: 64-65).
Sementara itu, pengaplikasian maksim kesimpatian menuntut peserta tutur
memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tutur.
Masyarakat yang menjunjung rasa simpati terhadap orang lain akan dianggap sopan,
sedangkan seseorang yang bersikap sinis dianggap tidak sopan. Ketika orang lain
menghadapi kesulitan hendaknya membantu dan ketika orang lain mendapatkan kesuksesan
hendaknya mengucapkan selamat.
Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech (1993:206), Chaer
(2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut: (1)
semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap santun kepada lawan tuturnya; (2) tuturan yang diutarakan secara tidak langsung,
lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung; (3)
memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun
dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
Berdasarkan uraian materi kesantunan berbahasa, terlihat bahwa dalam berbahasa ada
kaidah dan prinsip yang harus dijadikan patokan dalam berbahas. Santun atau tidaknya
bahasa yang digunakan dapat dipandang sebagai sikap bijak/ tidaknya seseorang dalam
berbahasa. Sebagian orang kerapkali luput dari penerapan prinsip sopan santu

1
berbahasa, sehingga bahasa yang digunakan menyinggung perasaan orang lain. Ada
banyak faktor yang menjadi

1
latar belakang mengapa hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah ketidakpahaman
akan prsinsip-prinsip kesantunan berbahasa.
Penerapan dan pembahasan konsep sopan santun berbahasa (prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa) yang lebih terarah, rinci atau spesifik dalam pendidikan karakter
dipandang sebagai sebuah keharusan. Fenomena berbahasa dewasa ini dapat dijadikan
sebagai sebuah alasan dan pembenaran akan hal tersebut. Pendidikan karakter yang
sudah cukup lama digagas dan diaplikasikan di Indonesia, tenyata masih belum maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari fenomena orang pintar, terkenal, bahkan memiliki jabatan penting
yang berbahasa diluar koridor kesantunan. Jika dipandang dari pendidikan, tidak ada yang
kurang dari mereka, rata- rata perpendikan tinggi (sarjana). Ujaran kebencian, berkata kasar,
kesalahan diksi, kealpaan penggunaan honorifik merupakan sebagian contoh fenomena
berbahasa yang dapat dilihat secara kasat mata, baik dalam komunikasi secara langsung,
maupun komunikasi yang melibatkan media masas atau media sosial.
Tingginya ilmu dan tingkat pendidikan sesorang sejatinya berbanding lurus dengan
cara berbahasanya. Bahasa yang digunakan atau keluar dari seseorang dapat dijadikan tolok
ukur kualitas kepribadiannya. Oleh karena itu, setiap pribadi perlu menjaga bahasanya
dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Prinsip-prinsip kesantunan ini
dapat diintegrasikan dengan memberi ruang penjelasan yang lebih spesifik/ rinci.

1
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Kepatutan merupakan suatu hal yang fundamental dalam pragmatik karena kepatutan
adalah fenomena universal dalam pemakaian bahasa pada sebuah konteks sosial (Brown dan
Levinson). Secara umum kepatutan sosial dianggap sebagai sebuah tindakan dimana
seseorang menunjukkan tingkah laku yang teratur dan menghargai orang lain sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Konsep kepatutan banyak dibicarakan oleh para pakar
dalam bidang sosiolinguistik, salah satunya menurut pendapat Lakoff (1975:53) yang
menyatakan bahwa bersikap patut dan sopan dalam bertutur adalah mengatakan suatu
hal yang berhubungan dengan masyarakat dengan benar.
Sebuah tuturan, akan terlibat interaksi antara penutur dan petutur/mitra tutur. Faktor
utama dalam keberhasilan sebuah interaksi tutur adalah faktor kerjasama. Dari faktor
kerjasama inilah akan tercipta sebuah interaksi tutur yang koheren, karena antara penutur
dan mitra tutur akan terjalin sebuah kesinambungan tuturan/pemikiran. Kerjasama
merupakan bentuk yang sederhana dimana orang-orang yang sedang terlibat dalam tindak
tutur umumnya tidak berusaha untuk membingungkan, mempermainkan, atau
menyembunyikan informasi antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam banyak peristiwa
tutur, kerjasama merupakan titik awal untuk menjelaskan apa yang dituturkan.
Chaer (2010:vii) berpendapat ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi,
yaitu kesantunan berbahasa, kesopanan berbahasa, dan etika dalam berbahasa. Kesantunan
berbahasa mengacu pada unsur-unsur bahasa; sedangkan kesopanan berbahasa mengacu pada
pantas tidaknya suatu tuturan disampaikan pada lawan tutur. Menurut Tarigan (2009: 41),
kesantunan berbahasa adalah menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan-santun.

1
DAFTAR PUSTAKA

Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. New
York: Cambridge University Press.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta:Rineka Cipta.
FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober
2011.
Hartoyo, Indra. 2011. Pengintegrasian Pilar-pilar Pendidikan Karakter dalam Proses
Pembelajaran di Perguruan tinggi. Jurnal Bahas, No. 83 Th 38 (2011).
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas
Indonesia. Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Major, Marc R. 2008. The Tecaher’s Survival Guide: Real Classroom Dilemmas and Practical
Solutions. Maryland: Rowman & Littlefield Education.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga. Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik.Yogyakarta: Erlangga.
Rahayu, Triwati. 2020. Kesantunan Berbahasa sebagai Cerminan Karakter Bangsa. Journal
of
Language Learning and Research, 11 Maret 2020
Rohali. 2011. Kesantunan Berbahasa Sebagai Pilar Pendidikan Karakter: Perspektif
Sosiopragmatik.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung:
Angkasa. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik.
Yogyakarta : Andi.
Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

You might also like